58
Departemen Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Seleksi Pemahaman Konstituen dan Elektabilitas Politik (Survei Perilaku Pemilih Pemula - Iklan Politik dan Elektabilitas Parpol pada Pemilihan Umum 2009) AG. Eka Wenats Wuryanta/0806402515 Pendahuluan Aplikasi periklanan dalam dunia politik sudah menjadi hal yang jamak. Dapat dikatakan perkembangan, pengembangan dan penerapan pola-pola pemasaran dalam politik sudah menjadi salah satu topik yang ramai dibicarakan dalam konteks komunikasi politik. Periklanan dan proses pemasaran politik merupakan bagian tak terpisahkan dari proses komunikasi politik. Pembahasan komunikasi politik sendiri merentang dari masalah komunikator sampai efek politik. Penelitian ini berfokus pada masalah aplikasi periklanan politik, preferensi konstituen dan elektabilitas figur politik yang ada. Argumentasi utama penelitian ini adalah periklanan politik merupakan dimensi komunikasi yang dimanfaatkan untuk membentuk 1 | eka/mpk-ui-kuantitatif/path

Penelitian_kuantitatif_eka

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Seleksi Pemahaman Konstituen dan Elektabilitas Politik

Citation preview

Page 1: Penelitian_kuantitatif_eka

Departemen Ilmu KomunikasiProgram PascasarjanaFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Indonesia

Seleksi Pemahaman Konstituen dan Elektabilitas Politik

(Survei Perilaku Pemilih Pemula - Iklan Politik dan Elektabilitas Parpol pada Pemilihan Umum 2009)

AG. Eka Wenats Wuryanta/0806402515

Pendahuluan

Aplikasi periklanan dalam dunia politik sudah menjadi hal yang jamak. Dapat dikatakan

perkembangan, pengembangan dan penerapan pola-pola pemasaran dalam politik sudah menjadi salah

satu topik yang ramai dibicarakan dalam konteks komunikasi politik. Periklanan dan proses pemasaran

politik merupakan bagian tak terpisahkan dari proses komunikasi politik. Pembahasan komunikasi politik

sendiri merentang dari masalah komunikator sampai efek politik. Penelitian ini berfokus pada masalah

aplikasi periklanan politik, preferensi konstituen dan elektabilitas figur politik yang ada.

Argumentasi utama penelitian ini adalah periklanan politik merupakan dimensi komunikasi yang

dimanfaatkan untuk membentuk pengetahuan dan kesadaran khalayak. Periklanan politik merupakan titik

pembuka dan faktor pembentuk imaji khalayak terhadap figur politik. Sementara itu, efek periklanan politik

lebih dititikberatkan pada proses kognisi selektif. Fokus ini didasarkan bahwa individu cenderung akan

melakukan seleksi atas seluruah pengetahuan yang mereka terima. Pertimbangan dari arguementasi lebih

didasarkan pada kenyataan bahwa khalayak melakukan pembelajaran sosial dan penerimaan aktif atas

informasi yang didaptaka. Kenyataan lain ini lebih ingin merlihat preferensi politik yang dipunyai oleh para

pemilih pemula (red. Pemilih yang baru pertama kalinya memberikan hak suara politiknya). Faktor lain

yang penting dalam penelitian ini adalah kemampuan dan kapasitas figur politik untuk bisa dipilih sebagai

individu yang merepresentasikan konstituen secara politik. Dimensi tersebut dengan kata lain didefinisikan

sebagai elektabilitas figur politik.

Penelitian ini bergerak pada asumsi bahwa di Indonesia, pola-pola komunikasi politik terutama

menjelang Pemilu kurang lebih sarna dengan polapola pemasaran atau setidaknya komunikasi

pemasaran. Dapat dikatakan bahwa masuknya komersialisasi dalam kehidupan masyarakat juga telah

mengubah stmktur masyarakat. Tradisi sosial lama menyatakan bahwa politik dilihat sebagai hal yang

agung atau luhur, tapi dalam perkembangannya sekarang politik dilihat sebagai sesuatu yang pragmatis. 1 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 2: Penelitian_kuantitatif_eka

Itulah sebabnya peneliti juga berpendapat bahwa politik adalah pasar, pasar adalah politik.

Ketika permasalahan komersialisasi politik masuk pada bidang yang lebih sumir, maka tidaklah

salah apabila teIjadi analogi-analogi derivatif yang memperlihatkan kaitan antara komunikasi politik dengan

pemasaran politik. Dalam analogi yang kurang lebih sarana maka konstituen bisa disejajarkan dengan

konsumen. Perilaku konstituen diparalelkan dengan perilaku konsumen. Pesan-pesan politik bisa

diwujukan dalam iklan-iklan politik. Imaji jasa dan produk merupakan setali tiga uang dengan imaji partai

politik atau figur politik.

Oleh sebab itu, penelitian ini juga memperlihatkan kompleksitas perilaku konstituen (dalam hal ini

sarna dengan perilaku konsumen), faktor kognitif dan preferensi sosial melalu iklan politik terhadap

kemampuan keterpilihan figur politik. Referensi di atas memperlihatkan bahwa faktor preferensi konstituen

terdiri dari preferensi budaya dan sosial. Faktor seleksi kognitif terdiri dari seleksi pengetahuan, perhatian

dan pemahaman. Elektabilitas figur politik lebih didasarkan pada kemampuan referensial figur politik.

Dalam konteks teori perilaku konsumen dan preferensi merek dijabarkan bahwa keputusan untuk

melakukan pembelian konsumen didasarkan pada referensi budaya, sosial yang mempengamhi efek iklan

yang pada akhirnya menentukan preferensi produk atau merek tertentu. Dalam konteks penelitian ini maka

peneliti mengambil analogi dari preferensi pemasaran di atas yaitu bahwa konstituen mempunyai latar

belakang budaya yang akan menentukan tipologi sosial yang terbentuk pada lingkungan sosial konstituen,

di mana preferensi budaya dan sosial mampu menentukan titik atau fokus perhatian, pengetahuan dan

pemahaman politik yang pada akhirnya akan menjadi sikap politik konstituen yang berujung pada tingkat

keyakinan konstituen dalam memilih seorang figur politik sebagai pemimpin mereka.

Elektabilitas figur politik sendiri mempakan dimensi politik yang menyatakan sejauh mana figur

politik mampu menampakkan citra-citra politik yang mempengamhi sikap dan pertimbangan pemilih atau

konstituen. Secara umum terdapat model dan faktor determinan pemilih dalam proses tipologisasi politik

yang selama ini ada (Firmansyah, 2008:127).

Itulah sebabnya juga bahwa penelitian ini lebih ingin mendalami peristiwa politik, terutama

pemilihan umum legislatif yang baru saja dilaksanakan. Pemilihan umum tahun 2009 ditandai dengan

banyaknya partai politik peserta Pemilu dan banyaknya calon legislatif yang ikut serta meramaikan pesta

demokrasi tersebut.

Temuan awal CSIS dari data-data yang terkumpul terbagi menjadi tiga bagian besar: dukungan

terhadap partai politik di berbagai kelompok masyarakat, peluang para tokoh nasional untuk

memenangkan pilpres 2009, dan isu-isu utama buat pemilih saat ini. Pertama, 70% pemilih Indonesia

sudah menentukan pilihannya, dan PDI-P merupakan partai politik yang saat ini mempunya dukungan

terbanyak (20.3%), diikuti oleh Golkar, PKS, PKB, Partai Demokrat. Masih ada 30% pemilih yang belum 2 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 3: Penelitian_kuantitatif_eka

mempunyai pilihan partai politik saat ini. Para undecided voters ini tersebar di berbagai lapisan

masyarakat, dan sekitar 40% dari mereka mempunyai pilihan yang konsisten dalam pemilu 1999 dan

2004, sementara 60% dari undecided voters adalah swing voters. Persentase undecided voters ini sejalan

dengan temuan kami bahwa sekitar 35% pemilih berencana untuk menentukan pilihannya di hari pemilu

nanti.

Klasifikasi pemilih yang terdiri atas latar belakang jenis pekerjaan, pendidikan, dan usia

berpengaruh langsung terhadap persepsi, perilaku pemilih dan partisipasi politik lebih dominan.

Sedangkan latar belakang pada latar belakang berdasarkan jenis kelamin kurang begitu dominan. Faktor

terpenting adalah kesadaran perilaku pemilih dalam bersikap dan berpartisipasi politik. Hubungan

persepsi, perilaku pemilih dan partisipasi politik saling terkait, semakin baik persepsi terhadap Pemilu

maka perilaku pemilih semakin baik dalam partisipasi politiknya.

Perumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalahnya adalah

1. Seberapa besar pengaruh preferensi budaya dan sosial terhadap seleksi kognisi pemilih pemula

pada iklan politik ?

2. Seberapa besar pengaruh seleksi kognitif pemilih terhadap keterpilihan calon legislatif melalui iklan

politik dalam media massa ?

3. Seberapa besar pengaruh preferensi budaya dan sosial terhadap keterpilihan calon legislatif

melalui seleksi kognitif pemilih pemula atas iklan politik yang ada dalam media massa ?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk:

1. Mengetahui hubungan antara faktor-faktor pertimbangan konstituen dengan kemampuan

elektabilitas aktor politik.

2. Mengetahui hubungan antara iklan politik, faktor pertimbangan konstituen pemilih pemula

terhadap kemampuan elektabilitas aktor politik

3. mengetahui pemetaan dasar korelasi antara faktor budaya, sosial, seleksi kognitif dengan

elektabilitas aktor politik

3 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 4: Penelitian_kuantitatif_eka

BAGIAN II

Tinjauan Pustaka

PENDEKATAN DAN FENOMENA BARU DALAM POLITIK

Perkembangan dalam ilmu politik tidak bergerak dalam kesendiriannya. Perkembangan

masyarakat dan dinamika sosial membuat bahwa ilmu politik harus mampu menjawab permasalahan-

permasalahan sosial baru yang tentunya lebih kompleks dan dinamis. Ilmu politik telah mencapai taraf

tertentu untuk memenuhi kebutuhan jaman yang semakin kompleks. Salah satu yang berkembang luas,

terutama dalam bidang ilmu politik, adalah strategi baru dalam pemenangan pemilihan umum. Strategi

berkelanjutan dalam kampanye memaksa bahwa kampanye tidak hanya dilihat sebagai strategi jangka

pendek melainkan juga bersifat jangka panjang. Citra partai atau aktor politik dapat efektif ditanamkan

apabil partai atau aktor politik terus menerus melakukan aktivitas yang baik di mata masyarakat. Tentunya

evaluasi politis tidak ditentukan dalam perspektif politikus melainkan dari perspektif masyarakat. Dengan

demikian, permasalahan politik tidak jauh berbeda dengan masalah persepsi.

