Pendahuluan Fix

Embed Size (px)

DESCRIPTION

HHHHH

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Keluhan klinis yang khas pada pasien yang mengarah pada dugaan sinusitis, antara lain pilek-pilek kronik, nyeri kepala kronik, nyeri kepala satu sisi (kanan atau kiri), nafas berbau, atau kelainan-kelainan lain pada sinus paranasal misalnya: mukokel, pembentukan cairan dalam sinus-sinus, atau tumor, trauma sekitar sinus paranasalis, diperlukan informasi mengenai sinus tersebut.

Pemeriksaan radiologis dirancang untuk memberikan informasi yang bersifat komplementer atau tambahan terhadap keluhan klinis. Temuan radiografi sendiri tidak cukup spesifik dan membutuhkan korelasi dengan keluhan klinis dan temuan pemeriksaan fisik untuk menjamin suatu diagnostik. Terdapat tiga bentuk utama evaluasi radiologis yang tersedia. Foto polos kepala berfungsi untuk mengevaluasi transparansi, ukuran, dan integritas dinding sinus. Biasanya pemeriksaan foto polos kepala terdiri dari Waters, Caldwell, dan lateral sinus paranasal. Dalam kasus khusus proyeksi posteroanterior dan Towne sangat berguna untuk mendapatkan informasi tertentu.

Pemeriksaan tomogram dapat menghindari superimposisi struktur dan memberikan peningkatan detail pada tulang. Namun, biaya tomogram yang cukup mahal (dua sampai tiga kali biaya film polos), adanya peningkatan dosis radiasi, dan peningkatan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan, membatasi penggunaan modalitas ini. Pemeriksaan CT scan, dapat menampilkan secara bersamaan tulang, jaringan lunak, dan udara sehingga memungkinkan untuk secara optimal mengevaluasi struktur tulang maksilofasial; jaringan lunak hidung, orbital, dan intracranial; sinus paranasal. MRI adalah tekik pemeriksaan radiologi yang tidak memerlukan radiasi pengion melainkan tergantung pada sinyal frekuensi radio yang dihasilkan oleh nuklir proton dalam jaringan tetapi modalitas ini terbatas pada tampilan tulang.

Sinus paranasal dapat digolongkan dalam 2 golongan besar sinus paranasalis, yaitu golongan anterior sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis anterior, dan sinus maksilaris. Golongan posterior sinus paranasalis, yaitu sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis. Sinus paranasal merupakan kantung yang dilapisi oleh epitel bersilia dan berhubungan dengan rongga hidung melalui celah sempit oleh karena itu mudah tersumbat. Antrum maksilaris dan sinus sphenoidalis hadir dalam keadaan rudimeter saat lahir, sisanya menjadi jelas sekitar usia 8 tahun, dan menjadi sepenuhnya terbentuk pada masa remaja. Sinus paranasal adalah sinus (rongga) pada tulang berada sekitar nasal (hidung). Rongga rongga pada tengkorak ini berhubungan dengan hidung, dan secara terus menerus menghasilkan lendir yang dialirkan ke hidung. Gangguan aliran ini karena berbagai sebab akan menyebabkan penumpukan lendir di rongga sinus, jika terinfeksi oleh kuman akan menyebabkan infeksi sinus yang disebut sinusitis. Sinus paranasal terdiri dari sinus frontalis, ethmoidalis, sphenoidalis dan maksilaris. Sinus sinus ini bermuara ke dalam cavum nasi.

Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan pada sinus paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal

Anatomi Sinus Paranasal

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3 4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus etmoid dan maksila telah ada sejak anak lahir, sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoid dimulai pada usia 8 10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15 18 tahun.Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga udara hidung; jumlah, ukuran, bentuk, dan simetri bervariasi. Sinus sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama sesuai : sinus maksilaris, sphenoidalis, frontalis, dan etmoidalis. Yang terakhir biasanya berupa kelompok kelompok sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling berhubungan, masing masing kelompok bermuara ke dalam hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, rongga terutama berisi udara.Pembagian sinus paranasalis :a. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi mukosa sinus melalui cabang dari nervus maksilaris.b. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel sel resessus frontal atau dari sel sel infundibulum etmoid. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat sekat dan tepi sinus berlekuk lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus frontal. Resessus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang berasal dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri carotis interna. Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang berasal dari nervus trigeminus.

c. Sinus Etmoid

Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga rongga, terdiri dari sel sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sel sel ini jumlahnya bervariasi antara 4 17 sel (rata rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel sel sinus etmoid anterior biasanya kecil kecil dan banyak, letaknya dibawah perlekatan konka media, sedangkan sel sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resessus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. Suplai darah berasal dari cabang nasal dari arteri sphenopalatina. Inervasi mukosa berasal dari divisi oftalmika dan maksilaris nervus trigeminus.

d. Sinus SphenoidSinus sphenoid terletak dalam os sphenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sphenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersphenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 7,5 ml.

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmikus, sedangkan arteri oftalmikus berasal dari arteri karotis interna. Yang penting ialah arteri sphenopalatina dan ujung dari arteri palatina mayor.

Bagian depan dan atas dari rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoid anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus (nervus V 1). Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapatkan persarafan sensoris dari nervus maksilla melalui ganglion sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina disamping memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor/ otonom pada mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensoris dari nervus maksila (nervus V 2), serabut parasimpatis dari nervus petrosis superfisialis mayor, dan serabut serabut simpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sphenopalatina terletak di belakang dan sedikit diatas dari ujung posterior konka media.

Fungsi Sinus Paranasal

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain :

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus

b. Sebagai panahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

c. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakana.

d. Membantu resonansi udara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara dan mempengaruhi kualitas udara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif.

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin dan beringus.

f. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara.

II.2 Pemeriksan Radiologis

Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan mengevaluasi sinus paranasal adalah :

Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas

Pemeriksaan tomogram

Pemeriksaan CT-scan

Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan pada sinus paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih diniII.2.1 Pemeriksaan Foto Kepala

Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai macam posisi, antara lain:

a. Foto kepala posisi AP (Antero-Posterior) atau Caldwellb. Foto kepala lateral

c. Foto kepala posisi Watersd. Foto kepala posisi Submentoverteks

e. Foto Rhese

f. Foto basis kranii dengan sudut optimal

g. Foto proyeksi Towne

Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan paling utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur - unsur tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-kelainan jaringan lunak, dan erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.

Pada beberapa rumah sakit di Indonesia,untuk mengevaluasi sinus paranasal cukup melakukan foto kepala AP dan lateral serta Waters. Apabila dari ketiga foto tersebut belum didapatkan hasil yang lengkap baru dilakukan posisi-posisi lain.

Semua pemeriksaan harus dilakukan dengan proteksi radiasi yang baik dan arah sinar yang teliti. Posisi pasien yang terbaik adalah posisi duduk. Apabila dilakukan dengan posisi tiduran, paling tidak posisi Waters dilakukan dalam posisi duduk untuk mengevaluasi adanya air fluid level dalam sinus-sinus. Apabila pasien tidak dapat duduk, dianjurkan melakukan foto lateral dengan film diletakkan pada posisi kontralateral dan sinar X horizontal.

II.2.1.1 Foto AP Kepala (Posisi Caldwell)

