Upload
ag-eka-wenats-wuryanta
View
792
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Seleksi Pemahaman Konstituen dan Elektabilitas Politik
Citation preview
Departemen Ilmu KomunikasiProgram PascasarjanaFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Indonesia
Seleksi Pemahaman Konstituen dan Elektabilitas Politik
(Survei Perilaku Pemilih Pemula - Iklan Politik dan Elektabilitas Parpol pada Pemilihan Umum 2009)
AG. Eka Wenats Wuryanta/0806402515
Pendahuluan
Aplikasi periklanan dalam dunia politik sudah menjadi hal yang jamak. Dapat dikatakan
perkembangan, pengembangan dan penerapan pola-pola pemasaran dalam politik sudah menjadi salah
satu topik yang ramai dibicarakan dalam konteks komunikasi politik. Periklanan dan proses pemasaran
politik merupakan bagian tak terpisahkan dari proses komunikasi politik. Pembahasan komunikasi politik
sendiri merentang dari masalah komunikator sampai efek politik. Penelitian ini berfokus pada masalah
aplikasi periklanan politik, preferensi konstituen dan elektabilitas figur politik yang ada.
Argumentasi utama penelitian ini adalah periklanan politik merupakan dimensi komunikasi yang
dimanfaatkan untuk membentuk pengetahuan dan kesadaran khalayak. Periklanan politik merupakan titik
pembuka dan faktor pembentuk imaji khalayak terhadap figur politik. Sementara itu, efek periklanan politik
lebih dititikberatkan pada proses kognisi selektif. Fokus ini didasarkan bahwa individu cenderung akan
melakukan seleksi atas seluruah pengetahuan yang mereka terima. Pertimbangan dari arguementasi lebih
didasarkan pada kenyataan bahwa khalayak melakukan pembelajaran sosial dan penerimaan aktif atas
informasi yang didaptaka. Kenyataan lain ini lebih ingin merlihat preferensi politik yang dipunyai oleh para
pemilih pemula (red. Pemilih yang baru pertama kalinya memberikan hak suara politiknya). Faktor lain
yang penting dalam penelitian ini adalah kemampuan dan kapasitas figur politik untuk bisa dipilih sebagai
individu yang merepresentasikan konstituen secara politik. Dimensi tersebut dengan kata lain didefinisikan
sebagai elektabilitas figur politik.
Penelitian ini bergerak pada asumsi bahwa di Indonesia, pola-pola komunikasi politik terutama
menjelang Pemilu kurang lebih sarna dengan polapola pemasaran atau setidaknya komunikasi
pemasaran. Dapat dikatakan bahwa masuknya komersialisasi dalam kehidupan masyarakat juga telah
mengubah stmktur masyarakat. Tradisi sosial lama menyatakan bahwa politik dilihat sebagai hal yang
agung atau luhur, tapi dalam perkembangannya sekarang politik dilihat sebagai sesuatu yang pragmatis. 1 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Itulah sebabnya peneliti juga berpendapat bahwa politik adalah pasar, pasar adalah politik.
Ketika permasalahan komersialisasi politik masuk pada bidang yang lebih sumir, maka tidaklah
salah apabila teIjadi analogi-analogi derivatif yang memperlihatkan kaitan antara komunikasi politik dengan
pemasaran politik. Dalam analogi yang kurang lebih sarana maka konstituen bisa disejajarkan dengan
konsumen. Perilaku konstituen diparalelkan dengan perilaku konsumen. Pesan-pesan politik bisa
diwujukan dalam iklan-iklan politik. Imaji jasa dan produk merupakan setali tiga uang dengan imaji partai
politik atau figur politik.
Oleh sebab itu, penelitian ini juga memperlihatkan kompleksitas perilaku konstituen (dalam hal ini
sarna dengan perilaku konsumen), faktor kognitif dan preferensi sosial melalu iklan politik terhadap
kemampuan keterpilihan figur politik. Referensi di atas memperlihatkan bahwa faktor preferensi konstituen
terdiri dari preferensi budaya dan sosial. Faktor seleksi kognitif terdiri dari seleksi pengetahuan, perhatian
dan pemahaman. Elektabilitas figur politik lebih didasarkan pada kemampuan referensial figur politik.
Dalam konteks teori perilaku konsumen dan preferensi merek dijabarkan bahwa keputusan untuk
melakukan pembelian konsumen didasarkan pada referensi budaya, sosial yang mempengamhi efek iklan
yang pada akhirnya menentukan preferensi produk atau merek tertentu. Dalam konteks penelitian ini maka
peneliti mengambil analogi dari preferensi pemasaran di atas yaitu bahwa konstituen mempunyai latar
belakang budaya yang akan menentukan tipologi sosial yang terbentuk pada lingkungan sosial konstituen,
di mana preferensi budaya dan sosial mampu menentukan titik atau fokus perhatian, pengetahuan dan
pemahaman politik yang pada akhirnya akan menjadi sikap politik konstituen yang berujung pada tingkat
keyakinan konstituen dalam memilih seorang figur politik sebagai pemimpin mereka.
Elektabilitas figur politik sendiri mempakan dimensi politik yang menyatakan sejauh mana figur
politik mampu menampakkan citra-citra politik yang mempengamhi sikap dan pertimbangan pemilih atau
konstituen. Secara umum terdapat model dan faktor determinan pemilih dalam proses tipologisasi politik
yang selama ini ada (Firmansyah, 2008:127).
Itulah sebabnya juga bahwa penelitian ini lebih ingin mendalami peristiwa politik, terutama
pemilihan umum legislatif yang baru saja dilaksanakan. Pemilihan umum tahun 2009 ditandai dengan
banyaknya partai politik peserta Pemilu dan banyaknya calon legislatif yang ikut serta meramaikan pesta
demokrasi tersebut.
Temuan awal CSIS dari data-data yang terkumpul terbagi menjadi tiga bagian besar: dukungan
terhadap partai politik di berbagai kelompok masyarakat, peluang para tokoh nasional untuk
memenangkan pilpres 2009, dan isu-isu utama buat pemilih saat ini. Pertama, 70% pemilih Indonesia
sudah menentukan pilihannya, dan PDI-P merupakan partai politik yang saat ini mempunya dukungan
terbanyak (20.3%), diikuti oleh Golkar, PKS, PKB, Partai Demokrat. Masih ada 30% pemilih yang belum 2 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
mempunyai pilihan partai politik saat ini. Para undecided voters ini tersebar di berbagai lapisan
masyarakat, dan sekitar 40% dari mereka mempunyai pilihan yang konsisten dalam pemilu 1999 dan
2004, sementara 60% dari undecided voters adalah swing voters. Persentase undecided voters ini sejalan
dengan temuan kami bahwa sekitar 35% pemilih berencana untuk menentukan pilihannya di hari pemilu
nanti.
Klasifikasi pemilih yang terdiri atas latar belakang jenis pekerjaan, pendidikan, dan usia
berpengaruh langsung terhadap persepsi, perilaku pemilih dan partisipasi politik lebih dominan.
Sedangkan latar belakang pada latar belakang berdasarkan jenis kelamin kurang begitu dominan. Faktor
terpenting adalah kesadaran perilaku pemilih dalam bersikap dan berpartisipasi politik. Hubungan
persepsi, perilaku pemilih dan partisipasi politik saling terkait, semakin baik persepsi terhadap Pemilu
maka perilaku pemilih semakin baik dalam partisipasi politiknya.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalahnya adalah
1. Seberapa besar pengaruh preferensi budaya dan sosial terhadap seleksi kognisi pemilih pemula
pada iklan politik ?
2. Seberapa besar pengaruh seleksi kognitif pemilih terhadap keterpilihan calon legislatif melalui iklan
politik dalam media massa ?
3. Seberapa besar pengaruh preferensi budaya dan sosial terhadap keterpilihan calon legislatif
melalui seleksi kognitif pemilih pemula atas iklan politik yang ada dalam media massa ?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk:
1. Mengetahui hubungan antara faktor-faktor pertimbangan konstituen dengan kemampuan
elektabilitas aktor politik.
2. Mengetahui hubungan antara iklan politik, faktor pertimbangan konstituen pemilih pemula
terhadap kemampuan elektabilitas aktor politik
3. mengetahui pemetaan dasar korelasi antara faktor budaya, sosial, seleksi kognitif dengan
elektabilitas aktor politik
3 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
BAGIAN II
Tinjauan Pustaka
PENDEKATAN DAN FENOMENA BARU DALAM POLITIK
Perkembangan dalam ilmu politik tidak bergerak dalam kesendiriannya. Perkembangan
masyarakat dan dinamika sosial membuat bahwa ilmu politik harus mampu menjawab permasalahan-
permasalahan sosial baru yang tentunya lebih kompleks dan dinamis. Ilmu politik telah mencapai taraf
tertentu untuk memenuhi kebutuhan jaman yang semakin kompleks. Salah satu yang berkembang luas,
terutama dalam bidang ilmu politik, adalah strategi baru dalam pemenangan pemilihan umum. Strategi
berkelanjutan dalam kampanye memaksa bahwa kampanye tidak hanya dilihat sebagai strategi jangka
pendek melainkan juga bersifat jangka panjang. Citra partai atau aktor politik dapat efektif ditanamkan
apabil partai atau aktor politik terus menerus melakukan aktivitas yang baik di mata masyarakat. Tentunya
evaluasi politis tidak ditentukan dalam perspektif politikus melainkan dari perspektif masyarakat. Dengan
demikian, permasalahan politik tidak jauh berbeda dengan masalah persepsi.
