28
LAPORAN KUNJUNGAN LAPANGAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK DAN PASANG SURUT “MONITORING HIDROLOGI LAHAN RAWA PASANG SURUT DAN ANALISIS USAHA TANI DI DESA MULYASARI KECAMATAN TANJUNG LAGO KABUPATEN BANYUASIN” OLEH POSMA ANDRI OCTAVIA SIAGIAN 05101007122 BUDIDAYA PERTANIAN

Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

LAPORAN KUNJUNGAN LAPANGANPENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK DAN PASANG SURUT

“MONITORING HIDROLOGI LAHAN RAWA PASANG SURUTDAN ANALISIS USAHA TANI DI DESA MULYASARI

KECAMATAN TANJUNG LAGO KABUPATEN BANYUASIN”

OLEH

POSMA ANDRI OCTAVIA SIAGIAN05101007122

BUDIDAYA PERTANIANAGROEKOTEKNOLOGIFAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

INDRALAYA2012

Page 2: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemanfaatan lahan rawa dapat dijadikan lahan alternatif untuk

pengembangan pertanian, meskipun perlu pengelolaan yang tepat, dukungan

kelembagaan yang baik dan profesional serta pemantauan secara terus menerus.

Potensi lahan rawa di Indonesia adalah seluas 33,43 juta hektar yang terdiri dari

20,15 juta hektar rawa pasang surut dan 13,28 juta hektar rawa lebak. Lahan rawa

yang telah dibuka atau direklamasi mencapai 5 juta hektar, luas tersebut sudah

termasuk bekas lahan pertanian lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah.

Meskipun pemerintah sudah dilakukan pembangunan terhadap lahan rawa,

tetap diperlukan pengembangan pertanian yang baik. Apabila tidak demikian sangat

dimungkinkan pembangunan lahan rawa tersebut tidak akan mendapatkan hasil

pertanian secara optimal. Hal itu disebabkan karena karakteristik dari ekosistem

lahan rawa yang bersifat marjinal dan rapuh.

Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir

sepanjang tahun, minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm.

Rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian,

termasuk perikanan dan peternakan disebut lahan rawa lebak. Rawa lebak yang

sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton, sedangkan

jika kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara laut/sungai besar disebut rawa

pedalaman. Atau dapat juga diartikan dengan sawah rendahan yang tergenang secara

periodik sekurang-kurangnya tiga sampai enam bulan secara kumulatif dalam

setahun, dan dapat kering atau lembab tiga bulan secara komulatif dalam setahun.

Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk

wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua

tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang

lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan

genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah

Page 3: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

genangannya. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4-7

meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau

wilayah paling bawah. Pada musim kemarau muka air tanah di lahan rawa lebak

dangkal dapat mencapai > 1 meter sehingga lebih menyerupai lahan kering (upland).

Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan

antara 2.000-3.000 mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang

mempunyai curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan

kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan. Bahan induk tanah rawa lebak

umumnya berupa endapan aluvial sungai, endapan marin, atau gambut yang

terbentuk pada periode era Holosen, yaitu sejak 10.000 sampai 5.000 tahun silam

yang jauh lebih tua jika dibandingkan dengan endapan di delta sepanjang sungai

yang diperkirakan terbentuk antara 2.500-3.000 tahun silam (Prasetyo et. al., 1990;

Furukawa, 1994; Neuzil, 1997).

Sifat fisika tanah dari lahan rawa lebak umumnya tergolong masih mentah,

sebagian melumpur, kandungan lempung (clay) tinggi, atau gambut tebal dengan

berbagai taraf kematangan dari mentah (fibrik) sampai matang (saprik). Lapisan

bawah dapat berupa lapisan pirit (FeS2) yang berpotensi masam; atau pasir kuarsa

yang miskin hara; sifat kimia, kesuburan, dan biologi tanah tergolong sedang sampai

sangat jelek. Hidrologi atau sistem tata air kebanyakan lahan rawa lebak sangat

buruk. Ketersediaan sarana dan prasarana tata air yang mendukung belum memadai

sehingga kinerja pengatusan (drainage), pelindian (leaching), dan penggelontoran

(flushing) belum mampu mempercepat perkembangan tanah.

