Upload
vudieu
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY DAN ATTACHMENT
STYLE TERHADAP AGRESIVITAS
(Studi pada pelajar di SMAN 6 Jakarta)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Oleh:
YUNIA SYUKMAWATI
(109070000200)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2014
i
PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY DAN ATTACHMENT
STYLE TERHADAP AGRESIVITAS
(Studi pada pelajar di SMAN 6 Jakarta)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Oleh:
YUNIA SYUKMAWATI
(109070000200)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2014
v
MOTTO
“A person who never made a mistake never tried anything new.”
“Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow. The important thing is not to stop questioning.”
– Albert Einstein –
“When you talk, you repeat what you already know; when
you listen, you often learn something.”
– Jared Sparks –
Persembahan
Skripsi ini saya persembahkan kepada orang tua yang telah bersusah payah meberikan yang terbaik untuk anaknya serta semua pihak yang
telah memberikan dukungan, bantuan, masukan dan doa.
vi
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
B) November 2014
C) Yunia Syukmawati
D) Pengaruh Big Five Personality dan Attachment Style terhadap Agresivitas
(Studi pada pelajar di SMAN 6 Jakarta).
E) xiii + 111 Halaman + Lampiran
F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh big five personality
dan attachment style terhadap agresivitas (studi pada pelajar di SMAN 6
Jakarta dengan menggunakan metode kuantitatif. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah probalility sampling dan
diperoleh responden sebesar 250 orang yang merupakan siswa di SMAN 6
Jakarta. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Multiple Regression Analysis pada taraf signifikansi 0,05 yang diperoleh
dari hasil perhitungan skala Aggression Questionnaire Scale, Big five
Personality Inventory (BFI), dan Relationship Attachment Scale
Questionnaire (RSQ).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
big five personality dan attachment style terhadap agresivitas. Hasil
pengujian hipotesis minor menunjukkan bahwa extraversion,
agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openness to experience,
fearful attachment, dan jenis kelamin berpengaruh signifikan terhadap
agresivitas. Sedangkan variabel secure attachment, preoccupied
attachment dan dismissing attachment tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap agresivitas.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan menggunakan faktor-faktor lain
yang mempengaruhi agresivitas untuk memperkaya hasil penelitian dan
khususnya pada variabel dismissing attachment untuk mempertimbangkan
menggunakan alat ukur yang lebih sesuai. Selain itu, bagi SMAN 6 Jakarta
disarankan menyelenggarakan training atau seminar untuk para siswa dan
orang tua dan mempertegas peraturan sekolah untuk mencegah agresivitas.
Kata kunci : Big Five Personality, Attachment style, Agresivitas, Pelajar
SMA.
G) Daftar bacaan : 52 bahan (1980 – 2012)
vi
ABSTRACT
A) Faculty of Psychology, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta
B) November 2014
C) Yunia Syukmawati
D) The affects of the Big Five Personality and Attachment Style on Aggressiveness of
an 6 high school students, Jakarta
E) xiii + 111 pages + Appendix
F) This research examines the affects of the big five personality and attachment style
on aggressiveness of an 6 high school students, Jakarta by using quantitative
methods. The sampling technique used in this study is a probalility sampling and
obtained for 250 respondents who are students at 6 High School, Jakarta. The
method of data analysis used in this study is the Multiple Regression Analysis on the
significance level of 0.05, which is obtained from the calculation scale Aggression
Questionnaire Scale, Big five Personality Inventory (BFI), and the Relationship
Attachment Scale Questionnaire (RSQ).
The results of this study indicate that there is significant affects big five personality
and attachment style on the aggressiveness. Test results indicate minor hypothesis
that extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openness to
experience, Fearful attachment, and gender significantly affects aggressiveness.
While variable secure attachment, preoccupied attachment and dismissing
attachment does not have a significant affects on the aggressiveness of an high
school students.
For further research, it is recommended to use other factors that affects the
aggressiveness to enrich the research and especially in dismissing attachment
variables to consider using a more appropriate measuring tool. In addition, for high
school 6 Jakarta suggested conducting training or seminars for students and parents
and then reinforce school rules to prevent aggression on the students.
Keywords: Big Five Personality, Attachment style, aggressiveness, high school
students
G) Reading Material: 52 materials (1980-2012)
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Alhamdulillahirabbil’alamiin puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat
kekuasaan-Nya, rahmat, karunia, anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi besar Muhammad SAW
beserta sahabat dan keluarga, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Allahumma
shalli ‘alasaiyidinaa Muhammad wa’ala alisaiyidina Muhammad.
Skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang disusun dalam rangka
menyelesaikan jenjang pendidikan Sarjana Strata Satu (S1) sesuai dengan
kurikulum yang telah ditetapkan di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Selama penyelesaian skripsi ini peneliti tidak luput dari proses pembelajaran yang
amat panjang. Peneliti telah melewati berbagai macam bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan
Terima Kasih yang sebesar – besarnya kepada pihak yang telah membantu, yaitu
sebagai berikut :
1. Prof. Abdul Mujib, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, beserta jajarannya yang selalu berjuang agar Fakultas Psikologi
menjadi lebih baik dan menjadikan lulusan yang berkualitas.
2. Gazi Saloom, M.Si, dosen pembimbing skripsi yang sangat banyak
memberikan masukan, kritik, wawasan, pemahaman dan dukungan dalam
penulisan skripsi ini. Kemuliaan dalam membantu saya semoga mendapat
balasan yang berlipat dari Allah SWT.
3. Dr. Achmad Syahid, M.A, penasihat akademik penulis yang telah banyak
memberikan dukungan dan masukan selama masa perkuliahan berlangsung.
