34
ORASI ILMIAH Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri Oleh S. Bayu Wahyono Disampaikan dalam rangka DIES NATALIS KE-68 FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN 2018

Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

ORASI ILMIAH

Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci

Menuju Masyarakat Industri

Oleh S. Bayu Wahyono

Disampaikan dalam rangka

DIES NATALIS KE-68

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

TAHUN 2018

Page 2: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3
Page 3: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

1

Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci

Menuju Masyarakat Industri

Oleh S. Bayu Wahyono

Sudah sejak lama orang meyakini bahwa kunci utama bagi

kemajuan sebuah bangsa adalah pendidikan, seperti keyakinan bangsa

Eropa sejak era pencerahan, Jepang menjelang restorasi Meiji, dan

menyusul kemudian Tiongkok pasca revolusi kebudayaan. Dunia

kemudian menyaksikan, bahwa ketiga bangsa itu tampil sebagai pionir

peradaban manusia dan menjadi subyek aktif yang menentukan arah

perkembangan dunia. Melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang diperoleh melalui proses pendidikan, bangsa Eropa sejak

abad 15 kemudian tampil menguasai dunia, menyebar ke berbagai

wilayah sebagai konsekuensi logis atas perubahan masyarakatnya yang

industrial. Secara kronologis bangsa Eropa meraih peran sejarahnya itu

diawali oleh lahirnya era pencerahan, penguasaan ilmu pengetahuan

alam, penguasaan teknologi, paham kapitalisme liberal, revolusi industri,

dan kemudian tampil sebagai bangsa ekspansif.

Demikian pula bangsa Jepang, berbekal niat dan tekad bulat ingin

maju sebagai sebuah bangsa dengan meniru modernisasi Barat. Mereka

sejak awal dengan jujur dan tulus meniru seperti Barat dengan

konsekuensi mendapat sebutan sebagai bangsa peniru atau imitasi.

Pengakuan jujur sebagai bangsa peniru Barat ini kemudian terbukti

menjadi energi kuat untuk terus belajar dan ingin mengungguli bangsa

yang ditirunya. Jadi dengan strategi menerjemahkan seluruh buku ilmu

pengetahuan dan teknologi Barat, bangsa Jepang tekun belajar sehingga

pelan tapi pasti berubah menjadi masyarakat industri. Bahkan kemudian

dunia tercengang atas pencapaian bangsa ini menjadi bangsa maju dan

beradab hanya dalam tempo yang singkat. Kemudian dunia pun

Page 4: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

2

menyaksikan, bangsa ini tampil sebagai kekuatan raksasa negara industri

yang produknya menguasai dunia sejak dekade 1960-an.

Menyusul kemudian bangsa China, sejak kekurangberhasilan

komunisme era Mao Zedong, dan belajar dari belum optimalnya revolusi

kebudayaan, maka pemimpin baru saat itu, Deng Xiaoping, pergi ke Barat

dan kemudian berkomitmen tinggi meniru kapitalisme dan modernisasi

Barat. Bersemboyan tidak penting kucing itu merah atau hitam, yang

penting bisa menangkap tikus, Deng mulai melakukan langkah strategis

dengan mengkombinasikan sistem politik komunis dan sistem ekonomi

kapitalisme Barat menerapkan modernisasi dalam proses pembangunan

bangsanya menuju Cina berkemajuan. Meskipun pada awalnya Cina

harus bersusah-payah dan mengalami proses jatuh-bangun, tetapi

sekarang dunia menyaksikan bahwa bangsa ini telah menjadi kekuatan

raksasa politik dan perekonomian dunia. Melalui semboyan “hanya alam

semestalah ciptaan Tuhan, selebihnya adalah made in China, bangsa ini

sekarang tampil menguasai dan bahkan mendekte arah perkembangan

politik dan ekonomi internasionnal, serta peradaban manusia.

Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia? Sejak merdeka kita

bangsa Indonesia terus berusaha bertekad menjadi bangsa yang maju dan

diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Berbagai konsep pembangunan

telah diterapkan agar mampu menjadi bangsa maju dan tampil sebagai

salah satu kekuatan ekonomi, politik, dan kebudayaan yang

diperhitungkan dunia. Baik era pemerintahan Soekarno, pemerintahan

Soeharto, dan kemudian pasca Orde Baru, bangsa ini terus berusaha

berubah ke arah masyarakat industri. Untuk menuju ke arah itu, Soekarno

menerapkan sistem demokrasi terpimpin, Soeharto menggunakan

otoritarianisme dan pembangunanisme, dan kemudian pasca Orde Baru

menggunakan sosialisme demokrasi. Akan tetapi sebegitu jauh, bangsa

ini dapat dikatakan gagal menjadi masyarakat industri yang bertumpu

pada kekuatan sendiri. Salah satu indikator makro yang nyata adalah,

bahwa sebagai bangsa berkultur agraris, tetapi beras, kedelai, jagung, dan

bawang masih impor. Bahkan, sebagai negara kepulauan yang memiliki

Page 5: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

3

pantai terpanjang di dunia, tetapi garam saja impor. Keyakinan pun juga

impor dari India dan Timur Tengah.

Mengapa gagal menjadi negara industri maju? Salah satu sebab

utamanya adalah lemahnya sistem pendidikan nasional yang digunakan

sebagai lokomotif penggeraknya. Sebuah bangsa akan maju jika sistem

pendidikannya dipandu oleh sistem pendidikan yang benar. Jika sistem

pendidikan nasional mengalami salah arah, maka sebuah bangsa akan

mengalami disorientasi, tidak jelas mau bergerak ke mana. Lebih parah

lagi jika gelagat salah arah sistem pendidikan itu tidak segera dikenali dan

dirasakan, atau bahkan tidak merasa sebagai salah arah, maka sebuah

bangsa akan menuju ke jurang kehancuran.

Di mana letak kegagalan bangsa ini bertransformasi menjadi

masyarakat modern-industrial? Jika kita berangkat dari tesis bahwa kunci

kemajuan bangsa adalah pendidikan, maka tempat kegagalan utama harus

kita cari pada sistem pendidikan nasionalnya. Suatu sistem pendidikan

nasional dapat dikatakan berhasil menjadikan bangsa yang maju, jika

mampu menjadikan subyek aktif yang mengambil peran bagi

pengembangan peradaban manusia. Marilah kita bertanya, apakah sistem

pendidikan nasional kita selama ini sudah menjadikan peserta didik

sebagai subyek aktif, atau justru menjadikan sekadar sebagai obyek pasif?

Ini harus kita jawab secara jujur.

Bangsa Eropa maju karena memulainya dengan mengikuti logika

berpikir modern-positivistik, yang melawan dominasi cara berpikir

teologis dan metafisik. Beberapa ciri utama modern-positivistik itu

adalah antroposentrisme dan mengandalkan akal budi. Dengan

menempatkan manusia sebagai pusat itu, manusia keluar dari alam dan

kemudian ingin mengungkap rahasia alam dengan bekal ilmu

pengetahuan, yaitu matematika, fisika, kimia, dan biologi, yang

kemudian dikenal sebagai sains. Berbekal sains itulah kemudian manusia

tampil sebagai subyek aktif mengembangkan teknologi yang kemudian

menjadi instrumen utama revolusi industri, dan kemudian melahirkan

imperalisme dan kolonialisme. Agen utama tampilnya bangsa Eropa

sebagai subyek aktif pada era pencerahan dan kemudian era revolusi

Page 6: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

4

industri adalah sistem pendidikannya yang sejak awal menggunakan

paradigma positivistik, yang menghasilkan kreator, imajinator, dan

innovator yang mendorong masyarakat berkemajuan. Meskipun dalam

perkembangan selanjutnya, positivistik mendapatkan kritik tajam dari

kalangan penganut konstruktivis dan paradigma kritis, tetapi satu hal

yang harus diakui bahwa pencapaian bangsa Eropa sebagai subyek

peradaban manusia hingga sekarang adalah berkat peran paradigma

positivisme.

Berkaca pada sejarah perkembangan bangsa Eropa, kemudian

menengok sejarah pendidikan kita sepertinya memang jauh berbeda, dan

bahkan berlangsung sebaliknya. Sejak era kolonial, jelas sistem

pendidikan dirancang untuk elite kolonial, sementara kita sebagai bangsa

terjajah hanya dijadikan sebagai obyek. Sistem pendidikan diperuntukan

hanya untuk elite, dan dirancang untuk memapankan struktur sosial yang

tidak adil, dengan bangsa Indonesia tetap sebagai obyek pasif, dan bahkan

harus ditindas baik secara fisik maupun struktur kognisinya. Di dalam

situasi ketertundukan total itu, maka pada era kolonial itu bangsa

Nusantara benar-benar tidak punya sejarah, dalam arti sebagai subyek

aktif dalam dinamika perkembangan peradaban manusia.

Salah satu implikasi paling berat praktik pendidikan era kolonial

itu adalah terbentuk dan terpatrinya mentalitas sebagai bangsa terjajah

yang terus tesedimentasi dalam struktur kognisinya. Memang dalam

beberapa kasus melahirkan generasi kritis, yang kemudian melahirkan

para pendiri bangsa yang menjadi agen utama menuju Indonesia merdeka.

Akan tetapi secara keseluruhan, bangsa ini tetap belum bisa ke luar dari

mentalitas sebagai bangsa terjajah.

