Upload
dongoc
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BANTEN
NINDYA ULFILIANJANI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Belanja
Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Nindya Ulfilianjani
NIM H14100075
ABSTRAK
NINDYA ULFILIANJANI. Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran keberhasilan dari
pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat
kemiskinan yang rendah mengindikasikan bahwa suatu daerah memiliki
kesejahteraan masyarakat yang baik. Untuk memperoleh kondisi tersebut,
diperlukan peran pemerintah dengan melakukan belanja daerah yang dapat
memacu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Tujuan penelitian
ini adalah menjelaskan perkembangan belanja pemerintah daerah di
Kabupaten/Kota Provinsi Banten dan menganalisis pengaruh belanja daerah
terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi
Banten. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan data panel pada 8
kabupaten dan kota di Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2009 hingga
tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja pemerintah daerah terus
meningkat. Berdasarkan model dalam analisis, belanja barang dan jasa dan
belanja modal berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah dan berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan.
Kata Kunci : belanja daerah, data panel, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi
ABSTRACT
NINDYA ULFILIANJANI. The Influence of Government Expenditure on
Economic Growth and Poverty in Regency/City of Banten Province. Supervised
by BAMBANG JUANDA.
Economic growth is one measure of economic development. The high
economic growth and low poverty indicates that an area has good public
prosperity. To get the high economic growth and low poverty required the
maximum role of government, by government expenditure. The purpose of this
study was to explain the development of government expenditure and analyzed the
influence of government expenditure on economic growth and poverty in Banten
Province. This research uses descriptive method and panel data on 8
districts/cities in Banten Province in the periode of 2009-2012. The result indicate
that the government expenditure in Banten Province always increase. Based on
the model in analysis, goods and service expenditure and capital expenditure have
a positive effect and significant contributions to the regional economic growth
and also have a negative effect and significant contributions to the poverty.
Keywords: economic growth, government expenditure, panel data, poverty
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
PENGARUH BELANJA PEMERINTAH DAERAH TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BANTEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
NINDYA ULFILIANJANI
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini adalah Pengaruh
Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda,
M.S. selaku pembimbing yang telah sabar dan selalu memberi arahan kepada
penulis, kepada Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. sebagai dosen penguji utama
dan Bapak Dr. Muhammad Findi, M.E. sebagai dosen dari komisi pendidikan
yang telah bersedia menguji penulis dan memberi masukan yang bermanfaat bagi
perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayahanda Ikarianto Haryadi,
ibunda Neni Isnaeni, adik Tyanka Pujisyadzani serta seluruh keluarga yang telah
memberikan kasih sayang, doa serta dukungan kepada penulis. Terima kasih
untuk teman satu bimbingan Efita, Elli, Gagas dan Lundu yang selalu berdiskusi
dan memberi masukan selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada
sahabat-sahabat SMA Zahra, Dessy, Okristiana, Mutiara, Faitha, Yessie dan
Nabila yang selalu memberi nasihat dan motivasi selama penyusunan skripsi.
Terima kasih juga kepada sahabat-sahabat Irgandhini, Rengganis, Dita, Feby,
Rahman, Penny, Rahayu, Hardyani, Ayu, Afanina, Nabilah, Cynthia, Fitria, Elis,
Selly, Meliana, Ema, Riana, Uke, Chika dan Dwi yang telah tulus membantu,
memberi nasihat serta dukungan selama masa perkuliahan. Teman-teman Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan 47, teman-teman TPB A.21, HIPOTESA FEM
IPB 2013 dan PSM IPB Agria Swara terima kasih atas doa dan dukungan yang
telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Nindya Ulfilianjani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 5
METODE PENELITIAN 10
Jenis dan Sumber Data 10
Metode Pengolahan dan Analisis Data 10
GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN 15
HASIL DAN PEMBAHASAN 18
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Banten 18
Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten 20
Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Banten 22
Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi 25
Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan 28
SIMPULAN DAN SARAN 31
Simpulan 31
Saran 32
DAFTAR PUSTAKA 32
LAMPIRAN 34
RIWAYAT HIDUP 42
DAFTAR TABEL
1 Jenis dan sumber data 10 2 Jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012 16 3 Penduduk bekerja, pengangguran, jumlah angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2012 17 4 Persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun
2009-2012 20 5 Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan
(P2) Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012 21 6 Uji model pertumbuhan ekonomi terbaik (Pooled Least Square, Fixed
Effect Model, dan Random Effect Model) 25 7 Hasil estimasi Fixed Effect Model pada model pertumbuhan ekonomi 27 8 Uji model kemiskinan terbaik (Pooled Least Square, Fixed Effect
Model, dan Random Effect Model) 29 9 Hasil estimasi Random Effect Model pada model kemiskinan 30
DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa tahun 2009-2012 1 2 Perkembangan persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten dan Nasional tahun 2009-2012 2 3 Realisasi belanja daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun
2009-2012 3 4 PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan
2000 tahun 2009-2012 18 5 Distribusi PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga
Konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2012 19 6 Struktur alokasi belanja pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
tahun 2012 22 7 Realisasi belanja daerah Provinsi Banten tahun 2009-2013 24 8 Komposisi belanja lainnya Provinsi Banten tahun 2012 dan 2013 25
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil Uji Chow pada model Pertumbuhan Ekonomi 34 2 Hasil Uji Hausman pada model Pertumbuhan Ekonomi 35 3 Hasil Estimasi pada model Pengaruh belanja Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dengan model Fixed Effect 36 4 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Pertumbuhan Ekonomi 37 5 Hasil Uji Normalitas pada model Pertumbuhan Ekonomi 37 6 Hasil Uji Chow pada model Kemiskinan 38 7 Hasil Uji Hausman pada model Kemiskinan 39 8 Hasil Estimasi pada model Pengaruh Belanja Daerah terhadap
Kemiskinan Provinsi Banten dengan model Random Effect 40 9 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Kemiskinan 41
10 Hasil Uji Normalitas pada model Kemiskinan 41
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi daerah merupakan salah satu bagian penting dari
pembangunan ekonomi nasional yang tujuannya mendorong kemampuan daerah
mengelola sumber daya ekonomi untuk kemajuan daerah itu sendiri dan
kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah merupakan strategi dalam
pembangunan daerah yang sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat
Indonesia yang berazas demokrasi. Otonomi daerah memiliki hubungan yang erat
dengan desentralisasi fiskal dalam mencapai efektifitas pelayanan publik. Hal ini
diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
Undang-undang No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah,
yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan, yang memberikan kewenangan lebih besar kepada
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan dan ukuran
keberhasilan dari pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak lepas dari
pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan ekonomi akan memperlancar proses
pembangunan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat ditunjukan oleh nilai
Produk Domestik Bruto (PDB). Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki
kontribusi terbesar terhadap PDB Indonesia. Tahun 2009 kontribusi Pulau Jawa
terhadap PDB Indonesia sebesar 58.6%, lalu kontribusinya menurun menjadi
58.1% pada tahun 2010 dan 57.59% di tahun 2011. Tahun 2012 kontribusinya
kembali meningkat menjadi 57.63%. Tingginya kontribusi Pulau Jawa terhadap
PDB nasional didukung oleh laju pertumbuhan ekonomi enam provinsi di Pulau
Jawa, terutama Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Seperti yang terlihat pada Gambar 1, pertumbuhan ekonomi keenam
provinsi di Pulau Jawa cenderung mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi
Sumber: Badan Pusat Statistik RI, 2013 (diolah).
Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa tahun 2009-2012
0
1
2
3
4
5
6
7
8
2009 2010 2011 2012
Per
sen
tase
(%
)
Tahun
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI
Yogyakarta
Jawa Timur
2
Provinsi Banten mengalami penurunan di tahun 2012 dan berada di peringkat ke 5
setelah Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Nilai persentase
yang relatif kecil dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Jawa,
menunjukkan bahwa Provinsi Banten belum dapat memberikan kontribusi yang
maksimal untuk Pulau Jawa.
Selain pertumbuhan ekonomi, aspek pembangunan lainnya yang menjadi
fokus pemerintah daerah adalah kemiskinan. Di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah menempatkan penurunan
kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Persentase penduduk
miskin di Banten mengalami penurunan sejak tahun 2009 hingga tahun 2012,
namun angkanya masih relatif kecil. Nilai persentase penduduk miskin Kota
Tangerang Selatan pada tahun 2012 merupakan yang terendah sebesar 1.33%,
sementara Kabupaten Pandeglang memiliki nilai persentase penduduk miskin
tertinggi sebesar 9.27%. Masih tingginya angka kemiskinan ini menunjukkan
bahwa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah belum mampu untuk
menjangkau masyarakat miskin.
Salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan adalah meningkatkan jumlah
belanja pemerintah daerah. Belanja pemerintah daerah merupakan bentuk stimulus
yang dilakukan pemerintah untuk memacu perkembangan perekonomian daerah.
Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan implementasi dari otonomi daerah,
sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas untuk
mengelola sumber penerimaan dan melakukan pembelanjaan yang sesuai dengan
tujuan pembangunan daerah. Peningkatan jumlah belanja daerah idealnya disertai
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 2 Perkembangan persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten dan Nasional tahun 2009-2012
0 5 10 15
Kab. Pandeglang
Kab. Lebak
Kab. Tangerang
Kab. Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Kota Serang
Kota Tangerang Selatan
Persentase (%)
Ka
bu
pa
ten
/Ko
ta
2009
2010
2011
2012
3
dengan peningkatan program pencapaian pembangunan sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Realisasi belanja Provinsi Banten pada Gambar 2 menunjukkan
perkembangan jumlah belanja pemerintah yang terus meningkat setiap tahunnya.
Alokasi belanja pegawai masih mendominasi belanja pemerintah dan alokasinya
lebih besar dibandingkan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Belanja
modal yang diharapkan dapat memacu perkembangan pembangunan ekonomi dan
meningkatkan pertumbuhan ternyata masih memiliki proporsi yang kecil
meskipun mengalami peningkatan setiap tahun, sehingga peningkatan jumlah
belanja daerah belum dapat optimal mendukung pembangunan. Dapat dilihat pada
Gambar 3, realisasi belanja modal pada tahun 2010 mengalami penurunan karena
dilakukan penghematan sebagian alokasi belanja modal untuk membiayai belanja
pegawai. Menurut Kementrian Keuangan, penghematan idealnya dilakukan
dengan tidak memotong belanja modal dengan jumlah besar atau meminimumkan
pemotongan belanja modal. Seharusnya penghematan dilakukan dengan
mengurangi alokasi belanja barang dan jasa.
Perumusan Masalah
Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
tergantung pada kebijakan pemerintah daerah melalui alokasi belanjanya.
Seharusnya alokasi belanja modal dan belanja barang dan jasa di era desentralisasi
ini memiliki porsi yang lebih besar, karena kedua belanja tersebut merupakan
belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu daerah (Kemenkeu 2011). Selain itu, peningkatan jumlah belanja
pemerintah Provinsi Banten tidak memberikan dampak yang sama pada laju
pertumbuhan ekonomi Banten, yang justru menurun di tahun 2012.