4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
selama ini memberikan ilmu, wawasan, pengetahuan dan pengalaman pada
penulis dalam menjalani perkuliahan. Semoga Allah memberikan berlipat-
lipat pahala dan rahmat-Nya atas ilmu dan amal yang telah Bapak/Ibu
berikan.
5. Para staf bagian Akademik, Umum, Keuangan, dan Perpustakaan Fakultas
Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan
informasi dan bantuan selama proses melengkapi persyaratan skripsi.
6. Orang tua penulis, Syukri Almas (ayah) dan Sumarsih (ibu). Terima kasih
atas kasih sayang, perhatian, pengertian, motivasi, do’a, pengorbanan,
bantuan, semangat, dan dukungan, baik dari segi moril maupun materil serta
kesabaran selama ini menunggu anak tunggalnya menjadi sarjana. Keluarga
besar penulis lainnya, Warsini (mbah putri), Alm. Kaslim (mbah kakung),
Purlinawati (tante), Susi Tri Wahyuni (tante), Rizki Aulia Qais (sepupu),
Rachmadi Setiawan (om), Mohammad Panji Jauhari (om), Suwarto (om),
viii
dan Suhartono (om), terima kasih atas semangat, doa dan kesabarannya
dalam mendengarkan keluh kesah penulis.
7. Seluruh siswa dan siswi SMA Negeri 6 Jakarta Selatan yang bersedia
menjadi sampel penelitian ini, Bapak Purnomo selaku guru matematika dan
Bapak Hamid selaku kepala bagian HUMAS, terima kasih telah memberi
masukan dan bantuan dalam pengumpulan data di SMA Negeri 6 Jakarta
Selatan.
8. Novieanty Nurul Utami, Iman Aji Herdaya, Muhammad Kahfi Ramadhani,
Indah Puspita Rani, Lintang Rifai Widyatmoko Prawirodirjoe dan Edi
Wibowo. Terima kasih sahabat-sahabat penulis, yang telah setia menemani,
mendukung, membantu, menyemangati dalam canda dan tawa.
9. Hauria Nadhifa As-syadiah, Rizki Setyowati, kartika yuniarti, dan Kak Puti,
terima kasih telah membantu dalam memberikan masukan, olah data dan
menyemangati. Teman-teman Exclusive Class 2009 yang sangat kompak
dalam segala hal. Peneliti sangat senang bisa menghabiskan waktu
mengenyam pendidikan Psikologi ini bersama dengan mereka. Terutama
Diana Mumpuni, Rosita Dewi, Keyko Asri Septiani, Irma Mahrifa, Tiara
Maharani dan Suzan Zuhra yang telah membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi dan pengolahan data skripsi.
10. Kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung penulis. Mohon
maaf tidak disebutkan satu per satu.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat dan inspirasi bagi
banyak orang yang membaca. Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan masukan, kritik dan saran demi
perbaikan di masa mendatang. Terima kasih.
Jakarta, 4 November 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING…………….…….. …………….. ii
LEMBAR PENGESAHAN SIDANG MUNAQOSYAH.……..…………….. iii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………. iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN……………………………………………….. v
ABSTRAK………………………………………………………………………. vi
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………………. xi
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….... xii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………….… 1
1.2 Pembatasan dan Perumusan masalah ……………………......… 12
1.2.1 Pembatasan masalah …………………………………… 12
1.2.2 Perumusan masalah ……………………………………. 13
1.3 Tujuan penelitian ………………………………………………. 13
1.4 Manfaat penelitian ……………………………………………... 14
1.4.1 Manfaat teoritis ………………………………………… 14
1.4.2 Manfaat praktis ………………………………………… 14
1.5 Sistematika Penulisan ………………………………………..… 14
BAB 2 LANDASAN TEORI …………………………………………………… 16
2.1 Agresivitas…………………………………………………………. 16
2.1.1 Pengertian Agresivitas…………………………………… 16
2.1.2 Agresivitas pada pelajar …………………………………… 18
2.1.3 Bentuk-bentuk agresivitas ……………………………….... 19
2.1.4 Pengukuran agresivitas …………………………………… 21
2.1.5 Faktor yang mempengaruhi agresivitas ………………….. 23
2.2 Big five Personality…………………………………………………31
2.2.1 Definisi Big five Personality ……………………………… 31
2.2.2 Dimensi Big five personality……………………………….. 32
2.2.3 Pengukuran Big five personality …………………………... 33
2.2.4 Agresivitas dan Big five Personality ……………………… 35
2.3 Attachment style…………………………………………………… 37
2.3.1 Definisi Attachment Style…………………………………. 37
2.3.2 Dimensi Attachment style ………………………………… 39
2.3.3 Perkembangan attachment dalam rentan hidup……………. 41
2.3.4 Pembentukan tingkah laku lekat (attachment behavior)……43
2.3.5 Model mental kelekatan…………………………………….44
2.3.5 Pengukuran Attachment style……………………………… 46
2.3.4 Attachment style dan agresivitas ………………………….. 47
2.4 Kerangka Berpikir ……………………………………………….... 48
2.5 Hipotesis………………………………………………………… 53
x
BAB 3 METODE PENELITIAN ……………………………………………….. 55
3.1 Sampel Penelitian dan teknik pengambilan data ………………… 55
3.2 Variabel Penelitian ………………….…..……………….............. 55
3.3 Definisi operasional variabel……………………………………... 56
3.4 Pengumpulan data ……………………………………………….. 57
3.4.1. Teknik pengumpulan data ……………………………….. 57
3.4.2. Instrumen Penelitian. …………………………………….. 59
3.5. Uji Validitas Konstruk………………..……………………………. 61