Interaksi sosial politik dalam era kontemporer bersifat dinamis. Maka interaksi dinamis dalam

konteks sosial politik memunculkan suasana ketidakpastian, interaksi yang tidak linear, dan tingginya

tingkat partisipasi sosial dalam proses pengambilan keputusan politik (Goorhuis, 2000). Dalam situasi

tersebut maka diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam konteks ilmu politik. Pendekatan

yang trans-disiplin dan multi-disiplin menjadi keniscyaan yang harus diambil oleh ilmu politik.

Dalam era lama, hubungan politik antara partai politik dengan konstituen merupakan hubungan

satu arah yang dikatakan hanya bermanfaat bagi partai politik. Era demokratisasi mengubah dari hubungan

parpol dengan konstituen yang bersifat satu arah menjadi hubungan yang lebih relasional. Hubungan

relasional ini berkembang sampai sekarang ketika memahami hubungan antara parpol dengan konstituen.

Hubungan mereka seperti layaknya hubungan antara perusahaan jasa dengan konsumennya. Konstituen

adalah konsumen, sementara parpol atau aktor politik sebagai perusahaan jasa. Partai atau aktor politik

menawarkan jasa penyelesaian masalah sosial politik para konstituennya. Hubungan relasional ini juga

masuk dalam bidang atau ranah politik. Selain bahwa sifat relasional antara parpol atau aktor politik

dengan konstituennya, permasalahan sekarang adalah juga bagaimana parpol atau aktor politik juga

membangun interaksi yang intensif dan berkelanjutan dengan konstituen atau bahkan dengan masyarakat

secara luas. Prinsip di atas memperlihatkan persamaan gejala antara aktivitas politik dengan aktivitas

pemasaran.

POLITICAL MARKETING: Gaya Baru dalam Komunikasi Politik

4 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 5: Penelitian_kuantitatif_eka

Seperti sudah disinggung, ilmu marketing memegang peranan penting dalam aktivitas yang

dilakukan institusi-institusi politik. Tujuan marketing dalam politik adalah membantu partai politik untuk

menjadi lebih baik dalam mengenal masyarakat yang diwakili atau yang menjadi target, kemudian

mengembangkan program kerja atau isu politik yang sesuai dengan aspirasi mereka, dan mampu

berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat. Dalam marketing politik produk adalah partai politik.

Inti dari seluruh proses komunikasi pemasaran politik adalah kemampuan partai politik untuk

meningkatkan image (dalam bahasa marketing disebut ekuitas merek) yang melekat pada partai politik itu.

Peningkatan ekuitas merek ini tentunya bergantung pada kesesuaian bauran unsur pemasaran yang terdiri

dari product (produk atau jasa yang ditawarkan), place (tempat dimana produk atau jasa itu ditawarkan),

promotion (promosi yang dilakukan untuk produk atau jasa tersebut) dan price (harga dari produk atau jasa

yang ditawarkan).

Ekuitas merek atau dalam bahasa politik = ekuitas politik yang berhubungan dengan masalah

bauran pemasaran (politik) akan menghasilkan dampak pada pengelolaan ekuitas merek tersebut yang

terdiri dari masalah apakah konsumen sudah kenal dan memahami merek tersebut dengan cara

memperkuat, membuat konsumen menyukai dan membuat unik merek di dalam benak konsumen.

Tentu saja, hal di atas tetap harus memperhatikan tiga unsur C dalam proses komunikasi

pemasaran yang wajar ada dalam dunia jasa dan produk yaitu cost (harga), consumer (konsumen) dan

competitor (pesaing). Maksudnya adalah bahwa komunikasi pemasaran dalam proses pengembangan

ekuitas merek harus memperhatikan harga utama yang terjangkau di kalangan konsumen, masalah

konsumen sendiri sebagai subjek pelaku keputusan untuk memilih dan memanfaatkan produk dan jasa

tersebut dan masalah sejauh mana pesaing generic (serupa) melakukan hal yang sama sehingga ada

pilihan lain dari konsumen.

Dalam keseluruhan konteks proses komunikasi pemasaran yang dilakukan, salah satu proses

pengelolaan merek terletak pada sejauh mana para pelaku industri produk dan jasa tersebut mampu

mengelola lingkungan pemasarannya. Keberhasilan proses komunikasi pemasaran, salah satu

indikatornya adalah sejauh mana proses tersebut mampu berpenetrasi jauh pada perilaku konsumen yang

ada. Tentunya muara dari proses komunikasi pemasaran adalah kemauan, kemampuan dan aktualitas

pemilihan konsumen untuk menggunakan atau mempercayai program kerja partai politik dalam seluruh

proses komunikasi pemasaran yang ada.

Aktualitas pada perilaku konsumen menuntut pemahaman bahwa latar belakang konsumen

berpengaruh pada tingkat pemahaman atau pengenalan daya tarik produk yang ditawarkan. Dengan

demikian, pemahaman atau pengenalan daya tarik produk tersebut mempengaruhi keputusan untuk

memilih dan mengkonsumsi pilihan produk tersebut. Proses pemahaman atau pengenalan daya tarik 5 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 6: Penelitian_kuantitatif_eka

produk atau jasa tentunya perlu memperhatikan beberapa factor yang ada dalam konsumen berikut

perilakunya. Pada bagian selanjutnya kita membahas tentang perilaku konsumen itu sendiri.

PROSES MARKETING POLITIK

Seperti telah dijelaskan di awal bahwa marketing politik adalah gabungan 2 istilah yaitu marketing

dan politik, sehingga konsep-konsep yang ada di marketing tetap digunakan yaitu 4Ps bauran marketing.

Penjelasannya sebagai berikut :

Produk yang ditawarkan institusi politik merupakan sesuatu yang kompleks, dimana pemilih akan

menikmatinya setelah partai atau kandidiat terpilih. Arti penting sebuah produk politik tidak hanya

ditentukan oleh karakteristik produk itu sendiri, pemahaman pemilih juga memainkan peranan penting

dalam memaknai dan menginterpretasikan sebuah produk politik.

Promosi, dalam beberapa literatur marketing politik membahas cara sebuah institusi politik dalam

melakukan promosi ide, platform partai dan ideologi selama kampanye Pemilu. Tidak jarang institusi politik

bekerjasama dengan sebuah biro/agen iklan dalam membangun slogan, jargon dan citra yang akan

ditampilkan. Selain itu perlu dipertimbangkan pemilihan media.

Harga, dalam marketing politik mencakup banyak hal, mulai ekonomi, psikologis sampai ke citra

nasional. Harga ekonomi meliputi semua biaya yang dikeluarkan partai politik/institusi politik selama

periode kampanye, seperti iklan, publikasi, biaya ’rapat-akbar’, biaya pengorganisasian tim kampanye.

Harga psikologis mengacu pada harga persepsi psikologis, misal apakah pemilih merasa nyaman dnegan

latar belakang –etnis, agama, pendidikan, dll- seorang kandidat presiden. Hrga image nasional berkaitan

dengan apakah pemilih merasa kandidat presiden tersebut bisa memberikan citra positif bangsa negara

dan bisa menjadi kebanggaan nasional atau tidak.

Penempatan/place berkaitan erat dnegan cara hadir atau distribusi sebuah institusi politik dan

kemampuannya dalam berkomunikasi dnegan para pemilih atau calon pemilih. Kampanye politik memang

harus bisa menyentuh segenap lapisan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dnegan melakukan segmentasi

politik.

PROSES PEMBELAJARAN DALAM MARKETING POLITIK

Pergeseran perkembangan sosial yang dipicu oleh kemajuan teknologi komunikasi, interaksi politik

juga mengalami perubahan. Aktor politik atau partai politik harus belajar secara kolektif untuk membangun

kembali interaksi politik yang lebih baik. Proses belaja tidak dapat dilakukan secara sepihak, parpol saja

atau konstituen saja.

Dalam proses pembelajaran dalam marketing politik setidaknya ada beberapa hal yang berkaitan 6 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 7: Penelitian_kuantitatif_eka

dengan pengolahan informasi dan persepsi konstituen. Hal-hal itu adalah masalah pengetahuan, perhatian,

pemahaman. Faktor-faktor kognitif itulah yang menjadi hal utama ketika konstituen melakukan pemilahan

atau seleksi politik yang akan dilakukan. Seleksi kognisi adalah proses di mana kognisi individu melakukan

pembedaan, pemilihan atas informasi-informasi yang mereka terima (Littlejohn, 2002: 123-124, Sulaksana,

2003:69-90).

Penelitian ini menggunakan teori persepsi, peneliti akan membahas tahapan-tahapan tersebut di

atas dikaitkan dengan persepsi kognitif dan tentunya akan berhubungan dengan efek kognitif individu.

Berkaitan dengan kutipan di atas, Rakhmat (2002:219) lebih lanjut menjelaskan:

Efek kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan atau informasi. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak. Efek ini ada hubungannya dengan emosi, sikap atau nilai.

Tahapan yang masuk dalam kategori ini akan berhubungan dengan efek kognitif. Tahap

ketidaksadaran adalah tahap di mana khalayak belum menyadari dan memahami adanya pesan

komunikasi yang ditujukan untuk mereka. Pada tahap ini pesan iklan politik akan berusaha menstimulasi

khalayak agar mereka menyadari kehadiran pesan tersebut.

Lalu tahap kesadaran adalah tahap di mana khalayak telah menerima stimulus pesan iklan politik.