Lahan rawa pasang surut di Indonesia mulai memperoleh perhatian, kajian

dan garapan secara serba cukup (comprehensive) sebagai suatu sumber daya pada

tahun 1968. Kepedulian ini dibangkitkan oleh persoalan yang sangat mendesak akan

pemenuhan kebutuhan beras yang terus meningkat. Usaha penyawahan lahan rawa

pasang surut sebetulnya bukanlah hal baru. Orang-orang bugis sejak puluhan tahun

sebelumnya telah menyawahkannya diberbagai tempat di pantai timur Sumatra dan

di pantai selatan Kalimantan dengan beraneka tingkat keberhasilan. Dengan teknik

tradisional sederhana, mereka dapat membuka persawahan, meskipun dengan hasil

panen dn indeks pertanaman rendah menurut ukuran sekarang. Namun bagi

Page 4: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

pencukupan kebutuhan pangan dan pemenuhan baku hidup pedesaan waktu itu hasil

panen serendah 0,8 1 ton.ha-1padi sekali setahun sudah memadai. Luas lahan yang

mampu mereka buka juga terbatas, hanya dapat menjangkau sejauh 1-2 km

kepedalaman. Menurut ukuran sekarang teknik pembukaan lahan seperti itu tidak

efektif. Mereka memang tidak memerlikan teknik yang lebih efektif, karena dengan

luasan yang terbatas kebutuhan akan produksi beras sudah tercukupi. Walau itu beras

bukan satu-satunya bahan pangan pokok.( Edrissea F, Susanto RH, Amin M. 2000)

Yang sering ditakuti dalam pengembangan lahan rawa pasang surut adalah

munculnya tanah sulfat masam sebagai akibat pengatusan. Namun tidak diperlukan

waktu lama untuk membuang senyawa sulfat masam dari daerah parakaran

pertanaman. Teknik reklamasi yang terbukti sangkil (effective) adalah pembuatan

surjan atau tabukan dan penggelontoran dengan aliran air surut. Penggelontoran

menjadi lebih berdaya kalau dikerjakan dengan air payau. Air payau berguna

menaikkan kejenuhan basa tanah dan mengekstrasi Al. Dalam tanah sulfat masam

kejenuhan Al sering meninggi sejalan dengan kemajuan pelapukan sulfat masam.

Dengan demikian penggelontoran dengan air payau dapat lebih cepat menurunkan

kejenuhan Al.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari Kunjungan ini adalah agar mahasiswa mengetahui

tentang monitoring hidrologi, hidrotpografi lahan dan analisis usaha tani yang ada di

Lahan pasang surut dan Rawa lebak.

Page 5: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

II. TINJAUAN PUSTAKA

a. Hidrotopografi lahan

Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara elevasi lahan

dengan ketinggian muka air di saluran. Lahan tipe A selalu terluapi oleh air pasang,

baik pasang besar (terjadi pada musim hujan) maupun pasang kecil (terjadi pada

musim kemarau), sedangkan lahan tipe B hanya terluapi oleh air pasang besar saja.

Lahan tipe C tidak terluapi oleh air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil,

tetapi muka air tanah di petak lahan masih dipengaruhi oleh fluktuasi air pasang.

Pada lahan tipe D, selain tidak terluapi air pasang, muka air tanah juga tidak

terpengaruh oleh fluktuasi air pasang. ( Susanto,2000)

Tanpa irigasi, surnber air utama pada lahan rawa pasang surut berasal dari air

hujan dan air pasang di saluran. Pemasukan air ke petak lahan dengan memanfaatkan

potensi air pasang dapat dilakukan pada lahan tipe A dan B, sedangkan pemasukan

air pada lahan tipe C dan D sulit dilakukan karena permukaan lahan relatif lebih

tinggi dibandingkan muka air pasang di saluran. Kedalaman muka air tanah pada

lahan tipe C dan D dapat dipertahankan dengan teknik retensi air.

