Upload
nguyendat
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK
PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN
ASAS NON SELF INCRIMINATION
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih
Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
ADITYA NOR PRATAMA
NIM. E 0006052
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK
PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN
ASAS NON SELF INCRIMINATION
Oleh :
ADITYA NOR PRATAMA
E0006052
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Pembimbing
Kristiyadi, S.H., M.Hum
NIP. 195812251986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK
PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN
ASAS NON SELF INCRIMINATION
Oleh :
ADITYA NOR PRATAMA
E0006052
Telah disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 25 Januari 2011
DEWAN PENGUJI
1. Edy Herdyanto, S.H., M.H. : ………….………….. Ketua
2. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. :………………………
Sekertaris
3. Kristiyadi, S.H., M.Hum :……………………… Anggota
Mengetahui :
Dekan
(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum)
NIP. 19610930198601100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
HALAMAN PERNYATAAN
Nama : Aditya Nor Pratama
NIM : E 0006052
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK
PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF
INCRIMINATION adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya
saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam
daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pancabutan penulisan
hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 17 Januari 2011
Yang menyatakan
(Aditya Nor Pratama)
NIM. E 0006052
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Aditya Nor Pratama, 2011, PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION.
Penelitian ini mengkaji mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi berkait potensi penyalahgunaan asas non self incrimination.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi hukum. Dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu untuk memudahkan penanganan perkara korupsi digunakan sistem pembuktian terbalik berdasarkan UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (pasal 37 dan 37A) dan pembuktian terbalik penuh/murni (pasal 12B ayat 1a). Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam Undang Undang tersebut, baik pembuktian terbalik terbatas maupun pembuktian terbalik penuh/murni . Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif atau berdasarkan pada asas beyond reasonable doubt yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHP. Kedua, Pada Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang 20 Tahun 2001 tersebut tampak jelas bahwa Tedakwa dibebani kewajiban pembuktian. Tedakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi dan memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terperinci, dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian menyebabkan beralihnya asas “praduga tidak bersalah’ (Presumption of innonccen) menjadi asas “praduga bersalah” (presumption of Guilt). Konsekuensi logis dimensi demikian maka “praduga bersalah” relatif cenderung dianggap sebagai penggingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas ‘praduga tak bersalah” dan asas “tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination).
Kata Kunci : Pembuktian terbalik, korupsi, non self incrimination
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRAK
Aditya Nor Pratama, 2011, PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION. Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini mengkaji mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi berkait potensi penyalahgunaan asas non self incrimination.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi hukum. Dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu untuk memudahkan penanganan perkara korupsi digunakan sistem pembuktian terbalik berdasarkan UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian, yaitu pembuktian terbalik terbatas (pasal 37 dan 37A) dan pembuktian terbalik penuh/murni (pasal 12B ayat 1a). Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur dalam Undang Undang tersebut, baik pembuktian terbalik terbatas maupun pembuktian terbalik penuh/murni . Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap kasus korupsi adalah bersifat negatif atau berdasarkan pada asas beyond reasonable doubt yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHP. Kedua, Pada Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang 20 Tahun 2001 tersebut tampak jelas bahwa Tedakwa dibebani kewajiban pembuktian. Tedakwa diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi dan memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terperinci, dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian menyebabkan beralihnya asas “praduga tidak bersalah’ (Presumption of innonccen) menjadi asas “praduga bersalah” (presumption of Guilt). Konsekuensi logis dimensi demikian maka “praduga bersalah” relatif cenderung dianggap sebagai penggingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas ‘praduga tak bersalah” dan asas “tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination).
Kata Kunci : Pembuktian terbalik, korupsi, non self incrimination
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Kemungkinan terbesar adalah berusaha membuat kemungkinan
pada ruang ketidakmungkinan
Kebenaran dan keadilan tak pernah bisa ditegakkan dengan kebencian.
Kebenaran dan keadilan bagi kebahagiaan kehidupan hanya dapat ditegakkan
dengan kasih sayang. Karna kasih sayang, seperti kemerdekaan, berasal dari
Tuhan, dan kebencian, seperti belenggu, berasal dari setan.
(A. Mustofa Bisri)
Kebahagiaan diri kita tidak tergantung pada apa yang orang lain pikirkan dan
cara mereka bertindak, tetapi sangat tergantung kepada apa yang kita pikirkan
dan cara kita bertindak. Sesungguhnya kita masing-masing bisa memerankan
peranan penting dalam menentukan masa depan kita sendiri.
(Daug Hooper)
Hadapilah problem hidup diri kamu dan akuilah keberadaannya, tetapi jangan
biarkan diri kamu dikuasainya. Biarkanlah diri kamu menyadari adanya
pendidikan situasi berupa kesabaran, kebahagiaan, dan pemahaman makna
(Hellen Keller).
Memecahkan masalah itu mengenal masalah lebih sulit, tetapi menemukan
masalah jauh lebih sulit
(Albert Einstein).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada :
Bapak Ibuku Tercinta Terima kasih ya Allah, aku telah diberi orang tua seperti mereka....
Terima kasih atas segala ketulusan dan kasih sayangmu........
Terima kasih atas semua do’a dan kesabaranmu..........
Semoga aku dapat membahagiakan kalian.........
Teman Teman & Sahabatku Without you I’m Nobody, with you I’m Somebody.....
Almamaterku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan segala
rahmad dan hidayah-Nya. Yang selalu memberikan jalan dan kemudahan kepada
penulis sehingga Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul, “PENERAPAN
SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF INCRIMINATION” dapat
terselesaikan tepat waktu.
Banyak hambatan dan permasalahan yang dihadapi penulis dalam
menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Penulis menyadari bahwa keberhasilan
dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini tidak bisa terlepas dari bantuan semua
pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak
langsung, secara materiil maupun non materiil. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya, terutama kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan ijin dan kesempatan
kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini.
2. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang
telah membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini.
3. Bapak Edy Herdyanto S.H. M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum UNS.
4. Bapak Bambang Santoso, S.H.,M.Hum., selaku Ketua Laboratorium Ilmu
Hukum Fakultas Hukum UNS.
5. Bapak Kristiyadi, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Penulisan
Hukum ini, yang telah memberikan masukan serta bimbingannya. Terima
kasih atas segala kemudahan dan bantuan yang sangat penulis butuhkan
6. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H, M.H selaku Dosen Acara Pidana dan
Pembimbing Proposal Skripsi ini.
7. Bapak Dr.Hari Purwadi,S.H, M.Hum. selaku Pembimbing Akademik
penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak
dapat saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang tiada
terkira berharganya bagi hidup dan kehidupan penilis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
9. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas
Sebelas Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta
kesempatankesempatan yang telah diberikan.
10. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS
11. Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian, kasih sayang
yang diberikan.
12. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas
semua bantuan baik materiil maupun imateriil.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini sangat jauh dari sempurna,
untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari para pembaca
yang budiman. Akhir kata, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.
Surakarta, 17 Januari 2011
Aditya Nor Pratama
NIM. E 0006052
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAN .......................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
HALAMAN MOTTO..................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 5
E. Metode Penelitian ................................................................................ 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 11
A. Kerangka Teori...................................................................................... 11
1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi.......................... 11
a) Pengertian Korupsi.................................................................... 11
b) Pengertian Tindak Pidana Korupsi............................................ 12
2. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian............................................. 14
a) Pengertian Pembuktian............................................................... 14
b) Teori – Teori Pembuktian.......................................................... 16
c) Sistem Pembuktian Yang Dianut KUHAP............................... 18
d) Sistem Pembalikan Beban Pembuktian..................................... 19
e) Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.............................. 20
3. Tinjauan Umum Tentang Asas Pembuktian Terbalik..................... 21
a) Pengertian Asas Pembuktian Terbalik..................................... 21
b) Pengaturan Asas Pembuktian Terbalik....................................... 22
4. Tinjauan Umum Tentang Asas Non Self Incrimination................... 24
a) Pengertian Asas Non Self Incrimination.................................... 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
B. Kerangka Pemikiran............................................................................... 26
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………… 28
A. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia...........................................................................…………… 28
B. Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi terkait
Asas Non Self Incrimination……………............................................. 44
BAB IV PENUTUP............................................................................... 54
SIMPULAN ............................................................................. 54
SARAN .................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kearah kemajuan di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sektor
kehidupan seperti, sektor sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, teknologi
dll, namun disamping adanya perkembangan yang cukup baik tersebut, ternyata
Indonesia mengalami perkembangan lain yang cukup memprihatinkan. Akibat
dari kemajuan tersebut ternyata membawa pengaruh terhadap pola perilaku
masyarakat yang negatif antara lain adanya kemajuan itu adalah tindak kejahatan.
Kejahatan tidak terlepas dari proses-proses dan strukturstruktur sosial ekonomi
yang tengah berlangsung
Salah satu jenis/bentuk kejahatan yang ada adalah korupsi. Korupsi
merupakan bentuk kejahatan yang sulit untuk diberantas. Korupsi merupakan
kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa / Extraordinary
Crime. Kejahatan ini telah menggerogoti hampir semua sendi sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga Usaha penanggulangan bentuk kejahatan
tersebut sangat diprioritaskan karena korupsi dipandang dapat mengganggu dan
menghambat pembangunan nasional, merintangi tercapainya tujuan nasional,
mengancam keseluruhan sosial, merusak citra aparatur yang bersih dan
berwibawa yang pada akhirnya akan merusak kualitas manusia dan lingkungannya
(Widodo T Novianto, 2007:1).
Korupsi itu sendiri merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi
yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan
dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana
yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga
memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat
menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional
maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan
dukungan manajemen tata laksanan pemerintahan yang baik dan kerja sama
internasional, termasuk pengambalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana
korupsi.
Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu
mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
masuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton dalam
H.M. Arsyad Sanusi, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge,
Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia
menyatakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”
(kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup
secara absolut) (H.M. Arsyad Sanusi. 2009:83).