Khalayak telah menyadari bahwa ada yang mendorong mereka untuk memahami isi pesan iklan tersebut.

Pesan tersebut telah menarik perhatian mereka. Tahap ini juga dapat disebut tahap perhatian karena

khalayak sudah mulai memperhatikan pesan yang ditujukan untuk mereka. Khalayak akan melihat,

mendengar, memperhatikan dan mengetahui pesan tersebut sehingga pada akhirnya mereka akan

memahami isi pesan iklan. Ke empat tahap di atas termasuk dalam efek kognitif.

Proses kognitif ini merupakan proses yang bergerak bersama-sama. Dengan demikian, proses

kognitif akan mempengaruhi proses persepsi. Bila terjadi kelemahan atau ketidaksempurnaan dalam

proses kognitif maka akan berakibat juga kelemahan atau ketidaksempurnaan dalam mempersepsikan

pesan yang disampaikan. Mulai dari mereka tidak menyadari sampai akhirnya mereka menyadari dan

memahami kalau mereka sedang distimulasi oleh iklan politik.

PERILAKU KONSUMEN = PERILAKU KONSTITUEN

Seperti telah dijelaskan pada bagian latar belakang masalah bahwa agar proses mempertahankan

pelanggan berhasil, maka institusi produk atau jasa (perusahaan) perlu mengeathui proses pengambilan

kepuitusan pada pelanggan. Perilaku konsumen adalah soal pertimbangan dan keputusan. Bagi para

pemasar yang terpenting adalah bagaimana menarik konsumen sampai pada tahap keputusan atau

7 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 8: Penelitian_kuantitatif_eka

pemilihan actual. Dari sekian banyak kajian yang muncul dan opini yang dinyatakan dapatlah ditarik garis

merah semua pendapat, proses pengambilan keputusan terdiri dari tahap-tahap pengenalan masalah,

pencarian informasi, evaluasi alternative, pembelian atau perilaku pembelian.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen (konstituen) ketika mereka

harus melakukan pilihan atau keputusan politik. Faktor-faktor itu adalah preferensi budaya dan preferensi

sosial. Preferensi budaya meliputi nilai, pemikiran, kepercayaan dan simbol-simbol yang mempengaruhi

perilaku, sikap, dan kebiasaan individu (Sulaksana, 2003: 195). Preferensi sosial meliputi kelas sosial,

jarak sosial dan kelompok acuan dalam memberikan pertimbangan kepada individu (Sulaksana, 2003: 218-

250).

TIPOLOGI PEMILIH

Ditilik dari kecenderungan memilih, paling tidak, kini trend pemilih kian mengerucut ke dalam

empat kelompok yang musti dicermati oleh parpol agar strategi kampanye dapat menyentuh dan diterima.

Pertama, pemilih tetap (permanent voter) atau biasa disebut pemilih loyal (loyal voter). Mereka

menjadi anggota parpol dan memilih parpol, tidak sekedar ikut-ikutan, melainkan berposisi secara ideologis

sebagai konstituen permanen parpol. Karena mempunyai keterkaitan kultural, historis dan ideologis, maka

kelompok ini cenderungan setia dan tak dapat digoyahkan.

Kedua, pemilih pemula. Pemilih ini rata-rata berusia tujuhbelas hingga duapuluh dua tahun. Para

pemilih pemula ini, relatif kurang mempunyai literasi politik memadai, sehingga mereka berkecenderungan

‘ikut-ikutan’ trend di lingkungan mereka tinggal. Paling tidak, mereka akan memilih parpol yang dianggap

mempunyai citra gaul dan budaya pop.

Ketiga, pemilih pindah haluan (swing voter). Kelompok ini rata-rata adalah mereka yang tidak

mempunyai keterkaitan apapun dengan parpol manapun. Namun tak menutup kemungkinan terjadi

peralihan pemilih dari kelompok permanent voter karena dimotivasi oleh akumulasi kekecewaan terhadap

parpol lama yang beralih ke parpol baru.

Keempat, massa mengambang (floating mass). Kelompok ini tidak terikat parpol tertentu, yang

karenanya mereka belum menentukan pilihan. Dalam beberapa studi, kelompok ini bahkan menduduki

porsi terbesar dalam suatu pemilihan. Salah satu pintu kemenangan politik bagi parpol atau calon

pemimpin adalah sebaik apa mereka mampu menggarap massa mengambang ini. Massa mengambang

inilah yang berpotensi besar menjadi golput.

PERILAKU PEMILIH

Dalam sistem politik yang demokratis, rakyat mempunyai hak untuk memilih wakil rakyat yang 8 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 9: Penelitian_kuantitatif_eka

terhimpun dalam partai politik untuk duduk di parlemen, di satu sisi, dan juga mempunyai hak untuk terlibat

aktif dalam kontestasi politik itu sendiri (hak dipilih), pada sisi lainnya. Oleh karena itu, pemilu merupakan

mekanisme paling penting sampai dengan saat ini, dalam sistem politik modern, yang bisa digunakan

rakyat dalam membuat pilihan terbaiknya untuk memilih calon-calon yang menurut pandangannya mampu

menjalankan roda pemerintahan, baik di level daerah (pilkada), dewan (DPR/DPD/DPRD), maupun dalam

konteks pimpinan tertinggi eksekutif.

Dalam sistem politik modern, tidak satu pun negara yang disebut demokratis (oleh masyarakat

internasional) apabila tidak mengadakan pemilu. Permasalahannya, apakah pemilihan itu dilakukan

dengan adil, transparan, dan jujur, itu merupakan hal lain. Oleh karena itu, ketika perang dingin

berlangsung, hampir semua negara berusaha mengidentifikasi diri sebagai negara demokratis dengan cara

melaksanakan pemilu secara berkala. Walau pada saat yang lain, Pemilu dilakukan hanya untuk

melegitimasi tindakan nyata rejim yang otokratik (Chehabi & Linz 1998).

Tiga pendekatan teori yang sering digunakan banyak sarjana politik untuk memahami perilaku

pemilih ialah pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, dan pendekatan pilihan rasional. Pendekatan

sosiologis menekankan pentingnya beberapa hal yang berkaitan dengan instrumen kemasyarakatan

seseorang seperti, (i) status sosioekonomi (seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, dan kelas), (ii)

agama, (iii) etnik, bahkan (iv) wilayah tempat tinggal (misalnya kota, desa, pesisir, ataupun pedalaman).

Beberapa hal ini menurut sarjana yang mengusungnya, Lipset (1960), Lazarsfeld (1968) hanya untuk

menyebut beberapa nama, mempunyai kaitan kuat dengan perilaku pemilih. Penelitian mengenai perilaku

ini dicetuskan oleh sarjana-sarjana ilmu politik dari University of Columbia (Columbia’s School) yang

mengkaji perilaku pemilih pada waktu pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) tahun 1940.

Mereka mendapati pola yang mempunyai kaitan erat dengan aspek-aspek tadi. Misalnya, dari segi

kelas, kelas bawah dan kelas menengah di AS berkecenderungan mendukung Partai Demokrat,

sementara kelas atas menyokong Partai Republik (Lipset 1960:305). Demikian pula halnya jika dilihat dari

aspek agama, penganut agama Kristen Protestan di AS cenderung memilih Partai Republik dibandingkan

dengan mereka yang memeluk agama Katolik (Lazarsfeld 1968:21-22).

Pendekatan kedua disebut dengan pendekatan psikologis, yang dikembangkan beberapa sarjana,

Campbell et. al. (1960), Jaros & Grant (1974), Rose & McAllister (1990) dan lainnya, dari Michigan

University di bawah The Michigan Survey Research Centre. Pendekatan ini (disebut juga Michigan’s

School) menerangkan bahwa perilaku pemilih sangat bergantung pada sosialisasi politik lingkungan yang

menyelimuti diri pemilih.

Identifikasi kepartaian (party identification) adalah wujud dari sosialisasi politik tersebut, yang bisa

dibina orang tua, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya. Sosialisasi ini berkenaan dengan nilai 9 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 10: Penelitian_kuantitatif_eka

dan norma yang diturunkan orang tua, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya sebagai bentuk

penurunan dan penanaman kepada generasi baru.

Oleh karena itu, pilihan seorang anak yang telah melalui tahap sosialisasi politik ini tidak jarang

memilih partai yang sama dengan pilihan orang tuanya. Bahkan, kecenderungan menguatnya keyakinan

terhadap suatu partai akibat sosialisasi ini merupakan impak daripadanya (Campbell et. al. 1960:163).

Untuk kasus terhadap anak-anak, menurut Jaros dan Grant (1974:132), identifikasi kepartaian lebih banyak

disebabkan pengimitasian sikap dan perilaku anak ke atas sikap dan perilaku orang tuanya.

Hal tersebut terjadi di Inggris, umpamanya, khususnya pada anak-anak kelas pekerja yang

melakukan pengimitaasian terhadap pilihan orang tua mereka (Rose & McAllister 1990). Untuk kasus di

Indonesia, dalam pemilihan umum di era Orde Baru, kesetiaan anak para pegawai negeri sipil (PNS) dan

tentara (ABRI) terhadap Golongan Karya (Golkar) tampak sangat jelas dibandingkan dengan anak-anak

dari kelompok lainnya (Agustino 2003).

Pendekatan ketiga, pendekatan pilihan rasional yang dipopulerkan oleh Downs (1957) yang

mengasumsikan bahwa pemilih pada dasarnya bertindak secara rasional ketika membuat pilihan dalam

tempat pemungutan suara (TPS), tanpa mengira agama, jenis kelamin, kelas, latar belakang orang tua,

dan macam sebagainya.

Dalam konteks pilihan rasional, ketika pemilih merasa tidak mendapatkan faedah dengan memilih

partai atau calon presiden yang tengah berkompetisi, ia tidak akan melakukan pilihan pada pemilu (Downs

1957:261). Hal ini dilandaskan pada kalkulasi ekonomi, di mana perhitungan biaya yang dikeluarkan lebih

besar dengan apa yang akan didapatnya kelak. Maka jalan terbaik bagi pemilih adalah melakukan kegiatan

atau aktivitas kesehariannya (Pappi 1996).

