15
1 Pengantar Dalam beberapa waktu terakhir, bisnis keluarga mendapat perhatian yang cukup besar dalam perkembangan kewirausahaan secara global. Sekarang ini, sebagian besar bisnis yang kita lihat adalah bisnis keluarga dan bisnis-bisnis tersebut telah dicatat sebagai jumlah persentase terbesar dari jenis bisnis di banyak negara (Kuratko & Richard, 2004). Keterlibatan dari anggota keluarga merupakan kunci dari pembeda bisnis keluarga dengan non-bisnis keluarga. Definisi dari bisnis keluarga sendiri terdiri dari banyak aspek seperti kepemilikan, keterlibatan dalam manajemen, kontrol terhadap strategi, bisnis sebagai sumber pemasukan utama bagi keluarga, dan transfer antar generasi (Collins & O’Regan, 2011). Dalam penelitian Ayranci (2010) menyebutkan ada satu titik terang mengenai definisi bisnis keluarga: “Keluarga” memberikan penekanan definisi dari bisnis keluarga. Secara lebih lanjut, penekanan ini tampaknya relevan dengan peran anggota keluarga: keluarga sebagai pemilik bisnis (Donckels & Frohlich, 1991), manajer bisnis (Dunn, 1996), penerus (Donnely, 1964), atau pekerja (Shanker & Astrachan, 1996). Lebih lanjut, Astrachan, Klein & Smyrnios (2002) menyatakan bahwa beberapa penelitian menyatakan bahwa tidak perlu untuk mendefinisikan bisnis keluarga, sebagai sebuah bisnis keluarga harus disadari bahwa “bisnis keluarga” merujuk pada bagaimana dan seberapa besar keluarga terlibat dalam bisnis tersebut. Davis dan Tagiuri (1991) mengidentifikasi tiga kategori dari pemilik usaha (mereka yang berkepentingan terkait dengan keberlangsungan hidup dalam bisnis) dalam bisnis keluarga: pemilik, karyawan, dan anggota keluarga. Secara lebih lanjut Bird, Welsch, Astrachan, dan Pistrui (2002) menyatakan bahwa bisnis keluarga memiliki karakter yang sama dengan perusahaan kecil dimana bisnis keluarga memiliki fleksibilitas dan ketangkasan yang memungkinkan mereka untuk mengontrol atau bermanuver yang dilakukan oleh pemilik-manager yang juga menjadi anggota keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Danes dan Olson (2003) menyebutkan bahwa seringkali karakteristik peran perempuan dalam bisnis keluarga diumpamakan sebagai “ the invisible woman(perempuan yang

Pengantar - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78055/potongan/S2-2014... · (Doherty dkk. 1991, dalam Vadnjal & Zupan, 2009). Menurut Paullay dkk. (1994)

Embed Size (px)

Citation preview

1

Pengantar

Dalam beberapa waktu terakhir, bisnis keluarga mendapat perhatian yang

cukup besar dalam perkembangan kewirausahaan secara global. Sekarang ini,

sebagian besar bisnis yang kita lihat adalah bisnis keluarga dan bisnis-bisnis

tersebut telah dicatat sebagai jumlah persentase terbesar dari jenis bisnis di banyak

negara (Kuratko & Richard, 2004). Keterlibatan dari anggota keluarga merupakan

kunci dari pembeda bisnis keluarga dengan non-bisnis keluarga. Definisi dari bisnis

keluarga sendiri terdiri dari banyak aspek seperti kepemilikan, keterlibatan dalam

manajemen, kontrol terhadap strategi, bisnis sebagai sumber pemasukan utama bagi

keluarga, dan transfer antar generasi (Collins & O’Regan, 2011).

Dalam penelitian Ayranci (2010) menyebutkan ada satu titik terang

mengenai definisi bisnis keluarga: “Keluarga” memberikan penekanan definisi dari

bisnis keluarga. Secara lebih lanjut, penekanan ini tampaknya relevan dengan peran

anggota keluarga: keluarga sebagai pemilik bisnis (Donckels & Frohlich, 1991),

manajer bisnis (Dunn, 1996), penerus (Donnely, 1964), atau pekerja (Shanker &

Astrachan, 1996). Lebih lanjut, Astrachan, Klein & Smyrnios (2002) menyatakan

bahwa beberapa penelitian menyatakan bahwa tidak perlu untuk mendefinisikan

bisnis keluarga, sebagai sebuah bisnis keluarga harus disadari bahwa “bisnis

keluarga” merujuk pada bagaimana dan seberapa besar keluarga terlibat dalam

bisnis tersebut. Davis dan Tagiuri (1991) mengidentifikasi tiga kategori dari

pemilik usaha (mereka yang berkepentingan terkait dengan keberlangsungan hidup

dalam bisnis) dalam bisnis keluarga: pemilik, karyawan, dan anggota keluarga.