Lahirnya UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001
sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971. Terdapat banyak ketentuan baru
mengenai korupsi, baik hukum materiil maupun hukum formalnya semangat
bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi dapat dilihat juga dari sebagian
program kerja 100 hari tahun 2009 dari Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono, tekad Pemerintah SBY guna memberantas korupsi di Indonesia
sampai keakar-akarnya. Harapan kedepan pembuktian perkara korupsi akan lebih
baik dan dapat menjunjung nilai keadilan. Strategi penegakkan hukum tersebut
menjadi semakin relevan berhubung dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun
2004 tertanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Perkembangan praktik korupsi yang semakin menyulitkan ini dalam proses
penyidikannya, kini disikapi serius oleh beberapa negara. Penelitian oleh negara
maju memunculkan alternatif asas pembuktian baru yang dipandang tidak
bertentangan dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi. Strategi
hukum ini dinilai sangat efektif dalam menguak asal usul harta kekayaan yang
diduga diperoleh karena korupsi. Teori pembuktian korupsi dan tindak kriminal
lain yang selama ini digunakan di Indonesia adalah asas pembuktian ‘beyond
reasonable doubt’. Teori ini digunakan karena dinilai tidak bertentangan dengan
prinsip ‘praduga tak bersalah’ (presumption of innocence). Namun penggunaan
teori ini dalam regulasi hukum untuk tindak pidana korupsi sering kali
menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi
Salah satu kendala utama dalam upaya pengungkapan perkara korupsi secara
tuntas, adalah berkaitan dengan masalah pembuktian di pengadilan. Pelaksanaan
pembuktian yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam perkara korupsi,
bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Tindak Pidana korupsi adalah tindak
pidana yang mempunyai karakteristik tertentu, yang menyulitkan bagi penuntut
umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Banyaknya perkara korupsi yang
gagal dibuktikan di pengadilan, yang ditandai dengan dijatuhkannya putusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
bebas bagi terdakwa, menunjukkan bahwa perkara korupsi memang mengandung
tingkat kesulitan yang sangat tinggi dalam masalah pembuktian
Di tengah kebuntuan proses hukum pembuktian untuk menghadapkan para
pelaku korupsi kehadapan proses peradilan pidana, penerapan sistem pembalikan
beban pembuktian oleh sementara ahli hukum diyakini mampu mengeliminasi
tingkat kesulitan pembuktian. Terlebih lagi, sampai detik ini kita semua
menyadari akan lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia
Dalam sistem pembuktian terbalik, tesangka atau terdakwalah yang harus
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau
dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik merupakan
pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence"
dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku.
Salah satu indikator fair trial adalah asas Non Self Incrimination. Dalam
menentukan atas setiap dakwaan yang ditujukan padanya, setiap orang berhak
“untuk tidak dipaksa untuk memberikan keterangan yang memberatkan dirinya
atau dipaksa mengaku bersalah” Prinsip ini dalam KUHAP tercermin secara
parsial melalui beberapa pasal yaitu Pasal 66 KUHAP bahwa tidak ada beban
kewajiban pembuktian bagi Tersangka. Beban pembuktian menjadi kewajiban
Jaksa Penuntut Umum, Pasal 189 ayat (3) bahwa keterangan Terdakwa hanya
dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri.
Penulisan hukum ini hendak membicarakan salah satu asas yang aktual dan
relevan dalam penuntasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dewasa ini, yakni asas
non-self incrimination. Asas ini sangat penting karena proses penegakan hukum di
satu sisi harus dihindari dari kemungkinan kesewenang-wenangan dan karena itu
harus menghormati asas praduga tak bersalah. Asas non-self incrimination itu
sendiri adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses
peradilan pidana. Hal itu dapat berupa tindakan atau pernyataan yang diambil atau
berasal dari seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu dirinya
menjadi in a crime. Larangan ini berangkat dari beban negara untuk menuduh dan
membawa seseorang ke pengadilan, untuk membuktikan kesalahannya itu.
Seseorang yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban negara
itu. Tetapi disisi lain dalam memberlakukan pembuktian terbalik terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengkaji kembali mengenai
sistem pembuktian terbalik dengan asas non self incrimination, oleh karena itu
peneliti ingin menuangkan hasil penelitian tersebut dalam penulisan hukum yang
berjudul “PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA
TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN ASAS NON SELF
INCRIMINATION”.
B. Rumusan Masalah
Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk
mengidentifikasi persoalan yang diteliti, sehingga penelitian akan lebih terarah
pada tujuan yang ingin dicapai. Perumusan masalah digunakan untuk
mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti, yang
dapat memudahkan peneliti dalam mengumpulkan, menyusun, dan
menganalisa data. Untuk mempermudah dalam pembahasan permasalahan
yang akan diteliti maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penerapan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam
perkara tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana pelaksanaan sistem pembuktian terbalik dalam proses
pembuktian tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self
incrimination ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan
masalah dari judul penelitian itu sendiri untuk memberikan arah yang tepat
dalam proses penelitian agar penelitian berjalan sesuai dengan apa yang
dikehendaki. Oleh karena itu peneliti mempunyai tujuan atau hal-hal yang
ingin dicapai melalui penelitian ini .Adapun tujuan obyektif dan subyektif
yang hendak dicapai peneliti adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem pembuktian terbalik
pada tindak pidana korupsi di Indonesia dan bagaimana sistem pembuktian
terbalik pada tindak pidana korupsi bila dikaitkan dengan asas non self
incrimination.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
2. Tujuan Subyektif
a) Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti di bidang Hukum
Acara Pidana khususnya mengenai penerapan sistem pembuktian
terbalik pada tindak pidana korupsi di Indonesia dan bila dikaitkan
dengan asas non self incrimination.
b) Untuk memperoleh data sebagai bahan utama dalam penyusunan skripsi
dalam rangka memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar
SI dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Peneliti berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini
akan bermanfaat bagi peneliti maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat
diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang
Hukum Acara Pidana secara teoritis khususnya mengenai
penerapan pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi
dikaitkan dengan asas non self incrimination, guna pengembangan
ilmu pengetahuan.
b) Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk
mengetahui lebih jauh mengenai penerapan sistem pembuktian
terbalik pada tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas non self
incrimination, dalam bentuk konsep maupun teori hukumnya.
2. Manfaat Praktis
a) Menambah ilmu dan pengalaman peneliti di bidang penelitian
karya ilmiah khususnya karya penelitian ilmu hukum.
b) Hasil penelitian dapat memberikan jawaban atas permasalahan-
permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian
ini.
c) Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak
yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, bagi
masyarakat pada umumnya dan mahasiswa fakultas hukum
terkhususnya dalam menyikapi keberlakuan system pembuktian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
terbalik pada tindak pidana korupsi terkait dengan asas non self
incrimination.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian
antara lain sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud
Marzuki, Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi” (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 35). Penelitian
hukum menurut Hutchison dibedakan menjadi 4 tipe yaitu:
a. Doctrinal Research;
b. Reform-Oriented Research;
c. Theoretical Research;
d. Fundamental Research (Hutchison dalam Peter Mahmud Marzuki,
2007: 32 33).
Ketiga tipe penelitian hukum yang dikemukakan Hutchinson yaitu
Doctrinal Research, Reform-Oriented Research, dan Reform-Oriented
Research menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian doctrinal
sedangkan penelitian sosiolegal termasuk dalam tipe keempat yaitu
Fundamental Research (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 33).
Penelitian hukum ini masuk kedalam penelitian doktrinal karena
keilmuan hukum memang bersifat preskriptif yaitu melihat hukum sebagai
norma sosial bukan gejala sosial.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini dalah penelitian yang bersifat preskriptif
dan terapan. Sebagai suatu ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep konsep hukum dan norma norma hukum. Sebagai ilmu terapan
ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu
rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki.
2005:22)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xix
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti akan memberikan
preskripsi mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik pada tindak
pidana korupsi yang dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan asas non
self incrimination.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya:
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach).
b. Pendekatan kasus (Case Approach).
c. Pendekatan historis (Historical Approach).
d. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach).
e. Pendekatan konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud
Marzuki, 2007:93-94).
Peneliti dalam hal ini menggunakan pendekatan perundang - undangan
(Statute Approach) yaitu pendekatan terhadap Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. dan Undang
Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum
Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki,
mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal
adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif ,
artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:
a. Batang Tubuh UUD RI tahun 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
c. Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
d. Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xx
b. Bahan Hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki,
2005:141) Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data yang
digunakan dalam penelitian ini ini yaitu buku-buku teks yang ditulis
para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya
yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran
mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu hukum yang
dihadapi. Dalam hal penelitian menggunakan pendekatan perundang -
undangan (statute approach), yang dilakukan adalah mencari peraturan
perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan isu tersebut yaitu
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik
kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006:393)
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data
dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan
tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja yang disarankan oleh data (Lexi
J. Moleong, 2009:103). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik
analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data,
mengkualifikasikan kemudian menghubungkan teori yang berhubungan
dengan masalah dan menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.
F. Sistematika Penelitian Hukum
Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan
memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxi
dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam
bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana
tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk
memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun
penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan mengenai pendahuluan yang
terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang
terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam
kerangka teori berisi tentang tinjauan umum tentang
tindak pidana korupsi, tinjauan umum tentang
pembuktian, tinjauan umum tentang asas pembuktian
terbalik serta tinjauan tentang asas non self incrimination.
Sedangkan kerangka pemikiran berisi pemikiran
mengenai bagaimana keberlakuan sistem pembuktian
terbalik pada tindak pidana korupsi berkait potensi
penyalahgunaan asas non self incrimination.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan penjelasan dari hasil penelitian dan
pembahasan mengenai penerapan sistem pembuktian
terbalik pada tindak pidana korupsi dikaitkan dengan asas
non self incrimination.
BAB IV : PENUTUP
Merupakan bagian akhir dari penulisan hukum yang
berisikan beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan
pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxii
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai
dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara
dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian
korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan
zaman.
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corruptie atau Corruptus.
Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata
Corrumpore, suatu kata latin kuno. Dari bahasa latin inilah, istilah
Corruptio turun kebanyak bahasa Eropa, seperti inggris: Corruption,
Corrupt; Prancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie (korruptie.
(Lilik Mulyadi:2000:16)
Menurut Black’s Law Dictionary, pengertian korupsi adalah:
“The act of doing something with an intent to give some advantage in consistent with official duty and the rights of others; a fiduciary’s of official’s use of a station or office to procure some benefit either personally of for someone else, contrary to the rights of others” (Bryan Garner, 1999).