Pendekatan ini juga mengandaikan bahwa calon presiden atau partai yang bertanding akan

berupaya dan berusaha untuk mengemukakan pelbagai program untuk menarik simpati dan keinginan

pemilih memilih. Namun, apabila partai ataupun calon presiden itu gagal mempromosikan programnya

pada pemilih, maka pilihan untuk tidak memilih adalah rasional bagi pemilih.

Babak baru perilaku pemilih di Indonesia datang pada tahun 2004 setelah pernah terjadi pada

Pemilu 1955—perilaku pemilih masa Orde Baru lebih diaktifkan atas mobilisasi, sedangkan Pemilu 1999

tampak berwajah emosional. Dengan merujuk pada amendemen Undang-Undang Dasar 1945 dan sistem

politik yang presidensial, maka pemilu tidak lagi berwajah parlementer.

Oleh karena itu, pada Pemilu 2004 sistem pemilihan diubah, dan mempersilakan rakyat untuk ikut

andil memilih pasangan presiden yang mereka anggap dapat memberikan harapan. Layaknya seorang

pembeli di pasar, pemilih melakukan pilihan dengan cermat bukan hanya dalam memilih presiden tetapi

juga anggota DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 10 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 11: Penelitian_kuantitatif_eka

Permasalahannya sekarang, manakala rasionalitas pemilih mulai tumbuh dan berkembang, (dengan

sangat radikal) pemerintah melembarkan lembaran negara tentang pemilihan kepala daerah (pilkada)

langsung. Dampak yang dihasilkan pilkada terhadap perilaku pemilih, dalam pandangan penulis, telah

menggiring rasionalitas ke arasnya yang terbelah-belah. Walau tampak terjadi pergeseran kembali ke arah

perilaku sosiologis, tetapi yang tidak diperhitungkan adalah adanya variabel intervening "sentimen" yang

menyelubunginya.

ANALISIS PERILAKU MEMILIH

Perilaku memilih (electoral behaviour) dalam pemilu merupakan salah satu bentuk perilaku politik

(political behaviour). Perilaku politik merupakan perilaku yang dapat dipahami sebagai perbuatan,

kelakuan, atau tindakan, dan juga aksi yang dijalankan individu atau kelompok atau masyarakat sebagai

respon terhadap stimulan atau lingkungan politik tertentu, terutama sekali berkenaan dengan distribusi dan

pemanfaatan kekuasaan dalam suatu masyarakat, dalam berbagai bentuk.

Penentuan untuk memilih atau memihak kepada satu kekuatan politik, dipandang sebagai suatu

produk dari sikap dan disposisi psikis dari pemilih (August Cambell, 1960). Mazhab psikologis ini

mempercayai bahwa perilaku memilih dapat dideteksi dengan dua konsep. Pertama, political involvement,

yaitu perasaan penting atau tidaknya seseorang untuk terlibat dalam isu-isu politik yang bersifat umum

(general). Kedua, party identification, yaitu preferensi (suka/tidak suka) dari seseorang terhadap satu partai

atau kelompok politik tertentu.

Ditinjau dari sisi political involvement, maka hal ini bisa membawa kecenderungan perubahan

pilihan terhadap partai Politik. Karena hal ini merupakan proses psikologis dari masyarakat pemilih yang

mampu menakar dan mengamati sejauh apa akibat yang ditimbulkan dari pilihanya.

Ditinjau dari sisi party identification, (suka/tidak suka) dari seseorang terhadap satu partai atau

kelompok politik tertentu, Biasanya ditentukan oleh proses panjang yang melibatkan diri dan lingkunganya,

hal inilah yang kemudian memunculkan massa fanatik dari salah satu Partai. Massa fanatik biasanya

mucul dari lingkungan yang cenderung homogen, dengan tingkat kontrol sosial yang tinggi (misalnya di

pedesaan dan Pondok Pesantren).

Massa fanatik biasanya tidak akan muncul pada kalangan pemilih pemula dengan tingkat

intelektual dan lingkungan sosial yang lebih terbuka dan heterogen (kaum Kota, Pelajar, mahasiswa) dan

mereka juga merupakan Floating Mass (massa Mengambang) yang biasanya belum menentukan pilihanya

secara pasti. Pemilih pemula inilah yang kelak akan banyak merubah peta kekuatan Politik Lokal di

Wonosobo. Pemilih Pemula biasanya cenderung memilih Partai secara lebih rasional, namun juga sering

melakukan pilihan politik berdasarkan pada trendsetter (yang dimunculkan Partai Melalui Kampanye Politik 11 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 12: Penelitian_kuantitatif_eka

di Media).

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ORIENTASI POLITIK

Setidaknya ada beberapa hal yang mempengaruhi orientasi pemilih (terutama pemilih pemula)

dalam sebuah proses politik. Faktor-faktor itu adalah preferensi sosial ekonomi, faktor politik, faktor individu

atau lingkungan, faktor budaya. Manifestasi dari apa yang dipikirkan dan diinginkan oleh manusia biasanya

akan diwujudkannya dalam bentuk perilaku. Dalam konteks perilaku politik, hal yang dipikirkan dan

diinginkan tersebut berkaitan erat dengan orientasi politik yakni kekuasaan dimana kekuasaan itu

diperolehnya dengan suatu proses pemilihan. Walaupun secara teoritis, penjelasan tentang perilaku yang

muncul dari perbedaan sikap sudah terlihat jelas, mamun sikap bukan sesuatu yang bisa begitu saja

terjadi. Sikap terbentuk dari proses sosialisasi yang panjang, mulai manusia baru lahir sampai dewasa.

Melalui proses sosialisasi inilah kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara

seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik yang berupa simpati. Sementara menurut

V.O Key, pendekatan perilaku sangat memperhitungkan faktor sosialisasi politik, yaitu cara mendalami

nilai-nilai dan kepercayaan yang berlaku dan cara memperhitungkan perubahan yang terjadi. Dalam

menjelaskan pola sosialisasi ini, paham perilaku beranggapan bahwa interaksi manusia antara satu

dengan yang lainnya adalah sebagai pelaku (subyek) dan membentuk adanya proses politik

IKLAN POLITIK

Iklan politik dianggap paling efektif membentuk dan menggiring persepsi masyarakat. Iklan politik mampu

membungkus kekurangan menjadi kelebihan. Mampu menampilkan seorang politisi medioker dengan

standar biasa-biasa menjadi politisi yang kharismatik dan penuh dedikasi.Iklan politik mirip dengan reklame

produk komersial. Tujuannya adalah membuat citra tokoh yang ditawarkan sebagai pilihan yang tepat.

Bahkan tak jarang masyarakat diberi iming-iming bahwa tokoh yang tampil dalam iklan mampu ”menyulap”

kesengsaraan menjadi kemakmuran dalam sekejap.

Bagi masyarakat pengonsumsi media yang tidak memiliki pertahanan diri yang kokoh, maka di

hadapan media, manusia akan mudah —meminjam penjelasan Yasraf Amir Piliang— dipaksa tenggelam

dalam wacana simulasi, di mana perbedaan antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’

menjadi sangat tipis. Sehingga manusia dipaksa hidup dalam ruang ‘khayali yang nyata.’

Dengan demikian para pengelola iklan politik —yang notabene adalah para politikus—bisa

menjelma menjadi ’dewa’ yang layak dipilih menjadi pemegang kekuasaan. Dan yang paling lemah di

hadapan iklan adalah para pemilih pemula atau swing voters. Kelompok pemilih ini belum memiliki pijakan

politik cukup kuat sehingga membuka peluang besar untuk dirangkul caleg, capres maupun partai politik

12 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 13: Penelitian_kuantitatif_eka

manapun melalui iklan.

Peran iklan partai dapan membentuk loyalitas apabila iklan itu efektif dan tidak hanya mengumbar

janji belaka. Karena menghadapi kualitas pemilih yang makin kritis, dan pragmatis. Sehingga pemilih

melihat pada bukti daripada janji-janji. Sedangkan pemilih memiliki loyalitas tertentu pada partai tertentu

karena ikatan emosional, ikatan sejarah, ideology dan ikatan kepentingan.

Perkembangan partai modern dan terbuka membawa situasi bahwa orang dapat keluar masuk

pada partai apa saja, tergantung pada kualitas individu, sehingga kader partai sebagai bentuk dari produk

partai adalah cukup mempengaruhi perolehan suara partai. Sehingga ada perkembangan baru dari partai

modern bahwa partai tidak merupakan variabel utama mendongkrak popularitas seseorang. Sedangkan

sebaliknya kualitas seorang kader akan mendongkrak perolehan suara partai.

Tanpa kader yang berkualitas partai tidak akan memperoleh suara yang cukup mendokrak suara

mereka. Dan hal ini mendorong partai untuk menciptakan kader-kader berkualitas atau mengambil orang-

orang yang diluar partai tapi mendorong kualitas partai.

Namun factor capital dan nepotisme menjadikan seseorang untuk duduk menjadi kader dan wakil partai,

sehingga mereka menganggap uang adlah segalanya dan mendongkrak suara di tengah masyarakat yang

pragmatis.

Tantangan partai karena ketidakpercayaan pemilih akan menyulitkan iklan partai dalam

mempertahankan image atau brand atau performa mereka. Oleh karena itu partai harus memberikan

kriteria-kriteria yang terukur oleh pemilih. Karena pemebriataan dan janji yang tidak dipenuhi akan

mendorong pemilih untuk meninggalkan partai. Berbagai bentuk kepercayaan sangat dibutuhkan oleh

pemilih untuk memiliki loyalitas, karena pemilih akan memiliki ukuran loyalitas yang berbeda.

13 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 14: Penelitian_kuantitatif_eka

BAGIAN III

Metode Penelitian

METODOLOGI

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kuantitatif dimana menurut

Indriantoro dan Supomo (1999: 12) metodologi kuantitatif adalah “Penelitian yang menekankan kepada

pengujian teori-teori mulai dari pengukuran variabel-variabel penelitian dengan angka dan melakukan

analisis data dengan prosedur statistik.”