Ketika penurunan angka kemiskinan dikaitkan dengan besarnya pengeluaran
yang direalisasikan, kenyataannya hal ini tidak sesuai karena penurunan angka
kemiskinan di Banten sangatlah kecil apabila dibandingkan dengan anggaran yang
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 3 Realisasi belanja daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun
2009-2012
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
2009 2010 2011 2012
Mil
iar
rup
iah
Tahun
B.Pegawai
B.Modal
B.Barang
&Jasa
B.Lainnya
4
disediakan. Seharusnya belanja daerah yang berkualitas diharapkan dapat
mendukung pemerataan pembangunan dan terselenggaranya pelayanan publik
sesuai dengan tujuan desentralisasi. Ketidakselarasan antara pengeluaran
pemerintah dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Banten ini yang menjadi masalah
dalam penelitian.
Apabila tujuan utama anggaran pemerintah untuk pembangunan ekonomi,
maka kualitas belanja daerah seharusnya menjadi aspek yang perlu dipenuhi. Jika
proses pembangunan dapat berjalan dengan semestinya, maka pertumbuhan
ekonomi akan meningkat dan persentase penduduk miskin mengalami penurunan
sehingga dapat memacu pembangunan daerah. Berdasarkan uraian yang telah
dijelaskan, permasalahan pokok yang muncul untuk dianalisis dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana perkembangan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan belanja
pemerintah daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten?
2. Bagaimana pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan
ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan perkembangan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan
perkembangan belanja pemerintah daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Banten.
2. Menganalisis besarnya pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Banten.
Manfaat Penelitian
Di samping untuk menjawab permasalahan yang ada, adapun manfaat dari
penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menetapkan kebijakan fiskal pemerintah maupun instansi terkait di Provinsi
Banten.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan yang dapat memberi
manfaat bagi pembacanya.
3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian
berikutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kabupaten/kota Provinsi Banten dengan
periode waktu penelitian tahun 2009 sampai tahun 2012. Hal ini dikarenakan
pemekaran Kota Tangerang Selatan diresmikan pada tahun 2009.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Ekonomi
Menurut Bappenas (1999) Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu
rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai
aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan
memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumber daya, informasi, dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan
global. Selanjutnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi
dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan
pelayanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah
secara merata dan berkeadilan. Pembangunan juga dapat diartikan sebagai suatu
proses perubahan peningkatan kualitas hidup manusia yang merupakan perubahan
perubahan ekonomi dan sosial.
Menurut Todaro dan Smith (2006) Perubahan ekonomi dan sosial dapat
dicapai dengan cara yang berbeda tergantung dari tujuan pembangunan tersebut.
Pada umumnya tujuan pembangunan mencangkup hal-hal pokok seperti
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pemerataan pendapatan
masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja, dan meningkatkan pembangunan
antar daerah. Salah satu ukuran yang digunakan untuk melihat keberhasilan suatu
pembangunan ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian makro adalah penambahan nilai
Produk Domestik Bruto riil (PDB) atau peningkatan pendapatan nasional. Badan
pusat statistik menggunakan pendekatan PDB dan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) untuk menggambarkan produksi barang dan jasa yang dihasilkan
oleh suatu daerah yang mencerminkan pertumbuhan ekonomi. PDRB dihitung
dengan dua cara, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan.
Menurut Todaro (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses
peningkatan kapasitas produksi dalam suatu perekonomian secara terus menerus
sepanjang waktu untuk menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional
yang semakin besar. Terdapat tiga faktor utama dalam menentukan pertumbuhan
ekonomi, yaitu:
1. Akumulasi modal, merupakan semua bentuk investasi baru yang ditanamkan
seperti tanah, peralatan listrik serta sumber daya manusia melalui peningkatan
di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan.
2. Pertumbuhan jumlah penduduk, yang akan menyebabkan pertumbuhan
angkatan kerja
3. Kemajuan teknologi, yang merupakan sarana untuk memudahkan pekerjaan.
6
Kemiskinan
Kemiskinan menurut Mudrajad Kuncoro (2000) adalah ketidakmampuan
untuk memenuhi standar hidup minimum. Permasalahan standar hidup yang
rendah berkaitan pula dengan jumlah pendapatan yang sedikit, perumahan yang
kurang layak, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang buruk, tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah sehingga berakibat pada rendahnya sumber daya manusia
dan banyaknya pengangguran. Tingkat standar hidup dalam suatu negara bisa
diukur dari beberapa indikator antara lain Gross National Product (GNP) per
capita, pertumbuhan relatif nasional dan pendapatan per kapita, distribusi
pendapatan nasional, tingkat kemiskinan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Todaro (2006) menjelaskan bahwa kemiskinan dapat diukur dengan atau
tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu
kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep yang
pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut didefinisikan sebagai ketidakmampuan pemenuhan
sumberdaya pokok untuk kesejahteaan, termasuk makanan, air, perumahan, tanah,
kesehatan dan pendidikan. Sementara kemiskinan relatif merupakan kondisi yang
disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang belum dapat menjangkau
masyarakat secara merata sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi
pendapatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan kebutuhan dasar
untuk mengukur kemiskinan. Kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal
tersebut adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2,100
kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti
perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi.
Pengeluaran Pemerintah Daerah
Pengeluaran pemerintah merupakan suatu tindakan untuk mengatur jalannya
perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran
pemerintah setiap tahunnya, yang tercermin dalam dokumen Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk nasional dan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) untuk daerah. APBD merupakan acuan bagi pemerintah
dalam melaksanakan kegiatan ekonomi ke depan yang akan mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Alokasi anggaran ke dalam pos-pos
pengeluaran akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung
terhadap perekonomian. Pengeluaran pemerintah merupakan proxy terhadap
kebutuhan daerah yang diperlukan untuk menyediakan fasilitas pendidikan dan
kesehatan, pengeluaran yang menyediakan polisi dan tentara, pengeluaran gaji
untuk pegawai pemerintah, dan pengeluaran untuk mengembangkan infrastruktur
yang dibuat untuk kepentingan masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13 tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah
diprioritaskan untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi atau kabupaten dan kota. Format belanja dikelompokan ke
dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja
7
tidak langsung merupakan belanja yang tidak digunakan secara langsung oleh
pelaksanaan program dan kegiatan yang terdiri atas belanja pegawai, belanja
bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan
keuangan dan belanja tidak terduga. Sementara belanja langsung merupakan
belanja yang digunakan untuk pelaksanaan program dan kegiatan yang terkait
secara langsung. Belanja langsung merupakan pengeluaran yang bersifat
menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan fisik dan non fisik,
yang terdiri atas:
1. Belanja Pegawai. Merupakan belanja kompensasi baik dalam bentuk uang
maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang diberikan kepada Pejabat Negara, PNS dan pegawai yang dipekerjakan
oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan
yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan
modal.
2. Belanja barang dan jasa. Merupakan pembelian barang dan jasa yang habis
pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak
dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau
dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja barang ini terdiri dari
belanja pengadaan barang dan jasa-jasa, belanja pemeliharaan, dan belanja
perjalanan.
3. Belanja modal. Merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang dilakukan
dalam rangka memperoleh atau menambah asset tetap dan asset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi
antara lain, belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,
jalan, irigasi dan jaringan, dan belanja modal fisik lainnya.
Dalam konsep makroekonomi dan pembangunan ekonomi, PDB(Y) terdiri
dari konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan net ekspor (X-
M) atau (Y = C + I + G + (X-M)). Belanja pemerintah mengarah kepada konsumsi
(C).
Teori Pengeluaran Pemerintah
Dalam teori ekonomi pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan
pengeluaran pemerintah mempunyai hubungan timbal balik yang positif. Hukum
Wagner menyebutkan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pertumbuhan
ekonomi meningkat maka pengeluaran pemerintah juga akan meningkat. Hukum
Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State”, dimana analogi untuk
Hukum Wagner ini adalah dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka
kebutuhan akan penyediaan barang publik juga akan meningkat sehingga
dibutuhkan pembiayaan melalui penerimaan pemerintah yang pada akhirnya
pengeluaran pemerintah juga akan meningkat atau dapat diartikan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi juga akan mencerminkan besarnya dana pengeluaran
pemerintah untuk membiayai kebutuhan layanan jasa pemerintah. Namun Aliran
Keynesian menggambarkan sebaliknya, bahwa dengan adanya peningkatan
8
pengeluaran pemerintah akan mendorong peningkatan permintaan barang dan jasa
secara agregat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Model Rostow dan Musgrave
Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah
dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan
pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang
dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal
perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi
lebih besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan sarana dan
prasarana, seperti misalnya pendidikan, kesehatan, dan prasarana transportasi.
Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas,
namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan
pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin
besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan
pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih
banyak dan kualitas yang lebih baik.
Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menyatakan bahwa
pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke
pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari
tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Penelitian Terdahulu
Sodik (2007) dalam penelitiannya menganalisis pengaruh pengeluaran
pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di 26 provinsi Indonesia.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi data panel dengan metode fixed
effect model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pemerintah, konsumsi
pemerintah, tenaga kerja dan tingkat keterbukaan ekonomi provinsi memiliki
pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional, namun variabel investasi
swasta tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Siti Anni Makhrifah (2010) melakukan penelitian untuk menganalisis
pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap pembangunan ekonomi di
Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan metode analisis Vector Auto
Regressive (VAR). Berdasarkan hasil penelitiannya, belanja modal berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan IPM baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang, sementara belanja pegawai hanya berpengaruh dalam
jangka pendek. Belanja pegawai dan belanja lain berpengaruh positif terhadap
kemiskinan, artinya jika jenis belanja ini naik maka kemiskinan juga akan naik.
Nur Saidah (2011) dalam penelitiannya menganalisis pengaruh belanja
pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal
dengan menggunakan teknik analisis data panel. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa variabel belanja fungsi pelayanan umum dan lainnya memiliki pengaruh
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, sedangkan belanja fungsi
kesehatan dan pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
9
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu variabel angkatan kerja tidak memberikan
pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Haryanto (2013) dalam penelitiannya menganalisis mengenai pengaruh
pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data panel
dengan metode fixed effect model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengeluaran pemerintah untuk belanja langsung dan belanja tidak langsung secara
bersama-sama berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kerangka Pemikiran
Menciptakan pembangunan yang merata merupakan tujuan akhir dari
desentralisasi fiskal. Agar dapat menciptakan pembangunan tersebut, diperlukan
komposisi belanja daerah yang berkualitas agar penyerapan dana pemerintah
dapat mendorong aspek-aspek pembangunan secara stabil dan merata. Dengan
keleluasaan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengelola
keuangan daerahnya, diharapkan pemerintah daerah dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi persentase penduduk miskin. Hal inilah
yang menjadi panduan untuk menganalisis pengaruh belanja daerah terhadap
pembangunan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Banten. Sistematis kerangka
pemikiran dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Kerangka pemikiran
Analisis Deskriptif dan Data Panel
Desentralisasi Fiskal
Pendapatan Pemerintah Belanja Pemerintah
Belanja
Pegawai
Belanja
Modal
Belanja Barang
dan Jasa
Pertumbuhan Ekonomi Kemiskinan
10
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak dimasukkan ke dalam penelitian
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Belanja Modal dan belanja barang dan jasa diduga mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi secara positif dan mempengaruhi persentase penduduk
miskin secara negatif.