Hidrotopografi adalah gambaran elevasi relative suatu lahan terhadap elevasi

muka air yang berfungsi sebagai elevasi muka air referensi.

Karenanya berdasarkan pengertian di atas, maka untuk :

Lahan rawa pasang surut, pengertian hidrotopografi diterjemahkan sebagai berikut :

Hidrotopografi adalah gambaran elevasi relative suatu lahan terhadap elevasi muka

air pasang surut di saluran terdekat (saluran tertier dan bukan sungai / saluran

primer / saluran sekunder) yang berfungsi sebagai elevasi muka air referensi.

Lahan rawa non pasang surut, pengertian hidrotopografi diterjemahkan sebagai

berikut :

Hidrotopografi adalah gambaran elevasi relative suatu lahan terhadap elevasi

muka air tertinggi rawa non pasang surut (Muka Air Tertinggi = M.A.T.) yang

berfungsi sebagai elevasi muka air referensi.

• Manfaat hidrotopografi

Page 6: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

Hidrotopografi berguna untuk informasi / petunjuk apakah suatu lahan dapat

diairi atau tidak.

• Perubahan klasifikasi hidrotopografi sesuatu lahan

Akibat terjadinya penurunan muka tanah, maka elevasi lahan dapat berubah,

sehingga klasifikasi hidrotopografinya juga berubah.

Begitu juga perubahan dapat terjadi akibat perubahan elevasi muka air yang menjadi

elevasi referensi.

Faktor-faktor yang menentukan keadaan hidrotopografi di lapangan berbeda

antara rawa pasang surut dan rawa non pasang surut. Perbedaannya sebagai berikut :

a) Untuk rawa pasang surut

1. keadaan elevasi muka air pasang surut

2. peredaman fluktuasi pasang di saluran berdasarkan :a). dimensi penampang

saluran, b). kondisi pemeliharaan saluran, c). panjang saluran, d). adanya peluapan

pasang yang menyimpang dari biasanya.

3. terdapatnya bangunan pengendali yang ukurannya lebih kecil dari saluran.

4. curah hujan setempat (jika tanggul dan tanahnya sudah basah, maka air pasang

lebih mudah mengalir dan menembus lahan yang kering).

5. elevasi muka tanah di lapangan yang sewaktu-waktu dapat berubah karena:

Penurunan muka tanah akibat oksidasi tanah organik dan Perataan permukaan tanah

pada lahan dan pembuatan surjan, kolam ikan dan lain sebagainya.

b) Untuk rawa non pasang surut

1. keadaan elevasi muka air tertinggi (MAT).

2. keadaan elevasi muka tanah di lapangan yang sewaktu-waktu dapat berubah

karena : a).Penurunan muka tanah akibat oksidasi tanah organik, b).Penataan

permukaan tanah pada lahan dan pembuatan surjan , kolam ikan dan lain sebagainya.

b. Monitoring hidrologi

Monitoring Hidrologi adalah suatu pemantauan untuk mengetahui status

kadar air. Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dipandang sebagai sistem alami yang

menjadi tempat berlangsungnya proses-proses biofisik hidrologis maupun kegiatan

sosial-ekonomi dan budaya masyarakat kompleks. Proses-proses biofisik hidrologis

Page 7: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

DAS merupakan proses alami sebagai bagian dari suatu daur hidrologi atau yang dikenal

sebagai siklus air. Sedang kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat merupakan

bentuk intervensi manusia terhadap sistem alami DAS, seperti pengembangan lahan

kawasan budidaya. Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya tuntutan atas

sumberdaya alam (air, tanah, dan hutan) yang disebabkan meningkatnya jumlah

penduduk yang membawa akibat pada perubahan kondisi tata air DAS.

