34
PENENTUAN ESTRUS MELALUI GAMBARAN SITOLOGI ULAS VAGINA DAN HUBUNGANNYA DENGAN GEJALA KLINIS ESTRUS PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH AZMI FIRMAN BANGKIT B04080111 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

PENENTUAN ESTRUS MELALUI GAMBARAN SITOLOGI ULAS VAGINA … · dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada ... 1 Sel epitel ulas vagina pada anjing 4

Embed Size (px)

Citation preview

PENENTUAN ESTRUS MELALUI GAMBARAN SITOLOGI

ULAS VAGINA DAN HUBUNGANNYA DENGAN GEJALA

KLINIS ESTRUS PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH

AZMI FIRMAN BANGKIT

B04080111

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penentuan Estrus

Melalui Gambaran Sitologi Ulas Vagina dan Hubungannya dengan Gejala Klinis

Estrus pada Kambing Peternakan Etawah adalah benar karya saya dengan arahan

dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada

Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Azmi Firman Bangkit

NIM B04080111

ABSTRAK

AZMI FIRMAN BANGKIT. Penentuan Estrus Melalui Gambaran Sitologi Ulas

Vagina dan Hubungannya dengan Gejala Klinis Estrus pada Kambing Peranakan

Etawah. Di bimbing oleh TUTY LASWARDI YUSUF dan MUCHIDIN

NOORDIN.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan fase estrus kambing

Peranakan etawah (PE) melalui gambaran sitologi ulas vagina dan hubungannya

dengan gejala klinis estrus setelah pemberian prostaglandin dan selama siklus

estrus alamiah. Sebanyak lima belas ekor kambing betina, diberi 7.5 mg

prostaglandin untuk mendapatkan respon sinkronisasi estrus dan onset estrus.

Kambing yang menunjukkan respon estrus akan diamati pada siklus estrus

berikutnya (siklus estrus alamiah). Gambaran sitologi ulas vagina dan

hubungannya dengan gejala klinis estrus diamati ketika terlihat gejala diam

dinaiki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata siklus estrus adalah 19.7

hari (18-23 hari) dengan lama estrus 54 jam (24-72 jam). Respon estrus setelah

pemberian prostaglandin adalah 60% dengan onset estrus 78.6 jam (72-84 jam)

dan lama estrus 44 jam (12-60 jam). Gejala klinis estrus yang ditunjukkan dengan

gejala diam dinaiki dan gejala vulva (kebengkakan dan kemerahan vulva, lendir

vagina) secara umum menunjukkan intensitas sedang (++). Keberadaan sel

superficial dalam jumlah yang besar (45-53%) dan sel parabasal dalam jumlah

yang kecil (5-8%) dapat digunakan untuk menentukan estrus, akan tetapi tidak

dapat digunakan secara tunggal untuk menentukan waktu optimal kawin.

Penentuan waktu optimal kawin sebaiknya dilakukan berdasarkan kombinasi dari

gejala diam dinaiki, gejala klinis estrus, dan gambaran sitologi ulas vagina.

Kata kunci: Siklus estrus, Gejala estrus, Sitologi ulas vagina, Peranakan etawah,

Prostaglandin

ABSTRACT

AZMI FIRMAN BANGKIT. Determination of Estrous Based on Cytologic

Profile of The Vaginal Smear and Its Correlation with Clinical Signs of Estrous in

Etawah Cross Breed Goats. Supervised by TUTY LASWARDI YUSUF and

MUCHIDIN NOORDIN.

The aims of this study was to determine estrous time of Etawah cross

breed (ECB) goats through vaginal cytology profile and its correlation with

clinical signs of estrous following prostaglandin administration and during the

natural estrous cycle. Fifteen does were each administered with 7.5 mg

prostaglandin to get a synchronized estrous response and onset of estrous. The

does showing estrous response were also observed during the next estrous cycle

(natural estrous cycle). Vaginal cytology profile and the correlation with clinical

signs of estrous were observed when standing heat sign were visible. The result

showed that the average estrous cycle was 19.7 days (18-23 days) with the

duration of estrus period was 54 hours (24-72 hours). The response of estrous

after prostaglandin administration was 60% of ECB with the onset of estrus was

78.6 hours (72-84 hours) and the duration of estrus was 44 hours (12-60 hours).

Clinical signs of estrous were standing when ridden and vulva sign (swollen and

redden vulva, vaginal discharge) generally showed moderate intensity (++). The

presence of large number of superficial cells (45-53%) and small number of

parabasal cells (5-8%) could be used to determine of estrous, however, it couldn’t

be used alone to determine of optimal mating time. Determination of optimal

mating time should be based on a combination observation of standing heat sign,

clinical signs of estrus, and vaginal cytologic profile.

Key words: Estrous cycle, Estrous signs, Vaginal cytology, Etawah cross breed,

Prostaglandin

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PENENTUAN ESTRUS MELALUI GAMBARAN SITOLOGI

ULAS VAGINA DAN HUBUNGANNYA DENGAN GEJALA

KLINIS ESTRUS PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH

AZMI FIRMAN BANGKIT

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Judul Skripsi: Penentuan Estrus Melalui Gambaran Sitologi Ulas Vagina dan

Hubungannya dengan Gejala Klinis Estrus pada Kambing

Peranakan Etawah

Nama : Azmi Finnan Bangkit NIM : B04080111

Disetujui oleh

Prof Dr drh Tuty L Yusuf, MS Drh Muchidin Noordin Dosen Pembimbing,J Dosen Pembimbing II

Tanggal Lulus: . -2 -OCT lO t$

Judul Skripsi: Penentuan Estrus Melalui Gambaran Sitologi Ulas Vagina dan

Hubungannya dengan Gejala Klinis Estrus pada Kambing

Peranakan Etawah

Nama : Azmi Firman Bangkit

NIM : B04080111

Disetujui oleh

Prof Dr drh Tuty L Yusuf, MS

Dosen Pembimbing I

Drh Muchidin Noordin

Dosen Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini yang berjudul “Penentuan Fase

Estrus Melalui Gambaran Sitologi Ulas Vagina dan Hubungannya dengan Gejala

Klinis Estrus pada Kambing Peranakan Etawah” berhasil diselesaikan. Penelitian

ini berlangsung dari bulan Mei hingga bulan Agustus 2011 di Peternakan

Kambing Perah Daya Mitra Primata (DMP) Cikarawang Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya dan penghargaan yang mendalam kepada:

1. Ayah dan Ibu tercinta atas do’a, dukungan, kasih sayang, pengertian,

semangat, serta kepercayaannya kepada penulis.

2. Prof Dr drh Tuty L Yusuf, MS sebagai dosen pembimbing pertama

yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga

penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

3. drh Muchidin Noordin sebagai dosen pembimbing kedua yang telah

memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis

mampu menyelesaikan skripsi ini.

4. Prof Dr drh Dondin Sajuthi, MSc, PhD sebagai pemilik Peternakan

Kambing Perah Koperasi Daya Mitra Primata (DMP) Cikarawang

Bogor

5. Dr Drh Hj Umi Cahyaningsih, MS sebagai dosen pembimbing

akademik penulis

6. Prof Dr Dra Iis Arifiantini, MSi yang telah banyak membantu dan

memberikan saran kepada penulis selama penelitian ini berlangsung

7. Teman-teman satu penelitian: Putra, Vivit, dan Oriza

8. Pak Bondan, pak heri dan mas yatna yang telah banyak membantu

selama penelitian

9. Teman-teman Avenzoar terutama penghuni wisma paladium

(Yufiandri, Restroka, dan Kurniawan) yang telah banyak memberikan

bantuan, dukungan dan semangatnya kepada penulis

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu

pengetahuan. Akhirnya, semoga skripsi ini memberikan manfaat baik bagi penulis

maupun bagi pembaca.