Arti harfiah dari kata Corrupt ialah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina
atau memfitnah (Andi Hamzah, 1984: 9), sedangkan menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau
penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan
pribadi atau orang lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1990: 462).
Andi Hamzah (2005:13) menyebutkan ada beberapa faktor yang
menyebabkan tumbuh suburnya korupsi:
1. Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika dibandinkan
dengan kebutuhan sehari hari yang semakin meningkat.
2. Kultur kebudayaan Indonesia yang merupakan sumber meluasnya
korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxiii
3. Manajemen yang kurang baik serta komunikasi yang tidak efektif
dan efisien.
4. Modernisasi.
b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana Korupsi merupakan salah satu satu bagian dari
hukum pidana khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang
berbeda dengan hukum pidana umum, sepeerti adanya penyimpangan
pada hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka
secara langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk menekan
seminimal mungkin kebocoran dan penyimpangan keuangan dan
perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini mungkin
penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan
pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga
lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Secara Yuridis Formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat
dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan
Pasal 20 serta Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan
dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Suatu perbuatan atau tindakan untuk dapat dikategorikan sebagai
suatu tindak pidana mempunyai unsur-unsur tindak pidana yang harus
dipenuhi. Demikian halnya suatu tindak pidana untuk dikatakan
sebagai suatu tindak pidana korupsi terdapat unsur-unsur yang harus
dipenuhi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang
dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:
1) Pasal 2 ayat (1) : “Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.”
2) Pasal 3 : “Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxiv
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Mengacu kepada definisi dari masing-masing Pasal maka
dapat diuraikan unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi,
yaitu:
• Setiap orang termasuk pegawai negeri, orang yang menerima
gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang
menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah, orang yang
menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau
masyarakat. Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas
termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk
korporasi.
• Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak,
sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun
material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari
itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur
dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah
ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut.
• Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 15 Undang-undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa
upaya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum
terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun
jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga
telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan.
• Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi
adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana
korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu
korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya
diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxv
lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset
berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan
keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara
melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi,
juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau
orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-
hubungan lainnya.
• Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan
peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak
pidana korupsi merupakan merupakan delik formil, yaitu
adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya
unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah
kerugian negara.
2. Tinjauan Umum tentang Pembuktian
a. Pengertian Pembuktian.
Dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan tugas hakim
adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran yaitu bahwa tindak
pidana yang didakwakan terhadap terdakwa benar-benar telah terjadi
dan ia dapat dipersalahkan melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu di
depan persidangan hakim berupaya merekonstruksi kebenaran peristiwa
yang ada. Merekonstruksi peristiwa adalah membuktikan kebenaran
peristiwa tersebut. Masalah pembuktian ini merupakan masalah yang
pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian menempati titik
sentral dalam hukum acara pidana.
Pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-ketentuan
yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan undangundang untuk membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa (Yahya Harahap:1986:36).
Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah keseluruhan aturan
hukum atau aturan undang-undang mengenai kegunaan untuk
merekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxvi
lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang lain yang diduga
melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti
menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan
dalam perkara pidana (Bambang Poernomo: 1985 :38)
Dari pengertian pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan inti dari
hukum pembuktian adalah :
1. Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang
memberikan pedoman mengenai cara-cara untuk membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa yang dibenarkan oleh
undang-undang
2. Hukum pembuktian mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti yang
boleh digunakan hakim dan diakui undangundang yang digunakan
untuk membuktikan kesalahan terdakwa
3. Hukum pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur cara
menggunakan maupun menilai kekuatan pembuktian dari masing-
masing alat bukti.
b. Teori Teori Pembuktian
Secara teoritis teori tentang pembuktian ada 4 (empat) macam, yaitu :
1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
positif (positief wettelijke bewijs theorie).
Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada
dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian berdasar undang-
undang secara positif. Dikatakan secara positif, karena hanya
didasarkan kepada Undang - Undang. Artinya jika telah terbukti
suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undang-
undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.
Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele
bewijstheori).
Menurut D. Simons sebagaimana dikutip Andi hamzah,
bahwa system atau teori pembuktian berdasar undang-undang
secara positif (positief wettelijke) ini berusaha untuk menyingkirkan
semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxvii
ketat menurut peraturan pembuktian yang keras (Andi Hamzah
:1996:269).
2) Sistem atau teori Pembuktian Negatif.
Dalam sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang
bersalah yang berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang
ditetapkan secara limitatif oleh Undang-undang sehingga hakim
memperoleh keyakinan akan hal itu (Andi Hamzah, 1996: 247-
253). Perkataan negatif dipakai untuk menunjukkan bahwa adanya
bukti bukti yang disebutkan dalam undang-undang yang dengan
cara mempergunakannya yang disebut juga dalam undang-undang
itu, belum berarti hakim harus menjatuhkan hukuman. Hal tersebut
masih tergantung dengan keyakinan hakim atas kebenarannya.
3) Sistem atau teori Pembuktian Bebas.
Menurut sistem ini, hakim tidak terikat pada alat-alat bukti
yang sah dimana bila ada keyakinan pada hakim tentang kesalahan
terdakwa yang didasarkan pada alasan yang dapat dimengerti dan
dibenarkan oleh pengalaman. Teori yang disebut juga Confiction
intime ini merupakan suatu pembuktian yang walaupun tidak cukup
bukti, asalkan hakim yakin maka hakim dapat menjalankan dan
memidana terdakwa.
4) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan
yang logis (La Confiction Raisonnee)
Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang
bersalah atas dasar keyakinannya. Yang mana keyakinan itu harus
berpijak pada dasar dasar pembuktian disertai suatu kesimpulan
(conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan
pembuktian tertulis tertentu.
Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar
pada keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah ke dua
jurusan. Yang pertama tersebut diatas yaitu pembuktian berdasar
keyakinan hakim atas alasan yang logis (Confiction Raisonnee) dan
yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara
negatif (negatief wettelijke bewijs theorie).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxviii
Persamaan diantara keduanya ialah keduanya berdasar atas
keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa
adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.
Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal
tolakpada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan
pada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak
didasarkan kepada undangundang tetapi ketentuan-ketentuan
menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya
sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia
pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-
aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh
undangundang tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim
(Andi Hamzah, 1996:262).
c. Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP
Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal
diatur pada Bab XVI bagian keempat Pasal 183 sampai Pasal 232
KUHAP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut
pendekatan Pembuktian Negatif berdasarkan Undang-Undang atau
Negatief Wettelijk Overtuiging. Dengan dasar teori Negatief Wettelijk
Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada
terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah
berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat
bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu
:“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. (Andi Hamzah,
1991: 102)
Sedang yang dimaksud dengan 2 (dua) alat bukti yang sah
haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut Pasal 184
KUHAP, yaitu :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxix
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Dalam sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya
KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau
tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum.
Pasal 137 KUHAP menyebutkan : “Penuntut umum berwenang
melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan
suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.”
Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP
maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi
minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa
ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem
beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada
beban Jaksa Penuntut Umum.
d. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa secara teoitis Ilmu
Pengetahuan Hukum Acara Pidana asasnya mengenal 4 (empat) teori
hukum pembuktian,yaitu: Pertama, Teori Hukum Pembuktian menurut
Undang – Undang secara Positif. Kedua, Teori hukum pembuktian
menurut Undang – undang secara negative. Ketiga,Teori system atau
pembuktian bebas. Keempat, Teori hukum pembuktian menurut
keyakinan hakim. Konsekuensi logis teori hukum pembuktian tersebut
berkorelasi dengan eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Dikaji
dari prespektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga)
teori tentang beban pembuktian, yaitu :
1) Beban Pembuktian pada Penuntut Umum
Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa
Penuntut Umum harus mempersiapkan alat – alat bukti dan barang
bukti secara akurat, sebab jikalau tidak demikian akan susah
meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis
beban pembuktian ada pada penuntut umum ini berkorelasi asas
praduga tak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan
diri sendiri (non self incrimination).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxx
Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa
“tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.
Pembuktian seperti ini merupakan pembuktian biasa atau
konvensional.
2) Beban Pembuktian pada Terdakwa
Dalam konteks ini , terdakwa berperan aktif menyatakan
bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu
terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan
segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan maka
terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada
dasarnya teori pembuktian jenis ini dinamakan teori “pembalikan
beban pembuktian” (Omkering van het Bewijslast atau reversal of
Burden of Proof). Dikaji dari prespektif teoritik dan praktik teori
beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi
pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni.
3) Beban Pembuktian Terbatas dan Berimbang
Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun
terdakwa dan/atau Penasehat hukumnya saling membuktikan di
depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan
kesalahan terdakwa sebaliknya terdakwa beserta Penasehat
Hukumnya akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana yang di dakwakan. (Djoko Sumaryanto, 2009 : 88).
e. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi..
Berpijak dari pengertian sistem pembuktian dan sistem
pembebanan pembuktian tersebut diatas, maka kekhususan dalam
hukum acara pidana korupsi lebih mengacu pada sistem pembebanan
pembuktian (burden of proof).
Hukum pidana korupsi tentang pembuktian membedakan antara 3
(tiga) sistem pembuktian, yaitu:
1. Pembuktian terbalik penuh/murni
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxxi
Dimana beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk
membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk tindak pidana
suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan
terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada
hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B).
2. Pembuktian terbalik terbatas atau berimbang terbalik
Dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa
maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap obyek
pembuktian yang berbeda secara berlawanan (Pasal 37A)
3. Sistem konvensional
Dimana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada
Jaksa Penuntut Umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana
suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah (Pasal 12B ayat (1) huruf b)
dan tindak pidana korupsi pokok.
3. Tinjauan tentang Asas Pembuktian Terbalik
a. Pengertian Asas Pembuktian Terbalik
Dalam sistem pembuktian terbalik, tesangka atau terdakwa harus
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan
atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik ini
merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap
"presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun
bertentangan dengan asas yang berlaku.