Pada masa-masa awal kemerdekaan memang ada sedikit

semangat untuk tampil sebagai subyek aktif, berkeinginan menjadi

bangsa mandiri. Tetapi secara tidak sadar pada era ini membiarkan diri

pada proses belenggu berikutnya, yaitu ide-ide sosialisme-demokratik

dan komunisme untuk melawan ide-ide imperalisme, kolonialisme,

liberalisme, dan kapitalisme. Sistem pendidikan pun kemudian dijadikan

arena bagi pembentukan generasi anti kapitalisme liberal, sehingga

Page 7: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

5

produksi pengetahuan melalui institusi pendidikan pun dirancang untuk

membentuk generasi anti Barat. Yang tidak disadari adalah, bahwa

generasi anti Barat itu pada prinsipnya adalah atas nama ide-ide gerakan

kiri yang cenderung condong ke blok Timur yang dipelopori oleh Uni

Soviet. Jadi mentalitasnya tetap sebagai bangsa terjajah, hanya ganti

penjajah saja.

Memang ada upaya untuk keluar dari belenggu kekuatan

penjajah, dengan berusaha tampil sebagai kekuatan alternatif. Misalnya

ide Soekarno menjadi kekuatan non-blok, dan menawarkan konsep

geniun, yaitu Pancasila. Akan tetapi sayangnya, itu semua tidak

diterapkan dalam sistem pendidikannya, sehingga proses pendidikan

tetap saja menjadi arena penundukkan peserta didik sebagai obyek pasif,

yang diisi dengan ide-ide revolusioner semu. Bahkan kemudian

menggunakan skema ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa,

dan tut wuri handayani dari Ki Hadjar Dewantara itu kemudian secara

tidak disadari menjadi basis pembentukan generasi yang mendukung

demokrasi terpimpin.

Jadi pada era ini, institusi pendidikan berfungsi utama sebagai

penanaman dan sosialisasi sistem nilai, dan nilai-nilai itu lebih banyak

diambil dari ide-ide revolusioner gerakan kiri yang anti kapitalisme

liberal Barat. Memang ada upaya untuk menanamkan nilai-nilai

keindonesiaan, tetapi sayang tidak digarap secara serius, sehingga gagal

membangun generasi patriotik beretos kerja tinggi menuju masyarakat

industri modern yang mandiri. Hampir semua produk barang-barang

industri modern diimpor dari negara-negara blok Timur, terutama Uni

Soviet. Negeri ini tetap menjadi pasar industri bangsa lain, dan konsumtif,

termasuk konsumsi pengetahuan. Karena itu, pada era ini, upaya

meningkatkan SDM kebanyakan dikirim ke negara-negara Eropa Timur.

Ketika bangsa ini memasuki era Orde Baru, tentu dengan

semangat baru dan harapan baru. Tampilnya presiden Soeharto sebagai

pemimpin bangsa, yang didukung dan bahkan dijadikan oleh kekuatan

Barat, pada awalnya menghembuskan angin harapan baru, yaitu menjadi

negara industri modern yang didukung oleh sistem pertanian tangguh.

Page 8: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

6

Sistem pendidikan nasional pun dirancang untuk mencapai cita-cita itu,

melalui ide-ide developmentalistic yang disuntikan dari Barat. Lembaga

pendidikan pun kemudian kembali dijadikan sebagai penanaman dan

sosialisasi pembangunanisme yang sarat kapitalisme liberal. Oleh karena

era Orde Baru ini bertekad membangun tatanan baru, dalam arti berbeda

dengan era sebelumnya yang condong ke sosialisme-komunisme, maka

pada era ini yang digalakkan adalah ide-ide kapitalisme Barat yang pro

pasar bebas. Di sini institusi pendidikan pun dijadikan gelanggang

pensemeian ide-ide kapitalisme liberal yang sangat anti gerakan kiri.

Lembaga pendidikan digunakan sebagai instrumen strategis

untuk menanamkan ide-ide yang sangat anti komunisme. Seluruh sumber

pengetahuan yang berbau kiri diberangus, dan kemudian digantikan

dengan ide-ide kapitalisme liberal. Paham marxisme dilarang keras, dan

digantikan oleh pengetahuan yang mendukung kapitalisme liberal. Oleh

karena itu pada era ini fungsionalisme struktural Talcott Parsons yang anti

marxis menjadi wajib, dan sangat mewarnai produksi pengetahuan dalam

sistem pendidikan nasional. Bersamaan dengan itu, bangsa ini tidak

menyadari bahwa semua itu adalah disain Barat untuk mengeksploitasi

sumber daya alam Indonesia, dan sekaligus menjadikan sebagai pasar

produk industri negara-negara kapitalis Barat dan sekutunya.

Indonesia diiming-imingi akan menjadi kekuatan baru sebagai

negara industry baru, menyusul empat naga, yaitu Korea Selatan, Taiwan,

Hongkong, dan Singapura yang diklaim Barat sebagai keberhasilan

pengikut sistem kapitalisme liberal. Atas nasehat dan dekte Barat,

Indonesia disuruh menerapkan konsep pembangunan lepas landas yang

digagas oleh W. Rostow. Sistetm pendidikan nasional pun didisain untuk

mengikuti model pembangunan anjuran Barat ini. Akan tetapi hasilnya

nol, atau gagal total, negeri ini tidak bisa tinggal landas, tetapi tetap

tinggal di landasan.

Bersamaan dengan itu, produk barang-barang industri dari negara

Barat dan sekutunya terus membanjir, tanpa diimbangi secara signifikan

dari produk industri modern Indonesia sendiri. Justru yang terjadi

sebaliknya, bangsa ini semakin konsumtif, bahkan yang mengerikan

Page 9: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

7

adalah hasrat konsumsi itu justru terjadi pada masyarakat petani. Setelah

secara sistematis digarap oleh Barat melalui modernisasi pertanian, petani

menjadi lenyap daya kemandiriannya, seluruh produksi pertanian

semuanya bergantung pada impor, baik pupuk, obat-obatan, dan bibit.

Dunia pendidikan, khususnya fakultas pertanian memiliki andil besar

dalam menjerumuskan petani kita lenyap daya kemandiriannya.

Melalui penerapan politik pangan, Amerika Serikat terus

melancarkan serangan sistematis untuk mematikan sistem pertanian lokal

di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Dengan doktrin

Henry Kisinger, yaitu “Jika ingin menguasai negara, kuasailah minyak;

dan jika ingin menguasai masyarakat, maka kuasailah pangan”, AS

dengan tekun terus membidik masyarakat Indonesia agar semakin

dikuasai dan terus dijadikan pasar produksi pertanian dan cara

produksinya. Dulu terigu tidak ada sama sekali di Indonesia, karena

konsumsi pangan 53 persen beras, dan 47 persen ubi-ubian dan jagung.

Hanya dalam waktu 30 tahun formasi pangan bangsa ini berubah menjadi,

7 persen jagung dan ubi-ubian, 24 persen terigu, dan selebihnya adalah

beras. Maka jangan heran jika sekarang negeri agraris ini adalah impor

pangan terbesar di dunia.

Perlahan tapi pasti, sistem pertanian lokal mengalami kelumpuhan

total. Bukan sekadar menjadi tergantung dalam produksi, tetapi yang

lebih parah adalah hilangnya produksi pengetahuan lokal yang sangat

berharga untuk mengatasi problem dan peningkatan produksi pertanian

secara mandiri. Sistem pertanian nusantara yang mengintegrasikan

pertanian dan peternakan diputus oleh sistem modern yang dikenalkan

oleh Barat melalui pendidikan nasional. Semua dirancang agar pertanian

lokal tergantung pada industri petrokimia yang sejak era 1970-an telah

didirikan di Indonesia. Kehadiran industri petrokimia disambut dengan

suka cita dan dianggap sebagai dewa penyelamat pertanian berorientasi

pertumbuhan. Sistem pendidikan pun dirancang untuk memenuhi industri

petrokimia yang sarat kepentingan Barat tersebut. Bahkan modernisasi

pertanian menghajar secara bertubi-tubi sistem pertanian tradisional yang

dianggap ketinggalan. Melalui logika berpikir logosentrisme, sistem

Page 10: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

8

pendidikan nasional pelan tapi pasti menjadi penyebab tercerabut dari

akar sosio-kulturalnya. Di level sekolah menengah atas, sudah mencetak

tenaga penyuluh pertanian yang menjadi agen sistem pertanian modern

yang didekte Barat menuju situasi ketergantungan, sehingga praktis

hanya menjadi pasar besar industri petrokimia.

Hasilnya adalah sebuah fakta bahwa pertanian nusantara

mengalami kehancuran total, terutama produksi pengetahuannya. Tidak

ada lagi pengetahuan tentang bibit, predator, obat hama, dan sistem tanam

lokal penuh kemandirian. Lebih memprihatinkan lagi, bersamaan dengan

itu, sekolah pertanian hanya ingin menjadi pegawai negeri, dan bukan

menjadi petani yang transformatif dan mandiri. Maka bangsa agraris ini

kemudian kehilangan semangat menekuni pertanian, dan bahkan

melecehkannya. Akibatnya kita semua sudah tahu, seluruh kebutuhan

pertanian dari proses produksi, hasil, dan pemeliharaan adalah impor

secara besar-besaran dari negara-negara industri modern dan juga negara-

negara yang tekun konsisten sebagai bangsa agraris modern seperti

Thailand dan Vietnam.

Setelah sektor pertanian mengalami kehancuran, justru sistem

pendidikan melarikan diri dari problem fundamental pertanian itu sendiri.

Jurusan pertanian semakin ditinggalkan, dan institusi pemerintah yang

mengurus pertanian ogah-ogahan dan semangatnya hanya menyerap

anggaran. Sementara itu, beberapa sekolah kejuruan di bidang pertanian

justru menjadi penyebab generasi muda ramai-ramai meninggalkan

pertanian. Sungguh sebuah tragedi bangsa agraris. Negeri yang gagal

mengangkat martabat bangsa berkultur agraris, karena sistem pendidikan

nasionalnya gagal mendorong transformasi menuju masyarakat industri

berbasis pertanian sebagaimana dicita-citakan oleh rezim pemerintahan

Orde Baru.

