Upload
lamkhanh
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENDAMPINGAN IMAN
KELUARGA KAWIN CAMPUR BEDA AGAMA
DALAM MENGHAYATI HIDUP PERKAWINAN KRISTIANI
DI PAROKI SANTO PAULUS, PALU, SULAWESI TENGAH,
MELALUI KATEKESE UMAT MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Bonificia Cynthia Dani
NIM: 041124035
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2009
iv
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur dan tulus hati
skripsi ini kupersembahkan kepada
Allah,
karena kasih dan penyelenggaraan-Nya,
kepada bapak, ibu, kakak, adik, seluruh keluarga,
sahabatku tercinta Bernadeta Reni Meidi Wijayanti
dan
kakak Sindgius Yohanes,
yang telah memberi motivasi dan menyemangati penulis untuk terus maju,
serta teman-teman angkatan 2004/2005.
v
MOTTO
“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.”
(1 Ptr 5:7)
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul PENDAMPINGAN IMAN KELUARGA KAWIN CAMPUR BEDA AGAMA DALAM MENGHAYATI HIDUP PERKAWINAN KRISTIANI DI PAROKI SANTO PAULUS, PALU, SULAWESI TENGAH, MELALUI KATEKESE UMAT MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS. Skripsi ini dipilih berdasarkan fakta bahwa penyelenggaraan pendampingan iman pasangan keluarga kawin campur beda agama sesudah pernikahan di Paroki Santo Paulus, Palu belum terlaksana. Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan pendampingan iman di Paroki Santo Paulus, Palu hanya diberikan kepada pasangan beda agama sebelum pernikahan.
Skripsi ini memaparkan persoalan pokok yang didasari oleh keprihatinan terhadap kurangnya perhatian secara khusus bagi keluarga kawin campur beda agama sesudah pernikahan dalam hidup perkawinan melalui pendampingan iman di Paroki St. Paulus, Palu. Pendampingan iman di sini bertujuan membantu pasangan beda agama untuk menghayati hidup perkawinan kristiani dalam kehidupan berkeluarga sehari-hari. Pembahasan masalah dikaji dengan mengumpulkan data-data melalui quesioner terbuka yang diberikan kepada Dewan Paroki, ketua Wilayah/Stasi dan kepada pasangan beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu. Sedangkan studi pustaka dilaksanakan untuk memperoleh masukan-masukan sebagai bahan refleksi.
Keluarga kawin campur beda agama dalam perjalanan kehidupan berumah tangga masih sangat membutuhkan pendampingan dari Gereja untuk berbagi pengalaman hidup berkeluarga yang berbeda keyakinan. Katekese umat merupakan tempat yang cocok bagi keluarga pasangan beda agama untuk saling berbagi pengalaman iman masing-masing pasangan. Katekese umat berangkat dari pengalaman konkrit peserta sehingga pasangan beda agama semakin menghayati hidup perkawinan mereka. Katekese umat dengan model Shared Christian Praxis membantu keluarga pasangan beda agama untuk menghayati hidup perkawinan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Bertitik tolak dari pengalaman hidup perkawinan, katekese SCP merupakan salah satu usulan yang bertolak dari pengalaman hidup dengan tujuan untuk mendorong peserta mengkomunikasikan antara tradisi dan visi hidup peserta dan mengkonfrontasikannya dengan tradisi dan visi kristiani sehingga mampu untuk mengambil keputusan dalam hidup keluarga sehari-hari, baik secara pribadi maupun bersama, melalui komunikasi iman atau tukar menukar pengalaman iman dalam dialog yang terbuka. Penulis menawarkan suatu program katekese umat dengan model Shared Christian Praxis yang dapat membantu pasangan beda agama dalam meningkatkan penghayatan iman mereka.
ix
ABSTRACT
The title of this thesis was THE FAITH ASSISTANCE FOR THE MIXED MARRIAGE FAMILY TO INSPIRE THEIR MARRIAGE LIFE AT ST. PAULUS PARISH, PALU, CENTRAL SULAWESI, THROUGH A RELIGIOUS COMMUNITY CATECHISM BY SHARED CATECHESE PRAXIS MODEL. This thesis was chosen based on the fact that the faith assistance for the mixed marriage couple after the wedding at St. Paulus Parish, Palu has not been held. The fact showed the faith assistance at St. Paulus Parish, Palu only was given to mixed religion couple before the wedding. This thesis explained the basic problem as the concern because of less special attention given the to mixed marriage family after the wedding in the marriage life through the faith assistance at St. Paulus Parish, Palu. This faith assistance has the purpose to help them to experience christian wedding life in their daily life. The study for this case was conducted by colecting data through the opened questionere that was given to the parish commitee, the chief of territory based on catholic religion and different religion couples at St. Paulus Parish, Palu. Whereas literary study was done to get the inputs for reflection. The mixed marriage of different religions needed the assistance from the church side to share the life experience living in a family of different religion. The community catechism was the appropriate model for such couples to share their faith experiences. The community catechism is based on the concrete experience of the members so the mixed marriage couples will be more inspired in their marriage life. The Shared Christian Praxis (SCP) model helpes is meant to do that. Based on the life experience of the marriage, SCP aims to push the members to communicate their christian tradition and vision so they could take the decision in the family life both personal and community through the faith communication or sharing the faith experience in the open dialogue. The writer has offered a catechism program of a Shared Christian Praxis model that could help such couples to increase their faith and apply it in their life.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
kasih-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul PENDAMPINGAN IMAN KELUARGA KAWIN CAMPUR BEDA
AGAMA DALAM MENGHAYATI HIDUP PERKAWINAN KRISTIANI DI
PAROKI SANTO PAULUS, PALU, SULAWESI TENGAH, MELALUI
KATEKESE UMAT MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS. Skripsi ini
ditulis berdasarkan keprihatinan penulis terhadap keluarga pasangan kawin
campur beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu yang kurang mendapat perhatian
khusus dari pihak Gereja sesudah pernikahan. Skripsi ini juga ditulis dalam
rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata 1 pada Program Studi
Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Jurusan Ilmu
Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini penulis
mengalami banyak hambatan dan kesulitan, namun berkat bimbingan, dorongan
dan bantuan dari berbagai pihak dengan caranya sendiri, penulis tetap
bersemangat dalam menyelesaikannya. Oleh karena itu secara khusus penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. M. Sumarno, Ds., S.J., M.A. selaku Dosen Pembimbing Utama yang
telah meluangkan waktu, memberikan perhatian, membimbing penulis dengan
penuh kesabaran, teliti, tekun dan penuh cinta serta memberikan masukan-
xi
masukan sejak awal sampai terselesainya skripsi ini.
2. Drs. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed. selaku Dosen Pembimbing
Akademik sekaligus Dosen Penguji II, yang dengan penuh perhatian telah
membantu dan mendorong penulis selama proses perkuliahan sampai
penulisan skripsi ini selesai.
3. Dra. J. Sri Murtini, M.Si. selaku Dosen Penguji III, yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk mengarahkan penulis selama penulisan skripsi ini.
4. Seluruh Staf Dosen dan Karyawan Program Studi Ilmu Pendidikan
Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan
membimbing penulis selama belajar di Prodi IPPAK, USD.
5. Ayah, ibu, kakak, adik dan seluruh keluarga yang memberikan semangat dan
dukungan moral, material dan spiritual selama penulis menempuh studi di
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma,
6. Pengurus Dewan Paroki, Tim Pendamping Keluarga dan seluruh pasangan
beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu, Sulawesi Tengah, yang telah
membantu penulis mengumpulkan data-data untuk penyusunan skripsi ini.
7. Kakak Sindgius Yohanes yang dengan penuh kasih dan kesabarannya telah
memberi motivasi, menyemangati dan mengantar penulis untuk terus maju
dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Sr. Martina, SPC, Valentina Wuri Widawati dan sahabatku tercinta
Bernadetha Reni Meidi Wijayanti serta teman-teman kos yang dengan setia
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL --------------------------------------------------------------- i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING -------------------------------- ii
HALAMAN PENGESAHAN ---------------------------------------------------- iii
HALAMAN PERSEMBAHAN -------------------------------------------------- iv
MOTTO ------------------------------------------------------------------------------ v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ----------------------------------------- vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ------------------------------ vii
ABSTRAK -------------------------------------------------------------------------- viii
ABSTRACT ------------------------------------------------------------------------- ix
KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------- x
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------ xiii
DAFTAR SINGKATAN ---------------------------------------------------------- xvii
BAB I. PENDAHULUAN ------------------------------------------------------- 1
A. Latar Belakang ----------------------------------------------------------- 1
B. Rumusan Permasalahan ------------------------------------------------- 4
C. Tujuan Penulisan -------------------------------------------------------- 4
D. Manfaat Penulisan ------------------------------------------------------- 5
E. Metode Penulisan -------------------------------------------------------- 6
F. Sistematika Penulisan --------------------------------------------------- 6
BAB II. GAMBARAN UMUM PENDAMPINGAN IMAN KELUARGA KAWIN CAMPUR BEDA AGAMA DI PAROKI SANTO PAULUS, PALU ---------------------------------
9
A. Gambaran Umum Situasi Keluarga-keluarga Paroki Santo Paulus, Palu ------------------------------------------------------
10
1. Latar Belakang Berdirinya Paroki Santo Paulus, Palu -------- 10
2. Letak Geografis dan Keadaan Sosial Ekonomi Pusat Paroki ----------------------------------------------------------------
11
3. Jumlah dan Perkembangan Keluarga-keluarga ---------------- 12
4. Kegiatan-kegiatan untuk Keluarga-keluarga ------------------- 12
B. Situasi Keluarga Pasangan Kawin Campur Beda Agama ---------- 16
xiv
1. Letak dan Situasi Geografis Tempat Tinggal Keluarga-keluarga Kawin Campur Beda Agama --------------------------
16
2. Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Beda Agama -------------- 17
3. Jumlah Keseluruhan Pasangan Beda Agama ------------------- 17
C. Situasi Pendampingan Iman bagi Pasangan Kawin Campur Beda Agama di Paroki Santo Paulus, Palu ---------------
18
1. Macam-macam Pendampingan yang ada bagi Pasangan Beda Agama --------------------------------------------------------
18
a. Pembinaan Khusus Katekumenat -------------------------- 19
b. Pembinaan Iman Sebelum Pernikahan -------------------- 19
2. Metode dalam Pendampingan ------------------------------------ 20
3. Sarana dalam Pendampingan ------------------------------------- 20
4. Langkah-langkah dalam Pendampingan ------------------------ 21
5. Materi dalam Pendampingan ------------------------------------- 21
6. Proses dalam Pendampingan ------------------------------------- 21
7. Peserta dalam Pendampingan ------------------------------------ 22
8. Manfaat dalam Pendampingan ----------------------------------- 22
9. Harapan Pasangan kawin Campur Beda Agama terhadap Pelaksanaan Pendampingan Iman -------------------------------
23
D. Rangkuman Permasalahan dalam Kawin Campur Beda Agama --------------------------------------------------------------------
23
1. Metode dalam Pendampingan ------------------------------------ 24
2. Sarana dalam Pendampingan ------------------------------------- 24
3. Langkah-langkah dalam Pendampingan ------------------------ 24
4. Peserta dalam Pendampingan ------------------------------------ 25
BAB III PENDAMPINGAN IMAN MELALUI KATEKESE UMAT MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS BAGI KELUARGA KAWIN CAMPUR BEDA AGAMA -------------------------------
26
A. Pendampingan Iman dalam Gereja ----------------------------------- 26
1. Pengertian Pendampingan Iman --------------------------------- 27
2. Bentuk-bentuk Pendampingan Iman dalam Keluarga --------- 28
a. ME (Marriage Encounter) ----------------------------------- 28
b. Retret ------------------------------------------------------------ 29
xv
c. Rekoleksi ------------------------------------------------------- 30
d. Ziarah ----------------------------------------------------------- 30
e. Katekese -------------------------------------------------------- 31
3. Materi Pendampingan Iman -------------------------------------- 31
4. Tujuan Pendampingan Iman -------------------------------------- 32
5. Proses Pendampingan Iman -------------------------------------- 32
B. Pendampingan Iman dengan Katekese Umat Model Shared Christian Praxis -----------------------------------------------
33
1. Pengertian Katekese Umat ---------------------------------------- 34
2. Tujuan Katekese Umat -------------------------------------------- 36
3. Isi Katekese Umat -------------------------------------------------- 38
4. Model Katekese Umat --------------------------------------------- 39
a. Model Pengalaman Hidup ------------------------------------ 40
b. Model Biblis --------------------------------------------------- 42
c. Model Campuran ---------------------------------------------- 45
5. Sarana Katekese Umat -------------------------------------------- 47
6. Peserta Katekese Umat -------------------------------------------- 47
7. Pemimpin Katekese Umat ---------------------------------------- 49
8. SCP sebagai Salah Satu Model Katekese Umat --------------- 50
a. Peristilahan dalam SCP --------------------------------------- 51
1) Shared ------------------------------------------------------ 51
2) Christian --------------------------------------------------- 52
3) Praxis ------------------------------------------------------- 54
b. Langkah-langkah SCP ---------------------------------------- 55
C. Keluarga Kawin Campur Beda Agama dalam Gereja ------------- 65
1. Perkawinan dalam Gereja ----------------------------------------- 66
a. Pengertian Perkawinan --------------------------------------- 67
b. Pengertian Perkawinan Kristiani ---------------------------- 68
c. Ciri Khas Perkawinan Kristiani ----------------------------- 69
d. Tujuan Perkawinan Kristiani --------------------------------- 72
e. Perkawinan Sebagai Sakramen ------------------------------ 74
xvi
2. Pasangan Kawin Campur Beda Agama dalam Gereja Katolik ---------------------------------------------------------------
75
a. Pengertian Kawin Campur Beda Agama ------------------- 76
b. Kesulitan-kesulitan Pasangan Kawin Campur Beda Agama -----------------------------------------------------------
76
D. Pendampingan Iman untuk Keluarga Kawin Campur Beda Agama dengan Katekese Umat Model Shared Christian Praxis --------------------------------------------------------
79
BAB IV USULAN PROGRAM KATEKESE UMAT DENGAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS UNTUK MENINGKATKAN PENGHAYATAN HIDUP PERKAWINAN BAGI PASANGAN KAWIN CAMPUR BEDA AGAMA --------------------------------------------------------
84
A. Latar Belakang Penyusunan Program ------------------------------- 84
B. Alasan Pemilihan Tema dan Tujuan --------------------------------- 86
C. Rumusan Tema dan Tujuan ------------------------------------------- 87
D. Penjabaran Program ---------------------------------------------------- 89
E. Petunjuk Pelaksanaan Program --------------------------------------- 92
F. Contoh Persiapan Katekese ------------------------------------------- 92
BAB V PENUTUP --------------------------------------------------------------- 107
A. Kesimpulan -------------------------------------------------------------- 107
B. Saran --------------------------------------------------------------------- 109
DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------ 111
LAMPIRAN ----------------------------------------------------------------------- Lampiran 1: Pedoman Quesioner Terbuka untuk
Dewan Paroki ------------------------------------------------
Lampiran 2: Pedoman Quesioner Terbuka untuk Ketua Stasi/Wilayah ----------------------------------------
Lampiran 3: Pedoman Quesioner Terbuka untuk Pasangan Beda Agama --------------------------------------------------
Lampiran 4: Rangkuman Hasil Quesioner Terbuka untuk Dewan Paroki ------------------------------------------------
Lampiran 5: Rangkuman Hasil Quesioner Terbuka untuk Ketua Stasi/Wilayah -----------------------------------------
Lampiran 6: Rangkuman hasil Quesioner Terbuka untuk Pasangan Beda Agama -------------------------------------------------
113
(1)
(2)
(3)
(4)
(6)
(10)
xvii
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
Perjanjian Baru dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada umat Katolik
Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen AgamaRepublik Indonesia
dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II
kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang
katekese masa kini, 16 Oktober 1979
FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II
kepada para uskup, imam-imam dan umat beriman seluruh
Gereja Katolik tentang peranan keluarga Kristen dalam dunia
modern, 22 November 1981.
GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang
Pendidikan Kristen, 28 Oktober 1965.
C. Singkatan Lain
Art : Artikel
BIAK : Bina Iman Anak Katolik
BIRKat : Bina Iman Remaja Katolik
xviii
CD : Compact Disk
Dll : dan lain-lain
Dsb : dan sebagainya
Kab : Kabupaten
Kan : Kanon
KBK : Kaum Bapa Katolik
KK : Kepala Keluarga
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
MB : Madah Bakti, buku doa dan nyanyian, edisi 2000, Pusat Musik
Liturgi Yogyakarta
ME : Marriage Encounter
MSC : Missionaries of the Sacred Heart
Mudika : Muda-mudi Katolik
NTT : Nusa Tenggara Timur
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
PPA : Putra-putri Altar
SCP : Shared Christian Praxis
SD : Sekolah Dasar
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMK : Sekolah Menengah Kejuruan
SMP : Sekolah Menengah Pertama
St : Santo
TV : Televisi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga Katolik di Paroki Santo Paulus, Palu adalah keluarga yang tinggal
di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas beragama non-Kristiani. Mereka
bergaul dan berhubungan secara akrab dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan
hidup dan pergaulan tersebut ternyata mempengaruhi terjadinya perkawinan
campur beda agama karena banyak anak dari keluarga Katolik yang memilih
pasangan hidup dengan teman yang tidak satu iman. Fakta membuktikan bahwa
kawin campur beda agama sering terjadi di masyarakat kita, khususnya di Paroki
St.Paulus Palu. Pendampingan untuk pasangan beda agama sesudah pernikahan
kurang diperhatikan. Latar belakang penulisan skripsi ini didasari oleh
keprihatinan penulis terhadap kurangnya perhatian secara khusus bagi pasangan
kawin campur beda agama sesudah pernikahan dalam hidup perkawinan mereka
sehari-hari di Paroki St. Paulus, Palu.
Kawin campur antar pemeluk agama yang berbeda merupakan masalah
yang tak kunjung selesai sebab dalam masyarakat majemuk merupakan pilihan
konkret yang dipertanggungjawabkan. Kejadian ini disebabkan oleh faktor jumlah
umat Katolik yang relatif kecil dibandingkan dengan jumlah umat non-Katolik.
Kebersamaan hidup dalam perkawinan tidak hanya menuntut kesediaan untuk
saling mengerti perasaan, menghargai, menerima dan melayani, melainkan juga
menuntut pertimbangan obyektif rasional, seperti kesamaan agama, cara mendidik
anak, sampai pada kemampuan mengelolah ekonomi rumah tangga. Orang tua
2
diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai kristiani dalam keluarga, khususnya
nilai perkawinan Katolik agar anak mampu mempersiapkan perkawinan secara
Katolik. Pasangan dari keluarga kawin campur beda agama membutuhkan
pendampingan di tengah jalan hidup perkawinan mereka. Masalah kawin campur
beda agama bukan masalah hukum Gereja saja, melainkan juga masalah pastoral.
Gereja lebih mendukung perkawinan seiman tetapi Gereja juga realistis karena
tidak selalu mudah mendapat teman hidup seiman. Hak nikah itu termasuk hak
asasi manusia, maka Gereja juga membuka pintu untuk perkawinan campur beda
agama.
Perkawinan Katolik merupakan sesuatu yang sangat mulia dari Allah.
Perkawinan itu sendiri diartikan sebagai wujud bersatunya dua insan yang berbeda
jenis (laki-laki dan perempuan) menjadi satu daging, yang dilambangkan melalui
upacara pemberkatan perkawinan, di mana pasangan pengantin berjanji di hadapan
Allah. Perbedaan terjadi bilamana di dalam agama Katolik yang akan
melangsungkan pernikahan tersebut (laki-laki dan perempuan) adalah orang yang
berbeda keyakinan yaitu pernikahan yang akan dilakukan antara seorang Katolik
dan non-Katolik. Pernikahan ini akan berpengaruh terhadap penghayatan nilai-
nilai suci yang terkandung dalam perkawinan dan membuat penghayatan terhadap
nilai-nilai perkawinan itu menjadi kabur dan bahkan tidak dihayati sama sekali.
Dalam perkawinan yang diutamakan ialah bagaimana orang mampu menghayati
nilai-nilai mulia yang terdapat dalam perkawinan itu sendiri. Gereja biasanya
hanya memperhatikan pasangan kawin campur sebelum pasangan keluarga kawin
campur itu terbentuk (diberkati perkawinannya). Pasangan beda agama yang akan
melangsungkan perkawinan itu merasa sulit dalam mengurus atau meminta
3
dispensasi atas perkawinan yang akan dilangsungkan. Hal ini mengandaikan
betapa sulitnya menjalani sebuah rumah tangga yang berbeda keyakinan sehingga
dapat menimbulkan banyak permasalahan dalam keluarga pasangan kawin campur
terutama dalam mengurus iman anak mereka. Dalam hal itu Gereja mengharapkan
kesediaan dari pihak Katolik untuk mendidik anak secara Katolik. Dalam pasangan
keluarga kawin campur itu, masalah pendidikan iman anak merupakan
permasalahan yang sering terjadi dalam keluarga beda agama.
Kawin campur perlu dihadapi sebab selain secara mendasar Gereja Katolik
tidak merestui perkawinan semacam itu, tetapi dengan alasan-alasan tertentu
Gereja tetap memberikan dispensasi bagi mereka yang melaksanakan kawin
campur beda agama ini. Perkawinan seperti itu bisa menghalangi keharmonisan
hubungan suami-istri dan mempersulit pendidikan iman bagi anak-anak mereka.
Pernikahan pasangan beda agama sampai saat ini belum banyak yang mencapai
tujuan perkawinan kristiani, kecuali pada keluarga kawin campur yang secara
intensif mendapat pendampingan hidup berkeluarga secara kontinyu.
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan fakta di atas, maka dalam
skripsi ini penulis memberi judul skripsi mengenai PENDAMPINGAN IMAN
KELUARGA KAWIN CAMPUR BEDA AGAMA DALAM MENGHAYATI
HIDUP PERKAWINAN KRISTIANI DI PAROKI SANTO PAULUS, PALU,
SULAWESI TENGAH, MELALUI KATEKESE UMAT MODEL SHARED
CHRISTIAN PRAXIS, sebagai suatu model yang sesuai dalam mengembangkan
penghayatan hidup perkawinan keluarga kawin campur beda agama. Penulis
berharap melalui skripsi ini masing-masing pasangan keluarga kawin campur beda
4
agama semakin menghayati nilai-nilai perkawinan dalam kehidupan mereka
sehari-hari melalui katekese umat model Shared Christian Praxis.
B. Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana pelaksanaan pendampingan iman bagi keluarga kawin campur beda
agama di Paroki Santo Paulus, Palu?
2. Manakah peranan pendampingan iman melalui katekese umat terhadap
perkawinan campur beda agama dalam Gereja?
3. Katekese model apa yang sesuai dalam mengembangkan penghayatan hidup
perkawinan keluarga kawin campur beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pelaksanaan pendampingan iman bagi keluarga kawin campur
beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu.
2. Mengetahui peranan pendampingan iman melalui katekese umat terhadap
perkawinan campur beda agama dalam Gereja.
3. Mengetahui model katekese yang sesuai dengan penghayatan hidup
perkawinan pasangan beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu.
4. Karya tulis ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan
Strata 1 Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama
Katolik, Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma.
5
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Keluarga Pasangan Kawin Campur Beda Agama, supaya lebih
memahami nilai-nilai perkawinan kristiani dengan tujuan untuk meningkatkan
keharmonisan dalam hidup rumah tangga mereka, serta mampu mengantisipasi
akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga itu, seperti
perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, serta mempertahankan pendidikan
iman anak-anak mereka.
2. Bagi Paroki Setempat, supaya mempunyai perhatian yang khusus dan mau
peduli terhadap permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi keluarga
kawin campur beda agama itu sendiri. Dengan maksud supaya paroki setempat
mengambil bagian dalam mengatasi dan menanggulangi maraknya kasus yang
terjadi dalam kehidupan pasangan kawin campur beda agama dan dapat
memberi sumbangan bagi para pendamping katekese serta siapa saja yang
terlibat dalam karya pelayanan umat akan cara pelaksanaan katekese yang
baik.
3. Bagi Penulis, dapat menambah pengetahuan penulis, khususnya dalam
pendampingan iman bagi keluarga kawin campur beda agama berkaitan
dengan permasalahan yang dihadapi dari banyak kasus yang terjadi dalam
perkawinan campur. Penulis juga mempunyai pengalaman dalam membuat
metode katekese yang akan diberikan kepada pasangan beda agama dan paling
tidak ini berguna bagi penulis agar tidak melakukan/menjalani perkawinan
campur tersebut.
6
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode
deskriptif analistis yang memaparkan, menguraikan serta menganalisa keadaan
Paroki Santo Paulus, Palu dalam keterkaitan dengan kehidupan keluarga kawin
campur beda agama. Data yang dibutuhkan diperoleh dengan menyebarkan
quesioner terbuka yang dikirim ke paroki dan disebarkan untuk disi oleh dewan
paroki, ketua-ketua Stasi/Wilayah serta pasangan suami-istri beda agama sebagai
responden. Data-data yang dikumpulkan dianalisa, dibantu dengan studi pustaka
dan akhirnya membuat suatu usulan program.
F. Sistematika Penulisan
Judul dari skripsi ini PENDAMPINGAN IMAN KELUARGA KAWIN
CAMPUR BEDA AGAMA DALAM MENGHAYATI HIDUP
PERKAWINAN KRISTIANI DI PAROKI SANTO PAULUS, PALU,
SULAWESI TENGAH, MELALUI KATEKESE UMAT MODEL SHARED
CHRISTIAN PRAXIS akan diuraikan menjadi 5 (lima) bab sebagai berikut:
Bab I ini merupakan pendahuluan yang memaparkan tentang latar belakang
penulisan, yang merupakan alasan mengapa penulis memilih judul ini. Dalam
rumusan permasalahan penulis mencoba merumuskan beberapa permasalahan
yang dianggap merupakan keprihatinan yang perlu dicari solusinya. Tujuan
penulisan menyebutkan beberapa tujuan dari penulisan skripsi ini. Manfaat
penulisan akan disampaikan beberapa manfaat dari penulisan skripsi, serta metode
penulisan dan sistematika penulisan.
7
Bab II merupakan gambaran umum pelaksanaan pendampingan iman bagi
keluarga kawin campur beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu, Sulawesi
Tengah. Dalam bab ini penulis akan membahas beberapa bagian diantaranya
mengenai gambaran umum Paroki Santo Paulus, Palu, yang meliputi latar
belakang berdirinya Paroki Santo Paulus, Palu, letak geografis dan keadaan sosial
ekonomi pusat paroki, jumlah dan perkembangan keluarga-keluarga serta kegiatan
untuk keluarga-keluarga. Situasi keluarga pasangan kawin campur beda agama
yang mencakup letak dan situasi geografis tempat tinggal keluarga kawin campur
beda agama, kondisi sosial ekonomi keluarga beda agama, serta jumlah
keseluruhan pasangan beda agama. Situasi pendampingan iman bagi keluarga
kawin campur beda agama serta rangkuman permasalahannya.
Bab III mengulas tentang pendampingan iman melalui katekese umat
model Shared Christian Praxis sebagai sarana untuk membantu pasangan kawin
campur beda agama dalam menghayati hidup perkawinan. Dalam bab ini penulis
akan menguraikan beberapa hal mengenai pendampingan iman bagi keluarga yang
meliputi pengertian pendampingan iman, bentuk-bentuk pendampingan iman
dalam keluarga, materi, tujuan dan proses pendampingan iman. Berikutnya
membahas mengenai katekese umat diantaranya pengertian, tujuan, isi, model,
sarana, peserta, pemimpin katekese, dan SCP sebagai salah satu model katekese
umat. Selain itu dalam bab ini juga akan diulas tentang keluarga kawin campur
beda agama dalam gereja yang meliputi perkawinan dalam gereja dan pasangan
kawin campur beda agama dalam gereja, serta menjelaskan tentang pendampingan
iman untuk keluarga kawin campur beda agama dengan katekese umat model
Shared Christian Praxis sebagai salah satu model yang bisa membantu
8
meningkatkan penghayatan hidup perkawinan bagi keluarga kawin campur beda
agama.
Bab IV ini akan membahas usulan program katekese umat model Shared
Christian Praxis sebagai sarana pendampingan bagi pasangan beda agama,
diantaranya latar belakang pemilihan program katekese, alasan pemilihan program,
rumusan tema dan tujuan, petunjuk pelaksanaan program serta contoh persiapan
katekese.