Bogor, September 2013

Azmi Firman Bangkit

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Tujuan Penelitian 2 

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Kambing Peranakan Etawah 2

Siklus Estrus dan Gejala Klinis Estrus 2

Sinkronisasi Estrus Menggunakan PGF2α 3

Gambaran Sitologi Ulas Vagina 4

METODE 5 

Waktu dan Tempat 5 

Bahan 5 

Alat 5

Metode Penelitian 5

Estrus Setelah Pemberian PGF2α 6

Estrus alamiah 7

Metode Pengambilan dan Penghitungan Sample Sitologi Ulas Vagina 7

Prosedur Analisis Data 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 

Siklus Estrus Alamiah 8

Siklus Estrus 8

Lama Estrus 9

Gejala Klinis Estrus 9

Gambaran Sitologi Ulas Vagina 11

Siklus Estrus Setelah Pemberian PGF2α 12

Respon Estrus 12

Onset Estrus 12

Lama Estrus 13

Gejala Klinis Estrus 14

Gambaran Sitologi Ulas Vagina 16

SIMPULAN DAN SARAN 16 

Simpulan 18

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 18

RIWAYAT HIDUP 21

DAFTAR TABEL

1 Sel epitel ulas vagina pada anjing 4

2 Panjang siklus estrus alamiah 8

3 Lama estrus pada siklus estrus alamiah sejak diam dinaiki sampai tidak

bersedia dinaiki lagi 9

4 Gejala klinis vulva pada siklus estrus alamiah 10

5 Panjang regangan lendir vagina pada siklus estrus alamiah 10

6 Gambaran sitologi ulas vagina pada siklus estrus alamiah 11

7 Perbandingan komposisi sel epitel vagina saat fase estrus siklus alamiah

dan saat tidak estrus 11

8 Onset estrus pada siklus estrus setelah pemberian PGF2α 12

9 Perbandingan lama estrus antara siklus estrus setelah pemberian PGF2α

dengan siklus estrus alamiah 13

10 Gejala klinis vulva pada siklus estrus setelah pemberian PGF2α 14

11 Perbandingan gejala klinis vulva antara siklus estrus setelah pemberian

PGF2α dengan siklus estrus alamiah 14

12 Perbandingan panjang lendir vagina antara siklus estrus setelah

pemberian PGF2α dengan siklus estrus alamiah 15

13 Gambaran sitologi ulas vagina pada siklus estrus setelah pemberian

PGF2α 16

14 Perbandingan komposisi sel epitel vagina antara siklus estrus setelah

pemberian PGF2α, siklus estrus alamiah, dan saat tidak estrus 16

DAFTAR GAMBAR

1 Kambing peranakan etawah betina 2

2 Skema gambaran perubahan fisiologis selama siklus estrus pada

kambing 3

3 Gambaran perubahan sel epitel ulas vagina anjing pada beberapa fase

siklus estrus 4

4 Alur tahapan penelitian 6

5 Klasifikasi sel epitel vagina 6

6 Pengamatan gejala estrus alami dalam 2 siklus estrus 7

7 Gambaran kemerahan dan kebengkakan vulva kambing PE 15

8 Gambaran lendir vagina kambing PE 15

9 Gambaran perubahan sel epitel ulas vagina kambing PE pada saat tidak

estrus, estrus alamiah, dan estrus setelah pemberian PGF2α 17

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kambing merupakan salah satu jenis hewan yang banyak di ternakan di

Indonesia. Hal ini dikarenakan kambing mempunyai daya adaptasi yang cukup

tinggi terhadap lingkungan, seperti toleran terhadap berbagai macam hijauan

(Mulyono 2003) dan tahan terhadap panas dengan kisaran zona nyaman 18-30 oC

(Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Terdapat beberapa jenis kambing yang

diternakan di Indonesia, salah satunya adalah kambing Peranakan etawah (PE)

yang merupakan jenis kambing lokal penghasil daging dan susu.

Populasi kambing di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 16.95 juta ekor,

hanya meningkat 1.97% dari tahun sebelumnya yang mencapai 16.62 juta ekor.

Peningkatan tersebut termasuk rendah bila dibandingkan dengan ternak kecil

lainnya seperti domba (Ditjennak 2013). Hal ini disebabkan karena sistem

perkembangbiakan kambing yang sebagian besar masih mengandalkan

perkawinan alami. Salah satu upaya yang dapat menjadi alternatif dalam usaha

peningkatan populasi kambing adalah melalui teknologi inseminasi buatan (IB).

Akan tetapi teknologi IB pada kambing di Indonesia masih belum memasyarakat,

dikarenakan sebagian besar sistem peternakan kambing di Indonesia merupakan

peternakan rakyat dengan pola pemeliharaan yang sangat sederhana.

Salah satu yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaan inseminasi

buatan pada kambing adalah dalam hal pengamatan estrus. Kambing mempunyai

gejala estrus yang tidak sejelas ternak lain. Selain itu, waktu optimal kawin pada

kambing belum diteliti dengan baik. Hal tersebut berdampak pada rendahnya

tingkat keberhasilan IB pada kambing yang berkisar 30-60% (Budiarsana dan

Sutama 2001).

Pengamatan estrus pada kambing umumnya hanya dilakukan dengan

mengamati gejala diam dinaiki. Dengan metode tersebut peternak hanya dapat

menentukan status estrus kambing dan tidak dapat menentukan waktu optimal

kawin. Oleh karena itu dibutuhkan metode-metode lain yang dapat digunakan

sebagai penguat dalam pengamatan estrus. Salah satunya adalah dengan

memanfaatkan gejala klinis estrus selain gejala diam dinaiki, seperti kemerahan

vulva, kebengkakan vulva, dan keberadaan lendir vagina.

Metode lainnya yang juga dapat dimanfaatkan adalah gambaran sitologi

ulas vagina. Metode tersebut telah diaplikasikan pada anjing dan hasilnya dapat

mendeteksi estrus sampai dengan 90% (Reddy et al. 2011). Selain itu metode

tersebut juga pernah diaplikasikan pada kancil dan hasilnya dapat mendeteksi

estrus sampai dengan 86% (Najamudin et al. 2010). Pada prinsipnya metode

tersebut memanfaatkan perubahan komposisi sel epitel vagina yang terjadi akibat

perubahan hormonal selama siklus estrus. Dengan melihat hubungan antara

gambaran sitologi ulas vagina dan gejala klinis estrus, diharapkan dapat

menentukan waktu optimal kawin dan juga dapat meningkatan potensi

keberhasilan kawin pada kambing Peranakan etawah (PE). Jika potensi

keberhasilan kawin sudah meningkat, maka hal tersebut dapat memberikan

dampak positif terhadap usaha peningkatan populasi kambing.

2

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan fase estrus melalui gambaran

sitologi ulas vagina dan hubungannya dengan gejala klinis estrus pada siklus

estrus alamiah dan pada siklus estrus setelah pemberian PGF2α.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini ialah penentuan waktu optimal kawin pada

kambing Peranakan etawah dapat dilakukan dengan lebih tepat.

TINJAUAN PUSTAKA

Kambing Peranakan Etawah

Kambing Peranakan etawah (PE) merupakan hasil persilangan antara

kambing Jamnapari (Etawah) dengan kambing kacang. Kambing PE memiliki

ciri-ciri bertubuh besar, kedua telinga panjang dan menggantung dengan kisaran

18-30 cm, hidungnya melengkung cembung, dan khusus kambing jantan

mempunyai jenggot dengan rahang bawah menonjol. Bobot kambing jantan

dewasa mempunyai kisaran 35-50 kg, sedangkan bobot kambing betina dewasa

kisarannya 30-35 kg (Sarwono 2011).