Pada periode ini memang ada beberapa pencapaian yang cukup

signifikan, setidaknya secara kuantitatif. Sebut saja misalnya, perluasan

sarana prasarana pendidikan dasar melalui SD Inpres, program wajib

belajar enam dan Sembilan tahun, yang semuanya dibiayai dari jual

sumber daya alam, khususnya migas dan hasil hutan. Akan tetapi

Page 11: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

9

sayangnya tidak secara kualitatif, yang meningkatkan mutu pendidikan

dan outcome yang andal untuk mengembangkan masyarakat industri

yang bertumpu pada pengolahan sumber daya alam. Jadi sistem

pendidikan nasional dibiayai dari jual sumber daya alam, tetapi tidak

menghasilkan sumber daya manusia yang mampu mengolah kekayaan

sumber daya alamnya. Semuanya dijual mentah, tanpa pengolahan

berbasis pengetahuan sebagaimana yang seharusnya dihasilkan dari

sistem pendidikan nasionalnya. Jadi hingga jatuhnya era Orde Baru, tetap

saja belum menjadi negara industri bertumpu pada sumber daya manusia

yang dihasilkan oleh sistem pendidikan nasionalnya. Memang ada

program seperti link and macth, CBSA, pendidikan manusia seutuhnya,

dan lain-lain; namun tetap saja belum mampu menjadi subyek aktif

bangsa mandiri yang mendorong masyarakat industri.

Pasca Orde Baru, ketika Indonesia memasuki negara transisi

demokrasi, situasinya juga tidak jauh berbeda. Yang membedakan hanya

pelakunya, yaitu jika era sebelumnya adalah elite pusat, tetapi pada era

pasca Orde Baru pelakunya elite yang menyebar ke daerah. Sistem

pendidikan nasional pun berubah mengikuti sistem politiknya, yaitu lebih

menerapkan sistem pendidikan desentralistik. Meskipun demikian peran

pusat masih cukup terasa, terutama dalam perancangan kurikulum dan

tata kelola keuangan. Peningkatan alokasi 20 persen dari APBN untuk

pendidikan cukup memberikan angin segar dan menjanjikan. Akan tetapi

justru besarnya anggaran itu malah menambah persoalan, terutama yang

berkaitan dengan pertanggungjawaban administrasi keuangan. Kasus

korupsi terjadi susul-menyusul mengikuti besarnya anggaran pendidikan

nasional.

Program pendidikan pun berubah ke arah kepentingan politik elite,

dengan berorientasi mencari dukungan politik. Maka yang diprioritaskan

adalah pendidikan gratis, bantuan peralatan, dan program biasiswa yang

semuanya demi pencitraan politik elite. Bukan menyusun agenda

program yang meningkatkan kualitas pendidikan sehingga menghasilkan

outcome yang mampu mendorong kemandirian bangsa bertumpu pada

industri. Oleh karena itu jangan heran jika tumbuh kembangnya industri

Page 12: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

10

pariwisata di Bantul misalnya, justru bukan berasal dari kualitas sumber

daya manusia outcome pendidikan nasional; melainkan hasil dari

pendidikan keluarga.

Bersamaan dengan itu, institusi pendidikan nasional dijadikan

ajang untuk menyemai ideologi agama dengan menekankan pada aspek

simbolik. Sebagai ilustrasi program seperti jilbabisasi, musholanisasi,

santrinisasi, doanisasi, dan lain-lain bernuansa agama. Program seperti itu

baik saja, tetapi mengapa tidak diimbangi dengan program yang

mencerdaskan peserta didik, seperti perpustakaan dan sumber belajar lain

yang meningkatkan kualitas pendidikan. Jadi jangan heran jika sekarang

ini luas perpustakaan jauh lebih sempit daripada mushola, dan bahkan

masih banyak sekolah tidak punya perpustakaan.

Lebih dari itu, proses pendidikan nasional menjadi sama dengan

sebelumnya, yaitu menundukan peserta didik melalui ideologi. Jika dulu

ideologi sosialisme anti kapitalisme, dan kemudian ideologi pendukung

kapitalisme, dan sekarang ideologi agama. Lembaga pendidikan pun

menjadi semakin sibuk dengan upaya penebalan identitas agama, yang

berisiko terhadap kehidupan sosial politik yang segregatif. Jadi kalau

sekarang negara disibukan dengan radikalisme agama, ya memang itu

merupakan konsekuensi logis atas pengelolaan sistem pendidikan

nasional yang bias agama. Risiko lain adalah makin maraknya praktik

intoleransi dalam kehidupan sosial; serta semakin mendorong menjadi

masyarakat melodramatik. Kalau nilai pencapaian matematika rendah,

solusi yang ditawarkan bukan mencari metode pembelajaran yang pas dan

efektif-memudahkan atau efektif-menyenangkan; tetapi solusinya adalah

berdoa. Doa itu sesuatu yang baik, tetapi jika mengira bahwa hanya

dengan doa semua urusan beres, itu artinya masyarakat melodramatik.

Jadi akan terasa lebih bagus jika proses pendidikan bukan sekadar

bagaimana mengajari berdoa secara literer, tetapi sekaligus

mengintegrasikan doa dengan praktik yang dilandasi etos kerja keras.

Akan tetapi justru di situlah persoalannya, selama ini proses

pendidikan nasional boleh dikatakan gagal membentuk manusia

Indonesia yang beretos kerja keras. Sudah menjadi rahasia umum jika kita

Page 13: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

11

sebagai bangsa masih kalah jauh dengan etos kerja seperti bangsa

Singapura, Korea Selatan, Vietnam, dan apalagi bangsa Cina. Sejak di

bangku sekolah anak-anak malas berpikir, malas membaca, malas

menulis, malas bertanya, malas berimajinasi, pokoknya malas belajar

keras. Dunia pendidikan kita dilanda oleh situasi pragmatis. Kehadiran

teknologi berbasis digital pun justru menjadikan proses belajar serba

pragmatis, yaitu maraknya praktik copy-paste.

Lebih parah lagi, situasi seperti itu juga melanda di kalangan guru.

Sudah menjadi rahasia umum juga, jika guru kita malas membaca, malas

menulis, dan karena itu daya kreativitas dan inovasinya menjadi rendah.

Kebijakan sertifikasi guru sudah tepat, tetapi sayangnya tidak

membangun etos kerja keras, sehingga penambahan penghasilan bukan

untuk meningkatkan profesionalisme, melainkan untuk gaya hidup

konsumtif. Sudah menjadi cerita umum dalam pergaulan sosial, bahwa

sertifikasi guru berbanding lurus dengan avanzanisasi. Belanja guru

untuk membeli buku sangat rendah, dan bahkan tidak sedikit guru yang

tidak mempunyai buku, kecuali buku paket dari pemerintah. Sungguh

situasi yang menyedihkan, bagaimana mungkin proses pendidikan akan

mengalami peningkatan kualitas jika minat baca sangat rendah.

Oleh karena itu jangan berharap ada guru yang kreatif, karena

malas berpikir, malas membaca, dan malas berimajinasi. Itulah sebabnya

sekarang ini di kalangan guru banyak terjadi salah konsep, seperti guru

salah memahami konsep kurikulum muatan lokal, salah memahami

konsep sumber belajar dan media pembelajaran, salah dalam memahami

konsep belajar studi wisata, dan konsep-konsep lain yang fundamental.

Untuk mengubah tata letak atau formasi bangku di kelas saja pun guru

sudah malas, meskipun tentu ada juga satu dua guru yang berusaha kreatif

memecahkan problem pembelajaran secara cerdas-kreatif.

Rasa kegelisahan guru sebagai orang yang menekuni profesi guru

pun sangat rendah. Guru kita tidak punya kegelisahan terhadap problem

pembelajran, karena dilanda oleh rutinitas, birokratik, dan

teradministrasi. Jarang sekali guru yang gelisah karena pencapaian nilai

matematika muridnya rendah. Bahkan tidak jarang malah menyalahkan

Page 14: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

12

muridnya, dan bukan berefleksi ada sesuatu yang salah dalam proses

belajarnya. Jarang sekali ada cerita guru bunuh diri karena gagal

mencapai target pencapaian belajar muridnya seperti di Jepang misalnya.

Yang sering terjadi adalah cerita guru dibunuh muridnya. Ironisnya,

ketika ada murid membunuh gurunya, guru agama dan guru Pancasila

tidak bunuh diri. Tidak ada guru agama atau guru Pancasila protes,

apalagi bunuh diri ketika menteri agama korupsi atau kitab suci dikorupsi.

Malah yang ada adalah bom bunuh diri.

Proses pendidikan nasional kurang berhasil menanamkan

pentingnya sebuah proses, tetapi hanya sekadar orientasi hasil.

Kurikulum 13 sebenarnya sudah bersepirit menghargai proses belajar,

tetapi sayangnya secara kultural tidak diselesaikan dulu. Selama ini

pengambilan keputusan untuk lulus tidaknya senantiasa berdasarkan

evaluasi berorientasi hasil, dalam bentuk angka di raport. Ini sudah

menjadi kultur yang melandan pada pengelola pendidikan dan juga

masyarakat. Hasil evaluasi yang dituntut Kurikulum 13 akhirnya

dikerjakan secara mendadak, karena guru memang tidak biasa

mengevaluasi sejak dari awal proses belajar siswa. Mengerjakan raport

baru seminggu atau dua minggu sebelumnya dengan data proses belajar

siswa yang minim. Sementara masyarakat pun kurang suka dengan model

penilaian narasi proses belajar anaknya. Mereka sudah terbiasa

memamerkan nilai rapotnya dalam bentuk angka-angka.