Secara lebih lanjut Bird, Welsch, Astrachan, dan Pistrui (2002) menyatakan

bahwa bisnis keluarga memiliki karakter yang sama dengan perusahaan kecil

dimana bisnis keluarga memiliki fleksibilitas dan ketangkasan yang memungkinkan

mereka untuk mengontrol atau bermanuver yang dilakukan oleh pemilik-manager

yang juga menjadi anggota keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Danes dan

Olson (2003) menyebutkan bahwa seringkali karakteristik peran perempuan dalam

bisnis keluarga diumpamakan sebagai “the invisible woman” (perempuan yang

2

tidak terlihat). Beberapa penjelasan dari fenomena ini menitik beratkan pada peran

dan aturan-aturan dalam sistem keluarga (yang lebih kepada spesifikasi gender)

yang seringkali tanpa disadari terintegrasi kedalam budaya bisnis keluarga

(Hollander & Bukowitz, 1996). Gender merupakan sebuah kumpulan stereotip.

Stereotip gender setidaknya mencakup lima area: sifat kepribadian, peran dalam

keluarga, peran dalam pekerjaan, gaya personal, aktivitas diwaktu luang, dan

penampilan (Deaux, 1999; Galliano G, 2003). Gender merupakan kumpulan dari

perbedaan yang bisa diamati antara perempuan dan laki-laki (Galliano, 2003).

Penelitian tentang keaktifan dan terlihatnya peran wanita dalam literatur

bisnis keluarga masih sedikit dilakukan (Hollander & Bukowitz, 1996; Danes &

Olson, 2003). Kebanyakan penelitian yang dilakukan pada tahun sebelum 1980an

menyimpulkan bahwa perbedaan gender secara jelas ada dalam perilaku manajerial

dan strategi kewirausahaan (Powell & Ansic, 1997; Sonfield, Lussier, Corman, &

McKinney, 2001; Sonfield & Lussier, 2004). Secara lebih spesifik, mayoritas studi

menyatakan bahwa perempuan lebih berhati-hati, kurang percaya diri, kurang

agresif, gampang untuk dipengaruhi, dan memiliki kepemimpinan yang inferior dan

inferioritas tersebut muncul dalam kemampuan memecahkan masalah ketika

membuat keputusan yang beresiko (Johnson & Powell, 1994; Sonfield & Lussier,

2004).

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Duller (2013) menyatakan

bahwa secara tradisional, perempuan dalam bisnis keluarga berperan sebagai

pendukung yang mengacu pada keluarga bukan pada bisnis (Ward & Sorenson,

1989), dan sekarang ini, jumlah perempuan yang secara aktif ikut berperan dalam

bisnis keluarga semakin bertambah (Cole, 1997). Beberapa dari penelitian terbaru

telah bergerak di luar isu-isu perilaku manajemen dan kinerja, dan penelitian

dilakukan terhadap pengusaha perempuan dalam berbagai perspektif teoritis (Bird

& Brush, 2002). Meskipun demikian penelitian empiris terkait perempuan dalam

manajemen dan kewirausahaan belum sepenuhnya menyediakan berbagai

penemuan dan masih saja terdapat banyak kesenjangan (Brush, 1997; Sonfield &

Lussier, 2004).

3

Bisnis keluarga dapat dilihat sebagai sistem yang komplek terdiri dari

“keluarga” dan “bisnis” (Lansberg, 1983). Subsistem “keluarga” terkait dengan

sifat-sifat yang biasa diasosiasikan dengan perempuan seperti emosi, rasa

keterlibatan, orientasi pada manusia, budaya, nilai, dan tradisi. Subsistem “bisnis”

diasosiasikan dengan sifat-sifat seperti rasionalitas, kemampuan untuk bersaing,

tujuan dan kinerja (Hammer & Hinterhuber, 1993; Duller, 2013).

Ada satu penelitian yang dilakukan oleh Danes dan Olson (2003) yang

membahas tema keterlibatan peran wanita dalam bisnis keluarga. Penelitian

tersebut mengambil sampel 391 pasangan pemilik usaha dimana suami adalah

pemilik bisnis, salah satu hasil dari penelitian tersebut adalah empat puluh dua

persen dari istri dianggap sebagai pembuat keputusan utama. Artinya istri memiliki

peran yang cukup besar sebagai pembuat keputusan dalam keberlangsungan bisnis.

Ketika anggota keluarga (dalam hal ini adalah suami & istri) bekerja bersama, pola

perilaku, nilai, keyakinan, dan harapan seringkali ditularkan (biasanya secara tidak

sengaja) terhadap lingkungan kerja dalam lingkup bisnis keluarga (Hollander &

Bukowitz, 1996). Peran perempuan dalam bisnis keluarga disadari sebagai sesuatu

yang penting, tetapi peran perempuan tersebut seringkali tidak disadari dalam

pengambilan keputusan bisnis yang mendukung domain bisnis laki-laki, hal ini

jarang sekali disadari dan dihargai (Vadnjal & Zupan, 2009).