Pada tahun 1918 evaluasi pada sinus frontalis dan ethmoidalis diminta Caldwell untuk menggambarkan proyeksi yang mengilangkan superimposisi dari tulang sphenoid pada sinus paranasal. Pasien diposisikan dengan hidung dan dahi menempel pada kaset X-Ray, bidang midsagital kepala tegak lurus pada kaset, saat sinar x-ray diarahkan kebawah membentuk sudut 15-20o ke garis canthomeatal. Idealnya pada film tampak pyramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasr orbita. Seperti dalam foto Waters , proyeksi Caldwell, adalah proyeksi posteroior-anterior. Ini pandangan yang sangat baik dai sinus frontalis dan ethmoidalis sehingga memungkinkan untuk mengevaluasi kejernihan dan integritas dinding sinus, juga memungkinkan visualisasi yang baik dari tulang frontal, septum nasi dan konkha disekitarnya, aerasi pasase udara hidung, orbital rims, greater and lesser sphenoid wings, kelenjar fosa lakrimalis, dinding orbital medial, dan kedua fissure orbitalis superior dan inferior. Garis innominate meninjol dalam pandangan ini dan merupakan depresi pada permukaan temporal greater wing dari tulang sphenoid dimana membentuk dinding medial fossa temporal atau dinding lateral orbit. Garis innominate dapat menjadi lurus, diakhiri dengan pergantian sudut medial kanan, atau dilanjutkan inferior untuk membentuk outline dari lempeng pterygoideus. Sinus maksilaris juga dapat terlihatwalaupun kurang maksimal II.2.1.2 Foto Lateral Kepala

Foto lateral dibuat dengen menempatkan kepala pasien terhadap kaset x-ray dan kaset berpusat pada kanthus lateral. Sinar x-ray diarahkan tegak lurus dengan titik tengah kaset dan sentrasi pada kanthus lateal dari kaset, sehingga dinding posterior dan dasar sinusmaksilaris berhimpit satu dengan yang lain. Proyeksi ini memberikan pandangan dari bidan sagittal dari tengkorak. Karena struktur kerangka tumpang tindih, interpretasi proses penyakit unilateral sulit. Foto lateral baik untuk melihat sinus sphenoid. Sruktur yang dapat diidentifikasi dan terbaik di evaluasi meliputi sinus sphenoidalis, frontalis, ethmoidalis, dan rahang atas. Pandangan lateral juga menunjukan sela tursika, prosesus clinoid anterior dan posterior, nasofaring, dan lempeng kribriform. Struktur orbital yang terbaik dievaluasi adalah atap orbital. Lantai orbit terlihat tetapi sulit dievaluasi karena kemiringan ke atas, dari lateral ke medial, menuju puncak orbital. Kemiringan ini menyebabkan lantai terlihat pada tingkat yang berbeda pada foto lateral. Foto lateral juga memberikan informasi mengenai air fluid level pada pasien trauma, ketika hanya priyeksi horizontal yang memungkinkan.

II.2.1.3 Foto Posisi WatersDalam upaya untuk meningkatkan visualisasi dari sinus maksilaris dan etmoid, pada tahun 1915 Waters dan Waldron menggambarkan proyeksi radiografi yang menghilangkan bayangan tumpang tindih dens petrous ridge dari tulang temporal. Posisi Waters dibuat dengan menempatkan dagu pasien pada kaset x-ray dengan garis kanthomeatal(garis yang menghubungkan kanthus lateral dan meatus auditorius eksternal) membentuk sudut 37-45 sentrasi sinar kira-kira dibawah garis interorbital. Pada foto Waters, secara ideal pyramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulu tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai daerah dinding posterior sinus sohenoidalis dengan baik. Posisi waters menyediakan gambar terbaik dari antrum maksilaris dan gambar yang baik dari tepi orbital, dasar orbital, tulang dan arkus zygoma, lesser wing dari sphenoid, septum nasi, dan foramen intraorbital. Sinus lain juga dapat terlihat walaupun tidak terlihat maksimal.

II.2.1.4 Foto Kepala Posisi Submentoverteks

Posisi submentoverteks untuk mengevaluasi sinus sphenoid dan dasar tengkorak digambarkan awalna oleh Arthur Schuller pada tahun 1905. Proteksi ini diperoleh dengan leher pasien diperpanjang dalam posisi terlentang atau tegak. Posisi submentoverteks diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien menengadah sehingga garis infra-orbitomeatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus kaset dalam bidang midsagital melalui sella tursika kearah vertex. Banyak variasi-variasi sudut sentrasi pada posisi submentoverteks, agar supaya mendapatkan gambaran yang baik pada beberapa bagian basis kranii, khususnya sinus sphenoid dan dinding posterior sinus maksilaris. Nasofaring, lempeng pterygoideus, fossa pterygopalatine dan sinus sphenoidlis dan etmoidalis juga dapat diperiksa. Karena posisi kepala yang ekstrim, riwayat cedera leher merupakan kontraindikasi untu studi radiologis.