2. Belanja pegawai diduga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara negatif
dan mempengaruhi persentase penduduk miskin secara positif.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dengan yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Kementrian Keuangan. Data cross
section yang digunakan terdiri dari 8 kabupaten dan kota di Provinsi Banten serta
data time series tahunan periode 2009 hingga 2012. Referensi pendukung lainnya
berupa buku, jurnal, dan artikel diperoleh dari Perpustakan BPS, Perpustakaan
IPB dan internet yang relefan dengan penelitian ini.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis
deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk
memberikan gambaran umum hasil penelitian secara sederhana dalam bentuk
gambar dan tabel. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perkembangan
belanja pemerintah daerah serta perkembangan pertumbuhan ekonomi dan
Tabel 1 Jenis dan sumber data
Jenis Data Sumber
Belanja Pegawai Kemenkeu: Realisasi APBD
Belanja Modal Kemenkeu: Realisasi APBD
Belanja Barang dan Jasa Kemenkeu: Realisasi APBD
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
BPS Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan 2000
Persentase Penduduk Miskin BPS Provinsi Banten
11
kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Banten dalam kurun waktu tahun 2009
hingga tahun 2012.
Analisis kuantitatif data panel digunakan untuk menganalisis pengaruh
belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di
Kabupaten/Kota Provinsi Banten. Pengolahan data panel dilakukan menggunakan
software Microsoft Excel dan Eviews 6. Menurut Gujarati (2005), data panel
(pooled data) merupakan gabungan antara data time series dan data cross section.
Data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap
satu individu dan data cross section merupakan data yang dikumpulkan dalam
satu waktu terhadap banyak individu. Menurut Baltagi (2005), penggunaan data
panel dapat mengendalikan heterogenitas data individual, dapat menyajikan data
yang lebih informatif, bervariasi, memiliki kolineritas antar variabel yang kecil,
memiliki derajat kebebasan yang lebih besar, dan lebih efisien. Data panel juga
lebih unggul dalam mengidentifikasi dan mengestimasi efek yang tidak terdeteksi
secara sederhana pada model cross section dan model time series. Data panel
lebih sesuai untuk menguji model perilaku yang kompleks dibandingkan dengan
model data cross section dan model time series.
Terdapat tiga teknik yang dapat digunakan untuk mengestimasi data panel,
yaitu Pooled Least Square, metode efek tetap atau Fixed Effect dan metode efek
acak atau Random Effect. Gujarati (2003)
1. Metode Pooled Least Square (PLS)
Metode PLS merupakan metode yang paling sederhana yang memiliki
intersep dan slope konstan. Model PLS didefinisikan sebagai berikut:
Yit = α
i + β X
it + u
it
dimana i merupakan kabupaten/kota yang diobservasi dalam data cross section
dan t merupakan periode tahun pada data time series. Metode ini memiliki
keterbatasan, karena intersep dan slope dari setiap variabel siasumsikan konstan
untuk setiap data yang diobservasi.
2. Fixed Effect Model (FEM)
Pada metode fixed effect model, intersep dibedakan antarindividu karena
setiap individu dianggap memiliki karakteristik sendiri. dalam membedakan
intersepnya, dapat menggunakan peubah dummy, sehingga metode ini dikenal
dengan model Least Square Dummy Variable (LSDV). Persamaan model sebagai
berikut:
Yit= β 0
i + β 1X1
it + β 2X2
it +.....+ β nXn
it + u
it
dimana β 0i merupakan intersep dan β 1, β 2 merupakan slope. Diasumsikan
bahwa slope konstan tetapi intersep berbeda untuk setiap individu, i
menggambarkan intersep berbeda antar kabupaten/kota namun intersep masing-
masing kabupaten/kota tidak berbeda antar waktu (time invariant).
3. Random Effect Model (REM)
Pada metode random effect model, intersep tidak lagi dianggap konstan,
melainkan dianggap sebagai peubah random. Nilai intersep dari masing-masing
individu didefinisikan sebagai berikut:
12
β 0i = β 0 + e
i ; dengan i = 1,2,...,N
dimana merupakan sisaan acak (error term) dengan rata-rata = 0 dan ragam
= σ ². Sehingga persamaan dalam model sebagai berikut:
Yit = β 0
+ β 1X1
it + β 2X2
it + e
it + u
it
Pengujian Kesesuaian Model
Untuk memilih metode yang akan digunakan, perlu dilakukan uji kesesuaian
model sebagai berikut:
1. Chow Test
Uji Chow dilakukan untuk memilih apakah model yang lebih baik
digunakan adalah model Pooled Least Square atau model Fixed Effect. Hipotesis
uji Chow sebagai berikut:
H0 : Model Pooled Least Square (Restricted)
H1 : Model Fixed Effect (Unrestricted)
Sebagai dasar penolakan H0 dapat digunakan perbandingan statistik
Hausman dengan Chi-square atau dengan melihat p-value. Apabila nilai p-value
lebih kecil dari nilai α = 5%, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan
terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model FEM.
2. Hausman Test
Setelah melakukan uji Chow, untuk memilih model fixed effect atau random
effect yang lebih baik digunakan dalam penelitian, dengan asumsi terdapat atau
tidak korelasi antara regressor dan efek individu, dilakukan uji Hausman.
Hipotesis Uji Hausman sebagai berikut:
H0 : Random Effect Model
H1 : Fixed Effect Model
Sebagai dasar penolakan H0 dapat digunakan perbandingan statistik
Hausman dengan Chi-square atau dengan melihat p-value. Apabila nilai p-value
lebih kecil dari nilai α = 5%, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan
terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model FEM.
Pengujian Kriteria Ekonometrika
1. Multikolinearitas
Suatu model yang terbebas dari multikolinearitas artinya tidak ada
hubungan linear antara variabel-variabel bebas dalam persamaan regresi berganda.
Salah satu cara untuk memastikan ada atau tidaknya multikolinearitas, dapat
dilihat dari koefisien korelasi antara peubah bebas dalam model. Jika nilai
13
masing-masing koefisien korelasinya lebih besar dari rule of thumb (0,8) dan R²
maka model tersebut memiliki masalah multikolinearitas.
2. Heteroskedastisitas
Suatu model yang terbebas dari heteroskedastisitas artinya variant dari error
bersifat konstan atau bersifat homoskedastis. Menurut Gujarati (2006), apabila
masalah heteroskedastisitas terjadi maka pengujian hipotesis tidak bisa diandalkan
karena memungkinkan penarikan kesimpulan yang menyesatkan. Salah satu cara
untuk melihat ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas dengan menggunakan
metode GLS Weight Cross-section. Apabila nilai Sum Square Resid Weighted
lebih kecil dibandingkan dengan nilai Sum Square Resid Unweighted, maka dapat
disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas.
3. Autokorelasi
Suatu model dikatakan bebas dari masalah autokorelasi apabila pengamatan
satu dan pengamatan lainnya tidak memiliki keterkaitan atau bersifat saling bebas.
Uji yang dilakukan untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji Durbin-Watson.
Nilai statistik Durbin-Watson yang diperoleh dari hasil estimasi pada program
Eviews dibandingkan dengan nilai DW pada tabel. Model dikatakan terbebas dari
masalah autokorelasi apabila nilai statistik Durbin-Watson berada di area non-
autokorelasi. Selang statistik Durbin-Watson adalah sebagai berikut:
0 < DW < DL : ada autokorelasi positif
D L < DW < DU : tidak ada keputusan
DU < DW < 4 - DU : tidak ada autokorelasi
4 - DU < DW < 4 - DL : tidak ada keputusan
4 - DL < DW < 4 : ada autokorelasi negatif
4. Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term terdistribusi
secara normal atau tidak. Pengujian asumsi normalitas dapat dilakukan dengan uji
Jarque-Bera. Hipotesis pengujian normalitas adalah:
H0 : Residual terdistribusi normal
H1 : Residual tidak terdistribusi normal
Dasar penolakan H0 dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas
Jarque-Bera dengan taraf nyata lima persen. Apabila nilai probabilitas Jarque-
Bera lebih besar dari taraf nyata lima persen, maka dapat dikatakan tidak cukup
bukti untuk menolak H0 yang artinya residual terdistribusi normal.
Model Penelitian
Analisis regresi dengan metode data panel pada penelitian ini digunakan
untuk menganalisis pengaruh belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan
persentase penduduk miskin di kabupaten dan kota Provinsi Banten. Nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) digunakan untuk menggambarkan
pertumbuhan ekonomi. Estimasi model pengaruh belanja daerah terhadap
14
pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Banten dituliskan sebagai
berikut:
PDRBit = α + β
1 (PEGAWAI)
it + β
2 (MODAL)
it + β
3 (BARANG)
it + u
it
dimana:
PDRB : Produk Domestik Regional Bruto daerah ke-i tahun ke-t (miliar rupiah)
PEGAWAI : Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
MODAL : Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
BARANG : Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
αi
: intersep
βi
: koefisien regresi
i
: kabupaten/kota Provinsi Banten
t
: periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012
uit
: error term
Estimasi model yang digunakan untuk melihat pengaruh belanja daerah
terhadap persentase penduduk miskin kabupaten dan kota di Provinsi Banten
dituliskan sebagai berikut:
PPMit = α +
β
1 (PEGAWAI)
it + β
2 (MODAL)
it + β
3 (BARANG)
it + u
it
dimana:
PPM : Persentase Penduduk Miskin daerah ke-i tahun ke-t (persen)
PEGAWAI : Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
MODAL : Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
BARANG : Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
αi
: intersep
βi
: koefisien regresi
i
: kabupaten/kota Provinsi Banten
t
: periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012
uit
: error term
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian berbeda satuan sehingga
di-logaritmanatural-kan. Dengan model ini, hasil regresi yang diperoleh akan
lebih efisien karena ragam konstan dan residual error menyebar normal serta
mudah diinterpretasikan dalam satuan persen. Adapun model yang telah di-
logaritmanatural-kan adalah sebagai berikut.
lnPDRBit = α + β
1 ln(PEGAWAI)
it + β
2 ln(MODAL)
it + β
3 ln (BARANG)
it + u
it
dimana:
lnPDRB : Produk Domestik Regional Bruto daerah ke-i tahun ke-t (%)
lnPEGAWAI : Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (%)
lnMODAL : Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (%)
15
lnBARANG : Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (%)
αi
: intersep
βi
: koefisien regresi
i
: kabupaten/kota Provinsi Banten
t
: periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012
uit
: error term
PPMit = α +
β
1 ln(PEGAWAI)
it + β
2 ln(MODAL)
it + β
3 ln(BARANG)
it + u
it
dimana:
PPM : Persentase Penduduk Miskin daerah ke-i tahun ke-t (persen)
lnPEGAWAI : Belanja pegawai daerah ke-i tahun ke-t (%)
lnMODAL : Belanja modal daerah ke-i tahun ke-t (%)
lnBARANG : Belanja barang dan jasa daerah ke-i tahun ke-t (%)
αi
: intersep
βi
: koefisien regresi
i
: kabupaten/kota Provinsi Banten
t
: periode waktu dari tahun 2009 dampai tahun 2012
uit
: error term
GAMBARAN UMUM PROVINSI BANTEN
Keadaan Geografis
Provinsi Banten merupakan daerah pemekaran yang terbentuk tahun 2000.