Salah satu jenis bisnis keluarga yang melibatkan istri (perempuan) dalam

roda bisnisnya adalah industri batik. Maziyah (2007) menyebutkan tentang

penelitian yang dilakukan oleh Soedarmono (1987) yang meneliti mengenai

munculnya kelompok pengusaha batik di Laweyan pada awal abad ke-20, melihat

bahwa perempuan pengusaha batik memegang peranan yang sangat dominan dalam

keluarga dan bisnis. Sejalan dengan penelitian Soedarmono, Saptasari & Holzner

(1997) mengungkapkan bahwa perempuan di Indonesia menjadi sumber daya

manusia yang produktif dan sangat terlibat dalam kegiatan ekonomi di berbagai

sektor. Tetapi ketika perempuan cenderung tampil sebagai perempuan pengusaha,

penelitian terhadap perempuan dalam bisnis keluarga menunjukkan bahwa

mayoritas perempuan harus tetap berada di belakang layar, tetap “tak terlihat”

4

(Cole, 1997; Fitzgerald dan Muske, 2002), bertentangan dengan level feminisme

(Vadnjal & Zupan, 2009).

Industri batik merupakan industri kecil yang dilakukan rakyat dalam

lingkungan rumah tangga pemilik perusahaan (Maziyah, 2007). Mata pencaharian

pokok penduduk Pekalongan ialah pembatikan dan pertekstilan yang banyak

dilakukan oleh orang Jawa, Cina, dan Arab. Pembatikan merupakan bagian yang

terbesar, baik jumlah perusahaannya maupun produksinya. Industri batik yang

termasuk ke dalam UKM (Usaha Kecil Menengah) biasanya dilakukan dalam

lingkungan rumah. Industri ini juga dilakukan secara turun temurun dalam

keluarga. Dalam keluarga yang bergerak di industri batik, biasanya melibatkan

peran serta suami dan istri dalam pengembangan bisnis usaha batiknya. Bahkan tak

jarang yang akhirnya anak keturunan mereka juga terlibat dalam pengembangan

bisnis keluarga ini. Bisnis keluarga harus menghargai interaksi dan keterlibatan dari

para anggota keluarga dan bentuk hubungan ini dapat meningkatkan modal sosial

yang akan membantu menciptakan keunggulan kompetitif (Pearson dkk., 2008).

Menurut data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kota Pekalongan menunjukkan hingga

semester II tahun 2012, jumlah industri batik di daerah itu sebanyak 634 unit usaha,

dengan 9.992 tenaga kerja. Di luar industri batik, antara lain industri tenun,

aksesori, tekstil, dan bordir (Asdhiana, 2013).

Pada tanggal 2 Oktober 2009, Batik Indonesia secara resmi diakui UNESCO

dengan dimasukkan kedalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-Benda

Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of

Humanity) dalam sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (Fourth Session of the

Intergovernmental Committee) tentang Warisan Budaya Tak-benda di Abu Dhabi

(Kutnadi, 2012). Dan pemerintah Indonesia-pun menetapkan tanggal 2 Oktober

sebagai hari batik nasional (Suryanto, 2009).

Namun Indonesia dan khususnya para pengusaha batik harus menghadapi

persaingan produk batik dari China setelah pemberlakuan perdagangan bebas antara

Asean dan China atau Asean China Free Trade Area (ACFTA), per 1 Januari 2010.

Pembukaan perdagangan bebas menuntut produksi batik dalam negeri harus

5

bersaing dengan produk batik dari negara lain terutama dari Cina dengan harga yang

jauh lebih murah, karena mereka menggunakan teknologi tinggi dalam

memproduksi batik dan pembebasan bea masuk (Sudantoko, 2011).

Demikian juga yang terjadi pada industri kecil batik Pekalongan harus

berhadapan dengan produk sandang yang relatif murah dengan corak yang menarik

dari negara China dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan

produk lokal (Sudantoko, 2011). Hal ini akan mengurangi pangsa pasar produk

batik lokal yang harganya lebih tinggi karena ongkos produksi yang tinggi akibat

proses produksi yang tidak efisien, kurangnya daya kreativitas dan imajinasi serta

teknologi perbatikan yang masih tradisional. Berdasarkan hasil survei pengrajin

batik di Pekalongan pada umumnya dalam memproduksi batik berdasarkan pada

kebiasaan sehari-hari dan mengikuti pola produksi secara turun-temurun

(Sudantoko, 2011).

Dilihat dari sisi ketersediaan bahan baku sutera, jumlahnya masih kurang

dari permintaan pasar. Selain itu, serat dan benang sutera umumnya masih impor.

