Upload
vuongduong
View
227
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
© 2005 Syamsul Hadi Posted 21 Desember 2005 Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Dosen: Prof.Dr.Ir.Rudy C.Tarumingkeng
PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DALAM PEMBANGUNAN PERKOTAAN
DI INDONESIA
Oleh:
Syamsul Hadi P-O62040214
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
Good Governance merupakan suatu pendekatan baru dalam pelaksanaan
sistem administrasi pemerintahan atau manajemen pembangunan. Good
Governance yang pada dasarnya menerapkan prinsip-prinsip transparansi,
2
partisipasi, dan akuntabilitas telah menyebar ke seluruh dunia seiring
dengan perkembangan pemahaman masyarakat dunia terhadap
penanganan pembangunan yang mengarah pada konsep Pembangunan
Berkelanjutan. Dalam konsep ini, pembangunan harus dipahami sebagai
suatu kegiatan yang terintegrasi antara komponen ekonomi, pelestarian
lingkungan dan sumber daya alam, serta komponen pengembangan sosial.
Pendekatan good governance merupakan perkembangan dan penjabaran
lebih lanjut dari komponen sosial dalam konsep Pembangunan
Berkelanjutan, di antaranya dalam bentuk peningkatan partisipasi
masyarakat.
Penerapan good governance di Indonesia dapat dipandang sebagai koreksi
terhadap praktek-praktek pelaksanaan pembangunan di masa lalu oleh
rezim pemerintahan Orde Baru yang saat itu hanya mengembangkan
Pemerintah Yang Baik (good government), yaitu pemerintah yang kuat dan
efektif, tanpa menyertakan partisipasi masyarakat sebagai bagian dalam
proses pembangunan. Demikian juga yang terjadi dalam proses
pembangunan perkotaan (urban development) di Indonesia. Pada awalnya,
pendekatan sentralistis masih diterima dan dianggap berhasil oleh
masyarakat, karena pada waktu itu Indonesia masih mengejar tercapainya
sasaran basic need dari pelayanan infrastruktur publik secara nasional.
Namun demikian, pendekatan ini lambat laun dirasakan kekurangannya,
karena ternyata hasil pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat. Pendekatan pembangunan yang bersifat top-down
ini cenderung mengarah pada pola pengelolaan pembangunan yang
seragam, kurang mengakomodasikan karakter lokal atau tidak kontekstual.
Proses pembangunan yang tidak partisipatif, terbatas dilaksanakan secara
eksklusif oleh instansi pemerintah ini mengakibatkan keterasingan
masyarakat dari hasil-hasil pembangunan.
Sejak dilakukannya reformasi politik, pemerintah Indonesia telah
menetapkan kebijakan peningkatan otonomi daerah dan pelaksanaan
pembangunan didesentralisasikan ke daerah sehingga menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah otonom bersama masyarakatnya. Kebijakan
desentralisasi pembangunan ini pada dasarnya mencoba mendekatkan
3
proses pembangunan kepada masyarakat melalui partisipasi yang lebih
aktif. Dengan demikian kebijakan desentralisasi pembangunan pada
dasarnya merupakan penerapan terhadap sebagian dari prinsip-prinsip
good governance. Pendekatan good governance akan mendorong
pengembangan otonomi daerah, sehingga pemerintah kabupaten/kota
mengikut-sertakan stakeholder dan masyarakat dalam seluruh proses
pembangunan, dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasannya.
Melalui good governance maka diharapkan segera terwujud suatu
masyarakat madani di mana hubungan antar stakeholder, yaitu pemerintah,
swasta, dan komponen masyarakat lainnya yang terjalin menjadi suatu
hubungan yang selaras, seimbang dan dikelola secara baik.
1.2 Permasalahan Permasalahan pembangunan kota di Indonesia kian hari semakin kompleks.
Masyarakat di daerah perkotaan saat ini menghadapi berbagai
permasalahan dari aspek sosial maupun ekonomi dan bersifat
multidimensional, khususnya sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun
1997. Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah mempermudah
munculnya berbagai konflik di daerah perkotaan dan perdesaan. Dengan
keterbatasan sumberdaya dan kemampuan manajemen pada pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah, maka permasalahan yang terjadi di
perkotaan dan perdesaan menjadi tidak mudah untuk diselesaikan.
Dalam rangka penanganan permasalahan perkotaan, pendekatan good
governance sudah mulai diperkenalkan dan diterapkan di Indonesia, meski
dilaksanakan dengan sifat stimulan, dalam skala kecil, dan tingkatan uji
coba di beberapa kota/kabupaten. Prinsip good governance yang dicoba
diperkenalkan di Indonesia pada umumnya menghadapi beberapa kendala,
di antaranya adalah: (i) Sistem manajemen pembangunan top-down yang
berlangsung selama pemerintahan Orde Baru telah membelenggu
pemerintah daerah dengan sikapnya yang cenderung bergantung kepada
bantuan pemerintah pusat. Budaya ketergantungan ini menghambat usaha
penerapan prinsip good governance yang berusaha membangun
kemandirian daerah; (ii) Proses pengembangan otonomi daerah yang
masih dalam masa transisi memerlukan kelengkapan dan penyempurnaan
4
perangkat peraturan dan perundangan serta sosialisasinya, sehingga setiap
tingkatan pemerintahan memahami tugas pokok dan fungsinya masing-
masing; (iii) lemahnya penerapan hukum (law enforcement); serta (iv)
keterbatasan kapasitas kelembagaan instansi pemerintah dan sumber daya
manusia.
1.3 Maksud dan Tujuan Makalah ini dimaksudkan untuk mengkaji penerapan pendekatan good
governance sebagaimana hal tersebut telah dilaksanakan melalui kebijakan
dan strategi pembangunan perkotaan di Indonesia khususnya oleh instansi
pemerintah pusat maupun melalui berbagai program capacity building oleh
pemerintah pusat dan bantuan program dari beberapa lembaga donor luar
negeri. Dari pengalaman tersebut kemudian dilakukan evaluasi dengan
mengidentifikasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam
penerapan good governance, serta merumuskan rekomendasi-
rekomendasi yang perlu dilakukan di masa depan.
5
BAB II
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN DI INDONESIA
2.1 Permasalahan Perkotaan di Indonesia
Penyelenggaraan pembangunan perkotaan dalam era desentralisasi dan
otonomi daerah menghadapi suatu situasi yang semakin kompleks. Situasi
perkotaan di Indonesia yang terjadi menunjukkan kecenderungan sebagai
berikut:
• Sesuai dengan hasil sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk
perkotaan di Indonesia telah mencapai lebih dari 85 juta jiwa, sekitar 42
persen total penduduk Indonesia, dengan laju urbanisasi pada periode
1990 – 2000 mencapai angka sebesar 4,4 persen per tahun, jauh lebih
tinggi dibandingkan pertumbuhan rata-rata nasional sebesar 1,35 persen.
Apabila mengikuti kecenderungan yang ada, maka pada tahun 2005
penduduk perkotaan diperkirakan telah mencapai 105 juta jiwa. Pada
tahun 2025, diperkirakan total penduduk Indonesia mencapai 275,6 juta
dan penduduk kota mencapai 167,4 juta atau 60,7 persen. Kondisi
demografi ini telah ikut mendorong munculnya berbagai macam
persoalan yang dihadapi di daerah perkotaan menjadi semakin kompleks
dan multi dimensional, mencakup hampir semua aspek kehidupan sosial,
ekonomi, politik, dan lain-lain.
• Terjadinya proses marjinalisasi sebagian masyarakat dan penurunan
kondisi sosial masyarakat pada umumnya yang semakin tajam menjurus
terjadinya konflik kepentingan dan sosial di berbagai daerah. Keadaan ini
semakin dipicu oleh adanya keterbatasan sumberdaya (limitation of
resources) untuk menanganinya.