3.5.1 Uji Validitas Konstruk Agresivitas ..................................... 64
3.5.2 Uji Validitas Konstruk Big five personality ……………… 66
3.5.3 Uji Validitas Konstruk Attachment style …………………. 75
3.6 Prosedur Pengumpulan Data ……………………………………… 81
3.7 Metode Analisis Data …………………………………………… 81
Bab 4 HASIL PENELITIAN …………………………………………….…….. 84
4.1 Analisis Deskriptif……………………………………………….... 84
4.2 Kategorisasi Hasil penelitian ………………………………………85
4.3 Uji Hipotesis Penelitian ………………………………………....... 90
4.3.1. Analisis Regresi Variabel Penelitian ………………........... 90
4.3.2 Proporsi Varian Sumbangan Masing-masing IV………… 94
Bab 5 KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN ………………...……........... 97
5.1 Kesimpulan ………………………………………………… .. ..... 97
5.2 Diskusi ………………………………………………………….... 97
5.3 Saran …………………………………………………………....... 105
5.3.1 Saran Teoritis …………………………………………..... 105
5.3.2 Saran Praktis …………………………………………...... 106
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………......... 108
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.4.1.1 Skor Skala Model Likert….………………………......................... 58
Tabel 3.4.2.1 Blueprint Aggression Questionnaire …………………………….. 59
Tabel 3.4.2.2 Blueprint Big Five Personality…………………………………… 60
Tabel 3.4.2.3 Blueprint Attachment style…………………………………….…... 61
Tabel 3.5.1.1 Muatan Faktor Agresivitas………………………..... ………………65
Tabel 3.5.1.2 Muatan Faktor Agresivitas setelah di drop……………………….. 66
Tabel 3.5.2.1 Muatan Faktor dimensi Extraversion……………………………… 67
Tabel 3.5.2.2 Muatan Faktor dimensi Extraversion setelah di drop……………… 68
Tabel 3.5.2.3 Muatan Faktor dimensi agreeableness ……………........................ 69
Tabel 3.5.2.4 Muatan Faktor dimensi agreeableness setelah di drop …………….70
Tabel 3.5.2.5 Muatan Faktor dimensi conscientiousness………………………….71
Tabel 3.5.2.6 Muatan Faktor dimensi conscientiousness setelah di drop…………71
Tabel 3.5.2.7 Muatan Faktor dimensi Neuroticism………………………………. 73
Tabel 3.5.2.8 Muatan Faktor dimensi openness to experiences…………………...74
Tabel 3.5.2.9 Muatan Faktor dimensi openeess to experiences setelah di drop… 74
Tabel 3.5.3.1 Muatan Faktor dimensi secure attachment………………………….76
Tabel 3.5.3.2 Muatan Faktor dimensi fearful attachment………………………… 77
Tabel 3.5.3.3 Muatan Faktor dimensi preoccupied attachment………………… 78
Tabel 3.5.3.4 Muatan Faktor dimensi preoccupied setelah di drop……………….79
Tabel 3.5.3.5 Muatan Faktor dimensi dismissing attachment……………………..80
Tabel 3.5.3.6 Muatan Faktor dimensi dismissing setelah di drop……………… 80
Tabel 4.1.1 Gambaran Subjek.........................................………………............. 84
Tabel 4.1.2 Nilai rata-rata agresivitas berdasarkan jenis kelamin……………. 85
Tabel 4.2.1 Norma skor ..............................................................……………... 86
Tabel 4.2.2 Tabel subjek berdasarkan tingkat agresivitas ..........…………… 86
Tabel 4.2.3 Tabel subjek berdasarkan tingkat agresivitas pria dan wanita ..… 86
Tabel 4.2.4 Tabel subjek berdasarkan tingkat extraversion………………… 87
Tabel 4.2.5 Tabel subjek berdasarkan tingkat agreeableness………………… 87
Tabel 4.2.6 Tabel subjek berdasarkan tingkat conscientiousness…………… 87
Tabel 4.2.7 Tabel subjek berdasarkan tingkat neuroticism.............................. 88
Tabel 4.2.8 Tabel subjek berdasarkan tingkat openness to experiences............. 88
Tabel 4.2.9 Tabel subjek berdasarkan tingkat secure attachment...................... 88
Tabel 4.2.10 Tabel subjek berdasarkan tingkat fearful attachment...................... 89
Tabel 4.2.11 Tabel subjek berdasarkan tingkat preoccupied attachment………. 89
Tabel 4.2.12 Tabel subjek berdasarkan tingkat dismissing attachment................ 89
Tabel 4.3.1.1 Tabel Rsquare …………………………………………………… 90
Tabel 4.3.1.2 Anova…………………………………………………………... 91
Tabel 4.3.1.3 Koefisien Regresi………………………………………………… 92
Tabel 4.3.2.1 Proporsi Varian Masing-masing IV………………………………. 95
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.4.1.1 Kerangka Berpikir …………………………………………. 52
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
Lampiran 3 Surat keterangan selesai penelitian
Lampiran 4 Diagram CFA (Confirmatory Factor Analysis)
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta
sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang
Fenomena tawuran seakan tak pernah habis menjadi perhatian. Seperti kasus
tawuran pelajar yang semakin marak terjadi terutama pada pelajar sekolah
menengah, baik SMA maupun SMK/STM. Pemicunya seringkali hanya masalah
kecil, namun gengsi yang tinggi di mata pelaku tawuran seakan menjadi alasan yang
menguatkan para pelajar tersebut untuk melakukan aksi tawuran. Seperti yang
diungkapkan psikolog Polda Metro Jaya, AKBP Arif Nurcahyo, bahwa solidaritas
yang menimbulkan rasa keinginan untuk mendapatkan suatu identitas sebagai
seorang yang membela kelompok. Dan ketika ia merasa mempunyai kelompok, ia
ingin tampil sebagai seorang hero disana (Vivanews, 2013).