Pemantauan pada hulu sungai adalah langkah awal untuk mengetaui gejala

datangnya banjir sehingga antisipasi dini bisa diambil untuk memperkecil angka

kerugian maupun korban jiwa. Pada tugas akhir ini akan dirancang sebuah sistem

monitoring hidrologi menggunakan wireless data logger yang berbasis sensor

network untuk memperbaiki sistem yang ada sekarang berdasarkan analisa yang

telah dilakukan. Hasil pengolahan data dari monitoring tersebut akan dijadikan

referensi untuk buka tutup pintu air. Metodologi yang digunakan adalah sensor curah

hujan (rain gauge) dan pendeteksi level air atau disebut automatic water level record

(AWLR) dipasang pada beberapa catchment area (area pantau) yang telah

ditentukan. Hasil pembacaan sensor tersebut akan disimpan pada sistem data logger

dan ditransmisikan melalui gelombang radio ke komputer data kolektor. Dari

komputer data kolektor di masingmasing area pantau akan dikirim ulang melalui

jaringan komputer ke sistem data pusat. Pengolahan data dari semua area pantau

dilakukan ketika semua sudah terkumpul di sistem data pusat. Hasil dari pengolahan

ini digunakan untuk memprediksi peningkatan volume air yang akan datang sehingga

bisa dijadikan acuan untuk buka tutup pintu. Dengan demikian kuantitas air bisa

diatur lebih ini dan potensi banjir bisa diminimalisasi. (Nugroho K. 2004.)

Teknik yang digunakan yaitu mengolah parameter-parameter yang bisa

mempengaruhi peningkatan debit air sungai yaitu ketinggian air dan curah hujan di

hulu sungai. Data yang diperoleh disimpan ke sistem data logger, kemudian dikirim

lagi secara wireless dengan menggunakan gelombang radio ke komputer data

kolektor sehingga didapatkan hasil monitoring berupa kondisi terkini pada catchment

area (daerah pantau) tertentu. Setelah itu dari komputer data kolektor, data dikirim ke

komputer data server yang kemudian diolah bersama data dari daerah pantau lainnya.

Jika hasil monitoring menunjukkan kondisi yang memungkinkan terjadinya

Page 8: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

banjir maka ada sebuah sistem alert berupa sirine dan respon kontrol untuk buka-

tutup pada pintu-pintu air.Dengan sistem seperti ini diharapkan langkah antisipasi

dini terhadap banjir bisa dilakukan dengan secepat mungkin.

Pada transmitter pengujian dilakukan selama satu jam, penyimpanan

dilakukan tiap satu menit serta pengiriman dilakukan setiap 2 menit didapatkan hasil

eror pengiriman sebesar 6,67% hal ini terjadi karena gangguan pada frekuensi

wireless. dengan menggunakan media wireless yang lebih baik eror ini bisa di

reduksi. Sedangkan pada sensor curah hujan didapatkan eror sebesar 5,4% ,

disebabkan karena faktor mekanik. Pada sensor ketinggian terjadi eror sebesar

1,87%, pada sensor ini didapatkan hasil yang lebih baik , walaupun masih ada

kesalahan.

c. Pengelolaan tata air mikro

Tata air mikro

Tata air mikro ialah pengelolaan air pada skala petani. Dalam hal ini,

pengelolaan air dimulai dari pengelolaan saluran tersier serta pembangunan dan

pengaturan saluran kuarter dan saluran lain yang lebih kecil.

Saluran tersier umumnya dibangun oleh pemerintah tetapi pengelolaannya

diserahkan kepada petani.

Pengelolaan air di tingkat petani bertujuan untuk mengatur agar setiap petani

memperoleh air irigasi dan membuang air drainase secara adil. Untuk itu diperlukan

organisasi di tingkat desa.Kemudian, pengelolaan di tingkat petani juga menciptakan

kelembaban tanah di lahan seoptimal mungkin bagi pertumbuhan tanaman serta

mencegah kekeringan lahan sulfat asam dan lahan gambut. Pengelolaan tata air yang

dimaksud di sini adalah pengelolaan air skala mkro,yaitu yang berada di tingkat

petani yang meliputi pembuatan saluran-saluran keliling, pengatusan dan kemalir,

tabat, dan pintu air. Pengelolaan air di lahangambut terutama dimaksudkan untuk

mempertahankan muka air tanah pada bataslayak untuk tanaman pangan. Untuk padi,

muka air tanah perlu dipertahankan pada jeluk antara 30-40 cm dan untuk palawija

40-50 cm. (Rafieq, Achmad. 2004)