• Kawasan perkotaan mengalami penurunan kondisi sosial-ekonomi
terutama yang berbasis industri/jasa sehingga menimbulkan gejolak
6
diberbagai sektor, terutama semakin bertambahnya kemiskinan serta
munculnya kawasan-kawasan kumuh.
• Meningkatnya jumlah pengangguran yang sulit mencari pekerjaan dan
kurang terkendalinya perkembangan sektor informal di berbagai pelosok
kota-kota.
• Penurunan kualitas lingkungan perkotaan secara keseluruhan sebagai
dampak dari adanya pencemaran lingkungan akibat dari kegiatan sosial
ekonomi masyarakat, serta terjadinya degradasi daya dukung lingkungan
perkotaan.
• Keterbatasan pelayanan infrastruktur perkotaan untuk memenuhi
kebutuhan dasar dan pengembangan ekonomi lokal, serta makin
menurunnya efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pelayanan umum
di perkotaan.
• Terganggunya keamanan dan ketertiban kota akibat berbagai konflik dan
kepentingan.
• Kurang serasinya hubungan sosial ekonomi antar kota maupun antara
kota-desa lainnya serta tertinggalnya daerah pinggiran dan perdesaan
(Urban Rural Linkages).
Sementara itu, kondisi sistem pemerintahan dalam menangani masalah
perkotaan juga masih belum mantap, di mana:
• Proses desentralisasi penyelenggaraan pembangunan masih dalam
masa transisi dan perlu pemantapan lebih lanjut meski saat ini telah
ditetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Keseimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Ketiadaan peraturan-peraturan yang lebih operasional khususnya yang
mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah telah menghambat kelancaran proses pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan.
• Terbatasnya kemampuan manajemen daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah. Termasuk di antaranya adalah
7
keterbatasan kualitas sumber daya manusia, meliputi: (i) keterbatasan
kemampuan merumuskan peraturan-peraturan, yang mengatur
pemanfaatan prasarana perkotaan; (ii) keterbatasan kemampuan
mengalokasikan anggaran pembangunan untuk pemeliharaan,
pengoperasian dan pembangunan prasarana perkotaan; (iii) keterbatasan
kemampuan memberikan bantuan teknis untuk membangun prasarana
perkotaan bersama masyarakat; (iv) keterbatasan kemampuan dalam
penyelesaian perselisihan antar daerah; dan (v) keterbatasan kemampuan
advokasi kepada masyarakat.
• Belum serasinya kerjasama antara eksekutif dan legislatif dalam
menghadapi berbagai masalah pembangunan daerah sesuai dengan
fungsi dan tugasnya masing-masing.
• Ketergantungan daerah terhadap bantuan pusat masih kuat. Kebiasaan
ketergantungan yang telah mengakar selama tiga dekade di zaman Orde
Baru, terutama bantuan sumber pendanaan pembangunan, telah
menyulitkan pemerintah daerah untuk mengembangkan seluruh
potensinya untuk mendukung pelaksanaan tugas pemerintahan di daerah.
• Lemahnya penegakan hukum yang terjadi di berbagai sektor
pembangunan, berbagai lapisan pemerintahan, dan masyarakat.
Kelemahan law enforcement ini nampak jelas dalam wujud disiplin
masyarakat yang rendah, kesemrawutan lalu lintas, tingkat kriminalitas
tinggi, dan sebagainya. Dalam pembangunan perkotaan, lemahnya law
enforcement ini nampak jelas dengan penerapan rencana tata ruang kota
yang menyimpang, sehingga terjadi kekumuhan kawasan perkotaan,
bencana banjir, degradasi lingkungan. Contoh lain adalah terjadinya
ekonomi biaya tinggi terkait pengurusan berbagai pelayanan publik dan
perijinan bisnis. Peraturan dan perundangan yang mencegah praktek
penyalah-gunaan kewenangan dapat dikatakan lengkap. Yang menjadi
masalah adalah kelemahan law enforcement-nya, sehingga praktek-
praktek penyalah-gunaan kewenangan sering terjadi di masyarakat
terutama di jajaran pemerintahan. Hal yang sama terjadi pada penerapan
kebijakan pembangunan perkotaan.
8
• Belum kondusif-nya sistem birokrasi pemerintah yang disebabkan oleh
kelemahan kelembagaan dan sumber daya manusia instansi pemerintah.
Secara umum kapasitas kerja instansi pemerintah di tingkat pusat maupun
daerah dalam kondisi tidak efektif dan efisien. Hal ini nampak dalam
rendahnya produktivitas kerja aparat pemerintah, misalnya disiplin dan etos
kerja yang rendah, banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam
pelaksanaan tugas, lemahnya fungsi-fungsi kontrol dalam pemerintahan,
serta kelemahan kualitas sumber daya manusia. Kelemahan ini sebagian
disebabkan oleh rendahnya gaji dan tunjangan pegawai, ketiadaan sistem
karir (career planning), kelemahan sistem rekruitmen pegawai baru, serta
kelemahan dalam pembinaan dan penguatan kapasitasnya.
• Kontrol masyarakat dan stakeholders yang lemah. Masyarakat di kawasan
perkotaan yang relatif lemah dalam menjalankan fungsi-fungsi kontrol
terhadap pemerintah termasuk keterbatasan partisipasi dalam seluruh
proses pembangunan.
2.2 Paradigma Pembangunan Perkotaan
Dalam merumuskan kebijakan pembangunan perkotaan di Indonesia, maka
telah disadari oleh pemerintah tentang adanya pergeseran paradigma
tentang pengelolaan pembangunan perkotaan yang terjadi akibat pengaruh-
pengaruh eksternal, misalnya globalisasi pasar, kemajuan teknologi, dan
tentunya paham tentang konsep Pembangunan Berkelanjutan dan prinsip-
prinsip Good governance. Beberapa pergeseran paradigma yang perlu
dipertimbangkan di antaranya adalah: (i) Pembangunan perkotaan akan
lebih ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pasar (market driven), sehingga
peran dan fungsi pemerintah diutamakan pada penciptaan lingkungan dan
iklim yang kondusif melalui fasilitasi dan stimulasi bagi tumbuhnya
kemandirian lokal; (ii) Pembangunan perkotaan tidak akan dilaksanakan
secara seragam, namun disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
setempat dan budaya lokal, sehingga akan dapat menampakkan citra dan
ciri khas masing-masing kota sehingga bersifat kontekstual); (iii) Peran serta
masyarakat akan semakin meningkat, yaitu melalui pemberian kesempatan
kepada seluruh masyarakat kota (stakeholders) untuk ikut terlibat dalam
9
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan kotanya
masing-masing. Masyarakat perkotaan juga dituntut untuk dapat mengenali
permasalahan perkotaannya sendiri, sehingga dapat berinisiatif untuk
memecahkan persoalan yang dihadapi kotanya; (iv) Pelayanan publik
perkotaan harus dapat menyediakan kebutuhan dan kemampuan semua
lapisan masyarakat, termasuk kepada kelompok masyarakat miskin.