Menurut Sugiyono (1999: 13-14):

Data kuantitatif menggunakan statistik, data-datanya diangkakan (scoring), misalnya terdapat dalam skala pengukuran. Suatu pernyataan atau pertanyaan yang memerlukan alternatif jawaban, sangat setuju, setuju, kurang setuju, tidak setuju. Dan datanya dibagi menjadi dua yaitu nomilal dan kontinum.

Berdasarkan pernyataan di atas, peneliti menggunakan metodologi kuantitatif untuk menguji dan

mengukur variabel-variabel penelitian yang berupa angka dengan menggunakan perhitungan statistik

dalam memberikan pembuktian yang akurat untuk hasil penelitian ini.

Metode yang digunakan adalah metode survei dengan penelitian yang mengambil data,

menggunakan kuesioner sebagai alat bantu pengumpulan data pada penelitian ini. Metode survei

(Setiawan, 1995: 39) adalah “Metode penelitian yang dalam melakukan pengumpulan datanya

menggunakan kuesioner, yaitu menggunakan daftar pertanyaan tertulis yang diajukan kepada sekelompok

orang yang disebut sampel.”

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian survei merupakan

metode penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang diajukan pada

sekelompok orang tertentu (sampel).

Adapun ciri-ciri utama pada metode penelitian survei menurut Soehardi Sigit (1999: 149), ialah:

o Informasi dikumpulkan dari suatu kelompok orang dengan maksud supaya dapat mendeskripsikan beberapa aspek atau karakteristik dari suatu populasi yang diwakili oleh kelompoknya itu.

o Cara yang digunakan dalam mengumpulkan informasi itu melalui pengajuan pertanyaan; dan jawaban atas pertanyaan dari para anggota kelompok itu merupakan data dari studinya.

o Informasi yang di kumpulkan itu dari sampel dan populasi.

Sesuai dengan ciri-cirinya yang telah disebutkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

metode penelitian survei digunakan untuk mengumpulkan informasi dari suatu populasi. Survei berguna

14 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 15: Penelitian_kuantitatif_eka

untuk mendeskripsikan beberapa karakteristik dari suatu populasi yang diwakili oleh populasi tersebut.

Pengumpulan datanya dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan berupa kuesioner.

Sifat penelitian yang digunakan adalah ekpslanatif.. Peneltiian eksplanatif adalah penelitian yang

melakukan pengujian hipotesis dan menganalisis hubungan di antara variabel-varaibel.

Tujuan dari penelitian ekplanatif adalah untuk memahami mengapa suatu variabel dapat

mengakibatkan timbulnya akibat tertentu sebagaiamana yang diperkirakan, disamping itu juga untuk

memahami bagaimana hubungan fungsional yang sebenarnya terdapat di antara faktor-faktor yang

dianggap sebagai penyebab dari efek yang diperkirakan terjadi..

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini adalah metode survey yaitu penelitian yang diadakan untuk memperoleh

fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan. Selain itu, survey juga suatu

penelitian yang mengambil sample dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner yang nantinya akan

digunakan sebagi alat pengumpulan data yang pokok untuk mencapai generalisasi atau kesimpulan yang

bersifat umum yang dapat dipertanggungjawabkan (S. Nasution, Metode Research : Penelitian Ilmiah,

edisi I, cetakan ke-2, Bina aksara, Jakarta, 1996, hal.25).

TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di wilayah Jakarta. Waktu penyebaran kuesionernya selama 1 bulan.

POPULASI DAN SAMPEL

Populasi merupakan keseluruhan dari objek penelitian yang berupa manusia, hewan, tumbuhan,

gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup dan sebagainya yang dapat menjadi sumber penelitian (Burhan Bungin,

Metodologi Penelitrian Kualitatif, edisi I, PT Prenada Media, Jakarta, 2005, hal.99).

Populasi penelitian ini adalah seluruh pelajar SMU di Jakarta (pemilih pemula) yang baru pertama

kalinya memberikan hak suara politiknya, sehingga bila dikaitkan dengan aturan Pemilu penduduk yang

boleh memilih dalam Pemilu adalah penduduk/warga yang telah berumur 17 tahun ke atas. Sedangkan

sampelnya adalah sebagian penduduk/pemilih di Jakarta yang baru pertama kalinya memberikan hak

suara politiknya.

Karena sampel yang diambil dari seluruh wilayah di Jakarta, maka teknik sampling yang digunakan

adalah Stratified Random Sampling. Penjelasannya sebagai berikut di Jakarta ada 5 wilayah yaitu Jakarta

Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Masing-masing wilayah tersebut

mempunyai SMU Negeri dan Swasta yang berada dalam wilayah kecamatan dan kemudian kelurahan, lalu 15 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 16: Penelitian_kuantitatif_eka

RW dan kemudian RT. Masing-masing sekolah pada masing-masing kecamatan, masing-masing

kelurahan, masing-masing RW dan RT di tiap wilayah tersebut akan dipilih secara random, minimal 2

sekolah (1 sekolah negeri dan 1 sekolah swasta). Untuk keperluan penelitian ini, maka fokus penelitian ini

lebih ditujukan pada sekolah negeri dan swasta di wilayah Jakarta Selatan. Dalam penelitian ini didapatkan

kurang lebih 20 sekolah dan fokus pada pelajar kelas 10 dan 11.

METODE PENGUMPULAN DATA

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data yang bersumber dari

penyebaran kuesioner. Penyebaran kuesioner dilakukan berdasarkan data dari tiap sekolah pada wilayah

kemudian datang pada setiap kelas sekolah yang terpilih secara acak. Jumlah kuesioner yang disebar

sebanyak 150 lembar. Kuesioner yang dikembalikan dan mempunyai data yang lengkap sebanyak 139

buah.

Data sekunder didapat dari hasil penelitian terdahulu, serta lembaga/instansi dan literature-literatur

yang dapat menunjang penelitian ini.

OPERASIONALISASI KONSEP

Dalam penelitian ini operasionalisasi sbb :

Variabel Dimensi AtributSkala Pengukuran

Preferensi Budaya = X1 1. Nilai 1. idealisme politik

2. Pragmatisme politik

3. Cara pandang atas

aktivitas politik

4. Pendidikan

interval

3. Norma 1. Norma kesepakatan

2. Cresive norm

4. Simbol 1. Benda

2. Nama

3. Warna

4. konsep

Variabel Dimensi AtributSkala Pengukuran

Preferensi Sosial = X2 1. Kelas sosial 1. Prestise individu

2. Asosiasi

3. Sosialisasi

4. Kekuasaan

interval

16 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 17: Penelitian_kuantitatif_eka

5. Kesadaran Kelas

6. Mobilitas sosial

2. Jarak sosial 1. Orientasi sosial

2. Jarak pergaulan

3. Kelompok Acuan 1. Acuan Normatif

2. Acuan ekspresi nilai

3. Acuan Informatif

Variabel Dimensi AtributSkala Pengukuran

Seleksi Kognisi = Z 1. Pengetahuan 1. Tingkat pengetahuan

terhadap iklan politik

2. Tingkat pengetahuan

atas atribut iklan politik

3. Pengetahuan atas

manfaat iklan politik

Interval

2. Perhatian 1. Ukuran iklan politik

2. Intensitas iklan politik

3. Kebaruan

4. Pesan yang menarik

dalam iklan menarik

5. Kontras iklan politik

6. Posisi Iklan politik

7. Warna iklan politik

3. Pemahaman 1. Gambar

2. Latar belakang

3. Grouping

4. Closure

Variabel Dimensi AtributSkala Pengukuran

Elektabilitas = Y 1. Daya Tarik Similaritas

familiaritas

Liking

Interval

2. Kepuasan Matching idealisme

Matching praktis

3. Kredibilitas Expertise

Trustworthiness

17 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 18: Penelitian_kuantitatif_eka

4. Keterjaminan Jaminan social Parpol

HIPOTESIS PENELITIAN

1. besarnya preferensi budaya mempengaruhi preferensi sosial pemilih pemula dalam Pemilu 2009

2. Tingkat preferensi budaya berpengaruh pada seleksi kognitif pemilih pemula atas iklan politik yang

ada dalam media massa.

3. besaran preferensi sosial menentukan seleksi pemilih pemula atas iklan politik yang ada dalam

media massa.

4. Tingkat preferensi budaya berpengaruh pada kemampuan keterpilihan caleg berdasarkan iklan

politik yang ada dalam media massa.

5. Tingkat preferensi Sosial berpengaruh pada seleksi kemampuan keterpilihan caleg berdasarkan

iklan politik yang adas dalam media massa.

6. Besaran seleksi kognisi pemilih pemula atas iklan politik menentukan kemampuan keterpilihan

caleg berdasarkan iklan politik yang ada dalam media massa.

METODE PENGUJIAN INSTRUMEN

Penelitian ini akan memakai dan memanfaatkan bantuan analisis Alpha cronbach, Confimatory

Factor Analysis dalam pengujian instrumen. Metode ini digunakan untuk mengetahui apakah indikator-

indikator yang ada memang benar-benar dapat menjelaskan sebuah konstruk penelitian.