II.2.1.5 Foto Posisi RhesePada tahun 1911 Rhese menggambarkan proyeksi untu evaluasi sinus etmoidalis dan foramen optic. Pasien diposisikan dengan orbit untuk dipelajari melalui kaset x-ray. Zygoma, hidungm dan dagu harus menyentuh kaset. Sinar x-ray diarahkan posterior-anterior 40 terhadap bidang midsagital. Dalam posisi ini kanal optik adalah dalam kuadran inferolateral dari orbit dan berorientasi tegak lurus terhadap kaset x-ray. Variasi dari posisi standar dapat digunakan untuk melihat struktur lain yang menarik. Foto posisi Rhese memungkinkan penilaian dari puncak orbital, khususnya foramen optik, strut optik, lantai dasar orbit sisi lain, dan bagian posterior sinus etmoidalis. Sebuah proses pneumatisasi procesus clinoid anterior dapat mensimulasikn foramen optik. Patokan untuk menemukan foramen adalah dengan menemukan planum sphenoidalis; foramen optik terletak diujung lateral. CT dan MRI menunjukan detail jauh lebih baik dank arena itu telah menggantikan penggunaan film polos untuk evaluasi kanal optik.

Keterangan Gambar :

a. Kanalis optikus kanan

b. Strut Optik

c. Fisura orbitalis superior

d. Sinus etmoidalis

e. Greater wing of sphenoid

II.2.1.6 Foto Posisi TownePosisi Towne diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 30-60 kearah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm diatas glabela dari foto polos kepala dalam bidang midsagital. Proyeksi ini adalah yang terbaik untuk menganalisis dinding posterior sinus maksilaris, fisura orbitalis inferior, kondilus mandibularis dan arkus zygomatikus posterior.

II.2.2 PEMERIKSAAN TOMOGRAM

Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasal biasanya digunakan multidirection tomogram. Sejak digunakannya CT-scan, pemeriksaan tomogram penggunaannya agak tergeser. Tetapi pada fraktur daerah sinus paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan pemeriksaan yang terbaik dibanding pemeriksaan CT-scan. Pemeriksaan tomogram juga biasa dilakukan untuk memastikan bila pada foto polos terdapat dugaan massa pada nasal berupa bayangan radioopak di sinus.

Pemeriksaan tomogram biasanya dilakukan dengan posisi AP (Caldwell) atau Waters. Untuk pemeriksaan survey dilakukan irisan setiap 5 mm dari dinding anterior sinus frontalis sampai bagian belakang tulang sphenoid. Lalu dilakukan irisan khusus setenal 1-2 mm dengan sentrasi khusus di daerah yang dicurigai. Kadang-kadang karena irisannya sangat tipis, fraktur tidak dapat dideteksi dengan baik, pada foto hanya tampak sebagai garis/batas tulang yang kabur pada segmen tertentu. Untuk itu dilakukan irisan khusus dan irisan dipertebal.

Pemeriksaan tomogram frontal dibuat dalam posisi snteroposterior. Kaena keburaman tulang petrosa, daerah ini tidak mengganggu evaluasi gambaran sinus. Pada tomogram koronal, dapat memvisualisasikan tepi sephalik, medial, laterl dan kaudal dari sinus sama baiknya seperti gambaran jaringan lunak-udara atau cairan-udara yag terletak tegak lurus dengan bidang tomogram.Struktur yang terletak sejajar dengan bidang tomografi tidak baik divisualisasikan, sehingga dua set pandangan tomogram diperlukan untuk memvisualisasikan tepi anterior atau posterior dari dinding sinus atau paa kelainan intrasinus.