Untuk menjalankan pelaksanaan desentralisasi pembangunan secara lebih
efektif, perlu dipertimbangkan beberapa tantangan yang dihadapi untuk
mendorong daerah mempraktekkan prinsip-prinsip good governance dan
sustainable development dalam semua aspek kebijakan pengembangan
perkotaan, yaitu:
• Penataan kawasan perkotaan dan perdesaan yang lebih interaktif dan
responsif terhadap penataan ruang pada skala makro maupun mikro;
• Pengelolaan perkotaan dan perdesaan lebih ditujukan pada terwujudnya
tata pemerintahan yang baik;
• Pembangunan perkotaan yang diselenggarakan secara berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan;
• Peningkatan keterkaitan ekonomi antara perkotaan dan perdesaan
dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Pemerintah juga mempunyai sasaran-sasaran pembangunan perkotaan
nasional yang dirumuskan di antaranya di dalam dokumen nasional
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) maupun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Beberapa sasaran pembangunan perkotaan yang akan dicapai, yaitu sebagai berikut: (1)
terwujudnya lingkungan perkotaan yang layak huni, selaras dalam
kehidupan sosial budaya, untuk menciptakan masyarakat perkotaan yang
sejahtera; (2) terjaminnya fungsi internal perkotaan, khususnya pelayanan
umum, kesempatan kerja, penanggulangan kemiskinan, dan kerawanan
sosial; (3) terjaminnya fungsi eksternal perkotaan yang memperhatikan
kerjasama antar kawasan perkotaan, antara perkotaan dan perdesaan
dalam suatu wilayah sekitarnya, yang memungkinkan terbentuknya sinergi
pembangunan perkotaan dan perdesaan; (4) tersedianya sumber
10
pendanaan untuk program-program pembangunan perkotaan; (5)
terciptanya kemandirian masyarakat perkotaan, yang pada jangka panjang,
dapat menjamin kelangsungan penyediaan pelayanan umum perkotaan
dengan kekuatan masyarakat sendiri; (6) terwujudnya pengelolaan
pembangunan perkotaan berlandaskan kerjasama dan kemitraan dengan
masyarakat madani perkotaan, sesuai dengan prinsip tata pemerintahan
perkotaan yang baik (good urban governance); (7) terwujudnya kesatuan
dalam penyelenggaraan kebijakan dan strategi nasional dan lokal
pembangunan perkotaan.
2.3 Kebijakan Pembangunan Perkotaan
Suatu rumusan kebijakan pembangunan perkotaan, harus disusun dengan
mempertimbangkan berbagai aspek sebagaimana disebutkan di atas.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Departemen
Pekerjaan Umum, sebagai salah satu instansi pemerintah yang bertugas
melakukan pembinaan pembangunan perkotaan di Indonesia, memandang
perlu untuk mewujudkan visi pengembangan perkotaan nasional yaitu:
Terwujudnya kemandirian daerah dalam penyelenggaraan pembangunan
kawasan perkotaan dan perdesaan yang layak huni, berkeadilan sosial,
berbudaya, produktif, dan berkelanjutan serta saling memperkuat dalam
mendukung pengembangan wilayah.
Untuk mewujudkan visi tersebut di atas maka secara nasional pembangunan
perkotaan mempunyai misi yang perlu menjadi acuan, yaitu:
• Meningkatkan kemampuan kelembagaan daerah dalam pengelolaan
pengembangan perkotaan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya
lokal;
• Mendorong pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengembangan
perkotaan yang berkelanjutan;
• Meningkatkan peran dunia usaha melalui penciptaan iklim kondusif bagi
pengembangan ekonomi daerah dan wilayah;
11
• Meningkatkan akses perdesaan terhadap pusat-pusat pertumbuhan di
perkotaan, pasar, dan teknologi tepat guna untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi lokal;
• Memberikan fasilitasi dan pendampingan kepada daerah dalam rangka
pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan
menciptakan tata perkotaan dan perdesaan yang seimbang dan
terintegasi dalam pengembangan wilayah;
• Membantu daerah dalam rangka penanggulangan kemiskinan, dampak
bencana alam dan kerusuhan sosial, serta peningkatan pelayanan publik.
Dengan latar belakang tersebut di atas maka kebijakan pemerintah tentang
pengembangan perkotaan dirumuskan sebagai berikut:
• Bahwa penyelenggaraan pembangunan perkotaan perlu dilaksanakan
dengan prinsip pemerintahan dan pengelolaan yang baik (good
governance) serta kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan dunia
usaha;
• Penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan prasarana dan
sarana perkotaan perlu dilaksanakan secara adil dan merata sesuai
dengan kondisi sosial, budaya dan ekonomi lokal;
• Pembangunan perkotaan perlu diarahkan pada terjadinya peningkatan
pertumbuhan dan produktifitas ekonomi serta pengembangan pasar yang
berbasis pada pengembangan ekonomi lokal dan pengembangan wilayah;
• Kemampuan daerah perlu diberdayakan terutama dalam pengelolaan
pelayanan publik perkotaan serta mampu menyelesaikan berbagai
masalah perubahan sosial serta bencana;
• Pembangunan perkotaan harus tetap mempertahankan daya dukung dan
keseimbangan lingkungan dalam rangka mewujudkan pembangunan
yang berkelanjutan.
Perwujudan kebijakan pengembangan perkotaan ini tentunya tidak semudah
membalikkan telapak tangan apalagi dalam era desentralisasi dan reformasi
pembangunan yang terus berkembang, di mana masyarakat semakin kritis
terhadap apapun yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
12
Oleh karena itu, pemerintah mempunyai tanggung jawab bersama dengan
pemerintah daerah untuk mengamankan (safeguarding) pembangunan
perkotaan sesuai dengan visi dan misinya untuk mewujudkan daerah
perkotaan yang berkelanjutan dan perwujudan kemandirian daerah. Dengan
kebijakan tersebut di atas, penyelenggaraan pembangunan perkotaan akan
diarahkan untuk mewujudkan peningkatan peran dan fungsi kawasan
perkotaan yang lebih layak huni (livable), lebih mempunyai daya saing
(competitiveness) dan produktif, mempunyai kemampuan dan pengelolaan
keuangan yang memadai, serta mampu mewujudkan manajemen
pembangunan perkotaan dengan prinsip tata pemerintahan yang baik (Good
Governance).
13
BAB III
KONSEP GOOD GOVERNANCE Good Governance sebagai suatu pendekatan administrasi pemerintahan atau
administrasi pembangunan telah menyebar ke seluruh dunia akibat dari makin
meluasnya penerimaan masyarakat dunia tentang konsep Pembangunan
Berkelanjutan. Dalam konsep ini, pembangunan harus dipahami sebagai suatu
kegiatan yang terintegrasi antara komponen pengembangan ekonomi, pelestarian
lingkungan hidup, serta komponen pengembangan sosial masyarakat.
Komponen lingkungan bersama komponen sosial mulai muncul dan didesakkan
oleh masyarakat dunia karena hasil-hasil pembangunan yang selama ini
dilaksanakan, yang hanya menekankan pada pengembangan ekonomi semata,
ternyata telah mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan dan eksploitasi
berlebihan terhadap sumber daya alam, serta keterasingan masyarakat dari hasil-
hasil pembangunan. Karena hasil pembangunan pada akhirnya harus ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka penanganan komponen
sosial dianggap penting dalam pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Salah
satu bentuk kegiatan dalam komponen sosial tersebut adalah partisipasi
masyarakat dalam proses politik maupun proses pembangunan. Dalam
perkembangannya, sebagian dari komponen sosial ini telah menjelma menjadi
suatu pendekatan good governance dalam pelaksanaan administasi
pemerintahan dan pembangunan.
3.1 Pengertian Good Governance
Istilah good governance berasal dari kata good dan governance. Kata
“governance” berbeda dengan “government”. Government (pemerintah)
lebih berkaitan dengan lembaga yang mengemban fungsi memerintah dan
mengemban fungsi mengelola administrasi pemerintahan. Sedangkan
governance (tata pemerintahan) lebih menggambarkan pada pola
hubungan antar elemen yang ada dalam suatu kepemerintahan. Dalam hal
ini, governance dipahami sebagai "the manner in which power is exercised
in the management of a country’s economic and social resources for
14
development," di dalamnya governance dikaitkan dengan manajemen dari
proses pembangunan yang melibatkan sektor publik maupun swasta.