Dalam delik korupsi di Indonesia diterapkan dua sistem sekaligus,
yakni Sistem Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang – Undang
Nomor 21 Tahun 2001 dan sekaligus dengan sistem KUHAP. Kedua
teori itu ialah penerapan hukum pembuktian terbalik yang bersifat
terbatas atau berimbang, dan yang mengunakan sistem pembuktian
negatif menurut undang-undang. Jadi tidak menerapkan teori
pembuktian terbalik murni, (zuivere omskering bewijstlast), tetapi teori
pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxxii
Dalam penjelasan atas Undang - Undang no. 31 tahun 1999
dikatakan pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan
berimbang”, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benada istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan dan Penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaaannya.
Kata-kata “bersifat terbatas” di dalam memori atas Pasal 37
dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa
“terdakwa tidak melakukan tindak pidana korpsi”, Hal itu tidak berarti
terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi sebab Penuntut Umum
masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaanya. (Martiman
Prodjomidjojo, 2001 : 107).
b. Pengaturan Asas Pembuktian Terbalik
Polemik penerapan pembuktian terbalik yang sudah lama terjadi
dan argumentasi hukum yang diungkapkan para pakar hukum di negeri
ini tidak dapat dijadikan alasan penghambat penerapan pembuktian
terbalik diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
Pemikiran-pemikiran yang hanya disandarkan pada pandangan
positivisme hukum tidak bisa dijadikan sebagai tameng penghambat
pengaturan asas pembuktian terbalik dituangkan dalam UU yang baru.
Apalagi menjustifikasi (membenarkan) pembuktian terbalik dianggap
bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence), dan asas non self incrimination (sesuatu hal yang tidak
diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana).
Asas pembuktian terbalik terbatas, meski tidak secara utuh, namun
ruang permberlakuan asas tersebut cukup jelas disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak
secara utuh disini, dimaksudkan bahwa, meski seseorang telah gagal
membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang patut dicurigai dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxxiii
hasil tindak pidana, jaksa sebagai penuntut umum tetap memiliki
kewajiban untuk membuktikan dakwaannya diproses pengadilan.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 37 ayat (1),
dikatakan bahwa, “terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Dalam hal
terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pada
Pasal 37A ayat (1) dan (2), lebih menguatkan posisi beban pembuktian
terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa, “Terdakwa wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
didakwakan”. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang
kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Meski memiliki ruang dalam memberlakukan beban pembuktian
terbalik, namun ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tersebut, tetap dibatasi ketentuan lain di dalamnya. Beban pembuktian
terbalik tetap membebankan pembuktian kepada jaksa penuntut umum,
meski si terdakwa gagal membuktikan asal-usul kekayaannya. Hal
tersebut tertuang dalam Pasal 37A ayat (3), yang menyebutkan bahwa,
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan
Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang
ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikann
dakwaannya”.
Selain ketentuan tersebut, di dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxxiv
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, secara jelas juga telah memberikan
amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal-usul kekayaannya
apabila dimintai keterangan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN). Disamping itu, dalam Pasal 17 ayat
(2) huruf e, disebutkan bahwa,
“Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
4. Tinjauan Asas Non Self Incrimination.
a. Pengertian Asas Non Self Incrimination.
Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs)
berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem
kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk
menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak
memihak (due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip due process tersebut.
Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada
tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak
memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di
muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak
memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam
proses persidangan ( the right to remain silent) (http://www.pn-
banjarmasin.go.id).
Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah ialah hak seseorang
tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan
pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah)
sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi
formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-
derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak
dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif).
Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat
hak praduga tak bersalah ,asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxxv
Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam
Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004),
dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah:
”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut,
dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Dalam kovenan internasional, hal tersebut juga telah dinyatakan
dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR),
yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005.
Dalam arti, ICCPR tersebut menjamin sepenuhnya hak seseorang
untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum terbukti secara hukum. Pasal
14 Ayat (3) huruf g ICCPR menyebutkan bahwa, “Dalam penentuan
tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk
tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau
mengaku bersalah (non self incrimination)”.
B. Kerangka Pemikiran
KUHAP LEX SPECIALIS UU TIPIKOR
Akusator Inkuisitor Terdakwa PT
Pelanggaran Asas Non Self Incrimination
Potensi Penyalahgunaan Asas Non Self Incrimination
Proses Pembuktian
Tindak Pidana Korupsi
Penunutut Umum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxxvi
Gambar.1: Skematik kerangka pemikiran
Penjelasan :
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu extra ordinary crime, dan
sesuai dengan sifatnya yang extra ordinary penanganan tindak pidana inipun
sepertinya layak jika sedikit berbeda dengan penanganan tindak pidana pada
umumnya yang bersifat ordinary crime. Salah satu kekhususan dalam
penanganan tindak pidana korupsi terletak pada sistem pembuktiannya di
pengadilan yang mengenal sistem pembuktian terbalik terbatas. Sistem
pembalikan pembuktian ini dapat dikatakan telah melanggar hak terdakwa
dalam kaitannya dengan Asas non-self incrimination yang seharusnya menjadi
suatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan
pidana. Hal itu dapat berupa tindakan atau pernyataan yang diambil atau
berasal dari seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu seseorang
menjadi in a crime.
Sistem ini lebih memudahkan Penuntut Umum, namun jelas membebani
seseorang terdakwa untuk menyangkal kesalahannya itu, mestinya Seseorang
yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban negara untuk
membuktikan kesalahan itu. Tetapi hal ini yang terjadi pada proses
pembuktian tindak pidana korupsi, asas akusatorial yang dianut KUHAP
sepertinya melunak dan kembali menganut asas inkuisatorial, karena memaksa
terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, jika demikian
apakah dalam proses penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah
menerapkan sistem pembuktian terbalik? Dan apakah dengan di
berlakukannya sistem pembuktian terbalik ini dapat menimbulkan potensi
penyalahgunaan asas non self incrimination? Hal inilah yang akan dikaji lebih
lanjut dalam penulisan hukum ini untuk memecahkan masalah mengenai
polemik penerapan sistem pembuktian terbalik di Indonesia.
Bagaimana Penerapannya di Indonesia ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxxvii
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
C. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi
Dalam mengemukakan mengenai keberlakuan sistem pembuktian terbalik
dalam upaya penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, maka penulis
mengetengahkan pemikiran dengan tata urutan sebagai berikut :
I. Sejarah Asas Pembalikan Beban Pembuktian
Istilah pembuktian terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat
sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah
satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, dari
sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het bewijslat atau reversal
burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi
“pembalikan beban pembuktian. Sebagai asas universal, memang akan
menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian
terbalik. Tetapi menurut Oemar SenoAdji adalah pergeseran (Shifting of
burden proof) bukan pembalikan beban pembuktian (Reversal of burden of
proof).
Makna Shifting of burden proof adalah suatu “pergeseran beban
pembuktian” yang dianut oleh Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut Oemar SenoAdji
pada periode Undang - Undang ini belum terjadi suatu pembalikan beban
pembuktian karena asas ini berpotensi bertentangan dan melanggar HAM,
khususnya terhadap perlindungan hak – hak Terdakwa. Beban pembuktian
pada periode ini tetap diberikan pada Jaksa Penuntut Umum.
Ide untuk memberlakukan Asas Pembuktian Terbalik secara total
dan absolut telah diterima sebagai realitas hukum berdasarkan alasan
alasan tersebut di atas. Karenanya meskipun dalam Undang - Undang
Nomor 3 Tahun 1971 terdapat perumusan bahwa Terdakwa dapat
membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi , namun kewajiban
pembuktian ada atau tidaknya dugaan tindak pidan korupsi adalah di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxxviii
tangan Jaksa Penuntut Umum. Disini yang terjadi adalah pergeseran
(Shifting of burden proof) bukanya suatu pembalikan beban pembuktian
(Reversal of burden of proof).
Begitu pula halnya yang terjadi pada periode Undang - Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua produk perundang-undangan ini tetap hanya menempatkan
pembuktian sebagai suatu pergeseran saja, bukan pembalikan beban
pembuktian sehingga istilah yang populer dalam Undang - Undang Nomor
31 Tahun 1999 adalah Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Yang
Terbatas atau Berimbang. “Terbatas” karena memang pembalikan beban
pembuktian tidak dapat dilakukan secara total dan absolut terhadap semua
delik yang ada pada Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1999 . Sedangkan
“berimbang” artinya beban pembuktian terhadap dugaan adanya tindak
pidana korupsi tetap dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Karena Banyak pendapat bahwa implementasi asas pembalikan
beban pembuktian pada kedua produk perundang – undangan itu hanyalah
gerakan simbolis yang tidak memiliki daya represi terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi.
II. Peraturan PerUndang-Undangan yang Mengatur Sistem Pembuktian
Terbalik.
a. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 (KAK 2003).
Pembalikan beban pembuktian diatur juga dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 (KAK 2003)
khususnya terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53
huruf (b) KAK 2003. Ketentuan pembalikan beban pembuktian dalam
Pasal 31 ayat (8) ditujukan terhadap pembekuan (freezing),
perampasan (seizure) dan penyitaan (confiscation) dari pelaku tindak
pidana korupsi yang menyebutkan, bahwa:
“States Parties may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with fundamental principles of their domestic law and with the nature of judicial and other proceedings.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxxix
Ketentuan di atas menentukan negara-negara peserta konvensi
dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan seorang
pelanggar menerangkan tentang sumber yang sah atas hasil-hasil yang
diduga berasal dari tindak pidana atau kekayaan lainnya yang dapat
dikenakan penyitaan, sejauh syarat tersebut konsisten dengan prinsip-
prinsip dasar hukum nasional, dan konsisten pula dengan sifat dari
proses yudisial dan proses peradilan lainnya. Dari ketentuan KAK
2003 maka pembalikan beban pembuktian diperkenankan melalui
jalur keperdataan (civil procedure) ini juga telah dipergunakan di
beberapa negara seperti di Italia, Irlandia, Amerika Serikat dan
sebagainya.