Selain dipicu oleh gengsi, aksi tawuran pelajar tersebut merupakan sebuah
ungkapan agresi dari para pelajar yang diwariskan secara turun-temurun oleh para
senior mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Taylor, Peplau, dan O’Sears (2009)
bahwa penguatan, imitasi, dan asumsi tentang motif orang lain semuanya
berkombinasi menjadi skema agresi. Dalam kasus agresi, orang mengembangkan
keyakinan yang terorganisir tentang ketepatan tindak agresi, situasi dimana agresi
mesti terjadi, dan cara agresi diekspresikan, misalnya melalui pemukulan atau
penghajaran (agresi fisik).
2
Hurlock (1980) menjelaskan bahwa fase perkembangan pelajar atau masa
remaja yaitu masa peralihan yang semula anak-anak mulai beranjak dewasa, pada
fase ini remaja tidak bisa dikatakan sebagai anak-anak, juga belum bisa dikatakan
dewasa, pada fase ini, mulai terjadi proses kematangan dari sisi fisik, psikis,
seksual, maupun intelektual, karena belum dianggap matang remaja seringkali salah
dalam upaya pengambilan keputusan, sehingga remaja dihadapkan pada faktor
resiko yang lebih luas terhadap perilaku-perilaku bermasalah. Pada fase
perkembangan remaja, pergaulan sosial lebih banyak pada peer group, teman
sebaya, sehingga nilai-nilai yang ada teman sebaya itulah yang menjadi nilai-nilai
pada remaja, sehingga bila nilai-nilai yang dijadikan acuan negatif, bisa langsung
berdampak pada remaja, kecuali bila ada hubungan yang baik antar orang tua dan
remaja, dengan adanya kedekatan orang tua dengan remaja, orang tua bisa menjadi
sahabat bagi remaja, remaja memiliki tempat sharing dan berkeluh kesah, remaja
akan memiliki wawasan lebih banyak mengenai nilai-nilai, berdampak pula pada
pengambilan keputusan yang akan mereka ambil.
Harlock (1980) menjelaskan bahawa remaja/pelajar adalah fase pencarian
jati diri, pencarian identitas diri ini adalah tugas perkembangan yang wajib dilalui
remaja, remaja mulai mempertanyakan hakikat dirinya, dan esensi dari berbagai
macam hal, mereka mencari apa yang menjadi potensinya dan menjadi seperti
apakah pribadi yang mereka inginkan, kebanyakan remaja ingin diakui
eksistensinya, ingin menjadi pusat perhatian. Oleh karena itu mereka melakukan
segala sesuatu agar ia diakui eksistensinya, misalnya menjadi berprestasi dibidang
akademik, ataupun non akademik, olahraga, dan lain sebagainya, jika tidak dalam
3
jalur berprestasi remaja cenderung melakukan perilaku-perilaku bermasalah agar
diakui eksistensinya terutama oleh teman sebayanya.
Tawuran pelajar seakan sudah menjadi masalah yang mengakar kuat pada
remaja yang tengah mencari jati diri, jika terus dibiarkan seperti ini jelas akan
menimbulkan kerugian yang besar bagi banyak pihak contohnya, rusaknya fasilitas
umum, seperti halte bis, telepon umum, warung-warung pinggir jalan, kendaraan
pribadi maupun kendaraan umum yang menyebabkan kerugian material yang cukup
besar dalam memperbaiki fasilitas umum akibat tawuran dan mengganti semua
kerugian yang ada, menggangu proses belajar-mengajar di sekolah. Bagi pelajar
yang ikut tawuran, kemungkinan akan menjadi korban, baik itu cidera ringan,
cidera berat, bahkan kematian. Selain itu, kerugian bagi pelajar lainnya adalah
kehilangan moralitas, berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi,
perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. konsekuensi jangka panjang terhadap
kelangsungan hidup bermasyarakat, bahkan akan kehilangan generasi penerus
bangsa Indonesia (Kompas, 2012).
Masih hangat diingatan kita mengenai kasus tawuran pelajar pada Senin, 24
September 2012 di Bundaran Bulungan, Jakarta Selatan yang melibatkan pelajar
SMAN 6 dan SMAN 70 Bulungan. Kepala Reserse Kepolisian Resor Jakarta
Selatan, Ajun Komisaris Besar Hermawan, menuturkan ada beberapa yang luka-
luka dan seorang siswa SMA 6 yang meninggal terkena luka bacok di dada. Dan itu
bukan pertama kali, kedua SMA saling menyerang dengan korban jiwa. (Regional
Kompasiana, 2012).