Dalam konsep ini, governance meliputi keberadaan institusi-institusi sektor
publik lengkap dengan fungsi dan kapasitasnya, serta kerangka hukum
sebagai landasan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah, masyarakat,
maupun swasta. Secara lebih luas, governance diartikan sebagai
lingkungan institusional di mana warga masyarakat saling berinteraksi
termasuk dengan institusi dan aparat pemerintah.
Pada dasarnya Good Governance atau kepemerintahan yang baik adalah
suatu bentuk manajemen atau administrasi yang efektif dari pengelolaan
perubahan masyarakat atau pengelolaan pembangunan. Definisi Good
Govenance dapat diperoleh dari rangkuman beberapa pengertian berikut:
• Penyelenggaraan kepemerintahan yang menjamin kepastian hukum,
keterbukaan, profesionalisme, dan akuntabilitas.
• Kepemerintahan yang menghormati hak-hak asasi manusia dan
pelaksanaan demokrasi.
• Kepemerintahan yang dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat,
dan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat, tanpa diskriminasi.
• Kepemerintahan yang mengakomodasikan kontrol sosial masyarakat.
3.2 Prinsip-Prinsip Good Governance
Good Governance biasanya dikaitkan dengan pemerintahan yang bersih
dan berwibawa, di mana sistem birokrasinya memberikan pelayanan publik
yang profesional. Tipe ideal suatu pelaksanaan good governance adalah
situasi di mana terjadi suatu pengawasan yang compatible yang saling
mendukung dengan kehidupan demokrasi, kehidupan ekonomi pasar, rule
of law dan concern for the environment.
Beberapa prinsip Good Governance adalah sebagai berikut (Gambar-1):
15
Gambar 1: Karakteristik Good Governance
1. Akuntabilitas
Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan
masyarakat bertanggung-jawab kepada publik dan lembaga-lembaga
stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat
keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan
internal atau eksternal organisasi.
2. Transparansi
Transparansi dibangun atas dasar terbukanya informasi secara bebas.
Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga yang ada dan
informasi yang perlu dapat diakses oleh semua pihak. Informasi harus
dapat dipahami oleh semua pihak dan dapat dimonitor.
3. Penegakan Aturan Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu,
terutama hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
4. Peran Serta Masyarakat
Setiap warga negara berpartisipasi dan memberikan suara dalam
pembuatan keputusan yang dilakukan secara langsung maupun melalui
intermediasi institusi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi
menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan atas adanya kebebasan
16
untuk berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara konstruktif.
5. Kesetaraan/Perlakuan
Semua orang mempunyai kesempatan memperbaiki atau
mempertahankan kesejahteraannya, termasuk masyarakat yang
kurang mampu.
6. Responsiveness
Lembaga-lembaga yang terlibat dalam seluruh proses pemerintahan
harus berusaha melayani semua pihak (stakeholders).
7. Efisiensi dan efektivitas
Seluruh proses pemerintahan oleh lembaga-lembaga terkait harus
membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan
menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Adanya Visi yang Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh
ke depan atas tata pemerintahan yang baik, serta kepekaan akan apa
saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut.
Selain itu mereka harus memiliki pemahaman atas kompleksitas
kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif
tersebut.
9. Orientasi Mufakat
Good Governance menjadi perantara terhadap berbagai kepentingan-
kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi
kepentingan yang lebih luas dalam hal kebijakan-kebijakan maupun
prosedur.
10. Profesionalisme
Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan
agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan
biaya yang terjangkau.
17
3.3 Peran Stakeholder
Dalam penerapannya, Good Governance melibatkan 3 stakeholders yang
masing-masing mempunyai perannya sendiri tetapi saling berhubungan
secara sinergis, yaitu:
• Negara/the state (negara atau pemerintah), berfungsi menciptakan
lingkungan politik dan hukum yang kondusif.
• Swasta/private sector (sektor swasta dan dunia usaha), mendorong
terciptanya lapangan kerja dan pendapatan masyarakat.
• Masyarakat/citizen atau organisasi lokal/kemasyarakatan, mewadahi
interaksi sosial politik, memobilisasi kelompok dalam masyarakat untuk
berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan politik.
Beberapa contoh peran berbagai stakeholder dalam penerapan Good
Governance dapat dilihat pada Tabel-1 berikut.
18
Tabel-1: Peran Stakeholder dalam Penerapan Good Governance
Prinsip Pemerintah Swasta Masyarakat
Akuntabilitas Mempertanggungjawab-kan setiap kebijakan dan keputusan kepada publik.
Setiap usaha dan transaksi yang dilakukan para pengusaha harus berkeadilan dan dapat dipertanggung-jawabkan kepada publik.
Masyarakat perlu memantau semua kebijakan dan keputusan yang dibuat oleh pemerintah dan setiap usaha serta transaksi yang dilakukan oleh swasta agar memenuhi peraturan dan tidak merugikan masyarakat.
Transparansi Setiap proses pengambilan keputusan dan kebijakan harus transparan.
Setiap proses kegiatan dan usaha harus diketahui oleh stakeholder dan masyarakat.
Bisa mengetahui setiap proses pengambilan keputusan.
Penerapan Hukum
Menegakkan hukum yang berkeadilan dan menjunjung tinggi HAM.
Mematuhi semua peraturan perundang-undangan dan menjunjung tinggi HAM.
Percaya pada supremasi hukum dan tidak main hakim sendiri.
Kesetaraan Memperlakukan dengan adil dan setara semua warga negara.
Mendorong peningkatan prestasi dan memberi perlakukan yang sama kepada semua orang.
Memberi perlakuan yang sama pada semua etnis, agama, kelompok, dan gender.
Partisipasi Mendorong peran serta dan pemberdayaan masyarakat
Melibatkan dan meningkatkan peran serta masyarakat di setiap lingkungan dan kegiatan usaha.
Perlu partisipasi dalam segala kegiatan pembangunan perkotaan.
Responsiveness Memberi respon baik kepada swasta maupun masyarakat.
Harus peka terhadap aspirasi masyarakat yang wajar, positif dan konstruktif.
Memberi respon yang wajar, rasional terhadap kebijakan maupun kegiatan pembangunan.
Efisiensi dan Efektivitas
Harus bekerja dan bertindak secara efektif dan efisien.
Mampu melaksanakan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Mendorong efisiensi dan efektivitas dalam kehidupan sehari-hari.
Adanya Visi yang Strategis
Mempunyai visi yang strategis dengan memperhatikan keperluan swasta dan mengutamakan kepentingan masyarakat.
Setiap kegiatan atau usaha memeiliki visi yang strategis mendukung kesejahteraan masyarakat.
Memberikan kontribusinya dalam pembentukan shared vision dan usaha pencapaiannya.
Orientasi Mufakat
Mengutamakan pendekatan musyawarah dan membuang sikap arogan.
Harus memperhatikan kepentingan publik yang diwujudkan dalam musyawarah mufakat.
Menghindari konflik dan harus menghargai sikap serta pendapat orang lain.
Profesionalisme Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara negara agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau.
Mengutamakan kualitas dan integritas sumber daya manusia.
Menghargai keahlian dan kemampuan, serta pengalaman yang dimiliki oleh setiap individu.
19
BAB IV
PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DALAM PEMBANGUNAN PERKOTAAN DI INDONESIA
Pemerintah telah melaksanakan reformasi sosial politik dan ekonomi melalui
kebijakan pembangunan nasional makro maupun secara mikro melalui
pembangunan perkotaan. Reformasi politik dilaksanakan dengan adanya
perubahan konstitusi UUD 1945, kelembagaan dan mekanisme penyaluran
aspirasi politik, dijaminnya kebebasan berpendapat bagi masyarakat luas, usaha
peningkatan penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, dan sebagainya.