Interaksi sosial politik dalam era kontemporer bersifat dinamis. Maka interaksi dinamis dalam
konteks sosial politik memunculkan suasana ketidakpastian, interaksi yang tidak linear, dan tingginya
tingkat partisipasi sosial dalam proses pengambilan keputusan politik (Goorhuis, 2000). Dalam situasi
tersebut maka diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam konteks ilmu politik. Pendekatan
yang trans-disiplin dan multi-disiplin menjadi keniscyaan yang harus diambil oleh ilmu politik.
Dalam era lama, hubungan politik antara partai politik dengan konstituen merupakan hubungan
satu arah yang dikatakan hanya bermanfaat bagi partai politik. Era demokratisasi mengubah dari hubungan
parpol dengan konstituen yang bersifat satu arah menjadi hubungan yang lebih relasional. Hubungan
relasional ini berkembang sampai sekarang ketika memahami hubungan antara parpol dengan konstituen.
Hubungan mereka seperti layaknya hubungan antara perusahaan jasa dengan konsumennya. Konstituen
adalah konsumen, sementara parpol atau aktor politik sebagai perusahaan jasa. Partai atau aktor politik
menawarkan jasa penyelesaian masalah sosial politik para konstituennya. Hubungan relasional ini juga
masuk dalam bidang atau ranah politik. Selain bahwa sifat relasional antara parpol atau aktor politik
dengan konstituennya, permasalahan sekarang adalah juga bagaimana parpol atau aktor politik juga
membangun interaksi yang intensif dan berkelanjutan dengan konstituen atau bahkan dengan masyarakat
secara luas. Prinsip di atas memperlihatkan persamaan gejala antara aktivitas politik dengan aktivitas
pemasaran.
POLITICAL MARKETING: Gaya Baru dalam Komunikasi Politik
4 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Seperti sudah disinggung, ilmu marketing memegang peranan penting dalam aktivitas yang
dilakukan institusi-institusi politik. Tujuan marketing dalam politik adalah membantu partai politik untuk
menjadi lebih baik dalam mengenal masyarakat yang diwakili atau yang menjadi target, kemudian
mengembangkan program kerja atau isu politik yang sesuai dengan aspirasi mereka, dan mampu
berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat. Dalam marketing politik produk adalah partai politik.
Inti dari seluruh proses komunikasi pemasaran politik adalah kemampuan partai politik untuk
meningkatkan image (dalam bahasa marketing disebut ekuitas merek) yang melekat pada partai politik itu.
Peningkatan ekuitas merek ini tentunya bergantung pada kesesuaian bauran unsur pemasaran yang terdiri
dari product (produk atau jasa yang ditawarkan), place (tempat dimana produk atau jasa itu ditawarkan),
promotion (promosi yang dilakukan untuk produk atau jasa tersebut) dan price (harga dari produk atau jasa
yang ditawarkan).
Ekuitas merek atau dalam bahasa politik = ekuitas politik yang berhubungan dengan masalah
bauran pemasaran (politik) akan menghasilkan dampak pada pengelolaan ekuitas merek tersebut yang
terdiri dari masalah apakah konsumen sudah kenal dan memahami merek tersebut dengan cara
memperkuat, membuat konsumen menyukai dan membuat unik merek di dalam benak konsumen.
Tentu saja, hal di atas tetap harus memperhatikan tiga unsur C dalam proses komunikasi
pemasaran yang wajar ada dalam dunia jasa dan produk yaitu cost (harga), consumer (konsumen) dan
competitor (pesaing). Maksudnya adalah bahwa komunikasi pemasaran dalam proses pengembangan
ekuitas merek harus memperhatikan harga utama yang terjangkau di kalangan konsumen, masalah
konsumen sendiri sebagai subjek pelaku keputusan untuk memilih dan memanfaatkan produk dan jasa
tersebut dan masalah sejauh mana pesaing generic (serupa) melakukan hal yang sama sehingga ada
pilihan lain dari konsumen.
Dalam keseluruhan konteks proses komunikasi pemasaran yang dilakukan, salah satu proses
pengelolaan merek terletak pada sejauh mana para pelaku industri produk dan jasa tersebut mampu
mengelola lingkungan pemasarannya. Keberhasilan proses komunikasi pemasaran, salah satu
indikatornya adalah sejauh mana proses tersebut mampu berpenetrasi jauh pada perilaku konsumen yang
ada. Tentunya muara dari proses komunikasi pemasaran adalah kemauan, kemampuan dan aktualitas
pemilihan konsumen untuk menggunakan atau mempercayai program kerja partai politik dalam seluruh
proses komunikasi pemasaran yang ada.
Aktualitas pada perilaku konsumen menuntut pemahaman bahwa latar belakang konsumen
berpengaruh pada tingkat pemahaman atau pengenalan daya tarik produk yang ditawarkan. Dengan
demikian, pemahaman atau pengenalan daya tarik produk tersebut mempengaruhi keputusan untuk
memilih dan mengkonsumsi pilihan produk tersebut. Proses pemahaman atau pengenalan daya tarik 5 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
produk atau jasa tentunya perlu memperhatikan beberapa factor yang ada dalam konsumen berikut
perilakunya. Pada bagian selanjutnya kita membahas tentang perilaku konsumen itu sendiri.
PROSES MARKETING POLITIK
Seperti telah dijelaskan di awal bahwa marketing politik adalah gabungan 2 istilah yaitu marketing
dan politik, sehingga konsep-konsep yang ada di marketing tetap digunakan yaitu 4Ps bauran marketing.
Penjelasannya sebagai berikut :
Produk yang ditawarkan institusi politik merupakan sesuatu yang kompleks, dimana pemilih akan
menikmatinya setelah partai atau kandidiat terpilih. Arti penting sebuah produk politik tidak hanya
ditentukan oleh karakteristik produk itu sendiri, pemahaman pemilih juga memainkan peranan penting
dalam memaknai dan menginterpretasikan sebuah produk politik.
Promosi, dalam beberapa literatur marketing politik membahas cara sebuah institusi politik dalam
melakukan promosi ide, platform partai dan ideologi selama kampanye Pemilu. Tidak jarang institusi politik
bekerjasama dengan sebuah biro/agen iklan dalam membangun slogan, jargon dan citra yang akan
ditampilkan. Selain itu perlu dipertimbangkan pemilihan media.
Harga, dalam marketing politik mencakup banyak hal, mulai ekonomi, psikologis sampai ke citra
nasional. Harga ekonomi meliputi semua biaya yang dikeluarkan partai politik/institusi politik selama
periode kampanye, seperti iklan, publikasi, biaya ’rapat-akbar’, biaya pengorganisasian tim kampanye.
Harga psikologis mengacu pada harga persepsi psikologis, misal apakah pemilih merasa nyaman dnegan
latar belakang –etnis, agama, pendidikan, dll- seorang kandidat presiden. Hrga image nasional berkaitan
dengan apakah pemilih merasa kandidat presiden tersebut bisa memberikan citra positif bangsa negara
dan bisa menjadi kebanggaan nasional atau tidak.
Penempatan/place berkaitan erat dnegan cara hadir atau distribusi sebuah institusi politik dan
kemampuannya dalam berkomunikasi dnegan para pemilih atau calon pemilih. Kampanye politik memang
harus bisa menyentuh segenap lapisan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dnegan melakukan segmentasi
politik.
PROSES PEMBELAJARAN DALAM MARKETING POLITIK
Pergeseran perkembangan sosial yang dipicu oleh kemajuan teknologi komunikasi, interaksi politik
juga mengalami perubahan. Aktor politik atau partai politik harus belajar secara kolektif untuk membangun
kembali interaksi politik yang lebih baik. Proses belaja tidak dapat dilakukan secara sepihak, parpol saja
atau konstituen saja.
Dalam proses pembelajaran dalam marketing politik setidaknya ada beberapa hal yang berkaitan 6 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
dengan pengolahan informasi dan persepsi konstituen. Hal-hal itu adalah masalah pengetahuan, perhatian,
pemahaman. Faktor-faktor kognitif itulah yang menjadi hal utama ketika konstituen melakukan pemilahan
atau seleksi politik yang akan dilakukan. Seleksi kognisi adalah proses di mana kognisi individu melakukan
pembedaan, pemilihan atas informasi-informasi yang mereka terima (Littlejohn, 2002: 123-124, Sulaksana,
2003:69-90).
Penelitian ini menggunakan teori persepsi, peneliti akan membahas tahapan-tahapan tersebut di
atas dikaitkan dengan persepsi kognitif dan tentunya akan berhubungan dengan efek kognitif individu.
Berkaitan dengan kutipan di atas, Rakhmat (2002:219) lebih lanjut menjelaskan:
Efek kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan atau informasi. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak. Efek ini ada hubungannya dengan emosi, sikap atau nilai.
Tahapan yang masuk dalam kategori ini akan berhubungan dengan efek kognitif. Tahap
ketidaksadaran adalah tahap di mana khalayak belum menyadari dan memahami adanya pesan
komunikasi yang ditujukan untuk mereka. Pada tahap ini pesan iklan politik akan berusaha menstimulasi
khalayak agar mereka menyadari kehadiran pesan tersebut.
Lalu tahap kesadaran adalah tahap di mana khalayak telah menerima stimulus pesan iklan politik.
Khalayak telah menyadari bahwa ada yang mendorong mereka untuk memahami isi pesan iklan tersebut.
Pesan tersebut telah menarik perhatian mereka. Tahap ini juga dapat disebut tahap perhatian karena
khalayak sudah mulai memperhatikan pesan yang ditujukan untuk mereka. Khalayak akan melihat,
mendengar, memperhatikan dan mengetahui pesan tersebut sehingga pada akhirnya mereka akan
memahami isi pesan iklan. Ke empat tahap di atas termasuk dalam efek kognitif.