Bab V merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran dari
keseluruhan isi skripsi ini.
9
BAB II
GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN PENDAMPINGAN IMAN
BAGI KELUARGA KAWIN CAMPUR BEDA AGAMA
DI PAROKI SANTO PAULUS, PALU, SULAWESI TENGAH
Paroki Santo Paulus, Palu merupakan bagian dari Keuskupan Manado.
Paroki ini berpusat di Teluk Palu yang melingkupi kota Palu, kabupaten Donggala,
dan sebagian wilayah kabupaten Poso. Kebanyakan umat di Paroki ini berdatangan
dari berbagai etnis, seperti Jawa, Bali, Minahasa, Tionghoa, Toraja dan NTT.
Sedangkan etnis Palu, Sumatera, dan Ambon merupakan kelompok minoritas.
Keluarga-keluarga tersebar di 18 Stasi dan 18 Wilayah rohani.
Penulis dalam bab ini akan memaparkan gambaran umum mengenai situasi
Paroki Santo Paulus, Palu, pelaksanaan kegiatan-kegiatan pendampingan iman
serta jumlah dan perkembangan keluarga-keluarga Paroki Santo Paulus periode
tahun 2007-2008. Sedangkan gambaran umum pasangan kawin campur beda
agama sendiri meliputi situasi pasangan beda agama, jumlah, kegiatan-kegiatan,
harapan-harapan pasangan beda agama. Pasangan beda agama yang dimaksudkan
di sini adalah pasangan yang terdiri dari Katolik dan non-baptis yang tinggal di
pusat Paroki Santo Paulus, Palu, yang tersebar di 18 Wilayah rohani dan 18 Stasi.
Penyebaran quesioner bagi pasangan beda agama untuk 13 Stasi tidak diberikan
karena jarak yang jauh dari pusat paroki dan faktor waktu yang tidak
memungkinkan. Kegiatan yang ada bagi pasangan beda agama di Paroki Santo
Paulus, Palu hanya dilaksanakan sebelum pernikahan, sedangkan kegiatan untuk
sesudah pernikahannya kurang diperhatikan.
10
A. Gambaran Umum Situasi Keluarga-keluarga Paroki St. Paulus, Palu
Keluarga-keluarga di Paroki Santo Paulus, Palu merupakan bagian
terpenting yang perlu diperhatikan oleh Gereja. Keluarga dalam perkembangan
menjalani hidup berkeluarga membutuhkan pendampingan yang kontinyu. Pada
bagian ini penulis akan membahas tentang latar belakang berdirinya Paroki Santo
Paulus, Palu, letak geografis, jumlah dan perkembangan keluarga-keluarga serta
kegiatan-kegiatan yang ada di Paroki Santo Paulus, Palu. Pembahasan mengenai
gambaran Paroki Santo Paulus, Palu diambil berdasarkan hasil pedoman quesioner
terbuka yang dikumpulkan yang diberikan kepada dewan paroki, ketua
Stasi/Wilayah dan pasangan beda agama sendiri periode tahun 2007-2008.
1. Latar Belakang Berdirinya Paroki St. Paulus, Palu
Paroki Santo Paulus, Palu berdiri berawal dari kedatangan seorang
misionaris dari Gorontalo bernama Pastor A.H.G. Bröcher, MSC. Kedatangannya
ke Palu bertujuan untuk berkunjung sekaligus mencari tahu keberadaan umat
Katolik di kota Palu. Dia menemukan ada beberapa umat Katolik yang bertugas di
kota Palu seperti Polisi dan Brimob, sehingga pada tanggal 9 September 1924
pembaptisan pertama di Palu oleh Pastor A.H.G. Bröcher, MSC. Nama orang
Katolik pertama yang dibaptis ialah Yohana. Mulai saat itu umat di Palu dilayani
oleh Pastor dari Paroki Gorontalo. Umat Katolik semakin bertambah dengan
berjalannya waktu. Pada tahun 1957/1958 didirikan sebuah gereja kecil di tengah
kota Palu yang diberi nama gereja Santo Paulus, Palu. Pastor Paroki yang pertama
ialah Pastor Bangkut MSC, kemudian Pastor John Tinggogoi, MSC; Pastor
Merung, MSC; Pastor Mailangke, MSC [Lampiran 4: (4)].
11
Tahun 1986 dicari lokasi untuk bangunan gereja baru oleh Pastor Rarung,
MSC. Perkembangan umat yang semakin banyak berdatangan dari berbagai daerah
di Indonesia sehingga gereja yang sebelumnya tidak memungkinkan untuk jumlah
umat saat itu. Tahun 1988-1996 dibangun gereja baru di pinggiran kota Palu dan
diresmikan pada tahun 1997 dengan nama gereja Santa Maria. Pastor Paroki
selanjutnya ialah Pastor Talibonso, MSC; Pastor Frans Mandagi, MSC; Pastor
Alfred M., MSC; Pastor Melky Toreh, MSC. Pada saat ini Pastor kepala Paroki
ialah Pastor Beny Pangkey, MSC [Lampiran 4: (4)].
2. Letak Geografis dan Keadaan Sosial Ekonomi Pusat Paroki
Paroki Santo Paulus, Palu berpusat di Teluk Palu. Paroki ini melingkupi
kota Palu, kabupaten Donggala, dan sebagian wilayah kabupaten Poso. Perbatasan
Paroki Santo Paulus Palu yaitu sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan
Damsol (Kab. Donggala), jaraknya ± 280 kilo meter dari pusat Paroki. Sebelah
Timur berbatasan dengan kecamatan Lore Tengah (Kab. Poso), jaraknya ± 160
kilo meter. Sebelah Barat berbatasan dengan Stasi Watatu (Kab. Donggala),
jaraknya ± 50 kilo meter. Sebelah Selatan berbatasan dengan Stasi Lalundu (Kab.
Donggala), jaraknya ± 220 kilo meter [Lampiran 4: (4)].
Keluarga-keluarga di Paroki Santo Paulus, Palu mempunyai status
kehidupan sosial ekonomi yang beraneka ragam. Pekerjaan yang ditekuni meliputi
pegawai, pedagang, karyawan, pengusaha, sopir dan petani. 60% umat bermukim
di kota dan 40% bermukim di desa. Umat Paroki Santo Paulus, Palu berdatangan
dari berbagai etnis, seperti Jawa, Bali, Minahasa, Tionghoa, Toraja dan NTT,
sedangkan Sumatera, Ambon dan Palu sendiri minoritas. Latar belakang
12
pendidikan untuk keluarga-keluarga di Paroki Santo Paulus, Palu terdiri dari
pendidikan Sarjana (Perguruan Tinggi) 21%, pendidikan SMA/SMK 32%,
pendidikan SMP 37% dan pendidikan SD 10% [Lampiran 4: (5)].
3. Jumlah dan Perkembangan Kelurga-keluarga
Berdasarkan hasil pendataan dari paroki, keluarga di Paroki Santo Paulus,
Palu tahun 2007 berjumlah ± 814 KK, yang terdiri dari anak-anak, kaum muda dan
orang tua. Pertambahan tahun 2008 menjadi 1058 KK. Keluarga Katolik
bertambah dari 760 KK menjadi 982 KK. Keluarga Beda Gereja bertambah dari 38
KK menjadi 49 KK. Keluarga Beda Agama bertambah dari 16 KK menjadi 27
KK. Sedangkan Pembagian umat Paroki Santo Paulus, Palu menurut etnis, yaitu
Minahasa 264 KK, Jawa 212 KK, Toraja 159 KK, NTT 137 KK, Bali 106 KK,
Tionghoa 74 KK, Palu 53 KK, Sumatra 32 KK, dan Ambon 21 KK. [Lampiran 4:
(4)-(5)].
4. Kegiatan-kegiatan yang ada dalam Paroki Santo Paulus, Palu
Macam-macam kegiatan yang dilaksanakan untuk keluarga-keluarga di
Paroki Santo Paulus, Palu meliputi Katekese, Liturgi dan Kelompok-kelompok
kategorial yang terdiri dari Kaum Bapa Katolik (KBK), Legio Maria, Persekutuan
Doa Kharismatik, Muda-mudi Katolik (Mudika), Putra-Putri Altar (PPA), Bina
Iman Remaja Katolik (BIRKat), dan Bina Iman Anak Katolik (BIAK) [Lampiran
5: (6)-(8)].
13
a. Katekese
Kegiatan katekese ini diadakan langsung di masing-masing stasi/wilayah
rohani dengan waktu yang sudah ditentukan, yaitu seminggu sekali pada masa
Adven, masa prapaskah dan pada bulan Kitab Suci. Ketua stasi/wilayah
mengkoordinir semua kegiatan. Pendamping katekese didatangkan tim khusus dari
paroki untuk mendampingi proses pelaksanaan katekese dan bisa juga diganti oleh
ketua stasi/wilayah yang sudah terlatih untuk mendampingi. Materi katekese
disiapkan dari paroki karena belum ada katekese yang dibuat sendiri oleh wilayah.
Peserta katekese sebagian besar para orang tua dan sisanya mudika dan anak-anak.
Tempat pelaksanaan katekese diadakan di setiap rumah umat secara bergantian
sesuai dengan jadual yang ditentukan oleh masing-masing wilayah/stasi [Lampiran
5: (6)-(7)].
b. Liturgi
Kegiatan di bidang liturgi yang diadakan oleh paroki yaitu koor untuk
perayaan Ekaristi pada hari Minggu biasa dan hari-hari besar lainnya. Petugas koor
sudah ditentukan oleh paroki untuk masing-masing wilayah/stasi secara
bergantian. Persiapan koor diatur oleh setiap wilayah/stasi yang bertugas dengan
waktu yang sudah ditentukan di tiap wilayah/stasi [Lampiran 5: (7)].
c. Kelompok-kelompok Kategorial
Kelompok-kelompok kategorial yang ada di Paroki Santo Paulus, Palu
sangat beraneka ragam yang meliputi Kaum Bapa Katolik (KBK), Legio Maria,
Kharismatik, Mudika, Putra-Putri Altar (PPA), Bina Iman Remaja Katolik
14
(BIRKat), dan Bina Iman Anak Katolik (BIAK) [Lampiran 5: (7)-(8)]. Penjelasan
mengenai kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh masing-masing kelompok
kategorial ialah sebagai berikut:
1) KBK (Kaum Bapa Katolik)
KBK merupakan organisasi Gereja Kaum Bapa Katolik khusus Keuskupan
Manado. Organisasi ini mengikuti pola Gereja Kristen. Kegiatan yang diadakan
oleh KBK dilaksanakan seminggu sekali sesuai dengan waktu yang sudah
ditentukan. Mereka mengadakan doa bersama, sharing pengalaman dan evaluasi
program kerja. Anggota organisasi ini berjumlah ± 20 orang yang selalu aktif.
Pelaksanaan untuk pertemuan KBK bertempat di gereja dan tidak menutup
kemungkinan ada cabang-cabangnya di setiap wilayah [Lampiran 5: (7)].
2) Legio Maria
Kelompok doa Legio Maria ini terdiri dari para ibu dari berbagai wilayah
rohani dalam lingkup Paroki. Mereka mengadakan doa rutin tiap minggu dengan
waktu yang sudah ditentukan bersama. Pelaksanaan untuk pertemuan Legio Maria
ini bertempat di gereja. Kelompok ini Memiliki anggota ± 20 yang aktif [Lampiran
5: (7)].
3) Persekutuan Doa Kharismatik
Kelompok doa kharismatik ini terdiri dari orang tua, keluarga muda dan
mudika yang mau bergabung. Kebanyakan dari mereka adalah para pengusaha.
Anggota persekutuan ini berjumlah ± 30 orang yang aktif. Mereka mengadakan
15
doa bersama, sharing Kitab Suci tiap minggunya dengan waktu yang sudah
disepakati. Mereka mempunyai kegiatan khusus, yaitu doa untuk orang sakit.
Pelaksanaan untuk pertemuan kelompok ini bertempat di gereja, kecuali ada
permintaan khusus dari anggotanya. Mereka mengadakan ziarah ke Lourdes tiap
tahunnya [Lampiran 5: (7)].
4) Mudika (Muda-mudi Katolik)
Mudika memiliki kegiatan rutin doa bersama dan pertemuan yang diadakan
tiap minggu sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan bersama. Jumlah anggota
mudika yang aktif ± 40 orang, mulai dari siswa SMA kelas 1 sampai dengan
mahasiswa dan karyawan. Kegiatannya tidak begitu terkoordinir dengan baik
melihat latar belakang dari tiap anggota yang beraneka ragam. Mereka tampil aktif
ketika mendapat giliran liturgi seperti koor pada Minggu biasa dan hari-hari besar
lainnya [Lampiran 5: (7)-(8)].
5) PPA (Putra-Putri Altar)
Kegiatan PPA tidak rutin tetapi sesuai dengan kebutuhan. Kelompok ini
mempunyai para pendamping khusus dari paroki. Anggota PPA yang aktif
berjumlah ± 30 orang, mulai dari tingkat SD, SMP dan sebagian SMU dengan
syarat sudah menerima komuni pertama [Lampiran 5: (8)].
6) BIRKat (Bina Iman Remaja Katolik)
Kegiatan untuk kelompok BIRKat diadakan rutin tiap minggu dengan
waktu yang sudah ditentukan. Mereka mengadakan doa bersama, katekese,
16
pembinaan. Tempat pelaksanaan untuk pertemuan kelompok ini di gereja. Jumlah
anggota kelompok yang aktif ± 20 orang mulai dari tingkat SD kelas V sampai
SMP [Lampiran 5: (8)].
7) BIAK (Bina Iman Anak Katolik)
Kegiatan kelompok BIAK diadakan setiap hari Minggu di gereja setelah
selesai perayaan ekaristi. Jumlah anggotanya ± 60 orang mulai dari anak usia
Taman Kanak-kanak hingga SD kelas IV. BIAK memiliki pendamping khusus dari
paroki dan juga ibu-ibu yang dengan sukarela mau bergabung mendampingi anak-
anak tersebut [Lampiran 5: (8)].
B. Situasi Keluarga Pasangan Kawin Campur Beda Agama di Paroki St.
Paulus, Palu
Situasi kehidupan sosial ekonomi pasangan kawin campur beda agama di
Paroki Santo Paulus, Palu beraneka ragam, mulai dari petani, wiraswasta, pegawai
negeri dan ibu rumah tangga. Penulis pada bagian ini akan menjelaskan situasi
keluarga pasangan kawin campur beda agama, yang terdiri dari letak dan situasi
geografis, situasi ekonomi dan sosial budaya, jumlah keseluruhan pasangan beda
agama, serta kegiatan-kegiatan yang diadakan untuk pasangan beda agama.
1. Letak dan Situasi Geografis Tempat Tinggal Keluarga-keluarga Kawin
Campur Beda Agama
Berdasarkan hasil kuisioner terbuka yang dikumpulkan, pasangan beda
agama berada di 3 (tiga) wilayah dalam pusat paroki dan 5 (lima) stasi yang cukup
17
jauh yaitu di sebelah Barat dan Timur dari pusat paroki. Dalam wilayah
melingkupi Wilayah II Santa Bernadetha, Wilayah IV Santo Mikhael dan Wilayah
XV Santo Fransiskus Asisi. Sedangkan di Stasi melingkupi Stasi Palolo, Stasi
Jono Oge, Stasi Kulawi, Stasi Donggala dan Stasi Watatu [Lampiran 6: (10)].
Pasangan beda agama yang bermukim di stasi-stasi mayoritas bekerja
sebagai petani sedangkan di wilayah-wilayah dalam pusat Paroki sebagian besar
bekerja sebagai pegawai, pengusaha dan wiraswasta [Lampiran 5: (6)].
2. Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Beda Agama
Kehidupan sosial ekonomi keluarga-keluarga beda agama di Stasi atau
Wilayah 50% tergolong rendah (bermatapencaharian sebagai petani), 40%
tergolong cukup baik (bermatapencaharian sebagai wiraswasta dan sopir) dan
sisanya 10% tergolong tinggi (bermatapencaharian sebagai pegawai dan
pengusaha) [Lampiran 5: (6)].
Latar belakang pendidikan keluarga-keluarga beda agama di Stasi atau
Wilayah terdiri dari pendidikan Sarjana (Perguruan Tinggi) 24% (pegawai, guru
dan karyawan), pendidikan SMA/SMK 28% (karyawan dan sopir), pendidikan
SMP 34% (buruh dan sopir) dan pendidikan SD 14% (petani) [Lampiran 5: (6)].
3. Jumlah Keseluruhan Pasangan Beda Agama
Pasangan beda agama di stasi/wilayah lingkup Paroki Santo Paulus, Palu
berdasarkan hasil quesioner yaitu 14 pasang. Hasil quesioner terbuka yang
diperoleh, pasangan beda agama diambil di 5 (lima) Stasi terdekat dari pusat
paroki dan 3 (tiga) Wilayah dalam pusat paroki. 5 (lima) Stasi tersebut antara lain
18
yaitu Stasi Palolo, Stasi Jono Oge, Stasi Kulawi, Stasi Donggala dan Stasi Watatu
dan 3 (tiga) Wilayah dalam pusat paroki, yaitu Wilayah II, Wilayah IV dan
Wilayah XV [Lampiran 6: (10)].
C. Situasi Pendampingan Iman bagi Keluarga Kawin Campur Beda Agama
di Paroki St. Paulus, Palu
Paroki Santo Paulus, Palu memiliki pasangan beda agama, baik dalam
wilayah maupun di stasi-stasi dalam lingkup paroki. Kegiatan pendampingan yang
diadakan oleh paroki untuk pasangan beda agama lebih dominan pada kegiatan
sebelum pernikahan sedangkan untuk kegiatan sesudah pernikahannya kurang
diperhatikan. Kegiatan pendampingan sebelum pernikahan meliputi Pembinaan
khusus Katekumen dan Pembinaan Iman sebelum pernikahan.
Penulis pada bagian ini akan menjelaskan situasi pendampingan iman bagi
keluarga pasangan kawin campur beda agama, meliputi macam-macam
pendampingan yang ada bagi pasangan beda agama, permasalahan dalam
pendampingan, metode, sarana, langkah-langkah, materi, proses, peserta, manfaat,
dan harapan pasangan beda agama terhadap pelaksanaan pendampingan.
1. Macam-macam Pendampingan bagi Pasangan Beda Agama
Macam-macam pendampingan yang ada untuk pasangan beda agama di
Stasi/Wilayah terlebih pendampingan sebelum pernikahan. Kegiatan
pendampingan tersebut meliputi Pembinaan khusus Katekumen dan Pembinaan
Iman sebelum pernikahan. Proses pelaksanaan untuk kegiatan tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut:
19
a. Pembinaan Khusus Katekumen
Kegiatan pembinaan khusus bagi katekumen ini dilaksanakan oleh Paroki
dengan waktu yang sudah terjadual. Pelaksanaan pembinaan ini diadakan per
periode dengan 1 (satu) periode terdiri dari 2 (dua) bulan. Pelaksanaannya
diadakan setiap minggunya dengan hari yang sudah ditentukan. Pertemuannya
dalam seminggu diadakan 2 (dua) kali untuk 1 (satu) materi sehingga dalam 1
(satu) periode diadakan 16 kali pertemuan dengan 8 (delapan) materi. Pembina
katekumennya sudah tersedia tim khusus yang dibentuk oleh paroki dengan
memiliki keahlian dalam bidangnya. Para pembina kebanyakan para katekis
paroki. Peserta yang hadir, selain dari pasangan beda agama sebelum pernikahan
(salah satu pasangannya non baptis), ada juga orang dewasa lain (pasangan yang
baru menikah, pemuda/i dan sebagian kecil orang tua) yang ingin belajar mengenai
iman Katolik [Lampiran 6: (11)].
b. Pembinaan Iman sebelum Pernikahan
Kegiatan pembinaan iman sebelum pernikahan ini dilaksanakan oleh
Paroki dengan waktu yang sudah terjadual. Pelaksanaan pembinaan ini diadakan
per periode dengan 1 (satu) periode terdiri dari 2 (dua) bulan. Pelaksanaannya
diadakan setiap minggunya dengan hari yang sudah ditentukan. Pertemuannya
dalam seminggu diadakan 2 (dua) kali untuk 1 (satu) materi sehingga dalam 1
(satu) periode diadakan 16 kali pertemuan dengan 8 (delapan) materi. Para
pendamping pembinaan sebelum pernikahan sudah tersedia tim khusus yang
dibentuk oleh paroki dengan memiliki keahlian khusus dalam bidangnya. Para
pendamping kebanyakan para katekis paroki. Peserta yang hadir terdiri dari
20
pasangan beda agama, pasangan beda gereja juga pasangan Katolik. Peserta
pasangan beda agama tiap periodenya terdapat 2 (dua) sampai 3 (tiga) pasang.
Materi-materi yang diberikan dalam pembinaan sebelum pernikahan ini antara
lain: Hidup Kekal, Sakramen-sakramen Gereja, Keluarga Berencana, Hukum
Gereja, Moral Perkawinan, Seksualitas, Ekonomi Rumah Tangga, Doa dan Kitab
Suci, Moralitas Seksual. Tujuan diadakan pembinaan ini ialah agar setiap
pasangan siap membangun hidup berkeluarga mereka kelak [Lampiran 6: (11)].
2. Metode dalam Pendampingan
Metode-metode yang digunakan pendamping dalam pendampingan ialah
metode sharing dan tanya jawab. Menurut peserta pasangan beda agama, metode
ini sangatlah membantu mereka dalam meningkatkan pengetahuan akan
pangalaman iman mereka [Lampiran 6: (11)]. Pendamping yang sudah
berpengalaman membagikan pengalaman iman kepada peserta. Peserta sendiri
diberi kesempatan untuk bertanya, sehingga suasana dalam pendampingan begitu
akrab antara pendamping dan peserta.
3. Sarana dalam Pendampingan
Sarana-sarana yang digunakan pendamping dalam pelaksanaan
pendampingan iman ini adalah buku panduan yang sudah tersedia dari paroki
khusus untuk pendampingan sebelum pernikahan, Kitab Suci (biasanya disediakan
oleh paroki) dan buku Doa Harian yang disarankan agar setiap pasangan
mempunyai pegangan masing-masing. Dengan sarana tersebut, peserta merasa
dibantu dalam proses pendampingan [Lampiran 6: (11)].
21
4. Langkah-langkah dalam Pendampingan
Pelaksanaan pendampingan iman bagi pasangan beda agama sebelum
pernikahan dengan langkah-langkah sebagai berikut: pertemuan diawali dengan
doa pembukaan yang dipimpin oleh pendamping, setelah itu masuk dalam materi
dan dilanjutkan dengan tanya jawab dari peserta untuk menanggapi materi yang
diberikan. Kemudian dikuatkan dengan membaca Kitab Suci, lalu sharing
pengalaman berkaitan dengan bacaan Kitab Suci. Akhirnya pendamping
memberikan kesimpulan terhadap semua materi yang diberikan dan ditutup dengan
doa penutup [Lampiran 6: (11)].
5. Materi dalam Pendampingan
Materi-materi yang diberikan dalam pendampingan bagi pasangan beda
agama untuk 1 (satu) periode terdiri dari 8 (delapan) materi. Materi untuk
pembinaan khusus katekumen meliputi Saudara Ingin Menjadi Katolik, Mengenal
Dasar Kepercayaan Kita, Mengenal Kitab Suci, Mengenal Gereja, Mengenal Doa
Orang Kristen, Mengenal Perayaan Ekaristi, Penciptaan, dan Siapakah Manusia.
Sedangkan materi-materi untuk pembinaan sebelum pernikahan meliputi Hidup
Kekal, Sakramen-sakramen Gereja, Keluarga Berencana, Hukum Gereja, Moral
Perkawinan, Seksualitas, Ekonomi Rumah Tangga, serta Doa dan Kitab Suci
[Lampiran 6: (11)].
6. Proses dalam Pendampingan
Proses pendampingan berjalan dengan baik. Suasananya cukup hidup, di
mana peserta cukup terlibat aktif karena pendamping sendiri memberikan
22
kesempatan kepada peserta untuk bertanya dan sharing pengalaman di antara
mereka. Peserta sendiri merasa senang karena ingin belajar dan mau mengenal
tentang ajaran Gereja Katolik [Lampiran 6: (11)].
7. Peserta dalam Pendampingan
Peserta dalam pendampingan bagi pasangan beda agama untuk 1 (satu)
tahun terakhir ini berjumlah ± 10 pasang. Peserta cukup aktif dalam proses
pendampingan. Banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan kepada pendamping
sepanjang proses pertemuan berlangsung membuktikan bahwa mereka cukup aktif
dalam kegiatan pendampingan iman tersebut. Masalah yang mereka hadapi ketika
ingin mengikuti kegiatan tersebut sesuai dengan hasil quesioner terbuka yang
penulis peroleh, yaitu masalah waktu, kesempatan dan transportasi. Masalah waktu
di mana masing-masing pasangan memiliki kesibukan yang terkadang bertabrakan
dengan waktu pelaksanaan pendampingan sehingga sulit membagi waktu. Masalah
kesempatan, di mana ada beberapa pasangan yang tidak siap dengan suasana hati
kurang mendukung untuk mengikuti pendampingan. Sedangkan masalah
trasportasi di mana tempat pelaksanaan pendampingan yang jaraknya cukup jauh,
terkadang tidak memungkinkan mereka untuk mengikuti pendampingan [Lampiran
6: (11)-(12)].
8. Manfaat dalam Pendampingan
Manfaat yang peserta temukan dalam pendampingan yaitu mendapat
banyak pengetahuan tentang iman katolik dan menjadi sadar dan selalu aktif dalam
kegiatan Gereja. Sedangkan kesan yang mereka peroleh ialah mereka merasa
23
senang karena banyak pengetahuan yang diperoleh mengenai iman Katolik dan
menambah pengalaman iman. Mereka merasa dirangkul dengan adanya rasa
kebersamaan menjadi satu keluarga [Lampiran 6: (12)].
9. Harapan Pasangan Kawin Campur Beda Agama terhadap Pelaksanaan
Pendampingan Iman
Berdasarkan hasil pengisian quesioner oleh pasangan beda agama,
kebanyakan dari mereka mengharapkan agar kegiatan-kegiatan pendampingan dari
Gereja, seperti pembinaan iman perlu ditingkatkan. Dalam artian bahwa
pembinaan diadakan tidak hanya sebelum pernikahan, melainkan sesudah
pernikahan pembinaan tersebut terus dilanjutkan. Dengan pembinaan yang
berkelanjutan dapat membantu masing-masing pasangan untuk lebih menghayati
hidup perkawinan kristiani dalam membangun hidup berkeluarga mereka sehari-
hari [Lampiran 6: (13)].
D. Rangkuman Permasalahan dalam Keluarga kawin Campur Beda Agama
di Paroki St. Paulus, Palu
Berdasarkan hasil quesioner terbuka dari Paroki, ketua-ketua stasi/wilayah
dan pasangan beda agama sendiri, penulis dapat menyimpulkan berkaitan dengan
permasalahan-permasalahan yang ditemukan dalam proses pendampingan iman
keluarga kawin campur beda agama yang meliputi metode, sarana, langkah-
langkah, dan peserta dalam pendampingan.
24
1. Metode dalam Pendampingan
Metode yang digunakan pendamping dalam proses pendampingan iman
bagi pasangan beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu ialah dengan
menggunakan metode sharing dan tanya jawab [Lampiran 6: (11)]. Melihat
banyak metode yang terdapat dan digunakan dalam katekese, tetapi metode yang
pendamping gunakan di Paroki Santo Paulus, Palu kurang bervariasi. Pendamping
diharapkan kreatif menggunakan metode-metode yang ada, sehingga suasana
katekese lebih hidup.
2. Sarana dalam Pendampingan
Sarana yang digunakan pendamping dalam proses pendampingan iman
bagi pasangan beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu ialah berupa buku
panduan, Kitab Suci dan buku Doa Harian. Pendamping sendiri belum
menggunakan sarana katekese yang lain seperti cerita bergambar, TV, CD, tape.
Akan lebih baik jika pendamping lebih kreatif menggunakan sarana yang ada
sehingga akan lebih membantu peserta untuk terlibat aktif dalam proses
pendampingan tersebut [Lampiran 6: (11)-(12)].
3. Langkah-langkah dalam Pendampingan
Langkah-langkah yang digunakan pendamping dalam pelaksanaan
pendampingan bagi pasangan beda agama sesuai dengan buku panduan yang
sudah tersedia khusus bagi pendamping, antara lain: doa pembukaan, materi, tanya
jawab, membaca Kitab Suci, sharing, kesimpulan, doa penutup [Lampiran 4-6:
(4)-(10)].
