Upload
others
View
8
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PenerbitFORDAPRESSBogor,2017
HUTAN RAKYAT MANGLID
Status Riset dan Pengembangan
Editor:
Mohamad Siarudin
Aris Sudomo
Yonky Indrajaya
Triyono Puspitojati
Nina Mindawati
Penerbit:
FORDA PRESS
Bogor, 2017
HUTAN RAKYAT MANGLID:
Status Riset dan Pengembangan
Editor:
Mohamad Siarudin, Aris Sudomo, Yonky Indrajaya, Triyono Puspitojati,
dan Nina Mindawati
Penerbit:
FORDA PRESS (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014)
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610 Jawa Barat
Telp/Fax. +62 251 7520093
Copyright © 2016, 2017 Penulis
Cetakan Pertama, Desember 2016
Cetakan Kedua, Desember 2017
vi + 308 halaman; 182 x 257 mm
ISBN 978-602-6961-14-3
Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry
Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis, Jawa Barat
Telp +62 265 771352, Fax +62 265 775866
Perpustakaan Nasional RI ., Data Katalog Dalam Terb itan (KDT) Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan / editor, M. Siarudin, A.
Sudomo, Y. Indrajaya, T. Puspitojati, N. Mindawati. -- Bogor : Forda Press, 2017. vi + 308 hlm. : ill. ; 25,7 cm. -- ISBN 978-602-6961-14-3 1. Hutan Rakyat 2. Manglid 3. Status Riset dan Pengembangan I. Editor II. Forda Press III. Bunga Rampai 333.75
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | iii
KATA PENGANTAR
(Cetakan Kedua)
Manglid (Magnolia champaca) merupakan salah satu jenis kayu yang banyak
ditanam pada lahan hutan rakyat di Jawa Barat. Jenis tersebut potensial sebagai
back-up species untuk peningkatan produktivitas hutan rakyat. Bahkan, berdasarkan
potensinya, jenis tersebut dijadikan ikon pengembangan hutan rakyat di Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat. Usaha hutan rakyat manglid ini terbukti memberikan
keuntungan ekonomi. Namun demikian, pengelolaan hutan rakyat manglid tersebut
perlu ditingkatkan produktivitasnya, salah satunya dengan mengelolanya berdasar-
kan kaidah scientific based knowledge.
Sejak tahun 2006, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agro-
forestry [sebelumnya bernama Balai Penelitian Teknologi Agroforestry] Ciamis
bersama petani di berbagai kabupaten di Provinsi Jawa Barat telah melakukan
penelitian manglid dari berbagai aspek, antara lain budi daya, sistem agroforestri,
sosial ekonomi dan kebijakan hutan rakyat, pengelolaan dan lingkungan, serta aspek
lainnya. Pengelolaan hutan rakyat manglid dengan input scientific based knowledge
diharapkan mampu memberikan alternatif bagi petani dan pengambil kebijakan
kehutanan untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan memerhatikan berbagai
kendala teknis budi daya, sosial ekonomi, kelembagaan, dan pengelolaan yang
dihadapi petani.
Buku ini merupakan salah satu jawaban dalam mengimplementasikan ilmu
pengetahuan yang berasal dari rangkaian kegiatan penelitian manglid. Tentunya,
tujuan penelitian jenis kayu manglid tersebut adalah memberikan acuan ilmiah
dalam meningkatkan produktivitas kayu rakyat sehingga berkontribusi bagi keber-
lanjutan produksi kayu rakyat. Buku ini menguraikan beberapa hasil kajian ataupun
penelitian yang telah dilakukan dan telah dikelompokkan menjadi beberapa bab,
antara lain tentang:
1. Taksonomi dan ekologi manglid;
2. Sistem silvikultur hutan rakyat manglid;
3. Manajemen optimal tegakan manglid;
iv | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
4. Manfaat lingkungan hutan rakyat manglid;
5. Karakteristik kayu dan pengolahan kayu manglid; dan
6. Kondisi sosial ekonomi petani hutan rakyat dan pemasaran manglid.
Kami menyambut gembira karena buku ini telah memasuki cetakan kedua
(2017) yang mana hal ini menggambarkan bahwa informasi ilmiah yang dituangkan
dalam buku ini memang sangat dibutuhkan oleh pengguna. Beberapa uraian pada
buku cetakan kedua ini pun telah disempurnakan. Namun demikian, kami pun
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan dan penyajian isi buku
ini. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari para pembaca tetap sangat kami hargai.
Penyempurnaan terhadap isi buku ini tentunya akan terus dilakukan dengan
memerhatikan perkembangan informasi dan hasi-hasil di lapangan.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penulis, Editor, dan
Mitra Bestari atas peran sertanya sehingga terbitnya buku “Hutan Rakyat Manglid”
cetakan kedua ini. Harapan kami, semoga buku ini bermanfaat bagi para pihak dan
pembaca yang memerlukannya.
Ciamis, Desember 2017
Kepala Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi
Agroforestry
Bagus Novianto, S.Hut., MP.
NIP
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
I. PENDAHULUAN 3-7
II. TAKSONOMI DAN EKOLOGI MANGLID
Status Taksonomi dan Morfologi Manglid
Aji Winara, Aditya Hani, & Levina Augusta G. Pieter
11-18
Perkembangan Tegakan Manglid (Magnolia champaca) pada Hutan
Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya
Budiman Achmad
19-31
Sebaran dan Karakteristik Hutan Rakyat Manglid, serta Potensinya
untuk Pengembangan Sumber Benih di Wilayah Priangan Timur
Asep Rohandi & Gunawan
33-48
III. BUDI DAYA MANGLID
Status Silvikultur Hutan Rakyat Manglid (Magnolia champaca)
Aris Sudomo
51-70
Produktivitas dan Kualitas Umbi Suweg (Amorphophallus
campanulatus BI) pada Sistem Agroforestri Manglid
Aris Sudomo
71-82
Hama dan Penyakit Manglid
Endah Suhaendah & Aji Winara
83-96
IV. MANAJEMEN OPTIMAL TEGAKAN MANGLID
Daur Optimal Hutan Rakyat Manglid di Kecamatan Kawalu,
Tasikmalaya, Jawa Barat
Yonky Indrajaya
99-113
Pengaruh Jasa Lingkungan Karbon terhadap Daur Optimal Tegakan
Manglid dalam Proyek Aforestasi
Yonky Indrajaya
115-129
V. KAJIAN LINGKUNGAN TEGAKAN MANGLID
Struktur Tegakan Cadangan Karbon Hutan Rakyat Pola Agroforestri
Manglid (Magnolia champaca) di Tasikmalaya, Jawa Barat
M. Siarudin & Yonky Indrajaya
133-150
vi | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestri Manglid di Desa Tenggerharja,
Kecamatan, Sukamantri, Kabupaten Ciamis
Wuri Handayani
151-170
Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid
Edy Junaidi
171-189
VI. PENGOLAHAN HASIL KAYU MANGLID
Sifat Fisik dan Pemesinan Kayu Manglid
M. Siarudin & Ary Widiyanto
193-204
Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergajian Kayu Manglid
(Magnolia champaca)
M. Siarudin
205-216
Pengawetan Kayu Manglid
Endah Suhaendah & M. Siarudin
217-224
VII. SOSIAL EKONOMI DAN PEMASARAN MANGLID
Kontribusi Pendapatan Kayu Manglid (Manglietia glauca Bl.) pada
Usaha Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya
Budiman Achmad & Dian Diniyati
227-238
Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid pada Pemilikan
Lahan Sempit di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat
Dian Diniyati & Tri Sulistyati Widyaningsih
239-255
Analisis Finansial Agroforestri Manglid dan Empat Jenis Tanaman
Bawah di Priangan Timur
Yonky Indrajaya & Aris Sudomo
257-276
Kajian Pemasaran Kayu Manglid (Magnolia champaca) di Kabupaten
Tasikmalaya
Soleh Mulyana
277-298
VIII. PENUTUP
Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan 302-308
PENDAHULUAN
BAB I
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 3
Pendahuluan
Pembangunan kehutanan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pem-
bangunan hutan rakyat yang perkembangannya semakin pesat dan kontribusinya
cukup nyata dalam turut serta memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan rumah
tangga. Seiring dengan permintaan kayu yang terus meningkat dan laju degradasi
hutan yang masih cukup besar, hutan rakyat pun menempati posisi strategis.
Kebutuhan kayu nasional mencapai 57,1 juta m3/tahun, sedangkan kemampuan
produksi kayu dari hutan, baik alam maupun tanaman, hanya sekitar 45,8 juta
m3/tahun, yang berarti terjadi defisit sebesar 11,3 juta m3/tahun pada tahun 2006
(Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2006). Dengan demikian,
keberadaan hutan rakyat yang tersebar di berbagai lahan masyarakat menjadi
potensial dikembangkan untuk memberikan manfaat; baik secara sosial, ekonomi
maupun lingkungan. Dalam hal ini dicontohkan hutan rakyat di Jawa yang memiliki
luas sekitar 778.253,26 ha atau 49,6% dari total luas hutan rakyat di Indonesia
(1.560.229 ha). Produksi log dari hutan rakyat di Jawa mencapai 32,47% dari total
produksi log nasional. Stok hutan rakyat sebesar 3.284.700 m3/ha dan hutan
tanaman sebesar 6.534.800 m3/ha, sedangkan stok hutan alam sebesar 31.448.900
m3/ha (Anonim, 2005; Wardhana, 2005).
Perkembangan hutan rakyat saat ini dihadapkan pada beberapa permasalahan
sehingga produktivitasnya relatif masih rendah, contohnya di wilayah Jawa Barat.
Permasalahan tersebut disebabkan antara lain oleh serangan hama penyakit,
kurangnya dukungan IPTEK, lahan relatif sempit, serta kurangnya sarana dan
prasarana produksi. Pembangunan hutan rakyat cenderung mengarah ke jenis yang
sedang tren di masyarakat (sengon, mahoni, dan jati) dan cenderung monokultur.
Penanaman satu spesies terus-menerus menjadikannya rentan terhadap serangan
hama dan penyakit, serta berkurangya ketersediaan hara sehingga menurunkan
produktivitas tanaman. Contoh konkretnya adalah hutan rakyat monokultur sengon
yang banyak terserang karat tumor. Serangan hama dan penyakit terhadap sengon
telah berada pada ambang yang mengkhawatirkan sehingga menurunkan nilai
ekonomis sengon. Oleh karena itu, pembangunan hutan rakyat memerlukan spesies
alternatif; baik secara monokultur, campuran maupun agroforestri.
4 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Masyarakat petani hutan rakyat umumnya mengembangkan jenis-jenis kayu
yang mudah didapat, telah tumbuh, mempunyai nilai pasar, cepat tumbuh, dan
mereka sukai. Hal ini yang menyebabkan jenis-jenis yang dikembangkan di setiap
daerah berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Jenis-jenis kayu hutan rakyat
tersebut terkadang bersifat lesser known species sehingga ketersediaan ilmu pengeta-
huan dan teknologi (IPTEK) relatif terbatas.
Salah satu jenis tanaman yang potensial untuk dijadikan back-up spesies pada
hutan tanaman, khususnya hutan rakyat adalah manglid. Jenis manglid (Magnolia
champaca) tergolong ke dalam famili Magnoliaceae. Jenis ini dianggap mudah
pemasarannya dan relatif tahan terhadap hama dan penyakit sehingga potensial
memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Kualitas kayu manglid relatif lebih
bagus dibandingkan dengan kayu-kayu yang telah berkembang di masyarakat (seperi
sengon, mahoni, dan jabon). Kayu manglid digunakan sebagai bahan konstruksi
ringan, kayu pertukangan, barang kerajinan, dan perabot rumah tangga/mebeler,
serta potensial sebagai bahan baku industri pulp dan kertas. Contoh potensi tersebut
adalah hutan rakyat manglid di Tasikmalaya, yang mana pada umur 8 tahun
memiliki pertumbuhan batang lurus monopodial dengan persentase tajuk aktif rata-
rata 21,45%. Pertumbuhannya dapat mencapai tinggi 12,96 m dan diameter 13,94
cm. Manglid umur 16 tahun mempunyai riap tertinggi 13,25 m3/ha/tahun
(Indrajaya, 2016; Sudomo, 2011).
Manglid merupakan jenis andalan setempat di Jawa Barat. Jenis ini menun-
jukkan prospektif untuk dikembangkan di hutan rakyat. Oleh karena itu, landasan
IPTEK untuk pengembangannya sangat diperlukan. Landasan IPTEK merupakan
hal yang penting dalam pegelolaan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat. Hal ini
disebabkan peningkatan produktivitas fisik per satuan luas lahan hanya dapat ditem-
puh dengan temuan IPTEK. Hasil penelitian dapat menjadi alternatif pilihan bagi
masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat manglid.
Buku ini merupakan rangkuman hasil-hasil penelitian mengenai pengelolaan
hutan rakyat manglid di Jawa Barat yang menggambarkan aspek teknis budi daya,
pengelolaan, pengolahan hasil, sosial ekonomi dan pemasaran, serta lingkungan.
Buku ini diharapkan dapat berkontribusi dalam diskusi pengelolaan hutan rakyat
P e n d a h u l u a n
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 5
jenis potensial yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Informasi tentang jenis manglid
dari berbagai aspek dapat menjadi referensi bagi para pengambil kebijakan sektor
kehutanan terutama di daerah, pengusaha hutan rakyat, dan akademisi.
Buku ini terdiri atas delapan bab yang dimulai dari Bab I sebagai penda-
huluan dan diakhiri Bab VIII yang merangkum keseluruhan uraian dalam masing-
masing bab. Sementara itu, Bab II–VII menguraikan hasil-hasil penelitian dan
kajian tentang seluruh aspek yang mendasari dipilihnya jenis manglid sebagai alter-
natif spesies untuk pengembangan hutan rakyat di Jawa Barat, termasuk teknik budi
daya dan kemanfaatannya. Penjelasan masing-masing bab terhadap topik bahasan
tentang manglid diuraikan sebagai berikut:
Bab I adalah pendahuluan yang membahas hutan rakyat manglid di Jawa Barat
secara umum beserta sistematika penyampaian buku ini.
Bab II membahas taksonomi, morfologi, sebaran alami, dan potensi peman-
faatan tegakan manglid untuk sumber benih. Bab ini menyajikan informasi
tentang (a) morfologi daun, warna bunga, batang, dan bentuk tajuk yang berguna
untuk membedakan tanaman manglid dengan tanaman kayu-kayuan lainnya; (b)
perkembangan pertumbuhan manglid yang berguna untuk meningkatkan
produktivitasnya; (c) sebaran populasi manglid di wilayah Jawa Barat bagian
timur yang berguna untuk menentukan kesesuaian tempat tumbuh dan wilayah
pengembangannya; dan (d) potensi pemanfaatan hutan rakyat manglid untuk
sumber benih.
Bab III membahas aspek budi daya manglid dan pola interaksinya dengan
tanaman lain. Bab ini menyajikan informasi tentang (a) teknik perbanyakan
manglid (penanganan benih, perkecambahan, penyapihan, pemberian naungan,
dan stek pucuk); (b) jarak tanam; (c) pengendalian hama dan penyakit; dan (d)
pola interaksi manglid dengan beberapa jenis tanaman bawah. Informasi tersebut
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membudidayakan manglid
secara monokultur, campuran, dan agroforestri.
6 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Bab IV membahas daur optimal hutan rakyat manglid. Bab ini menyajikan infor-
masi tentang daur optimal biologis dan ekonomi tegakan manglid, dengan atau
tanpa tambahan pendapatan dari penjualan jasa lingkungan karbon. Informasi
tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan daur
manglid yang paling menguntungkan.
Bab V membahas manfaat lingkungan hutan rakyat agroforestri manglid dalam
bentuk kompleks dan sederhana. Bab ini menyajikan informasi mengenai
cadangan karbon dan hasil air hutan rakyat manglid. Informasi tersebut dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan hutan rakyat
manglid yang menghasilkan manfaat lingkungan tinggi.
Bab VI membahas informasi dasar dan pengolahan kayu manglid. Bab ini
menyajikan informasi tentang sifat fisik dan pemesinan kayu manglid, rendemen
penggergajian kayu manglid, dan pengawetan kayu manglid. Informasi tersebut
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan pemanfaatan
kayu manglid.
Bab VII membahas manfaat sosial ekonomi dan kelayakan finansial hutan rakyat
manglid, serta pemasaran kayu manglid. Bab ini menyajikan informasi tentang
(a) kontribusi pendapatan kayu manglid terhadap total pendapatan dari hutan
rakyat; (b) kelayakan finansial hutan rakyat manglid yang dikelola dalam bentuk
campuran dan agroforestri; dan (c) pemasaran kayu manglid. Informasi tersebut
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola hutan rakyat
manglid dan membantu petani memasarkan hasilnya sehingga berkontribusi
nyata terhadap pendapatan petani.
Bab VIII merupakan penutup buku ini yang menyampaikan rangkuman status
riset dari hasil-hasil penelitian manglid pada bab-bab sebelumnya. Selain itu,
bagian akhir bab ini juga menyampaikan pengembangan dan implikasi kebijakan
yang mungkin dirancang berdasarkan status riset hutan rakyat manglid.
P e n d a h u l u a n
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 7
Daftar Pustaka
Anonim. (2005). Hutan rakyat Indonesia. Majalah Kehutanan Indonesia, Edisi
III(32).
Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. (2006). Data potensi hutan rakyat
di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Indrajaya, Y. (2016). Daur optimal hutan rakyat manglid di Kecamatan Kawalu,
Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sudomo, A. (2011). Karakteristik pertumbuhan dan tempat tumbuh manglid di
hutan rakyat Babakan Lame, Desa Cikubang, Kecamatan Taraju, Kabupaten
Tasikmalaya. Paper presented at the Workshop Puslitbang Peningkatan
Produktivitas Hutan Tanaman, Bogor.
Wardhana, S. (2005). Peta potensial aktual hasil hutan Indonesia sebagai penghara
industri kehutanan.
II
TAKSONOMI DAN EKOLOGI MANGLID
TAKSONOMI DAN EKOLOGI MANGLID
BAB II
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 11
Status Taksonomi dan Morfologi Manglid
Aji Winara1, Aditya Hani1, & Levina Augusta G. Pieter1
ABSTRAK
Manglid merupakan salah satu kayu unggulan hutan rakyat di Jawa Barat bagian timur.
Penamaan manglid secara ilmiah masih simpang siur dan terkadang tertukar dengan jenis
lain sehingga diperlukan identifikasi jenis secara ilmiah dari beberapa jenis manglid yang
dikenal oleh masyarakat. Hasil identifikasi Herbarium Bogoriense LIPI menunjukkan bahwa
semua manglid yang dikenal oleh masyarakat memiliki nama latin Magnolia champaca (L.)
Baill. ex Pierre. dan terdapat satu variasi manglid yang teridentifikasi hingga tingkat varietas,
yaitu Magnolia champaca var. pubinervia (Blume) Figlar & Noot. Selain itu, terdapat variasi
morfologi manglid pada bagian daun, bunga, batang, dan tajuk.
Kata kunci: manglid, taksonomi, morfologi, Jawa Barat
I. Pendahuluan
Manglid telah dikenal di Jawa Barat khususnya bagian timur sebagai komo-
ditas kayu pertukangan asli atau lokal yang banyak dikembangkan di hutan rakyat.
Jenis manglid dikenal oleh masyarakat yang meliputi beberapa variasi morfologi.
Contohnya, masyarakat Sodonghilir, Tasikmalaya, mengenal beberapa jenis manglid
dengan sebutan manglid bodas, manglid bulu, dan manglid tanduk. Hal ini pun ber-
dampak pada kesimpangsiuran dalam memilih jenis variasi manglid yang berkualitas
untuk dibudidayakan. Selain itu, tataran penelitian juga memunculkan permasalahan
penamaan manglid yang kerap tertukar dengan jenis baros (Manglietia glauca) yang
saat ini sedang direvisi menjadi Magnolia blumei. Padahal, manglid dan baros
memiliki perbedaan secara morfologi sehingga tergolong spesies yang berbeda,
meskipun keduanya masih tergabung dalam genus yang sama, yaitu Magnolia.
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 04, Po Box
5 Ciamis 46201; Email: [email protected]
A. Winara, A. Hani, & L.A.G. Pieter
12 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Manglid memiliki banyak penamaan nama latin. Heyne (1987) menyebutkan
bahwa manglid yang dikenal secara lokal di Jawa Barat terdiri atas manglid baros
(Manglietia glauca BL.), manglid bodas (Michelia montana BL.), dan manglid atau
baros (Michelia velutina). Sosef et al. (1998) dalam buku Prosea 5 dan Nooteboom
(1988) dalam buku Flora Malesiana menyebutkan bahwa dalam Bahasa Sunda,
manglid atau manglit adalah jenis Michelia montana atau sinonim dari Magnolia
montana, atau disebut juga cempaka jahe karena salah satu ciri M. montana adalah
bagian kayu terasnya mengeluarkan aroma seperti jahe, sedangkan Michelia
champaca var. pubinervia disebut sebagai baros atau manglis (Jawa).
Penamaan jenis tumbuhan secara ilmiah yang merujuk pada nama daerah
terkadang cukup membingungkan karena ada beberapa kesamaan nama daerah
untuk jenis yang berbeda secara taksonomi. Oleh karena itu, untuk memastikan
penamaan manglid secara ilmiah, pengumpulan sampel herbarium manglid
dilakukan di Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya, yang selanjutnya dilakukan
identifikasi jenis oleh Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Biologi (Puslitbang Biologi), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di
Bogor.
II. Metodologi
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April–Mei 2015. Lokasi penelitian
adalah Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis; Kecamatan Pagerageung,
Ciawi, dan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain gunting stek, perlengkapan pembuatan her-
barium, dan kamera. Sementara itu, bahan yang digunakan antara lain alkohol dan
sampel herbarium manglid yang meliputi daun, bunga, dan buah.
S t a tu s Ta kson o m i d an Mo r f o lo g i M ang l id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 13
C. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan teknik eksplorasi dan identifikasi morfologis.
Eksplorasi tegakan manglid dilakukan untuk mengumpulkan sampel herbarium
lengkap berdasarkan pada perbedaan variasi morfologi manglid. Setiap tegakan
manglid dikumpulkan sampel herbariumnya sebanyak lima buah untuk kemudian
dilakukan pengeringan oven pada suhu 70ºC selama tiga hari. Identifikasi jenis
dilakukan oleh Herbarium Bogoriense Puslitbang Biologi LIPI, sedangkan pertelaan
morfologi manglid dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Agroforestry, Ciamis.
III. Hasil dan Pembahasan
A. Taksonomi Jenis
Hasil identifikasi Herbarium Bogoriense Puslitbang Biologi LIPI menunjuk-
kan bahwa semua variasi morfologi tanaman yang dikenal oleh masyarakat dengan
nama manglid teridentifikasi secara taksonomi dengan nama jenis Magnolia
champaca (L.) Baill. ex Pierre dan terdapat satu variasi manglid yang teridentifikasi
hingga tingkat varietas, yaitu Magnolia champaca var. pubinervia (Blume) Figlar &
Noot. Keduanya memiliki perbedaan morfologi daun dan batang sebagaimana
Gambar 1, 2, dan 3. Menurut Nooteboom (1988), jenis Magnolia champaca terdiri
atas dua varietas atau penamaan di bawah subspesies, yaitu Magnolia champaca var.
champaca dan Magnolia champaca var. pubinervia. Demikian pula dalam dokumen-
tasi herbarium beberapa komunitas herbarium internasional (www.theplantlist.org)
dan indeks nama tumbuhan internasional (www.ipni.org).
Jenis M. champaca var. champaca dikenal dengan nama perdagangan kayu
cempaka atau dalam bahasa daerah disebut campaka bodas (Sunda) atau kantil
(Jawa). Varietas ini memiliki kekhasan pada struktur kayu berupa kayu teras yang
berwarna lebih terang dan bunganya yang sangat wangi. Sementara itu, manglid
dengan nama latin M. champaca var. pubinervia memiliki struktur kayu teras lebih
gelap dan bunga yang tidak terlalu wangi. Kayu manglid juga tidak mengeluarkan
A. Winara, A. Hani, & L.A.G. Pieter
14 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
aroma bau jahe sehingga jenis manglid tidak tergolong cempaka gunung (Sunda)
atau Michelia montana sinonim Magnolia montana.
Secara umum, jenis M. champaca tergolong genus Magnolia, famili Magno-
liaceae, ordo Magnoliales, kelas Magnoliopsida, divisi Magnoliophyta, dan kerajaan
Plantae. Jenis tumbuhan yang tergolong famili Magnoliaceae terdapat 223 jenis dan
25 jenis di antaranya terdapat di Indonesia dengan status konservasi belum ter-
evaluasi (Rozak, 2012).
Beberapa genus yang termasuk famili Magnoliaceae telah mengalami peng-
gabungan, yaitu genus Michelia, Manglietia, Kmeria, Elmerrilia, Pachylarnax, dan
Magnolia menjadi genus Magnolia. Revisi ini didasarkan pada kedekatan secara
DNA di antara semua genus tersebut (Figlar & Nooteboom, 2004). Sebelum
mengalami revisi, jenis Magnolia champaca dikenal dengan nama jenis Michelia
champaca dan demikian pula dengan Michelia champaca var. pubinervia. Setelah
adanya penelitian mengenai sekuensi DNA jenis-jenis dalam famili Magnoliaceae
yang dilakukan oleh Kim et al. (2001) dan Azuma et al. (2001), nama latin spesies
manglid mengalami revisi dari Michelia champaca menjadi Magnolia champaca dan
nama varietas manglid menjadi Magnolia champaca var. pubinervia. Meskipun hasil
identifikasi morfologis dari beberapa sampel herbarium manglid teridentifikasi
sebagai M. champaca dan M. champaca var. pubinervia, penamaan manglid dapat
dilakukan hingga nama jenis, yaitu M. champaca dengan membedakan penamaan
kayu perdagangan dengan jenis cempaka.
B. Morfologi Jenis
Hasil eksplorasi manglid yang terdapat pada hutan rakyat ditemukan beberapa
variasi morfologi manglid, meskipun secara taksonomi masih tergolong satu jenis,
yaitu Magnolia champaca. Perbedaan yang nyata tampak pada variasi bentuk daun
dan pertumbuhan sehingga manglid dikenal oleh masyarakat menjadi lima variasi.
Meskipun demikian, variasi tersebut masih dalam jenis yang sama secara morfologis
sehingga hanya menunjukkan rentang bentuk morfologi.
S t a tu s Ta kson o m i d an Mo r f o lo g i M ang l id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 15
1. Batang dan Tajuk
Habitus manglid tergolong pohon dengan tinggi mencapai 50 m dan diameter
180 cm. Batangnya silindris dengan permukaan licin hingga berlentisel, serta ter-
dapat bercak abu-abu dan cokelat kemerahan (Gambar 1). Batang manglid yang
teridentifikasi hingga tingkat varietas (M. champaca var. pubinervia) tergolong licin
dan berbercak putih abu-abu (Gambar 1a), sedangkan batang manglid yang teriden-
tifikasi hingga tingkat jenis (M. champaca) tergolong licin berbercak cokelat keme-
rahan dan berlentisel (Gambar 1b, 1c, dan 1d).
Gambar 1. Morfologi batang Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca
(b, c, dan d)
Gambar 2. Bentuk tajuk Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca (b)
Bentuk tajuk manglid terdiri atas dua bentuk, yaitu membulat (Gambar 2a)
dan bulat mengerucut (Gambar 2b). Bentuk tajuk yang bulat mengerucut memiliki
batang yang berlentisel (kasar) (Gambar 1d), sedangkan manglid yang memiliki
tajuk membulat memiliki batang yang licin atau tidak berlentisel. Manglid dengan
bentuk tajuk bulat mengerucut memiliki cabang cenderung mudah lepas (self
a b c d
a b
A. Winara, A. Hani, & L.A.G. Pieter
16 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
pruning), sedangkan manglid dengan bentuk tajuk membulat memiliki cabang yang
lebih kuat.
2. Daun
Secara morfologi, daun manglid berbentuk menjorong dengan tingkat men-
jorong bervariasi (Gambar 3). Ukuran daun 10–30 x 4–10 cm; ujung pangkal daun
membaji dan ujung daun sering melancip pendek atau melonjong dengan ukuran 7–
(13–25) mm; duduk daun spiral. Stipul atau daun penumpu seluruhnya berbulu
padat. Warna daun hijau tua hingga hijau kekuningan dengan permukaan daun
bagian atas licin agak mengkilap hingga kusam agak kasar. Ranting dan tulang, serta
urat daun bagian bawah berbulu; tulang daun lebih menonjol dari urat daun; urat
daun berjumlah 14–23 pasang. Tangkai daun dengan panjang luka bekas stipul
mencapai 0,3–0,7 kali dari panjang stipul dan panjang tangkai daun 14–(36–40)
mm.
Gambar 3. Morfologi daun Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca
(b dan c)
3. Bunga
Bunga berwarna kuning terang hingga oranye tua; tepal 15 buah dengan
ukuran panjang 20–45 mm; stamen 6–8 mm dengan jarak konektif hingga 1 mm,
berjumlah 30; panjang gynofor 3 mm dengan bulu padat. Bunga memiliki bau wangi
yang khas, namun tidak sewangi bunga cempaka. Pembungaan manglid biasanya
terjadi pada bulan Januari hingga April.
a b c
S t a tu s Ta kson o m i d an Mo r f o lo g i M ang l id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 17
Gambar 4. Morfologi bunga Magnolia champaca var. pubinervia (a) dan Magnolia champaca
(b dan c)
4. Buah
Buah manglid bertipe kapsul bertekstur kasar benjol-benjol dengan panjang
5–15 cm (Gambar 5). Buah tersusun dalam tandan yang terdiri atas 10–15 karpel
yang akan merekah saat masak (Gambar 5b) dan di dalam karpel terdapat biji. Buah
muda berwarna hijau (Gambar 5a) dan buah matang berwarna merah (Gambar 5b
dan 5c). Biji manglid memiliki tekstur berdaging dan benih yang keras berwarna
hitam.
Gambar 5. Morfologi buah manglid: buah muda (a); buah matang (b); biji muda dan
matang (c)
IV. Kesimpulan
Secara taksonomi, jenis manglid tergolong spesies Magnolia champaca (L.)
Baill. ex Pierre. dengan tingkat varietas Magnolia champaca var. pubinervia (Blume)
Figlar & Noot. Terdapat beberapa variasi manglid di hutan rakyat yang memiliki
perbedaan pertelaan morfologi daun, warna bunga, batang, dan bentuk tajuk.
a c b
a b c
A. Winara, A. Hani, & L.A.G. Pieter
18 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Daftar Pustaka
Azuma, H., García-Franco, J. G., Rico-Gray, V., & Thien, L. B. (2001). Molecular
phylogeny of the Magnoliaceae: the biogeography of tropical and temperate
disjunctions. American Journal of Botany, 88(12), 2275-2285.
Figlar, R. B., & Nooteboom, H. P. (2004). Notes on Magnoliaceae IV. Blumea-
Biodiversity, Evolution and Biogeography of Plants, 49(1), 87-100.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Bogor, Indonesia: Badan
Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan
Kim, S., Park, C.-W., Kim, Y.-D., & Suh, Y. (2001). Phylogenetic relationships in
family Magnoliaceae inferred from ndhF sequences. American Journal of
Botany, 88(4), 717-728.
Nooteboom, H. P. (1988). Magnoliaceae. Flora Malesiana ser. I, vol 103. Leiden,
The Netherlands.
Rozak, A. H. (2012). Status taksonomi, distribusi dan kategori status konservasi
magnoliaceae di indonesia. Buletin Kebun Raya, 15(2), 81-92.
Sosef, M., Hong, L., & Prawirohatmodjo, S. (1998). PROSEA 5 (3) Timber trees:
lesser known species: Backhuys Publishers, Leiden.
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 19
Perkembangan Tegakan Manglid (Magnolia champaca) pada
Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya
Budiman Achmad1
ABSTRAK
Manglid adalah jenis pohon yang banyak dikembangkan oleh petani hutan rakyat di Kabu-
paten Tasikmalaya, tetapi sarana pendukungnya masih lemah. Penelitian ini bertujuan
mengetahui perkembangan tegakan manglid dan potensi kelestarian hasilnya. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret–Juli 2011 di tiga desa, yaitu Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal,
dan Karyabakti, Kabupaten Tasikmalaya. Pengambilan data dilakukan dengan cara inven-
tarisasi terhadap 20 blok hutan rakyat sehingga total ada 60 blok hutan rakyat. Data dimensi
tegakan dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perkembangan tegakan manglid pada hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya cukup
besar ditandai dengan tingginya porsi manglid pada hampir semua hutan rakyat di semua
lokasi penelitian. Akan tetapi, perkembangan pohon manglid terancam tidak berkelanjutan
karena potensi keunggulan manglid terhambat karena terlalu tingginya kepadatan populasi
dan terlalu sempitnya rata-rata pemilikan hutan. Untuk meningkatkan peluang kelestarian
hutan berbasis manglid di Kabupaten Tasikmalaya, kepadatan tegakan perlu dikurangi,
terutama di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta. Sementara untuk Desa Sepatnunggal,
struktur tegakan manglid perlu diperbaiki dengan meningkatkan populasi tegakan muda.
Kata kunci: hutan rakyat, kelestarian, manglid, Tasikmalaya.
I. Pendahuluan
Hutan rakyat dan kelestarian hasil adalah isu yang tidak bisa dipisahkan.
Pengembangan jenis tanaman pada hutan rakyat selalu dikaitkan dengan perkiraan
waktu panen atau daur, sedangkan pemilihan jenis tanaman tertentu selalu dihu-
bungkan dengan tujuan pengembangannya. Manglid adalah jenis pohon cepat tum-
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry Ciamis; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4
Pamalayan, Ciamis; Email: [email protected]
B. Achmad
20 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
buh (fast growing species) yang mempunyai postur batang relatif lurus, tetapi
daurnya lebih panjang dibandingkan dengan sengon. Pengembangan manglid pada
hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya ditujukan sebagai tabungan jangka panjang
dan sekaligus untuk konservasi pada lahan-lahan miring.
Pemilikan hutan di Kabupaten Tasikmalaya tergolong sempit, yaitu rata-rata
0,1–0,36 ha. Sempitnya lahan hutan tidak memungkinkan petani mengandalkan
pendapatan hanya dari hasil hutan saja, tetapi harus juga mempunyai sumber
pendapatan yang lain. Beberapa sumber pendapatan petani hutan di Kabupaten
Tasikmalaya, antara lain dari sektor jasa, sawah, hutan, kolam ikan, ternak, dan
kiriman keluarga. Dari beberapa sumber pendapatan tersebut, pendapatan dari sek-
tor hutan rakyat bukan menjadi sumber utama, tetapi dari sektor jasa. Kondisi
tersebut mengisyaratkan bahwa pengelolaan hutan rakyat di Tasikmalaya butuh
pemilihan jenis yang sesuai dengan karakter sosial ekonomi petani dan biofisiknya.
Oleh sebab itu, pengembangan jenis manglid pada hutan rakyat perlu dievaluasi
kesesuaiannya dengan karakter tersebut.
Kontribusi pendapatan petani dari tegakan manglid tidak lebih baik dari
kontribusi pendapatan dari tegakan sengon. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Diniyati et al. (2011) menunjukkan bahwa sumbangan pendapatan yang cukup besar
dari manglid hanya berasal dari Desa Tanjungkerta, yaitu 56,71%. Sementara itu,
sumbangan pendapatan dari tegakan manglid di Desa Sepatnunggal dan Karyabakti
masih lebih rendah daripada tegakan sengon. Hal tersebut disebabkan oleh daur
ekonomi manglid yang rata-rata mencapai dua kali lebih lama dibandingkan dengan
daur ekonomi sengon.
Berdasarkan penjelasan di atas, hal yang menarik untuk dikaji adalah
bagaimana perkembangan tegakan manglid di Kabupaten Tasikmalaya dan seberapa
besar potensi kelestariannya. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan mengetahui
perkembangan tegakan manglid pada hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya dalam
hubungannya dengan pemanfaatannya secara lestari.
Perkembangan Tegakan Mangl id (Magnol ia champaca) …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 21
II. Metodologi
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Tasikmalaya pada tiga desa terpilih yang
mewakili wilayah pembangunan Tasikmalaya, yaitu Desa Tanjungkerta, Sepatnung-
gal dan Karyabakti. Alasan pemilihan lokasi tersebut karena banyak dikembangkan
hutan rakyat dengan berbagai pola tanam, seperti monokultur, agroforestri, dan
polikultur. Selain itu, lokasi tersebut terdapat pula kelompok tani yang berhubungan
dengan hutan rakyat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret–Juli 2011.
B. Pengambilan Sampel Penelitian
Sampel penelitian terdiri atas dua sasaran, yaitu petani dan informan kunci
sebagai subjek pelaku (responden), sedangkan tegakan hutan rakyat sebagai objek
aktivitas.
1. Petani dan Informan Kunci
Unit analisis yang dijadikan sebagai responden, yaitu:
- Petani hutan rakyat anggota kelompok tani. Pemilihan responden dilakukan
secara acak sederhana (simple random sampling) dengan jumlah responden
untuk setiap desa sebanyak 20 orang.
- Informan kunci yang mengetahui dan memahami tentang hutan rakyat di
setiap lokasi penelitian. Pemilihan informan kunci dilakukan secara sengaja
(purposive sampling) dengan teknik penilaian (judgment) (Sarwono, 2006).
Jumlah informan kunci untuk seluruh lokasi penelitian sebanyak 7 orang.
2. Tegakan Hutan Rakyat
- Pemilihan tegakan dilakukan secara stratified random sampling berdasarkan
luas kepemilikan lahan. Dari setiap responden, sebanyak satu blok hutan
dipilih berdasarkan kriteria luas lahan tersebut sehingga setiap desa diperoleh
20 objek hutan yang berlainan luasannya.
B. Achmad
22 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
- Pelaksanaan sensus potensi tegakan, termasuk inventarisasi tanaman bawah.
Parameter yang diukur adalah tinggi dan diameter pohon, serta jumlah dan
jenis tanaman bawah.
C. Analisis Data
Data yang telah diperoleh diolah dalam bentuk tabulasi atau gambar untuk
mengetahui kondisi petani, pemanfaatan lahan, dan hutan rakyat. Tujuan pengo-
lahan data adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca
dan diinterpretasikan (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2000; Singarimbun
& Efendi, 1989). Potensi tegakan dihitung menggunakan rumus:
Vp = Lbds x h x f
Lbds = 0.25 π D2
Yang mana:
Vp = volume pohon
Lbds = luas bidang dasar
h = tinggi pohon
f = faktor bentuk pohon (0,7)
π = 3,1415
D = diameter setinggi dada
Data yang telah dikelompokkan dalam bentuk tabulasi dan gambar dianalisis
dengan teknik kualitatif (deskriptif). Teknik kualitatif yakni mengolah dan meng-
analisis data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematik, teratur, terstruktur,
dan mempunyai makna (Sarwono, 2006).
III. Hasil dan Pembahasan
A. Potensi dan Kerapatan Tegakan Manglid
Hasil observasi lapangan di tiga lokasi penelitian memperoleh data yang
menunjukkan bahwa tanaman penyusun hutan rakyat dapat dikelompokkan menjadi
Perkembangan Tegakan Mangl id (Magnol ia champaca) …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 23
tanaman kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah, dan tanaman obat. Terdapat
kecenderungan bahwa semakin tinggi tempat tumbuh, semakin berkurang jumlah
jenis pohon yang tumbuh. Berdasarkan jumlahnya, jenis pohon yang paling banyak
dijumpai pada hutan rakyat adalah di Desa Karyabakti, yaitu 53 jenis. Desa
Karyabakti mempunyai ketinggian tempat tumbuh 600 m di atas permukaan laut
(dpl). Sementara itu, jenis pohon yang paling sedikit dijumpai pada hutan rakyat
adalah di Desa Tanjungkerta, yaitu 26 jenis. Desa ini berada pada ketinggian 900 m
dpl.
Petani di Kabupaten Tasikmalaya hanya memiliki hutan dengan luas rata-rata
0,10–0,36 ha. Padahal, Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997 tang-
gal 20 Januari 1997 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hutan rakyat adalah
hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dan penutupan tajuk
tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya >50%, dan/atau pada tanaman
tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman/ha. Berdasarkan
ketentuan tersebut, hanya hutan rakyat yang ada di Desa Sepatnunggal saja yang
memenuhi kriteria dan dapat disebut sebagai hutan rakyat.
Meskipun luas lahan yang dimiliki petani di Desa Karyabakti dan Tanjung-
kerta sangat sempit, yakni hanya 0,10 ha dan 0,11 ha, tetapi minat petani untuk
menanam pohon di kedua desa tersebut sangat tinggi. Hal ini dicerminkan oleh
tingginya populasi tanaman yang berturut-turut mencapai 1.962 pohon/ha di Desa
Karyabakti dan 1.729 pohon/ha di Desa Tanjungkerta. Hal ini kemungkinan dido-
rong oleh keinginan untuk mendapatkan hasil yang tinggi dari lahan yang sempit
tersebut sehingga petani berusaha menanami lahannya dengan pohon sebanyak-
banyaknya. Sikap petani seperti itu justru menyebabkan tingginya persaingan untuk
memperoleh ruang tumbuh dan hara tanah sehingga pertumbuhan pohon semakin
tertekan.
Kondisi yang lebih ideal ditunjukkan oleh petani di Desa Sepatnunggal yang
mengembangkan sebanyak 44 jenis pohon dengan kepadatan 520 pohon/ha. Luas
rata-rata pemilikan hutan di Desa Sepatnunggal adalah tiga kali lebih luas
dibandingkan dengan luas rata-rata pemilikan hutan di Desa Karyabakti dan
Tanjungkerta, tetapi kerapatannya justru sepertiga dari kerapatan tegakan di Desa
B. Achmad
24 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tanjungkerta dan Karyabakti. Kondisi yang berkebalikan tersebut memberikan
gambaran bahwa petani di Desa Sepatnunggal kemungkinan lebih banyak
memperoleh informasi tentang pengelolaan hutan yang baik dan benar. Hal ini juga
tercermin dari keputusan petani Desa Sepatnunggal yang lebih fokus pada perba-
nyakan jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti manglid mencapai
lebih dari setengah populasi tegakan, yaitu 292 pohon/ha untuk jenis manglid dari
total 520 pohon/ha untuk semua jenis, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Ringkasan banyaknya jenis dan kerapatan pohon
Lokasi penelitian Tinggi tempat
(m dpl)
Pemilikan
hutan (ha)
Jumlah
jenis
Kerapatan semua
jenis (pohon/ha)
Desa Karyabakti 600 0,10 53 1.962
Desa Sepatnunggal 700 0,36 44 520
Desa Tanjungkerta 900 0,11 26 1.729
Sumber: diolah dari data primer 2011
Salah satu faktor yang memengaruhi pengelolaan hutan adalah luas unit
usaha, yaitu harus memenuhi kriteria skala ekonomis. Oleh karena itu, perbedaan
luas pemilikan hutan memaksa petani untuk melakukan strategi pengelolaan yang
berbeda pula. Berdasarkan luas lahannya, petani hutan rakyat di Desa Sepatnunggal
lebih berpeluang mencapai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan petani di
Desa Karyabakti dan Tanjungkerta. Selain disebabkan rata-rata pemilikan hutannya
lebih luas, hal ini kemungkinan juga disebabkan petani di Desa Sepatnunggal tidak
terlalu menggantungkan kebutuhan hidupnya dari hutan saja karena mereka mem-
punyai sumber pendapatan lain yang lebih besar, seperti dari usaha dagang (sektor
jasa). Hal yang berbeda dialami oleh petani di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta
yang mana pendapatan dari sektor selain hutan relatif kecil sehingga hutan menjadi
tumpuan utama. Tingginya tingkat ketergantungan ditambah dengan kurangnya
informasi tentang pengelolaan hutan yang baik menyebabkan mereka berupaya
Perkembangan Tegakan Mangl id (Magnol ia champaca) …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 25
mendapatkan penghasilan dari usaha hutan sebesar mungkin dengan menanam
pohon sebanyak-banyaknya.
Tabel 2. Ringkasan data potensi tegakan manglid di lokasi penelitian
Lokasi penelitian
Nilai rata-rata dari pohon Kerapatan
tegakan
(pohon/ha)
Total volume
(m3/ha)
Prioritas
ke Diameter
(cm)
Tinggi
(m)
Volume
(m3)
Desa Karyabakti 7,77 5,05 0,03 332 9,96 1
Desa Sepatnunggal 7,85 5,03 0,04 292 11,68 1
Desa Tanjungkerta 7,93 5,27 0,05 319 15,95 2
Sumber: diolah dari data primer 2011
B. Sebaran Jenis Pohon Penyusun Hutan Rakyat
Berdasarkan data sebaran jenis pohon seperti ditampilkan pada Gambar 1,
terlihat bahwa tiga jenis pohon yang dominan dikembangkan petani di Desa
Karyabakti berturut-turut adalah manglid, sengon, dan mahoni. Besarnya populasi
manglid hampir seimbang dengan populasi sengon. Ketinggian tempat tumbuh di
Desa Karyabakti sangat ideal bagi pertumbuhan hampir semua jenis pohon sehingga
wajar jika jenis tanaman yang dijumpai sangat banyak. Kesesuaian tempat tumbuh
bagi banyak jenis pohon tersebut disikapi oleh petani secara kurang bijaksana dengan
memperbanyak populasi pohon sehingga justru menghambat pertumbuhan diameter
pohon. Petani di Desa Karyabakti seharusnya melakukan penjarangan keras untuk
memberi kesempatan pada pohon agar bisa tumbuh lebih besar.
Berdasarkan data sebaran jenis pohon pada Gambar 2, hal yang hampir sama
terlihat bahwa tiga jenis pohon yang dominan dikembangkan petani di Desa Sepat-
nunggal berturut-turut adalah manglid, mahoni, dan sengon. Populasi manglid pada
hutan rakyat di Desa Sepatnunggal sangat mencolok, yakni lebih dari 40%,
sedangkan mahoni hanya 15% dan sengon kurang dari 10%. Petani di desa ini mulai
memperbanyak pohon manglid kemungkinan karena adanya isu banyaknya penyakit
B. Achmad
26 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
karat tumor yang menyerang sengon. Kemungkinan lain karena petani di desa ini
mengetahui nilai dan prospek ekonomi manglid. Hal ini terlihat dari Tabel 1 dan
Gambar 2. Meskipun jenis yang dikembangkan cukup banyak, yaitu 44 jenis pohon;
petani di Desa Sepatnunggal sudah cerdas dengan memprioritaskan jenis pohon
yang lebih bernilai ekonomi.
Gambar 1. Sebaran populasi jenis pohon pada hutan rakyat di Desa Karyabakti
Gambar 2. Sebaran populasi jenis pohon pada hutan rakyat di Desa Sepatnunggal
Perkembangan Tegakan Mangl id (Magnol ia champaca) …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 27
Data sebaran jenis pohon pada Gambar 3 menunjukkan bahwa tiga jenis
pohon yang dominan dikembangkan oleh petani di Desa Tanjungkerta berturut-
turut adalah mahoni, manglid, dan sengon. Populasi manglid di Desa Tanjungkerta
berada pada urutan kedua setelah mahoni, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan
sengon. Perbedaan populasi dari ketiga jenis pohon tersebut di hutan rakyat Desa
Tanjungkerta tidak terlalu mencolok. Hal ini menggambarkan bahwa petani di desa
ini masih mengandalkan mahoni dan sengon sebagai hasil kayu utama dari hutan
rakyat karena kedua jenis pohon tersebut telah mempunyai pasar secara jelas. Kayu
mahoni dan sengon adalah bahan baku utama pembuatan papan palet (ukuran 8 x 10
x 130 cm) bagi industri besar yang ada di Tasikmalaya dan Banjar.
Gambar 3. Sebaran populasi jenis pohon pada hutan rakyat di Desa Tanjungkerta
Manglid termasuk ke dalam jenis pohon yang cepat tumbuh, meskipun per-
tumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan pohon sengon. Hasil penelitian
Li-Hua et al. (2014) di Vietnam menyatakan bahwa ketinggian tempat tumbuh
yang paling sesuai untuk pohon manglid adalah 550 m dpl. Akan tetapi, menurut
World Agroforestry Center (2011), pertumbuhan mangid di Vietnam masih baik
pada tempat tumbuh dengan ketinggian 550–700 m dpl. Sementara itu, ketinggian
tempat tumbuh paling baik bagi sengon adalah 800 m dpl. Berdasarkan ketinggian
tempat tumbuh pohon manglid di lokasi penelitian menunjukkan bahwa Desa
B. Achmad
28 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Karyabakti dan Desa Sepatnunggal mempunyai ketinggian yang masih sesuai untuk
perkembangan manglid. Sebaliknya, Desa Tanjungkerta dengan ketinggian 900 m
dpl kurang sesuai untuk perkembangan manglid sehingga keputusan petani
mengembangkan pohon manglid pada hutan rakyat di Tajungkerta berpotensi
menghadapi kendala pertumbuhan. Oleh karena itu, pemilihan manglid sebagai
jenis prioritas oleh petani di Desa Karyabakti dan Sepatnunggal dinilai tepat.
Demikian halnya dengan pemilihan manglid sebagai jenis prioritas kedua setelah
mahoni oleh petani di Desa Tanjungkerta juga masih bisa ditolerir.
Menurut World Agroforestry Center (2011), pertumbuhan manglid (Mang-
lietia glauca) pada tempat tumbuh yang rendah (<400 m dpl) kurang menunjukkan
performa yang baik. Tegakan manglid umur 12–13 tahun hanya mempunyai riap
rata-rata tahunan (MAI) sebesar 8–9 m3/ha/tahun. Sementara itu, pertumbuhan
manglid umur 15–30 tahun pada ketinggian tempat tumbuh 400–700 m dpl
tergolong baik, yaitu mempunyai nilai MAI sebesar 10–14 m3/ha/tahun.
Pertumbuhan awal pohon manglid dan penutupan tajuknya relatif lambat sehingga
cocok ditumpangsarikan dengan tanaman semusim, seperti jagung atau kapulaga.
Kayu manglid lebih banyak dipergunakan untuk bahan mebel sehingga
diameter rata-rata minimal yang disyaratkan adalah 20 cm. Hal ini berbeda dengan
kegunaan kayu mahoni dan sengon yang lebih banyak digunakan untuk memasok
bahan baku industri kayu gergajian ukuran kecil seperti palet (ukuran 6 x 10 x 130
cm) pada industri pengolahan di Tasikmalaya dan Banjar.
C. Potensi Kelestarian Hasil Tegakan Manglid
Luas rata-rata pemilikan hutan rakyat di lokasi penelitian adalah 0,10–0,36
ha. Untuk memperoleh hasil (pendapatan) yang berkelanjutan pada lahan yang
sempit dibutuhkan tanaman yang bisa cepat dipanen. Sementara itu, waktu panen
yang besarnya dua kali lebih lama dibandingkan dengan waktu panen sengon
menyebabkan pengembangan manglid kurang menarik sehingga minat petani
terhadap manglid terancam menurun.
Perkembangan Tegakan Mangl id (Magnol ia champaca) …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 29
Dominasi jenis manglid di Desa Sepatnunggal yang populasinya hampir
mencapai 50% ternyata tidak didukung oleh cadangan tanaman muda yang nantinya
akan mengisi kelas diameter yang lebih tinggi. Dengan kata lain, populasi tegakan
manglid didominasi oleh pohon berukuran besar. Hal ini berbeda kondisinya dengan
manglid di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta yang menunjukkan struktur tegakan
dengan sebaran kelas diameter lebih normal (Gambar 4). Populasi anakan manglid
pada hutan rakyat di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta jumlahnya lebih banyak
dibandingkan dengan populasi anakan manglid di Desa Sepatnunggal. Struktur
tegakan seperti di Desa Karyabakti dan Tanjungkerta mendorong terciptanya keles-
tarian hasil, khususnya pada hutan rakyat berbasis manglid.
Gambar 4. Sebaran kelas diameter tegakan manglid di Desa Sepatnunggal, Karyabakti, dan
Tanjungkerta
Daur ekonomi tegakan manglid hampir dua kali lebih lama dibandingkan
tegakan sengon. Padahal, harga kayu manglid tidak terlalu berbeda dengan harga
kayu sengon. Berdasarkan perbandingan tersebut, pengembangan manglid secara
besar-besaran pada lahan sempit dari aspek kecepatan cash flow kurang mengun-
tungkan petani. Dengan demikian, tegakan manglid lebih sesuai ditujukan untuk
B. Achmad
30 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
kepentingan ekonomi jangka panjang (semacam tabungan), sekaligus untuk tujuan
konservasi tanah dan air. Selain itu, pengembangan manglid di Kabupaten
Tasikmalaya yang mayoritas lahannya sempit masih mempunyai prospek yang baik
jika ditumpangsarikan dengan tanaman semusim sehingga pendapatan jangka pen-
dek tetap diperoleh petani.
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Secara umum, perkembangan manglid pada hutan rakyat di Kabupaten
Tasikmalaya tergolong cukup besar. Hal ini terbukti dari dominasi jenis tersebut di
hampir semua hutan rakyat di wilayah tersebut. Seperti halnya sengon, manglid
termasuk jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species), tetapi mempunyai masa
panen relatif lebih lama dibandingkan dengan pohon sengon.
Luas pemilikan hutan di Kabupaten Tasikmalaya yang rata-rata sempit men-
jadi faktor pembatas dari pengembangan jenis manglid. Hal tersebut disebabkan
pendapatan dari pohon manglid terlalu lama untuk menopang kebutuhan petani.
Selain itu, kerapatan tegakan manglid pada hutan rakyat di Desa Karyabakti dan
Tanjungkerta dinilai terlalu tinggi.
Dari aspek kelestarian hasil, manglid adalah jenis pohon yang sesuai dikem-
bangkan pada hutan rakyat melalui pola agroforestri agar diperoleh hasil yang
berkelanjutan, yaitu hasil jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Untuk lebih menjamin kelestarian hutan berbasis manglid, struktur tegakan manglid
di Desa Sepatnunggal perlu diperbaiki dengan menambah anakan. Selain itu, untuk
meningkatkan peluang kelestarian hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya, penga-
turan kerapatan menjadi penting dilakukan dengan cara menjarangi jenis-jenis yang
kurang bernilai ekonomi.
Perkembangan Tegakan Mangl id (Magnol ia champaca) …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 31
B. Saran
Mengingat lahan yang dimiliki petani relatif sempit (luas rata-rata 0,10–0,36
ha), kerapatan tegakan sebaiknya dikurangi agar tersedia ruang tumbuh yang lebih
luas bagi pohon dan tanaman bawah yang menjadi sumber pendapatan jangka
pendek.
Daftar Pustaka
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. (2000). Pedoman survei sosial ekonomi
kehutanan Indonesia. Jakarta, Indonesia: Pusat Sosial dan Ekonomi
Kehutanan dan Perkebunan, Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Diniyati, D., Widyaningsih, T., Fauziyah, E., Mulyati, E., & Suyarno. (2011). Pola
agroforestry di hutan rakyat penghasil kayu pertukangan (manglid). Laporan
Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis: Balai
Penelitian Teknologi Agroforestry.
Li-Hua, L., Ri-ming, H., Rui-hong, N., & Zhong-guo, L. (2014). Responses of
Manglietia glauca growth to soil nutrients and climatic factors. Yingyong
Shengtai Xuebao, 25(4).
Sarwono, J. (2006). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif: Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Singarimbun, M., & Efendi. (1989). Metode penelitian survei. Jakarta, Indonesia:
LP3ES.
World Agroforestry Center. (2011). Timber supply and demand and growth
potential of fast growing tree species in the northwest region of Vietnam.
AFLI Technical Report No. 6.
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 33
Sebaran dan Karakteristik Hutan Rakyat Manglid, serta
Potensinya untuk Pengembangan Sumber Benih di Wilayah
Priangan Timur1
Asep Rohandi2 & Gunawan2
ABSTRAK
Manglid (Magnolia champaca) merupakan jenis potensial dan salah satu jenis unggulan
untuk hutan rakyat di Jawa Barat. Jenis ini sudah cukup dikenal dan banyak dibudidayakan
masyarakat, khususnya di wilayah Jawa Barat bagian timur (Priangan Timur). Terbatasnya
sumber benih untuk menghasilkan benih berkualitas unggul dan kurangnya informasi lahan
potensial merupakan beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya pengembangan jenis ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman manglid tersebar di sebagian besar wilayah
Priangan Timur, yaitu di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Sumedang. Karak-
teristik tegakan didominasi oleh hutan campuran yang berasosiasi dengan jenis tanaman
sengon, suren, tisuk, khaya, kaliandra, alpokat, dan kayu manis. Tegakan didominasi
tanaman muda berumur 1–10 tahun dengan kisaran tinggi 4–36 m dan diameter 3–72 cm.
Jenis ini tumbuh pada jenis tanah latosol, andosol, campuran latosol & andosol, aluvial, dan
podsolik merah kuning pada ketinggian 400–1.200 m dpl, curah hujan 1.500–3.500 mm/
tahun, dan kelerengan 0–45%. Terdapat beberapa populasi/tegakan manglid yang cukup
potensial untuk dijadikan sumber benih yang berlokasi di Desa Wandasari, Kecamatan
Bojonggambir, Kab. Tasikmalaya; Desa Jaya Mekar, Kecamatan Cibugel, Kabupaten
Sumedang; dan Desa Lebak Baru, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Ciamis.
Kata kunci: hutan rakyat, manglid, sebaran populasi, Priangan Timur, sumber benih
1 Tulisan ini telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Silvikultur II “Pembaruan Silvikultur untuk
Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan menuju Ekonomi Hijau”, di Yogyakarta, 28-29 Agustus 2014 2 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jalan Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Po.
Box 5 Ciamis 46201; Email: [email protected]
A. Rohandi & Gunawan
34 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
I. Pendahuluan
Manglid (Magnolia champaca) merupakan salah satu jenis pohon potensial
dan telah ditetapkan sebagai salah satu tanaman unggulan hutan rakyat di Jawa
Barat, serta diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani (Rimpala, 2001).
Jenis ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, cukup dikenal, dan sudah
banyak dibudidayakan masyarakat, terutama di wilayah Jawa Barat bagian timur
(Priangan Timur). Manglid merupakan pohon cepat tumbuh yang tingginya dapat
mencapai 40 m dan diameternya sebesar 150 cm (Hildebran, 1935 dalam Rimpala,
2001). Jenis ini disukai oleh masyarakat karena kayunya mengkilat; strukturnya
padat, halus, dan ringan; dan mudah dikerjakan atau diolah untuk berbagai
penggunaan. Dengan BJ 0,4, Kelas Kuat III, dan Kelas Awet II; kayu manglid dapat
digunakan sebagai bahan pembuatan jembatan, perkakas rumah tangga (meja, kursi,
lemari), hiasan kayu, patung, ukiran, kayu lapis, dan pulp (Prosea, 1998 dalam
Rimpala, 2001).
Keberhasilan pengembangan jenis ini perlu didukung oleh beberapa faktor,
antara lain ketersediaan benih berkualitas unggul dalam jumlah yang cukup dan
berkesinambungan. Benih merupakan unsur strategis karena benih mengawali
pengembangan segenap fungsi hutan, dari hutan industri hingga hutan untuk
perlindungan tanah dan air, flora, fauna, dan sumber plasma nutfah lainnya, serta
untuk kesejahteraan masyarakat luas (Balai Teknologi Perbenihan, 1998). Tersedia-
nya benih bermutu genetik unggul tidak terlepas dari keberadaan sumber benih yang
telah menerapkan kaidah-kaidah pemuliaan pohon. Kondisi sumber benih pada saat
ini masih sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu,
kondisi sumber benih yang ada masih memiliki mutu yang rendah dengan potensi
produksi yang rendah pula. Pemilihan sumber benih yang tidak tepat dan mutu
benih yang rendah dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak optimal
(Nurhasybi, 2008; Nurhasybi et al., 2000; Zobel & Talbert, 1984).
Salah satu kegiatan yang berperan sangat penting dalam memberdayakan
jenis-jenis pohon yang potensial adalah pemetaan sebaran populasi sumber benih
(Danu et al., 2006; Kartiko, 2001; Zobel & Talbert, 1984). Peta sebaran populasi ini
dapat digunakan sebagai dasar untuk pemilihan sumber benih yang tepat. Peng-
Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 35
gunaan sumber benih yang tepat merupakan salah satu dasar yang sederhana dan
mudah dalam usaha perbaikan tanaman hutan (Nienstadt & Snyder, 1974).
Garaudal et al. (1997) menjelaskan bahwa peta sebaran digunakan untuk menge-
tahui sebaran geografi dan ekologi, serta untuk mengetahui keragaman sifat
menurun jenis tanaman target, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Dengan
adanya peta ini, pengambilan contoh biji atau bahan vegetatif tanaman terpilih
diharapkan dapat mewakili potensi faktor menurun yang ada dari seluruh populasi.
Selain tersedianya benih berkualitas baik, upaya meningkatkan produktivitas
hutan memerlukan lokasi tempat tumbuh yang sesuai untuk jenis-jenis yang akan
dikembangkan (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001). Sumber benih yang
paling cocok untuk ditanam di suatu kondisi lingkungan mungkin akan tumbuh
berbeda di tempat lain. Pada kebanyakan pohon hutan, sumber benih berubah
peringkatnya jika diperbandingkan dengan kondisi lingkungan yang berbeda.
Wiradisastra (1996) menjelaskan bahwa setiap jenis memiliki perbedaan tingkat
kesesuaian terhadap lingkungan fisik sehingga dapat dipilah berdasarkan perbedaan
wilayah sebaran dengan ciri-ciri tertentu.
II. Metodologi
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga November 2010.
Kegiatan penelitian dilakukan di wilayah Priangan Timur, meliputi Kabupaten
Garut, Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, dan Kota Banjar.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan meliputi populasi tanaman manglid, Image Digital
DEM-SRTM Satelit 90 m tahun 2009, peta penunjukan tanah semidetil tahun
1974 (1:250.000), peta curah hujan liputan tahun 2001–2006 (1:250.000), peta
digital RBI tahun 2001 (1:250.000), peta land sistem Jawa tahun 2001 (1:250.000),
dan peta zonasi benih tanaman hutan Jawa dan Madura tahun 2001 (1:1.000.000).
A. Rohandi & Gunawan
36 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Alat yang digunakan meliputi alat survey lapangan dan laboratorium, berupa
GPS (Global Positioning System), program Arc GIS, teropong, hagameter, alti-
meter, pita ukur, tambang, alat tulis, dan lain-lain.
C. Teknik Pengumpulan Data
Kegiatan penelitian tahap pertama yang dilakukan meliputi koordinasi dengan
pihak/instansi terkait, serta orientasi dan identifikasi lapangan. Sementara itu, kese-
luruhan penelitian pengambilan data yang dilakukan meliputi
1) data dan informasi sebaran tegakan/populasi, produktivitas tegakan manglid,
serta informasi geografi dan kondisi ekologisnya;
2) peta sebaran populasi jenis manglid untuk wilayah Priangan Timur; dan
3) peta potensi lahan jenis manglid sebagai informasi dasar untuk menentukan
lokasi pengembangan sumber benih dan hutan rakyat di wilayah Priangan Timur.
III. Hasil dan Pembahasan
A. Sebaran Hutan Rakyat Manglid
Survey dan identifikasi yang dilakukan di wilayah Priangan Timur diperoleh
hasil yang menunjukkan bahwa populasi tanaman manglid paling banyak tersebar di
wilayah Tasikmalaya, meliputi daerah Taraju, Sodong, Salawu, Singaparna, Ciawi,
Cigalontang, Pagerageung, dan Cibalong. Populasi manglid di wilayah Ciamis dan
Garut tersebar di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten
Tasikmalaya. Di Kabupaten Sumedang, populasi manglid terpusat di beberapa
daerah; sedangkan di kota Banjar, sebaran populasi manglid tidak ditemukan.
Populasi tanaman manglid sebagian besar berada pada daerah perbukitan
dengan kelerengan yang cukup curam. Lokasi lainnya yang merupakan sebaran
populasi tanaman ini adalah pada daerah-daerah kaki pegunungan dan pinggir
sungai. Tanaman manglid yang ditemukan seluruhnya merupakan hasil penanaman
(tanaman masyarakat). Tanaman tersebut tumbuh menyebar pada lahan kosong,
Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 37
hutan rakyat, pekarangan, pinggir sungai, kebun campur, pinggir jalan, ataupun
fasilitas umum lainnya. Kualitas tegakan cukup bervariasi untuk setiap lokasi, tetapi
sebagian besar kondisi tanaman cukup baik. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan
pemeliharaan yang dilakukan sudah cukup intensif, sedangkan kasus di beberapa
tempat menunjukkan kondisi tanaman yang kurang optimal karena kurangnya
tindakan pemeliharaan dan adanya serangan hama/penyakit. Secara kuantitatif,
produktivitas sebagian tegakan di setiap lokasi sulit dibandingkan karena informasi
mengenai umur tegakan tidak diketahui secara pasti, serta kondisi lingkungan dan
perlakuan yang berbeda. Begitu juga untuk sejarah pembungaan dan pembuahan
tegakan di setiap lokasi, informasinya sangat kurang karena pada saat kegiatan
survey dilakukan sudah melewati musim berbunga/berbuah dan hanya sebagian yang
diketahui berdasarkan keterangan pemilik lahan. Manglid pada hutan rakyat
tersebut pada umumnya ditanam dengan pola monokultur dan campuran (Gambar
1).
Gambar 1. Populasi tanaman manglid pola monokultur dan campuran di Kabupaten
Tasikmalaya
Tanaman yang berasosiasi dengan tegakan manglid khususnya untuk tanaman
kehutanan adalah sengon (falcataria moluccana), mahoni (Swietenia macrophylla),
jati (Tectona grandis), suren (Toona sureni), tisuk (Hibiscus macrophylla), gmelina
(Gmelina arborea), ganitri (Elaeocarpus ganitrus), khaya (Khaya anthoteca), aren
(Arenga pinata), dan bambu. Sementara itu, jenis tanaman perkebunan yang banyak
dijumpai adalah teh, nangka, petai, dan jengkol (Tabel 1).
A. Rohandi & Gunawan
38 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 39
A. Rohandi & Gunawan
40 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
B. Kondisi Ekologis Wilayah Sebaran dan Potensi Lahan
Hasil survey memperoleh informasi kondisi ekologi lokasi sebaran populasi
tanaman manglid untuk parameter ketinggian tempat, jenis tanah, curah hujan, dan
kelerengan. Kondisi tempat tumbuh tanaman manglid pada beberapa lokasi seleng-
kapnya tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Kondisi agroklimat tempat tumbuh tegakan manglid di beberapa lokasi di wilayah
Priangan Timur
No. Lokasi Jenis tanah Ketinggian
(m dpl)
Curah hujan
(mm/tahun)
Kelerengan
(%)
1. Tasikmalaya Latosol, latosol & andosol,
aluvial, podsolik merah
kuning
305–894 2.000–3.500 0–45
2. Sumedang Latosol & andosol, andosol 666–1200 1.500–2.500 15–45
3. Garut Latosol, latosol & andosol 644–785 2.500–3.500 15–25
4. Ciamis Latosol & andosol 229–854 2.500–3.500 15–45
Tabel 2 menunjukkan bahwa tanaman manglid di wilayah Priangan Timur
hanya tersebar di empat lokasi (kabupaten), yaitu Kabupaten Tasikmalaya,
Sumedang, Garut, dan Ciamis. Sementara itu, tegakan/populasi manglid di Kota
Banjar tidak ditemukan. Hal tersebut disebabkan oleh faktor ketinggian tempat
wilayah Banjar yang hanya berada di bawah 200 m dpl. Populasi tanaman manglid
sebagian besar tersebar dan tumbuh pada lahan dengan jenis tanah latosol.
Sementara itu, bila dilihat dari ketinggian tempat, tanaman manglid di wilayah
Priangan Timur tumbuh pada ketinggian 400–800 m dpl, curah hujan 2.500–3.000
mm/tahun dengan kelerengan 15–25% (Gambar 2).
Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 41
Gambar 2. Sebaran populasi tanaman manglid di wilayah Priangan Timur pada berbagai
kondisi curah hujan
A. Rohandi & Gunawan
42 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Karakteristik ekologis tanaman manglid yang diperoleh dapat dijadikan dasar
untuk mengetahui potensi lahan dalam pengembangan hutan tanaman manglid di
suatu wilayah. Danu et al. (2009) menyatakan bahwa peta potensi lahan merupakan
gabungan dari kondisi lokasi populasi yang diamati. Penyusunan peta potensi lahan
dapat dilakukan secara lebih detil dengan pembedaan secara spesifik kriteria-kriteria,
seperti jenis tanah, ketinggian, dan curah hujan; ataupun dengan menambahkan
kriteria lainnya, seperti kelas lereng, dan kelembaban. Semakin detilnya data dasar
yang diperoleh, informasi yang ada pada peta akan semakin lengkap.
Peta potensi lahan dapat dijadikan pendekatan seperti dalam konsep zonasi
benih sebagai zona penggunaan benih. Prinsip pokok dari zona penggunaan benih
menurut Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2001) adalah sumber benih yang
berbeda seharusnya ditanam pada tempat yang berbeda yang disebabkan oleh adanya
interaksi genotipe dan lingkungan. Tanaman dengan kualitas genetik baik akan
menghasilkan fenotipe yang baik bila ditanam pada kondisi lingkungan yang sesuai.