Proses kognitif ini merupakan proses yang bergerak bersama-sama. Dengan demikian, proses
kognitif akan mempengaruhi proses persepsi. Bila terjadi kelemahan atau ketidaksempurnaan dalam
proses kognitif maka akan berakibat juga kelemahan atau ketidaksempurnaan dalam mempersepsikan
pesan yang disampaikan. Mulai dari mereka tidak menyadari sampai akhirnya mereka menyadari dan
memahami kalau mereka sedang distimulasi oleh iklan politik.
PERILAKU KONSUMEN = PERILAKU KONSTITUEN
Seperti telah dijelaskan pada bagian latar belakang masalah bahwa agar proses mempertahankan
pelanggan berhasil, maka institusi produk atau jasa (perusahaan) perlu mengeathui proses pengambilan
kepuitusan pada pelanggan. Perilaku konsumen adalah soal pertimbangan dan keputusan. Bagi para
pemasar yang terpenting adalah bagaimana menarik konsumen sampai pada tahap keputusan atau
7 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
pemilihan actual. Dari sekian banyak kajian yang muncul dan opini yang dinyatakan dapatlah ditarik garis
merah semua pendapat, proses pengambilan keputusan terdiri dari tahap-tahap pengenalan masalah,
pencarian informasi, evaluasi alternative, pembelian atau perilaku pembelian.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen (konstituen) ketika mereka
harus melakukan pilihan atau keputusan politik. Faktor-faktor itu adalah preferensi budaya dan preferensi
sosial. Preferensi budaya meliputi nilai, pemikiran, kepercayaan dan simbol-simbol yang mempengaruhi
perilaku, sikap, dan kebiasaan individu (Sulaksana, 2003: 195). Preferensi sosial meliputi kelas sosial,
jarak sosial dan kelompok acuan dalam memberikan pertimbangan kepada individu (Sulaksana, 2003: 218-
250).
TIPOLOGI PEMILIH
Ditilik dari kecenderungan memilih, paling tidak, kini trend pemilih kian mengerucut ke dalam
empat kelompok yang musti dicermati oleh parpol agar strategi kampanye dapat menyentuh dan diterima.
Pertama, pemilih tetap (permanent voter) atau biasa disebut pemilih loyal (loyal voter). Mereka
menjadi anggota parpol dan memilih parpol, tidak sekedar ikut-ikutan, melainkan berposisi secara ideologis
sebagai konstituen permanen parpol. Karena mempunyai keterkaitan kultural, historis dan ideologis, maka
kelompok ini cenderungan setia dan tak dapat digoyahkan.
Kedua, pemilih pemula. Pemilih ini rata-rata berusia tujuhbelas hingga duapuluh dua tahun. Para
pemilih pemula ini, relatif kurang mempunyai literasi politik memadai, sehingga mereka berkecenderungan
‘ikut-ikutan’ trend di lingkungan mereka tinggal. Paling tidak, mereka akan memilih parpol yang dianggap
mempunyai citra gaul dan budaya pop.
Ketiga, pemilih pindah haluan (swing voter). Kelompok ini rata-rata adalah mereka yang tidak
mempunyai keterkaitan apapun dengan parpol manapun. Namun tak menutup kemungkinan terjadi
peralihan pemilih dari kelompok permanent voter karena dimotivasi oleh akumulasi kekecewaan terhadap
parpol lama yang beralih ke parpol baru.
Keempat, massa mengambang (floating mass). Kelompok ini tidak terikat parpol tertentu, yang
karenanya mereka belum menentukan pilihan. Dalam beberapa studi, kelompok ini bahkan menduduki
porsi terbesar dalam suatu pemilihan. Salah satu pintu kemenangan politik bagi parpol atau calon
pemimpin adalah sebaik apa mereka mampu menggarap massa mengambang ini. Massa mengambang
inilah yang berpotensi besar menjadi golput.
PERILAKU PEMILIH
Dalam sistem politik yang demokratis, rakyat mempunyai hak untuk memilih wakil rakyat yang 8 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
terhimpun dalam partai politik untuk duduk di parlemen, di satu sisi, dan juga mempunyai hak untuk terlibat
aktif dalam kontestasi politik itu sendiri (hak dipilih), pada sisi lainnya. Oleh karena itu, pemilu merupakan
mekanisme paling penting sampai dengan saat ini, dalam sistem politik modern, yang bisa digunakan
rakyat dalam membuat pilihan terbaiknya untuk memilih calon-calon yang menurut pandangannya mampu
menjalankan roda pemerintahan, baik di level daerah (pilkada), dewan (DPR/DPD/DPRD), maupun dalam
konteks pimpinan tertinggi eksekutif.
Dalam sistem politik modern, tidak satu pun negara yang disebut demokratis (oleh masyarakat
internasional) apabila tidak mengadakan pemilu. Permasalahannya, apakah pemilihan itu dilakukan
dengan adil, transparan, dan jujur, itu merupakan hal lain. Oleh karena itu, ketika perang dingin
berlangsung, hampir semua negara berusaha mengidentifikasi diri sebagai negara demokratis dengan cara
melaksanakan pemilu secara berkala. Walau pada saat yang lain, Pemilu dilakukan hanya untuk
melegitimasi tindakan nyata rejim yang otokratik (Chehabi & Linz 1998).
Tiga pendekatan teori yang sering digunakan banyak sarjana politik untuk memahami perilaku
pemilih ialah pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, dan pendekatan pilihan rasional. Pendekatan
sosiologis menekankan pentingnya beberapa hal yang berkaitan dengan instrumen kemasyarakatan
seseorang seperti, (i) status sosioekonomi (seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, dan kelas), (ii)
agama, (iii) etnik, bahkan (iv) wilayah tempat tinggal (misalnya kota, desa, pesisir, ataupun pedalaman).
Beberapa hal ini menurut sarjana yang mengusungnya, Lipset (1960), Lazarsfeld (1968) hanya untuk
menyebut beberapa nama, mempunyai kaitan kuat dengan perilaku pemilih. Penelitian mengenai perilaku
ini dicetuskan oleh sarjana-sarjana ilmu politik dari University of Columbia (Columbia’s School) yang
mengkaji perilaku pemilih pada waktu pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) tahun 1940.
Mereka mendapati pola yang mempunyai kaitan erat dengan aspek-aspek tadi. Misalnya, dari segi
kelas, kelas bawah dan kelas menengah di AS berkecenderungan mendukung Partai Demokrat,
sementara kelas atas menyokong Partai Republik (Lipset 1960:305). Demikian pula halnya jika dilihat dari
aspek agama, penganut agama Kristen Protestan di AS cenderung memilih Partai Republik dibandingkan
dengan mereka yang memeluk agama Katolik (Lazarsfeld 1968:21-22).
Pendekatan kedua disebut dengan pendekatan psikologis, yang dikembangkan beberapa sarjana,
Campbell et. al. (1960), Jaros & Grant (1974), Rose & McAllister (1990) dan lainnya, dari Michigan
University di bawah The Michigan Survey Research Centre. Pendekatan ini (disebut juga Michigan’s
School) menerangkan bahwa perilaku pemilih sangat bergantung pada sosialisasi politik lingkungan yang
menyelimuti diri pemilih.
Identifikasi kepartaian (party identification) adalah wujud dari sosialisasi politik tersebut, yang bisa
dibina orang tua, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya. Sosialisasi ini berkenaan dengan nilai 9 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
dan norma yang diturunkan orang tua, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya sebagai bentuk
penurunan dan penanaman kepada generasi baru.
Oleh karena itu, pilihan seorang anak yang telah melalui tahap sosialisasi politik ini tidak jarang
memilih partai yang sama dengan pilihan orang tuanya. Bahkan, kecenderungan menguatnya keyakinan
terhadap suatu partai akibat sosialisasi ini merupakan impak daripadanya (Campbell et. al. 1960:163).
Untuk kasus terhadap anak-anak, menurut Jaros dan Grant (1974:132), identifikasi kepartaian lebih banyak
disebabkan pengimitasian sikap dan perilaku anak ke atas sikap dan perilaku orang tuanya.
Hal tersebut terjadi di Inggris, umpamanya, khususnya pada anak-anak kelas pekerja yang
melakukan pengimitaasian terhadap pilihan orang tua mereka (Rose & McAllister 1990). Untuk kasus di
Indonesia, dalam pemilihan umum di era Orde Baru, kesetiaan anak para pegawai negeri sipil (PNS) dan
tentara (ABRI) terhadap Golongan Karya (Golkar) tampak sangat jelas dibandingkan dengan anak-anak
dari kelompok lainnya (Agustino 2003).
Pendekatan ketiga, pendekatan pilihan rasional yang dipopulerkan oleh Downs (1957) yang
mengasumsikan bahwa pemilih pada dasarnya bertindak secara rasional ketika membuat pilihan dalam
tempat pemungutan suara (TPS), tanpa mengira agama, jenis kelamin, kelas, latar belakang orang tua,
dan macam sebagainya.
Dalam konteks pilihan rasional, ketika pemilih merasa tidak mendapatkan faedah dengan memilih
partai atau calon presiden yang tengah berkompetisi, ia tidak akan melakukan pilihan pada pemilu (Downs
1957:261). Hal ini dilandaskan pada kalkulasi ekonomi, di mana perhitungan biaya yang dikeluarkan lebih
besar dengan apa yang akan didapatnya kelak. Maka jalan terbaik bagi pemilih adalah melakukan kegiatan
atau aktivitas kesehariannya (Pappi 1996).
Pendekatan ini juga mengandaikan bahwa calon presiden atau partai yang bertanding akan
berupaya dan berusaha untuk mengemukakan pelbagai program untuk menarik simpati dan keinginan
pemilih memilih. Namun, apabila partai ataupun calon presiden itu gagal mempromosikan programnya
pada pemilih, maka pilihan untuk tidak memilih adalah rasional bagi pemilih.