4
Berkaitan dengan kasus tawuran yang melibatkan siswa SMAN 6 Jakarta,
sangat disayangkan karena SMAN 6 Jakarta merupakan salah satu sekolah
unggulan dengan banyak prestasi serta lulusan terbaik. Akan tetapi, dengan
banyaknya media massa yang memberitakan kasus tawuran, peneliti melihat ada
kecenderungan siswa dan siswi untuk berperilaku agresi. Seperti yang diungkapkan
dalam hasil wawancara pada tanggal 19 Mei 2014 yang dilakukan peneliti dengan
tiga siswa di SMAN 6 Jakarta yang mengaku sering melakukan tindakan tawuran
antar pelajar. Menurut siswa tersebut, mereka melakukan tawuran karena
pelanggaran terhadap batas wilayah kekuasaan, balas dendam dan ingin diakui
hebat oleh siswa lainnya. Permasalahan lainnya adalah melakukan tindakan
bullying meliputi mengejek, menghina, mengintimidasi sesama teman, membuat
kegaduhan di kelasnya sehingga teman-temannya merasa terganggu dan
permasalahan antara guru dengan siswanya atau sebaliknya, misalnya siswa yang
menghina gurunya atau guru yang menilai siswanya dengan tidak baik, padahal
belum tentu muridnya seperti yang dipikirkan oleh gurunya. Ironisnya lagi mereka
menganggap itu adalah hal yang biasa tanpa memikirkan bahwa mereka mungkin
akan menyakiti atau melukai orang lain. Kondisi ini sejalan dengan pendapat
Ylvisaker (2006) yang mengungkapkan bahwa dalam konteks sekolah, seringkali
agresivitas yang muncul adalah bentuk agresivitas fisik seperti menyakiti dan
mendorong atau dalam bentuk verbal seperti mengancam, mencela dan sebagainya.
Faktor lainnya adalah perbedaan antar jenis kelamin dalam menunjukkan
agresivitas pada remaja. Penelitian Eagly dan Steffen (1986) yang menunjukkan
ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki
5
lebih agresi dibandingkan perempuan. Pada penelitian terdahulu menurut Frodi et
al's (dalam Eagly & Steffen, 1986) menyatakan bahwa laki-laki tidak selalu lebih
agresif dibandingkan perempuan. Karena bisa saja wanita lebih agresif pada bentuk
agresif verbal daripada laki-laki yang lebih agresif pada fisik, hal ini sesuai dengan
yang diungkapkan oleh Bjӧrkqvist, Ӧsterman, dan Hjelt-Bäck (dalam Baron &
Byrne, 2005). Menurut mereka, pria lebih cenderung untuk menggunakan bentuk
langsung dari agresi, sedangkan wanita menggunakan bentuk tindak langsung dari
agresi misalnya pria dengan kekerasan fisik, sedangkan wanita lebih cenderung
melakukan agresi secara tidak langsung untuk menutupi identitasnya dari korban,
sehingga dalam beberapa kasus korban tidak mengetahui bahwa dirinya telah
menjadi korban agresi (seperti bergosip, menghasut untuk menjauhi korban, atau
memaki).
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap agresivitas remaja berasal dari
karateristik internal dan ekternal yang terkait agresivitas pada remaja diantaranya,
penelitian Bushman dan Cooper (1990) yang menemukan bahwa ada pengaruh
alkohol terhadap tindakan agresif seseorang. Penelitian lainnya mengenai pengaruh
self-esteem terhadap agresivitas diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Donnellan, Trzesniewski, Moffitt dan Caspi (2005) menunjukkan hasil bahwa
remaja yang memiliki self-esteem rendah menghasilkan agresivitas. Namun
menurut Ostrowsky; Walker dan Bright (dalam Canning, 2011) self esteem yang
tinggi berhubungan dengan agresivitas.
Penelitian lainnya mengenai agresivitas yaitu kepribadian. Seperti
penelitian yang dilakukan oleh Barlett and Anderson (2012) pada mahasiswa di
6
Universitas Midwestern yang menunjukan bahwa agreeableness secara tidak
langsung berhubungan negatif dengan perilaku agresi namun terlebih dahulu
melalui emosi dan sikap agresi, neurotisisme secara tidak langsung berhubungan
dengan perilaku agresif namun terlebih dahulu melalui emosi agresif. Openness to
Experience secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku dan sikap agresi.
Sedangkan pada perilaku kekerasan, Agreeableness dan Openness to Experience
secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku kekerasan namun terlebih
dahulu melalui sikap agresi.
Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa bigfive personality
mempunyai hubungan secara positif maupun secara negatif terhadap agresi dan
perilaku kekerasan. Contohnya, Agreeableness dan Conscientiousness
berhubungan negatif dengan dendam (agresi emosi), sedangkan menurut
McCullough, et al (dalam Barlett and Anderson, 2012) menemukan bahwa
Neurotism berhubungan positif dengan dendam. Penelitian Sharpe and Desai
(dalam Barlett and Anderson, 2012) menemukan bahwa Neurotism berhubungan
positif dengan anger dan holistility (agresi emosi) dan perilaku agresi, sedangkan
extraversion, agreeableness and conscientiousness berhubungan negatif dengan
emosi dan agresi, kemudian penelitian tersebut menemukan bahwa ada korelasi
antara self-reported agresi fisik dan hubungan Extraversion adalah negatif. Pada
penelitian Anderson et al (dalam Barlett and Anderson, 2012) menemukan juga
bahwa Agreeableness dan Conscientiousness berhubungan negatif dengan sikap
agresi dan kekerasan, karena Agreeableness ditandai dengan sifat baik hati, jujur
dan kooperatif, sedangkan Conscientiousness ditandai dengan bertanggung jawab,
7
tertib dan dapat diandalkan, Neurotism ditandai dengan mudah marah, dan emosi
yang tidak stabil, Openness ditandai dengan intelektual, halus dan berpikir mandiri.