Selain ketentuan Pasal 31 ayat (8) KAK 2003 maka pembalikan
beban pembuktian juga diatur dalam ketentuan Pasal 53 huruf b yang
secara tegas menentukan, bahwa:
”Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan pengadilan-pengadilan memerintahkan orang-orang yang telah melakukan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada negara peserta yang lain yang telah dirugikan oleh kejahatan-kejahatan tersebut”
Pada dasarnya, ketentuan konteks di atas merupakan pembalikan
beban pembuktian terhadap pengembalian aset (asset recovery) secara
langsung dengan memberikan izin kepada pengadilan Negara
setempat atau ketempatan (custodial state) memerintahkan kepada
pelaku tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi atau ganti
rugi kepada Negara lain yang dirugikan akibat dari tindak pidana
korupsi tersebut. Prinsipnya, apabila dicermati lebih intens hakikatnya
ketentuan pembalikan beban pembuktian ini menimbulkan
permasalahan krusial bagaimana mungkin akan diterapkan
pembayaran sejumlah kompensasi atau ganti rugi kepada Negara lain
akibat dari tindak pidana korupsi tersebut jikalau pelaku (offender)
tidak mengakui melakukan perbuatan korupsi yang ditujukan
kepadanya.
Eksistensi tentang strategi pengembalian aset ini secara eksplisit
telah diatur dalam mukadimah KAK 2003 para 8 yang menentukan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xl
bahwa “Bertekad untuk mencegah, melacak dan menghalangi dengan
cara yang lebih efektif transfer-transfer internasional atas aset-aset
yang diperoleh secara tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama
internasional dalam pengembalian aset.”
Apabila dianalisis ternyata ketentuan tersebut di atas berkaitan
dengan landasan filosofis dalam mukadimah, para 3 KAK 2003
tentang keterkaitan antara perbuatan korupsi dengan pembangunan
berkelanjutan. Ketentuan Para 3 KAK 2003 secara eksplisit
menentukan bahwa:
“Prihatin atas keseriusan masalah-masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum”.
Ketentuan di atas apabila diperhatikan secara lebih seksama maka
pada KAK 2003 pembalikan beban pembuktian sebenarnya dapat
dipergunakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur kepidanaan (criminal
procedure) maupun jalur keperdataan (civil procedure) khususnya
terhadap sumber harta kekayaan yang didapat oleh pelaku tindak
pidana korupsi. Hakikat dan dimensi gabungan criminal procedure
dan civil procedure telah banyak diterapkan beberapa negara.
Redaksional kata “mewajibkan seorang pelanggar menerangkan
sumber yang sah dari tindak pidana”, maka prosedur yang dipakai
adalah jalur kepidanaan (criminal procedure). Begitupun sebaliknya
redaksional kata, “..atau kekayaan lainnya yang dapat dikenakan
penyitaan,” maka mensiratkan dimensi konteks tersebut di atas dapat
dipergunakan jalur keperdataan (civil procedure). Pemakaian jalur
kepidanaan dan keperdataan secara bersama-sama terhadap
kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi dengan
melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian pada hakikatnya
tetap diperkenankan dan telah ada pula justifikasi teori yang
mendukungnya.
KAK 2003 dalam pengembalian aset hasil korupsi melalui
prosedural pembekuan (freezing), perampasan (seizure) dan penyitaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xli
(confiscation) dari pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana
ketentuan Pasal 31 ayat (8) maupun ketentuan Pasal 53 huruf b telah
dapat dipergunakan teori pembalikan beban pembuktian
keseimbangan kemungkinan (Balanced Probability Principles) dari
Oliver yaitu adanya keseimbangan teori probabilitas berimbang yang
diturunkan (lowest balanced probability principles) dalam hal
kepemilikan harta kekayaan yang merupakan aset hasil korupsi akan
tetapi tetap mempertahankan teori tersebut dalam posisi yang sangat
tinggi (highest balanced probability principles) dalam hal perampasan
kemerdekaan seseorang tersangka.
Dimensi ini dalam praktiknya untuk pembalikan beban
pembuktian melalui mekanisme keperdataan (civil procedure) telah
dilakukan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat sedangkan
pembalikan beban pembuktian melalui mekanisme kepidanaan
(criminal procedure) telah dilaksanakan oleh Negara Singapura
berdasarkan Section 4 Singapore Confiscation of Benefits Act serta
Negara Hong Kong berdasarkan Section 12 A Hong Kong Prevention
Bribery Ordinance. Selanjutnya, penggunaan kedua teori balanced
probability tersebut dalam Pasal 31 ayat (8) KAK 2003 khususnya
dalam kalimat, “may”, yang bersifat non-mandatory obligation serta
kalimat, “demonstrate” maupun kalimat, “consistent with the
prinsiples of ...domestic law”, yang menunjukkan bahwa ketentuan
pasal tersebut relatif tetap mempertimbangkan ICCPR yang
menegaskan hak-hak sipil seseorang yang seharusnya dilindungi
secara penuh.
Dimensi dan asumsi konteks tersebut di atas maka jelaslah sudah
ketentuan Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53 huruf b KAK 2003 telah
mempunyai justifikasi teoretis untuk menerapkan pembalikan beban
pembuktian khususnya ditujukan terhadap pembekuan, perampasan
dan penyitaan terhadap aset harta kekayaan dari pelaku maupun
pengembalian aset tindak pidana korupsi secara langsung.
b. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1960.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xlii
Dikaji dari aspek kebijakan legislasi dalam Undang-Undang
pemberantasan tindak pidana korupsi Indonesia terhadap pembalikan
beban pembuktian sampai dengan sebelum tahun 1960 tidak mengatur
pembalikan beban pembuktian dalam peraturan perUndang-Undangan
korupsi disebabkan perspektif kebijakan legislasi memandang
perbuatan korupsi sebagai delik biasa sehingga penanggulangan
korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan
perangkat hukum yang luar biasa (extra ordinary measures).
Selanjutnya kebijakan legislasi pembalikan beban pembuktian
mulai terdapat dalam UU Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal
5 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 1960 menyebutkan, “Setiap
tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta benda sesuatu
badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa”.
Substansi pasal ini mewajibkan tersangka memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya apabila diminta oleh Jaksa.
Konsekuensinya, tanpa ada permintaan dari Jaksa maka tersangka
tidak mempunyai kesempatan untuk memberi keterangan tentang
seluruh harta bendanya.
c. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971.
Kebijakan legislasi dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 secara
eksplisit telah mengatur pembalikan beban pembuktian. Ketentuan
Pasal 17 UU Nomor 3 Tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
(1) Hakim dapat memperkenankan Terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi
(2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh Terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal:
a. apabila Terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xliii
b. apabila Terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara atau
(3) Dalam hal Terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan
(4) Apabila Terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi
Selanjutnya ketentuan Pasal 18 UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang
kepemilikan harta benda pelaku selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
(1) Setiap Terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim.
(2) Bila Terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan disidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
d. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999,
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,
secara jelas juga telah memberikan amanat agar penyelenggara negara
menjelaskan asal-usul kekayaannya apabila dimintai keterangan oleh
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN).
Disamping itu, dalam pasal 17 ayat (2) huruf e, disebutkan bahwa,
“Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau Seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari Korupsi, kolusi, atau nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xliv
yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
e. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, pasal 37 ayat
(1), dikatakan bahwa, “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Dalam hal
Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh
pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti. Pada Pasal 37A ayat (1) dan (2), lebih menguatkan posisi
beban pembuktian terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa,
“Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang didakwakan”. Dalam hal Terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka
keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa Terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
f. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Ketentuan hukum positif Indonesia tentang tindak pidana korupsi
diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001. Tegasnya, dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20
Tahun 2001 dikenal adanya 5 (lima) tipe korupsi. Pada hakikatnya
ada 5 (lima) pengertian tipe tindak pidana korupsi yaitu tipe pertama
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU 31/1999, Tipe Kedua
dalam Pasal 3 UU 31/1999, Tipe Ketiga diatur dalam Pasal 5, 6, 7, 10,
11, 12, 13 UU 31/1999, Tipe keempat dalam Pasal 15 dan 16 UU
31/1999, dan Tipe Kelima diatur dalam Pasal 21-24 UU 31/1999.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xlv
Pada UU tersebut maka ketentuan mengenai pembuktian perkara
korupsi terdapat dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 37,
Pasal 37 A dan Pasal 38B. Apabila dicermati maka UU tindak pidana
korupsi mengklasifikasikan pembuktian menjadi 3 (tiga) sistem.
Pertama, pembalikan beban pembuktian dibebankan kepada
Terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana
korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk tindak
pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1)
huruf a) dan terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada
hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B). Apabila
mengikuti polarisasi pemikiran pembentuk UU sebagai kebijakan
legislasi, ada beberapa pembatasan yang ketat terhadap penerapan
pembalikan beban pembuktian dikaitkan dengan hadiah yang wajar
bagi pejabat. Pembatasan tersebut berorientasi kepada aspek hanya
diterapkan kepada pemberian (gratifikasi) dalam delik suap,
pemberian tersebut dalam jumlah Rp. 10.000.000,00 atau lebih,
berhubungan dengan jabatannya (in zijn bediening) dan yang
melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban (in strijd
met zijn plicht) dan harus melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Kedua, pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik
atau berimbang terbalik dimana beban pembuktian diletakkan baik
terhadap Terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang
terhadap obyek pembuktian yang berbeda secara berlawanan (Pasal
37A). Ketiga, sistem konvensional dimana pembuktian tindak pidana
korupsi dan kesalahan Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi
dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum. Aspek ini
dilakukan terhadap tindak pidana suap menerima gratifikasi yang
nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah (Pasal
12B ayat (1) huruf b) dan tindak pidana korupsi pokok.
Sistem Hukum Pidana Indonesia khususnya terhadap beban
pembuktian dalam tindak pidana korupsi secara normatif mengenal
asas pembalikan beban pembuktian yang ditujukan terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xlvi
kesalahan orang (Pasal 12 B ayat (1), Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001) dan kepemilikan harta kekayaan
pelaku tindak pidana korupsi (Pasal 37A, Pasal 38 B UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001). Secara kronologis
pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian yang
dikenal dari negara penganut rumpun Anglo-Saxon terbatas pada
“certain cases” khususnya terhadap tindak pidana “gratification”
atau pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” (suap), misalnya
seperti di United Kingdom of Great Britain, Republik Singapura
dan Malaysia. Di United Kingdom of Great Britain atas dasar
“Prevention of Corruption Act 1916” terdapat pengaturan apa yang
dinamakan “Praduga korupsi untuk kasus-kasus tertentu”
(Presumption of corruption in certain cases).
III. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia
Pembalikan beban pembuktian atau “omkering van de bewijslast”
(“the reversal of the burden of proof”), yang sering juga disebut sistem
pembuktian terbalik, secara umum dapat dipahami sebagai suatu sistem
yang meletakkan beban pembuktian di tangan Terdakwa untuk
membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Pengaturan pembuktian terbalik terdapat di dalam Pasal 37 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang 20 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa :
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Selanjutnya Pasal 37 A ayat (1) , (2) , (3) menyebutkan bahwa :
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xlvii
(2) Dalam hal Terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Berdasar penjelasan atas Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001
Pasal 37 dan 37 A tersebut, dikenal adanya sistem pembuktian terbalik
terbatas dan berimbang, yaitu Terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
isterinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi
yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan
penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya
Konstruksi hukum seperti itu, oleh pembuat undang-undang
disebut sebagai pembuktian berimbang, yang mencakup pula pembuktian
terbalik terbatas, namun dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga
tidak bersalah. Kata-kata bersifat ”terbatas” didalam memori atas Pasal 37
dikatakan, bahwa apabila Terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa
”Terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi”, hal ini tidak berarti
Terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih
tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Kata-kata
”berimbang” mungkin lebih tepat ”sebanding”, dilukiskan sebagai/berupa
penghasilan Terdakwa atau sumber penambahan harta benda terdakwa,
sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai out put
(Martiman Prodjomidjojo, 2001 : 107).
Disamping itu dianut pula sistem pembuktian terbalik “murni”
namun khusus “gratifikasi” (penyuapan) kepada pegawai negeri atau
penyelenggara Negara dalam kaitannya dengan jabatannya dan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xlviii
berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya dalam Pasal 12 B ayat 1
huruf a UU No. 20 tahun 2001
Pasal 12B ayat 1huruf a menyebutkan:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
Bertolak dari pemahaman konseptual terhadap sistem pembalikan
beban pembuktian, maka ketentuan Pasal 37 dan Pasal 37A Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 belum dapat dikatakan telah
mengintroduksi sistem pembalikan beban pembuktian. Paling tidak ada
dua hal yang dapat di kemukakan untuk mengatakan demikian, yaitu :
Pertama,ketentuan itu belum meletakkan sama sekali kewajiban
pembuktian pada Terdakwa; dan penuntut umum tidak dibebaskan dari
kewajiban pembuktian tentang kesalahan Terdakwa; Kedua, dalam hal
Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, itu belum dapat
digunakan sepenuhnya untuk membebaskannya dari dakwaan. Atau
sebaliknya, dalam hal ia tidak dapat membuktikan, maka dengan demikian
belum dapat digunakan untuk mengatakan bahwa ia telah terbukti
melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hubungan itu masih diperlukan
alat-alat bukti yang lain.
Meskipun demikian, undang-undang korupsi itu ternyata tidak pula
sepenuhnya mengikuti tata cara pembuktian biasa seperti yang dikenal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketentuan
Pasal 37 dan 37A Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat
dikatakan sebagai pengembangan dari ketentuan yang terdapat di dalam
KUHAP. Dalam sistem KUHAP ditentukan, bahwa
“penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap
seorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana, dengan
konsekuensi harus membuktikan apa yang didakwakannya”. Sedangkan
“Terdakwa sama sekali tidak dibebani kewajiban pembuktian”.
Didalam penjelasan Pasal 37 dan 37A Undang- Undang Nomor 20 Tahun
2001 Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xlix
melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami,
anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut
umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Jadi
Terdakwa dibebani kewajiban pembuktian seperti halnya Penuntut Umum.
Bila diperhatikan secara keseluruhan, tidak ada yang khusus dari
ketentuan pembuktian yang terdapat di dalam Pasal 37 dan 37A Undang-
undang Nomor 20 tahun 2001 itu, terutama sekali menyangkut ketentuan
pada Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2). Seharusnya, dalam hal Terdakwa dapat
membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia harus dibebaskan.
Meskipun demikian, ketentuan pada Pasal 37A ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) Pasal itu cukup menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, yaitu
menyangkut adanya kewajiban Terdakwa untuk memberikan keterangan
tentang harta benda keluarga dan seterusnya.
Kewajiban pembuktian seperti itu memang bukan merupakan
sesuatu yang lumrah dalam suatu proses peradilan pidana. Sebagai ilustrasi
dapat dikemukakan sebuah contoh sederhana dalam kasus pencurian.
Seorang didakwa oleh penuntut umum melakukan pencurian, maka dalam
hal seperti itu tidak ada aturan yang mewajibkannya untuk memberikan
keterangan tentang harta kekayaan keluarganya. Jadi kewajiban
pembuktian seperti itu dapat dikatakan sebagai sesuatu yang spesial
sifatnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Lalu bagaimana dan apa sanksinya jika yang bersangkutan tidak
bersedia memberikan keterangan tentang harta benda keluarganya?.
Untuk mengatasi hal tersebut, seharusnya ayat (1) Pasal 37A Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2001 dilanjutkan dengan kalimat, “jika
Terdakwa tidak mau memberikan keterangan tentang harta benda
keluarganya, maka dengan demikian dapat menimbulkan dugaan bahwa
hasil korupsinya telah disalurkan kepada keluarganya”.
Sistem pembalikan beban pembuktian seperti itu telah sejak lama
diterapkan di berbagai negara sebagai “lex specialis” seperti di Singapura
dan Malaysia. Di Singapura terdapat di dalam The Prevention of
Corruption Act. Sedangkan di Malaysia, ketentuan pembalikan beban
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
l
pembuktian (presumption of corruption in certain cases) dirumuskan di
dalam “The Prevention of Corruption Act 1961” (Act 57).
Tetapi Indonesia sampai saat ini belum menerapkan pembalikan
beban pembuktian, pembuktian yang diterapkan adalah bersifat negatif
atau berdasarkan pada asas beyond reasonable doubt yang berorientasi
pada ketentuan Pasal 183 KUHAP.
Pasal 183 KUHAP menyebutkan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
Terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Yang dimaksud dengan 2 (dua) alat bukti yang sah haruslah
memperhatikan tata urutan alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa
Sesuai kepustakaan ilmu hukum, ketentuan normatif Pasal 183
KUHAP tersebut merupakan asas pembuktian negatif. Akan tetapi asas ini
berbanding terbalik jikalau dilakukan oleh Terdakwa yang
dikategorisasikan terhadap perkara – perkara tertentu seperti tindak pidana
korupsi khususnya terhadap delik ”gratification” (pemberian) yang
berkaitan dengan ”bribery” (penyuapan) sebagaimana ketentuan Pasal 12
B UU 31/1999 jo UU 20/2001 yaitu dalam melakukan asas pembalikan
beban pembuktian yang murni sifatnya, dalam Pasal 183 KUHAP
dipergunakan adanya dua alat bukti untuk membuktikan tentang keyakinan
tidak terjadinya tindak pidana korupsi dan ketidakbersalahan dari
Terdakwa.
Praktik perkara korupsi di indonesia pada tataran aplikasinya tidak
mempergunakan pembalikan beban pembuktian, padahal perangkat hukum
memberikan hak kepada Terdakwa dan penasehat hukumnya, Jaksa
Penuntut Umum maupun majelis hakim untuk menerapkan pembalikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
li
beban pembuktian baik terhadap kesalahan Terdakwa maupun tentang
kepemilikan harta benda Terdakwa yang di duga kuat melakukan tindak
pidana korupsi. Adapun alasan – alasan tidak di pergunakan pembuktian
terbalik adalah:
1. Ditemukan adanya ketidakjelasan dan ketidaksinkronan
perumusan norma pembalikan beban pembuktian dalam
kebijakan legislasi tindak pidana korupsi di Indonesia
disebabkan ketentuan tersebut salah susun, karena seluruh
bagian inti delik disebutkan sehingga yang tersisa untuk
dibuktikan sebaliknya tidak ada. Konsekuensi logis dimensi
demikian menimbulkan asumsi bahwa pembalikan beban
pembuktian relatif ada dalam kebijakan formulasi, tetapi tiada
dan tidak dapat di terapkan dalam kebijakan aplikatif
2. Apabila Terdakwa dan atau penasehat hukumnya akan
menggunakan haknya melakukan pembalikan beban
pembuktian, relatif akan sulit untuk membuktikan secara
negatif ketidakbersalahannya melakukan tindak pidana korupsi
dikarenakan adanya kelemahan dalam mengumpulkan alat
bukti karena aspek administrasi yang kurang tertata rapi.
Disamping itu juga, korelasi dengan aspek korupsi yang tidak
bersifat sendirian, tetapi dilakukan beberapa orang, realtif tidak
mungkin untuk mendapatkan bukti- bukti guna dapat
mendukung ketidakbersalahan seorang pelaku melakukan
tindak pidana korupsi.
Dimensi substansial demikian kiranya yang menjadi kendala
mengapa ”hak” untuk melakukan pembalikan beban pembuktian tindak
pidana korupsi di Indonesia pada praktiknya tidak pernah dilakukan.
D. Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan
Dengan Asas Non Self Incrimination
Mengkaji dari isi Pasal-Pasal yang mengatur mengenai pembuktian
terbalik. Didalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) Undang-Undang 20 Tahun
2001 yang menyebutkan bahwa :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lii
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Selanjutnya Pasal 37 A ayat (1) , (2) , menyebutkan bahwa :
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal Terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Pada Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang 20 Tahun 2001 tersebut
tampak jelas bahwa Tedakwa dibebani kewajiban pembuktian. Tedakwa
diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi dan
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang
diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Pada
dasarnya, apabila dijabarkan lebih terperinci, dengan dianutnya
pembalikan beban pembuktian menyebabkan beralihnya asas “praduga
tidak bersalah’ (Presumption of innonccen) menjadi asas “praduga
bersalah” (presumption of Guilt). Konsekuensi logis dimensi demikian
maka “praduga bersalah” relatif cenderung dianggap sebagai
penggingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap asas
‘praduga tak bersalah” . Pada asasnya, praduga tak bersalah merupakan
asas fundamental dalam negara hukum. Asas yang mendasar dan universal
ini secara operasional terelaborasi dalam Pasal-Pasal KUHAP.