Page 9: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

Pengelolaan air juga penting untuk menjaga agar tidak terjadi amblesan yang

besar. Sistem tabat lazim digunakan oleh petani tradisional untuk mempertahankan

air selama musim tanam (lacak) bagi padi lokal berumur 8-10 bulan, yang bersifat

peka fotoperiod pada sekitar bulan Maret-April. Tabat dibuka pada akhir musim

kemarau atau menjelang musim hujan untuk mengeluarkan unsur dan senyawa

racun berupa asam-asam organik dan ion-ion logam lainnya. Sistem tabat ini

memberikan peluang bagi pengembangan padi sekaligus perbaikan mutu lahan,

terutama dalam menurunkan kadar unsur pencemaran (Al, Fe, dan H2S).

Dalam budidaya tanaman palawija, pembuatan saluran pengatusan keliling

dan kemalir di lahan gambut dari hasil penelitian terbukti dapat memperbaiki sifat

fisika dan kimia tanah serta hasil tanaman jagung dan kedelai (Vadari et al.,

1995). Dimensi ukuran saluran kemalir lebar 40 cm, dalam 30-50 cm, dengan jarak

antara kemalir 9 m. Penerapan sistem pengatusan dangkal untuk pengembangan

tanaman palawija di lahan pasang surut Tipe B Unit Tatas, Kapuas (Kalimantan

Tengah) dan Tipe C Unit Barambai (Kalimantan Selatan) memberikan hasil kedelai

rata-rata sebesar 1,99 ton/ha, kacang tanah 1,53-2,70 ton/ha, dan jagung 4,32-

4,69 ton/ha (Sarwani et al., 1994).

Pengelolaan air tingkat mikro atau tingkat petani ini dianjurkan menerapkan

sistem tata air satu arah sehingga pelindian senyawa atau unsur racun yang

menghambat pertumbuhan tanaman lebih mempan. Pintu air yang dipasang di

muara saluran tersier (handil) dapat bersifat semi-otomatis (aeroflapgate) yang

bersifat membuka ke dalam (tersier) untuk pintu air irigasi dan membuka ke luar

untuk pintu air drainasi/pengatusan. Hasil padi juga dipengaruhi oleh mutu air yang

dipergunakan.

Page 10: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

III. METODOLOGI

A. Tempat dan Waktu

Lokasi pengamatan di lakukan di Desa Mulya Sari Kecamatan Tanjung Lago

Kabupaten Banyuasin. Pada hari Sabtu, 17 Novembar 2012.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada pengamatan ini, antara lain : 1. Meteran, 2. Papan

pielscall, 3. Pipa wells, 4. Tali. Sedangkan bahan yang digunakan adalah bentangan

luasan lahan pertanian yang dilengkapi dengan saluran sekunder dan tersier di Desa

Mulya Sari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin.

C. Cara Kerja

a. Dimensi Saluran

1. Pengamatan saluran-saluran yang ada dilahan pertanian, mulai dari saluran

sekunder sampai tersier.

2. Mengamati sistem kerja pada pintu air yang ada pada saluran sekunder.

3. Melakukan uji coba pembukaan pintu air pada saluran sekunder.

4. Melakukan pengukuran lebar atas saluran, lebar bawah saluran dan kedalaman

saluran sekunder dan saluran tersier, pada beberapa titik saluran.

5. Dokumentasikan kegiatan.

b. Pengamatan Tinggi Muka Air Saluran

1. Lakukan pemasangan kayu yang kuat di saluran sekunder, sebagai penopang

papan pielscall atau papan duga yang akan dipasang.