METODE ANALISIS DATA

Untuk menganalisis data pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif. Data yang

diperolah dari penyebaran kuesioner dianalisis dengan cara Analisa Jalur (Path Analysis) Dengan model

dasar sebagai berikut:

18 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Preferensi Budaya

Page 19: Penelitian_kuantitatif_eka

19 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Preferensi Sosial

Seleksi Pemahaman

Elektabilitas Parpol

Page 20: Penelitian_kuantitatif_eka

Bagian IV

Hasil Penelitian

Uji Instrumen Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam kerangka penelitian yang menggunakan statistic induktif. Maka

peneliti juga harus melakukan pengujian instrumen yang digunakan dalam penelitian ini. Uji instrumen yang

dilakukan adalah uji reliabilitas dan uji validitas. Tapi sebelumnya, dari data yang diolah sesuai dengan

kuesioner yang masuk maka data yang masuk pada peneliti sebanyak 139 kuesioner dan telah diolah

secara khusus dalam variable-variabel pokok penelitian ini. Hasil yang didapatkan adalah:

139 N=139

139 N=139

139 N=139

139 N=139

Preferensi Budaya

Preferensi Sosial

Seleksi Kognitif

Elektabilitas

Count Valid N

Uji instrumen pertama adalah uji reliabilitas. Reliabilitas ini dimaknai sebagai tingkat konsistensi

instrumen penelitian. Semakin tinggi reliabilitas instrument pertanyaan penelitian (kuesioner) semakin

konsisten pula instrument yang dimaksud. Dalam arti, bahwa ketika instrument tersebut konsisten,

konsisten pula jawaban yang diberikan responden meski berbeda waktu, tempat dan situasi. Hasil yang

didapatkan adalah sebagai berikut:

Reliability Statistics

.711 .815 55

Cronbach'sAlpha

Cronbach'sAlpha Based

onStandardized

Items N of Items

Indeks yang didapatkan adalah indeks yang diidentifikasi dengan alpha cronbach. Hasil yang

didapatkan adalah 0.711 yang berarti bahwa konsistensi instrument penelitian mencapai 71.1%. Standar

ilmu social Nunnaly sebesar 0.6 maka dapat dikatakan bahwa instrument penelitian ini adalah reliable

karena di atas standar yang ditetapkan.

Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji yang menggunakan analisis factor.

Analisis faktor digunakan untuk memberikan penilaian validitas konstruk yang disusun oleh peneliti dalam

penelitian ini. Hasilnya adalah:20 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 21: Penelitian_kuantitatif_eka

KMO and Bartlett's Test

.638

1631.566

6

.000

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of SamplingAdequacy.

Approx. Chi-Square

df

Sig.

Bartlett's Test ofSphericity

Data di atas menunjukkan bahwa indeks KMO menunjukkan koefisien 0.638 dengan tingkat

signifikansi 0.000. Standarisasi koefisien KMO adalah 0.5 dengan signifikansi di bawah 0.05. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa koefisien KMO sampling adequacy untuk instrument penelitian (validitas

konstruk) ini adalah valid karena koefisien menunjukkan lebih besar dari 0.5 dengan tingkat signifikansi

lebih kecil daripada 0.05.

Penelusuran Jalur

Berdasarkan model dasar hubungan kausal antar variable dalam penelitian ini maka dapat

diperlihatkan hubungan r variable yang ada.

1. preferensi budaya mempengaruhi preferensi sosial pemilih pemula dalam Pemilu 2009

2. Tingkat preferensi budaya berpengaruh pada seleksi pemahaman pemilih pemula atas iklan politik

yang ada dalam media massa.

3. besaran preferensi sosial menentukan seleksi pemilih pemula atas iklan politik yang ada dalam

21 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Preferensi Budaya = X1

Preferensi Social = X2

Seleksi Pemahaman = Z

Elektabilitas Parpol = YR1

R4

R2

R3

R5

R6

Page 22: Penelitian_kuantitatif_eka

media massa.

4. Tingkat preferensi budaya berpengaruh pada kemampuan keterpilihan parpol berdasarkan iklan

politik yang ada dalam media massa.

5. Tingkat preferensi Sosial berpengaruh pada seleksi kemampuan keterpilihan parpol berdasarkan

iklan politik yang adas dalam media massa.

6. Besaran seleksi kognisi pemilih pemula atas iklan politik menentukan kemampuan keterpilihan

caleg berdasarkan iklan politik yang ada dalam media massa.

Penelusuran jalur pada setiap bagian hipotesis dalam penelitian ini akan memakai beberapa langkah

pengujian regresi berganda.

Regresi pertama adalah regresi yang menghitung variable bebas (yang meliputi preferensi budaya,

preferensi social dan seleksi pemahaman atas iklan) terhadap variable tidak bebas (elektabilitas parpol).

Hasil koefisien regresi yang didapatkan adalah sebagai berikut:

Coefficientsa

111.638 5.925 18.843 .000 99.921 123.355

-.416 .116 -.245 -3.584 .000 -.645 -.186 .591 1.691

-.065 .022 -.154 -2.900 .004 -.109 -.021 .985 1.015

-1.067 .127 -.577 -8.412 .000 -1.318 -.816 .588 1.700

(Constant)

Preferensi Budaya

Preferensi Sosial

Seleksi Kognitif

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig. Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval for B

Tolerance VIF

Collinearity Statistics

Dependent Variable: Elektabilitasa.

Hasil di atas menunjukan analisis regresi dengan membaca kolom unstandardized coefficients. Sedangkan

analisis jalur dapat dilihat dari kolom standardized coefficients atau kolom beta. Berdasarkan output di

atas dapat diketahui bahwa nilai signifikansi pada uji 1 untuk masing-masing variable berturut-turut lebih

kecil ( < ) dari 0.05. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat koefisien pengaruh yang signifikan dalam

jalur uji pertama ini. Model ini bebas dari asumsi kolinearitas yang ditunjukkan dengan skala lebih dari nol

dan kurang dari 10 pada koefisien VIF (terlihat dari data indeks VIF berkisar dari 1.015 – 1.700.

Uji Regresi II adalah uji regresi yang menempatkan seleksi pemahaman sebagai variabel tidak

bebas dengan variabel bebas terdiri dari preferensi budaya dan preferensi sosial. Hasil yang didapatkan

adalah sebagai berikut:

22 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 23: Penelitian_kuantitatif_eka

Coefficientsa

-6.060 3.972 -1.526 .129 -13.915 1.794

.581 .061 .633 9.591 .000 .461 .701 .991 1.009

.014 .015 .060 .905 .367 -.016 .043 .991 1.009

(Constant)

Preferensi Budaya

Preferensi Sosial

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig. Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval for B

Tolerance VIF

Collinearity Statistics

Dependent Variable: Seleksi Kognitifa.

Output di atas menyatakan bahwa terjadi perbedaan antara signifikansi preferensi budaya – seleksi

pemahaman (sig. < 0.00) dengan preferensi social – seleksi pemahaman (sig. > 0.05). Hal ini menunjukkan

bahwa hubungan signifikan terjadi pada preferensi budaya – seleksi pemahaman tapi tidak terjadi

hubungan yang signifikan pada preferensi sosial – seleksi pemahaman. Model ini bebas dari asumsi

kolinearitas yang ditunjukkan dengan skala lebih dari nol dan kurang dari 10 pada koefisien VIF (terlihat

dari data indeks VIF adalah 1.009.

Uji Regresi ketiga adalah uji regresi yang menempatkan elektabilitas sebagai variabel tidak bebas

dengan variabel bebas (meliputi preferensi budaya dan preferensi sosial). Hasil yang diperoleh adalah

sebagai berikut:

Coefficientsa

118.104 7.226 16.345 .000 103.814 132.394

-1.036 .110 -.611 -9.397 .000 -1.254 -.818 .991 1.009

-.079 .027 -.188 -2.896 .004 -.133 -.025 .991 1.009

(Constant)

Preferensi Budaya

Preferensi Sosial

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig. Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval for B

Tolerance VIF

Collinearity Statistics

Dependent Variable: Elektabilitasa.

Output di atas menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel tidak

bebas dalam hal ini antara preferensi budaya – sosial dengan elektabilitas. Hal ini terjadi karena angka

signifikansinya kurang dari 0.05.

Sementara itu untuk hubungan antara preferensi budaya dengan preferensi sosial dan hubungan

antara seleksi pemahaman dengan elektabiltas dapat dilihat sebagai berikut:

23 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 24: Penelitian_kuantitatif_eka

Coefficientsa

30.261 22.402 1.351 .179

.376 .343 .093 1.098 .274

(Constant)

Preferensi Budaya

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig.

Dependent Variable: Preferensi Sosiala.

Dalam output di atas terlihat bahwa nilai signifikansi hubungan antara preferensi budaya dan preferensi

social sebesar 0.275. Nilai signifikan yang lebih besar dari 0.05 menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan pada jalur preferensi budaya – sosial.

Sementara di tempat yang lain, nilai signifikansi beta pada hubungan antara seleksi pemahaman

lebih kecil dari 0.05 yang menandakan adanya hubungan yang signifikan antara seleksi pemahaman –

elektabilitas.

Coefficientsa

91.466 3.403 26.881 .000 84.738 98.195

-1.390 .104 -.752 -13.366 .000 -1.596 -1.185 1.000 1.000

(Constant)

Seleksi Kognitif

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig. Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval for B

Tolerance VIF

Collinearity Statistics

Dependent Variable: Elektabilitasa.

Apabila diringkas dalam bentuk table hubungan antara variabel di atas maka dapat dilihat sebagai berikut:

Variabel Koefisien Beta T - Sig KeteranganPref Bud – Elekta -0.245 (Indirect Effect –

sleksi pemahaman)

-0.611 (DE direct effect)

0.000

0.000

Signifikan

Pref Sos - Elekta -0.154 (indirect effect – seleksi pemahaman)

-0.188 (direct effect)

0.04

0.00

Signifikan

Pref bud – Seleksi Pemahaman

0.633 0.00 Signifikan

Pref sos – Seleksi Pemahaman

0.06 0.367 Tidak signifikan

Pref bud – pref sos 0.093 0.274 Tidak signifikanSeleksi pemahaman - Elektabilitas

-0.752 0.00 Signifikan

Dari table di atas maka dapat diperoleh gambar sebagai berikut24 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 25: Penelitian_kuantitatif_eka

Bagan di atas adalah bagan yang tergambar dan koreksi dari bagan paradigm teoretis yang telah

disebutkan terdahulu. Bagan ini memuat terjadinya perubahan arah hubungan kausal antar variabel dalam

penelitian ini. Perubahan tersebut nampak pada tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara

variabel preferensi budaya dengan preferensi social dan variabel preferesi social dengan seleksi

pemahaman. Maka koreksi model hasil penelitian yang didapatkan adalah sebagai berikut:

Dalam langkah selanjutnya peneliti ingin mengetahui besarnya nilai pengaruh total variabel bebas

terhadap variabel tidak bebas. Setidaknya penelitian ini ingin juga memperlihatkan kontribusi dari masing-

25 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Preferensi Budaya = X1

Preferensi Social = X2

Seleksi Pemahaman = Z

Elektabilitas Parpol = Y0.093

DE = -0.611**

IE = -0.245**

0.663**

0.06

DE = -0.188**

IE = -0,154**

-0,752**

Preferensi Budaya

Preferensi Sosial

Seleksi Pemahaman

Elektabilitas Parpol

Preferensi Budaya

Preferensi Sosial

Seleksi Pemahaman

Elektabilitas Parpol

Page 26: Penelitian_kuantitatif_eka

masing variabel bebas terhadap variabel elektabilitas. Maka peneliti melakukan pengujian korelasi parsial

dengan metode zero order correlations.