Siklus Estrus dan Gejala Klinis Estrus

Rata-rata panjang siklus estrus kambing menurut Fatet et al. (2010) adalah

20-21 hari dengan lama estrus 24-48 jam, sedangkan menurut Gimenez dan

Rodning (2007) adalah 18-22 hari dengan lama estrus 24-48 jam. Menurut

Mulyono (2003) siklus estrus kambing adalah 20-21 hari. Gejala klinis estrus

Gambar 1 Kambing Peranakan etawah betina

3

kambing, diantaranya betina akan mencari-cari pejantan (Meredith 1995), gelisah,

sering bersuara dengan volume keras, mengibas-ngibaskan ekor secara konstan,

vulva bengkak dan kemerahan, area di sekitar ekor terlihat basah dan kotor, nafsu

makan berkurang, dan frekuensi urinasi meningkat (Luginbuhl 2002). Pada saat

estrus, cervix dan uterus akan mensekresikan lendir yang berfungsi untuk

mengontrol dan mempercepat proses migrasi sperma (Fatet et al. 2010). Menurut

Smith dan Sherman (2009) lendir tersebut akan berubah menjadi semakin kental

dan berwarna putih menjelang akhir etrus.

Sinkronisasi Estrus Menggunakan PGF2α

Prinsip dasar sinkronisasi estrus dengan menggunakan hormon PGF2α

adalah melisiskan corpus luteum (CL) dengan daya kerja preparat luteolitik. Hal

tersebut menyebabkan siklus estrus akan dipercepat, sehingga estrus dapat

berlangsung secara serentak. PGF2α secara alami dihasilkan oleh uterus, bekerja

dengan mempengaruhi bagian lateral ovary dan menyebabkan kemunduran fungsi

luteal, mempersempit vena utero-ovari, mengurangi aliran darah pada ovary, dan

pada akhirnya akan menyebabkan luteolisis (Ganong 1999). Hormon PGF2α yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Noroprost 0.5% w/v dengan zat aktif

dinoprost 0.5% w/v dan phenol 0.25% w/v sebagai antimicrobial preservatif.

Setiap ml produk tersebut, mengandung 5 mg (0.5% w/v) dinoprost. Noroprost

biasanya digunakan untuk sinkronisasi estrus, menginduksi kelahiran, sinkronisasi

pada sapi resipien untuk transplantasi embrio, menginduksi aborsi, mengobati sapi

dengan corpus luteum persisten (CLP), mengobati metritis kronis dan pyometra,

mengobati kista ovarium luteal (Norbrook 2010).

Gambar 2 Skema gambaran perubahan fisiologis selama siklus estrus pada

kambing: pola perkembangan folikel, siklus ovarium dan

pengaturan endokrin (Fatet et al. 2010)

Folikel Ovulatory

4

Tabel 1 Klasifikasi sel epitel vagina anjing beserta ciri-cirinya

Gambaran Sitologi Ulas Vagina

Pada penelitian ini digunakan gambaran sitologi ulas vagina anjing

sebagai contoh. Hal ini dikarenakan anjing mempunyai gambaran sitologi ulas

vagina yang jelas dan khas pada masing-masing fase siklus estrus. Secara umum

sel epitel vagina anjing dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe sel, yaitu sel

parabasal, sel intermediet, dan sel superfisial (Tabel 1).

Jenis Sel Epitel Ciri-ciri

Parabasal Sel paling kecil, bulat, inti besar dan jelas,

umumnya bergerombol saling berdekatan

Intermediet

Awal Diameter lebih besar dari parabasal, bentuk

bulat atau oval, inti mencolok besar

Akhir Diameter lebih besar dari parabasal, bentuk

polygonal, inti lebih kecil

Superficial

Piknotik Sel paling besar, bentuk polygonal, inti

sangat kecil

Anucleus/ kornifikasi Sel paling besar, bentuk polygonal, tanpa inti

Gambar 3 Gambaran perubahan sel epitel ulas vagina anjing pada fase

(A) proestrus, (B) estrus, (C) diestrus dan (D) anestrus.

(a) sel parabasal, (b) sel intermediet, (c) sel superficial dan

(d) sel kornifikasi (Bowen 2006)

A B

b

c

c d

C D

b a

b

a

Sumber : Beimborn et al. (2003)

5

Berikut gambaran sitologi ulas vagina anjing pada masing-masing fase

siklus estrus (Bowen 2006):

Fase proestrus: komposisi sel didominasi oleh sel intermediet dan sel

superficial. Pada akhir fase proestrus sel superfisial mulai mendominasi.

Fase estrus: komposisi sel terdiri dari 90% sel superficial dan kornifikasi, 5%

sel intermediet, dan sisanya sel epitel lain.

Fase diestrus: Pada fase ini sel superficial menurun menjadi 20% dan sel

intermediet kecil meningkat.

Fase anestrus: Sel parabasal dan intermediet dominan selama fase anestrus,

sedangkan sel superficial tidak ditemukan pada periode ini.

METODE

Waktu dan Tempat

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei hingga bulan Agustus

tahun 2011 yang bertempat di Peternakan Kambing Perah Koperasi Daya Mitra

Primata Cikarang Bogor dan di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) Fakultas

Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Hewan coba yang digunakan adalah jenis kambing Peranakan etawah (PE)

betina sebanyak 15 ekor, dengan kriteria sehat, berumur 2-3 tahun, bersiklus

estrus normal dan tidak sedang dalam keadaan bunting. Bahan lain yang

digunakan dalam penelitian ini adalah hormon PGF2α (Noroprost® 0.5% w/v),

alkohol 70%, pewarna giemsa (pengenceran 1:20), dan KY jelly.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain apron, vaginal swab,

spekulum, gelas objek, mikroskop, dan alat penghitung.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan 15 ekor kambing betina yang

disinkronisasi dengan PGF2α untuk mendapatkan respon estrus sebagai awal

penelitian. Kambing yang menunjukkan respon estrus akan diamati kembali pada

siklus estrus berikutnya yang merupakan siklus estrus alamiah sebanyak dua kali

siklus. Parameter yang diamati dibedakan pada siklus estrus setelah pemberian

PGF2α dan siklus estrus alamiah (Gambar 4).

6

Estrus Setelah Pemberian PGF2α

Sinkronisasi estrus dilakukan pada 15 ekor kambing secara intramuskular

dengan menggunakan hormon PGF2 sebanyak 1.5 ml per ekor dengan jumlah

kandungan zat aktif dinoprost 7.5 mg (0.5% w/v). Pengamatan gejala estrus

dimulai keesokan harinya dan dilakukan dua kali sehari pada pukul 06.00-07.00

dan 17.00-18.00 selama 5 hari. Awal estrus ditentukan saat pertama kali terlihat

gejala diam dinaiki.

Kambing yang menunjukkan respon estrus akan diamati dengan kriteria

penilaian gejala-gejala estrus yang diklasifikasikan dalam :

Kemerahan vulva : + (agak merah)/ ++ (merah)/ +++ (sangat merah)

Kebengkakan vulva : + (agak bengkak)/ ++ (bengkak)/ +++ (sangat bengkak)

Konsistensi lendir : panjang regangan (cm)

Sitologi ulas vagina : berdasarkan perubahan komposisi sel epitel vagina

selama pengamatan gejala estrus, dengan klasifikasi sel epitel sebagai berikut:

Keterangan :

a. Sel Parabasal (PB) c. Sel Superficial (S)

b. Sel Intermediet (IM) d. Sel Kornifikasi (C)

a b c d

Gambar 5 Klasifikasi sel epitel vagina

Gambar 4 Alur Tahapan Penelitian

7

Kriteria penentuan fase siklus estrus pada gambaran sitologi ulas vagina adalah

sebagai berikut:

Fase proestrus : adanya sel intermediet dan sel superficial

Fase estrus : peningkatan sel superficial dan adanya sel kornifikasi

Fase diestrus : adanya sel intermediet dan sel parabasal

Kambing yang tidak menunjukkan respon estrus hanya akan dilakukan

pengambilan sampel sitologi ulas vagina sebanyak satu sampel tiap ekor dan akan

digunakan sebagai kontrol.