1. Tersangka/Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Bahkan, ia tidak boleh menjawab dalam proses pemeriksaan, hanya
diingatkan kalau hal itu terjadi, lalu pemeriksaan diteruskan (Pasal
66 jo 175).
2. Tersangka/Terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
liii
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan. Hal ini
dilarang dengan tujuan agar pemeriksaan itu mencapai hasil yang
tidak menyimpang dari apa yang sebenarnya, sekaligus
menjauhkan dari rasa takut. Karena itu, wajib dicegah adanya
paksaan atau tekanan terhadap tersangka/Terdakwa (Pasal 52 jo
166).
3. Pengakuan tersangka/Terdakwa bukanlah merupakan alat bukti
(Pasal 184).
Konsekuensinya , maka setiap orang yang didakwa melakukan
tindak pidana mendapatkan hak untuk tidak dianggap bersalah hingga
terbukti kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada beban
pembuktian pada jaksa penuntut umum, norma pembuktian yang cukup
dan metode pembuktian harus mengikuti cara – cara yang adil.
Dalam kovenan internasional, hal tersebut juga telah dinyatakan
dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang
telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Dalam
arti, ICCPR tersebut menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk tidak
dinyatakan bersalah sebelum terbukti secara hukum. Pasal 14 Ayat (3)
huruf g ICCPR menyebutkan bahwa, “Dalam penentuan tuduhan
pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak
dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku
bersalah (non self incrimination)”.
Lebih lanjut , teori pembalikan beban pembuktian yang meletakkan
pembuktian pada Terdakwa untuk membuktikan bahwa tidak bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya merupakan
penyimpangan asas umum hukum Pidana yang menyatakan : “siapa yang
menuntut, dialah yang harus membuktikan tuntutannya” (Indriyanto Seno
Adji : 2006: 46) .
Selain itu teori pembalikan beban pembuktian akan bersinggungan
dengan Hak Asasi Manusia (HAM) khusunya implementasi terhadap
ketentuan hukum acara pidana. Pada ketentuan hukum acara pidana
sebagaimana ketentuan Pasal 66 KUHAP , maka Terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian. Terdakwa tidak pernah dibebankan untuk
membuktikan kesalahannya, bahkan tidak pernah diwajibkan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
liv
mempersalahkan diri sendiri (non self incrimintion), lebih jauh lagi
Terdakwa memiliki hak untuk diam (The Right to Remain silent), kesemua
ini merupakan bagian dari prinsip perlindungan dan penghargaan HAM
(Hak Asasi Manusia) yang tidak dapat dikurangi sedikitpun dan dengan
alasan apapun juga. (Non Derogable Right). (Indriyanto Seno Adji : 2006:
46)
Menurut Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001,
Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi. Ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan
pembuktian terbalik terhadap Terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan
perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang
mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption
of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self incrimination).
Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan, bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan
pengadilan sebagai dasar menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti
Asas non-self incrimination itu sendiri adalah suatu hal yang
sebenarnya tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan
pidana. Hal itu dapat berupa tindakan atau pernyataan yang diambil atau
berasal dari seseorang sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu
dirinya menjadi in a crime. Larangan ini berangkat dari beban negara
untuk menuduh dan membawa seseorang ke pengadilan, untuk
membuktikan kesalahannya itu. Seseorang yang menjadi tertuduh tidak
dapat dipaksa membantu kewajiban negara itu.
Karena peradilan pidana Indonesia menganut sistem akusatorial, bukan
lagi inkuisitorial, suatu pemaksaan atau compulsory self-incrimination
adalah hal yang bertentangan dengan prinsip yang paling dasar dari
peradilan pidana itu. Bahkan, sesuatu yang lebih lunak dari itu pun tidak
diperbolehkan, seperti meminta satu jawaban yang akan dikait-kaitkan
dengan bukti lain, link-in-chain, karena bertentangan dengan asas non-self
incrimination itu.
Meski celah untuk memberlakukan asas pembuktian terbalik,
terdapat pada sejumlah klausul Undang-undang kita, namun secara
universal berlaku asas hukum “lex superior derogat legi inferiori” atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lv
peraturan hukum yang tingkatannya lebih rendah, harus tunduk kepada
peraturan hukum yang lebih tinggi. Atau dengan kata lain, peraturan
tersebut tidak boleh melanggar ketentuan yang berada diatasnya. Dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Pasal 7 ayat (1), menyebutkan bahwa, jenis dan
hierarki perundang-undangan terdiri dari : UUD 45, UU/Perpu, PP,
Perpres dan Peraturan Daerah.
Dengan demikian, aturan dalam bentuk apapun untuk
mengakomodasi asas pembuktian terbalik, akan dipersoalkan sebab
melanggar ketentuan UUD 45 sebagai dasar tertinggi dalam
penyelenggaraan hukum Negara kita
Indiyanto Seno Adji lebih detail menyebutkan, bahwa : ”Sistem
Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dan tidak diperkenankan
menyimpang dari asas-asas ”Daad-daderstrafrecht”. KUHAP yang
direncanakan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan mono-
dualistik, dalam arti memperhatikan keseimbangan dua kepentingan,
antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Artinya, Hukum
Pidana yang memperhatikan segi-segi obyek dari perbuatan (daad) dan
segi-segi subyektif dari orang/pembuat (dader). Dari pendekatan ini,
sistem pembalikan beban pembuktian sangat tidak diperkenankan
melanggar kepentingan dan hak-hak prinsipal dari pembuat/pelaku
(Tersangka/Terdakwa).
Bahwa penerapan sistem pembalikan beban pembuktian ini sebagai
realitas yang tak dapat dihindari, khususnya terjadinya minimalisasi hak-
hak dari ”dader” yang berkaitan dengan asas ”non self-incrimination”
dan ”presumption of innocence”. Namun demkian, adanya suatu
minimalisasi hak-hak tersebut sangat dihindari akan terjadinya eliminasi
hak-hak tersebut. Apabila terjadi, inilah yang dikatakan bahwa sistem
pembalikan beban pembuktian berpotensi untuk terjadinya pelanggaran
HAM khususnya penyalahgunaan asas non self incrimination.
Berdasarkan uraian tersebut diatas menurut hemat penulis potensi
penyalahgunaan asas non self incrimination dalam pembuktian terbalik
terdapat pada:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lvi
1. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 37 ayat (1),
dikatakan bahwa, “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Dalam hal
Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh
pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti. Padahal di sisi lain Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) kita pada Pasal 66 KUHAP ditegaskan bahwa,
“tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.
Dengan demikian, seseorang yang telah disangkakan telah
melakukan tindak pidana, tidak memiliki kewajiban untuk
melakukan beban pembuktian terbalik. Terdakwa tidak pernah
dibebankan untuk membuktikan kesalahannya , bahkan tidak
pernah diwajibkan untuk mempersalahkan dirinya sendiri (non self
incrimination), lebih jauh lagi bahwa Terdakwa memiliki hak yang
dinamakan “the right to remain silent” (hak untuk diam), kesemua
ini merupakan bagian dari prinsip perlindungan dan penghargaan
HAM (Hak Asasi Manusia) yang tidak dapat dikurangi sedikitpun
dan dengan alasan apapun juga. Apabila pembuktian terbalik ini di
terapkan maka, inilah yang dikatakan bahwa sistem pembalikan
beban pembuktian berpotensi untuk terjadinya pelanggaran HAM
khususnya penyalahgunaan asas non self incrimination.
2. Dalam hal seseorang Terdakwa yang memang memiliki kekayaan
secara sah, namun karena keterbatasan pengetahuan hukum yang
dimiliki menyebabkan ia tidak mampu menjelaskan sumber
kekayaannya secara sempurna, sehingga oleh karena itu ia
dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Jadi
keterbatasan kemampuan untuk membuktikan itu pulalah yang
mengakibatkan seseorang yang semestinya secara faktual tidak
bersalah (factual guilt) mesti berhadapan dengan pemidanaan.
3. Dalam hal Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara bersama sama
dan Terdakwanya lebih dari satu maka dapat juga terjadi potensi
penyalahgunaan asas non self incrimination, yaitu jika salah satu
Terdakwa mempersalahkan dirinya sendiri (non self incrimination)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lvii
telah melakukan korupsi dan menyatakan Terdakwa yang lainnya
tidak melakukan korupsi. Dengan kata lain Terdakwa I melindungi
Terdakwa II dengan cara Terdakwa I mempersalahkan dirinya
sendiri telah melakukan korupsi dengan maksud agar Terdakwa II
di bebaskan dari tuntutan ataupun dengan maksud agar dapat
meringankan hukuman Terdakwa II.
4. Timbulnya potensi penyalahgunaan asas non self incrimination
yang lain ialah terletak pada proses penahanan. Tersangka/
Terdakwa tidak akan dapat membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah atau ia tidak dapat membuktikan darimana asal harta
kekayaan yang diperolehnya selama ia dalam penahanan. Selama
penahanan tersangka/Terdakwa, ia dibatasi kebebasannya sehingga
ia tidak dapat leluasa untuk bergerak mencari bukti-bukti yang
dapat membebaskannya dari kesalahan.
Berdasarkan tolok ukur tersebut diatas, khususnya terkait adanya
benturan antara Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 37 ayat (1)
dengan Pasal 66 KUHAP ,yaitu tentang pelanggaran HAM terkait asas the
right to remain silent dan non self incrimination dalam skripsi ini penulis
mempunyai alternatif penerapan pembalikan beban pembuktian dalam UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasca ratifikasi KAK 2003. Di satu
sisi maka pembalikan beban pembuktian tidak dapat diterapkan terhadap
kesalahan pelaku dalam tindak pidana korupsi pokok, kecuali terhadap
gratifikasi. Oleh karena ini maka terhadap kesalahan pelaku tetap
mempergunakan sistem pembuktian negatif. Konsekuensi logis dimensi
demikian maka pembalikan beban pembuktian ini tidak akan
bersinggungan dengan HAM, ketentuan hukum acara pidana khususnya
tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri
sendiri (non-self incrimination), hak untuk diam (right to remain silent),
hukum pidana materiil serta instrumen hukum Internasional.