Correlations

1.000 .093 .639 -.629

. .274 .000 .000

0 137 137 137

.093 1.000 .119 -.245

.274 . .163 .004

137 0 137 137

.639 .119 1.000 -.752

.000 .163 . .000

137 137 0 137

-.629 -.245 -.752 1.000

.000 .004 .000 .

137 137 137 0

1.000 -.081 .324

. .347 .000

0 136 136

-.081 1.000 -.103

.347 . .231

136 0 136

.324 -.103 1.000

.000 .231 .

136 136 0

Correlation

Significance (2-tailed)

df

Correlation

Significance (2-tailed)

df

Correlation

Significance (2-tailed)

df

Correlation

Significance (2-tailed)

df

Correlation

Significance (2-tailed)

df

Correlation

Significance (2-tailed)

df

Correlation

Significance (2-tailed)

df

Preferensi Budaya

Preferensi Sosial

Seleksi Kognitif

Elektabilitas

Preferensi Budaya

Preferensi Sosial

Seleksi Kognitif

Control Variables-none- a

Elektabilitas

PreferensiBudaya

PreferensiSosial

SeleksiKognitif Elektabilitas

Cells contain zero-order (Pearson) correlations.a.

Output bagan di atas adalah yang dimaksudkan dengan korelasi zero order. Adapun hasil korelasi zero

order adalah sebagai berikut

Hubungan variabel dengan elektabilitas Koefisien

Preferensi budaya -0.629

Preferensi social -0.245

Seleksi pemahaman -0.752

Pengolah akan kembali melakukan perhitungan sumbangan efektif masing-masing variabel

terhadap variabel elektabilitas. Sumbangan efektif didapatkan dari perkalian koefisien jalu baik yang

langsung maupun tidak langsung dengan korelasi zero order. Hasil perkalian tersebut dipahami sebagai

kontribusi efektif masing-masing variabel dengan variabel elektabilitas. Hasil yang didapatkan adalah

sebagai berikut:

26 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 27: Penelitian_kuantitatif_eka

Dari Variabel Koefisien Jalur Total

Preferensi Budaya DE : 0.611(0.629) = 0.384

IE : 0.245(0.629) = 0.154

0.384

0.154

Preferensi Sosial DE : 0.188(0.245) = 0.046

IE : 0.154(0.245) = 0.037

0.046

0.037

Seleksi Pemahaman -0.752(-0.752) = 0.562 0.562

Kontribusi efektif dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut

Pertama, Pengaruh Preferensi Budaya terhadap elektabilitas parpol. Preferensi budaya

mempunyai pengaruh langsung terhadap elektabilitas partai politik sebesar 0.611. Selain bahwa pengaruh

langsung diketahui juga bahwa preferensi budaya mempunyai pengaruh tidak langsung karena melalui

seleksi pemahaman sebesar 0.245. Arah hubungan yang positif ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi

preferensi budaya pemilih pemula semakin tinggi pula elektabilitas partai politik. Kontribusi efektif yang

dihasilkan dari dua pola tersebut adalah sebesar 38.4% yang didapatkan dari pengaruh langsung dan

15.5% merupakan kontribusi pengaruh yang tidak langsung terhadap elektabilitas.

Kedua, pengaruh preferensi budaya terhadap elektabilitas parpol. Preferensi social mempunyai

pengaruh langsung terhadap elektabilitas partai politik sebesar 0.188. Pengaruh tidak langsung bisa

dilakukan dan menghasilkan besaran 0.154 Arah hubungan positif memperlihatkan bahwa semakin tinggi

preferensi social pemilih pemula akan berpengaruh semakin tinggi pula elektabilitas parpol yang ada. Tapi

kontribusi efektif yang dihasilkan dari dua pola tersebut hanya sebesar 4.6% pada pengaruh langsung dan

3.7% pada pengaruh tidak langsung.

Ketiga, pengaruh seleksi pemahaman pada elektabilitas parpol dalam pemilu kemarin. Seleksi

pemahaman atas iklan politik berpengaruh langsung pada elektabilitas sebesar 0.752 dan memberikan

kontribusi sebesar 56.2% terhadap pengaruh pada elektabilitas parpol

Analisa dan Pembahasan

Menarik apabila mencermati hasil penelitian di atas dikaitkan dengan permasalahan yang ada

pada pemilih pemula terutama yang berkaitan dengan masalah kemampuan keterpilihan partai politik

melalui proses pemasaran politik. Terlihat hubungan yang dinamis pada setiap variabel yang menjadi objek

27 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 28: Penelitian_kuantitatif_eka

penelitian ini. Ada beberapa pembahasan yang bisa ditarik dari hasil penelitian mikro ini meski belum

disertai dengan tingkat kompleksitas variabel yang ada.

Pertama, setidaknya ada beberapa hal yang mempengaruhi orientasi pemilih (terutama pemilih

pemula) dalam sebuah proses politik. Faktor-faktor itu adalah preferensi sosial, faktor politik, faktor individu

atau lingkungan, faktor budaya. Manifestasi dari apa yang dipikirkan dan diinginkan oleh manusia biasanya

akan diwujudkannya dalam bentuk perilaku. Dalam konteks perilaku politik, hal yang dipikirkan dan

diinginkan tersebut berkaitan erat dengan orientasi politik yakni kekuasaan dimana kekuasaan itu

diperolehnya dengan suatu proses pemilihan. Walaupun secara teoritis, penjelasan tentang perilaku yang

muncul dari perbedaan sikap sudah terlihat jelas, namun sikap bukan sesuatu yang bisa begitu saja terjadi.

Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa faktor preferensi budaya, preferensi social mempunyai hubungan

langsung dengan elektabilitas partai politik dalam pemilihan umum 2009. Hanya memang faktor budaya

rupanya mempunyai besaran yang signifikan dibandingkan dengan variabel preferensi social. Hal ini dapat

ditafsirkan bahwa faktor budaya masih menjadi pertimbangan utama para pemilih pemula dalam

melakukan “kewajiban perdana” dalam hajat politik (dalam pemilihan umum). Hal ini bisa dipahami bahwa

latar belakang budaya menjadi pengaruh signifikan dalam cara menilai, berpikir dan bersikap para pemilih

pemula. Latar belakang budaya dalam lingkungan social terdekat menjadi faktor penting referensi tindakan

social. Sementara itu preferensi social tidak begitu berpengaruh secara signifikan bisa ditafsirkan bahwa

lingkup social bukan satu-satu faktor pengaruh yang penting dalam tindakan politik para pemilih pemula.

Dengan demikian, penelitian ini juga menanggapi bahwa lingkungan social berpengaruh penting pada anak

muda perlu dikritisi juga. Dalam arti bahwa lingkungan social memang memberikan pengaruh tapi tidak

sebesar yang diperkirakan. Pada sisi lain, penelitian ini juga menemukan bahwa preferensi budaya tidak

selalu berhubungan dengan preferensi social. Ini dapat ditafsirkan bahwa dalam penelitian ini, preferensi

budaya dan preferensi social tidak dilihat sebagai faktor yang diandaikan saling terhubung satu sama lain,

tapi dilihat sebagai faktor yang bisa berdiri sendiri. Ini menandakan juga bahwa dapat diindikasikan bahwa

para pemilih pemula di Jakarta Selatan mempunyai orientasi individual yang begitu tinggi

Kedua, menarik apabila kita menyimak indeks yang dihasilkan oleh seleksi pemahaman. Seleksi

pemahaman yang dimaksud di sini adalah bahwa individu cenderung melakukan seleksi atas pengetahuan

atau pemahaman atas realitas tertentu. Besaran pengaruh seleksi pemahaman melalui iklan politik cukup

tinggi berpengaruh pada tingkat elektabilitas partai politik oleh para pemilih pemula. Ini mengindikasikan

bahwa para pemilih pemula mempunyai seleksi pemahaman terhadap media iklan politik yang mereka

terima. Konsekuensi logis dari indikasi tersebut berakibat bahwa kontribusi efektif variabel seleksi

pemahaman cukup besar pada elektabilitas partai politik pemilu 2009. Sedemikian signifikan variabel

seleksi pemahaman ini menempatkan variabel tersebut menjadi faktor penjelas (explanation factors). Hal 28 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 29: Penelitian_kuantitatif_eka

ini terbukti ketika variabel seleksi pemahaman dimunculkan sebagai variabel antara di antara hubungan

preferensi social –budaya dengan elektabilitas maka terjadi penurunan koefisien yang dipunyai oleh

korelasi tersebut. Faktor elaborasi penjelas dari seleksi pemahaman ini dapat dimengerti karena terpaan

iklan dan kemampuan pemilih pemula untuk melakukan seleksi pemahaman meski mereka mempunyai

faktor budaya dan social yang melingkupi mereka. Dengan pola semacam ini, ada kemungkinan

perubahan posisi yang bisa dieksplorasi lebih jauh, yaitu dengan model sebagai berikut:

Model di atas mengandaikan bahwa terpaan media terutama iklan politik mampu membentuk seleksi

pemahaman yang kuat sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi preferensi budaya, social dan

elektabilitas. Hal itu bisa dipahami ketika memahami bahwa media komunikasi menjadi media yang begitu

penting dalam konteks social masyarakat.

Ketiga, ketika faktor seleksi pemahaman pemilih pemula menjadi hal yang penting. Maka dapat

dikatakan juga bahwa Iklan politik dianggap relatif efektif membentuk dan menggiring persepsi masyarakat.