Babak baru perilaku pemilih di Indonesia datang pada tahun 2004 setelah pernah terjadi pada
Pemilu 1955—perilaku pemilih masa Orde Baru lebih diaktifkan atas mobilisasi, sedangkan Pemilu 1999
tampak berwajah emosional. Dengan merujuk pada amendemen Undang-Undang Dasar 1945 dan sistem
politik yang presidensial, maka pemilu tidak lagi berwajah parlementer.
Oleh karena itu, pada Pemilu 2004 sistem pemilihan diubah, dan mempersilakan rakyat untuk ikut
andil memilih pasangan presiden yang mereka anggap dapat memberikan harapan. Layaknya seorang
pembeli di pasar, pemilih melakukan pilihan dengan cermat bukan hanya dalam memilih presiden tetapi
juga anggota DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 10 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Permasalahannya sekarang, manakala rasionalitas pemilih mulai tumbuh dan berkembang, (dengan
sangat radikal) pemerintah melembarkan lembaran negara tentang pemilihan kepala daerah (pilkada)
langsung. Dampak yang dihasilkan pilkada terhadap perilaku pemilih, dalam pandangan penulis, telah
menggiring rasionalitas ke arasnya yang terbelah-belah. Walau tampak terjadi pergeseran kembali ke arah
perilaku sosiologis, tetapi yang tidak diperhitungkan adalah adanya variabel intervening "sentimen" yang
menyelubunginya.
ANALISIS PERILAKU MEMILIH
Perilaku memilih (electoral behaviour) dalam pemilu merupakan salah satu bentuk perilaku politik
(political behaviour). Perilaku politik merupakan perilaku yang dapat dipahami sebagai perbuatan,
kelakuan, atau tindakan, dan juga aksi yang dijalankan individu atau kelompok atau masyarakat sebagai
respon terhadap stimulan atau lingkungan politik tertentu, terutama sekali berkenaan dengan distribusi dan
pemanfaatan kekuasaan dalam suatu masyarakat, dalam berbagai bentuk.
Penentuan untuk memilih atau memihak kepada satu kekuatan politik, dipandang sebagai suatu
produk dari sikap dan disposisi psikis dari pemilih (August Cambell, 1960). Mazhab psikologis ini
mempercayai bahwa perilaku memilih dapat dideteksi dengan dua konsep. Pertama, political involvement,
yaitu perasaan penting atau tidaknya seseorang untuk terlibat dalam isu-isu politik yang bersifat umum
(general). Kedua, party identification, yaitu preferensi (suka/tidak suka) dari seseorang terhadap satu partai
atau kelompok politik tertentu.
Ditinjau dari sisi political involvement, maka hal ini bisa membawa kecenderungan perubahan
pilihan terhadap partai Politik. Karena hal ini merupakan proses psikologis dari masyarakat pemilih yang
mampu menakar dan mengamati sejauh apa akibat yang ditimbulkan dari pilihanya.
Ditinjau dari sisi party identification, (suka/tidak suka) dari seseorang terhadap satu partai atau
kelompok politik tertentu, Biasanya ditentukan oleh proses panjang yang melibatkan diri dan lingkunganya,
hal inilah yang kemudian memunculkan massa fanatik dari salah satu Partai. Massa fanatik biasanya
mucul dari lingkungan yang cenderung homogen, dengan tingkat kontrol sosial yang tinggi (misalnya di
pedesaan dan Pondok Pesantren).
Massa fanatik biasanya tidak akan muncul pada kalangan pemilih pemula dengan tingkat
intelektual dan lingkungan sosial yang lebih terbuka dan heterogen (kaum Kota, Pelajar, mahasiswa) dan
mereka juga merupakan Floating Mass (massa Mengambang) yang biasanya belum menentukan pilihanya
secara pasti. Pemilih pemula inilah yang kelak akan banyak merubah peta kekuatan Politik Lokal di
Wonosobo. Pemilih Pemula biasanya cenderung memilih Partai secara lebih rasional, namun juga sering
melakukan pilihan politik berdasarkan pada trendsetter (yang dimunculkan Partai Melalui Kampanye Politik 11 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
di Media).
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ORIENTASI POLITIK
Setidaknya ada beberapa hal yang mempengaruhi orientasi pemilih (terutama pemilih pemula)
dalam sebuah proses politik. Faktor-faktor itu adalah preferensi sosial ekonomi, faktor politik, faktor individu
atau lingkungan, faktor budaya. Manifestasi dari apa yang dipikirkan dan diinginkan oleh manusia biasanya
akan diwujudkannya dalam bentuk perilaku. Dalam konteks perilaku politik, hal yang dipikirkan dan
diinginkan tersebut berkaitan erat dengan orientasi politik yakni kekuasaan dimana kekuasaan itu
diperolehnya dengan suatu proses pemilihan. Walaupun secara teoritis, penjelasan tentang perilaku yang
muncul dari perbedaan sikap sudah terlihat jelas, mamun sikap bukan sesuatu yang bisa begitu saja
terjadi. Sikap terbentuk dari proses sosialisasi yang panjang, mulai manusia baru lahir sampai dewasa.
Melalui proses sosialisasi inilah kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara
seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik yang berupa simpati. Sementara menurut
V.O Key, pendekatan perilaku sangat memperhitungkan faktor sosialisasi politik, yaitu cara mendalami
nilai-nilai dan kepercayaan yang berlaku dan cara memperhitungkan perubahan yang terjadi. Dalam
menjelaskan pola sosialisasi ini, paham perilaku beranggapan bahwa interaksi manusia antara satu
dengan yang lainnya adalah sebagai pelaku (subyek) dan membentuk adanya proses politik
IKLAN POLITIK
Iklan politik dianggap paling efektif membentuk dan menggiring persepsi masyarakat. Iklan politik mampu
membungkus kekurangan menjadi kelebihan. Mampu menampilkan seorang politisi medioker dengan
standar biasa-biasa menjadi politisi yang kharismatik dan penuh dedikasi.Iklan politik mirip dengan reklame
produk komersial. Tujuannya adalah membuat citra tokoh yang ditawarkan sebagai pilihan yang tepat.
Bahkan tak jarang masyarakat diberi iming-iming bahwa tokoh yang tampil dalam iklan mampu ”menyulap”
kesengsaraan menjadi kemakmuran dalam sekejap.
Bagi masyarakat pengonsumsi media yang tidak memiliki pertahanan diri yang kokoh, maka di
hadapan media, manusia akan mudah —meminjam penjelasan Yasraf Amir Piliang— dipaksa tenggelam
dalam wacana simulasi, di mana perbedaan antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’
menjadi sangat tipis. Sehingga manusia dipaksa hidup dalam ruang ‘khayali yang nyata.’
Dengan demikian para pengelola iklan politik —yang notabene adalah para politikus—bisa
menjelma menjadi ’dewa’ yang layak dipilih menjadi pemegang kekuasaan. Dan yang paling lemah di
hadapan iklan adalah para pemilih pemula atau swing voters. Kelompok pemilih ini belum memiliki pijakan
politik cukup kuat sehingga membuka peluang besar untuk dirangkul caleg, capres maupun partai politik
12 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
manapun melalui iklan.
Peran iklan partai dapan membentuk loyalitas apabila iklan itu efektif dan tidak hanya mengumbar
janji belaka. Karena menghadapi kualitas pemilih yang makin kritis, dan pragmatis. Sehingga pemilih
melihat pada bukti daripada janji-janji. Sedangkan pemilih memiliki loyalitas tertentu pada partai tertentu
karena ikatan emosional, ikatan sejarah, ideology dan ikatan kepentingan.
Perkembangan partai modern dan terbuka membawa situasi bahwa orang dapat keluar masuk
pada partai apa saja, tergantung pada kualitas individu, sehingga kader partai sebagai bentuk dari produk
partai adalah cukup mempengaruhi perolehan suara partai. Sehingga ada perkembangan baru dari partai
modern bahwa partai tidak merupakan variabel utama mendongkrak popularitas seseorang. Sedangkan
sebaliknya kualitas seorang kader akan mendongkrak perolehan suara partai.
Tanpa kader yang berkualitas partai tidak akan memperoleh suara yang cukup mendokrak suara
mereka. Dan hal ini mendorong partai untuk menciptakan kader-kader berkualitas atau mengambil orang-
orang yang diluar partai tapi mendorong kualitas partai.
Namun factor capital dan nepotisme menjadikan seseorang untuk duduk menjadi kader dan wakil partai,
sehingga mereka menganggap uang adlah segalanya dan mendongkrak suara di tengah masyarakat yang
pragmatis.
Tantangan partai karena ketidakpercayaan pemilih akan menyulitkan iklan partai dalam
mempertahankan image atau brand atau performa mereka. Oleh karena itu partai harus memberikan
kriteria-kriteria yang terukur oleh pemilih. Karena pemebriataan dan janji yang tidak dipenuhi akan
mendorong pemilih untuk meninggalkan partai. Berbagai bentuk kepercayaan sangat dibutuhkan oleh
pemilih untuk memiliki loyalitas, karena pemilih akan memiliki ukuran loyalitas yang berbeda.
13 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
BAGIAN III
Metode Penelitian
METODOLOGI
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kuantitatif dimana menurut
Indriantoro dan Supomo (1999: 12) metodologi kuantitatif adalah “Penelitian yang menekankan kepada
pengujian teori-teori mulai dari pengukuran variabel-variabel penelitian dengan angka dan melakukan
analisis data dengan prosedur statistik.”
Menurut Sugiyono (1999: 13-14):
Data kuantitatif menggunakan statistik, data-datanya diangkakan (scoring), misalnya terdapat dalam skala pengukuran. Suatu pernyataan atau pertanyaan yang memerlukan alternatif jawaban, sangat setuju, setuju, kurang setuju, tidak setuju. Dan datanya dibagi menjadi dua yaitu nomilal dan kontinum.