Kultur semacam itu juga tercermin dalam sistem apresiasi kita

sebagai bangsa terhadap proses. Bangsa ini lebih suka pada barang jadi,

dan tidak menghargai proses, pergulatan, atau jatuh-bangun. Jangan

heran jika cita-cita anak sekarang, ingin jadi dokter, jadi insinyur, atau

jadi pegawai negeri. Semuanya ingin sesuatu atau simbol yang sudah jadi,

bukan proses usahanya. Jarang sekali dalam masyarakat kita anak

bercita-cita ingin jadi kreator atau innovator. Kita jarang mendengar anak

bercita-cita ingin jadi pembuat sepeda, pembuat mobil, atau pembuat

jarum suntik, atau juga membuat obat, atau membuat kunci inggris.

Itu juga berimbas pada siapa yang paling dikagumi. Bangsa ini

selalu mengagumi tokoh yang berkaitan dengan konflik, perang, atau

Page 15: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

13

tokoh yang berkaitan dengan perasaan atau afeksi. Jarang sekali kita

mengagumi tokoh yang berprestasi pada ranah kognisi, seperti pemikir

atau filosuf. Jarang sekali mengagumi tokoh pembuat atau keterampilan

tinggi. Yang dikagumi pasti tokoh-tokoh yang dianggap penyelamat

dalam situasi krisis perang, mulai dari para nabi, raja, patih, presiden, atau

perdana menteri. Dalam dunia tokoh imajiner pun yang dikagumi juga

heroisme perang, mulai dari gatutkaca, si buta dari gua hantu, wiro

sableng, satria baja hitam, hingga superman. Jarang sekali bangsa kita

mengidolakan heroisme Gutenberg penemu mesin cetak, Marconi

penemu radio, Newton penemu grafitasi bumi, Thomas Edison salah satu

penemu listrik, Einstein penemu hukum relativitas, doter Alexander

Fleming penemu pinisilin, Nartosabdo si jenius musik Jawa, atau

Tjokorda penemu tiang pancang bebas hambat atau sosro bahu.

Proses pendidikan nasional juga kurang mengajari

berkembangnya imajinasi, tetapi lebih banyak dilanda oleh metode

menghafal atau rumusan definitif. Proses pendidikan kita selama ini

mengidap apa yang disebut sebagai “sindroma adalah”. Berbagai sumber

belajar, mulai dari buku, bahan ajar, modul, apalagi power point,

semuanya penuh dengan rumusan definitif, sehingga yang diajarkan

adalah “adalah”. Kalau dalam proses pembelajaran yang disampaikan

“adalah”, maka pertanyaannya yang mendominasi “apakah”, dan karena

itu jawabnya ya “adalah.” Jarang sekali proses pendidikan berisi tentang

adu argumen, adu gagasan, adu pikiran, debat, dan diskusi tentang sesuatu

yang memecahkan persoalan atau penambahan pengetahuan. Maka

jangan heran jika peserta didik kita selama ini sulit bertanya, atau bahkan

takut bertanya. Proses pendidikan kita masih bersifat indoktrinatif,

definitif, pemindahan, dan normatif yang disampaikan dengan metode

hafalan. Dengan demikian proses pendidikan mematikan imajinasi

peserta didik.

Proses pendidikan seperti itu akan sangat sulit menghasilkan

sumber daya manusia yang kreatif, inovatif, dan imajinatif, yang

merupakan persyaratan dasar bagi upaya terwujudnya masyarakat

industri. Murid hanya sekadar pendengar, penurut, dan penerima apa

Page 16: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

14

yang dikehendaki oleh penyampai. Sekolah bukan menjadi arena bagi

pengembangan imajinasi yang merangsang peserta didik untuk terus

melakukan tawaran gagasan, eksperimen temuan, dan asah keterampilan,

yang semuanya menjadikan peserta didik berkembang sebagai kreator

dan innovator. Atau menjadi peserta didik yang mletik akal, pikir, dan

keterampilanya. Jika proses pendidikan hanya berisi tentang paket-paket

pengetahuan yang dikerjakan secara administratif, birokratif, dan

teknokratik, maka jangan berharap akan mampu menghasilkan peserta

didik yang compatible dengan tuntutan masyarakat industri. Semuanya

hanya akan menuju pada jebakan rutinitas, formalitas, dan tidak ada

pertaruhan-pertaruhan.

Bagaimana dengan proses pendidikan di perguruan tinggi?

Situasinya tidak jauh berbeda dengan situasi pada proses pendidikan di

level bawahnya. Sejak awal perguruan tinggi dijadikan sebagai mitra oleh

pemerintah menuju masyarakat industri maju. Pemerintah menjadikan

perguruan tinggi sebagai mitra dalam menyediakan SDM maupun hasil-

hasil riset yang mendorong terciptanya masyarakat industri. Akan tetapi

sebegitu jauh, hasilnya masih jauh dari harapan. Sebagai indikator adalah,

semakin banyaknya angka pengangguran lulusan perguruan tinggi, dan

tiadanya hasil riset yang memadai untuk diproduksi secara massal. Sudah

tampak nyata di depan mata, bahwa lulusan perguruan tinggi banyak yang

menganggur, dan kalau toh bekerja, banyak sekali hanya kerja

serampangan yang tidak ada hubungannya dengan disiplin ilmunya.

Contoh paling gampang, bisa dilihat pada pegawai jasa transportasi

online yang banyak sekali lulusan perguruan tinggi. Artinya, sarjana

hanya jadi tukang ojek online, dan bahkan ada yang lulusan pascasarjana.

Bagaimana tidak prihatin, keterampilan gojek yang bisa dipelajari hanya

satu dua hari, harus dikerjakan oleh tenaga kerja yang berkualifikasi

sarjana atau pascasarjana yang belajarnya lebih dari 8 tahun. Ini adalah

tragedi.

Salah satu persolan kurang optimalnya perguruan tinggi dalam

mendorong masyarakat industri adalah tiadanya sinergi antara

pemerintah, perguruan tinggi, dan korporasi bisnis. Persoalan ini sudah

Page 17: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

15

muncul sejak awal dekade 1980-an, hingga sekarang masih sama saja,

tetapi tidak ada solusi. Artinya, bahwa problem lambat atau gagalnya

membangun masyarakat industri sudah sejak lebih dari empat puluh

tahun lalu, tetapi tidak ada solusi. Jadi masyarakat kita sebenarnya jalan

di tempat, atau mengalami stagnasi. Alasan klasik biasanya adalah,

investor ragu membiayai hasil riset perguruan tinggi karena kurang

berkualitas. Perguruan tinggi pun responsnya lambat, dan biasanya tidak

mencari apa penyebab rendahnya mutu riset perguruan tinggi. Sudah

menjadi rahasia umum, jika riset yang didanai dari APBN penuh dengan

formalitas, tidak ada pertaruhan, dan sekadar memenuhi logika

administratif.

Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa riset di perguruan

tinggi lebih kuat kecenderungan mengikuti logika administrasi, dan

bukan sebaliknya. Riset yang semacam itu sudah tentu akan berkualitas

rendah, karena hanya mengikuti kewajiban administratif. Belum

berkembang kultur di kalangan peneliti perguruan tinggi, bahwa

pertaruhan hasil risetnya adalah diproduksi massal atau tidaknya oleh

dunia industri. Sistem apresiasi atau regulasi di perguruan tinggi pun tidak

berorientasi ke sana, tetapi regulasinya lebih pada pemenuhan kewajiban

administratif. Tidak ada dosen yang dielu-elukan karena hasil risetnya

berhasil diproduksi massal oleh dunia industri. Oleh karena itu sejak dulu

riset-riset dari dunia perguruan tinggi dan juga lembaga riset pemerintah

begitu sedikit konstribusinya terhadap dinamika masyarakat industri.

Kalau kita mau jujur, apakah barang-barang industri rumah tangga,

sandang-pangan, alat transportasi, dan sarana di kantor kita ini semua

adakah yang merupakan hasil dari riset perguruan tinggi? Bahkan ketika

saya berkunjung ke LIPI, tidak satu pun sarana-prasarana yang dipakai

oleh peneliti LIPI produk dari hasil riset mereka sendiri. Semuanya serba

impor. Memang ada terpajang di ruang loby prototipe mobil kancil hasil

rancangan LIPI, tetapi ya hanya dipajang saja, tidak ada kalangan investor

yang berniat memproduksi massal.

Di UNY juga terus berusaha meningkatkan hasil riset dari para

dosen dan mahasiswa. Salah satu yang diunggulkan adalah mobil listrik

Page 18: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

16

yang selama ini telah dikompetisikan pada level internasional. Akan

tetapi orientasinya apakah akan diproduksi secara massal oleh dunia

industri, atau hanya sekadar untuk lomba? Jika memang perguruan tinggi

menjadi bagian dari upaya membangun masyarakat industri tentu sejak

awal harus orientasi produksi massal. Jika memang sejak awal kurang

begitu layak untuk produksi massal karena alasan ekonomis, maka UNY

perlu segera merevisi tentang pilihan isu strategisnya. Hasil penelitian

Nurfina Aznam tentang kunir putih justru pilihan yang strategis dan

compatible dengan kultur bangsa agraris seperti Indonesia. Seharusnya

riset seperti itu yang terus mendapat apresiasi dari pemerintah, karena

sangat layak diproduksi secara massal dan bisa kompetitif.

Kalau kita bertanya, sudah berapa bilyun rupiah dana dihabiskan

untuk aktivitas riset selama Indonesia merdeka? Tetapi apa hasilnya bagi

upaya membangun masyarakat indsutri? Saya kira ini perlu direnungkan

secara mendalam, karena hasilnya memang tidak sepadan dengan biaya

dan tenaga yang telah dikeluarkan. Jika itu yang terjadi tentu ada yang

salah dalam proses pendidikan dan riset selama ini. Sudah menjadi

rahasia umum, bahwa mengguritanya dominasi logika administratif, telah

membuat riset perguruan tinggi dan riset pada lembaga pemerintah pada

umumnya kurang kompetitif di mata dunia industri. Riset kita selama ini

lebih banyak mengikuti logika administratif, sehingga sibuk pada

kegiatan pengumpulan data yang biasanya tersebar ke berbagai daerah.