Zona penggunaan benih dapat mencakup areal yang luas dan dapat terdiri dari
beberapa areal yang memiliki kondisi ekologis yang serupa. Pada zona ini,
pertumbuhan lebih kurang seragam dan benih dari sumber benih yang cocok dapat
digunakan di seluruh zona.
C. Ketersediaan dan Potensi Sumber Benih Manglid
Sumber benih manglid di wilayah Jawa dan Madura hanya terdapat di dua
lokasi di Kabupaten Tasikmalaya yang termasuk wilayah Priangan Timur (Tabel 3).
Keberadaan sumber benih tersebut sebanding dengan banyaknya populasi tegakan
atau hutan tanaman manglid di wilayah ini. Berdasarkan luas sumber benih dan luas
hutan tanaman manglid yang ada, sumber benih manglid masih sangat diperlukan.
Selain itu, kebutuhan benih manglid akan semakin meningkat seiring dengan
semakin besarnya minat masyarakat untuk membangun hutan rakyat jenis ini,
terutama setelah banyaknya serangan karat tumor pada tanaman sengon yang meru-
pakan kayu rakyat utama pada saat ini. Dengan demikian, benih manglid berkualitas
untuk meningkatkan produktivitas tanaman di lapangan sangat diperlukan.
Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 43
Tabel 3. Sumber benih bersertifikat jenis manglid (M. glauca) di Jawa Barat sampai tahun
2010
No. Lokasi Pengelola Luas (ha) Klasifikasi sumber benih
1. Tasikmalaya PT. Synergyndo
Adimitra
1.22 Tegakan benih teridentifikasi
2. Bandung
Selatan
CV. Calakan Bina
Lingkungan
1.50 Tegakan benih teridentifikasi
Jumlah 1.72
Sumber: BPTH (2010)
Sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan tanaman manglid,
keberadaan sumber benih mutlak diperlukan sebagai penghasil benih bermutu.
Nurhasybi et al. (2000) menjelaskan bahwa mutu benih sangat berpengaruh terha-
dap keberhasilan penanaman di lapangan. Kendala yang dihadapi saat ini adalah
pengadaan sumber benih masih terbatas, pertumbuhan tanaman belum optimal, riap
kayu rendah, bentuk batang tidak lurus, dan serangan hama/penyakit pada bibit di
persemaian dan tanaman di lapangan. Permasalahan tersebut disebabkan oleh
pemilihan jenis dan sumber benih yang tidak tepat, serta mutu benih yang rendah.
Barner & Ditlevsen (1995) menjelaskan bahwa produktivitas hutan tanaman
diyakini akan optimum seiring perbaikan kelas sumber benihnya. Perbaikan kelas
sumber benih berhubungan dengan kesesuaian ekologis antara sumber benih
terhadap tapak pertanaman, keunggulan fenotipe atau genotipe sumber benih,
metode dan intensitas seleksi dalam sumber benih, serta siklus pemuliaan.
Pada saat ini, penggunaan benih unggul oleh masyarakat khususnya untuk
hutan rakyat masih belum optimal. Selain itu, jenis tanaman yang digunakan petani
lebih bervariasi tergantung pada kondisi lahan, jenis cepat tumbuh, dan kayunya
disukai masyarakat setempat. Danu et al. (2004) menyatakan bahwa keragaman
tanaman yang digunakan untuk hutan rakyat sangat tinggi karena menggunakan
sistem penanaman campuran dan dari segi ekologi, hal ini sangat mendukung
perbaikan dan pelestarian lingkungan. Sentra sumber benih yang digunakan oleh
A. Rohandi & Gunawan
44 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
petani dapat diketahui dengan pendekatan sentra hutan rakyat dan jenis yang
menjadi andalan setempat, seperti untuk jenis manglid di wilayah Tasikmalaya.
Hasil survey menemukan beberapa populasi/tegakan manglid yang memiliki
potensi untuk dijadikan sumber benih yang memenuhi syarat untuk disertifikasi,
yang mana pohon-pohon manglid tersebut berukuran besar dan sudah digunakan
oleh masyarakat setempat untuk pengadaan bibit. Tegakan manglid tersebut sangat
potensial untuk dinilai dan ditunjuk sebagai sumber benih dan pohon plus (Tabel 4).
Tabel 4. Tegakan manglid pada beberapa lokasi yang cukup potensial untuk dikembangkan
menjadi sumber benih
No. Lokasi Umur
(tahun)
Jumlah
pohon induk
Produktivitas tegakan
TT (m) TBC (m) D (cm)
1. Desa Wandasari, Kecamatan
Bojonggambir, Kabupaten
Tasikmalaya
15 104 18–26 14–20 14–48
2. Desa Jaya Mekar, Kecamatan
Cibugel, Kabupaten Sumedang
15 62 9–16 3–12 14–45
3. Desa Lebak Baru, Kecamatan
Cikupa, Kabupaten Ciamis
13 40 17–22 14–18 30–44
Keterangan: TT = Tinggi total; TBC = Tinggi bebas cabang; D = Diameter pohon
Penilaian tegakan yang dilakukan lebih didasarkan pada pedoman penunjukan
sumber benih Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2001) yang menjelaskan
bahwa kriteria umum kelayakan sumber benih meliputi aksesibilitas, jumlah pohon,
kualitas (fenotipe) tegakan, pembungaan dan pembuahan, serta keamanan dan
kesehatan. Tegakan diterima sebagai calon sumber benih jika semua tolok ukur
tersebut terpenuhi. Oleh karena itu, tegakan manglid di atas (Tabel 4) hanya dapat
ditunjuk sebagai sumber benih dengan kelas tegakan benih (teridentifikasi atau
terseleksi) karena asal-usul benih yang digunakan tidak diketahui.
Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 45
Apabila dilihat dari berbagai pola pengelolaan lahan, pengembangan sumber
benih manglid di lahan masyarakat terutama dapat dilakukan pada hutan rakyat
murni, hutan campur, dan perkebunan (kebun teh). Sebaliknya, untuk tipe pengelo-
laan lahan yang lain, pengembangan sumber benih sulit dilakukan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Pramono et al. (2008) bahwa untuk jenis mindi (Melia azedarach),
pengembangan sumber benih pada lahan persawahan atau tegalan yang dikelola
intensif kurang potensial karena perlakuan silvikultur berupa pruning keras akan
mengganggu produksi benih, sedangkan pada pekarangan dianggap kurang cocok
karena cenderung luas lahannya sempit dan jumlah pohonnya sedikit.
Data potensi tegakan yang diperoleh sangat penting sebagai dasar dalam
pengembangan sumber benih. Peta sebaran populasi yang telah tersusun merupakan
titik awal dalam penyediaan benih berkualitas dari jenis manglid secara berkelan-
jutan. Pemetaan sumber benih yang didasarkan pada zonasi ekologi akan memberi-
kan keuntungan, yaitu 1) menghasilkan benih yang memiliki keragaman genetik
yang luas sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungan tempat tumbuh yang beragam, dan 2) menghasilkan benih yang memi-
liki keragaman kualitas kayu dan produk lainnya sehingga dapat memberikan
peluang untuk pemanfaatan yang beragam (Danu et al., 2007). Selain itu, pem-
buatan dokumentasi benih akan mudah dengan mencantumkan kondisi tegakan,
data ekologi, asal benih/sejarah genetik benih, dan proses penanganan benihnya.
Benih hasil dari sumber benih ini merupakan materi perbanyakan tanaman yang
sangat berharga untuk pembangunan sumber benih, bank benih, dan penyelamatan
plasma nutfah atau konservasi genetik ex situ dengan hasil keragaman yang sama
dan sebaran populasi alaminya.
Manfaat lain dari kegiatan pemetaan sebaran sumber benih dan tegakan
potensial adalah membantu program koservasi sumber daya genetik di wilayahnya
(Garaudal et al., 1997). Peta sebaran digunakan untuk mengetahui sebaran geografi
dan ekologi, serta untuk mengetahui keragaman sifat menurun jenis tanaman target,
baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Dengan adanya peta ini, pengambilan
contoh biji atau bahan vegetatif tanaman terpilih diharapkan dapat mewakili potensi
faktor menurun yang ada di seluruh populasi. Peta ini diharapkan akan membantu
A. Rohandi & Gunawan
46 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
para pengguna dalam aplikasi kegiatan penanaman di lapangan. Selain itu, pengem-
bangan tanaman manglid, khususnya di Priangan Timur, perlu didukung oleh
berbagai pihak, di antaranya adalah Dinas Kehutanan. Kegiatan penyuluhan tentang
teknik budi daya beserta prospek pengembangan tanaman manglid perlu terus
dilakukan. Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Jawa-Madura berperan pen-
ting dalam pengembangan sumber benih manglid sebagai penyedia benih berkualitas
untuk meningkatkan produktivitas tegakan di lapangan. Selain pertimbangan aspek
fisik, keberhasilan pengembangan manglid memerlukan pertimbangan aspek lain-
nya, seperti aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
IV. Kesimpulan
Tanaman manglid di wilayah Priangan Timur mempunyai karakteristik tipe
tegakan yang didominasi oleh hutan campuran berasosiasi dengan jenis sengon,
suren, tisuk, khaya, kaliandra, alpokat, dan kayu manis. Umur tegakan manglid
didominasi tegakan muda umur 1–10 tahun dengan tinggi 4–36 m dan diameter 3–
72 cm. Tanaman manglid di wilayah Priangan Timur tersebar pada jenis tanah
latosol, andosol, latosol dan andosol, serta aluvial dan podsolik merah kuning pada
ketinggian 400–1.200 m dpl, curah hujan 1.500–3.500 mm/tahun, dan kelerengan
0–45%. Terdapat beberapa populasi/tegakan manglid yang cukup potensial untuk
dijadikan sumber benih yang berlokasi di Desa Wandasari, Kecamatan Bojong-
gambir, Kabupaten Tasikmalaya; Desa Jaya Mekar, Kecamatan Cibugel, Kabupaten
Sumedang; dan Desa Lebak Baru, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Ciamis.
Daftar Pustaka
Balai Teknologi Perbenihan. (1998). Program nasional sistem perbenihan
kehutanan. Bogor, Indonesia: BTP (Balai Teknologi Perbenihan).
Barner, H., & Ditlevsen, B. (1995). The strategies and procedures for an integrated
national tree seed programme for seed procurement, tree improvement and
genetic resources. Estrategias y procedimientos para un programa nacional
Sebaran dan Karakter is t ik Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 47
integrado de semillas forestales para el abastecimiento de semillas, el
mejoramiento genético y la conservación de recursos genéticos forestales.
Programas de abastecimiento de semillas forestales: Danida Forest Seed
Centre, Turrialba (Costa Rica). CATIE, Turrialba (Costa Rica). Proyecto de
Semillas Forestales.
Danu, Nursyahbi, & Yulianti. (2004). Potensi produksi benih di Jawa. Paper
presented at the Ekspose Terpadu Hasil-Hasil Penelitian Badan Litbang
Kehutanan, Yogyakarta 11-12 Oktober 2004, Yogyakarta.
Danu, Rohandi, A., Pramono, A., Abidin, Z., Suartana, M., & Royani, H. (2006).
Sebaran populasi tanaman hutan jenis rasamala (Altingia excelsa Noronhae)
untuk sumber benih di Jawa Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Balai
Penelitian Teknologi Perbenihan.
Danu, Rohandi, A., Pramono, A., Abidin, Z., Suartana, M., & Royani, H. (2007).
Sebaran populasi tanaman hutan jenis mimba (Azadirachta indica) untuk
sumber benih di Jawa Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan.
Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. (2001). Zona benih tanaman hutan Jawa
dan Madura. Jakarta: Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial. Departemen Kehutanan.
Garaudal, L., Kjaer, E., T, A., & L., A. B. (1997). Perencanaan Program Nasional
untuk Konservasi Sumberdaya Genetik Hutan. Technical Note No. 48-
Desember 1997. Danida Forest Seed Centre, Krogerupvej 21 DK-3050
Humlaebaek. Denmark.
Kartiko, H.P. (2001). Penyelamatan sumber daya perbenihan untuk pelestarian dan
peningkatan produktivitas tanaman hutan. Bulletin PUSBANGHUT, III(2),
183-190.
Nienstadt, H., & Snyder, E. B. (1974). Principles of genetic improvement of seed.
Nurhasybi. (2008). Beberapa permasalahan pengembangan industri benih tanaman
hutan di Indonesia. Info benih, 12(1).
A. Rohandi & Gunawan
48 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Nurhasybi, Pramono, A. A., Abidin, A. Z., Rohandi, A., & Mokodompit, S.
(2000). Peta perwilayahan 9 (sembilan) jenis tanaman hutan di Jawa. Balai
Teknologi Perbenihan. Bogor.
Pramono, A. A., Danu, Rohandi, A., Abidin, A. Z., Suartana, M., & Royani, H.
(2008). Sebaran populasi tanaman hutan jenis mindi (Melia azedarach) untuk
sumber benih di Jawa Laporan Hasil Penelitian: Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan. Bogor.
Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan
hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.
Wiradisastra, U.S. (1996). Delineasi agro-ecological zone. Bahan Kuliah Pelatihan
Apresiasi Metodologi Delineasi Agroekologi. Bogor, 8-17 Januari 1996.
Kerjasama Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian/ AMRP dengan Fakultas Pertanian-IPB. Bogor.
Zobel, B., & Talbert, J. (1984). Applied forest tree improvement: John Wiley &
Sons.
BUDI DAYA MANGLID
BAB III
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 51
Status Silvikultur Hutan Rakyat Manglid (Magnolia champaca)
Aris Sudomo1
ABSTRAK
Teknik silvikultur hutan rakyat manglid (Magnolia champaca) ditujukan sebagai acuan
Standard Operational Procedure (SOP) dalam pembangunan hutan rakyat manglid. Acuan
ini berisi tentang ringkasan hasil-hasil penelitian teknik silvikultur manglid yang meliputi (1)
teknik perbanyakan manglid, (2) teknik silvikultur manglid pada tiga jarak tanam, dan (3)
karakteristik pertumbuhan dan tempat tumbuh manglid. Silvikultur hutan rakyat manglid
dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, persemaian manglid untuk menghasilkan bibit
berkualitas dapat diperoleh dengan penaburan benih pada media abu sekam padi, penyapihan
dengan media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1), dan pengaturan intensitas
naungan (shading net) sebesar 40%. Peningkatan keberhasilan perbanyakan vegetatif stek
pucuk dapat dilakukan dengan teknik juvenilisasi dan penggunaan hormon Rootone-F®.
Kedua, jarak tanam 2 m x 2 m memberikan hasil pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
dengan jarak tanam 2 m x 3 m dan 3 m x 3 m hingga umur 28 bulan. Optimalisasi
pertumbuhan dilakukan dengan pemangkasan dalam sistem agroforestri. Ketiga, manglid
sesuai ditanam pada ketinggian 300–2.200 m dpl; kelas lereng 0–40%; tipe iklim A–C; curah
hujan >1.000 mm/tahun; temperatur 15–280C; tekstur tanah ringan, sedang, dan berat; serta
kesuburan tanah rendah hingga tinggi. Manglid yang telah tumbuh dapat toleran pada tanah
liat masam dengan kandungan C-organik rendah, serta N dan P sangat rendah. Sistem
silvikultur tebang habis permudaan terubusan potensial diaplikasikan dalam pembangunan
hutan rakyat manglid.
Kata kunci: Magnolia champaca, hutan rakyat, silvikultur
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 04, Po Box
5 Ciamis 46201
A. Sudomo
52 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
I. Pendahuluan
Pembangunan hutan rakyat menempati posisi yang strategis dalam upaya
mengatasi permasalahan ketimpangan antara supply dan demand bahan baku
industri kayu. Terdapatnya peluang usaha pembangunan hutan rakyat tersebut
diharapkan dapat menjadi alternatif untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat
petani hutan rakyat. Ketersediaan alternatif pilihan dalam usaha pembangunan
hutan rakyat ini perlu didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
pengembangannya agar tercapai produktivitas hutan yang berkelanjutan, berkualitas,
dan berdampak positif terhadap lingkungan.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk peningkatan produktivitas per
satuan luas lahan hutan rakyat adalah dengan penguasaan dan aplikasi scientific base
knowledge berupa hasil-hasil penelitian, khususnya teknik silvikultur. Hasil pene-
litian teknik silvikultur sebagai landasan ilmiah pembangunan hutan tanaman
diharapkan dapat saling melengkapi dengan experience base knowledge yang telah
dimiliki masyarakat petani hutan rakyat sehingga kombinasi teknologi yang diha-
silkan dapat menjadi alternatif pilihan dalam usaha optimalisasi produktivitas hutan
tanaman, khususnya hutan rakyat.
Komoditas jenis kayu hutan rakyat yang diusahakan masyarakat sangat bera-
gam dan terkadang bersifat lesser known species. Hal ini menyebabkan pengetahuan
tentang teknik silvikultur dari jenis tersebut relatif terbatas sehingga menjadi kendala
dalam pengembangannya. Sudah saatnya pembangunan hutan rakyat kembali pada
jenis-jenis andalan setempat yang sudah adapted di lahan-lahan masyarakat. Hal ini
dikarenakan jenis-jenis tersebut sudah terbukti dapat tumbuh dan mempunyai daya
tahan yang lebih baik terhadap serangan hama dan penyakit.
Karakteristik beberapa jenis tanaman berkayu, kondisi tapak, dan kondisi
lingkungan hutan rakyat relatif berbeda-beda. Hal ini menyebabkan teknik silvi-
kultur pada suatu jenis tertentu tidak dapat digeneralisasikan untuk diterapkan pada
semua jenis tanaman berkayu lainnya dalam pembangunan hutan rakyat. Oleh
karena itu, penguasaan teknik silvikultur diperlukan pada setiap jenis yang potensial
untuk pembangunan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat.
Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 53
Teknik budi daya manglid (Magnolia champaca) sebagai salah satu komiditas
hutan rakyat masih terbatas, sementara laju pengurangan di habitatnya relatif cepat.
Manglid merupakan salah satu jenis andalan setempat Jawa Barat. Di Jawa Barat,
manglid dikembangkan melalui agroforestri pada progam social forestry dan
dijadikan komoditas unggulan untuk pengembangan hutan rakyat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala, 2001). Faktor yang
memengaruhi keberhasilan pembangunan hutan tanaman adalah penggunaan bibit
unggul yang diperoleh dari hasil pemuliaan, kondisi lingkungan yang sesuai dengan
persyaratan tumbuh tanaman, manipulasi lingkungan, serta pencegahan hama dan
penyakit secara terpadu (Soekotjo & Naim, 2006). Oleh karena itu, penelitian
tentang teknik silvikultur dilakukan dalam rangka menyediakan alternatif pilihan
teknologi pembangunan hutan tanaman manglid.
Jenis manglid (M. champaca) sangat disukai di Jawa Barat dan Bali karena
selain kayunya mengkilat, strukturnya pun padat, halus, ringan, dan kuat. Kayu
manglid dengan berat kering rata-rata 0,41 memiliki Kelas Awet II dan Kelas Kuat
III–IV yang dapat digunakan untuk bahan baku pembuatan jembatan, perkakas
rumah tangga (meja, kursi, lemari), kayu konstruksi, bahan bangunan rumah, pelapis
kayu dan plywood (Diniyati et al., 2005; Djajapertjunda, 2003; PIKA, 1996).
Berdasarkan pengamatan di beberapa desa di Kecamatan Salawu, Kawalu,
Taraju, dan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya; serta beberapa desa di Kecamatan
Panumbangan, Kabupaten Ciamis, jenis manglid banyak dikembangkan di hutan
rakyat. Jenis ini terbukti dapat tumbuh baik di lahan-lahan milik masyarakat dengan
batang lurus, monopodial pada awal pertumbuhan dan silindris tanpa banir, cepat
tumbuh, mempunyai nilai estetika tinggi, dan kegunaannya banyak (Djajapertjunda,
2003). Teknik-teknik silvikultur hasil penelitian ini dapat menjadi awal dalam
pengembangan hutan tanaman manglid, baik dengan sistem monokultur, campuran
maupun agroforestri. Teknik silvikultur ini diharapkan dapat dijadikan Standard
Operational Procedure (SOP) dalam pengembangan manglid di hutan rakyat.
A. Sudomo
54 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
II. Metodologi
Tulisan ini merupakan sintesis hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Penelitian tentang silvikultur hutan rakyat manglid telah dilakukan di
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry sejak tahun 2008.
Makalah tentang aspek-aspek silvikultur manglid, mulai dari perkecambahan hingga
pemanenan, telah banyak dipublikasikan. Oleh karena itu, serpihan-serpihan hasil-
hasil penelitian tersebut menjadi penting untuk disintesis menjadi kesatuan yang
utuh yang mudah dipahami oleh pengguna. Penyusunan status riset aspek silvikultur
ini menggunakan pendekatan systematic review yang mencakup teknik kuantitatif
dan teknik kualitatif. Hasil sintesis berupa ringkasan hasil-hasil penelitian teknik
silvikultur manglid, meliputi (1) teknik perbanyakan manglid (penanganan benih,
teknik perkecambahan, teknik penyapihan, teknik pemberian naungan dan teknik
stek pucuk); (2) teknik silvikultur manglid hasil plot penelitian pada tiga jarak
tanam; (3) interaksi agroforestri manglid+jagung; dan (4) karakteristik pertumbuhan
dan tempat tumbuh manglid di hutan rakyat.
III. Hasil dan Pembahasan
A. Silvikultur Manglid
1. Penanganan Benih
Pengadaan benih manglid bisa menjadi permasalahan dalam pembangunan
hutan tanaman. Hal ini disebabkan oleh (1) benih manglid merupakan jenis rekal-
sitran sehingga mudah mengalami penurunan kadar air dan daya berkecambah, dan
(2) masa berbuah manglid di Kabupaten Tasikmalaya hanya pada musim hujan
sekitar bulan November–Februari (Sudomo & Dendang, 2008). Benih manglid
mempunyai viabilitas rendah, yaitu daya simpan atau ketahanan biji manglid rendah
(tidak tahan disimpan lama) karena hanya berkisar antara 2–5 minggu, yang mana
biji akan sulit untuk tumbuh setelah lewat waktu tersebut.
Ekstraksi benih atau cara mengeluarkan benih dari buah manglid dilakukan
dengan menjemur buah yang telah masak agar menjadi pecah sehingga memudah-
Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 55
kan pengeluaran benihnya. Benih yang telah keluar dari kulit buah masih diselimuti
daging buah sehingga perlu dibersihkan dengan cara menyimpan benih di dalam
tempayan, lalu menggosoknya dengan kain. Benih bersih dari daging buah kemu-
dian dicuci bersih dan dikeringanginkan. Berat rata-rata seribu butir biji manglid
adalah 55,46 g (Sudomo & Dendang, 2008; Sudomo et al., 2010).
2. Perkecambahan Benih
Keberhasilan pembibitan manglid salah satunya ditentukan oleh keberhasilan
dalam proses perkecambahan benih. Benih manglid harus segera dikecambahkan
agar daya kecambahnya tinggi. Media perkecambahan untuk benih manglid yang
menghasilkan persentase perkecambahan mulai dari yang tertinggi adalah abu sekam
padi (51,33%), kemudian diikuti serbuk gergaji (46,67%), pasir (42,33%), tanah
(39,67%), dan cocopeat (33,33%). Persentase perkecambahan dapat ditingkatkan
dengan cara menabur benih sesegera mungkin setelah pengunduhan benih dari
pohon (Sudomo, 2009).
3. Penyapihan
Dalam proses penyapihan, penggunaan media tumbuh semai harus berkualitas
tinggi. Media semai tanah (top soil) umumnya mempunyai tingkat kesuburan yang
baik, namun perlu pula dicampur dengan bahan organik untuk menghasilkan bibit
berkualitas. Ketersediaan berbagai limbah bahan organik, seperti serbuk gergaji,
serbuk sabut kelapa, sekam padi, dan kotoran hewan di sekitar lingkungan petani
hutan rakyat sangat potensial digunakan sebagai media sapih dalam pembuatan bibit
tanaman hutan.
Hasil ujicoba penggunaan berbagai media untuk penyapihan kecambah
manglid menunjukkan bahwa media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa
(1:1:1) lebih baik dibandingkan dengan media tanah+pupuk kandang (3:1),
tanah+pupuk kandang+sekam padi (1:1:1), tanah+pupuk kandang+serbuk gergaji
(1:1:1), tanah+pupuk kandang+pasir (1:1:1), dan tanah+pupuk kandang+abu sekam
padi (1:1:1). Media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1) menghasilkan
indeks mutu bibit 0,132. Penggunaan media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut
kelapa (1:1:1) dapat menghasilkan bibit manglid berkualitas (Sudomo et al., 2010).
A. Sudomo
56 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
4. Pemberian Naungan
Pada umumnya, intensitas cahaya sinar matahari yang diperlukan oleh setiap
jenis tanaman berbeda-beda. Bahkan, ada satu jenis tanaman yang memerlukan
intensitas cahaya yang berbeda sepanjang periode hidupnya. Pada waktu masih
muda, cahaya dengan intensitas rendah diperlukan; tetapi, cahaya dengan intensitas
tinggi justeru mulai diperlukan menjelang sapihan (Soekotjo,1976 dalam Faridah,
1996).
Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi,
sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya fotosintesis
sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, intensitas cahaya
optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman baik dan dapat menghasilkan
bibit berkualitas. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pemberian
naungan (shading) sehingga dapat melindungi semai dari cahaya atau sinar matahari
dan suhu yang berlebihan. Pada jenis intoleran, naungan yang terlalu rapat akan
menyebabkan etiolasi dan serangan penyakit, sedangkan naungan yang kurang akan
mengurangi perlindungan bibit dari sinar matahari langsung, curah hujan yang
tinggi, angin, dan fluktuasi suhu yang ekstrem (Smith, 1986).
Tanaman manglid yang diberikan naungan 40% memberikan hasil pertum-
buhan yang berbeda nyata terbaik dibandingkan dengan intensitas naungan lainnya
(0%, 65%, dan 75%) dengan diameter (0,367 cm) dan tinggi (18,55 cm). Naungan
40% menghasilkan berat kering batang dan daun yang tertinggi (1,819 g), namun
tidak berbeda nyata dengan naungan 65% dan 75%. Naungan tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan jumlah daun, panjang akar, berat
kering akar, dan indeks mutu bibit. Penggunaan naungan 40% pada saat penyapihan
dapat menghasilkan pertumbuhan bibit Magnolia champaca dengan baik (Sudomo,
2009).
5. Perbanyakan Vegetatif dengan Stek Pucuk
Perbanyakan vegetatif jenis manglid sangat membantu dalam kegiatan penye-
diaan bibit karena benih manglid termasuk ke dalam kelompok rekalsitran (lama
penyimpanan terbatas). Dengan demikian, kegiatan penanaman tidak akan selalu
Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 57
tergantung pada musim buah yang senantiasa berubah. Selain itu, pembiakan
vegetatif sangat diperlukan karena bibit hasil pengembangan secara vegetatif meru-
pakan duplikat induknya sehingga mempunyai struktur genetik yang sama (Na'iem,
2000).
Perbanyakan vegetatif melalaui stek pucuk manglid dengan pemberian
Rootone-F® dalam dosis 100 ppm menghasilkan jumlah tunas tertinggi dibanding-
kan dengan dosis lain. Hasil tersebut dapat mencapai 2,25 tunas, panjang akar
tertinggi sebesar 8,85 cm (meningkat 34,46% dibandingkan dengan perlakuan tanpa
hormon Rootone-F®), dan jumlah akar terbanyak 6,75 buah (meningkat 40,74%
dibandingkan tanpa hormon Rootone-F®). Pemberian Rootone-F® metode oles
menghasilkan persentase hidup stek pucuk lebih tinggi dibandingkan dengan larutan
Rootone-F® dengan dosis 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, dan 500 ppm. Selain itu,
persentase keberhasilan stek pucuk dapat ditingkatkan melalui teknik juvenilisasi
dan penyempurnaan teknik sterilisasi (Sudomo et al., 2013).
6. Teknik Silvikultur Manglid
Perlakuan silvikultur mencakup semua tindakan yang diterapkan dalam
pengelolaan tegakan hutan atau dapat didefinisikan sebagai metode perlakuan
terhadap tegakan dan tempat tumbuh yang pelaksanaannya mengacu pada pera-
watan selama rotasi (Smith, 1986). Tindakan yang dilakukan antara lain penyiapan
lahan, pengaturan jarak tanam, pemupukan, singling, pemangkasan, dan penja-
rangan (Haygreen & Bowyer, 1996). Perlakuan silvikultur dapat diklasifikasikan
menjadi empat kelompok, yaitu perlakuan nutrisi/hara (termasuk pemupukan),
pengaturan jumlah tanaman (awal tanam dan penjarangan), teknik penanaman, dan
pemangkasan tajuk (Zobel, 1992).
a. Penyiapan Lahan
Komponen penyiapan lahan meliputi pembersihan lahan dan pengolahan
tanah untuk menyediakan lingkungan kondusif bagi pertumbuhan tanaman yang
akan ditanam. Tujuan dari pembersihan lahan adalah menghilangkan tanaman
nonkomersial dan gulma-gulma pengganggu pertumbuhan tanaman. Pengolahan
tanah dilakukan secara minimal sebatas pada lubang tanam. Hal ini bertujuan
A. Sudomo
58 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
menjaga serasah tetap pada lahan dan menghindari kerusakan tanah. Pada lahan
hutan rakyat, tanaman/gulma yang telah tumbuh liar sering dijumpai sehingga perlu
pembersihan yang lebih intensif. Meskipun demikian, pemindahan biomassa dari
lahan akan mengurangi kesuburan tanah sehingga sisa tanaman hasil pembabatan
tetap diletakkan pada lahan tersebut. Daun-daun hasil pembersihan lahan diharap-
kan dapat terdekomposisi dan selanjutnya menjadi pupuk penambah hara bagi lahan
tersebut.
b. Penanaman
Aspek penting dalam penanaman adalah pengaturan jarak tanam, ukuran
lubang tanam, dan pemberian pupuk dasar. Pada dasarnya, upaya memberikan ruang
tumbuh optimal pada tanaman muda sangatlah penting karena kondisi pertum-
buhan awal tanaman akan menentukan perkembangan selanjutnya dari pohon terse-
but (Daniel et al., 1979). Pertumbuhan tinggi dapat dipengaruhi oleh penetapan
jarak tanam di lapangan, yang mana jarak tanam yang rapat akan memberikan
respons yang nyata terhadap parameter pertambahan tinggi. Apabila jarak tanam
rapat, tanaman akan berusaha untuk mendapatkan jumlah sinar matahari yang
melimpah untuk pertumbuhannya sehingga mendorong kompetisi untuk mencapai
ketinggian tertentu dalam mendapatkan sinar matahari (Mahfudz, 2006).
Pada jarak tanam lebih lebar, manglid akan cenderung memiliki banyak
percabangan, sedangkan jarak tanam rapat mempunyai pengaruh yang baik terhadap
kelurusan batang. Jarak tanam rapat menyebabkan cabang-cabang bawah mati dan
memacu pertumbuhan tinggi. Jarak tanam 2 m x 2 m menghasilkan pertumbuhan
diameter dan tinggi manglid yang signifikan lebih baik dibandingkan dengan jarak
tanam lainnya hingga umur 28 bulan (menghasilkan tinggi sekitar 3,07 m dan
diameter 4,67 cm) (Sudomo & Mindawati, 2011). Tegakan manglid di hutan rakyat
dengan jarak tanam 2 m x 2 m tanpa penjarangan hingga umur 8 tahun menghasil-
kan batang lurus, pertumbuhan cabang kecil, diameter terhambat, dan persentase
tajuk aktif hanya sekitar 21,45% (Sudomo, 2011).
Pembuatan lubang tanam dengan dimensi ukuran panjang x lebar x dalam
adalah 30 cm x 30 cm x 30 cm. Pemupukan dilakukan jika lahan atau media tidak
Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 59
mampu memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tanaman. Tujuan pemberian pupuk
adalah merangsang pertumbuhan dengan menambah ketersediaan hara sehingga
meningkatkan perkembangan tajuk dan memperbesar permukaan untuk fotosintesis
(Haygreen & Bowyer, 1996). Pemberian pupuk dasar pada tanaman manglid dapat
berupa pupuk kandang >2 kg/lubang tanaman yang diberikan 1–2 minggu sebelum
tanaman/anakan manglid ditanam (Sudomo & Mindawati, 2011).
c. Pemeliharaan
Tujuan kegiatan pemeliharaan adalah meningkatkan pertumbuhan tanaman
melalui perbaikan lingkungan tempat tumbuh. Kegiatan pemeliharaan dapat dilaku-
kan melalui pembersihan gulma, pembalikan tanah (penggemburan tanah), pemu-
pukan lanjutan, pemangkasan cabang, dan penjarangan. Hasil penelitian menunjuk-
kan bahwa pemberian pupuk organik (pupuk kandang) dan anorganik (urea, TSP,
dan KCL) terhadap tanaman tumpang sari jagung berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan tanaman manglid pada pola tanam agroforestri manglid dan jagung
(Puspitodjati et al., 2009). Pertumbuhan dapat dioptimalkan melalui pemupukan
lanjutan setelah pupuk dasar diberikan setelah anakan berumur satu bulan di
lapangan sehingga kanopi segera menutup. Hal ini akan terbawa hingga akhir daur
(6–8 tahun) (Hardiyanto, 2005).
Pemangkasan cabang merupakan penghilangan tajuk aktif dan dilakukan
untuk menghasilkan batang lurus yang tinggi dengan sedikit cabang dan terbebas
dari mata kayu. Meskipun demikian, intensitas tajuk aktif yang dipangkas harus
pada titik optimal sehingga tidak mengganggu fotosintesis. Titik optimal adalah
menyisakan jumlah tajuk efektif dan efisien untuk fotosintesis sehingga tidak
terdapat beban tajuk berlebih yang mengurangi pertumbuhan. Pemangkasan
manglid sebaiknya dilakukan pada saat manglid masih relatif muda sehingga
pengerjaannya mudah dan murah. Optimalisasi pemangkasan dapat dilakukan untuk
meningkatkan produktivitas dan kualitas kayu manglid. Selain itu, pohon yang
memiliki cabang besar cenderung menjadi bengkok (Maclaren, 2002). Tanaman
manglid berumur 28 bulan dengan jarak tanam 2 m x 2 m, yang mana tajuk telah
bersentuhan tetapi belum terjadi pruning alami, masih tetap diperlukan tindakan
pemangkasan untuk menghilangkan mata kayu. Pada kasus Acacia mangium,
A. Sudomo
60 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
pemangkasan cabang dilakukan sebelum tanaman berumur enam bulan dengan
menyisakan tajuk aktif sebanyak 60% (Sudomo et al., 2007).
Penjarangan merupakan kegiatan penebangan terhadap pohon-pohon yang
jelek. Tanaman manglid pada jarak tanam rapat perlu dilakukan penjarangan agar
memberikan ruang pertumbuhan; sedangkan pada jarak tanam lebar, penjarangan
dilakukan sesuai kebutuhan agar pertumbuhannya optimal.
d. Pertumbuhan Manglid di Lapangan Hingga Umur 28 Bulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dorongan pertumbuhan tinggi manglid
yang ditanam pada jarak tanam rapat diikuti oleh pertumbuhan diameter sehingga
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan jarak tanam yang lebih lebar
hingga umur 28 bulan. Jarak tanam 2 m x 2 m memberikan pertumbuhan tinggi dan
diameter signifikan lebih baik dibandingkan dengan jarak tanam 3 m x 2 m dan 3 m
x 3 m. Jarak tanam 2 m x 2 m menghasilkan pertumbuhan tinggi 3,068 m dan
diameter 4,673 cm pada umur 28 bulan (Sudomo et al., 2010). Dengan jarak tanam
2 m x 2 m, pemangkasan dan penjarangan perlu dilakukan seiring dengan
meningkatnya umur tegakan agar pertumbuhan dapat optimal.
7. Sistem Silvikultur Hutan Rakyat Manglid
Sistem silvikultur hutan rakyat dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
sistem tebang habis permudaan buatan, sistem tebang pilih permudaan alam, dan
sistem tebang habis permudaan terubusan. Aplikasi sistem silvikultur pada hutan
rakyat bisa berbeda-beda tergantung kondisi tegakan dan pola tanam. Pola tanam di
hutan rakyat ada yang monokultur, campuran, dan agroforestri. Pada hutan rakyat
campuran, petani biasanya menggunakan sistem silvikultur tebang pilih permudaan
alam. Petani memilih pohon yang telah layak ditebang dan membiarkan terjadi
permudaan alami dengan jenis yang regenerasi alamnya bagus. Berbeda halnya pada
hutan monokultur, petani biasanya menggunakan sistem silvikultur tebang habis
permudaan buatan. Keuntungan dari permudaan buatan adalah kemungkinan untuk
mengatur kerapatan, jarak tanam, komposisi jenis, dan penggunaan bibit unggul
secara lebih tepat dibandingkan dengan metode permudaan lain (Hadiwinoto,
1999).
Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 61
Manglid mempunyai kemampuan membentuk terubusan yang banyak sehing-
ga permudaan manglid dalam pembangunan hutan rakyat potensial dilakukan
dengan sistem silvikultur tebang habis permudaan terubusan. Berdasarkan penga-
matan manglid di hutan rakyat Desa Sindang Barang, Kecamatan Panumbangan,
Kabupaten Ciamis; terdapat petani yang menggunakan sistem silvikultur tebang
habis permudaan terubusan. Terubusan yang terbentuk pada setiap tonggak pohon
bekas tebangan dapat mencapai 2, 3, atau lebih batang baru. Petani hutan rakyat
tidak melakukan seleksi ataupun singling terhadap batang-batang baru tersebut. Hal
yang disarankan adalah menyeleksi dan memilih satu batang baru hasil terubusan
yang tumbuh baik dan lurus sehingga potensial menghasilkan pertumbuhan yang
lebih cepat dan menghasilkan kualitas kayu yang lebih baik.
8. Agroforestri Berbasis Manglid
Manglid adalah pohon yang dapat tumbuh baik dengan persentase tajuk aktif
relatif kecil (21,45%) hingga umur delapan tahun sehingga sangat baik dalam
memberikan ruang tumbuh bagi tumbuhan bawah dalam pola tanam agroforestri.
Petani hutan rakyat di beberapa desa di Kecamatan Panumbangan, Kabupaten
Ciamis, telah mengombinasikan manglid dengan tanaman bawah, seperti jagung,
kapolaga, tales, dan jahe. Oleh karena itu, dukungan kebijakan diperlukan untuk
mengembangkan manglid sebagai ikon pengembangan hutan rakyat dengan sistem
agroforestri agar peningkatan kesejahteraan hutan rakyat tercapai.
Agroforestri potensial diimplementasikan di daerah-daerah yang padat pen-
duduknya sebagai suatu pola tanam untuk mengembalikan fungsi ekologi dan
ekonomi dari lahan-lahan terdegradasi. Seiring dengan bertambahnya jumlah pen-
duduk, luas lahan terdegradasai dan kebutuhan pangan pun semakin meningkat
sehingga agroforestri berbasis tanaman pangan menjadi pilihan strategis. Jagung
merupakan salah satu jenis tanaman bawah yang potensial dikembangkan pada lahan
kering karena mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Dalam rangka pengembangan hutan rakyat manglid dengan pola agroforestri,
penelitian tentang teknik agroforestri manglid dan jagung telah dilakukan. Hasil-
hasil penelitian tersebut disajikan sebagai berikut (Puspitodjati et al., 2009):
A. Sudomo
62 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
a. Agroforestri manglid dan jagung hingga umur 6–10 bulan mempunyai pengaruh
yang positif terhadap pertumbuhan manglid. Pertumbuhan tinggi manglid
agroforestri lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan tinggi manglid mono-
kultur.
b. Agroforestri manglid dan jagung hingga umur manglid 6–10 bulan memberikan
pengaruh terhadap penurunan produktivitas jagung. Rata-rata produksi jagung
agroforestri sebesar 7.005,8 kg/ha (jagung pipil kering) atau lebih rendah diban-
dingkan dengan produksi jagung monokultur yang mencapai 8.213,5 kg/ha.
Meskipun demikian, pengusahaan agroforestri manglid dan jagung masih diang-
gap menguntungkan untuk diusahakan dengan pendapatan bersih tahunan setara
dengan Rp7.020.000–7.560.000/ha/tahun.
c. Pengelolaan lahan dengan pola agroforestri manglid dan jagung perlu digalakkan
karena menguntungkan, yaitu meningkatkan produksi pangan dari hutan rakyat
dan menjaga kesuburan lahan.
d. Pengembangan jagung varietas hibrida lebih menguntungkan dibandingkan
dengan varietas lokal sehingga layak diterapkan dan direkomendasikan dalam
sistem agroforestri manglid dan jagung.
B. Karakteristik Tempat Tumbuh Manglid di Hutan Rakyat
Manglid dapat tumbuh dengan baik di Kampung Babakan Lame, Desa
Cikubang, Kecamatan Taraju, Kabupaten Tasikmalaya. Di lokasi ini, tekstur tanah
tipe liat berat karena kandungan liatnya lebih dari 60%. Tanah liat sangat lekat dan
jika kering akan menjadi sangat keras. Semakin halus liat tanah, semakin besar air
yang dapat diikat oleh tanah. Pada usaha tani lahan kering, kelembaban hendaknya
dipertahankan agar tanah tetap kondusif untuk pertumbuhan tanaman. Dengan
demikian, pertumbuhan tanaman dengan baik dapat terjamin (Kartasapoetra &
Sutedjo, 2005). Manglid tumbuh baik pada hutan campuran yang lembab konstan,
yaitu pada tanah yang subur dan sering dijumpai di daerah pegunungan dengan
ketinggian 300–2.200 m dpl (Djajapertjunda, 2003). Hutan rakyat manglid di
Kampung Babakan Lame tersebut berada pada ketinggian 585 m dpl. Faktor
kelembaban dan temperatur relatif penting karena berpengaruh terhadap tanah
Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 63
sebagai media tumbuh manglid. Apabila kelembaban kurang, tanah liat akan sangat
keras dan menghambat pertumbuhan tanaman manglid. Namun, kenyataan pada
lokasi tersebut menunjukkan pertumbuhan manglid yang relatif baik. Hal ini
menunjukkan bahwa tanah liat dapat menghasilkan pertumbuhan manglid yang
bagus jika didukung lingkungan yang relatif lembab.
Struktur tanah pada lahan hutan rakyat pada umumnya adalah remah sedang
dan tanah yang memiliki kondisi ini umumnya agak bergumpalan. Struktur remah
ini merupakan keadaan agregat yang paling dikehendaki dalam pertanian. Pada
struktur ini, terdapat keseimbangan yang baik antara udara yang diperlukan untuk
pernapasan akar tanaman dan air tanah sebagai medium larutan unsur hara
(Kartasapoetra & Sutedjo, 2005).
Sifat kimia tanah pada hutan rakyat di Kampung Babakan Lame memiliki
kandungan C-organik pada seluruh horizon yang tergolong rendah, serta unsur N
dan P sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa manglid yang telah tumbuh
ternyata dapat toleran pada tanah dengan ketersediaan C-organik, N, dan P rendah.
Unsur K adalah satu-satunya unsur makro dalam tanah pada lokasi pertumbuhan
manglid yang termasuk kategori sedang hingga tinggi. Hal inilah yang menyebabkan
pertumbuhan akar tanaman manglid tampak tumbuh lebat menyebar di tanah.
Ketersediaan unsur K dengan kondisi lingkungan yang relatif lembab menyebabkan
manglid relatif dapat tumbuh dengan baik. Unsur K sangat penting untuk perkem-
bangan akar, pengaktifan enzim, proses fisiologis dan metabolisme tanaman, daya
tahan kekeringan, dan sebagainya (Tira & Murtiningsih, 2006).
Lokasi hutan rakyat manglid di Kampung Babakan Lame, Desa Cikubang,
Kecamatan Taraju berdekatan dengan Kecamatan Salawu yang mempunyai tujuh
bulan basah dan lima bulan kering dengan curah hujan 2.945,5 mm pada tahun 2008
(Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, 2009). Berdasarkan data kesesuaian
tempat tumbuh, manglid dapat tumbuh dengan kesesuaian I pada ketinggian 300–
2.200 m dpl, kelas lereng 0–40%, tipe iklim A–C, curah hujan >1.000 mm/tahun,
jumlah bulan kering 2–6 bulan, temperatur 15–280C, tekstur tanah ringan hingga
sedang dan berat, pH tanah 4,5–6,5 (asam, sedang, dan netral), tebal solum dalam
hingga sangat dalam (101–150 cm), drainase tanah baik, kesuburan tanah rendah–
A. Sudomo
64 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
tinggi, salinitas <4, kedalaman sulfidik >150 cm (Dirjen Bina Pengembangan Hutan
Tanaman, 2007; Djajapertjunda, 2003).
Hasil pengamatan terhadap tegakan manglid yang ditanam dengan jarak
tanam 2 m x 2 m menunjukkan bahwa pada umur delapan tahun, manglid dapat
mencapai tinggi 12,96 m dan batang bebas cabang 10,09 m sehingga rata-rata
pertumbuhan tingginya sebesar 1,62 m/tahun. Meskipun demikian, jarak tanam
yang relatif rapat (2 m x 2 m) dan tanpa penjarangan hanya mendorong pertum-
buhan tinggi, sedangkan pertumbuhan diameter relatif kecil 13,94 cm sehingga
diperlukan penjarangan (Sudomo, 2011; Sudomo & Mindawati, 2011).
Petani hutan rakyat di Kampung Babakan Lame tidak melakukan penja-
rangan terhadap tegakan manglid. Hal ini disebabkan petani beranggapan akan
merasa rugi jika mengurangi jumlah pohon per satuan hektare. Meskipun demikian,
mereka melakukan pruning sangat intensif sehingga menyisakan persentase tajuk
aktif yang relatif sedikit (rata-rata 21,45%), bahkan bisa lebih rendah lagi pada bebe-
rapa pohon manglid (Sudomo, 2011). Tindakan pruning yang dilakukan oleh petani
bertujuan agar pertumbuhan manglid semakin tinggi dengan batang bebas cabang
tinggi, tetap lurus, dan sedikit mata kayu.
Pertumbuhan akar manglid kebanyakan bersifat menyebar secara horizontal
dan dangkal. Tipe perakaran manglid dan kandungan bahan organik pada top soil
yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan horizon di bawahnya menye-
babkan pertumbuhan akar relatif dangkal dari permukaan tanah. Meskipun demi-
kian, batang manglid menunjukkan pertumbuhan yang kokoh atau tidak mudah
roboh. Banyaknya akar serabut yang disokong dengan akar tunggang ternyata relatif
memberikan daya tahan pohon manglid dari terpaan angin. Hal ini terbukti dari
jarangnya pohon manglid yang roboh, walaupun dengan ketinggian lebih dari 10 m.
Bahkan, terdapat beberapa individu pohon manglid yang relatif terpisah jauh dengan
pohon lainnya dapat tumbuh kokoh menjulang tinggi dengan persentase tajuk aktif
kurang dari 21% (Sudomo, 2011).
Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 65
C. Kontribusi dan Prospektif Silvikultur Hutan Rakyat Manglid Terhadap
Pembangunan Kehutanan
Program-program kehutanan saat ini lebih mengedepankan masyarakat agar
mandiri sebagai subjek dalam pengelolaan hutan lestari. Selain itu, kegiatan reha-
bilitasi hutan dan lahan kritis terus dilaksanakan melalui pembangunan hutan rakyat,
hutan desa, dan lain-lain. Salah satu jenis tanaman kehutanan yang dapat dikem-
bangkan dengan pola tersebut adalah manglid.
Berdasarkan karakteristik pertumbuhannya, manglid mempunyai prospek
yang baik untuk dikembangkan di hutan rakyat sebagai alternatif pilihan atau
tambahan jenis-jenis potensial lainnya. Sebagai jenis andalan setempat, manglid
relatif telah adapted, disukai masyarakat, dan bernilai pasar. Dibandingkan dengan
jenis exotic lainnya yang rentan terhadap serangan hama dan penyakit, manglid
relatif lebih tahan dari serangan tersebut atau intensitas serangannya lebih rendah
sehingga dapat dijadikan sebagai jenis alternatif atau pengganti yang potensial dalam
pembangunan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat.
Saat ini, pengetahuan teknik silvikultur manglid telah tersedia, mulai dari
pembibitan hingga penanaman. Hal ini dapat dijadikan dasar dalam pembuatan
SOP dalam pembangunan hutan tanaman. Standard Operational Procedure ini
selanjutnya dapat menjadi acuan implementasi teknologi alternatif budi daya
tanaman hutan bagi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat. Teknik-teknik
tersebut dapat pula disinergikan dengan pengetahuan lokal masyarakat dalam
mewujudkan pengelolaan hutan lestari.
Menurut Na’iem dan Sabarnurdin (2002), untuk memperoleh kelestarian pro-
duktivitas suatu pertanaman dalam jangka panjang akan sangat bergantung pada
persiapan lahan, pengendalian vegetasi liar, cara tanam yang tepat, penggunaan
pupuk, dan pemilihan materi genetik tanaman. Terkait dengan hal tersebut,
beberapa elemen silvikultur intensif berikut menjadi penting untuk diperhatikan agar
kelestarian produksi tetap terjaga (Davidson, 1996 dalam Naiem & Sabarnurdin,
2002), yaitu 1) pemilihan spesies, provenan, famili dan pohon elite; 2) kualitas semai
yang baik; 3) persiapan lahan dan pengendalian gulma; 4) penggunaan pupuk; 5)
jarak tanam; 6) pengelolaan yang tepat; dan 7) dana yang tersedia.
A. Sudomo
66 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Silvikultur intensif belum sepenuhnya berjalan di masyarakat, terutama dalam
pembangunan hutan rakyat. Faktor-faktor internal yang menjadi kendala belum
berjalannya silvikultur intensif tersebut, antara lain keterbatasan modal, kegiatan
hutan rakyat masih dianggap sekedar usaha sampingan, pengelolaan masih bersifat
subsisten, keterbatasan luasan lahan, serta minimnya pengetahuan dan penyuluhan
silvikutur intensif. Selain penyebab faktor internal, faktor eksternal pun turut
memengaruhi pelaksanaan silvikutur intensif di masyarakat, yaitu belum tersedianya
bibit unggul dan SOP yang menyeluruh dalam pengelolaan hutan rakyat.
Konsep pengelolaan hutan rakyat manglid pada masa depan, selain dengan
silvikultur intensif, dapat pula dilengkapi dengan silvikultur agroforestri. Hal ini
disebabkan oleh belum berjalannya silvikultur intensif di masyarakat, sedangkan
praktik agroforestri telah berjalan di masyarakat. Aplikasi teknologi baru harus
menyesuaikan dengan praktik yang telah dilaksanakan oleh masyarakat. Sinergitas
antara pengetahuan lokal masyarakat dengan sceintific base knowledge dapat diapli-
kasikan dalam pembangunan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat manglid.
IV. Kesimpulan
Persemaian manglid untuk menghasilkan bibit berkualitas dapat diperoleh
dengan penaburan benih pada media abu sekam padi, penyapihan dengan media
tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1), dan intensitas naungan (shading
net) sebesar 40%. Peningkatan keberhasilan stek pucuk dapat dilakukan dengan
teknik juvenilisasi dan bahan stek dioles hormon Rootone-F®.
Jarak tanam 2 m x 2 m dapat digunakan dalam mengembangkan hutan
tanaman manglid pada awal tanam. Peningkatan pertumbuhan awal manglid
dilakukan dengan pemberian pupuk kandang >2 kg/tanaman sebagai pupuk dasar.
Optimalisasi pertumbuhan dilakukan dengan pemangkasan dan penjarangan untuk
mendapatkan batang berkualitas dan memberikan ruang tumbuh tanaman bawah
dalam pola tanam agroforestri.
Manglid sesuai ditanam pada ketinggian 300–2.200 m dpl, kelas lereng 0–
40%, tipe iklim A– C, curah hujan >1.000 mm/tahun, temperatur 15– 280C, tekstur
Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 67
tanah ringan hingga sedang dan berat, dan kesuburan tanah rendah–tinggi. Manglid
yang telah tumbuh dapat toleran pada tanah liat masam dengan kandungan C-
organik rendah, serta unsur N dan P sangat rendah.
Manglid potensial sebagai tanaman pokok dalam pola tanam agroforestri
untuk pembangunan hutan rakyat. Optimalisasi produktivitas lahan hutan rakyat
dapat dilakukan dengan agroforestri manglid dan jagung.
Sistem silvikultur tebang habis permudaan terubusan potensial diaplikasikan
dalam pembangunan hutan rakyat manglid. Pemilihan dan pemeliharaan terhadap
terubusan yang tumbuh dapat dilakukan untuk menghasilkan batang berkualitas.
Daftar Pustaka
Daniel, T. W., Helms, J. A., & Baker, F. S. (1979). Principles of silviculture:
McGraw-Hill Book Company.
Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya. (2009). Data curah hujan tahun 2008 di
Kabupaten Tasikmalaya.
Diniyati, D., Suyarno, Kuswantoro, D. P., Badrunasar, A., Fauziyah, E.,
Sulistyawati, T., & Mulyati, E. (2005). Teknik perbanyakan tanaman manglid
dengan biji. Loka Litbang Hutan Monsoon Ciamis.
Dirjen Bina Pengembangan Hutan Tanaman. (2007). Laporan akhir penyusunan
sistem informasi spasial kesesuaian jenis hutan tanaman. In H. B. Santoso, S.
Bustomi, Hendromono & Subardja (Eds.): Kementerian Kehutanan.
Djajapertjunda. (2003). Mengembangkan hutan milik di Jawa. Sumedang:
Alqaprint. Jatinangor.
Faridah, E. (1996). Pengaruh intensitas cahaya, mikoriza dan serbuk arang pada
pertumbuhan alam Dryobalanops sp. Buletin Penelitian Kehutanan. Fakultas
Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta(29).
Hadiwinoto, S. (1999). Bahan ajar kuliah silvikultur hutan tanaman. Fakultas
Kehutanan UGM Yogyakarta.
A. Sudomo
68 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Hardiyanto, E. (2005). Beberapa isu silvikultur dalam pengembangan hutan
tanaman. Paper presented at the Makalah Seminar Peningkatan Produktivitas
Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Haygreen, J. G., & Bowyer, J. L. (1996). Forest products and wood science: an
introduction.
Kartasapoetra, A. G., & Sutedjo, M. (2005). Teknologi konservasi tanah dan air:
PT Rineka Cipta, Jakarta.
Maclaren, P. (2002). Wood quality of radiata pine on farm sites–a review of the
issues. Forest Farm Forest Manage Coop. Report(80).
Mahfudz. (2006). Variasi pertumbuhan beberapa klon jati hasil stek pucuk pada dua
jarak tanam di Gunung Kidul. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 3(1).
Na'iem, M. (2000). Prospek perhutanan klon jati di Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional Status Silvikultur di Indonesia Saat ini. Wanagama I, 1-2 Desember
2000. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Na’iem, M., & Sabarnurdin, M. S. (2002). Agroforestry dalam pengelolaan intensif
sumber daya lahan. Paper presented at the Seminar Nasional. PT Perhutani
(Persero) Agrokompleks UGM SEANAFE (PAFI).
PIKA. (1996). Mengenal sifat-sifat kayu Indonesia dan penggunaannya: Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Puspitodjati, T., Rohandi, A., Swestiani, D., Sudomo, A., Nadiharto, Y.,
Rahmawan, B., & Setiawan, I. (2009). Intensifikasi hutan rakyat untuk
peningkatan produksi pangan melalui pola agroforestry jenis manglid
(Manglieta glauca BI) dan jagung (Zea mays). Ciamis: Balai Penelitian
Kehutanan Ciamis.
Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan
hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.
Smith, D. (1986). The practice of silviculture: John Wiley and Sons.
Silv ikul tur Hutan Rakyat Mangl id (Magnol ia champaca)
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 69
Soekotjo, & Naim, M. (2006). SILIN: Menunju hutan yang prospektif , sehat, dan
lestari. In Y. Fakultas Kehutanan UGM (Ed.), Warta Kagama Edisi Perdana.
Sudomo, A. (2009). Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan mutu bibit
manglid (Manglieta glauca BI.). Tekno Hutan Tanaman, 2(2), 59-66.
Sudomo, A. (2011). Karakteristik pertumbuhan dan tempat tumbuh manglid di
hutan rakyat Babakan Lame, Desa Cikubang, Kecamatan Taraju, Kabupaten
Tasikmalaya. Paper presented at the Workshop Puslitbang Peningkatan
Produktivitas Hutan Tanaman, Bogor.
Sudomo, A., & Dendang, B. (2008). Budi daya manglid. Ciamis: Balai Penelitian
Kehutanan Ciamis.
Sudomo, A., & Mindawati, N. (2011). Pertumbuhan manglid pada tiga jarak tanam
dan tiga jenis pupuk di Tasikmalaya, Jawa Barat. Tekno Hutan Tanaman.
Sudomo, A., Permadi, P., & Rahman, E. (2007). Kajian kontrol silvikultur hutan
tanaman terhadap kualitas kayu pulp. Informasi Teknis. Vol.5 No.2. Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.
Yogyakarta.
Sudomo, A., Rahman, E., & Mindawati, N. (2010). Mutu bibit manglid pada tujuh
media sapih. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 7(5).
Sudomo, A., Rohandi, A., & Mindawati, N. (2013). Pengaruh zat pengatur tumbuh
Rootone-F pada stek pucuk manglid (Manglietia Glauca Bl.). Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman, 10(2), 57-63.
Tira, L., & Murtiningsih. (2006). Karakteristik lahan bekas tambang batu kapur di
Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Info Hutan, III(3).
Zobel, B. (1992). Silvicultural effects on wood properties. IPEF International, 2,
31-38.
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 71
Produktivitas dan Kualitas Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus BI) pada Sistem Agroforestri Manglid
Aris Sudomo1
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh sistem agroforestri terhadap produktivitas
dan kualitas umbi suweg (Amorphophallus campanulatus BI) pada lahan hutan rakyat. Pene-
litian dilakukan pada lahan kering hutan rakyat di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Suka-
mantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Uji coba dimulai dengan penanaman suweg
di bawah tegakan hutan rakyat manglid (Magnolia champaca) umur 32 bulan. Rancangan
percobaan menggunakan split-plot design dengan main plot tiga intensitas pruning tegakan
manglid (0%, 50%, dan 75%) dan subplot tiga jarak tanam manglid (2 m x 2 m; 2 m x 3 m,
dan 3 m x 3 m), serta dengan pembanding tanaman suweg. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa interaksi intensitas pruning dengan jarak tanam pohon berpengaruh nyata terhadap
produksi suweg. Produksi berat basah dan berat kering umbi terbesar (2.097,6 gram dan
484,08 gram) didapatkan pada perlakuan intensitas pruning pohon manglid 75% berjarak
tanam 3 m x 3 m dengan intensitas cahaya 87,52% lebih baik dibandingkan dengan
monokultur suweg pada tempat terbuka yang hanya menghasilkan berat basah 834,25 gram
dan berat kering 204,88 gram. Nilai rata-rata kandungan protein umbi pada sistem
agroforestri (>2%) lebih besar dibandingkan dengan sistem monokultur suweg (1,9%).
Sebaliknya, rata-rata kandungan karbohidrat umbi pada agroforestri (<25%) lebih rendah
dibandingkan dengan monokultur suweg (26,04%).
Kata kunci: suweg, Amorphophallus campanulatus BI, hutan rakyat, agroforestri
I. Pendahuluan
Sistem agroforestri dinilai potensial untuk memperbaiki kebutuhan bahan
pangan masyarakat dengan meningkatkan ketersediaan pangan, diversifikasi produk,
dan menjamin ketersediaan bahan pangan secara berkesinambungan. Menurut
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 04, Po Box
5 Ciamis 46201; Email: [email protected]
A. Sudomo
72 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Suhardi (2011), potensi pengembangan jenis tanaman pangan di bawah tegakan
hutan rakyat di Jawa berasal dari jenis umbi-umbian, antara lain suweg, ubi kayu,
garut, talas, kimpul, dan ubi jalar. Selain dapat dikonsumsi langsung sebagai bahan
pangan, suweg juga dapat ditingkatkan sebagai bahan baku industri keripik, kue, dan
lain-lain. Tepung suweg dapat dimanfaatkan dalam pembuatan cookies sehingga
dapat mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu sebagai bahan baku pem-
buatan cookies. Keunggulan umbi suweg adalah kandungan serat pangan dan
protein yang cukup tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 13,71% dan 7,20% dengan
kandungan lemak yang rendah sebesar 0,28%, serta nilai Indeks Glisemik yang
cukup rendah sehingga baik untuk kesehatan (Faridah, 2005). Tanaman suweg
dapat ditanam di bawah pohon atau pada intensitas cahaya matahari rendah
(Handono, 2013; Richana & Sunarti, 2004).
Agroforestri telah diaplikasikan masyarakat berdasarkan eksperience base
knowledge sehingga potensial adapted di masyarakat. Agroforestri dengan scientific
base knowledge bertujuan mengoptimalkan penggunaan lahan melalui kombinasi
tanaman kehutanan dan tanaman pertanian. Sinergitas antarkomponen tanaman
dapat dilakukan dengan tindakan silvikultur sehingga terdapat kondisi berbagi
sumber daya (air, unsur hara, dan sinar matahari) dan tidak kompetitif antar-
komponen, bahkan saling menguntungkan. Menurut Sabarnurdin et al. (2004),
dasar penguat dari sistem berbagi sumber daya (SBS) dalam agroforestri adalah
dinamika ruang yang didasarkan pada kuantifikasi perkembangan tajuk ke arah
bidang olah. Huxley (1999) menyatakan bahwa tindakan pengaturan cahaya dalam
sistem agroforestri dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu 1) menghilangkan
cabang mati dan terkena penyakit untuk tujuan meningkatkan kualitas kayu; 2)
memanipulasi ukuran dan bentuk tajuk untuk memelihara produktivitas biomassa,
serta menjaga kompetisi dengan tanaman bawah; dan 3) melakukan pruning atau
penjarangan untuk menjaga produksi buah, daun, cabang [untuk kayu bakar], dan
sebagainya. Pengaturan jarak tanam dan pruning dalam praktik agroforestri menjadi
faktor penting karena jarak tanam pohon yang lebih lebar akan menambah luas
bidang olah untuk tanaman bawah. Selain untuk pemeliharaan pohon, pruning
diperlukan untuk meningkatkan intensitas cahaya yang masuk ke bawah kanopi.
Produktiv itas dan Kual itas Umbi Suweg …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 73
Penelitian ini bertujuan mengetahui produktivitas dan kualitas umbi suweg pada
sistem agroforestri manglid dibandingkan dengan sistem monokultur suweg.
II. Metodologi
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada lahan kering hutan rakyat yang secara administratif
termasuk dalam wilayah Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten
Ciamis, Provinsi Jawa Barat dengan koordinat S 07006’550’’ dan E 108022’900’’.
Lahan hutan rakyat tersebut berada pada ketinggian ±894 m dpl, temperatur 20,4–
310C, dan kelembaban 62,13–89,75%. Curah hujan di Desa Tenggerraharja adalah
2.071 mm/tahun dan termasuk ke dalam tipe C (agak basah) berdasarkan klasifikasi
iklim Schmith & Ferguson (BP3K, 2012). Penelitian dilakukan mulai bulan
November 2012 hingga Juni 2014.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tegakan manglid umur 32
bulan (dengan tiga macam jarak tanam), benih suweg lokal, insektisida, pupuk kan-
dang, pupuk kimia (NPK dan urea), dan lain-lain. Alat yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah oven, cangkul, sabit, tambang, drum, meteran, ember, kaliper,
timbangan, kamera, termohigrometer, GPS, luxmeter, alat tulis, dan lain-lain.
C. Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan sistem agroforestri melalui kegiatan yang dimulai
dari penyiapan lahan dengan pembabatan alang-alang dan mencangkul tanah
sedalam 10–30 cm. Jarak tanam suweg adalah 120 cm x 80 cm. Pembuatan lubang
tanam dengan ukuran 40 cm x 40 cm sedalam 20–30 cm. Pupuk dasar pada saat
penanaman suweg adalah pupuk kotoran ayam sebanyak 800 g/lubang. Penyiangan
dan pemupukan lanjutan dilakukan bersamaan setelah suweg berumur 2 bulan dan 4
A. Sudomo
74 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
bulan. Dosis pemupukan lanjutan menggunakan urea dan NPK (1:2) sebanyak 70
g/tanaman. Penyiangan dilakukan setiap 3 bulan sekali.
D. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Split-Plot Design dengan main
plot adalah tiga intensitas pruning, yaitu P0 (0%), P1 (50%), dan P2 (75%); serta
subplot adalah tiga jarak tanam, yaitu S1 (2 m x 2 m), S2 (2 m x 3 m), dan S3 (3 m x
3 m). Masing-masing perlakuan tersebut ditanami suweg. Plot terdiri dari border
dan sampel yang diukur pada tanaman Magnolia champaca adalah 7 x 7 tanaman
sehingga plot bersih yang diukur adalah 5 x 5 tanaman manglid. Total tanaman
Magnolia champaca adalah 49 x 3 intensitas pruning x 3 jarak tanam = 441 tanaman.
Sebagai kontrol atau pembanding, penanaman monokultur suweg dilakukan pada
luasan 10 m x 10 m.
E. Pengamatan Kondisi Lapangan
Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada setiap unit percobaan masing-
masing sembilan titik, yaitu tiga titik di bawah pohon, tiga titik di antara pohon, dan
tiga titik di tengah-tengah diagonal pohon. Sebagai pembanding, pengukuran
intensitas cahaya dilakukan pada tempat terbuka. Pengukuran suhu dan kelembaban
dilakukan setiap pagi, siang, dan sore hari selama dua bulan. Data curah hujan
selama 10 tahun didapatkan dari data sekunder Badan Penyuluhan Pertanian,
Peternakan, dan Kehutanan di Unit Pelaksana Teknik Daerah (UPTD) Kecamatan
Sukamantri, Kabupaten Ciamis.
F. Analisis Data
Pengukuran produktivitas tanaman dilakukan dengan penimbangan berat
basah dan berat kering umbi. Analisis kandungan kimia karbohidrat dan protein
umbi dilakukan di laboratorium dengan mengambil sampel umbi hasil panen pada
setiap unit percobaan.
Data produksi kemudian dianalisis dengan analisis varians atau uji F. Kemu-
dian, apabila berbeda nyata, analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dengan
Produktiv itas dan Kual itas Umbi Suweg …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 75
taraf uji 95%. Data kandungan karbohidrat dan protein umbi dianalisis mengunakan
statistik sederhana dengan merata-ratakan hasil pada setiap perlakuan.
III. Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis varians menunjukkan bahwa pengaruh pruning dan jarak tanam
manglid, serta interaksi keduanya berbeda nyata terhadap produksi berat basah dan
berat kering umbi. Selanjutnya, uji lanjut Duncan dilakukan untuk mengetahui rata-
rata terbaik dengan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1, berat basah dan berat kering umbi suweg pada sistem
agroforestri berbeda nyata lebih baik pada kombinasi pruning 75% dengan jarak
tanam 3 m x 3m dan kombinasi pruning 0% dengan jarak tanam 3 m x 3 m diban-
dingkan dengan monokultur. Intensitas cahaya di bawah sistem agroforestri tersebut
adalah 87,52% dan 67,61%. Produksi umbi lebih baik pada sistem agroforestri
dibandingkan dengan sistem monokultur. Pertumbuhan suweg yang memerlukan
naungan ringan terbantu oleh keberadaan tajuk tanaman manglid dalam mengurangi
intensitas cahaya matahari. Tanaman suweg tumbuh di bawah naungan atau di
bawah tegakan tanaman tahunan, seperti jati, kopi, dan ekaliptus (Richana, 2012).
Hasil panen terbaik dihasilkan pada sistem agroforestri dengan intensitas
pruning tegakan manglid sebesar 75% dan jarak tanam 3 m x 3 m (intensitas cahaya
87,52%). Hal ini disebabkan oleh intensitas sinar matahari yang lebih rendah di
bawah tegakan manglid sehingga penguapan berkurang. Pada tempat terbuka, inten-
sitas sinar matahari terlalu tinggi sehingga menyebabkan penguapan lebih tinggi.
Tanaman suweg pada intensitas cahaya yang optimal akan lebih efektif berfoto-
sintesis untuk menghasilkan biomassa tanaman. Penangkapan cahaya, air, dan
nutrisi tergantung jumlah, areal permukaan, distribusi, dan keefektifan dari elemen
individual dalam kanopi atau sistem perakaran dari spesies atau kombinasinya (Ong
& Kho, 2015). Hasil panen merupakan hasil penimbunan berat kering dalam waktu
tertentu, seberapa efisien tanaman memanfaatkan radiasi matahari, dan berapa lama
tanaman tersebut dapat mempertahankan pemanfaatan tersebut, yang secara efisien
menentukan berat kering hasil panen tanaman tersebut (Gardner et al., 2003).