2. Pemasangan papan pascal pada saluran sekunder berdampingan dengan tiang

yang telah dipasang. Pemasangan papan pascal harus dekat dengan pintu saluran

untuk mengetahui pengaruh pasang surut air yang ada.

Page 11: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

3. Tiang dan papan pascal harus benar-benar tertancap sampai dasar tanah.

4. Setelah papan pascal yang pas disaluran sekunder, kemudian lakukan pengamatan

tinggi muka air saluran.

5. Catat berapa tinggi muka air yang tertera di papan pascal.

6. Dokumentasikan kegiatan.

c. Pengamatan Tinggi Muka Air tanah

1. Lakukan pengeboran di empat titik yang berbeda. Pengeboran dilakukan sedalam

tinggi pipa wells yang dibuat.

2. Setelah dilakukan pengeboran, masukan pipa wells kedalam lubang boran.

3. Amatilah berapa tinggi muka air tanah. Untuk mengetahui berapa tinggi muka air

tanah yaitu tinggi pipi wells dari permukaan tanah di kurang dengan tinggi pipa

wells dari permukaan air yang masuk ke pipa wells. Pengukuran dilakukan di

empat titik.

4. Dokumentasikan kegiatan.

d. Analisis Usaha Tani

1. Lakukan kegiatan Tanya jawab dengan petani yang ada di Desa Mulya Sari

Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin, tentang sistem pertanian di

daerah tersebut.

2. Catat hal yang penting dan sesuaikan dengan teori budidaya tanaman padi yang

ada.

3. Dokumentasikan kegiatan.

Page 12: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Berdasarkan kegiatan yang dilakukan dilapangan, maka kemudian diperoleh

hasil sebagai berikut ini :

Data Dimensi Saluran Sekunder dan Tersier

No

.Indikator

Saluran

Sekunder Tersier

1 Lebar Permukaan Atas 11,6 m 4,1 m

2 Lebar Permukaan Bawah 8,63 m 1,8 m

3 Tinggi Muka Air 2 m 0,8 m

4 Luas Dimensi Saluran 20,23 m2 4 m2

Data Muka Air Tanah Pipa Wells

No

.Pipa Wells

Indikator Muka Air

TanahKedalaman Tinggi dari permukaan

1 I 41 cm 37 cm - 4 cm

2 II 45 cm 55 cm - 10 cm

3 III 23 cm 97 cm - 74 cm

4 IV 40 cm 74 cm - 34 cm

Data Muka Air Saluran Papan Piscal

Tempat SaluranTinggi Muka

Air

Waktu

Pengukuran

Lahan Telang II Tersier 80 cm Siang Hari

Page 13: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

Data Hasil Analisis Usaha Tani

No Jenis kuisioner Hasil kuisioner

1. sistem pola tanam padi Sistem TABELA

2. Pengelolaan lahan Traktor

3. Pupuk Urea

4. Jumlah pupuk/ha 400 kg

5. Hasil produksi/ha pertama 5 ton/ha

6. Hasil produksi padi rotun 2 ton/ha

7. Varietas padiyang digunakan IR42

8. Harga beras/kg Rp 3.000,-

9. Jumlah benih yang digunakan 1 ha 60 - 80 kg/ha

10. Kendala Pengairan, hama, musim

B. Pembahasan

Page 14: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

Pada pertanian lahan rawa pasang surut, tanaman akan tumbuh dan

berkembang dengan baik apabila kedalaman muka air tanah dapat diatur sesuai

dengan zona perakaran tanaman, dan pirit yang ada di dalam tanah tidak teroksidasi.

Penanaman muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah yang mengandung pirit

akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan senyawa sulfat.

Asam sulfat bersifat racun, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.

Oksidasi pirit dapat dikendalikan dengan menekan kandungan oksigen yang tersedia

di dalam tanah, yaitu dengan mengatur kedalaman muka air tanah.