Dari sisi pemasaran, adalah tantangan dari negara pesaing yang semakin meluas

antara lain, membanjirnya batik impor China yang menguasai 30% pangsa pasar

domestik. Terkait masalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI), ditengarai bahwa

motif-motif batik tradisional, belakangan ini banyak ditiru oleh para perajin dari

negara-negara lain. Kondisi tersebut menuntut adanya peningkatan perlindungan

HKI terhadap produk batik Indonesia (Sugiarto, 2013).

Tantangan lain yang dihadapi adalah kenaikan tarif dasar listrik dan harga

BBM yang secara nyata akan berpengaruh kepada harga bahan baku batik. Dan

yang terakhir, tantangan yang dihadapi para pengusaha batik adalah ketatnya

persaingan perdagangan, sehingga para pengusaha dituntut untuk lebih kreatif dan

inovatif agar produknya tetap diminati oleh konsumen.

Untuk bertahan di tengah tantangan yang semakin menghadang, para

pengusaha batik harus bisa benar-benar selalu melakukan inovasi baik dari segi

hasil batik yang diproduksi, seperti corak, pewarnaan, ataupun barang jadi yang

dihasilkan seperti mengikuti trend pakaian yang sedang diminati. Dalam hal

promosi tak jarang para pengusaha ini mengeluarkan modal lebih untuk mengikuti

6

beberapa ajang pameran yang sering diadakan untuk menampilkan hasil karyanya,

seperti acara Inacraft, Icra, Crafina, Katumbiri, Indonesia Fashion Week dan masih

banyak lagi ajang pameran yang masih bisa diikuti dan dilaksanakan secara rutin di

Jakarta, maupun beberapa pameran di luar kota Pekalongan selain Jakarta

Peran seorang istri (perempuan) dalam mengembangkan bisnis batik dalam

sebuah keluarga pengusaha batik dirasa cukup besar. Keterlibatan dalam bisnis

keluarga berarti menjadi bagian dari pembentukan inti bisnis keluarga: peran

anggota keluarga dalam bisnis, bagaimana anggota keluarga terlibat dan bagaimana

bisnis mengartikan bisnis itu sendiri dalam hubungannya dengan dunia luar

(Doherty dkk. 1991, dalam Vadnjal & Zupan, 2009). Menurut Paullay dkk. (1994)

keterlibatan kerja adalah tingkatan sejauh mana seseorang secara kognitif

mengasyikkan diri, mengikutsertakan diri, dan memperhatikan pekerjaan yang

dikerjakannya saat sekarang. Keterlibatan kerja memiliki 2 buah komponen, yaitu

:

a. Role, yang menunjukkan sejauh mana seseorang terlibat dalam tugas-tugas

khusus yang membentuk pekerjaan individu tersebut.

b. Settting, menunjukkan tingkat sejauh mana seseorang mampu melakukan

tugas-tugas pekerjaannya dalam lingkungan pekerjaan yang sedang

ditanganinya.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian Wicker dan Burley (1991) yang menemukan

bahwa pengaruh para istri dalam bisnis meningkat ketika mereka bekerja dalam

bisnis keluarga.

Kanungo (1982), menyatakan bahwa keterlibatan kerja menunjukkan

identifikasi psikologis seseorang dengan pekerjaan. Identifikasi seseorang terhadap

pekerjaan terjadi melalui proses sosialisasi sehingga menghasilkan suatu

kepercayaan normatif terhadap nilai-nilai kerja yang ada di dalam organisasi.Ye

dan Lirong (1999) menyatakan bahwa keterlibatan kerja sebagai tingkat yang

menunjukkan sejauh mana individu mengidentifikasikan dirinya secara emosional

maupun mental dengan pekerjaannya. Keterlibatan kerja dapat dielaborasikan

merujuk pada keterikatan dalam menginternalisasi nilai-nilai mengenai kebenaran

dari pekerjaannya atau secara signifikan mempengaruhi nilai-nilai dalam diri

7

individu (Lodhal & Kejner, 1965). Keterlibatan kerja terkait dengan kepentingan

rutinitas pekerjaan individu atau kegiatan sehari-hari. Artinya jika seseorang

mementingkan pekerjaannya, maka dengan sendirinya dia akan loyal terhadap

pekerjaannya begitu juga dengan perusahaannya (Reitz & Jewell, 1979).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Khan dan kawan-kawan (2011)

menyebutkan bahwa individu yang terlibat dalam pekerjannya jika dia secara

antusias terlibat dengan segala yang terkait dengan pekerjaannya, mereka melihat

pekerjaannya sebagai sesuatu yang sangat penting yang menjadi bagian dari

kehidupannya (Dubin, 1966), dan menyadari kinerjanya sebagai sesuatu yang

utama bagi harga dirinya (Gurin dkk., 1960). Artinya bahwa keterlibatan kerja

mempunyai dampak utama dalam produktivitas dan efisiensi individu dan

pekerjaan memiliki peran penting dalam meningkatkan keterlibatan kerja dari

individu jika pekerjaan tersebut mempunyai peran yang cukup signifikan dalam

kehidupan seorang individu (Probts & Tahira, 2000). Sebuah studi yang dilakukan

oleh Saleh & Hosek (1971) mengemukakan konsep keterlibatan kerja oleh beberapa

tokoh yang terlebih dahulu melakukan penelitian tentang keterlibatan kerja, berikut

adalah rangkuman dari beberapa konsep keterlibatan kerja :