25
4. Peserta dalam Pendampingan
Pelaksanaan pendampingan iman di Paroki Santo Paulus, Palu tidak khusus
hanya untuk pasangan beda agama saja, melainkan pasangan sebelum pernikahan
juga ikut terlibat. Masalah yang sering mereka hadapi ketika ingin mengikuti
kegiatan tersebut sesuai dengan hasil quesioner terbuka yang penulis peroleh, yaitu
masalah waktu, kesempatan dan transportasi. Masalah waktu di mana masing-
masing pasangan memiliki kesibukan yang terkadang bertabrakan dengan waktu
pelaksanaan pendampingan sehingga sulit membagi waktu. Masalah kesempatan,
di mana ada beberapa pasangan yang tidak siap dengan suasana hati kurang
mendukung untuk mengikuti pendampingan. Sedangkan masalah trasportasi di
mana tempat pelaksanaan pendampingan yang jaraknya cukup jauh, terkadang
tidak memungkinkan mereka untuk mengikuti pendampingan [Lampiran 6: (12)].
26
BAB III
PENDAMPINGAN IMAN MELALUI KATEKESE UMAT
MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS
BAGI KELUARGA KAWIN CAMPUR BEDA AGAMA
Keluarga kawin campur beda agama merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari karya pastoral Gereja. Keluarga kawin campur beda agama dalam
perjalanan waktu mengalami banyak persoalan hidup sehubungan dengan
membina hidup berkeluarga beda iman. Keluarga kawin campur beda agama perlu
mendapat perhatian yang serius dari Gereja, maka perlu selalu diusahakan
pendampingan bagi setiap pasangan tersebut.
A. Pendampingan Iman Keluarga dalam Gereja
Keluarga kawin campur beda agama dalam perkembangan sesudah
pernikahan menghadapi banyak persoalan. Pendampingan ingin membantu
pasangan beda agama menghadapi persoalan hidup mereka. Pendampingan iman
merupakan salah satu usaha yang ditempuh untuk pendampingan bagi pasangan
beda agama dalam pelayanan bagi perkembangan iman agar masing-masing
pasangan dapat mencapai kedewasaan dalam menghayati hidup perkawinan.
Pembahasan mengenai pendampingan iman dijelaskan pada bagian ini
yang terdiri dari pengertian pendampingan iman, bentuk-bentuk pendampingan
iman, materi pendampingan iman, tujuan pendampingan iman, dan proses
pendampingan iman.
27
1. Pengertian Pendampingan Iman
Milton Mayeroff (1993: 15-16) mengartikan pendampingan sebagai suatu
proses menolong orang lain untuk bertumbuh dan mengaktualisasikan diri seturut
cara situasi khas mereka. Proses tersebut mengarah pada perkembangan hubungan
antara seseorang dengan orang lain. Pola yang diterapkan dalam proses
pendampingan tersebut adalah membantu “sang lain” bertumbuh, baik manusia
atau sesuatu yang lain.
Mangunhardjana (1986: 22) dalam buku Pendampingan Kaum Muda
mengemukakan bahwa pendampingan sebagai suatu usaha untuk membantu kaum
muda dalam menyongsong masa depannya melalui tujuan, materi, bentuk, metode
dan teknik pendampingan tertentu.
Pendampingan merupakan suatu usaha seseorang menemani orang lain
sehingga dapat bertumbuh dan mengaktualisasikan diri untuk menyongsong masa
depannya melalui tujuan, materi, bentuk, metode, dan teknik yang sesuai dengan
subyek yang didampingi. Pendampingan mengandalkan hubungan yang dekat
antara dua subyek, yaitu pendamping dan orang atau kelompok yang didampingi,
keterbukaan, kepercayaan, dan saling menghormati dari masing-masing pihak. Hal
ini dapat membebaskan orang untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan
dirinya dan mampu menyatakan keberadaan dirinya secara penuh dalam
hubungannya dengan sesama dan lingkungan.
Pendampingan iman merupakan usaha seseorang dalam menemani orang
lain atau kelompok agar iman mereka dapat tumbuh dan dapat diwujudnyatakan
dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka menyongsong masa depan mereka
untuk menjadi lebih baik dan dewasa dengan pribadi yang utuh.
28
2. Bentuk-bentuk Pendampingan Iman dalam Keluarga
Mangunhardjana (1986: 47-52) dalam buku Pendampingan Kaum Muda
mengemukakan bahwa bentuk pendampingan merupakan wujud atau sosok dari
usaha pendampingan. Berkat bentuk pendampingan, arah tujuan pendampingan
diciptakan dan usaha pendampingan menjadi konkret. Ada dua jenis bentuk
pendampingan yaitu pendampingan pribadi dan pendampingan
kelompok. Pendampingan iman melalui katekese merupakan bentuk
pendampingan kelompok. Pendampingan kelompok kecil terdiri dari 10-20 orang,
kelompok cukupan terdiri dari 20-40 orang, sedangkan kelompok besar meliputi
40-100 orang, dan pendampingan kelompok massa jumlahnya tidak terbatas
(Mangunhardjana, 1986: 49).
Pendampingan iman keluarga meliputi ME (Marriage Encounter), retret,
rekoleksi, ziarah dan katekese.
a. ME (Marriage Encounter)
ME adalah suatu panggilan untuk menjadi sakramen, artinya: menjadi
tanda cinta kasih suami-istri untuk seumur hidup dan setiap hari. Weekend ME
adalah awal permulaan penyadaran bahwa suami-istri dipanggil menjadi pasangan
sakramental. ME membantu pasangan untuk tetap menyadari siapa kita, siapa saya
melalui sarana dialog. ME dirancang bukan untuk mengubah para peserta, tetapi
mengundang mereka untuk berubah demi relasi dengan pasangan dan relasi
mereka sebagai suami- istri dengan Tuhan (Janssen, 1983: 4).
Relasi suami istri berhubungan erat dengan komunikasi yang baik. Dengan
meningkatkan komunikasi, maka relasi yang belum begitu baik menjadi baik, dan
29
yang sudah baik dapat menjadi lebih baik lagi. Karena kita peduli, maka kita
hendak melakukan sesuatu agar para suami istri dapat berkomunikasi lebih baik
dengan satu, dan secara berdua berelasi lebih baik dengan Tuhan (Janssen, 1983:
4).
b. Retret
Kata “retret” berasal dari bahasa Inggris, retreat yang berarti “tempat
pengasingan diri; mundur”. Kita mengadakan retret berarti kita mundur dari
kesibukan sehari-hari dan pergi ke tempat sunyi untuk mengasingkan diri
(Sumantri, 2002: 11). Kata retret dari bahasa Perancis la retraite yang berarti
pengunduran diri, menyendiri dari keramaian atau menjauhkan diri dari kesibukan
sehari-hari (Mangunhardjana, 1985: 7). Retret berarti mundur dari keheningan
untuk mengetahui kehendak Tuhan agar selanjutnya melangkahkan hidup sesuai
dengan kehendak-Nya (Sumantri, 2002: 11).
Retret mempunyai tujuan yaitu untuk menyadari kehadiran Tuhan dalam
hidup sehari-hari sehingga kehidupan itu dapat dipahami maknanya, yakni makna
hidup yang umumnya sulit ditemukan dalam kesibukan hidup sehari-hari
(Sumantri, 2002: 12).
Hal-hal yang diolah dalam retret ialah semua yang menyangkut diri, hidup
dan hubungan dengan orang lain serta tugas-tugas kita dalam masyarakat. Dalam
retret pula, kita meninjau karya Allah, cara Allah berkarya serta bimbingan-Nya
dan tanggapan kita terhadap karya Allah tersebut selama perjalanan hidup,
sehingga berkat dari retret itu, dengan bantuan kasih Allah, kita mengadakan
perubahan hidup (Mangunhardjana, 1985: 11-13).
30
c. Rekoleksi
Kata “rekoleksi” dalam bahasa Inggris recollect, yang berarti “kembali”.
Waktu pelaksanaan rekoleksi biasanya lebih singkat, dari 2-3 jam sampai sehari
semalam misalnya pada week-end (Tangdilintin, 1984: 4). Bahan rekoleksi diolah
dan diambil dari pengalaman hidup yang sudah dijalani sebelumnya atau
pengalaman rekoleksi terakhir sebagai usaha untuk memperkembangkan
kehidupan iman atau rohani. Mengingat waktu yang tersedia untuk rekoleksi
sangat singkat, maka dalam rekoleksi bahannya dibatasi, sisanya dilakukan dengan
menentukan tema sehingga perhatian peserta dipusatkan dan diarahkan pada satu
hal saja, yaitu salah satu unsur atau segi karya Allah. Jumlah peserta rekoleksi
idealnya 40-50 orang peserta (Mangunhardjana, 1985: 18-20, 23). Rekoleksi dapat
dilaksanakan dalam jangka waktu beberapa jam sampai satu hari penuh. Tempat
rekoleksi dapat berupa gedung Gereja, gedung paroki, aula sekolah, ruang kelas,
rumah biasa atau bisa juga di alam terbuka, baik di lapangan atau sekedar tempat
dianggap mencukupi (Mangunhardjana, 1985: 33-34).
d. Ziarah
Ziarah adalah suatu kegiatan kunjungan ke tempat tertentu yang dianggap
suci atau keramat oleh umat Katolik yakni gua Maria. Dalam kegiatan ziarah
biasanya diiringi dengan jalan salib atau rosario apabila dilaksanakan dalam bulan
Maria (Tangdilintin, 1984: 88-89). Pendampingan iman bentuk ini juga sangat
cocok bagi keluarga kawin campur beda agama, di mana melalui ziarah keluarga
bersama-sama semakin dimampukan untuk lebih dekat dengan Bunda Maria,
sehingga bisa mengungkapkan semua keluh kesah dan permasalahan-
31
permasalahan yang sedang dihadapi dan merasa dikuatkan melalui doa-doa kepada
Bunda Maria. Doa menjadi salah satu kunci utama bagi masing-masing pasangan,
khususnya yang Katolik sehingga mampu bersikap bijak dalam menjalani hidup
berkeluarga beda agama, baik mengenai penghayatan iman hidup perkawinan
maupun pendidikan iman anak.
e. Katekese
Katekese merupakan usaha-usaha dari pihak Gereja untuk menolong umat
agar semakin memahami, menghayati serta mewujudkan iman mereka dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam katekese terdapat beberapa unsur yaitu pewartaan,
pengajaran, pendidikan, pendalaman, pembinaan, pengukuhan serta pendewasaan
(Telaumbanua, 1999: 5).
Katekese merupakan pewartaan tentang Yesus Kristus yang hidup, maka
pribadi Kristuslah yang menjadi pusat dan tujuan dalam katekese. Katekse
merupakan komunikasi iman yang bertujuan membantu umat untuk saling bertukar
pengalaman iman sehingga mereka dapat saling menolong untuk mencapai
kedewasaan imannya baik secara pribadi maupun kelompok sehingga semakin
mampu mempertanggungjawabkan imannya dengan bersaksi di tengah
masyarakat.
3. Materi Pendampingan Iman
Materi pendampingan iman yang dimaksud dalam pemaparan ini adalah
lebih menunjuk pada isi dan apa yang diolah bersama dalam proses pendampingan
iman. Mangunhardjana (1986:35-36) dalam buku Pendampingan Kaum Muda
32
mengemukakan bahwa materi atau bahan pendampingan disebut juga sebagai isi
pendampingan. Materi pendampingan meliputi penyampaian segala ilmu
pengetahuan; kegiatan dan latihan untuk mendapatkan kecakapan; bantuan dan
usaha untuk menanamkan sikap perbuatan serta perilaku hidup.
4. Tujuan Pendampingan Iman
Tujuan pendampingan iman menurut A.M. Mangunhardjana (1986: 27-28)
meliputi tiga unsur, yaitu: membantu peserta mencapai pertumbuhan yang utuh
dan seimbang (integral) lahir-batin, pribadi-bersama, mandiri-kerjasama, dunia-
akhirat yang nampak dalam segala daya dan segi kehidupannya meliputi budi, hati,
kehendak, sikap, kecakapan, perbuatan, perilaku dan hidup; membantu peserta
dalam mengembangkan dan mengolah lebih lanjut pengetahuan yang telah
diterima; serta membantu peserta agar terbuka dengan lingkungan yang lebih luas
dan turut berperan dalam masyarakat.
Melalui ketiga unsur di atas, peserta melewati proses pengolahan diri yang
terintegrasi dalam tiga bidang, yaitu kognitif, konatif dan afektif. Bidang kognitif
meliputi mengetahui, mengerti, memahami dan menilai. Bidang konatif meliputi
kegiatan untuk menginginkan, menghendaki, berkemauan dan bermotivasi. Bidang
afektif meliputi kegiatan untuk merasakan, memasukkan dalam hati, dan
merasukkan dalam batin.
5. Proses Pendampingan Iman
Pendampingan iman merupakan salah satu pelayanan bagi perkembangan
iman kristiani, khususnya di sini bagi pasangan kawin campur beda agama.
33
Mangunhardjana (1986: 57) dalam buku Pendampingan Kaum Muda
mengemukakan bahwa proses pendampingan dilakukan dengan:
1. memperkenalkan pengetahuan, kecakapan, sikap, perbuatan dan perilaku baru yang lebih segar dan produktif.
2. mempertahankan dan memperkuat pengetahuan, kecakapan, sikap, perbuatan, dan perilaku lama yang sudah baik,
3. meniadakan pengetahuan, kecakapan, sikap, perbuatan dan perilaku lama yang tidak sesuai dan tidak produktif.
Maksud dari ketiga proses pendampingan di atas secara berkesinambungan
ialah bahwa para peserta dibantu agar bersedia dan siap membantu untuk meninjau
kembali pengetahuan, kecakapan, sikap, perbuatan, perilaku hidup mereka dan
mengusahakan perubahan yang perlu. Mereka dibantu supaya mengenal kekuatan-
kekuatan yang mendukung terjadinya perubahan dan dapat mengambil langkah
yang sesuai sehingga dapat merumuskan perubahan-perubahan yang diinginkan di
bidang pengetahuan, kecakapan, sikap, perbuatan dan perilaku hidup. Peserta
merasa terbantu agar dapat mempraktekkan pengetahuan, kecakapan, sikap,
perbuatan, dan perilaku baru selama pendampingan dan dalam kehidupan sehari-
hari sehingga dapat meresapi dan mengintegrasikan pengetahuan, kecakapan,
sikap, perbuatan dan perilaku baru dalam keseluruhan pengembangan dirim
(Mangunhardjana, 1986: 56-57).
B. Pendampingan Iman dengan Katekese Umat Model Shared Christian
Praxis
Katekese sebagai salah satu usaha pelayanan sabda tidak akan pernah
terlepas dari keseluruhan karya Pastoral Gereja. Salah satu aspek Pastoral Gereja
adalah pelayanan kepada pengembangan iman. Katekese menekankan aspek
34
komunikasi iman dan tukar pengalaman antar masing-masing pasangan dengan
menggunakan bentuk dialog. Sebagai usaha pengembangan iman serta
membangun Gereja, katekese mengandaikan kelompok orang beriman, umat
Allah, yang berhimpun dalam iman akan Yesus Kristus untuk saling
mengkomunikasikan iman, saling meneguhkan dan saling mengarahkan. Oleh
karena itu, bagian ini akan menguraikan pengertian, tujuan, isi katekese, model,
sarana, peserta, pemimpin, serta kekhasan dari katekese.
Shared Christian Praxis (SCP) merupakan salah satu bentuk alternatif dari
katekese model pengalaman hidup. Groome (1997: 1) menyatakan bahwa katekese
model SCP berawal dari suatu kebutuhan untuk menemukan suatu pendekatan
dalam berkatekese yang handal dan efektif, artinya suatu model yang sungguh
mempunyai dasar teologis yang mendalam yang mampu memanfaatkan
perkembangan ilmu pendidikan yang progresif dan mempunyai keprihatinan
pastoral yang jelas.
Model SCP menekankan segi proses katekese yang bersifat dialogis
partisipatif yang bertujuan mendorong peserta mengkomunikasikan antara tradisi
dan visi hidup mereka dengan tradisi dan visi hidup kristiani, sehingga mampu
mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan baik secara pribadi maupun
bersama demi makin terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah dalam hidup manusia.
1. Pengertian Katekese Umat
Istilah katekese berasal dari kata Yunani: katechein, bentukan dari kata kat
dan echo. Kat yang berarti pergi atau meluas, sedangkan kata echo yang berarti
menggemakan atau menyuarakan ke luar. Jadi, katechein berarti menggemakan
35
atau menyuarakan ke luar. Kata ini mengandung dua pengertian. Pertama,
katechein berarti pewartaan yang sedang disampaikan atau diwartakan. Kedua,
katechein berarti ajaran dari para pemimpin (Papo, 1987: 11).
Paus Yohanes Paulus II dalam Catechesi Tradendae menegaskan bahwa
“Katekese adalah pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang dewasa dalam
iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen yang pada
umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar
pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen” (CT, art. 18).
Maksud penegasan di atas mau menjelaskan bahwa katekese merupakan
usaha pewartaan yang dilakukan oleh pihak Gereja untuk menolong dan
memperdalam iman umat agar semakin memahami, menghayati dan mewujudkan
imannya dalam kehidupan nyata. Gereja bertanggung jawab membantu dalam
memelihara iman umat agar semakin berkembang. Melalui katekese, Gereja
menyampaikan ajaran-ajarannya sehingga nilai-nilai ajaran kristiani semakin
mengakar dalam diri umat dan dapat dihayati dalam hidup sehari-hari. Melalui
pewartaan sabda, iman umat diharapkan semakin berkembang dan matang.
Katekese sebagai pewarta sabda kabar gembira dan keselamatan Allah yang
dibawa oleh Yesus Kristus. Katekese diberikan kepada semua umat beriman
kristiani untuk semakin beriman pada Kristus dan semakin mampu untuk
mengungkapkan imannya dalam tindakan dan sikap hidup nyata.
Katekese umat dimengerti sebagai “komunikasi iman atau tukar
pengalaman iman agar anggota jemaat atau kelompok, melalui kesaksian para
peserta yang saling membantu sedemikian rupa sehingga iman masing-masing
diteguhkan dan dihayati secara semakin sempurna” (Huber, 1981: 15). Yang
36
dikomunukasikan adalah pengalaman iman yang dihayati dalam hidup sehari-hari
sehingga memungkinkan iman para peserta dikuatkan dan diteguhkan. Komunikasi
yang ditekankan di sini terlebih komunikasi antarpeserta sendiri. Dengan
mengatakan “Katekese Umat mengandaikan ada perencanaan”, rumusan ini
membatasi pengertian katekese umat. Katekese umat merupakan salah satu bidang
pembinaan iman secara teratur dan terencana (Huber, 1981: 15-18).
Katekese umat adalah usaha kelompok secara terencana untuk saling
menolong mengartikan hidup nyata dalam terang Yesus Kristus sebagaimana telah
dihayati dalam tradisi Gereja, agar kelompok makin mampu mengungkapkan dan
mewujudkan imannya dalam hidup nyata (Siauwarjaya, 1987: 38-39). Katekese
merupakan pewartaan diri Kristus, artinya katekese di sini bertugas menghadirkan
sabda Allah agar manusia bertemu secara pribadi dengan Kristus. Katekese
haruslah bersifat kristosentris, dalam artian bahwa Yesus Kristus dalam kepenuhan
pribadi-Nya. Katekese mencari kemungkinan agar jawaban manusia terhadap
tawaran Allah dapat terjawab. Katekese umat dimengerti sebagai komunikasi iman
atau tukar pengalaman iman antaranggota jemaat, yang artinya bahwa katekese
dari umat dan untuk umat, katekese yang menjemaat, yang berdasarkan situasi
konkret menurut pola hidup Yesus (Telaumbanua, 1999: 9-11).
2. Tujuan Katekese Umat
Kegiatan katekese mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Sesuai dengan
pengertian yang terdapat dalam Catechesi Tradendae, katekese diselenggarakan
untuk menjaga umat beriman supaya memperoleh kesempatan memelihara,
37
mematangkan dan mendewasakan iman. Oleh karena itu katekese bertujuan untuk
membuat iman umat menjadi hidup, sadar dan aktif (CT, art. 14).
Catechesi Tradendae artikel 20 menguraikan bahwa tujuan khas katekese
adalah “mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh, dari hari ke hari
memekarkan menuju kepenuhannya serta makin memantapkan perihidup Kristen
umat beriman, muda maupun tua” (CT, art. 20). Maksud dari tujuan khas katekese
tersebut mau mengungkapkan bahwa pengertian tentang misteri Yesus Kristus
yang diterangi oleh cahaya sabda Allah sebagai seluruh pribadi umat yang
imannya baru tumbuh dan semakin berkembang karena diresapi oleh sabda
tersebut. Maka katekese mempunyai arah yang hendak dicapai yaitu
mengembangkan iman umat yang baru mulai tumbuh agar umat sampai pada
kepenuhannya. Dengan diadakannya katekese diharapkan iman masing-masing
peserta semakin berkembang berkat Firman Allah yang diresapi. Katekese
membantu dan mengajak peserta dalam menghayati imannya.
Katekese umat merupakan komunikasi iman antar peserta. Dalam PKKI II,
Huber (1981: 16) menegaskan kembali tujuan komunikasi iman, yaitu sebagai
berikut:
a. supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari,
b. dan kita bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Mnya dalam kenyataan hidp sehari-hari,
c. dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih dan makin dikukuhkan hidup kristiani kita,
d. pula kita makin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta,
e. sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup
kita di tengah masyarakat.
38
Kelima rumusan di atas mau menyoroti tujuan katekese umat dari sudut
yang berbeda-beda. Ketiga sorotan pertama lebih-lebih memperhatikan peserta
sendiri, sedangkan yang lainnya menegaskan tujuan sebagai Gereja dan semuanya
berpuncak pada hidup kita di tengah masyarakat. Katekese yang dilaksanakan
mempunyai arah dan tujuan yang akan dicapai yaitu membantu umat
memperkembangkan imannya secara utuh dan dewasa, sehingga mendorong umat
untuk mau dan mampu terlibat dalam dinamika hidup menggereja dengan segala
kegembiraan dan keprihatinannya. Katekese yang dilaksanakan mempunyai arah
dan tujuan yang akan dicapai yaitu dengan membantu umat/peserta katekese demi
memperkembangkan imannya secara utuh dan dewasa, sehingga mendorong umat
untuk mau dan mampu terlibat dalam dinamika hidup menggereja.
3. Isi Katekese Umat
Isi katekese lebih menunjukkan pada materi dan apa yang diolah bersama
dalam proses katekese, dapat berupa pengalaman konkret jemaat. Dalam Catechesi
Tradendae artikel 26 diungkapkan bahwa katekese merupakan suatu momen atau
aspek pewartaan Injil. Isi katekese yaitu pewartaan injil sebagai kabar gembira
keselamatan Allah yang telah didengar dan yang telah diterima dengan tulus hati.
Kabar gembira perlu ditanggapi dengan keterbukaan iman, perlu direfleksikan
kembali setiap saat, didalami sesuai dengan pertumbuhan hidup beriman yang
telah diterima dan didengar yang kemudian diharapkan dapat diwujudkan oleh
jemaat dalam kehidupan konkret.
Isi katekese ialah pusat pewartaan yang disampaikan kepada peserta dalam
kegiatan berkatekese. Isi katekese dalam garis besarnya meliputi pengalaman
39
hidup nyata manusia, sejarah keselamatan baik dalam Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru serta ajaran pokok pewartaan kristen dan sakramen-sakramen
(Papo, 1987: 53). Pada hakekatnya yang menjadi isi pokok katekese adalah pribadi
Yesus Kristus yang menderita sengsara, wafat dan bangkit dengan mulia demi
umat yang dikasihi-Nya (CT, art. 5).
Huber (1981: 10) mengemukakan isi katekese umat yaitu:
Dalam katekese itu kita bersaksi tentang iman kita akan Yesus Kristus, pengantara Allah yang bersabda kepada kita dan pengantara kita menanggapi sabda Allah. Yesus Kristus tampil sebagai pola hidup kita dalam Kitab Suci, khususnya dalam Injil, yang mendasari penghayatan iman Gereja di sepanjang tradisi-Nya.
Dalam katekese, Yesus Kristus menjadi pola dan penentu katekese umat.
Melalui Kristus umat berjumpa dengan Allah dan melalui Kristus pula Allah
mendatangi kita. Katekese umat berpedoman dan dinilai oleh Kitab Suci tetapi hal
ini tidak berarti bahwa Kitab Suci menjadi bahan yang satu-satunya untuk katekese
umat (Huber, 1981: 19).
4. Model Katekese Umat
Model pendalaman iman yang ditawarkan dalam buku panduan APP dan
Adven yang diterbitkan dalam tingkat keuskupan atau paroki di Indonesia, terdapat
bermacam-macam contoh pendalaman iman yang ditawarkan masih bersifat
liturgis namun dasa warsa terakhir ini pendalaman iman tidak lagi menekankan
sifat liturgisnya, tetapi lebih-lebih bersifat kateketis. Langkah-langkah yang terjadi
dalam pendalaman iman pada umumnya mengandung tiga unsur dasar yakni:
40
pengalaman hidup konkret, teks Kitab Suci atau Tradisi dan penerapan konkret
pada hidup peserta katekese (Sumarno Ds, 2006: 11).
Pada umumnya katekese memiliki tiga model, yaitu model pengalaman
hidup, model biblis, dan model campuran.
a. Model Pengalaman Hidup
Model ini lebih bertolak pada pengalaman hidup konkrit sehari-hari (Sumarno
Ds, 2006: 11-12). Model ini terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
1) Introduksi
Introduksi berisikan lagu dan doa pembukaan yang sesuai dengan tema
yang diambil dalam katekese dan menghubungkan dengan tema-tema yang sudah
dibahas dalam kesempatan katekese sebelumnya.
2) Penyajian Suatu Pengalaman Hidup
Pendamping mengajak peserta untuk mengungkapkan pengalamannya
yang diambil dari suatu peristiwa konkrit sesuai dengan tema dan situasi peserta.
Pengalaman ini bisa diambil dari surat kabar atau cerita yang relevan bagi peserta.
3) Pendalaman Pengalaman Hidup
Peserta diajak untuk mengaktualisasikan pengalaman itu dalam situasi
hidup mereka yang nyata dalam kelompok kecil dengan pertanyaan-pertanyaan
pendalaman yang membawa peserta untuk mengambil perhatian dalam sikap hidup
moral konkrit sesuai dengan tema untuk hidup sehari-hari.
41
4) Rangkuman Pendalaman Pengalaman Hidup
Gambaran umum dari sikap-sikap yang dapat diambil oleh peserta
berhubung dengan tema dalam penyajian pengalaman hidup dan dengan teks Kitab
suci atau Tradisi yang hendak dipakai dalam langkah berikutnya.
5) Pembacaan Kitab Suci atau Tradisi Gereja
Peserta hendaknya mempunyai teks (fotocopy) beserta daftar pertanyaan
pendalaman di sekitar tema dalam hal-hal yang mengesan dan pesan inti dari teks
tersebut. Teks dibaca oleh seorang peserta, kemudian hening sejenak untuk
merefleksikan teks tersebut dengan bantuan pertanyaan-pertanyaan pendalaman.
6) Pendalaman Teks Kitab Suci dan Tradisi
Peserta mencoba menjawab bersama pertanyaan-pertanyaan yang telah
direnungkan secara pribadi setelah pembacaan teks. Akan lebih baik apabila teks
dibaca sekali lagi oleh pendamping. Di sini pendamping katekese membantu
peserta untuk mencari dan mengungkapkan pesan inti menurut mereka sendiri
sehubungan dengan tema dan menciptakan suasana terbuka sehingga peserta tidak
takut mengungkapkan tafsiran mereka sehubungan dengan tema yang dapat dipetik
dan digali dari pembacaan teks Kitab Suci.
7) Rangkuman Pendalaman Teks Kitab Suci atau Tradisi
Pendamping mencoba menghubungkan pesan inti yang diungkapkan
peserta dengan pesan inti yang telah disiapkannya berdasarkan sumber-sumber
yang sudah diolahnya yang sehubungan dengan tema. Pendamping memberi input
42
(masukan) dari apa yang sudah dipersiapkannya dengan bantuan buku-buku tafsir
atau komentar atau buku-buku yang bersangkutan dengan teks. Tafsiran katekis
diharapkan membatasi pada pesan pokok yang dapat dimengerti oleh peserta
sehubungan dengan tema dan tujuan pertemuan.