Pada tahun 2000 Provinsi Banten terdiri dari empat kabupaten dan dua kota yaitu
Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten
Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Kemudian terjadi pemekaran di
wilayah Kabupaten Serang menjadi Kota Serang pada tahun 2007 dan Kabupaten
Tangerang menjadi Kota Tangerang Selatan tahun 2008.
Secara astronomis, Provinsi Banten terletak pada 5°-7’50”-7°1’1” Lintang
Selatan dan 105°1’11” - 106°7’12” Bujur Timur. Wilayah Banten memiliki luas
wilayah sebesar 9.662,92 km atau sekitar 0,51 persen dari luas wilayah Indonesia.
Letak geografis Provinsi Banten berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara,
Samudra Hindia di sebelah selatan, sebelah timur berbatasan dengan Selat Sunda
dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Posisi
yang strategis ini mendukung wilayah Banten pada lintas perdagangan. Wilayah
bagian Selatan tepatnya di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak
merupakan kawasan pertanian yang subur, sedangkan wilayah bagian utara seperti
Kota Tangerang dan Cilegon merupakan pusat industri yang mendukung
perekonomian Provinsi Banten.
16
Kependudukan
Penduduk memiliki peranan penting dalam proses pembangunan ekonomi
sebagai objek pembangunan dan sekaligus sebagai subjek pembangunan. Jumlah
penduduk di kabupaten dan kota Provinsi Banten terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas),
jumlah penduduk Banten pada tahun 2009 sebanyak 9.78 juta jiwa dan bertambah
tahun 2012 menjadi 11.25 juta jiwa. Persebaran penduduk di Provinsi Banten
tidak terkonsentrasi secara merata.
Dapat dilihat pada Tabel 4, persebaran penduduk selama empat tahun
terakhir masih didominasi pada beberapa daerah saja, yaitu Kabupaten Tangerang
dan Kota Tangerang. Jumlah penduduk Kabupaten Tangerang tahun 2012
sebanyak 3 juta jiwa dan jumlah penduduk Kota Tangerang sebesar 1.9 juta jiwa.
Tingginya jumlah penduduk ini terkait dengan letak daerah Kota Tangerang dan
Kabupaten Tangerang yang berbatasan langsung dengan Kota DKI Jakarta,
sehingga menjadi daerah tujuan utama imigran. Sensus Penduduk tahun 2010
mencatat tingkat tingkat imigran masuk ke perkotaan Banten mencapai 41%,
sementara untuk tingkat kabupaten/kota, Kota Tangerang Selatan dan Kota
Tangerang merupakan kota dengan tingkat migrasi masuk sebesar 66.2% dan
53.7%. Hal inilah yang menyebabkan kepadatan penduduk antar wilayah di
Provinsi Banten menjadi tidak merata dan kedua daerah tersebut merupakan
daerah dengan tingkat kepadatan penduduk terbesar.
Ketenagakerjaan
Penduduk dapat berperan sebagai penggerak pembangunan apabila dapat
menciptakan nilai tambah dalam kegiatan ekonomi. Sebaliknya, apabila jumlah
penduduk banyak namun tidak disertai dengan peningkatan kualitas sumberdaya
manusia, maka akan menjadi penghambat pembangunan. Jumlah penduduk yang
terserap dalam dunia kerja di Provinsi Banten tahun 2012 terus mengalami
Tabel 2 Jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012
Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk (jiwa)
2009 2010 2011 2012
Kab. Pandeglang 1 099 746 1 149 610 1 172 179 1 181 430
Kab. Lebak 1 258 893 1 204 095 1 228 884 1 239 660
Kab. Tangerang 3 676 684 2 834 376 2 960 474 3 050 929
Kab. Serang 1 345 557 1 402 818 1 434 137 1 448 964
Kota Tangerang 1 554 827 1 798 601 1 869 791 1 918 556
Kota Cilegon 349 162 374 559 385 720 392 341
Kota Serang 497 910 577 785 598 407 611 897
Kota Tangerang
Selatan 1 042 026 1 290 322 1 355 926 1 405 170
Provinsi Banten 9 782 779 10 632 166 11 005 518 11 248 947
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013.
17
peningkatan sebesar 76 187 jiwa dan penduduk yang menganggur mengalami
penurunan sebesar 161 354 jiwa. Berdasarkan tabel, pada tahun 2012 Kabupaten
Tangerang memiliki jumlah angkatan kerja tertinggi sebesar 1.3 juta jiwa dan
persentase pengangguran sebesar 29.32%. Sedangkan Cilegon merupakan daerah
yang memiliki jumlah angkatan kerja terendah di Banten sebesar 180 ribu jiwa
dan persentase pengangguran sebesar 3.92%.
Banten merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat pengangguran
terbuka tinggi. Tahun 2012 tingkat pengangguran terbuka Banten sebesar 10.13%,
nilai ini lebih tinggi dari tingkat nasional sebesar 6.14% dan DKI Jakarta sebesar
9.87%. Faktor penyebab utama tingginya tingkat pengangguran di Banten adalah
urbanisasi, dimana banyak pendatang baru yang masuk ke wilayah Banten karena
menganggap Banten merupakan daerah yang menjanjikan sehingga menjadi
tujuan pencari kerja.
Faktor penyebab lainnya adalah pertumbuhan penduduk dan ketersediaan
tenaga kerja tidak sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini juga berkaitan dengan
persebaran penduduk yang tidak merata di Provinsi Banten. Kabupaten
Pandeglang dan Kabupaten Lebak yang terletak di bagian selatan Provinsi Banten
merupakan daerah pedesaan yang kegiatan perekonomiannya didominasi oleh
pertanian. Tenaga kerja yang terserap pada sektor tersebut umumnya merupakan
tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga jumlah
pengangguran di daerah tersebut relatif tinggi.
Sementara itu, wilayah Banten bagian utara, yaitu Kabupaten Tangerang,
Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan merupakan daerah sektor
perindustrian yang dominan, sehingga menjadi daerah yang menyerap banyak
tenaga kerja. Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang merupakan daerah yang
paling berkembang, perkembangan di daerah tersebut didukung oleh
perkembangan sektor industri, perdagangan, dan sektor jasa. Dari sisi lapangan
usaha, rata-rata penduduk Provinsi Banten yang bekerja di sektor industri sekitar
25% dari total penduduk yang bekerja, pembangunan proyek industri tersebut
Tabel 3 Penduduk bekerja, pengangguran, jumlah angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2012
Kabupaten/Kota
Angkatan Kerja (jiwa) Jumlah
Angkatan
Kerja (jiwa)
Bukan
Angkatan
Kerja
(jiwa) Bekerja Pengangguran
Kab. Pandeglang 517 943 53 131 571 074 256 379
Kab. Lebak 508 065 50 687 558 752 325 859
Kab. Tangerang 1 175 846 152 235 1 328 081 760 579
Kab. Serang 582 314 86 715 669 029 367 131
Kota Tangerang 840 092 76 134 916 226 456 581
Kota Cilegon 159 670 20 360 180 030 93 811
Kota Serang 234 786 28 420 263 206 150 076
Kota Tangerang Selatan 587 131 51 528 638 659 345 442
Provinsi Banten 4 605 847 519 210 5 125 057 2 755 858 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013.
18
menyerap tenaga kerja dengan cukup signifikan. Sektor industri sebagai sektor
yang mampu menyerap tenaga kerja paling banyak diharapkan dapat memberi
kontribusi dalam ketersediaan lapangan pekerjaan. Meskipun sektor industri
menyerap sebagian besar tenaga kerja, jumlah penggangguran yang terdapat di
Kabupaten Tangerang jumlahnya masih relatif besar. Hal ini terjadi karena jumlah
angkatan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang
teredia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Banten
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk mengukur
kinerja pembangunan daerah. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, dapat
digunakan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) untuk nasional dan nilai Domestik
Regional bruto (PDRB) untuk tingkat daerah. Nilai PDRB yang digunakan adalah
jenis PDRB atas dasar harga konstan karena tidak memperhitungkan tingkat
perkembangan inflasi yang ada, sehingga PDRB atas dasar harga konstan
menggambarkan pertumbuhan riil barang dan jasa pada periode tertentu.
Besar kontribusi PDRB setiap wilayah di Banten menyumbang dalam
pertumbuhan ekonomi regional. Gambar 4 menunjukkan bahwa Kota Tangerang
merupakan daerah yang memiliki nilai PDRB tertinggi di antara kabupaten dan
kota lainnya di Banten sebesar 33 428 miliar rupiah, kemudian disusul oleh
Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon dengan nilai PDRB masing-masing
sebesar 20 951 miliar rupiah dan 19 470 miliar rupiah. Tingginya PDRB yang
dihasilkan ketiga daerah ini disebabkan oleh pusat perekonomian dan pusat
industri yang berada di wilayah tersebut. Sementara itu kabupaten dan kota
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 4 PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar Harga
Konstan 2000 tahun 2009-2012
05,000
10,00015,00020,00025,00030,00035,00040,000
Mil
iar
rup
iah
Kabupaten/Kota
2009
2010
2011
2012
19
lainnya memiliki nilai PDRB kurang dari 10 000 miliar rupiah. Kabupaten
Pandenglang dan Kabupaten Lebak merupakan pusat sentra kegiatan pertanian.
Nilai tambah pada sektor pertanian yang relatif kecil dibandingkan dengan nilai
tambah sektor industri menyebabkan kecilnya nilai PDRB yang dihasilkan kedua
daerah tersebut.
Besar nilai PDRB Banten tidak terlepas dari peran sektor-sektor yang
menyumbang nilai PDRB tersebut. Karakteristik alam, sosial, budaya dan
ekonomi yang berbeda pada masing-masing wilayah menyebabkan produktivitas
ekonomi yang dihasilkan juga berbeda. Nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu
sektor menunjukan tingkat ketergantungan suatu daerah pada sektor tersebut.
Semakin besar nilai tambah suatu sektor, maka tingkat ketergantungannya pun
semakin besar. Nilai PDRB Banten sangat dipengaruhi oleh tiga sektor yang
memiliki kontribusi paling besar, yaitu sektor industri pengolahan, sektor
perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor transportasi dan komunikasi.
Gambar 5 menjelaskan besaran persentase kontribusi setiap sektor dalam
PDRB kabupaten dan kota Provinsi Banten pada tahun 2012. Sektor pertanian
menyumbang kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Pandeglang dan
Kabupaten Lebak dengan besaran diatas 30%. Sektor perdagangan, hotel dan
restoran memiliki kontribusi terbesar kedua sebesar 25% dan sektor jasa memiliki
kontribusi sebesar 12%. Kemiripan nilai PDRB yang dihasilkan kedua daerah ini
disebabkan oleh letak geografis kedua daerah yang berada di bagian selatan
Provinsi Banten dan merupakan pusat kegiatan pertanian. Sementara itu
Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon
menyumbang nilai PDRB sektor industri dengan besaran diatas 45%. Keempat
daerah ini merupakan pusat kegiatan industri yang menjadi penggerak utama
perekonomian Banten dari sisi sektoral hingga saat ini. Nilai PDRB sektor
perdagangan, hotel dan restoran di Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan
menyumbang kontribusi diatas 25%. Besar nilai PDRB yang dihasilkan sektor
tersebut dipengaruhi oleh letak strategis kedua wilayah ini yang berbatasan
dengan Provinsi DKI Jakarta.
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013 (diolah).