A. Sudomo
76 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 1. Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan pruning, jarak tanam, dan interaksinya
terhadap produktivitas suweg
No. Perlakuan Intensitas
cahaya (%)
Berat basah umbi
(gram/tanaman)
Standar
Deviasi
Berat kering umbi
(gram/tanaman)
Standar
Deviasi
1. Monokultur suweg 100 834,3 bcd 392,6 204,9 bcd 97,9
2. Intensitas pruning
0% x JT 2 x 2 m
24 619,1 cde 366,6 141,2 de 76,0
3. Intensitas pruning
0% x JT 2 x 3 m
28 540,0 de 199,1 126,3 de 39,8
4. Intensitas pruning
0% x JT 3 x 3 m
35 1.094,0 b 528,0 254,6 b 129,6
5. Intensitas pruning
50% x JT 2 x 2 m
46 273,8 e 89,0 66,3 e 20,9
6. Intensitas pruning
50% x JT 2 x 3 m
62 676,8 cd 383,5 150,0 cde 87,1
7. Intensitas pruning
50% x JT 3 x 3 m
66 623,7 cde 317,0 171,7 bcd 81,3
8. Intensitas pruning
75% x JT 2 x 2 m
17 541,8 de 354,2 133,9 de 102,2
9. Intensitas pruning
75% x JT 2 x 3 m
68 949,5 bc 449,6 241,0 bc 108,0
10. Intensitas pruning
75% x JT 3 x 3 m
88 2.097,6 a 776,9 484,1 a 206,2
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%; JT = jarak tanam
Produktiv itas dan Kual itas Umbi Suweg …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 77
(b)
Gambar 1. Produksi suweg: berat basah umbi/tanaman (gram) (a) dan berat kering umbi/
tanaman (gram) (b)
Hasil analisis laboratorium terhadap kandungan pati umbi suweg menunjuk-
kan bahwa sistem agroforestri menghasilkan umbi dengan kandungan pati lebih
rendah, tetapi lebih tinggi untuk kandungan proteinnya (Gambar 2). Hal ini dise-
babkan oleh intensitas sinar matahari di tempat terbuka (monokultur suweg) lebih
tinggi sehingga hasil fotosintesis berupa karbohidrat lebih tinggi pula. Pati
merupakan bahan organik polisakarida pertama yang diproduksi dari reaksi antara
(a)
A. Sudomo
78 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
karbondioksida dari udara dan air dari dalam tanah melalui proses fotosintesis
dengan memanfaatkan energi radiasi sinar matahari (Hodge & Osman, 1976).
Kondisi kekurangan cahaya berakibat terganggunya metabolisme sehingga menye-
babkan menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Chowdury et al.,
1994; Sopandie et al., 2003). Berkurangnya intensitas cahaya menurunkan aktivitas
PGA-kinase dan penurunan yang lebih kecil dijumpai pada genotipe padi gogo
toleran naungan dibandingkan dengan genotipe peka. Pada intensitas cahaya rendah
terjadi gangguan translokasi sehingga gula total dan pati menurun pada seluruh
bagian tanaman (Soverda, 2002).
Kandungan protein umbi suweg pada sistem agroforestri manglid lebih tinggi
dibandingkan dengan sistem monokultur suweg. Dalam hal ini, nitrogen (N) berpe-
ran sebagai unsur utama pembentuk protein. Sharma (2006) dalam Akhila & Beevy
(2011) menyatakan bahwa profil protein pada sebagian besar jenis tanaman semusim
tergantung pada kondisi lingkungan dan kondisi penyimpanan. Naungan menyebab-
kan terjadinya akumulasi N pada organ-organ tanaman tertentu, salah satunya pada
biji. Norton et al., (1991) menyatakan bahwa naungan dapat menurunkan produksi
hijauan, tetapi dapat meningkatkan kandungan nitrogen tanaman. Youkhana & Idol
(2009) menyatakan bahwa mulsa hasil pruning juga dapat meningkatkan kandungan
C dan N tanah, serta menurunkan kepadatan tanah, terutama pada lapisan tanah
bagian atas (hingga 20 cm). Sistem agroforestri lebih menjaga kehilangan N-tanah
akibat aliran permukaan dibandingkan dengan sistem monokultur. Penurunan kadar
nitrogen tanaman berpengaruh terhadap fotosintesis, baik melalui kandungan kloro-
fil maupun enzim fotosintetik, sehingga menurunkan fotosintat (pati) yang terben-
tuk, yang selanjutnya akan menurunkan pula bobot basah umbi dan bobot kering
umbi (Djukri & Purwoko, 2003). Amorphophallus termasuk tanaman yang tahan
kering, menyukai tempat teduh, dan tanah gembur (Richana, 2012).
Produktiv itas dan Kual itas Umbi Suweg …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 79
Gambar 2. Persentase kandungan protein (a) dan pati umbi (b) pada silvikultur agrofrestry
dan monokultur suweg
Lott et al. (2009) menyatakan bahwa manfaat utama dari naungan pohon
adalah untuk melindungi dari temperatur yang tinggi, terutama di daerah tropis.
Tanaman umbi-umbian pada umumnya mempunyai kemampuan hidup yang baik
(a)
(b)
A. Sudomo
80 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
ketika ditanam di bawah naungan. Keberadaan manglid dalam sistem agroforestri
akan mengurangi sumber daya sinar matahari, unsur hara, dan air. Meskipun demi-
kian, tanaman suweg dengan pemeliharaan lebih intensif akan tercukupi unsur hara
dan cahaya sehingga pertumbuhannya tetap optimal. Naungan optimal yang diperlu-
kan suweg adalah 50–60% (Jansen et al., 1996 dalam Richana, 2012). Peningkatan
produktivitas lahan dapat dilakukan jika menggunakan kombinasi antara pohon
dengan tanaman jenis C3 (Muthuri et al., 2005). Suweg merupakan tanaman C3
sehingga mempunyai adaptasi yang baik terhadap naungan. Hal yang sama ditun-
jukkan dari penelitian salah satu jenis umbi, yaitu kimpul (Xanthosoma sagittifolium
(L.) Schott) yang menghasilkan pertumbuhan tinggi terbaik dengan jumlah klorofil
daun tanaman kimpul pada naungan 75%. Respons yang berbeda ditunjukkan oleh
tanaman kedelai yang ternaungi. Sopandie dan Trikoesoemaningtyas (2015) mela-
porkan bahwa hasil kedelai menurun rata-rata 30–60% pada kondisi cekaman
naungan Naungan sebesar 50% mengakibatkan umur panen lebih cepat, batang
lebih tinggi, jumlah polong isi lebih sedikit, ukuran biji lebih kecil, dan bobot biji
menjadi lebih rendah dibandingkan dengan lingkungan yang tanpa naungan
(Susanto & Sundari, 2011).
IV. Kesimpulan
Sistem agroforestri mampu meningkatkan produksi suweg, berat basah, berat
kering umbi, dan kandungan protein umbi melalui perlakuan pruning intensitas 75%
dengan jarak tanam manglid 3 m x 3 m. Oleh karena itu, penanaman suweg dalam
skala usaha akan lebih produktif hasilnya jika ditanam dengan sistem agroforestri.
Daftar Pustaka
Akhila, H., & Beevy, S. S. (2011). Morphological and seed protein characterization
of the cultivated and the wild taxa of Sesamum L.(Pedaliaceae). Plant
Systematics and Evolution, 293(1-4), 65-70.
Produktiv itas dan Kual itas Umbi Suweg …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 81
Djukri, & Purwoko, B. S. (2003). Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi
tanaman talas(Colocasia esculenta (L.) Schott). Ilmu Pertanian, 10(2), 17-
25.
Faridah, D. (2005). Sifat fisiko-kimia tepung suweg (Amorphophallus campanulatus
B1.). J. Teknol. dan Industri Pangan, 16(3), 254-259.
Gardner, F. P., Pearce, R. B., & Mitchell, R. L. (2003). Physiology of crop plants.
Physiology of crop plants.
Handono, A. (2013). Pemanfaatan tepung umbi suweg (Amorphophallus C) sebagai
substitusi tepung terigu dalam pembuatan cookies dengan penambahan
kuning telur (Skripsi), Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur, Surabaya.
Hodge, J., & Osman, E. (1976). Carbohydrates. In D. R. Fennema & M. Dekker
(Eds.), Food Chemistry. New York, Basel: Inc. New York dan Basel.
Huxley, P. (1999). Tropical agroforestry: Blackwell Science.
Lott, J., Ong, C., & Black, C. (2009). Understorey microclimate and crop
performance in a Grevillea robusta-based agroforestry system in semi-arid
Kenya. Agricultural and Forest Meteorology, 149(6), 1140-1151.
Muthuri, C., Ong, C., Black, C., Ngumi, V., & Mati, B. (2005). Tree and crop
productivity in Grevillea, Alnus and Paulownia-based agroforestry systems
in semi-arid Kenya. Forest ecology and management, 212(1), 23-39.
Norton, B., Wilson, J., Shelton, H., & Hill, K. (1991). The effect of shade on
forage quality. Forages for plantations crops.(Eds. M. Shelton and W. Stür).
ACIAR Proceedings(32), 83.
Ong, C., & Kho, R. (2015). A framework for quantifying the various effects of tree-
crop interactions. Tree–crop interactions, 2nd edition: agroforestry in a
changing climate. CAB International, Wallingford, 1-23.
Richana, N. (2012). Araceae & Dioscorea Manfaat Umbi-umbian Indonesia.
Nuansa. Bandung, 95.
A. Sudomo
82 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Richana, N., & Sunarti, T. C. (2004). Karakterisasi sifat fisiko kimia tepung umbi
dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili. Jurnal
pascapanen, 1(1), 29-37.
Sabarnurdin, M. S., Suryanto, P., & Aryono, W. (2004). Dinamika tegakan mahoni
(Swietenia macrophylla King) dalam sistem pertanaman lorong (Alley
cropping). Ilmu Pertanian, 11(1), 63-73.
Sopandie, D., Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T, & Sahardi. (2003).
Toleransi terhadap naungan pada padi gogo. Hayati, 10, 71-75.
Sopandie, D., & Trikoesoemaningtyas, T. (2015). Pengembangan tanaman sela di
bawah tegakan tanaman tahunan. Buletin Iptek Tanaman Pangan, 6(2).
Soverda, N. (2002). Karakteristik fisiologi fotosintetik dan pewarisan sifat toleran
naungan pada padi gogo. (Disertasi), Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suhardi. (2011). Mandiri pangan sejahterakan masyarakat: KAGAMA.
Susanto, G. W. A., & Sundari, T. (2011). Perubahan karakter agronomi aksesi
plasma nutfah kedelai di lingkungan ternaungi. J. Agron. Indonesia, 39(1),
1-6.
Youkhana, A., & Idol, T. (2009). Tree pruning mulch increases soil C and N in a
shaded coffee agroecosystem in Hawaii. Soil biology and Biochemistry,
41(12), 2527-2534.
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 83
Hama dan Penyakit Manglid
Endah Suhaendah1 & Aji Winara1
ABSTRAK
Upaya peningkatan produktivitas manglid tidak terlepas dari berbagai masalah, salah satunya
adalah serangan hama dan penyakit. Kemampuan mengenali jenis hama dan penyakit sangat
penting agar upaya pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan secara
efektif dan efisien. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui jenis hama dan penyakit
manglid, serta pengendaliannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa
jenis hama manglid, yaitu hama perusak daun kumbang Sastra sp. dan Sorolopha camarotis,
serta hama pengisap kutu putih Hammamelistes sp. dan Urostylis sp. Jenis penyakit manglid
yang ditemukan antara lain penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar, serta bercak
daun. Pengendalian yang sesuai untuk hama pengisap Hammamelistes sp. dan Urostylis sp.
adalah dengan penggunaan insektisida yang spesifik berbahan aktif Bacillus thuringiensis.
Untuk jenis hama perusak daun Sastra sp. dan Sorolopha camarotis, pengendalian yang
sesuai adalah dengan menggunakan musuh alaminya dan jika diperlukan, insektisida dapat
digunakan. Pengendalian penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar dapat dilakukan
melalui pemberian agen antagonis jenis Trichoderma spp. pada media semai atau pada
tanaman di tingkat lapangan.
Kata kunci: hama, insektisida, manglid, pengendalian, penyakit
I. Pendahuluan
Manglid saat ini menjadi salah satu kayu lokal unggulan yang banyak dikem-
bangkan oleh pegiat hutan rakyat, khususnya di Jawa Barat bagian timur (Priangan
Timur). Pengembangan silvikultur manglid dilakukan melalui berbagai macam pola
tanam; baik monokultur, heterokultur maupun agroforestri. Kejadian serangan hama
dan penyakit menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan oleh para
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis,
Jawa Barat; Email: [email protected]
E. Suhaendah & A. Winara
84 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
pegiat hutan manglid sehingga kerugian secara ekonomi akibat hama dan penyakit
dapat dihindari.
Pengetahuan tentang jenis hama dan penyakit, serta upaya pengendaliannya
belum banyak dikaji dan dilaporkan secara umum. Hal ini tidak berarti manglid be-
bas dari serangan hama dan penyakit. Seperti jenis tanaman hutan lainnya, manglid
merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang tidak luput dari serangan hama dan
penyakit. Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh hama dan penyakit dapat
mengakibatkan kematian, kerusakan sebagian dari pohon, penurunan pertumbuhan
pohon, serta kerusakan biji dan buah (Gillott, 2005; Sumardi & Widyastuti, 2007).
Serangga merupakan kelompok hama paling berat yang menyebabkan keru-
sakan hutan (Anggraeni et al.,, 2006; Sumardi & Widyastuti, 2007). Terjadinya
ledakan hama disebabkan karena ekosistem yang disederhanakan. Hal ini menye-
babkan terjadinya kelimpahan makanan yang kondusif bagi perkembangan hama.
Perkembangan hama dipengaruhi oleh komposisi tanaman, umur, atau tempat
tumbuh, seperti ketinggian, intensitas cahaya, dan struktur tanah (Wainhouse,
2005).
Kemampuan untuk mengantisipasi ledakan hama melalui informasi kejadian
hama dan deteksi ledakan pada stadium awal perkembangan hama dapat dengan
signifikan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengendalian hama. Beberapa
metode pengendalian hama sudah tersedia, antara lain pengendalian mekanis,
biologis, dan kimiawi. Setiap metode memiliki keunggulan dan kekurangan
sehingga harus diseimbangkan antara keunggulan dan kekurangan tersebut melalui
kombinasi metode yang paling sesuai (Gillott, 2005; Wainhouse, 2005).
Tanaman dikatakan sehat atau normal jika dapat melaksanakan fungsi-fungsi
fisiologisnya sesuai dengan genetik terbaik yang dimilikinya. Tanaman akan menjadi
sakit jika diganggu oleh patogen (penyebab penyakit) atau oleh keadaan lingkungan
tertentu sehingga fungsi fisiologis tanaman terganggu yang menyebabkan terjadinya
penyimpangan dari keadaan normal, (Agrios, 1996). Perkembangan penyakit
tanaman dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu adanya patogen, kerentanan tanaman,
dan kondisi lingkungan yang mendukung (Anggraeni & Lelana, 2011).
Hama dan Penyakit Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 85
Kejadian penyakit dapat merugikan secara ekonomi jika terjadi ledakan
penyakit hingga tingkat epidemik. Ledakan penyakit dapat terjadi jika didukung
oleh patogen yang virulen, lingkungan yang mendukung patogen, dan tanaman
inang yang lemah.
Pengendalian penyakit tanaman dapat dilakukan agar kejadian penyakit tidak
merugikan secara ekonomi atau berpotensi dapat menyebar luas. Metode pengen-
dalian penyakit tanaman bervariasi tergantung dari jenis patogen, jenis inang, dan
interaksi keduanya. Berbagai cara pengendalian dapat dikelompokkan ke dalam
pengendalian dengan implementasi peraturan perundang-undangan dan kegiatan
kultur teknis, hayati, fisik, dan kimiawi yang tergantung pada sifat agensia yang
digunakan (Agrios, 1996).
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mengidentifikasi jenis-jenis hama
dan penyakit yang menyerang manglid, serta mencari cara pengendaliannya yang
efektif dan efisien. Informasi ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam program
pembangunan hutan manglid, baik di hutan tanaman maupun di hutan rakyat.
II. Metodologi
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Sodonghilir, Pagerageung, dan
Bojonggambir yang semuanya masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian dari tahun 2012 hingga 2015.
B. Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tanaman manglid,
mikoriza, serta insektisida hayati dan kimia. Alat yang digunakan berupa kantong
plastik, alat tulis, jaring serangga, sprayer, roll meter, kamera, kain kasa, pinset, kuas,
killing bottle, cawan petri, dan botol kecil.
E. Suhaendah & A. Winara
86 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
C. Metode Pelaksanaan
1. Identifikasi Jenis Hama
Pada seiap lokasi pengamatan dibuat plot-plot pengamatan dengan pengam-
bilan sampel sebesar 10% dari luas pengamatan. Plot pengamatan berukuran 20 m x
20 m. Pada setiap petak, pengamatan menggunakan jaring serangga. Serangga-
serangga yang berhasil ditangkap dimasukkan ke dalam killing bottle yang selan-
jutnya dilakukan pemilahan koleksi dan identifikasi.
2. Identifikasi Jenis Penyakit
Identifikasi jenis penyakit dilakukan secara morfologis melalui isolasi patogen
dan postulat Kohc, atau melalui identifikasi gejala penyakit bagi penyakit yang telah
dikenal sebelumnya. Identifikasi penyakit mengacu pada Agrios (2004).
3. Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit
Metode yang digunakan adalah metode eksperimen. Kajian dilakukan untuk
menguji beberapa jenis pestisida yang efektif mengandalikan hama dan penyakit
manglid.
III. Hasil dan Pembahasan
A. Hama pada Manglid
1. Jenis-Jenis Hama Manglid
a. Hama Pengisap (Urostylis sp.)
Hama ini merupakan hama kepik yang mengisap tanaman manglid. Hama ini
diklasifikasikan dalam ordo Hemiptera, famili Urostylidae, dan genus Urostylis.
Famili Urostylidae biasanya berbentuk memanjang dengan ukuran panjang sekitar
3,5–14 mm, serta memiliki kaki panjang dan kepala kecil. Urostylide tersebar di Asia
bagian selatan dan timur, serta mencapai utara ke timur Palearctic dan arah barat
daya ke Papua New Guinea. Urostylidae terdiri dari dua subfamili dan sekitar enam
genus dengan lebih dari 80 spesies yang telah dikenal (Ren & Lin, 2003). Stadium
Hama dan Penyakit Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 87
serangga yang menjadi hama merupakan stadium nimfa dan dewasa. Serangga ini
memakan getah tanaman. Stadium dewasa dari Urostylis sp. berwarna cokelat,
sedangkan stadium nimfanya berwarna kuning kehijauan (Gambar 1). Gejala
serangan hama ini adalah rontoknya bagian pucuk tanaman dan tangkai pucuk
berwarna cokelat. Bahkan, serangan yang parah menyebabkan tanaman kering dan
mati. Menurut Hosain & Nizam (2004), jenis Urostylis punctigera dilaporkan
menyerang Michelia campaca L. yang menyebabkan kerusakan cukup berarti pada
pola monokultur.
Gambar 1. Urostylis sp. pada stadium dewasa (a) dan stadium nimfa (b), serta gejala
serangannya (c)
b. Hama Penggulung Daun
Hama penggulung daun merupakan jenis serangga hama dari ordo Lepidop-
tera, famili Tortricidae, genus Sorolopha, dan spesies Sorolopha camarotis. Famili
Tortricidae adalah salah satu famili yang terbesar dari Microlepidoptera dengan
sekitar 1.200 jenis dan terbanyak anggotanya adalah ngengat. Kelompok ini
beranggotakan sejumlah hama yang penting (Borror & Johnson, 1996). Sorolopha
camarotis pernah dilaporkan menyerang Michelia campaca (Diakonoff, 1973).
Stadium serangga yang menyerang tanaman manglid adalah stadium larva. Imago
meletakkan telur pada permukaan daun, kemudian larva instar awal menggerek
masuk ke dalam jaringan daun. Larva pun hidup berkembang dan makan di dalam
gulungan daun (Gambar 2). Rusaknya daun tersebut dapat menyebabkan terham-
batnya pertumbuhan manglid.
a b c
E. Suhaendah & A. Winara
88 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Gambar 2. Sorolopha camarotis. A. larva, b. imago.
c. Hama Penghisap batang (Hamamelistes sp.)
Hama penghisap batang atau hama kutu putih termasuk ke dalam ordo
Hemiptera, famili Aphididae, dan genus Hamamelistes. Ciri khas hama ini adalah
tubuhnya ditutupi malam atau lapisan lilin berwarna putih yang berfungsi sebagai
pelindung (Borror et al., 1996; Kalshoven & Van der Laan, 1981) (Gambar 3).
Tubuh kutu lunak berwarna cokelat kemerah-merahan dan berukuran kecil (±1
mm). Kutu putih bersifat partenogenesis sehingga dapat menghasilkan keturunan
yang banyak dalam waktu singkat. Hal ini menyebabkan populasi hama dalam satu
pohon manglid sangat banyak sehingga pohon menjadi merana, bahkan mati.
Kutu putih mengisap cairan tanaman tumbuhan inang. Kutu berada di batang
pohon, cabang, ranting, hingga ke pucuk. Kutu menyerang manglid mulai dari umur
satu tahun hingga umur tegakan akhir daur. Kerusakan pada tanaman manglid
terjadi jika populasi kutu tinggi. Kerusakan yang terjadi pada manglid yang berumur
muda, antara lain daun berwarna kuning, rontok, dan kering. Pada pohon besar,
dampak kerusakan kutu terlihat pada warna tajuk menjadi hijau kusam dan tipis
karena daun yang rontok. Penampakan yang berbeda jika dibandingkan dengan po-
hon besar yang sehat, yaitu tajuknya lebat dan berwarna hijau pekat. Serangan ini
terjadi pada musim kemarau.
Penyebaran dan fluktuasi populasi kutu putih dipengaruhi oleh adanya
penghalang berupa bentang alam (jurang/bukit), ada atau tidaknya vegetasi lain, dan
musim. Tegakan manglid yang memiliki penghalang bentang alam dan vegetasi lain
a b
Hama dan Penyakit Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 89
yang tinggi cenderung lebih lambat terserang dibandingkan dengan tegakan manglid
pada bentang alam terbuka dan sedikit atau tidak memiliki vegetasi lain. Serangan
kutu putih meningkat pada musim kemarau. Namun demikian, kutu putih masih
terdapat pada tegakan manglid pada musim hujan, meskipun populasinya terbatas.
Pada serangan berat, tanaman menjadi merana, kemudian mati.
Gambar 3. Kutu putih Hamamelistes sp.
d. Hama Kumbang (Sastra sp.)
Hama kumbang yang menyerang manglid termasuk ke dalam ordo Coleop-
tera, famili Chrysomelidae, subfamili Galerucinae, genus Sastra, dan spesies Sastra
sp. Hama ini merupakan hama pemakan daun. Hama berukuran ±2 cm dan berwar-
na hijau kekuningan. Ciri khas hama ini adalah meninggalkan bekas gigitan berupa
lubang-lubang di daun seperti jala (Gambar 4).
E. Suhaendah & A. Winara
90 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Gambar 4. Sastra sp
Hama kumbang Sastra sp termasuk ke dalam golongan hama minor atau
hama yang relatif kurang penting karena kerusakan yang diakibatkan oleh hama
tersebut masih dapat ditoleransi, baik oleh tanaman maupun petani (Untung, 2006).
Hal yang perlu diperhatikan untuk hama ini adalah monitoring perkembangan hama
karena cara pengelolaan ekosistem tertentu dapat memungkinkan hama minor
berubah status menjadi hama utama.
2. Pengendalian Hama
Untuk mengendalikan suatu hama, ekologi dari hama tersebut harus dipelajari
terlebih dahulu, selanjutnya ekologi populasi, kemudian baru diciptakan atau
direncanakan suatu teknik pengendaliannya. Konsep pengendalian hama pada saat
ini adalah membiarkan hama dalam populasi yang berada di bawah ambang
kerusakan ekonomi.
Maksud dari pengendalian hama adalah memperbaiki kuantitas dan kualitas
hasil produksi tanaman yang diusahakan. Sementara itu, tujuan dari pengendalian
hama adalah mencegah terjadinya kerugian ekonomi dan menaikkan nilai produksi
dari tanaman yang diusahakan. Usaha pengendalian dilakukan apabila biaya yang
dikeluarkan lebih kecil daripada kerugian yang terjadi akibat serangan hama
(Anggraeni, 2012). Untuk mencapai tujuan pengendalian hama, kegiatan pengen-
dalian terintegrasi atau terpadu harus dilakukan (Yunasfi, 2007).
Hama dan Penyakit Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 91
Menurut Gillott (2005), berdasarkan pada strategi ekologi hama, pemilihan
pengendalian hama tergantung dari posisi hama pada spektrum. Spektrum hama
tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Hama r (r Pests)
Hama pada spektrum ini memiliki potensi rata-rata peningkatan populasi
yang disebabkan oleh tingginya kemampuan menghasilkan telur dan generasi yang
pendek. Spektrum ini juga memiliki kemampuan migrasi yang luas, mencari sumber
makanan baru, dan preferensi makanan yang lebih luas. Pengendalian dengan
insektisida yang spesifik dapat mengendalikannya dalam yang waktu singkat.
Kelompok yang termasuk hama r adalah belalang, aphid, lalat, dan lalat rumah.
b. Hama K (K Pests)
Spektrum ini memiliki ciri menghasilkan telur yang yang lebih rendah dan
generasi yang lebih panjang. Kemampuan migrasinya pun rendah dan ditemukan
pada suatu habitat dengan periode waktu yang lama. Teknik pengendalian yang
sesuai untuk spektrum hama ini adalah pengendalian dengan teknik budi daya dan
pengendalian secara genetik.
c. Hama Menengah (Intermediate Pests)
Sebagian besar hama termasuk ke dalam golongan spektrum hama menengah,
seperti hama perusak daun dan perusak akar. Hama memiliki potensi reproduksi
yang relatif tinggi. Hama ini memiliki musuh alami yang relatif banyak sehingga
teknik pengendalian yang sesuai untuk spektrum hama ini adalah pengendalian
secara biologis dengan menggunakan musuh alami dan bisa ditambah dengan
pengendalian menggunakan insektisida jika dianggap penting.
Berdasarkan paparan di atas, jenis hama pengisap Urostylis sp dan hama kutu
putih Hammamelistes sp termasuk ke dalam kategori hama r sehingga pengendalian
yang sesuai untuk jenis hama tersebut adalah dengan penggunaan insektisida yang
spesifik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan insektisida berbahan
E. Suhaendah & A. Winara
92 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
aktif Bacillus thuringiensis dengan dosis 5 ml/liter cukup efektif mengendalikan
Urostylis sp. dan Hammamelistes sp.
Jenis hama perusak daun, yaitu hama penggulung daun Sorolopha camarotis
dan hama kumbang Sastra sp., termasuk jenis hama menengah (intermediate pests).
Pengendalian yang sesuai untuk jenis hama tersebut adalah dengan menggunakan
musuh alami (secara biologis) dan jika diperlukan dapat menggunakan insektisida.
Berdasarkan pengamatan, musuh alami Sorolopha camarotis yang ditemukan, antara
lain semut (Polyrhachis spp.), tawon (Polytes sp.), dan laba-laba; sedangkan musuh
alami Sastra sp. yang ditemukan adalah laba-laba (Suhaendah, 2014). Oleh karena
itu, upaya konservasi musuh alami diperlukan agar musuh alami tersebut dapat
berperan secara optimal dalam mengendalikan hama. Menurut Aminatun (2009),
terdapat beberapa cara konservasi musuh alami, antara lain:
1) Pengurangan frekuensi pestisida.
2) Penggunaan pestisida yang yang ramah lingkungan.
3) Penanaman bunga sebagai sumber nektar.
4) Penyemprotan air gula atau protein untuk menarik musuh alami.
5) Perilaku tidak merusak sarang lebah.
6) Penanaman tanaman alternatif sebagai tempat bagi serangga (nonhama) mangsa.
7) Budi daya dengan pola tumpang sari atau tumpang gilir.
8) Penggunaan tanaman penutup tanah sebagai tempat berlindung musuh alami.
B. Penyakit pada Manglid
1. Jenis-Jenis Penyakit Manglid
a. Penyakit Busuk Pangkal Batang dan Busuk Akar
Pada skala persemaian, bibit manglid dapat terserang penyakit busuk pangkal
batang (Gambar 5a), sedangkan tegakan manglid di masyarakat dapat terserang
penyakit busuk akar (Gambar 5b). Jenis patogen yang menyebabkan penyakit busuk
pangkal batang dan busuk akar belum diketahui secara pasti. Secara umum, penyakit
busuk pangkal batang dan penyakit akar biasanya disebabkan oleh patogen tular
Hama dan Penyakit Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 93
tanah yang besifat parasit fakultatif , yaitu dapat bertahan hidup sebagai saprofit di
dalam tanah dan menjadi parasit apabila menginfeksi tanaman inang yang masih
hidup (Anggraeni & Lelana, 2011). Penyakit akar banyak menyerang hutan
tanaman yang biasanya disebabkan oleh daya adaptasi tanaman yang rendah
terhadap lingkungan baru atau tertular oleh tanaman lainnya. Adapun beberapa
patogen yang menyebabkan penyakit akar, seperti busuk akar merah pada akasia dan
sengon oleh fungi Ganoderma pseudoferreum, busuk akar putih pada akasia oleh
fungi Rigidoporus microporus, dan penyakit busuk akar pada eukaliptus oleh fungi
Phytophtora dan Botryodiplodia (Widyastuti et al., 2005).
Gambar 5. Gejala penyakit pada manglid: busuk pangkal batang (a), busuk akar (b), dan
bercak daun (c)
b. Penyakit Bercak Daun
Selain penyakit akar, tegakan manglid dapat terserang suatu gejala penyakit
lain yaitu bercak daun (Gambar 5c) dengan kejadian penyakit masih tergolong
ringan dan tidak menyebabkan kematian pohon. Meskipun tidak menyebabkan
kematian, penyakit bercak daun banyak menyebabkan tanaman manglid menjadi
kerdil karena terhambatnya proses fotosintesis pada daun. Adapun patogen penye-
bab penyakit ini belum diketahui hingga saat ini. Pada genus yang sama, yaitu
Magnolia elegans , dilaporkan terserang oleh penyakit bercak daun yang disebabkan
oleh fungi Colletotricum sp. (Irawan et al., 2015).
b c a
E. Suhaendah & A. Winara
94 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
2. Pengendalian Penyakit Manglid
Pengendalian penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar dapat dilakukan
melalui pemberian agen antagonis jenis Trichoderma spp. pada media semai atau
pada tanaman di tingkat lapangan. Pemberian Trichoderma spp. untuk mencegah
patogen tular tanah yang biasa menyebabkan penyakit akar dan busuk pangkal
batang. Hal ini mengacu pada beberapa hasil penelitian Berlian et al. (2013) dan
Sunarwati dan Yoza (2010) yang menyatakan bahwa Tricoderma spp. efektif untuk
mengendalikan beberapa patogen tular tanah, seperti penyakit busuk pangkal akar
pada durian dengan mekanisme antagonis berupa parasitisme dan lisis dinding sel.
Selain itu, pemupukan dengan menggunakan pupuk biologis dari fungi mikoriza
arbuskula dapat pula dilakukan untuk membantu ketahanan inang terhadap
serangan penyakit. Fungi mikoriza dapat membantu tanaman dalam penyediaan
unsur hara dan air, terutama ketika terjadi cekaman air dan hara makro yang terjerap
pada tanah.
IV. Kesimpulan
Pembangunan hutan manglid memiliki potensi gangguan berupa kejadian
serangan hama dan penyakit, baik pada tingkat persemaian maupun tegakan.
Terdapat beberapa hama yang tergolong berpotensi merugikan secara ekonomi
karena dapat menyebabkan kematian tegakan, yaitu hama pengisap Hamamelistes
sp. dan Urostylis sp. Upaya pengendalian hama tersebut dapat dilakukan secara
kuratif dengan penyemprotan insektisida biologis jenis Bacillus thuringiensis.
Sementara itu, serangan penyakit yang berpotensi merugikan adalah busuk akar pada
tegakan hingga menyebabkan kematian. Adapun upaya pengendaliannya dapat
menggunakan agen antagonis Tricoderma spp.
Daftar Pustaka
Agrios, G. N. (1996). Ilmu penyakit tumbuhan. Gajah Mada Universitas Press,
Yogyakarta.
Hama dan Penyakit Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 95
Aminatun, T. (2009). Teknik konservasi musuh alami untuk pengendalian hayati.
UNY, Mei, 61-69.
Anggraeni, I. (2012). Penyakit karat tumor pada sengon dan hama cabuk lilin pada
pinus: Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor, Badan Litbang
Kehutanan
Anggraeni, I., Intari, S. E., & Darwiati, W. (2006). Hama dan penyakit hutan
tanaman. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Anggraeni, I., & Lelana, N. (2011). Diagnosis penyakit tanaman hutan: Pusat
Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan.
Berlian, I., Setyawan, B., & Hadi, H. (2013). Mekanisme antagonisme
Trichoderma spp. terhadap beberapa patogen tular tanah. Warta Perkaretan,
32(2), 74-82.
Borror, D., A, T. C., & Johnson, N. (1996). Pengenalan pelajaran serangga: Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Diakonoff, A. (1973). The South Asiatic Olethreutini:(Lepidoptera Tortricidae)
(Vol. 1): Brill Archive.
Gillott, C. (2005). Entomology: Springer Science & Business Media.
Hosain, M. K., & Nizam, M. Z. U. (2004). Michelia champaca L Species
Description Part III. In B. Institute of Forestry and Environmental Sience
(Ed.).
Irawan, A., Anggraeni, I., & Christita, M. (2015). Identifikasi penyebab penyakit
bercak daun pada bibit cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H. Keng) dan
teknik pengendaliannya. Jurnal Wasian, 2(2), 87-94.
Kalshoven, L. G. E., & Van der Laan, P. (1981). Pests of crops in Indonesia. Pests
of crops in Indonesia.(Revised).
E. Suhaendah & A. Winara
96 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Ren, S.-Z., & Lin, C.-S. (2003). Revision of the Urostylidae of Taiwan, with
descriptions of three new species and one new record (Hemiptera-
Heteroptera: Urostylidae). Formosan Entomol, 23, 129-143.
Suhaendah, E. (2014). Musuh alami hama pada agroforestry mnaglid (Manglieta
glauca Bl.). Paper presented at the Seminar Nasional Agroforestry V, Ambon.
Sumardi, & Widyastuti, S. (2007). Dasar-dasar perlindungan hutan: Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Sunarwati, D., & Yoza, R. (2010). Kemampuan Trichoderma dan Penicillium
dalam menghambat pertumbuhan cendawan penyebab penyakit busuk akar
durian. Paper presented at the Seminar Nasional Program dan Strategi
Pengembangan Buah Nusantara, Solok.
Untung, K. (2006). Pengantar pengendalian hama terpadu. Universitas Gadjah
Mada Press. Yogyakarta.
Wainhouse, D. (2005). Ecological methods in forest pest management: Oxford
University Press on Demand.
Widyastuti, S., Sumardi, & Harjono. (2005). Patologi hutan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Yunasfi. (2007). Permasalahan hama, penyakit, dan gulma dalam pembangunan
hutan tanaman industri dan usaha pengendaliannya. Medan: Dep.
Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
MANAJEMEN OPTIMAL TEGAKAN MANGLID
BAB IV
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 99
Daur Optimal Hutan Rakyat Manglid di Kecamatan Kawalu,
Tasikmalaya, Jawa Barat
Yonky Indrajaya1
ABSTRAK
Penentuan daur tebang dari suatu hutan tanaman termasuk hutan rakyat merupakan langkah
penting dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari pengusahaan
hutan tanaman. Penelitian ini bertujuan menganalisis daur optimal hutan rakyat manglid di
Kecamatan Kawalu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah memaksimalkan keuntungan yang dapat diperoleh dari kayu
manglid pada semua daur. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran pertumbuhan
tegakan manglid dan wawancara dengan petani manglid. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa daur optimal biologis tegakan manglid adalah 16,5 tahun dan daur Faustmann
tegakan manglid adalah 13,5 tahun. Peningkatan harga kayu, tingkat suku bunga, dan
tingkat produktivitas akan memperpendek daur Faustmann, sedangkan peningkatan biaya
pembangunan hutan akan memperpanjang daur Faustmann.
Kata kunci: manglid, hutan rakyat, daur optimal, daur Faustmann, keuntungan
I. Pendahuluan
Jenis manglid (Magnolica champaca) banyak dikembangkan oleh masyakarat
di Tasikmalaya karena pohon ini cepat tumbuh, kayunya mengkilat, strukturnya
padat, halus, ringan, dan mudah dikerjakan (Puspitodjati et al., 2009). Keputusan
waktu memanen merupakan keputusan penting bagi pengusaha atau petani hutan
manglid untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sementara itu, Darusman
dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa penentuan waktu tebang umumnya
didasarkan pada kebutuhan petani (daur butuh) yang belum tentu memberikan
keuntungan maksimal.
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis
46201; Email: [email protected]
Y. Indrajaya
100 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Rimbawan pada umumnya menggunakan metode kulminasi maksimum atau
daur biologis dalam menentukan daur optimal suatu tegakan hutan tanaman, yaitu
waktu di mana riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment/MAI) sama dengan
riap tahun berjalan (Current Annual Increment/CAI) (Amacher et al., 2009;
Bettinger et al., 2009). Namun, penentuan daur optimal ini pun belum tentu
memberikan keuntungan yang maksimal bagi petani. Penentuan daur finansial
Faustmann merupakan metode yang paling tepat dalam menentukan daur optimal
suatu tegakan hutan dalam konteks teori kapital (Samuelson, 1976). Beberapa
penelitian tentang penentuan daur beberapa jenis tegakan telah dilakukan
menggunakan metode Faustmann, di antaranya di Amerika (van Kooten et al.,
1995; Chang, 2001), Eropa (Tassone et al., 2004; Olschewski & Benitez, 2010), dan
Indonesia (Indrajaya, 2013; Indrajaya & Siarudin, 2013).
Tulisan ini bertujuan menganalisis daur optimal tegakan manglid yang
dibudidayakan oleh masyarakat di Kecamatan Kawalu, Kabupaten Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat. Daur optimal biologis dan finansial akan dibahas dalam tulisan
ini untuk memberikan gambaran perbedaan keduanya. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan kepada pengelola hutan tanaman manglid
agar mendapatkan keuntungan yang maksimal.
.
II. Metodologi
A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Kawalu merupakan kecamatan yang terletak di wilayah Kota
Tasikmalaya yang memiliki luas sekitar 42,77 km2 dan terdiri dari 10 kelurahan.
Penggunaan lahan di Kecamatan Kawalu sebagian besar merupakan lahan pertanian,
yaitu sawah seluas 1.247 ha dan kebun campuran seluas 1.050 ha (terdiri dari 42 ha
pekarangan, 663 ha tegalan, dan 345 ha hutan rakyat). Di lahan kebun campuran
inilah para petani umumnya menanam jenis kayu-kayuan yang salah satu jenisnya
adalah manglid. Rata-rata temperatur di lokasi penelitian adalah 20–34o C dengan
rata-rata curah hujan tahunan sebesar 2.072 mm dan rata-rata jumlah hari hujan
sebanyak 82 hari (Puspitodjati et al., 2009). Kondisi tempat tumbuh di lokasi
Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 101
penelitian relatif cocok untuk manglid berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Chat
(2002).
B. Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan meliputi (1) data pertumbuhan tegakan manglid,
yaitu tinggi dan diameter, serta populasi pohon manglid dalam satu hektare; dan (2)
data ekonomi, yaitu total biaya dan pendapatan (seperti biaya pembangunan hutan
tanaman manglid, biaya pemanenan, dan harga kayu), serta data tingkat suku bunga
riil dalam 10 tahun terakhir. Pengukuran tinggi dan diameter pohon manglid dila-
kukan sejak tahun 2010 hingga 2014 pada tiga petak ukur yang masing-masing
berukuran 625 m2. Untuk menambah data pertumbuhan, pengukuran juga dilakukan
di luar plot penelitian, yaitu di lahan masyarakat dengan umur berbeda (8 tahun dan
10 tahun). Estimasi volume pohon diperoleh dengan persamaan:
(1)
Dalam persamaan di atas, nilai V adalah volume pohon (m3), D adalah
diameter pohon (m), H adalah tinggi total pohon (m), dan f adalah faktor angka
bentuk pohon (tidak memiliki satuan). Mengingat belum adanya studi tentang
faktor angka bentuk pohon manglid, faktor angka bentuk yang digunakan dalam
penelitian ini adalah faktor angka bentuk pohon jabon, yaitu 0,47 (Krisnawati et al.,
2011a). Hal ini karena secara fisiologis pohon manglid mirip dengan pohon jabon.
Untuk mengetahui volume tegakan manglid pada kelas umur >10 tahun,
pemodelan hubungan dibuat antara umur A (dalam bulan) dengan diameter D (cm)
dan tinggi H (meter) (Siarudin et al., 2014), yaitu:
(2)
(3)
Untuk mengestimasi jumlah pohon per hektare, perhitungan menggunakan
data kematian pohon dan intensitas penjarangan yang dilakukan di plot penelitian.
Y. Indrajaya
102 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Estimasi jumlah pohon per hektare setelah dikurangi dengan tingkat kematian yang
terjadi diperoleh dengan persamaan:
(4)
Mengingat tingkat kerapatan yang cukup tinggi pada saat penanaman, pen-
jarangan dengan intensitas yang bervariasi perlu dilakukan. Intensitas penjarangan
yang dianjurkan untuk tegakan manglid yang diperuntukkan sebagai kayu
pertukangan nilainya hingga sebesar 50% pada tahun ke-5, ke-9, dan ke-15 (Chat,
2002). Dalam penelitian ini, pengurangan jumlah pohon per hektare diasumsikan
sebanyak 5,1% dari jumlah pohon pada tahun sebelumnya dan mengikuti rata-rata
tingkat kematian pohon manglid dari umur 0–4 tahun di lokasi penelitian. Pohon
yang dijarangi termasuk pohon yang mati dan tertekan. Kayu hasil penjarangan
diasumsikan tidak dijual sehingga tidak diperhitungkan sebagai pendapatan dalam
perhitungan keuntungan.
Data ekonomi (seperti biaya pembangunan hutan, biaya pemanenan, dan
harga kayu) dan teknik pengelolaan hutan rakyat manglid (seperti jarak tanam)
diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap petani. Tingkat suku bunga riil
diperoleh dari data sekunder yang diperoleh dari Bank Dunia.
C. Penentuan Daur Optimal Tegakan Manglid
1. Daur Biologis
Daur biologis merupakan daur yang digunakan untuk memperoleh hasil
produksi kayu yang maksimal (Bettinger et al., 2009). Daur ini dihitung berdasarkan
riap volume rata-rata tahunan (MAI) sama dengan riap volume tahun berjalan
(CAI) = [S merupakan stok kayu pada waktu T]. Daur biologis
banyak digunakan oleh para rimbawan dengan argumentasi bahwa pohon secara
alami akan mencapai puncak pertumbuhannya, kemudian akan tua dan mati.
Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 103
2. Daur Finansial
Penentuan daur finansial atau daur Faustmann dilakukan dengan mengguna-
kan pendekatan Net Present Value (NPV) dari tegakan manglid dalam rotasi tak
terhingga (Amacher et al., 2009). Apabila memperhitungkan seluruh biaya dan
pendapatan dari seluruh rotasi, keuntungan yang diperoleh dapat maksimal.
Persamaan NPV untuk rotasi tak terhingga atau daur Faustmann adalah sebagai
berikut:
(5)
(6)
Dalam rumus di atas, nilai p adalah harga kayu neto biaya penebangan per m3,
C adalah biaya pembangunan hutan tanaman manglid, dan i merupakan suku bunga
riil. Kondisi untuk daur optimal Faustmann adalah ketika keuntungan marginal dari
menunda penebangan setara dengan biaya kesempatan yang disebabkan oleh
penundaan tersebut, yaitu:
(7)
Terminologi menunjukkan jumlah nilai dari lahan dan stok
kayu pada waktu pemanenan. Apabila diganti dengan terminologi dari
sisi kanan persamaan (5) dan menata kembali persamaan (7), persamaan (8) pun
akan diperoleh. Persamaan (8) ini digunakan untuk memberikan ilustrasi secara
grafis, sebagai berikut:
(8)
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui perubahan faktor-faktor
eksogen (seperti suku bunga riil, harga kayu, dan produksi) terhadap daur optimal
finansial Faustmann.
Y. Indrajaya
104 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
III. Hasil dan Pembahasan
A. Daur Biologis
Berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan (1), (2), dan (3) maka
dapat dibuat model pertumbuhan volume tegakan manglid. Jarak tanam awal
tegakan manglid adalah 2 m x 2 m sehingga jumlah pohon pada saat penanaman
sebanyak 2.500 pohon/ha. Hasil dari estimasi pertumbuhan volume per hektare
tegakan manglid dapat disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Estimasi volume per hektare tegakan manglid
Umur
(tahun)
Dbh
(cm)
Tinggi
total (m)
Populasi
(pohon/ha)
Volume
(m3/ha)
CAI
(m3/ha)
MAI
(m3/ha)
0 - - 2.500 - - -
1 2,60 1,58 2.373 0,93 0,93 0,93
2 4,42 3,96 2.252 6,44 5,51 3,22
3 6,04 5,36 2.137 15,41 8,97 5,14
4 7,53 6,35 2.028 26,96 11,55 6,74
5 8,93 7,12 1.924 40,41 13,45 8,08
6 10,28 7,75 1.826 55,22 14,81 9,20
7 11,57 8,28 1.733 70,95 15,73 10,14
8 12,82 8,74 1.645 87,26 16,30 10,91
9 14,03 9,15 1.561 103,84 16,58 11,54
10 15,21 9,51 1.481 120,45 16,61 12,04
11 16,37 9,84 1.406 136,90 16,45 12,45
12 17,50 10,14 1.334 153,02 16,12 12,75
13 18,61 10,42 1.266 168,68 15,66 12,98
14 19,70 10,67 1.201 183,77 15,10 13,13
15 20,77 10,91 1.140 198,22 14,44 13,21
16 21,83 11,13 1.082 211,95 13,73 13,25
17 22,87 11,34 1.027 224,91 12,96 13,23
18 23,90 11,54 974 237,08 12,16 13,17
19 24,91 11,72 925 248,42 11,34 13,07
20 25,91 11,90 878 258,92 10,50 12,95
Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 105
Umur
(tahun)
Dbh
(cm)
Tinggi
total (m)
Populasi
(pohon/ha)
Volume
(m3/ha)
CAI
(m3/ha)
MAI
(m3/ha)
21 26,90 12,07 833 268,58 9,66 12,79
22 27,88 12,23 790 277,40 8,82 12,61
23 28,85 12,38 750 285,38 7,99 12,41
24 29,80 12,53 712 292,55 7,17 12,19
25 30,75 12,67 675 298,91 6,36 11,96
Keterangan: Dbh = diameter setinggi dada, MAI = riap rata-rata tahunan, CAI = riap tahun
berjalan
Berdasarkan Tabel 1, pertumbuhan tegakan manglid di lokasi penelitian
relatif lambat dengan riap rata-rata tahunan (MAI) tertinggi sebesar 13,25 m3/tahun
pada tahun ke-16. Padahal, jenis hutan rakyat lain seperti jabon dapat mencapai nilai
MAI hingga 30 m3 pada tahun ke-3 (Indrajaya & Siarudin, 2013) atau sengon yang
dapat mencapai nilai MAI hingga 20 m3 pada tahun ke-9 (Krisnawati et al., 2011b).
Daur biologis tegakan manglid di lokasi penelitian adalah 16,5 tahun, yaitu ketika
nilai rata-rata riap volume tahunan (MAI) sama dengan riap volume tahun berjalan
(CAI), seperti disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Daur biologis optimal tegakan manglid
Y. Indrajaya
106 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Mengingat pertumbuhan manglid relatif lebih lambat dibandingkan dengan
jenis hutan rakyat yang lain (sengon dan jabon), daur biologisnya pun menjadi relatif
lebih panjang. Daur biologis optimal tegakan sengon sekitar 5–7 tahun pada kualitas
tempat tumbuh (bonita) II–IV (Indrajaya, 2013). Sementara itu, daur biologis
optimal tegakan jabon adalah lima tahun (Indrajaya & Siarudin, 2013).
B. Daur Finansial
Daur finansial ditentukan menggunakan pendekatan daur Faustmann dengan
beberapa asumsi, yaitu (1) pemanenan tegakan manglid dilakukan secara tebang
habis; (2) permudaan dilakukan pada tahun yang sama dengan penebangan melalui
bibit; (3) tingkat harga, suku bunga riil, dan pertumbuhan pohon telah diketahui
dan tetap (Indrajaya & Siarudin, 2013). Berdasarkan wawancara dengan responden,
harga kayu manglid adalah Rp1 juta/m3 dengan biaya pemanenan Rp50 ribu/m3.
Dengan demikian, estimasi biaya pembangunan hutan tanaman manglid sebesar
Rp18,8 juta/ha seperti dijelaskan dalam Lampiran 1. Suku bunga riil yang
digunakan dalam perhitungan sebesar 4% yang merupakan rata-rata suku bunga riil
selama 10 tahun terakhir (World Bank, 2013). Berdasarkan perhitungan meng-
gunakan persamaan (8), daur finansial optimal tegakan manglid adalah 13,5 tahun
(Gambar 2).
Gambar 2. Daur optimal finansial tegakan manglid
Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 107
Gambar 2 menunjukkan bahwa pada tahun ke-13,5, petani akan memperoleh
hasil yang maksimal apabila menebang tegakan manglidnya dibandingkan dengan
menebang pada tahun ke-16,5 (daur biologisnya). Pertumbuhan yang relatif lambat
pada tegakan manglid ini menyebabkan daur optimal finansial lebih pendek diban-
dingkan dengan daur biologisnya. Hal ini serupa dengan jenis-jenis hutan tanaman
yang relatif lambat pertumbuhannya seperti Douglas fir di Amerika (Perman et al.,
2003). Namun, kondisi ini berbeda dengan jenis hutan rakyat yang lain yang dikem-
bangkan di Indonesia, seperti sengon atau jabon, yang mana pertumbuhannya relatif
cepat sehingga daur finansialnya sama dengan daur biologisnya (Indrajaya, 2013;
Indrajaya & Siarudin, 2013).
C. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk menguji seberapa sensitif hasil dari
perhitungan daur Faustmann dipengaruhi oleh parameter-parameter yang diguna-
kan sebagai input. Parameter input ini merupakan parameter eksogen, yaitu
parameter yang tidak dipengaruhi oleh parameter di dalam model optimasi. Salah
satu parameter ini adalah harga kayu. Harga kayu manglid yang digunakan dalam
analisis sensitivitas ini adalah Rp500 ribu dan Rp1,5 juta.
Gambar 3. Daur Faustmaan tanaman manglid pada beberapa tingkat harga kayu
Y. Indrajaya
108 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Gambar 3 menunjukkan bahwa peningkatan harga kayu manglid akan mem-
perpendek daur Faustmann. Sebaliknya, penurunan harga akan memperpanjang
daur Faustmann. Harga kayu yang semakin tinggi akan menyebabkan nilai sekarang
menjadi lebih tinggi dan kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan dari daur
berikutnya akan menjadi lebih tinggi sehingga keputusan untuk mempercepat pema-
nenan kayu menjadi pilihan yang tepat.
Parameter eksogen lain yang kemungkinan dapat berubah adalah tingkat suku
bunga riil yang disebabkan oleh perubahan kondisi makro ekonomi yang berakibat
pada berubahnya tingkat inflasi. Tingkat suku bunga yang digunakan dalam analisis
sensitivitas ini adalah 1% dan 7%. Daur Faustmann pada beberapa tingkat suku
bunga disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Daur Faustmann tanaman manglid pada beberapa tingkat suku bunga
Gambar 4 menunjukkan bahwa pada tingkat suku bunga 1%, daur Faustmann
sama dengan daur biologisnya, yaitu 16,5 tahun. Sementara itu, pada tingkat suku
bunga 7%, daur Faustmann menjadi 11,5 tahun. Selain harga kayu dan tingkat suku
bunga riil, parameter eksogen yang mungkin berubah adalah biaya pembangunan
hutan. Daur Faustmann pada beberapa biaya pembangunan hutan dapat disajikan
dalam Gambar 5. Dalam analisis sensitivitas ini, perhitungan diujicobakan pula bila
Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 109
biaya pembangunan hutan manglid naik menjadi Rp2 juta dan Rp35 juta. Gambar 5
menunjukkan bahwa peningkatan biaya pembangunan hutan dapat menyebabkan
daur Faustmann menjadi lebih panjang.
Gambar 5. Daur Faustmann tanaman manglid pada beberapa biaya pembangunan hutan
Selain itu, penanaman hutan tanaman manglid umumnya dilakukan secara
monokultur sehingga tegakan manglid relatif rentan terhadap serangan hama dan
penyakit. Analisis sensitivitas terhadap penurunan produksi kayu telah pula dilaku-
kan di hutan alam (Yuniati, 2011). Apabila diasumsikan penurunan produksi sebesar
25% dan 50%, nilai NPV pun akan berkurang. Daur Faustmann pada beberapa
penurunan produksi kayu manglid disajikan dalam Gambar 6.
Gambar 6 menunjukkan bahwa penurunan produksi kayu manglid sebesar
25% dan 50% akan memperpendek daur Faustman berturut-turut menjadi 10,5 dan
6,5 tahun. Semakin tinggi tingkat penurunan produksi kayu, keputusan untuk
mempercepat waktu pemanenan dapat meningkatkan keuntungan yang diperoleh.
Y. Indrajaya
110 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Gambar 6. Daur Faustmann tanaman manglid pada beberapa tingkat penurunan produksi
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Daur optimal biologis tegakan manglid adalah 16,5 tahun dan daur
Faustmann tegakan manglid adalah 13,5 tahun. Peningkatan harga kayu, tingkat
suku bunga, dan tingkat produktivitas akan memperpendek daur Faustmann.
Sebaliknya, peningkatan biaya pembangunan hutan akan memperpanjang daur
Faustmann.
B. Saran
Petani manglid sebaiknya menggunakan daur Faustmann agar dapat mem-
peroleh keuntungan yang maksimal. Daur biologis ataupun daur butuh tidak
memberikan keuntungan yang maksimal karena tidak mempertimbangkan faktor
ekonomi dalam penentuan daurnya. Penelitian manajemen optimal hutan manglid
yang dilakukan menggunakan pola agroforestri menarik untuk dilakukan mengingat
banyak pula pengusahaan manglid menggunakan pola ini.
Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 111
Daftar Pustaka
Amacher, G.S., Ollikainen, M., Koskela, E., 2009. Economics of forest resources.
MIT Press, Cambridge, Mass.
Bettinger, P., Boston, K., Siry, J.P., Grebner, D.L., 2009. Forest management and
planning. Academic Press, Burlington USA.
Chang, S.J., 2001. One formula, myriad conclusions, 150 years of practicing the
faustmann formula in central Europe and the USA. Forest policy and
economics 2.
Chat, N.B., 2002. Manglietia glauca B1 (M. conifera Dandy). In: Sam, D.D.,
Nghia, N.H. (Eds.), Use of Indigenous Tree Species in Reforestation in
Vietnam. Agricultural Publishing House-Forest Science Institute of Vietnam,
Hanoi Vietnam.
Darusman, D., Hardjanto, 2006. Tinjauan ekonomi hutan rakyat. In, Prosiding
seminar hasil penelitian hasil hutan. Badan Litbang Kehutanan.
Indrajaya, Y., 2013. Penentuan daur optimal hutan tanaman sengon/Paraserianthes
falcataria (L.) Nielsen dengan metode Faustmann. Jurnal Penelitian
Agroforestry 1, 31-40.
Indrajaya, Y., Siarudin, M., 2013. Daur finansial hutan rakyat jabon di Kecamatan
Pekenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman
10, 201-211.
Krisnawati, H., Kallio, M., Kanninen, M., 2011a. Anthocephalus cadamba Miq.:
Ekologi, Silvikultur, Produktivitas. CIFOR, Bogor.
Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., Kanninen, M., 2011b. Paraserianthes
falcataria (L.) Nielsen. Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR, Bogor
Indonesia.
Olschewski, R., Benitez, P.C., 2010. Optimizing joint production of timber and
carbon sequestration of afforestation projects. J Forest Econ 16, 1-10.
Y. Indrajaya
112 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Perman, R., Ma, Y., McGilvray, J., Common, M., 2003. Natural resource and
environmental economics. Third Edition. Pearson Education Limited,
England.
Puspitodjati, T., Rohandi, A., Swestiani, D., Sudomo, A., Nadiharto, Y.,
Rahmawan, B., Setiawan, I., 2009. Intensifikasi hutan rakyat untuk
peningkatan produksi pangan melalui pola agroforestry jenis manglid
(Manglieta glauca BI) dan jagung (Zea mays). In. Balai Penelitian Kehutanan
Ciamis, Ciamis.
Samuelson, P.A., 1976. Economics of Forestry in an Evolving Society. Econ Inq 14,
466-492.
Siarudin, M., Indrajaya, Y., Handayani, W., Badrunasar, A., Nurochmah, Y., 2014.
Laporan Hasil Penelitian "Pemanfaatan Lahan Agroforestry untuk
Mendukung Mekanisme REDD+". In. Balai Penelitian Teknologi
Agroforestry, Ciamis.
Tassone, V.C., Wesseler, J., Nesci, F.S., 2004. Diverging incentives for afforestation
from carbon sequestration: an economic analysis of the EU afforestation
program in the south of Italy. Forest policy and economics 6, 567-578.
van Kooten, G.C., Binkley, C.S., Delcourt, G., 1995. Effect of Carbon Taxes and
Subsidies on Optimal Forest Rotation Age and Supply of Carbon Services.
American Journal of Agricultural Economics 77, 365-374.
World Bank, 2013. World Bank Indicator. In: Bank, W. (Ed.), 1960-2012.
Yuniati, D., 2011. Analisis finansial dan ekonomi pembangunan hutan tanaman
Dipterokarpa dengan teknik SILIN (Studi kasus PT Sari Bumi Kusuma,
Kalimantan Barat). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8, 239-249.
Daur Optimal Hutan Rakyat Mangl id…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 113
Lampiran 1. Estimasi biaya pembangunan hutan tanaman manglid per hektare
Komponen biaya Satuan Harga
(Rp) Jumlah
Total
(Rupiah)
I. Biaya Bahan
a. Bibit Buah 1.000 2.500 2.500.000
b. Pupuk organik Kilogram 200 12.500 2.500.000
II. Biaya Operasional
a. Persiapan lahan HOK 30.000 250 7.500.000
b. Pemupukan HOK 30.000 60 1.800.000
c. Penanaman HOK 30.000 60 1.800.000
d. Penyiangan HOK 30.000 60 1.800.000
e. Pengangkutan bahan (bibit,
pupuk, ajir)
HOK 30.000 30 900.000
Total Biaya 18.800.000
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 115
Pengaruh Jasa Lingkungan Karbon Terhadap Daur Optimal
Tegakan Manglid dalam Proyek Aforestasi
Yonky Indrajaya1
ABSTRAK
Salah satu jenis tanaman pohon yang banyak ditanaman di lahan masyarakat di Jawa Barat,
khususnya di wilayah Priangan Timur adalah jenis manglid (Magnolia champaca).
Penentuan rotasi tebang hutan rakyat pada umumnya dilakukan menggunakan rotasi tebang
butuh atau ditebang pada saat masyarakat membutuhkan dana untuk keperluan tertentu.
Penentuan daur finansial Faustmann dapat memberikan keuntungan yang maksimal apabila
hanya memperhitungkan penjualan kayu sebagai satu-satunya sumber pendapatan. Selain
dapat menghasilkan kayu, hutan tanaman juga dapat menyerap karbon dari atmosfer. Tulisan
ini bertujuan mengetahui pengaruh tambahan pendapatan dari penjualan jasa lingkungan
karbon apabila hutan tanaman manglid dibangun dengan tujuan penyerapan karbon
(contohnya proyek aforestasi). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tambahan
pendapatan jasa lingkungan karbon akan memperpanjang rotasi tebang tegakan manglid.
Semakin tinggi harga karbon, semakin panjang rotasi tebang tegakan manglid.
Kata kunci: manglid, daur optimal, aforestasi, jasa lingkungan, karbon
I. Pendahuluan
Salah satu jenis pohon yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Jawa
Barat, khususnya di wilayah Tasikmalaya adalah jenis manglid (Magnolia champaca).
Jenis ini cepat tumbuh, kayunya mengkilat, strukturnya padat, halus, ringan, dan
mudah dikerjakan (Puspitodjati et al., 2009). Pada umumnya, penentuan waktu
tebang tegakan hutan rakyat, termasuk manglid, dilakukan pada saat masyarakat
sedang membutuhkan dana yang cukup besar (Darusman & Hardjanto, 2006),
misalnya untuk membayar sekolah anak, keperluan pernikahan anak, atau untuk
keperluan pembangunan rumah sendiri. Dari perspektif ekonomi, daur yang hanya
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis
46201; Email: [email protected]
Y. Indrajaya
116 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
mempertimbangkan waktu kebutuhan sebagai faktor penentu belum tentu memberi-
kan keuntungan yang maksimal kepada petani.
Waktu tebangan umumnya ditentukan berdasarkan metode daur biologis
(Amacher et al., 2009), yaitu waktu panen adalah ketika riap rata-rata tahunan
(Mean Annual Increment/MAI) sama dengan riap tahun berjalan (Current Annual
Increment/ CAI). Daur tebangan ini sebenarnya belum memberikan keuntungan
yang maksimal bila hanya mempertimbangkan kayu sebagai satu-satunya sumber
pendapatan. Samuelson (1976) dalam reviewnya tentang aspek ekonomi kehutanan
menyatakan bahwa teori Faustmann merupakan teori ekonomi kehutanan yang
paling tepat dalam analisis memaksimalkan keuntungan dari suatu tegakan hutan
tanaman. Daur ini memperhitungkan semua pendapatan yang diperoleh dan biaya
yang dikeluarkan dalam pengelolaan hutan tanaman, yaitu tidak hanya pada satu
daur, namun hingga daur tak terhingga.
Selain dapat memproduksi kayu, hutan tanaman juga berperan dalam penye-
rapan karbon dari atmosfer selama pertumbuhannya sehingga berpotensi untuk
digunakan sebagai kegiatan mitigasi perubahan iklim (Solomon, 2007). Penanaman
pohon hutan pada lahan hutan yang kosong dapat memberikan kontribusi yang
signifikan dalam penyerapan karbon di udara. Beberapa penelitian telah banyak dila-
kukan di Eropa dan Amerika terkait dengan penjualan jasa lingkungan karbon
dalam hutan tanaman (Foley & Galik, 2009; Galinato & Uchida, 2011; Huang &
Kronrad, 2006; Olschewski & Benitez, 2010; Susaeta et al., 2014; Tassone et al.,
2004; van Kooten et al., 1995). Hasilnya adalah penambahan pendapatan dari jasa
lingkungan karbon akan memperpanjang daur optimalnya. Penelitian tentang
pengaruh jasa lingkungan karbon tegakan manglid dengan cara memperpanjang
daur dari daur optimalnya dengan metode Verified Carbon Standard (VCS) telah
dilakukan oleh Indrajaya dan Sudomo (2015). Penelitian tersebut menggunakan
asumsi bahwa tegakan manglid telah ada dan dikelola dengan manajemen tertentu.
Tambahan pendapatan dari penjualan jasa lingkungan karbon dilakukan dengan cara
memperpanjang daur tebangan yang tergantung dari harga karbon. Dengan
demikian, perhitungan baseline karbon tersimpan adalah jumlah karbon tersimpan
Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 117
pada daur optimal bila hanya mempertimbangkan kayu sebagai sumber penda-
patannya.
Tulisan ini bertujuan menganalisis pengaruh tambahan pendapatan yang
dapat diperoleh dari penjualan jasa lingkungan karbon terhadap daur optimal hutan
tanaman manglid yang ditanam pada lahan kosong atau melalui proyek aforestasi.
Berbeda dengan penelitian Indrajaya dan Sudomo (2015), tulisan ini membahas
hutan tanaman manglid yang ditanam dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan dari penjualan jasa lingkungan karbon yang dimulai dari penanaman.
Oleh karena itu, baseline yang digunakan dalam penelitian ini adalah nol.
II. Metodologi
A. Lokasi
Penelitian dilakukan di Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Pada wilayah ini, curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.072 mm dan jumlah hari
hujan rata-rata sebanyak 82 hari dengan temperatur rata-rata sebesar 20–34oC
(Puspitodjati et al., 2009). Lokasi penelitian ini cocok sebagai tempat tumbuh
manglid berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Chat (2002).
B. Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data pertumbuhan
tegakan manglid (seperti perubahan dimensi pohon manglid dan populasinya) dan
data ekonomi tegakan manglid, yaitu data biaya dan pendapatan yang terkait dengan
pengelolaan hutan tanaman manglid (seperti biaya pembangunan hutan tanaman
manglid, biaya pemanenan, harga kayu, dan tingkat suku bunga riil).
Metode memaksimalkan keuntungan dengan penentuan waktu tebang (daur)
optimal Faustmann digunakan untuk mengetahui pengaruh tambahan pendapatan
jasa lingkungan karbon terhadap daur optimal tegakan manglid dalam proyek
aforestasi. Pendekatan model Faustmann merupakan perhitungan Net Present Value
(NPV) dengan memperhitungkan seluruh biaya dan pendapatan dari seluruh daur
Y. Indrajaya
118 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
sehingga keuntungan yang diperoleh maksimal. Pendekatan ini menotasikan p
sebagai harga kayu neto biaya penebangan per m3, K sebagai biaya pembangunan
hutan tanaman manglid, S sebagai stok kayu berdiri, dan r sebagai suku bunga riil.
Dengan demikian, perhitungan NPV pada rotasi tak terhingga dapat dituliskan
sebagai berikut:
(1)
Apabila harga karbon per ton CO2 eq. dinotasikan sebagai dan jumlah
karbon tersimpan dalam biomassa hutan sebagai C, perhitungan NPV karbon pada
rotasi tak terhingga dapat dituliskan sebagai berikut:
(2)
Selanjutnya, persamaan dalam memaksimalkan keuntungan dari kayu dan
karbon dapat dituliskan sebagai berikut:
(3)
Pembayaran jasa lingkungan karbon dimulai ketika > , yaitu ketika
karbon tersimpan dalam biomassa proyek lebih tinggi daripada rata-rata karbon
tersimpan dalam biomassa baseline. Pembayaran karbon dihentikan ketika
, yaitu pada saat akumulasi karbon tersimpan dalam biomassa yang
dikreditkan sama dengan rata-rata karbon tersimpan dalam biomassa dalam satu
daur dalam proyek. Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Indrajaya dan Sudomo (2015), yang mana baseline yang digunakan pada
penelitian mereka adalah jumlah rata-rata karbon tersimpan dalam biomassa dengan
hanya memperhitungkan pendapatan dari kayu dalam satu daur. Sebaliknya, baseline
yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah karbon tersimpan dalam
biomassa pada tanah kosong yang diasumsikan sebesar nol.
Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 119
Perhitungan berat biomassa tegakan manglid di atas permukaan tanah dilaku-
kan dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Chave et al. (2005),
yaitu:
(4)
Dalam rumus tersebut, nilai p merupakan berat jenis manglid, yaitu 0,45
(Zanne et al., 2009). Proporsi karbon tersimpan dalam biomassa adalah sebesar 0,47
(IPCC, 2006). Selanjutnya, jumlah CO2 eq. yang merupakan unit karbon yang
diperjualbelikan diperoleh dengan cara mengalikan nilai karbon tersimpan dalam
biomassa dengan bilangan 44/12, yaitu rasio berat molekul CO2 terhadap unsur C.
III. Hasil dan Pembahasan
Pertumbuhan manglid relatif lebih lambat dibandingkan dengan jenis-jenis
hutan rakyat yang banyak dikembangkan di masyarakat, seperti jabon (Krisnawati et
al., 2011a) dan sengon (Krisnawati et al., 2011b).
Tabel 1. Estimasi volume per hektare tegakan manglid
Umur
(tahun)
Dbh
(cm)
Tinggi
total (m)
Populasi
(pohon/ha)
Volume
(m3/ha)
CAI
(m3/ha)
MAI
(m3/ha)
0 - - 2.500 - - -
1 2,60 1,58 2.373 0,93 0,93 0,93
2 4,42 3,96 2.252 6,44 5,51 3,22
3 6,04 5,36 2.137 15,41 8,97 5,14
4 7,53 6,35 2.028 26,96 11,55 6,74
5 8,93 7,12 1.924 40,41 13,45 8,08
6 10,28 7,75 1.826 55,22 14,81 9,20
7 11,57 8,28 1.733 70,95 15,73 10,14
8 12,82 8,74 1.645 87,26 16,30 10,91
9 14,03 9,15 1.561 103,84 16,58 11,54
Y. Indrajaya
120 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Umur
(tahun)
Dbh
(cm)
Tinggi
total (m)
Populasi
(pohon/ha)
Volume
(m3/ha)
CAI
(m3/ha)
MAI
(m3/ha)
10 15,21 9,51 1.481 120,45 16,61 12,04
11 16,37 9,84 1.406 136,90 16,45 12,45
12 17,50 10,14 1.334 153,02 16,12 12,75
13 18,61 10,42 1.266 168,68 15,66 12,98
14 19,70 10,67 1.201 183,77 15,10 13,13
15 20,77 10,91 1.140 198,22 14,44 13,21
16 21,83 11,13 1.082 211,95 13,73 13,25
17 22,87 11,34 1.027 224,91 12,96 13,23
18 23,90 11,54 974 237,08 12,16 13,17
19 24,91 11,72 925 248,42 11,34 13,07
20 25,91 11,90 878 258,92 10,50 12,95
21 26,90 12,07 833 268,58 9,66 12,79
22 27,88 12,23 790 277,40 8,82 12,61
23 28,85 12,38 750 285,38 7,99 12,41
24 29,80 12,53 712 292,55 7,17 12,19
25 30,75 12,67 675 298,91 6,36 11,96
Sumber: Indrajaya & Sudomo (2015)
Hutan tanaman manglid dibangun dengan biaya sebesar Rp18,8 juta/ha,
sedangkan harga jual kayu manglid sebesar Rp1 juta/m3 dengan biaya pemanenan
Rp50 ribu/m3 (Indrajaya & Sudomo, 2015). Suku bunga riil rata-rata tahun 2003–
2013 sebesar 4% (World Bank, 2013). Dengan demikian, NPV dengan hanya
mempertimbangkan kayu sebagai sumber pendapatan berdasarkan perhitungan
menggunakan persamaan (1) dapat disajikan dalam Tabel 2.
Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 121
Tabel 2. NPV rotasi tak terhingga hutan tanaman manglid
Umur (tahun ke-) NPV kayu (Rp) Umur (tahun ke-) NPV kayu (Rp)
0 - 13 211.515.477
1 (466.728.284) 14 211.859.381
2 (164.640.727) 15 210.669.169
3 (39.354.719) 16 208.224.349
4 35.648.170 17 204.759.085
5 86.908.814 18 200.470.778
6 123.987.712 19 195.526.555
7 151.433.909 20 190.068.309
8 171.825.764 21 184.216.697
9 186.808.499 22 178.074.364
10 197.522.461 23 171.728.586
11 204.805.794 24 165.253.461
12 209.300.939 25 158.711.749
Sumber: Indrajaya & Sudomo (2015)
Apabila pengusahaan hutan manglid hanya mempertimbangkan kayu sebagai
sumber pendapatan, NPV tertinggi sebesar Rp211.859.381 dapat diperoleh pada
daur 14 tahun (Tabel 2). Sementara itu, daur Faustmann sedikit lebih pendek
dibandingkan dengan daur biologisnya, yaitu 16 tahun (Indrajaya, 2016). Estimasi
jumlah karbon tersimpan dalam biomassa tegakan manglid berdasarkan persamaan
(4) disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah karbon tersimpan dalam biomassa
tegakan manglid terus meningkat dari mulai penanaman hingga umur 25 tahun.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Indrajaya dan Sudomo (2015), yaitu
memperpanjang daur selama 1 tahun dari daur Faustmann (menjadi 15 tahun),
jumlah karbon rata-rata tersimpan dalam biomassa hutan manglid akan bertambah
sebanyak 19 ton CO2 eq./ha. Mengingat baseline dalam penelitian ini adalah tanah
kosong yang karbon tersimpannya diasumsikan sebesar nol, perhitungan additionality
Y. Indrajaya
122 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
dimulai pada tahun ke-1, yaitu sebesar 4 ton CO2/ha. Jumlah karbon yang lebih
tinggi dari baseline inilah yang disebut dengan istilah Verified Carbon Unit (VCU).
Dengan demikian, pembayaran jasa lingkungan karbon pada proyek aforestasi
manglid melalui penjualan VCU dapat dimulai ketika jumlah rata-rata karbon
tersimpan dalam biomassa proyek pada tahun t lebih tinggi dari baseline. Pada kasus
proyek aforestasi dengan hutan manglid, VCU pertama dapat dijual pada tahun ke-
1, yaitu sebanyak empat VCU.
Tabel 3. Karbon tersimpan dalam biomassa tegakan hutan manglid dan kredit karbon yang
dapat diperoleh
Umur
(tahun
ke)
Karbon
tersimpan
(CO2 eq.)
Nilai
rata-rata
CO2
dalam
daur
CO2 per
hektare
baseline
Karbon
dikreditkan
(CO2/ha)
Additio-
nality
(CO2/ha)
Perubahan karbon
tersimpan karena
pertumbuhan
tegakan manglid
(CO2/ha)
Unit karbon
terverifikasi
1 2 3 4=2-3 5=1-3 6 7
1 4 4 0 4 4 4 4
2 14 9 0 14 10 10 10
3 29 16 0 29 15 15 15
4 50 24 0 50 20 20 20
5 74 34 0 74 24 24 24
6 102 45 0 102 28 28 28
7 132 58 0 132 30 30 30
8 165 71 0 165 33 33 33
9 199 85 0 199 34 34 34
10 234 100 0 234 35 35 35
11 269 116 0 269 36 36 36
12 305 131 0 305 36 36 36
13 340 147 0 340 35 35 35
14 375 164 0 375 35 35 35
15 410 180 0 410 34 34 34
16 443 196 0 443 33 33 33
17 475 213 0 475 32 32 32
18 505 229 0 505 31 31 31
19 534 245 0 534 29 29 29
20 562 261 0 562 28 28 28
Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 123
Umur
(tahun
ke)
Karbon
tersimpan
(CO2 eq.)
Nilai
rata-rata
CO2
dalam
daur
CO2 per
hektare
baseline
Karbon
dikreditkan
(CO2/ha)
Additio-
nality
(CO2/ha)
Perubahan karbon
tersimpan karena
pertumbuhan
tegakan manglid
(CO2/ha)
Unit karbon
terverifikasi
21 588 277 0 588 26 26 26
22 612 292 0 612 24 24 24
23 634 307 0 634 22 22 22
24 655 321 0 655 21 21 21
25 674 335 0 674 19 19 19
Pembayaran karbon dihentikan ketika jumlah total karbon yang dapat dikre-
ditkan telah tercapai. Misalnya, jumlah total karbon yang dikreditkan sebesar 234
ton CO2/ha pada tahun ke-10. Dengan demikian, ketika jumlah karbon yang dapat
dikreditkan tercapai pada tahun ke-10, pembayaran pun dihentikan.
Harga karbon sangat bervariasi dalam pasar karbon sukarela, yaitu antara
USD1 hingga lebih dari USD100 per ton CO2 eq. (Peters-Stanley et al., 2012).
Harga karbon yang digunakan dalam penelitian ini sebesar USD5–30/ton CO2 eq.
Nilai tukar rupiah diasumsikan USD1=Rp10.461 (nilai tukar rupiah terhadap dolar
pada tahun 2013) (World Bank, 2013). Berdasarkan persamaan (2), besaran NPV
karbon hutan tanaman manglid pada beberapa harga karbon dapat disajikan dalam
Tabel 4.
Tabel 4. NPV karbon pada tingkat harga karbon USD5, 10, 20, dan 30/ton CO2 eq.
(dalam Rp/ha)
Umur
(tahun ke)
NPV karbon (Rp/ha) pada tingkat harga:
pc =USD5 pc =USD10 pc =USD20 pc =USD30
1 4.913.372 9.826.743 19.653.486 29.480.229
2 8.865.176 17.730.353 35.460.705 53.191.058
3 12.514.610 25.029.220 50.058.440 75.087.660
4 15.829.211 31.658.422 63.316.844 94.975.266
5 18.804.113 37.608.225 75.216.450 112.824.676
6 21.448.651 42.897.303 85.794.605 128.691.908
Y. Indrajaya
124 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Umur
(tahun ke)
NPV karbon (Rp/ha) pada tingkat harga:
pc =USD5 pc =USD10 pc =USD20 pc =USD30
7 23.779.471 47.558.942 95.117.883 142.676.825
8 25.816.849 51.633.698 103.267.397 154.901.095
9 27.582.627 55.165.254 110.330.508 165.495.763
10 29.098.991 58.197.983 116.395.966 174.593.949
11 30.387.748 60.775.495 121.550.991 182.326.486
12 31.469.884 62.939.769 125.879.537 188.819.306
13 32.365.319 64.730.638 129.461.276 194.191.914
14 33.092.763 66.185.525 132.371.051 198.556.576
15 33.669.657 67.339.314 134.678.629 202.017.943
16 34.112.164 68.224.328 136.448.656 204.672.983
17 34.435.184 68.870.368 137.740.736 206.611.104
18 34.652.401 69.304.801 138.609.603 207.914.404
19 34.776.333 69.552.667 139.105.333 208.658.000
20 34.818.400 69.636.801 139.273.601 208.910.402
21 34.788.986 69.577.972 139.155.945 208.733.917
22 34.697.509 69.395.018 138.790.035 208.185.053
23 34.552.488 69.104.976 138.209.953 207.314.929
24 34.361.612 68.723.225 137.446.449 206.169.674
25 34.131.801 68.263.603 136.527.205 204.790.808
Tegakan manglid telah dapat menyerap karbon dibandingkan dengan baseline
(nilai awal nol) pada tahun ke-1 sehingga VCU dapat diterbitkan dan NPV karbon
pada proyek aforestasi manglid mulai positif pada tahun ke-1. Hal ini sedikit
berbeda dengan penelitian Indrajaya dan Sudomo (2015) yang mana NPV karbon
mulai positif pada tahun ke-8 karena baseline dalam penelitian mereka lebih tinggi
dari penelitian ini. Semakin panjang daur, semakin tinggi NPV karbonnya karena
semakin banyak karbon yang diserap oleh hutan manglid dan dapat dijual sebagai
VCU. Besaran NPV juga semakin tinggi dengan semakin tingginya harga karbon.
Besaran NPV produksi bersama kayu dan karbon dapat disajikan dalam Tabel 5.
Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 125
Tabel 5. NPV produksi bersama kayu dan karbon pada tingkat harga karbon USD5, 10,
20, dan 30 /ton CO2 eq. (dalam Rp/ha)
Umur
(tahun ke)
NPV total
USD5 USD10 USD20 USD30
14 244.952.144 278.044.907 344.230.432 410.415.958
15 244.338.826 278.008.484 345.347.798 412.687.113
16 242.336.512 276.448.676 344.673.004 412.897.332
17 239.194.269 273.629.453 342.499.821 411.370.189
18 235.123.179 269.775.579 339.080.381 408.385.182
19 230.302.888 265.079.222 334.631.888 404.184.555
20 224.886.709 259.705.110 329.341.911 398.978.711
21 219.005.683 253.794.669 323.372.642 392.950.614
22 212.771.873 247.469.382 316.864.399 386.259.417
23 206.281.074 240.833.562 309.938.538 379.043.515
24 199.615.073 233.976.686 302.699.910 371.423.135
25 192.843.550 226.975.352 295.238.954 363.502.557
Tabel 5 menunjukkan bahwa pada tingkat harga karbon USD5 dan USD10
per ton CO2 eq., daur optimal masih sama dengan jika hanya mempertimbangkan
kayu sebagai pendapatan, yaitu 14 tahun. Hasil ini sama dengan hasil penelitian
serupa dengan proyek karbon sukarela VCS dengan cara memperpanjang daur, atau
dengan baseline jumlah karbon rata-rata (Indrajaya & Sudomo, 2015). Hasil ini juga
sejalan dengan hasil penelitian Diaz-Balteiro dan Rodriguez (2006) di Spanyol yang
mana pada tingkat harga karbon yang relatif rendah, daur optimal relatif sama
dengan daur Faustmann. Sementara itu, pada tingkat harga karbon USD20/ton
CO2 eq., daur optimal menjadi lebih panjang satu tahun, yaitu menjadi 15 tahun.
Pada tingkat harga karbon USD30/ton CO2 eq., daur menjadi lebih panjang dua
tahun, yaitu 16 tahun. Hal ini juga sama dengan penelitian Indrajaya & Sudomo
(2015) yang mana pada tingkat harga karbon USD30/ton CO2 eq., daur optimal
tegakan manglid menjadi 16 tahun.
Y. Indrajaya
126 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Penambahan tambatan karbon dalam biomassa tegakan manglid dengan cara
memperpanjang daur sangat tergantung pada tingkat harga karbon. Dalam skema
VCS, jumlah karbon yang dapat dikreditkan adalah selisih antara rata-rata karbon
tersimpan dalam biomassa proyek dengan rata-rata karbon tersimpan dalam
biomassa baseline. Apabila jumlah karbon yang dapat dikreditkan merupakan selisih
antara jumlah karbon tersimpan dalam biomassa dalam proyek pada tahun ke-t
dengan baseline (kolom 4 dalam Tabel 3), jumlah karbon yang dapat dikreditkan
menjadi jauh lebih banyak. Oleh karenanya, melalui metode perhitungan tersebut,
daur optimal produksi bersama kayu dan karbon menjadi lebih panjang
dibandingkan dengan metode VCS. Beberapa penelitian yang menggunakan
pendekatan ini telah dilakukan, antara lain oleh Galinato dan Uchida (2011) di
Filipina dan Tanzania, Olschewski dan Benitez (2010) di Spanyol, dan Tassone et
al. (2004) di Italia. Selain itu, penelitian serupa juga telah dilakukan di Indonesia
seperti yang dilakukan oleh Indrajaya dan Siarudin (2014) pada jenis jabon di Garut,
Jawa Barat.
IV. Kesimpulan
Tambahan jasa lingkungan karbon dapat memperpanjang daur optimal
manglid. Daur optimal hutan tanaman manglid pada proyek aforestasi pada tingkat
harga karbon USD5, 10, 20, dan 30/ton CO2 eq. berturut-turut adalah 14, 14, 15,
dan 16 tahun. Selain itu, perhitungan jumlah karbon metode VCS memiliki jumlah
karbon yang dapat dikreditkan relatif lebih rendah dibandingkan dengan metode
aktual perbedaan jumlah karbon tersimpan pada waktu t dengan baseline.
Daftar Pustaka
Amacher, G. S., Ollikainen, M., & Koskela, E. (2009). Economics of forest
resources. Cambridge, Mass.: MIT Press.
Chat, N. B. (2002). Manglietia glauca Bl (M. conifera Dandy). In D. D. Sam & N.
H. Nghia (Eds.), Use of indigenous tree species in reforestation in Vietnam.
Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 127
Hanoi, Vietnam: Agricultural Publishing House-Forest Science Institute of
Vietnam.
Chave, J., Andalo, C., Brown, S., Cairns, M., Chambers, J., Eamus, D., . . . Kira, T.
(2005). Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance
in tropical forests. Oecologia, 145(1), 87-99.
Darusman, D., & Hardjanto. (2006). Tinjauan ekonomi hutan rakyat. Paper
presented at the Prosiding seminar hasil penelitian hasil hutan.
Diaz-Balteiro, L., & Rodriguez, L. C. (2006). Optimal rotations on Eucalyptus
plantations including carbon sequestration—a comparison of results in Brazil
and Spain. Forest ecology and management, 229(1), 247-258.
Foley, T. G., & Galik, C. S. (2009). Extending rotation age for carbon
sequestration: a cross-protocol comparison of North American forest offsets.
Forest ecology and management, 259(2), 201-209.
Galinato, G. I., & Uchida, S. (2011). The effect of temporary certified emission
reductions on forest rotations and carbon supply. Canadian Journal of
Agricultural Economics/Revue canadienne d'agroeconomie, 59(1), 145-164.
Huang, C.-H., & Kronrad, G. D. (2006). The effect of carbon revenues on the
rotation and profitability of loblolly pine plantations in East Texas. Southern
Journal of Applied Forestry, 30(1), 21-29.
Indrajaya, Y. (2016). Daur optimal hutan rakyat manglid di Kecamatan Kawalu,
Tasikmalaya, Jawa Barat.
Indrajaya, Y., & Siarudin, M. (2014). Optimasi produksi kayu dan karbon pada
tegakan jabon (Neolamarckia cadamba Miq.) di Kecamatan Pakenjeng,
Garut, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Agroforestry, 2(2).
Indrajaya, Y., & Sudomo, A. (2015). Pengaruh tambahan pendapatan jasa
lingkungan karbon terhadap daur optimal tegakan manglid di Jawa Barat.
Paper presented at the AFOCO Workshop "Pengembangan mata
pencaharian alternatif untuk masyarakat lokal dalam upaya menghadapi
dampak perubahan iklim", Bogor.
Y. Indrajaya
128 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
IPCC. (2006). IPCC Guideline 2006 Guidelines for national green house gas
inventories: IPCC.
Krisnawati, H., Kallio, M., & Kanninen, M. (2011a). Anthocephalus cadamba
Miq.: Ekologi, silvikultur, produktivitas. Bogor: CIFOR.
Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., & Kanninen, M. (2011b). Paraserianthes
falcataria (L.) Nielsen. Ekologi, silvikultur dan produktivitas. Bogor
Indonesia: CIFOR.
Olschewski, R., & Benitez, P. C. (2010). Optimizing joint production of timber and
carbon sequestration of afforestation projects. Journal of Forest Economics,
16(1), 1-10. doi: DOI 10.1016/j.jfe.2009.03.002
Peters-Stanley, M., Hamilton, K., Marcello, T., Orejas, R., Thiel, A., & Yin, D.
(2012). Developing dimension: state of the voluntary carbon markets 2012.
Ecosystem marketplace & Bloomberg new energy finance.
Puspitodjati, T., Rohandi, A., Swestiani, D., Sudomo, A., Nadiharto, Y.,
Rahmawan, B., & Setiawan, I. (2009). Intensifikasi hutan rakyat untuk
peningkatan produksi pangan melalui pola agroforestry jenis manglid
(Manglieta glauca BI) dan jagung (Zea mays). Ciamis: Balai Penelitian
Kehutanan Ciamis.
Samuelson, P. A. (1976). Economics of forestry in an evolving society. Economic
Inquiry, 14(4), 466-492.
Solomon, S. (2007). Climate change 2007-the physical science basis: Working
group I contribution to the fourth assessment report of the IPCC (Vol. 4):
Cambridge University Press.
Susaeta, A., Chang, S. J., Carter, D. R., & Lal, P. (2014). Economics of carbon
sequestration under fluctuating economic environment, forest management
and technological changes: An application to forest stands in the southern
United States. Journal of Forest Economics, 20(1), 47-64.
Tassone, V. C., Wesseler, J., & Nesci, F. S. (2004). Diverging incentives for
afforestation from carbon sequestration: an economic analysis of the EU
Daur Optimal Tegakan Mangl id dalam Proyek Aforestas i
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 129
afforestation program in the south of Italy. Forest policy and economics, 6(6),
567-578. doi: Doi 10.1016/S1389-9341(03)00006-6
van Kooten, G. C., Binkley, C. S., & Delcourt, G. (1995). Effect of carbon taxes
and subsidies on optimal forest rotation age and supply of carbon services.
American Journal of Agricultural Economics, 77(2), 365-374. doi:
10.2307/1243546
World Bank. (2013). World Bank Indicator.
Zanne, A. E., Lopez-Gonzalez, G., Coomes, D. A., Ilic, J., Jansen , S., L., S.L.,
M., R.B., ... , Chave, J. (2009). Global wood density database. Dryad.
Identifier: http://hdl.handle.net/10255/dryad.235.
KAJIAN LINGKUNGAN TEGAKAN MANGLID
BAB V
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 133
Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat Pola
Agroforestri Manglid (Magnolia champaca) di Tasikmalaya, Jawa
Barat1
M. Siarudin2 & Yonky Indrajaya2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengkaji struktur tegakan dan mengukur cadangan karbon hutan
rakyat pola agroforestri berbasis manglid (Manglieta champaca). Pengukuran dilakukan pada
18 plot yang mewakili pola Agroforestri Sederhana Manglid (ASM) dan Agroforestri
Kompleks Manglid (AKM) pada hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Pengukuran cadangan karbon dan struktur tegakan mangacu pada metode Rapid Carbon
Stock Appraisal (RaCSA) dengan beberapa analisis tambahan. Hasil penelitian menunjuk-
kan bahwa agroforestri manglid secara rata-rata memiliki komposisi yang seimbang antara
basal area manglid dan pohon asosiasi. Namun demikian, dominasi jenis manglid tampak
bervariasi yang ditunjukkan nilai rasio luas bidang dasar (BA) pohon manglid terhadap BA
total yang relatif tinggi sebesar 0,75 pada tegakan ASM dan hanya 0,42 pada tegakan AKM.
Tegakan agroforestri manglid didominasi oleh kelas diameter 5–10 cm dan terjadi penu-
runan jumlah manglid pada kelas diameter yang lebih tinggi. Pola ASM memiliki sebaran
jumlah manglid yang relatif seragam antarkelas diameter dibandingkan dengan pola AKM.
Nilai rata-rata karbon tersimpan pada tegakan agroforestri manglid di lokasi penelitian
sebesar 145 ton/ha, yang terdiri atas 44 ton/ha karbon di atas permukaan tanah dan 101
ton/ha karbon di bawah permukaan tanah. Tegakan AKM memiliki cadangan karbon total
di atas permukaan tanah lebih tinggi, namun memiliki cadangan karbon di bawah permu-
kaan yang lebih rendah dibandingkan tegakan ASM.
Kata kunci: agroforestri sederhana, agroforestri kompleks, manglid, struktur tegakan, karbon
1 Tulisan sudah diterbitkan pada Jurnal Penelitian Agroforestry Volume 2 Nomor 1, Agustus 2014 2 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis
Jawa Barat; Email: [email protected]
M. Siarudin & Y. Indrajaya
134 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
I. Pendahuluan
Kabupaten Tasikmalaya dan sekitarnya merupakan salah satu sentra pengem-
bangan jenis pohon manglid (Magnolia champaca). Jenis ini banyak dikembangkan
di hutan rakyat dengan pola agroforestri, baik dalam pola agroforestri sederhana
yang ditanam secara teratur dengan kombinasi tanaman bawah maupun dalam
bentuk agroforestri kompleks yang terdiri atas berbagai pohon asosiasi. Tegakan
manglid di hutan rakyat Tasikmalaya tersebar pada daerah dengan ketinggian 305–
894 m di atas permukaan laut (dpl) dengan kelerengan 0–45% (Rohandi et al., 2010)
dengan jumlah tanaman diperkirakan sekitar 130.000–150.000 batang (Mulyana &
Diniyati, 2013). Potensi lahan untuk tanaman manglid di seluruh wilayah Priangan
Timur mencapai ±560.000 ha dengan kriteria sesuai dan sangat sesuai (Rohandi et
al., 2010).
Sistem penggunaan lahan dengan pola agroforestri pada hutan rakyat, selain
memiliki berbagai manfaat ekonomi langsung untuk masyarakat, sistem ini juga
memiliki manfaat jasa lingkungan seperti penyerapan karbon. Sistem agroforestri
telah dikembangkan untuk mengurangi laju emisi karbon, baik di negara berkem-
bang maupun di negara maju (Nair et al., 2009).
Beberapa penelitian tentang karbon tersimpan pada lahan masyarakat di
Indonesia telah dilakukan dengan hasil yang bervariasi. Penelitian di Lampung
menunjukkan bahwa total karbon tersimpan di pekarangan pada semua pool karbon
berkisar antara 56–174 ton/ha dengan rata-rata sebesar 107 ton/ha (Roshetko et al.,
2002). Hasil penelitian lainnya menunjukkan nilai rata-rata dan kisaran karbon di
atas permukaan tanah bervariasi, seperti agroforestri kebun campuran di Bekasi
sebesar 62 ton/ha (Adinugroho et al., 2012); agroforestri kemenyan di Kabupaten
Tapanuli Utara sebesar 51–66 ton/ha (Antoko, 2011); agroforestri di Langkat
sebesar 57–63 ton/ha; dan agroforestri kebun campuran di Lampung dengan besaran
rata-rata 43 ton/ha (Yuwono et al., 2012).
Besarnya karbon tersimpan dalam biomassa tergantung pada sistem agro-
forestry yang diterapkan, serta struktur dan fungsi yang ada dalam pola ini (Albrecht
& Kandji, 2003). Informasi mengenai struktur tegakan dan karbon tersimpan pada
tegakan hutan rakyat pola agroforestri berbasis tanaman manglid masih sangat
Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 135
terbatas. Penelitian ini bertujuan mengetahui struktur tegakan dan mengukur
cadangan karbon pada hutan rakyat pola agroforestri berbasis manglid di Kabupaten
Tasikmalaya. Secara khusus, tulisan ini juga membahas perbedaan struktur tegakan
dan karbon tersimpan antara pola agroforestri kompleks dan agroforestri sederhana
berdasarkan kriteria Hairiah et al. (2006). Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi informasi dasar untuk pengembangan agroforestri manglid di hutan rakyat
dalam mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
II. Metodologi
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Pengamatan dan pengukuran tegakan agroforestri manglid dilakukan di
Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya di Desa Cikalong dan Sodonghilir (Kecamatan
Sodonghilir), Desa Sukarasa (Kecamatan Salawu), serta Desa Pedang Kamulyan dan
Girimukti (Kecamatan Bojonggambir). Pemilihan lokasi didasarkan pada hasil
penelitian sebelumnya yang mana oleh Rohandi et al. (2010) disebutkan bahwa
daerah ini merupakan beberapa sentra manglid di Kabupaten Tasikmalaya.
Analisis biomasa dilakukan di laboratorium Balai Penelitian dan Pengem-
bangan Teknologi Agroforestry, Ciamis; sedangkan analisis tanah dilakukan di
laboratorium Ilmu Tanah, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret–Desember 2013.
B. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Pengukuran struktur tegakan dan cadangan karbon pada penelitian ini meng-
gunakan prosedur Rapid Carbon Stock Appraisal (RaCSA) (Hairiah et al., 2011).
Pengukuran biomassa dilakukan pada lima pool, yaitu biomassa pohon, biomassa
tanaman bawah, nekromassa berkayu, nekromasa tidak berkayu (serasah), dan bahan
organik tanah. Plot pengukuran terdiri atas plot utama berukuran 5 m x 40 m dan
enam subplot berukuran 50 cm x 50 cm dalam setiap plot utama (Gambar 1).
Sejumlah 18 plot pengukuran dilakukan di lokasi penelitian yang mewakili tegakan
M. Siarudin & Y. Indrajaya
136 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
agroforestry manglid sederhana (sembilan plot) dan tegakan agroforestri manglid
kompleks (sembilan plot). Kriteria agroforestri sederhana dan kompleks mengacu
kepada Hairiah et al. (2006).
Pengukuran biomasa pohon dilakukan pada plot utama untuk pohon dengan
diameter setinggi dada (diameter at breast height/DBH) 5–30 cm. Apabila di dalam
plot terdapat pohon dengan DBH >30 cm, lebar plot utama diperluas menjadi 20 m
x 100 m untuk mengukur pohon-pohon dengan DBH tersebut. Setiap pohon dalam
plot pengukuran dicatat jenisnya dan diukur DBH. Identifikasi jenis dilakukan
dengan melibatkan pengenal jenis dari penduduk lokal. Jenis pohon dari famili
Arecaceae (palma) diukur pula tinggi pohonnya karena dipersyaratkan dalam
persamaan allometric perhitungan biomassa. Biomassa di atas permukaan tanah per
pohon dihitung dengan persamaan allometric umum (Chave et al., 2005):
2 3exp( 1.499 2.148ln( ) 0.207(ln( )) 0.028(ln( ))AGB D D D (1)
Keterangan: = kerapatan kayu atau berat jenis kayu; D = DBH
Data berat jenis kayu yang digunakan dalam perhitungan persamaan (1)
adalah berat jenis kayu masing-masing jenis pohon yang teridentifikasi dengan
merujuk pada data berat jenis Global Wood Density Database dari Zanne et al.
(2009) atau Seng (1990). Kandungan karbon diasumsikan sebesar 0,47 dari berat
biomassanya (IPCC, 2006). Kandungan karbon akar diperhitungkan sebagai 20%
dari kandungan karbon di atas tanah (IPCC, 2006).
Pengukuran nekromasa berkayu dilakukan pada plot yang sama dengan
pengukuran pohon. Nekromasa berkayu dapat berupa pohon yang mati berdiri,
tunggul pohon bekas tebangan/pohon roboh, atau batang pohon mati yang rebah.
Pengukuran nekromassa dengan diameter 5–30 cm dilakukan pada plot 5 m x 20 m,
sedangkan nekromasa berdiameter >30 cm diukur pada plot 20 m x 100 m. Setiap
nekromasa yang ditemukan diukur volumenya (dengan mengukur diameter dan
tinggi atau panjang batang) dan diukur tingkat kelapukannya. Sampel sejumlah ±300
gram diambil untuk diukur berat keringnya di laboratorium.
Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 137
Gambar 1. Plot pengukuran cadangan karbon dan struktur tegakan agroforestri manglid
Pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan nekromasa tidak berkayu (sera-
sah) dilakukan pada subplot 50 cm x 50 cm. Tumbuhan bawah dan nekromasa tidak
berkayu yang diambil dari subplot ditimbang sebagai berat basah, kemudian diukur
berat keringnya di laboratorium.
Sampel tanah untuk pengukuran kandungan C-organik tanah dilakukan pada
subplot yang sama dengan pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan nekromasa.
Jenis sampel tanah yang diambil adalah sampel tanah terganggu untuk mengukur
kandungan C-organik tanah dan sampel tanah tidak terganggu untuk mengukur
berat isi (BI) tanah. Pengambilan sampel tanah terganggu dan tidak terganggu
dilakukan pada tiga kedalaman, yaitu kedalaman 0–10 cm, 10–20 cm, dan 20–30
cm. Analisis kandungan C-organik menggunakan metode spektrofotometri,
sedangkan pengukuran berat isi tanah menggunakan metode parafin.
Struktur tegakan manglid ditentukan melalui analisis tambahan dari data
dasar pengukuran pada plot utama dan subplot. Beberapa parameter yang dianalisis
adalah luas bidang dasar (basal area/BA) pohon manglid dan pohon asosiasinya,
M. Siarudin & Y. Indrajaya
138 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
sebaran pohon berdasarkan kelas diameter, serta keragaman jenis pohon dan
tumbuhan bawah.
III. Hasil dan Pembahasan
A. Struktur Tegakan Hutan Rakyat Agroforestri Berbasis Manglid
1. Basal Area
Hutan rakyat dengan pola agroforestri berbasis manglid terdapat dalam
berbagai tingkat kerapatan dan keragaman jenis pohon. Sebagian petani menanam
manglid dan berbagai jenis pohon lainnya dalam satu struktur yang kompleks,
termasuk tanaman musiman di bawah tegakan untuk memanfaatkan ruang kosong
di antara pohon-pohon. Umumnya, pola demikian terjadi pada petani yang tidak
memiliki waktu banyak untuk melakukan pemeliharaan hutannya secara intensif.
Sebagian petani menanam manglid secara khusus dengan jarak tanam yang teratur
dan memberikan ruang yang cukup untuk tanaman bawah/musiman yang juga
dikelola secara intensif. Pohon-pohon asosiasi selain manglid tidak banyak, bahkan,
dalam satu hamparan tertentu hanya ditanam pohon manglid dan tanaman bawah
saja.
Dalam penelitian ini, berbagai tingkat kerapatan dan keragaman jenis pohon
yang ditanam diklasifikasikan ke dalam agroforestri kompleks dan agroforestri
sederhana menurut jumlah jenis pohon yang ditanam dan luas bidang dasar (BA)
dari pohon utama (Hairiah et al., 2006). Tabel 1 menunjukkan bahwa, BA pohon
manglid dan pohon asosiasi secara total relatif seimbang, nilai rata-rata masing-
masing adalah 10,04 m2/ha dan 10,09 m2/ha. Namun demikian, nilai BA manglid
pola agroforestri sederhana hampir tiga kali lipat lebih besar daripada BA jenis
pohon lainnya, yaitu masing-masing 9,29 m2/ha dan 3,61 m2/ha. Sebaliknya, BA
manglid pola agroforestri kompleks lebih kecil, yaitu hanya 10,09 m2/ha, sedangkan
pohon asosiasi mencapai 16,57 m2/ha.
Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 139
Tabel 1. Kerapatan tegakan dan keragaman jenis pada hutan rakyat pola agroforestri
manglid
Nomor
plot
BA
manglid
BA
pohon
asosiasi
BA
total
Rasio BA
manglid &
BA total
Jumlah
jenis
pohon
Jumlah
pohon/
plot*
Kerapatan
pohon
(pohon/ha)
Jenis
agroforestri**
1 7,93 4,33 12,26 0,65 5 16 800 AF-K
2 7,17 23,87 31,04 0,23 8 34 1.700 AF-K
3 12,11 18,49 30,60 0,40 7 32 1.600 AF-K
4 18,17 23,43 41,60 0,44 14 37 1.850 AF-K
5 12,72 10,37 23,09 0,55 6 45 2.250 AF-K
6 11,69 13,65 25,34 0,46 5 24 1.200 AF-K
7 9,49 11,53 21,02 0,45 12 32 1.600 AF-K
8 11,80 19,54 31,35 0,38 14 36 1.800 AF-K
9 6,08 23,89 29,97 0,20 8 36 1.800 AF-K
10 9,44 - 9,44 1,00 1 11 550 AF-S
11 13,92 1,24 15,16 0,92 4 16 800 AF-S
12 6,69 6,42 13,11 0,51 4 31 1.550 AF-S
13 8,45 0,31 8,76 0,96 2 14 700 AF-S
14 8,31 10,10 18,40 0,45 4 13 650 AF-S
15 9,95 4,59 14,55 0,68 4 21 1.050 AF-S
16 4,37 5,26 9,63 0,45 3 14 700 AF-S
17 10,17 - 10,17 1,00 1 10 500 AF-S
18 12,30 4,59 16,89 0,73 3 27 1.350 AF-S
AF-K 10,80
(3,66)
16,57
(6,97)
27,36
(8,22)
0,42
(0,14)
8,67
(3,77)
32,44
(8,28)
1.622
(413,91)
AF –S 9,29
(2,84)
3,61
(3,49)
12,90
(3,56)
0,75
(0,23)
3,00
(1,41)
17,44
(7,33)
872
(366,67)
Rata-
rata
10,04
(3,27)
10,09
(8,54)
20,13
(9,65)
0,58
(0,25)
5,83
(4,02)
24,94
(10,82)
1.247
(541,10)
Keterangan: * Ukuran plot = 5 m x 40 m; ** menurut kriteria Hairiah et al. (2006); AF-S = agroforestri
sederhana; AF-K = agroforestri kompleks; BA = luas bidang dasar; angka dalam kurung menunjukkan
nilai simpangan baku
Perbandingan BA total seluruh pohon menunjukkan bahwa pola agroforestri
kompleks lebih tinggi dibandingkan dengan BA pada agroforestri sederhana, yaitu
masing-masing 27,36 m2/ha dan 12,90 m2/ha. Nilai BA ini relatif sama dengan hasil
M. Siarudin & Y. Indrajaya
140 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
penelitian di DAS Konto, Kabupaten Malang, Jawa Timur yang dilaporkan oleh
Kurniawan et al. (2010), yang mana BA pada agroforestri kopi kompleks sebesar
28,4 m2/ha dan agroforestri kopi sederhana sebesar 12,1 m2/ha. Tingginya BA pada
pola agroforestri kompleks manglid ini disebabkan jumlah kerapatan tegakan yang
lebih banyak, yaitu rata-rata sebesar 1.622 pohon/ha, sedangkan pada agroforestri
sederhana hanya 872 pohon/ha.
2. Sebaran Pohon Berdasarkan Diameter
Gambar 2 menunjukkan bahwa rata-rata sebaran pohon terbanyak pada kelas
diameter 5–10 cm dan menurun pada kelas diameter yang lebih besar. Pola yang
sama terjadi pada sebaran jumlah pohon pola agroforestri kompleks, yang mana
jumlah pohon didominasi oleh kelas diameter kecil (5–10 cm), kemudian jumlah
pohon menurun pada kelas diameter yang lebih tinggi. Berbeda dengan pola
agroforestri sederhana, jumlah pohon pada kelas diameter 10–20 tampak cukup
mendominasi, disusul kelas diameter 5–10 cm, kelas diameter 20–30 cm, dan sangat
sedikit (4 pohon/ha) pada kelas diameter >30 cm.
Gambar 2. Sebaran pohon berdasarkan kelas diameter
dbh 5-10 cm dbh 10-20 cm dbh 20-30 cm dbh 30 cm up
AF kompleks 872,22 533,33 222,22 19,44
AF sederhana 227,78 461,11 83,33 4,44
rata-rata 550,00 497,22 152,78 11,94
0,00
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
600,00
700,00
800,00
900,00
1000,00
Jum
lah
po
ho
n (
po
ho
n/h
a)
Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 141
Secara umum, hal yang dapat diketahui bahwa pola agroforestri kompleks
memiliki jumlah pohon yang lebih tinggi daripada pola agroforestri sederhana,
termasuk pada semua kelas diameter. Hal ini konsisten dengan perhitungan nilai
basal area total, yang mana pola agroforestri kompleks lebih tinggi daripada pola
agroforestri sederhana (Tabel 1).
3. Keragaman Jenis Pohon dan Tanaman Bawah
Keragaman jenis pohon pada pola agroforestri kompleks lebih tinggi, yaitu
jumlah rata-rata sebanyak 8 jenis pohon dalam satu plot pengamatan; sedangkan
pada pola agrofrestry sederhana hanya 3 jenis pohon. Secara total, jenis-jenis pohon
tersebut terdiri atas pohon penghasil kayu-kayuan sebesar 54%, pohon penghasil
buah-buahan 32%, dan pohon penghasil bukan kayu sebesar 14%. Jenis pohon
penghasil kayu yang dominan di lokasi penelitian selain manglid antara lain mahoni
(Swietenia mahagony), sengon (Paraserianthes falcataria), suren (Toona sureni),
afrika (Maesopsis eminii), tisuk (Hibiscus macrophyllus), dan gmelina (Gmelina
arborea) (Tabel 2). Sementara itu, jenis penghasil buah-buahan antara lain manggis
(Garcinia mangostana), kelapa (Cocos nucifera), durian (Durio zibethinus), limus
(Mangifera foetida), nangka (Artocarpus heterophyllus), mangga (mangifera indica),
sirsak (Annona muricata), rambutan (Nephelium lappacium), petai (Parkia
spesiosa), dan jengkol (Archidendron pauciflorum). Penghasil hasil hutan bukan
kayu antara lain cengkeh (Syzigium aromaticum), aren (Arenga pinnata), dan pinang
(Pinanga patula).
Tabel 2. Kerapatan pohon setiap jenis pada tegakan agroforestri manglid
No. Jenis pohon Pohon/
ha
No. Jenis pohon Pohon/
ha
1. Manglid (Manglietia champaca.) 594 6. Afrika (Maesopsis eminii) 42
2. Mahoni (Swietenia sp.) 144 7. Kelapa (Cocos nucifera) 22
3. Sengon (Paraserianthes
falcataria)
103 8. Cengkeh (Syzigium
aromaticum)
17
4. Suren (Toona sureni) 69 9. Rambutan (Nephelium
lappaceum)
17
5. Manggis (Garcinia mangostana) 53 10. Tisuk (Hibiscus macrophyllus) 17
M. Siarudin & Y. Indrajaya
142 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
No. Jenis pohon Pohon/
ha
No. Jenis pohon Pohon/
ha
11. Bencoy (Baccaurea racemosa) 14 24. Alpukat (Persea americana) 3
12. Huru (Actinodaphne procera) 14 25. Angsana (Pterocarpus indicus) 3
13. Aren (Arenga pinnata) 11 26. Gmelina (Gmelina arborea) 3
14. Jengkol (Archidendron
pauciflorum)
11 27. Jambu batu (Psidium guajava) 3
15. Jambu air (Syzigium aquea) 8 28. Kipare (Glochidion
macrocarpum)
3
16. Limus (Mangifera foetida) 8 29. Kisamping (Evodia latifolia) 3
17. Nangka (Artocarpus
heterphyllus)
8 30. Kokosan (Lansium aqueum) 3
18. Duku (Lansium domesticum) 6 31. Mara (Macaranga tanarius) 3
19. Durian (Durio zibethinus) 6 32. Mareme (Glochidion
arborescens)
3
20. Kiacret (Spathodea
campanulata)
6 33. Melinjo (Gnetum gnemon) 3
21. Mangga (Mangifera indica) 6 34. Pinang (Pinanga patula) 3
22. Petai (Parkia speciosa) 6 35. Pongporang (Oroxylum
indicum)
3
23. Sirsak (Annona muricata) 6 36. Puspa (Schima wallichii) 3
Tabel 3. Ketersediaan jenis tanaman bawah pada tegakan pola agroforestri manglid
No. Jenis tanaman bawah Ketersediaan pada plot pengamatan (%)
1. Teh (Camelia sinensis) 72,2
2. Kapol (Elettaria cardamomun) 61,1
3. Pisang (Musa sp.) 22,2
4. Singkong (Manihot esculenta) 16,7
5. Nanas (Ananas comocus) 16,7
6. Talas (Colocasia esculenta) 11,1
7. Salak (Salacca zalacca) 11,1
8. Kunyit-kunyitan (Curcuma spp.) 5,6
9. Rumput gajah (Pennisetum purpureum) 5,6
Tanaman bawah yang banyak dibudidayakan masyarakat adalah teh (Camelia
sinensis) dan kapolaga (Elettaria cardamomun) (Tabel 3). Tanaman teh terdapat
Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 143
pada sekitar 70% lokasi pengamatan, terutama terkonsentrasi di daerah Kecamatan
Bojonggambir. Sementara itu, tanaman kapolaga terdapat pada sekitar 60% lokasi,
terutama di daerah Kecamatan Sodonghilir dan Salawu. Berdasarkan hasil
wawancara dengan masyarakat, jenis kapolaga banyak dipilih karena tahan naungan,
mudah penanaman dan pemeliharaannya, serta harga buah kapol relatif stabil.
Sementara di Kecamatan Bojonggambir, daerah ini merupakan daerah kebun teh
yang sudah ada sejak zaman Belanda, baik pada lahan yang dikelola oleh PT
Perkebunan Nusantara maupun pada lahan-lahan milik masyarakat. Mengingat
tanaman teh memerlukan intensitas cahaya tinggi, pohon manglid hanya ditanam
pada pinggiran ataupun di tengah lahan dengan kerapatan rendah, yaitu <700
pohon/ha. Sebagian masyarakat menganggap harga teh sudah tidak prospektif
sehingga mereka menanam manglid dengan kerapatan hingga 1.800 pohon/ha dan
membiarkan tanaman teh tidak produktif.
B. Cadangan Karbon pada Hutan Rakyat Pola Agroforestri Manglid
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa karbon tersimpan pada hutan rakyat
pola agroforestri berbasis manglid di lokasi penelitian berada pada kisaran 98–200
ton/ha atau rata-rata sebesar 145 ton/ha (terdiri dari 44 ton/ha karbon di atas
permukaan tanah dan 101 ton/ha karbon di bawah permukaan tanah). Nilai kisaran
cadangan karbon pada penelitian ini lebih tinggi dari agroforestri kopi di DAS
Konto yang dilaporkan Kurniawan et al. (2010) dengan kisaran karbon total 99–111
ton/ha (Tabel 4).
Tabel 4. Karbon tersimpan pada agroforestri manglid
Plot
AGC (ton/ha) BGC (ton/ha) Total
AGC+
BGC Pohon TB NB NTB Total
AGC AP ATB COT
Total
BGC
1 22,8 0,4 0,0 0,5 23,6 4,6 0,1 69,3 73,9 97,6
2 59,8 0,5 0,4 1,1 61,8 12,0 0,1 40,2 52,3 114,0
3 88,0 0,3 0,0 0,6 89,0 17,6 0,1 51,3 69,0 158,0
4 106,2 0,4 0,0 1,4 108,0 21,2 0,1 65,4 86,7 194,7
5 40,3 0,5 0,0 2,0 42,8 8,1 0,1 75,9 84,0 126,8
6 63,4 0,1 0,0 2,0 65,5 12,7 0,0 91,7 104,4 169,9
M. Siarudin & Y. Indrajaya
144 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Plot
AGC (ton/ha) BGC (ton/ha) Total
AGC+
BGC Pohon TB NB NTB Total
AGC AP ATB COT
Total
BGC
7 42,4 0,1 0,5 1,1 44,1 8,5 0,0 77,4 85,9 130,1
8 75,6 0,2 0,0 0,7 76,5 15,1 0,0 75,9 91,0 167,5
9 25,2 0,2 0,0 0,6 26,0 5,0 0,0 67,4 72,5 98,5
10 17,7 0,5 0,0 1,8 20,1 3,5 0,1 116,6 120,2 140,3
11 32,2 0,7 0,0 0,7 33,7 6,4 0,1 114,2 120,7 154,4
12 25,3 0,3 0,0 0,7 26,3 5,1 0,1 125,9 131,0 157,3
13 14,8 0,2 0,0 1,6 16,7 3,0 0,0 117,1 120,1 136,8
14 56,6 6,0 0,0 1,2 63,8 11,3 1,2 124,2 136,7 200,6
15 28,1 0,4 0,0 0,8 29,3 5,6 0,1 113,7 119,4 148,7
16 16,5 0,2 0,0 1,8 18,5 3,3 0,0 144,6 148,0 166,5
17 20,1 0,1 0,0 1,0 21,2 4,0 0,0 91,9 95,9 117,1
18 27,2 0,4 0,0 0,9 28,5 5,4 0,1 96,4 101,9 130,4
AF-K 58,2
(28,4)
0,3
(0,1)
0,1
(0,2)
1,1
(0,6)
59,7
(28,4)
11,6
(5,7)
0,1
(0,0)
68,3
(15,1)
80,0
(15,0)
139,7
(34,3)
AF-S 26,5
(12,7)
1,0
(1,9)
0
1,2
(0,5)
28,7
(14,3)
5,3
(2,5)
0,2
(0,4)
116,1
(15,7)
121,5
(16,1)
150,2
(24,1)
Rata-
rata
42,3
(26,9)
0,6
(1,4)
0,0
(0,1)
1,1
(0,5)
44,2
(27,1)
8,5
(5,4)
0,1
(0,3)
92,2
(28,8)
100,8
(26,2)
144,9
(29,3)
Keterangan: AGC=C-organik di atas permukaan tanah; BGC=C-organik di bawah permukaan tanah;
TB=tumbuhan/tanaman bawah; NB=nekromasa berkayu; NTB=nekromasa tidak berkayu; AP=akar
pohon; ATB=akar tumbuhan/tanaman bawah; COT=C-organik tanah 0-30 cm; AF-S=agroforestri
sederhana; AF-K=agroforestri kompleks; angka dalam kurung menunjukkan nilai simpangan baku.
Besaran cadangan karbon bervariasi antarlokasi, yang mana cadangan karbon
rata-rata di atas permukaan tanah sebesar 17–108 ton/ha (rata-rata 44 ton/ha). Hasil
penelitian ini lebih tinggi dari kisaran karbon tersimpan dalam biomassa di Jawa
Barat, yaitu 2–80 ton/ha (Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan, 2010).
Beberapa hasil penelitian lainnya juga menunjukkan rata-rata dan kisaran karbon di
atas permukaan tanah yang berbeda, seperti agroforestri kebun campuran di Bekasi
sebesar 62 ton/ha (Adinugroho et al., 2012); agroforestri kemenyan di Kabupaten
Tapanuli Utara sebesar 51–66 ton/ha (Antoko, 2011); dan agroforestri di Langkat
sebesar 57–63 ton/ha. Sementara itu, hasil penelitian pada agroforestri kebun cam-
puran di Lampung oleh Yuwono et al. (2012)menunjukkan nilai rata-rata yang
hampir sama, yaitu 43 ton/ha.
Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 145
Tabel 4 memperlihatkan bahwa karbon di atas permukaan tanah terbesar
terdapat pada Plot 4 yang berlokasi di Desa Cikalong Kecamatan Sodonghilir.
Lokasi ini mewakili salah satu agroforestri kompleks yang cukup padat dengan basal
area mencapai 41,6 m2/ha dan terdapat 14 jenis pohon yang menjadi komponen
penyusunnya (Tabel 1). Sementara itu, Plot 13 memperlihatkan bahwa karbon di
atas permukaan tanah memiliki nilai terkecil yang merupakan tegakan agroforestri
manglid sederhana berumur muda dengan basal area hanya 8,76 m2/ha.
(a) (b)
Gambar 3. Persentase komponen penyusun karbon tersimpan di atas permukaan tanah (a);
dan karbon tersimpan di bawah permukaan tanah (b)
Tingginya karbon tersimpan pada tegakan dengan basal area pohon tertinggi
disebabkan sebagian besar komponen karbon tersimpan tersebut berasal dari pohon.
Gambar 3 menunjukkan bahwa karbon pohon menyumbang karbon total di atas
permukaan tanah sebesar 42,34 ton/ha (95,84%), disusul bagian nekromassa tidak
berkayu sebesar 1,15 ton/ha (2,60%), biomassa tumbuhan bawah sebesar 0,64 ton/ha
(1,46%), dan nekromassa berkayu sebesar 0,05 ton/ha (0,11%). Nilai tersebut seban-
ding dengan laporan Kurniawan et al. (2010) di DAS Kalikonto Hulu, Kabupaten
Malang, yang mana persentase karbon dari pohon, nekromassa dan tumbuhan
bawah masing-masing sebesar 93,11%, 5,31%, dan 1,54%.
Karbon tersimpan di bawah permukaan tanah juga tampak bervariasi berkisar
antara 52,4–148 ton/ha dengan rata-rata 100,8 ton/ha (Tabel 4). Sebagian besar
karbon tersimpan tersebut berada dalam bentuk C-organik tanah pada kedalaman
0–30 cm, yaitu sebesar 92,2 ton/ha (91,47%), disusul akar pohon sebesar 8,5 ton/ha
M. Siarudin & Y. Indrajaya
146 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
(8,40%), dan akar tumbuhan bawah sebesar 0,1 ton/ha (0,13%). Kisaran karbon
tanah pada penelitian ini sebanding dengan laporan Nair et al. (2009), yang mana C
tanah pada kedalaman 0–45 cm pada agroforestri Psedotsuga sp. dan Trifolilum sp.
di Amerika sebesar 95,89 ton/ha; demikian juga dengan karbon tanah pada
kedalaman 0–40 cm pada agroforestri kopi ternaungi sebesar 92,27 ton/ha.
Penelitian ini juga sesuai dengan laporan Roshetko et al. (2002) yang menunjukkan
bahwa karbon yang tersimpan di dalam tanah relatif lebih besar dibandingkan
dengan yang tersimpan di dalam biomassa tumbuhan.
Berdasarkan perbandingan antara kedua pola tersebut, pola agroforestri kom-
pleks diketahui memiliki cadangan karbon total di atas permukaan tanah lebih
tinggi, yaitu sebesar 23,6–108 ton/ha (rata-rata 59,7 ton/ha); sedangkan pola
agroforestri sederhana hanya sebesar 16,7–63,9 ton/ha (rata-rata 28,7 ton/ha). Nilai
karbon tersimpan di atas tanah pada agroforestri manglid ini lebih rendah daripada
hasil penelitian di Sulawesi Tengah oleh Wardah et al. (2011), yang mana karbon di
atas permukaan tanah pada agroforestri kompleks berkisar antara 98,46–110,93
ton/ha dan agroforestri sederhana berkisar antara 42,42–83,55 ton/ha. Namun
demikian, nilai karbon tersimpan di atas tanah pada agroforestri manglid ini lebih
tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kurniawan et al. (2010), yang mana
karbon di atas permukaan tanah pada agroforestri multistrata sebesar 43,35 ton/ha
dan agroforestri sederhana sebesar 24,7 ton/ha.
Tingginya cadangan karbon pada pola agroforestri kompleks disebabkan
jumlah individu pohon yang lebih banyak, yaitu rata-rata sebesar 1.622 pohon/ha,
sedangkan pola agroforestri sederhana hanya 872 pohon/ha. Jumlah individu pohon
yang lebih sedikit pada agroforestri sederhana merupakan bagian dari pengaturan
untuk memberikan ruang lebih bagi tanaman bawah. Hal ini terlihat dari jumlah
cadangan karbon tumbuhan bawah pada agroforestri sederhana yang lebih tinggi,
yaitu 1 ton/ha, sedangkan pola agroforestri kompleks hanya sebesar 0,29 ton/ha.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, tumbuhan bawah pada pola agroforestri
sederhana tampak lebih terpelihara secara intensif, sedangkan tumbuhan bawah pada
agroforestri kompleks lebih sering hanya menempati ruang lantai hutan yang tersisa
dan bercampur dengan rumput liar.
Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 147
Nekromassa tidak berkayu pada agroforestri kompleks ataupun sederhana
relatif seimbang, yaitu masing-masing sebesar 1,12 ton/ha dan 1,18 ton/ha. Semen-
tara itu, nekromassa berkayu jarang sekali ditemukan, kecuali dalam bentuk tunggul
pohon dan batang rebah pada beberapa lokasi di lahan agroforestri kompleks.
Sebagian besar tunggul pohon mengalami terubusan kembali sehingga tidak dikate-
gorikan sebagai nekromassa berkayu. Nekromassa berkayu berupa ranting pohon
(diameter >5 cm) yang jatuh atau pohon mati berdiri jarang ditemukan karena
diduga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu bakar sehingga tidak tertinggal
di lahan hutan.
Cadangan karbon di bawah permukaan tanah pada sistem agroforestri seder-
hana lebih tinggi, yaitu sebesar 121,5 ton/ha; sedangkan pada agroforestri kompleks
hanya sebesar 80 ton/ha. Tingginya nilai cadangan karbon di bawah permukaan
tanah pada agroforestri sederhana ini disebabkan tingginya nilai C-organik tanah
pada sistem ini (116,1 ton/ha). Hal ini diduga bahwa nilai C-organik tanah yang
tinggi pada sistem agroforestri sederhana disebabkan adanya pengolahan lahan yang
lebih intensif, terutama berkaitan dengan lebih terbukanya ruang untuk budi daya
tanaman bawah. Terdapatnya budi daya tanaman bawah menyebabkan petani aktif
menyiapkan lahan dan memupuk tanamannya. Menurut Mutuo et al. (2005),
manajemen lahan yang baik pada sistem agroforestri dapat berkontribusi pada
mitigasi emisi CO2 dari tanah. Sementara itu, menurut Lal (2005), kegiatan di
antara beberapa pengelolaan lahan yang dapat memperbaiki cadangan karbon tanah
adalah persiapan lahan dan pemupukan.
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Agroforestri manglid dikembangkan masyarakat secara umum karena memi-
liki komposisi yang seimbang antara basal area manglid dan pohon asosiasi. Namun
demikian, dominasi jenis manglid tampak bervariasi yang ditunjukkan oleh nilai
rasio basal area manglid terhadap basal area total yang relatif tinggi, yaitu sebesar
0,75 pada pola agroforestri sederhana dan hanya 0,42 pada pola agroforestri
M. Siarudin & Y. Indrajaya
148 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
kompleks. Tegakan agroforestri manglid didominasi oleh kelas diameter 5–10 cm
dan terjadi penurunan jumlah manglid pada kelas diameter yang lebih tinggi. Pola
agroforestri sederhana memiliki sebaran jumlah manglid yang relatif seragam
antarkelas diameter dibandingkan dengan pola agroforestri kompleks.
Rata-rata karbon tersimpan pada hutan rakyat pola agroforestri berbasis
manglid di lokasi penelitian ini sebesar 145 ton/ha, terdiri atas 44 ton/ha karbon di
atas permukaan tanah dan 101 ton/ha karbon di bawah permukaan tanah. Pola
agroforestri kompleks memiliki cadangan karbon total di atas permukaan tanah lebih
tinggi, namun memiliki cadangan karbon di bawah permukaan tanah yang lebih
rendah dibandingkan dengan pola agroforestri sederhana.
B. Saran
Informasi karbon tersimpan dalam beberapa tipe agroforestri manglid dapat
menjadi salah satu referensi dalam menentukan arah pembangunan Kabupaten
Tasikmalaya menuju pembangunan yang berorientasi ekonomi dan rendah emisi.
Penelitian lebih lanjut tentang analisis ekonomi berbagai pola agroforestri berbasis
manglid perlu dilakukan. Selain itu, kajian lebih mendalam tentang keanekaragaman
jenis juga dapat dilakukan untuk melengkapi informasi hasil penelitian ini.
Daftar Pustaka
Adinugroho, W. C., Indrawan, A., & Supriyanto, H. S. A. (2012). Kontribusi
Sistem Agroforestri Terhadap Cadangan Karbon di Hulu DAS Kali Bekasi.
(Master), Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Albrecht, A., & Kandji, S. T. (2003). Carbon sequestration in tropical agroforestry
systems. Agriculture, ecosystems & environment, 99(1), 15-27.
Antoko, B. S. (2011). Nilai insentif karbon hutan rakyat kemenyan berbasis
voluntary carbon market di Kabupaten Tapanuli Utara. (Master), Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Struktur Tegakan dan Cadangan Karbon Hutan Rakyat…
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 149
Chave, J., Andalo, C., Brown, S., Cairns, M., Chambers, J., Eamus, D., ..., & Kira,
T. (2005). Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and
balance in tropical forests. Oecologia, 145(1), 87-99.
Hairiah, K., Ekadinata, A., Sari, R. R., & Rahayu, S. (2011). Pengukuran cadangan
karbon dari tingkat lahan ke bentang lahan. World Agroforestry Centre–
ICRAF, South East Asia Regional Office, Bogor, Indonesia.
Hairiah, K., Rahayu, S., & Berlian, I. (2006). Layanan lingkungan agroforestri
berbasis kopi: cadangan karbon dalam biomasa pohon dan bahan organik
tanah (studi kasus dari Sumberjaya, Lampung Barat). AGRIVITA, 28(3),
298-309.
IPCC. (2006). IPCC Guideline 2006 Guidelines for national green house gas
inventories: IPCC.
Kurniawan, S., Prayogo, C., Widianto, M., Lestari, N. D., Aini, F. K., & Hairiah,
K. (2010). Estimasi karbon tersimpan di lahan-lahan pertanian di DAS
Konto, Jawa Timur. RACSA (Rapid Carbon Stock Appraisal). Working
paper 120. World Agroforestry Center (ICRAF). Bogor.
Lal, R. (2005). Forest soils and carbon sequestration. Forest ecology and
management, 220(1), 242-258.
Mulyana, S., & Diniyati, D. (2013). Potensi wilayah sebaran kayu manglid
(Manglietia glauca Bl.) pada hutan rakyat pola agroforestry di Kabupaten
Tasikmalaya dan Ciamis. Paper presented at the Seminar Nasional
Agroforestry, Malang.
Mutuo, P. K., Cadisch, G., Albrecht, A., Palm, C., & Verchot, L. (2005). Potential
of agroforestry for carbon sequestration and mitigation of greenhouse gas
emissions from soils in the tropics. Nutrient cycling in Agroecosystems, 71(1),
43-54.
Nair, P. K. R., Kumar, B. M., & Nair, V. D. (2009). Agroforestry as a strategy for
carbon sequestration. Journal of plant nutrition and soil science, 172(1), 10-
23.
M. Siarudin & Y. Indrajaya
150 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Rohandi, A., Swestiani, D., Gunawan, Nadiharto, Y., Rahwaman, B., & Setiawan,
I. (2010). Identifikasi sebaran populasi dan potensi lahan jenis manglid untuk
pengembangan sumber benih dan hutan rakyat di wilayah Priangan Timur
Laporan Hasil Penelitian RISTEK.
Roshetko, J. M., Delaney, M., Hairiah, K., & Purnomosidhi, P. (2002). Carbon
stocks in Indonesian homegarden systems: Can smallholder systems be
targeted for increased carbon storage? American Journal of Alternative
Agriculture, 17(03), 138-148.
Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for
practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).
Timu Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan. (2010). Cadangan karbon pada
berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di Indonesia. Bogor: Puslitbang Hutan
dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan.
Wardah, B., Toknok, B., & Zulkahidah. (2011). Carbon Stock of Agroforestry
Systems at Adjacent Buffer Zone of Lore Lindu National Park, Central
Sulawesi. Journal of Tropical Soils, 16(2), 123-128.
Yuwono, S., Hilmanto, R., & Qurniati, R. (2012). Estimasi total penyerapan karbon
tersimpan pada sistem agroforestry di Desa Sumber Agung untuk mendukung
RAN GRK. Paper presented at the Seminar Agroforestry III.
Zanne, A. E., Lopez-Gonzalez, G., Coomes, D. A., Ilic, J., Jansen , S., L., S.L.,
M., R.B., ..., & Chave, J. (2009). Global wood density database. Dryad.
Identifier: http://hdl.handle.net/10255/dryad.235.
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 151
Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestri Manglid
di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten
Ciamis
Wuri Handayani1
ABSTRAK
Sistem agroforestri yang mencerminkan struktur tajuk berlapis dapat diterapkan untuk mem-
pertahankan fungsi hidrologi DAS, seperti memperbaiki kualitas air. Sistem agroforestri
merupakan sistem yang tak jarang bersifat kompleks. Perbedaan jenis dan umur tanaman,
teknik pengelolaan, tujuan pengembangan (komersil, tradisionil, atau konservasi), serta iklim
dan topografi akan dapat menghasilkan interaksi dan dampak yang berbeda. Oleh karena itu,
peran agroforestri menjadi bersifat spesifik. Penelitian ini bertujuan mengkaji kondisi hidro-
logi yang dipengaruhi oleh tegakan manglid dan jenis-jenis tanaman bawah yang diuji-
cobakan di bawah tegakan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi terhadap
paramater hidrologi melalui instrumen yang telah ditempatkan di lapangan. Hasil penelitian
menunjukkan intersepsi tajuk tegakan manglid umur 3–4 tahun termasuk tinggi, yaitu
dengan pemangkasan 75% sebesar 31% dan tanpa pemangkasan sebesar 29%. Infiltrasi pada
agroforestri manglid dan monokultur termasuk ke dalam kriteria sangat cepat. Penerapan
pemangkasan 75% menyebabkan aliran permukaan dan erosi meningkat dibandingkan tanpa
pemangkasan. Pola agroforestri manglid+ganyong menghasilkan aliran permukaan dan erosi
lebih rendah daripada monokultur. Sebaliknya, pola agroforestri manglid+suweg dan
manglid+talas menghasilkan erosi dan aliran permukaan lebih besar daripada pola mono-
kultur.
Kata kunci: manglid, agroforestri, monokultur, intersepsi, aliran permukaan, erosi
I. Pendahuluan
Berkurangnya luas tutupan hutan dengan segala penyebabnya telah mengaki-
batkan penurunan peran hutan sebagai pengatur tata air. Padahal, beberapa hasil
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis,
Jawa Barat; Email: [email protected]
W. Handayani
152 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
penelitian menunjukkan bahwa hutan mampu mengurangi potensi banjir dan men-
jadi pengendali (regulator) puncak banjir pada Daerah Aliran Sungai (DAS),
mengatur pasokan air (hasil air), memelihara kualitas air, serta mengendalikan erosi
dan longsor (Hardwinarto, 2009; Kayo et al., 2009; Mulyana et al., 2009;
Murdiyarso & Kurnianto, 2009; Sukresno, 2009). Kondisi hutan yang memiliki
peran pengaturan tata air yang baik adalah hutan dengan tajuk berlapis (Gintings,
2006; Supangat et al., 2008). Oleh karena itu, sistem agroforestri yang mencermin-
kan struktur tajuk berlapis dapat diterapkan untuk mempertahankan fungsi hidrologi
DAS, seperti memperbaiki kualitas air (Noorwidjk et al., 2004; Supangat et al.,
2008).
Sistem stratifikasi tajuk menyerupai hutan dari segi pengaturan air akan ber-
dampak terhadap peningkatan infiltrasi tanah, pengendalian aliran permukaan dan
erosi, pengurangan penguapan tanaman bawah, pengurangan banjir dan melalui
intersepsi pohon (Gintings, 2006; Mahendra, 2009; Noorwidjk et al., 2004; Octavia,
2010; Pramono & Wahyuningrum, 2009). Sebagian besar air hujan yang jatuh pada
lahan bervegetasi akan tertahan pada daun-daun atau tajuk tanaman (intersepsi) dan
menguap kembali ke atmosfer selama dan beberapa saat setelah hujan (Purwanto &
Ruitjer, 2004). Sisa air hujan yang lolos dari cegatan tajuk (air lolos tajuk/through
fall) dan air yang melalui dahan atau batang (aliran batang/stem flow) bersama-sama
akan mencapai tanah atau lantai tegakan sebagai hujan efektif (net presipitation).
Sebaliknya, intersepsi merupakan bagian dari air hujan yang tidak pernah mencapai
permukaan tanah dan tidak berkontribusi terhadap limpasan permukaan, tetapi
bersama-sama dengan transpirasi lebih berperan sebagai komponen dari evapo-
transpirasi (Onozawa et al., 2009; Xiao & McPherson, 2011). Oleh karena itu,
intersepsi merupakan informasi yang penting terkait dengan upaya mengurangi
aliran permukaan, sedangkan air lolos tajuk dan aliran batang berperan dalam pem-
berian kelembaban tanah, pengisian air tanah, atau penghasil aliran permukaan.
Pada lahan agroforestri, aliran permukaan akan tertahan oleh tanaman bawah
dan memberi kesempatan dalam pengisian air tanah melalui infiltrasi. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah hutan, laju infiltrasi pada agroforestri
atau kebun campuran lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa penggunaan lahan
Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 153
lainnya (Agustina et al., 2012; Sofyan, 2006). Sistem agroforestri juga dapat dikate-
gorikan sebagai penerapan konservasi tanah dengan metode vegetatif yang memberi-
kan hasil lebih efektif dalam mengendalikan erosi (Pramono & Wahyuningrum,
2009). Potensi agroforestri terletak pada kemampuannya dalam menyediakan dan
memelihara penutup lahan. Selama musim hujan, serasah dapat mengurangi erosi
pada tingkat tertentu, meskipun tanpa tambahan tindakan konservasi tanah. Namun
demikian, besarnya aliran permukaan dan erosi juga sangat tergantung pada pertum-
buhan tanaman semusim sebagai penutup lahan. Utami et al. (2004) menambahkan
bahwa dengan sistem agroforestri yang terdiri dari beberapa jenis pohon dan tanam-
an bawah, penebangan serentak dapat dihindari. Selain itu, serasah yang berlimpah
dan lebih kaya dihasilkan pula yang selanjutnya akan terdekomposisi sebagai sumber
bahan organik dan unsur hara tanah.
Agroforestri juga dapat dikatakan sebagai bagian dari kegiatan yang mendu-
kung rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan pengayaan tanaman. Menurut
Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, rehabilitasi
hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan mening-
katkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya
dalam mendukung sistem kehidupan tetap terjaga. Agroforestri yang memprak-
tikkan kegiatan penanaman vegetasi dan membentuk strata tajuk merupakan bagian
dari penyelenggaraan konservasi tanah dan air melalui metode vegetatif dan
mendukung UU Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air secara
tidak langsung.
Beberapa keuntungan sistem agroforestri telah diuraikan di atas. Namun,
sistem agroforestri merupakan sistem yang tak jarang bersifat kompleks sehingga
muncul pertanyaan: akankah selalu dihasilkan keuntungan-keuntungan seperti yang
diuraikan tersebut? Perbedaan jenis dan umur tanaman, teknik pengelolaan lahan
(jarak tanam, penjarangan, intensitas pemangkasan, intensitas pemupukan, perla-
kuan serasah, sistem pemanenan), tujuan pengembangan (komersil, tradisionil, atau
untuk konservasi), serta iklim dan topografi tentunya akan menghasilkan interaksi
dan dampak yang berbeda. Oleh karena itu, peran agroforestri menjadi bersifat
spesifik. Pada DAS Citanduy yang termasuk DAS prioritas, banyak dijumpai hutan
W. Handayani
154 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
rakyat yang di antaranya menggunakan sistem agroforestri, seperti dengan jenis
tanaman kayu manglid yang cukup dominan dan tanaman pangan sebagai tanaman
bawahnya. Lalu, bagaimanakah kondisi hidrologi (intersepsi, aliran permukaan,
erosi, dan infiltrasi) yang dipengaruhi oleh sistem agroforestri berbasis manglid pada
jarak tanam, umur, dan perlakuan pemangkasan tertentu, serta dengan jenis-jenis
tanaman pangan yang ditanam di wilayah tersebut? Penelitian ini bertujuan
mengkaji kondisi hidrologi yang dipengaruhi oleh tegakan manglid dan jenis-jenis
tanaman bawah yang diujicobakan di bawah tegakan.
II. Metodologi
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Tenggerraharja, Kecamatan Sukamantri,
Kabupaten Ciamis. Secara geografis, lokasi penelitian berada pada titik koordinat
7o3,9’LS dan 108o13,8’ BT, atau tepat pada hulu DAS Citanduy Hulu dengan
ketinggian 894 m dpl. Jenis tanah lokasi penelitian adalah latosol. Curah hujan rata-
rata tahunan (10 tahun) sebesar 2.359 mm dan termasuk tipe C (agak basah)
menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson. Penelitian dilakukan sejak akhir
tahun 2012 hingga 2014.
B. Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunkan dalam kegiatan penelitian adalah plot hutan rakyat
manglid dengan sistem agroforestri dengan tanaman pangan ganyong, suweg, dan
talas. Tegakan manglid ditanam sejak awal tahun 2010 dengan jarak tanam 2 m x 2
m dan belum dilakukan penjarangan. Alat yang digunakan antara lain karet talang,
penampung air, selang, lem, kertas saring, botol sampel. Peralatan lainnya adalah
plot erosi, penakar curah hujan, double ring infiltrometer, dan timbangan analitik.
C. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi terhadap paramater
hidrologi melalui instrumen yang telah ditempatkan di lapangan. Plot erosi diba-
Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 155
ngun di tengah populasi manglid yang terbagi menjadi dua hamparan (blok), yaitu
manglid tanpa perlakuan pemangkasan dan dengan pemangkasan 75%. Pada setiap
blok, petak perlakuan dibuat untuk membandingkan 1) monokultur manglid, 2)
manglid+ganyong, 3) manglid+suweg yang masing-masing dilakukan dengan dua
kali ulangan (2012–2013). Pada tahun 2014, pengamatan dilanjutkan dengan
mengganti tanaman ganyong yang telah mencapai masa panen dengan tanaman
talas. Jumlah pohon sampel untuk pengamatan intersepsi, aliran batang, dan air lolos
tajuk sebanyak sembilan pohon pada tegakan manglid tanpa pemangkasan dan
sembilan pohon pada tegakan manglid dengan pemangkasan 75%. Pengukuran
infiltrasi tanah dilakukan di dalam setiap plot pada kondisi musim kemarau.