Berdasarkan pernyataan di atas, peneliti menggunakan metodologi kuantitatif untuk menguji dan
mengukur variabel-variabel penelitian yang berupa angka dengan menggunakan perhitungan statistik
dalam memberikan pembuktian yang akurat untuk hasil penelitian ini.
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan penelitian yang mengambil data,
menggunakan kuesioner sebagai alat bantu pengumpulan data pada penelitian ini. Metode survei
(Setiawan, 1995: 39) adalah “Metode penelitian yang dalam melakukan pengumpulan datanya
menggunakan kuesioner, yaitu menggunakan daftar pertanyaan tertulis yang diajukan kepada sekelompok
orang yang disebut sampel.”
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian survei merupakan
metode penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang diajukan pada
sekelompok orang tertentu (sampel).
Adapun ciri-ciri utama pada metode penelitian survei menurut Soehardi Sigit (1999: 149), ialah:
o Informasi dikumpulkan dari suatu kelompok orang dengan maksud supaya dapat mendeskripsikan beberapa aspek atau karakteristik dari suatu populasi yang diwakili oleh kelompoknya itu.
o Cara yang digunakan dalam mengumpulkan informasi itu melalui pengajuan pertanyaan; dan jawaban atas pertanyaan dari para anggota kelompok itu merupakan data dari studinya.
o Informasi yang di kumpulkan itu dari sampel dan populasi.
Sesuai dengan ciri-cirinya yang telah disebutkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
metode penelitian survei digunakan untuk mengumpulkan informasi dari suatu populasi. Survei berguna
14 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
untuk mendeskripsikan beberapa karakteristik dari suatu populasi yang diwakili oleh populasi tersebut.
Pengumpulan datanya dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan berupa kuesioner.
Sifat penelitian yang digunakan adalah ekpslanatif.. Peneltiian eksplanatif adalah penelitian yang
melakukan pengujian hipotesis dan menganalisis hubungan di antara variabel-varaibel.
Tujuan dari penelitian ekplanatif adalah untuk memahami mengapa suatu variabel dapat
mengakibatkan timbulnya akibat tertentu sebagaiamana yang diperkirakan, disamping itu juga untuk
memahami bagaimana hubungan fungsional yang sebenarnya terdapat di antara faktor-faktor yang
dianggap sebagai penyebab dari efek yang diperkirakan terjadi..
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini adalah metode survey yaitu penelitian yang diadakan untuk memperoleh
fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan. Selain itu, survey juga suatu
penelitian yang mengambil sample dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner yang nantinya akan
digunakan sebagi alat pengumpulan data yang pokok untuk mencapai generalisasi atau kesimpulan yang
bersifat umum yang dapat dipertanggungjawabkan (S. Nasution, Metode Research : Penelitian Ilmiah,
edisi I, cetakan ke-2, Bina aksara, Jakarta, 1996, hal.25).
TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di wilayah Jakarta. Waktu penyebaran kuesionernya selama 1 bulan.
POPULASI DAN SAMPEL
Populasi merupakan keseluruhan dari objek penelitian yang berupa manusia, hewan, tumbuhan,
gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup dan sebagainya yang dapat menjadi sumber penelitian (Burhan Bungin,
Metodologi Penelitrian Kualitatif, edisi I, PT Prenada Media, Jakarta, 2005, hal.99).
Populasi penelitian ini adalah seluruh pelajar SMU di Jakarta (pemilih pemula) yang baru pertama
kalinya memberikan hak suara politiknya, sehingga bila dikaitkan dengan aturan Pemilu penduduk yang
boleh memilih dalam Pemilu adalah penduduk/warga yang telah berumur 17 tahun ke atas. Sedangkan
sampelnya adalah sebagian penduduk/pemilih di Jakarta yang baru pertama kalinya memberikan hak
suara politiknya.
Karena sampel yang diambil dari seluruh wilayah di Jakarta, maka teknik sampling yang digunakan
adalah Stratified Random Sampling. Penjelasannya sebagai berikut di Jakarta ada 5 wilayah yaitu Jakarta
Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Masing-masing wilayah tersebut
mempunyai SMU Negeri dan Swasta yang berada dalam wilayah kecamatan dan kemudian kelurahan, lalu 15 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
RW dan kemudian RT. Masing-masing sekolah pada masing-masing kecamatan, masing-masing
kelurahan, masing-masing RW dan RT di tiap wilayah tersebut akan dipilih secara random, minimal 2
sekolah (1 sekolah negeri dan 1 sekolah swasta). Untuk keperluan penelitian ini, maka fokus penelitian ini
lebih ditujukan pada sekolah negeri dan swasta di wilayah Jakarta Selatan. Dalam penelitian ini didapatkan
kurang lebih 20 sekolah dan fokus pada pelajar kelas 10 dan 11.
METODE PENGUMPULAN DATA
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data yang bersumber dari
penyebaran kuesioner. Penyebaran kuesioner dilakukan berdasarkan data dari tiap sekolah pada wilayah
kemudian datang pada setiap kelas sekolah yang terpilih secara acak. Jumlah kuesioner yang disebar
sebanyak 150 lembar. Kuesioner yang dikembalikan dan mempunyai data yang lengkap sebanyak 139
buah.
Data sekunder didapat dari hasil penelitian terdahulu, serta lembaga/instansi dan literature-literatur
yang dapat menunjang penelitian ini.
OPERASIONALISASI KONSEP
Dalam penelitian ini operasionalisasi sbb :
Variabel Dimensi AtributSkala Pengukuran
Preferensi Budaya = X1 1. Nilai 1. idealisme politik
2. Pragmatisme politik
3. Cara pandang atas
aktivitas politik
4. Pendidikan
interval
3. Norma 1. Norma kesepakatan
2. Cresive norm
4. Simbol 1. Benda
2. Nama
3. Warna
4. konsep
Variabel Dimensi AtributSkala Pengukuran
Preferensi Sosial = X2 1. Kelas sosial 1. Prestise individu
2. Asosiasi
3. Sosialisasi
4. Kekuasaan
interval
16 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
5. Kesadaran Kelas
6. Mobilitas sosial
2. Jarak sosial 1. Orientasi sosial
2. Jarak pergaulan
3. Kelompok Acuan 1. Acuan Normatif
2. Acuan ekspresi nilai
3. Acuan Informatif
Variabel Dimensi AtributSkala Pengukuran
Seleksi Kognisi = Z 1. Pengetahuan 1. Tingkat pengetahuan
terhadap iklan politik
2. Tingkat pengetahuan
atas atribut iklan politik
3. Pengetahuan atas
manfaat iklan politik
Interval
2. Perhatian 1. Ukuran iklan politik
2. Intensitas iklan politik
3. Kebaruan
4. Pesan yang menarik
dalam iklan menarik
5. Kontras iklan politik
6. Posisi Iklan politik
7. Warna iklan politik
3. Pemahaman 1. Gambar
2. Latar belakang
3. Grouping
4. Closure
Variabel Dimensi AtributSkala Pengukuran
Elektabilitas = Y 1. Daya Tarik Similaritas
familiaritas
Liking
Interval
2. Kepuasan Matching idealisme
Matching praktis
3. Kredibilitas Expertise
Trustworthiness
17 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
4. Keterjaminan Jaminan social Parpol
HIPOTESIS PENELITIAN
1. besarnya preferensi budaya mempengaruhi preferensi sosial pemilih pemula dalam Pemilu 2009
2. Tingkat preferensi budaya berpengaruh pada seleksi kognitif pemilih pemula atas iklan politik yang
ada dalam media massa.
3. besaran preferensi sosial menentukan seleksi pemilih pemula atas iklan politik yang ada dalam
media massa.
4. Tingkat preferensi budaya berpengaruh pada kemampuan keterpilihan caleg berdasarkan iklan
politik yang ada dalam media massa.
5. Tingkat preferensi Sosial berpengaruh pada seleksi kemampuan keterpilihan caleg berdasarkan
iklan politik yang adas dalam media massa.
6. Besaran seleksi kognisi pemilih pemula atas iklan politik menentukan kemampuan keterpilihan
caleg berdasarkan iklan politik yang ada dalam media massa.
METODE PENGUJIAN INSTRUMEN
Penelitian ini akan memakai dan memanfaatkan bantuan analisis Alpha cronbach, Confimatory
Factor Analysis dalam pengujian instrumen. Metode ini digunakan untuk mengetahui apakah indikator-
indikator yang ada memang benar-benar dapat menjelaskan sebuah konstruk penelitian.
METODE ANALISIS DATA
Untuk menganalisis data pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif. Data yang
diperolah dari penyebaran kuesioner dianalisis dengan cara Analisa Jalur (Path Analysis) Dengan model
dasar sebagai berikut:
18 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Preferensi Budaya
19 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Preferensi Sosial
Seleksi Pemahaman
Elektabilitas Parpol
Bagian IV
Hasil Penelitian
Uji Instrumen Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam kerangka penelitian yang menggunakan statistic induktif. Maka
peneliti juga harus melakukan pengujian instrumen yang digunakan dalam penelitian ini. Uji instrumen yang
dilakukan adalah uji reliabilitas dan uji validitas. Tapi sebelumnya, dari data yang diolah sesuai dengan
kuesioner yang masuk maka data yang masuk pada peneliti sebanyak 139 kuesioner dan telah diolah
secara khusus dalam variable-variabel pokok penelitian ini. Hasil yang didapatkan adalah:
139 N=139
139 N=139
139 N=139
139 N=139
Preferensi Budaya
Preferensi Sosial
Seleksi Kognitif
Elektabilitas
Count Valid N
Uji instrumen pertama adalah uji reliabilitas. Reliabilitas ini dimaknai sebagai tingkat konsistensi
instrumen penelitian. Semakin tinggi reliabilitas instrument pertanyaan penelitian (kuesioner) semakin
konsisten pula instrument yang dimaksud. Dalam arti, bahwa ketika instrument tersebut konsisten,
konsisten pula jawaban yang diberikan responden meski berbeda waktu, tempat dan situasi. Hasil yang
didapatkan adalah sebagai berikut:
Reliability Statistics
.711 .815 55
Cronbach'sAlpha
Cronbach'sAlpha Based
onStandardized
Items N of Items
Indeks yang didapatkan adalah indeks yang diidentifikasi dengan alpha cronbach. Hasil yang
didapatkan adalah 0.711 yang berarti bahwa konsistensi instrument penelitian mencapai 71.1%. Standar
ilmu social Nunnaly sebesar 0.6 maka dapat dikatakan bahwa instrument penelitian ini adalah reliable
karena di atas standar yang ditetapkan.
Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji yang menggunakan analisis factor.
Analisis faktor digunakan untuk memberikan penilaian validitas konstruk yang disusun oleh peneliti dalam
penelitian ini. Hasilnya adalah:20 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
KMO and Bartlett's Test
.638
1631.566
6
.000
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of SamplingAdequacy.
Approx. Chi-Square
df
Sig.
Bartlett's Test ofSphericity
Data di atas menunjukkan bahwa indeks KMO menunjukkan koefisien 0.638 dengan tingkat
signifikansi 0.000. Standarisasi koefisien KMO adalah 0.5 dengan signifikansi di bawah 0.05. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa koefisien KMO sampling adequacy untuk instrument penelitian (validitas
konstruk) ini adalah valid karena koefisien menunjukkan lebih besar dari 0.5 dengan tingkat signifikansi
lebih kecil daripada 0.05.
Penelusuran Jalur
Berdasarkan model dasar hubungan kausal antar variable dalam penelitian ini maka dapat
diperlihatkan hubungan r variable yang ada.
1. preferensi budaya mempengaruhi preferensi sosial pemilih pemula dalam Pemilu 2009
2. Tingkat preferensi budaya berpengaruh pada seleksi pemahaman pemilih pemula atas iklan politik
yang ada dalam media massa.
3. besaran preferensi sosial menentukan seleksi pemilih pemula atas iklan politik yang ada dalam
21 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Preferensi Budaya = X1
Preferensi Social = X2
Seleksi Pemahaman = Z
Elektabilitas Parpol = YR1
R4
R2
R3
R5
R6
media massa.
4. Tingkat preferensi budaya berpengaruh pada kemampuan keterpilihan parpol berdasarkan iklan
politik yang ada dalam media massa.
5. Tingkat preferensi Sosial berpengaruh pada seleksi kemampuan keterpilihan parpol berdasarkan
iklan politik yang adas dalam media massa.
6. Besaran seleksi kognisi pemilih pemula atas iklan politik menentukan kemampuan keterpilihan
caleg berdasarkan iklan politik yang ada dalam media massa.
Penelusuran jalur pada setiap bagian hipotesis dalam penelitian ini akan memakai beberapa langkah
pengujian regresi berganda.
Regresi pertama adalah regresi yang menghitung variable bebas (yang meliputi preferensi budaya,
preferensi social dan seleksi pemahaman atas iklan) terhadap variable tidak bebas (elektabilitas parpol).
Hasil koefisien regresi yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Coefficientsa
111.638 5.925 18.843 .000 99.921 123.355
-.416 .116 -.245 -3.584 .000 -.645 -.186 .591 1.691
-.065 .022 -.154 -2.900 .004 -.109 -.021 .985 1.015
-1.067 .127 -.577 -8.412 .000 -1.318 -.816 .588 1.700
(Constant)
Preferensi Budaya
Preferensi Sosial
Seleksi Kognitif
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval for B
Tolerance VIF
Collinearity Statistics
Dependent Variable: Elektabilitasa.
Hasil di atas menunjukan analisis regresi dengan membaca kolom unstandardized coefficients. Sedangkan
analisis jalur dapat dilihat dari kolom standardized coefficients atau kolom beta. Berdasarkan output di
atas dapat diketahui bahwa nilai signifikansi pada uji 1 untuk masing-masing variable berturut-turut lebih
kecil ( < ) dari 0.05. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat koefisien pengaruh yang signifikan dalam
jalur uji pertama ini. Model ini bebas dari asumsi kolinearitas yang ditunjukkan dengan skala lebih dari nol
dan kurang dari 10 pada koefisien VIF (terlihat dari data indeks VIF berkisar dari 1.015 – 1.700.
Uji Regresi II adalah uji regresi yang menempatkan seleksi pemahaman sebagai variabel tidak
bebas dengan variabel bebas terdiri dari preferensi budaya dan preferensi sosial. Hasil yang didapatkan
adalah sebagai berikut:
22 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Coefficientsa
-6.060 3.972 -1.526 .129 -13.915 1.794
.581 .061 .633 9.591 .000 .461 .701 .991 1.009
.014 .015 .060 .905 .367 -.016 .043 .991 1.009
(Constant)
Preferensi Budaya
Preferensi Sosial
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval for B
Tolerance VIF
Collinearity Statistics
Dependent Variable: Seleksi Kognitifa.
Output di atas menyatakan bahwa terjadi perbedaan antara signifikansi preferensi budaya – seleksi
pemahaman (sig. < 0.00) dengan preferensi social – seleksi pemahaman (sig. > 0.05). Hal ini menunjukkan
bahwa hubungan signifikan terjadi pada preferensi budaya – seleksi pemahaman tapi tidak terjadi
hubungan yang signifikan pada preferensi sosial – seleksi pemahaman. Model ini bebas dari asumsi
kolinearitas yang ditunjukkan dengan skala lebih dari nol dan kurang dari 10 pada koefisien VIF (terlihat
dari data indeks VIF adalah 1.009.
Uji Regresi ketiga adalah uji regresi yang menempatkan elektabilitas sebagai variabel tidak bebas
dengan variabel bebas (meliputi preferensi budaya dan preferensi sosial). Hasil yang diperoleh adalah
sebagai berikut:
Coefficientsa
118.104 7.226 16.345 .000 103.814 132.394
-1.036 .110 -.611 -9.397 .000 -1.254 -.818 .991 1.009
-.079 .027 -.188 -2.896 .004 -.133 -.025 .991 1.009
(Constant)
Preferensi Budaya
Preferensi Sosial
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval for B
Tolerance VIF
Collinearity Statistics
Dependent Variable: Elektabilitasa.
Output di atas menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel tidak
bebas dalam hal ini antara preferensi budaya – sosial dengan elektabilitas. Hal ini terjadi karena angka
signifikansinya kurang dari 0.05.
Sementara itu untuk hubungan antara preferensi budaya dengan preferensi sosial dan hubungan
antara seleksi pemahaman dengan elektabiltas dapat dilihat sebagai berikut:
23 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Coefficientsa
30.261 22.402 1.351 .179
.376 .343 .093 1.098 .274
(Constant)
Preferensi Budaya
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig.
Dependent Variable: Preferensi Sosiala.
Dalam output di atas terlihat bahwa nilai signifikansi hubungan antara preferensi budaya dan preferensi
social sebesar 0.275. Nilai signifikan yang lebih besar dari 0.05 menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan pada jalur preferensi budaya – sosial.
Sementara di tempat yang lain, nilai signifikansi beta pada hubungan antara seleksi pemahaman
lebih kecil dari 0.05 yang menandakan adanya hubungan yang signifikan antara seleksi pemahaman –
elektabilitas.
Coefficientsa
91.466 3.403 26.881 .000 84.738 98.195
-1.390 .104 -.752 -13.366 .000 -1.596 -1.185 1.000 1.000
(Constant)
Seleksi Kognitif
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval for B
Tolerance VIF
Collinearity Statistics
Dependent Variable: Elektabilitasa.
Apabila diringkas dalam bentuk table hubungan antara variabel di atas maka dapat dilihat sebagai berikut:
Variabel Koefisien Beta T - Sig KeteranganPref Bud – Elekta -0.245 (Indirect Effect –
sleksi pemahaman)
-0.611 (DE direct effect)
0.000
0.000
Signifikan
Pref Sos - Elekta -0.154 (indirect effect – seleksi pemahaman)
-0.188 (direct effect)
0.04
0.00
Signifikan
Pref bud – Seleksi Pemahaman
0.633 0.00 Signifikan
Pref sos – Seleksi Pemahaman
0.06 0.367 Tidak signifikan
Pref bud – pref sos 0.093 0.274 Tidak signifikanSeleksi pemahaman - Elektabilitas
-0.752 0.00 Signifikan
Dari table di atas maka dapat diperoleh gambar sebagai berikut24 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Bagan di atas adalah bagan yang tergambar dan koreksi dari bagan paradigm teoretis yang telah
disebutkan terdahulu. Bagan ini memuat terjadinya perubahan arah hubungan kausal antar variabel dalam
penelitian ini. Perubahan tersebut nampak pada tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara
variabel preferensi budaya dengan preferensi social dan variabel preferesi social dengan seleksi
pemahaman. Maka koreksi model hasil penelitian yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Dalam langkah selanjutnya peneliti ingin mengetahui besarnya nilai pengaruh total variabel bebas
terhadap variabel tidak bebas. Setidaknya penelitian ini ingin juga memperlihatkan kontribusi dari masing-
25 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Preferensi Budaya = X1
Preferensi Social = X2
Seleksi Pemahaman = Z
Elektabilitas Parpol = Y0.093
DE = -0.611**
IE = -0.245**
0.663**
0.06
DE = -0.188**
IE = -0,154**
-0,752**
Preferensi Budaya
Preferensi Sosial
Seleksi Pemahaman
Elektabilitas Parpol
Preferensi Budaya
Preferensi Sosial
Seleksi Pemahaman
Elektabilitas Parpol
masing variabel bebas terhadap variabel elektabilitas. Maka peneliti melakukan pengujian korelasi parsial
dengan metode zero order correlations.