8) Penerapan dalam Hidup Konkrit
Peserta diajak untuk mengambil beberapa kesimpulan praktis sekitar tema
untuk hidup sehari-hari dalam situasi nyata mereka dalam masyarakat, dalam
Gereja, lingkungan, wilayah, paroki, keluarga, dsb. Saat hening sejenak peserta
diajak merenungkan serta mengumpulkan buah-buah pribadi dari katekese ini
untuk hidup sehari-hari, yang dapat berupa niat atau tindakan apa yang akan
diambil untuk selanjutnya.
9) Penutup
Pendamping mengajak peserta untuk mengungkapkan doa-doa spontan
hasil buah katekese dan bisa pula doa-doa umat lainnya secara bebas. Bila perlu
pendamping mengakhiri katekese dengan doa penutup yang merangkum
keseluruhan tema dan tujuan katekese. Kemudian diakhiri dengan satu doa
bersama dan atau nyanyian yang sesuai dengan tema.
b. Model Biblis
Model ini lebih bertolak pada pengalaman Kitab Suci atau Tradisi. Model
ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut (Sumarno Ds, 2006: 12-13):
43
1) Doa Pembukaan dan atau Nyanyian Pembukaan
Pendamping hendaknya membuat atau memilih doa atau nyanyian
pembukaan sesuai dengan tema Kitab Suci atau Tradisi yang ditentukan untuk
pertemuan katekese pada saat ini serta mencoba menghubungkan tema katekese ini
dengan tema-tema katekese sebelumnya, apabila mungkin.
2) Pembacaan Kitab Suci atau Tradisi
Pembacaan Kitab Suci dibaca oleh salah seorang peserta langsung dari
Kitab Suci atau Tradisi tersebut, bila ada. Bila mungkin, teks tersebut juga
diperbanyak untuk para peserta. Pembacaan diikuti saat hening untuk
merefleksikan pertanyaan-pertanyaan pendalaman, misalnya: kata atau kalimat
mana yang penting (kunci) menurut peserta? Apakah pesan inti dari teks tersebut?
Apakah arti pesan tersebut bagi hidup konkrit peserta?
3) Pendalaman Teks Kitab Suci atau Tradisi
Pendamping mengajak peserta untuk mengungkapkan pesan inti teks Kitab
Suci yang diawali dalam kelompok kecil untuk mengungkapkan hasil renungan
pribadi dari jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang disediakan.
Pendamping membuat rangkuman dari jawaban peserta, terutama pesan inti teks
yang berhubungan dengan tema. Pendamping mencoba menghubungkan
rangkuman jawaban peserta dengan hasil persiapan pribadi, yang diolah
berdasarkan renungan maupun pembacaan lebih mendalam dari sumber-sumber
lain, terutama yang berhubungan dengan tema, sehingga peserta semakin
diperkaya dengan informasi atau masukan pengetahuan iman. Pendamping di sini
44
lebih menjadi salah satu nara sumber yang mampu menampilkan isi atau pesan inti
kitab suci yang relevan dan mudah ditangkap oleh peserta.
4) Pendalaman Pengalaman hidup
Peserta diajak untuk menghubungkan pesan inti teks kitab suci atau tradisi
dengan pengalaman hidup yang sesuai dengan tema (entah masa lalu atau masa
sekarang) dalam hidup bermasyarakat, menggereja, berkeluarga, bekerja, belajar,
dll.
5) Penerapan dalam Hidup Peserta
Pendamping mengajak peserta untuk merefleksikan dan mengambil
kesimpulan apa yang sebaiknya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata dalam
situasi dan kondisi setempat. Semangat, jiwa serta kekuatan mana bisa diambil dari
pesan inti teks tersebut untuk dapat diwujudkan dalam praktek hidup sehari-hari
dalam menghadapi permasalahan atau keprihatinan, baik berupa peristiwa atau
kejadian maupun situasi hidup pribadi, berkeluarga, bermasyarakat dan
menggereja.
6) Doa Penutup
Pendamping dapat mengajak peserta merenungkan dalam hati tentang
kesulitan-kesulitan yang ada apabila hendak mewujudkan pesan inti; sarana dan
cara-cara mana yang bisa ditempuh untuk mengatasi kesulitan tersebut; hal-hal
mana yang menunjang pesan teks tersebut dalam hidup pribadi atau hidup bersama
dalam masyarakat atau lingkungan Gereja, dsb. Kemudian dibuka kesempatan
45
untuk doa-doa spontan dari peserta. Akhirnya pendamping masih bisa menutup
katekese dengan Doa Penutup yang merangkum keseluruhan proses dengan tema
dan tujuan serta Doa bersama dan atau nyanyian bersama yang sesuai dengan tema
Kitab Suci atau Tradisi yang diambil.
c. Model Campuran (Pengalaman Hidup dan Biblis)
Model ini merupakan gabungan dari model biblis dan model pengalaman
hidup. Langkah-langkahnya sebagai berikut (Sumarno Ds, 2006: 12-13):
1) Doa Pembukaan
Pengungkapan pokok-pokok tema dari katekese dan menghubungkannya
dengan tema-tema katekese-katekese sebelumnya, bilamana ada. Lagu pembukaan
hendaknya disesuaikan dengan tema dan tujuan yang diharapkan dalam katekese
ini.
2) Pembacaan Teks Kitab Suci atau Tradisi
Peserta membaca secara langsung Kitab Suci atau buku dokumen yang
memuat Tradisi. Bila dirasa perlu, pendamping bisa mengulangi pembacaan
tersebut secara pelan-pelan. Akan lebih baik setelah pembacaan ini, peserta diberi
kesempatan saat hening sejenak untuk merenungkan bacaan tersebut.
3) Penyajian Pengalaman Hidup
Pendamping mengajak peserta untuk mengungkapkan pengalamannya atau
pemandu menyiapkan berita konkrit melalui sarana media komunikasi yang
46
dipersiapkan oleh pendamping, bila mungkin dengan sarana audio-visual, atau
dengan sarana-sarana lain yang dapat membangkitkan semangat peserta untuk
menanggapinya.
4) Pendalaman Pengalaman Hidup dan Teks Biblis atau Tradisi
Peserta diajak untuk merefleksikan dan menganalisa pesan dari
pengalaman hidup dan dikonfrontasikan dengan pesan dari teks Kitab Suci atau
tradisi yang dibacakan.
5) Penerapan Meditatif
Pendamping membuat pertanyaan-pertanyaan refleksif yang
menghubungkan pengalaman-pengalaman konkret dalam hidup dan situasi peserta,
refleksi-pemikiran yang muncul selama pendalaman pengalaman hidup dalam
konfrontasi dengan teks Kitab Suci atau Tradisi. Peserta dibantu untuk menarik
pelajaran-pelajaran nyata dalam hidup pribadi dalam keluarga, dalam hidup
memasyarakat dan menggereja.
6) Evaluasi Singkat
Evaluasi berupa jalannya katekese, isi, tema dan langkah-langakh katekese
serta proses komunikasi iman yang berlangsung, bilamana memungkinkan.
7) Doa Penutup
Penutup diawali saat hening dan dilanjutkan dengan doa-doa umat spontan
dari peserta. Bila perlu pendamping masih mengakhiri dengan doa penutup yang
47
merangkum keseluruhan isi yang telah tercapai dalam katekese ini. Nyanyian
penutup bisa dipilih untuk mengakhiri katekese ini dengan lagu yang sesuai
dengan tema.
5. Sarana Katekese Umat
Sarana dalam katekese adalah segala sesuatu yang dapat dipakai demi
menunjang lancarnya proses dan tercapainya tujuan katekese. Sarana sifatnya
menunjang maka sarana perlu menarik minat dan perhatian dari peserta. Sarana
katekese antara lain berupa kutipan berita dari surat kabar, bahasa foto dan
sebagainya. Mewartakan Injil merupakan rahmat panggilan yang khas bagi gereja.
Media televisi, radio, media cetak, piringan hitam, rekaman tape dan seluruh
deretan media audio-visual menjadi sarana yang membantu gereja dalam
berkatekese (CT, art. 45). Katekese sendiri mengalami perkembangan sesuai
dengan perubahan jaman, maka perkembangan teknologi di bidang media perlu
dimanfaatkan dalam pewartaan kabar gembira sebab gereja sendiri terbuka bagi
perkembangan jaman.
6. Peserta Katekese Umat
Rumusan PKKI II dalam katekese umat yang diungkapkan oleh Huber
(1981: 10), mengemukakan isi katekese umat sebagai berikut:
Yang berkatekese adalah umat. Artinya semua orang beriman, baik secara perorangan maupun secara kelompok, yang secara pribadi memilih Kristus dan secara bebas berkumpul untuk lebih memahami Kristus. Jadi singkatnya seluruh umat baik umat dalam kelompok-kelompok basis maupun umat di sekolah atau di perguruan tinggi. Penekanan pada seluruh umat ini justru merupakan salah satu unsur yang memberi arah pada
48
katekese. Pada dasarnya penekanan aspek umat pada katekese ini sesuai dengan penekanan aspek umat pada gereja itu sendiri.
Katekese ditujukan untuk semua orang beriman yang terpanggil untuk
mendalami iman secara terus-menerus. Katekese merupakan komunikasi iman dari
peserta sebagai sesama dalam iman yang sederajat dan saling bersaksi tentang
iman mereka. Peserta berdialog dalam suasana terbuka dengan sikap saling
menghargai dan mendengarkan.
Katekese merupakan komunikasi iman dari peserta sebagai sesama dalam
iman, yang saling bersaksi tentang iman mereka. Dapat juga dikatakan katekese
umat adalah komunikasi iman umat, dari umat, oleh umat dan untuk umat.
Maksudnya bahwa dalam katekese umat semua peserta ikut aktif berpikir, aktif
berbicara dan aktif mengambil keputusan. Umat menjadi subyek dalam
berkatekese. Katekese umat menjadikan peserta kreatif, kritis, dan otonom serta
menumbuhkan rasa percaya diri (Lalu, 2007: 103).
Peserta adalah pelaksana karya pelayanan katekese. Pelaksana karya
katekese adalah umat beriman sebagai keseluruhan baik Gereja yang menyeluruh
maupun Gereja-gereja setempat, baik para pemuka maupun bukan pemuka, setiap
orang beriman, maka karya katekese tidak dapat berjalan sendiri-sendiri; setiap
orang beriman perlu memperhatikan, memungkinkannya, dan mengajukannya
(Setyakarjana, 1997: 78). Maksudnya bahwa katekese ditujukan kepada semua
orang beriman yang terpanggil untuk mendalami iman terus menerus, baik mereka
yang sudah memiliki Kristus secara mutlak maupun mereka yang ingin mengenal
Kristus seperti para katekumen. Dalam katekese umat bukan hanya sebagai obyek
49
atau sarana atau target dari kegiatan katekese, melainkan peserta juga bertindak
sebagai subyek pelaksana katekese itu sendiri.
7. Pemimpin Katekese Umat
Lalu (2007: 94) mengungkapkan pemimpin katekese yang dalam PKKI II
yaitu:
Dalam katekese yang menjemaat ini pemimpin katekese bertindak terutama sebagai pengarah dan pemudah (fasilitator). Ia adalah pelayan yang menciptakan suasana yang komunikatif. Ia membangkitkan gairah supaya para peserta berani berbicara secara terbuka. Katekese umat menerima banyak jalur komunikasi dalam berkatekese. Pemimpin dalam katekese umat berperan sebagai pengarah dan pemudah
(fasilitator), dapat menciptakan suasana yang komunikatif serta dapat
membangkitkan gairah supaya para peserta berani berbicara secara terbuka.
Pemimpin katekese umat tidak membawa diri sebagai pembesar yang pandai
menyampaikan pengetahuan/pandangan kepada para peserta yang tidak paham
(Huber, 1981: 21). Pembimbing katekese mengemban tugas dan tanggung jawab
yang tidak ringan sebab tidak hanya memberi kesaksian kepada peserta tetapi juga
harus memahami kelompok mana yang dibimbing, sehingga dapat menemukan
metode dan materi yang sesuai bagi peserta. Dalam kegiatan berkatekese,
pembimbing bukanlah orang yang merasa dirinya paling pintar, tetapi pembimbing
harus mampu menempatkan diri dan menciptakan suasana yang memungkinkan
peserta untuk berkomunikasi dan tukar pengalaman iman secara akrab dan terbuka,
agar peserta dapat meningkatkan keakraban dan mempermudah dalam
mengembangkan imannya demi mencapai tujuan katekese.
50
8. Shared Christian Praxis sebagai Salah Satu Model Katekese Umat
Shared Christian Praxis (SCP) merupakan suatu model pendekatan
berkatekese yang menekankan keterlibatan peserta. Model ini menekankan proses
katekese yang menekankan peserta untuk mengkomunikasikan pengalaman hidup
mereka sebagai suatu pengalaman iman secara pribadi atau bersama, sehingga
mampu mengambil keputusan demi makin terwujudnya Kerajaan Allah dalam
hidup manusia. Model ini berawal dari refleksi kritis pengalaman hidup peserta
yang dikonfrontasikan dengan pengalaman hidup iman dan visi kristiani, supaya
muncul kesadaran dan keterlibatan baru. Dalam model ini dialog tidak hanya
terjadi antara peserta dengan pendamping saja, tetapi juga antara peserta (Groome,
1997: 1).
Salah satu model katekese yang sering dipakai oleh para pemandu katekese
ialah Shared Christian Praxis. Model ini menekankan pada proses berkatekese
yang bersifat dialogal dan partisipatif yang bermaksud mendorong peserta
berdasarkan konfrontasi antara “tradisi” dan “visi” hidup mereka dengan “Tradisi”
dan “Visi” kristiani, agar baik secara pribadi maupun bersama, mampu
mengadakan penegasan dan mengambil keputusan demi terwujudnya nilai-nilai
Kerajaan Allah dalam kehidupan manusia di dunia. Model katekese ini bermula
dari pengalaman hidup peserta, yang refleksi secara kritis dan dikonfrontasikan
dengan pengalaman iman dan visi kristiani supaya muncul sikap dan kesadaran
baru yang memberi motivasi pada keterlibatan baru (Sumarno Ds, 2006: 14-15).
Katekese SCP melibatkan semua pasangan beda agama yang memiliki
banyak pengalaman dalam kehidupan berkeluarga sebagai peserta. Mereka
diharapkan mau mengungkapkan dan berbagi pengalamannya dengan pasangan
51
lainnya. Metode ini penulis rasa sangat cocok bagi peserta sebab para pasangan
saling berbagi pengalaman iman mereka sehingga iman masing-masing peserta
diteguhkan dan dihayati secara sempurna (Papo, 1987: 74).
a. Peristilahan dalam Shared Christian Praxis
Groome (1997: 1) berpendapat bahwa katekese model Shared Christian
Praxis merupakan suatu model yang lebih menekankan proses yang bersifat
dialogis dan partisipatif. SCP terdiri dari istilah-istilah antara lain shared,
christian, dan praxis.
1) Shared
Kata shared berarti komunikasi yang timbal balik, sikap partisipasi aktif
dan kritis dari semua peserta, terbuka baik untuk kedalaman pribadi, kehadiran
sesama, maupun untuk rahmat Tuhan dengan menekankan aspek dialog,
kebersamaan, keterlibatam dan solidaritas. Kata shared berarti berbagi rasa,
pengalaman, pengetahuan serta saling mendengarkan pengalaman orang lain.
Dialog dimulai dari diri sendiri dan diungkapkan selaras dengan pengalamannya
sendiri dalam suasana penuh persaudaraan dan cinta kasih. Istilah ini menunjuk
pengertian komunikasi yang timbal balik, sikap partisipatif aktif dan kritis dari
semua peserta terbuka untuk kedalaman diri sendiri, kehadiran sesama dan rahmat
Tuhan (Groome, 1997: 4).
Shared menekankan kemitraan yang saling melengkapi, partisipasi aktif,
dan dialog dalam diri seseorang, dialog dengan orang lain, dengan Tuhan, dan
dengan cerita/visi iman kristen. Jadi yang aktif bukan hanya pemimpin, melainkan
52
seluruh peserta aktif untuk berdialog, sharing, sebagai mitra yang sejajar (Tabita
Kartika Christiani, 2008: 23).
Dalam dialog ada dua unsur penting yaitu membicarakan dan
mendengarkan. Membicarakan tidak sama dengan berbicara saja atau omong-
omong terus menerus tanpa memberi kesempatan pada orang lain untuk berbicara.
Membicarakan berarti menyampaikan apa yang menjadi kebenaran dan
pengalaman sendiri. Sedangkan mendengarkan tidak sama dengan mendengar.
Mendengar berarti mendengar dengan hati dan rasa tentang apa yang
dikomunikasikan oleh orang lain. Mendengarkan melibatkan seluruh diri sehingga
dalam mendengarkan timbullah gerak hati, empati terhadap apa yang
dikomunikasikan oleh orang lain (Sumarno Ds, 2006: 17).
Syarat-syarat sharing ialah peserta diharapkan secara terbuka untuk siap
mendengarkan dengan hati dan berkomunikasi dengan kebebasan hati. Peserta
dihormati dan diakui eksistensinya sebagai subyek yang unik, otonom dan
bertanggungjawab, dengan kesadaran kritis-reflektif. Dalam suasana dialogis
peserta didorong membuat penegasan dan penilaian serta mengambil keputusan
pada keterlibatan baru. Peserta menkonfrontasikan pengalaman pribadi dengan
tradisi dan visi hidup kristiani dan peserta meneguhkan pokok-pokok nilai kristiani
yang mendasar untuk menemukan nilai-nilai baru yang cocok dengan konteks
hidup untuk diwujudkan (Groome, 1997: 4-5).
2) Christian
Kata Christian menekankan kesempatan untuk membuat jalan masuk bagi
peserta kepada cerita/visi iman Kristen sepanjang jaman, dan memampukan
53
mereka untuk mengambil maknanya bagi kehidupan mereka (Tabita Kartika
Christiani, 2008: 1). Katekese model SCP mengusahakan supaya kekayaan iman
kristiani sepanjang sejarah dan visinya makin terjangkau, dekat dan relevan untuk
kehidupan peserta pada jamannya.
Tradisi (dengan huruf T besar) dalam Gereja berarti seluruh pengalaman
iman umat dalam bentuk apapun yang terungkap dan yang sudah dibakukan oleh
Gereja dalam rangka menanggapi pewahyuan Allah di dunia ini. Tradisi Gereja
meliputi seluruh corak kehidupan kristiani, Kitab Suci tertulis, ajaran Gereja resmi,
tafsir, penelitian para teolog, praktek suci, ibadat, sakramen, simbol, ritus yang
menjadi ekspresi iman umat akan pengalamannya akan Allah, berdasarkan
peristiwa historis khususnya kehadiran Allah dalam hidup, mati dan kebangkitan
Kristus (Sumarno, 2006: 17). Setiap manusia mempunyai pengalaman dan sejarah
masing-masing, manusia mempunyai tradisinya masing-masing dalam menghayati
dan menjalani hidup di dunia atas dasar keyakinan imannya. Manusia menciptakan
tradisinya sendiri melalui hidup beriman mereka yang dapat dilihat dalam
pengalaman hidup mereka, dengan demikian tradisi (dengan huruf kecil t)
menunjuk pada pengalaman hidup manusia konkret (Sumarno, 2006: 17). Tradisi
kristiani mengungkapkan realita iman jemaat yang hidup dan sungguh dihidupi.
Tradisi Kristiani tidak hanya berupa tradisi pengajaran Gereja tetapi juga meliputi
Kitab Suci, spiritualitas, refleksi teologis, sakramen, liturgi, kepemimpinan,
kehidupan dalam jemaat, seni dan nyanyian rohani. Tradisi kristiani mengundang
keterlibatan praksis dan proses pembentukan pribadi (Groome, 1997: 3).
Visi (dengan huruf besar V) dalam Gereja adalah suatu kenyataan hadirnya
atau manifestasi konkrit dari isi tradisi yang menjadi jawaban hidup orang beriman
54
terhadap apa yang ditawarkan dalam pengalaman iman kristiani. Jadi Visi
merupakan manifestasi konkrit dari jawaban manusia terhadap janji Allah yang
diwujudkan dalam sejarah atau tradisi (Sumarno, 2006: 17). Setiap manusia dalam
hidupnya selalu berusaha menanggapi janji Allah dalam hidupnya dan
merumuskannya dalam visi kristianinya atas dasar pengenalannya akan
pengalaman yang dihayati. Jadi visi kristiani peserta merupakan kritik atas praksis
perbuatannya masa kini untuk terbuka pada masa depan (Sumarno, 2006: 17). Visi
kristiani lebih menggarisbawahi tuntutan dan janji yang terkandung di dalam
tradisi, tanggung jawab dan pengutusan orang kristiani sebagai jalan untuk
menghidupi semangat dan sikap kemuridan mereka. Baik tradisi maupun visi
kristiani keduanya menyingkapkan nilai-nilai Kerajaan Allah yang benar-benar
dihidupi dan diusahakan (Groome, 1997: 3). Tradisi dan visi kristiani menyingkapi
nilai-nilai kerajaan Allah yang betul-betul dihidupi dan terus diusahakan.
Keduanya dijadikan sarana untuk berdialog. Tradisi dan visi kristiani
menumbuhkan rasa “memiliki” dan kesatuan sebagai jemaat beriman, sekaligus
meneguhkan identitas peserta. Dialog iman, pengalaman hidup faktual dan visinya
diintegrasikan ke dalam tradisi dan visi kristiani (Groome, 1997: 3).
3) Praxis
Arti praxis menunjuk pada aktivitas manusia yang bertujuan, yang
mengandung unsur kesatuan dialektis antara teori dan praktek, refleksi kritis, dan
keterkaitan secara historis (Tabita Kartika Christiani, 2008: 2).
Praxis mempunyai tiga unsur pembentuk yang saling berkaitan yaitu
aktivitas, refleksi dan kreativitas. Aktivitas meliputi kegiatan mental dan fisik,
55
kesadaran, tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan bersama
merupakan medan masa kini untuk perwujudan diri manusia. Refleksi
menekankan refleksi kritis terhadap tindakan historis pribadi dan sosial dalam
masa lampau. Kreativitas merupakan perpaduan antara aktivitas dan refleksi yang
menekankan sifat transenden manusia dalam dinamika menuju masa depan untuk
praxis baru. Ketiga unsur pembentuk itu berfungsi membangkitkan perkembangan
imaginasi, meneguhkan kehendak dan medorong praxis baru yang dapat
dipertanggungjawabkan secara etis dan moral (Sumarno Ds, 2006: 15).
Refleksi kritis merupakan suatu kegiatan manusia yang meliputi tiga unsur:
akal budi kritis dalam mengevaluasi masa sekarang, ingatan kritis dalam
menyingkap masa lalu dalam masa sekarang, dan imaginasi kreatif untuk
menghadapi masa depan dalam masa sekarang (Sumarno Ds, 2006: 16). Refleksi
melibatkan kemampuan rasional (akal budi) dan afektif (rasa) dari seluruh pribadi
manusia. Dalam taraf afektif refleksi melibatkan pengalamanku dalam hidup
pribadi dan bersama. Refleksi meliputi hati dan kepala, sehingga dengan demikian
refleksi melibatkan unsur ingatan dan imaginasi dari masa kini. Istilah “kritis”
berasal dari bahasa Yunani “kritein”, yang berarti “memisah-misahkan”,
mengandaikan suatu kemampuan untuk membedakan mana yang baik, yang benar
dan yang betul dalam masa kini (Sumarno Ds, 2006: 16).
b. Langkah-langkah Shared Christian Praxis
Menurut Sumarno Ds (2006: 18-22) dalam diktat Program Pengalaman
Lapangan PAK Paroki, mengutip tulisan Thomas Groome yang mengungkapkan
56
bahwa ada 5 (lima) langkah pokok dalam Shared Christian Praxis yaitu sebagai
berikut:
1) Langkah I: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual
Langkah pertama ini membantu dan mendorong peserta supaya menyadari
pengalaman mereka sendiri untuk mengkomunikasikan pengalaman hidupnya pada
peserta lain. Langkah ini adalah mengajak peserta untuk mengungkapkan
pengalaman hidupnya yang didasari secara nyata dan dialami (fakta) dan sesuai
dengan tema atau visi yang telah ditentukan bersama pada langkah sebelumnya
(Sumarno Ds, 2006: 19).
Tujuan utama dari langkah pertama adalah membantu peserta supaya
menyadari pengalamannya sendiri, menginterpretasikan, membahasakan dan
selanjutnya mengkomunikasikan kepada yang lain. Membantu di sini berarti
mengusahakan agar peserta dapat mengungkapkan pengalamannya dengan suasana
yang mendukung dan diberi rangsang dengan pertanyaan oleh pendamping
(Sumarno Ds, 2006: 19).
Pendamping berperan sebagai fasilitator yang menciptakan suasana
pertemuan menjadi hangat dan mendukung peserta untuk membagikan
pengalaman hidupnya berkaitan dengan tema dasar. Pendamping hendaknya tidak
memaksa peserta untuk membagikan pengalamannya, melainkan harus sabar,
ramah, hormat, bersahabat, peka terhadap latar belakang dan permasalahan peserta
(Sumarno Ds, 2006: 19).
Peserta dalam langkah ini diajak untuk mengungkapkan pengalaman hidup
dalam bentuk cerita, nyanyian, drama dan lain-lain. Dalam proses ini peserta dapat
57
mengungkapkan perasaan mereka, sikap dan keyakinan yang melatarbelakanginya.
Dengan cara tersebut peserta diharapkan dapat menjadi sadar dan bersikap kritis
tentang pengalaman hidupnya atau kejadian-kejadian di sekitarnya. Komunikasi
antar peserta dalam mengungkapkan pengalaman hidup nyata sehari-hari.
Contoh pertanyaan yang cocok dalam langkah ini dengan tema “Wujud
Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak” adalah Ceritakan
pengalaman Bapak/Ibu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan mewujudkan
tanggung jawab dalam pendidikan iman anak!
2) Langkah II: Refleksi Kritis atas Sharing Pengalaman Hidup Faktual
Kekhasan pada langkah ini ialah mendorong peserta untuk lebih aktif,
kritis, dan kreatif dalam memahami serta mengolah keterlibatan mereka sendiri
maupun masyarakat. Kekhasan pada langkah ini adalah kesadaran yang mendalam
membantu peserta untuk menemukan maknanya dan mendorong mereka
menemukan peluang pada keterlibatan baru. Katekese sungguh-sungguh
membantu peserta supaya berdasar pengalaman hidupnya sampai pada tingkat
kesadaran yang terdalam supaya mengolah dan menemukan maknanya dan
mendorong mereka untuk melangkah pada praxis baru (Groome, 1997: 14).
Tujuan dari langkah kedua ini adalah memperdalam refleksi dan mengantar
peserta pada kesadaran kritis akan keterlibatan mereka, asumsi dan alasan,
motivasi, sumber historis (pengenangan), kepentingan dan konsekuensi yang
disadari dan hendak diwujudkan. Dengan refleksi kritis pada pengalaman konkret
peserta diharapkan sampai pada nilai dan visinya yang pada langkah keempat akan
58
dikonfrontasikan dengan pengalaman iman Gereja sepanjang sejarah (tradisi) dan
visi Kristiani (Sumarno Ds, 2006: 20).
Pendamping dalam langkah ini mampu menciptakan suasana pertemuan
yang menghormati dan mendukung setiap gagasan serta sumbang saran para
peserta, mengundang refleksi kritis setiap peserta, mendorong peserta supaya
mengadakan dialog dan penegasan bersama yang bertujuan memperdalam,
menguji pemahaman, kenangan, imajinasi peserta, menyadari kondisi peserta,
lebih-lebih mereka yang tidak biasa melakukan refleksi kritis terhadap pengalaman
hidupnya. Pada langkah ini pendamping menggunakan pertanyaan yang sifatnya
terbuka dan menunjukkan sikap yang siap mendengarkan semua yang disampaikan
oleh peserta (Sumarno Ds, 2006: 20). Selain itu pendamping perlu berusaha untuk
menghindari suatu kesan bahwa peserta diwajibkan mempertanggungjawabkan
komunikasi praksis faktual yang telah dilakukan pada langkah pertama (Groome,
1997: 19). Pendamping perlu menyadari bahwa refleksi kritis merupakan tahap
sulit yang membutuhkan kesabaran dan ketrampilan untuk memperkembangkan-
nya. Untuk itu pendamping perlu menekankan pentingnya lingkungan psikososial:
keakraban, rasa senasib-sepenanggungan dan kepercayaan antarpeserta (Groome,
1997: 19).