1. Pekerjaan bagi seorang individu merupakan pusat dari ketertarikan

kehidupan (Dubin, 1956, 1968)

2. Seorang individu secara aktif berpartisipasi dalam pekerjaannya (Allport,

1943; Gurin, Veroff, dan Feld,1960)

3. Seorang Individu merasa kinerjanya sebagai pusat dari harga dirinya

(French & Khan, 1962; Siegel, 1969)

4. Seorang individu merasa kinerjanya sejalan dengan konsep diri (Vroom,

1962, 1964)

Dukungan dan keterlibatan istri dalam menjalankan roda bisnis batik di

tengah persaingan dan tantangan dalam dunia batik pastinya sangat membantu para

suami atau para pelaku bisnis batik untuk tetap bertahan dalam bisnis tersebut.

Tetapi ketika istri melibatkan diri dalam bisnis keluarga akan memunculkan

keberadaan lebih dari seorang pembuat keputusan dalam bisnis keluarga, lama

kelamaan, menciptakan suatu pertentangan dan ketegangan (Kaye, 1996; Vadnjal

8

& Zupan, 2004). Hal ini secara nyata tergantung pada situasi dimana: (1) pasangan

(suami, istri) merupakan partner sehingga mereka harus mengemukakan pendapat

dalam keputusan terkait bisnis keluarga; atau (2) suami merupakan pemegang

kontrol dalam bisnis keluarga dan tidak terlalu serius menganggap istri (Rosenblatt

dkk, 1985; Vadnjal & Zupan, 2004 ). Dalam penelitian ini, peneliti menempatkan

peran istri dalam bisnis keluarga sebagai orang kedua yang membantu suami dalam

menjalankan bisnisnya yang hanya mempunyai kekuatan akses terhadap sumber

daya. Suami sebagai pemilik bisnis batik keluarga bersama-sama dengan istri

menjalankan bisnis keluarga. Artinya suami sebagai pemilik usaha batik dan istri

masuk menjadi orang yang berperan sebagai partner kerja suami dalam bisnis

keluarga. Peranan istri hanya dalam akses terhadap sumber daya tetapi tidak pada

kontrol keuntungan dalam menjalankan bisnisnya.

Keller dkk. (1997) keterlibatan kerja adalah tingkatan keikutsertaan

seseorang dalam melakukan tugas-tugasnya yang spesifik, yang bergantung pada

tingkat kepentingan pekerjaan tersebut bagi kehidupannya. Hampir sama dengan

pengertian diatas, Diefendorff dkk. (2002) mengatakan keterlibatan kerja adalah

tingkat keterlibatan dan perhatian seseorang secara kognitif dengan pekerjaan yang

dilakukannya sekarang. Keterlibatan dan perhatian yang diberikan individu kepada

pekerjaannya dan organisasi merupakan determinan utama bagi keefektifan

organisasi dan motivasi intrinsik individu.

Kanungo (1982) mendefinisikan keterlibatan kerja sebagai suatu peryataan

kognitif atau pernyataan kepercaayaan dari identifikasi psikologis seseorang,

dengan pekerjaan atau jabatan tertentu. Keterlibatan ini meliputi keterlibatan

emosional dengan pekerjaan yang dilakukan, kebanggaan terhadap pekerjaan, dan

kesiapan menghadapi tugas. Model teoritis tersebut diakui sebagai konsep yang

lebih jelas dan tepat dalam konteks pekerjaan (Mauno & Kinnunen, 2000).

Dalam keterlibatan kerja sendiri dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor

internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal dan eksternal yang diduga

berpengaruh terhadap keterlibatan kerja adalah resiliensi dan dukungan sosial

keluarga. Resiliensi sebagai hasil positif dari proses adaptasi individu terhadap

tekanan dan lingkungan yang tidak kondusif (Everall, Altrows, & Paulson, 2006).

9

Richardson (2004) menjelaskan resiliensi adalah istilah psikologi untuk mengacu

pada kemampuan seseorang untuk mengatasi dan mencari makna dalam peristiwa

seperti tekanan yang berat yang dialaminya, dimana individu meresponnya dengan

fungsi intelektual yang sehat dan dukungan sosial.