Estrus Alamiah

Pengambilan data siklus estrus alamiah dilakukan pada betina yang

menunjukkan respon estrus kedua setelah pemberian PGF2α. Pengamatan gejala

diam dinaiki dimulai pada fase proestrus (hari ke 19 setelah awal estrus) dan

dilakukan dua kali sehari (pukul 06.00-07.00 dan 17.00-18.00). Pengambilan data

(gejala klinis estrus dan sitologi ulas vagina) dilakukan pada pukul 06.00-07.00

dan 17.00-18.00, dimulai setelah terlihat gejala diam dinaiki (jam ke 0) dan

dibatasi sampai 72 jam. (Gambar 5).

Kambing yang menunjukkan respon estrus akan diamati dengan kriteria

penilaian gejala-gejala estrus yang diklasifikasikan dalam :

Kemerahan vulva : + (agak merah)/ ++ (merah)/ +++ (sangat merah)

Kebengkakan vulva : + (agak bengkak)/ ++ (bengkak)/ +++ (sangat bengkak)

Konsistensi lendir : panjang regangan (cm)

Sitologi ulas vagina : berdasarkan perubahan komposisi sel epitel vagina

selama pengamatan gejala estrus dengan klasifikasi sel epitel dan kriteria

penentuan fase siklus estrus sama dengan siklus estrus setelah pemberian

PGF2α.

Metode Pengambilan dan Penghitungan Sample Sitologi Ulas Vagina

Pengambilan sampel sitologi ulas vagina pada betina estrus dimulai sejak

pertama kali terlihat gejala diam dinaiki dengan menggunakan vaginal swab yang

dimasukkan ke dalam vulva. Dari hasil tersebut dibuat preparat ulas dengan cara

mengusap vaginal swab secara rolling pada gelas objek. Kemudian preparat ulas

dicelupkan ke dalam larutan giemsa 1:20 selama 3 menit. Setelah itu preparat

tersebut dikeringkan. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop dengan

perbesaran 40x. Penghitungan dilakukan sebanyak 100 sel pada setiap sediaan

yang diamati.

Gambar 6 Pengamatan gejala estrus alami dalam 2 siklus estrus

8

Prosedur Analisis Data

Data gejala klinis estrus dan sitologi ulas vagina dianalisa dengan metode

deskriptif untuk menentukan fase estrus. Selanjutnya untuk melihat perbandingan

komposisi sel epitel vagina antara siklus estrus alamiah, siklus estrus setelah

pemberian PGF2α, dan saat tidak estrus dilakukan uji sample dengan

menggunakan uji t.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Siklus Estrus Alamiah

Parameter yang diamati pada siklus estrus alamiah meliputi siklus estrus,

lama estrus, gejala klinis estrus, dan gambaran sitologi ulas vagina. Pengamatan

dilakukan pada 9 ekor kambing selama dua kali siklus. Hasil pengamatan

menunjukkan 2 ekor kambing (22%) mengalami dua kali siklus estrus, 5 ekor

kambing (56%) mengalami satu kali siklus estrus, dan 2 ekor kambing lainnya

(22%) tidak terlihat gejala diam dinaiki selama pengamatan. Total terdapat 9

siklus estrus dengan 16 kejadian estrus yang teramati selama masa pengamatan

siklus estrus alamiah.

Siklus Estrus

Dari 9 siklus estrus yang teramati pada penelitian ini rata-rata berlangsung

selama 19,7 hari dengan kisaran 18-23 hari. Kisaran tersebut hanya diambil dari

11 kejadian estrus. Hal ini dikarenakan 5 kejadian estrus lainnya menunjukkan

siklus estrus yang lebih dari 36 hari (Tabel 2).

Tabel 2 Panjang siklus estrus alamiah

Panjang Siklus Estrus

(Hari)

Jumlah Kejadian Estrus

[Ekor(%)]

18-19 7 (44)

20-21 1 (6)

22-23 3 (19)

>36 5 (31)

Jumlah Kejadian Estrus [Ekor(%)] 16 (100)

Secara umum hasil penelitian ini hampir sama dengan panjang siklus

estrus kambing PE yang dikemukakan oleh Sutama (2011) yaitu 20 hari dengan

kisaran 18-22 hari. Sementara itu, Sarwono (2011) juga mengemukakan hal yang

serupa akan tetapi dengan kisaran yang berbeda yaitu 14-21 hari. Perbedaan

tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya perbedaan ras,

pengelolaan reproduksi (Tambing et al. 2001), dan faktor lingkungan seperti

nutrisi (Fatet et al. 2010).

Pada siklus estrus yang menunjukan lebih dari 36 hari, diperkirakan

terdapat satu siklus estrus yang tidak jelas, yaitu ketika kambing tidak

9

memperlihatkan gejala diam dinaiki. Menurut Sutama et al. (1988), hal tersebut

dapat disebabkan karena hormon progesteron yang tidak cukup tinggi untuk

menstimulasi sekresi hormon FSH dan LH yang berperan dalam perkembangan

folikel, sehingga menyebabkan sekresi hormon estrogen yang diperlukan untuk

mengekspresikan estrus menjadi berkurang. Salah satu solusi untuk mengatasi

masalah tersebut adalah dengan memperbaiki manajemen perkawinan, contohnya

dengan menempatkan pejantan pada kelompok betina selama dua kali siklus

estrus (40 hari) (Sutama 2011).

Lama Estrus

Lama estrus kambing pada penelitian ini dihitung sejak pertama kali

terlihat gejala diam dinaiki hingga tidak bersedia dinaiki lagi. Hasil pengamatan

lama estrus pada siklus estrus alamiah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Lama estrus pada siklus estrus alamiah sejak diam dinaiki sampai tidak

bersedia dinaiki lagi

Lama Estrus

(Jam)

Jumlah Kejadian Estrus

[Ekor(%)]

24 1 (6.2)

36 2 (12.5)

48 6 (37.5)

60 2 (12.5)

72 5 (31.3)

Jumlah Kejadian Estrus [Ekor(%)] 16 (100)

Secara umum kambing pada penelitian ini menunjukkan lama estrus 54

jam dengan kisaran 24-72 jam. Kisaran tersebut lebih panjang dibandingkan

dengan hasil yang dikemukakan oleh Tambing et al. (2001) pada kambing PE

dengan kisaran 25-40 jam dan Gimenez dan Rodning (2007) dengan kisaran 24-48

jam. Perbedaan tersebut diperkirakan karena pengaruh dari variasi bangsa dan

umur (Syafruddin et al. 2010).

Selain itu, keseimbangan hormonal terutama hormon estrogen juga dapat

mempengaruhi lama estrus (Sutama 2011). Hormon estrogen diketahui

mempunyai fungsi untuk manifestasi gejala estrus (Hafez et al. 2000). Turun

naiknya kadar hormon estrogen pada tiap individu tidak selalu sama, karena tiap

individu mempunyai ritme sendiri dalam pengeluaran hormon (Yusuf 1990). Hal

ini yang menyebabkan adanya variasi lama estrus pada tiap individu.