Peserta dalam langkah ini perlu mempergunakan tiga unsur, yaitu
pemahaman kritis, kenangan yang analitis dan imajinasi kreatif. Pemahaman kritis
adalah kemampuan memberi nilai dan arti pada keterlibatan dalam hidup konkrit.
Maksudnya adalah kritis terhadap diri sendiri untuk menemukan keterlibatannya
dalam hidup sosial dan semua unsurnya menyertai. Kenangan analitis adalah
membantu peserta untuk melihat kembali bagaimana sejarah hidupku,
59
keberadaanku sebagai subyek dan perbuatan yang membentuk hidupku.
Sedangkan imaginatif kreatif mempunyai kepentingan personal maupun sosial.
Kepentingan personal mengarahkan peserta untuk meningkatkan kesadaran akan
identitas pribadi dan memperkokoh keterlibatannya dalam hidup sosial pada taraf
tanggung jawab visi dan pelaksanaannya (Sumarno Ds, 2006: 20).
Dalam langkah ini contoh pertanyaan yang cocok dengan tema “Wujud
Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak” adalah Cara mana
sajakah yang bapak/ibu telah gunakan dalam menghadapi kesulitan mewujudkan
tanggung jawab dalam pendidikan iman anak?
3) Langkah III: Mengusahakan Supaya Tradisi dan Visi Kristiani Lebih
Terjangkau
Kekhasan pada langkah ini adalah dialog “tradisi”, yaitu pengalaman iman
jemaat kristiani sepanjang sejarah dan visinya dengan “tradisi” dan visi iman
peserta yang bertujuan untuk membangkitkan semangat keterlibatan baru
(Groome, 1997: 20). Yang dimaksud dengan tradisi adalah pengungkapan iman
kristiani yang sungguh dihidupi Gereja sepanjang sejarahnya. Maka tradisi Gereja
tidak terbatas pada pengajaran Gereja (dogma) tetapi juga merangkum Kitab Suci,
spiritualitas, devosi, kebiasaan hidup beriman, liturgi, seni dalam Gereja,
kepemimpinan dan kehidupan jemaat beriman (Sumarno Ds, 2006: 21). Tradisi
kristiani mengungkapkan kreativitas dan interpretasi manusiawi terhadap
pewahyuan ilahi. Bagi umat kristiani, Tradisi Kristiani ialah sumber utama untuk
kehidupan dan penghayatan iman. Sebagai umat beriman kita yakin bahwa iman
kristiani lahir dari tindakan ilahi yang hadir di tengah-tengah kehidupan manusia.
60
Tradisi kristiani adalah pewahyuan Allah yang ditanggapi oleh manusia,
pewahyuan kehendak Allah juga bersifat universal, tidak hanya terbatas di dalam
Gereja Katolik (Groome, 1997: 20).
Tujuan dari langkah ini adalah mengusahakan supaya Tradisi dan Visi
Kristiani menjadi lebih terjangkau, lebih dekat dan relevan bagi peserta pada
jaman sekarang. Hal ini berarti pada langkah ini memberi tahap untuk memberi
masukan bagi peserta (Sumarno Ds, 2006: 21).
Peran pendamping pada langkah ini cukup besar sebab menjadi
penghubung antara Tradisi dan Visi Kristiani dan visi hidup peserta. Pendamping
berperan membuka jalan, menghilangkan hambatan, mendorong partisipasi aktif
dan kreatif. Pendamping perlu menciptakan suasana untuk mempribadikan nilai-
nilai tradisi dan visi kristen yang relevan dan aktual untuk hidup mereka, sehingga
interpretasi itu menyentuh bagian terdalam dari hidup peserta sehingga
menimbulkan motivasi untuk terlibat dalam kehidupan secara kreatif sebagai umat
beriman. Tradisi dan Visi kristiani pendamping ditantang untuk memperlihatkan
keterlibatan pribadi terhadap nilai-nilai tradisi dan visi kristiani dalam terang iman,
harapan dan cinta. Pendamping tidak hanya mengandaikan kemampuan akademik
tetapi juga penghayatan dan keterlibatan dalam perjuangan konkrit. Pendamping
terhadap peserta, kesadaran bahwa peserta harus dibela dan diteguhkan dalam
perjuangan hidup menempatkan mereka sebagai subyek yang mandiri. Peran
pendamping bukan sebagai guru tetapi sekaligus sebagai murid yang juga sedang
belajar. Langkah ini pendamping menggunakan pertanyaan berdasarkan teks Kitab
Suci yang digunakan (Sumarno Ds, 2006: 21). Pendamping perlu mempersiapkan
diri, dukungan sumber, dan studi pribadi supaya peran pendamping pada langkah
61
ketiga ini memenuhi kriterium model Shared Christian Praxis. Pendamping juga
harus yakin akan imannya pada Allah yang senantiasa hadir dan berkarya di
tengah kehidupan manusia. Pendamping juga perlu menyadari segi-segi yang
dapat menimbulkan pertanyaan, dan meragukan. Namun pendamping harus yakin
akan keharmonian dan kekonsistenan interpretasi manusia dengan iman Gereja
(Groome, 1997: 27).
Peserta dalam langkah ini diharapkan mengkonfrontasikan atau
mendialogkan tradisi dan visi hidup mereka dengan tradisi Gereja sepanjang
sejarah dan visinya. Peserta didorong untuk mengadakan refleksi kritis pada isi
sharing yang telah mereka ungkapkan pada langkah pertama. Dalam refleksi kritis,
peserta menggunakan unsur pemahaman, kenangan, dan imajinasi yang sosial-
analitis dan kreatif untuk menemukan pokok-pokok pengalaman yang hendak
diperteguh, dihindari dan diperkembangkan (Groome, 1997: 43).
Contoh pertanyaan yang cocok dengan tema “Wujud Tanggung Jawab
Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak” sesuai dengan FC, art. 36 adalah Sikap-
sikap tanggung jawab apa saja yang dapat dipetik dari artikel tersebut dalam upaya
pendidikan iman anak?
4) Langkah IV: Interpretasi/Tafsir Dialektis Antara Tradisi dan Visi Kristiani
Dengan Tradisi dan Visi Peserta
Kekhasan dari langkah ini ialah mengajak peserta dengan berdasarkan
nilai tradisi dan visi kristiani untuk menemukan bagi dirinya sendiri nilai hidup
yang hendak digarisbawahi, sikap-sikap negatif yang hendak dihilangkan dan
nilai-nilai baru yang hendak diperkembangkan (Groome, 1997: 48). Pada langkah
62
ini pembimbing mengajak peserta mendialogkan hasil pengolahan pada langkah
pertama dan kedua dengan isi pokok langkah ketiga. Agar nilai-nilai Tradisi dan
Visi Kristiani dapat meneguhkan, mengkritik atau mempertanyakan dan
mengundang mereka untuk melangkah pada kehidupan yang lebih baik dengan
penuh semangat, nilai, dan iman yang baru demi terwujudnya Kerajaan Allah
(Sumarno Ds, 2006: 21).
Tujuan dari langkah ini adalah agar peserta mampu secara kritis
mengintegrasikan dan mempersonalisasikan nilai-nilai hidup mereka ke dalam
Tradisi dan Visi Kristiani dalam hidup sehari-hari. Hal ini memperteguh identitas
sebagai orang kristen, sebab peserta selalu ditantang untuk mengadakan penilaian
dan menegaskan (Sumarno Ds, 2006: 21). Peserta secara aktif dan kreatif
mempribadikan nilai-nilai kristiani dengan cara yang memperteguh identitas
kekristenan peserta. Secara dialektis peserta mendialogkan praksis hidup yang
faktual dengan nilai-nilai kristiani (Groome, 1997: 19).
Pendamping harus menghormati kebebasan dan hasil penegasan peserta,
termasuk peserta yang menolak tafsiran pembimbing, meyakinkan peserta bahwa
mereka mampu mempertemukan nilai pengalaman hidup dan visi mereka dengan
nilai Tradisi dan Visi kristiani, mendorong peserta untuk merubah sikap dari
pendengar pasif menjadi pihak yang aktif, menyadari bahwa tafsiran pembimbing
bukan kata mati dan mendengar dengan hati tanggapan, pendapat dan pemikiran
peserta. Pendamping harus menunjukkan keinginannya yang mendalam untuk
mendengar tanggapan hermeneutis-dialektis peserta. Pendamping harus peka pada
pemahaman, kesadaran, dan sikap baru yang dialami oleh peserta, tetapi ia juga
harus terbuka pada ketidaksetujuan dan tambahan gagasan peserta. Hal pokok
63
yang perlu ditekankan oleh pendamping adalah tindakan personalisasi yang
dijalankan dengan dialog dan hermeneutik yang dialegtis antara persepsi peserta
tentang praksis faktual dengan nilai tradisi dan visi kristiani. Seperti Yesus yang
menjadi model utama, para pendamping diharapkan memberi peserta kebebasan
untuk mempertimbangkan, menilai, dan mengambil keputusan mengenai nilai
Tradisi dan visi Kristiani berdasar stuasi konkrit dan kepentingan bersama
(Groome, 1997: 33).
Langkah keempat mendorong peserta untuk mengadakan penilaian dan
penegasan. Peserta dalam langkah ini dapat mengungkapkan perasaan, sikap,
intuisi, persepsi, penegasan dll. sebagai tanggapaa atas dialog dua tradisi dan visi.
Peserta dapat menggunakan bahasa verbal, dapat juga dengan tulisan, gambar dan
penjelasannya (Groome, 1997: 30,32).
Contoh pertanyaan yang cocok dengan tema “Wujud Tanggung Jawab
Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak” adalah Sikap-sikap mana yang dapat
kita (bapak/ibu) kembangkan dalam keluarga beda agama dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua bagi anak-anak kita demi
perkembangan imannya di Paroki Santo Paulus, Palu?
5) Langkah V: Keterlibatan Baru Demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah di
Dunia Ini
Kekhasan langkah ini adalah memberikan kesempatan kepada peserta
untuk mengambil keputusan tantang bagaimana berdasarkan rahmat Allah
menghidupi iman kristiani. Memberi kesempatan kepada peserta berarti
mendorong peserta dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga peserta dapat
64
menentukan keputusan berdasarkan atas apa yang telah dipahami selama
pertemuan (Sumarno Ds, 2006: 22). Keputusan hendaknya praktis tidak perlu
muluk-muluk, tetapi mudah dilaksanakan. Keputusan itu harus mendorong dan
menyemangati peserta untuk setia melaksanakannya. Keputusan itu perlu dipahami
sebagai tanggapan jemaat Kristiani terhadap pewahyuan Ilahi yang terus
berlangsung di dalam sejarah kehidupan manusia dalam kontinuitasnya dengan
tradisi Gereja sepanjang sejarah dan visi kristiani. Keprihatinannya adalah praktis
yaitu mendorong keterlibatan baru dan dengan cara itu menggarisbawahi peran
peserta sebagai subyek yang dipanggil untuk ikut mewujudkan nilai-nilai Kerajaan
Allah dengan jalan mengusahakan metanoia (pertobatan pribadi dan sosial yang
terus menerus) (Groome, 1997: 49). Bentuknya ada yang lebih menekankan aspek
kognitif (pemahaman), ada yang menonjolkan aspek afeksi (perasaan) dan ada
juga yang mengutamakan aspek yang berhubungan dengan tingkah laku (praktis-
politis). Sifatnya dapat lebih menyangkut tingkat personal, interpersonal, atau
sosial-politis. Subyeknya dapat bersifat aktivitas pribadi atau tindakan bersama.
Arahnnya dapat lebih interen untuk kepentingan kelompok sendiri atau eksteren
demi kepentingan di luar kelompok yaitu keterlibatan/pelayanan kepada sesama
yang membutuhkan (Groome, 1997: 49-50).
Tujuan dari langkah ini adalah mendorong peserta untuk sampai pada niat-
niat dan tindakan baru, baik yang menyangkut pribadi maupun bersama. Pada
langkah ini pembimbing mengajak peserta agar sampai pada keputusan praktis
yang dipahami tanggapan jemaat terhadap pewahyuan Allah yang terus
berlangsung didalam sejarah kehidupan manusia dalam kontinuitasnya dengan
Tradisi Gereja sepanjang sejarah dan Visi Kristiani. Selain itu pembimbing
65
bertanggung jawab menyadari hakikat praktis, inovatif, dan transformatif,
menekankan sikap optimis yang realistis pada peserta, pembimbing dapat
merangkum hasil langkah pertama sampai keempat, supaya dapat lebih membantu
peserta, mengusahakan supaya peserta sampai pada keputusan pribadi dan
bersama, dan merumuskan pertanyaan operasional yang membantu peserta ke arah
itu (Sumarno Ds, 2006: 22).
Pendamping dalam langkah ini perlu mengusahakan aktivitas yang
partisipatif dengan mempersiapkan beberapa pertanyaan yang berorientasi pada
tindakan praktis. Pendamping sendiri hendaknya mendorong peserta untuk
memanfaatkan imajinasi mereka (Groome: 1997: 37).
Peserta dalam langkah ini diharapkan semakin terlibat dan aktif untuk
mewujudkan keputusannnya secara konkrit demi terwujudnya Kerajaan Allah.
Peserta diajak untuk merayakan liturgi sederhana atau mendoakan secara bersama
keputusan yang sudah mereka buat dapat menjadi inspirasi untuk mendorong
mereka agar konsisten dengan keputusan yang telah diambil (Groome: 1997: 50).
Contoh pertanyaan pada langkah ini yang cocok dengan tema “Wujud
Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak” adalah Niat apa yang
dapat bapak/ibu lakukan terhadap anak-anak sebagai bentuk tanggung jawab
terhadap pendampingan iman anak di dalam keluarga beda agama di Paroki Santo
Paulus, Palu?
C. Keluarga Kawin Campur Beda Agama dalam Gereja
Keluarga adalah lembaga yang diciptakan oleh Allah, suatu persekutuan
hidup. Dengan menciptakan manusia pria dan wanita, Allah berkenan agar
66
manusia berperan serta dalam penciptaan manusia baru. Berkeluarga merupakan
panggilan hidup, suatu undangan Tuhan bagi manusia demi kebahagiaan manusia
sendiri. Realitas menunjukkan bahwa perkawinan campur beda agama (Katolik
dan non-baptis) terus mengalami peningkatan. Alasan adanya kawin campur beda
agama bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipastikan mengingat latar belakang
kawin campur beda agama berkaitan dengan segi-segi kehidupan masyarakat.
1. Perkawinan dalam Gereja
Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk
mewujudkan persekutuan hidup dan cinta. Gereja menghendaki agar umatnya
memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat
terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan
keluarga (Gilarso, 1996: 9). Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan
sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah
Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan
campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik
(mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Namun Gereja juga
menyadari akan komplitsitas dan pluralitas situasi masyarakat, di mana orang-
orang Katolik hidup berdampingan dengan non-Katolik. Selain itu, semangat
ekumenis Gereja Katolik untuk merangkul dan bekerjasama dengan pihak-pihak
Kristen lainnya, serta kesadaran akan kebebasan beragama, telah mendorong
Gereja Katolik sampai pada pemahaman akan realita terjadinya perkawinan
campur. Pandangan Gereja tentang perkawinan Katolik ini dipahami melalui lima
segi dasar pokok dari suatu perkawinan Katolik, yaitu pengertian perkawinan, arti
67
perkawinan kristiani, ciri khas perkawinan kristiani, tujuan perkawinan kristiani
dan perkawinan sebagai sakramen.
a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar
cinta kasih yang total dan persetujuan bebas yang tidak dapat ditarik kembali,
dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan
keluarga (Team Pembinaan Persiapan Berkeluarga Daerah Istimewa Yogyakarta,
1981: 14). Perkawinan merupakan tanda yang sah untuk membentuk keluarga baru
bagi setiap orang yang hidup di tengah masyarakat. Perkawinan yang sah akan
menciptakan ketenangan serta kebahagiaan setiap orang yang menjalani kehidupan
berkeluarga, sehingga keluarga dapat bebas untuk mengusahakan segala sesuatu
guna membangun kebahagiaan keluarga. “bebas untuk mengusahakan sesuatu” di
sini diartikan secara positif, misalnya: keluarga bebas untuk menciptakan
kedamaian kehidupan dalam keluarganya sendiri, keluarga bebas untuk mendidik
anak-anaknya sendiri, keluarga bebas untuk mencari nafkah dengan jalan yang
benar tanpa merugikan orang lain, keluarga bebas untuk mengatur ekonomi rumah
tangganya sendiri dan sebagainya.
Kehidupan berkeluarga pada dasarnya tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lain. Pada satu sisi keluarga dapat menjadi wahana pernyataan cinta kasih
sejati di antara suami-istri, tetapi di sisi lain oleh suami-istri keluarga dapat
disalahgunakan untuk pemuas nikmat, misalnya: polygami atau kawin cerai untuk
memperoleh kepuasan nafsu seksual. Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-
68
sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cinta kasih dalam semua
aspek (Yuwana, 1990: 1-3).
b. Pengertian Perkawinan Kristiani
Perkawinan dalam Gereja Katolik dimengerti sebagai “perjanjian
perkawinan pria dan wanita membentuk antarmereka kebersamaan seluruh hidup”
(KHK, kan. 1055). Perkawinan adalah tempat pertemuan cinta dari dua insan yang
berbeda (pria dan wanita) yang menyatukan diri dan membentuk keluarga baru
secara resmi. Memang pertemuan cinta antara seorang pria dan seorang wanita
sudah terbentuk sebelum peresmian perkawinan terjadi, tetapi cinta itu belum
diikat menjadi satu. Perkawinan yang bagi seorang pria dan seorang wanita
merupakan lembaga resmi untuk mengikat cinta, adalah satu-satunya jalan untuk
membangun keluarga dan untuk memperoleh keturunan yang sah serta
kebahagiaan yang sejati. Keluarga akan dapat menemukan kebahagiaan sejati,
apabila suami istri saling menyadari bahwa perkawinan itu mempunyai arti yang
dalam bagi kehidupan keluarga, di mana perkawinan merupakan pengesahan cinta
dari suami istri dan di sini yang mengesahkan adalah Tuhan.
Kitab Suci Perjanjian Lama menyatakan “Maka Allah menciptakan
manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambaran Allah diciptakan-Nya dia;
laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Pernyataan ini
kiranya dengan samar-samar menunjuk ke arah perkawinan. Arti perkawinan yang
ditunjukkan di dalam Kej 1:27 ini adalah: penciptaan manusia baru, di mana
seorang pria dan seorang wanita disatukan secara erat oleh Allah sehingga menjadi
satu persekutuan hidup, “laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”. Arti
69
perkawinan ini diperjelas lagi dengan sabda Allah “Sebab itu seorang laki-laki
akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Keduanya menjadi satu daging, hal ini
berarti seorang pria dan seorang wanita bergabung menjadi satu persekutuan yang
utuh. “persekutuan di dalam perkawinan bukanlah semacam kontrak belaka,
melainkan menampilkan gagasan kesepakatan atau janji. Dengan demikian apa
yang menjadi tujuan Allah menciptakan dan menyatukan seorang pria dan seorang
wanita tercapai, karena firman Allah: “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri
saja. Aku menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej 2:18).
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes Konsili Vatikan menekankan bahwa
perkawinan bersifat personal, dalam artian bahwa perkawinan sebagai persekutuan
hidup dan kasih suami-istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan
dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya, dibangun oleh janji pernikahan atau
persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali (GS, art. 48).
c. Ciri Khas Perkawinan Kristiani
Perkawinan kristiani mempunyai ciri khas yaitu monogami, tak-
terceraikan, terbuka bagi keturunan dan keluarga kristiani adalah “Gereja mini”.
Keempat ciri khas tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Monogami (unitas)
Seorang suami selayaknya hanya mempunyai satu istri, demikian pula istri
mempunyai satu suami saja. Dengan demikian, cinta mereka penuh dan utuh, tak
70
terbagi. Hal ini juga mencerminkan prinsip bahwa pria dan wanita mempunyai
martabat yang sama (Gilarso, 1996: 12).
Monogami atau unitas adalah salah satu ciri hakiki perkawinan yakni
perkawinan hanya sah jika dilaksanakan antara seorang pria dan seorang wanita
tanpa adanya poligami. Maka, setiap perkawinan kedua yang dicoba
dilangsungkan tidak akan pernah diterima sebagai secara sah oleh Gereja Katolik,
selama ikatan perkawinan yang pertama belum diputuskan oleh kuasa Gereja.
Dalam hal ini perceraian sipil tidak pernah diakui oleh Gereja Katolik
(Rubiyatmoko, 2001: 5-6).
2) Tak-terceraikan (indisolubilitas)
Dalam perkawinan, suami dan istri telah mempersatukan diri dengan bebas,
bahkan disatukan oleh rahmat Tuhan sendiri. Cinta sejati adalah cinta yang setia,
dalam keadaan bagaimanapun. Perceraian membuktikan bahwa suami dan istri
gagal mengembangkan cinta yang sejati (Gilarso, 1996: 12).
Ciri perkawinan yang kedua ini ialah tak terceraikan atau indisolubilitas.
Maksudnya bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut
hukum mempunyai akibat tetap dan tidak bisa diceraikan atau diputuskan oleh
kuasa manapun kecuali oleh kematian. Indisolubilitas ini bersifat hanya interna
yaitu ikatan perkawinan tidak bisa diputuskan oleh kemauan dan persetujuan
suami istri (karena mereka tidak mempunyai hak dan kuasa untuk mencabut
kembali konsensus perkawinan yang telah mereka ikrarkan), namun bisa
diputuskan atas intervensi kuasa gerejani yang berwenang. Sifat tak terceraikannya
perkawinan ini dibedakan menjadi dua:
71
- indisolubililas absoluta: yaitu bila ikatan perkawinan tidak bisa diputuskan oleh
kuasa manapun, kecuali oleh kematian. Misalnya perkawinan sakramen yang
sudah disempurnakan dengan persetubuhan (ratum et consummatum),
sebagaimana kita temukan dalam kanon 1141. Perkawinan ratum et
consummatum ini tidak bisa diputuskan oleh kuasa manapun, karena
melambangkan secara penuh dan sempurna hubungan kasih antara Kristus
dengan Gereja-Nya. Sebagaimana Kristus selalu setia dan tidak pernah
meninggalkan Gereja-Nya, demikian juga antara suami-istri yang telah dibabtis
tidak bisa saling memisahkan diri (Ef 5: 22-33).
- indisolubililas relativa: yaitu bahwa ikatan perkawinan tersebut memang tidak
bisa diputuskan atas dasar konsensus dan kehendak suami-istri, namun bisa
diputuskan oleh kuasa gerejani yang berwenang, setelah terpenuhinya ketentuan-
ketentuan yang dituntut oleh hukum seperti dalam kanon 1142b (ratum et non-
consummatum) dan 1143-1149 (khusus perkawinan non-sakramen)
(Rubiyatmoko, 2001: 6-7).
3) Terbuka bagi keturunan
Suami dan istri diharapkan bersedia mempunyai anak, bila Tuhan
memberikannya. Adapun jumlah dan jarak kelahiran anak perlu direncanakan
bersama dengan bijaksana. Segala bentuk pengguguran harus ditolak dengan tegas,
karena jelas-jelas merupakan sikap menolak keturunan yang sudah ada (Gilarso,
1996: 12-13).
72
4) Keluarga Kristiani adalah “Gereja mini”
Artinya adalah persekutuan dasar iman dan tempat persemaian iman sejati.
Maka dalam keluarga Katolik, pertama-tama diharapkan agar berkembanglah iman
yang menghangatkan suasana. Iman di sini bukan pertama-tama berarti
pengetahuan agama tetapi lebih pada sikap atau penghayatan agama, yang
diwujudkan dalam usaha untuk menjaga suasana kedamaian, kerja sama dan
kerukunan, dalam keluarga. Dengan demikian, Tuhan sendiri akan hadir di tengah-
tengah keluarga untuk membawa keselamatan dan rahmat-Nya (Gilarso, 1996: 13).
d. Tujuan Perkawinan Kristiani
Tujuan utama perkawinan adalah untuk saling membahagiakan dan saling
melengkapi antara suami-istri. Faktor yang paling penting dalam perkawinan
adalah cinta (love). Cinta antara seorang pria dan wanita adalah unik, karena hanya
manusialah dari semua makhluk ciptaan yang hidup yang mampu melakukannya
(Marianus, 2004: 15). Perkawinan demi kesejahteraan suami, istri, anak dan
masyarakat tidak hanya tergantung dari kemauan manusia. Allah sendiri yang
menciptakan perkawinan yang mencakup berbagai nilai dan tujuan (GS, art. 48).
Pada bagian ini, penulis akan menguraikan tujuan perkawinan yang meliputi
pengembangan dan pemurnian cinta kasih, kelahiran dan pendidikan anak serta
pemenuhan kebutuhan seksual.
Rubiyatmoko (2001: 4) mengemukakan bahwa tujuan utama perkawinan
ada tiga pokok. Pertama, untuk kesejahteraan suami istri; kedua prokreasi atau
terbuka pada kelahiran anak; dan yang ketiga ialah untuk pendidikan anak.
73
Prokreasi menjadi tujuan utama dalam perkawinan dengan menekankan tujuan
perkawinan pada kesejahteraan suami-istri.
1) Pengembangan dan Pemurnian Cinta Kasih
Dalam perkawinan perbedaan pria dan wanita dikembangkan sehingga
mereka dapat saling melengkapi kelemahan dan kelebihan masing-masing menuju
pada kematangan pribadi. Cinta kasih suami istri tersebut dikembangkan dan
disempurnakan dalam perkawinan sebagai tindakan luhur dan terhormat, bila
dijalankan secara manusiawi dan dilihat sebagai penyerahan diri dan bila cinta
kasih mereka saling memperkaya dan menyempurnakan (GS, art. 49).
Dalam perkawinan, cinta kasih antara suami istri yang telah bersemi terus
dikembangkan dan dimurnikan sehingga mereka dapat saling membahagiakan.
Cinta dalam perkawinan bukan semata-mata dorongan nafsu belaka atau rasa
tertarik, melainkan keputusan pribadi untuk bersatu dan saling menyerahkan diri
(Gilarso, 1996: 11).
2) Pendidikan Anak
Menurut hakekatnya perkawinan dan cinta kasih suami istri ditujukan
kepada keturunan dan pendidikan bagi anak. Dalam perkawinan Katolik, anak
merupakan suatu karunia yang luhur dalam perkawinan. Orang tua mempunyai
tugas untuk menyalurkan hidup secara manusiawi serta mendidik anak, yang harus
dipandang sebagai perutusan dari Allah. Mereka menunaikan tugas mendidik anak
dengan penuh tanggung jawab, penuh taat pada Allah untuk membentuk pendirian
anak yang dewasa dengan memperhatikan kesejahteraan anak (GS, art. 50).
74
Perkawinan adalah lembaga yang sah untuk pemenuhan keinginan
mempunyai anak. Dalam perkawinan orang tua mengemban tugas dan tanggung
jawab dari Allah untuk mendidik dan mengasuh anak menjadi generasi baru. Cinta
kasih dalam perkawinan digenapi dengan cinta kasih orang tua pada anak dan
terpenuhi dalam mendidik keturunan (FC, art. 36).
Perkawinan merupakan lembaga yang sah untuk memenuhi keinginan
mempunyai anak. Pasangan yang normal mempunyai kerinduan akan keturunan,
artinya membentuk sejarah dengan darah dengan membentuk generasi baru dalam
keturunan yang merupakan anugerah Tuhan yang tak boleh dimutlakkan (Gilarso,
1996: 11).