Tetapi ketika data sudah terkumpul, tidak tau harus diapakan, atau tidak

dianalisis untuk pertaruhan pada tantangan dunia industri. Semuanya

hanya dikerjakan sekadar memenuhi kewajiban administratif, karena itu

sudah menjadi cerita klasik bahwa hasil riset hanya ditumpuk memenuhi

rak kantor.

Salah satu persoalan mendasar yang sering diangkat atas

kegagalan ini adalah tiadanya sinergitas antara pemerintah, perguruan

tinggi, dan dunia industry. Akan tetapi persoalan ini sudah teridentifikasi

sejak dekade 1980-an, dan hingga sekarang masih terus di seputar

problem ini. Artinya, pasti ada sesuatu yang menjadi penghambat

permanen yang membuat persoalan ini juga menjadi permanen hingga

Page 19: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

17

sekarang. Mengikuti logika ini maka pasti ada kepentingan di balik itu

semua yang hanya menguntungkan bagi beberapa gelintir orang. Pihak

seperti ini tentu tidak ingin bangsa ini maju, karena jika maju maka akan

mengancam kepentingan bisnis mereka. Sebagai ilustrasi, gagalnya

mengembangkan industri otomotif selama ini misalnya, tentu tidak luput

dari skema persoalan tersebut. Para birokrat dan pengambil keputusan

lebih mengikuti kehendak kapitalisme global yang bergerak di bidang

industri otomotif untuk tetap menguasai pasar besar industri otomotif di

Indonesia. Tentu para elite yang ditundukan oleh kapitalisme global

seperti itu tidak menghendaki negeri ini mandiri. Akibatnya, seluruh

sumber daya manusia yang disediakan oleh dunia pendidikan bekerja di

sektor industry otomotif ini hanya sekadar sebagai pekerjaan tukang, dan

bukan pada pekerjaan strategis seperti disainer mesin. Pola hubungan

kolusif seperti itu juga merambah hampir semua industri di Indonesia,

terutama yang berkait erat dengan kalangan investor kapitalisme global.

Sekarang masyarakat marak mendiskusikan masyarakat industri

4.0 menyusul perubahan dari masyarakat offlline ke masyarakat online,

atau era digital. Akan tetapi problem dasar yang dihadapi tetap saja

seperti ketika menghadapi problem mau menjadi masyarakat industri

konvensional. Jadi pertama, Indonesia tetap saja menjadi pasar potensial

atas produk berbagai industri telekomunikasi dan digital. Oleh karena itu,

ketika dunia pendidikan merespons problem industri 4.0 juga dengan

penyikapan kultur yang sama. Pembukaan prodi-prodi ICT menjamur bak

cendawan di musim hujan, tetapi juga tidak dirancang untuk menuju

kedaulatan telekomunikasi dan kedaulatan digital. Akhirnya, negeri ini

hingga fase perkembangannya sekarang, yang berkembang tetap hanya

watak konsumtifnya, jika dibanding produktifnya. Jadi bagaimana

mungkin jika pada upaya menjadi negara industri konvensional saja

gagal, tiba-tiba kita mau menjadi masyarakat industri 4.0 yang menuntut

persyaratan dasar lebih rumit.

Begitulah, praksis pendidikan di Indonesia selama ini, sebuah

praksis pendidikan yang menempatkan peserta didikan sebagai objek

pasif belaka. Lembaga pendidikan juga penyebar wacana dominatif,

Page 20: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

18

sehingga membentuk lapisan-lapisan yang mengubur potensi kesadaran

kritis. Otak murid dilapisi dengan pengetahuan, ideologi, dan doktrin-

doktrin berlapis-lapis dan tersedimentasi dalam struktur kognitifnya.

Akibatnya mereka tidak bisa berpikir, tetapi meniru dan menjadi pembela

berdarah-darah pada sebuah ideologi yang tentu saja orientasinya terbalik

ke masa lalu. Pendidikan tidak dirancang untuk melahirkan generasi yang

menatap masa depan, tetapi lebih ditarik ke masa lalu, sehingga hanya

menjadi generasi nostalgik, keluh-kesah, dan beretos kerja rendah.

Pendidikan hanyalah menjadi mesin pendesain yang mengikuti

logika positivistik, pe-remote control murid, sehingga kehilangan

spontanitas berpikir, letupan gagasan berbeda, sehingga kehilanagn

makna. Semua adalah sudah terdesain, diarahkan, dan optimalisasi ke

arah efektivitas tujuan. Murid ibarat benda yang diletakan pada mesin ban

berjalan, rutin bergerak ke arah yang sudah ditetapkan. Akibatnya sekolah

tidak menghasilkan ide besar, menginspirasi, semua menjadi benda-

benda yang tampak hidup, tapi mati.

Lalu bagaimana untuk mengatasi persoalan semua itu, terutama

jika dikaitkan dengan kehendak untuk berkembang menjadi masyarakat

industri? Di sini saya menawarkan pendidikan bermakna, yang memiliki

potensi menjadi sekoci bagi upaya menuju masyarakat industri yang lebih

substansial.

Pendidikan Bermakna

Apa itu pendidikan bermakna? Pendidikan bermakna secara

konseptualistik merupakan kombinasi antara pedagogi kritis dan

pendidikan partisiparotis. Pedagogi kritis berarti berwatak kritik, dalam

arti proses pendidikan harus emansipatoris, yaitu membebaskan dari

struktur-struktur buatan manusia yang menindas baik itu pada tingkat

produksi pengetahuannya maupun praksisnya. Ini berarti pendidikan

harus memiliki proyek utama membangun kesadaran kritis yang peka

terhadap ketidakadilan. Sementara itu pendidikan partisipatoris sebuah

proses pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif

dalam memproduksi pengetahuan dan menyelesaikan persoalan aktual

Page 21: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

19

yang dihadapi sehari-hari. Jadi proses pendidikan di sini adalah sebuah

keterlibatan aktif dari peserta didik yang berorientasi pada pemecahan

masalah.

Akan tetapi pendidikan bermakna yang bersumber dari kedua

konsep besar tersebut belum cukup. Sebuah proses pendidikan baru bisa

disebut pendidikan bermakna jika bersifat historis dan sesuai dengan

kondisi sosio-kultural Indonesia serta memiliki daya antisipatif visioner.

Historis artinya, pendidikan mesti berangkat, berproses, dan berantisipasi

secara dialektik dari pergulatan bangsa ini sejak mengenal peradaban,

hingga kekinian, dan masa depan. Sementara itu sesuai kondisi sosio-

kultural mengandung makna bahwa setiap proses pendidikan mesti

berangkat dari sosio-kultur bangsa ini secara dinamis dan dialektik. Jika

bangsa ini berkultur agraris-maritim misalnya, maka proses pendidikan

bermakna mesti menjadi bagian dari upaya mengembangkan kompetensi

yang dibentuk dan sekaligus membentuk budaya agraris-maritim secara

cerdas dan kreatif. Oleh karena itu, watak utama pendidikan bermakna

adalah mengajari berpikir, bukan meniru-imitatif; mengajari mencipta-

produktif, bukan mengkonsumsi belaka; mengunyah, bukan menelan

untal-malang. Singkatnya pendidikan bermakna menghasilkan outcome

yang berkesadaran kritis, membebaskan, dan otonom-berdaya. Jadi

sebuah pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif

yang berpikir dan berdaya cipta, bukan objek pasif yang berimitasi dan

berkonsumsi belaka. Pendidikan bermakna adalah pilar utama dari

sebuah bangunan bangsa yang berdaulat bernama Indonesia.

Pendidikan bermakna akan membebaskan praktik pendidikan

yang mendominasi dan menghegemoni pikiran sebuah bangsa secara

kolektif pada suatu periode, dan bahkan secara terus-menerus.

Sebagaimana kita rasakan, praksis pendidikan kita selama ini lebih

menyedihkan karena semuanya diarahkan untuk pendisiplinan pikiran.

Semuanya serba sentralistik dan penuh semangat penyeragaman, dan

karena itu pendidikan lebih bersifat teknokratik, demi pertumbuhan

ekonomi yang basis industrinya ditopang oleh modal asing. SDM

outcome pendidikan menghamba pada kepentingan pemilik modal, yang

Page 22: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

20

sebagian besar adalah kaum kapitalisme global. Jadi tetap saja pendidikan

hanya melahirkan sumber daya manusia bermental jongos, dan bahkan

menjadi jongos beneran ketika ramai-ramai menjadi TKI.

Sekolah hanya melahirkan generasi imitasi, dan karena itu malas

berpikir. Kalau toh diajari berpikir itu pun dengan logika berpikir

konvensional. Imitasi bukanlah aktivitas berpikir, tetapi meniru dan

karena itu tidak lebih hanya generasi pengagum, penikmat, dan

konsumtif. Imitasi bukanlah bermimikri yang mockery, atau meniru dan

sekaligus mengejak terhadap yang ditirunya. Imitasi adalah meniru secara

pasif terhadap yang ditirunya, karena itu gampang dikontrol oleh yang

ditirunya. Peniru selamanya tidak akan menjadi aslinya, dan karena itu

tidak akan bisa menjadi melampauinya. Lembaga sekolah selama ini telah

begitu lama melakukan praktik demikian, dan yang lebih memprihatinkan

hingga fase perkembangannya yang sekarang, tidak menyadarinya.

Bahkan yang terjadi melakukan selebrasi atas peniruannya itu, dan

dengan demikian juga merayakan ketertundukannya terhadap yang

ditirunya. Lembaga pendidikan adalah ibu kandung generasi imitasi yang

dirayakannya secara gegap-gempita.