Gejala Klinis Estrus

Gejala klinis estrus yang diamati pada penelitian ini selain gejala diam

dinaiki adalah kemerahan vulva, kebengkakan vulva, dan adanya lendir vagina.

Sebagian besar kambing pada penelitian ini menunjukkan gejala kemerahan dan

kebengkakan vulva yang sedang (++) dengan persentase 62.5% (10 ekor) untuk

kemerahan vulva dan 75% (12 ekor) untuk kebengkakan vulva. (Tabel 4). Dari

hasil tersebut terlihat bahwa gejala kemerahan dan kebengkakan vulva

menunjukkan dominasi intensitas yang sama, sehingga dapat dikatakan bahwa

kedua gejala estrus tersebut sejalan.

10

Tabel 4 Gejala klinis vulva pada siklus estrus alamiah

Diam

Dinaiki

(Jam)

Jumlah

(Ekor)

Kemerahan

(Ekor)

Kebengkakan

(Ekor)

+ ++ +++ + ++ +++

12-24 1 0 1 0 0 1 0

>24-48 8 3 4 1 0 7 1

>48-72 7 2 5 0 1 4 2

Jumlah

(Ekor) 16 5 10 1 1 12 3

Persentase

(%) 31.3 62.5 6.2 6.2 75 18.8

Semua kambing yang memperlihatkan gejala estrus pada penelitian ini

menunjukkan lendir berahi yang tidak mengalir keluar seperti pada sapi. Secara

umum lendir vagina yang didapat mempunyai konsistensi rendah (1-3.9 cm)

sampai sedang (4-5.9 cm), dengan persentase terbanyak (56%) berada pada

konsistensi rendah (1-3.9 cm) (Tabel 5). Jika hasil tersebut dibandingkan dengan

gejala klinis vulva maka terlihat adanya perbedaan dominasi intensitas gejala

estrus yang muncul, sehingga dapat dikatakan bahwa lendir vagina pada penelitian

ini tidak sejalan dengan gejala klinis vulva.

Tabel 5 Panjang regangan lendir vagina pada siklus estrus alamiah

Panjang Regangan Lendir

(cm)

Jumlah Kejadian Estrus

[Ekor(%)]

1-3.9

(Rendah) 9 (56)

4-5.9

(Sedang) 6 (38)

6-8

(Tinggi) 1 (6)

Jumlah Kejadian Estrus [Ekor(%)] 16 (100)

Widiyono et al (2011) menyatakan bahwa pada saat fase estrus (hari 1-2

estrus) secara umum kambing memperlihatkan gejala klinis estrus dengan

intensitas tinggi (+++), yang ditunjukkan dengan adanya lendir vagina yang

bersifat bening dan viscous, vulva yang membengkak dan berwarna kemerahan.

Temuan tersebut berbeda dengan hasil penelitian ini yang sebagian besar justru

menunjukkan gejala klinis estrus dengan intensitas sedang. Hanya 6.2% kambing

yang menunjukkan intensitas kemerahan vulva tinggi (+++), 18.8% kambing yng

menunjukkan intensitas kebengkakan vulva tinggi (+++), dan 1% kambing yang

menunjukkan konsistensi lendir vagina tinggi (+++). Tidak tingginya gejala klinis

estrus yang muncul tersebut dapat menyulitkan dalam pengamatan estrus.

Adanya perbedaan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh mekanisme

hormonal terutama hormon estrogen yang cenderung mengalami peningkatan

pada saat fase estrus (Widiyono et al. 2011). Hal tersebut akan merangsang

penebalan dinding vagina, peningkatan vaskularisasi yang menyebabkan alat

kelamin bagian luar mengalami pembengkakan dan berwarna kemerahan, dan

akan meningkatkan sekresi lendir vagina (Frandson et al.2003).

11

Gambaran Sitologi Ulas Vagina

Gambaran sitologi ulas vagina kambing pada siklus estrus alamiah secara

keseluruhan tidak menunjukkan gambaran yang khas sebagai penentu waktu

optimal kawin. Pada saat pertama kali terlihat gejala diam dinaiki komposisi sel

epitel vagina didominasi oleh sel intermediet (50%), sel superficial (32%), dan sel

kornifikasi (16%). Selanjutnya pada 12-60 jam pengamatan, komposisi sel

tersebut secara gradual mengalami pergeseran. Setelah 60 jam pengamatan,

pergeseran komposisi sel tersebut masih terjadi, ditunjukkan dengan peningkatan

sel parabasal menjadi 18% dan penurunan sel kornifikasi menjadi 10% (Tabel 6).

Pada saat tersebut diperkirakan kambing mulai memasuki akhir dari fase estrus,

meskipun beberapa kambing yang mempunyai lama estrus panjang masih

memperlihatkan sel kornifikasi yang tinggi. Secara umum komposisi sel epitel

vagina kambing estrus pada penelitian ini didominasi oleh sel superficial (sel

superficial + sel kornifikasi) (45%) dan sel intermediet (47%). Hasil tersebut

hampir sama dengan temuan Widiyono et al. (2011) pada kambing Bligon estrus

yang juga menunjukkan adanya dominasi sel intermediet (46.75%) dan sel

superficial (25.50%).

Tabel 6 Gambaran sitologi ulas vagina pada fase estrus alamiah

Jam Estrus Jenis Sel Epitel Vagina (%)

PB IM S C

0 (DD) 3 50 32 16

12 5 48 30 18

24 6 47 28 19

36 9 54 21 17

48 9 45 27 19

60 18 42 29 10

Rata-rata (%) 8 47 28 17

Keterangan :

DD = Pertama kali terlihat gejala diam dinaiki

Tabel 7 Perbandingan komposisi sel epitel vagina saat fase estrus siklus alamiah

dan saat tidak estrus

Jenis Sel Epitel Vagina Estrus Alamiah (%) Tidak Estrus (%)

Parabasal 8 40

Intermediet 47 48

Superficial + Kornifikasi 45 12

Jumlah (%) 100 100

Hasil pengamatan gambaran sitologi ulas vagina kambing pada saat tidak

estrus menunjukkan komposisi sel yang didominasi oleh sel parabasal (40%) dan

sel intermediet (48%). Jika komposisi sel tersebut dibandingkan dengan

komposisi sel pada saat estrus maka terlihat bahwa persentase sel parabasal pada

saat tidak estrus lebih besar dibandingkan saat fase estrus, dan persentase sel

12

superficial (sel superficial + sel kornifikasi) pada saat estrus lebih besar

dibandingkan saat tidak estrus (Tabel 7). Dari hasil tersebut terlihat jelas adanya

perbedaan komposisi sel epitel vagina kambing pada saat estrus dan saat tidak

estrus.

Meskipun demikian secara umum hasil penelitian ini tidak menunjukkan

komposisi sel epitel vagina yang khas dan jelas seperti pada anjing. Pada saat fase

estrus, komposisi sel epitel vagina anjing hanya didominasi oleh sel superficial

(89.94%) (Reddy et al. 2011), sedangkan pada komposisi sel epitel vagina

kambing tidak hanya didominasi oleh sel superficial (45%), tapi juga oleh sel

intermediet (47%). Keberadaan sel intermediet yang tinggi tersebut tidak hanya

ditemukan pada saat fase estrus, tapi juga pada saat tidak estrus. Hal tersebut

dapat menyulitkan dalam penentuan fase estrus, karena tidak memperlihatkan

gambaran yang khas. Zakiyya (2004) menyatakan bahwa gambaran sel epitel ulas

vagina pada kambing PE yang tidak mendapat perlakuan hormonal (siklus estrus

alamiah) memiliki komposisi sel epitel yang hampir sama pada fase yang berbeda,

sehingga sulit dalam menentukan fasenya.