Untuk menghadapi persaingan dan tantangan dalam perkembangan industri

batik, agar bisa bertahan dalam industri ini dibutuhkan suatu usaha untuk bisa terus

bertahan bahkan harus mampu untuk lebih bisa meningkatkan produktivitas dan

pemasaran. Menurut hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, hampir semua

pengusaha batik di kota Pekalongan pernah mangalami situasi yang mengancam

kelangsungan usaha mereka seperti tantangan yang telah diuraikan diatas. Untuk

bisa bertahan para pengusaha ini harus memiliki kemampuan untuk bisa mengatasi

ancaman tersebut.

American Psychological Association (2008) menyebutkan bahwa resiliensi

adalah proses adaptasi yang baik ketika menghadapi kesusahan (adversity), trauma,

tragedi, ancaman, atau sumber-sumber stress yang signifikan seperti masalah

keluarga dan hubungan, masalah kesehatan yang serius, atau stresor keuangan dan

tempat kerja. Menurut Connor & Davidson (2003) resiliensi dapat dipandang

sebagai suatu ukuran kemampuan koping terhadap stress yang berhasil. Dengan

demikian resiliensi merupakan perwujudan kualitas-kualitas personal yang

memampukan seseorang bertahan menghadapi kesulitan.

Masten (2001) mengemukakan bahwa resiliensi lebih tepat dipandang

sebagai pola-pola adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau kemalangan yang

signifikan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh APA (2008) yang

mencatat bahwa berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi

merupakan hal yang umum terjadi, dan manusia pada umumnya dapat

menunjukkan resiliensi yang dimilikinya. Orang yang resilien tidak berarti bahwa

orang yang bersangkutan tidak mengalami kesulitan atau tekanan, namun orang

yang resilien mampu menunjukkan pola-pola adaptasi positif terhadap kesulitan

atau tekanan tersebut. Resiliensi juga bukanlah trait (sifat) yang dimiliki atau tidak

dimiliki oleh seseorang, Resiliensi meliputi berbagai perilaku, pemikiran, dan

tindakan yang dapat dipelajari dan dikembangkan oleh setiap orang.

10

Resiliensi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal yang berada dalam

diri individu. Gambaran diri yang positif, keterampilan sosial yang baik,

keterampilan pemecahan masalah dan berhubungan sosial, pandangan positif

terhadap hidup, dan rasa humor yang baik merupakan faktor-faktor internal yang

dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan resiliensi individu (Compton,

2005).

Kemampuan penyesuaian diri seseorang tergantung pada perkembangan

kepribadian (personality) individu, status, serta perannya dalam kehidupan

(Schneiders, 1964). Inti dari konsep resiliensi yaitu memiliki unsur atau

pengalaman yang merugikan atau kesusahan atau keadaan menekan (APA, 2008;

Frederickson dkk., 2003; Yu & Zang, 2007) dan unsur manifestasi kemampuan

dalam mempertahankan pemfungsian diri secara optimal (Fiborg dkk., 2003; Linley

& Joseph, 2004; Todd & Worell, 2000).

Saptoto (2009) mengemukakan bahwa menurut Masten (2001) resiliensi

mempunyai dua komponen. Norman, Luthans, dan Luthans (2005) selanjutnya

mengatakan bahwa komponen pertama berkaitan dengan dimensi-dimensi ancaman

dari resiliensi. Hal ini berarti bahwa dalam resiliensi harus terdapat sebuah ancaman

yang signifikan terhadap individu, jika individu tersebut mampu bertahan maka

invidu tersebut sebagai orang yang resilien. Implikasi nyata dari hal ini yaitu bahwa

jika tidak ada ancaman, maka tidak ada resiliensi. Ancaman tersebut merupakan

ancaman nyata yang kemungkinan besar akan terwujud. Resiliensi oleh karena itu

harus mengandung resiko terhadap individu atau organisasi, dan resiko tersebut

bersifat realistik.

Ancaman yang merupakan tantangan dalam industri batik adalah suatu hal

yang nyata yang dihadapi oleh pengusaha batik seperti persaingan produk batik dari

China setelah pemberlakuan perdagangan bebas antara Asean dan China atau Asean

China Free Trade Area (ACFTA), per 1 Januari 2010. Tantangan berat dalam

pengembangan UKM dalam era perdagangan bebas dan persaingan global saat

ini adalah persaingan bisnis yang semakin ketat. Ketatnya kompetisi di dunia

usaha juga dirasakan oleh UKM batik di tanah air.

11

Menurut Connor & Davidson (2003) resiliensi dapat dipandang sebagai

suatu ukuran kemampuan koping terhadap stres yang berhasil. Dengan demikian

resiliensi merupakan perwujudan kualitas-kualitas personal yang memampukan

seseorang bertahan menghadapi kesusahan. Connor & Davidson (2003) menilai ada

lima aspek resiliensi yaitu :

1. Kompetensi pribadi, standar yang tinggi dalam ketahanan menyokong

kekuatan seseorang untuk kuat dan setia pada satu tujuan ketika dihadapkan

pada situasi yang traumatik.