Sementara itu, menurut John dan Srivasta (dalam Barlett and Anderson, 2012)
Extraversion ditandai dengan pembicara aktif, asertif, dan energik dan mempunyai
hubungan dengan agresi. Gleason (dalam Barlett and Anderson, 2012) menyatakan
bahwa Agreeableness juga mempunyai hubungan negatif dengan self-report dan
peer-report perilaku agresif dan kekerasan. Sedangkan, Openness tidak mempunyai
hubungan dengan perilaku agresi. Sedangkan Gallo dan Smith (dalam Barlett and
Anderson, 2012) menemukan hubungan positif antara extraversion dengan agresi
fisik.
Penelitian pada sampel yang berbeda yang dilakukan oleh Trninić¹, et al
(2008) menemukan pada sampel para tahanan agresivitas secara signifikan
berkorelasi dengan bigfive personality yaitu agreeableness, conscientiousness dan
emotional stability, sedangkan pada atlet remaja berkorelasi signifikan dengan
extraversion, agreeableness dan emotional stability.
Pada sampel berbeda lainnya, misalnya di sekolah pilot penelitian yang
dilakukan oleh Anitei dan Dumitrache (2013) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara bigfive personality terhadap agresivitas sekolah
pilot. Tingkat kehati-hatian (conscientiousness) yang tinggi akan mengakibatkan
lebih cenderung untuk mengikuti aturan, melihat masalah dengan serius dengan
bertingkahlaku dan bekerja secara hati-hati. Secara khusus berdasarkan pada faktor
kehati-hatian itu sendiri self-discipline and personal management yang mewakili
element-element yang mempengaruhi agresivitas. Orang-orang dengan tingkat
8
kehati-hatian (conscientiousness) yang tinggi akan lebih baik dalam mengontrol
situasi serta lebih teliti dan disiplin.
Penelitian lainnya menyatakan bahwa bigfive personality mempunyai
hubungan dengan agresi yang ditemukan dalam Caprara, et al (dalam DeWall, et al,
2012) memaparkan bahwa dari lima kepribadian, hanya tiga yang paling terkait
dengan agresi, yaitu yang mempunyai hubungan positif adalah neuroticism
sedangkan yang mempunyai hubungan negatif, yaitu conscientiousness dan
agreeableness.
Penelitian Costa dan McRae sosial ( dalam Pervin, Cervone & John, 2010)
menjelaskan bahwa bigfive personality dibagi ke dalam lima dimensi yaitu
Neuroticism berlawanan dengan Emotional stability yang mencakup perasaan-
perasaan negatif seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah, dan tegang.
Openness to Experience menjelaskan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas dari
aspek mental dan pengalaman hidup. Extraversion dan Agreeableness merangkum
sifat-sifat interpersonal, yaitu apa yang dilakukan seseorang dengan dan kepada
orang lain. Yang terakhir Conscientiousness menjelaskan perilaku pencapaian
tujuan dan kemampuan mengendalikan dorongan yang diperlukan dalam
kehidupan.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan maka peneliti memfokuskan
lebih dalam lagi penelitiannya pada bigfive personality dan agresivitas dengan
sampel remaja SMA karena melihat fenomena-fenomena yang sering terjadi di
Indonesia serta kecenderungan remaja melakukan tindakan agresi di sekolah juga
tidak lepas dari peran kepribadian sebagai pembentuk perilaku. Perbedaan-
9
perbedaan dari kepribadian tiap diri siswa tentunya dapat menimbulkan konflik
yang memicu terjadinya tinggi atau rendahnya tingkat agresivitas di kalangan para
remaja SMA.
Bigfive personality yang merupakan faktor internal, masih terdapat variabel-
variabel lain yang mempengaruhi agresivitas remaja, yaitu peran teman sebaya
dalam pembentukan perilaku dapat membentuk pribadi seseorang. Banyaknya
interaksi dengan rekan sebaya yang agresif memperbesar kemungkinan seseorang
melakukan tindakan agresi pula. Penelitian Nansel, et. al (dalam White, Gallup &
Gallup, 2010) mengemukakan bahwa korban dari agresi teman sebaya tersebar luas
pada anak-anak dan remaja antara 11 dan 16 tahun. The multi-national Health
Behavior in School Aged Children menunjukkan bahwa tidak kurang dari 9% dan
sebanyak 54% dari anak usia sekolah dari 25 negara yang diteliti terlibat dalam
tindakan agresif terhadap teman sebaya dan menjadi korban oleh teman sebayanya.
Journal of Youth and Adolescence (2000) menunjukkan bahwa attachment teman
sebaya secara signifikan berhubungan dengan simpati, english efficacy, depresi dan
agresi. Remaja yang tinggi attachment teman sebaya akan tinggi tingkat simpati dan
English efficacy dan yang tingkat yang rendah pada depresi dan agresi (Laible,
Carlo, & Raffaelli, 1999)
Selain faktor eksternal dari peran teman sebaya ada pula peran dari orang
tua dalam pembentukan perilaku yang dapat memunculkan tindakan agresif.
Journal of Youth and Adolescence (2000) menunjukkan bahwa attachment pada
orang tua secara signifikan berhubungan dengan usia, depresi, dan agresi. Remaja
yang tingkat attachment orang tua tinggi akan menunjukkan tingkat agresi dan
10
depresi yang rendah begitu pun sebaliknya (Laible, Carlo, & Raffaelli, 1999). Hal
tersebut bisa disebabkan karena pada attachment teman sebaya, perilaku yang
dijadikan contoh anak belum tentu positif. Seperti yang diungkapkan Taylor,
Peplau, dan O’Sears (2009) anak tidak meniru secara sembarangan; mereka meniru
orang lain. Semakin disukai, berpengaruh, dan kuat orang lain itu, semakin besar
kemungkinan si anak akan meniru perilakunya. Juga, orang yang mereka lihat akan
semakin sering ditiru perilakunya. Dalam hal ini, yang menjadi role model dari
pelajar pelaku tindak tawuran adalah seniornya yang juga melakukan aksi tawuran.