Siklus Estrus Setelah Pemberian PGF2α

Respon estrus

Dari 15 ekor kambing yang diberi PGF2α sebanyak satu kali, hanya 9 ekor

kambing (60%) yang menunjukkan gejala diam dinaiki, lebih rendah

dibandingkan kambing yang diberi PGF2α sebanyak dua kali yang dapat

menghasilkan 100% estrus (Siregar et al. 2001). Rendahnya tingkat keberhasilan

tersebut diperkirakan karena tidak semua kambing mempunyai CL yang matang

saat pemberian PGF2α. Seperti diketahui PGF2α hanya efektif dalam melisiskan

CL matang yang terdapat pada fase luteal dan tidak akan berpengaruh terhadap

CL yang sedang tumbuh (Partodihardjo 1995). Keefektifan tersebut dikarenakan

pada CL yang matang telah terdapat reseptor yang akan membentuk ikatan dengan

hormon PGF2α sehingga fungsi luteolisis dari hormon tersebut dapat terjadi

(Wildeus 2000). Berdasarkan hal tersebut maka dapat diperkirakan bahwa

kambing yang menunjukkan respon estrus pada penelitian ini merupakan kambing

yang berada pada fase luteal, sedangkan kambing yang tidak menunjukkan respon

estrus diperkirakan tidak berada pada fase luteal.

Onset estrus

Onset estrus merupakan selang waktu antara pemberian PGF2α sampai

pertama kali terlihat gejala diam dinaiki. Hasil pengamatan onset estrus pada

kambing PE setelah pemberian PGF2α dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Onset estrus pada siklus estrus setelah pemberian PGF2α

Onset Estrus

(Jam)

Jumlah Hewan

[Ekor(%)]

72 4 (44%)

84 5 (56%)

Jumlah [Ekor(%)] 9 (100%)

13

Secara umum kambing pada penelitian ini memiliki onset estrus 78.6 jam

dengan kisaran 72-84 jam. Hasil tersebut lebih pendek dibandingkan dengan

temuan Ismail (2009) pada kambing lokal dengan onset estrus 70.06-110.10 jam

dan Leigh et al. (2010) pada kambing West African Dwarf (WAD) dengan onset

estrus 72-120 jam. Perbedaan tersebut diperkirakan karena adanya perbedaan ras

hewan yang digunakan, karena menurut Tambing et al. (2001) ras hewan dapat

mempengaruhi perbedaan onset estrus. Selain itu perbedaan onset estrus juga

dapat disebabkan oleh beberapa faktor lain, diantaranya, umur hewan (Ismail

2009), lokasi penyuntikan hormon (Siregar et al. 2010), pola manajemen dan

pemberian pakan (Yusuf 1990).

Lama estrus

Lama estrus dihitung sejak pertama kali terlihat gejala diam dinaiki hingga

tidak bersedia dinaiki lagi. Hasil pengamatan lama estrus pada kambing PE

setelah pemberian PGF2α dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Perbandingan lama estrus antara siklus estrus setelah pemberian PGF2α

dengan siklus estrus alamiah

Lama Estrus

(Jam)

Jumlah Hewan

Siklus Estrus Hasil PGF2α

[Ekor(%)]

Siklus Estrus Alamiah

[Ekor(%)]

12 1 (11) 0 (0)

24 0 (0) 1 (6.2)

36 2 (22) 2 (12.5)

48 4 (45) 6 (37.5)

60 2 (22) 2 (12.5)

72 0 (0) 5 (31.3)

Jumlah 9 (100) 16 (100)

Secara umum kambing pada penelitian ini memiliki lama estrus 44 jam

dengan kisaran 12-60 jam, lebih pendek dibandingkan siklus estrus alamiah yang

menunjukkan lama estrus 54 jam dengan kisaran 24-72 jam. Hal ini diperkirakan

karena pengaruh dari pemberian PGF2α yang menyebabkan lama estrus pada

penelitian ini menjadi lebih seragam dan mempunyai rentang kisaran yang pendek.

Sedangkan kambing pada siklus estrus alamiah tidak diberi PGF2α, sehingga

menghasilkan lama estrus dengan variasi yang lebih tinggi dan rentang kisaran

yang lebih panjang.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan lama estrus yang lebih pendek

dibandingkan dengan hasil penelitian ini, seperti temuan Siregar et al. (2010) pada

kambing lokal dengan rata-rata lama estrus 26.67±4.62 jam dan Tambing et al.

(2001) pada kambing PE dengan kisaran lama estrus 25-40 jam. Perbedaan

tersebut diperkirakan karena pengaruh dari variasi bangsa dan umur (Syafruddin

et al. 2010). Selain itu gelombang pertumbuhan folikel juga dapat mempengaruhi

lama estrus. Diperkirakan semakin banyak folikel yang berkembang maka

semakin banyak pula estrogen yang dihasilkan, sehingga dimungkinkan estrus

yang terjadi juga akan semakin lama. Akan tetapi, sampai saat ini gelombang

pertumbuhan folikel pada kambing dalam satu siklus estrus belum diketahui

14

dengan pasti, sehingga aplikasi parameter tersebut belum bisa digunakan pada

kambing (Tambing et al. 2001).

Gejala klinis estrus

Sebagian besar kambing pada penelitian ini menunjukkan gejala

kemerahan dan kebengkakan vulva yang sedang (++) dengan persentase 100%

untuk kemerahan vulva dan 89% untuk kebengkakan vulva (Tabel 10). Dari hasil

tersebut terlihat bahwa gejala kemerahan vulva dan kebengkakan vulva

menunjukkan dominasi intensitas yang sama, sehingga dapat dikatakan bahwa

kedua gejala estrus tersebut sejalan. Jika hasil tersebut dibandingkan dengan hasil

pada siklus estrus alamiah maka terlihat adanya kesamaan dominasi intensitas

yang muncul yaitu intensitas sedang (++) (Tabel 11). Akan tetapi jika dilihat dari

persentasenya, terlihat bahwa hasil penelitian ini mempunyai persentase yang

lebih tinggi dari pada hasil pada siklus estrus alamiah. Hal ini menunjukkan

adanya peningkatan keseragaman gejala klinis vulva setelah kambing diberi

PGF2α.

Tabel 10 Gejala klinis vulva pada siklus estrus setelah pemberian PGF2α

Diam

Dinaiki

(Jam)

Jumlah

(Ekor)

Kemerahan

(Ekor)

Kebengkakan

(Ekor)

+ ++ +++ + ++ +++

12-24 1 0 1 0 0 0 1

>24-48 6 0 6 0 0 6 0

>48-72 2 0 2 0 0 2 0

Jumlah

(Ekor) 9

0 9 0 0 8 1

Persentase

(%)

0 100 0 0 89 11

Tabel 11 Perbandingan gejala klinis vulva antara siklus estrus setelah pemberian

PGF2α dengan siklus estrus alamiah

Kemerahan (%) Kebengkakan (%)

+ ++ +++ + ++ +++

Siklus estrus hasil PGF2α 0 100 0 0 89 11

Siklus estrus alami 31.3 62.5 6.2 6.2 75 18.8

Semua kambing pada penelitian ini menunjukkan keberadaan lendir

vagina yang tidak mengalir keluar seperti pada sapi. Hasil yang didapat

menunjukkan bahwa sebagian besar kambing (67%) mempunyai lendir vagina

dengan konsistensi tinggi (6-8 cm) (Tabel 11). Hasil tersebut berbeda dengan hasil

pada siklus estrus alamiah yang sebagian besar menunjukkan konsistensi rendah

(1-3.9 cm) sampai sedang (4-5.9 cm). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan

konsistensi lendir vagina setelah kambing diberi PGF2α. Meskipun demikian, jika

hasil tersebut dibandingkan dengan gejala klinis vulva maka terlihat adanya

perbedaan dominasi intensitas gejala estrus yang muncul, sehingga dapat

dikatakan bahwa lendir vagina pada penelitian ini tidak sejalan dengan gejala

klinis vulva.