3) Pemenuhan Kebutuhan Seksual
Menurut hakekatnya perkawinan dan cinta kasih suami istri terpenuhi lewat
perkawinan yang sah, dengan melakukan hubungan seks secara bertanggung
jawab. Hubungan seks bukan sekedar menuruti hawa nafsu, melainkan menjadi
kesadaran dan tanggung jawab penuh, sehingga terpenuhi dalam suasana cinta,
dengan kerelaan untuk menerima kemungkinan kehidupan baru sebagai hasil
perpaduan cinta kasih (Gilarso, 1996: 12).
e. Perkawinan sebagai Sakramen
Perkawinan antara dua orang dibaptis diangkat ke martabat sakramen,
sebagai suatu perayaan iman yang membuahkan rahmat bagi suami istri. Dalam
sakramen perkawinan, ikatan cinta suami istri menjadi lambang, tanda dan
perwujudan kasih Kristus kepada Gereja-Nya sekaligus memberikan rahmat bagi
75
mereka (Gilarso, 1996: 11). Perkawinan menjadi suatu sakramen merupakan
rahmat kekuatan yang jauh melampaui kekuatan insani sepasang suami-istri,
artinya hidup ilahi menjadi sangat jelas dalam kebangkitan Kristus yang
mengalahkan maut, supaya suami-istri sanggup mengamalkan tujuan perkawinan.
Sakramen perkawinan ialah hidup sepasang suami-istri mulai dari hari pernikahan
sampai saat maut memisahkan.
Sakramen perkawinan merupakan hidup dua pasangan mulai pada hari
pernikahan sampai saat maut memisahkan mereka. Dengan menjadi suatu
sakramen, perkawinan manusiawi diberi rahmat kekuatan yang jauh melampaui
kekuatan insani suami-istri yang menjadi jelas dalam kebangkitan Kristus. Hidup
setia antara suami-istri yang menandakan cinta dan kebahagiaan suami-istri
diangkat oleh Kristus menjadi tanda dan sumber rahmat Ilahi. Melalui suami atau
istri Tuhan hadir, menolong, menguatkan dan membahagiakan pasangan.
Persatuan cinta suami-istri menunjuk kepada suatu persatuan cinta. Perkawinan
kristiani menjadi gambaran dari hubungan cinta yang lebih mulia (Heuken, 1981:
28-29).
2. Pasangan Kawin Campur Beda Agama dalam Gereja Katolik
Perubahan dan perkembangan jaman dewasa ini kerap kali dianggap oleh
sebagian orang sebagai realita yang amat menarik. Realitas keluarga-keluarga
yang beda agama makin marak dewasa ini. Tidak semua dari mereka dapat
mempertahankan janji cinta mereka sampai akhir hayat tetapi tidak sedikit pula
yang berhasil membangun bahtera kasih mereka dalam kesetiaan janji perkawinan.
76
a. Pengertian Kawin Campur Beda Agama
Perkawinan beda agama adalah istilah dari Hukum Perkawinan Gereja
Katolik. Dalam pandangan umum perkawinan beda agama (disparitas cultus)
adalah perkawinan yang dilangsungkan antara orang yang dibaptis dalam Gereja
Katolik dengan orang yang tidak dibaptis. Dalam paham Gereja Katolik,
perkawinan beda agama (disparitas cultus) dimengerti sebagai: “Perkawinan
antara dua orang yang diantaranya satu telah dibabtis dalam Gereja Katolik atau
diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedangkan yang
lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.” (KHK, kan. 1086). Secara singkat
perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilangsungkan antara orang yang
dibaptis dalam Gereja Katolik dengan orang yang tidak dibabtis. Beda agama
adalah suatu halangan yang membatalkan pernikahan. Demi sahnya
perkawinannya ini dibutuhkan dispensasi dari halangan beda agama dengan
menuntut terpenuhinya syarat–syarat tertentu.
b. Kesulitan-kesulitan Pasangan Kawin Campur Beda Agama
Pasangan kawin campur beda agama dalam perjalanannya menghadapi
banyak kesulitan. Kesulitan utama yang sering dihadapi oleh pasangan kawin
campur beda agama adalah masalah anak. Orang tua tetap bertanggungjawab soal
pendidikan anak dan harus dibereskan sebelum menikah. Kawin campur menjadi
halangan, sebab menjadi ancaman iman. Gereja mengingatkan bagi mereka yang
melakukan kawin campur agar supaya tidak lupa akan janjinya serta mengingatkan
orang tua akan kewajiban mendidik anak. Gereja mengharapkan supaya mereka
sadar akan pertumbuhan anak, yang harus dibicarakan sejak awal, sebenarnya
77
hanya untuk membentengi iman. Pasangan yang Katolik bila sudah membaptiskan
anak bukan berarti sudah melaksanakan janji itu, sebab soal pendidikan
selanjutnya harus dipikirkan, sebab yang terpenting adalah melakukan yang baik
untuk anak. Banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga,
tak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat
pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal praktis
seluruh hidup perkawinan. Upaya-upaya itu kerap kali masih sporadis dan
insidental, dari pada gerakan yang melibatkan seluruh umat. Gereja memandang
tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya sehubungan dengan
interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggarisbawahi perlunya pastoral
perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada khususnya.
Pasangan kawin campur diharapkan tidak hanya menunggu saja, tapi perlu aktif
membina diri dan mencari kesempatan untuk memperkembangkan hidup imannya.
Hal yang utama dalam perkawinan adalah kasih. Kasih yang selalu terikat pada
pribadi (Purwa Hardiwardoyo, 2005:13-14).
Perkawinan antara seorang Katolik dengan non-baptis memiliki banyak
masalah yang tidak mudah dipecahkan. Masalah-masalah tersebut antara lain:
masalah mengenai cara pernikahan, pendidikan agama anak-anak mereka dan
bahaya perceraian yang ada dalam perkawinan tersebut. Perkawinan campur beda
agama dalam Gereja Katolik sampai saat ini masih menjadi salah satu
permasalahan dalam hidup berkeluarga. Masalah perkawinan campur dalam
Perjanjian Baru dapat dilihat dalam 1 Kor 7:12-16. Paulus dalam suratnya pada
umat di Korintus tidak mempersoalkan apakah orang beriman boleh memilih
jodoh yang tidak seiman, melainkan lebih menekankan bagaimana seorang tidak
78
beriman yang semula kawin dengan seorang yang juga tidak beriman tetapi
kemudian bertobat menjadi Kristen. Dengan ini Paulus menegaskan perlunya
mempertahankan perkawinan ini kecuali bila pihak yang beriman mau bercerai.
Perkawinan campur beda agama memuat banyak masalah yang tidak
mudah dipecahkan. Di antara berbagai masalah, ada tiga masalah pokok, yaitu:
cara pernikahannya, pendidikan agama anak-anak mereka, dan bahaya perceraian
yang ada dalam perkawinan. Cara pernikahan menurut hukum Gereja Katolik,
kedua mempelai harus menikah secara Katolik saja sedangkan menurut hukum
agama Islam, kedua mempelai harus menikah secara Islam saja. Hukum Islam dan
hukum gereja Katolik mempunyai kemiripan. Dalam keadaan darurat, hukum
gereja Katolik masih dapat memberikan izin pada seorang Katolik untuk menikah
secara lain. Perkawinan antara seorang Katolik dengan seorang Islam bukanlah
sebuah sakramen, walaupun dapat diakui dan diberkati oleh pemimpin gereja
sebagai perkawinan yang sah. Pendidikan iman anak bukan suatu hal yang mudah.
Menurut hukum Islam, orangtua Islam harus mendidik anak-anaknya secara Islam,
sedangkan hukum Katolik menuntut hal yang sama bagi umatnya. Maka
pendidikan anak-anak dari orangtua yang berbeda agama akan tetap sulit
dilaksanakan, apabila masing-masing pihak berteguh dalam hukum agamanya.
Bahaya perceraian yang ada dalam perkawinan merupakan salah satu problem.
Bila pernikahan seorang Katolik dan seorang Islam terlaksana secara katolik,
kemudian terjadi perceraian secara Islam atau sipil, maka pihak mempelai Katolik
akan mengalami kesulitan yang besar dan dapat menikah lagi setelah mendapat
dispensasi dari Paus yang merupakan urusan yang sangat sulit. Sedangkan pihak
79
mempelai Islam dapat menikah lagi dengan lebih mudah (Purwa Hardiwardoyo,
1990: 79-81).
D. Pendampingan Iman untuk Keluarga Kawin Campur Beda Agama
dengan Katekese Umat Model Shared Christian Praxis
Dalam melaksanakan pendampingan iman tidak lepas dari pengalaman
hidup berkeluarga masing-masing pasangan yang dalam perjalanannya masih
membutuhkan perhatian dari pihak Gereja. Katekese selalu mengupas pengalaman
hidup konkret para peserta baik secara pribadi maupun bersama. Salah satu model
katekese yang digunakan ialah katekese dengan model Shared Christian Praxis.
Langkah-langkah yang dipergunakan dalam SCP terdapat lima langkah, yaitu
pengungkapan pengalaman hidup faktual peserta, refleksi kritis atas sharing
pengalaman hidup faktual peserta, mengusahakan supaya tradisi dan visi kristiani
lebih terjangkau, interpretasi/tafsir dialektis antara tradisi dan visi kristiani dengan
tradisi dan visi peserta, keterlibatan baru demi makin terwujudnya kerajaan Allah
di dunia ini. Langkah-langkah ini digunakan per pertemuan sesuai dengan tema
yang berkesinambungan, misalnya langkah I sampai dengan langkah V digunakan
pada pertemuan I begitu seterusnya.
1. Langkah Pertama: Mengungkap Pengalaman Hidup Berkeluarga dalam
Keluarga Kawin Campur Beda Agama
Dalam langkah pertama ini pendamping mengajak para peserta/masing-
masing pasangan untuk mengungkapkan pengalaman hidup berkeluarga mereka.
80
Dengan cara itu diharapkan peserta menjadi sadar dan bersikap kritis pada
pangalaman hidupnya sendiri (Groome, 1997: 5).
Sebelum mengungkapkan pengalaman faktual, peserta diajak untuk diam
atau hening sejenak memikirkan tentang pertanyaan yang dijadikan penuntun.
Pasangan beda agama diajak untuk santai sambil mengingat kembali seluruh
pengalaman hidup perkawinan sehari-hari, baik pengalaman suka maupun
pengalamana duka yang sudah pernah mereka alami di masa yang lalu.
Pengalaman yang telah diingat kemudian diungkapkan dalam sharing kepada
pasangan lain. Dengan mengungkapkan pengalamannya tersebut pasangan beda
agama merasa bahwa mereka diperhatikan dan didengarkan (Sumarno Ds, 2006:
33). Pertanyaan yang dapat diberikan kepada peserta sesuai dengan pertemuan
pertama dalam usulan program. Contoh pertanyaan dalam langkah ini dengan tema
“Memahami Perkawinan Beda Agama” adalah Ceritakan pengalaman Bapak/Ibu
dalam menghadapi permasalahan dalam kehidupan berkeluarga beda agama!
2. Langkah Kedua: Mendalami Pengalaman Hidup Keluarga Beda Agama
Langkah kedua ini mendorong peserta untuk lebih aktif, kritis dan kreatif
dalam memahami serta mengolah keterlibatan hidup mereka sendiri maupun
masyarakatnya (Groome, 1997: 5).
Pasangan beda agama yang telah mensharingkan pengalaman hidup
mereka, diajak untuk merefleksikan pengalaman hidupnya. Untuk mempermudah
dan merefleksikan pengalaman hidup mereka bisa dibantu oleh pendamping
dengan memberikan panduan pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman
mereka. Pengalaman yang direfleksikan kemudian secara bersama-sama dengan
81
pendamping dimaknai. Hal ini akan membantu pasangan beda agama untuk
menyadari bahwa pengalaman atau peristiwa yang telah mereka alami selama ini
memiliki makna dan arti sehingga masing-masing pasangan merasa
pengalamannya disapa dan semakin termotivasi untuk menjadi lebih baik lagi
(Sumarno Ds, 2006: 34). Pertanyaan yang cocok dengan tema “Memahami
Perkawinan Kristiani” adalah Cara mana sajakah yang bapak/ibu telah gunakan
dalam menjaga terciptanya perkawinan yang tetap utuh, monogami dan tak
terceraikan?
3. Langkah Ketiga: Menggali Pengalaman Iman Kristiani tentang Keluarga
Beda Agama
Pokok dalam langkah ini adalah mengusahakan supaya Tradisi dan Visi
kristiani menjadi lebih terjangkau, lebih dekat dan relevan bagi peserta pada
zaman sekarang. Langkah ketiga ini mau mencari pesan inti Kitab Suci/tradisi
kristiani sehingga dapat dimengerti oleh umat dengan baik (Groome, 1997: 6).
Setelah pengalaman disharingkan dan dimaknai, para pasangan beda agama
diberi kesempatan untuk membaca sebuah perikop Kitab Suci yang telah
ditentukan oleh pendamping berdasarkan tema. Untuk membantu mereka
memahami isi dari perikop ini pendamping memberi beberapa panduan pertanyaan
yang berkaitan dengan isi perikop. Diharapkan para peserta (pasangan beda
agama) mencari dan menemukan jawaban, yang kemudian diungkapkan melalui
sharing kepada pasangan lainnya berkaitan dengan isi perikop dari Ef 5:22-33 dan
menghubungkan dengan pengalaman hidup sehari-hari, sehingga seluruh
pengalaman hidupnya dimaknai dan berdasarkan nilai tradisi Kristiani (Sumarno
82
Ds, 2006: 34). Pertanyaan yang cocok dengan tema “Kudusnya perkawinan
Indahnya Kesetiaan” Ef 5:22-33 adalah Sikap-sikap mana yang ingin ditanamkan
oleh Yesus sebagai kepala Jemaat, kepada suami-istri?
4. Langkah Keempat: Menerapkan Iman Kristiani dalam Keluarga Beda Agama
Langkah ini mengajak peserta supaya dapat meneguhkan,
mempertanyakan, memperkembangkan dan menyempurnakan pokok-pokok
penting yang telah ditemukan pada langkah pertama dan kedua. Selanjutnya
dikonfrontasikan dengan hasil intreprestasi tradisi dan visi kristiani dari langkah
ketiga. Dengan demikian peserta dapat menemukan kesadaran atau sikap-sikap
baru yang hendak diwujudkan (Groome, 1997: 7).
Pasangan beda agama diajak untuk melihat kembali pada pengalaman
hidupnya yang telah dimaknai. Pasangan diminta untuk melihat dan
menghubungkan antara pengalaman hidup sehari-hari dengan isi tradisi Kristiani.
Melalui tahap ini diharapkan pasangan beda agama menjadi lebih sadar akan peran
serta tanggungjawab yang harus diembannya sebagai umat beriman (Sumarno Ds,
2006: 35). Pertanyaan yang cocok dengan tema “Kudusnya perkawinan Indahnya
Kesetiaan” adalah Sikap-sikap manakah yang dapat kita perjuangkan agar semakin
menghayati panggilan sebagai pasangan suami-istri sesuai dengan teladan Yesus?
5. Langkah Kelima: Mengusahakan Suatu Aksi Konkrit dalam Kehidupan
Keluarga Beda Agama
Langkah terakhir ini bertujuan untuk mendorong peserta supaya sampai
pada keputusan konkret. Keputusan konkret ini dipahami sebagai puncak dan buah
83
dari metode ini. Tanggapan peserta dipengaruhi oleh tema dasar yang direfleksikan
(Groome, 1997: 7).
Pasangan beda agama adalah pasangan yang butuh perhatian yang kontinyu
dalam perjalanan mereka selanjutnya. Setiap pasangan diberi kesempatan yang
sama untuk melaksanakan aksi konkret yang akan dilakukannya di hari-hari
mendatang baik secara pribadi masing-masing pasangan maupun kelompok,
sehingga hidup mereka lebih bermakna dan menjadi lebih baik (Sumarno Ds,
2006: 36). Pertanyaan pada langkah ini yang cocok dengan tema “Kudusnya
perkawinan Indahnya Kesetiaan” adalah Niat apa yang dapat bapak/ibu lakukan
untuk semakin menjadi pasangan suami/istri yang semakin setia?
Berbagai macam bentuk pendampingan bagi keluarga-keluarga, khususnya
bagi keluarga/pasangan kawin campur beda agama, salah satunya yaitu katekese.
Katekese adalah salah satu kegiatan dengan tujuan untuk memperkembangakan
iman pasangan kawin campur beda agama, maka katekese dengan model Shared
Christian Praxis merupakan salah satu dari model katekese yang bisa digunakan
bagi pasangan kawin campur beda agama. Langkah-langkah yang ada dalam
proses katekese dapat membantu peserta (pasangan beda agama) untuk
menentukan arah yang dicita-citakan. Melalui langkah-langkah SCP yang terarah,
santai namun mendalam sangat cocok dengan situasi pasangan beda agama yang
haus akan perhatian semacam ini. Dalam SCP pasangan beda agama diajak untuk
terlibat dalam sharing, diskusi dan diharapkan berperan aktif dalam setiap langkah-
langkahnya.
84
BAB IV
USULAN PROGRAM KATEKESE UMAT DENGAN MODEL
SHARED CHRISTIAN PRAXIS UNTUK MENINGKATKAN
PENGHAYATAN HIDUP PERKAWINAN BAGI PASANGAN
KAWIN CAMPUR BEDA AGAMA
Katekese bagi keluarga kawin campur beda agama di Paroki St. Paulus,
Palu berusaha membantu pasangan dalam menghayati hidup perkawinan mereka.
Dalam usaha membantu pasangan kawin campur beda agama, usulan suatu
program katekese diharapkan dapat membantu pasangan dalam memahami hidup
perkawinan agar mereka mampu menemukan nilai-nilai kristiani di dalamnya.
Dalam penyusunan program katekese, penulis akan menguraikan tentang
latar belakang pemilihan program, alasan pemilihan tema, rumusan tema dan
tujuan, penjabaran program, petunjuk pelaksanaan program serta contoh persiapan
katekese.
A. Latar Belakang Pemilihan Program
Pasangan keluarga kawin campur beda agama dalam proses kehidupan
sehari-harinya membutuhkan perhatian khusus dari pihak Gereja dalam
mengembangkan iman akan penghayatan hidup perkawinan mereka. Gereja
menyadari akan komplitsitas dan pluralitas situasi masyarakat, di mana orang-
orang Katolik hidup berdampingan dengan non-Katolik, serta kesadaran akan
kebebasan beragama, telah mendorong Gereja Katolik sampai pada pemahaman
85
akan realita terjadinya perkawinan campur. Dan salah satu bentuk perhatian yang
cocok dari Gereja bagi pasangan beda agama ini adalah katekese. Katekese
merupakan pendampingan iman setiap pribadi masing-masing pasangan dalam
menghayati hidup perkawinan mereka yang diwujudkan melalui sikap dan
perbuatan mereka, baik dalam keluarga, Gereja maupun di tengah-tengah
masyarakat. Pendampingan iman untuk pasangan beda agama di Paroki Santo
Paulus, Palu sesudah pernikahan kurang diperhatikan. Pendampingan iman
merupakan salah satu usaha yang ditempuh untuk pendampingan bagi pasangan
beda agama dalam pelayanan bagi perkembangan iman agar masing-masing
pasangan dapat mencapai kedewasaan dalam menghayati hidup perkawinan.
Berdasarkan hasil quesioner terbuka penulis memperoleh gambaran
mengenai pelaksanaan kegiatan pendampingan iman di Paroki Santo Paulus, Palu.
Kenyataannya penyelenggaraan pendampingan iman untuk keluarga kawin campur
beda agama sesudah pernikahan belum berjalan dengan baik, artinya kurang begitu
diperhatikan. Sedangkan pasangan sendiri masih sangat membutuhkan
pendampingan dari pihak Gereja demi penghayatan hidup perkawinan mereka
[Lampiran 6: (13)].
Dari berbagai hasil quesioner terbuka sehubungan dengan penyelenggaraan
katekese tersebut, penulis terdorong untuk bersama mengusahakan usulan dalam
pelaksanaan katekese. Katekese merupakan salah satu bentuk pendampingan iman
yang dapat membatu pasangan beda agama dalam meningkatkan penghayatan
hidup perkawinan mereka. Pendampingan iman tersebut mempunyai tujuan yang
terarah sehingga penulis di sini mengusulkan suatu program katekese. Katekese
merupakan salah satu metode dan bentuk pendampingan iman yang khas bagi
86
keluarga pasangan kawin campur beda agama. Kekhasan tersebut terletak bahwa
katekese yang memuat segi pemahaman dan pengetahuan iman. Katekese
mempunyai tujuan sebagai tahap pengajaran dan pendewasaan. Berdasarkan fakta
di atas, sesuai dengan pelaksanaan katekese yang sudah berlangsung di Paroki
Santo Paulus, Palu dan kebutuhan para peserta sendiri, maka model katekese yang
cocok bagi pasangan beda agama ialah katekese SCP (Shared Christian Praxis).
Melalui katekese SCP para peserta, masing-masing pasangan dapat saling berbagi
pengalaman imannya dalam kehidupan perkawinan mereka.
B. Alasan Pemilihan Tema
Pasangan kawin campur beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu dalam
perjalanannya membutuhkan pendampingan dari pihak Gereja. Mereka ingin tahu
dan mau menjadi anggota Gereja yang baik sehingga berusaha untuk dapat
membangun rumah tangga sesuai dengan iman kristiani. Maka dari itu sesuai
dengan judul skripsi penulis dan bertitik tolak dari situasi dan kebutuhan pasangan
kawin campur beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu, maka diusulkan satu tema
besar, yaitu “Meningkatkan Penghayatan Hidup Perkawinan dalam Keluarga
Kawin Campur Beda Agama”. Tema ini dipilih dengan maksud untuk membantu
pasangan kawin campur beda agama dalam memahami hidup perkawinan dan
menghayati nilai-nilai perkawinan kristiani, sehingga mampu untuk
mewujudkannya dalam kehidupan berkeluarga mereka sehari-hari. Berdasarkan
kebutuhan pasangan beda agama sendiri untuk lebih menghayati hidup perkawinan
mereka yang berbeda keyakinan, terlebih dalam menghayati hidup perkawinan
kristiani, maka tema tersebut akan dijabarkan dalam 3 (tiga) subtema, yaitu:
87
pengembangan pemahaman pasangan beda agama terhadap perkawinan,
pemahaman pasangan beda agama akan pentingnnya arti keluarga, dan
pengembangan iman anak dalam keluarga beda agama. Subtema yang pertama
diangkat untuk membantu peserta semakin menyadari tugas mereka sebagai
orangtua dalam mendidik dan mengembangkan iman anak, sehingga anak semakin
dewasa dalam iman seturut teladan hidup Yesus. Subtema kedua diangkat
membantu pasangan beda agama untuk mengerti dan menghayati perkawinan
dalam keluarga sehingga mampu memperkembangkan penghayatan perkawinan
kristiani. Subtema ketiga diangkat bersama peserta semakin menyadari akan
pentinya arti keluarga dengan menerima pasangan sebagai partner yang sederajat,
sehingga satu sama lain tidak saling membedakan dan dapat dengan bijaksana
menjalani tugas dan tanggung jawab dalam keluarga.
C. Rumusan Tema dan Tujuan
Tema beserta penjabaran subtema akan dilaksanakan dalam jangka waktu
satu tahun dan 8 (delapan) kali pertemuan. Uraian tema, tujuan, subtema serta
tujuan subtema diuraikan sebagai berikut:
Tema : Meningkatkan Penghayatan Hidup Perkawinan dalam Keluarga
Kawin Campur Beda Agama
Tujuan : Membantu pasangan kawin campur beda agama dalam memahami
hidup perkawinan dan menghayati nilai-nilai perkawinan kristiani,
sehingga mampu untuk mewujudkannya dalam kehidupan
berkeluarga mereka sehari-hari.
88
Subtema 1 : Pengembangan Pemahaman Pasangan Beda Agama Terhadap
Perkawinan
Tujuan 1 : Membantu pasangan beda agama untuk mengerti dan menghayati
perkawinan dalam keluarga sehingga mampu memperkembangkan
penghayatan perkawinan kristiani.
Subtema 2 : Pemahaman Pasangan Beda Agama Akan Pentingnnya Arti
Keluarga
Tujuan 2 : Bersama peserta semakin menyadari akan pentingnya arti keluarga
dengan menerima pasangan sebagai partner yang sederajat,
sehingga satu sama lain tidak saling membedakan dan dapat dengan
bijaksana menjalani tugas dan tanggung jawab dalam keluarga.
Sutema 3 : Pengembangan Iman Anak dalam Keluarga Beda Agama
Tujuan 3 : Membantu peserta untuk semakin menyadari tugas mereka sebagai
orang tua dalam mendidik dan mengembangkan iman anak,
sehingga anak semakin dewasa dalam iman.
89
D. Penjabaran Program
Tema : Meningkatkan Penghayatan Hidup Perkawinan dalam Keluarga Kawin Campur Beda Agama
Tujuan : Membantu pasangan kawin campur beda agama dalam memahami hidup perkawinan dan menghayati nilai-nilai
perkawinan kristiani, sehingga mampu untuk mewujudkannya dalam kehidupan berkeluarga mereka sehari-hari.
No Sub Tema Tujuan Sub Tema
Judul Pertemuan
Tujuan Pertemuan
Materi Metode Sarana Sumber Bahan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1. Pengembangan
Pemahaman Pasangan Beda Agama Terhadap Perkawinan
Membantu pasangan beda agama untuk mengerti dan menghayati perkawinan dalam keluarga sehingga mampu memperkembangkan penghayatan perkawinan kristiani.
a. Memahami Perkawinan Kristiani
b. Memahami
Perkawinan Beda Agama
Bersama peserta memahami perkawinan Kristiani sehingga mampu mengembangkan penghayatan tentang perkawinan. Bersama peserta memahami perkawinan beda agama sehingga mampu memperkembangkan pemahaman tentang kawin beda agama.
• Arti Perkawinan
• Tujuan Perkawinan
• Ciri Perkawinan
• Arti
Perkawinan Beda Agama
• Kesulitan dan permasalahan kawin beda agama
• Informasi • Tanya
jawab • Diskusi • Informasi • Tanya
jawab • Sharing • Diskusi
• Buku MB • Kitab Suci • Alat tulis • Kitab Suci • Buku MB • Alat tulis
• Mat 19:4-6 • FC, art. 18-
20 • Skripsi ini,
hal. 71-78 • 1 Kor 7:12-
14 • FC art. 28 • Go, 1987:
45-69 • Purwa Hadiwardoyo, 1990, hal. 79-81
90
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 2
Pemahaman Pasangan Beda Agama Akan Pentingnnya Arti Keluarga
Bersama peserta semakin menyadari akan pentinya arti keluarga dengan menerima pasangan sebagai partner yang sederajat, sehingga satu sama lain tidak saling membedakan dan dapat dengan bijaksana menjalani tugas dan tanggung jawab dalam keluarga.
c. Keluarga Kristiani sebagai Komunitas Kasih, Hidup dan Iman
d. Kudusnya
Perkawinan Indahnya Kesetiaan
Peserta diajak untuk memahami dan mengembangkan keluarga sebagai komunitas yang berlandaskan kasih dan iman lewat pemahaman Gereja. Bersama Peserta menyadari pentinganya kesetiaan hidup berkeluarga sehingga peserta semakin mampu untuk mewujudkan janji perkawinan dalam keluarga baik dalam suka maupun duka.
• Komunitas Kasih
• Komunitas Hidup
• Komunitas Iman
• Suami-Istri
Dipanggil untuk Saling Mencintai
• Perlunya Kesetiaan untuk Memperkokoh Kesatuan
• Sharing • Informasi • Diskusi • Sharing • Diskusi • Refleksi • Tanya
jawab • Informasi
• Kitab Suci • Teks lagu • Alat tulis • Kitab Suci • Teks Lagu • Video (film
“Perselingkuhan”)
• Kol 3:18-25 • Wignya-
sumarta, dkk. 2000, hal. 32-38
• Ef, 5:22-33 • Bergant dan
Robert J. Karris, 2000, hal.349
91
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 3
Pengembangan Iman Anak dalam Keluarga Beda Agama
Membantu peserta untuk semakin menyadari tugas mereka sebagai orang tua dalam mendidik dan mengembang- kan iman anak, sehingga anak semakin dewasa dalam iman.
e. Wujud Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak
f. Keluarga
Adalah Persemaian Benih Iman
Bersama-sama pendamping, peserta semakin mampu untuk menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua dalam mendidik anak-anak, sehingga mampu mewujudkannya dalam hidup berkeluarga sehari-hari dengan cinta kasih. Bersama peserta menyadari bahwa keluarga adalah tempat persemaian iman sehingga orang tua mempunyai tanggungj awab mengembangkan iman anak.