Adapun laporan data yang kami temukan dalam kunjungan lapangan ini

yaitu:

1) Dimensi saluran

Dari kegiatan pengukuran dimensi saluran sekunder didapatkan data yaitu pada

saluran sekunder, lebar permukaan atas adalah 11,6 meter, lebar permukaan bawah

adalah 8,63 meter, tinggi muka air pada saluran sekunder adalah 2 meter, dan untuk

luas dimensi saluran 20,23 m2. Sedangkan untuk saluran tersier, lebar permukaan

atas adalah 4,1 meter, lebar permukaan bawah adalah 1,8 meter, tinggi muka air pada

saluran tersier adalah 0,8 meter, serta luas dimensi saluran adalah 4 m2.

Dimensi saluran dan bentuk saluran perlu diperhatikan agar didapatkan saluran

stabil yaitu tidak mengganggu masalah erosi maupun sedimentasi. Persoalan pada

saluran yang perlu mendapat yaitu penentuan kecepatan terpakai, agar tidak timbul

erosi, sedimentasi, maupun longsoran - longsoran. Dimensi saluran sekunder

ditentukan berdasarkan kebutuhan air dari seluruh petak tersier yang dilayani dengan

memperhitungkan kehilangan air banyak di petak sawah maupun pada saluran

sekunder. saluran sekunder merupakan batas dari petak tersier, sehingga penentuan

dari petak tersier diusahakan berbentuk persegi panjang (memanjang arah aliran)

dengan luas disesuaikan dengan keadaan topografi daerah.

2) Tinggi muka air pada saluran

Page 15: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

a. Pengamatan tinggi muka air pada saluran dilakukan dengan menggunakan papan

duga (pielscall). Pipa papan daya (Pieschal) digunakan untuk permukaan saluran air,

panjangnya mengikuti bentuk saluran.

b. Banyaknya titik pengamatan adalah 4 titik di saluran tersier 4, 1 titik di saluran

drainase utama (SDU), dan 1 titik di saluran pengairan desa (SPD)

c. Pengamatan tinggi muka air pada saluran dilakukan setiap hari antara pukul 06.00-

08.00 WIB.

Agar kondisi muka air tanah dapat mendukung sistem usahatani, maka perlu

dibuat panduan pengoperasian pintu air di saluran tersier sesuai dengan sistem

usahatani yang diterapkan. Penelitian lanjutan tentang sistem telemetri dan rekayasa

sistem kontrol (bangunan pengendalian air) di saluran tersier dapat melengkapi

model dan teknik pengendalian muka air tanah yang telah dibangun.

3). Tinggi muka air tanah

Menurut Susanto (2000), pengendalian muka air tanah di blok tersier

merupakan suatu proses kunci yang harus dilakukan dengan tepat melalui

pengendalian air di saluran tersier. Namun, teknik pengelolaan air yang dilakukan

hingga saat ini masih bergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsung

di lapangan, yaitu dengan membuat sumur-sumur pengamatan di petak lahan.

Meskipun memiliki akurasi yang tinggi, tetapi pengamatan muka air tanah secara

langsung memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Selain itu, informasi

yang diperoleh juga sangat terbatas, yaitu hanya pada titik pengamatan dan jangka

waktu pengamatan tertentu.

Pengamatan tinggi muka air tanah dilakukan melalui sumur pengamatan (wells) yang

dibuat dari pipa paralon dengan panjang 3 m dan diameter 2,5 inchi. Pipa tersebut

dilubangi pada bagian sisi-sisinya kemudian dilapisi dengan ijuk dan ditanam

dengan kedalaman 2,5 m dari permukaan tanah. Lubang pipa bagian atas ditutup

dan hanya dibuka pada saat melakukan pengukuran.