Dalam skala pembangunan perkotaan, reformasi politik telah mendorong
ditetapkannya kebijakan desentralisasi pembangunan dan penguatan otonomi
daerah, di antaranya melalui penerbitan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan
ditetapkannya kebijakan ini, maka pembangunan perkotaan pada prinsipnya
adalah tugas dan kewajiban pemerintah daerah sendiri. Berbeda dengan masa
sebelumnya, di mana otonomi daerah hanya sebatas penyerahan kewenangan
pembangunan kepada daerah tanpa penyerahan sumber-sumber pembiayaan,
maka pada saat ini pemerintah daerah telah diberikan sumber-sumber
pembiayaan yang mencukupi, di antaranya melalui sumber Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana Perimbangan dari Pusat, dan sumber dana lainnya1.
Dengan latar belakang situasi seperti tersebut di atas, pemerintah mulai
menerapkan kebijakan nasional pembangunan perkotaan dengan muatan
pendekatan good governance dengan dibiayai dari berbagai sumber, misalnya
APBN, APBD, dan sumber lainnya.
Secara simultan, intervensi dari luar negeri juga terjadi yang diwujudkan dalam
bentuk pemberian dana pinjaman dan hibah (grant) program-program bantuan
teknis untuk pelaksanaan good governance yang disalurkan melalui berbagai 1 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pasal 5.
20
instansi pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Dari
tahun 1997 hingga sekarang, jumlah program-program hibah luar negeri yang
disalurkan melalui instansi pemerintah telah mencapai paling kurang 25 program,
misalnya Building Institutions for Good Governance (BIGG) bantuan USAID,
Center for Local Government Innovation (CLGI), bantuan Asian Development
Bank, Initiative for Local Governance Reform (ILGR) bantuan Bank Dunia,
Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA), Performance Oriented
Regional Management (PERFORM) bantuan USAID, Learning Innovation Loan
(LIL), Urban Quality, City Development Strategy (CDS), dan Urban Sector
Development Reform Program (USDRP) yang mendapat bantuan Bank Dunia,
serta beberapa bantuan program lainnya yang hingga saat ini masih berlangsung.
4.1 Operasionalisasi Kebijakan
Pembangunan perkotaan di Indonesia telah mengacu pada kebijakan nasional
dengan muatan yang mengandung prinsip-prinsip good governance sebagaimana
telah dibahas sebelumnya. Dalam operasionalisasinya, kebijakan tersebut perlu
dijabarkan dalam suatu program-program dan kegiatan-kegiatan terinci yang
mudah untuk dilaksanakan di lapangan.
Ruang lingkup kegiatan yang tercakup di dalam program-program good
governance pada umumnya adalah: (i) kegiatan capacity buiding bagi pemerintah
daerah, yang mencakup peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya
manusia, misalnya pelatihan dan training; (ii) pengembangan sistem informasi; (iii)
bantuan advokasi dan pendampingan dalam rangka pemberdayaan masyarakat;
dan (iv) bantuan teknis peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
infrastruktur publik, misalnya pelayanan air bersih, sanitasi lingkungan, jalan
lingkungan, penanganan kawasan kumuh, dan sebagainya.
Jauh sebelum dana luar negeri mendesakkan program good governance ke
Indonesia, pemerintah telah menangani pembangunan perkotaan dengan
pendekatan “tri bina” yang mencakup komponen penanganan infrastruktur
lingkungan fisik, komponen sosial dalam bentuk pemberdayaan masyarakat, serta
komponen ekonomi dalam bentuk penyediaan kredit dan dana bergulir untuk
usaha kecil. Program yang menganut prinsip Pembangunan Berkelanjutan ini
telah diterapkan dalam berbagai program penanganan kawasan perkotaan,
21
misalnya revitalisasi kawasan kota, dan penanganan kawasan kumuh yang
disebut Kampung Improvement Program (KIP Plus). Program-program seperti ini
dapat dikatakan sebagai cikal bakal pelaksanaan prinsip good governance dalam
pembangunan perkotaan di Indonesia karena memang mengandung 3 komponen
utama Pembangunan Berkelanjutan. Diagram pelaksanaan pembangunan
perkotaan dengan pendekatan good governance dapat dilihat dalam Gambar-4
berikut.
Gambar-4: Pendekatan Good Governance dalam Pembangunan Perkotaan (Public, Private, and Community Partnership)
4.2 Evaluasi Pelaksanaan Good Governance
Pendekatan good governance dalam kenyataannya tidak mudah untuk
diterapkan. Berbagai kendala dan hambatan telah menghadang dalam proses
penerapannya, sehingga jiwa good governance yang termuat di dalam kebijakan
pembangunan perkotaan tidak bisa dengan mudah disosialisasikan ke daerah.
Berbagai kendala tersebut di antaranya adalah:
MANUSIA (Keluarga)
USAHA LINGKUNGAN
Good Governance
& Management
INVESTASI
• Pemberdayaan • Pendampingan • Pendidikan/Pelatihan • Cohesiveness
• Kredit Kecil • Pembinaan
UKM • Dana
Bergulir
MASYARAKAT
DUNIA USAHA PEMERINTAH
• Networking System • Good Management • Transparansi • Akuntabilitas
(Diperlukan untuk Menggerakkan kehidupan sosial ekonomi)
• Prasarana Sosek • Sarana Sosial Ekonomi • Utilitas Umum • Upgrading Slum Area • Revitalisasi • Urban- Rural Services
22
• Ketiadaan Konsensus (legal formal) antar instansi pusat dan daerah
tentang rumusan kebijakan pembangunan perkotaan. Meskipun rumusan
kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan telah disiapkan, pada
prakteknya rumusan tersebut belum pernah dituangkan dalam suatu
produk legal formal, misalnya peraturan pemerintah, peraturan presiden,
peraturan menteri, dan sebagainya. Bentuk pengaturan legal formal ini
diperlukan oleh instansi pemerintah, karena kebijakan tersebut akan
dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah pusat maupun daerah
untuk menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Usaha-usaha
untuk menformalkan sudah pernah dilakukan dengan melibatkan instansi
terkait, melalui berbagai rapat koordinasi, rapat Tim Teknis, dan
sebagainya, akan tetapi produk final sebagai konsensus kebijakan nasional
pembangunan perkotaan tidak pernah terwujud. Akibatnya, kebijakan ini
tidak memperoleh legitimasinya yang diperlukan sebagai acuan
pembangunan perkotaan terutama di daerah.
• Situasi ini barangkali juga disebabkan oleh ketidak-jelasan pembagian
kewenangan antar instansi pemerintah pusat maupun daerah dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan.
Pembagian kewenangan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 25
Tahun 2000 berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Peraturan dan perundangan di atas
pelaksanaannya masih sulit karena terjadinya permasalahan perbedaan
pemahaman antar instansi pemerintah pusat maupun antara pusat dan
daerah, sehingga menimbulkan tumpang tindihnya kewenangan dalam
pelaksanaan kebijakan termasuk pengaturan hak-hak eksploitasi sumber
daya alam. Masalah otonomi daerah ini kemudian diatur kembali melalui
terbitnya Undang-undang No. 32 tahun 2004, sehingga ada revisi dan
perbaikan kejelasan tentang pembagian tugas dan kewajiban antar instansi
pemerintah. Akan tetapi peraturan pemerintah No. 25 Tahun 2000 belum
direvisi, sehingga situasi ketidak-jelasan kewenangan ini masih belum
sepenuhnya bisa diselesaikan.