Di sisi lainnya, pembalikan beban pembuktian dapat dilakukan
terhadap harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi sehingga titik
beratnya pada pengembalian harta negara yang dikorupsi oleh pelaku
tindak pidana korupsi. Tegasnya, dari dimensi konteks di atas terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lviii
pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi tetap
mempergunakan jalur pidana dengan pembuktian negatif terhadap
kesalahan pelaku sedangkan terhadap pengembalian harta kepemilikan
pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan pembalikan beban
pembuktian oleh karena dimensi ini relatif tidak bersinggungan dengan
aspek HAM, tidak melanggar hukum acara pidana, hukum pidana materiil
maupun instrumen hukum internasional.
Jika beban pembuktian terbalik diberlakukan pada kasus
penyalahgunaan uang/harta kekayaan Negara (penggelapan, korupsi,
pencucian uang), maka tidak ada alasan untuk menolak pemberlakukan
beban pembuktian terbalik ini. Hal tersebut dapat dikuatkan dalam
bebarapa alasan, antara lain :
Pertama, bahwa pejabat penyelenggara Negara memiliki
kewajiban dan tanggung jawab dalam membuktikan kekayaan yang
dimilikinya baik sebelum, sementara dan sesudah menjabat. Hal ini diatur
dalam ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi,
Dan Nepotisme, pasal 5 ayat (3), yang menyebutkan bahwa, “setiap
penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaporkan dan
mengumumkan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat”. Dengan
demikian, beban pembuktian terbalik dapat diberlakukan sebagai upaya
pencegahan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan uang Negara
lainnya. Perlu diingat bahwa, beban pembuktian terbalik ini disyaratkan
bagi seseorang yang melekat pada dirinya kewajiban sebagai pejabat
penyelenggara Negara, bukan dirinya sebagai personal.
Kedua, jika kita memaknai tindakan penyalahgunaan uang Negara,
sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka sepatutnya
pulalah asas pembuktian terbalik diberlakukan sebagai cara yang luar biasa
pula, meski bertentangan dengan prinsip-prinsip praduga tak bersalah.
Logika hukum (logic of law), adalah prinsip yang penting untuk
menguatkan posisi ini. Dimana kita dapat belajar dari upaya
pemberantasan korupsi dengan membangun suatu komisi pemberantasan
korupsi (KPK), dengan sejumlah kewenangan yang bersifat diluar kaedah-
kaedah hukum pada umumnya. Misalnya kewenangan penuntutan, yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lix
sebelumnya hanya menjadi beban jaksa penuntut, namun melalui UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, maka
KPK diberikan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan,
sebagai upaya hukum luar biasa untuk menutup kelemahan.lembaga
penuntut kita yang cenderung mandul dalam menyelesaikan perkara
korupsi (Pasal 6 huruf c). Dengan demikian, upaya pemberlakukan beban
pembuktian terbalik, juga harus kita maknai sebagai upaya hukum luar
biasa dalam membangun system penyelenggaraan Negara yang bebas dari
Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
Ketiga, filosofi dan sifat dasar hukum adalah bahwa ia ada bukan
untuk dirinya sendiri, namun hukum ada untuk memberikan rasa nyaman
dan keadilan bagi manusia. Persoalan korupsi, penggelapan dan pencucian
uang Negara yang dilakukan oleh penyelenggara Negara, merupakan
tindakan kejahatan yang telah menyerang rasa keadilan masyarakat. Untuk
itu, aturan hukum yang bersifat status quois, perlu untuk ditinjau ulang
dengan tidak hanya terpatok kepada aturan-aturan teks semata. Jika system
aturan hukum telah menghalang-halangi proses pencarian keadilan
masyarakat, maka adalah keharusan kita untuk mencari jalan keluar
dengan memberlakukan asas pembuktian terbalik sebagai wujud
keberhipakan hukum di Negara kita. Progresifitas hukum harus kita
pandang sebagai proses pengembangan dan pembangunan hukum yang
tidak sekedar sebagai wujud pelaksanaan aturan, namun sebagai
perwujudan esensi dasar hukum sebagai sarana manusia untuk
memperoleh kebahagiaan dan keadilan secara utuh.
Tegasnya, di satu sisi maka untuk membuktikan kesalahan pelaku
tindak pidana korupsi tetap berpegangan pada ketentuan teori hukum
pembuktian yang tetap mengkedepankan asas pembuktian negatif
sedangkan di sisi lainnya untuk mengembalikan aset hasil dari tindak
pidana korupsi, pembuktian terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku
maka dipergunakan teori pembalikan beban pembuktian oleh karena teori
pembuktian demikian relatif tetap menjungjung tinggi ketentuan hukum
acara pidana, hukum pidana dan instrumen internasional. Aspek positif
tolok ukur demikian yaitu di satu sisi pembalikan beban pembuktian tidak
dapat diterapkan terhadap kesalahan pelaku tindak pidana korupsi pokok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lx
sedangkan di sisi lain lebih dikedepankan pengembalian aset pelaku tindak
pidana korupsi maka menurut polarisasi penulis alternatif pembuktian
korupsi yang relatif memadai adalah dipergunakan teori pembalikan beban
pembuktian keseimbangan kemungkinan pembuktian.
Pada dasarnya, teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan
kemungkinan mengkedepankan keseimbangan dari Oliver Stolpe secara
proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan
perampasan hak individu bersangkutan atas asal usul harta kekayaan milik
pelaku yang diduga kuat berasal dari korupsi di sisi lainnya. Asumsi dasar
teori ini menempatkan pelaku tindak pidana korupsi terhadap perbuatan
atau kesalahan orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi pokok
tidak boleh dipergunakan asas pembalikan beban pembuktian melainkan
tetap berdasarkan asas pembuktian negatif oleh karena perlindungan
terhadap hak individu ditempatkan paling tinggi terhadap perampasan
kemerdekaan seseorang. Dalam konteks ini, kedudukan hak asasi pelaku
tindak pidana korupsi ditempatkan dalam kedudukan (level) yang paling
tinggi dengan mempergunakan teori probabilitas berimbang yang sangat
tinggi yang tetap mempergunakan pembuktian negatif. Kemudian secara
bersamaan di satu sisi maka khusus terhadap pembalikan beban
pembuktian dapat dilakukan terhadap asal usul mengenai kepemilikan
harta kekayaan pelaku yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi
sehingga tidak berdasarkan pembuktian negatif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lxi
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Sistem pembuktian terbalik di Indonesia diatur berdasarkan UU No.31
tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. UU tersebut menerapkan 2 (dua) sistem pembuktian,
yaitu pembuktian terbalik terbatas (pasal 37 dan 37A) dan pembuktian
terbalik penuh/murni (pasal 12B ayat 1a). Tetapi Indonesia sampai saat ini
belum menerapkan pembalikan beban pembuktian seperti yang diatur
dalam UU tersebut, Pembuktian yang diterapkan di Indonesia terhadap
kasus korupsi adalah bersifat negatif atau berdasarkan pada asas beyond
reasonable doubt yang berorientasi pada ketentuan Pasal 183 KUHAP.
Adapun alasan – alasan indonesia belum menerapkan pembuktian terbalik
adalah karena ditemukan adanya ketidakjelasan dan ketidaksinkronan
perumusan norma pembalikan beban pembuktian dalam kebijakan legislasi
tindak pidana korupsi di Indonesia, karena seluruh bagian inti delik
disebutkan sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya tidak ada.
Selain itu apabila Terdakwa akan menggunakan haknya melakukan
pembalikan beban pembuktian, relatif akan sulit untuk membuktikan
secara negatif ketidakbersalahannya melakukan tindak pidana korupsi
dikarenakan adanya kelemahan dalam mengumpulkan alat bukti karena
aspek administrasi yang kurang tertata rapi.
2. Pembuktian terbalik dapat menimbulkan berbagai potensi penyalahgunaan
asas non self incrimination, salah satunya terjadi benturan antara Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 37 ayat (1) dengan Pasal 66 KUHAP
,yaitu tentang pelanggaran HAM terkait asas the right to remain silent dan
non self incrimination . Berdasarkan tolok ukur tersebut, dalam skripsi ini
penulis mempunyai alternatif penerapan pembalikan beban pembuktian
dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasca ratifikasi KAK
2003. Di satu sisi maka pembalikan beban pembuktian tidak dapat
diterapkan terhadap kesalahan pelaku dalam tindak pidana korupsi pokok,
kecuali terhadap gratifikasi. Oleh karena ini maka terhadap kesalahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lxii
pelaku tetap mempergunakan sistem pembuktian negatif. Konsekuensi
logis dimensi demikian maka pembalikan beban pembuktian ini tidak akan
bersinggungan dengan HAM, ketentuan hukum acara pidana khususnya
tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri
sendiri (non-self incrimination) dan hak untuk diam (right to remain
silent).. Di sisi lainnya, pembalikan beban pembuktian dapat dilakukan
terhadap harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi sehingga titik
beratnya pada pengembalian harta negara yang dikorupsi oleh pelaku
tindak pidana korupsi. Tegasnya, dari dimensi konteks di atas terhadap
pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi tetap
mempergunakan jalur pidana dengan pembuktian negatif terhadap
kesalahan pelaku sedangkan terhadap pengembalian harta kepemilikan
pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan pembalikan beban
pembuktian oleh karena dimensi ini relatif tidak bersinggungan dengan
aspek HAM, tidak melanggar hukum acara pidana, hukum pidana materiil
maupun instrumen hukum internasional.
B. Saran
1. Perlu adanya penyempurnaan pada KUHAP yang mengakomodir
mengenai pembuktian terbalik. Mengingat, seiring dengan kemajuan
zaman dan teknologi yang membawa dampak pada perkembangan Tindak
Pidana Korupsi yang semakin rumit dan beragam.
2. Mengingat dampak dari adanya tindak pidana korupsi yang sangat
merugikan negara dan masyarakat, maka perlu diadakan suatu forum
aparat dan praktisi penegak hukum yang khusus membahas penanganan
dan pemberantasan korupsi sampai tuntas dalam menangani tindak pidana
korupsi.