Lembaga pendidikan adalah pabrik kesadaran palsu, bukan arena

menyemaikan kesadaran kritis. Representasi murid adalah representasi

yang dibentuk, dipandang, dan mengalami objektivikasi tanpa otonomi.

Sekolah tidak menjadi arena bagi membangun kesadaran kritis yang

menjadikan murid mampu sebagai subyek aktif dan memandang secara

cerdas-kreatif dalam pergulatannya dengan perkembangan peradaban

manusia. Seruan dari teori kritis, jadikanlah lembaga pendidikan sebagai

arena emansipatoris, di Indonesia terdengar sayup-sayup. Yang terdengar

lebih nyaring adalah seruan rohaniawan dan borjuis yang

menyembunyikan penindasannya. Kolosi keduanya mampu

membungkam dan meninabubukan murid dalam samudra kemapanan,

sehingga murid tidak punya kepedulian karena itu dunia ini sudah selesai

tanpa masalah. Murid tidak lagi peka dan peduli dengan ketidakadilan

struktural.

Page 23: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

21

Lembaga pendidikan tidak lebih hanya mewariskan dan

memindahkan pola yang sudah digunakan oleh pemiliknya, yaitu Barat

pelopor moda produksi kapitalisme dan Timur Tengah pengkonstruksi

Tuhan monoteisme. Lembaga pendidikan di Indonesia tidak mengajari

bagaimana caranya membuat pola dan sekaligus mengembangkannya.

Karena itu lembaga pendidikan, terutama sekolah, hanyalah peminjam

pola, tidak peduli pola itu sudah usang atau tidak, kontekstual atau tidak.

Lebih repot lagi, lembaga sekolah mengajari cara berpikir dan praktik

polaritatif itu, sehingga murid peniru ulung, dan bukan pencipta.

Lembaga sekolah seperti itu tidak menghasilkan murid yang

berkehendak, tetapi hanya melahirkan murid yang dikehendaki,

dikehendaki oleh para pendukung kemapanan baik dalam “cara berpikir”

maupun praktik.

Jangan heran kalau murid sekarang bukan saja tidak boleh

bertanya, tetapi memang tidak bisa bertanya, dan karena itu apalagi

menjawabnya. Semuanya diajari atas kehendak kelompok mapan, dan

guru adalah agen utama kelompok mapan itu. Lihatlah murid kita, kalau

toh diajari bertanya, maka itu adalah pertanyaan kelompok mapan. Dan

bukan hanya itu, murid juga sekaligus diajari menjawabnya. Jadi

pertanyaan dan sekaligus jawabannya itu pada hakekatnya adalah bukan

pertanyaan dan jawaban murid, melainkan pertanyaan dan sekaligus

jawaban kelompok mapan yang agen utamanya adalah guru, yang

sekaligus kepanjangan dari negara yang tidak otonom terhadap

kapitalisme dan agama. Karena itu murid tidak punya representasi

kesejatian, tetapi direpresentasikan oleh kesadaran palsu yang dibentuk

oleh kelompok mapan. Lembaga sekolah tidak lebih sekadar pembuat

“patung-patung” , dan repotnya patung-patung itu kopong, karena hanya

diisi oleh imitasi.

Oleh karena itu tidak perlu heran jika proses imitasi itu

berlangsung pada berbagai aspek, mulai dari sistem hukum, sistem

politik, ekonomi, dan juga kebudayaan. Dengan kata lain, tidak tumbuh

karya peradaban di negeri ini, karena telah lama macet sebagai akibat dari

proses imitasi yang intensif dan masif. Sistem hukum, politik, ekonomi,

Page 24: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

22

persis meniru Barat yang tanpa dikontekstualisasikan dengan proses

historis bangsa ini. Bahkan sistem keyakinan juga meniru persis dari

pusatnya, yaitu Timur Tengah, tanpa mempertimbangkan proses historis

bangsa ini. Semuanya adalah ahistoris. Karena itu bisa juga dikatakan

terlalu lama bangsa ini tidak memiliki sejarahnya sendiri, terus senantiasa

menjadi objek karya peradaban eksternal. Jangan heran jika dalam acara

di televisi semuanya adalah meniru persis seperti dari sumbernya, mulai

dari Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, acara Kuliner, apalagi

acara kuis. Semuanya adalah imitasi total. Lebih memprihatinkan yang

dituru adalah yang berkaitan dengan hiburan hura-hura, dan makan,

karena acara sepeti itulah yang tidak rumit.

Itulah tragedi pendidikan nasional yang selama ini terus

berlangsung tanpa menyadari kekeliruan sejak dari landasan filosofis,

teoretik, dan praksisnya. Semua itu karena tidak menggunakan prinsip

serta menerapkan pendidikan bermakna yang merupakan arena penyemai

subyek aktif, berkesadaran kritis, membebaskan, memilik mimbar

akademik, komunitas epistemik, dan masyarakat argumentatif.

Pendidikan bermakna bisa membangun kesadaran kritis yang sensitif

terhadap isu fundamental yaitu ketidakadilan dan peka terhadap berbagai

bentuk dominasi dan hegemoni, serta pada akhirnya lembaga pendidikan

menjadi arena pengembangan berpikir, bukan imitasi.

Merujuk pada Deluze beberapa ciri berpikir dalam filsafat

konvensional itu antara lain: (1) Proses berpikir beroperasi atas dasar

pangakuan, pengetahuan, dan kemiripan -apakah berupa kemiripan antara

objek dan representasi, khususnya dan konsep, atau antara pernyataan-

pernyataan dalam pikiran. Hal ini berarti semua modus perdebaan tunduk

kepada-dan dengan demikian bakal berpikir pada dasar-identitas. Dalam

filsafat Kant, karakterisasi atas citra tradisional atas pemikiran ini

mencapai formulasi paling mendalam di bawah bentuk concordia atau

keselarasan dari semua bidang dalam otak. Namun demikian, kemiripan,

pengakuan , dan harmoni tidak memberi kita kejelasan mengapa kita

berpikir; apa kekuatan yang memaksa kita berpikir; (2) Sama seperti

pemikiran diasumsikan memiliki akal sehat dan sifat yang baik-kemauan-

Page 25: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

23

untuk-kebenaran- maka kesalahan hanya terjadi saat pikiran sedang

disesatkan, biasanya sebagai konsekuensi dari “terganggu oleh keinginan

dan dorongan dari tubuh”. Contoh salah hitung 6 + 5 = 12, dianggap

bukan kesalahan berpikir melainkan kesalahan anak yang belum lancar

membaca atau belum paham aritmatika. Bisa juga kesalahan itu karena

konsekuensi dari keadaan tertentu (misalnya karena melihat dari kejauhan

atau kurang cahaya). Ini berarti filsafat gagal mempertimbangkan

kesalahan “asli”, bahkan sebelum Nietzsche, filsafat gagal memikirkan

tentang sense; apakah itu sense atau non-sense sama sekali (Durie dalam

Edkins & Williams, 2009: 170).

Kemiripan dan apalagi imitasi ditolak oleh Deleuze sebagai

prinsip berpikir, karena dalam kenyataannya kemiripan tidak memberi

kemungkinan untuk menjelaskan mengapa kita berpikir. Karena itu

berlawanan dengan citra pemikiran filsafat lama, Deleuze

mengembangkan “new image of thought” atau citra beru pemikiran

sebagai berikut:

1. Apa yang memaksa kita untuk berpikir? Bukannya pengakuan atau

kemiripan yang memaksa kita untuk berpikir, tetapi malah kita

dipaksa untuk berpikir ketika pemikiran itu sedang bertemu dengan

kekerasan tertentu –ketika ia bertemu dengan sesuatu yang tidak

dapat dipikirkan, yang berada di luar jangkauan konsep-konsep

yang pikiran normalnya beroperasi. Dengan kata lain, dalam

pertemuan seperti itu pemikiran tidak tepat mengetahui dengan

siapa/apa ia berhadapan, dalam keadaan tersebut, Deluze

berpendapat bahwa yang dihadapi adalah yang “dapat diindra”-

dengan demikian, pertemuan yang terdiri dalam keadaan bisa

diindra. Dalam pengindaraan dan melalui pengindraanlah pikiran

terbangunkan (Deluze, 1994: 139).

2. Akan tetapi, jika peristiwa yang diindra ini berada di luar

jangkauan pengetahuan, bagaimana pikiran bisa terbangunkan?

Dalam cara bagaimana pikiran dipaksa untuk berpikir? Deleuze

menunjukkan, peristiwa pengindaraan semacam itu

Page 26: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

24

membingungkan pikiran sehingga memaksa pikiran untuk

menghadapi problem (Deleuze, 1994: 140).

Begitulah, imitasi bukanlah aktivitas berpikir, tetapi meniru dan

karena itu tidak lebih hanya generasi pengagum, penikmat, dan

konsumtif. Imitasi bukanlah bermimikri yang mockery, atau meniru dan

sekaligus mengejak terhadap yang ditirunya. Imitasi adalah meniru secara

pasif terhadap yang ditirunya, karena itu gampang dikontrol oleh yang

ditirunya. Peniru selamanya tidak akan menjadi aslinya, dan karena itu

tidak akan bisa menjadi melampauinya. Lembaga sekolah selama ini telah

begitu lama melakukan praktik demikian, dan yang lebih memprihatinkan

hingga fase perkembangannya yang sekarang, tidak menyadarinya.

Bahkan yang terjadi melakukan selebrasi atas peniruannya itu, dan

dengan demikian juga merayakan ketertundukannya terhadap yang

ditirunya. Lembaga pendidikan adalah ibu kandung generasi imitasi yang

dirayakannya secara gegap-gempita.

Lembaga pendidikan adalah pabrik kesadaran palsu, bukan arena

menyemaikan kesadaran kritis. Representasi murid adalah representasi

yang dibentuk, dipandang, dan mengalami objektivikasi tanpa otonomi.