• Keterkaitan yang lemah antara jakstra pusat-jakstra daerah. Ketiadaan
keterkaitan program pembangunan antara pusat dengan daerah yang
23
terjadi sejak berakhirnya rezim Orde Baru, telah memperlemah efektivitas
pembangunan perkotaan secara nasional. Pada masa sebelumnya,
pembangunan nasional, yang dilaksanakan oleh pusat maupun daerah,
secara keseluruhan mengacu pada satu arah dan kebijakan yang diatur
dalam dokumen Repelita-I sampai dengan Repelita-IV, yang mengatur
secara rinci arah kebijakan, strategi pembangunan, program-program dan
kegiatan, hingga pada penetapan sasaran dan lokasinya. Maka pada era
1998 hingga awal 2004, dokumen Propenas (Program Pembangunan
Nasional) tidak mengharuskan daerah untuk mengikutinya sebagai acuan
pembangunan di daerah. Dibayangi oleh eforia reformasi politik dengan
pemahaman yang berbeda menyangkut penerapan kebijakan otonomi
daerah dan desentralisasi pembangunan, mengakibatkan ketiadaan
sinkronisasi dan koordinasi antara program pembangunan sektor dengan
pembangunan daerah. Karena ketiadaan landasan perangkat hukum,
maka bagi daerah, program pembangunan jangka menengah daerah tidak
perlu disinkronkan dengan program pusat. Misi dan kebijakan pusat yang
mengandung jiwa good governance dengan sendirinya tidak tersebar ke
daerah.
• Sosialisasi Terbatas. Sosialisasi kebijakan pembangunan perkotaan tidak
dilakukan secara merata ke seluruh instansi terkait di pusat dan daerah
maupun ke masyarakat, sehingga kebijakan tersebut tidak tersebar ke
setiap aparat dan instansi yang terlibat dalam proses pembangunan
perkotaan. Ketiadaan landasan legal formal untuk kebijakan tersebut
mengakibatkan rumusan tersebut tidak dapat tersosialisasi secara bebas
sehingga tidak dipahami secara seragam dan merata oleh segenap
tingkatan birokrasi di pusat, di daerah, dan seluruh stakeholders.
Barangkali karena status yang belum legal formal, mengakibatkan instansi
yang berkepentingan dengan penyelenggaraan kebijakan ini menjadi
kurang “percaya diri” untuk mendistribusikannya ke masyarakat luas.
Distribusi dilakukan hanya di lingkungan terbatas di pusat dan daerah, dan
hanya dilakukan pada kesempatan tertentu. Sosialisasi terbatas ini
dengan sendirinya mengurangi kesempatan terdistribusinya jiwa good
governance ke instansi terkait dan masyarakat.
24
• Skala pelaksanaan relatif kecil. Keterbatasan kemampuan anggaran
pemerintah ikut menghambat tersosialisasinya pendekatan good
governance sehingga tidak segera tersebar ke seluruh pelosok tanah air.
Dengan luas negara Indonesia yang sedemikian besar, mendistribusikan
pendekatan ini secara terus menerus ke daerah tentu membutuhkan
sumber daya, terutama dana, yang sangat besar. Keterbatasan ini
mengakibatkan komponen capacity building yang dimuati prinsip good
governance seringkali kurang memperoleh prioritas dalam alokasi
anggaran pemerintah. Alokasi komponen bantuan teknis ini memang pada
umumnya kecil dan komponen ini hanya diperlakukan sebagai pelengkap
terhadap komponen utama, misalnya pembangunan fisik infrastruktur.
Bagi instansi auditor pun, komponen capacity building kurang memperoleh
perhatian yang cukup karena memang indikator komponen ini relatif lebih
sulit diukur tingkat keberhasilannya dibandingkan dengan mengukur
indikator komponen utama yang bersifat fisik. Indikator yang biasa dipakai
untuk komponen capacity building misalnya jumlah paket pelatihan, jumlah
peserta, jumlah jam pelatihan, dan sebagainya. Padahal, efektivitasnya
kegiatan ini harus dilihat dari tingkat pemahaman seseorang dan seberapa
jauh prinsip good governance dari hasil pelatihan berpengaruh terhadap
perilakunya dalam bekerja dan bersikap sehari-hari dalam menjalankan
kinerja instansinya, suatu hal yang memang relatif sulit diukur.
25
BAB V
ALTERNATIF SOLUSI
Dari evaluasi nampak bahwa penerapan pendekatan good governance
yang terkandung dalam kebijakan pembangunan perkotaan ini masih menghadapi
kendala, di antaranya adalah ketiadaan konsensus antar instansi terkait, ketidak-
jelasan pembagian kewenangan antara instansi pusat dan daerah, ketiadaan
keterkaitan kebijakan di pusat dengan di daerah, sosialisasi yang tidak mencukupi,
dan skala penerapan yang terbatas. Dengan demikian diperlukan adanya suatu
alternatif lain yang dapat memberikan solusi dan dapat memperkuat dan
memperluas penerapan good governance dalam pelaksanaan kebijakan
pembangunan perkotaan. Beberapa alternatif yang bisa ditawarkan di antaranya
adalah:
5.1 Penyempurnaan Perangkat Peraturan dan Perundangan
Salah satu alternatif yang ditawarkan adalah penyempurnaan perangkat
peraturan dan perundangan yang mengatur pembagian kewenangan, mekanisme
pelaksanaan, dan mekanisme kontrolnya. Bagi instansi pemerintah di pusat
maupun di daerah, keberadaan landasan hukum ini sangat penting agar suatu
kebijakan dapat dilaksanakan dengan efektif di lapangan. Segera merumuskan
dan menerbitkan peraturan dan perundangan yang diperlukan dalam pelaksanaan
kebijakan pembangunan perkotaan, merupakan kunci awal keberhasilan agar
kebijakan ini dapat dijalankan. Keberadaan Undang-undang Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional telah memberikan
sumbangan karena Undang-undang ini mencoba mengkaitkan keseluruhan
proses pembangunan dari tingkat daerah hingga nasional dan kemudian
dihubungkan dengan proses penganggarannnya. 2 Kemudian yang perlu segera
diterbitkan di antaranya adalah revisi Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000, yang mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan
2 Pada masa sebelumnya, pengaturan tentang proses perencanaan pembangunan ini cukup diatur dalam suatu peraturan setingkat menteri yaitu oleh Menteri Dalam Negeri.
26
pemerintah daerah, serta peraturan-peraturan operasional lain yang mengatur
pelaksanaan otonomi daerah.
Penegakan hukum menjadi langkah penting berikutnya agar segala peraturan
perundangan yang disusun dapat dilaksanakan dan dipatuhi oleh semua pihak
terkait dalam proses pembangunan perkotaan. Law enforcement yang selama ini
menjadi titik kelemahan bagi administrasi pemerintahan dan pembangunan di
Indonesia sudah waktunya diakhiri meski pun hal ini tidak mudah dilakukan dan
memerlukan waktu yang panjang. Penerapan melalui komitmen tinggi dari para
pemimpin birokrasi serta instansi yang membidangi pelaksanaan tertib hukum
akan menjadi pendorong utama proses ini.