15

Tabel 12 Perbandingan panjang lendir vagina antara siklus estrus setelah

pemberian PGF2α dengan siklus estrus alamiah

Panjang Lendir

(cm)

Siklus estrus hasil PGF2α

[Ekor(%)]

Siklus estrus alamiah

[Ekor(%)]

1-3,9

(Rendah)

1 (11) 9 (56)

4-5,9

(Sedang)

2 (22) 6 (38)

6-8

(Tinggi)

6 (67) 1 (6)

Jumlah 9 (100) 16 (100)

Ismail (2009) menyatakan bahwa secara umum kambing yang diberi

PGF2α memperlihatkan gejala klinis estrus dengan intensitas yang tinggi (+++).

Temuan tersebut berbeda dengn hasil penelitian ini yang sebagian besar

menunjukkan gejala klinis estrus dengan intensitas sedang (++), hanya lendir

vagina yang menunjukkan intensitas tinggi (+++). Hal ini menunjukkan bahwa

pemberian PGF2α sebanyak satu kali hanya dapat meningkatkan intensitas lendir

Gambar 7 Gambaran kemerahan dan kebengkakan vulva kambing PE

pada saat estrus

Gambar 8 Gambaran lendir vagina kambing PE pada saat estrus

16

vagina, sedangkan pada intensitas gejala klinis vulva tidak begitu berpengaruh.

Meskipun demikian, dari semua hasil gejala klinis estrus yang didapat terlihat

hanya gejala klinis vulva yang menunjukkan hasil yang sejalan baik pada siklus

estrus alamiah maupun pada siklus estrus setelah pemberian PGF2α. Berdasarkan

hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa gejala klinis vulva yang muncul pada

penelitian ini sejalan dengan gejala diam dinaiki.

Gambaran Sitologi Ulas Vagina

Gambaran sitologi ulas vagina kambing setelah pemberian PGF2α secara

keseluruhan tidak menunjukkan gambaran yang khas sebagai penentu waktu

optimal kawin. Pada saat pertama kali terlihat gejala diam dinaiki, komposisi sel

epitel vagina didominasi oleh sel intermediet (34%), sel superficial (36%), dan sel

kornifikasi (29%). Selanjutnya pada 12-48 jam pengamatan, komposisi sel

tersebut secara gradual mengalami pergeseran. Setelah 48 jam pengamatan

pergeseran tersebut masih terjadi, ditunjukkan dengan peningkatan sel parabasal

menjadi 11% dan penurunan sel kornifikasi menjadi 12%. Secara keseluruhan

komposisi sel epitel vagina pada penelitian ini didominasi oleh sel superficial (sel

superficial + sel kornifikasi) (53%) dan sel intermediet (42%) (Tabel 13).

Tabel 13 Gambaran sitologi ulas vagina pada fase estrus setelah pemberian

PGF2α

Jam estrus Jenis Sel Epitel Vagina (%)

PB IM S C

0 (DD) 1 34 36 29

12 1 41 31 27

24 5 42 28 25

36 8 44 31 17

48 11 49 28 12

Rata-rata 5 42 31 22

Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan hasil

pada siklus estrus alamiah, dibuktikan dengan hasil uji statistik yang

menunjukkan bahwa kedua hasil tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) (Tabel 14).

Meskipun demikian terdapat sedikit perbedaan antara hasil penelitian ini dengan

hasil pada siklus estrus alamiah, yaitu persentase sel superficial pada penelitian ini

sedikit lebih tinggi (53%) dibandingkan dengan hasil pada siklus estrus alamiah

(45%). Hal tersebut diperkirakan merupakan pengaruh dari pemberian PGF2α.

Tabel 14 Perbandingan komposisi sel epitel vagina antara siklus estrus setelah

pemberian PGF2α, siklus estrus alamiah, dan saat tidak estrus

x ± SD (%)

Parabasal Intermediet Superficial

+ Kornifikasi

Siklus estrus hasil PGF2α 5.00 ± 4.64a 42.00 ± 5.43

a 52.80 ± 9.52

a

Siklus estrus alamiah 6.40 ± 2.61a 48.00 ± 3.54

a 46.00 ± 4.85

a

Tidak estrus 40.00 ± 2.00b 48.00 ± 2.00

a 12.00 ± 1.41

b

Ket: Huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata (p>0.05)

17

Jika hasil pada kedua perlakuan estrus (siklus estrus setelah pemberian

PGF2α dan siklus estrus alamiah) dibandingkan dengan hasil pada saat tidak

estrus maka akan terlihat adanya perbedaan komposisi sel yang cukup jelas

terutama pada sel parabasal dan sel superficial. Hal tersebut dibuktikan dengan

hasil uji statsitik kedua sel tersebut yang menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)

(Tabel 14). Perubahan komposisi yang terjadi pada sel parabasal dan sel

superficial tersebut dapat dijadikan sebagai indikator dalam penentuan fase estrus.

Sel superficial merupakan indikator utama penentuan fase estrus (Ola et al. 2006).

Akan tetapi perubahan komposisi yang cukup jelas tersebut tidak terjadi

pada sel intermediet. Sel tersebut cenderung tidak mengalami perubahan yang

signifikan sepanjang siklus estrus yang dibuktikan dengan hasil uji statistik yang

tidak berbeda nyata (p>0.05) (Tabel 14). Keberadaan sel intermediet yang tinggi

sepanjang siklus estrus mengakibatkan gambaran sitologi ulas vagina yang

dihasilkan mempunyai komposisi yang tidak jelas dan tidak khas. Berdasarkan hal

tersebut maka gambaran sitologi ulas vagina pada penelitian ini hanya dapat

digunakan untuk menentukan fase estrus dan tidak dapat digunakan secara tunggal

untuk menentukan waktu optimal kawin.

Gambar 9 Gambaran perubahan sel epitel ulas vagina kambing PE

pada saat (A) tidak estrus, (B) estrus alamiah, dan (C)

estrus setelah pemberian PGF2α.

(a) sel intermediet, dan (b) sel kornifikasi.

A

a

B

C

b

b

18

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa siklus estrus

kambing PE adalah 19.7 hari (18-23 hari). Lama estrus kambing PE pada siklus

estrus alamiah adalah 54 jam (24-72 jam), dan pada siklus estrus setelah

pemberian PGF2α adalah 44 jam (12-60 jam). Onset estrus pada kambing PE

yang diberi PGF2α adalah 78.6 jam (72-84 jam). Gejala klinis estrus (kemerahan

dan kebengkakan vulva) pada kambing PE secara umum menunjukkan intensitas

sedang. Lendir vagina pada fase estrus alamiah menunjukkan konsistensi rendah

sampai sedang, sedangkan pada fase estrus setelah pemberian PGF2α

menunjukkan konsistensi tinggi. Gambaran sitologi ulas vagina pada kambing PE

baik pada siklus estrus alamiah maupun pada siklus estrus setelah pemberian

PGF2α dapat digunakan untuk menentukan fase estrus dengan melihat komposisi

sel superficial yang lebih banyak (45 – 53%) dari pada sel parabasal. Gambaran

sitologi ulas vagina pada penelitian ini sejalan dengan gejala klinis estrus (gejala

diam dinaiki dan gejala klinis vulva), sehingga diperkirakan dapat digunakan

sebagai penentu waktu optimal kawin pada kambing PE.