Maka, perhatian orangtua melalui kelekatan yang positif sangat efektif untuk
memberikan contoh baik bagi remaja tersebut.
Dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Gallarin dan Alonso-Arbio
(2012) menempatkan attachment sebagai mediator diantara parenting practices dan
agresivitas remaja. Namun hanya kelekatan tidak nyaman (insecure attachment)
pada ayah yang berpengaruh terhadap agresivitas remaja. Dalam perilaku agresi,
individu dengan pola insecure attachment lebih menunjukkan perilaku agresi
daripada individu dengan pola secure attachment. Oleh karena itu dalam penelitian
ini peneliti menjadikan attachment sebagai variabel yang diteliti dan fokus pada
dimensi-dimensi yang terdapat pada attachment. ini ditujukan untuk melihat
apakah attachment orang tua berpengaruh secara signifikan terhadap agresivitas
pada remaja atau justru kebalikannya. Dengan empat pola dimensi attachment dari
Bartholomew dan Horowitz (1991) yaitu secure attachment (kelekatan rasa aman),
fearful attachment (kelekatan rasa takut), preoccupied attachment (kelekatan
terokupasi) dan dismissing attachment (kelekatan menolak). Misalnya menurut
11
Mikulincer (dalam Baron & Byrne, 2000) mengungkapkan bahwa individu dengan
gaya kelekatan aman (secure attachment) tidak mudah marah (anger). Kemudian,
pada penelitian yang dilakukan Pederson (1999) menunjukkan preoccupied
attachment secara signifikan mempunyai hubungan dengan agresi verbal dan
dimensi kekerasan. Selain itu, dalam sebuah penelitian, dismissing/avoidant
attachment mempunyai hubungan dengan perilaku kekerasan dan perilaku agresif
pada remaja (Santrock, 2001). Selanjutnya, fearful attachment (kelekatan rasa
takut) individu yang takut ditolak menggambarkan orang tua mereka secara negatif
memendam perasaan hostile dan marah tanpa menyadarinya (Baron & Byrne,
2000).
Santrock (2002) menjelaskan remaja yang dekat dengan orang tuanya maka
remaja mudah untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan seperti kecemasan sosial
dan perasaan depresi seperti yang ditemukan dalam suatu studi, bila remaja muda
memiliki suatu attachment yang kokoh (secure attachment) dengan orang tuanya,
mereka memahami keluarga mereka sebagai keluarga yang mempunyai hubungan
kebersamaan atau kohensif yang baik dan dapat mengeluhkan sedikit kecemasan
sosial atau perasaan-perasaan depresi.
Berdasarkan fenomena-fenomena yang telah dikemukakan, penelitian-
penelitian sebelumnya yang telah dijabarkan dan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya agresivitas maka hal tersebut mendorong penulis untuk menguji
pengaruh bigfive personality dan attachment style terhadap agresivitas pada remaja
melalui penelitian yang berjudul “PENGARUH BIGFIVE PERSONALITY DAN
12
ATTACHMENT STYLE TERHADAP AGRESIVITAS (studi pada pelajar di SMAN
6 Jakarta)”.
1.2 Batasan Masalah Dan Rumusan Masalah
1.2.1 Batasan Masalah
Masalah utama yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pengaruh big five
personality dan attachment style terhadap agresivitas (studi pada pelajar di SMAN
6 Jakarta). Untuk menghindari ketidakjelasan dan melebarnya permasalahan
penelitian ini, maka penulis perlu memberikan batasan penelitian sebagai berikut:
1. Agresivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu tindakan atau
perilaku bertujuan untuk menyakiti atau melukai orang. Bentuk agresivitas
yakni agresi fisik, agresi verbal, agresi marah (anger) dan permusuhan
(hostility).
2. Bigfive Personality yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu suatu
pendekatan yang digunakan peneliti untuk melihat kepribadian manusia
melalui trait yang tersusun dalam lima dimensi kepribadian yang telah
dibentuk melalui analisis faktor. Dimensi kepribadian meliputi:
extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan openness
to experiences.
3. Attachment style (gaya kelekatan) adalah kecenderungan perilaku lekat
individu yang terdiri dari dimensi positif dan negatif dua sikap dasar, yaitu
sikap mengenai self dan sikap terhadap orang lain maupun orang tuanya.
Attachment style diukur melalui empat gaya lekat yaitu secure attachment
(gaya kelekatan aman), fearful attachment (gaya kelekatan takut
13
menghindar), preoccupied attachment (gaya kelekatan terpreokupasi) dan
dismissing attachment (gaya kelekatan menolak).
4. Subjek yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa-siswi/pelajar
bersekolah di SMAN 6 Jakarta yang berusia sekitar 15-18 tahun.
1.2.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “apakah ada pengaruh big five personality dan
attachment style terhadap agresivitas pelajar di SMAN 6 Jakarta?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh big five personality
dan attachment style terhadap agresivitas pelajar di SMAN 6 Jakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Untuk mengetahui dan mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu
psikologi mengenai pentingnya mengurangi perilaku kekerasan khususnya
agresivitas pada pelajar/ remaja. Selain itu, dapat dijadikan langkah awal bagi
penelitian selanjutnya, untuk tambahan literatur yang berkaitan dengan penelitian
yang dilakukan khususnya dibidang psikologi sosial dan perkembangan.
1.4.2 Manfaat praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan
mengenai pengaruh bigfive personality dan attachment style terhadap
agresivitas pada pelajar di SMAN 6 Jakarta.