5.2 Reformasi Birokrasi
Birokrasi pemerintah saat ini mempunyai ciri-ciri, yaitu postur yang besar,
kualitas sumber daya manusia yang rendah, mempunyai kinerja yang lamban dan
tidak produktif, tidak efisien, etos kerja yang rendah dengan sikap mental “minta
dilayani” dari pada melayani masyarakat. Situasi seperti ini terjadi tidak hanya di
daerah, tetapi juga di pusat. Salah satu wujud dari sikap tidak produktif ini,
misalnya, suatu kebijakan pembangunan perkotaan tidak pernah bisa dirumuskan
dan dilegalisasikan dalam suatu produk hukum yang mengikat bagi semua
stakeholders. Berbagai forum pembahasan, rapat kerja, dan berbagai pertemuan
tim pengarah dan tim teknis yang melibatkan instansi terkait tidak pernah berani
menghasilkan suatu produk kebijakan nasional. Yang sering terjadi adalah suatu
instansi bersikap mengulur-ulur waktu atau sama sekali tidak memberikan
tanggapan terhadap bagian dari draft rumusan kebijakan yang terkait dengan
bidang tugasnya. Adalah suatu kebiasaan birokrasi pemerintahan Indonesia,
bahwa suatu keputusan sering harus dilakukan secara kolektif antar instansi
terkait. Karena sikap ini, maka seringkali suatu instansi tidak merasa perlu untuk
segera menetapkan keputusan atau kebijakan dan lebih menyukai untuk
menunggu dorongan atau reaksi dari instansi lainnya. Pada situasi lain, bila suatu
instansi tidak menyetujui rancangan kebijakan, hal tersebut jarang disampaikan
secara terbuka apalagi formal. Yang dilakukan adalah dengan bersikap diam
atau tidak bersikap, sehingga instansi yang menyiapkan rancangan kebijakan
menunggu-nunggu sehingga rancangan kebijakan menjadi terkatung-katung dan
27
tidak pernah selesai dilegalkan sebagai suatu produk hukum mengikat.
Permasalahan lain yang perlu diperhatikan adalah rendahnya alokasi dana
operasional (overhead) instansi pemerintah dan rendahnya tingkat kesejahteraan
(salary) pegawai negeri. Kondisi ini, harus diakui, mendorong pegawai
pemerintah mencari penghasilan tambahan, di antaranya dengan menguasai
kewenangan-kewenangan yang berpotensi menghasilkan sumber dana tambahan
bagi instansinya maupun kepentingan individual. Di pusat, misalnya, ketidak-
jelasan pembagian kewenangan terkait pembangunan perkotaan tidak semata-
mata akibat ketidak-lengkapan perangkat peraturan dan perundangan, akan tetapi
pada tingkatan tertentu diakibatkan oleh keinginan instansi-instansi untuk
mempunyai kewenangan yang notabene tidak sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) instansinya sebagaimana dirumuskan dalam peraturan
perundangan yang menetapkannya. Keinginan yang terselubung adalah
memegang kewenangan tertentu agar instansi tersebut dapat menguasai proyek-
proyek pembangunan perkotaan yang dapat menghasilkan sumber pendanaan
besar. Kondisi seperti ini menghasilkan kekisruhan tugas dan tarik menarik
kewenangan antar instansi, di mana suatu fungsi yang “basah” cenderung
diminati oleh banyak instansi sedangkan yang “kering” akan diabaikan atau tidak
ada yang mengurus.
Dalam situasi birokrasi seperti tersebut, pembinaan ke arah good governance
tidak akan menghasilkan suatu dampak yang efektif dan bersifat menyeluruh.
Birokrasi Indonesia dari daerah hingga pusat memerlukan reformasi yang
mendasar, hal ini meliputi sistem rekruitmen, sistem penggajian, sistem karier,
pembinaan etos kerja, dan sebagainya. Dengan dilakukannya reformasi ini, maka
diharapkan terjadi suatu peningkatan kinerja pemerintah di pusat maupun di
daerah. Birokrasi pemerintah perlu dibuat dengan postur yang lebih ramping,
lebih profesional, efisien dan efektif, dan bekerja dengan tujuan mengabdi kepada
masyarakat.
5.3 Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah
Tuntutan pembangunan perkotaan pada masa mendatang masih akan
berkisar pada pembangunan pelayanan publik, mendorong pembangunan ekonomi
lokal, upaya mengurangi kemiskinan, dan penyelenggaraan pemerintahan yang
28
baik. Dengan kata lain, kapasitas yang diperlukan bagi daerah, khususnya dalam
pengembangan kota adalah suatu urban development management reform
(UDMR). Lingkup UDMR ini tidak hanya pembangunan prasarana dan sarana
perkotaan, tetapi juga menyangkut kemampuan manajemen fiskal, kewiraswastaan,
komunikasi/informasi dan pengembangan masyarakat.
Untuk itu, perlu pengembangan kapasitas manajemen pembangunan daerah
dalam mewujudkan kemandirian daerah paling tidak akan meliputi 3 hal, yaitu
pengembangan kapasitas perencanaan, kapasitas keuangan serta kapasitas
SDM dan kelembagaan.
• Pengembangan Kapasitas Keuangan: Di samping hal-hal indikator
manajemen, pelayanan, dan good governance, adalah soal keuangan.
Apabila kondisi keuangan daerah baik, aksesibel dan informatif; maka postur
pembangunan daerah juga baik; sebaliknya apabila kondisi keuangan kurang
baik dan acak, maka akan terjadi hal sebaliknya. Oleh karena itu, perhatian
terhadap peningkatan kapasitas di bidang keuangan sangatlah krusial, di mana
akuntabilitas manajemen yang transparan akan dengan mudah dapat diawasi
dan dinilai kinerjanya. Dengan demikian, peningkatan kapasitas manajemen
keuangan merupakan bagian kunci untuk mewujudkan good govenance.
• Pengembangan Kapasitas SDM dan Kelembagaan: Dalam upaya
pengembangan kapasitas, pendekatan yang dilakukan haruslah "demand
driven" dari pada "supply driven". Untuk itu, pengetahuan mengenai
kebutuhan bermacam-macam dari banyak daerah haruslah diidentifikasi.
Kebutuhan peningkatan kapasitas daerah haruslah sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi oleh daerah bersangkutan sehingga upaya
peningkatan kapasitas menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi.
Sesuai dengan karakteristik daerah, permasalahan daerah juga bermacam-
macam. Namun demikian, berdasarkan kronologis perubahan yang terjadi baik
globalisasi, krisis, dan perubahan sistem pemerintahan, permasalahan yang
pokok adalah pada tataran ekonomi, lebih khusus lagi adalah masalah
pengangguran dan kemiskinan, di samping masalah pelayanan publik.
Permasalahan semacam ekonomi dan pelayanan publik sifatnya multidisiplin.
Dengan demikian, pendekatannya lebih kepada peningkatan kapasitas
manajerial dari pada teknikal. Pendekatan manajerial ini, selain sifatnya
29
komprehensif, harus ditopang sistem kelembagaan yang kondusif dan baik.
Untuk itu penciptaan situasi yang kondusif, melalui prinsi-prinsip good
governance harus dilakukan secara sistematis dan gradual.
Untuk itu, beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk mendukung keberhasilan
pelaksanaan Good Governance, antara lain :
• Pendekatan kesejahteraan, yaitu pemberian fasilitas/kesejahteraan yang
baik;
• Adanya pimpinan yang jadi panutan atau contoh;
• Pemberian reward dan punishment
• Pemberian motivasi, melalui pendekatan mental spiritual dan sistem
pendidikan dan latihan.
5.4 Pemberdayaan Masyarakat
Penyelenggaraan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan harus
melibatkan partisipasi masyarakat dan stakeholder lain yang bertindak sebagai
penggerak atau yang bisa disebut dengan pendekatan “community driven
planning”. Melalui pendekatan ini masyarakat akan menjadi stakeholder utama
atau sebagai “sumber bertindak” dan pemerintah akan menjadi fasilitator.
Stakeholder yang dimaksud adalah seluruh komponen masyarakat perkotaan
yang terdiri dari unsur-unsur masyarakat, usaha swasta, perguruan tinggi
setempat, pemerintah daerah, wakil legislatif, serta lembaga non-pemerintah.