Pengolahan data dilakukan dengan mengkuantifikasi data hasil pengukuran
ke dalam persamaan-persamaan yang umum dan pendekatan neraca air. Selanjutnya,
nilai parameter hidrologi yang telah diperoleh dianalisis deskriptif dan disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik.
III. Hasil dan Pembahasan
A. Intersepsi
Pengamatan intersepsi pada tegakan manglid dengan perlakuan pemangkasan
75% telah dimulai sejak Oktober 2012, sedangkan perlakuan tanpa pemangkasan
baru dilakukan pada bulan Mei 2013 (Tabel 1). Pemangkasan diberikan untuk
tujuan meningkatkan pertumbuhan vegetasi pohon. Pemangkasan menyebabkan
perubahan struktur vegetasi, seperti lebar tajuk, tebal tajuk, dan kerapatan cabang.
Menurut Zinke (1967), air lolos tajuk dipengaruhi oleh tebalnya tajuk, jenis-jenis
pohon yang membentuk tegakan, bentuk daun dan tata letak daun pada cabang,
serta suhu dan kecepatan angin pada saat itu. Jadi, pemangkasan juga akan berdam-
pak terhadap intersepsi air hujan oleh tajuk.
W. Handayani
156 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 157
W. Handayani
158 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Hasil pengukuran intersepsi pada bulan Mei 2013 hingga Desember 2014
menunjukkan nilai intersepsi tegakan manglid dengan pemangkasan lebih rendah
2% daripada nilai intersepsi tegakan tanpa pemangkasan (Gambar 1). Nilai
intersepsi pada tegakan dengan pemangkasan sebesar 27% (1.266,1 mm) dan pada
tegakan tanpa pemangkasan sebesar 29% (1.368,7 mm). Pemangkasan menyebabkan
penurunan tebal dan luas permukaan tajuk sehingga air hujan yang terintersepsi pada
permukaan tajuk juga semakin berkurang. Sebaliknya, pemangkasan meningkatkan
air lolos tajuk dan aliran batang, masing-masing 1% dan 1,4%. Air lolos tajuk pada
tegakan dengan pemangkasan diperoleh nilai sebesar 70% (3.294,9 mm) dan tanpa
pemangkasan sebesar 69% (3.257,1 mm). Sementara itu, aliran batang pada tegakan
dengan pemangkasan diperoleh nilai sebesar 3,5% (163,6 mm) dan tanpa pemang-
kasan sebesar 2,1% (97,2 mm). Pemangkasan menghasilkan peningkatan ruang
antartajuk yang memudahkan air hujan untuk lolos melalui ruang antartajuk.
Menurut Asdak et al., (1998), bertambahnya diameter batang akan meningkatkan
jumlah aliran batang. Hal ini terbukti pula pada hasil penelitian karena pemang-
kasan telah meningkatkan rata-rata tinggi dan diameter batang sehingga aliran
batang menjadi lebih tinggi pada tegakan dengan pemangkasan daripada tanpa
pemangkasan. Pemangkasan intensitas 75% menghasilkan tegakan dengan rata-rata
tinggi sebesar 4,4 m dan diameter 57 cm, sedangkan pada tegakan tanpa pemang-
kasan diperoleh rata-rata tinggi sebesar 3,5 m dan diameter 51 cm.
Nilai intersepsi, air lolos tajuk, dan aliran batang tanaman manglid pada umur
empat tahun lebih rendah dibandingkan dengan umur tiga tahun, baik pada tegakan
pemangkasan 75% maupun tanpa pemangkasan. Pada tahun 2013, curah hujan lebih
tinggi daripada tahun 2014 sehingga hal ini juga dapat memengaruhi besaran inter-
sepsi, air lolos tajuk, dan aliran batang pada tanaman manglid. Pada tegakan
manglid dengan pemangkasan pada umur tiga tahun (14 bulan pengamatan),
intersepsi yang dihasilkan sebesar 37% (1.898,5 mm), air lolos tajuk sebesar 59%
(3.059,6 mm), dan aliran batang 4,5% (234,3 mm). Setelah mencapai umur empat
tahun (12 bulan pengamatan), intersepsi menurun menjadi 23% (659,1 mm), air
lolos tajuk meningkat menjadi 73% (2.132,9 mm), dan aliran batang menjadi 4,1%
(119,6 mm). Sementara itu, tegakan manglid tanpa pemangkasan pada umur tiga
tahun (tujuh bulan pengamatan) menghasilkan nilai intersepsi sebesar 37% (666,3
Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 159
mm), air lolos tajuk 61% (1.111,3 mm), dan aliran batang 2% (35,4 mm).
Kemudian, pada umur empat tahun (12 bulan pengamatan), intersepsi menurun
menjadi 24% (702,4 mm), air lolos tajuk meningkat 74% (2.145,8 mm), dan aliran
batang menjadi 2,1% (61,8 mm).
Gambar 1. Air lolos tajuk, aliran batang dan intersepsi pada tegakan manglid dengan
pemangkasan (P75) dan tanpa pemangkasan (P0)
Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, beberapa nilai intersepsi hutan
atau beberapa jenis vegetasi dapat diketahui, antara lain hutan klimaks sebesar 25–
35% (Soejoko et al., 1998); pinus 15,7%, puspa 13,7%, dan agathis 14,7% (Rusdiana
et al., 2002); jati umur dua tahun 38,1% dan umur tiga tahun 40,3%, jati tumpang
sari 32,5% (Hendrayanto et al., 2002); dan A. loranthifolia Sal. 41,75%
(Heryansyah, 2008). Pada penelitian ini, jenis manglid umur 3–4 tahun dengan
pemangkasan 75% menghasilkan nilai intersepsi sebesar 31% dan pada tegakan
tanpa pemangkasan sebesar 29% (Tabel 1). Dengan demikian, nilai intersepsi
tegakan manglid mendekati hutan klimaks seperti yang dikemukakan Soejoko et al.
(1998) atau beberapa jenis pohon hutan lainnya.
0
10
20
30
40
Mei
Jun
iA
gtSe
pO
ktN
ov
Des
Jan
Feb
Mrt
Ap
ril
Mei
Jun
iJu
liSe
pO
ktN
ov
Des
mm
Aliran batang P75% Aliran batang P0%
0
1,000
2,000
3,000
4,000
Air lolos tajuk Aliran batang Intersepsi
mm
Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan
0
50
100
150
200
250
Mei
Jun
iA
gtSe
pO
ktN
ov
Des
Jan
Feb
Mrt
Ap
ril
Mei
Jun
iJu
liSe
pO
ktN
ov
Des
mm
Intersepsi P75% Intersepsi P0%
0
200
400
600
Mei
Jun
iA
gtSe
pO
ktN
ov
Des
Jan
Feb
Mrt
Ap
ril
Mei
Jun
iJu
liSe
pO
ktN
ov
Des
mm
Air lolos tajuk P75% Air lolos tajuk P0%
W. Handayani
160 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
B. Infiltrasi
Pengukuran infltrasi dengan menggunakan double ring infiltrometer merupa-
kan pengukuran sesaat untuk memperoleh persamaan infiltrasi yang dapat
digunakan untuk memprediksi besarnya air hujan yang terserap ke dalam tanah
selama durasi hujan telah diketahui. Kemampuan tanah menginfiltrasi air hujan
dapat memengaruhi jumlah air hujan yang melimpas di atas permukaan tanah (aliran
permukaan). Namun, kemampuan tanah menginfiltrasi air hujan akan berkurang
secara bertahap setelah tanah berangsur-angsur menjadi jenuh.
Hasil pengukuran infiltrasi, baik pada plot tegakan manglid dengan pemang-
kasan 75% maupun tanpa pemangkasan, termasuk kriteria sangat cepat (>25
cm/jam) (Tabel 2). Pada plot tegakan manglid dengan pemangkasan, nilai infiltrasi
awal (fo) dan infiltrasi konstan (fc) terendah terdapat pada pola monokultur, diikuti
agroforestri manglid+ganyong dan terakhir agroforestri manglid+suweg (Tabel 2 dan
Gambar 2). Infiltrasi pada pola agroforestri manglid+ganyong memiliki rentang nilai
yang sangat lebar. Sementara itu, pada plot tegakan tanpa pemangkasan, nilai
infiltrasi awal (fo) dan infiltrasi konstan (fc) terendah terdapat pada pola agroforestri
manglid+suweg, diikuti monokultur manglid dan agroforestri manglid+ganyong.
Tabel 2. Nilai parameter infiltrasi hasil pengukuran pada plot penelitian
Pola tanam Ulang-
an
Infiltrasi (cm/jam)
Plot manglid dengan pemangkasan 75% Plot manglid tanpa pemangkasan
fc fo Persamaan fc fo Persamaan
Manglid+ganyong 1 90 132 90 + (132-90).e-4,634 t 102 153 102 + (153-102).e-7,287 t
2 15 30 15 + (30-15).e-4,666 t 60 81 60 + (81-60).e-4,708 t
Manglid+suweg 1 72 126 72 + (126-72).e-5,382 t 45 69 45 + (69-450).e-3,850 t
2 90 120 90 + (120-90).e-2,911 t 21 45 21 + (45-21).e-2,616 t
Monokultur
Manglid
1 19,5 33 19,5 + (33-19,5).e-3,476 t 78 117 78 + (117-78).e-2,63 t
2 7,2 150 7,2 + (15-7,2).e-3,527 t 45 75 45 + (75-45).e-3,422 t
Keterangan: fc=infiltrasi konstan, fo=infiltrasi awal, t=waktu
Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 161
Gambar 2. Grafik rata-rata infiltrasi pada pola agroforestri manglid+ganyong, agroforestri
manglid+suweg, dan monokultur manglid
Infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa sifat fisik tanah, seperti kandungan bahan
organik, porositas tanah, berat isi tanah, dan tekstur. Pada beberapa kasus, perakaran
tanaman pohon dapat memengaruhi infiltrasi karena pembentukan lubang-lubang
tanah oleh akar, baik yang sudah mati maupun yang masih tumbuh. Sementara itu,
sifat-sifat fisik tanah dapat dipengaruhi melalui vegetasi tanaman dalam jangka
waktu yang lama. Dengan demikian, pengaruh tanaman terhadap infiltrasi pada
dasarnya bersifat tidak langsung. Melalui perlakuan vegetasi yang dapat memper-
baiki sifat tanah, kapasitas infiltrasi pun diharapkan dapat ditingkatkan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pola tanam tidak menghasilkan perbedaan infiltrasi
yang jelas; namun demikian, sifat tanah yang ada mampu menghasilkan kemampuan
infiltrasi yang tergolong cepat (Gambar 2).
C. Aliran Permukaan dan Erosi
Penurunan nilai intersepsi dan peningkatan air lolos tajuk ataupun aliran
batang akibat pemangkasan akan berimplikasi pada peningkatan aliran permukaan
(run-off) dan erosi di bawah tegakan, terutama pada curah hujan tinggi. Penanaman
di bawah tegakan dapat membantu menahan limpasan air hujan pada permukaan
tanah sehingga memperbesar kesempatan air hujan untuk terserap terlebih dulu ke
dalam tanah melalui proses infiltrasi. Kemampuan tanaman bawah tegakan dalam
menahan dan mengurangi laju aliran permukaan tergantung pada jenis dan karak-
teristik tanaman.
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Infi
ltra
si (
cm
/ja
m)
Menit ke-
Pemangkasan 75%
Manglid+Ganyong Manglid+Suweg Manglid Monokultur
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Infi
ltra
si (
cm
/ja
m)
Menit ke-
Tanpa pemangkasan
Manglid+Ganyong Manglid+Suweg Manglid Monokultur
W. Handayani
162 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Pengamatan aliran permukaan dan erosi di bawah tegakan manglid dibagi
menjadi dua periode. Periode tahun 2013 dilakukan pengamatan aliran permukaan
dan erosi yang dihasilkan dari pola monokultur dan agroforestri dengan jenis tanam-
an bawah ganyong dan suweg. Periode tahun 2014 dilakukan pengamatan aliran
permukaan dan erosi yang dihasilkan dari pola monokultur dan agroforestri dengan
jenis tanaman bawah talas dan suweg.
Tabel 3. Aliran permukaan di bawah tegakan agroforestri dan monokultur manglid tahun
2012-2013
Tahun dan bulan Hujan
(mm)
Aliran permukaan (mm)
Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan
Ganyong Suweg Monokultur Ganyong Suweg Monokultur
2012 Oktober 136,2 3,18 3,77 3,56
November 409,8 10,39 8,84 9,68
Desember 838,9 19,82 20,84 23,70
2013 Januari 600,0 16,88 19,21 11,37
Februari 299,1 9,75 12,59 9,07
Maret 521,9 14,02 26,03 11,20
April 573,6 39,61 139,37 55,46
Mei 300,5 4,76 36,94 6,90 4,68 7,10 5,04
Juni 244,0 13,39 41,86 13,55 5,77 9,25 8,28
Agustus 10,0 0,02 0,04 0,01 0,11 0,07 0,06
September 133,0 1,40 0,70 0,15 1,20 1,35 1,11
Oktober 125,0 0,78 0,97 0,37 0,54 0,52 0,50
November 393,0 2,15 2,72 1,04 3,33 2,55 2,18
Desember 607,5 5,97 32,10 1,81 4,72 2,63 4,41
Σ Mei–Desember
2013 1.813,0 28,47 115,33 23,84 20,36 23,47 21,59
Σ Oktober 2012–
Desember 2013 5.192,4 142,11 345,98 147,89
Berdasarkan perbandingan aliran permukaan periode tahun 2013 pada pola
agroforestri dan monokultur manglid (baik tanpa pemangkasan maupun dengan
pemangkasan 75%), aliran permukaan terendah terdapat pada plot agroforestri
Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 163
manglid+ganyong yang diikuti plot monokultur, sedangkan nilai tertinggi pada plot
agroforestri manglid+suweg (Tabel 3 dan Gambar 3). Pada tegakan manglid dengan
pemangkasan (14 bulan pengamatan), aliran permukaan pada plot agroforestri
manglid+ganyong sebesar 142,11 mm, plot monokultur manglid sebesar 147,89
mm, dan plot agroforestri manglid+suweg sebesar 345,98 mm. Sementara itu, pada
tegakan manglid tanpa pemangkasan (tujuh bulan pengamatan), aliran permukaan
pada plot agroforestri manglid+ganyong sebesar 20,36 mm, plot monokultur
manglid sebesar 21,59 mm, dan plot agroforestri manglid+suweg sebesar 23,47 mm.
Hal ini menunjukkan bahwa agroforestri manglid+ganyong dapat menurunkan
aliran permukaan lebih baik daripada monokultur. Sebaliknya, agroforestri
manglid+suweg menghasilkan aliran permukaan lebih besar daripada monokultur.
Perlakuan pemangkasan menyebabkan aliran permukaan meningkat dibandingkan
tanpa pemangkasan (Gambar 3).
Gambar 3. Perbandingan aliran permukaan di bawah tegakan manglid dengan pola agro-
forestri dan monokultur
Karakteristik tanaman ganyong memiliki rumpun yang lebat sehingga menye-
babkan air hujan tertahan oleh tajuk (intersepsi) dan mengurangi kesempatan air
hujan menjadi aliran permukaan. Selain itu, kondisi ini juga dapat melindungi tanah
dari tumbukan hujan sehingga dapat menurunkan erosi. Di sisi lain, pemanenan
ganyong dapat menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan erosi karena lantai
tegakan menjadi terbuka, terutama pada tegakan dengan pemangkasan. Pada
agroforestri manglid+suweg ataupun monokultur, penutupan oleh tajuk relatif
142.1
346.0
147.9
20.4 23.5 21.6
0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0
300.0
350.0
400.0
Manglid+ganyong Manglid+suweg Monokultur manglid
Alira
n p
erm
ukaan
(m
m)
Tahun 2012-2013
27.6
78.5
20.627.3 27.0
16.7
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
90.0
Manglid+talas Manglid+suweg Monokultur manglid
Aliran
perm
ukaan
(m
m)
Tahun 2014
Pemangkasan 75%
Tanpa pemangkasan
W. Handayani
164 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
kurang rapat sehingga air hujan akan jatuh langsung ke tanah dan berpeluang
meningkatkan aliran permukaan. Pada plot agroforestri manglid+suweg, terdapat
kegiatan pengolahan tanah pada masa tanam atau masa pemeliharaan suweg. Hal ini
akan menghasilkan sejumlah besar pelepasan partikel tanah permukaan yang hanyut
oleh aliran permukaan selama hujan sehingga erosi (accelarated erosion) pun
meningkat. Di sisi lain, pengolahan tanah juga dapat meningkatkan pemadatan
tanah, terutama pada jenis tanah liat, sehingga menyebabkan penurunan daya atau
kapasitas tanah menyerap air dan meningkatkan aliran permukaan. Pada pola
monokultur, pengolahan tanah jarang dilakukan; bahkan, gulma rumput dan serasah
daun pun lebih sering dibiarkan daripada dilakukan penyiangan. Rumput dan
serasah ini memiliki kemampuan untuk mengurangi energi kinetik hujan memecah
agregat tanah dan menahan energi mekanik air hujan di atas permukaan tanah
sehingga akan menurunkan aliran permukaan dan erosi.
Hasil pengamatan periode tahun 2014 pada tegakan dengan pemangkasan
(Tabel 4 dan Gambar 3) menunjukkan bahwa aliran permukaan terendah terdapat
pada plot monokultur (20,64 mm) yang diikuti oleh plot agroforestri manglid+talas
(27,62 mm), sedangkan nilai tertinggi pada plot agroforestri manglid+suweg (78,49
mm). Pada tegakan tanpa pemangkasan, aliran permukaan terendah juga dihasilkan
oleh plot monokultur (16,72 mm), tetapi aliran permukaan tertinggi dihasilkan oleh
plot agroforestri manglid+talas (27,26 mm). Sementara, plot agroforestri manglid+
suweg (27,0 mm) menduduki peringkat kedua. Pemangkasan juga menyebabkan
aliran permukaan di bawah tegakan manglid lebih tinggi daripada di bawah tegakan
tanpa pemangkasan.
Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 165
Tabel 4. Aliran permukaan di bawah tegakan agroforestri dan monokultur manglid tahun
2014
Bulan Hujan
(mm)
Aliran permukaan (mm)
Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan
Talas Suweg Monokultur Talas Suweg Monokultur
Januari 449,05 9,01 22,44 2,56 6,32 4,66 2,72
Febuari 346,00 3,84 11,82 2,31 3,88 2,21 1,67
Maret 408,50 5,39 23,37 2,99 4,34 1,74 2,81
April *) 498,00 3,76 13,82 7,71 5,00 1,80 3,49
Mei 114,50 0,75 1,52 1,13 1,04 0,89 0,78
Juni 101,50 0,57 0,40 0,43 0,72 0,52 0,51
Juli 98,50 0,35 0,51 0,32 0,58 0,71 0,77
September 34,00 0,06 0,04 0,04 0,07 0,18 0,21
Oktober 21,00 0,03 0,02 0,03 0,14 0,14 0,11
November 336,00 1,33 1,80 1,03 2,59 1,80 1,85
Desember 396,50 2,52 2,76 2,09 2,58 12,37 1,81
Jumlah 2.803,6 27,62 78,49 20,64 27,26 27,00 16,72
Keterangan: *) Jumlah hujan dan aliran permukaan yang dicantumkan tidak termasuk empat hari
kejadian hujan yang tidak tercatat
Proses erosi dimulai dari terlepasnya agregat tanah menjadi partikel-partikel
tanah lepas yang disebabkan oleh adanya tumbukan hujan atau pengolahan tanah.
Partikel-partikel tersebut lalu terbawa aliran permukaan. Oleh karena itu, besaran
erosi kerap kali mengikuti besaran aliran permukaan. Pengamatan periode tahun
2013 di bawah tegakan manglid dengan pemangkasan ataupun tanpa pemangkasan
menunjukkan bahwa jumlah erosi yang dihasilkan dari plot agroforestri manglid+
ganyong adalah yang paling rendah dibandingkan dengan plot monokultur manglid
dan plot agroforestri manglid+suweg (Tabel 5 dan Gambar 4). Pada tegakan
manglid dengan pemangkasan, plot agroforestri manglid+ganyong menghasilkan
erosi sebesar 2,54 ton/ha, monokultur manglid sebesar 5,7 ton/ha, dan agroforestri
manglid+suweg mencapai 10,99 ton/ha. Pada tegakan manglid tanpa pemangkasan,
plot agroforestri manglid+ganyong menghasilkan erosi sebesar 0,07 ton/ha,
monokultur manglid sebesar 0,10 ton/ha, dan agroforestri manglid+suweg sebesar
0,24 ton/ha.
W. Handayani
166 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 5. Erosi di bawah tegakan agroforestri dan monokultur manglid tahun 2012–2013
Tahun dan bulan Hujan
(mm)
Erosi (ton/ha)
Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan
Ganyong Suweg Monokultur Ganyong Suweg Monokultur
2012 Oktober 136,2 0,01553 0,01548 0,09767
November 409,8 0,19082 0,18834 0,40309
Desember 838,9 1,14748 5,80515 2,54472
2013 Januari 600,0 0,50312 0,76193 0,46484
Februari 299,1 0,14180 0,39219 0,17211
Maret 521,9 0,12192 0,59794 0,19452
April 573,6 0,31868 2,75772 1,70531
Mei 300,5 0,01732 0,14142 0,02165 0,01317 0,03553 0,02025
Juni 244,0 0,06329 0,24655 0,08533 0,02982 0,17765 0,05678
Agustus 10,0 0,00007 0,00008 0,00003 0,00050 0,00022 0,00034
September 133,0 0,00466 0,00193 0,00075 0,00270 0,00297 0,00268
Oktober 125,0 0,00269 0,00113 0,00032 0,00214 0,00163 0,00255
November 393,0 0,00785 0,00902 0,00289 0,01184 0,01234 0,00969
Desember 607,5 0,00957 0,06605 0,00265 0,01218 0,00732 0,00984
Σ Mei–Desember
2013 1.813,0 0,10545 0,46619 0,11363 0,07235 0,23765 0,10212
Σ Oktober 2012–
Desember 2013 5.192,4 2,54480 10,98495 5,69588
Gambar 4. Perbandingan jumlah erosi di bawah tegakan manglid dengan pola agroforestri
dan monokultur
2.54
10.99
5.70
0.07 0.24 0.100.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
Manglid+ganyong Manglid+suweg Monokultur manglid
Alira
n p
erm
ukaan
(m
m)
Tahun 2012-2013
0.07
0.38
0.050.08
0.03 0.03
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
Manglid+talas Manglid+suweg Monokultur manglid
Alira
n p
erm
ukaan
(m
m)
Tahun 2014
Pemangkasan 75%
Tanpa pemangkasan
Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 167
Seperti halnya pada aliran permukaan, hasil pengamatan pada periode 2014 di
bawah tegakan manglid dengan pemangkasan ataupun tanpa pemangkasan menun-
jukkan bahwa jumlah erosi terendah dihasilkan dari plot monokultur manglid.
Jumlah erosi ini juga lebih rendah dibandingkan dengan plot agroforestri manglid+
talas dan plot agroforestri manglid+suweg (Tabel 6 dan Gambar 4). Perlakuan
pemangkasan juga menyebabkan erosi yang terjadi di bawah tegakan meningkat.
Tabel 6. Erosi di bawah tegakan agroforestri dan monokultur manglid tahun 2014
Bulan Hujan
(mm)
Erosi (ton/ha)
Pemangkasan 75% Tanpa pemangkasan
Talas Suweg Monokultur Talas Suweg Monokultur
Januari 449,05 0,0270 0,0718 0,0037 0,0306 0,0093 0,0042
Febuari 346,00 0,0068 0,0707 0,0029 0,0063 0,0029 0,0020
Maret 408,50 0,0032 0,0993 0,0096 0,0107 0,0045 0,0022
April 498,00 0,0176 0,0863 0,0273 0,0064 0,0043 0,0090
Mei 114,50 0,0011 0,0193 0,0014 0,0067 0,0028 0,0019
Juni 101,50 0,0015 0,0022 0,0007 0,0015 0,0005 0,0040
Juli 98,50 0,0006 0,0056 0,0008 0,0019 0,0026 0,0023
September 34,00 0,0001 0,0002 0,0003 0,0002 0,0004 0,0004
Oktober 21,00 0,0000 0,0002 0,0004 0,0003 0,0002 0,0003
November 336,00 0,0019 0,0082 0,0038 0,0073 0,0030 0,0022
Desember 396,50 0,0083 0,0201 0,0034 0,0036 0,0024 0,0015
Jumlah 2.803,6 0,0681 0,3840 0,0542 0,0755 0,0329 0,0301
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Pemangkasan mengurangi intersepsi air hujan oleh tajuk, tetapi sebaliknya
meningkatkan air lolos tajuk (through fall). Pengaruh pemangkasan terhadap
penambahan tinggi dan diameter batang pohon menyebabkan aliran batang (stem
flow) yang dihasilkan juga lebih besar dibandingkan tanpa perlakuan pemangkasan.
Nilai intersepsi tegakan manglid umur 3–4 tahun termasuk tinggi, baik pada tegakan
W. Handayani
168 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
manglid yang diberi perlakuan pemangkasan (31%) maupun tanpa pemangkasan
(29%).
Kapasitas infiltrasi pada pola agroforestri dan monokultur manglid termasuk
sangat cepat sehingga penanaman tanaman bawah tidak berpengaruh banyak
terhadap perbaikan sifat tanah yang terkait dengan infiltrasi.
Penerapan pemangkasan 75% menyebabkan aliran permukaan dan erosi di
bawah tegakan meningkat. Pola agroforestri manglid+ganyong menghasilkan aliran
permukaan dan erosi lebih rendah daripada monokultur manglid. Sementara itu,
pola agroforestri manglid+suweg dan manglid+talas menghasilkan aliran permukaan
dan erosi yang lebih besar daripada monokultur manglid. Pola monokultur manglid
memiliki pengolahan lahan minimal yang mana rumput dan serasah menutup rapat
permukaan tanah sehingga dapat menekan aliran permukaan dan erosi lebih baik.
B. Saran
Agroforestri manglid+ganyong dapat diterapkan sebagai model konservasi
tanah dan air yang bersifat adaptif. Hal ini karena selain memelihara lingkungan,
pola ini juga mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat petani selama
menanti hasil kayu. Aplikasi pemangkasan perlu dilakukan secara hati-hati, misalnya
dengan menyertakan tindakan konservasi tanah dan air untuk mengantisipasi
terjadinya peningkatan air lolos tajuk yang berimplikasi pada peningkatan aliran
permukaan dan erosi. Ditinjau dari nilai intersepsi manglid, tanaman ini bermanfaat
diterapkan pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan tinggi sehingga dapat
mengurangi banjir tanpa memengaruhi secara signifikan cadangan air tanah.
Daftar Pustaka
Agustina, D., Setyowati, D. L., & Sugiyanto. (2012). Analisis kapasitas infiltrasi
pada beberapa penggunaan lahan di Kelurahan Sekaran, Kecamatan
Gunungpati, Kota Semarang. Geo Image, 1(1).
Hidrologi Hutan Rakyat Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 169
Asdak, C., Jarvis, P., Van Gardingen, P., & Fraser, A. (1998). Rainfall interception
loss in unlogged and logged forest areas of Central Kalimantan, Indonesia.
Journal of hydrology, 206(3), 237-244.
Gintings, N. (2006). hutan, tata air dan kelestarian DAS citatih. . Paper presented
at the Seminar Peran Serta Para Pihak dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan
Daerah Aliran Sungai Citatih-Cimandiri., Bogor.
Hardwinarto, S. (2009). Sumbangan hutan terhadap hasil air. Paper presented at the
Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung
DAS, Bogor.
Kayo, S. D. M., Ilyas, M. A., Setiadi, D., & Satriana, E. (2009). Hutan sebagai
pengendali (regulator) puncak banjir pada daerah aliran sungai. Paper
presented at the Workshop Peran Hutan Dan Kehutanan Dalam
Meningkatkan Daya Dukung DAS, Surakarta.
Mahendra, F. (2009). Sistem agroforestri dan aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Mulyana, N., Kusmana, C., Abdulah, K., & Prasetio, L. B. (2009). Hubungan luas
tutupan hutan terhadap potensi banjir dan koefisien limpasan di beberapa
DAS di Indonesia. Paper presented at the Workshop Peran Hutan dan
Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS, Bogor.
Murdiyarso, D., & Kurnianto, S. (2009). Peranan vegetasi hutan dalam mengatur
pasokan air. Paper presented at the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan
dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS, Surakarta.
Noorwidjk, M. v., Agus, F., Suprayogo, D., Hairiah, K., Pasya, G., B.Verbist, &
Farida. (2004). Peranan agroforestri dalam mempertahankan fungsi hidrologi
daerah aliran sungai. AGRIVITA, 26(1).
Octavia, D. (2010). Peran sistem agroforestry dalam pengelolaan daerah aliran
sungai dan implikasinya dalam mitigasi perubahan iklim. Paper presented at
the Ekspose Hasil Litbang, Surakarta.
W. Handayani
170 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Onozawa, Y., Chiwa, M., Komatsu, H., & Otsuki, K. (2009). Rainfall interception
in a moso bamboo (Phyllostachys pubescens) forest. Journal of Forest
Research, 14(2), 111-116.
Pramono, I. B., & Wahyuningrum, N. (2009). Model pengendalian run-off dan
erosi dengan metode vegetatif (Studi Kasus Sub DAS Dungwot). Paper
presented at the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam
Meningkatkan Daya Dukung DAS, Surakarta.
Purwanto, E., & Ruitjer, J. (2004). Hubungan antara hutan dan fungsi DAS.
Dampak Hidrologi Hutan, Agroforestri dan Pertanian Lahan Kering sebagai
Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan. Prosiding
Lokakarya di Padang, Singkarak, Sumatera Barat, Indonesia. World
Agroforestry Center.
Sofyan, M. (2006). Pengaruh berbagai penggunaan lahan terhadap laju infiltrasi
tanah.
Sukresno. (2009). Peran hutan dalam pengendalian tanah longsor. Paper presented
at the Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS, Surakarta.
Supangat, A. B., Junaedi, A., Kosasih, Nasrun, & Frianto, D. (2008). Kajian Tata
Air Hutan Acacia mangium dan Eucalyptus pellita. Laporan Hasil Penelitian.
Balai Penelitian Kehutanan Kuok. Kuok.
Utami, S. R., Widianto, & Suprayogo, D. (2004). Apakah penghutanan kembali
dapat memulihkan fungsi hidrologis hutan alam? . Paper presented at the
Kongres Nasional V Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia dan
Seminar Nasional Degradasi Hutan dan Lahan, Yogyakarta.
Xiao, Q., & McPherson, E. G. (2011). Rainfall interception of three trees in
Oakland, California. Urban Ecosystems, 14(4), 755-769.
Zinke, P. J. (1967). Forest interception studies in the United States: Forest
Hydrology. Oxford, UK: Pergamon Press.
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 171
Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid
Edy Junaidi1
ABSTRAK
Perubahan tutupan lahan pada suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) memengaruhi
fungsi hidrologinya. Perkembangan penanaman tanaman manglid pada hutan rakyat di Jawa
Barat akan memengaruhi perubahan kondisi lingkungan, terutama kondisi hidrologi tempat
tumbuhnya. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh keberadaan tutupan lahan dominan
manglid terhadap hasil air yang disumbangkan ke aliran sungai dan membandingkan respons
hidrologi dengan tipe penggunaan lahan lainnya. Analisis respons hidrologi menggunakan
model hidrologi Soil and Water Assessment Toll (SWAT). Keberadaan tutupan lahan
kebun campuran manglid berkontribusi positif terhadap tata air DAS. Peningkatan hujan
dan debit berkorelasi negatif terhadap aliran permukaan dan berkorelasi positif terhadap
sumbangan yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar. Keberadaan tutupan lahan kebun
campuran manglid mempunyai tren yang sama terhadap kompenan sumbangan aliran sungai
dengan tutupan lahan hutan, kebun campuran, dan semak belukar.
Kata kunci: tata air, kebun campuran manglid
I. Pendahuluan
Dalam pendekatan hidrologis, Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan
wilayah yang dibatasi punggung bukit (pemisahan topografi) di mana air hujan yang
jatuh pada daerah tersebut akan ditampung dan kelebihannya dialirkan melalui
sungai kecil ke sungai utama. Menurut Pawitan (2004), DAS sebagai satuan hidro-
logi lahan memiliki tiga fungsi dasar, yaitu 1) mengumpulkan curah hujan, 2)
menyimpan air hujan yang terkumpul dalam sistem-sistem simpanan air DAS, dan
3) mengalirkan air sebagai limpasan. Ketiga fungsi hidrologi DAS tersebut berinter-
aksi dalam suatu sistem DAS yang merupakan sistem simpanan massa air, serta
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4, Ciamis,
Jawa Barat 46201; Email: [email protected]
E. Junaidi
172 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
hubungan masukan hujan dan keluaran limpasan DAS. Sebagai suatu sistem, terda-
pat berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain di dalam DAS. Kom-
ponen tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu 1) komponen biofisik
yang bersifat alami dan menunjukkan karakteristik yang dimiliki setiap DAS; dan 2)
komponen nonbiofisik yang menunjukkan manusia dengan berbagai ragam per-
soalan, latar belakang budaya, sosial ekonomi, sikap politik, kelembagaan, dan
tatanannya.
Keberadaan tutupan lahan pada suatu DAS merupakan salah satu komponen
biofisik yang penting. Perubahan tutupan lahan pada suatu sistem DAS akan
memengaruhi fungsi hidrologi DAS. Penelitian tentang dampak perubahan tutupan
lahan terhadap respons hidrologi telah banyak dilakukan (Andréassian, 2004;
Bruijnzeel, 2004). Pola agroforestri (wanatani) merupakan salah satu bentuk tutupan
lahan yang mulai berkembang dan diterapkan pada lahan masyarakat. Pola ini
merupakan alternatif bentuk tutupan lahan yang terdiri dari campuran tanaman
keras (pepohonan atau semak) dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak
dalam satu bidang lahan. Komposisi tanaman yang beragam pada agroforestri ini
menyebabkan agroforestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada
tutupan hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, dan lahan kosong.
Berdasarkan fakta tersebut, para ahli berpendapat bahwa strata tegakan yang menye-
rupai pola hutan pada pola agroforestri menguntungkan secara lingkungan. Hasil
kajian Junaidi (2013) menunjukkan bahwa pola agroforestri memiliki kemampuan
mempertahankan fungsi hidrologi DAS yang menyerupai hutan.
Tanaman manglid merupakan salah satu tanaman kayu pertukangan yang
banyak ditanam pada lahan hutan rakyat di Jawa Barat. Pada umumnya, jenis ini
ditanam pada tutupan lahan kebun campuran bersama dengan tanaman kayu lainnya
dan tanaman semusim (pola agroforestri). Keberadaan tanaman ini semakin berkem-
bang yang secara langsung akan memengaruhi perubahan kondisi lingkungan,
terutama kondisi hidrologi tempat tumbuhnya. Penelitian ini bertujuan mengkaji
pengaruh keberadaan tutupan lahan dominan manglid terhadap hasil air yang
disumbangkan ke aliran sungai dan membandingkan respons hidrologinya dengan
tipe penggunaan lahan lainnya.
Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 173
II. Metodologi
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di DAS Citanduy Hulu yang merupakan salah satu
sub-DAS pada DAS Citanduy, Jawa Barat. Daerah Aliran Sungai Citanduy Hulu
terletak pada hulu DAS Citanduy yang secara Geografi terletak pada 7o7’–7o17’ LS
dan 108o4’–108o24’ BT (Gambar 1). Luas DAS Citanduy Hulu sekitar 72.409,5 ha.
Panjang rata-rata sungai utama sekitar 7,4 km dengan gradien 1,02% (agak rendah)
(Puspitojati et al., 2012).
Gambar 1. Loaksi Penelitian
Iklim DAS Citanduy Hulu termasuk Golongan II (daerah agak basah)
berdasarkan klasifikasi iklim Mohr (1993) dan tipe hujan golongan C (agak basah)
berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Fergusson (1951). Sebagian besar wilayah
DAS Citanduy Hulu berada pada kisaran curah hujan >2.000 mm/tahun dan
termasuk dalam kriteria tinggi. Sementara itu, luas wilayah DAS yang berada pada
E. Junaidi
174 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
kisaran curah hujan <2.000 mm/tahun hanya sekitar 12% dari luas DAS, tepatnya di
sekitar hilir DAS Citanduy Hulu (Junaidi & Maryani, 2013).
B. Metode Penelitian
Pendugaan tata air dilkukan dengan menggunakan model Soil and Water
Assessment Toll (SWAT). Proses pendugaan tata air yang disimulasikan oleh
model SWAT, meliputi infiltrasi, aliran bagian permukaan, aliran lateral, evaporasi,
transpirasi, pergerakan air tanah, dan routing perjalanan aliran (Menking et al.,
2003). Model SWAT merupakan model matematik berbasis fisik yang dirancang
sebagai model hidrologi spasial terdistribusi yang terintegrasi dengan Geographical
Information System (GIS) dan Digital Elevation Model (DEM) dengan tampilan
antarmuka pengguna secara grafis (GUI). Model ini berdasarkan hydrologic respons
units (HRUs) yang dibentuk dari kombinasi tata guna lahan, jenis tanah, dan
topografi (Olivera et al., 2006; Omani et al., 2007). Evaluasi operasionalisasinya
berbasis pada skala waktu harian dan mampu mensimulasi dan menduga dampak
kegiatan-kegiatan praktik pengelolaan lahan jangka panjang (Arnold et al., 2010;
Douglas-Mankin et al., 2010).
Kegiatan pelaksanaan penelitian menggunakan model SWAT meliputi
beberapa tahapan, yaitu:
1. Persiapan Model
Terdapat tiga jenis data yang digunakan dalam model SWAT pada penelitian
ini, yaitu data spasial iklim dan hidrologi (Tabel 1). Data iklim dan spasial
digunakan sebagai input model, sedangkan data hidrologi digunakan untuk proses
kalibrasi dan validasi model.
Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 175
Tabel 1. Data spasial, iklim, dan hidrologi yang terdapat di DAS Citanduy Hulu
No. Tipe data Sumber data Keterangan
1.
Peta Jaringan Sungai
(skala 1:50.000)
Bakosurtanal
Peta Rupa Bumi Indonesia
2.
DEM
US Geoological Survey Shuttle Radar Topography
Mission (SRTM) untuk
Z_59_14.tiff dengan resolusi
spasial 90 x 90 m
3.
Peta landuse (skala
1:250.000)
BP DAS Cimanuk-
Citanduy
Klasifikasi citra Landsat TM
tahun 2009
4.
Peta jenis tanah
(skala 1:250.000)
BP DAS Cimanuk-
Citanduy
5. Data curah hujan
harian
Balai Pengelolaan
Sumber Daya Air
Citanduy, Balai Besar
Wilayah Sungai Citanduy
Sembilan stasiun penakar curah
hujan tahun 2009 dan 2010
6.
Data temperatur
harian
Balai Besar Wilayah
Sungai Citanduy
Empat stasiun temperatur tahun
2009 dan 2010
7.
Data iklim
Balai Besar Wilayah
Sungai Citanduy
Dua stasiun klimatologi selama
lima tahun (2005–2009) (data
curah hujan, temperatur,
kecepatan angin, dan intensitas
penyinaran)
8.
Data debit sungai
Balai Besar Wilayah
Sungai Citanduy
SPAS Sindangrasa pengamatan
tahun 2009
2. Kalibrasi dan Validasi Model
Kalibrasi model dilakukan untuk menduga nilai parameter-parameter dalam
model sehingga hasil simulasi debit oleh model mendekati nilai debit yang
sebenarnya (Kobold et al., 2008). Terdapat 24 parameter yang harus dikalibrasi
dalam SWAT. Sementara itu, validasi bertujuan mengevaluasi kemampuan model
dalam mendekati kondisi DAS yang sebenarnya. Kriteria yang digunakan validasi
model yaitu Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE), perbandingan rata-rata debit prediksi
dan rata-rata debit observasi, serta koefisien determinasi.
E. Junaidi
176 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
C. Analisis Data
Hasil model untuk analisis berupa output HRUs yang merupakan luaran
model untuk data input tahun 2010. Data dikompilasi dalam bentuk grafik dan tabel
yang dianalisis secara deskriptif.
III. Hasil dan Pembahasan
A. Tutupan Lahan DAS Citanduy Hulu
Hingga tahun 2009, kondisi tutupan lahan pada DAS Citanduy Hulu dido-
minasi oleh sawah (29% luas DAS) dan kebun campuran (26%). Sementara itu, luas
lahan hutan (meliputi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas)
yang terdapat pada DAS Citanduy Hulu sekitar 20,73% (Tabel 2). Sebaran tutupan
lahan dapat dilihat pada Gambar 2.
Tabel 2. Kondisi tutupan lahan existing DAS Citanduy Hulu tahun 2009
No. Tutupan lahan Luas (ha) Persentase (%)
1. Semak belukar 553,80 0,76
2. Hutan poduksi 887,90 1,23
3. Hutan produksi terbatas 4.974,30 6,87
4. Hutan lindung 9.146,70 12,63
5. Pemukiman 7.730,30 10,68
7. Kebun Campuran dominan Sengon 4.734,51 6,54
8. Keun Campuran Pengelolaan baik 11,41 0,02
9. Kebun Campuran Pengelolaan sedang 1.950,58 2,69
10. Kebun Campuran Pengelolaan buruk 9.800,50 13,53
11. Kebun Campuran dominan Manglid 2.046,30 2,83
12. Sawah 20.676,10 28,55
13. Tambak 12,70 0,02
14. Tubuh air 420,50 0,58
15. Pertanian lahan kering 9.462,50 13,07
16. Rawa 1,30 0,00
T o t a l 72.409.40
Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 177
Gambar 2. Tutupan lahan DAS Citanduy Hulu tahun 2009
E. Junaidi
178 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Hasil survei menunjukkan bahwa tutupan lahan kebun campuran diklasifi-
kasikan menjadi lima macam, yaitu kebun campuran dominan sengon, kebun
campuran dominan manglid, kebun campuran pengelolaan manajemen baik, kebun
campuran pengelolaan manajemen sedang, dan kebun campuran pengelolan mana-
jemen buruk. Untuk kebun campuran pengelolan manajemen, kriteria meliputi
komposisi penanaman, komposisi tegakan, dan pengunaan teknik konservasi. Pada
tutupan lahan di DAS Citanduy Hulu, kebun campuran didominasi oleh tutupan
lahan kebun campuran pengelolaan buruk (13,5%). Hal ini ditandai oleh komposisi
penanaman yang tidak jelas jarak tanamnya, komposisi tegakan dengan jenis
tanaman yang beragam, dan teknik konservasi tanah yang kurang diperhatikan.
Sementara itu, kebun campuran dominan tanaman sengon dan tanaman manglid
mempunyai luasan 6,5% dan 2,8% dari luas DAS.
B. Kalibrasi dan Validasi Model Hidrologi
Kalibrasi bertujuan untuk menentukan nilai sekelompok parameter sehingga
hasil simulasi debit model mendekati nilai debit sebenarnya. Sementara itu, validasi
dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan model dalam mendekati kondisi DAS
sebenarnya. Evaluasi kemampuan model menggunakan kriteria statistik. Metode
statistik yang digunakan adalah persentase perbedaan dari nilai observasi (DVi) dan
koefisien Nash-Sutcliffe (ENS). Santhi et al. (2001) menunjukkan hasil simulasi
dikriteriakan baik jika rata-rata debit hasil simulasi berada pada kisaran -15% hingga
+15% dari rata-rata debit hasil observasi, nilai ENS ≥0,5, dan R2 ≥0,6. Data yang
digunakan untuk proses kalibrasi dan validasi model ini adalah data debit dari
Sungai Sindangrasa. Proses kalibrasi menggunakan data bulan Januari–Juni 2009,
sedangkan proses validasi model menggunakan data bulan Juli–Desember 2009.
Hasil perhitungan untuk koefisien Nash-Sutcliffe (ENS) adalah 0,76 dan hasil
perhitungan untuk nilai Dv adalah -14,96%. Sementara itu, berdasarkan grafik XY
scatter, hubungan antara debit bulanan prediksi (nilai X), dan debit bulanan
observasi (nilai Y), diperoleh nilai R2 adalah 0,79.
Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 179
C. Kondisi Hidrologi
1. Kondisi Tata Air DAS Citanduy Hulu
Secara umum, kondisi hidrologi DAS Citanduy Hulu memiliki nilai rata-rata
tahunan evapotranspirasi sebesar 66,1 mm (23%), aliran permukaan sebesar 121,6
mm (43%), aliran bawah permukaan sebesar 83,3 mm (29%), dan aliran dasar sebe-
sar 50,0 mm (18%) dengan total curah hujan bervariasi antara 2794,5–3429,2 mm.
Hasil simulasi memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan debit
sungai dan kecenderungan naik pada evapotranspirasi (Gambar 3). Berdasarkan
tutupan lahan kondisi existing, kondisi ini memperlihatkan adanya tren kenaikan
hasil air yang berasal dari sumbangan aliran bawah permukaan dan aliran dasar.
Sementara itu, sumbangan hasil air yang berasal dari aliran permukaan memper-
lihatkan tren penurunan.
Gambar 3. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air di DAS Citanduy Hulu
E. Junaidi
180 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Hasil analisis pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa semakin besar debit dan
tinggi curah hujan yang jatuh, aliran bawah permukaan dan aliran dasar yang
dihasilkan akan semakin besar. Sebaliknya, semakin besar debit yang dihasilkan dan
curah hujan yang jatuh, aliran permukaan yang dihasilkan semakin kecil.
Gambar 4. Tren perubahan masing-masing aliran terhadap perubahan debit di DAS
Citanduy Hulu
2. Kontribusi Tutupan lahan Kebun Campuran Manglid terhadap Tata Air DAS
Citanduy Hulu
Dampak sumbangan debit tutupan lahan kebun campuran dominan manglid
(KC Manglid) terhadap sungai dibandingkan dengan tipe tutupan lahan dikelom-
pokkan menjadi tiga kelompok, yaitu 1) perbandingan sumbangan debit tutupan
lahan KC manglid dengan beberapa tutupan lahan hutan, 2) perbandingan sum-
bangan debit tutupan lahan KC manglid dengan tutupan lahan kebun campuran
yang lain, dan 3) perbandingan sumbangan debit tutupan lahan KC manglid dengan
Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 181
tutupan lahan areal penggunaan lain (sawah, pemukiman, pertanian lahan kering,
dan semak belukar).
Gambar 5. Debit bulanan tutupan lahan KC manglid dibandingkan dengan debit bulanan
beberapa tutupan lahan hutan terhadap sumbangan debit sungai
Gambar 5 memperlihatkan sumbangan debit beberapa tutupan lahan hutan
dibandingkan dengan tutupan lahan KC manglid terhadap debit sungai. Hasil ana-
lisis menunjukkan tutupan lahan hutan produksi (HP) memberikan hasil sumbangan
debit bulanan terbesar pada Sungai Citanduy dibandingkan dengan tutupan lahan
KC manglid dan tutupan lahan hutan yang lain (hutan produksi terbatas [HP
Terbatas], hutan lindung, dan hutan konservasi). Secara umum, tren sumbangan
debit pada KC manglid mempunyai kemiripan dengan HP Terbatas.
Hasil analisis menunjukkan sumbangan debit terhadap debit sungai. Untuk
perbandingan tutupan lahan KC manglid dengan tutupan lahan kebun campuran
yang lain, tutupan lahan kebun campuran dominan sengon (KC sengon) menyum-
bangkan debit terbesar dibandingkan KC manglid dan kebun campuran tipe yang
lain. Gambar 6 menunjukkan tutupan lahan KC manglid memberikan sumbangan
E. Junaidi
182 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
debit terbesar kedua terhadap debit sungai dibandingkan dengan tipe tutupan lahan
kebun campuran yang lain.
Gambar 6. Debit bulanan tutupan lahan KC manglid dibandingkan dengan debit bulanan
beberapa tutupan lahan kebun campuran terhadap sumbangan debit sungai
Gambar 7. Debit bulanan tutupan lahan KC manglid dibandingkan dengan debit bulanan
beberapa tipe tutupan lahan terhadap sumbangan debit sungai
Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 183
Berdasarkan Gambar 7, tutupan lahan KC manglid memberikan sumbangan
debit yang paling kecil terhadap debit sungai dibandingkan dengan tutupan lahan
tipe lain (sawah, pertanian lahan kering, dan pemukiman). Sumbangan debit
bulanan terbesar terhadap debit sungai berasal dari tutupan lahan sawah, pertanian
lahan kering, pemukiman, dan KC manglid). Sementara itu, tutupan lahan semak
belukar berkontribusi terhadap debit sungai yang paling sedikit.
Pengaruh tutupan lahan KC manglid terhadap kondisi hidrologi DAS
Citanduy dapat dilihat pada Gambar 8. Tutupan lahan KC manglid memper-
lihatkan bahwa semakin besar debit dan tinggi curah hujan yang jatuh, aliran bawah
permukaan dan aliran dasar yang dihasilkan akan lebih besar. Sebaliknya, semakin
besar debit yang dihasilkan dan curah hujan yang jatuh, aliran permukaan yang
dihasilkan semakin kecil. Pengaruh tutupan lahan KC manglid memberikan hasil
yang positif terhadap debit sungai karena sumbangan debit pada tutupan lahan KC
manglid yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar lebih berkorelasi positif
terhadap kenaikan debit dan hujan. Namun, apabila dibandingkan dengan aliran
permukaan, kenaikan curah hujan dan debit berkorelasi negatif.
Gambar 8. Tren perubahan masing-masing aliran terhadap perubahan debit di DAS
Citanduy Hulu
E. Junaidi
184 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Secara umum, Gambar 8 menunjukkan bahwa tutupan HP, sawah, dan KC
sengon berkontribusi positif terhadap debit sungai. Apabila dilihat dari trennya,
kenaikan debit sungai oleh hujan berkolerasi negatif terhadap aliran permukaan,
tetapi berkorelasi positif terhadap aliran lateral dan dasar. Tutupan lahan KC sengon
dan sawah perlu diwaspadai karena memberikan kontribusi aliran permukaan
semakin besar pada debit sungai dengan semakin tingginya debit. Selain itu,
sumbangan debit sungai yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar berkorelasi
positif terhadap kenaikan hujan dan debit, namun kenaikan lebih rendah diban-
dingkan dengan tipe penggunaan lain.
3. Komponen Hasil Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid
Secara umum, kondisi neraca air tutupan lahan KC manglid terhadap sum-
bangan aliran DAS Citanduy Hulu memiliki nilai rata-rata tahunan evapotranspirasi
sebesar 19%, aliran permukaan sebesar 42%, aliran bawah permukaan sebesar 3,5%,
dan aliran dasar sebesar 28,8% dengan total curah 2934,9 mm.
Hasil simulasi memperlihatkan bahwa tutupan lahan KC manglid menun-
jukkan adanya tren stabil untuk hasil air yang berasal dari sumbangan aliran bawah
permukaan, aliran dasar dan aliran permukaan yang mana tidak terjadi kenaikan atau
penurunan (Gambar 9, 10, dan 11).
Berdasarkan Gambar 9, tren perubahan masing-masing komponen hasil air
oleh keberadaan KC manglid [dibandingkan dengan beberapa penggunaan lahan
hutan] memberikan sumbangan lebih besar yang berasal dari aliran permukaan,
tetapi sumbangan lebih kecil yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar terhadap
aliran sungai. Keberadaan tutupan lahan hutan lindung ternyata menunjukkan tren
penurunan sumbangan yang signifikan berasal dari aliran permukaan, tetapi sum-
bangan yang berasal dari aliran lateral dan dasar menunjukkan tren yang meningkat.
Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 185
Gambar 9. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air pada tutupan lahan kebun
campuran manglid dibandingkan dengan tutupan lahan hutan
Perbandingan komponen penyumbang aliran sungai untuk tutupan lahan KC
manglid terhadap tutupan lahan kebun campuran lainnya dapat dilihat pada Gambar
10. Secara umum, keberadaan tutupan KC manglid menunjukkan tren sumbangan
yang berasal dari aliran permukaan aliran lateral dan aliran dasar tidak jauh berbeda
dengan tutupan lahan kebun campuran yang lain (KC sengon, KC pengelolaan baik,
KC pengelolaan sedang, dan KC pengelolaan jelek). Namun, semakin baik mana-
jemen pengelolaan kebun campuran [dilihat dari komposisi penanaman, komposisi
tegakan, dan penggunaan teknik konservasi tanah] akan menurunkan sumbangan
aliran sungai yang berasal dari aliran permukaan, tetapi meningkatkan sumbangan
yang berasal dari aliran lateral dan aliran dasar.
E. Junaidi
186 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Gambar 10. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air pada tutupan lahan kebun
campuran manglid dibandingkan dengan tutupan lahan tipe lain
Tren perbandingan sumbangan masing-masing komponen untuk tutupan
lahan KC manglid dibandingkan dengan tutpan lahan lain (pertanian, pemukiman,
sawah, dan semak belukar) dapat dilihat pada Gambar 11. Tren sumbangan terha-
dap aliran sungai untuk KC manglid dan semak belukar hampir sama. Tutupan
lahan KC manglid memberikan tren sumbangan aliran sungai yang lebih rendah
berasal dari aliran permukaan, tetapi tren sumbangan aliran sungai yang lebih tinggi
berasal dari aliran lateral dan aliran dasar dibandingkan dengan tipe tutupan lahan
sawah, pemukiman, dan pertanian. Selain itu, hasil analisis menunjukkan tutupan
lahan pertanian menghasilkan tren sumbangan berasal dari aliran permukaan lebih
tinggi dan tren sumbangan berasal dari aliran lateral dan aliran dasar lebih rendah
dibandingkan dengan tutupan lahan yang lain.
Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 187
Gambar 11. Tren perubahan masing-masing komponen hasil air pada tutupan lahan kebun
campuran manglid dibandingkan dengan tutupan lahan kebun campuran tipe lain
IV. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa keberadaan tutupan lahan KC
manglid berkontribusi positif terhadap tata air DAS Citanduy. Peningkatan hujan
dan debit berkorelasi negatif terhadap aliran permukaan yang disumbangkan oleh
tutupan lahan KC manglid dan berkorelasi positif terhadap sumbangan yang berasal
dari aliran lateral dan aliran dasar. Keberadaan tutupan lahan KC manglid mem-
punyai tren yang sama terhadap kompenan sumbangan aliran sungai dengan tutupan
lahan hutan, kebun campuran, dan semak belukar.
E. Junaidi
188 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Daftar Pustaka
Andréassian, V. (2004). Waters and forests: from historical controversy to scientific
debate. Journal of hydrology, 291(1), 1-27.
Arnold, J., Allen, P., Volk, M., Williams, J., & Bosch, D. (2010). Assessment of
different representations of spatial variability on SWAT model performance.
Transactions of the ASABE, 53(5), 1433-1443.
Bruijnzeel, L. A. (2004). Hydrological functions of tropical forests: not seeing the
soil for the trees? Agriculture, ecosystems & environment, 104(1), 185-228.
Douglas-Mankin, K., Srinivasan, R., & Arnold, J. (2010). Soil and Water
Assessment Tool (SWAT) model: Current developments and applications.
Transactions of the ASABE, 53(5), 1423-1431.
Junaidi, E. (2013). Peranan penerapan agroforestry terhadap hasil air daerah aliran
sungai (DAS) Cisadane. Jurnal Penelitian Agroforestry, 1(1), 41-53.
Junaidi, E., & Maryani, R. (2013). Pengaruh Dinamika Spasial Sosial Ekonomi
pada suatu Lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS) terhadap Keberadaan
Lanskap Hutan (Studi Kasus pada DAS Citanduy Hulu dan DAS Ciseel,
Jawa Barat). Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 10(2), 122-
239.
Kobold, M., Sušelj, K., Polajnar, J., & Pogačnik, N. (2008). Calibration techniques
used for HBV hydrological model in Savinja catchment. Paper presented at
the XXIVth CONFERENCE OF THE DANUBIAN COUNTRIES.
Menking, K., Syed, K., Anderson, R., Shafike, N., & Arnold, J. (2003). Model
estimates of runoff in the closed, semiarid Estancia basin, central New
Mexico, USA. Hydrological sciences journal, 48(6), 953-970.
Olivera, F., Valenzuela, M., Srinivasan, R., Choi, J., Cho, H., Koka, S., & Agrawal,
A. (2006). ARCGIS‐ SWAT: A geodata model and GIS interface for
SWAT1. JAWRA Journal of the American Water Resources Association,
42(2), 295-309.
Kajian Tata Air Tutupan Lahan Kebun Campuran Manglid
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 189
Omani, N., Tajrishy, M., & Abrishamchi, A. (2007). Modeling of a river basin
using SWAT model and GIS. Paper presented at the 2nd International
Conference on Managing Rivers in the 21st Century: Solutions Towards
Sustainable River Basins. Riverside Kuching, Sarawak, Malaysia.
Puspitojati, T., Junaidi, E., Sanudin, Ruhimat, I. S., Kuswantoro, D. P., Indrajaya,
Y., & Widiyanto, A. (2012). Kajian lanskap agroforestry pada DAS prioritas.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis.
Santhi, C., Arnold, J. G., Williams, J. R., Dugas, W. A., Srinivasan, R., & Hauck,
L. M. (2001). validation of the swat model on a large RWER basin with
point and nonpoint sources1: Wiley Online Library.
PENGOLAHAN HASIL KAYU MANGLID
BAB VI
H u t a n R a k y a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 193
Sifat Fisik dan Pemesinan Kayu Manglid
M. Siarudin1 & Ary Widiyanto1
ABSTRAK
Sifat fisik dan pemesinan kayu merupakan informasi yang penting sebagai dasar pemanfaatan
kayu. Penelitian ini bertujuan mengetahui sifat fisik dan pemesinan kayu manglid. Sampel
kayu diambil dari hutan rakyat di Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa
Barat. Pembuatan contoh uji dan pengujian sifat fisik mengacu pada British Standard (BS)
Nomor 373, sedangkan sifat pemesinan mengacu pada prosedur ASTM D1666-64. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kayu manglid memiliki kadar air segar rata-rata 168,77%,
kadar air kering udara 14,63%, berat jenis pada volume segar 0,35, berat jenis pada volume
kering udara 0,36, dan berat jenis pada volume kering tanur 0,38. Berdasarkan sifat
perubahan dimensinya, kayu manglid memiliki nilai penyusutan pada arah longitudinal
1,51%, penyusutan arah radial 4,08%, penyusutan arah tangensial 5,84%, serta rasio
penyusutan tangensial dan radial 1,54. Kadar air segar kayu manglid pada arah aksial
memiliki pola sebaran meningkat dari arah pangkal ke tengah batang, kemudian menurun
pada bagian ujung. Sementara, pola sebaran kadar air segarnya pada arah radial menurun
secara konsisten dari arah dekat empulur ke arah kulit. Berat jenis kayu manglid pada arah
aksial memiliki pola sebaran menurun dari bagian pangkal ke tengah, kemudian meningkat
pada bagian ujung batang. Pola sebaran berat jenis pada arah radial meningkat secara
konsisten dari bagian dekat empulur ke arah kulit batang. Sifat fisik kayu manglid pada arah
aksial dan radial bervariasi untuk kadar air segar dan berat jenis, sedangkan kadar air kering
udara dan perubahan dimensinya relatif seragam. Kayu manglid memiliki mutu pemesinan
yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta memiliki
mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran, dan pembubutan.
Kata kunci: sifat fisik, sifat pemesinan, aksial, radial, manglid
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis,
Jawa Barat; Email: [email protected]
M. Siarudin & A. Widiyanto
194 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
I. Pendahuluan
Jenis manglid termasuk jenis yang banyak dibudidayakan pada lahan-lahan
milik petani di daerah Jawa Barat. Jenis ini sangat disukai di Jawa Barat dan Bali
karena kayunya mengkilat dan strukturnya padat, halus, ringan, dan kuat. Kayu
gubalnya tipis dan berwarna putih, kayu teras yang masih segar berwarna cokelat
dengan sedikit warna hijau yang tampak jelas; setelah kering angin warna bervariasi
antara cokelat muda hingga kuning kecokelatan tanpa kirai (Anonim, 2007).
Kekuatan kayunya digolongkan dalam kelas III–IV dan keawetannya termasuk kelas
II (Seng, 1990). Adapun keuntungan dari kayu manglid tersebut karena ringan
(berat jenis 0,41) sehingga mudah dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku
pembuatan jembatan, perkakas rumah, barang-barang hiasan, serta patung dan
ukiran yang banyak ditemukan di daerah Bali (Sosef et al., 1998). Kegunaan kayu
Manglid selama ini sebagai perkakas rumah tangga (meja, kursi, lemari), bangunan
rumah, bangunan jembatan, pelapis kayu, dan plywood, serta diharapkan dapat
dijadikan bahan baku pulp. Di Jawa Barat, Manglid dikembangkan melalui
agroforestri pada progam social forestry dan dijadikan komoditas unggulan dalam
pengembangan hutan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekitar hutan (Rimpala, 2001).
Meskipun manglid sudah menjadi salah satu komoditas andalan di Jawa Barat
bagian timur, sesungguhnya jenis ini belum dikenal sebagai jenis komersial secara
luas. Sosef et al. (1998) mengelompokkan manglid ke dalam jenis kurang dikenal
(lesser known timber) yang mana informasi mengenai sifat-sifat dasar kayunya
masih sangat terbatas. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan mengetahui sifat fisik
dan sifat pemesinan kayu manglid yang berasal dari hutan rakyat di Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
dasar untuk pengembangan pemanfaatan kayu manglid sesuai dengan karakteristik
fisik dan pemesinannya.
Sifat Fis ik dan Pemesinan Kayu Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 195
II. Metodologi
A. Lokasi Penelitian
Sampel pohon manglid diambil dari hutan rakyat di Desa Sodonghilir,
Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pembuatan sampel uji
dan pengujian sifat fisik dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Agroforestry, Ciamis. Sementara itu, pembuatan sampel
uji dan pengujian sifat pemesinan dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
B. Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga batang pohon manglid
yang berumur 10–15 tahun. Ketiga sampel pohon tersebut memiliki rata-rata tinggi
total 28 m, diameter setinggi dada 37,7 cm, tinggi bebas cabang 12,9 m, dan
diameter pada ketinggain bebas cadang 28 cm. Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini, antara lain gergaji rantai (chain saw), gergaji circle, timbangan
analitik, oven, sigmad, dan unit peralatan pengujian sifat pemesinan kayu.
C. Prosedur Kerja
Sampel pohon manglid diambil bagian batang bebas cabang pada tiga kedu-
dukan aksial (pangkal, tengah dan ujung). Bagian-bagian tersebut dipotong secara
melintang berbentuk piringan setebal 3 cm untuk bahan contoh uji kerapatan dan
kadar air, dan piringan setebal 5 cm untuk bahan contoh uji perubahan dimensi
kayu. Pada setiap piringan diambil tiga bagian arah radial, yaitu dekat hati, tengah,
dan dekat kulit. Gambar skema pengambilan sampel kayu manglid disajikan pada
Gambar 1.
Parameter sifat fisika kayu yang diukur dalam penelitian ini adalah kerapatan
kayu, kadar air segar, kadar air kering udara, dan perubahan dimensi kayu. Peru-
bahan dimensi kayu terdiri atas penyusutan tangensial, penyusutan radial, penyu-
sutan longitudinal, serta rasio penyusutan tangensial dan radial (T/R). Standar
(Bottom)
M. Siarudin & A. Widiyanto
196 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
pembuatan ukuran dan pengujian contoh uji dalam penelitian ini menggunakan
British Standard (BS) Nomor 373 (Anonim, 1957).
Uji pemesinan dilakukan dengan menggunakan papan manglid berukuran 125
cm x 12 cm x 2 cm sejumlah 15 lembar. Kondisi papan yang digunakan sebagai
contoh uji tersebut dalam keadaan kering udara dan dipilih yang bebas cacat, baik
cacat alami, cacat fisik, maupun cacat biologis. Parameter sifat pemesinan yang diuji
adalah penyerutan (planing), pembentukan (moulding), pemboran (boring), dan
pembubutan (turning). Metode pengujian mengikuti prosedur ASTM D1666-64
yang dimodifikasi menurut Abdurachman dan Karnasudirdja (1982). Sementara itu,
klasifikasi kelas mutu sifat pemesinan mengacu kepada Rahman dan Malik (2008).
III. Hasil dan Pembahasan
A. Sifat Fisik
Karakteristik sifat fisik kayu manglid secara umum tidak berbeda dengan jenis
tanaman cepat tumbuh lainnya (Tabel 1). Hasil pengukuran di laboratorium menun-
jukkan bahwa kadar air segar rata-rata kayu manglid adalah 168,77% atau dengan
kata lain, berat air dalam kayu manglid sesaat setelah penebangan lebih besar
daripada berat kayunya sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haygreen dan
Bowyer (1996) bahwa berat air dalam kayu segar umumnya sama atau lebih besar
daripada berat bahan kayu kering. Besarnya nilai kadar air segar tersebut merupakan
informasi penting karena berkaitan langsung dengan berat kayu gelondong sehingga
dapat dijadikan pertimbangan dalam merancang pemanenan dan pengangkutan
dolok manglid.
Rentang kadar air segar kayu manglid terendah dan tertinggi tersebut cukup
besar. Pohon manglid memiliki kisaran kadar air segar sekitar 62,65–273,77%. Jika
diperhatikan, kadar air terendah didapat pada contoh uji bagian ujung dekat kulit,
sedangkan kadar air segar tertinggi pada contoh uji bagian tengah dekat hati. Hal ini
berbeda dengan pendapat Haygreen dan Bowyer (1996) bahwa kadar air pada
bagian dekat kulit pada umumnya lebih besar daripada bagian tengah. Variasi
Sifat Fis ik dan Pemesinan Kayu Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 197
kandungan air segar pada manglid diduga berkaitan dengan variasi kerapatan
kayunya (Gambar 1 dan Gambar 2).
Tabel 1. Karakteristik sifat fisik kayu manglid
Sifat fisik Nilai rata-
rata Nilai kisaran
Kadar air segar (%) 168,77 62,65–273,77
Kadar air kering udara (%) 14,63 13,57–17,03
BJ segar 0,35 0,29–0,42
BJ KU 0,36 0,30–0,45
BJ KT 0,38 0,30–0,47
Penyusutan longitudinal (%) 1,51 0,22–3,40
Penyusutan radial (%) 4,08 2,38–9,29
Penyusutan tangensial (%) 5,84 1,82–9,43
T/R (%) 1,54 0,56–2,91
Keterangan: BJ segar=berat jenis pada volume segar; BJ KU=berat jenis pada volume kering udara; BJ
KT=berat jenis pada volume kering tanur; T/R=rasio penyusutan tangensial dengan radial
Kadar air kering udara rata-rata adalah 14,63% dengan kisaran 13,57–17,03%.
Dengan demikian, terjadi penurunan sebesar 154,14% kadar air sejak penebangan
hingga mencapai kadar air seimbang. Sementara itu, berat jenis kering udara rata-
rata adalah 0,36 dengan kisaran 0,30–0,45. Nilai berat jenis tersebut sedikit lebih
rendah daripada berat jenis manglid menurut Seng (1990), yaitu rata-rata 0,41
dengan kisaran 0,32–0,58.
Penyusutan total pada arah longitudinal rata-rata 1,51% dengan kisaran 0,22–
3,40%. Penyusutan pada arah radial rata-rata 4,08% dengan kisaran 2,38–9,29%,
sedangkan penyusutan tangensial rata-rata 5,84% dengan kisaran 1,82–9,43%. Rasio
T/R rata-rata 1,54 dengan kisaran 0,56–2,91.
B. Variasi Sifat Fisik Kayu Manglid pada Arah Aksial dan Radial
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kadar air segar dan berat jenis
berbeda sangat nyata (taraf kepercayaan 99%) pada arah aksial ataupun radial,
M. Siarudin & A. Widiyanto
198 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
sedangkan nilai penyusutan dan rasio T/R kadar air kering udara relatif seragam.
Sementara itu, interaksi arah aksial dan arah radial tidak menunjukkan perbedaan
sifat-sifat fisik yang nyata. Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil (BNT) (Tabel
2), nilai kadar air segar pada arah aksial berbeda nyata antara bagian ujung batang
dengan bagian pangkal dan tengah, sedangkan bagian pangkal dan tengah relatif
seragam. Sementara itu; pada arah radial, perbedaan nyata kadar air segar terjadi
antara semua bagian, baik dekat kulit, tengah, maupun dekat hati.