2. Kepercayaan seseorang pada naluri, toleransi pada pengaruh negatif,

memiliki kekuatan dari pengaruh stress. Aspek ini memfokuskan seseorang

pada ketenangan, keputusan, dan ketepatan waktu ketika menyesuaikan diri

dengan stress.

3. Penerimaan diri, positif terhadap perubahan dan hubungan yang aman

dengan orang lain

4. Kontrol diri, termasuk kontrol seseorang untuk mengarah pada tujuan dan

usaha untuk memperoleh dukungan orang lain.

5. Spiritual seseorang dan kepercayaan seseorang pada Tuhan.

Lee dkk. (2005, 2006, 2007, 2010) mengembangkan penelitian tentang

resiliensi dalam cakupan bisnis keluarga. Resiliensi bisnis keluarga merupakan

model dasar yang sangat kuat. Hal tersebut berdasar pada identifikasi karakteristik

kesuksesan individu dan sistem sosial mereka. Resiliensi dalam individu

diasosiasikan dengan kompetensi sosial, kemampuan penyelesaian masalah,

otonomi, sifat optimis, dan kemampuan untuk mendapatkan dukungan sosial

(Cicchetti & Garmezy, 1993).

Dukungan sosial keluarga merupakan salah satu faktor eksternal yang

diduga berpengaruh terhadap keterlibatan kerja istri. Penelitian yang dilakukan

Adams dkk. (1996) memperoleh hasil bahwa hubungan antara pekerjaan dan

keluarga memiliki dampak yang penting dalam pekerjaan maupun kepuasan hidup,

dan bahwa tingkat keterlibatan dari individu menempatkan diri dalam pekerjaan

dan berperan dalam keluarga diasosiakan dalam sebuah hubungan atau saling

12

terkait. Semakin tinggi dukungan keluarga secara emosional maupun instrumental

maka akan semakin rendah pertentangan keluarga terhadap pekerjaan.

Dukungan sosial dapat diberikan oleh orang yang berarti bagi individu

(significant others) antara lain dari keluarga sendiri (Fitri, 2010). Sumber dukungan

keluarga menurut Taylor (1995) adalah pasangan (suami atau istri), anak atau

anggota keluarga lain, teman, kaum professional, komunitas, dan masyarakat.

Beberapa penelitian (Cohen & Wills, 1985; King dkk, 1995) menyatakan

bahwa tidak ada ketetapan mengenai pengertian dari dukungan sosial dalam

bebagai literatur dan terkadang saling bertentangan, tetapi dua aspek penting dari

kontsruk secara global dapat digunakan yaitu berdasarkan tipe dukungan dan

sumber dari dukungan. Dua tipe dari dukungan sosial yang dapat diterima secara

validasi empiris , terutama oleh para peneliti bidang industri dan organisasi adalah:

a) emosional atau sosioemotional, dan b) instrumental atau tangible (nyata).

Dukungan sosial emosional dicontohkan dengan simpati dan perilaku kepedulian,

dan dukungan sosial instrumental (nyata) dikarakteristikan dengan memberikan

perhatian yang nyata, seperti secara aktif berkontribusi terhadap penyelesaian tugas

(Beehr 1985 dalam King dkk, 1995). Tiga sumber utama dari dukungan sosial telah

dibuktikan dari beberapa penelitian oleh (Caplan, Cobb, French, Harrison and

Pinneau, 1975; Kaufmann & Beehr, 1986; King dkk, 1995) yaitu: a) supervisor, b)

rekan kerja, dan c) bersumber dari luar organisasi yaitu keluarga ataupun teman.

Dua aspek dari dukungan sosial keluarga menurut King dkk. (1995):

1. Emotional sustenance, meliputi perilaku anggota keluarga atau sikap

terhadap individu yang berisi dorongan, pengertian, perhatian, dan

pandangan positif, dan memberikan petunjuk tentang pemecahan masalah.

Hal tersebut meliputi perilaku dan sikap yang merefleksikan ketertarikan

keluarga terhadap pekerjaan individu, keinginan untuk mendengarkan,

berbicara, dan memberikan nasehat kepada individu mengenai

pekerjaannya, dan secara umum mengindikasikan perhatian kepada

individu tersebut.

2. Instrumental assistance, meliputi perilaku dan sikap anggota keluarga yang

bertujuan untuk memfasilitasi kegiatan harian keluarga. Hal tersebut

13

meliputi perilaku dan sikap yang merefleksikan keinginan untuk berbagi

tugas rumah tangga, secara aktif meringankan tanggung jawab anggota

keluarga terkait dengan kewajiban dan tugas-tugasnya, dan terhadap

kehidupan struktur keluarga agar supaya menyesuaikan jadwal kerja

individu atau keperluan pekerjaan.