Correlations
1.000 .093 .639 -.629
. .274 .000 .000
0 137 137 137
.093 1.000 .119 -.245
.274 . .163 .004
137 0 137 137
.639 .119 1.000 -.752
.000 .163 . .000
137 137 0 137
-.629 -.245 -.752 1.000
.000 .004 .000 .
137 137 137 0
1.000 -.081 .324
. .347 .000
0 136 136
-.081 1.000 -.103
.347 . .231
136 0 136
.324 -.103 1.000
.000 .231 .
136 136 0
Correlation
Significance (2-tailed)
df
Correlation
Significance (2-tailed)
df
Correlation
Significance (2-tailed)
df
Correlation
Significance (2-tailed)
df
Correlation
Significance (2-tailed)
df
Correlation
Significance (2-tailed)
df
Correlation
Significance (2-tailed)
df
Preferensi Budaya
Preferensi Sosial
Seleksi Kognitif
Elektabilitas
Preferensi Budaya
Preferensi Sosial
Seleksi Kognitif
Control Variables-none- a
Elektabilitas
PreferensiBudaya
PreferensiSosial
SeleksiKognitif Elektabilitas
Cells contain zero-order (Pearson) correlations.a.
Output bagan di atas adalah yang dimaksudkan dengan korelasi zero order. Adapun hasil korelasi zero
order adalah sebagai berikut
Hubungan variabel dengan elektabilitas Koefisien
Preferensi budaya -0.629
Preferensi social -0.245
Seleksi pemahaman -0.752
Pengolah akan kembali melakukan perhitungan sumbangan efektif masing-masing variabel
terhadap variabel elektabilitas. Sumbangan efektif didapatkan dari perkalian koefisien jalu baik yang
langsung maupun tidak langsung dengan korelasi zero order. Hasil perkalian tersebut dipahami sebagai
kontribusi efektif masing-masing variabel dengan variabel elektabilitas. Hasil yang didapatkan adalah
sebagai berikut:
26 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Dari Variabel Koefisien Jalur Total
Preferensi Budaya DE : 0.611(0.629) = 0.384
IE : 0.245(0.629) = 0.154
0.384
0.154
Preferensi Sosial DE : 0.188(0.245) = 0.046
IE : 0.154(0.245) = 0.037
0.046
0.037
Seleksi Pemahaman -0.752(-0.752) = 0.562 0.562
Kontribusi efektif dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut
Pertama, Pengaruh Preferensi Budaya terhadap elektabilitas parpol. Preferensi budaya
mempunyai pengaruh langsung terhadap elektabilitas partai politik sebesar 0.611. Selain bahwa pengaruh
langsung diketahui juga bahwa preferensi budaya mempunyai pengaruh tidak langsung karena melalui
seleksi pemahaman sebesar 0.245. Arah hubungan yang positif ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi
preferensi budaya pemilih pemula semakin tinggi pula elektabilitas partai politik. Kontribusi efektif yang
dihasilkan dari dua pola tersebut adalah sebesar 38.4% yang didapatkan dari pengaruh langsung dan
15.5% merupakan kontribusi pengaruh yang tidak langsung terhadap elektabilitas.
Kedua, pengaruh preferensi budaya terhadap elektabilitas parpol. Preferensi social mempunyai
pengaruh langsung terhadap elektabilitas partai politik sebesar 0.188. Pengaruh tidak langsung bisa
dilakukan dan menghasilkan besaran 0.154 Arah hubungan positif memperlihatkan bahwa semakin tinggi
preferensi social pemilih pemula akan berpengaruh semakin tinggi pula elektabilitas parpol yang ada. Tapi
kontribusi efektif yang dihasilkan dari dua pola tersebut hanya sebesar 4.6% pada pengaruh langsung dan
3.7% pada pengaruh tidak langsung.
Ketiga, pengaruh seleksi pemahaman pada elektabilitas parpol dalam pemilu kemarin. Seleksi
pemahaman atas iklan politik berpengaruh langsung pada elektabilitas sebesar 0.752 dan memberikan
kontribusi sebesar 56.2% terhadap pengaruh pada elektabilitas parpol
Analisa dan Pembahasan
Menarik apabila mencermati hasil penelitian di atas dikaitkan dengan permasalahan yang ada
pada pemilih pemula terutama yang berkaitan dengan masalah kemampuan keterpilihan partai politik
melalui proses pemasaran politik. Terlihat hubungan yang dinamis pada setiap variabel yang menjadi objek
27 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
penelitian ini. Ada beberapa pembahasan yang bisa ditarik dari hasil penelitian mikro ini meski belum
disertai dengan tingkat kompleksitas variabel yang ada.
Pertama, setidaknya ada beberapa hal yang mempengaruhi orientasi pemilih (terutama pemilih
pemula) dalam sebuah proses politik. Faktor-faktor itu adalah preferensi sosial, faktor politik, faktor individu
atau lingkungan, faktor budaya. Manifestasi dari apa yang dipikirkan dan diinginkan oleh manusia biasanya
akan diwujudkannya dalam bentuk perilaku. Dalam konteks perilaku politik, hal yang dipikirkan dan
diinginkan tersebut berkaitan erat dengan orientasi politik yakni kekuasaan dimana kekuasaan itu
diperolehnya dengan suatu proses pemilihan. Walaupun secara teoritis, penjelasan tentang perilaku yang
muncul dari perbedaan sikap sudah terlihat jelas, namun sikap bukan sesuatu yang bisa begitu saja terjadi.
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa faktor preferensi budaya, preferensi social mempunyai hubungan
langsung dengan elektabilitas partai politik dalam pemilihan umum 2009. Hanya memang faktor budaya
rupanya mempunyai besaran yang signifikan dibandingkan dengan variabel preferensi social. Hal ini dapat
ditafsirkan bahwa faktor budaya masih menjadi pertimbangan utama para pemilih pemula dalam
melakukan “kewajiban perdana” dalam hajat politik (dalam pemilihan umum). Hal ini bisa dipahami bahwa
latar belakang budaya menjadi pengaruh signifikan dalam cara menilai, berpikir dan bersikap para pemilih
pemula. Latar belakang budaya dalam lingkungan social terdekat menjadi faktor penting referensi tindakan
social. Sementara itu preferensi social tidak begitu berpengaruh secara signifikan bisa ditafsirkan bahwa
lingkup social bukan satu-satu faktor pengaruh yang penting dalam tindakan politik para pemilih pemula.
Dengan demikian, penelitian ini juga menanggapi bahwa lingkungan social berpengaruh penting pada anak
muda perlu dikritisi juga. Dalam arti bahwa lingkungan social memang memberikan pengaruh tapi tidak
sebesar yang diperkirakan. Pada sisi lain, penelitian ini juga menemukan bahwa preferensi budaya tidak
selalu berhubungan dengan preferensi social. Ini dapat ditafsirkan bahwa dalam penelitian ini, preferensi
budaya dan preferensi social tidak dilihat sebagai faktor yang diandaikan saling terhubung satu sama lain,
tapi dilihat sebagai faktor yang bisa berdiri sendiri. Ini menandakan juga bahwa dapat diindikasikan bahwa
para pemilih pemula di Jakarta Selatan mempunyai orientasi individual yang begitu tinggi
Kedua, menarik apabila kita menyimak indeks yang dihasilkan oleh seleksi pemahaman. Seleksi
pemahaman yang dimaksud di sini adalah bahwa individu cenderung melakukan seleksi atas pengetahuan
atau pemahaman atas realitas tertentu. Besaran pengaruh seleksi pemahaman melalui iklan politik cukup
tinggi berpengaruh pada tingkat elektabilitas partai politik oleh para pemilih pemula. Ini mengindikasikan
bahwa para pemilih pemula mempunyai seleksi pemahaman terhadap media iklan politik yang mereka
terima. Konsekuensi logis dari indikasi tersebut berakibat bahwa kontribusi efektif variabel seleksi
pemahaman cukup besar pada elektabilitas partai politik pemilu 2009. Sedemikian signifikan variabel
seleksi pemahaman ini menempatkan variabel tersebut menjadi faktor penjelas (explanation factors). Hal 28 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
ini terbukti ketika variabel seleksi pemahaman dimunculkan sebagai variabel antara di antara hubungan
preferensi social –budaya dengan elektabilitas maka terjadi penurunan koefisien yang dipunyai oleh
korelasi tersebut. Faktor elaborasi penjelas dari seleksi pemahaman ini dapat dimengerti karena terpaan
iklan dan kemampuan pemilih pemula untuk melakukan seleksi pemahaman meski mereka mempunyai
faktor budaya dan social yang melingkupi mereka. Dengan pola semacam ini, ada kemungkinan
perubahan posisi yang bisa dieksplorasi lebih jauh, yaitu dengan model sebagai berikut:
Model di atas mengandaikan bahwa terpaan media terutama iklan politik mampu membentuk seleksi
pemahaman yang kuat sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi preferensi budaya, social dan
elektabilitas. Hal itu bisa dipahami ketika memahami bahwa media komunikasi menjadi media yang begitu
penting dalam konteks social masyarakat.
Ketiga, ketika faktor seleksi pemahaman pemilih pemula menjadi hal yang penting. Maka dapat
dikatakan juga bahwa Iklan politik dianggap relatif efektif membentuk dan menggiring persepsi masyarakat.