Tabel 2. Hasil uji BNT kadar air segar kayu manglid pada arah aksial dan radial
Keterangan: BNT=beda nyata terkecil; angka dalam kolom pada masing-masing arah yang diikuti oleh
huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%
Tabel 3. Hasil uji BNT berat jenis kayu manglid pada arah aksial dan radial
Arah
BJ segar BJ KU BJ KT
Rata-rata BNT0,05
Rata-
rata BNT0,05 Rata-rata BNT0,05
Aksial
Tengah 0,3200 A 0,3356 A 0,3500 A
Pangkal 0,3511 B 0,3700 B 0,3889 B
Ujung 0,3722 B 0,3867 B 0,4089 B
Radial
Hati 0,3289 A 0,3422 A 0,3567 A
Tengah 0,3444 AB 0,3578 A 0,3756 A
Kulit 0,3700 B 0,3922 B 0,4156 B
Keterangan: BJ segar=berat jenis pada volume segar; BJ KU=berat jenis pada volume kering udara; BJ
KT=berat jenis pada volume kering tanur; BNT=beda nyata terkecil; angka dalam kolom pada masing-
masing arah yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5%
Arah Rata-rata (%) BNT0,05
Aksial
Ujung 139,7589 A
Pangkal 175,9644 B
Tengah 190,5844 B
Radial
Ujung 90,0733 A
Pangkal 184,5144 B
Tengah 231,7200 C
Sifat Fis ik dan Pemesinan Kayu Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 199
175.9
6
190.5
9
147.6
7
-
50
100
150
200
250
P T U
Kad
ar A
ir S
eg
ar
(%)
(Fre
sh
mo
istu
re c
on
ten
t)
Arah Aksial (Axial )
231.7
2
184.5
2
90.0
7
-
50
100
150
200
250
300
H T S
Kad
ar A
ir S
eg
ar
(%)
(Fre
sh
mo
istu
re c
on
ten
t)
Arah Radial (Radial)
0.3
4 0.3
6
0.3
9
0.30
0.32
0.34
0.36
0.38
0.40
0.42
H T S
Bera
t Jen
is (
Sp
ecif
ic g
ravit
y)
Arah Radial (Radial)
0.3
7
0.3
4
0.3
8
0.30
0.32
0.34
0.36
0.38
0.40
P T U
Bera
t Jen
is (
Sp
ecif
ic g
ravit
y)
Arah Aksial (Axial)
Hasil uji BNT pada Tabel 3 menunjukkan bahwa berat jenis manglid pada
arah aksial berbeda antara bagian tengah dengan bagian pangkal dan ujung,
sedangkan bagian pangkal dengan ujung relatif seragam. Sementara itu; pada bagian
radial, berat jenis manglid pada bagian dekat kulit berbeda nyata dengan bagian
dekat hati dan tengah.
Keterangan: P=pangkal; Ta=tengah arah aksial; U=ujung; H=dekat hati; Tr=tengah arah radial; S=dekat kulit
Gambar 1. Variasi kadar air segar kayu manglid pada arah aksial dan radial
Keterangan: P=pangkal; Ta=tengah arah aksial; U=ujung; H=dekat hati; Tr=tengah arah radial; S=dekat kulit
Gambar 2. Variasi berat jenis kayu manglid pada arah aksial dan radial
Kadar air segar kayu manglid yang tertinggi pada arah aksial adalah pada
bagian tengah, kemudian lebih rendah berturut-turut pada bagian pangkal dan
ujung. Meskipun demikian; sebagaimana hasil uji lanjut pada Tabel 2, bagian
P Ta U P Tr U
P Ta U P Tr U
M. Siarudin & A. Widiyanto
200 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
pangkal dan tengah relatif seragam. Kadar air segar kayu manglid pada arah radial
terdapat kecenderungan menurun secara teratur dari arah empulur/hati ke arah kulit/
sisi. Kadar air segar pada bagian dekat hati mencapai 231,72%, sedangkan pada
bagan tengah dan dekat kulit berturut-turut 184,52% dan 90,07% (Gambar 1).
Gambar 2 memperlihatkan pola sebaran berat jenis kayu manglid pada arah
aksial, yaitu bagian tengah memiliki berat jenis paling rendah dibandingkan dengan
bagian pangkal dan ujung; sedangkan berdasarkan uji BNT (Tabel 3), berat jenis
bagian pangkal dan ujung relatif seragam. Tingginya berat jenis pada bagian pangkal
sesuai dengan pernyataan Haygreen dan Bowyer (1996) bahwa kebanyakan kayu
bulat pada bagian pangkal memiliki berat jenis yang lebih tinggi daripada bagian
batang di atasnya. Sementara itu, tingginya berat jenis pada bagian ujung yang
ditemukan pada penelitian ini belum dapat dipastikan penyebabnya. Salah satu
kemungkinannya adalah banyaknya bekas percabangan yang ada di sekitar tajuk
yang sudah mengalami kerontokan alami. Bekas-bekas cabang ini diduga banyak
mengandung lignin yang menambah berat jenis kayunya. Namun demikian,
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan fenomena ini.
Sebaran berat jenis kayu manglid pada arah radial memiliki kecenderungn
meningkat dari arah hati ke arah kulit (Gambar 2). Berat jenis kayu manglid rata-
rata pada bagian dekat hati hanya 0,34, sedangkan pada bagian tengah dan bagian
dekat kulit berturut-turut 0,36 dan 0,39. Rendahnya berat jenis pada bagian dekat
hati dapat dijelaskan dengan adanya fenomena kayu juvenil. Haygreen dan Bowyer
(1996) dan Panshin dan Zeeuw (1980) mengemukakan bahwa sebagian besar sel-sel
kayu berdinding tipis sehingga akan menghasilkan kerapatan yang rendah.
Nilai kadar air segar dan berat jenis kayu manglid memiliki pola sebaran yang
saling berlawanan, baik pada arah aksial maupun radial (Gambar 1 dan Gambar 2).
Kecenderungan yang berlawanan antara kadar air segar dan berat jenis ini diduga
berkaitan dengan sifat porositas kayu yang mana pori-pori yang besar pada bagian
kayu dengan kerapatan rendah menyebabkan air bebas yang tinggi. Menurut
Panshin dan de Zeew (1980), air dalam kayu terletak di dalam dinding sel sebagai
air terikat dan air di dalam rongga sel sebagai air bebas. Rendahnya berat jenis pada
bagian dekat hati memungkinkan banyaknya air bebas pada rongga sel.
Sifat Fis ik dan Pemesinan Kayu Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 201
C. Sifat Pemesinan
Tabel 4 memperlihatkan bahwa cacat serat berbulu pada kayu manglid yang
berasal dari dolok diameter. Berdasarkan persentase cacat yang terukur, kayu
manglid dari dolok manglid diameter kecil memiliki sifat pemesinan baik hingga
sangat baik, atau kelas mutu I hingga II. Manglid memiliki sifat penyerutan dan
pengampelasan yang sangat baik atau kelas mutu I. Hal ini menunjukkan bahwa
dolok manglid diameter kecil ini cocok untuk produk yang memerlukan tampilan
permukaan yang indah, seperti mebel dan kerajinan. Sementara itu, sifat
pembentukan yang baik memungkinkan dolok manglid diameter kecil untuk diman-
faatkan sebagai bahan baku produk kayu bentukan (moulding) dengan lebar papan
terbatas, seperti profil dan papan sambung. Papan manglid dapat dijadikan papan
sambung dengan sistem finger joint dan tongue & groove yang memerlukan sifat
pembentukan yang baik.
Tabel 4. Sifat pemesinan kayu manglid diameter kecil
Jenis cacat Sifat pemesinan (%)
Penyerutan Pembentukan Pengampelasan Pemboran Pembubutan
Serat berbulu 11 23,33 7,33 11 25
Serat patah 0 - - - 14
Serat terangkat 0 0 - - -
Tanda serpih 7 0 - - -
Bekas garukan - - 6,33 - -
Penghancuran - - - 27 -
Kelicinan - - - 0 -
Penyobekan - - - 0 -
Kekasaran - - - - 0
Total cacat (%) 18 23,33 13,66 38 39
Bebas cacat (%) 82 76,67 86,34 62 61
Kelas mutu I II I II II
Mutu pemesinan Sangat baik Baik Sangat baik Baik Baik
M. Siarudin & A. Widiyanto
202 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Sifat pemboran yang baik memungkinkan aplikasi pemboran papan manglid,
seperti penyambungan dengan pasak atau dowel. Sementara itu, sifat pembubutan
yang baik memungkinkan pemanfaatan manglid untuk pembuatan kerajinan dengan
aplikasi pembubutan.
Meskipun demikian, Tabel 5 memperlihatkan pula bahwa cacat terbanyak (39
buah) atau bebas cacat terkecil (61%) terdapat pada proses pembubutan. Hal ini
terjadi dengan ditemukannya banyak serat berbulu dan serat tegak yang dimung-
kinkan terjadi akibat proses penggergajian yang tidak sejajar arah serat. Davis (1962)
dalam Asdar (2010) mengemukakan cara mencegah dan mengatasi permasalahan
cacat kayu yang terjadi selama proses pemesinan dengan penggunaan pisau yang
tajam, kadar air di bawah 12%, dan grinding bevel 30–40. Cacat serat patah dapat
dicegah dengan menambah jumlah keratan per inci (knife cuts per inch) dan untuk
menghilangkannya diperlukan pengampelasan yang lebih banyak dibandingkan
untuk menghilangkan serat terangkat dan serat berbulu. Untuk menghindari tanda
garukan selama proses pengampelasan, jenis ampelas yang digunakan harus
disesuaikan dengan tekstur kayu. Semakin halus teksturnya, semakin halus pula
ampelas yang harus digunakan. Menurut Szymani (1989) dalam Asdar (2010), serat
patah pada kayu yang seratnya bergelombang atau berpadu dapat diatasi dengan
mengurangi sudut kerat pisau menjadi 15 atau bahkan 10.
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Kayu manglid memiliki kadar air segar rata-rata 168,77%, kadar air kering
udara 14,63%, berat jenis pada volume segar 0,35, berat jenis pada volume kering
udara 0,36, dan berat jenis pada volume kering tanur 0,38. Berdasarkan sifat peru-
bahan dimensinya, kayu manglid memiliki nilai penyusutan pada arah longitudinal
1,51%, penyusutan arah radial 4,08%, penyusutan arah tangensial 5,84%, serta rasio
penyusutan tangensial dan radial 1,54. Kadar air segar kayu manglid pada arah aksial
memiliki pola sebaran meningkat dari arah pangkal ke tengah batang, kemudian
Sifat Fis ik dan Pemesinan Kayu Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 203
menurun pada bagian ujung. Sementara itu, pola sebaran kadar air segar pada arah
radial menurun secara konsisten dari arah dekat empulur ke arah kulit.
Berat jenis kayu manglid pada arah aksial memiliki pola sebaran menurun dari
bagian pangkal ke tengah, kemudian meningkat pada bagian ujung batang. Pola
sebaran berat jenis pada arah radial meningkat secara konsisten dari bagian dekat
empulur ke arah kulit batang. Sifat fisik kayu manglid pada arah aksial dan radial
bervariasi untuk kadar air segar dan berat jenis, sedangkan kadar air kering udara dan
perubahan dimensinya relatif seragam. Kayu manglid memiliki mutu pemesinan
yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta
memiliki mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran,
dan pembubutan.
B. Saran
1. Berdasarkan sifat fisik dan pemesinannya, kayu manglid dapat dimanfaatkan
sebagai produk yang memerlukan tampilan halus dan konstruksi ringan, seperti
mebel dan produk kerajinan.
2. Perlakuan pengeringan diperlukan untuk mempercepat kayu mencapai kadar air
yang diinginkan, dengan memperhatikan cacat pengeringan yang timbul
(melengkung, memuntir, membusur, dan lain-lain).
Daftar Pustaka
Abdurachman, A. J., & Karnasudirdja, S. (1982). Sifat permesinan kayu-kayu
Indonesia Laporan No 160. Bogor: Balai Penelitian Hasil Hutan.
Anonim. (1957). Standard methods of testing small clear specimens of timber. In L.
N. British Standard House (Ed.), British Standar Institution. Decorporated
by Royal Charter. .
Anonim. (2007). Manglid (Manglieta glauca Bl.) Lembar Informasi Teknis Jenis-
Jenis Pohon untuk Hutan Rakyat: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.
M. Siarudin & A. Widiyanto
204 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Asdar, M. (2010). Sifat pemesinan kayu surian (Toona sinensis (Adr. Juss.) MJ
Roemer) dan kepayang (Pangium edule Reinw.). Jurnal Penelitian Hasil
Hutan, 28(1), 18-28.
Haygreen, J. G., & Bowyer, J. L. (1996). Forest products and wood science: an
introduction.
Panshin, A. J., & Zeeuw, C. d. (1980). Textbook of wood technology: McGraw-
Hill Book Co.
Rahman, O., & Malik, J. (2008). Penggergajian dan pengerjaan kayu, pilar industri
perkayuan Indonesia: Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan.
Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan
hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.
Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for
practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).
Sosef, M., Hong, L., & Prawirohatmodjo, S. (1998). Plant Resources of South-East
Asia 5): (3) Timber trees: Lesser known timbers (Vol. 5): Backhuys.
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 205
Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergajian Kayu Manglid
(Magnolia champaca)
M. Siarudin1
ABSTRAK
Manglid (Magnolia champaca) merupakan jenis yang banyak dikembangkan di hutan rakyat
Jawa Barat, namun informasi mengenai pengolahan pascapanen jenis ini masih terbatas.
Penelitian ini bertujuan mengukur karakteristik dolok dan hasil penggergajian kayu manglid.
Bahan yang digunakan adalah 34 dolok manglid yang berasal dari hutan rakyat di Desa
Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dengan rentang diameter 19,25–40,5 cm.
Karakteristik bentuk dolok yang diamati adalah kebundaran, keruncingan, dan keleng-
kungan. Pola penggergajian yang diterapkan adalah dengan pola satu sisi dan pola semi-
perempatan (17 dolok untuk masing-masing pola penggergajian). Hasil penelitian menun-
jukkan bahwa dolok manglid dengan rata-rata diameter 29 cm memiliki nilai kebundaran
92,18%, keruncingan 1,06 cm/m, dan kelengkungan 6,72%. Hasil penggergajian kayu
manglid menunjukkan nilai rendemen, efisiensi menggergaji, produktivitas, dan rata-rata
lebar papan pada pola satu sisi berturut-turut 62,69%, 47,82%, 0,93 m3/jam, dan 17,75 cm;
sedangkan nilai pada pola semiperempatan berturut-turut 63,50%, 41,25%, 0,53 m3/jam, dan
7,94 cm. Hasil uji-t menunjukkan bahwa pola penggergajian satu sisi dan pola penggergajian
semiperempatan menghasilkan rendemen yang relatif seragam, namun berbeda sangat nyata
pada efisiensi menggergaji, produktivitas, dan lebar papan yang dihasilkan. Pola pengger-
gajian satu sisi menghasilkan efisiensi dan produktivitas yang lebih tinggi, serta papan yang
lebih lebar dibandingkan denga pola semiperempatan.
Kata kunci: pola penggergajian, pola satu sisi, pola semiperempatan, dolok, manglid
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis
Jawa Barat; Email: [email protected]
M. Siarudin
206 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
I. Pendahuluan
Manglid (Magnolia champaca) merupakan salah satu jenis pohon yang saat
ini banyak dikembangkan pada hutan rakyat di Jawa Barat. Jenis ini relatif cepat
tumbuh dan dapat mencapai tinggi maksimum 40 m, serta batang bebas cabang 25
m dengan garis tengah mencapai 150 cm (Rimpala, 2001). Manglid umumnya
berbatang lurus dan silindris tanpa banir, serta lingkaran tahunnya tampak jelas.
Manglid tumbuh baik pada ketinggian 900 m dpl hingga 1.700 m dpl dalam hutan
campuran yang lembab, yaitu pada tanah yang subur dan selalu lembab. Berdasarkan
beberapa laporan eksplorasi, tanaman manglid tersebar pada ketinggian 1.000–2.200
m dpl. Saat ini, manglid dikembangkan melalui agroforestri pada progam social
forestry dan dijadikan komoditas unggulan untuk pengembangan hutan rakyat
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala,
2001). Menurut Djam'an (2006), manglid di Jawa Barat sudah banyak dibudidaya-
kan dengan masa penebangan setiap 35 tahun dan memberikan hasil 12,1 m³/ha.
Jenis manglid sangat disukai di Jawa Barat dan Bali karena selain kayunya
mengkilat; strukturnya pun padat, halus, ringan, dan kuat. Kayu gubalnya tipis dan
berwarna putih; kayu teras yang masih segar berwarna cokelat dengan sedikit warna
hijau yang tampak jelas, setelah kering angin warnanya bervariasi antara cokelat
muda dan kuning kecokelatan tanpa kirai (Anonim, 2007). Kekuatan kayunya
digolongkan dalam kelas III–IV dan keawetannya termasuk kelas II (Seng, 1990).
Adapun keuntungan dari kayu manglid tersebut karena ringan (berat jenis 0,41)
sehingga mudah dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan,
perkakas rumah, barang-barang hiasan, patung, dan ukiran (Sosef et al., 1998).
Kegunaan kayu Manglid selama ini sebagai perkakas rumah tangga (meja, kursi,
lemari), bangunan rumah, bangunan jembatan, pelapis kayu, dan plywood. Untuk
tujuan kegunaan tersebut, hampir semua dolok manglid digergaji menjadi kayu
gergajian.
Proses penggergajian pada dasarnya terdapat dua macam/pola, yaitu pola satu
sisi (life sawing) dan pola semiperempatan (semi-quarter sawing). Pola satu sisi
ditandai oleh irisan gergaji menyinggung lingkaran tahun setiap kali mengiris kayu,
sedangkan pola perempatan tegak lurus atau hampir tegak lurus. Pada kayu yang
Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergaj ian Kayu Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 207
memiliki lingkaran tahun yang tampak jelas, pola perempatan menampilkan orien-
tasi seratan yang indah (fancy) pada permukaan kayu (Rachman & Balfas, 1989).
Pemanfaatan manglid untuk memenuhi kebutuhan kayu perlu didukung
hasil-hasil penelitian sehingga dapat lebih optimal. Penelitian ini bertujuan menge-
tahui karakteristik penggergajian manglid pada pola penggergajian satu sisi dan pola
semiperempatan.
II. Metodologi
A. Bahan dan Peralatan
Penelitian dilakukan pada industri penggergajian kayu rakyat di Desa Karang-
kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 34 dolok kayu manglid yang diperoleh dari
hutan rakyat di Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya,
Jawa Barat. Diameter dolok bervariasi dari 19,25 cm hingga 40,5 cm dengan
panjang ±2 m.
Peralatan yang digunakan adalah mesin gergaji ban (band saw), alat ukur
waktu (stop watch), meteran, dan lain-lain. Spesifikasi mesin gergaji yang digunakan
adalah merk Dong Fang® model MJ-339 H dengan diameter pulley 36”. Sementara
itu, spesifikasi bilah gergaji yang digunakan adalah sebagai berikut:
- Lebar bilah : 70 mm
- Tebal bilah : 1,4 mm
- Jarak gigi gergaji : 32 mm
- Tinggi gigi gergaji : 7,5 mm
- Tebal titik baja : 2,6 mm
M. Siarudin
208 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
B. Prosedur Kerja
Dolok manglid dikelompokkan ke dalam dua kelompok dengan mempertim-
bangkan keragaman diameter pada masing-masing kelompok. Kelompok pertama
sejumlah 17 dolok dibelah dengan pola satu sisi, sedangkan kelompok kedua dengan
jumlah yang sama dibelah dengan pola semiperempatan (Gambar 1). Proses
pembelahan, perataan sisi, dan pemotongan ujung hingga diperoleh papan persegi
dengan ketebalan seragam (3 cm) untuk kedua kelompok dolok dilakukan dengan
menggunakan mesin gergaji pita dan operator yang sama. Pengamatan dan
pengukuran dilakukan sebelum, selama, dan sesudah proses pembelahan dolok.
a b
Gambar 1. Pola penggergajian: pola satu sisi (a) dan pola semiperempatan (b)
Pengamatan dan pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pengukuran dimensi dolok
Dimensi dolok diukur sebelum proses pembelahan dilakukan. Parameter-
parameter yang diukur adalah diameter pangkal dan diameter ujung, panjang dolok,
keruncingan, kebundaran, dan kesilindrisan.
2. Pengukuran Waktu Efektif dan Waktu Total
Waktu efektif diukur pada saat proses pembelahan dan perataan sisi/ujung,
yaitu setiap kali saat bilah gergaji menempel kayu hingga saat bilah lepas dari kayu.
Waktu total diukur pada setiap dolok, yaitu mulai saat dolok berada di atas meja
penggergajian hingga pembelahan dan perataan pingir/ujung selesai dilakukan.
Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergaj ian Kayu Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 209
3. Pengukuran Dimensi Papan
Papan gergajian yang dihasilkan diukur lebar, panjang, tebal (seragam 3 cm),
kemudian ditentukan volumenya.
4. Pengamatan Distribusi Lebar Papan
Pengamatan distribusi lebar papan dilakukan dengan mengelompokkan lebar
papan ke dalam beberapa kelas lebar, yaitu 3–5 cm, 6–10 cm, 11–15 cm, 16–20 cm,
21–25 cm, 26–30 cm, 31–35 cm, dan >35 cm. Masing-masing kelas lebar papan
tersebut dihitung jumlah papannya.
C. Pengolahan Data
Data hasil pengukuran diolah mejadi beberapa variabel dengan rumus sebagai
berikut:
1. Volume Dolok
PDV 2..4/1dolok
Keterangan: V dolok=volume dolok (m3); D=diameter dolok; П=3,14; P=panjang dolok (m)
2. Angka Bentuk Dolok
Rumus kebundaran:
100211
d
dK atau 100
432
d
dK (dipilih nilai terkecil)
Keterangan: K1=kebundaran bontos pangkal (%); K2=kebundaran bontos ujung (%); d1=diameter
bontos pangkal terpendek (cm); d2=diameter bontos pangkal tegak lurus d1 (cm); d3=diameter
bontos ujung terpendek (cm); d4=diameter bontos ujung tegak lurus d3 (cm)
Rumus keruncingan (taper):
P
dudpT
Keterangan: T=keruncingan (cm/m); dp=diameter bontos pangkal (cm)=(d1+d2)/2; du=diameter
bontos ujung (cm)=(d3+d4)/2; P=panjang dolok (m)
M. Siarudin
210 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Rumus kelengkungan:
100D
yL
Keterangan: L=kelengkungan (%); y=jarak penyimpangan lengkung log (cm); D=rata-rata diame-
ter dolok (cm)=(d1+d2+d3+d4)/4
3. Rendemen
100dolokpapan
V
VR
Keterangan: R=rendemen (%); V papan=volume papan (m3); V dolok=volume dolok (m3)
4. Efisiensi Menggergaji
100total
W
WeE
Keterangan: E=efisiensi menggergaji (%); We=waktu efektif (jam); Wtotal=waktu total (jam)
5. Produktivitas
totalpapan
W
VP
Keterangan: P=produktivitas (m3/jam); V papan=volume papan (m3); W total=waktu total (jam)
6. Distribusi Lebar Papan
Jumlah papan pada setiap kelas lebar papan dihitung persentasenya, kemudian
dibandingkan dengan total papan yang dihasilkan masing-masing pola pengger-
gajian. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif.
Data-data yang telah diolah dianalisis dengan uji-t dua sampel independen
(Independent-Samples t-Test) untuk mengetahui perbedaan antara kedua pola
penggergajian. Sampel dolok yang digunakan untuk kedua pola penggergajian
diasumsikan memiliki keragaman yang seimbang atau homogen sehingga dilakukan
uji Levene terlebih dahulu untuk keseimbangan keragaman (Levene’s Test for
Equality of Variances). Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan software
SPSS 13.
Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergaj ian Kayu Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 211
III. Hasil dan Pembahasan
A. Dimensi, Angka Bentuk, dan Rendemen
Dimensi dan angka bentuk dolok merupakan salah satu faktor yang menentu-
kan rendemen penggergajian. Tabel 1 menunjukkan rata-rata diameter dolok
manglid sebesar 29,26 cm dengan volume rata-rata 0,14 m3/dolok, kelengkungan
6,72%, keruncingan 1,06 cm/m, dan kebundaran 92,18%.
Nilai kelengkungan dolok manglid memiliki kisaran yang cukup tinggi, yaitu
1,34–23,93% (rata-rata 6,72%). Namun demikian, nilai kelengkungan dolok
manglid umumnya relatif rendah <10% dan hanya ada dua dolok dengan nilai
kelengkungan >20% karena kondisi spesifik pada individu pohon sampel yang
diambil.
Tabel 1. Dimensi dolok dan angka bentuk dolok kayu manglid penggergajian pola satu sisi
No. Parameter Satuan Penggergajian pola satu sisi
Rata-rata Kisaran
1. Diameter batang cm 29,26 19,25–40,50
2. Volume dolok m3 0,14 0,06–0,27
3. Kebundaran % 92,18 62,07–100,00
4. Keruncingan cm/m 1,06 0,00–3,25
5. Kelengkungan % 6,72 1,34–23,93
Nilai keruncingan dolok manglid berkisar 0–3,25 cm/m. Dolok dengan nilai
keruncingan rendah (bahkan berbentuk silindris atau keruncingan 0 cm/m) pada
umumnya didapat pada batang bagian bawah atau sekitar pangkal, sedangkan bagian
ujung relatif lebih runcing. Nilai kebundaran rata-rata 92,18% menunjukkan bahwa
dolok manglid cukup bundar mendekati 100%. Meskipun terdapat satu batang
dengan kebundaran <70%, hampir seluruh dolok yang ada memiliki kebundaran
>80%, bahkan beberapa di antaranya mencapai 100%.
M. Siarudin
212 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
B. Rendemen
Tabel 2 menunjukkan bahwa rendemen pada pola penggergajian satu sisi
menghasilkan rendemen berkisar antara 49,60–73,11 % dengan rata-rata 62,69%.
Rendemen pada pola penggergajian semiperempatan berkisar antara 51,71–71,33%
dengan rata-rata 63,50% dan berbeda nyata secara statistik. Hal ini serupa dengan
hasil penelitian Rahman dan Balfas (1989) yang menyimpulkan bahwa rendemen
penggergajian pada rasamala (Altingia excelsa Noronha) relatif tinggi, yaitu sekitar
62%.
Tabel 2. Rendemen dua pola penggergajian
Pola penggergajian Rendemen (%)
Minimum Maksimum Rata-rata
Penggergajian satu sisi 49,60 73,11 62,69
Penggergajian semiperempatan 51,71 71,33 63,46
Perhitungan volume dolok total sejumlah 2,46 m3 pada pola satu sisi mengha-
silkan volume papan sebanyak 1,57 m3, sedangkan pola semiperempatan menghasil-
kan volume papan sebanyak 1,46 m3 dari total dolok 2,29 m3. Volume papan rata-
rata per dolok pada kedua pola penggergajian tersebut sama, yaitu 0,09 m3/dolok.
C. Efisiensi Menggergaji
Tabel 3 menunjukkan bahwa efisiensi menggergaji pada pola satu sisi lebih
besar daripada pola semiperempatan dan berbeda sangat nyata secara statistik. Pada
pola penggergajian satu sisi, waktu total rata-rata proses pembelahan adalah 6,15
menit/dolok dengan waktu efektif gergaji membelah sebesar 47,82% atau 2,88
menit. Sementara itu, pada pola semiperempatan, dari total waktu rata-rata 9,67
menit per dolok hanya 4,02 menit waktu efektifnya atau 41,25%. Rendahnya
efisiensi pada pola semiperempatan disebabkan pola ini membutuhkan penempatan
dolok yang relatif lebih rumit dibandingkan dengan pola satu sisi pada saat proses
pembelahan.
Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergaj ian Kayu Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 213
Tabel 3. Efisiensi menggergaji pada dua pola penggergajian
Pola penggergajian Nilai rata-rata per dolok
We (menit) Wtotal (menit) E (%)
Penggergajian satu sisi 2,88 6,15 47,82
Penggergajian semiperempatan 4,02 9,67 41,25
Keterangan: We=waktu efektif; W total=waktu total; E=efisiensi menggergaji
Waktu efektif dan waktu total pada pola semiperempatan tampak lebih tinggi
dibandingkan dengan pola satu sisi. Hal ini menunjukkan bahwa selain penempatan
log untuk pembelahan pada pola semiperempatan lebih rumit, pola ini juga
membutuhkan lebih banyak lintasan pembelahan (Gambar 1). Hal ini dapat
dijelaskan bahwa meskipun rendemen kedua pola tersebut relatif seragam, pola
semiperempatan membutuhkan waktu yang lebih besar sehingga efesiensinya lebih
rendah dari pola satu sisi. Sebagaimana dikemukakan Rahman dan Malik (2008),
pola semiperempatan memerlukan waktu lebih banyak selama produksi untuk
mendapatkan irisan dengan posisi radial yang lebih tepat, namun papan yang
dihasilkan lebih stabil dan penampilan yang lebih cantik.
D. Produktivitas
Tabel 4 menunjukkan bahwa produktivitas pola satu sisi lebih tinggi diban-
dingkan dengan pola semiperempatan dan berbeda sangat nyata secara statistik.
Produktivitas pola semiperempatan hanya 0,53 m3/jam, sedangkan pola satu sisi
mencapai 0,92 m3/jam atau 0,39 m3/jam lebih tinggi daripada pola semiperempatan.
Produktivitas penggergajian manglid yang cukup tinggi pada pola satu sisi serupa
dengan hasil penelitian Rachman dan Balfas (1993) dalam Sutigno et al. (2000)
pada jenis mangium (Acacia mangium Willd) yang menunjukkan bahwa rata-rata
produktivitas penggergajian pada jenis tersebut dapat mencapai 0,906 m3/jam.
M. Siarudin
214 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 4. Produktivitas pada dua pola penggergajian
Pola penggergajian Produktivitas (m3/jam)
Minimum Maksimum Rata-rata
Penggergajian satu sisi 0,62 1,23 0,92
Penggergajian semi perempatan 0,46 0,68 0,53
E. Distribusi Lebar Papan
Hasil pengukuran lebar papan menunjukkan bahwa pola penggergajian satu
sisi menghasilkan papan dengan kisaran lebar 6–33,5 cm atau rata-rata 17,75 cm.
Pola penggergajian semiperempatan menghasilkan papan dengan kisaran lebar 3–22
cm atau rata-rata 7,94 cm. Dengan demikian, hasil ini dapat diketahui bahwa pola
penggergajian satu sisi menghasilkan papan yang lebih lebar daripada pola semi-
perempatan dan berbeda sangat nyata secara statistik.
Gambar 2. Distribusi lebar papan pada dua pola penggergajian
Pada Gambar 2 dapat diamati bahwa sebaran lebar papan pada pola peng-
gergajian satu sisi tertinggi pada lebar 16–20 cm (27%) dan tidak terdapat lebar
papan <6 cm. Pada pola ini, terdapat papan pada kelas lebar 21–25 dan 26–30 cm
sebanyak masing-masing 15% dari total papan. Sementara itu, sebaran lebar papan
pola semiperempatan tertinggi pada lebar 6–10 cm dengan jumlah mencapai 160
papan atau 52% dan tidak terdapat papan dengan lebar >20 cm. Jumlah lebar papan
0
17
2427
15 15
1 0
29
52
15
4
0 0 0 00
10
20
30
40
50
60
3-5 6-10 11-15 16-20 21-25 26-30 31-35 >35
lebar papan (cm)
pers
en
tase (
%)
pola satu sisi pola semi perempatan
Karakteristik Dolok dan Hasil Penggergaj ian Kayu Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 215
dengan lebar 3–5 cm pada pola ini bahkan cukup tinggi, yaitu mencapai 89 papan
atau 29%, sedangkan pada pola satu sisi tidak didapat lebar papan pada kelas ini.
Dengan kata lain, pola satu sisi memiliki kecenderungan menghasilkan papan yang
lebih lebar dibandingkan dengan pola semiperempatan. Hal ini seperti hasil
penelitian (Rahman, 1991) pada jenis sengon (Paraserianthes falcataria) bahwa pola
satu sisi menghasilkan papan lebih lebar, yaitu 61% papan dengan lebar 15–17,5 cm,
sedangkan pola semiperempatan menghasilkan 42% papan dengan lebar 10–12,5
cm.
Papan yang dihasilkan dari pola satu sisi berjumlah 149 papan, sedangkan
pola semiperempatan menghasilkan 310 papan atau 108% lebih banyak dari jumlah
papan pada pola satu sisi. Perbedaan jumlah yang cukup menyolok tersebut mem-
perlihatkan kecenderungan lebar yang berbeda sangat nyata, mengingat rendemen
kedua pola penggergajian tersebut relatif seragam secara statistik.
IV. Kesimpulan
Dolok manglid dengan diameter rata-rata 29 cm memiliki nilai kebundaran
92,18%, keruncingan 1,06 cm/m, dan kelengkungan 6,72%. Nilai rendemen, efisien-
si menggergaji, produktivitas, dan rata-rata lebar papan pada pola penggergajian satu
sisi berturut-turut 62,69%, 47,82%, 0,93 m3/jam, 1,18 liter/m3, dan 17,75 cm;
sedangkan pada pola penggergajian semiperempatan berturut-turut 63,50%, 41,25%,
0,53 m3/jam. 1,72 liter/m3, dan 7,94 cm. Pola penggergajian satu sisi dan pola
penggergajian semiperempatan menghasilkan rendemen yang relatif seragam,
namun berbeda sangat nyata pada efisiensi menggergaji, produktivitas, dan lebar
papan yang dihasilkan. Pola penggergajian satu sisi menghasilkan efisiensi dan
produktivitas yang lebih tinggi, serta papan yang lebih lebar dibandingkan dengan
pola semiperempatan.
M. Siarudin
216 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Daftar Pustaka
Anonim. (2007). Manglid (Manglieta glauca Bl.) Lembar Informasi Teknis Jenis-
Jenis Pohon untuk Hutan Rakyat: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.
Djam'an D.F. (2006). Mengenal manglid baros (Manglietia glauca Bl.). Manfaat
dan permasalahannya. from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/
06VI/06VIMengenal%20manglid.htm:
Rachman, O., & Balfas, J. (1989). Pengaruh peracunan triklopir dan pola
penggergajian terhadap sifat penggergajian kayu rasamala (Altingia excelsa
Noronha). Jurnal Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, 6(5), 292-298.
Rahman, O. (1991). Pengaruh pengerasan mata gergaji dan pola penggergajian
terhadap karakteristik penggergajian kayu sengon (Paraseianthes falcataria).
Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 9(4), 163-169.
Rahman, O., & Malik, J. (2008). Penggergajian dan pengerjaan kayu, pilar industri
perkayuan Indonesia: Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan.
Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan
hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.
Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for
practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).
Sosef, M., Hong, L., & Prawirohatmodjo, S. (1998). Plant Resources of South-East
Asia 5): (3) Timber trees: Lesser known timbers (Vol. 5): Backhuys.
Sutigno, P., Haryanto, Y., & Rahayu, T. (2000). Sari hasil penelitian mangium dan
tusam Puslitbang Hasil Hutan. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan, Badan
Litbang Kehutanan.
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 217
Pengawetan Kayu Manglid
Endah Suhaendah1 & M. Siarudin1
ABSTRAK
Kayu manglid (Magnolia champaca) dikenal masyarakat Jawa Barat sebagai bahan baku kayu
untuk bangunan. Salah satu kendala yang sering dijumpai dalam pemanfaatan jenis ini adalah
rentan terhadap serangan jamur dan rayap. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh
konsentrasi dan lama perendaman dingin terhadap penetrasi bahan pengawet tembaga-
khrom-boron (cuprum-chrome-boron/CCB) pada kayu manglid. Kegiatan penelitian
dilaksanakan pada bulan November–Desember 2008. Sampel kayu berasal dari pohon di
hutan rakyat Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasimalaya, Jawa Barat.
Percobaan disusun secara faktorial dengan tiga perlakuan lama perendaman (1 hari, 3 hari,
dan 7 hari) dan tiga perlakuan konsentrasi bahan pengawet (konsentrasi 10%, 15%, dan 20%)
dengan masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan konsentrasi larutan bahan pengawet dan lama perendaman berpengaruh nyata
terhadap penetrasi bahan pengawet pada kayu manglid dengan kecenderungan peningkatan
penetrasi seiring dengan meningkatnya konsentrasi larutan pengawet dan lama perendaman.
Berdasarkan persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kebutuhan pembangunan
perumahan dan gedung, pengawetan kayu manglid dengan bahan pengawet CCB yang disa-
rankan adalah dengan konsentrasi 15% dan lama perendaman tujuh hari atau konsentrasi
20% dengan lama perendaman tiga hari.
Kata kunci: pengawet CCB, manglid, pengawetan, rendaman dingin, SNI
I. Pendahuluan
Manglid merupakan salah satu bahan baku kayu untuk bangunan yang dikem-
bangkan di hutan rakyat. Jenis ini dikembangkan di Jawa Barat melalui pola
agroforestri pada progam social forestry dan dijadikan komoditas unggulan dalam
pengembangan hutan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis,
Jawa Barat; Email: [email protected]
E. Suhaendah & M. Siarudin
218 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
sekitar hutan (Rimpala, 2001). Kayu manglid di Jawa Barat dan Bali sangat disukai
karena sifat kayunya mengkilat dengan strukturnya yang padat, halus, ringan, dan
kuat. Keuntungan dari kayu manglid adalah ringan dengan berat jenis (BJ) 0,41
sehingga mudah dikerjakan dan sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan,
perkakas rumah, barang-barang hiasan, patung, dan ukiran yang mana peruntukan
ini banyak ditemukan di daerah Bali (Djam'an, 2006). Selain itu, kayu manglid
termasuk ke dalam Kelas Kuat III–IV dan Kelas Awet II (Seng, 1990). Namun
demikian, kendala yang sering dijumpai dalam pemanfaatan jenis ini adalah rentan
terhadap serangan jamur dan rayap, serta kayu yang mudah retak dan kurang stabil.
Upaya pencegahan kerusakan kayu sangat penting dalam rangka peningkatan
mutu dan masa pakai (service life). Salah satu langkah strategis yang dapat diterap-
kan adalah memperpanjang umur pakai atau mempertahankan umur komponen
kayu melalui penerapan teknologi pengawetan kayu yang sesuai dengan standar
teknis yang berlaku. Pengawetan kayu sudah sejak lama mendapat perhatian dari
pemerintah. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai peraturan, namun kesadaran
masyarakat untuk memakai kayu awetan masih rendah (Batubara, 2006). Teknik
pengawetan yang ada saat ini dianggap masih kurang efektif dan hanya bisa
membuat kayu awet selama lima tahun. Padahal, pengawetan kayu dapat menghasil-
kan penghematan, paling tidak sebesar 50% dari total konsumsi kayu saat ini.
Apabila kayu bisa lebih awet hingga 15 tahun, jumlah kayu yang digunakan dapat
dihemat hampir 7 juta m3/tahun yang nilainya setara dengan hutan seluas 140.000
ha (Antaranews, 2016). Berdasarkan hal tersebut, teknik pengawetan yang efektif,
efisien, dan sesuai dengan ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berlaku
sangat diperlukan.
Pengawetan merupakan proses memasukkan bahan kimia beracun atau bahan
pengawet ke dalam kayu untuk meningkatkan kelas awet suatu jenis kayu (Batubara,
2006). Jenis kayu yang diawetkan adalah kayu dengan keawetan alami rendah, yaitu
kayu Kelas Awet III, IV, dan V, serta kayu gubal dari Kelas Awet I dan II (Seng,
1990). Walaupun manglid merupakan jenis kayu dalam kelompok Kelas Awet II,
bagian gubal dari kayu manglid tetap memerlukan pengawetan.
Pengawetan Kayu Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 219
Metode pengawetan kayu bermacam-macam, mulai dari yang sederhana
hingga pengawetan vakum-tekan. Namun, metode vakum-tekan masih dianggap
mahal dan kurang praktis untuk mengawetkan kayu bagi keperluan perumahan
rakyat. Metode rendaman dingin merupakan salah satu proses pengawetan seder-
hana untuk mengawetkan kayu kering dan setengah kering yang umum digunakan
sebagai bahan konstruksi rumah dan gedung (SNI, 1999). Pada metode ini, kayu
direndam dalam bak pengawetan dan dibiarkan terendam hingga nilai retensi yang
dikehendaki tercapai (Barly, 2009).
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh konsentarsi larutan dan lama
perendaman dingin terhadap penetrasi bahan pengawet tembaga-khrom-boron
(cuprum-chrome-boron/CCB) pada kayu manglid. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengawetan kayu manglid untuk
perumahan dan gedung yang memenuhi standar pengawetan berdasarkan kriteria
SNI.
II. Metodologi
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu manglid (Magnolia
champaca), bahan pengawet kayu impralit CCB, pereaksi uji tembaga dengan
khrom Azurol S. Peralatan yang digunakan antara lain bak perendam, gelas ukur
(untuk menetapkan konsentrasi larutan bahan pengawet), dan gergaji (untuk
pengambilan contoh kayu yang diawetkan).
Sampel kayu manglid diambil dari hutan rakyat di Desa Sodonghilir, Keca-
matan Sodonghilir, Kabupaten Tasimalaya, Jawa Barat. Pemotongan contoh uji dan
perlakuan pengawetan dilaksanakan di Bengkel Kerja dan Laboratorium Balai
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry Ciamis.
Metode pengawetan yang dilakukan adalah metode perendaman dingin
menggunakan CCB dengan perlakuan lama perendaman dan konsentrasi larutan.
Lama perendaman meliputi tiga perlakuan, yaitu 1 hari, 3 hari, dan 7 hari; sedang-
kan konsentrasi bahan pengawet meliputi tiga perlakuan yaitu, konsentrasi 10%,
E. Suhaendah & M. Siarudin
220 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
15%, dan 20%. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 27
kombinasi perlakuan (sembilan perlakuan dan tiga ulangan).
Contoh uji berukuran 15 cm x 2,5 cm x 30 cm. Penembusan bahan pengawet
diukur dengan memotong melintang contoh uji pada bagian tengahnya dan dibiar-
kan selama dua minggu dalam suhu kamar. Kedalaman penetrasi bahan pengawet
impralit CCB dapat diamati dengan menyemprotkan atau melaburkan pereaksi uji
tembaga dengan khrom Azurol S (terdiri dari 0,5 g konsentrat chrom azurol, 5 g
natrium acetat, dan 80 ml air) pada penampang melintang contoh uji hasil pemo-
tongan. Adanya unsur tembaga ditunjukkan oleh warna biru, sedangkan bagian yang
tidak mengandung tembaga berwarna jingga. Uji penetrasi boron terdiri dari a) dua
gram ekstrak kurkuma dalam 100 ml alkohol dan b) 20 ml asam klorida pekat dan
80 ml alkohol yang dijenuhkan dengan asam salisilat (13 g/100 ml).
Data dianalisis dengan uji beda nyata untuk melihat pengaruh konsentrasi dan
lama perendaman terhadap penetrasi bahan pengawet dengan menggunakan klasifi-
kasi tersarang (Steel & Torrie, 1960). Variabel-variabel perlakuan yang berpengaruh
nyata dilakukan uji lanjut dengan prosedur Tukey.
III. Hasil dan Pembahasan
Nilai penetrasi rata-rata pada perlakuan konsentrasi bahan pengawet CCB
dan lama perendaman, serta sidik ragamnya disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2.
Uji lanjut terhadap nilai penetrasi yang signifikan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan penetrasi
bahan pengawet dengan peningkatan konsentrasi larutan ataupun lama perendaman.
Penetrasi bahan pengawet pada perendaman 7 hari mencapai rata-rata 5,89 mm,
sedangkan rendaman 1 hari dan 3 hari berturut-turut hanya 3,03 mm dan 4,61 mm.
Sementara itu, perlakuan konsentrasi bahan pengawet CCB 20% menghasilkan rata-
rata penetrasi tertinggi sebesar 5,69 mm, sedangkan perlakuan konsentrasi 15% dan
10% menghasilkan rata-rata penetrasi yang sama, yaitu sebesar 3,92 mm. Selanjut-
nya, hasil analisis keragaman pada Tabel 2 diketahui bahwa perlakuan konsentrasi
Pengawetan Kayu Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 221
bahan pengawet dan lama perendaman berpengaruh sangat nyata (taraf kepercayaan
99%) terhadap penetrasi bahan pengawet CCB pada kayu manglid.
Tabel 1. Nilai rata-rata penetrasi bahan pengawet CCB pada kayu manglid
Konsentrasi
larutan CCB
Penetrasi bahan pengawet (mm) sesuai lama perendaman Rata-rata
1 hari 3 hari 7 hari
10% 2,92 4,42 4,42 3,92
15% 2,50 4,17 5,08 3,92
20% 3,67 5,25 8,17 5,69
Rata-rata 3,03 4,61 5,89
Tabel 2. Sidik ragam pengaruh konsentrasi bahan pengawet dan lama perendaman terha-
dap penetrasi bahan pengawet pada kayu manglid
Sumber keragaman Derajat
bebas
Jumlah
kuadrat
Kuadrat
tengah
F
hitung Nilai-p
Konsentrasi 2 18,963 9,481 10,089 0,001**
Lama perendaman 2 36,977 18,488 19,672 0,000**
Konsentrasi dan
lama perendaman
4 9,079 2,270 2,415 0,087tn
Galat percobaan 18 16,917 0,940
Keterangan: **=berpengaruh sangat nyata; tn=tidak berpengaruh nyata
Tabel 3. Uji lanjut Tukey perlakuan pengawetan CCB pada manglid
Perlakuan Subset
1 2 3
Konsentrasi 10% 3,92
Konsentrasi 15% 3,92
Konsentrasi 2 % 5,69
Rendam 1 hari 3,03
Rendam 3 hari 4,61
Rendam 7 hari 5,89
E. Suhaendah & M. Siarudin
222 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Hasil uji lanjut pada Tabel 3 menunjukkan bahwa konsentrasi bahan penga-
wet 10% dan 15% menghasilkan penetrasi yang tidak berbeda nyata, sedangkan
konsentrasi 20% berbeda nyata dibandingkan dengan kedua kosentrasi lainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan penetrasi di bawah 5 mm cukup
menggunakan konsentrasi bahan pengawet 10%, sedangkan untuk mencapai pening-
katan penetrasi lebih tinggi diperlukan peningkatan konsentrasi menjadi 20%. Hasil
ini diharapkan akan berdampak pada kekuatan kayu manglid dalam menangkal
serangan jamur karena keberadaan senyawa CCB. Senyawa tembaga dalam bahan
pengawet berguna untuk mencegah serangan jamur mikro perusak selulosa yang
disebabkan oleh jamur pelunak. Senyawa boron dimaksudkan untuk mencegah
serangan serangga dan jamur yang toleran terhadap tembaga, sedangkan senyawa
khrom dimaksudkan untuk mengikat tembaga dan boron di dalam kayu (fiksasi)
(Abdurrahim, 2000)
Perlakuan lama perendaman masing-masing saling menghasilkan penetrasi
bahan pengawet yang berbeda nyata dengan kecenderungan peningkatan penetrasi
dengan meningkatnya lama perendaman. Adanya kecenderungan meningkatnya
penetrasi dengan peningkatan lama perendaman sesuai dengan pernyataan
Abdurrahim (2006) bahwa lama perendaman berkaitan dengan kesempatan kayu
berhubungan dengan larutan bahan pengawet. Sebelum saluran dalam kayu berupa
noktah tertutup seluruhnya oleh bahan pengawet yang berfiksasi akibat bahan
pengawet kontak dengan lignin, larutan bahan pengawet dapat masuk terus ke
dalam kayu karena sifat higroskopisitas kayu.
Persyaratan penetrasi bahan pengawet menurut SNI untuk perumahan dan
gedung adalah minimal 5 mm, baik penggunaan di bawah atap maupun di luar atap
(SNI, 1999). Berdasarkan kriteria tersebut, pengawetan kayu manglid menggunakan
larutan CCB yang disarankan adalah dengan konsentrasi 15% dengan lama
perendaman 7 hari, atau konsentrasi 20% dengan lama perendaman 3 hari.
Pengawetan Kayu Mangl id
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 223
IV. Kesimpulan
Manglid termasuk ke dalam jenis kayu dengan Kelas Awet II. Namun demi-
kian, bagian gubal dari kayu ini tetap harus diawetkan agar masa pakainya menjadi
lebih lama. Salah satu cara pengawetan yang efektif dan efisien untuk kayu manglid
adalah metode rendaman dingin dengan bahan pengawet tembaga-khrom-boron
(CCB). Konsentrasi CCB 20% dengan lama rendaman 3 hari atau konsentrasi CCB
15% dengan lama rendaman 7 hari menunjukkan nilai penestrasi yang sesuai dengan
persyaratan SNI.
Daftar Pustaka
Abdurrahim, S. (2000). Manfaat pengawetan kayu perumahan dan gedung. Paper
presented at the Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu, Bogor.
Abdurrahim, S. (2006). Bagan pengawetan tiga jenis kayu dengan bahan pengawet
CCB secara rendaman panas dingin dan sel penuh. Paper presented at the
Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, Bogor.
Antaranews. (2016). Teknologi pengawetan kayu mampu hemat konsumsi kayu 7
juta m3 tiap tahun. Retrieved 12 April 2016, http://www.antaranews.com/
berita/73022/teknologi-pengawetan-kayu-mampu-hemat-konsumsi-kayu-7-
juta-m3-tiap-tahun
Barly. (2009). Standarisasi pengawetan kayu dan bambu serta produknya. Paper
presented at the PPI Standarisasi, Jakarta.
Batubara, R. (2006). Teknologi pengawetan kayu perumahan dan gedung dalam
upaya pelestarian hutan. In F. P. Dep. Kehutanan, Universitas Sumatera
Utara (Ed.). Medan: Dep. Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.
Djam'an D.F. (2006). Mengenal manglid baros (Manglietia glauca Bl.). Manfaat
dan permasalahannya. from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/
06VI/ 06VIMengenal%20manglid.htm:
E. Suhaendah & M. Siarudin
224 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan
hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.
Seng, O. (1990). Specific gravity of Indonesian woods and its significance for
practical use. Departemen Kehutanan Pengumuman(13).
SNI. (1999). Pengawetan kayu untuk perumahan dan gedung (Vol. Standar
Nasional Indonesia (SNI) 03-5010.1-1999). Jakarta: Badan Standarisasi
Nasional (BSN).
Steel, R. G., & Torrie, J. H. (1960). Principles and procedures of statistics.
Principles and procedures of statistics.
SOSIAL EKONOMI DAN PEMASARAN MANGLID
BAB VII
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 227
Kontribusi Pendapatan dari Kayu Manglid (Manglietia glauca Bl.) pada Usaha Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya
Budiman Achmad1 & Dian Diniyati1
ABSTRAK
Jenis pohon dominan yang dikembangkan oleh petani pada hutan rakyat di Kabupaten
Tasikmalaya adalah manglid dan sengon. Namun demikian, popularitas kayu manglid di
pasar masih kalah dari popularitas kayu sengon. Kayu manglid sebenarnya dapat memberikan
kontribusi pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kayu sengon. Tujuan
penelitian adalah memperoleh informasi tentang kontribusi pendapatan dari kayu manglid
sebagai bahan kebijakan pengembangan kayu manglid. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Maret–Juli 2011 di tiga desa pada Kabupaten Tasikmalaya dengan responden sebanyak 49
orang. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara terstruktur. Data yang
terkumpul selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjuk-
kan bahwa agroforestri menjadi pola tanam yang dikembangkan petani pada hutan rakyat.
Terdapat 6 pola tanam di Desa Sepatnunggal, 5 pola tanam di Desa Karyabakti, dan 4 pola
tanam di Desa Tanjungkerta. Kontribusi pendapatan pohon manglid terhadap total
pendapatan usaha hutan rakyat menempati urutan kedua setelah pohon sengon, yaitu
berturut-turut adalah 56,71% (Desa Tanjungkerta), 32,69% (Desa Sepatnunggal), dan
21,52% (Desa Karyabakti). Petani menilai bahwa pendapatan yang diperoleh dari pohon
manglid dua kali lebih lama dibandingkan dengan pendapatan dari pohon sengon.
Kata kunci: agroforestri, hutan rakyat, kontribusi pendapatan, manglid, sengon
I. Pendahuluan
Tidak diragukan lagi bahwa hutan menjadi sumber pendapatan penting bagi
sebagian besar petani di Jawa Barat. Pentingnya sumber daya tersebut bagi kesejah-
teraan rumah tangga petani di negara berkembang juga telah banyak dilaporkan
(Gatiso & Wossen, 2014; Wunder et al., 2014; Dash et al., 2016). Untuk menilai
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4, Ciamis,
Jawa Barat 46201; Email: [email protected] dan [email protected]
B. Achmad & D. Diniyati
228 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
tingkat kepentingan sumber daya yang berasal dari hutan, ukuran berupa
kontribusi pendapatan digunakan.
Manglid (Manglietia glauca) merupakan salah satu pohon yang sangat besar
manfaatnya dan mampu tumbuh baik pada kondisi minim pemeliharaan (Narendra
et al., 2013). Kayu manglid banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, kayu
lapis, mebel, lantai, papan dinding, rangka pintu dan jendela, alat olah raga dan
musik, patung ukiran dan kerajinan tangan, veneer mewah, alat gambar, pensil, dan
moulding (Khaiwani, 2012). Sementara itu, ekstrak daunnya mempunyai potensi
untuk dimanfaatkan sebagai biomedicine alam yang baik (Zhong-feng & Xian-yan,
2011). Pohon manglid termasuk dalam kelompok jenis yang pertumbuhannya cepat
(fast growing species), yaitu bisa dipanen pada umur <10 tahun dengan kualitas kayu
termasuk ke dalam Kelas Awet II dan Kelas Kuat III–IV.
Meskipun manfaat kayu manglid cukup luas, keberadaannya di hutan rakyat
masih kalah populer dengan kayu sengon. Diniyati et al. (2011) menyatakan bahwa
petani lebih menggemari tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) dibandingkan
dengan kayu manglid. Hal ini karena pendapatan dari kayu sengon lebih cepat
dibandingkan dengan kayu manglid, yaitu dengan perkiraan satu kali memanen
manglid setara dengan dua kali memanen sengon. Namun demikian, kondisi
tersebut tidak menyurutkan petani di beberapa tempat untuk menanam kayu
manglid, salah satunya adalah petani di Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini disebabkan
permintaan pasar terhadap kayu berkualitas tinggi masih kuat. Petani menyiasati
tanamannya dengan mencampur manglid (untuk tabungan jangka panjang) dengan
sengon dan kayu afrika (untuk pendapatan jangka pendek). Menurut Mulyana dan
Diniyati (2013), Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu sentra kayu manglid
di Jawa Barat yang tersebar pada 12 wilayah kecamatan (30,77%). Wilayah-wilayah
yang menjadi sentra kayu manglid tersebut memiliki kesamaan kondisi topografi,
yaitu perbukitan atau pegunungan dengan kemiringan 20–60%, temperatur udara
18–250C, dan terletak pada ketinggian rata-rata di atas 350 m dpl.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, tulisan ini mengulas informasi tentang
kontribusi pendapatan dari usaha hutan rakyat manglid dengan harapan informasi
ini dapat digunakan sebagai bahan kebijakan dalam pengem-bangan kayu manglid.
Kontribus i Pendapatan dari Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 229
II. Metodologi
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret–Juli 2011. Lokasi penelitian berada
pada tiga kecamatan yang mewakili wilayah pengembangan Tasikmalaya, yaitu Desa
Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung) di wilayah utara, Desa Sepatnunggal
(Kecamatan Sodonghilir) di wilayah tengah, dan Desa Karyabakti (Kecamatan
Parungponteng) di wilayah Selatan.
B. Pengambilan Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah petani yang mengembangkan pola tanam
agroforestri pada hutan miliknya. Pemilihan responden dilakukan dengan cara
sengaja (purposive sampling), yaitu petani yang memiliki hutan dengan luas ≤0,25
ha dan mengembangkan pohon manglid. Jumlah total responden sebanyak 49 orang
dengan perincian 20 orang di Desa Tanjungkerta, 9 orang di Desa Sepatnunggal,
dan 20 orang di Desa Karyabakti.
C. Analisis Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer yang langsung
diperoleh dari responden, yaitu pendapatan (hasil penjualan produk hutan rakyat)
yang diterima petani dari hutan rakyat setiap tahunnya. Data diperoleh dengan cara
observasi dan wawancara menggunakan kuisioner.
Pendapatan dari hutan merupakan gabungan dari berbagai hasil produk
tanaman, seperti tanaman kayu, tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan
tanaman obat. Perhitungan ini sebagaimana yang digunakan oleh Diniyati &
Achmad (2015) dengan rumus sebagai berikut:
Yang mana: P hr = pendapatan total dari hutan rakyat (Rp/tahun)
P ky = pendapatan dari kayu (Rp/tahun)
P tp = pendapatan tanaman perkebunan (Rp/tahun)
P bb = pendapatan dari buah-buahan (Rp/tahun)
P to = pendapatan tanaman obat-obatan (Rp/tahun)
B. Achmad & D. Diniyati
230 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Pendapatan dari kayu merupakan penjumlahan dari berbagai jenis tanaman
kayu yang ditanam oleh petani, sebagaimana rumus berikut:
Yang mana: P ky = pendapatan dari kayu (Rp/tahun)
P ky1, 2, 3 …n = pendapatan dari berbagai jenis kayu (Rp/tahun)
Kontribusi pendapatan kayu manglid terhadap pendapatan total hutan rakyat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Yang mana: K ky = kontribusi pendapatan kayu manglid (%)
P ky m = pendapatan kayu manglid (Rp/tahun)
P hr = pendapatan total hutan rakyat (Rp/tahun)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Hutan Rakyat di Lokasi Penelitian
Topografi di Kabupaten Tasikmalaya bervariasi, yaitu sebesar 50% kondisinya
datar–berombak, 40% berombak–bergelombang, serta 10% bergelombang–berbukit
dengan ketinggian tempat rata-rata 700 m dpl. Temperatur udara di wilayah ini
berkisar antara 18oC (malam hari) dan 27oC (siang hari), serta kelembaban udara
sekitar 60–80% (Hadiatulloh, 2010; Enda, 2011). Kondisi lingkungan seperti itu
sangat cocok untuk pengembangan hutan rakyat. Terlebih lagi, lahan sebagai faktor
pendukung utama untuk pengembangan hutan rakyat juga tersedia cukup luas, yaitu
masing-masing seluas 311 ha (Desa Karyabakti), 103 ha (Desa Tanjungkerta), dan
1.914 ha (Desa Sepatnunggal) (Desa Tanjungkerta, 2010; Desa Karyabakti, 2010;
Desa Karyabakti, 2010).
Berdasarkan kondisi lingkungan wilayah tersebut, jenis tanaman yang cocok
dikembangkan adalah tanaman kayu. Tanaman kayu yang saat ini banyak dikem-
bangkan petani di Kabupaten Tasikmalaya adalah mahoni (Swietenia macrophylla),
jati (Tectona grandis), sengon (Paraserianthes falcataria), afrika (Maesopsis eminii),
Kontribus i Pendapatan dari Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 231
pinus (Pinus merkusii), rimba campuran, dan bambu (Bambusa sp). Mayoritas
penduduk Kabupaten Tasikmalaya bekerja pada sektor pertanian dan kehutanan
(Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya, 2010). Pengembangan hutan rakyat
di lokasi penelitian dilakukan dengan pola agroforestri. Berdasarkan hasil penelitian,
berbagai bentuk pola agroforestri ditemukan, sebagaimana terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1. Bentuk pola tanaman hutan rakyat
No. Pola tanam Tanjungkerta Sepatnunggal Karyabakti
1. Tanaman kayu + tanaman buah
2. Tanaman kayu + tanaman buah +
tanaman perkebunan
3. Tanaman kayu + tanaman buah +
tanaman perkebunan + tanaman obat
4. Tanaman kayu + tanaman perkebunan
+ tanaman buah + tanaman obat +
tanaman pangan
5. Tanaman kayu + tanaman buah +
tanaman obat
6. Tanaman kayu + tanaman buah +
tanaman pangan
Sumber: hasil pengolahan data primer 2015
Variasi pola tanam hutan rakyat yang paling banyak dilakukan oleh petani ada
di Desa Sepatnunggal (6 pola tanam) dan yang paling sedikit dilakukan oleh petani
di Desa Tanjungkerta (3 pola tanam). Banyaknya variasi pola tanam di Desa
Sepatnunggal dipengaruhi oleh luasnya lahan yang diperuntukkan untuk usaha
hutan rakyat, yaitu 1.914 ha.
B. Kontribusi Pendapatan Kayu Manglid terhadap Total Pendapatan Petani
Jenis tanaman yang dikembangkan pada hutan rakyat di lokasi penelitian
tidak hanya terbatas pada tanaman kehutanan saja, tetapi juga termasuk tanaman
buah, perkebunan, pangan, dan obat. Setiap jenis tanaman tersebut memberikan
kontribusi pendapatan yang berlainan sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2.
B. Achmad & D. Diniyati
232 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 2. Nilai rata-rata pendapatan dari usaha hutan rakyat bagi petani responden
No. Kelompok tanaman
Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti
Pendapatan
(Rp) (%)
Pendapatan
(Rp) (%)
Pendapatan
(Rp) (%)
1. Tanaman kayu 4.161.354 77,05 7.886.667 61,58 1.386.125 36,06
2. Tanaman buah 272.000 5,04 231.222 18,20 561.900 14,62
3. Tanaman perkebunan 188.250 3,49 3.046.889 15,67 704.500 18,33
4. Tanaman obat 183.500 3,40 1.548.000 2,91 1.151.650 29,96
5. Tanaman pangan 595.625 11,03 624.444 1,65 39.500 1,03
Total 5.400.729 100,00 13.337.222 100,00 3.843.675 100,00
Sumber: diolah dari data primer 2011
Berdasarkan data dan informasi yang ada pada Tabel 2 diketahui bahwa
pendapatan dari hasil penjualan kayu memberikan kontribusi yang paling besar,
yaitu 77,05% (Desa Tanjungkerta), 61,58% (Desa Sepatnunggal), dan 36,06% (Desa
Karyabakti). Besarnya kontribusi dari tanaman kayu ini menunjukkan bahwa
tanaman kayu sudah menjadi pendapatan rutin bagi rumah tangga petani. Hal ini
dikarenakan jumlah tanaman kayu yang ada di lokasi penelitian sangat bervariasi
(Diniyati & Fauziyah, 2012) sehingga memudahkan petani untuk melakukan
penebangan setiap tahun. Selain itu, petani kayu juga telah mempunyai jaringan
yang baik dengan pasar (Mulenga et al., 2011). Tanaman kayu di lokasi penelitian
dijadikan sebagai penerimaan rutin dan tidak hanya dijadikan sebagai tanaman
tabungan. Kayu manglid biasanya dikembangkan bersama-sama dengan jenis pohon
lain yang lebih cepat tumbuhnya, seperti sengon, sehingga pendapatan petani bisa
diatur sebagai pendapatan jangka panjang dan jangka pendek.
Nilai kontribusi pendapatan dari tanaman kayu merupakan penjumlahan dari
berbagai jenis tanaman kayu yang telah ditebang pada waktu yang bersamaan.
Kontribusi pendapatan dari berbagai tanaman kayu dan bambu untuk setiap lokasi
seperti diperlihatkan pada Gambar 1.
Kontribusi tanaman kayu di setiap lokasi penelitian berasal dari berbagai jenis
kayu. Jenis tanaman kayu yang telah memberikan pendapatan kepada petani hampir
sama untuk semua lokasi penelitian, sedangkan yang membedakan adalah jumlah-
Kontribus i Pendapatan dari Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 233
nya. Pendapatan kayu di Desa Sepatnunggal berasal dari 5 jenis (sengon, mahoni,
manglid, tisuk, dan bambu); pendapatan kayu di Desa Tanjungkerta berasal dari 4
jenis (sengon, mahoni, manglid, dan suren); dan pendapatan kayu di Desa
Karyabakti berasal dari 5 jenis kayu (sengon, mahoni, manglid, bambu, dan suren).
Gambar 1. Kontribusi pendapatan tanaman kayu dan bambu terhadap total pendapatan
hutan rakyat
Kayu manglid dikembangkan di Kabupaten Tasikmalaya secara tidak merata.
Populasi kayu manglid di lokasi penelitian tertinggi di Desa Tanjungkerta, diikuti
Desa Sepatnunggal dan Desa Karyabakti. Hal ini berdampak pula pada kontribusi
kayu manglid yang beragam di ketiga desa tersebut. Kontribusi pendapatan kayu
manglid yang paling besar adalah di Desa Tanjungkerta (56,71%) dan yang paling
kecil adalah di Desa Karyabakti (21,52%). Selain disebabkan jumlah kayu manglid
yang ditanam berlainan, penyebab dari besar atau kecilnya kontribusi kayu manglid
ini adalah volume penebangan yang dilakukan petani tidak sama.
Rata-rata jumlah tanaman manglid untuk luasan ≤0,25 ha di Desa Sepat-
nunggal sebanyak 38 pohon, Desa Tanjungkerta sebanyak 35 pohon, dan Desa
Karyabakti sebanyak 27 pohon. Semakin banyak jumlah pohon manglid yang
ditanam oleh petani, semakin tinggi pula kontribusi pendapatan yang dihasilkan.
Demikian juga sebaliknya, jumlah pohon manglid yang sedikit menyebabkan
kontribusi pendapatan juga rendah. Jumlah pohon manglid di Desa Karyabakti
B. Achmad & D. Diniyati
234 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
paling sedikit dibandingkan dengan desa lainnya sehingga kontribusi pendapatannya
pun paling rendah. Untuk kondisi luas garapan yang sempit, kontribusi pendapatan
dari hutan sebagian besar dihabiskan untuk konsumsi sendiri sehingga mengakibat-
kan petani tergolong subsisten (Gatiso, 2017).
Tinggi atau rendahnya kontribusi pendapatan dari kayu manglid ini juga
dipengaruhi oleh umur panen. Semakin tua kayu manglid, nilainya pun akan
semakin mahal. Sayangnya, para petani sangat jarang sekali memanen kayu manglid
pada umur tebang; petani biasanya sudah memanen kayu manglid pada saat masih
muda. Tindakan ini dilakukan karena petani memerlukan modal nafkah. Menurut
Saraswati dan Dharmawan (2014), modal nafkah adalah aset yang digunakan oleh
rumah tangga untuk melakukan aktivitas nafkahnya. Salah satu modal nafkah adalah
modal alam yang dimiliki oleh petani, di antaranya adalah jumlah kepemilikan kayu.
Kontribusi kayu manglid di Desa Sepatnunggal dan Desa Karyabakti menem-
pati urutan kedua, yang mana kontribusi tertingginya berasal dari kayu sengon.
Besarnya kontribusi kayu sengon disebabkan jumlah tanaman kayu sengon lebih
banyak dibandingkan tanaman kayu manglid. Selain itu, sengon tergolong pada
jenis yang lebih cepat pertumbuhannya. Frekuensi pemanenan sengon untuk kurun
waktu yang sama lebih tinggi dari frekuensi pemanenan kayu manglid sehingga
kumulatif hasilnya lebih tinggi.
Jenis tanaman kayu sengon dan manglid di lokasi penelitian mengalami
persaingan dalam perkembangannya. Terdapat kecenderungan bahwa petani lebih
memilih menanam sengon dibandingkan dengan tanaman manglid. Hal ini
ditunjukkan oleh sikap petani terhadap pengembangan kayu manglid, yaitu petani
umumnya tidak menanam lagi manglid (setelah panen kayu manglid), melainkan
diganti dengan tanaman sengon. Penyebab utama pergeseran jenis tanaman yang
ditanam petani adalah faktor ekonomi, yanag mana masa panen sengon lebih cepat
dibandingkan dengan masa panen manglid sehingga penerimaan pendapatan sengon
lebih cepat. Selain itu, harga sengon hampir sama dengan harga kayu manglid.
Alasan petani menanam kayu manglid dan sengon di lokasi penelitian disajikan
dalam Tabel 3.
Kontribus i Pendapatan dari Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 235
Tabel 3. Alasan petani menanam kayu manglid dan sengon
No. Alasan menanam Sengon Manglid
Jumlah % Jumlah %
1. Cepat menghasilkan uang 32 53,33 2 3,33
2. Harga jual kayu mahal 0 0,00 9 15,00
3. Tabungan 0 0,00 6 10,00
4. Budi daya 13 21,67 14 23,33
5. Ikut orang lain 2 3,33 10 16,67
6. Manfaat tanaman (bahan bangunan) 7 11,67 10 16,67
7. Konservasi 3 5,00 5 8,33
8. Tidak berpendapat 1 1,67 0 0,00
9. Banyak penyakit 2 3,33 0 0,00
10. Tidak berpenyakit 0 0,00 4 6,67
Total 60 100,00 60 100,00
Sumber: hasil pengolahan data primer 2011
Alasan petani menanam manglid dan sengon karena kedua jenis pohon
tersebut mudah tumbuh dan kayunya dapat digunakan sebagai bahan bangunan.
Namun, terdapat kecederungan bahwa tanaman kayu manglid lebih diutamakan
sebagai tabungan, sedangkan tanaman kayu sengon cenderung untuk kebutuhan
harian. Dengan demikian, petani lebih menyukai mengembangkan tanaman sengon
karena dapat memperoleh hasil lebih cepat. Besaran kontribusi kayu manglid
terhadap total pendapatan petani disajikan pada Tabel 4.
Kontribusi kayu manglid terhadap total pendapatan keluarga petani untuk
masing-masing lokasi penelitian adalah sebesar 9,20% (DesaTanjungkerta), 6,82%
(Desa Sepatnunggal), dan 2,01% (Desa Karyabakti). Apabila dilihat dari kontribusi
terhadap total pendapatan keluarga petani, kontribusi pendapatan dari kayu manglid
ternyata masih kecil. Kecilnya kontribusi kayu manglid disebabkan oleh kontribusi
hasil hutan rakyat secara keseluruhan terhadap total pendapatan keluarga yang juga
masih kecil, yaitu masing-masing sebesar 21,06% (Desa Tanjungkerta), 35,31%
(Desa Sepatnunggal), dan 25,93% (Desa Karyabakti). Kondisi topografi di ketiga
desa lokasi penelitian memaksa petani untuk melakukan pemanenan pohon secara
lebih hati-hati dibandingkan dengan lahan yang bertopografi landai. Hal ini
berdampak pada pendapatan dari pohon manglid relatif rendah.