Gambar 1. Kerangka Penelitian

Seperti yang dapat dilihat dari kerangka penelitian dalam Gambar 1,

penelitian ini membahas secara lebih lanjut tentang keterkaitan antara resiliensi,

dukungan sosial keluarga, dan keterlibatan kerja. Resiliensi dapat dipandang

sebagai suatu ukuran kemampuan koping terhadap stress yang berhasil (Connor &

Davidson, 2003). Dengan demikian resiliensi merupakan perwujudan kualitas-

kualitas personal yang memampukan seseorang bertahan menghadapi kesulitan.

Resiliensi merupakan kumpulan dari sifat individu dan keluarga yang telah

ditemukan untuk mengatasi (a) bangkit dari stress (b) berkembang dalam stress

(Walsh, 2003). Resiliensi yang dimaksudkan dalam penelitian adalah kemampuan

koping yang ditunjukkan oleh istri pengusaha batik ketika menghadapi tantangan

dan ancaman dalam menjalankan bisnis keluarga. Ketika seorang individu resilien

terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pekerjaannya, dia akan mampu

beradaptasi dengan dengan kondisi yang menekan tersebut sehingga akan semakin

terlibat dalam pekerjaannya untuk mengatasi ancaman atau permasalahan dalam

Resiliensi

(var. independen I)

Dukungan sosial keluarga

(var. independen II)

Keterlibatan kerja

(var. dependen)

14

bisnis. Masten (2001) mengemukakan salah satu komponen dari resiliensi adalah

reaksi, adaptasi, atau keluaran yang harus bersifat positif. Sebuah reaksi yang

positif adalah sebuah reaksi dimana individu (atau organisasi) meraih kesuksesan

atau keberhasilan sesuai situasi menekan yang dihadapi. Salah satu reaksi positif

yang muncul adalah semakin terlibatnya istri dalam pekerjaanya di dalam bisnis

keluarga, bersikap gigih dan terus berjuang ketika menghadapi saat-saat yang sulit

atau bahkan juga kegagalan.

Dukungan sosial keluarga merupakan bentuk dukungan yang diberikan oleh

lingkungan kerja individu yaitu keluarga terutama pasangan (suami/istri) dalam

bentuk dukungan perlindungan, perhatian, kepercayaam, dan sebagainya.

Dukungan sosial keluarga menurut Adams dkk. (1996) adalah dukungan sosial

yang didapat dari keluarga terutama pasangan dan anak-anak. Ganster dkk. (1986)

menambahkan bahwa dukungan sosial keluarga dapat mempengaruhi keadaan

kesehatan daripada yang lain dan keduanya menunjukkan adanya korelasi yang

kuat. Fitri (2000) menyimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga memainkan

peran penting pada proses stress dalam pekerjaan. Dukungan sosial keluarga

mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keadaan kesehatan dan keadaan

psikis individu. Sehingga ketika istri mendapat dukungan dari orang terdekatnya

untuk ikut bekerja, maka dia akan lebih merasa nyaman terlibat dalam pekerjaan di

bisnis keluarga.

Ketika seorang individu resilien dalam mengadapi permasalahan yang

mengancam pekerjaannya/keberlangsungan bisnis keluarga kemudian dia

mendapat dukungan sosial dari orang-orang terdekatnya seperti suami dan anak-

anak, maka individu (istri) tersebut akan lebih bisa melibatkan diri dalam

pekerjaannya membantu suami dalam menjalankan bisnis keluarga. Keterlibatan

kerja memperlihatkan bagaimana seseorang melihat pekerjaan mereka memiliki

hubungan dengan lingkungan pekerjaan, pekerjaan itu sendiri dan bagaimana

kehidupan kerja dan keseharian mereka bercampur menjadi satu (Hafer & Martin,

2006).

Oleh karena itu, peneliti merasa perlu dilakukaan telaah secara ilmiah

tentang hubungan resiliensi dan dukungan sosial keluarga dengan keterlibatan kerja

15

yang memiliki setting penelitian yang spesifik yaitu bisnis keluarga dan industri

batik dimana istri ikut terlibat dalam bekerja di bisnis keluarga tersebut. Peneliti

menduga bahwa resiliensi dan dukungan sosial keluarga sebagai variabel

independen akan memprediksi keterlibatan kerja istri sebagai variabel dependen.

Peran istri sebagai orang kedua dalam kepemilikan usaha dimana sang suami

merupakan pemilik utama bisnis batik. Selain itu dari penelitian ini dapat

mengungkap seberapa besar resiliensi dan dukungan sosial keluarga dalam

memprediksi keterlibatan kerja istri. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

adalah resiliensi dan dukungan sosial keluarga secara bersama-sama merupakan

prediktor terhadap keterlibatan kerja istri (perempuan) dalam bisnis keluarga, jika

resiliensi dan dukungan sosial keluarga meningkat maka keterlibatan kerja istri juga

ikut meningkat.