• Menciptakan Keluarga yang harmonis
• Arti tanggung jawab
• Meningkatkan
Iman • Meningkatkan
Penghayatan Iman Keluarga
• Sharing • Diskusi • Refleksi • Informasi • Tanya
jawab • Renungan • Informasi • Sharing • Tanya
jawab
• Buku MB • Video
“Tanggung Jawab”
• Teks pertanyaan pendalaman
• Kitab Suci • Teks lagu • Cerita
• FC, art. 36, 38
• GS, art. 50 • Skripsi ini
hal. 76 • Mat 5:13-6 • Skripsi ini,
hal. 74-75 • Gilarso,
1996. hal. 11-12
92
E. Petunjuk Pelaksanaan Program
Program pendampingan ini diusulkan bagi pasangan keluarga kawin
campur beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu. Program ini dilaksanakan
selama tahun 2010 dengan enam (6) pertemuan. Pertemuan dilaksanakan secara
berurutan sesuai dengan penjabaran program yang telah dibuat. Pertemuan
dilaksanakan tiap dua bulan sekali pada minggu ketiga. Setiap pertemuan/tema
dilaksanakan dalam waktu kurang lebih satu setengah jam. Pelaksanaan untuk
pertemuan katekese ini bertempat di aula gereja Santo Paulus, Palu. Program
pendampingan ini disampaikan kepada pasangan kawin campur beda agama
Paroki Santo Paulus, Palu bekerja sama dengan ketua Dewan Pastoral Paroki, para
pendamping keluarga, dan Pastor Paroki Santo Paulus, Palu. Pertemuan katekese
dalam program ini dipimpin oleh penulis dengan proses pelaksanaan sesuai urutan
subtema dalam program ini.
Dengan adanya usulan program tersebut, penulis berharap agar para
pendamping keluarga di Paroki Santo Paulus, Palu dapat menggunakan model
SCP ini sebagai bentuk pendampingan iman keluarga pasangan beda agama di
Paroki Santo Paulus, Palu.
F. Contoh Persiapan Katekese
Usulan program katekese di atas penulis membuat dan mengajukan satu
contoh persiapan katekese. Penulis mengajukan contoh persiapan dari salah satu
pertemuan (Wujud Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak),
berdasarkan urutan tema dari usulan program yang telah penulis buat dalam bagian
93
penjabaran program. Tema contoh pertemuan ketiga tersebut diangkat berdasarkan
kebutuhan pasangan beda agama yang ada dalam bab II.
1. Identitas Katekese
a. Tema : Wujud Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Iman
Anak
b. Tujuan : Bersama-sama pendamping, peserta semakin mampu untuk
menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua
dalam mendidik anak-anak, sehingga mampu
mewujudkannya dalam hidup berkeluarga sehari-hari
dengan cinta kasih.
c. Peserta : Pasangan Beda Agama Paroki Santo Paulus, Palu
d. Tempat : Aula Paroki Santo Paulus, Palu
e. Waktu : 17.00-18.30 WITA
f. Model : SCP (Shared Christian praxis)
g. Metode : - Sharing
- Diskusi
- Refleksi
- Informasi
- Tanya jawab
h. Sarana : - Buku MB
- VCD “Tanggung Jawab“
- Teks pertanyaan pendalaman
i. Sumber bahan : - FC, art. 36, 38
94
- GS, art. 50
- Skripsi, hal. 76
2. Pemikiran Dasar
Fakta bahwa kawin campur beda agama sering terjadi di masyarakat kita,
khususnya di sini di Paroki St. Paulus Palu dan merupakan pilihan konkret yang
dipertanggungjawabkan. Permasalahan keluarga yang ditimbulkan salah satunya
menyangkut masalah pendidikan iman anak. Pada kenyataannya banyak orang tua
kurang menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya dalam pendidikan iman
anak. Orang tua umumnya sibuk dengan urusan pribadinya tanpa mau
memperhatikan perkembangan dan pendidikan iman anak-anak mereka. Di sisi
lain banyak pula orang tua yang mengalami kesulitan dalam mendampingi anak-
anaknya. Situasi semacam ini dapat menjadi hambatan atau kendala bagi anak-
anak dalam perkembangan penghayatan imannya.
Keluarga-keluarga di Paroki Santo Paulus, Palu mempunyai status
kehidupan sosial ekonomi yang beranekaragam meliputi pegawai, pedagang,
karyawan, pengusaha, sopir dan petani, baik yang bermukim di kota maupun di
desa/stasi. Pekerjaan yang ditekuni masing-masing pasangan merupakan salah satu
penyebab kurangnya perhatian terhadap pendampingan iman anak. Pasangan beda
agama sendiri menjadikan masalah anak sebagai salah satu masalah yang sangat
penting, sebab mereka sendiri bingung untuk mendidik anaknya mengikuti pihak
non-Katolik atau mendidik anak secara Katolik.
Familiaris Consortio, artikel 36 menguraikan tentang tugas untuk
memberikan pendidikan kepada anak berakar dalam panggilan utama orang-orang
95
yang menikah untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah. Orang tua
mengemban tugas kewajiban untuk membantu agar pribadi itu sungguh-sungguh
mampu hidup sepenuhnya sebagai manusia. FC mengingatkan bahwa para orang
tua mengemban tugas pertama dan utama mendidik anak-anak mereka. Menjadi
kewajiban orang tualah menciptakan suasana keluarga yang sedemikian dijiwai
oleh cinta kasih dan sikap hormat kepada Allah dan orang-orang lain sehingga
perkembangan pribadi dan sosial yang utuh dapat dipupuk di antara anak-anak.
Maka keluarga adalah sekolah pertama demi keutamaan-keutamaan sosial yang
dibutuhkan oleh setiap masyarakat. Hak dan kewajiban orang tua untuk
memberikan pendidikan adalah hal yang esensial, sebab berhubungan dengan hal
meneruskan hidup manusia. Ciri khas dari peranan mendidik yang diemban oleh
orang tua, yakni cinta kasih orang tua, yang akan terpenuhi dalam tugas mendidik
itu bila menggenapi dan menyempurnakan pelayanannya kepada kehidupan: di
samping sebagai sumber, cinta kasih orang tua juga merupakan asas penjiwa dan
dengan demikian merupakan kaidah atau norma yang mengilhami dan
membimbing seluruh kegiatan konkret pendidikan, sambil memperkayanya
dengan nilai-nilai kelembutan, kemantapan, merupakan buah cinta kasih yang
paling berharga. Dalam perkawinan, sepasang suami-istri juga dipercayakan oleh
masyarakat untuk mempersiapkan generasi umat manusia yang lebih baik dari
generasi sebelumnya.
Dari pertemuan katekese, peserta diharapkan semakin mampu menyadari
tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua dalam pendidikan iman anak-
anaknya. Orang tua juga perlu untuk menanamkan nilai-nilai kristiani dalam
keluarga, sehingga kelak nantinya mereka dapat menjadi pribadi yang utuh,
96
dewasa, beriman dan mandiri. Anak adalah kunci utama tanggung jawab kita
sebagai orang tua. Mereka membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang
tuanya. Segala sesuatu yang mereka terima dari orang tua dirasakan penting karena
itu menyangkut perkembangan hidup selanjutnya. Dalam kenyataannya banyak
orang tua yang sibuk dengan urusan pribadinya tanpa mau memperhatikan
perkembangan anak terutama dalam hal iman. Di sisi lain banyak orang tua yang
mengalami kesulitan dalam mendampingi anak-anaknya.
3. Pengembangan Langkah-langkah
a. Pembukaan
1) Pengantar
Bapak/ibu yang terkasih dalam Yesus Kristus selamat sore. Kita patut
bersyukur kepada Allah karena kita masih diberi kesehatan sehingga kita dapat
berkumpul pada sore hari ini untuk pertemuan pendalaman iman. Sebagai orang
tua kita mempunyai peranan penting akan tugas dan tanggung jawab dalam
pendidikan anak. Melalui pertemuan kita pada sore ini, kita diajak untuk melihat
tugas pertama dan utama kita dalam mendidik anak-anak. Menjadi kewajiban
orang tualah menciptakan suasana keluarga yang sedemikian dijiwai oleh cinta
kasih dan sikap hormat kepada Allah dan orang-orang lain sehingga
perkembangan pribadi dan sosial yang utuh. Maka keluarga adalah sekolah
pertama demi keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan oleh setiap
masyarakat. Hak dan kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan adalah
hal yang esensial, sebab berhubungan dengan hal meneruskan hidup manusia.
Oleh karena itu melalui pertemuan sore har ini, kita sebagai orangtua diharapkan
97
mampu memberi teladan dalam hidup menggereja sebagai wujud tanggung jawab
dalam mendampingi anak-anak agar tumbuh dan berkembanng dan terlebih lagi
semakin mampu menghayati imannya.
2) Lagu Pembukaan : Madah Bakti, No. 223 “Letakkanlah Alas Rumahmu”
3) Doa Pembukaan
Bapa Yang Maha Kasih, pada sore hari ini kami semua mengucap syukur atas
berkat-Mu sehingga kami boleh bertemu pada kesempatan yang indah ini. Pada
kesempatan ini, kami ingin belajar dan memahami tanggung jawab kami sebagai
orang tua yang kau percayakan untuk mendampingi dan mendidik anak-anak kami
di tengah aneka macam tantangan jaman. Saat ini kami akan bersama-sama
menggali, mensharingkan dan merefleksikan sejauh mana tanggung jawab kami
sebagai orang tua dalam pendampingan iman anak. Bimbinglah dan hantarlah
kami agar kami semakin bertanggungjawab memberikan keutamaan dan
keteladanan bagi anak-anak kami. Ya Bapa di surga, karuniakanlah kepada kami
rahmat yang kami butuhkan sebagai orang tua sehingga semakin
bertanggungjawab dalam memberikan keutamaan dan keteladanan bagi anak-anak
kami. Demi Tuhan kami Yesus Kristus, yang bersatu dengan Dikau kini dan
sepanjang segala masa. Amin.
b. Langkah I: Mengungkapkan Pengalaman Hidup Peserta
1) Peserta diajak untuk menonton VCD yang berjudul “Tanggung Jawab”
2) Penceritaan kembali isi film, peserta diminta untuk menceritakan kembali isi
film “ Tanggung jawab “ yang baru disaksikan tadi.
3) Intisari Film “ Tanggung jawab “
98
Film ini menggambarkan sebuah keluarga yang ingin memperhatikan
pendidikan anak-anaknya. Ketika suami Bekti pulang dari Lembaga
Pemasyarakatan mereka berkumpul kembali dan ingin membangun habitus baru.
Bekti ingin mengundurkan diri dari ketroprak, alasannya karena dia ingin
memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Atas perubahannya itu warga
berprasangka buruk pada Bekti. Bekti sebagai orang tua tetap berperan penting
dalam mendidik anak-anaknya dan itu merupakan tugas utamanya. Hal ini dapat
dilihat bagaimana Bekti sebagai orang tua yang bertanggungjawab terhadap
anaknya, ia selalu memperhatikan dan rela meninggalkan pekerjaannya demi anak-
anaknya.
4) Pengungkapan Pengalaman : peserta diajak untuk mendalami isi dari film
tersebut yang baru disaksikan dengan tuntunan beberapa pertanyaan berikut.
• Ceritakanlah kesulitan-kesulitan yang dialami Bekti dan Buang dalam
mewujudkan tanggung jawab terhadap anak-anak mereka!
• Ceritakan pengalaman Bapak/Ibu dalam meghadapi kesulitan-kesulitan
mewujudkan tanggung jawab dalam pendidikan iman anak!
5) Arah Rangkuman
Pada awal film tadi diungkapkan bahwa Bekti terlalu sibuk dengan
kegiatannya sendiri yaitu sebagai peran utama dalam ketoprak. Karena
kesibukannya itu Bekti mengalami kesulitan dalam mendidik anaknya. Ia tidak
cukup waktu untuk dapat memperhatikan perkembangan anaknya. Tetapi Bekti
sadar akan tanggung jawabnya sebagai orangtua. Ia rela meninggalkan
pekerjaannya sebagai peran jondang dan ini ia lakukan untuk memperhatikan
pendidikan anaknya. Sebagai orangtua yang bertanggungjawab, ia berusaha untuk
99
memperhatikan dan mendidik anaknya supaya bertumbuh dan berkembang. Ia
berusaha memberikan keteladanan bagi anak-anaknya agar semakin menghayati
imannya dalam hidup sehari-hari
Begitu juga dengan pengalaman kita dalam hal mendidik anak, kadang kala
kita mengalami berbagai macam kesulitan dalam mendidik, di mana kesulitan itu
muncul ketika kita sibuk dengan aktivitas kita sehari-hari dan tanpa kita sadari
pendidikan anak terabaikan. Kita lebih cenderung mementingkan diri kita sendiri
tanpa memikirkan orang lain. Hal ini mengakibatkan kita kurang peka terhadap
perkembangan iman anak. Kita sebagai orang tua memiliki peranan penting dalam
hal pendidikan dan perkembangan iman anak-anak kita agar anak-anak semakin
memahami dan menghayati imannnya dalam hidup sehari-hari.
c. Langkah II : Mendalami Pengalaman Hidup Peserta
1) Peserta diajak untuk merefleksikan pengalaman atau film yang baru disaksikan
tadi, dengan bantuan beberapa pertanyaan.
• Cara mana sajakah yang bapak/ibu telah gunakan dalam menghadapi
kesulitan mewujudkan tanggung jawab dalam pendidikan iman anak?
2) Dari jawaban yang telah diungkapkan oleh peserta pendamping memberikan
arahan berikut.
Sebagai orang tua yang bertanggungjawab terhadap pendidikan iman anak,
ia selalu mengorbankan apa saja demi anaknya. Orang tua menjadi peran utama
dalam pendidikan anak. Dalam menjalani tugas tersebut orang tua selalu berusaha
untuk mengorbankan segala sesuatu demi perkembangan dan pertumbuhan anak-
anaknya kelak. Orang tua selalu mengharapkan yang terbaik untuk anak-anaknya
100
agar menjadi orang yang berguna. Akan tetapi tidak jarang apa yang sudah kita
lakukan belum dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan iman anak. Hal ini
dapat disebabkan karena kita kurang dapat memahami perkembangan anak kita
secara mendalam. Terkadang kita merasa cukup dengan memberikan nasehat
bahkan perintah agar anak melakukan apa yang kita harapkan. Kita kurang
menyadari bahwa secara tidak langsung anak-anak sering kali meniru apa yang
dilakukan orang tuanya. Dalam menghadapi sikap tersebut, orang tua perlu
memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya disertai
perkembangan yang serba modern ini. Hendaknya segala sesuatu yang dilakukan
orang tua merupakan cinta dan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya.
Dalam kaitannya dengan pendampingan iman anak kita dapat memberikan
keteladanan bagi anak-anak kita melalui sikap, perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan
rohani kita.
d. Langkah III : Menggali Pengalaman Iman Kristiani
1) Salah seorang peserta diminta bantuannya untuk membacakan langsung dari
FC, art. 36
2) Peserta diberi waktu sebentar untuk hening sejenak sambil secara pribadi
merenungkan dan menanggapi pembacaan artikel tersebut dengan bantuan
beberapa pertanyaan sebagai berikut.
• Ungkapan manakah yang menunjukkan tanggung jawab sebagai orang tua
dalam artikel ini?
• Sikap-sikap tanggung jawab apa saja yang dapat dipetik dari artikel
tersebut dalam upaya pendidikan iman anak?
101
• Apa arti tanggung jawab dalam pendidikan iman anak dalam artikel tadi?
3) Peserta diajak untuk secara pribadi mencari sendiri dan menemukan pesan inti
artikel tersebut sehubungan dengan jawaban tiga pertanyaan di atas.
4) Penjelasan dari FC, art. 36 dan menghubungkan dengan tanggapan peserta
dalam hubungan dengan tema dan tujuan.
Tugas untuk memberikan pendidikan berakar dalam panggilan utama
orang-orang yang menikah untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan
Allah: dengan memperanakkan dalam kasih dan untuk kasih seorang pribadi baru
yang di dalam dirinya mempunyai panggilan untuk tumbuh dan berkembang,
orang tua justru oleh karena kenyataan itu mengemban tugas kewajiban untuk
membantu agar pribadi itu sungguh-sungguh mampu hidup sepenuhnya sebagai
manusia. Maka, orang tua harus diakui sebagai pendidik, yang pertama dan
terutama bagi anak-anak mereka. Peranan mereka sebagai pendidik sedemikian
menentukan sehingga hampir tidak ada suatu apa pun yang dapat
menggantikannya. Menjadi kewajiban orang tualah menciptakan suasana keluarga
yang sedemikian dijiwai oleh cinta kasih dan sikap hormat kepada Allah dan
orang-orang lain sehingga perkembangan pribadi dan sosial yang utuh dapat
dipupuk di antara anak-anak. Hak dan kewajiban orang tua untuk memberikan
pendidikan adalah hal yang esensial, sebab berhubungan dengan hal meneruskan
hidup manusia.
Pada ciri-ciri khas itu dapat ditambahkan dan tidak boleh dilupakan unsur
paling mendasar, sedemikian mendasar sehingga memberi ciri khas dari peranan
mendidik yang diemban oleh orang tua, yakni cinta kasih orang tua, yang akan
terpenuhi dalam tugas mendidik itu bila menggenapi dan menyempurnakan
102
pelayanannya kepada kehidupan: di samping sebagai sumber, cinta kasih orang tua
juga merupakan asas penjiwa dan dengan demikian merupakan kaidah atau norma
yang mengilhami dan membimbing seluruh kegiatan konkret pendidikan, sambil
memperkayanya dengan nilai-nilai kelembutan, kemantapan, merupakan buah
cinta kasih yang paling berharga. Dalam perkawinan Katolik, anak merupakan
suatu karunia yang luhur dalam perkawinan. Orang tua mempunyai tugas untuk
menyalurkan hidup secara manusiawi serta mendidik anak, yang harus dipandang
sebagai perutusan dari Allah. Mereka menunaikan tugas mendidik anak dengan
penuh tanggung jawab, penuh taat pada Allah untuk membentuk pendirian anak
yang dewasa dengan memperhatikan kesejahteraan anak
e. Langkah IV : Menerapkan Iman Kristiani dalam Situasi Peserta Konkret
1) Pengantar
Dalam pembicaraan tadi kita sudah menemukan cara-cara mana yang
digunakan oleh FC art. 36 mengenai tugas dan tanggung jawab orang tua dalam
perwujudan pendidikan iman anak. Cara tersebut kita terapkan dalam kehidupan
berkeluarga kita. Dapat kita lihat bersama bahwa artikel tersebut mau
mempertegas kembali tugas dan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik
pertama dan utama dalam mendidik anak-anak mereka. Menjadi kewajiban orang
tualah menciptakan suasana keluarga yang sedemikian dijiwai oleh cinta kasih.
Meskipun dalam kehidupan berkeluarga kita yang nota bene berbeda keyakinan,
kita juga mengalami kesulitan khususnya kesulitan kita untuk mendidik anak
mengikuti salah satu pihak. Perkembangan jaman yang semakin modern juga
menjadi salah satu faktor dalam mendidik anak-anak sebab anak cenderung untuk
103
mengikutinya. Namun dalam pertemuan ini kita semakin disadarkan untuk lebih
memfokuskan tanggung jawab terhadap pendampingan iman anak.
2) Sebagai bahan refleksi agar kita dapat semakin menghayati dan menyandarkan
diri pada Allah satu-satunya pedoman bagi langkah hidup kita sebagai orang
tua yang bertanggung jawab atas pendampingan iman anak. Untuk itu marilah
kita mencoba menjawab dan merenungkan pertanyaan berikut:
• Sikap-sikap mana yang dapat kita (bapak/ibu) kembangkan dalam keluarga
beda agama dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
orang tua bagi anak-anak kita demi perkembangan imannya di Paroki
Santo Paulus, Palu?
3) Saat hening secara pribadi akan pesan Injil dengan situasi konkret bapak/ibu
sebagai orang tua dengan panduan pertanyaan di atas. Kemudian diberi
kesempatan untuk mengungkapkan hasil renungan pribadinya itu.
4) Arah Rangkuman
Sebagai orang tua, kita mengemban tugas pertama dan utama dalam
mendidik dan membimbing anak-anak. Menjadi kewajiban kita sebagai orang tua
untuk menciptakan suasana keluarga dijiwai oleh cinta kasih. Dalam situasi jaman
yang terus berkembang, banyak persoalan dan tantangan bagi kita sebagai
orangtua dalam pendampingan anak, khususnya di sini bagi kita di Paroki Santo
Paulus, Palu. Marilah kita sebagai orang tua untuk semakin memperhatikan
perkembangan dan pertumbuhan anak kita. Sebagai orang tua dengan perbedaan
yang ada, kita bertanggungjawab atas pendidikan dan perkembangan iman anak-
anak kita dengan meluangkan waktu demi anak dan tidak lupa memperhatikan
pendampingan anak agar kelak menjadi orang yang beriman.
104
f. Langkah V : Mengusahakan Suatu Aksi Konkret
1) Pengantar.
Bapak/ibu yang terkasih dalam Yesus Kristus, mulai dari pemutaran film
“Tanggung Jawab” kita menggali bersama-sama pengalaman kita sebagai orangtua
yang bertanggungjawab dalam pendampingan iman anak. Kita diharapkan untuk
benar-benar memperhatikan perkembangan dan pertumbuhannya agar kelak anak
bisa bertumbuh dan berkembang dalam iman. Kemudian kita merefleksikan
bersama pengalaman-pengalaman kita yang diungkapkan agar kita mampu untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan yang kita alami dalam pendampingan iman anak
dengan berusaha untuk memahami situasi dan kebutuhan anak akan perkembangan
imannya. Dalam dokumen Familiaris Consortio, orang tua mengembang tugas dan
tanggung jawab dari Allah untuk mendidik dan mengasuh anak menjadi generasi
baru. Cinta kasih dalam perkawinan digenapi dengan cinta kasih orang tua pada
anak dan terpenuhi dalam mendidik keturunan. Kita juga belajar untuk
mengemban tugas pertama dan utama dalam mendidik anak-anak kita. Menjadi
kewajiban orang tualah menciptakan suasana keluarga yang sedemikian dijiwai
oleh cinta kasih. Maka dalam kesempatan ini diharapkan kita sebagai orang tua
semakin diteguhkan/disadarkan untuk memperhatikan perkembangan dan
pertumbuhan iman anak. Dengan demikian berdasarkan refleksi pengalaman kita
dan ajakan Familiaris Consortio pada sore hari ini, marilah kita bersama-sama
merencanakan usaha atau bentuk tindakan nyata kita dalam membantu
perkembangan iman anak-anak kita.
105
2) Memikirkan niat-niat yang bisa kita lakukan sebagai niat bersama:
• Niat apa yang dapat bapak/ibu lakukan terhadap anak-anak sebagai bentuk
tanggung jawab terhadap pendampingan iman anak di dalam keluarga beda
agama di Paroki Santo Paulus, Palu?
• Hal-hal apa saja yang dapat mendukung kita untuk dapat mewujudkan niat-
niat kita tersebut agar lebih optimal?
Setelah itu peserta diberi kesempatan untuk mengungkapkan niat-niatnya
dalam kelompok besar sebagai bentuk keteladanan orang tua terhadap
perkembangan iman anak-anak. Niat-niat pribadi diungkapkan. Niat bersama
didiskusikan sebagai wujud niat bersama yang dijadikan niat setiap pasangan.
g. Penutup
1) Peserta diajak untuk hening sejenak dahulu, merenungkan niat-niat yang telah
disampaikan.
2) Kesempatan doa umat secara spontan yang didahului oleh pendamping dengan
menghubungkan akan kebutuhan dan situasi peserta. Doa umat tersebut disusul
oleh peserta yang ingin mengungkapkan doanya. Akhir pertemuan ditutup
dengan doa penutup.
3) Doa penutup
Allah Bapa kami di surga, terima kasih atas kesempatan yang telah Engkau
berikan. Berkat bimbingan Roh Kudus-Mu kami semua boleh untuk semakin
membuka hati dan budi kami sebagai orang tua. Terima kasih pula atas
pengalaman yang Kau berikan melalui rekan-rekan kami. Kami sadar bahwa
selama ini kami kurang memahami perkembangan iman anak-anak kami. Kami
106
selalu sibuk dengan diri kami sendiri dan lebih cenderung mementingkan diri
kami sendiri. Hendaknya segala sesuatu yang kami lakukan merupakan cinta
dan kasih sayang kami terhadap anak-anak. Ya Bapa, kami percaya bahwa
Engkau selalu menuntun kami, terlebih untuk membangun sikap dan niat-niat
kami dalam upaya mendampingi iman anak-anak kami. Semoga dengan kami
para orang tua dapat lebih bersemangat dan bertanggungjawab untuk
menghantar anak-anak kami bertumbuh menjadi pribadi yang setia kepada-Mu.
Semua ini kami mohon kepada-Mu dalam nama Yesus Kristus Putra-Mu,
Tuhan dan Pengantara kami, sepanjang segala masa, Amin.
4) Sesudah doa penutup, pertemuan diakhiri dengan bersama menyanyikan dari
teks “Santo Yosef Yang Menjaga” (MB. 553).
107
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendampingan iman bagi keluarga pasangan kawin campur beda agama di
Paroki Santo Paulus, Palu sesudah pernikahan kurang diperhatikan oleh Gereja.
Kenyataannya dalam perjalanan hidup berkeluarga, pasangan beda agama masih
sangat membutuhkan pendampingan yang berkelanjutan. Pelaksanaan katekese
bagi keluarga kawin campur beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu khusus
untuk pasangan sebelum pernikahan telah terlaksana. Sedangkan pendampingan
iman sesudah pernikahan kurang diperhatikan oleh Gereja dengan melihat harapan
peserta akan pendampingan yang berkelanjutan.
Pendampingan iman ingin membantu pasangan beda agama menghadapi
persoalan hidup berkeluarga mereka. Pendampingan iman merupakan suatu usaha
yang ditempuh untuk pendampingan bagi pasangan beda agama dalam pelayanan
bagi perkembangan iman agar masing-masing pasangan dapat mencapai
kedewasaan dalam menghayati hidup perkawinan. Di dalam perkawinan, suami-
istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cinta
kasih. Sakramen perkawinan memberikan pada peranan pendidik (orang tua) itu
martabat dan panggilan untuk menjadi sungguh-sungguh “pelayan” Gereja demi
pengabdian untuk pengembangan anggota-anggotanya. Melalui suami atau istri
Tuhan hadir, menolong, menguatkan dan membahagiakan pasangan. Persatuan
cinta suami-istri menunjuk kepada suatu persatuan cinta. Perkawinan kristiani
menjadi gambaran dari hubungan cinta yang lebih mulia. Dalam sakramen
108
perkawinan, ikatan cinta suami istri menjadi lambang, tanda dan perwujudan kasih
Kristus kepada Gereja-Nya sekaligus memberikan rahmat bagi mereka. Dalam
perjalanannya, pasangan keluarga kawin campur beda agama masih sangat
membutuhkan pendampingan yang berkelanjutan demi kelangsungan hidup
berkeluarga mereka, dalam menghayati hidup perkawinan. Melihat kenyataan
seperti itu, penulis mencoba mencari alternatif untuk mengatasi permasalahan
tersebut dengan mengusahakan suatu kegiatan untuk membantu keluarga beda
agama dalam menghayati hidup perkawinan.
Usulan kegiatan tersebut merupakan tanggapan atas kenyataan yang
banyak terjadi, di mana pasangan beda agama dalam kehidupan keluarganya tidak
jarang menemukan permasalahan-permasalahan atau kesulitan-kesulitan yang
terjadi, baik dalam keluarga itu sendiri maupun faktor yang datang dari luar.
Permasalahan yang datang dari dalam, meliputi kurangnya pemahaman dari
masing-masing pihak akan penghayatan hidup perkawinan, masalah pendidikan
iman anak dan lain sebagainya. Sedangkan masalah yang datang dari luar, yaitu
kemungkinan adanya campur tangan dari pihak luar dalam urusan rumah tangga
pasangan tersebut. Untuk itu pasangan sangat membutuhkan perhatian dari pihak
gereja dalam bentuk pendampingan demi keutuhan hidup berkeluarga.
Pendampingan yang cocok bagi pasangan beda agama ialah katekese. Bertolak
dari kenyataan tersebut, penulis mencoba menawarkan suatu sumbangan
pemikiran untuk membantu pasangan beda agama dalam pendampingan iman
mereka. Gagasan penulis tersebut diuraikan dalam bentuk usulan program
katekese. Hal tersebut dimaksudkan agar gagasan dasar pertemuan katekese dapat
109
dimengerti oleh pembaca, sehingga pertemuan katekese dapat menjawab
kebutuhan dan harapan-harapan peserta.