B. Achmad & D. Diniyati
236 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 4. Kontribusi kayu manglid terhadap total pendapatan petani
No. Sumber pendapatan
Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti
Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) %
1. Jasa 7.865.250 30,67 14.110.000 37,35 5.738.800 38,72
2. Sawah 4.955.876 19,32 5.634.600 14,92 1.550.150 10,46
3. Hutan Rakyat 5.400.729 21,06 13.337.222 35,31 3.843.675 25,93
Kayu sengon 1.029.896 4,02 4.847.778 12,83 801.958 5,41
Kayu Mahoni 733.958 2,86 383.333 1,01 277.667 1,87
Kayu manglid 2.360.000 9,20 2.577.778 6,82 298.250 2,01
Kayu Suren 37.500 0,15 0 0 7.500 0,05
Kayu tisuk 0 0 27.778 0,07 0 0
Bambu 0 0 5.000 0,13 750 0,01
Nonkayu 1.239.375 4,83 5.450.556 14,43 2.457.550 16,58
4. Kolam ikan 236.550 0,92 132.700 0,35 45.000 0,30
5. Ternak 287.083 1,12 327.000 0,87 389.500 2,63
6. Keluarga 6.902.850 26,91 4.231.600 11,20 3.253.750 21,95
Total 25.648.338 100,00 37.773.122 100,00 14.820.875 100,00
Sumber: hasil pengolahan data primer 2011
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Manglid merupakan jenis pohon dominan kedua setelah sengon pada hutan
rakyat di Kabupaten Tasikmalaya. Kontribusi pendapatan dari kedua jenis pohon
tersebut terhadap total pendapatan hutan rakyat paling besar dibandingkan dengan
jenis pohon lainnya. Kontribusi pendapatan dari pohon manglid paling besar
dijumpai di Desa Tanjungkerta. Kontribusi kayu manglid terhadap total pendapatan
hutan rakyat berturut-turut sebesar 56,71% (Desa Tanjungkerta), 32,69% (Desa
Sepatnunggal), dan 21,52% (Desa Karyabakti). Sementara itu, kontribusinya
terhadap total pendapatan keluarga petani masih kecil, yaitu sebesar 9,20%
(DesaTanjungkerta), 6,82% (Desa Sepatnunggal), dan 2,01% (Desa Karyabakti).
B. Saran
Berdasarkan hasil kajian nilai pendapatan sesuai jenis tanaman, posisi kayu
manglid ternyata masih berada jauh di bawah tanaman sengon. Untuk meningkat-
Kontribus i Pendapatan dari Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 237
kan pendapatan petani, diversifikasi perlu dilakukan terhadap jenis tanaman yang
dikembangkan. Sementara itu, upaya untuk meningkatkan pamor manglid dapt
dilakukan melalui pemberian insentif, seperti pembagian bibit kualitas prima,
penyediaan sarana pasar, dan informasi yang menyeluruh tentang tanaman manglid.
Daftar Pustaka
Dash, M., Behera, B., & Rahut, D. B. (2016). Determinants of household collection
of non-timber forest products (NTFPs) and alternative livelihood activities in
Similipal Tiger Reserve, India. Forest Policy and Economics, 73, 215–228.
Desa Tanjungkerta. (2010). Profil Desa. Daftar Isian Potensi Desa dan Tingkat
Perkembangan Desa. Kecamatan Pagerageung. Kabupaten Tasikmalaya.
Desa Karyabakti. (2010). Profil Desa. Daftar Isian Potensi Desa dan Tingkat
Perkembangan Desa. Kabupaten Tasikmalaya.
Desa Tanjungkerta. (2010). Profil Desa. Daftar Isian Potensi Desa dan Tingkat
Perkembangan Desa. Kecamatan Pagerageung. Kabupaten Tasikmalaya.
Diniyati, D., Widyaningsih, T.S., Fauziyah, E., Mulyati, E., & Suyarno. (2011).
Pola Agroforestry di Hutan Rakyat Penghasil Kayu Pertukangan (Manglid).
Laporan Hasil Penelitian 2011. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry.
Ciamis. Tidak diterbitkan.
Diniyati, D. & Fauziyah, E. (2012). Pemilihan Jenis Tanaman Penyusun Hutan
Rakyat Pola Agroforestry Berdasarkan Keputusan Petani di Kabupaten
Tasikmalaya. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III, tanggal 29 Mei
2012 di Yogyakarta, 421-427. Kerjasama BPTA Ciamis, Fakultas Kehutanan
dan Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM,
dan Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE). Ciamis.
Diniyati, D. & Achmad, B. (2015). Kontribusi Pendapatan Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK) pada Usaha Hutan Rakyat Pola Agroforestri di Kabupaten
Tasikmalaya. Jurnal Ilmu Kehutanan, 9(1), 21–29.
Enda. (2011). Rencana Kerja Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan
Pagerageung Tahun 2011. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, Kecamatan
Pagerageung.
B. Achmad & D. Diniyati
238 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Gatiso, T.T. & Wossen, T. (2014). Forest dependence and income inequality in
rural Ethiopia: Evidence from Chilimo-Gaji community forest users.
International Journal of Sustainable Development and World Ecology, 22(1), 1–11.
Gatiso, T.T. (2017). Households’ dependence on community forest and their
contribution to participatory forest management: evidence from rural
Ethiopia. Environment, Development and Sustainability (iDiv), 1–17.
http://doi.org/10.1007/s10668-017-0029-3
Hadiatulloh, Y. (2010). Programa Penyuluhan: Pertanian Perikanan dan Kehu-
tanan. Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Keca-
matan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya. Tidak Diterbitkan
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya. (2010). Kabupaten Tasikmalaya
Dalam Angka 2009. Katalog BPS: 1403.3206. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Tasikmalaya. Tasikmalaya.
Mulenga, B.P., Richardson, R.B., Mapemba, L., & Tembo, G. (2011). The
Contribution of Non-Timber Forest Products to Rural Household Income in
Zambia. Working Paper No. 54 Food Security Research Project Lusaka,
Zambia (Downloadable at: http://www.aec.msu. edu/fs2/zambia/index.htm)
Mulyana, S. & Diniyati, D. (2013). Potensi Wilayah Sebaran Kayu Manglid
(Manglieta glauca Bl.) pada Hutan Rakyat Pola Agroforestry di Kabupaten
Tasikmalaya dan Ciamis. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri, 679-684.
Kerjasama BPTA Ciamis, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, World
Agroforestry Centre (ICRAF) dan Masyarakat Agroforestri Indonesia. Ciamis.
Narendra, B.H., Roshetko, J.M., Tata, H.L., & Mulyoutami, E. (2013). Prioritizing
Underutilized Tree Species for Domestication in Smallholder Systems of
West Java. Small-Scale Forestry, 12(4), 519–538. http://doi.org/10.1007/
s11842-012-9227-x.
Saraswati, Y. & Dharmawan, A.H. (2014). Resiliensi Nafkah Rumah Tangga
Petani Hutan Rakyat Di Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri. Sodality: Jurnal
Sosiologi Pedesaan, 02(01), 63–75, http://ejournal.skpm. ipb.ac.id/index.php/
sodality/article/download/ 332/272. Diakses pada tanggal 10 Januari 2016.
Wunder, S., Angelsen, A., & Belcher, B. (2014). Forests, Livelihoods, and Conser-
vation: Broadening the Empirical Base. World Development, 64(S1), S1–S11.
Zhong-feng, Z. & Xia-yan, Z. (2011). GC/MS Analysis on Benzene/Alcohol
Extractives of Manglietia glauca Leaves for Biomedicine Engineering. Adv.
Mat. Res., 213, 475–478. http://doi.org/10.4028/www.scientific.net/AMR.213.475.
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 239
Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid pada
Pemilikan Lahan Sempit di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat
Dian Diniyati1 & Tri Sulistyati Widyaningsih1
ABSTRAK
Analisis finansial pembangunan hutan rakyat manglid dengan berbagai pola tanam perlu
dilakukan untuk mengetahui kelayakan investasi usaha sebagai bentuk agribisnis yang handal
sehingga menjadi bisnis dan investasi yang menguntungkan, berkesinambungan, dan dapat
menjadi penggerak ekonomi daerah. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran
informasi kelayakan finansial usaha hutan rakyat kayu jenis manglid yang memberikan
dampak positif dan meningkatkan kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan masyarakat.
Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan Maret–Juli 2011 di Kabupaten Tasikmalaya, yaitu
di Desa Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung), Desa Sepatnunggal (Kecamatan Sodong-
hilir), dan Desa Karyabakti (Kecamatan Parungponteng). Data dikumpulkan melalui
wawancara terhadap 49 orang responden dengan pemilikan lahan luas hutan rakyat sekitar
0,01–0,25 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan untuk usaha hutan rakyat di
Desa Tanjungkerta dan Karyabakti rata-rata <0,25 ha, sedangkan kepemilikan lahan di Desa
Sepatnunggal sekitar 0,25–0,5 ha. Keuntungan pengusahaan hutan rakyat di Desa
Tanjungkerta sebesar Rp770.717 dengan nilai perbandingan pendapatan terhadap biaya
sebesar 1,31; Desa Sepatnunggal sebesar Rp4.275.748 dengan nilai perbandingan
pendapatan terhadap biaya sebesar 1,65; dan Desa Karyabakti sebesar Rp2.556.662 dengan
nilai perbandingan pendapatan terhadap biaya sebesar 2,88.
Kata kunci: agroforestri, analisis finansial, hutan rakyat, pendapatan
I. Pendahuluan
Kepemilikan lahan petani dimanfaatkan untuk beragam fungsi. Hal ini seba-
gaimana dinyatakan oleh Diniyati (2009) dan Fauziyah (2009) bahwa kepemilikan
lahan oleh petani memiliki beberapa karakteristik, yaitu luasannya sangat beragam;
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4, Ciamis,
Jawa Barat 46201; Email: [email protected]
D. Diniyati & T.S. Widyaningsih
240 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
perolehannya dari warisan, membeli, atau garapan; letaknya tidak dalam satu ham-
paran; dan pemanfaatannya bermacam-macam, antara lain untuk perumahan, sawah,
hutan rakyat, kebun, dan kolam. Biasanya, lahan petani yang berfungsi sebagai
hutan rakyat merupakan lahan yang tidak bisa difungsikan untuk kegiatan usaha lain
dan luasannya sempit atau terbagi menjadi beberapa bagian yang lebih sempit.
Walaupun sempit, petani umumnya mengusahakan hutan rakyat dengan pola
agroforestri, yaitu pencampuran antara tanaman hutan dengan tanaman jenis
lainnya. Hal ini dilakukan agar pemanfaatan lahan lebih optimal, baik secara
ekonomi maupun ekologi. Dengan pola tanam agroforestri, petani dapat
memperoleh hasil secara harian, mingguan, bulanan, musiman, dan tahunan
(Achmad et al., 2011).
Kabupaten Tasikmalaya memiliki topografi berkisar antara 25–800 m dpl
(BPS, 2011). Luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2009 adalah 271.525
ha dan penggunaan lahannya dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu 1) lahan
pertanian (lahan sawah dan lahan bukan sawah), dan 2) lahan bukan pertanian
(hutan negara, rumah/bangunan, dan lainnya). Berdasarkan data dari BPS (2011),
penggunaan lahan untuk kegiatan nonsawah lebih luas dibandingkan untuk sawah.
Hal ini berarti bahwa wilayah Tasikmalaya lebih berkembang usaha lahan kering
(lahan bukan sawah) dan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan hutan rakyat
ternyata paling luas dibandingkan dengan lahan sawah dan lahan negara. Tanaman
kayu yang ada di hutan rakyat berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perke-
bunan Kabupaten Tasikmalaya adalah sengon, mahoni, maesopsis, manglid,
gmelina, dan jati. Namun, tanaman kayu dominan yang banyak ditemukan pada
hutan rakyat milik petani di Kabupaten Tasikmalaya adalah jenis manglid (Magnolia
champaca).
Kayu manglid sangat disukai karena sifat kayunya mengkilat dengan struk-
turnya yang padat, halus, ringan, dan kuat. Kekuatan kayunya digolongkan ke dalam
Kelas Kuat III dan keawetannya masuk ke dalam Kelas Awet II sehingga jenis kayu
tersebut sering dijadikan bahan baku pembuatan jembatan, perkakas rumah, dan
barang kerajinan. Keuntungan dari kayu manglid yang ringan dengan berat jenis
(BJ) 0,41 adalah mudah dikerjakan. Pengeringan kayu membutuhkan waktu empat
Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 241
bulan dengan cara kering angin, dan dengan ketebalan papan 40 mm mencapai 320–
580 kg/m³ dan kadar air 15% (Djam'an, 2006).
Walaupun pengembangan tanaman kehutanan ini sangat mendukung kondisi
topografi wilayah Kabupaten Tasikmalaya, pelaksanaannya ternyata masih banyak
kendala. Petani menanam bibit tanaman kehutanan belum sesuai dengan yang
dianjurkan pemerintah, antara lain pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit
belum dilakukan dengan baik, pemberian pupuk yang tidak sesuai dengan
kebutuhan, perluasan dan peremajaan tanaman kehutanan belum dilakukan, dan
tingkat pendidikan penduduk yang tergabung dalam kelompok tani yang masih
rendah. Hal ini dapat berimbas terhadap kondisi penyerapan inovasi dan kurangnya
wawasan petani dalam berorganisasi di bidang kehutanan (Enda, 2011).
Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini bertujuan memberikan gambaran
informasi kelayakan finansial hutan rakyat kayu pertukangan jenis manglid sehingga
memberikan dampak positif dan meningkatkan kontribusi hutan rakyat terhadap
pendapatan masyarakat. Informasi ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan
bagi penggiat usaha hutan rakyat manglid.
II. Metodologi
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sebanyak tiga
desa dalam tiga kecamatan dipilih sebagai lokasi penelitian yang mewakili wilayah
pembangunan Tasikmalaya, yaitu Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung
(termasuk wilayah pengembangan Tasikmalaya bagian utara); Desa Sepatnunggal,
Kecamatan Sodonghilir (termasuk wilayah pengembangan Tasikmalaya bagian
tengah), dan Desa Karyabakti, Kecamatan Parungponteng (wilayah pengembangan
Tasikmalaya bagian selatan). Di ketiga wilayah ini banyak terdapat lahan hutan
rakyat yang diusahakan dengan berbagai pola tanam, seperti monokultur, polikultur,
dan agroforestri, serta terdapat kelompok tani yang berhubungan dengan hutan rak-
yat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret–Juli 2011.
D. Diniyati & T.S. Widyaningsih
242 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
B. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian
Unit analisis yang dijadikan responden pada penelitian adalah petani hutan
rakyat anggota kelompok tani. Responden diperlukan untuk mengetahui kondisi
petani pemilik dan kondisi hutan rakyat di lokasi penelitian. Pemilihan responden
dilakukan secara sengaja berdasarkan luas kepemilikan lahan hutan rakyat dan faktor
pola usaha tani yang dilakukannya. Petani yang dijadikan responden adalah petani
yang memiliki hutan rakyat dengan luas <0,25 ha. Total responden sebanyak 49
orang. Pengambilan data fisik tanaman dilakukan dengan cara sensus potensi
tegakan hutan rakyat, yang mana dilakukan inventarisasi tegakan dan tanaman
bawah. Inventarisasi tegakan tersebut dilakukan dengan mengukur tinggi dan
diameter pohon, serta menghitung jumlah dan jenis tanaman bawah.
C. Jenis, Pengumpulan, dan Analisis Data
Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei. Data primer yang dikumpulkan
dari responden adalah data ekonomi usaha hutan rakyat manglid, meliputi biaya dan
manfaat pengusahaan hutan tanaman selama daur yang ditetapkan, curahan tenaga
kerja, penggunaan barang modal, dan data-data ekonomi lainnya yang terkait.
Sementara itu, data sekunder yang dikumpulkan meliputi data dari desa, perusahaan,
dan instansi pemerintah. Data sekunder dikumpulkan untuk menjadi pedoman awal
dalam penelitian sekaligus melengkapi informasi agar diperoleh data dan informasi
yang cukup untuk mendukung penelitian.
Data yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisis dan dibahas untuk menda-
patkan informasi tentang nilai finansial dari hutan rakyat manglid berdasarkan data
biaya dan manfaat yang telah didapat sesuai dengan daur pengusahaan dengan
menggunakan kriteria investasi, yaitu nilai-nilai Net Present Value (NPV), Benefit/
Cost Ratio (B/CR), dan Internal Rate of Return (IRR). Daur manglid yang
digunakan adalah 15 tahun. Suku bunga investasi yang diacu sebesar 14,95%
menurut Bank Umum berdasarkan rata-rata suku bunga pada tahun 2002–2009.
Harga yang dipakai adalah harga yang diterima oleh petani (harga pasar).
Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 243
Pendapatan adalah seluruh hasil yang diterima oleh petani dari usaha hutan rakyat
manglid yang dimilikinya.
Adapun rumus-rumus yang dipakai dalam analisis finansial tersebut adalah
sebagai berikut (Clive et al., 2007):
nt
tt
tt
i
CBNPV
1 )1( (1)
Keterangan: Bt merupakan manfaat kotor pada tahun ke-t; Ct merupakan biaya kotor pada
tahun ke-t; n merupakan umur ekonomis usaha; dan i merupakan discount rate yang berlaku.
PVCost
PVBenefitBCR
(2)
1
21
112 )()( i
NPVNPV
NPViiIRR
(3)
III. Hasil dan Pembahasan
A. Profil Pola Usaha Tani Hutan Rakyat
Hutan rakyat yang dimiliki petani di Desa Tanjungkerta (Kecamatan
Pagerageung), Desa Sepatnunggal (Kecamatan Sodonghilir), dan Desa Karyabakti
(Kecamatan Parungponteng) memiliki profil seperti diperlihatkan pada Tabel 1.
Hasil pengukuran dan pengamatan di lapangan diketahui jenis-jenis tanaman
dominan penyusun hutan rakyat di ketiga lokasi penelitian, yaitu:
1. Tanaman kehutanan: afrika, gmelina, mahoni, manglid, sengon, tisuk
2. Tanaman perkebunan: aren, cengkeh, kelapa, kopi, melinjo, teh
3. Tanaman buah: durian, jambu biji, jengkol, kweni, mangga, manggis, nangka,
petai, pisang, rambutan, sirsak
4. Tanaman pangan: singkong, talas
5. Tanaman obat: kapulaga
D. Diniyati & T.S. Widyaningsih
244 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 1. Profil hutan rakyat di lokasi penelitian
No. Uraian Desa Tanjungkerta
Strata III
Desa Sepatnunggal
Strata III
Desa Karyabakti
Strata III
1. Jumlah petani (orang) 20 9 20
2. Luas lahan rata-rata
(ha)
0,11 0,17 0,08
3. Jenis tanaman
4. Tanaman kehutanan
(jenis dan jumlah pohon)
Afrika (9), mahoni
(38), manglid (32),
dan sengon (22)
Afrika (2), gmelina
(5), mahoni (28),
manglid (118),
sengon (29), dan
tisuk (12)
Afrika (4), mahoni
(13), manglid (27),
sengon (26), dan
tisuk (7)
5. Tanaman perkebunan
(jenis dan jumlah pohon)
Cengkeh (3), melinjo
(1), kelapa (1),
Cengkeh (3) Aren (1)
6. Tanaman buah (jenis
dan jumlah pohon)
durian (1), jengkol
(1), nangka (2), petai
(2), Mangga (1),
rambutan (2),
alpukat (1), pisang
(4), dan kweni (1)
Durian (1), jengkol
(2), mangga (7),
petai (5)
Durian (1), jengkol
(2), mangga (1),
manggis (2), nangka
(2), petai (2), pisang
(2), rambutan (1),
dan sirsak (1)
7. Tanaman pangan (jenis) Talas, singkong - -
8. Tanaman obat (jenis) - Kapulaga Kapulaga
Sumber: hasil analisis data primer 2011
Perhitungan analisis finansial dilakukan terhadap tanaman yang dominan
ditanam oleh masyarakat. Transek horizontal pola tanam tanaman pangan dan obat-
obatan tertera pada Gambar 1, sedangkan transek horizontal pola tanam untuk
tanaman kehutanan atau tanaman kayu tertera pada Gambar 2.
Tanaman buah yang diperhitungkan dalam analisis finansial adalah petai dan
jengkol yang terdapat di semua lokasi penelitian, sedangkan durian dan mangga
diabaikan karena seringkali bibitnya berasal dari pemberian pemerintah dan hasilnya
untuk konsumsi keluarga atau tidak dijual. Tanaman perkebunan juga diabaikan
dalam perhitungan analisis finansial karena jarang ditanam oleh semua responden.
Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 245
Bulan
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
Gambar 1. Transek horizontal pola tanaman pangan dan obat pada hutan rakyat di Desa
Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan Karyabakti
TAHUN TAHUN TAHUN
0 5 10 15
Gambar 2. Transek horisontal pola tanaman kehutanan/kayu-kayuan pada hutan rakyat di
Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan Karyabakti
B. Analisis Biaya Hutan Rakyat
Biaya usaha hutan rakyat yaitu seluruh biaya input yang dikeluarkan untuk
pengelolaan lahan usaha hutan rakyat sejak awal pengelolaan hingga panen. Biaya
tersebut meliputi biaya tetap, seperti pajak atau sewa lahan dan biaya peralatan usaha
tani (Andayani, 2009). Selain itu, terdapat biaya tidak tetap, yaitu biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan proses produksi secara langsung, seperti biaya tenaga
kerja dan biaya sarana produksi pengusahaan komoditas tanaman pada periode
tertentu. Uraian di bawah ini akan menyajikan biaya yang dikeluarkan selama jangka
analisis 15 tahun, baik biaya tetap maupun biaya tidak tetap.
Sengon
Tisuk
Manglid
Mahoni
Afrika
Gmelina
talas, singkong
kapulaga
Sengon Sengon
Tisuk
D. Diniyati & T.S. Widyaningsih
246 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
1. Biaya Pajak Lahan Usaha
Besarnya biaya pajak lahan merupakan biaya tetap yang harus dibayarkan
petani setiap tahunnya yang berbeda menurut luas pemilikan lahan dengan rentang
Rp2.000–15.000/tahun untuk lahan di Desa Tanjungkerta, Rp3.000–10.000/tahun
untuk lahan di Desa Sepatnunggal, dan Rp5.000–15.000/tahun untuk lahan di Desa
Karyabakti. Biaya pajak lahan yang dikeluarkan oleh responden per tahun tertera
pada Tabel 2.
Tabel 2. Biaya pajak lahan pada hutan rakyat di lokasi penelitian
Uraian Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti
Total pajak (Rp/tahun) 127.500,00 60.000,00 136.000,00
Rata-rata (Rp/tahun) 6.375,00 6.666,67 6.800,00
Sumber: Hasil analisis data primer 2011
2. Biaya Peralatan Usaha Tani
Biaya peralatan termasuk biaya tetap pengusahaan hutan rakyat. Dalam
melakukan usaha tani, petani menggunakan berbagai peralatan usaha tani, antara
lain cangkul, garpu tanah, linggis, parang, golok, kored, balincong, congkrang/
parang panjang, sprayer, gergaji, kapak, sabit, embrat, sepatu, dan topi yang
diperoleh dengan cara membeli. Biaya peralatan usaha tani hutan rakyat yang
dikeluarkan oleh responden setiap tahun di setiap lokasi tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Biaya peralatan usaha tani pada hutan rakyat di lokasi penelitian
Uraian Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti
Total biaya (Rp/tahun) 1.381.481,77 985.600,63 1.544.646,35
Rata-rata (Rp/tahun) 69.074,04 109.511,18 77.232,32
Sumber: hasil analisis data primer 2012
Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 247
Seluruh responden tidak mengalokasikan anggaran untuk biaya pemeliharaan
peralatan usaha tani setiap tahunnya. Apabila peralatan tersebut rusak, petani akan
membeli peralatan yang baru, memperbaikinya, atau meminjam ke tetangga.
3. Biaya Pengusahaan Tanaman
Biaya pengusahaan tanaman, meliputi biaya tenaga kerja sejak pembersihan
lahan, pembuatan lubang tanam, pemupukan sebelum penanaman, pembuatan ajir
dan pemasangan ajir, penanaman, pemupukan pertama dan kedua setelah pena-
naman, pembersihan rumput pertama dan kedua, pemberantasan hama penyakit
tumbuhan pertama dan kedua, penyulaman, penjarangan, pemangkasan, hingga
pemanenan. Selain itu, terdapat pula biaya sarana produksi yang meliputi biaya
pengadaan bibit tanaman, bahan ajir, pupuk, dan obat pemberantas hama/penyakit
tanaman. Biaya-biaya tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Biaya tenaga kerja; untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat, petani biasa
menggunakan tenaga kerja sendiri dan keluarga. Apabila lahan yang dimiliki
sangat luas, petani biasanya memburuhkan. Biaya yang dikeluarkan untuk mem-
bayar buruh tani di Desa Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung) sebesar
Rp25.000/orang/hari (tenaga kerja pria) dan Rp20.000/orang/hari (tenaga kerja
wanita), sedangkan upah tenaga buruh di Desa Sepatnunggal (Kecamatan
Sodonghilir) dan Desa Karyabakti (Kecamatan Parungponteng) sebesar
Rp20.000/orang/hari (tenaga kerja pria) dan Rp15.000/orang/hari (tenaga kerja
wanita). Jam kerja satu hari, yaitu mulai pukul 07.00–13.00 WIB dan disebut
dengan istilah sabedug.
b. Biaya bibit tanaman; petani biasa memperoleh bibit tanaman dengan cara
membeli dari pedagang bibit keliling, memperoleh bantuan dari pemerintah,
menyemai sendiri, ataupun meminta ke keluarga atau tetangga. Daftar harga
bibit tanaman di lokasi penelitian tertera pada Tabel 4.
D. Diniyati & T.S. Widyaningsih
248 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 4. Daftar harga bibit dan daur rata-rata pengusahaan tanaman hutan rakyat
No. Jenis tanaman Harga (Rp/batang)
dan asal bibit Daur rata-rata (tahun)
1. Sengon 500 5
2. Mahoni 600 15
3. Manglid 1.000 10
4. Gmelina 1.000 12
5. Tisuk 600 7
6. Afrika 500 15
7. Jengkol Pemberian Panen setiap tahun, mulai
menghasilkan di tahun ke-11
8. Petai Pemberian Panen setiap tahun, mulai
menghasilkan di tahun ke-11
9. Talas Pemberian 1 tahun
10. Singkong Pemberian 1 tahun
11. Kapulaga 1.000 Panen 40 hari sekali mulai umur 1,5
tahun hingga 2 tahun
Sumber: hasil analisis data primer 2011
c. Biaya ajir; pembuatan ajir dilakukan dengan bahan dari bambu. Mayoritas res-
ponden menyatakan tidak menggunakan ajir ketika melakukan penanaman.
Tanaman yang menggunakan ajir pada umumnya adalah tanaman kehutanan
dan perkebunan, seperti afrika, gmelina, mahoni, manglid, sengon, dan tisuk
dengan biaya satu hari tenaga kerja pria untuk pembuatan ajir. Bambu biasanya
diperoleh dengan menebang di kebun sendiri atau membeli seharga Rp5.000/
batang.
d. Biaya pupuk; petani biasanya menggunakan pupuk kandang, urea, NPK, KCL,
dan poska. Pemupukan secara umum dilakukan tiga kali, yaitu sekali sebelum
penanaman dan dua kali setelah penanaman. Pemupukan secara intensif dilaku-
kan petani untuk tanaman kapulaga, sedangkan tanaman kehutanan dan buah
hanya dipupuk di awal pengusahaan (hingga umur 2–3 tahun). Pemupukan
selanjutnya didapat dari pupuk tanaman kapulaga.
Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 249
e. Biaya obat hama dan penyakit tanaman; mayoritas petani menyatakan tidak
melakukan penyemprotan hama dan penyakit tanaman. Penyemprotan dilaku-
kan jika memang ada hama atau penyakit saja, yaitu menggunakan decis atau
round up.
Rekapitulasi biaya pengusahaan tanaman yang dikeluarkan oleh petani
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Biaya tidak tetap pengusahaan hutan rakyat (Rp)
Kegiatan Tahun
ke
Nilai pendapatan (Rp)
Desa
Tanjungkerta
Desa
Sepatnunggal
Desa
Karyabakti
1. Biaya tetap
a. Pajak/sewa lahan 1-15 127.500,00 60.000,00 136.000,00
b. Alat 1.381.480,77 985.600,63 1.544.646,35
c. Pemeliharaan alat 0,00 0,00 0,00
2. Biaya tidak tetap/ variabel 1.508.980,77 1.045.600,63 1.680.646,35
a. Biaya tenaga kerja
- Pengolahan lahan sebelum
penanaman
1 2.941.250,00 1.520.000,00 2.297.500,00
- Pembuatan lubang tanam
dan pemupukan sebelum
penanaman
1 1.296.250,00 782.000,00 725.000,00
- Penanaman 1 850.000,00 827.000,00 700.000,00
- Pemupukan 1 setelah
penanaman
1 570.000,00 225.000,00 1.955.000,00
- Pemupukan 2 setelah
penanaman
2 115.000,00 120.000,00 30.000,00
- Pemupukan 3 setelah
penanaman
3 25.000,00 0,00 30.000,00
- Pembersihan rumput 1 1 1.900.000,00 6.585.000,00 1.365.000,00
- Pembersihan rumput 2 2 1.575.000,00 3.240.000,00 920.000,00
- Pembersihan rumput 3 3 810.000,00 1.140.000,00 435.000,00
- Pembersihan rumput 4 4 545.000,00 360.000,00 245.000,00
- Pembersihan rumput 5 5 40.000,00 360.000,00 205.000,00
D. Diniyati & T.S. Widyaningsih
250 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Kegiatan Tahun
ke
Nilai pendapatan (Rp)
Desa
Tanjungkerta
Desa
Sepatnunggal
Desa
Karyabakti
- Pemberantasan HPT 1 1 165.000,00 37.000,00 115.000,00
- Pemberantasan HPT 2 2 0,00 12.000,00 45.000,00
- Pemberantasan HPT 3 3 0,00 0,00 30.000,00
- Pemberantasan HPT 4 4 0,00 0,00 30.000,00
- Penjarangan 3 125.000,00 0,00 90.000,00
- Pemangkasan 3 388.750,00 279.000,00 80.000,00
- Pemanenan 5, 7, 12,
15
0,00 0,00 0,00
Jumlah tahun 1 7.722.500,00 9.976.000,00 7.157.500,00
Jumlah tahun 2 1.690.000,00 3.372.000,00 995.000,00
Jumlah tahun 3 1.223.750,00 1.419.000,00 575.000,00
Jumlah tahun 4 545.000,00 360.000,00 275.000,00
Jumlah tahun 5 40.000,00 360.000,00 205.000,00
b. Biaya sarana produksi
- Bibit 1 551.000,00 1.833.500,00 1.655.333,33
- Ajir 1 337.500,00 75.000,00 141.100,00
- Pupuk sebelum penanaman 1 1.823.750,00 295.000,00 634.500,00
- Pupuk 1 setelah penanaman 1 1.628.000,00 228.000,00 1.107.500,00
- Pupuk 2 setelah penanaman 2 117.500,00 28.000,00 5.000,00
- Pupuk 3 setelah penanaman 3 45.000,00 0,00 30.000,00
- Obat HPT 1 1 142.000,00 70.000,00 320.000,00
- Obat HPT 2 2 0,00 30.000,00 60.000,00
- Obat HPT 3 0,00 0,00 40.000,00
- Obat HPT 4 0,00 0,00 40.000,00
Jumlah tahun 1 4.482.250,00 2.501.500,00 3.858.433,33
Jumlah tahun 2 117.500,00 58.000,00 65.000,00
Jumlah tahun 3 45.000,00 0,00 70.000,00
Jumlah tahun 4 0,00 0,00 40.000,00
Sumber: hasil analisis data primer 2011
Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 251
C. Analisis Pendapatan Hutan Rakyat
Analisis pendapatan hutan rakyat dilakukan terhadap semua jenis tanaman
yang dominan diusahakan oleh petani di lahan hutan rakyatnya. Pendapatan meru-
pakan hasil riil yang diperoleh petani secara rutin dan dijual secara komersial. Per-
hitungan pendapatan hutan rakyat di setiap lokasi penelitian sebagaimana Tabel 6.
Tabel 6. Rekapitulasi pendapatan hutan rakyat di lokasi penelitian
No. Sumber pendapatan
hutan rakyat
Tahun
ke
Nilai pendapatan (Rp)
Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti
1. Sengon 5, 10, 15 7.500.000,00 14.280.000,00 9.480.833,00
2. Tisuk 7 0,00 250.000,00 0,00
3. Manglid 10 2.879.500,00 11.350.000,00 2.491.667,00
4. Gmelina 12 0,00 0,00 0,00
5. Mahoni 15 8.600.000,00 2.800.000,00 2.203.333,00
6. Afrika 15 0,00 0,00 0,00
7. Tanaman perkebunan 11–15 250.000,00 6.930.000,00 5.190.000,00
8. Tanaman buah 11–15 2.410.000,00 190.000,00 6.603.000,00
9. Tanaman pangan 2–4 895.000,00 0,00 60.000,00
10. Tanaman obat 3–15 1.870.000,00 734.000,00 12.540.000,00
Sumber: hasil analisis data primer 2011
D. Perhitungan Analisis Finansial
Perhitungan analisis finansial dalam pengusahaan hutan rakyat di lokasi pene-
litian menggunakan parameter analisis keuntungan berdasarkan nilai nominal dan
analisis kelayakan finansial berdasarkan nilai manfaat bersih (Net Present Value/
NPV), rasio biaya (Benefit Cost Ratio/BCR), dan nilai discount rate yang membuat
NPV 0 (Internal Rate of Return/IRR). Untuk melakukan analisis finansial, kajian
ini menggunakan tingkat suku bunga investasi menurut Bank Umum berdasarkan
rata-rata suku bunga pada tahun 2002–2009, yaitu 14,95%. Rekapitulasi hasil
analisis kelayakan finansial terdapat pada Tabel 7.
D. Diniyati & T.S. Widyaningsih
252 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 7. Prospek finansial pengusahaan hutan rakyat per daur
No. Komponen nilai
finansial hutan rakyat
Besar nilai finansial (Rp/daur)
Desa Tanjungkerta Desa Sepatnunggal Desa Karyabakti
1. Biaya 53.539.211,55 51.777.009,52 51.691.561,87
2. Pendapatan 100.190.000,00 102.382.000,00 255.302.500,00
3. Keuntungan 46.650.788,45 50.604.990,48 203.610.938,10
4. NPV 120.705,54 (1.686.509,37) 47.106.848,65
5. B/CR 1,00 0,94 2,88
6. IRR 0,10% -1,19% 33,49%
Tabel 7 memperlihatkan bahwa pengusahaan hutan rakyat di Desa Tanjung-
kerta dapat dikatakan impas, yaitu nilai NPV-nya positif, nilai B/CR-nya sama
dengan 1, dan nilai i <r. Pengusahaan hutan rakyat di Desa Sepatnunggal dianggap
tidak layak dengan nilai NPV negatif, nilai B/CR <1, dan nilai i <r. Sementara itu,
pengusahaan hutan rakyat di Desa Karyabakti mampu memberikan hasil finansial
yang cukup baik. Hal tersebut terlihat dari hasil nilai NPV >0, nilai B/CR >1, dan
nilai IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku (i >r) sebagai syarat suatu usaha
dinyatakan memberikan hasil yang menguntungkan. Demikian juga dengan hasil
penelitian Diniyati et al. (2013) yang menyatakan bahwa usaha hutan rakyat pola
agroforestri di Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Ciamis, yang dilakukan pada
luasan <0,25 ha tidak layak secara finansial. Menurut Jariyah & Wahyuningrum
(2008) dari beberapa jenis tanaman hutan rakyat yang diusahakan pada luasan <0,25
ha memberikan nilai kelayakan yang tertinggi adalah albasia, yaitu untuk lokasi di
Jawa Barat dan Jawa Timur memberikan kisaran nilai B/CR sekitar 2,73–13,46,
nilai IRR 13–38% dan nilai NPV Rp7.996.351–65.420.565/ha, sedangkan tanaman
jati lebih banyak menunjukkan nilai tidak layak. Widyaningsih & Achmad (2012)
juga menyatakan bahwa nilai finansial dari hutan rakyat mahoni dan albasia pada
luasan <0,5 ha pada tingkat suku bunga 18% menghasilkan nilai yang layak.
Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa usaha hutan rakyat yang
dilakukan pada lahan sempit (<0,25 ha) dan menggunakan tanaman kehutanan
dominan yang berdaur menengah dan panjang akan memberikan hasil tidak layak.
Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 253
Hal ini berkaitan dengan tingkat penerimaan petani. Apabila tanamannya berdaur
menengah dan panjang, petani akan lama mendapatkan hasil dari kayunya.
Sebaliknya, penggunaan tanaman yang berdaur pendek akan memberikan hasil
pendapatan yang lebih cepat.
Terdapatnya nilai NPV yang lebih besar di Desa Karyabakti dibandingkan
dengan dua desa lainnya disebabkan oleh rendahnya biaya yang dikeluarkan respon-
den untuk pengelolaan hutan rakyat di desa ini. Hampir semua responden di Desa
Karyabakti mengerjakan sendiri hutan rakyatnya; berbeda halnya dengan di Desa
Sepatnunggal yang kebanyakan mengelola hutan rakyat dengan cara diburuhkan
sehingga menyebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan untuk pengusahaan hutan
rakyat. Selain itu, responden di Desa Karyabakti menggunakan pupuk kandang dari
hasil ternaknya untuk memupuk pohon di hutan rakyatnya sehingga tidak perlu
membeli pupuk dari toko yang harus mengeluarkan modal.
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Pengusahaan hutan rakyat pola agroforestri dengan luas lahan <0,25 ha mem-
berikan hasil yang beragam. nilai NPV tertinggi terdapat pada pengusahaan hutan
rakyat di Desa Karyabakti (Kecamatan Parungponteng) sebesar Rp47.106.848,65
dengan nilai B/CR 2,88, dan nilai IRR 33,49%. Sebaliknya, pengusahaan hutan
rakyat di Desa Sepatnunggal (Kecamatan Sodonghilir) diperoleh nilai NPV sebesar
Rp(1.686.509,37) dengan nilai B/CR 0,94 dan nilai IRR -1,19%. Sementara itu,
pengusahaan hutan rakyat di Desa Tanjungkerta (Kecamatan Pagerageung)
diperoleh nilai NPV sebesar Rp120.705,54 dengan nilai B/CR 1,00 dan nilai IRR
0,10%. Oleh karena itu, pemilihan jenis tanaman sangat diperlukan apabila akan
mengembangkan usaha hutan rakyat pada luasan <0,25 ha. Hal ini karena pemilihan
jenis tanaman ini sangat menentukan kelayakan usaha hutan rakyat.
D. Diniyati & T.S. Widyaningsih
254 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
B. Saran
Berdasarkan hasil perhitungan finansial, terdapat nilai NPV yang negatif
sehingga perlu peningkatan pada aspek manajemen hutan rakyat seperti pemeliha-
raan tanaman agar dapat lebih meningkatkan produktivitas dan hasil panen. Selain
itu, pengayaan tanaman perlu dilakukan melalui pemanfaatan lahan bawah tegakan,
terutama bagi petani yang sama sekali belum menerapkannya.
Daftar Pustaka
Achmad, B., Diniyati, D., Widyaningsih, T., Fauziyah, E., Mulyati, E., & Suyarno.
(2011). Pengelolaan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Analisis
ekonomi dan finansial pembangunan hutan tanaman penghasil kayu
pertukangan Laporan Hasil Penelitian. Ciamis: Balai Penelitian Teknologi
Agroforestry.
Andayani, W. (2009). Konsep ekonomi kehutanan dan implementasinya dalam
pengembangan hutan tanaman [Press release]
BPS. (2011). Kabupaten Tasikmalaya dalam angka: BPS Kabupaten Tasikmalaya.
Clive, G., Simanjuntak, P., Sabur, L. K., Maspaitella, P., & Varley, R. (2007).
Pengantar evaluasi proyek. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Diniyati, D. (2009). Bentuk insentif pengembangan hutan rakyat di wilayah
ekosistem Gunung Sawal, Ciamis. (Master), Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Diniyati, D., Achmad, B., & Santoso, H. (2013). Analisis finansial agroforestry
sengon di Kabupaten Ciamis (Studi kasus di Desa Ciomas Kecamatan
Panjalu). Jurnal Penelitian Agroforestry, 1(1), 13-30.
Djam'an D.F. (2006). Mengenal manglid baros (Manglietia glauca Bl.). Manfaat
dan permasalahannya. from http://www.dephut.go.id/INFORMASI/MKI/
06VI/ 06VIMengenal%20manglid.htm:
Analisis Kelayakan Finansial Hutan Rakyat Manglid …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 255
Enda. (2011). Rencana kerja penyuluh kehutanan dan perkebunan Kecamatan
Pagerageung tahun 2011: Pemda Kabupaten Tasikmalaya.
Fauziyah, E. (2009). Analisis skim kredit dan modal sosial dalam pengembangan
usaha hutan rakyat. (Master), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Jariyah, N. A., & Wahyuningrum, N. (2008). Karakteristik hutan rakyat di Jawa.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 5(1).
Widyaningsih, T. S., & Achmad, B. (2012). Analisis finansial usahatani hutan
rakyat pola wanafarma di Majenang, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman, 9(2), 105-120.
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 257
Analisis Finansial Agroforestri Manglid dan Empat Jenis
Tanaman Bawah di Priangan Timur
Yonky Indrajaya1 & Aris Sudomo1
ABSTRAK
Agroforestri dapat berperan penting, baik dalam produksi kayu maupun ketahanan pangan.
Salah satu bentuk agroforestri yang kini prospektif untuk dikembangkan adalah dengan
tanaman bawah palawija pada tahap awal dan dengan umbi-umbian pada agroforestri tingkat
lanjut. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengusahaan agroforestri manglid secara
finansial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah membangun plot agroforestri
bersama petani dan mencatat semua biaya yang diperlukan, serta hasil yang diperoleh dari
tanaman semusim selama pembangunan awal agroforestri manglid. Kriteria penilaian
kelayakan usaha yang digunakan adalah NPV, IRR, dan B/CR. Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini adalah 1) pengusahaan agroforestri manglid-palawija-umbi layak diusahakan
secara finansial dengan nilai NPV sebesar Rp22.420.000, nilai IRR 6%, dan nilai B/CR 1,2;
2) tanaman bawah tegakan tidak memberikan kontribusi positif terhadap NPV; 3) penu-
runan produksi kayu manglid hingga 30% akan menyebabkan pengusahaan agroforestri
manglid menjadi tidak layak secara finansial; dan 4) pada tingkat suku bunga 8%, agroforestri
manglid menjadi tidak layak secara finansial
Kata kunci: agroforestri, analisis finansial, manglid, tanaman bawah
I. Pendahuluan
Agroforestri dapat berperan penting, baik dalam produksi kayu maupun
ketahanan pangan (Atangana et al., 2014). Penentuan pola agroforestri sangat
tergantung pada kepentingan ekonomi dan lingkungan. Pola agroforestri akan
menjadi menarik untuk diusahakan oleh petani dibandingkan dengan pola mono-
kultur karena agroforestri dengan interaksi yang terjadi antara pohon dan tanaman
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis,
Jawa Barat 46201; Email: [email protected]
Y. Indrajaya & A. Sudomo
258 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
semusim memiliki produktivitas yang lebih tinggi dan lebih baik bagi lingkungan
(Jose & Gordon, 2008).
Di Indonesia, sistem agroforestri telah berkembang cukup pesat dengan
berbagai istilah lokal (Cahyono & Indrajaya, 2011). Salah satu bentuk agroforestri
yang diusahakan di Jawa Barat adalah agroforestri manglid. Manglid (Magnolia
champaca) merupakan salah satu jenis yang telah terbukti tumbuh baik di hutan
rakyat wilayah Priangan Timur, Provinsi Jawa Barat (Puspitojati et al., 2013). Kayu
manglid potensial digunakan untuk bahan bangunan, furnitur, dan kerajinan. Nilai
kegunaan dan permintaan pasar yang tinggi menyebabkan masyarakat menanam
manglid di lahan hutan rakyat. Jenis tanaman bawah yang umumnya ditanam di
bawah tegakan manglid antara lain kacang tanah, jagung, suweg, ganyong, cabe, dan
kapulaga.
Masyarakat mengaplikasikan agroforestri berdasarkan pengetahuan berbasis
pengalaman (Cahyono & Indrajaya, 2011). Tujuan masyarakat mengaplikasikan
agroforestri adalah sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten) dan sebagai
kegiatan sampingan untuk tabungan. Hal ini berimplikasi pada input teknologi yang
rendah atau ala kadarnya. Input produksi yang ala kadarnya tentu akan berpengaruh
terhadap hasil yang diperoleh. Oleh karena itu, analisis usaha agroforestri menjadi
penting dilakukan untuk menentukan kelayakan usaha agroforestri.
Analisis finansial terhadap berbagai komoditas pertanian ataupun komoditas
kehutanan berdasarkan budi daya yang terdapat di masyarakat telah banyak
dilakukan (Indrajaya & Sudomo, 2013; Kusumedi & Jariyah, 2010; Siregar et al.,
2007). Indrajaya & Sudomo (2013) dan Kusumedi & Jariyah (2010) dalam
penelitiannya pada agroforestri sengon-kapulaga menyatakan bahwa agroforestri
sengon-kapulaga layak diusahakan secara finansial dengan proporsi pendapatan yang
lebih tinggi berasal dari komoditas kayu. Sementara itu, analisis finansial agroforestri
kayu pertukangan dengan tanaman pangan belum banyak diteliti; padahal, praktik
ini telah banyak dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
menganalisis agroforestri manglid dan empat jenis tanaman pangan secara finansial.
Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 259
II. Metodologi
A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada areal hutan rakyat yang secara administratif terma-
suk dalam wilayah Kecamatan Sukamantri (Kabupaten Ciamis) dan Kecamatan
Kawalu (Kota Tasikmalaya), Provinsi Jawa Barat dengan koordinat S 07006’550’’
dan E 108022’900’’. Lahan hutan rakyat tersebut tergolong lahan kering dengan
ketinggian ±894 m dpl, temperatur udara 20,4–31oC , kelembaban 62,13–89,75%,
dan curah hujan mencapai 2.071 mm/tahun. Berdasarkan kriteria Schmidth &
Ferguson, tipe curah hujan di lokasi penelitian termasuk tipe C (agak basah) (Balai
Penyuluhan Pertanian, 2012).
Gambar 1. Lokasi penelitian
B. Pengumpulan dan Analisis Data
Uji coba pola agroforestri yang diterapkan adalah tegakan manglid dengan
beberapa tanaman bawah, yaitu jagung, kacang tanah, ganyong, dan suweg yang
dilakukan secara intensif. Data seluruh input produksi (meliputi bahan tanaman,
Y. Indrajaya & A. Sudomo
260 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
pupuk, peralatan, dan tenaga kerja) dan output produksi (meliputi kayu manglid dan
tanaman bawah yang dipanen) diperoleh dengan perhitungan langsung sejak
pembangunan plot hingga pemanenan tanaman bawah (umur pohon manglid 0–52
bulan). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diasumsikan sebagai peralatan
habis pakai sehingga tidak dihitung biaya penyusutannya.
Analisis kelayakan finansial agroforestri manglid dengan beberapa tanaman
bawah dilihat dengan menggunakan kriteria Net Present Value (NPV),
Benefit/Cost Ratio (B/CR), dan Internal Rate of Return (IRR) (Thompson &
George, 2009). Penelitian tentang analisis finansial usaha kehutanan telah banyak
dilakukan untuk menentukan kelayakan usaha kehutanan dengan kriteria investasi
NPV, B/CR, dan IRR (Ginoga et al., 2005; Kusumedi & Jariyah, 2010; Yuniati,
2011). Kriteria NPV merupakan jumlah profit (total penerimaan tB dikurangi
dengan total pengeluaran tC ) yang terdiskon dengan faktor diskonto (1 )ti dalam
kurun waktu tertentu (t), pada tingkat suku bunga i, seperti disajikan dalam
persamaan berikut:
0
NPV(1 )
Tt t
tt
B C
i
(1)
Kriteria B/CR merupakan perbandingan dari total penerimaan terdiskon
selama kurun waktu proyek dibagi dengan total pengeluaran terdiskon selama kurun
waktu proyek. Nilai B/CR akan memberikan gambaran estimasi pengembalian
dalam rupiah dari investasi yang ditanamkan.
0
0
(1 )BCR=
(1 )
Tt
tt
Tt
tt
B
i
C
i
(2)
Kriteria IRR merupakan discount rate yang mana nilai NPV sama dengan
nol. Nilai IRR menunjukkan nilai aktual pengembalian investasi suatu proyek.
NPV1IRR= 2 1
NPV1 NPV2i i i
(3)
Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 261
Analisis finansial dilakukan selama daur manglid optimal 16 tahun (Indrajaya,
2014) dengan penanaman tanaman bawah hingga tanaman manglid berumur 52
bulan pada tingkat suku bunga riil sebesar 4% (World Bank, 2013). Analisis
sensitivitas dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada perhitungan
aliran kas akibat perubahan yang terjadi pada parameter kunci dari perhitungan.
Parameter penelitian yang diperkirakan berpotensi untuk mengalami perubahan
adalah penurunan produksi (baik manglid maupun tanaman bawah tegakannya) dan
perubahan tingkat suku bunga.
III. Hasil dan Pembahasan
A. Estimasi Biaya Agroforestri Manglid
1. Estimasi Biaya Manglid
Tanaman manglid ditanam dengan jarak tanam 2 m x 2 m. Bibit manglid
diperoleh dengan cara pembelian dengan harga Rp1.000/batang. Sebelum dilakukan
penanaman, pembersihan lahan memerlukan tenaga kerja sebanyak 250 hari orang
kerja (HOK), dengan nilai 1 HOK sebesar Rp30.000. Waktu kerja 1 HOK
terhitung mulai pukul 8.00 (pagi) dan berakhir pada pukul 12.00 (siang). Sebelum
dilakukan penanaman, pemupukan dasar dilakukan menggunakan pupuk kandang
dengan dosis ±5 kg/lubang tanam dan kebutuhan tenaga kerja sebanyak 60 HOK.
Harga pupuk kandang adalah Rp200/kg. Kegiatan penanaman dilakukan dua
minggu sejak pemberian pupuk dasar/pupuk kandang dengan tenaga kerja sebanyak
60 HOK. Pemeliharaan tanaman manglid dilakukan dengan cara penyiangan
seluruh lahan dengan tenaga kerja sebanyak 60 HOK. Estimasi biaya penanaman
manglid disajikan dalam Tabel 1.
Estimasi volume tegakan manglid dilakukan dengan menggunakan persamaan
estimasi volume yang dibuat juga di lokasi penelitian yang sama (Indrajaya, 2014)
sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.
Y. Indrajaya & A. Sudomo
262 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 1. Estimasi biaya penanaman tegakan manglid
Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)
1. Biaya bahan
a. Bibit buah 1.000 2.500 2.500.000
b. Pupuk organik kilogram 200 12.500 2.500.000
2. Biaya operasional
a. Persiapan lahan HOK 30.000 250 7.500.000
b. Pemupukan HOK 30.000 60 1.800.000
c. Penanaman HOK 30.000 60 1.800.000
d. Penyiangan HOK 30.000 60 1.800.000
e. Pengangkutan bahan HOK 30.000 30 900.000
Total biaya 18.800.000
Tabel 2. Estimasi volume per hektare tegakan manglid
Umur
(tahun)
Diameter
(cm)
Tinggi
(m)
Populasi
(pohon/ha)
Volume
(m3/ha)
CAI
(m3/ha)
MAI
(m3/ha)
0 - - 2.500 - - -
1 2,60 1,58 2.373 0,93 0,93 0,93
2 4,42 3,96 2.252 6,44 5,51 3,22
3 6,04 5,36 2.137 15,41 8,97 5,14
4 7,53 6,35 2.028 26,96 11,55 6,74
5 8,93 7,12 1.924 40,41 13,45 8,08
6 10,28 7,75 1.826 55,22 14,81 9,20
7 11,57 8,28 1.733 70,95 15,73 10,14
8 12,82 8,74 1.645 87,26 16,30 10,91
9 14,03 9,15 1.561 103,84 16,58 11,54
10 15,21 9,51 1.481 120,45 16,61 12,04
11 16,37 9,84 1.406 136,90 16,45 12,45
12 17,50 10,14 1.334 153,02 16,12 12,75
13 18,61 10,42 1.266 168,68 15,66 12,98
14 19,70 10,67 1.201 183,77 15,10 13,13
15 20,77 10,91 1.140 198,22 14,44 13,21
16 21,83 11,13 1.082 211,95 13,73 13,25
Keterangan: MAI=riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment); CAI= riap tahun berjalan
(Current Annual Increment)
Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 263
Pada tahun ke-16, total volume tegakan manglid diperkirakan sebanyak >200
m3/ha. Harga jual kayu manglid adalah Rp1 juta/m3. Tabel 2 menunjukkan estimasi
volume tegakan manglid hingga umur 16 tahun. Daur biologis tegakan manglid
berdasarkan Tabel 1 adalah ±16 tahun, yaitu keadaan di mana nilai CAI sama
dengan MAI. Oleh karena itu, analisis finansial agroforestri manglid dilakukan
hingga umur 16 tahun.
2. Estimasi Biaya Kacang Tanah
Pada agroforestri awal tanaman manglid, naungan relatif belum terbentuk
atau kondisi lapangan masih terbuka. Penanaman kacang tanah pada plot manglid
dilakukan bersamaan dengan penanaman manglid dengan jarak tanam 0,2 m x 0,3
m. Persiapan lahan pada penanaman kacang tanah meliputi pembersihan dan
pengolahan tanah. Hal ini dilakukan dengan pembersihan lahan dan mencangkul
tanah sedalam ±40 cm dan membalikkan tanah. Pengolahan tanah tersebut memer-
lukan tenaga kerja sebanyak 325 HOK/ha. Setelah pengolahan tanah, penyebaran
pupuk kandang dilakukan sebanyak 5.848 kg/ha. Tenaga kerja yang diperlukan
untuk pengangkutan ke lokasi penanaman dan penyebaran pupuk kandang agar
merata sekitar 19 HOK/ha. Penanaman kacang tanah dimulai dengan pembuatan
bedengan di antara tanaman manglid dengan diselingi saluran drainase sedalam 25–
30 cm dengan lebar 20 cm. Benih kacang tanah yang digunakan berasal dari varietas
lokal yang ditanam dengan cara ditugal sedalam 2–3 cm dengan jarak ±20 cm
sebanyak 2 buah/lubang tanam. Pada penanaman kacang tanah, tenaga kerja yang
diperlukan sebanyak 122 HOK/ha.
Pemupukan lanjutan dilakukan dua kali, yaitu pada 15 hari dan 35 hari setelah
tanam. Pemupukan campuran urea dan NPK (4:3) pada saat kacang tanah berumur
15 hari dengan dosis 10 gram/tanaman dan berjarak 2 cm dari kacang tanah.
Penyiangan dilakukan pada saat pemupukan anorganik atau tanaman kacang tanah
berumur 15 hari, kemudian dilanjutkan pada umur 35 hari setelah tanam.
Penyiangan dan pemupukan dilakukan dua kali dan masing-masing membutuhkan
tenaga kerja sebanyak 99 HOK/ha.
Y. Indrajaya & A. Sudomo
264 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 3. Estimasi biaya pengelolaan kacang tanah dengan jarak tanam 0,2 x 0,3 m
Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)
1. Biaya bahan
a. Bibit kg 13.000 100 1.300.000
b. Pupuk kandang kg 233 5.848 1.364.522
c. Pupuk urea kg 3.000 476 1.428.571
d. Pupuk NPK kg 3.000 357 1.071.429
e. Curacron Botol 58.000 5 282.651
2. Biaya tenaga kerja
a. Pembersihan dan pengolahan
lahan
HOK 30.000 325 9.746.589
b. Pemberian pupuk kandang HOK 30.000 19 584.795
c. Penanaman HOK 30.000 122 3.654.971
d. Penyiangan ke-1 dan
pemupukan lanjutan 1
HOK 30.000 99 2.984.893
e. Penyiangan ke-2 dan
pemupukan lanjutan 2
HOK 30.000 99 2.984.893
f. Pemanenan HOK 30.000 81 2.436.647
Total biaya 27.839.961
3. Estimasi Biaya Jagung
Jenis tanaman pertanian yang ditanam pada daur kedua atau saat manglid
berumur enam bulan adalah jagung. Bibit jagung hibrida Bisi-2 yang ditanam adalah
sebanyak 15 kg/ha dengan harga bibit adalah Rp51.000/kg. Pupuk dasar yang
diberikan pada tanaman jagung adalah pupuk organik (kandang) dan pupuk lanjutan
nonorganik (urea dan NPK). Penyiapan lahan dilakukan dengan pembersihan lahan
dan mencangkul tanah sedalam 30–40 cm dan membalikkannya. Tenaga kerja untuk
kegiatan penyaiapan lahan ini sebanyak 325 HOK/ha. Penyebaran pupuk kandang
secara merata ke areal penanaman sebanyak 5 ton/ha. Tenaga kerja untuk
pengangkutan ke lokasi penanaman dan penyebaran pupuk merata ke areal
penanaman sebanyak 19 HOK/ha. Penanaman jagung dilakukan dengan jarak
tanam 0,3 m x 0,8 m dan membentuk lubang tanam dengan tugal. Setiap lubang
Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 265
tanam diberi dua butir jagung dan kemudian menimbunnya dengan tanah. Kegiatan
penanaman ini memerlukan tenaga kerja sebanyak 122 HOK/ha.
Kegiatan pemeliharaan meliputi penyiangan, pemupukan, dan pengguludan
pada barisan jagung. Penyiangan dan penimbunan jagung dilakukan pada saat
pemupukan anorganik umur 15 hari dan dilanjutkan pada umur 35 hari setelah
tanam. Penyiangan dan pengguludan dilakukan dengan mencangkul tanah di sela-
sela barisan jagung. Rumput atau gulma dan tanah hasil penyiangan ditimbunkan
atau diurugkan pada pupuk. Satu kali proses pemeliharaan, yaitu penyiangan,
pengguludan, dan pemupukan lanjutan ini dalam satu paket diperlukan tenaga kerja
sebanyak 99 HOK/ha. Rincian kegiatan dan biaya budi daya jagung pada
agroforestri manglid di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Estimasi biaya pengelolaan jagung dengan jarak tanam 0,3 x 0,8 m
Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)
1. Biaya bahan
a. Bibit kg 51.000 15 765.000
b. Pupuk kandang kg 233 5.848 1.364.522
c. Pupuk urea kg 3.000 476 1.428.571
d. Pupuk NPK kg 3.000 357 1.071.429
e. Curacron Botol 58.000 5 282.651
2. Biaya tenaga kerja
a. Pembersihan dan pengolahan
lahan
HOK 30.000 325 9.746.589
b. Pemberian pupuk kandang HOK 30.000 19 584.795
c. Penanaman HOK 30.000 122 3.654.971
d. Penyiangan ke-1 dan
pemupukan lanjutan 1
HOK 30.000 99 2.984.893
e. Penyiangan ke-2 dan
pemupukan lanjutan 2
HOK 30.000 99 2.984.893
f. Pemanenan HOK 30.000 81 2.436.647
Total biaya 27.304.961
Y. Indrajaya & A. Sudomo
266 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Dengan input produksi seperti disajikan dalam Tabel 4, hasil produksi jagung
di bawah tegakan manglid di lokasi penelitian sebesar 7.006 kg/ha. Harga jagung
pipilan kering adalah Rp2.150/kg sehingga total pendapatan yang diperoleh dari
penanaman jagung sebesar Rp15.062.470. Oleh karena itu, kegiatan penanaman
jagung ini mengalami defisit sebesar Rp(12.242.491) [tanda kurung berarti minus]
atau pengusahaan jagung di lokasi penelitian dengan input produksi yang ada
mengalami kerugian. Hal ini berbeda dengan temuan Hadi (2009) di Jambi yang
menanam jagung Bisi-2 di bawah tegakan kelapa yang mendapatkan hasil positif
dari jagung sebesar Rp1.042.250/ha/musim.
4. Estimasi Biaya Ganyong
Penanaman ganyong dilakukan pada saat manglid berumur 32 bulan dan
dipanen pada saat manglid berumur 40 bulan (durasi 8 bulan). Penyiapan lahan
dengan pembabatan alang-alang dan mencangkul tanah sedalam 30–40 cm. Jarak
tanam untuk penanaman ganyong masing-masing adalah 120 cm x 80 cm. Kegiatan
penyiapan lahan meliputi pembersihan lahan dan pengolahan tanah memerlukan
tenaga kerja sebanyak 162 HOK/ha. Pembuatan lubang tanam dengan ukuran 40
cm x 40 cm sedalam 20–30 cm. Penanaman ganyong dilakukan dengan menaruh
mata tunas di bagian atas dan menimbunnya dengan tanah. Tenaga kerja untuk
kegiatan penanaman ganyong sebanyak 81 HOK/ha. Pupuk dasar pada saat
penanaman ganyong adalah pupuk kotoran ayam sebanyak 4.167 kg/ha atau dengan
dosis 800 gram/lubang. Tenaga kerja untuk pemberian pupuk kandang sebanyak 81
HOK/ha. Penyiangan dan pemupukan lanjutan dilakukan bersamaan setelah
ganyong berumur dua dan empat bulan. Dosis pemupukan menggunakan urea dan
NPK (1:2) sebanyak 70 gram/tanaman. Kegiatan penyiangan, pemupukan lanjutan,
dan pengguludan memerlukan tenaga kerja sebanyak 68 HOK/ha.
Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 267
Tabel 5. Estimasi biaya pengelolaan ganyong dengan jarak tanam 1,2 m x 0,8 m
Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)
1. Biaya bahan
a. Bibit Buah/pc 350 5.200 1.820.000
b. Pupuk kandang kg 233 4.167 972.222
c. Pupuk urea kg 3.000 243 729.167
d. Pupuk NPK kg 3.000 486 1.458.333
e. Curacron Botol 58.000 5 282.651
2. Biaya tenaga kerja
a. Pembersihan dan pengolahan
lahan
HOK 30.000 162 4.873.294
b. Pemberian pupuk kandang HOK 30.000 81 2.436.647
c. Penanaman HOK 30.000 81 2.436.647
d. Penyiangan ke-1 dan
pemupukan lanjutan 1
HOK 30.000 68 2.046.784
e. Penyiangan ke-2 dan
pemupukan lanjutan 2
HOK 30.000 68 2.046.784
f. Pemanenan HOK 30.000 58 1.754.386
Total biaya 20.856.915
5. Estimasi Biaya Suweg
Penyiapan lahan untuk penanaman suweg adalah mencangkul tanah sedalam
30–40 cm dan membalikkan tanah hasil cangkulan. Jarak tanam yang digunakan
penanaman suweg adalah 1,2 m x 0,8 m. Pembuatan lubang tanam dengan ukuran
40 cm x 40 cm sedalam 20–30 cm. Tenaga kerja untuk kegiatan penyiapan lahan
dan penanaman masing-masing diperlukan sebanyak 162 HOK/ha dan 81
HOK/ha. Pemberian pupuk dasar berupa pupuk kandang sebanyak 800
gram/lubang tanam. Kegiatan pemberian pupuk kandang per lubang tanam ini
memerlukan tenaga kerja sebanyak 81 HOK/ha. Pemeliharaan meliputi penyiangan,
pengguludan, dan pemupukan lanjutan dilakukan pada saat tanaman berumur dua
bulan dan empat bulan setelah tanam. Satu kali kegiatan pemeliharaan memerlukan
tenaga kerja sebanyak 68 HOK/ha.
Y. Indrajaya & A. Sudomo
268 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 6. Estimasi biaya pengelolaan suweg dengan jarak tanam 1,2 x 0,8 m
Komponen biaya Satuan Harga (Rp) Jumlah Total (Rp/ha)
1. Biaya bahan
a. Bibit Buah/pc 350 5.200 1.820.000
b. Pupuk kandang kg 233 4.167 972.222
c. Pupuk urea kg 3.000 243 729.167
d. Pupuk NPK kg 3.000 486 1.458.333
e. Curacron Botol 58.000 5 282.651
2. Biaya tenaga kerja
a. Pembersihan dan pengolahan
lahan
HOK 30.000 162 4.873.294
b. Pemberian pupuk kandang HOK 30.000 81 2.436.647
c. Penanaman HOK 30.000 81 2.436.647
d. Penyiangan ke-1 dan
pemupukan lanjutan 1
HOK 30.000 68 2.046.784
e. Penyiangan ke-2 dan
pemupukan lanjutan 2
HOK 30.000 68 2.046.784
f. Pemanenan HOK 30.000 58 1.754.386
Total biaya 20.856.915
B. Analisis Finansial Agroforestri Manglid
Berdasarkan estimasi biaya pada bagian sebelumnya, analisis tentang biaya
yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh selama 16 tahun pengusahaan agroforestri
manglid dapat disajikan dalam Tabel 7. Harga setiap satuan biaya dan pendapatan
disajikan dalam Tabel 8. Selanjutnya, aliran kas selama daur (16 tahun) disajikan
dalam Tabel 9.
Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 269
Tabel 7. Input-output pengelolaan agroforestri manglid dengan beberapa tanaman bawah
selama 16 tahun
Uraian input-output Satuan Tahun ke-
1 2 3 4 5–15 16
I. Input
1. Bahan tanam
- Bibit manglid batang 2.500
- Bibit kacang tanah kg 100
- Bibit jagung kg 15
- Bibit ganyong kg
5.200
- Bibit suweg kg
5.200
2. Pupuk dan obat-obatan
- Kandang kg/ha 24.196
8.334
- Urea kg/ha 952
486
- NPK kg/ha 833
972
- Herbisida botol/ha 10
10
3. Tenaga kerja (manglid)
- Persiapan lahan HOK 250
- Pemupukan HOK 60
- Penanaman HOK 60
- Penyiangan HOK 60
- Pengangkutan bahan HOK 30
4. Tenaga kerja (tanaman bawah tegakan)
- Pembersiahan lahan dan pengolahan tanah HOK 650
650 324
- Pemberian pupuk kandang HOK 38
38 162
- Penanaman HOK 244
244 162
- Penyiangan 1 dan pemupukan lanjutan 1 HOK 198
198 136
- Penyiangan 2 dan pemupukan lanjutan 2 HOK 198
198 136
- Pemanenan HOK 162
162 116
II. Output
1. Tanaman bawah tegakan
- Kacang tanah kg 1.410
1.410
- Jagung kg 7.006
7.006
- Ganyong kg
6.667
- Suweg kg
4.565
2. Kayu manglid m3 211.95
Y. Indrajaya & A. Sudomo
270 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 8. Parameter yang digunakan dalam perhitungan analisis finansial
Uraian input-output Satuan Harga (Rp)
I. Input
1. Bahan tanam
- Bibit manglid batang 1.000
- Bibit kacang tanah kg 13.000
- Bibit jagung kg 51.000
- Bibit ganyong kg 350
- Bibit suweg kg 350
2. Pupuk dan obat-obatan
- Kandang kg/ha 233
- Urea kg/ha 3.000
- NPK kg/ha 3.000
- Herbisida botol/ha 58.000
3. Tenaga kerja (manglid)
- Persiapan lahan HOK 30.000
- Pemupukan HOK 30.000
- Penanaman HOK 30.000
- Penyiangan HOK 30.000
- Pengangkutan bahan HOK 30.000
4. Tenaga kerja (tanaman bawah tegakan)
- Pembersiahan lahan dan pengolahan tanah HOK 30.000
- Pemberian pupuk kandang HOK 30.000
- Penanaman HOK 30.000
- Penyiangan 1 dan pemupukan lanjutan 1 HOK 30.000
- Penyiangan 2 dan pemupukan lanjutan 2 HOK 30.000
- Pemanenan HOK 30.000
II. Output
1. Tanaman bawah tegakan
- Kacang tanah kg 8.000
- Jagung kg 3.000
- Ganyong kg 2.000
- Suweg kg 2.000
2. Kayu manglid m3 800.000
Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 271
Tabel 9. Aliran kas pengusahaan agroforestri manglid daur 16 tahun (x 1.000)
Uraian input-output Tahun ke-
1 2 3 4 5–15 16
I. Input
1. Bahan tanam
- Bibit manglid 2.500
- Bibit kacang tanah 1.300
- Bibit jagung 765
- Bibit ganyong
1.820
- Bibit suweg
1.820
2. Pupuk dan obat-obatan
- Kandang 5.638
1.942
- Urea 2.856
1.458
- NPK 2.499
2.916
- Herbisida 580
580
3. Tenaga kerja (manglid)
- Persiapan lahan 7.500
- Pemupukan 1.800
- Penanaman 1.800
- Penyiangan 1.800
- Pengangkutan bahan 900
4. Tenaga kerja (tanaman bawah tegakan)
- Pembersiahan lahan dan pengolahan tanah 19.500
19.500 9.720
- Pemberian pupuk kandang 1.140
1.140 4.860
- Penanaman 7.320
7.320 4.860
- Penyiangan 1 dan pemupukan lanjutan 1 5.940
5.940 4.080
- Penyiangan 2 dan pemupukan lanjutan 2 5.940
5.940 4.080
- Pemanenan 4.860
4.860 3.480
Total pengeluaran 74.638
44.700 41.616
II. Output
1. Tanaman bawah tegakan
- Kacang tanah 11.280
11.280
- Jagung 21.017
21.017
- Ganyong
13.333
- Suweg
9.130
2. Kayu manglid
169.560
Total penerimaan 32.297
32.297 22.463
169.560
Profit 42.340
12.403 19.153
169.560
Y. Indrajaya & A. Sudomo
272 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Berdasarkan Tabel 9, nilai NPV agroforestri manglid-kacang tanah, jagung,
ganyong dan suweg adalah Rp22.420.000 dengan nilai IRR 6% dan nilai B/CR 1,2.