Gambar Pipa wells

Page 16: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

Untuk pengukuran muka air tanah, kami menggunakan pipa wells sebanyak

empat buah dan diletakkan pada empat titik yang berbeda. Pipa wells dibuat dari pipa

paralon dengan panjang 3 meter dan diameter 2,5 inchi. Pipa tersebut dilubangi pada

bagian sisi – sisinya kemudian dilapisi dengan ijuk dan ditanam dengan kedalaman ±

2,5 meter dari permukaan tanah. Pengukuran muka air tanah dengan pipa wells ini

setiap titiknya kami letakkan pada bagian tepi lahan, dikarenakan lahan tersebut

lahan yang basah. Serta pengamatan ini seharusnya didiamkan dulu ± 24 jam baru

lah diukur muka air tanahnya. Namun, fieldtrip ini hanya dilakukan satu hari maka

hanya kami diamkan selama ± 5 menit. Jika pengamatan dilakukan ± 24 jam, maka

seharusnya pipa wells ini ditutup supaya tidak tercampur serasah atau kotoran dari

luar.

Data yang didapat dari pengukuran muka air tanah, pada titik pertama adalah –

4 cm, pada titik kedua adalah – 10 cm, pada titik ketiga adalah – 74 cm, dan pada

titik keempat adalah – 34 cm. setiap titik yang kami amati didapatkan setiap titik

bernilai minus yang berarti bahwa muka air tanahnya berada dibawah permukaan

tanah.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Page 17: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dalam kunjungan ini yaitu :

1. Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara elevasi lahan

dengan ketinggian muka air di saluran

2. Pipa papan daya (Pieschal) digunakan untuk permukaan saluran air,

panjangnya mengikuti bentuk saluran.

3. Pengelolaan air dimulai dari pengelolaan saluran tersier serta pembangunan

dan pengaturan saluran kuarter dan saluran lain yang lebih kecil.

4. Sebagian besar petani di lahan rawa lebak dan pasang surut pada saat

penanaman menggunakan sistem TABELA ( Tebar benih langsung).

5. Pipa wells digunakan untuk mengamati muka air tanah, pengamatan biasanya

dilakukan pada jam 06.00 pagi.

B. Saran

Keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian lahan rawa pasang

surut harus didukung dengan infrastruktur pengendali air yang memadai, operasi dan

pemeliharaan jaringan dengan penguatan kelembagaan P3A (perkumpulan petani

pemakai air), serta pengenalan dan implementasi sistem usaha tani. Peningkatan

kemampuan dan pemberdayaan, serta partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara

berkesinambungan melalui berbagai sosialisasi dan pelatihan, baik dari aspek teknis

maupun non teknis.

DAFTAR PUSTAKA

Page 18: Laporan kunjungan lapangan lahan rawa lebak dan pasang surut

Edrissea F, Susanto RH, Amin M. 2000. Penggunaan konsep SEW-30 dan DRAINMOD untuk evaluasi status air di petak sekunder dan tersier di daerah reklamasi rawa pasang surut Telang I dan Saleh Sumatera Selatan. Semiloka Manajemen Daerah Rawa dan Kawasan Pesisir. Palembang 4-6 Maret 2000.

Nugroho K. 2004. Aspek Hidrologi dalam Klasifikasi Tipe Luapan Pasang Surut, Studi Kasus Daerah Telang Sumatera Selatan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Noor, Muhammad. 2007. Rawa Lebak: Ekologi, Pemanfaatan, dan Pengembangannya. Jakarta: Raja GrafindoPersada.

Prasetyo et. al., 1990; Furukawa, 1994; Neuzil, 1997

Rafieq, Achmad. 2004. Sosial Budaya dan Teknologi Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengembangan Pertanian Lahan Lebak di Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Susanto RH. 2000. Manajemen air daerah reklamasi rawa dalam kompleksitas sistem usaha tani. Workshop Teknologi Pengembangan Lahan Rawa; Integrated Swamps Development Project Loan. Palembang 29 Agustus-1 September 2000.

Suwarni et al, 1994. Pengelolaan tata air makro dan mikro. Kansius : Yogyakarta

http://lowland-archiebald.blogspot.com/2009/04/pengelolaan-tata-air-pertanian-di-

lahan.html

http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-10397-Paper.pdf

http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-10397-Chapter1.pdf

http://worldagroforestrycentre.net/sea/Publications/files/journal/JA0015-04.pdf