Sekolah tidak menjadi arena bagi membangun kesadaran kritis yang

menjadikan murid mampu sebagai subyek aktif dan memandang secara

cerdas-kreatif dalam pergulatannya dengan perkembangan peradaban

manusia. Seruan dari teori kritis, jadikanlah lembaga pendidikan sebagai

arena emansipatoris, di Indonesia terdengar sayup-sayup. Yang terdengar

lebih nyaring adalah seruan rohaniawan dan borjuis yang

menyembunyikan penindasannya. Kolusi keduanya mampu

membungkam dan meninabubukan murid dalam samudra kemapanan,

sehingga murid tidak punya kepedulian karena itu dunia ini sudah selesai

tanpa masalah. Murid tidak lagi peka dan peduli dengan ketidakadilan

struktural.

Lembaga pendidikan tidak lebih hanya mewariskan dan

memindahkan pola yang sudah digunakan oleh pemiliknya, yaitu Barat

pelopor moda produksi kapitalisme dan Timur Tengah pengkonstruksi

Page 27: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

25

Tuhan monoteisme. Lembaga pendidikan di Indonesia tidak mengajari

bagaimana caranya membuat pola dan sekaligus mengembangkannya.

Karena itu lembaga pendidikan, terutama sekolah, hanyalah peminjam

pola, tidak peduli pola itu sudah usang atau tidak, kontekstual atau tidak.

Lebih repot lagi, lembaga sekolah mengajari cara berpikir dan praktik

polaritatif itu, sehingga murid sekadar peniru ulung, dan bukan pencipta.

Lembaga sekolah seperti itu tidak menghasilkan murid yang

berkehendak, tetapi hanya melahirkan murid yang dikehendaki,

dikehendaki oleh para pendukung kemapanan baik dalam “cara berpikir”

maupun praktik.

Jangan heran kalau murid sekarang bukan saja tidak boleh

bertanya, tetapi memang tidak bisa bertanya, dan karena itu apalagi

menjawabnya. Semuanya diajari atas kehendak kelompok mapan, dan

guru adalah agen utama kelompok mapan itu. Lihatlah murid kita, kalau

toh diajari bertanya, maka itu adalah pertanyaan kelompok mapan. Dan

bukan hanya itu, murid juga sekaligus diajari menjawabnya. Jadi

pertanyaan dan sekaligus jawabannya itu pada hakekatnya adalah bukan

pertanyaan dan jawaban murid, melainkan pertanyaan dan sekaligus

jawaban kelompok mapan yang agen utamanya adalah guru, yang

sekaligus kepanjangan dari negara yang tidak otonom terhadap

kapitalisme dan agama. Karena itu murid tidak punya representasi

kesejatian, tetapi direpresentasikan oleh kesadaran palsu yang dibentuk

oleh kelompok mapan. Lembaga sekolah tidak lebih sekadar pembuat

“patung-patung” , dan repotnya patung-patung itu kopong, karena hanya

diisi oleh imitasi.

Oleh karena itu tidak perlu heran jika proses imitasi itu

berlangsung pada berbagai aspek, mulai dari sistem hukum, sistem

politik, ekonomi, dan juga kebudayaan. Dengan kata lain, tidak tumbuh

karya peradaban di negeri ini, karena telah lama macet sebagai akibat dari

proses imitasi yang intensif dan masif. Sistem hukum, politik, ekonomi,

persis meniru Barat yang tanpa dikontekstualisasikan dengan proses

historis bangsa ini. Bahkan sistem keyakinan juga meniru persis dari

pusatnya, yaitu Timur Tengah, tanpa mempertimbangkan proses historis

Page 28: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

26

bangsa ini. Semuanya adalah ahistoris. Karena itu bisa juga dikatakan

terlalu lama bangsa ini tidak memiliki sejarahnya sendiri, terus senantiasa

menjadi objek karya peradaban eksternal. Jangan heran jika dalam acara

di televisi semuanya adalah meniru persis seperti dari sumbernya, mulai

dari Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, acara Kuliner, apalagi

acara kuis. Semuanya adalah imitasi total. Lebih memprihatinkan yang

ditiru adalah yang berkaitan dengan hiburan hura-hura, dan makan,

karena acara sepeti itulah yang tidak rumit.

Sekolah pun kemudian juga menjadi arena beroperasinya

ideologi kapitalisme secara masif dan intensif, yang agennya lagi-lagi

adalah negara yang dikontrol oleh kekuatan kapital. Mereka inilah yang

kemudian mempasifkan murid untuk belajar dibawah kesadaran palsu.

Murid pun kemudian teralineasi dengan lingkungan belajarnya, karena

telah dibius dengan khayalan-khayalan atau kisah sukses masyarakat

Barat. Akibatnya murid tidak bangga dan gemar pada kultur agraris-

maritim, tetapi malah mengagumi kisah sukses masyarakat kapitalis.

Murid menjadi terasing (teralienasi) dengan lingkungan budayanya

sendiri yang agraris-maritim. Proses ini beroperasi terus melalui institusi

pendidikan, sehingga tidak heran jika murid sejak awal sudah tercerabut

dari akar budayanya. Sekolah tidak dijadikan sebagai arena kesadaran

kritis, yang menjadi subyek aktif mengkonstruksi kebudayaan secara

transformatif. Budaya agraris-maritim tidak mengalami transformasi ke

arah budaya progresif dengan aktor utama adalah learning outcome dari

lembaga pendidikan sekolah. Sekolah hanya melahirkan generasi imitasi,

dan karena itu malas berpikir. Kalau toh diajari berpikir itu pun dengan

logika berpikir konvensional.

Sudah sejak lama bangsa ini tidak mau bersulit-sulit, atau sedi kit

gelem kangelan. Pingin hidup enak, tetapi tidak mau bekerja keras,

disiplin, dan gemar detail (lihat artikel saya di Kompas). Tidak mampu

mengunyah, karena tidak tahu konsep differance, difer atau menunda.

Tidak diberi kesempatan untuk jeda, berhenti sejenak agar memiliki sikap

kritis terhadap materi pelajaran. Semuanya dijejali, didoktrin, disuapi,

dan harus menelan langsung.

Page 29: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

27

Sumber utama praktik pendidikan indoktrinatif itu adalah

keterpukauan terhadap pembelajaran berparadigma positivistik dan

behavioristik. Menempatkan peserta didik hanya sebagai objek belaka,

dikendalikan oleh berbagai model dan disasin pembelajaran yang telah

dirancang secara seragam oleh pusat. Seluruh perangkat pendidikan

mulai dari kurikulum, pilihan model pembelajaran, bahan ajar dan buku

ajar, media pembelajaran dan berbagai bentuk evaluasi pembelajaran

telah di buat oleh Jakarta dan kemudian adalah keharusan untuk

diterapkan oleh daerah. Praktik pendidikan indoktrinatif seperti itu secara

disignifikan dilakukan oleh rezim Orde Baru.

Ketika Indonesia memasuki pasca Orde Baru, atau sering disebut

sebagai era reformasi, praktik pendidikan indoktrinatif seperti itu juga

masih terasa. Jadi terasa ironis, katanya demokrasi pendidikan dan

desentralisasi pendidikan, tetapi dalam banyak kasus sentralisasi

pendidikan juga masih terasa. Kurikulum dan pengadaan buku juga

bersifat sentralistik karena kepentingan proyek birokrat Jakarta. Memang

kemudian ada otonomi pendidikan, tetapi otonomi pendidikan justru

membuat pendidikan menjadi perusahaan yang melakukan komodifikasi

jasa pendidikan. Perubahan sistem politik ke sistem demokrasi,

melahirkan otonomi daerah dan otonomi pendidikan, tetapi kemudian

mengkondisikan pendidikan semakin liberal. Liberalisasi pendidikan ini

lantas pendidikan lebih berorientasi pada pasar, dan lembaga pendidikan

yang dianggap baik semakin sedikit membuka akses bagi kalangan

masyarakat miskin. Jadi liberalisasi pendidikan terbukti telah menjadikan

institusi pendidikan menjadi bagian dari memapankan struktur sosial

yang tidak adil. Perguruan tinggi favorid, seperti UGM, ITB, UI, UNDIP,

UNAIR, USU, UNHAS, pada era liberalisasi pendidikan ini semakin

dihuni oleh mahasiswa yang berasal dari kalangan keluarga kaya. Bahkan

UGM, yang dahulu terkenal sebagai universitas kerakyatan, sekarang

semakin elitis. Keluarga dari kalangan kelas bawah atau apalagi warga

miskin semakin sulit kuliah di UGM karena biayanya semakin mahal.

Memang dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah

mengeluarkan kebijakan yang memberikan kuota bagi warga miskin

Page 30: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

28

melalui program bidik misi. Akan tetapi daya serapnya tidak lebih dari 5

persen dari total mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi favorid.

Perguruan tinggi yang mencetak SDM unggul, terbukti lebih banyak dari

kelas menengah ke atas, dan di tangan generasi orang kaya itulah negeri

ini kemudian diserahkan untuk memimpin kelak di kemudian hari. Jadi

kepekaan dan kepedulian terhadap orang miskin sangat diragukan karena

mereka memang bukan dari kalangan warga miskin.

Lalu kemudian untuk mengatasi agar proses pendidikan segera

keluar dari cengkeraman positivistik, diperkenalkan pendidikan

berparadigma konstruktivistik. Sejumlah metode pembelajaran diubah

dari yang tadinya teacher center menjadi student center, atau

menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif. Akan tetapi dalam

praktiknya terjadi sebuah ironi karena guru yang merupakan garda

terdepan tidak paham akan esensi pembelajaran konstruktivistik.

Sementara kalangan birokrat pendidikan juga segan melepaskan watak

sentralistiknya karena demi kepentingan akses anggaran.