Hasil dari perhitungan menunjukkan bahwa semua kriteria investasi telah terpenuhi
yang berarti pengusahaan agroforestri manglid layak secara finansial. Namun
demikian, tanaman bawah tegakan yang dimaksudkan menjadi tambahan penda-
patan petani dalam pola agroforestri justru berkontribusi negatif terhadap NPV.
Pengusahaan tanaman bawah tegakan dengan input produksi yang cukup tinggi
tidak diikuti dengan hasil yang tinggi. Dengan demikian, pengusahaan tanaman
bawah tegakan kacang tanah, jagung, ganyong, dan suweg merugi.
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel eksogen
dalam model terhadap hasil analisis. Variabel yang diuji dalam analisis sensitivitas
adalah jika produksi kayu manglid ataupun tumbuhan bawahnya turun 15% dan
30%. Selain itu, pengaruh tingkat suku bunga terhadap hasil agroforestri manglid
juga diuji. Hasil dari analisis sensitivitas penurunan produksi agroforestri manglid
disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10. Analisis sensitivitas AF manglid pada beberapa penurunan produksi
Jenis tanaman Penurunan produksi Kriteria investasi Nilai
Kacang tanah 0,15 NPV 19.289
IRR 6%
B/CR 1,13
0,30 NPV 16.158
IRR 5%
B/CR 7,44
Jagung 0,15 NPV 16.186
IRR 6%
B/CR 1,11
0,30 NPV 10.752
IRR 5%
B/CR 1,07
Ganyong 0,15 NPV 21.249
IRR 6%
B/CR 1,11
Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 273
Jenis tanaman Penurunan produksi Kriteria investasi Nilai
0,30 NPV 19.001
IRR 6%
B/CR 1,13
Suweg 0,15 NPV 21.249
IRR 6%
B/CR 1,14
0,30 NPV 20,079
IRR 6%
B/CR 1,14
Manglid 0,15 NPV 8.841
IRR 5%
B/CR 1,14
0,30 NPV (4.739)
IRR 3%
B/CR 1,34
Keterangan: Nilai NPV x 1.000
Penurunan produksi tumbuhan bawah tegakan (kacang tanah, jagung,
ganyong, dan suweg) hingga 30% tidak menyebabkan pengusahaan agroforestri
manglid menjadi tidak layak karena kontribusi pendapatan yang cukup besar dari
kayu manglid. Secara umum, tumbuhan bawah tegakan kayu manglid merugi atau
berkontribusi negatif terhadap NPV sehingga penurunan produksi hanya akan
menambah kerugian agroforestri manglid. Penurunan produksi kayu manglid
sebesar 30% akan menyebabkan nilai NPV yang negatif dan nilai IRR yang lebih
rendah dari suku bunga yang digunakan dalam perhitungan. Oleh karena itu,
penurunan produksi kayu manglid sebanyak 30% akan menyebabkan pengusahaan
agroforestri manglid menjadi tidak layak secara finansial.
Pengaruh perubahan tingkat suku bunga terhadap hasil yang diperoleh dari
agroforestri manglid disajikan dalam Tabel 8. Pada tingkat suku bunga 2%, yang
mana lebih rendah dari suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini (4%), nilai
NPV menjadi lebih tinggi yaitu sebesar Rp52.624.000. Sementara itu, pada tingkat
suku bunga 8%, pengusahaan agroforestri manglid menjadi tidak layak secara finan-
Y. Indrajaya & A. Sudomo
274 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
sial yang ditunjukkan oleh nilai NPV sebesar Rp(13.634.000) [tanda kurung berarti
minus].
Tabel 11. Analisis sensitivitas agroforestri manglid pada perubahan tingkat suku bunga
Kriteria Tingkat suku bunga
2% 6% 8%
NPV (x Rp1.000/ha) 52.624 1.219 (13.634)
IRR 6,14% 6,14% 6,14%
B/CR 1,34 1,01 0,90
Keterangan: tanda kurung berarti minus
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu
1) pola agroforestri manglid secara finansial layak diusahakan dengan nilai NPV
Rp22.420.000, nilai IRR 6%, dan nilai B/CR 1,2 ; (2) penanaman tumbuhan bawah
tegakan kacang tanah, jagung, ganyong, dan suweg tidak memberikan kontribusi
positif terhadap nilai NPV; 3) penurunan produksi kayu manglid hingga 30% akan
menyebabkan pola agroforestri manglid menjadi tidak layak secara finansial; dan 4)
pada tingkat suku bunga 8%, agroforestri manglid menjadi tidak layak secara
finansial.
B. Saran
Pengusahaan agroforestri manglid dan beberapa tanaman bawah pada pene-
litian ini menunjukkan adanya peran tanaman bawah yang kurang memberikan
kontribusi positif terhadap nilai NPV. Hal ini karena produksi tanaman bawah yang
tidak berkontribusi positif terhadap nilai NPV. Oleh karena itu, pemeliharaan yang
lebih intensif terhadap tanaman bawah tegakan dengan input produksi yang lebih
efisien dapat berpotensi untuk meningkatkan nilai NPV agroforestri manglid.
Anal is is Finansial Agroforestr i Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 275
Daftar Pustaka
Atangana, A., Khasa, D., Chang, S., & Degrande, A. (2014). Tropical Agroforestry:
Springer.
Balai Penyuluhan Pertanian, P. d. K. (2012). Kecamatan Sukamantri.
Cahyono, S. A., & Indrajaya, Y. (2011). Agroforestri tradisional Indonesia berbasis
kearifan lokal: Masa depan yang terancam. Paper presented at the Seminar
nasional hari lingkungan hidup, UNSOED Purwokerto.
Ginoga, K. L., Wulan, Y., & Djaenudin, D. (2005). Karbon dan peranannya dalam
kelayakan usaha hutan tanaman jati (Tectona Grandis) di KPH Saradan, Jawa
Timur. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi, 2, 183-202.
Hadi, R. (2009). Teknik optimalisasi pemanfaatan lahan di antara tanaman kelapa
di daerah pasang surut Jambi. Buleting Teknik Pertanian, 14(1).
Indrajaya, Y. (2014). Daur optimal hutan rakyat manglid di Kecamatan Kawalu,
Tasikmalaya, Jawa Barat.
Indrajaya, Y., & Sudomo, A. (2013). Analisis finansial agroforestry sengon dan
kapulaga di Desa Payungagung, Kecamatan Panumbangan, Ciamis. Jurnal
Agroforestry.
Jose, S., & Gordon, A. M. (2008). Ecological knowledge and agroforestry design: an
introduction. In S. Jose & A. M. Gordon (Eds.), Toward agroforestry design:
An ecological approach. Springer.
Kusumedi, P., & Jariyah, N. A. (2010). Analisis finansial pengelolaan agroforestry
dengan pola sengon kapulaga di Desa Tirip, Kecamatan Wadaslintang,
Kabupaten Wonosobo. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan,
7(2), 93-100.
Puspitojati, T., Sudomo, A., & Rohandi, A. (2013). Peningkatan produktivitas
lahan melalui pola agroforestry kayu pertukangan dengan tanaman pangan.
Y. Indrajaya & A. Sudomo
276 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Siregar, U. J., Rachmi, A., Massijaya, M. Y., Ishibashi, N., & Ando, K. (2007).
Economic analysis of sengon (Paraserianthes falcataria) community forest
plantation, a fast growing species in East Java, Indonesia. Forest policy and
economics, 9, 822-829.
Thompson, D., & George, B. (2009). Financial and economic evaluation of
agroforestry. In I. Nuberg, B. George & R. Reid (Eds.), Agroforestry for
natural resource management. Collingwood Australia: CSIRO Publishing.
World Bank. (2013). World Bank Indicator.
Yuniati, D. (2011). Analisis finansial dan ekonomi pembangunan hutan tanaman
Dipterokarpa dengan teknik SILIN (Studi kasus PT Sari Bumi Kusuma,
Kalimantan Barat). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 8(4), 239-249.
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 277
Kajian Pemasaran Kayu Manglid (Magnolia champaca)
di Kabupaten Tasikmalaya
Soleh Mulyana1
ABSTRAK
Pemasaran merupakan kegiatan akhir sebagai penentu keberhasilan dalam suatu usaha,
begitu pula terhadap budi daya kayu. Para petani dalam memasarkan kayu manglid masih
berupa pohon berdiri di kebunnya. Kajian ini bertujuan mengetahui pola saluran pemasaran
berikut margin pemasaran yang terjadi di Kabupaten Tasikamalaya yang merupakan salah
satu wilayah sentra kayu manglid di Priangan Timur. Metode snowball dan wawancara digu-
nakan untuk mengetahui pola saluran pemasaran, sedangkan parameter Setyaningsih (2008)
digunakan untuk mengetahui margin pemasaran. Hasil kajian mendapatkan delapan pola
saluran pemasaran kayu manglid sampai ke konsumen, yaitu enam pola untuk wilayah
Kabupaten Tasikmalaya dan dua pola saluran pemasaran untuk memenuhi konsumen ke
wilayah Bandung. Margin pemasaran tertinggi sebesar 58,90% dan terkecil sebesar 4,76%;
margin keuntungan tertinggi sebesar 33,33% dan terkecil sebesar 2,38%; efisiensi pemasaran
pada saluran I sebesar 16,79%, sedangkan Farmer Share tertinggi sebesar 69,93%.
Kata kunci: kayu manglid, pola saluran pemasaran, margin pemasaran
I. Pendahuluan
Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu daerah yang dikenal sebagai
sentra penghasil komoditas kayu manglid yang tumbuh secara alami. Heyne (1987)
menyatakan bahwa manglid merupakan salah satu jenis kayu khas Pulau Jawa dan
paling banyak ditemukan di daerah Jawa Barat. Wilayah JawaTengah tidak umum
dijumpai pohon manglid, bahkan jarang sekali dijumpai pohon jenis ini di Jawa
Timur. Pada beberapa daerah, kayu manglid terkenal dengan beberapa nama, antara
lain jatuh, madang limpaung (Sumatra); baros, manglid, cempaka bulus (Sunda atau
Jawa). Hasil penelitian Rohandi et al. (2010) menunjukkan bahwa kayu manglid di
1 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry; Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis,
Jawa Barat 46201; Email: [email protected]
S. Mulyana
278 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Priangan Timur tersebar pada jenis tanah lotosol, andosol, alluvial, dan podsolik
merah kuning pada ketinggian 400–1.200 m dpl, curah hujan 1.500–3.500 mm/
tahun, dan kelerengan 0–45%. Kayu manglid dikembangkan dan dijadikan komo-
ditas unggulan melalui agroforestri pada progam pengembangan hutan rakyat dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rimpala, 2001).
Pemasaran sangat memegang peranan penting dalam kegiatan usaha, begitu
pula pada pengelolaan hutan rakyat pola agroforestri. Proses pemasaran merupakan
kegiatan menyelaraskan antara kepentingan petani (produsen) dengan keinginan
konsumen. Selama proses kegiatan pemasaran dari produsen ke konsumen, terben-
tuk suatu rantai tata niaga. Setyaningsih dalam Sundawati (2008) menyebutkan
terdapatnya suatu alur pemasaran, yaitu suatu jalur atau hubungan yang dilewati oleh
arus barang-barang, aktivitas, dan informasi dari produsen ke konsumen dengan
melibatkan komponen yang membentuk suatu rantai pemasaran, yaitu produk,
pelaku, aktivitas, dan input. Banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat akan
memperpanjang alur pemasaran sehingga berpengaruh terhadap posisi tawar di
tingkat petani (produsen) atau besarnya harga yang harus ditanggung konsumen.
Menurut Achmad et al. (2006), pemasaran komoditas hasil hutan rakyat
masih menghadapi beberapa permasalahan, antara lain 1) produk dihasilkan oleh
petani dalam unit-unit kecil; 2) produksi tergantung pada musim dan kebutuhan
sosial ekonomi produsen; 3) produk yang dihasilkan tidak dapat dijual secara
langsung atau sulit dilakukan penjualan langsung ke konsumen akhir; 4) produk
bersifat ruah atau memakan tempat (bulky); 5) untuk jenis-jenis tertentu produk
hanya bisa dijual di suatu tempat tertentu.
Informasi pasar dan berfungsinya pasar dengan baik sangat diperlukan untuk
mengarahkan produk guna memenuhi peluang pasar dan menambah pendapatan
para petani. Sebagaimana ditegaskan Achmad et al. (2009), apabila pemasaran dapat
dilakukan secara langsung oleh pemilik komoditas kepada pengguna, efisiensi
pemasaran yang optimal bisa dicapai sehingga pendapatan produsen akan
meningkat. Sementara itu, Kotler (2002) menyatakan bahwa saluran distribusi dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 279
1. Saluran distribusi langsung, yaitu saluran distribusi di mana penyaluran produk
dari produsen langsung ke tangan konsumen tanpa melalui perantara atau
penyalur.
2. Saluran distribusi tidak langsung, yaitu perusahaan dalam mendistribusikan
produknya menggunakan penyalur agen perantara dan juga pengecer sebelum
sampai ke tangan konsumen.
Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, serta desakan kebutuhan para
petani menjadi kendala dalam memenuhi bentuk produk sebagaimana permintaan
konsumen. Keadaan ini menjadikan pemasaran komoditas kayu manglid masih
berupa pohon berdiri di kebunnya. Hal inilah yang menjadi peluang usaha dengan
munculnya berbagai tingkatan lembaga pemasaran. Tujuan kajian ini adalah
mengetahui tingkatan lembaga pemasaran, pola saluran pemasaran, dan margin
pemasaran terhadap produk komoditas kayu manglid yang terjadi di Kabupaten
Tasikmalaya.
II. Metodologi
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Kabupaten Tasikmalaya terpilih sebagai lokasi penelitian karena sebagai salah
satu sentra kayu manglid dan pemasok di wilayah Priangan Timur. Kegiatan kajian
dilakukan dimulai pada bulan April 2013.
B. Penentuan Responden
1. Para petani terpilih secara sengaja (purposive sampling) sebagai pengelola hutan
rakyat pola agroforestri komoditas kayu manglid.
2. Lembaga pemasaran berdasarkan penelusuran (snowball sampling) mulai dari
tingkat dusun, kecamatan, hingga kabupaten yang terlibat dalam pemasaran
komoditas kayu manglid berdasarkan informasi awal dari para petani.
S. Mulyana
280 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
C. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil wawancara bersama petani dan lembaga pemasaran dengan
menggunakan daftar pertanyaan atau kuisioner. Sementara itu, data sekunder
diperoleh dari berbagai sumber, antara lain laporan dari instansi terkait ataupun hasil
kegiatan penelitian sebelumnya sebagai referensi.
D. Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk mengetahui
karakteristik para petani, lembaga pemasaran, dan pola saluran pemasaran. Semen-
tara, margin pemasaran dianalisis menggunakan parameter margin pemasaran,
margin keuntungan, dan tingkat efisiensi pemasarannya (Setyaningsih, 2008)
dengan uraian sebagai berikut:
Margin pemasaran (marketing margin) untuk setiap lembaga pemasaran
diperoleh dengan menggunakan rumus:
Mj = Pj – Pf atau Mj = ∑ B + ∆
Keterangan: Mj = margin pemasaran pada tingkat lembaga pemasaran ke-j
Pj = harga di tingkat lembaga pemasaran ke-j
Pf = harga di tingkat lembaga pemasaran ke-f (sebelum lembaga
pemasaran ke-j)
B = biaya pemasaran
∆ = keuntungan lembaga pemasaran
Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 281
Margin keuntungan (profit margin) diperoleh dengan menggunakan rumus:
Keterangan: Ski, Sbi = bagian keuntungan yang diterima lembaga pemasaran
Sp = besarnya kontribusi harga yang diterima produsen
bi = biaya tata niaga ke-i
ki = keuntungan ke-i
Pr = harga ditingkat konsumen (user)
Pf = harga ditingkat produsen (farm)
Tingkat efisiensi pemasaran menggunakan rumus:
III. Hasil dan Pembahasan
A. Produksi Kayu Manglid
Berdasarkan data sekunder diperoleh produksi kayu bulat (log) selama tiga
tahun (2010–2012) (Dishutbun Kabupaten Tasikmalaya, 2013) sebagaimana disaji-
kan pada Gambar 1. Grafik pada Gambar 1 menunjukan bahwa keadaan produksi
kayu albasia menempati posisi tertinggi, sedangkan kayu manglid berada pada
urutan kedua dari yang terkecil sebelum pinus. Mengingat perbandingan daur
ekonomis manglid dengan albasia 1:3 (15 tahun:5 tahun), para petani cenderung
membudidayakan albasia. Hal ini mengakibatkan tempat tumbuh kayu manglid
secara alami ataupun budi daya terdegradasi oleh jenis albasia.
S. Mulyana
282 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Sumber: hasil pengolahan data tahun 2013
Gambar 1. Grafik produksi log kayu manglid (m3) tahun 2010–2012
B. Karakteristik Lembaga Pemasaran
Petani (produsen) secara umum memasarkan kayu masih dalam keadaan
pohon berdiri di kebunnya, sedangkan permintaan konsumen sudah berupa sawn
timber atau barang jadi siap pakai. Keadaan ini membuat peluang usaha munculnya
berbagai tingkatan lembaga pemasaran. Berdasarkan data, informasi awal, dan hasil
penelusuran terhadap lembaga pemasaran yang terlibat dalam komoditas kayu
manglid, ternyata dijumpai berbagai lembaga pemasaran, antara lain penyiar
(informan), bandar pengepul, industri penggergajian, pedagang kayu gergajian
antarkota, industri barang jadi, dan toko material/los kayu (pengecer) dengan
berbagai kegiatan dan peranan yang dilakukannya, yaitu:
1. Produsen (petani): peranannya sebagai pemilik dan pengelola hutan rakyat yang
menghasilkan produk komoditas kayu manglid.
2. Penyiar (imforman): peranannya sebagai pencari dan pemberi informasi tentang
lokasi, harga, kondisi fisik, dan dimensi setiap jenis pohon (diameter, volume,
dan keadaan lapangan). Informasi ini kemudian disampaikan kepada lembaga
pemasaran lain atau yang telah memiliki kerja sama dengannya dengan harapan
akan mendapatkan komisi dari pembeli.
Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 283
3. Industri penggergajian: merupakan pemilik modal dan peralatan mesin pengger-
gajian yang berperan sebagai pembeli kayu berupa pohon/log secara langsung dari
patani atau melaui lembaga penyiar (informan), ataupun dari pedagang penge-
pul. Peranannya adalah merubah bahan baku log menjadi kayu gergajian (sawn
timber), kemudian dijual kembali secara langsung ke konsumen akhir, yaitu ke
lembaga pemasaran berikutnya (pedagang kayu gergajian antarkota, los kayu/toko
material, dan industri barang jadi).
4. Industri barang jadi: merupakan pemilik modal dan pembeli bahan baku (sawn
timber) dari industri pergajian. Bermodalkan peralatan dan keahliannya, pelaku
ini dapat merubah bentuk kayu menjadi barang siap pakai (seperti pintu panel
dan mebel) yang kemudian dijual kembali ke konsumen akhir atau toko mebel.
5. Los kayu (toko material): merupakan pemilik modal dan tempat berjualan, yaitu
sebagai pembeli kayu gergajian untuk dijual kembali ke konsumen akhir, baik
dalam jumlah yang besar maupun secara eceran. Peranananya sangat membantu
bagi konsumen yang memerlukan kayu gergajian dalam jumlah sedikit.
6. Pedagang kayu gergajian: merupakan pemilik modal dan sebagai pembeli kayu
gergajian dari industri penggergajian untuk dijual kembali ke lembaga pemasaran
berikutnya (los kayu atau industri barang jadi), terutama lintas kota, kabupaten,
atau provinsi. Peranannya sangat membantu industri penggergajian dalam
memasarkan dan memasok los kayu (toko material) dan industri barang jadi yang
berada di pusat perkotaan.
C. Pola Saluran Pemasaran
Hasil penelusuran data dan wawancara yang dibuat dalam bentuk pola saluran
pemasaran (alur tata niaga) produk kayu manglid sebagaimana disajikan pada
Gambar 2. Gambar ini menunjukan bahwa terdapat delapan pola saluran pema-
saran kayu manglid yang melibatkan beberapa tingkatan lembaga pemasaran. Pola
saluran pemasaran yang terjadi untuk sampai ke konsumen di Kabupaten
Tasikmalaya terdapat enam pola saluran pemasaran, sedangkan dua pola saluran
pemasaran tambahan untuk memenuhi konsumen di wilayah Bandung.
S. Mulyana
284 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Sumber: hasil penelusuran terhadap lembaga pemasaran 2013
Gambar 2. Bagan saluran pemasaran kayu manglid mulai dari Kabupaten Tasikmalaya sampai ke
Bandung.
D. Pemasaran
1. Harga Kayu Manglid
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, harga kayu manglid ketika
masih berdiri di kebun dan harga kayu gelondongan (log) di pinggir jalan disajikan
pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa adanya kisaran harga dikarenakan
harga masih berubah tetapi tetap di kisaran tersebut. Perubahan harga tergantung
pada keadaaan topografi dan jauh dekatnya transportasi ke industri penggergajian
ataupun konsumen.
8
7
8
7
7,8
3,6 3,6
2,5 2,4
1,4
P
E
T
A
N
I
Penyiar
(informan)
Industri
Gergajian
Los Kayu
/Toko
Material
Konsumen
Akhir
Industri
Barang
Jadi
Pedagang
Kayu
Gergajian
Los Kayu
/Toko
Material
Industri
Barang
Jadi
Ke Bandung
Kabupaten Tasik dan Ciamis
1,2,3
4,5,6
Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 285
Tabel 1. Kisaran harga kayu manglid sesuai kelas diameter di kebun dan log di pinggir jalan
No.
Kelas diameter
bebas cabang
batang
(Ø cm)
Tinggi
bebas
cabang
(m)
Harga
pohon masih berdiri
di kebun (Rp/m3)
Panjang
kayu
gelondongan
(m)
Harga
gelondongan (log) di
pinggir jalan (Rp/m3)
1. 10–15
≥4
150.000–250.000 1,3–1,6 300.000–450.000
2. 16–19 250.000–300.000 1, 3–2,0 500.000–600.000
3. 20–25 400.000–500.000 2,0–3,0 700.000–900.000
4. 26–30 600.000–900.000 2,0–3,0 1.000.000–2.000.000
5. 31-up 1.000.000- 1.500.000 2,0–3,0 1.000.000–2.000.000
Sumber: hasil pengolahan data 2013
2. Biaya Pemasaran
Hasil olah data biaya yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran
disajikan pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Biaya pemasaran setiap lembaga pemasaran komoditas kayu manglid Wilayah
Kabupaten Tasikmalaya dan sekitarnya.
Lembaga pemasaran
Biaya pemasaran dan Nilai jual (Rp/m3)
Produksi &
administrasi Pembelian Nilai jual Persentase (%)
a b c (a+b)/cx100%
Produsen (Petani)
- Produksi 157.724 - 1.000.000
Jumlah 157.724 1.000.000 15,77
Industri penggergajian 1 m3 log
- 1 m3 log 1.000.000
- Penebang+transportasi/m3 50.000 - -
- Administrasi 15.000 - -
- KayuBakar - - 10.000
- Gesek 175.000 - -
- Bahbir - - 20.000
- Kayu gergajian 70%x1 m3xRp2 juta - - 1.400.000
Jumlah 240.000 1.000.000 1.430.000 86,71
S. Mulyana
286 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Lembaga pemasaran
Biaya pemasaran dan Nilai jual (Rp/m3)
Produksi &
administrasi Pembelian Nilai jual Persentase (%)
a b c (a+b)/cx100%
Los Kayu (toko material)
- Kayu gergajian (0,7 m3xRp2 juta/m3) 1.400.000
- Administrasi 10.000 - -
- Transportasi 25.000
- Kayu gergajian 70%x1 m3xRp2,1 juta 1.470.000
Jumlah 35.000 1.400.000 1.470.000 97,62
Industri barang jadi
- Kayu gergajian (0,7 m3xRp2 juta/m3) 1.400.000
- Pembuatan 6 buah pintu panel
@Rp250.000 1.500.000 - -
- Transportasi 100.000 - -
- Pintu panel jadi 6 buah @Rp750.000 - - 4.500.000
Jumlah 1.600.000 1.400.000 4.500.000 66,67
Industri penggergajian via penyiar
- 1 m3 log 1.000.000
- Komisi 2,5% penyiar (imforman) 25.000
- Penebang+transportasi 50.000 - -
- Administrasi 15.000 - -
- Kayu bakar - - 10.000
- Gesek 175.000 - -
- Bahbir - - 20.000
- Kayu gergajian 70%x1 m3xRp2 juta - - 1.400.000
Jumlah 240.000 1.025.000 1.430.000 88,46
Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan besarnya biaya-biaya yang dikeluarkan
setiap lembaga pemasaran kayu manglid per m3. Biaya terkecil terdapat pada
produsen sebesar 15,17%; sedangkan lembaga pemasaran ≥60%, industri
penggergjian sekitar 86,71–88,71%, los kayu sekitar 93,33–97,62%, dan industri
barang jadi sekitar 66,67–79,69% dari nilai harga jual di setiap lembaga pemasaran.
Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 287
Tabel 3. Biaya pemasaran setiap lembaga pemasaran kayu manglid ke wilayah Bandung
Lembaga pemasaran
Biaya pemasaran dan Nilai jual (Rp/m3)
Produksi &
administrasi Pembelian Nilai jual Persentase (%)
a b c (a+b)/cx100%
Pedagang kayu gergajian antarkota
- Kayu gergajian (0,7 m3) 1.400.000
- Transportasi ke Bandung 150.000 - -
- Administrasi 25.000 - -
- Timbangan, pungutan, dll (8 m3/
truk) Rp150.000
18.750
- -
- Bongkar muat 30.000 - -
- Jual 0,7 m3 - - 1.925.000
Jumlah 223.750 1.400.000 1.925.000 84,35
Los Kayu (toko material) - 1.925.000 -
- Administrasi 10.000
- Transportasi 25.000
- Jual 0,7 m3 - 2.100.000
Jumlah 35.000 1.925.000 2.100.000 93,33
Industri barang jadi - 1.925.000 -
- Pembuatan 6 buah pintu panel
@Rp300.000
1.800.000
- -
- Transportasi 100.000 - -
- Pintu panel jadi 6 buah @Rp800.000 - - 4.800.000
Jumlah 1.900.000 1.925.000 4.800.000 79,69
Sumber: hasil pengolahan data 2013
3. Analisis Margin Pemasaran (Marketing Margin)
Margin pemasaran pada setiap pola saluran pemasaran dipengaruhi oleh
banyaknya lembaga pemasaran atau panjang pendek alur tata niaganya. Hasil
pengolahan data margin pemasaran disajikan pada Tabel 4, 5, dan 6.
S. Mulyana
288 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 4. Hasil analisis margin pemasaran kayu manglid pada saluran pemasaran I-III
Uraian kegiatan Saluran I Saluran II Saluran III
Rp/m3 % Rp/m3 % Rp/m3 %
Produsen (Petani)
- Produksi 157.724 11,03 157.724 10,73 157.724 3,50
- Harga jual 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22
Keuntungan 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72
Margin pemasaran 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72
Industri penggergajian
- Beli kayu 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22
- Administrasi 15.000 1,05 15.000 1,02 15.000 0,33
- Penebangan+transportasi 50.000 3,50 50.000 3,40 50.000 1,11
- Penggergajian/gesek 175.000 12,24 175.000 11,90 175.000 3,89
Total Biaya 1.240.000 86,71 1.240.000 84,35 1.240.000 27,56
Harga jual
- Kayu bakar 10.000 0,70 10.000 0,68 10.000 0,22
- Bahbir 20.000 1,40 20.000 1,36 20.000 0,44
- Kayu gergajian (rendemen
70% dari 1 m3)
1.400.000 97,90 1.400.000 95,24 1.400.000 31,11
Jumlah 1.430.000 100 1.430.000 97,28 1.430.000 31,78
Keuntungan 190.000 13,29 190.000 12,93 190.000 4,22
Margin pemasaran 430.000 30,07 430.000 29,25 430.000 9,56
Los kayu (toko material)
- Beli kayu gergajian
(rendemen 70% dari 1 m3)
1.400.000 95,24
- Administrasi 10.000 0,68
- Transportasi 25.000 1,70
Total Biaya 1.435.000 97,62
- Harga jual 1.470.000 100,00
Keuntungan 35.000 2,38
Margin pemasaran 70.000 4,76
Industri barang jadi
- Beli kayu gergajian
(rendemen 70% dari 1 m3)
1.400.000 31,11
- Biaya produksi pintu
6xRp250.000
1.500.000 33,33
- Transportasi 100.000 2,22
Total Biaya 3.000.000 66,67
- Harga jual 6xRp750.000 4.500.000 100,00
Keuntungan 1.500.000 33,33
Margin pemasaran 3.100.000 68,89
Sumber: hasil pengolahan data 2013
Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 289
Tabel 5. Hasil analisis margin pemasaran kayu manglid pada setiap saluran IV–VI
Uraian kegiatan Saluran IV Saluran V Saluran VI
Rp/m3 % Rp/m3 % Rp/m3 %
Produsen (Petani)
- Produksi 157.724 11,03 157.724 10,73 157.724 3,50
- Harga jual 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22
Keuntungan 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72
Margin pemasaran 842.276 58,90 842.276 57,30 842.276 18,72
Industri penggergajian
- Beli kayu 1.000.000 69,93 1.000.000 68,03 1.000.000 22,22
- Komisi 2,5% penyiar 25.000 1,75 25.000 1,70 25.000 0,56
- Administrasi 15.000 1,05 15.000 1,02 15.000 0,33
- Penebangan+transportasi 50.000 3,50 50.000 3,40 50.000 1,11
- Penggergajian/gesek 175.000 12,24 175.000 11,90 175.000 3,89
Total Biaya 1.265.000 88,46 1.265.000 86,05 1.265.000 28,11
Harga Jual
- Kayu bakar 10.000 0,70 10.000 0,68 10.000 0,22
- Bahbir 20.000 1,40 20.000 1,36 20.000 0,44
- Kayu gergajian (rendemen
70% dari 1 m3)
1.400.000 97,90 1.400.000 95,24 1.400.000 31,11
Jumlah 1.430.000 100 1.430.000 97,28 1.430.000 31,78
Keuntungan 165.000 11,54 165.000 11,22 165.000 3,67
Margin pemasaran 430.000 30,07 430.000 29,25 430.000 9,56
Los kayu (pengecer)
- Beli kayu gergajian
(rendemen 70% dari 1 m3)
1.400.000 95,24
- Administrasi 10.000 0,68
- Transportasi 25.000 1,70
Total Biaya 1.435.000 97,62
- Harga jual 1.470.000 100
Keuntungan 35.000 2,38
Margin pemasaran 70.000 4,76
Industri barang jadi
- Beli kayu gergajian
(rendemen 70% dari 1 m3)
1.400.000 31,11
- Biaya produksi pintu
6xRp250.000
1.500.000 33,33
- Transportasi 100.000 2,22
Total Biaya 3.000.000 66,67
- Harga jual 6xRp750.000 4.500.000 100
Keuntungan 1.500.000 33,33
Margin pemasaran 3.100.000 68,89
S. Mulyana
290 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 6. Hasil analisis margin pemasaran kayu manglid pada saluran pemasaran VII & VIII
Uraian kegiatan Saluran VII Saluran VIII
Rp/m3 % Rp/m3 %
Produsen (Petani)
- Produksi 157.724 7,51 157.724 3,29
- Harga jual 1.000.000 47,62 1.000.000 20,83
Keuntungan 842.276 40,11 842.276 17,55
Margin pemasaran 842.276 40,11 842.276 17,55
Industri penggergajian
- Beli kayu 1.000.000 47,62 1.000.000 20,83
- Administrasi 15.000 0,71 15.000 0,31
- Penebangan+transportasi 50.000 2,38 50.000 1,04
- Penggergajian/gesek 175.000 8,33 175.000 3,65
Total Biaya 1.240.000 59,05 1.240.000 25,83
Harga Jual
- Kayu bakar 10.000 0,48 10.000 0,21
- Bahbir 20.000 0,95 20.000 0,42
- Kayu gergajian (rendemen 70% dari 1 m3) 1.400.000 66,67 1.400.000 29,17
Jumlah 1.430.000 68,10 1.430.000 29,79
Keuntungan 190.000 9,05 190.000 3,96
Margin pemasaran 430.000 20,48 430.000 8,96
Pedagang kayu gergajian antarkota
- Beli kayu gergajian (0,7 m3) 1.400.000 66,67 1.400.000 29,17
- Administrasi 25.000 1,19 25.000 0,52
- Transportasi 150.000 7,14 150.000 3,13
- Timbangan, pungutan, dll (8 m3/truk)
Rp150.000 18.750 0,89 18.750 0,39
- Bongkar muat 30.000 1,43 30.000 0,63
Total Biaya 1.623.750 77,32 1.623.750 33,83
- Harga jual Rp2.750.000/m3 (0,7 m3) 1.925.000 91,67 1.925.000 40,10
Keuntungan 301.250 14,35 01.250 6,28
Margin pemasaran 525.000 25,00 525.000 10,94
Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 291
Uraian kegiatan Saluran VII Saluran VIII
Rp/m3 % Rp/m3 %
Los kayu (Pengecer)
- Beli kayu gergajian (0,7 m3) 1.925.000 91,67
- Administrasi 10.000 0,48
- Transportasi 25.000 1,19
Total Biaya 1.960.000 93,33
- Harga jual Rp3 juta/m3 (0,7 m3) 2.100.000 100
Keuntungan 140.000 6,67
Margin pemasaran 175.000 8,33
Industri barang jadi
- Beli kayu gergajian (0,7 m3)
1.925.000 40,10
- Biaya produksi pintu 6xRp300.000
1.800.000 37,50
- Transportasi
100.000 2,08
Total Biaya
3.825.000 79,69
- Harga jual 6xRp800.000
4.800.000 100,00
Keuntungan
975.000 20,31
Margin pemasaran 2.875.000 59,90
Tabel 4, 5, dan 6 menunjukkan margin pemasaran pada setiap pola saluran
pemasaran kayu manglid yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya sampai ke wilayah
Bandung, sebagi berikut:
Pola saluran pemasaran I; yang mana margin produsen (petani) sebesar 58,90%,
sedangkan industri penggergajian 30,07% dari nilai harga jual Rp1.430.000.
Keadaan ini dikarenakan bahan baku diperoleh secara langsung dari petani,
kemudian diproses menjadi kayu gergajian dan pemasaraannya langsung ke
konsumen akhir.
Pola saluran pemasaran II; komoditas kayu gergajian harus melewati dua lembaga
pemasaran sebelum ke konsumen akhir. Margin tertinggi masih pada produsen
sebesar 57,30%, sedangkan terendah pada los kayu (toko material) sebesar 4,76%
pada Saluran V dari nilai harga jual ke konsumen akhir Rp1.470.000.
Pola saluran pemasaran III; kayu manglid mengalami proses produksi yang kedua
untuk dijadikan produk baru. Margin pemasaran tertinggi diperoleh industri
S. Mulyana
292 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
barang jadi sebesar 68,89%, sedangkan terkecil diperoleh industri penggergajian
9,56% dari nilai harga jual Rp4.500.000 /m3 setelah berubah bentuk menjadi
enam buah pintu panel.
Pola saluran pemasaran IV; yang mana konsumen akhir secara langsung menda-
patkan layu gergajian dari industri penggergajian. Margin pemasaran tertinggi
diperoleh produsen sebesar 58,90%, sedangkan industri penggergajian
memperoleh 30,07% dari nilai harga jual ke konsumen akhir Rp1.430.000/m3.
Biaya produksi yang ditanggung oleh industri penggergajin lebih besar yaitu
88,46% dibandingkan dengan saluran I sebesar 86,71% dengan selisih 1,75%.
Besarnya biaya produksi dikarenakan adanya biaya komisi yang harus diberikan
kepada imforman sebesar 1,75%.
Pola saluran pemasaran ke V; margin pemasaran tertinggi diperoleh produsen
sebesar 57,30%, sedangkan terkecil diterima los kayu (toko material) sebesar
4,76% dari nilai harga jual Rp1.470.000/m3.
Pola saluran pemasaran ke VI; margin pemasaran tertinggi diperoleh industri
barang jadi sebesar 68,89%, sedangkan terkecil diperoleh industri penggergajian
9,56% dari nilai harga jual sebesar Rp4.500.000/m3 setelah berubah bentuk
menjadi enam buah pintu panel.
Pola saluran pemasaran ke VII; margin pemasaran tertinggi diperoleh produsen
sebesar 40,11%, kemudian pedagang kayu gergajian antarkota sebesar 25%,
sedangkan terkecil diperoleh los kayu (toko material) sebesar 8,33% dari nilai
harga jual Rp2.100.000/m3.
Pola saluran pemasaran ke VIII; margin pemasaran tertinggi terdapat pada
lemabaga industri barang jadi sebesar 59,90%, sedangkan yang terkecil pada
lembaga industri penggergajian 8,96% dari nilai harga jual Rp4.800.000/m3
setelah berubah bentuk menjadi enam buah pintu panel.
4. Analisis Margin Keuntungan (Profit Margin)
Margin keuntungan lembaga pemasaran pada setiap saluran pemasaran komo-
ditas kayu manglid disajikan pada Tabel 7.
Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 293
Tabel 7. Margin keuntungan lembaga pemasaran kayu manglid setiap saluran pemasaran
Saluran Pemasaran
Nilai (Rp/m3) Persentase
(%) Keterangan Produksi, administrasi,
& tata niaga Penjualan Keuntungan
Saluran Pemasaran I
Pemasaran di
Kabupaten
Tasikmalaya
dan
Kabupaten
Ciamis
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 58,90
Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 13,29
Saluran Pemasaran II
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 57,30
Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 12,93
Los kayu (pengecer) 1.410.000 1.470.000 60.000 2,38
Saluran Pemasaran III
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 18,72
Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 4,22
Industri barang jadi 3.000.000 4.500.000 1.500.000 33,33
Saluran Pemasaran IV
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 58,90
Penyiar komisi 2,5% - 25.000 25.000 1,75
Industri penggergajian 1.265.000 1.430.000 165.000 11,54
Saluran Pemasaran V
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 57,30
Penyiar komisi 2,5% - 25.000 25.000 1,70
Industri penggergajian 1.265.000 1.430.000 165.000 11,22
Loas kayu (pengecer) 1.435.000 1.470.000 35.000 2,38
Saluran Pemasaran VI
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 18,72
Penyiar komisi 2,5% - 25.000 25.000 0,56
Industri penggergajian 1.265.000 1.430.000 165.000 3,67
Industri barang jadi 3.000.000 4.500.000 1.500.000 33,33
Saluran Pemasaran VII
Pemasaran
ke
Bandung
Produsen (petani) 157.724 1.000.000 842.276 40,11
Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 9,05
Pedagang kayu gergajian 1.623.750 1.925.000 301.250 14,35
Los kayu (pengecer) 1.960.000 2.100.000 140.000 6,67
S. Mulyana
294 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Saluran Pemasaran
Nilai (Rp/m3) Persentase
(%) Keterangan Produksi, administrasi,
& tata niaga Penjualan Keuntungan
Saluran Pemasaran VIII
Produsen (Petani) 157.724 1.000.000 842.276 17,55
Industri penggergajian 1.240.000 1.430.000 190.000 3,96
Pedagang kayu gergajian 1.623.750 1.925.000 301.250 6,28
Industri barang jadi (1 m3) 3.825.000 4.800.000 975.000 20,31
Sumber: hasil pengolahan data tahun 2013
Tabel 7 menunjukkan bahwa produsen mendapat keuntungan dari hasil pen-
jualan komoditas kayu manglid sebesar Rp842.276/m3 dan ini terjadi pada semua
saluran pemasaran. Keadaan ini terjadi karena produsen memasarkan komoditas
kayu manglid dalam kondisi masih berupa pohon berdiri. Persentase keuntungan
produsen sangat bervariasi, yaitu sebesar 17,55–58,90%. Hal ini disebabkan adanya
perubahan bentuk pada lembaga pemasaran tertentu sehingga nilai jual ke konsumen
menjadi tinggi. Persentase keuntungan terkecil bagi produsen di bawah 20%
terdapat pada saluran pemasaran III dan VI (18,72%), serta VIII (17,5%); sedangkan
persentase terbesar terdapat pada saluran pemasaran I dan IV (58,90%), II dan V
(57,30%), serta saluran VII (40,11%). Lembaga pemasaran yang mendapatkan keun-
tungan tertinggi adalah industri barang jadi sebesar Rp1.500.000 (33,33%) yang
terdapat pada saluran pemasaran III dan VI di wilayah Kabupaten Tasikmalaya dan
Kabupaten Ciamis. Sementara itu, keuntungan Rp975.000 (20,31%) terdapat pada
saluran pemasaran VIII untuk pemasaran ke Bandung. Keuntungn terkecil diperoleh
lembaga pemasaran los kayu (toko material) sebesar Rp35.000 (2,38%) yang terdapat
pada saluran II dan V di wilayah Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis.
5. Bagian Petani (Farmer Share)
Bagian petani adalah indikator perbandingan harga yang harus dibayarkan
konsumen dengan harga yang diterima produsen (petani). Semakin tinggi margin
pemasaran maka semakin rendah bagian produsen (petani) karena analisis farmer
share memiliki hubungan negatif dengan margin pemasaran. Besaran persentase
Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 295
farmer share pada setiap saluran pemasaran untuk komoditas kayu manglid disajikan
pada Tabel 8.
Tabel 8. Bagian petani (farmer share) komoditas kayu manglid setiap saluran pamasaran
Saluran Pemasaran Harga di tingkat
produsen (Petani) (Rp)
Harga di tingkat
konsumen (Rp) Persentae (%)
Saluran Pemasaran I 1.000.000 1.430.000 69,93
Saluran Pemasaran II 1.000.000 1.470.000 68,03
Saluran Pemasaran III 1.000.000 4.500.000 22,22
Saluran Pemasaran IV 1.000.000 1.430.000 69,93
Saluran Pemasaran V 1.000.000 1.470.000 68,03
Saluran Pemasaran VI 1.000.000 4.500.000 22,22
Saluran Pemasaran VII 1.000.000 2.100.000 47,62
Saluran Pemasaran VIII 1.000.000 4.800.000 20,83
Sumber: hasil pengolahan data tahun 2013
Tabel 8 menunjukkan bahwa harga produk di tingkat petani pada semua pola
saluran pemasaran tetap. Besaran persentase farmer share tergantung pada jumlah
lembaga pemasaran yang terlibat dan bentuk produk olahan akhir. Persentase
farmer share tertinggi terdapat pada saluran I dan IV sebesar 69,93% yang mana
industri penggergajian menjual produk olahan langsung ke konsumen. Sementara
itu, persentase terkecil terdapat pada saluran VIII sebesar 20,83% karena bahan baku
dari petani mengalami dua kali proses pengolahan sebelum sampai ke konsumen.
6. Analisis Efisiensi Pemasaran (Mark-up on Selling)
Berdasarkan hasil analisis margin pemasaran, total keuntungan pada setiap
pola saluran pemasaran, total biaya pemasaran, dan farmer share; efisien pemasaran
dapat dilihat sebagaimana disajikan pada Tabel 9.
S. Mulyana
296 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Tabel 9. Perbandingan efisiensi pemasaran pada setiap saluran pemasaran komoditas kayu
manglid
Uraian Saluran Pemasaran
I II III IV V VI VII VIII
Total margin pemasaran (%) 93,41 91,31 97,17 88,97 91,31 97,17 93,92 97,35
Total biaya pemasaran (%) 16,79 18,70 40,88 18,54 20,40 41,44 22,31 49,25
Total keuntungan (%) 72,19 72,61 56,27 70,44 70,90 55,72 70,18 48,10
Farmer share (%) 69,93 68,03 22,22 69,93 68,03 22,22 47,62 20,83
Sumber: hasil pengolahan data tahun 2013
Tabel 9 menunjukkan bahwa total biaya pemasaran terkecil sebesar 16,79%
dengan farmer share tertinggi 69,93% dan biaya pemasaran terkecil terdapat pada
saluran I yang mana industri penggergajian secara langsung menjual ke konsumen.
Sementara itu, farmer share terendah sebesar 20,83% dengan total biaya pemasaran
49,25% terdapat pada saluran VIII dikarenakan komoditas kayu manglid lintas kota/
kabupaten membutuhkan biaya pemasaran cukup tinggi. Dengan demikian, pola
saluran pemasaran I ternyata lebih efisien dari kedelapan saluran pola pemasaran
komoditas kayu manglid.
IV. Kesimpulan
Keterbatasan tingkat pengetahuan, kemampuan, dan kebutuhan para petani
(produsen) menyebabkan pemasaran komoditas kayu manglid masih berupa pohon
berdiri di kebunnya. Keadaan ini memberikan peluang usaha dengan munculnya
berbagai tingkat lembaga pemasaran.
Terdapat delapan pola saluran pemasaran dalam proses produk kayu manglid
sampai ke konsumen akhir. Lembaga pemasaran yang memiliki peranan sangat
penting adalah 1) industri penggergajian yang dapat merubah bentuk dasar dari kayu
gelondongan (log) menjadi kayu gergajian (sawn timber) sehingga dapat digunakan
secara langsung atau sebagai bahan baku industri lainnya, dan 2) industri barang jadi
Kajian Pemasaran Kayu Mangl id …
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 297
yang dapat merubah kayu gergajian menjadi barang siap pakai (pintu panel, mebel,
kerajinan, dan lain-lain).
Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran komo-
ditas kayu manglid adalah sebagai berikut, petani sebesar 15,17%, industri pengger-
gajian sebesar 86,71–88,71%, los kayu sebesar 93,33–97,62%, dan industri barang
jadi sebesar 66,67–79,69% dari nilai harga jual. Margin pemasaran (marketing
margin) komoditas kayu manglid tertinggi diperoleh produsen sebesar 58,90% yang
terdapat pada pola saluran pemasaran I dan IV, sedangkan terkecil diperoleh los
kayu (toko material) sebesar 4,76% pada pola saluran pemasaran II dan V. Margin
keuntungan tertinggi diperoleh lembaga pemasaran industri barang jadi sebesar
33,33% pada pola saluran pemasaran III dan VI, sedangkan terkecil diperoleh los
kayu (toko material) sebesar 2,38% pada pola saluran pemasaran II dan V. Efisiensi
saluran pemasaran komoditas kayu manglid yang lebih efisien dari delapan saluran
adalah pada saluran I dengan total biaya pemasaran terkecil 16,79% dan farmer share
terbesar 69,93%.
Daftar Pustaka
Achmad, B., Mulyana, S., & Kuswantoro, D. P. (2006). Kajian implementasi tata
usaha dan tata niaga kayu rakyat di Kabupaten Garut. Paper presented at the
Seminar Hasil Penelitian Puslitbang Sosekjak, Bogor.
Achmad, B., Mulyana, S., Puspitojati, T., Darsono, & Sutrisna, N. (2009). Kajian
pemanfaatan dan pemasaran hasil hutan rakyat Laporan Hasil Penelitian.
Ciamis: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Bogor, Indonesia: Badan
Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan
Kotler, P. (2002). Manajemen pemasaran: Milenium Prenhalindo.
Rimpala. (2001). Penyebaran pohon manglid (Manglieta glauca BI) di kawasan
hutan lindung Gunung Salak Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. Bogor.
S. Mulyana
298 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Rohandi, A., Swestiani, D., Gunawan, Nadiharto, Y., Rahwaman, B., & Setiawan,
I. (2010). Identifikasi sebaran populasi dan potensi lahan jenis manglid untuk
pengembangan sumber benih dan hutan rakyat di wilayah Priangan Timur
Laporan Hasil Penelitian RISTEK.
Setyaningsih, L. (2008). Analisis rantai pemasaran produk agroforestry. Bogor:
World Agroforestry Center (ICRAF).
Sundawati, L. (2008). Pengembangan dan kelestarian agroforestry: Pemasaran
produk-produk agroforestry: World Agroforestry Center (ICRAF).
PENUTUP
BAB VIII
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 301
Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan
I. Pendahuluan
Keberadaan jenis manglid pada hutan rakyat di wilayah Priangan Timur men-
jadi awal untuk pengembangannya dari skala tradisional menjadi agribisnis yang
profesional. Masyarakat telah mengenal, menanam, memasarkan, dan memanfaat-
kan jenis ini secara tradisional. Hasil-hasil penelitian pada buku ini menjadi satu
tahapan untuk mendukung perbaikan pengelolaan hutan rakyat manglid menuju
arah yang lebih profesional berbasis informasi ilmiah.
Bab terakhir pada buku ini merupakan rangkuman hasil-hasil penelitian yang
diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya. Berdasarkan status riset tersebut, ulasan
ini disusun terkait peluang pengembangan hutan rakyat manglid dan implikasi
kebijakannya. Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi petani/
praktisi kehutanan khususnya hutan rakyat skala kecil dan menengah, peneliti/
akademisi, dan pengambil kebijakan.
II. Hutan Rakyat Manglid: Status Riset
Jenis manglid telah menjadi bagian dalam kehidupan sosial ekonomi dan
budaya para petani di Jawa Barat bagian timur. Namun demikian, penamaan jenis
berdasarkan nama lokal seringkali rancu dan tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan
dalam kajian-kajian yang bersifat ilmiah. Contohnya masyarakat di Tasikmalaya,
mereka mengenal beberapa sebutan untuk manglid, seperti manglid bodas, manglid
bulu, dan manglid tanduk. Masyarakat juga mengenal nama baros dan cempaka
yang secara morfologis memiliki kemiripan dengan manglid. Sebutan yang berbeda-
beda ini dapat menimbulkan kesimpangsiuran yang perlu diperjelas melalui
identifikasi secara ilmiah. Winara et al. menyebutkan bahwa jenis manglid yang
dikenal oleh masyarakat memiliki nama latin Magnolia champaca (L.) Baill. ex
Pierre. Selain itu, terdapat satu variasi manglid yang teridentifikasi hingga tingkat
varietas, yaitu Magnolia champaca var. pubinervia (Blume) Figlar & Noot. Hasil
302 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
pengamatan juga menunjukkan adanya variasi morfologi manglid pada bagian daun,
bunga, batang, dan tajuk.
Hutan rakyat manglid di wilayah Priangan Timur telah berkembang dengan
baik. Achmad menggambarkan dominasi jenis manglid ini di berbagai wilayah di
Kabupaten Tasikmalaya. Berdasarkan hasil penelitian Rohandi & Gunawan,
tanaman manglid di wilayah Priangan Timur tersebar pada jenis tanah latosol,
andosol, latosol dan andosol, alluvial, dan podsolik merah kuning pada ketinggian
400–1.200 m dpl dengan curah hujan 1.500–3.500 mm/tahun dan kelerengan 0–
45%.
Sebagaimana umumnya karakteristik hutan rakyat, tanaman manglid
seringkali ditanam masyarakat bersama jenis-jenis lainnya. Hal ini dibahas oleh
Rohandi & Gunawan bahwa tanaman manglid di wilayah Priangan Timur
mempunyai karakteristik tipe tegakan yang didominasi hutan campuran berasosiasi
dengan jenis sengon, suren, tisuk, khaya, kaliandra, alpokat, dan kayu manis. Umur
tegakan didominasi tegakan muda umur 1–10 tahun, tinggi sekitar 4–36 m, dan
diameter 3–72 cm. Sementara itu, hasil penelitian Achmad di beberapa wilayah di
Kabupaten Tasikmalaya menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat manglid sekitar
10–16 m3/ha.
Achmad juga membahas keterbatasan lahan milik petani yang menjadi faktor
pembatas perkembangan jenis manglid. Masyarakat cenderung menanam manglid
terlalu rapat sehingga pertumbuhan individu pohon menjadi lebih rendah. Achmad
pun menggarisbawahi peluang pola tanam agroforestri jenis manglid ini yang
dikombinasikan dengan tanaman bawah untuk diversifikasi pendapatan petani.
Teknik budi daya manglid umumnya dilakukan oleh petani secara tradisional
berdasarkan pengalamannya. Oleh karena itu, input teknologi pada aspek budi daya
ini merupakan salah satu faktor yang penting untuk mendukung peningkatan
produktivitas hutan rakyat manglid. Sudomo menguraikan beberapa hasil
penelitiannya, mulai dari persemaian, penanaman di lapangan, hingga pemanenan.
Menurut Sudomo, bibit berkualitas di persemaian dapat diperoleh melalui beberapa
tahapan, yaitu penaburan benih pada media abu sekam padi, penyapihan dengan
media tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1), dan perlakuan intensitas
Penutup [Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan]
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 303
naungan sebesar 40%. Sementara itu, peningkatan keberhasilan stek pucuk dapat
dilakukan dengan teknik juvenilisasi dan bahan stek dioles hormon Rootone-F®.
Pengaturan ruang tumbuh melalui penentuan jarak tanam 2 m x 2 m menurut
Sudomo memberikan hasil pertumbuhan manglid. Pemeliharaan tanaman manglid
berupa pemangkasan perlu dilakukan untuk mendapatkan batang berkualitas dan
memberi ruang tumbuh tanaman bawah dalam pola tanam agroforestri. Sistem
silvikultur tebang habis permudaan terubusan potensial diaplikasikan dalam
pembangunan hutan rakyat manglid. Pemilihan dan pemeliharaan terhadap
terubusan yang tumbuh dapat dilakukan untuk menghasilkan batang berkualitas.
Jenis manglid juga dapat dikembangkan sebagai tanaman pokok dalam pola
tanam agroforestri. Bahkan, Sudomo membahas bahwa agroforestri manglid+jagung
menghasilkan pertumbuhan tinggi manglid yang lebih baik. Sementara itu, sistem
sistem silvikultur agroforestri manglid+suweg dilaporkan mampu meningkatkan
persentase kandungan protein umbi.
Pembangunan hutan manglid tidak terlepas dari adanya potensi gangguan
serangan hama dan penyakit. Suhaendah & Winara membahas beberapa hama yang
tergolong berpotensi merugikan secara ekonomi karena dapat menyebabkan kema-
tian tegakan, yaitu hama penghisap Hamamelistes sp. dan Urostylis sp. Kedua jenis
hama ini dapat dikendalikan secara kuratif dengan penyemprotan insektisida bio-
logis jenis Bacillus thuringiensis. Sementara itu, serangan penyakit yang berpotensi
merugikan hingga menyebabkan kematian adalah busuk akar pada tegakan. Pengen-
dalian busuk akar ini dapat dilakukan dengan menggunakan agen antagonis
Tricoderma spp.
Penentuan waktu penebangan manglid merupakan salah satu pertimbangan
yang penting untuk menghasilkan produksi yang optimal. Indrajaya mengulas bahwa
berdasarkan daur biologis, tegakan manglid akan optimal dipanen pada umur 16,5
tahun. Namun demikian, hasil analisis dengan pendekatan Faustmann (daur
ekonomi) menunjukkan bahwa keuntungan akan diperoleh secara optimal dengan
menebang manglid pada umur 13,5 tahun. Pertumbuhan yang relatif lambat pada
tegakan manglid ini diduga yang menjadi penyebab daur optimal finansial lebih
pendek dibandingkan dengan daur biologisnya. Hal ini berbeda dengan jenis-jenis
304 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
lain yang sering ada di hutan rakyat seperti sengon atau jabon, yang mana pertum-
buhannya relatif cepat sehingga daur finansialnya sama dengan daur biologisnya.
Daur optimal pemanenan manglid dapat berubah jika ada komponen peng-
hasilan lainnya selain kayu manglid. Indrajaya menganalisis pengaruh adanya
penghasilan tambahan yang diperoleh dari jasa lingkungan perdagangan karbon
terhadap daur optimal manglid. Menurut Indrajaya, tambahan pendapatan jasa
lingkungan karbon akan memperpanjang daur tebangan tegakan manglid. Daur
optimal hutan tanaman manglid apabila hanya mempertimbangkan kayu sebagai
satu-satunya pendapatan adalah 14 tahun, pada tingkat harga karbon sebesar USD5,
10, 20, dan 30/ton CO2 eq., daur optimal produksi bersama kayu dan karbon
dengan metode VCS pada proyek aforestasi berturut-turut 14, 14, 15, dan 16 tahun.
Selain itu, harga karbon juga akan memengaruhi daur, yang mana semakin tinggi
harga karbon menyebabkan semakin panjang daur tebang tegakan manglid.
Tegakan manglid selain memberikan manfaat secara ekonomi, tanaman ini
juga dapat berperan dalam menyerap karbon dioksida di udara dan mengatur tata
air. Siarudin & Indrajaya membahas pola agroforestri manglid di Tasikmalaya dan
menemukan bahwa jumlah karbon tersimpan dalam biomassa di atas dan di bawah
permukaan tanah pada agroforestri manglid berturut-turut sebesar 44 ton/ha dan
101 ton/ha. Sementara itu, hasil penelitian aspek hidrologi yang diuraikan
Handayani diketahui bahwa pola agroforestri manglid+ganyong menghasilkan aliran
permukaan dan erosi lebih rendah daripada monokultur; sebaliknya, pola
agroforestri manglid +suweg dan manglid+talas menghasilkan erosi dan aliran
permukaan lebih besar daripada pola monokultur. Rendahnya erosi dan aliran
permukaan pola agrofrestry manglid+suweg diduga disebabkan tingkat pengolahan
lahan yang rendah. Kondisi ini akan menghasilkan rumput dan serasah yang dapat
menutup rapat permukaan tanah sehingga dapat menekan proses erosi dan aliran
permukaan. Pada skala lansekap, Junaidi dalam penelitiannya di DAS Citanduy
Hulu menemukan bahwa tutupan lahan manglid berkontribusi positif terhadap tata
air DAS dibandingkan dengan tutupan lahan lainnya (pemukiman, pertanian, dan
sawah). Sumbangan aliran sungai yang berasal dari tutupan lahan manglid sebagian
Penutup [Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan]
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 305
besar berasal dari aliran lateral dan aliran dasar dibandingkan dengan sumbangan
yang berasal dari aliran permukaan.
Penanganan pascapanen merupakan salah satu tahapan penting dalam penge-
lolaan hutan rakyat manglid untuk mencapai produktivitas yang optimal. Siarudin &
Widiyanto mengawali pembahasan pada bagian ini dengan menyampaikan
informasi dasar sifat fisik dan pemesinan kayu manglid. Menurut Siarudin &
Widiyanto, sifat-sifat tersebut antara lain kadar air segar kayu manglid 168,7% dan
berat jenis kering tanur 0,38, nilai penyusutan pada arah longitudinal 1,51%,
penyusutan arah radial 4,08%, penyusutan arah tangensial 5,84%, serta rasio penyu-
sutan tangensial dan radial 1,54. Sifat fisik kayu manglid pada arah aksial dan radial
bervariasi untuk kadar air segar dan berat jenis, sedangkan kadar air kering udara dan
perubahan dimensinya relatif seragam. Kayu manglid memiliki mutu pemesinan
yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta
memiliki mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran,
dan pembubutan. Berdasarkan sifat fisik dan pemesinan tersebut, kayu manglid
cukup sesuai untuk dimanfaatkan sebagai produk yang memerlukan tampilan halus
dan konstruksi ringan, seperti mebel dan produk kerajinan.
Kayu manglid memiliki karakteristik dolok yang relatif lurus, silindris, dan
bundar sehingga memudahkan dalam proses pengerjaan kayunya, terutama di
penggergajian. Menurut Siarudin, dolok manglid memiliki nilai kebundaran
92,18%, keruncingan 1,06 cm/m, dan kelengkungan 6,72%. Uji coba pola peng-
gergajian menunjukkan bahwa pola penggergajian satu sisi dan pola penggergajian
semiperempatan menghasilkan rendemen yang relatif seragam (62–63%), namun
berbeda sangat nyata pada efisiensi menggergaji, produktivitas, dan lebar papan yang
dihasilkan. Pola penggergajian satu sisi menghasilkan efisiensi dan produktivitas
yang lebih tinggi dengan papan yang lebih lebar dibandingkan dengan pola semi-
perempatan. Berdasarkan hal ini, penggergajian pola satu sisi cukup disarankan
untuk tujuan menghasilkan papan lebar, sedangkan pola penggergajian semi-
perempatan dapat menjadi alternatif untuk menghasilkan papan dengan tampilan
serat yang lebih indah (fancy).
306 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
Walaupun beberapa ahli telah mengelompokkan kayu manglid ke dalam kelas
awet II, serangan agen perusak kayu (terutama rayap) merupakan salah satu
tantangan dalam penggunaan kayu manglid. Upaya pencegahan kerusakan kayu
melalui perlakuan pengawetan sangat penting dalam rangka peningkatan mutu dan
masa pakai. Suhaendah & Siarudin menyampaikan hasil penelitiannya bahwa
perlakuan konsentrasi larutan bahan pengawet dan lama perendaman berpengaruh
nyata terhadap penetrasi bahan pengawet pada kayu manglid, yaitu terdapatnya
kecenderungan peningkatan penetrasi dengan meningkatnya konsentrasi larutan
pengawet dan lama perendaman. Berdasarkan persyaratan SNI untuk perumahan
dan gedung, pengawetan kayu manglid dengan bahan pengawet CCB yang
disarankan adalah dengan konsentrasi 15% dan lama perendaman tujuh hari, atau
konsentrasi 20% dengan lama perendaman tiga hari.
Aspek ekonomi merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengem-
bangan kayu manglid. Dalam konteks hutan rakyat, kontribusi pendapatan dari kayu
manglid terhadap total pendapatan dari hutan rakyat dibahas oleh Diniyati untuk
kasus di Tasikmalaya. Dalam penelitiannya, Achmad & Diniyati menemukan bahwa
kontribusi pendapatan kayu manglid di Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan
Karyabakti berturut-turut sebesar 56,7%, 32,7%, dan 21,5%. Pada penelitian
Diniyati & Widyaningsih di lokasi yang sama, nilai NPV dari pengusahaan hutan
rakyat manglid dengan luasan <0,25 ha di Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal, dan
Karyabakti berturut-turut sebesar Rp770.717, Rp4.275.748, dan Rp2.556.662
dengan nilai B/CR berturut-turut sebesar 1,31; 1,65; dan 2,88. Sementara itu,
Indrajaya & Sudomo dalam penelitiannya di Ciamis dan Tasikmalaya menemukan
bahwa nilai NPV pola agroforestri manglid-palawija-umbi sebesar Rp22.420.000
dengan nilai IRR sebesar 6% dan nilai B/CR sebesar 1,2. Hasil penelitian dalam
bagian ekonomi manglid menunjukkan bahwa jenis ini masih layak secara finansial
pada pola hutan rakyat dengan luasan kecil ataupun dengan pola agroforestri.
Pada bagian hilir pengelolaan kayu manglid, aspek pemasaran telah dibahas
oleh Mulyana. Penelitian Mulyana menunjukkan bahwa terdapat delapan saluran
pemasaran kayu manglid yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, yaitu enam saluran
untuk konsumsi di dalam Kabupaten Tasikmalaya dan dua saluran untuk peme-
Penutup [Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan]
H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan | 307
nuhan kebutuhan di wilayah Bandung. Margin pemasaran petani tertinggi sebesar
58,9%, yaitu pada saluran pertama yang mana petani menjual kayu manglid kepada
industri penggergajian yang selanjutnya menjualnya ke konsumen akhir. Margin
pemasaran terkecil sebesar 4,76% diperoleh oleh los kayu pada saluran ke-5. Bagian
petani tertinggi adalah 69% yang diperoleh ketika petani menjual kayu manglid
langsung kepada penggergajian yang hasilnya langsung dipasarkan kepada konsumen
akhir.
III. Pengembangan dan Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil status riset ini, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam pengembangan hutan rakyat manglid dan implikasi kebijakannya, antara lain:
1. Kejelasan taksonomi jenis manglid diperlukan agar kajian-kajian ilmiah yang
berkaitan dengannya dapat mendukung pengembangan jenis ini secara lebih
intensif.
2. Data dan informasi potensi dan sebaran manglid memudahkan pembuatan
dokumentasi benih yang mencantumkan kondisi tegakan, data ekologi, asal
benih/sejarah genetik benih, dan proses penanganan benihnya. Melalui hasil
eksplorasi manglid ini, pemerintah dapat memfasilitasi pembangunan sumber
benih, bank benih, dan penyelamatan plasma nutfah atau konservasi genetik ex
situ dengan keragaman yang sama dan sebaran populasi alaminya.
3. Penggunaan kayu manglid perlu dilakukan secara tepat sesuai dengan karak-
teristik sifat dasarnya, yaitu untuk penggunaan kontruksi ringan dan pem-
buatan mebel. Selain itu, pengguna kayu perlu didorong untuk meningkatkan
kualitas kayu melalui perlakuan pengeringan dan pengawetan sehingga
hasilnya diharapkan dapat mengantisipasi risiko cacat kayu dan meningkatkan
masa pakai kayu.
4. Pemerintah perlu memfasilitasi peningkatan kapasitas petani dalam hal teknik
budi daya, pengolahan dan peningkatan nilai tambah produk kayu manglid,
pengolahan limbah tebangan dan limbah pengolahan kayu manglid, serta
penguatan kelembagaan pemasaran.
308 | H u t a n R a ky a t M a ng l i d ; Status Riset dan Pengembangan
5. Jenis manglid dapat dikembangkan dalam pola agroforestri dikombinasikan
dengan berbagai jenis tanaman bawah yang sesuai dan bernilai ekonomi tinggi.
Hal ini dimaksudkan agar petani dapat mengatur jarak tanam manglid lebih
lebar sehingga mengurangi persaingan nutrisi dan cahaya antarpohon, selain
memberi ruang untuk penanaman tanaman bawah. Keberadaan tanaman
bawah juga diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan jangka pen-
dek dan menengah bagi petani. Selanjutnya, adanya penghasilan tambahan
tersebut diharapkan dapat memberikan keleluasaan bagi petani untuk menung-
gu manglid dapat dipanen pada waktu yang optimal secara ekonomi.
6. Mengingat manglid tumbuh pada dataran tinggi (400–1.200 m dpl) dengan
curah hujan tinggi (1.500–3.500 mm/tahun), pemilihan tanaman bawah yang
sesuai dibudidayakan bersama dengan manglid dengan pola agroforestri adalah
tanaman dataran tinggi yang basah. Secara umum, terdapat tiga kelompok
tanaman bawah yang disarankan untuk dikembangkan bersama dengan
manglid. Pertama; tanaman semusim kacang-kacangan dan serealia, seperti
kedelai, kacang tanah, kacang hijau, padi, jagung, dan sorgum. Tanaman
bawah ini sesuai dibudidayakan pada saat permudaan hutan. Kedua; tanaman
umbi-umbian dan obat-obatan, seperti talas, iles-iles, kencur, kunyit, jahe, dan
kapulaga. Tanaman bawah tersebut diketahui tahan naungan sehingga dapat
dibudidayakan sepanjang daur hutan rakyat manglid. Ketiga; tanaman perdu
tahan naungan, seperti kopi robusta dan kopi arabika. Tanaman ini dapat
dibudidayakan sepanjang daur hutan rakyat manglid.
Diterbitkan untuk:
BALAIPENELITIANDANPENGEMBANGANTEKNOLOGIAGROFORESTRYBADANPENELITIAN,PENGEMBANGAN,DANINOVASI
KEMENTERIANLINGKUNGANHIDUPDANKEHUTANAN
KOMENTAR TOKOH TENTANG BUKU MANGLID
Hutan Rakyat Manglid: Status Riset dan Pengembangan is an excellent addition to
the natural resources, forestry, and agroforestry literature. Manglid ( Magnolia champaca and related species) are versatile indigenous species, primarily used as
timber and ornamentals. Unfortunately, the species have not received sufficient
attention, with little tree improvement or domestication work undertaken to date.
is timely volume compiles important knowledge and will certainly expand the use
and contribution of manglid to forest landscape restoration and livelihood enhancement.
James M. Roshetko, PhD Leader Trees, Agroforestry Management and Market Unit World Agroforestry Centre Southeast Asia Regional Program Hutan atau kebun pepohonan yang dikelola oleh petani mempunyai kontribusi yang
cukup signifikan dalam mempertahankan fungsi lingkungan dan penghidupan petani
itu sendiri sehingga perlu dikembangkan lebih luas. Kehadiran buku “Hutan Rakyat
Manglid” yang disusun oleh Tim BPPTA Ciamis sangatlah ‘tepat waktu’ dan patut
dimiliki oleh para peneliti maupun praktisi di bidang kehutanan dan agroforestri,
sekaligus sebagai acuan dalam memahami seluk-beluk permasalahan yang umum
muncul dalam mengelola hutan rakyat. Buku ini merupakan rangkum an hasil
penelitian yang mengulas secara komprehensif aspek-aspek yang terkait dengan
pengelolaan hutan rakyat manglid, mulai dari aspek budi daya dan pengelolaan, sosial
ekonomi dan pemasaran, hingga aspek lingkungan. Buku ini dapat menjadi contoh
bagaimana menyampaikan berbagai hasil penelitian menjadi satu kajian yang terpadu.
Betha Lusiana, PhD
Senior Researcher
World Agroforestry Centre Southeast Asia Regional Program