Meskipun struktur tulang maksilofasial lebih baik digambarkan melalui tomogram daripada foto polos, keburaman(artefak phantom) yang superimposisi dengan saluran udara etmoid menghalangi definisi akurat. Selain itu, artefak yang buram, bisa tidak mendiagnosa terhadap penyakit mukoperiosteal, sehingga lebih terfokus pada penyakit inflamasi.

PEMERIKSAAN KOMPUTER TOMOGRAFI (CT-SCAN)

CT adalah modalitas pencitraan pilihan sejak munculnya bedah sinus endoskopi fungsional (FESS). Sekarang wajib dan merupakan persyaratan medikolegal untuk mengevaluasi sinus paranasal dan hidung sebelum FESS, karena hal ini memberikan peta jalan. Detail yang sangat baik tersedia menenai anatomi, varian anatomi dan patologi. CT Scan merupakan gold standard terhadap kelainan anatomi sinus paranasal.

Pemeriksaan CT-scan sekarang merupakan pemeriksaan unggulan untuk memriksa sinus paranasal, karena dapat menganalisis dengan baik tulang-tulang secara rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak. CT-scan dapat memperlihatkan adanya kerusakan tulang maupun jaringan lunak yang abnormal. Irisan aksial merupakan standar pemeriksaan paling baik yang dilakukan dalam bidang inferior orbitomedial (IOM), dengan irisan setebal 5mm, dimulai dari sinus maksilaris sampai sinus frontalis. Pemeriksaan ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi-geligi, sinus-sinus dan palatum, termasuk ekstensi intracranial dari sinus frontalis.

Pemeriksaan CT Scan baik untuk menilai adanya maassa, lesi, tumor, inflamasi, alergi mukokel, karsinoma sinus atau ronngga hidung, proses penyakit irreversible, pada kasus trauma maupun kelainan kongenital. Gangguan sinus juga merupakan suatu indikasi dilakukan CT Scan, baik sinusitis akut maupun kronis.

Irisan melalui bidang IOM dapat menyajikan anatomi paranasalis dengan baik dan gampang dibandingkan dengan atlas standard cross section. Dapat juga mempelajari nervus optikus dan mengevaluasi orbita. Bidang IOM berjalan sejajar dengan palatum durum, sebagian besar dasar fossa kranialis anterior (dasar sinus nasalis, sinus-sinus etmoidalis, dan orbita). Dalam hal ini gampang sekali membandingkan sisi kanan dan kiri. Pada irisan ini dapat memperlihatkan perubahan-perubahan volume, penyakit/kelainan jaringan lunak di antara tulang-tulang, atau erosi yang kecil.

1. Potongan Axial

Posisi pasien : pasien berbaring supine di atas meja pemeriksaan. Kedua lengan di samping tubuh, kaki lurus ke bawah dan kepala berada di atas headrest (bantalan kepala ). Posisi pasien diatur senyaman mungkin. Posisi objek : kepala diletakkan tepat di terowongan gantry, palatum durum pasien ditempatkan tegak lurus terhadap meja pemindai CT Scan. Gambar harus ditangkap sedemikian rupa sehingga kanal auditori eksternal sejajar dengan rim orbitalis inferior. Mid sagital kepala tepat pada sumber terowongan gantry.

2. Potongan Coronal Posisi pasien : pasien berbaring prone di atas meja pemeriksaan dengan bahu diganjal bantal. Kepala digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dengan membidik menuju vertikal. Gantry sejajar dengan tulang-tulang wajah.

Posisi objek : kepala tegak atau digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dan diberi alat fiksasi agar tidak bergerak. Gantry tegak lurus ke palatum durum pasien. Misalignment tau rotasi dapat meyebabkan distorsi anatomi yang benar pada film.