Saran

Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah untuk menentukan

waktu optimal kawin pada kambing PE diperlukan gambaran profil hormonal

(Progesteron dan Estrogen) secara ELISA, untuk menentukan waktu inseminasi

buatan pada kambing PE sebaiknya dilakukan berdasarkan data estrus individual,

dan untuk aplikasi inseminasi buatan pada kambing PE sebaiknya menggunakan

metode dua kali IB.

DAFTAR PUSTAKA

Beimborn VR, Tarpley HL, Bain PJ, Latimer KS. 2003. The canine estrous cycle:

staging using vaginal cytological examination. [terhubung berkala].

http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/beimborn/. [1 Februari 2012].

Bowen RA. 2006. Vaginal cytology. [terhubung berkala]

http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/reprod/vc/index.html.

[13Juli 2012].

Budiarsana IGM, Sutama IK. 2001. Fertilitas kambing Peranakan etawah pada

perkawinan alami dan inseminasi buatan. Di dalam: Prosiding Seminar

Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; 2001 Sep 17-18; Bogor,

Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

hlm: 85-92.

[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Statistik

Peternakan dan Kesehatan Hewan 2012. Jakarta (ID): Direktorat Jendral

Peternakan dan Kesehatan Hewan.

19

Fatet A, Pellicer – Rubio M T, Leboeuf B. 2010. Reproductive cycle of goats. J

Anireprosci. 124:211-219.

Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2003. Anatomy and Physiology of Farm

Animal. Ed ke-7. Philadelphia (USA): Lippincott Williams & Wilkins.

Ganong WF. 1999. Fisiologi Kedokteran. Jakarta (ID): Penerbit Buku

Kedokteran , EGC.

Gimenez D, Rodning S. 2007. Reproductive management of sheep and goats.

[terhubung berkala] http://www.aces.edu/pubs/docs/A/ANR-1316/ANR-

1316.pdf. [1Februari 2012].

Hafez ESE, Jainudeen MR, Rosnina Y. 2000. Hormones, growth Factors, and

reproduction. Di dalam: Hafez B dan Hafez ESE, editor. Reproduction in

Farm Animals. Ed ke-7. Philadelphia (USA): Lippincot Williams &

Wilkins.

Ismail M. 2009. Onset dan intensitas estrus kambing pada umur yang berbeda. J

Agroland. 16:180-186.

Leigh OO, Raheem AK, Oluwadamilare OJA. 2010. Improving the reproductive

efficiency of the goat : vaginal cytology and vulvar biometry as predictors

of synchronized estrus/ breeding time in West african dwarf goat. Int J

Morphol. 28:923-928.

Luginbuhl JM. 2002. Heat detection in meat goats. [terhubung berkala].

http://www.cals.ncsu.edu/an_sci/extension/animal/meatgoat/pdf_factsheets

/ANS%2000%20607MG.pdf. [1 Ferbruari 2012].

Meredith MJ. 1995. Animal Breeding and Infertility. Australia: Blackwell

Science.

Mulyono S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Jakarta (ID): Penebar

Swadaya

Najamudin, Rusdin, Sriyanto, Amrozi, Agungpriyono S, Yusuf TL. 2010.

Penentuan siklus estrus pada kancil (Tragulus javanicus) berdasarkan

perubahan sitologi vagina. J Veteriner. 11:81-86.

Norbrook. 2010. Product safety data sheet noroprost. [terhubung berkala].

http://www.norbrook.com/uploads/psds-noroprost.pdf. [1 Februaru 2012].

Ola SI, Sanni WA, Egbunike G. 2006. Exfoliative vaginal cytology during the

oestrus cycle of the West African dwarf goats. Reprod Nutr Dev 46:87-95.

Partodihardjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta (ID): Penerbit Mutiara.

Reddy KCS, Raju KGS, Rao KS, Rao KBR. 2011. Vaginal cytology, vaginoscopy

and progesterone profil: breeding tools in bitches. Iraqi J Vet Sci. 25:51-54.

Sarwono B. 2011. Beternak Kambing Unggul. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Siregar TN, Riady G, Al Azhar, Budiman H, Armansyah T. 2001. Pengaruh

pemberian prostaglandin F2α terhadap tampilan reproduksi kambing lokal.

J Medika Vet. 1:61-65.

Siregar TN, Armansyah T, Sayuti A, Syafruddin. 2010. Tampilan reproduksi

kambing betina lokal yang induksi berahinya dilakukan dengan sistem

sinkronisasi singkat. J Veteriner. 11:30-35.

Smith JB, Mangkuwidjoyo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan

Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Cetakan Pertama. Jakarta (ID): UI

Press.

Sutama IK, Edey TN, and Fletcher IC. 1988. Peri-pubertal ovulatory events and

progesterone profiles of Javanese thintail sheep. Anim Reprod Sci 16:53-

20

60.

Sutama IK. 2011. Inovasi teknologi reproduksi mendukung pengembangan

kambing perah lokal. Pengembangan Inovasi Pertanian. 4:231-246.

Syafruddin, Siregar TN, Herrialfian, Armansyah T, Sayuti A, Roslizawaty. 2010.

Effektivitas pemberian ekstrak vesikula seminalis terhadap persentase

berahi dan kebuntingan pada kambing lokal. J Veteriner. 4:53-60.

Tambing SN, Gazali M, Purwantara B. 2001. Pemberdayaan Teknologi

Inseminasi Buatan pada Ternak Kambing. Wartazoa. 11:1-9.

Widiyono I, Putro PP, Sarmin, Astuti P, Airin CM. 2011. Kadar estradiol dan

progesterone serum, tampilan vulva dan sitologi apus vagina kambing

Bligon selama siklus birahi. J Veteriner. 12:263-268.

Wildeus S. 2000. Current Concept in Synchronization of Estrus: Goat and Sheep.

Pusat Studi Pertanian. Petersburg. [terhubung berkala].

http://www.asas.org/jas/symposia/proceedings/0016.pdf.[1 Ferbruari 2012]

Yusuf TL. 1990. Pengaruh Prostaglandin F2α Gonadotropin terhadap aktivitas

estrus dan superovulasi dalam rangkaian kegiatan transfer embrio pada

sapi Fries Holland, Bali, dan Peranakan Ongole. [disertasi]. Bogor (ID):

Institut Pertanian Bogor

Zakiyya FZ. 2004. Keberhasilan Inseminasi Buatan pada kambing dara Peranakan

Ettawah hasil sinkronisasi estrus menggunakan modifikasi CIDR dengan

PMSG atau PGF2α. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Petanian Bogor

21

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat pada tanggal 7

Juli 1989 dari pasangan Drs. H. Tutuy Guntara, M.Pd dan Hj. Uun Unaesih,

A.Md.Kep. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis

memulai jenjang pendidikan formal di SD Negeri 3 Pangandaran pada tahun

1996-2002. Kemudian melanjutkan ke pendidikan menengah pertama di SMP

Negeri 1 Ciamis pada tahun 2002-2005. Pendidikan menengah atas ditempuh

penulis di SMA Negeri 1 Ciamis pada tahun 2005-2008. Pada tahun 2008 penulis

masuk perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan

IPB. Selama masa perkuliahan penulis aktif di beberapa organisasi dan kegiatan

kampus, seperti Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Ciamis (2008-2010) dan

Himpunan Profesi Ruminansia FKH IPB (2009-2011). Selain itu penulis juga

aktif sebagai asisten praktikum pada mata kuliah pengelolaan kesehatan hewan

dan lingkungan (PKHL) (semester ganjil t.a 2012/2013), dan mata kuliah

pengelolaan kesehatan ternak tropis (PKTT) (semester genap t.a 2012/2013).