Iklan politik mampu membungkus kekurangan menjadi kelebihan. Mampu menampilkan seorang politisi

medioker dengan standar biasa-biasa menjadi politisi yang kharismatik dan penuh dedikasi.Iklan politik

mirip dengan reklame produk komersial. Tujuannya adalah membuat citra tokoh yang ditawarkan sebagai

pilihan yang tepat. Bahkan tak jarang masyarakat diberi iming-iming bahwa tokoh yang tampil dalam iklan

mampu ”menyulap” kesengsaraan menjadi kemakmuran dalam sekejap.

Bagi masyarakat pengonsumsi media yang tidak memiliki pertahanan diri yang kokoh, maka di

hadapan media, manusia akan mudah dipaksa tenggelam dalam wacana simulasi, di mana perbedaan

antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’ menjadi sangat tipis. Dengan demikian para

pengelola iklan politik bisa menjelma menjadi ’dewa’ yang layak dipilih menjadi pemegang kekuasaan.

Dan yang paling lemah di hadapan iklan adalah para pemilih pemula atau swing voters. Kelompok pemilih 29 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Preferensi Budaya

Preferensi Sosial

Seleksi Pemahaman

Elektabilitas Parpol

Page 30: Penelitian_kuantitatif_eka

ini belum memiliki pijakan politik cukup kuat sehingga membuka peluang besar untuk dirangkul caleg,

capres maupun partai politik manapun melalui iklan. Hanya memang dalam penelitian, proposisi

sebelumnya perlu dikritisi lebih mendasar. Karena penelitian ini menemukan bahwa para pemilih pemula,

terutama kalangan pelajar, menjadi pemilih yang kritis, selektif dan “rasional” meski faktor budaya tetap

menjadi pertimbangan utama.

30 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 31: Penelitian_kuantitatif_eka

Bagian V

Kesimpulan

Penelitian ini mengamati perilaku pemilih pemula dalam pemilihan umum Parlemen tahun 2009 di

Indonesia. Pemilih pemula di sini adalah pemilih yang baru pertama kalinya menjadi peserta atau warga

negara yang memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Sebagian besar para responden penelitian ini adalah

anak SMU baik negeri maupun swasta di wilayah Jakarta Selatan yang dipilih berdasarkan sekolah secara

acak bertingkat.

Penelitian ini menemukan korelasi yang signifikan antara preferensi budaya, seleksi pemahaman

melalui iklan politik, preferensi sosial dengan elektabilitas partai politik. Hanya tidak mempunyai korelasi

yang signifikan antara preferensi budaya dengan preferensi social serta korelasi antara preferensi social

dengan seleksi pemahaman..

Penelitian ini juga menemukan bahwa kontribusi variabel preferensi budaya, seleksi pemahaman

melalui iklan politik menyumbangkan besaran yang signifikan terhadap elektabilitas partai politik dalam

pemilihan umum. Semakin tinggi besaran korelasi terjadi ketika penelitian ini menghitung korelasi seleksi

pemahaman dengan elektabilitas partai politik. Sedemikian signifikan variabel seleksi pemahaman ini

menempatkan variabel tersebut bisa menjadi faktor penjelas (explanation factors).

Maka, penelitian ini juga mau menyatakan bahwa sebenarnya pemilih pemula di Jakarta dan

berstatus pelajar rupanya mampu menjadi pemilih yang berorientasi individual dan rasional dalam seluruh

proses tindakan politiknya.

DAFTAR PUSTAKA

31 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 32: Penelitian_kuantitatif_eka

Boone, Louis E. & David L. Kurtz, Contemporary Marketing 2005, Thomson, South-Western, 2005

Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi I, PT Prenada Media, Jakarta, 2005

Cartee, Karen S. Johnson and Gary A. Copeland, Strategic Political Communication : Rethinking Social

Influence, Persuasion, and Propaganda, Rowman & Littlefield Publishers.Inc, Lanham, 2004

Firmanzah, Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007

Fisk, Peter, Marketing Genius, Capstone Publishing Limited, England, 2006

Kinnear, Thomas C. & James R Taylor, Riset Pemasaran : Pendekatan Terpadu, edisi ketiga, jilid 1,

Penerbit Erlangga, 1987

Kotler, Philip & Gary Armstrong, Dasar-dasar Pemasaran, jilid 1, Prenhallindo, Jakarta, 1996

Kotler, Philip & Karen FA Fox, Strategic Marketing for Educational Institutions, Prentice Hall, New Jersey,

1995

Mowen, John C & Michael Minor, Perilaku Konsumen, edisi ke lima, jilid 2, Penerbit Erlangga, 2001

Rakhmat, Jalaluddin, M.Sc., Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2001

Simamora, Bilson, Membongkar Kotak hitam Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003

Simamora, Bilson, Riset Pemasaran : falsafah, teori dan aplikasi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

2003

S. Nasution, Metode Research : Penelitian Ilmiah, edisi I, cetakan ke-2, Bina Aksara, Jakarta, 1996

32 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 33: Penelitian_kuantitatif_eka

No Responden

Asal SMU: ..................................

Jenis Kelamin: A. Laki-laki B. Perempuan

Umur: A. 17 – 20 tahun B. Lebih dari 20 tahun

Domisili Sekolah : Jakarta Selatan

No Pernyataan SS S N TS STS

1 Pemilihan umum berhubungan dengan saya sebagai warga negara

2 Pemilihan umum merupakan tempat di mana saya bisa mengekspresikan pandangan politik saya

3 Politik adalah hal yang penting dalam bernegara dan berbangsa

4 Demokrasi merupakan nilai tertinggi dalam sistem politik di Indonesia

5 Politik selalu mempunyai nilai sosial

6 Keikutsertaan saya dalam Pemilu merupakan kewajiban saya sebagai warga negara

7 Keikutsertaan saya dalam Pemilu lebih didasarkan supaya saya diakui sebagai warga negara

8 Saya terlibat aktif dalam dunia politik di lingkungan saya

9 Saya adalah anggota partai politik

10 Saya berpolitik karena saya mengenyam pendidikan

11 Saya ikut serta dalam pemilu karena saya mendapatkan pendidikan politik

12 Pemilu merupakan hasil kesepakatan masyarakat pada umumnya.

13 Konsep pemilu merupakan konsep politik

14 Masing-masing peserta pemilu mempunyai tanda gambar yang jelas

15 partai politik mempunyai warna parpol yang unik dan sangat berbeda satu sama lain.

16 Partai politik yang saya kenal punyai nama yang mudah diingat

17 Saya mempunyai kebanggaan terhadap diri

18 Saya mempunyai kelompok untuk bersosialisasi

33 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 34: Penelitian_kuantitatif_eka

19 Saya mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan politik saya

20 Saya tidak tergantung siapa-siapa dalam menentukan pilihan politik saya.

21 Pilihan partai politik yang saya punyai tergantung pada situasi sosial yang saya alami

22 Saya cenderung untuk bekerja sendiri

23 Saya cenderung untuk bekerja secara berkelompok

24 Saya biasa hidup bersama orang lain

25 Saya nyaman bekerja bersama orang lain.

26 Kedekatan saya dengan orang lain sangat ditentukan oleh kepercayaan saya

27 Saya selalu menjaga jarak ketika bergaul dengan yang lain

28 Saya berpikir berdasarkan norma-norma yang dikeluarkan oleh kelompok sosial saya.

29 Tindakan saya selalu mengacu pada aturan yagn dibuat oleh lingkungan sosial saya.

30 Acuan tindakan saya lebih merupakan ekspresi pribadi

31 Tindakan politik dan sosial saya didasari dari informasi-informasi yang saya terima sebelumnya.

32 Setiap partai mempunyai iklan politiknya masing-masing

33 Iklan politik partai politik ada di televisi

34 Iklan politik televisi biasanya mempunyai pesan yang disampaikan

35 Iklan politik televisi biasanya mempunyai tokoh yang pusat iklan tersebut

36 Iklan memberikan informasi tentang partai politik yang ingin saya ketahui

37 Saya melihat iklan dalam jangka waktu tertentu

38 Saya selalu melihat iklan dengan seksama

39 Pesan iklan politik yang saya lihat merupakan pesan yang baru

40 Pesan iklan politik selalu menarik perhatian saya

41 Masing-masing iklan politik memperlihatkan keunikan masing-masing partai politik atau caleg yang ada.

42 Memperhatikan iklan politik adalah agenda penting saya

34 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h

Page 35: Penelitian_kuantitatif_eka

menjelang pemilu43 Gambar dalam iklan politik membantu pemahaman saya

mengenai partai politik44 saya bisa langsung cepat memahami pesan dalam iklan

politik45 Saya menyeleksi iklan-iklan politik yang ingin saya

pahami.46 Saya lebih memperhatikan iklan politik dari partai politik

yang sudah saya kenal terlebih dahulu47 Saya memilih sebuah partai politik atau caleg karena

persamaan cita-cita atau idealisme saya48 Saya memilih karena kesamaan cara perjuangan yang

selama saya harapkan.49 Saya memilih parpol karena saya telah mengenalnya

lebih dahulu50 Saya memilih parpol karena saya menyukai perjuangan

yang dilakukan parpol atau caleg tersebut51 Saya memilih parpoll karena saya menyukai penampilan

mereka dalam iklan politik yang ada.52 Parpol yang saya pilih adalah parpol yang bisa

menyesuaikan diri dengan saya sebagai pemilihnya53 Parpol yang selama ini saya lihat adalah parpol yagn

memuaskan kinerja54 Saya memilih parpol karena memang partai politik

tersebut mempunyai kemampuan yang memadai55 Saya memilih parpol karena partai tersebut memang

pantas untuk dipilih56 Parpol tersebut pantas dipilih karena profesionalisme

57 Saya memilih parpol karena ada jaminan sosial bahwa pilihan saya tidak akan tersia-siakan

58 Jaminan politik pada parpol merupakan hal yang penting dalam pertimbangan pilihan politik saya.

59 Hak politik saya dijamin dalam seluruh proses politik yang saya lakukan

35 | e k a / m p k - u i - k u a n t i t a t i f / p a t h