Salah satu hal yang penting dimana pada pasien-pasien dengan gigi palsu yang diberi fiksasi logam atau karies yang ditambal dengan logam, maka dapat memberikan gangguan gambaran (artefak) pada gambar CT Scan. Untuk hal tersebut diperlukan modifikasi irisan koronal, kira-kira membentuk sudut 60o dari bidang IOM. Pemberian kontras intravena dapat dilakukan untuk membedakan massa yang enhance, te \rutama pada tumor. Bermacam-macam kontras enhance yang mungkin terjadi antara lain dari jaringan normal (misalnya otot-otot), penyumbatan karena secret, jaringan granulasi, jaringan pembuluh darah dan jaringan tumor. Sebagai contoh, apabila pada foto polos terdapat massa radioopak meliputi cavum nasi sehingga terdapat secret yang tebal pada kavum nasi. Pemeriksaan tomogram dan CT Scan polos (tanpa kontras) tidak dapat membedakan dua kemungkinan ini, hanya dengan pemberian kontras intravena dapat memedakan kedua kemungkinan ini, kadang-kadang diperlukan bolus injeksi yang dipercepat, agar supaya dilakukan irisaan pada fase arterial, sehingga dapat membedakan massa enhance atau tidak. Pada beberapa kasus dapat diberikan drip effusion agar dapat diperlihatkan kontur patologis.

BAB III

KESIMPULAN

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena masing-masing indiviu memiliki variasi yan sangat beragam satu sama lain. Sinus paranasal dibagi menjadi empat pasang yaitu, sinus frontalis, sinus etmoidalis, sinus maksilaris dan sinus sphenoidalis kanan dan kiri.

Beberapa penyakit yang sering menyerang sinus paranasal antara lain adalah infeksi yang sering disebut sinusitis, polip atau bisa juga terjadi neoplasma pada sinus paranasal yang antara lain gejala yang sering timbul adalah pilek yang kronik, sakit kepala kronik, atau hidung tersumbat dan mata berair.

Pemeriksaan radiologi sangat baik untuk membantu mediagnosis dari kelainan pada sinus paaranasal tersebut. Pemeriksan radiologi dapat dilakukan dengan foto polos berbagai posisi antara lain Caldwell, lateral, Waters, submentoverteks, Rhese, dan Towne, juga untuk pemeriksaan lebih unggul dapat dilakukan pemeriksaan tomogram mapun CT ScanSampai saat ini di Indonesia, pemakaian foto polos posisi Caldwell, lateral, dan Waters masih menjadi pilihan untuk para ahli dalam membantu mendiagnosis kelainan sinus paranasal. Pada fraktur daerah sinus paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan suatu teknik yang terbaik disbanding pemeriksaan aksial dan koronal CT Scan, selain itu biasa dilakukan untuk memastikan bila pada foto polos terdapat dugaan massa pada nasal berupa bayangan radioopak di sinus. Pemeriksaan CT Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat nggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat mengnalisis denmgan baik tulang\tulang secara rinci dan bentuk jaringan lunak. BAB IV

DAFTAR PUSTAKA1. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayua I, Sutarto AS, Abdullah AA, et all. Radiologi Diagnostik. Sinus Paranasal. Edisi Kedua. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2008: 431-436.

2. Zinreich SJ, Dolan KD. Chapter 51 : Radiology of the Nasal Cavity and Paranasal Sinuses. Available from : http://famona.tripod.com/ent/cummings/cumm051.pdf

3. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Edisi 6. EGC. 1997: 173-177.

4. Singh A, Meyers AD. Paranasal Sinuses Anatomy. Medscape reference. June 2011.5. Sutton D, Robinson PJ, Jenkins JP, Whitehouse RW, Allan PL. Textbook of Radiology And Imaging. 7th Edition. Elsevier Science Ltd.2003; 1519-1530

6. Dammann F. Imaging of Paranasal Sinuses. German. July 2007. Available from : www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/180803717. Vartanian AJ, Meyers AD. CT Scan of the paranasal inuses. Medscape reference. October 2012.3PEMERIKSAAN RADIOLOGIS SINUS PARANASAL

Anggun Valensia Manja

Kepaniteraan Ilmu Radiologi RSU UKI

Periode 17 Maret 12 April 2014