Katekese SCP merupakan salah satu bentuk katekese alternatif dari
katekese yang bertolak dari pengalaman hidup, yang sifatnya dialogis partisipatif
dengan tujuan mendorong peserta mengkomunikasikan antara tradisi dan visi
hidup peserta dengan tradisi dan visi hidup kristiani sehingga mampu untuk
mengambil keputusan baik secara pribadi maupun bersama. Pendampingan iman
ini dilaksanakan dalam bentuk katekese karena di dalam katekese dimungkinkan
adanya komunikasi iman atau tukar menukar pengalaman iman dalam dialog yang
terbuka. Dialog yang terjadi dalam pertemuan katekese akan menumbuhkan sikap
terbuka, percaya dan saling menghargai yang dapat meneguhkan iman peserta.
Iman yang diteguhkan dalam pertemuan katekese hendaknya semakin
diperkembangkan dan disempurnakan dalam pengalaman konkret peserta. Dengan
demikian secara terus-menerus peserta semakin disempurnakan dalam kehidupan
imannya, sehingga akan terus berkembang.
B. Saran
Berdasarkan beberapa kesimpulan di atas, penulis ingin menyampaikan
beberapa saran sebagai buah refleksi penulis selama ini, bagi paroki setempat,
seksi pewartaan iman dan juga bagi pasangan beda agama sendiri.
1. Paroki Setempat
Bagi paroki setempat dapat membantu pasangan beda agama dalam
menghayati hidup perkawinan mereka dan meningkatkan kesadaran terhadap
110
tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam
pendidikan iman anak melalui perhatiannya dengan memakai katekese yang
bertolak dari pengalaman peserta, dalam hal ini bagi keluarga pasangan kawin
campur beda agama.
2. Seksi Pewartaan Iman Paroki,
Bagi seksi pewartaan iman, berhubung katekese model SCP dapat
membantu pasangan beda agama untuk semakin bersahabat dengan
pengalaman hidupnya, semakin mampu mengungkapkan imannya dalam
tindakan dan sikap hidup nyata, maka katekese model SCP perlu diperhatikan
atau dapat dipakai.
3. Pasangan Beda Agama
Bagi pasangan keluarga beda agama, sebagai orang tua perlu meningkatkan
kesadaran terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik iman yang
pertama dan utama dalam keluarga dan perlu disadari bahwa pendidikan iman
anak dalam keluarga tidak tergantikan oleh siapapun selain orang tua itu
sendiri. Gereja dan sekolah hanya membantu dan melengkapi apa yang masih
kurang dan apa yang belum diberikan oleh orang tua.
Penulis berharap agar pemikiran yang penulis sumbangkan dapat
memberikan inspirasi dalam usaha meningkatkan kualitas pendampingan iman
pasangan beda agama.
111
DAFTAR PUSTAKA
Agung Prihartana. (2008). Pendidikan Iman Anak dalam Keluarga Kawin Campur
Beda Agama. Yogyakarta: Kanisius. Gilarso, T. (Ed.). (1996). Membangun Keluarga Kristiani. Yogyakarta: Kanisius. Go, Piet. (1987). Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja, Tinjauan
Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja dan Hukum. Malang: Dioma. Groome, Thomas H. (1997). Shared Christian Praxis: Suatu Model Berkatekese
(F.X. Heryatno Wono Wulung, Penyadur). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat. (Buku asli diterbitkan tahun 1991).
Heuken, A. (1981). Persiapan Perkawinan. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Huber, Th. (Ed.). (1981). Katekese Umat. Yogyakarta: Kanisius. Janssen, Bart. (1983). Visi Marriage Encounter. Marriage Encounter, VII, 4-7. Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici). (1991). (V. Kartosiswoyo Pr dkk.,
Penerjemah). Jakarta: Obor. (Buku asli diterbitkan tahun 1983). Konferensi Waligereja Indonesia. (1996). Iman Katolik: Buku Informasi dan
Referensi. Yogyakarta: Kanisius. Konsili Vatikan II. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II. (R. Hardawirjana,
Penerjemah). Jakarta: Obor. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1966). Lalu, Yosef. (2007). Katekese Umat. Jakarta: Komisi Kateketik KWI. Mangunhardjana, AM. (1985). Membimbing Rekoleksi. Yogyakarta: Kanisius. _________________. (1986). Pendampingan Kaum Muda. Yogyakarta: Kanisius. Marianus, Yosef. (2004). Menjadi Keluarga Beriman. Yogyakarta: Pustaka
Nusatama. Mayeroff, Milton. (1993). Mendampingi untuk Menumbuhkan. Yogyakarta:
Kanisius. Papo, Jakob. (1987). Memahami Katekese. Ende: Nusa Indah. Purwa Hadiwardoyo. (1990). Perkawinan Menurut Islam dan Katolik: Implikasi
dalam Kawin Campur. Yogyakarta: Kanisius. ________________. (2005). Perkawinan Seorang Katolik dan Seorang Islam.
Komunikasi Keluarga, XV, 13-15. Rubiyatmoko, Robertus. (2001). Hukum Perkawinan Kanonik. Diktat Mata Kuliah
Hukum Gereja Perkawinan untuk Mahasiswa Semester IV Fakultas Teologi Weda Bhakti, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Setyakarjana, SJ. (1997). Arah Katekese di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Kateketik.
Siauwarjaya, Afra. (1987). Membangun Gereja Indonesia II: Katekese Umat dalam Pembangunan Gereja Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Sumantri, Y. (2002). Akar dan sayap. Yogyakarta: Kanisius. Sumarno Ds. (2006). Program Pengalaman Lapangan Pendidikan Agama Katolik
Paroki. Diktat Mata Kuliah Program Pengalaman Lapangan untuk Mahasiswa Semester V, Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
112
Tabita Kartika Christiani. (2008). Shared Christian Praxis dalam Konteks Indonesia. Makalah yang diambil dari bahan Pengayaan Diri Dosen Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pada 18-19 Juni 2008.
Tangdilintin, Philip. (1984). Pembinaan Generasi Muda Visi dan Latihan. Jakarta: Obor.
Team Pembinaan Persiapan Berkeluarga Daerah Istimewa Yogyakarta. (1981). Membangun Keluarga Kristiani. Yogyakarta: Kanisius.
Telaumbanua, Marinus. (1999). Ilmu Kateketik. Jakarta: Obor. Wignyasumarta, Ignasius, dkk. (2000). Panduan Rekoleksi Keluarga. Yogyakarta:
Kanisius. Yohanes Paulus II. (1992). Catechesi Tradendae. (R. Hardawirjana, Penerjemah).
Jakarta: Dokpen KWI. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1979). Yuwana, T.A. (1990). Dinamika Perkawinan Masa Kini. Malang: Dioma
LAMPIRAN
(1)
Lampiran 1: Pedoman Quesioner Terbuka untuk Dewan Paroki 1. Bagaimana sejarah berdirinya Paroki Santo Paulus, Palu? 2. Bagaimana letak geografis Paroki Santo Paulus, Palu? 3. Berapa jumlah keluarga-keluarga di Paroki Santo Paulus, Palu dan bagaimana
perkembangannya selama dua tahun terakhir (2007-2008) ini hingga sekarang?
4. Gambarkanlah keadaan sosial ekonomi keluarga-keluarga di Paroki Santo Paulus, Palu!
5. Sebutkanlah latar belakang pendidikan keluarga-keluarga di Paroki Santo Paulus, Palu!
(2)
Lampiran 2: Pedoman Quesioner Terbuka untuk Ketua Stasi/Wilayah 1. Berapa jumlah keluarga-keluarga di Stasi/Wilayah bapak/ibu dan bagaimana
perkembangannya selama dua tahun terakhir (2007-2008) ini hingga sekarang?
2. Gambarkanlah keadaan sosial ekonomi keluarga-keluarga di Stasi/Wilayah bapak/ibu!
3. Sebutkanlah latar belakang pendidikan keluarga-keluarga di Stasi/Wilayah bapak/ibu!
4. Macam-macam kegiatan apa saja yang dilaksanakan untuk keluarga-keluarga di Stasi/Wilayah bapak/ibu?
5. Bagaimana tanggapan bapak/ibu ketua Stasi/Wilayah mengenai kegiatan-kegiatan yang ada bagi keluarga-keluarga tersebut?
6. Bagaimana keterlibatan keluarga-keluarga dalam kegiatan-kegiatan yang ada di Stasi/Wilayah Anda?
7. Apakah sudah ada pendampingan bagi keluarga kawin campur beda agama di Stasi/Wilayah bapak/ibu? Dalam bentuk apa?
8. Bagaimana dengan kegiatan pendampingan iman bagi keluarga kawin campur beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu?
9. Apakah keluarga-keluarga mempunyai pendampingan khusus (Pembina) dalam melaksanakan kegiatan Pendalaman Iman? Jika ada, berapa jumlahnya?
10. Apakah Pembina mempunyai keahlian khusus di bidang pendampingan iman?
(3)
Lampiran 3: Pedoman Quesioner Terbuka untuk Pasangan Beda Agama 1. Berapa usia anda? 2. Apa status pekerjaan anda? 3. Di mana tempat tinggal anda? (asal stasi/wilayah)? 4. Tahun berapa anda menikah? Di mana? Oleh Siapa? 5. Apakah anda terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di
lingkungan/stasi/paroki anda? Sebutkan kegiatan-kegiatan itu! 6. Apakah sebelum pernikahan ada Pendampingan Iman? 7. Apakah sesudah pernikahan ada Pendampingan Iman? 8. Apakah keluarga Anda membutuhkan pendampingan dari Gereja? Dalam
bentuk apa? Berikan usulan Anda?
(4)
Lampiran 4: Rangkuman Hasil Quesioner Terbuka Untuk Dewan Paroki A. Pelaksanaan: Responden : Bpk. Dani Daniel Waktu : 10 Desember – 8 Januari 2009 Tempat : Rumah Bpk. Daniel Dani Penyebar kuisioner oleh : Bpk. Aloysius Averdi B. Pokok-pokok Pertanyaan dan Jawaban 1. Bagaimana sejarah berdirinya Paroki Santo Paulus, Palu?
Jawaban: Pada tanggal 9 September 1924 pembaptisan pertama di Palu oleh Pastor A.H.G. Bröcher, MSC. Orang pertama yang dibaptis ialah Yohana. Mulai saat itu umat di Palu dilayani oleh Pastor dari Paroki Gorontalo. Tahun 1957/1958 dibangunlah Gereja Santo Paulus, Palu dan Pastor Paroki yang pertama ialah Pastor Bangkut MSC, kemudian Pst. John Tinggogoi, MSC; Pst. Rarung, MSC; Pst. Mailangke, MSC. Tahun 1986 dicari lokasi untuk bangunan Gereja baru oleh Pastor Rarung, MSC karena perkembangan umat yang semakin bertambah, Gereja yang sebelumnya tidak memungkinkan dan tahun 1988-1996 dibangunlah Gereja Baru. Tahun 1997 diadakan peresmian Gereja Santa Maria. Pastor Paroki selanjutnya ialah Pst. Talibonso, MSC; Pst. Frans Mandagi, MSC; Pst. Alfred M., MSC; Pst. Melky Toreh, MSC dan saat ini tahun 2008 Pastor Parokinya yaitu Pst. Beny Pangkey, MSC.
2. Bagaimana letak Geografis Paroki Santo Paulus, Palu?
Jawaban: Paroki Santo Paulus, Palu berpusat di Teluk Palu. Paroki ini melingkupi kota Palu, wilayah kabupaten Donggala, sebagian wilayah kabupaten Poso. Perbatasannya yaitu sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Damsol (Kab. Donggala), sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Lore Tengah (Kab. Poso), sebelah Barat berbatasan dengan Stasi Watatu (Kab. Donggala) dan sebelah Selatan berbatasan dengan Stasi Lalundu (Kab. Donggala).
3. Berapa jumlah keluarga-keluarga di Paroki Santo Paulus, Palu dan
bagaimana perkembangnannya selama dua tahun terakhir (2007-2008) ini hingga sekarang? Jawaban: Berdasarkan hasil pendataan, jumlah keluarga-keluarga di Paroki
Santo Paulus, Palu yaitu 814 KK dan pertambahan tahun 2007-2008 hingga saat ini berjumlah 1058 KK dari berbagai etnis, seperti Jawa, Bali, Minahasa, Toraja dan NTT (Sumatera & Ambon minoritas) dengan pembagian sebagai berikut: • Keluarga Katolik : 760 KK menjadi 982 KK
(5)
• Keluarga Beda Gereja : 38 KK menjadi 49 KK • Keluarga Beda Agama : 16 KK menjadi 27 KK Pembagian umat Paroki Santo Paulus, Palu menurut etnis, yaitu: a. Minahasa : 264 KK b. Jawa : 212 KK c. Toraja : 159 KK d. NTT : 137 KK e. Bali : 106 KK f. Tionghoa : 74 KK g. Palu : 53 KK h. Sumatra : 32 KK i. Ambon : 21 KK
4. Gambarkanlah keadaan sosial ekonomi keluarga-keluarga di Paroki Santo
Paulus, Palu! Jawaban: Kehidupan sosial ekonomi keluarga-keluarga di Paroki Santo
Paulus, Palu untuk daerah kotanya rata-rata Pegawai, Pedagang dan Karyawan, Pengusaha dan sopir; sedangan di desa rata-rata bekerja sebagai petani. Umat 60% bermukim di daerah kota dan 40% di desa (stasi-stasi).
5. Sebutkanlah latar belakang pendidikan keluarga-keluarga di Paroki Santo
Paulus, Palu! Jawaban: Keluarga-keluarga di Paroki Santo Paulus, Palu dengan latar
belakang pendidikan sebagai berikut: pendidikan Sarjana (Perguruan Tinggi) 21%, pendidikan SMA/SMK 32%, pendidikan SMP 37% dan pendidikan SD 10%.
(6)
Lampiran 5: Rangkuman Hasil Quesioner Terbuka Untuk Ketua Stasi/Wilayah
A. Pelaksanaan: Responden : 5 Ketua Stasi dan 3 ketua Wilayah (Ketua Stasi
Palolo, Jono Oge, Kulawi, Donggala, Watatu dan ketua Wil. II, IV, XV).
Waktu : 10 Desember – 8 Januari 2009 Tempat : Rumah masing-masing ketua stasi/wilayah Penyebar kuisioner oleh : Bpk. Aloysius Averdi B. Pokok-pokok Pertanyaan dan Jawaban 1. Berapa jumlah keluarga-keluarga di stasi/wilayah bapak/ibu dan bagaimana
perkembangannya selama dua tahun terakhir (2007-2008) ini hingga sekarang? Jawaban: Jumlah keluarga-keluarga di stasi/wilayah lingkup Paroki Santo
Paulus, Palu berjumlah 248 KK dengan pembagian sebagai berikut: • Keluarga Katolik : 182 KK menjadi 207 KK • Keluarga Beda Gereja : 19 KK menjadi 27 KK • Keluarga Beda Agama : 6 KK menjadi 14 KK
2. Gambarkanlah keadaan sosial ekonomi keluarga-keluarga di stasi/wilayah
bapak/ibu! Jawaban: Kehidupan sosial ekonomi untuk keluarga-keluarga di stasi atau
wilayah yaitu sebagai berikut: 50% tergolong rendah, 40% tergolong cukup baik dan sisanya 10% tergolong tinggi. Sebagian besar keluarga mata pencahariannya petani dan pegawai golongan kecil, termasuk golongan menengah ke bawah.
3. Sebutkanlah latar belakang pendidikan keluarga-keluarga di stasi/wilayah
bapak/ibu! Jawaban: Keluarga-keluarga di stasi atau wilayah dengan latar belakang
pendidikan sebagai berikut: pendidikan Sarjana (Perguruan Tinggi) 24%, pendidikan SMA/SMK 28%, pendidikan SMP 34% dan pendidikan SD 14%.
4. Macam-macam kegiatan apa saja yang dilaksanakan untuk keluarga-
keluarga di Stasi/Wilayah bapak/ibu? Jawaban: Macam-macam kegiatan yang dilaksanakan untuk keluarga-
keluarga di Paroki Santo Paulus, Palu antara lain: • Katekese; kegiatan ini diadakan langsung di masing-masing Stasi/Wilayah
dengan waktu yang sudah ditentukan, yaitu semiggu sekali pada masa Adven, Prapaskah dan pada bulan Kitab Suci. Ketua Stasi/Wilayah
(7)
mengkoordinir semua kegiatan. Pendamping katekese ialah tim khusus dari paroki untuk mendampingi proses pelaksanaan katekese dan bisa diganti oleh ketua Stasi/Wilayah yang sudah terlatih untuk mendampingi. Materi katekese disiapkan dari Paroki karena belum ada katekese yang dibuat sendiri oleh wilayah. Peserta katekese sebagian besar orang tua dan sisanya mudika dan anak-anak. Tempat pelaksanaan katekese diadakan di setiap rumah umat secara bergantian sesuai dengan jadual yang ditentukan oleh masing-masing Wilayah rohani/Stasi.
• Liturgi; kegiatan di bidang liturgi yang diadakan oleh paroki yaitu koor
untuk perayaan Ekaristi pada hari Minggu biasa dan hari-hari besar lainnya. Petugas koor sudah ditentukan oleh paroki untuk masing-masing Wilayah/Stasi secara bergantian. Persiapan koor diatur oleh setiap Wilayah/Stasi yang bertugas dengan waktu yang sudah ditentukan di tiapWilayah/Stasi.
• Kelompok-kelompok kategorial, meliputi:
o KBK; merupakan organisasi Gereja Kaum Bapa Katolik khusus Keuskupan Manado. Organisasi ini mengikuti pola Gereja Kristen. Kegiatan yang diadakan oleh KBK dilaksanakan seminggu sekali sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Mereka mengadakan doa bersama, sharing pengalaman dan evaluasi program kerja. Anggota organisasi ini berjumlah ± 20 orang yang selalu aktif. Tempat pelaksaannya di gereja. Tetapi tidak menutup kemungkinan ada cabang-cabangnya di setiap wilayah.
o LegioMaria; Kelompok doa ini terdiri dari para ibu dari berbagai
wilayah dalam Paroki. Mereka mengadakan doa rutin tiap minggu dengan waktu yang sudah ditentukan bersama. Biasanya tempat pelaksanaannya di gereja. Memiliki anggota ± 20 yang aktif.
o Persekutuan Doa Kharismatik; Kelompok doa kharismatik ini terdiri
dari orang tua, keluarga muda dan mudika yang mau bergabung. Kebanyakan dari mereka adalah para pengusaha. Anggotanya ± 30 orang yang aktif. Mereka mengadakan doa bersama, sharing KitabSuci tiap minggunya dengan waktu yang sudah disepakati. Mereka mempunyai kegiatan khusus, yaitu doa untuk orang sakit. Tempat pelaksanaan biasanya di gereja, kecuali ada permintaan khusus dari anggotanya. Tiap tahun mereka mengadakan ziarah ke Lourdes.
o Mudika; memiliki kegiatan rutin doa bersama dan pertemuan, yang
diadakan tiap minggu sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan bersama. Jumlah anggota yang aktif ± 40 orang, mulai dari siswa SMA kelas 1 sampai dengan mahasiswa dan karyawan. Kegiatannya tidak begitu terkoordinir dengan baik melihat latar belakang dari tiap anggotanya yang beraneka ragam. Mereka tampil aktif ketika
(8)
mendapat giliran liturgi seperti koor pada Minggu biasa dan hari-hari besar lainnya.
o PPA; kegiatan Putra-Putri Altar tidak rutin tetapi sesuai dengan
kebutuhan. Kelompok ini mempunyai para pendamping khusus dari paroki. Anggota yang aktif berjumlah ± 30 orang, mulai dari tingkat SD, SMP dan sebagian SMU dengan syarat sudah menerima komuni pertama.
o BIRKat; kegiatan untuk kelompok Bina Iman Remaja Katolik
diadakan rutin tiap minggu dengan waktu yang sudah ditentukan. Mereka mengadakan doa bersama, katekese, pembinaan. Tempat pelaksanaannya di gereja. Jumlah anggota kelompok yang aktif ± 20 orang mulai dari tingkat SD kelas V hingga SMP.
o BIAK; kegiatan kelompok Bina Iman Anak Katolik diadakan setiap
hari minggu di gereja setelah selesai perayaan ekaristi. Jumlah anggotanya ± 60 orang muali dari anak usia Taman Kanak-kanak hingga SD kelas IV. BIAK memiliki pendamping khusus dari Paroki dan juga ibu-ibu yang dengan sukarela mau bergabung mendampingi anak-anak.
5. Bagaimana tanggapan bapak/ibu ketua stasi/wilayah mengenai kegiatan-kegiatan yang ada bagi keluarga-keluarga tersebut? Jawaban: Tanggapan ketua Stasi/Wilayah mengenai kegiatan-kegiatan yang
ada pada umumnya menerima dan mendukung semua kegiatan yang ada dan mengharapkan supaya kegiatan-kegiatan tersebut tetap dilaksanakan dan terus dikembangkan dengan baik.
6. Bagaimana keterlibatan keluarga-keluarga dalam kegiatan-kegiatan yang
ada di StasiWilayah Anda? Jawaban: Hampir setiap keluarga-keluarga ikut terlibat dalam setiap kegiatan
yang diadakan olehSstasi/Wilayah. Hanya saja terkadang jarak dan medan yang tidak memungkinkan membuat beberapa keluarga terkadang tidak dapat mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Stasi/Wilayah.
7. Apakah sudah ada pendampingan bagi keluarga kawin campur beda agama
di stasi/wilayah bapak/ibu? Dalam bentuk apa? Jawaban: Sudah ada, dalam bentuk Pembinaan dan Pendalaman Iman,
dengan waktu yang sudah terjadual.
(9)
8. Bagaimana dengan kegiatan pendampingan iman bagi keluarga kawin campur beda agama di Paroki Santo Paulus, Palu? Jawaban: Kegiatan Pendampingan Iman belum berjalan dengan baik, terlebih
bagi pendampingan iman sebelum pernikahan. Sedangkan pendampingan iman sesudah pernikahan belum terlaksana.
9. Apakah keluarga-keluarga mempunyai pendampingan khusus (Pembina)
dalam melaksanakan kegiatan Pendalaman Iman? Jika ada, berapa jumlahnya? Jawaban: Keluarga-keluarga mempunyai Pendamping/Pembina khusus yang
dibentuk oleh Paroki, jumlahnya19 orang. 10. Apakah Pembina mempunyai keahlian khusus di bidang pendampingan iman?
Jawaban: Ada banyak tenaga ahli/katekis di Paroki Santo Paulus, Palu tapi kurang dimanfaatkan.
(10)
Lampiran 6: Rangkuman Hasil Quesioner Terbuka Untuk Pasangan Kawin Campur Beda Agama
A. Pelaksanaan: Responden : 14 Pasang (Pasangan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,&
14) Waktu : 10 Desember – 8 Januari 2009 Tempat : Rumah masing-masing Pasangan Penyebar kuisioner oleh : Bpk. Aloysius Averdi B. Pokok-pokok Pertanyaan dan Jawaban 1. Berapa usia anda?
Jawaban: 1) 36 & 34 2) 27 & 27 3) 42 & 39 4) 36 & 34 5) 34 & 30 6) 48 & 39 7) 30 & 27
8) 35 & 34 9) 28 & 26 10) 53 & 48 11) 32 & 28 12) 27 & 25 13) 39 & 35 14) 29 & 27
2. Apa status pekerjaan anda?
Jawaban: • Petani • Wiraswasta • Pegawai Negeri • Ibu Rumah Tangga
3. Di mana tempat tinggal anda? (asal stasi/wilayah)? Jawaban: • Stasi Palolo • Stasi Jono Oge • Stasi Kulawi • Stasi Donggala • Stasi Watatu • Wilayah Rohani 2 • Wilayah Rohani 4 • Wilayah Rohani 15
4. Tahun berapa anda menikah? Di mana? Oleh Siapa?
Jawaban: • Tahun 1980 di Paroki Watutu oleh Pastor Frans Nurak, SVD • Tahun 2003 di Kulawi oleh Pastor Alex Palino, MSC
(11)
• Tahun 2003 di Palu oleh Pastor Alex Palino, MSC • Tahun2003 di Donggala oleh Pastor Melky Toreh, MSC • Tahun 2007 di Tentena oleh Pastor Yakob, MSC • Tahun 2007 di Kulawi oleh Pastor Alex Palino, MSC • Tahun 2007 di Palolo oleh Pastor Alex Palino, MSC • Tahun 2008 di Palu oleh Pastor Melky Toreh, MSC • 6 (enam) pasang belum menikah Gereja(masih dalam masa persiapan).
5. Apakah anda terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di lingkungan/stasi/paroki anda? Sebutkan kegiatan-kegiatan itu! Jawaban: Disetiap kegiatan yang diadakan oleh Stasi/Wilayah keluarga-
keluarga hampir sering terlibat dengan waktu yang memungkikan, seperti ibadat mingguan, Doa Rosario, Pendalaman Iman, Sharing Kitab Suci dan pembinaan.
6. Apakah sebelum pernikahan ada Pendampingan Iman?
Jawaban: Ada Pendampingan Iman sebelum pernikahan. • Bentuk : Katekumenat, Kursus persiapan perkawinan,
Pembinaan dan doa-doa, serta Pendalaman Iman • Materi :
- Materi Pembinaan Katekumenat meliputi Saudara Ingin Menjadi Katolik?, Mengenal Dasar Kepercayaan Kita, Mengenal Kitab Suci, Mengenal Gereja, Mengenal Doa Orang Kristen, Mengenal Perayaan Ekaristi, Penciptaan, dan Siapakah Manusia?
- Materi Pembinaan Pra nikah meliputi Hidup Kekal, Sakramen-sakramen Gereja, Keluarga Berencana, Hukum Gereja, Moral Perkawinan, Seksualitas, Ekonomi Rumah Tangga, Doa dan Kitab Suci, Moralitas Seksual.
• Langkah-langkah : Doa Pembukaan oleh pendamping, Materi, baca
Kitab Suci, Sharing/Tanya jawab, kesimpulan, Doa Penutup.
• Metode : Tanya Jawab dan Sharing Pengalaman.
• Sarana : Buku Panduan, Kitab Suci dan Buku Doa Harian.
• Proses : Aktif, karena ingin belajar dan mau tahu tentang
ajaran Gereja Katolik dan selalu diberikesempatn untuk bertanya.
(12)
• Kesan : Merasa senang karena banyak pengetahuan yang diperoleh mengenai Iman Katolik dan menambah pengalaman iman; merasa dirangkul.
• Motovasi : Ingin tau dan mau menjadi anggota Gereja yang
baik sehingga berusaha untuk dapat membangun rumah tangga sesuai dengan iman kristiani.
• Menghambat : Waktu, kesempatan dan transportasi. • Mendukung : Metode dan sarana pembinaan, materi, fasilitas
serta niat untuk mau belajar. • Manfaat : Mendapat banyak pengetahuan tentang iman
katolik dan menjadi sadar dan selalu aktif dalam kegiatan Gereja.
7. Apakah sesudah pernikahan ada Pendampingan Iman?
Jawaban: Ada Pendampingan Iman sesudah pernikahan. • Bentuk : Pembinaan Rohani seperti Sharing Kitab Suci
dan Doa-doa Mingguan. • Materi : Kitab Suci dan Doa dalam Keluarga.
• Langkah-langkah : Tanda Salib, Doa Pembukaan, Materi, Sharing
pengalaman, baca Kitab Suci, kesimpulan, Doa Penutup.
• Metode : Tanya Jawab dan Sharing Pengalaman.
• Sarana : Kitab Suci dan Buku Doa Harian.
• Proses : Aktif, mau lebih mendalami tentang ajaran
Gereja Katolik.
• Kesan : Merasa senang dan semoga kegiatan ini terus berkelanjutan.
• Motovasi : Ingin tau dan mau menjadi anggota Gereja yang
baik
• Menghambat : Waktu.
• Mendukung : Materi dan fasilitas pendampingan.
• Manfaat : Menjadi sadar dan menyandarkan hidup pada Allah.
(13)
8. Apakah keluarga Anda membutuhkan pendampingan dari Gereja? Dalam
bentuk apa? Berikan usulan Anda? Jawaban: Masih sangat membutuhkan kegiatan-kegiatan pendampingan dari
Gereja, seperti Pembinaan Iman dan Pendampingan Rohani. Usulannya agar kegiatan semacam ini tetap dan terus dijalankan, baik sebelum maupun sesudah pernikahan.