Dalam prakteknya saat ini di beberapa proyek percontohan, keterlibatan
stakeholder sebagai usaha untuk mewujudkan good governance dalam
pengelolaan perkotaan belum terjadi sebagaimana diharapkan. Berbagai usaha
perlu dilakukan untuk mensosialisasikan dan membina keterlibatan stakeholder
dalam pengelolaan perkotaan. Salah satu wujud yang disarankan adalah
pembentukan “forum kota” yang berfungsi sebagai wadah masyarakat dan
sebagai mitra untuk memberikan masukan dan saran berkenaan dengan
pengelolaan sumber daya baik yang berupa keuangan, manusia, serta ruang dan
lahan sebagai sumber daya fisik yang dimiliki suatu kota. “Forum Kota” juga akan
berfungsi sebagai pengawas bagi pelaksanaan pengelolaan perkotaan, sehingga
arah dan sasaran pengelolaan perkotaan tetap sesuai dengan kesepakatan antar
unsur-unsur stakeholder di kota yang bersangkutan.
30
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Penerapan prinsip-prinsip good governance di Indonesia telah
dilaksanakan terutama sejak berakhirnya rezim Orde Baru sekitar tahun 1998, di
mana reformasi sosial politik dan ekonomi telah dilakukan oleh pemerintah, di
antaranya melalui kebijakan peningkatan otonomi daerah dan desentraliasi
pembangunan. Bersamaan dengan hal tersebut, maka suatu kebijakan
pembangunan perkotaan telah dirumuskan oleh pemerintah dan memuat
kebijakan tersebut di atas serta prinsip-prinsip good governance.
Pemerintah telah menerapkan kebijakan pembangunan perkotaan, yang memuat
pendekatan good governance, melalui berbagai program dan kegiatan capacity
building yang dibiayai dari dana pemerintah sendiri yaitu APBN dan APBD daerah.
Secara simultan, program-program khusus yang mempromosikan good
governance dengan dana pinjaman maupun hibah luar negeri juga dilaksanakan
oleh berbagai lembaga bantuan asing dan dilaksanakan di berbagai daerah
sebagai proyek-proyek percontohan.
Dari evaluasi pelaksanaan kebijakan pembangunan perkotaan dengan program-
program yang bermuatan prinsip-prinsip good governance, nampak bahwa
permasalahan penerapan good governance terutama terletak pada: (i) ketiadaan
konsensus antar instansi terkait sehingga rumusan kebijakan pembangunan
perkotaan tidak pernah memeperoleh legitimasinya, karena kebijakan tersebut
belum diwujudkan dalam suatu produk legal formal; (ii) ketidak-jelasan pembagian
kewenangan antar instansi terkait; (iii) keterkaitan yang lemah antara kebijakan
pusat dengan kebijakan daerah;(iv) sosialisasi yang terbatas; serta (v) skala
pelaksanaan program-program good governance yang terbatas.
Berdasarkan evaluasi terhadap kelemahan-kelemahan penerapan prinsip good
governance, maka telah diusulkan beberapa alternatif solusi, yaitu sebagai berikut:
(i) penyempurnaan perangkat peraturan dan perundangan; (ii) reformasi birokrasi
31
pemerintah; (iii) peningkatan kapasitas pemerintah daerah; serta (iv)
pemberdayaan masyarakat.
5.2 Rekomendasi
Dari uraian-uraian di atas, maka dapat diberikan suatu rekomendasi bahwa
penegakan good governance di Indonesia sebenarnya terletak pada masalah
kesadaran dan komitmen moral dari pemimpin-pemimpin masyarakat yang telah
dipilih dan diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk memimpin mereka. Namun
demikian, membuat komitmen untuk mewujudkan good governance perlu
diperhatikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut::
(i) Good Governance harus merupakan produk dan hasil dari suatu totalitas
pembangunan yang bersifat multidimensional. Good Governance tidak dapat
diwujudkan kalau tidak diperhitungkan segi pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat. Adalah sulit mewujudkan good governance tanpa
melihat dampak pendidikan, baik pendidikan formal melalui sekolah maupun
pendidikan dalam lingkungan masyarakat. Adalah suatu pemikiran yang keliru
apabila beranggapan bahwa Good Governance dapat diciptakan melalui suatu
proyek yang meletakkan good governance sebagai maksud dan tujuannya.
(ii) Good Governance harus merupakan produk dari suatu sistem dari
suatu masyarakat secara keseluruhan. Tidak mungkin diciptakan good
governance hanya di suatu daerah atau kota atau kabupaten saja, apabila tidak
terdapat good governance dalam sistem tatanan nasional secara keseluruhan.
Tidak mungkin pula menciptakan good governance hanya di suatu departemen
atau instansi, tanpa komitmen dari keseluruhan instansi pemerintahan, dan lebih
mustahil apabila ingin menciptakan good governance hanya di suatu proyek.
(iii) Good Governance merupakan komitmen bangsa dan hanya dapat
diwujudkan melalui pemimpin- pemimpin yang menghargai nilai-nilai, menjadi
panutan, dan secara aktif mengupayakan penciptaan good governance dalam
lingkungan tugas masing-masing. Dengan demikian, good governance tidak
dapat di-impor dari luar dan sulit diharapkan dapat terwujud hanya karena,
misalnya, adanya bantuan teknis dari luar negeri, yang ingin menerapkan nilai-
nilai good governance yang bersifat universal.
32
Di lingkungan pemerintah daerah, Good Governance harus merupakan komitmen
dari pimpinan, dalam hal ini adalah para pimpinan kota atau instansi di daerah.
Wujud komitmen ini dapat dalam bentuk-bentuk sebagai berikut: (i) Komitmen
harus dicerminkan dalam visi pembangunan kota, yaitu bagaimana suatu kota
dapat menciptakan good governance bersamaan dengan wajah kota yang ‘layak
huni’ (livable), mandiri, melayani masyarakatnya, serta memiliki kelayakan atau
kredibilitas dalam suatu suasana pembangunan yang berkelanjutan; (ii) Komitmen
tersebut harus diwujudkan melalui penerapan konsep manajemen kota yang tepat.
Konsep manajemen harus dapat melihat semua permasalahan pembangunan
kota secara multidimensional, tidak hanya terfokus pada salah satu segi atau
bidang permasalahan saja. Salah satu bagian yang strategis dari fungsi
manajemen kota adalah kemampuan kota untuk mengelola semua sumber daya
yang dimiliki kota tersebut, baik sumber daya yang berupa keuangan, manusia,
serta ruang dan lahan sebagai sumber daya fisik yang dimiliki suatu kota.
33
DAFTAR LITERATUR
Biasane, Achmad Natsir, 2004. Kajian Perkembangan Agenda 21. Paper matakuliah Perubahan Lingkungann Global, PS-PSL IPB.
Caldwell, Lynton K. 1990. Between Two Worlds: Science, the Environmental Movement and Policy Choice. Cambridge University Press.
Hadi, Sudharto P. 2001, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Gadjah Mada University Press. Yogayakarta.
Inspektorat Jenderal, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004. Strategi Menuju Pemerintahan yang Bersih (Clean Government), Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta.
Inspektorat Jenderal, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004. 10 Prinsip-prinsip Good Governance, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup, 1996. Agenda 21 Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta.
Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2005. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 494/PRT/M/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Salim, Emil, 1989. Sustainable Development: An Indonesian Perspective. Paper presented at AISEC. Jakarta.
Salim, Emil, 2005. Bahan Matakuliah “Sustainable Development” untuk PS-PSL IPB. Bogor.
Sarosa, Wicaksono, 2002. A Framework for the Analysis of Urban Sustainability. Urban and Regional Development Paper Series, No. 2. URDI, Jakarta.
Sustainable Development International: http://www.sustdev.org.
World Commission on Environment and Development (WCED), 1987. Our Common Future. Oxford University Press, New York, USA.