Gambar 5 Distribusi PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Atas Dasar
Harga Konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2012
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
Dis
rib
usi
Se
kto
ral
Kabupaten/Kota
Jasa-jasa
Keuangan, Persewaan
& Jasa Perusahaan
Pengangkutan dan
Komunikasi
Perdagangan, Hotel dan
Restoran
Bangunan
Listrik, Gas dan Air
Bersih
Industri Pengolahan
Pertambangan dan
Penggalian
20
Kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Banten
Tingkat kesejahteraan daerah dapat diukur dari persentase penduduk miskin
di daerah tersebut. Jumlah penduduk miskin di Banten tahun 2012 mencapai 648
ribu jiwa dan menurun sebesar 42 ribu jiwa dibandingkan dengan jumlah
penduduk miskin pada tahun 2011 yang sebesar 690 ribu jiwa. Apabila
dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan di
kabupaten dan kota Provinsi Banten selalu berada dibawah angka nasional, hal ini
menunjukkan tingkat kemiskinan di Banten jauh lebih baik dibandingkan tingkat
nasional dengan tren yang menurun sejak tahun 2009 hingga tahun 2012. Tabel 5
menunjukkan sebaran kemiskinan berdasarkan kabupaten dan kota di Banten
masih terpusat di Banten bagian selatan, yakni Kabupaten Lebak dan Kabupaten
Pandeglang. Tahun 2012 persentase penduduk miskin di Kabupaten Pandeglang
sebesar 110 ribu jiwa dengan persentase penduduk miskin 9.27%. Sementara itu,
Kota Tangerang Selatan memiliki persentase penduduk miskin yang terkecil
sebesar 1.33% dengan jumlah penduduk miskin 18 ribu jiwa.
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase
penduduk miskin. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman
dan keparahan kemiskinan. Selain upaya memperkecil jumlah penduduk miskin,
kebijakan penanggulangan kemiskinan juga terkait dengan bagaimana mengurangi
tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan yang terkait dengan kesejahteraan
penduduk miskin. Nilai indeks (P1) menunjukkan rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.
Semakin tinggi nilai indeks, maka semakin besar rata-rata kesenjangan terhadap
garis kemiskinan. Indeks ini digunakan sebagai dasar penghitungan berapa subsidi
yang diperlukan untuk mengentaskan penduduk miskin. Sementara itu nilai indeks
(P2) menunjukkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Kabupaten Lebak, Kabupaten
Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Serang mengalami penurunan pada tahun
2012. Penurunan indeks (P1) di tahun 2012 menunjukkan rata-rata jarak
kedalaman kemampuan konsumsi penduduk miskin di wilayah tersebut bergerak
naik mendekati garis kemiskinan. Sementara itu Indeks Kedalaman Kemiskinan
(P1) di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kota Cilegon dan Kota
Tabel 4 Persentase penduduk miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun
2009-2012
Persentase Penduduk Miskin (%)
Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012
Kab. Pandeglang 12.01 11.14 9.80 9.27
Kab. Lebak 10.63 10.38 9.20 8.62
Kab. Tangerang 6.55 7.18 6.42 5.71
Kab. Serang 5.8 6.34 5.63 5.28
Kota Tangerang 6.42 6.88 6.14 5.55
Kota Cilegon 4.14 4.46 3.98 3.81
Kota Serang 6.19 7.03 6.25 5.69
Kota Tangerang Selatan 1.75 1.67 1.50 1.33 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013
21
Tangerang Selatan mengalami peningkatan, yang artinya rata-rata jarak
kedalaman kemampuan konsumsi penduduk miskin di wilayah tersebut bergerak
turun menjauhi garis kemiskinan. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di
Kabupaten Serang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan mengalami
peningkatan di tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa variasi pengeluaran
konsumsi penduduk miskin di ketiga wilayah tersebut semakin tidak merata atau
ketimpangannya semakin tinggi. Sementara itu, Indeks Keparahan Kemiskinan
(P2) di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota
Tangerang dan Kota Serang mengalami penurunan, yang artinya variasi
pengeluaran konsumsi penduduk miskin di wilayah tersebut semakin merata atau
ketimpangannya semakin menurun.
Seperti yang dapat dilihat pada tabel 4 dan 5, Kabupaten Pandeglang dan
Kabupaten Lebak memiliki tingkat kemiskinan dan nilai indeks kemiskinan yang
relatif tinggi dibandingkan dengan kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Banten.
Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor penyebab kemiskinan di Banten yang
terpusat pada kedua daerah tersebut. Pertama, rendahnya pendidikan sebagian
masyarakat mendorong kemiskinan di Banten. Berdasarkan publikasi Bank
Indonesia, pada tahun 2009 lebih dari 50% penduduk miskin di Banten tidak lulus
Sekolah Dasar (SD) dan tingginya jumlah anak putus sekolah mencapai 9 ribu
siswa serta penduduk buta huruf mencapai 500 ribu orang.
Kedua, penurunan kontribusi sektor pertanian di pedesaan juga mendorong
kemiskinan tersebut, dimana rata-rata pekerja pertanian di desa berpendidikan
rendah dan sektor industri tidak tumbuh di daerah-daerah selatan Banten karena
keterbatasan akses dan infrastruktur yang kurang memadai. Ketiga, inflasi yang
tinggi di Banten selatan menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Inflasi ini
disebabkan oleh buruknya infrastruktur jalan menuju Banten Selatan sehingga
distribusi barang menjadi mahal dan langka.
Jenis kemiskinan yang dialami Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten
Lebak merupakan kemiskinan rural atau kemiskinan pedesaan. Kemiskinan ini
Tabel 5 Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan
(P2) Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2009-2012
Kabupaten/Kota
Indeks Kedalaman
Kemiskinan (P1) Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2)
2009 2010 2011 2012 2009 2010 2011 2012
Kab. Pandeglang 1.33 1.20 1.51 1.20 0.22 0.23 0.36 0.30
Kab. Lebak 1.29 2.34 1.45 1.18 0.24 0.27 0.37 0.24
Kab. Tangerang 1.02 1.31 1.09 0.78 0.23 0.36 0.29 0.21
Kab. Serang 0.64 0.74 0.61 0.75 0.12 0.13 0.12 0.15
Kota Tangerang 1.21 1.10 0.85 0.67 0.34 0.45 0.18 0.13
Kota Cilegon 0.48 0.84 0.37 0.63 0.10 0.22 0.09 0.14
Kota Serang 0.67 1.06 0.81 0.74 0.12 0.23 0.17 0.16
Kota Tangerang
Selatan 0.37 0.35 0.09 0.14 0.12 0.11 0.01 0.03
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2013.
22
terjadi terutama di negara berkembang karena kegiatan utamanya merupakan
kegiatan pertanian yang memiliki nilai tambah sektoral yang relatif kecil.
Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Banten
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jendral Perimbangan
Keuangan (DJPK), rata-rata alokasi belanja pegawai di Kabupaten dan Kota
Provinsi Banten tahun 2012 sebesar 50%, namun Kabupaten Tangerang, Kota
Tangerang dan Kota Tangerang Selatan memiliki alokasi belanja pegawai kurang
dari 50%. Penyerapan anggaran belanja pegawai rata-rata mencapai 96% dari total
pagu anggaran. Tingkat penyerapan ini berada di atas rata-rata penyerapan
anggaran belanja pegawai tingkat nasional yang sebesar 95.67%. Penyerapan
anggaran belanja pegawai mempunyai sifat yang konstan sesuai dengan jadwal
pembayaran gaji secara rutin setiap bulan. Tingkat penyerapan belanja pegawai
hampir tidak pernah mengalami permasalahan. Kenaikan maupun penurunan
realisasi belanja tidak tergantung pada kelancaran pelaksanaan kegiatan, namun
hanya karena kenaikan jumlah pegawai maupun kenaikan angka gaji per pegawai.
Lonjakan realisasi belanja pegawai biasanya terjadi pada bulan tertentu yang
disebabkan karena kenaikan gaji pokok dan pembayaran gaji ke-13.
Belanja barang mempunyai sifat yang berbeda bila dibandingkan dengan
belanja pegawai. Alokasi belanja barang berkisar antara 13% hingga 30% dari
total belanja. Pelaksanaan pembangunan masing-masing daerah tergantung
kebijakan pemerintah daerah yang dimanifestasikan dalam alokasi belanja daerah.
Sebab pada dasarnya alokasi belanja yang disusun mencerminkan pola-pola
kebijakan, prioritas-prioritas dan program-program untuk setiap tahun (Priyarsono,
2008)
Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi
belanja daerah yang dibelanjakan untuk belanja modal. Belanja modal yang
Sumber: DJPK Kementrian Keuangan, 2013 (diolah).
Gambar 6 Struktur alokasi belanja pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi
Banten tahun 2012
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
pe
rse
nta
se a
loka
si
Kabupaten/kota
B.Lainnya
B.Barang
&Jasa
B.Modal
B.Pegawai
23
dilakukan oleh pemerintah daerah dapat berkontribusi pada perekonomian
regional apabila benar-benar diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur di
daerahnya. Infrastruktur merupakan investasi penunjang yang menjadi salah satu
faktor penentu pembangunan ekonomi. Belanja modal sangat erat kaitannya
dengan investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Alokasi belanja modal
berkisar antara 20% hingga 60% dari total belanja daerah.
Kota Tangerang Selatan memiliki rasio belanja modal yang lebih besar
dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Hal ini terjadi karena sejak Kota
Tangerang Selatan berdiri menjadi kota sendiri, diperlukan banyak dana untuk
membangun infrastruktur yang dapat mendukung pelaksanaan pembangunan
ekonomi. Hal ini didukung oleh teori Rostow, yang menyatakan pada awal
pembentukan daerah, alokasi belanja sebagian besar akan digunakan untuk
belanja pembangunan. Untuk Kota Serang serta Kota Cilegon, belanja modal
mendapat porsi yang kecil, kurang dari 20%. Hal ini disebabkan infrastruktur di
kedua kota tersebut relatif sudah lebih baik dibandingkan daerah-daerah lain di
Provinsi Banten.
Pengeluaran pemerintah dapat dinilai berkualitas atau tidak dapat ditinjau
dari besar alokasi belanja yang digunakan untuk membiayai pembangunan
daerahnya. Menurut Kementrian Keuangan, kualitas belanja diartikan sebagai
suatu ukuran atas belanja yang mempunyai karakteristik dengan suatu derajat
ekslensi yang tinggi. Sesuai dengan prinsip keuangan negara, dalam PP No. 58
Tahun 2005 tentang asas umum pengelolaan keuangan daerah pasal 4 ayat 1,
disebutkan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan dapat
bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepanutan, dan manfaat
untuk masyarakat. Belanja daerah lebih diprioritaskan untuk melindungi dan
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban
daerah untuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas
umum yang layak. Maka secara umum, belanja daerah yang berkualitas
merupakan kriteria belanja yang dialokasikan berdasarkan prioritas pembangunan
daerah yang dilakukan secara efektif dan efisien.