Akibatnya banyak terjadi ironi dan keanehan dalam praktik

pembelajaran di sekolah. Katanya konstruktivistik tapi diajari prinsip

benar salah, pilihan berganda, dan tidak argumentatif. Misal citra visual

patih Gajah Mada, ya hanya seperti rekaan Mohammad Yamin yang ada

dalam benak guru dan murid. Sementara jika ada murid yang

menggambar Gajah Mada berbadan kurus atau tidak bermuka tambun

seperti rekaan Yamin, pasti oleh guru disalahkan. Jadi proses

pembelajaran seperti itu bukan bersifat konstruktivistik, tetapi tetap

indoktrinatif. Murid tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan

imajinasinya. Sementara instrumen evaluasi pembelajaran masih banyak

menggunakan prinsip benar-salah dan pilihan berganda. Jarang sekali

guru menggunakan soal-soal esai yang mampu merangsang imajinasi

siswa. Anehnya dalam setiap visi misi sekolah selalu ingin membentuk

murid yang cerdas, kreatif, dan inovatif. Sebuah cita-cita yang sulit

diwujudkan karena proses pembelajarannya bersifat indoktrinatif dan

bukan praksis pembelajaran konstruktivistik. Pembelajaran berparadigma

konstruktivistik merupakan bagian dari pendidikan bermakna, karena itu

Page 31: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

29

fakta ironi dan keanehan praktik pembelajaran tersebut juga indikasi

belum menerapkan pendidikan bermakna, sehingga gagal membangun

peserta didik yang kaya imajinasi dan sarat argumentatif.

Memang kemudian diperkenalkan kurikulum 2013 yang

berorientasi pada pembelajaran proses, bukan orientasi hasil. Harus

diakui kurikulum 13 memiliki kandungan pendidikan bermakna, karena

menekankan proses dan bukan hasil dalam suatu proses pembelajaran.

Akan tetapi dalam praktiknya tidak berjalan sesuai dengan tipologi

idealnya, akibat tiadanya upaya memenuhi prasyarat utamanya. Salah

satu prasyarat itu adalah kemampuan guru dalam melakukan penelitian

kualitatif. Jika mau berhasil dalam implemntasi kurikulum 13,

kompetensi guru dalam melakukan observasi terhadap proses belajar

siswa harus dipenuhi lebih dahulu. Akan tetapi prasyarat dasar ini tidak

dipenuhinya, sehingga kurikulum 13 sekadar ganti nama saja, dari

kurikulum KTSP. Guru tidak punya kompetensi observasional, sehingga

gagal melakukan pengamatan secara cermat dan jujur terhadap proses

belajar siswanya. Parahnya lagi, guru tidak memiliki kultur menulis,

meskipun sekadar bersifat diskriptif. Oleh karena itu ketika membuat

laporan akhir proses belajar murid, hanya sekadar formalitas dan tanpa

data akurat. Guru tidak terbiasa mendokumentasikan catatan lapangan

selama satu semester proses belajar siswanya. Kebiasaan guru menulis

laporan dalam buku raport murid hanya seminggu sebelum hari akhir

semester. Akibatnya guru di samping minim data observasional, juga

kesulitan mendiskripsikan laporan sebagai hasil evaluasi belajar siswa.

Jadi sekadar copy paste dari satu diskripsi hasil belajar murid ke murid

satunya. Tidak ada variasi pelaporan diskriptif berdasarkan aktvitas

belajar masing-masing individu muridnya. Kurikulum 13 pada fase

evaluasi ini mengalami kegagalan total, dan ini lagi-lagi tragedi

pendidikan nasional.

Dalam pandangan pendidikan bermakna, pendidikan harus

merupakan proses diskursif yang menyediakan mimbar akademik untuk

secara adil (fair) dan bebas-terbuka dalam mempertahankan teori dan

tesis secara agrumentatif. Karena itu lembaga pendidikan adalah

Page 32: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

30

komunitas epistemik yang penghuninya harus melepaskan berbagai

bentuk ideologi, ketika akan terlibat dalam argumentasi dalam mencari

pengetahuan logis. Tidak berhenti di situ, bahwa pengetahuan logis itu

harus digunakan untuk upaya perubahan sosial yang emansipatoris dan

partisipatoris. Ini mengandung dua sifat kritis sekaligus, yaitu

emansipatoris pada level pemikiran, dan sekaligus pada level praksis.

Oleh karena itu saatnya menerapkan pendidikan bermakna. yaitu

sebuah proses penyemai subjek aktif yang memfasilitasi peserta didik

memiliki pilihan-pilihan dalam upaya mencari pengetahuan tanpa

kekangan dari sebuah struktur yang menindas. Ini tidak berarti

membiarkan peserta didik menjadi pribadi yang liar, melainkan

melakukan tertib dengan penuh kesadaran yang berorientasi pada

keentingan publik. Sepanjang kekangan struktur demi kepentingan

membangun etika publik, dalam pandangan pendidikan bermakna justru

mendapat dukungan. Inilah sebabnya dari sudut pandang pendidikan

bermakna subjek aktif menuntut etika tanggung jawab, sebuah etika yang

dikembangkan demi tujuan pencapaian kepentingan publik, kepentingan

bersama. Jadi jika siswa bertindak tertib dan jujur, bukanlah atas

kekangan struktur, melainkan sebuah proses kesadaran individual bahwa

tindakan itu dilakukan demi kepentingan publik. Dari sini kemudian

muncul kesadaran kolektif untuk tertib bersama atas dasar orientasi

menjaga kepentingan bersama, dan inilah wujud etika tanggung jawab.

Pendidikan bermakna mesti menjadikan peserta didik

berkesadaran kritis, dalam arti memiliki kesadaran politis untuk

mengubah struktur mapan yang menindas dan eskploitatif. Peserta didik

harus memiliki pandangan bahwa tidak ada yang natural dalam dunia

sosial, semua adalah sebuah konstruksi sosial. Segala upaya dari kekuatan

dominatif yang berusaha menaturalkan kemapanan perlu dicurigai

sebagai bentuk penindasan struktural. Ini berarti peserta didik harus

memiliki kepekaan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan struktural.

Oleh karena itu peserta didik dalam pendidikan bermakna harus menjadi

bagian dari gerakan yang membebaskan dari berbagai belenggu struktural

yang melakukan pendisiplinan, penyeragaman, dan penguniversalan ilmu

Page 33: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan

31

pengetahuan, yang akhirnya memapankan struktur baik pada level pikiran

maupun dalam struktur masyarakat secara nyata. Pendidikan bermakna

membebaskan dari cara berpikir oposisi biner dan hierarkis yang menjadi

sumber penindasan.

Lembaga sekolah dalam pandangan pendidikan bermakna, harus

menjadi arena peserta didik mampu berpikir, dan bukan proses peniruan

atau imitasi. Ini mensyaratkan meningggalkan cara pembelajaran yang

indotrinatif dan mendikte peserta didik. Hanya dengan proses pendidikan

berpikir dalam arti sesungguhnya ini, maka peserta didik akan mampu

beradu argumen, adu wacana, debat, curah pendapat, dan berimajinasi.

Ini adalah bibit untuk menjadi peserta didikan mampu berkreasi,

penemuan, berinovasi, dan bukan melakukan peniruan atau imitatif.

Pendidikan bermakna adalah sebuah proses pembelajaran yang

terlibat, semua terlibat untuk pemecahan masalah. Oleh karena pemilik

masalah adalah rakyat kebanyakan dengan berbagai latar belakang, maka

membiarkan masyarakat warga secara cerdas-kreatif mengkonstruksi dan

memaknai berbagai bentuk pendidikan yang pas dengan problem yang

mereka hadapi secara partikular. Biarkanlah rakyat Aceh, Riau,

Kalimantan, Sulawesi, NTT, dan Papua terlibat secara aktif dalam

mencari berbagai bentuk pembelajaran yang sesuai dengan persoalan

yang mereka hadapi. Biarkanlah mereka menentukan kriteria mereka

sendiri yang historis dan sesuai dengan konteks sosio-kultural masing-

masing. Tidak perlu ada standar pusat yang selama ini tidak lebih

berpretensi sok tahu terhadap problem pendidikan pada masing-masing

daerah. Karena itu dalam konteks praksis pendidikan bermakna, harus

membiarkan daerah secara otonom memformulasikan pendidikan secara

desentralistik dan demokratis atas dasar indentifikasi masalah mereka

sendiri.

Melalui pendidikan bermakna sekaligus menjadi wacana

evaluatif terhadap berbagai praksis pendidiakan di Indonesia yang selama

ini indoktrinatif, dominatif, dan membelenggu. Dengan begitu

pendidikan bermakna sekaligus upaya keluar dari berbagai belenggu

struktural, sehingga makin emansipatoris dan partisipatoris yang

Page 34: Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri202.152.135.5/btkp/upload_btkp/file_download/181113_Orasi Dies FIP... · Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan 3

Orasi Ilmiah

32

melahirkan generasi inovatif, kreatif, arif, dan sekaligus berkesadaran

kritis. Melalui pendidikan bermakna inilah yang berpotensi melahirkan

Indonesia yang berdaulat dalam percaturan global baik secara politik,

ekonomi, dan kebudayaan.

Begitulah, sedikit tawaran untuk ikut berpartisipasi dalam upaya

mendorong masyarakat industri baik konvensional maupun masyarakat

industri 4.0 melalui pendidikan bermakna. Ini juga sekaligus sebagai

terhadap Fakultas Ilmu Pendidikan yang beriniat melakukan langkah

rintisan membangun mazhab Karangmalang. Oleh karena itu, berbagai

langkah akademik perlu ditempuh, seperti produktivitas pemikiran yang

relevan dan peka terhadap perkembangan masyarakat. Melalui langkah

rintisan seperti itu, bukan mustahil Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, akan

senantiasa menjadi bagian memajukan bangsa ini, meskipun hanya

sekadar menyediakan sekoci.