Iklan politik mampu membungkus kekurangan menjadi kelebihan. Mampu menampilkan seorang politisi
medioker dengan standar biasa-biasa menjadi politisi yang kharismatik dan penuh dedikasi.Iklan politik
mirip dengan reklame produk komersial. Tujuannya adalah membuat citra tokoh yang ditawarkan sebagai
pilihan yang tepat. Bahkan tak jarang masyarakat diberi iming-iming bahwa tokoh yang tampil dalam iklan
mampu ”menyulap” kesengsaraan menjadi kemakmuran dalam sekejap.
Bagi masyarakat pengonsumsi media yang tidak memiliki pertahanan diri yang kokoh, maka di
hadapan media, manusia akan mudah dipaksa tenggelam dalam wacana simulasi, di mana perbedaan
antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’ menjadi sangat tipis. Dengan demikian para
pengelola iklan politik bisa menjelma menjadi ’dewa’ yang layak dipilih menjadi pemegang kekuasaan.
Dan yang paling lemah di hadapan iklan adalah para pemilih pemula atau swing voters. Kelompok pemilih 29 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Preferensi Budaya
Preferensi Sosial
Seleksi Pemahaman
Elektabilitas Parpol
ini belum memiliki pijakan politik cukup kuat sehingga membuka peluang besar untuk dirangkul caleg,
capres maupun partai politik manapun melalui iklan. Hanya memang dalam penelitian, proposisi
sebelumnya perlu dikritisi lebih mendasar. Karena penelitian ini menemukan bahwa para pemilih pemula,
terutama kalangan pelajar, menjadi pemilih yang kritis, selektif dan “rasional” meski faktor budaya tetap
menjadi pertimbangan utama.
30 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Bagian V
Kesimpulan
Penelitian ini mengamati perilaku pemilih pemula dalam pemilihan umum Parlemen tahun 2009 di
Indonesia. Pemilih pemula di sini adalah pemilih yang baru pertama kalinya menjadi peserta atau warga
negara yang memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Sebagian besar para responden penelitian ini adalah
anak SMU baik negeri maupun swasta di wilayah Jakarta Selatan yang dipilih berdasarkan sekolah secara
acak bertingkat.
Penelitian ini menemukan korelasi yang signifikan antara preferensi budaya, seleksi pemahaman
melalui iklan politik, preferensi sosial dengan elektabilitas partai politik. Hanya tidak mempunyai korelasi
yang signifikan antara preferensi budaya dengan preferensi social serta korelasi antara preferensi social
dengan seleksi pemahaman..
Penelitian ini juga menemukan bahwa kontribusi variabel preferensi budaya, seleksi pemahaman
melalui iklan politik menyumbangkan besaran yang signifikan terhadap elektabilitas partai politik dalam
pemilihan umum. Semakin tinggi besaran korelasi terjadi ketika penelitian ini menghitung korelasi seleksi
pemahaman dengan elektabilitas partai politik. Sedemikian signifikan variabel seleksi pemahaman ini
menempatkan variabel tersebut bisa menjadi faktor penjelas (explanation factors).
Maka, penelitian ini juga mau menyatakan bahwa sebenarnya pemilih pemula di Jakarta dan
berstatus pelajar rupanya mampu menjadi pemilih yang berorientasi individual dan rasional dalam seluruh
proses tindakan politiknya.
DAFTAR PUSTAKA
31 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
Boone, Louis E. & David L. Kurtz, Contemporary Marketing 2005, Thomson, South-Western, 2005
Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi I, PT Prenada Media, Jakarta, 2005
Cartee, Karen S. Johnson and Gary A. Copeland, Strategic Political Communication : Rethinking Social
Influence, Persuasion, and Propaganda, Rowman & Littlefield Publishers.Inc, Lanham, 2004
Firmanzah, Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007
Fisk, Peter, Marketing Genius, Capstone Publishing Limited, England, 2006
Kinnear, Thomas C. & James R Taylor, Riset Pemasaran : Pendekatan Terpadu, edisi ketiga, jilid 1,
Penerbit Erlangga, 1987
Kotler, Philip & Gary Armstrong, Dasar-dasar Pemasaran, jilid 1, Prenhallindo, Jakarta, 1996
Kotler, Philip & Karen FA Fox, Strategic Marketing for Educational Institutions, Prentice Hall, New Jersey,
1995
Mowen, John C & Michael Minor, Perilaku Konsumen, edisi ke lima, jilid 2, Penerbit Erlangga, 2001
Rakhmat, Jalaluddin, M.Sc., Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2001
Simamora, Bilson, Membongkar Kotak hitam Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
Simamora, Bilson, Riset Pemasaran : falsafah, teori dan aplikasi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2003
S. Nasution, Metode Research : Penelitian Ilmiah, edisi I, cetakan ke-2, Bina Aksara, Jakarta, 1996
32 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
No Responden
Asal SMU: ..................................
Jenis Kelamin: A. Laki-laki B. Perempuan
Umur: A. 17 – 20 tahun B. Lebih dari 20 tahun
Domisili Sekolah : Jakarta Selatan
No Pernyataan SS S N TS STS
1 Pemilihan umum berhubungan dengan saya sebagai warga negara
2 Pemilihan umum merupakan tempat di mana saya bisa mengekspresikan pandangan politik saya
3 Politik adalah hal yang penting dalam bernegara dan berbangsa
4 Demokrasi merupakan nilai tertinggi dalam sistem politik di Indonesia
5 Politik selalu mempunyai nilai sosial
6 Keikutsertaan saya dalam Pemilu merupakan kewajiban saya sebagai warga negara
7 Keikutsertaan saya dalam Pemilu lebih didasarkan supaya saya diakui sebagai warga negara
8 Saya terlibat aktif dalam dunia politik di lingkungan saya
9 Saya adalah anggota partai politik
10 Saya berpolitik karena saya mengenyam pendidikan
11 Saya ikut serta dalam pemilu karena saya mendapatkan pendidikan politik
12 Pemilu merupakan hasil kesepakatan masyarakat pada umumnya.
13 Konsep pemilu merupakan konsep politik
14 Masing-masing peserta pemilu mempunyai tanda gambar yang jelas
15 partai politik mempunyai warna parpol yang unik dan sangat berbeda satu sama lain.
16 Partai politik yang saya kenal punyai nama yang mudah diingat
17 Saya mempunyai kebanggaan terhadap diri
18 Saya mempunyai kelompok untuk bersosialisasi
33 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
19 Saya mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan politik saya
20 Saya tidak tergantung siapa-siapa dalam menentukan pilihan politik saya.
21 Pilihan partai politik yang saya punyai tergantung pada situasi sosial yang saya alami
22 Saya cenderung untuk bekerja sendiri
23 Saya cenderung untuk bekerja secara berkelompok
24 Saya biasa hidup bersama orang lain
25 Saya nyaman bekerja bersama orang lain.
26 Kedekatan saya dengan orang lain sangat ditentukan oleh kepercayaan saya
27 Saya selalu menjaga jarak ketika bergaul dengan yang lain
28 Saya berpikir berdasarkan norma-norma yang dikeluarkan oleh kelompok sosial saya.
29 Tindakan saya selalu mengacu pada aturan yagn dibuat oleh lingkungan sosial saya.
30 Acuan tindakan saya lebih merupakan ekspresi pribadi
31 Tindakan politik dan sosial saya didasari dari informasi-informasi yang saya terima sebelumnya.
32 Setiap partai mempunyai iklan politiknya masing-masing
33 Iklan politik partai politik ada di televisi
34 Iklan politik televisi biasanya mempunyai pesan yang disampaikan
35 Iklan politik televisi biasanya mempunyai tokoh yang pusat iklan tersebut
36 Iklan memberikan informasi tentang partai politik yang ingin saya ketahui
37 Saya melihat iklan dalam jangka waktu tertentu
38 Saya selalu melihat iklan dengan seksama
39 Pesan iklan politik yang saya lihat merupakan pesan yang baru
40 Pesan iklan politik selalu menarik perhatian saya
41 Masing-masing iklan politik memperlihatkan keunikan masing-masing partai politik atau caleg yang ada.
42 Memperhatikan iklan politik adalah agenda penting saya
34 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h
menjelang pemilu43 Gambar dalam iklan politik membantu pemahaman saya
mengenai partai politik44 saya bisa langsung cepat memahami pesan dalam iklan
politik45 Saya menyeleksi iklan-iklan politik yang ingin saya
pahami.46 Saya lebih memperhatikan iklan politik dari partai politik
yang sudah saya kenal terlebih dahulu47 Saya memilih sebuah partai politik atau caleg karena
persamaan cita-cita atau idealisme saya48 Saya memilih karena kesamaan cara perjuangan yang
selama saya harapkan.49 Saya memilih parpol karena saya telah mengenalnya
lebih dahulu50 Saya memilih parpol karena saya menyukai perjuangan
yang dilakukan parpol atau caleg tersebut51 Saya memilih parpoll karena saya menyukai penampilan
mereka dalam iklan politik yang ada.52 Parpol yang saya pilih adalah parpol yang bisa
menyesuaikan diri dengan saya sebagai pemilihnya53 Parpol yang selama ini saya lihat adalah parpol yagn
memuaskan kinerja54 Saya memilih parpol karena memang partai politik
tersebut mempunyai kemampuan yang memadai55 Saya memilih parpol karena partai tersebut memang
pantas untuk dipilih56 Parpol tersebut pantas dipilih karena profesionalisme
57 Saya memilih parpol karena ada jaminan sosial bahwa pilihan saya tidak akan tersia-siakan
58 Jaminan politik pada parpol merupakan hal yang penting dalam pertimbangan pilihan politik saya.
59 Hak politik saya dijamin dalam seluruh proses politik yang saya lakukan
35 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h