Berdasarkan proporsi alokasi belanja modal serta belanja barang dan jasa
yang digunakan sebagai investasi pemerintah untuk pembangunan Provinsi
Banten, Kota Tangerang Selatan memiliki persentase alokasi terbesar untuk
belanja tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas belanja yang
baik terdapat pada Kota Tangerang Selatan. Hal ini didukung oleh adanya
pembangunan infrastruktur perhubungan darat yang menghubungkan pusat-pusat
kegiatan ekonomi di kota tersebut, sehingga rasio belanja modal terhadap total
belanja tinggi. Sedangkan kualitas belanja yang kurang baik terdapat pada
Kabupaten Pandeglang yang memiliki alokasi belanja pegawai paling besar dan
alokasi belanja modal terendah. Kabupaten Pandeglang sendiri merupakan daerah
yang sangat memerlukan keseimbangan pendanaan karena kemampuan fiskal
daerahnya yang relatif kecil dan dibawah rata-rata nasional, sehingga perlu
ditinjau kembali mengenai alokasi belanja yang diperlukan untuk membantu
pembangunan.
24
Dapat dilihat pada Gambar 7, realisasi belanja pemerintah Provinsi Banten
memiliki alokasi yang berbeda dengan realisasi belanja pemerintah kabupaten dan
kota. Pada tahun 2012 dan 2013 proporsi belanja terbesar adalah belanja lainnya.
Realisasi belanja barang mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun
2011, namun mengalami penurunan di tahun 2012. Sementara itu realisasi belanja
modal mengalami penurunan di tahun 2011 dan kembali menunjukkan tren
meningkat di tahun 2012 dan kembali menurun di tahun 2013. Meskipun proporsi
belanja modal mengalami penurunan, nilai riilnya relatif stagnan pada kisaran 800
miliar rupiah. Realisasi belanja pegawai pemerintah provinsi menunjukkan alokasi
yang relatif rendah dibandingkan dengan alokasi belanja pemerintah kabupaten
dan kota. Alokasi belanja yang besar justru ditunjukkan oleh peningkatan belanja
lainnya yang signifikan.
Proporsi belanja lainnya pada tahun 2012 dan 2013 untuk belanja hibah
senilai 1.3 triliun rupiah. Sementara itu alokasi untuk belanja bagi hasil pada
tahun 2013 meningkat menjadi 1.3 triliun rupiah. Alokasi belanja bantuan
keuangan menurun menjadi 36 miliar rupiah. Belanja bantuan keuangan
dialokasikan untuk bantuan keuangan kepada kabupaten/kota dan pemerintahan
desa. Menurut laporan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD),
alokasi belanja hibah sebagian diperuntukkan bagi bantuan operasional sekolah
dan sebagian lainnya disalurkan kepada penerima dana hibah yang diusulkan
melalui satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Penggunaan belanja hibah
senantiasa mengandung berbagai permasalahan, terutama dalam sistem
akuntabilitasnya.pemberian dana hibah harus disertai dengan sinkronisasi
kebijakan agar tidak terjadi tumpang-tindih dan perlu pengawasan ketat agar tepat
sasaran.
Sumber: DJPK Kementrian Keuangan, 2013 (diolah).
Gambar 7 Realisasi belanja daerah Provinsi Banten tahun 2009-2013
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
2009 2010 2011 2012 2013
Mil
iar
rup
iah
Tahun
B. Pegawai
B. Modal
B. Barang
B. Lainnya
25
Belanja
Hibah
46% (1.3
triliun)
Belanja
Bantuan
Sosial
1% (36
miliar)
Belanja
Bagi
Hasil
46%
(1.3
triliun)
Belanja
Bantuan
Keuangan
7% (190
miliar)
2013
Belanja
Hibah
44%
(1.2
triliun)
Belanja
Bantuan
Sosial
1% (39
miliar)
Belanja
Bagi Hasil
41%
(1.1
triliun)
Belanja
Bantuan
Keuangan
14%
(410
miliar)
2012
Sumber: DJPK Kementrian Keuangan, 2013 (diolah).
Gambar 8 Komposisi belanja lainnya Provinsi Banten tahun 2012 dan 2013
Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Analasis data panel dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan
pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk
menentukan model yang akan digunakan, dilakukan uji kesesuaian model.
Variabel bebas yang digunakan adalah belanja pegawai (PEGAWAI), belanja
barang dan jasa (BARANG), dan belanja modal (MODAL). Uji Chow dilakukan
untuk memilih model yang terbaik antara pooled least square dan fixed effect.
Hasil Uji Chow diperoleh nilai probabilitas (0.0000) lebih kecil dari α = 5%,
sehingga menolak hipotesis nol untuk menggunakan pooled least square dan
menerima hipotesis untuk menggunakan fixed effect. Selanjutnya dilakukan Uji
Hausman untuk memilih model Fixed Effect dan random effect. Hasil Uji
Hausman menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0012 signifikan pada taraf
nyata lima persen (p-value < 5%), sehingga dapat diputuskan tolak H0 dan
menerima hipotesis untuk menggunakan fixed effect. Perbandingan hasil Uji Chow
dan Uji Hausman dapat dilihat pada tabel 6.
Berdasarkan hasil estimasi untuk melihat pengaruh belanja daerah
terhadap pertumbuhan ekonomi menggunakan metode fixed effect, diperoleh nilai
R² sebesar 0.998249. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman pertumbuhan
ekonomi dapat dijelaskan oleh variabel bebas sebesar 99.8249% sedangkan
sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistik yang
Tabel 6 Uji model pertumbuhan ekonomi terbaik (Pooled Least Square, Fixed
Effect Model, dan Random Effect Model)
Uji Model Terbaik Probabilitas Chi-Square
Uji Chow 0.0000
Uji Hausman 0.0012
26
signifikan yaitu pada tingkat α = 5% yaitu sebesar 0.000000 yang artinya masing-
masing variabel berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Hasil estimasi
model dapat dilihat pada tabel 7.
Tahap selanjutnya adalah menguji apakah model memenuhi asumsi model
linear klasik atau tidak, yang artinya model tersebut terbebas dari masalah
multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas, serta apakah residual error
terdistribusi normal dalam model. Tahap uji asumsi yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Multikolinearitas
Untuk melihat ada atau tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai
matriks korelasi antar variabel bebas. Berdasarkan hasil pengujian, nilai masing-
masing koefisien korelasi antar peubah bebas tidak lebih besar dari 0.8 yang
merupakan rule of thumb dari ada atau tidaknya multikolinearitas. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah multikolinearitas yang artinya
tidak ada hubungan linier antara peubah bebas. Hasil uji multikolinearitas dapat
dilihat pada Lampiran 4.
2. Autokorelasi
Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh pada tabel, diperoleh nilai
statistik Durbin-Watson sebesar 1.560497 pada tabel Durbin-Watson dengan taraf
nyata lima persen, untuk n = 32 dan k = 3 maka diperoleh nilai batas bawah (DL)
sebesar 1.244 dan batas atas (Du) sebesar 1.650. Syarat model terbebas dari
masalah autokorelasi, nilai statistik Durbin-Watson harus berada diantara nilai
(DU < DW < 4 - DU) atau berada pada selang 1.244 < DW < 2.756 oleh karena itu
dapat disimpulkan model tidak mengalami autokorelasi positif atau negatif.
3. Heteroskedastisitas
Berdasarkan hasil estimasi menggunakan metode Generalized Least Square
(GLS) pada tabel, nilai Sum squared resid (SSR) weighted sebesar 0.168780 lebih
kecil dari nilai Sum squared resid (SSR) unweighted sebesar 0.185775, sehingga
dapat dikatakan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas yang
berartivariansi error bersifat konstan.
Menurut Winarno (2007), heteroskedastisitas dapat menyebabkan estimator
tidak lagi BLUE karena mempunyai varians yang minimum, perhitungan standar
error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena estimasi regresi yang
dihasilkan tidak efisien serta uji hipotesis yang didasarkan pada uji F tidak dapat
dipercaya. Jika model mengalami masalah ini, dengan menggunakan metode
Generalized Least Square (GLS) atau cross-section weighting masalah sudah
teratasi.
4. Normalitas
Berdasarkan hasil estimasi Fixed Effect Model, nilai probabilitas Jarque-
Bera sebesar 0.204141. Nilai probabilitas tersebut lebih besar dari nilai α = 5%,
maka dapat disimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menolak H0 yang artinya
residual error terdistribusi normal dalam model. Hasil uji normalitas disajikan
pada lampiran 5.
27
Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh pada tabel 7, variabel belanja
pegawai tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan
koefisien sebesar -0.018705. walaupun tidak signifikan pada taraf nyata 5%
maupun taraf nyata 10%, pengaruhnya negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian, dimana kenaikan jumlah belanja
pegawai justru akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut
disebabkan oleh komposisi jenis belanja pegawai yang bersifat tidak produktif,
seperti belanja tunjangan pegawai. Belanja pegawai sebagai komposisi
pengeluaran konsumsi pemerintah hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu
saja yaitu pegawai negeri sipil (PNS) dan tidak bersentuhan langsung dengan
kepentingan publik sehingga peningkatan belanja pegawai tidak berdampak pada
peningkatan output sehingga tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
Banten. Hasil penelitian didukung oleh hasil penelitian Barro (1991) yang
mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah memiliki dampak yang
negatif terhadap pertumbuhan.
Hasil estimasi menunjukkan variabel belanja modal serta variabel belanja
barang dan jasa secara signifikan positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
pada taraf nyata 5%. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian, dimana belanja
modal dan barang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Nilai
koefisien variabel belanja modal adalah sebesar 0.068912, artinya kenaikan satu
persen belanja modal dapat langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
Banten sebesar 0.069% dengan asumsi ceteris paribus. Sedangkan nilai koefisien
belanja barang dan jasa sebesar 0.063792 memiliki pengertian, setiap kenaikan
satu persen belanja barang dan jasa secara langsung dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi Banten sebesar 0.064% dengan asumsi ceteris paribus. Hal
ini menunjukkan hasil estimasi yang sesuai dengan hipotesis yaitu peningkatan
belanja modal dan belanja barang dan jasa menyebabkan pertumbuhan ekonomi
meningkat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Barro (1990) dan penelitian
Folster dan Henrekson (1999) yang menyatakan bahwa kontribusi pengeluaran
yang produktif memiliki hubungan positif terhadap pertumbuhan, dan sebaliknya
pengeluaran yang tidak produktif memiliki hubungan yang negatif terhadap
pertumbuhan.
Tabel 7 Hasil estimasi Fixed Effect Model pada model pertumbuhan ekonomi
Variabel Koefisien Probabilitas
LNPEGAWAI -0.018705 0.3646
LNMODAL 0.068912 0.0006
LNBARANG 0.063792 0.0081
C 27.55154 0.0000
R-squared 0.998249
Adjusted R-squared 0.997416
Prob(F-statistic) 0.000000
Sum squared resid weighted 0.168780
Sum squared resid unweighted 0.185775
Durbin-Watson stat 1.560497
28
Belanja modal serta belanja barang dan jasa akan secara langsung
berdampak positif terhadap pertumbuhan. Jenis belanja yang termasuk dalam jenis
belanja barang dan jasa adalah belanja pengadaan barang dan belanja
pemeliharaan serta perbaikan. Apabila suatu barang diinvestasi dan dipelihara
dengan baik, maka akan menambah jangka waktu operasi barang tersebut.
Sementara belanja modal yang dilakukan untuk belanja investasi dengan sifatnya
yang tidak habis pakai akan menambah modal dan berpengaruh langsung pada
penambahan PDRB. Semakin tinggi angka rasionya, semakin baik pengaruhnya
terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini relevan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sodik (2007), yang menemukan pengeluaran investasi pemerintah
daerah berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Belanja modal serta belanja barang dan jasa merupakan proxy dari
pengeluaran pembangunan yang bersifat produktif. Penelitian yang dilakukan
Barro (1991) juga mendukung bahwa pengeluaran investasi memiliki dampak
positif terhadap pertumbuhan. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Teori
Rostow dan Musgrave yang menyatakan bahwa pada tahap pembangunan
diperlukan investasi pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah. Investasi pemerintah yang dimaksud adalah belanja modal serta belanja
barang dan jasa.
Berdasarkan hasil analisis, jenis belanja yang memiliki pengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi adalah belanja modal dan belanja barang dan jasa.
Hal ini berarti apabila ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka alokasi
belanja modal serta barang dan jasa perlu mendapat perhatian lebih. Dengan
adanya peningkatan belanja modal serta barang dan jasa maka porsi belanja untuk
pembangunan fasilitas pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur akan
semakin besar, sehingga dapat memperlancar proses kegiatan ekonomi dan dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Banten.
Penyerapan belanja modal melalui pembangunan infrastruktur akan
memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi
sehingga menghasilkan output yang lebih besar. Semakin pesat pertumbuhan
perekonomian Banten, akan mendorong pemerintah daerah Provinsi Banten untuk
memperbaiki struktur APBD. Melalui alokasi yang lebih besar untuk anggaran
belanja modal dan belanja barang dan jasa akan mendukung pertumbuhan
ekonomi yang stabil dan berkepanjangan.
Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan
Analisis data panel yang kedua dalam penelitian ini digunakan untuk
menjelaskan pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap kemiskinan. Pada hasil
Uji Chow diperoleh nilai probabilitas (0.0000) lebih kecil dari α = 5%, sehingga
menerima hipotesis untuk menggunakan fixed effect. Pada hasil Uji Hausman
menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.6712. Karena nilai p-value lebih besar
dari taraf nyata lima persen maupun sepuluh persen, maka diputuskan tidak cukup
bukti untuk menolak H0 dan menerima hipotesis untuk menggunakan model
random effect. Perbandingan hasil Uji Chow dan Uji Hausman dapat dilihat pada
tabel 8.
29
Hasil estimasi untuk melihat pengaruh belanja daerah terhadap kemiskinan
dapat dilihat pada tabel. Berdasarkan hasi estimasi, diperoleh nilai R² pada
Random Effect Model sebesar 0.721909. Hal ini menunjukkan keragaman
persentase penduduk miskin dapat dijelaskan oleh variabel belanja daerah sebesar
0.72%, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Penggunaan
Random Effect Model menyatakan bahwa minimal terdapat satu di antara variabel
belanja daerah yang signifikan mempengaruhi persentase penduduk miskin. Hal
tersebut didasari oleh nilai F-statistik (0.0000) yang signifikan pada taraf nyata
lima persen.
Uji kriteria ekonometrika dilakukan untuk menguji asumsi klasik yang ada
seperti normalitas, multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Tahap
uji asumsi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Multikolinearitas
Berdasarkan hasil pengujian multikolinearitas, nilai masing-masing
koefisien korelasi antar peubah bebas tidak lebih besar dari 0.8 (rule of thumb)
dan R². Sehingga dapat disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah
multikolinearitas yang artinya tidak ada hubungan linier antara peubah bebas.
Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada Lampiran 9.
2. Autokorelasi
Berdasarkan hasil estimasi model random effect, diperoleh nilai statistik
Durbin-Watson sebesar 1.822662. Syarat model terbebas dari masalah
autokorelasi, dengan nilai statistik Durbin-Watson berada diantara (DU < DW < 4
- DU) atau berada pada selang 1.244 < DW < 2.756 terpenuhi, maka dapat
disimpulkan model tidak mengalami masalah autokorelasi.
3. Heteroskedastisitas
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel, nilai Sum squared resid (SSR)
weighted sebesar 6.517820 lebih kecil dari nilai Sum squared resid (SSR)
unweighted sebesar 201.4148, sehingga dapat disimpulkan bahwa model terbebas
dari masalah heteroskedastisitas yang artinya variansi error bersifat konstan.
4. Normalitas
Berdasarkan hasil estimasi, nilai probabilitas Jarque-Bera sebesar 0.480845
lebih besar dari nilai α = 5%, maka dapat disimpulkan bahwa tidak cukup bukti
untuk menolak H0 yang artinya residual error terdistribusi normal dalam model.
Hasil uji normalitas disajikan pada lampiran 10.
Tabel 8 Uji model kemiskinan terbaik (Pooled Least Square, Fixed Effect
Model, dan Random Effect Model)
Uji Model Terbaik Probabilitas Chi-Square
Uji Chow 0.0000
Uji Hausman 0.6712
30
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 9, dapat dilihat bahwa variabel
belanja pegawai tidak berpengaruh signifikan terhadap persentase penduduk
miskin dengan koefisien sebesar 0.150669. Selain tidak signifikan pada taraf
nyata 5% maupun taraf nyata 10%, pengaruhnya positif terhadap persentase
penduduk miskin, sehingga kenaikan jumlah belanja pegwai justru akan
meningkatkan persentase penduduk miskin. Hal ini sesuai dengan hipotesis
penelitian, dimana kenaikan jumlah belanja pegawai justru akan meningkatkan
presentase penduduk miskin. Belanja pegawai sebagai komposisi pengeluaran
konsumsi pemerintah hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja yaitu
pegawai negeri sipil (PNS) dan tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan
publik. Peningkatan belanja pegawai tidak dapat meningkatkan daya beli
masyarakat sehingga tidak berpengaruh pada penurunan penduduk miskin.
Sementara itu, hasil estimasi untuk belanja modal dan belanja barang dan
jasa berpengaruh negatif signifikan terhadap persentase penduduk miskin di
Banten. Nilai koefisien dari belanja modal adalah sebesar -0.762993, hal ini
berarti bahwa kenaikan satu persen alokasi belanja modal akan menurunkan
persentase penduduk miskin sebesar 0.76%. Sementara itu, nilai koefisien untuk
belanja barang dan jasa sebesar -1.136091, artinya kenaikan satu persen alokasi
belanja barang dan jasa akan menurunkan persentase penduduk miskin sebesar
1,14%. Hal ini juga sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa
bertambahnya jumlah alokasi belanja modal dan belanja pegawai akan
mengurangi persentase penduduk miskin Provinsi Banten.
Berdasarkan ketiga jenis belanja yang dibahas pada penelitian, belanja
barang dan jasa memiliki pengaruh paling besar terhadap pengurangan
kemiskinan dibandingkan dengan belanja modal. Hal ini menunjukkan bahwa
infrastruktur dan fasilitas publik seperti rumah sakit dan sekolah di kabupaten dan
kota Provinsi Banten lebih memerlukan perbaikan dibandingkan dengan
pembangunan gedung-gedung baru. Hal ini juga sesuai dengan kondisi fasilitas
umum dan infrastruktur yang kurang memadai di kabupaten dan kota Provinsi
Banten, terutama di bagian selatan Provinsi Banten yaitu Kabupaten Pandeglang
dan Kabupaten Lebak.
Tabel 9 Hasil estimasi Random Effect Model pada model kemiskinan
Variabel Koefisien Probabilitas
LNPEGAWAI 0.150669 0.5744
LNMODAL -0.762993 0.0016
LNBARANG -1.136091 0.0000
C 39.96471 0.0000
R-squared 0.721909
Adjusted R-squared 0.692113
Prob(F-statistic) 0.000000
Sum squared resid weighted 6.517820
Sum squared resid unweighted 201.4148
Durbin-Watson stat 1.822662
31
Rasio penurunan penduduk miskin mencerminkan korelasi antara
pertumbuhan belanja kesejahteraan dibandingkan dengan penurunan persentase
penduduk miskin. Secara ideal, rasio pertumbuhan belanja modal dan barang
bertolak belakang dengan penurunan penduduk miskin. Dengan adanya
peningkatan belanja modal dan belanja barang, maka alokasi yang digunakan
untuk pengadaan infrastruktur publik semakin meningkat. Adanya peningkatan
fasilitas kesehatan dan pendidikan akan meningkatkan taraf hidup masyarakat
sehingga akan berdampak pada peningkatan pendapatan dan tingkat kemiskinan
akan menurun. Belanja pemerintah daerah diharapkan akan mendorong
pengentasan kemiskinan dengan penyediaan kebutuhan masyarakat melalui
pelayanan publik. Semakin tinggi rasio belanja modal terhadap total belanja, maka
semakin besar dampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis mengenai pengaruh belanja pemerintah terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan Provinsi Banten, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Perkembangan PDRB selama kurun waktu 2009-2012 di kabupaten dan kota
Provinsi Banten semakin meningkat dan didukung oleh tiga sektor utama yaitu
sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor
transportasi dan komunikasi. Perkembangan kemiskinan selama kurun waktu
2009-2012 di kabupaten dan kota Provinsi Banten mengalami penurunan
namun Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki tingkat
kemiskinan dan nilai indeks kemiskinan tertinggi. Sementara itu perkembangan
belanja pemerintah selama kurun waktu 2009-2012 di kabupaten dan kota
Provinsi Banten mengalami peningkatan dengan alokasi terbesar untuk belanja
pegawai, kemudian belanja modal dan belanja barang. Kualitas belanja daerah
yang baik terdapat pada Kota Tangerang Selatan, dengan rasio belanja modal
tertinggi, sementara kualitas belanja yang kurang baik terdapat pada Kabupaten
pandeglang dengan rasio belanja modal terendah dan alokasi belanja pegawai
tertinggi di Banten.
2. Belanja modal dan belanja barang dan jasa sebagai bentuk investasi pemerintah
memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,
karena dengan alokasi yang besar akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di
Banten. Belanja modal dan belanja barang dan jasa berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap persentase penduduk miskin, sehingga peningkatan belanja
modal dan barang akan mengurangi persentase penduduk miskin. Sedangkan
belanja pegawai sebagai bentuk konsumsi pemerintah tidak berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan.
32
Saran
1. Perlu dihitung jumlah pegawai negeri sipil daerah (PNSD) ideal di
Kabupaten/Kota Provinsi Banten yang hasilnya akan digunakan sebagai dasar
dalam alokasi belanja pegawai maksimal. Hal ini perlu dilakukan untuk
penyesuaian alokasi belanja, sehingga dapat memperbesar porsi belanja modal
dalam APBD yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara
berkelanjutan. Penyerapan belanja modal melalui pembangunan infrastruktur
akan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan kegiatan
perekonomian.
2. Perlunya upaya pemerintah daerah untuk menyelaraskan pola alokasi belanja
ke daerah dengan target kesejahteraan masyarakat. Usaha untuk pencapaian
target tersebut dapat berupa pembangunan serta perbaikan fasilitas publik dan
infrastruktur di daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi yaitu
Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Alokasi belanja modal dan
belanja barang yang besar diharapkan dapat memacu produktivitas tenaga kerja
sehingga dapat menekan tingkat kemiskinan di daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
[BI] Bank Indonesia. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Banten.
http://www.bi.go.id [3 Maret 2014]
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Banten Dalam Angka, Berbagai Edisi. Banten
(ID). BPS Provinsi Banten.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. PDRB Kabupaten/Kota di Indonesia, Berbagai
Edisi. Jakarta (ID). BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Keuangan Pemerintahan, Berbagai
Edisi. Jakarta (ID). BPS.
[Kementrian Keuangan RI] Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Daerah
Kementrian Keuangan RI. 2013. Realisasi APBD, Berbagai edisi. Jakarta (ID).
Kementrian Keuangan RI.
[Kementrian Keuangan RI] Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. 2013.
Deskripsi dan Analisis APBD 2012. Jakarta (ID). Kementrian Keuangan RI.
Barro, Robert J. 1990. Government Spending in a simple Model of Endogenous
Growth. [Jurnal]. Journal of Political Economy.
Barro, Robert J. 1991. Economic Growth in a Cross section of Countries. [Jurnal].
Journal of Economy.
Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series.
Bogor (ID): IPB Pr.
Gujarati, D.N. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika Ed Ke-3. Julius A Mulyadi
[penerjemah]. Jakarta (ID): Erlangga.
Haryanto, T. P. 2013. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2011. [Jurnal].
Economic Development Analysis Journal
[IPB] Institut Pertanian Bogor. 2012. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Ed Ke-3.
Bogor (ID): IPB Pr.
33
Jhingan, M.L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. D. Guritno
[penerjemah]. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Pr.
Juanda B, Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu. Bogor (ID): IPB Pr.
Makrifah, S. A. 2009. Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya
terhadap Pembangunan Ekonomi di Era Desentralisasi Fiskal [Tesis]. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi Ed Ke-5. Imam Nurmawan
[penerjemah]. Jakarta (ID): Erlangga.
Saidah, Nur. 2010. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal [Skripsi]. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sodik, J. 2007. “Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional”.
Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 12 (1): 27-36. Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.
Todaro MP, Stephen CS. 2006. Pembangunan Ekonomi Ed Ke-9. Haris Munandar
[penerjemah]. Jakarta (ID): Erlangga.
[RI]. Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Jakarta (ID): RI
[RI]. Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Jakarta (ID): RI
[RI]. Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): RI
[RI]. Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Jakarta (ID): RI
34
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Uji Chow pada model Pertumbuhan Ekonomi
Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 514.096139 (7,21) 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: LNPDRB Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/17/14 Time: 13:14 Sample: 2009 2012 Periods included: 4 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 32 Use pre-specified GLS weights
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNPEGAWAI 0.662973 0.156157 4.245541 0.0002
LNMODAL 0.135734 0.172706 0.785926 0.4385 LNBARANG 0.120180 0.226143 0.531436 0.5993
C 12.74988 2.424120 5.259590 0.0000 Weighted Statistics R-squared 0.698252 Mean dependent var 65.35785
Adjusted R-squared 0.665922 S.D. dependent var 33.82964 S.E. of regression 1.019310 Sum squared resid 29.09179 F-statistic 21.59760 Durbin-Watson stat 0.820232 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.524614 Mean dependent var 29.74656
Sum squared resid 9.449022 Durbin-Watson stat 0.538545
35
Lampiran 2 Hasil Uji Hausman pada model Pertumbuhan Ekonomi
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 15.803250 3 0.0012
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LNPEGAWAI -0.025246 -0.004097 0.000039 0.0007
LNMODAL 0.086427 0.082974 0.000013 0.3397 LNBARANG 0.066373 0.067689 0.000004 0.5262
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LNPDRB Method: Panel Least Squares Date: 05/17/14 Time: 13:19 Sample: 2009 2012 Periods included: 4 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 32
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 27.28587 0.807215 33.80248 0.0000
LNPEGAWAI -0.025246 0.050298 -0.501934 0.6209 LNMODAL 0.086427 0.041374 2.088924 0.0491
LNBARANG 0.066373 0.043034 1.542350 0.1379 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.990764 Mean dependent var 29.74656
Adjusted R-squared 0.986366 S.D. dependent var 0.800736 S.E. of regression 0.093497 Akaike info criterion -1.635498 Sum squared resid 0.183574 Schwarz criterion -1.131651 Log likelihood 37.16796 Hannan-Quinn criter. -1.468487 F-statistic 225.2784 Durbin-Watson stat 1.500497 Prob(F-statistic) 0.000000
36
Lampiran 3 Hasil Estimasi pada model Pengaruh belanja Daerah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dengan model Fixed Effect
Dependent Variable: LNPDRB
Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 05/11/14 Time: 23:06
Sample: 2009 2012
Periods included: 4
Cross-sections included: 8
Total panel (balanced) observations: 32
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LNPEGAWAI -0.018705 0.020186 -0.926644 0.3646
LNMODAL 0.068912 0.017210 4.004072 0.0006
LNBARANG 0.063792 0.021811 2.924715 0.0081
C 27.55154 0.341583 80.65844 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.998249 Mean dependent var 65.35785
Adjusted R-squared 0.997416 S.D. dependent var 33.82964
S.E. of regression 0.089650 Sum squared resid 0.168780
F-statistic 1197.470 Durbin-Watson stat 1.560497
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.990654 Mean dependent var 29.74656
Sum squared resid 0.185775 Durbin-Watson stat 1.432534
37
Lampiran 4 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Pertumbuhan Ekonomi
Covariance Analysis: Ordinary
Date: 05/11/14 Time: 23:10
Sample: 2009 2012
Included observations: 32
Correlation LNPDRB LNPEGAWAI LNMODAL LNBARANG
LNPDRB 1.000000
LNPEGAWAI 0.750274 1.000000
LNMODAL 0.555597 0.723419 1.000000
LNBARANG 0.527655 0.634383 0.620433 1.000000
Lampiran 5 Hasil Uji Normalitas pada model Pertumbuhan Ekonomi
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
Series: Standardized Residuals
Sample 2009 2012
Observations 32
Mean 3.02e-16
Median -0.222185
Maximum 1.264871
Minimum -0.986570
Std. Dev. 0.749302
Skewness 0.406020
Kurtosis 1.686985
Jarque-Bera 3.177890
Probability 0.204141
38
Lampiran 6 Hasil Uji Chow pada model Kemiskinan
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 190.842601 (7,21) 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: PPM Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/17/14 Time: 13:24 Sample: 2009 2012 Periods included: 4 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 32 Use pre-specified GLS weights
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNBP -1.400380 1.062438 -1.318081 0.1982
LNBM 1.336810 0.948253 1.409761 0.1696 LNBB -0.286202 1.029432 -0.278020 0.7830
C 10.22458 16.25157 0.629144 0.5344 Weighted Statistics R-squared 0.075126 Mean dependent var 9.312343
Adjusted R-squared -0.023968 S.D. dependent var 5.315609 S.E. of regression 3.428281 Sum squared resid 329.0870 F-statistic 0.758129 Durbin-Watson stat 0.206898 Prob(F-statistic) 0.527050
Unweighted Statistics R-squared -0.227023 Mean dependent var 6.446875
Sum squared resid 270.2006 Durbin-Watson stat 0.190172
39
Lampiran 7 Hasil Uji Hausman pada model Kemiskinan
Dependent Variable: PPM Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 05/17/14 Time: 13:24 Sample: 2009 2012 Periods included: 4 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 32 Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNBP 0.150669 0.265114 0.568316 0.5744
LNBM -0.762993 0.218674 -3.489187 0.0016 LNBB -1.136091 0.227872 -4.985652 0.0000
C 39.96471 4.385192 9.113559 0.0000 Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 2.965419 0.9728
Idiosyncratic random 0.495489 0.0272 Weighted Statistics R-squared 0.721909 Mean dependent var 0.536731
Adjusted R-squared 0.692113 S.D. dependent var 0.869514 S.E. of regression 0.482472 Sum squared resid 6.517820 F-statistic 24.22878 Durbin-Watson stat 1.822662 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.085344 Mean dependent var 6.446875
Sum squared resid 201.4148 Durbin-Watson stat 0.058982
40
Lampiran 8 Hasil Estimasi pada model Pengaruh Belanja Daerah terhadap
Kemiskinan Provinsi Banten dengan model Random Effect
Dependent Variable: PPM
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 05/11/14 Time: 22:57
Sample: 2009 2012
Periods included: 4
Cross-sections included: 8
Total panel (balanced) observations: 32
Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LNBP 0.150669 0.265114 0.568316 0.5744
LNBM -0.762993 0.218674 -3.489187 0.0016
LNBB -1.136091 0.227872 -4.985652 0.0000
C 39.96471 4.385192 9.113559 0.0000
Effects Specification
S.D. Rho
Cross-section random 2.965419 0.9728
Idiosyncratic random 0.495489 0.0272
Weighted Statistics
R-squared 0.721909 Mean dependent var 0.536731
Adjusted R-squared 0.692113 S.D. dependent var 0.869514
S.E. of regression 0.482472 Sum squared resid 6.517820
F-statistic 24.22878 Durbin-Watson stat 1.822662
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.085344 Mean dependent var 6.446875
Sum squared resid 201.4148 Durbin-Watson stat 0.058982
41
Lampiran 9 Hasil Uji Multikolinearitas pada model Kemiskinan
Covariance Analysis: Ordinary
Date: 05/11/14 Time: 22:59
Sample: 2009 2012
Included observations: 32
Correlation PPM LNBP LNBB LNBM
PPM 1.000000
LNBP -0.344411 1.000000
LNBB -0.366046 0.634383 1.000000
LNBM -0.201622 0.723419 0.620433 1.000000
Lampiran 10 Hasil Uji Normalitas pada model Kemiskinan
0
1
2
3
4
5
6
7
-6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4
Series: Standardized Residuals
Sample 2009 2012
Observations 32
Mean 9.02e-15
Median -0.189777
Maximum 3.929845
Minimum -5.263611
Std. Dev. 2.548971
Skewness -0.141911
Kurtosis 1.991158
Jarque-Bera 1.464422
Probability 0.480845
42
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Nindya Ulfilianjani, lahir di Bogor pada tanggal 5 Desember
1992. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dan merupakan putri
dari pasangan Bapak Ikarianto Haryadi dan Ibu Neni Isnaeni. Penulis menamatkan
pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Al-Azhar Jambi tahun 1998, kemudian
melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SD Adhyaksa Jambi hingga tahun 2000
dan menamatkan pendidikan di SD Pengadilan 1 Bogor tahun 2004. Pada tahun
2007 penulis menamatkan pendidikan di SMP Negeri 2 Bogor kemudian
melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 5 Bogor dan
menamatkannya tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan
diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kampus. Pada
masa kepengurusan 2011-2012 penulis menjabat sebagai Bendahara Umum Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) IPB Agria Swara, Ketua Coast Vocal Grup FEM
IPB, dan anggota Divisi Event Organizer CEPHOT FEM IPB. Pada periode 2012-
2013 penulis dipercaya untuk menjadi Bendahara Umum pada Himpunan Profesi
dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan anggota divisi
Kesejahteraan Anggota UKM IPB Agria Swara. Selain aktif dalam organisasi,
penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan baik yang didakan oleh
Departemen, Fakultas maupun Unit Kegiatan Mahasiswa. Penulis pernah
mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa Bidang Penelitian tahun 2013 dengan
judul “Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Permintaan Peningkatan Upah
Buruh : Kasus Karyawan Industri Kabupaten Bogor”.