14
2. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi orang tua
untuk lebih memberikan perhatian dan arahan yang baik (attachment style)
pada anak agar mengurangi kecenderungan berperilaku agresif dan bagi
sekolah yang menjadi pihak pendidik siswa-siswi untuk membantu
meningkatkan kualitas siswa dengan mengurangi dan menantisipasi
agresivitas pada siswa seperti fenomena besar di Indonesia yaitu tawuran
antar pelajar.
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, akan digunakan APA style, yaitu kaidah penelitian
berdasarkan aturan yang dikeluarkan oleh APA (American Psychological
Association). Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini terdiri dari lima
BAB, meliputi :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah
Dan Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Serta
Sistematika Penulisan.
BAB 2 : LANDASAN TEORI
Berisi landasan teori tentang agresivitas, remaja, bigfive personality,
attachment style dan kerangka berpikir.
BAB 3 : METODE PENELITIAN
Berisi jenis penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian,
definisi operasional variabel, subjek penelitian, metode
pengumpulan data, metode analisis data, dan prosedur penelitian.
15
BAB 4 : HASIL PENELITIAN
Berisi tentang analisis deskriptif dan pengujian hipotesis penelitian.
BAB 5 : PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan, diskusi dan saran.
16
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan dibahas teori yang menjelaskan masing-masing variabel dalam
penelitian. Terlebih dahulu teori yang akan dibahas adalah mengenai teori-teori
agresivitas oleh beberapa tokoh. Setelah itu peneliti akan membahas variabel-
variabel yang dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi agresivitas. Kemudian
dalam bab ini juga terdapat kerangka berpikir serta hipotesis penelitian.
2.1 Agresivitas
2.1.1 Pengertian Agresivitas
Dalam kamus psikologi J.P. Chaplin (2008) agresivitas merupakan
kecenderungan habitual (yang dibiasakan) seseorang untuk memamerkan
permusuhan. Pernyataan diri secara tegas, penonjolan diri, penuntutan atau
pemaksaan diri, pengejaran dengan penuh semangat suatu cita-cita. Dominasi
sosial, kekuasaan sosial, khususnya yang diterapkan secara ekstrim. sedangkan
perilaku agresi adalah satu serangan atau serbuan; tindakan permusuhan ditujukan
pada seseorang atau benda.
Agresi manusia adalah setiap perilaku diarahkan individu lain yang
dilakukan dengan yang terdekat (langsung) dengan maksud untuk menyebabkan
kerusakan. Selain itu, pelaku harus mengetahui bahwa perilaku tersebut akan
membahayakan target, dan target dimotivasi untuk menghindari perilaku
(Bushman & Anderson 2002).
Berkowitz (1993) menyatakan bahwa agresi merupakan segala bentuk
perilaku yang disengaja untuk melukai seseorang secara fisik dan psikologi Buss
17
(dalam Geen, 2001) mendefinisikan agresivitas sebagai sebuah respon yang
melancarkan stimulus yang merugikan atau menyakiti pada individu lainnya.
Kemudian Buss dan Perry (1992) menyatakan bahwa agresi adalah tindakan yang
terdiri dari komponen agresi fisik, agresi verbal, rasa marah (anger) dan sikap
permusuhan (hostility). Sedangkan menurut Baron dan Byrne (2005) menyatakan
bahwa agresi adalah tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan menyakiti
makhluk hidup lain yang ingin mengindari perlakuan semacam itu. Selain itu,
Taylor, Peplau, dan O’sears (2009) berpendapat bahwa agresi adalah segala
perilaku yang diniatkan untuk melukai orang lain.
Selanjutnya, Myers (1988) menyatakan agresi sebagai perilaku fisik atau
verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
agresi dibedakan menjadi dua tipe, yaitu hostility aggression and instrumental
aggression. Hostility aggression didorong oleh kemarahan dan bertujuan untuk
menyakiti orang lain. Sedangkan instrumental aggression merupakan kekerasan
yang dilakukan untuk mendapatkan tujuan lain disamping menyakiti orang lain.
DeWall, et.,al. (2012) menyatakan bahwa agresi memiliki ciri utama.
Pertama, agresi merupakan perilaku yang dapat dilihat/tampak. Agresi bukanlah
emosi seperti kemarahan dan pikiran, tetapi agresi adalah ”tindakan melakukan
sesuatu (by doing something)”. Kedua, agresi merupakan ”intentional” atau suatu
kesengajaan, bukan ”accidental” atau kecelakaan tanpa disengaja. Tetapi agresi
adalah suatu kesengajaan yang bertujuan untuk menyakiti. Ketiga, korban dari
agresi berusaha untuk menghindari ancaman atau perilaku agresi tersebut.
18
Dari pengertian yang telah dipaparkan, maka peneliti mengambil
kesimpulan bahwa agresivitas adalah suatu tindakan atau perilaku bertujuan untuk
menyakiti atau melukai orang lain (target) atau objek dengan niat/sengaja yang
dapat menimbulkan konsekuensi yang negatif.
2.1.2 Agresivitas pada pelajar
Pada saat ini sebagian remaja khususnya para pelajar di sekolah menengah atas
menunjukkan perilaku negatif yang merupakan salah satu bentuk perwujudan dari
ketidakstabilan emosi remaja. Tanda bahaya dari ketidakmampuan diri pada
remaja, salah satu contohnya adalah perilaku agresif (Hurlock, 1980). Di
indonesia, perilaku agresif pada remaja menunjukkan gejala yang
memprihatinkan, bentuk perilaku agresif sangat beragam, mulai dari dengan
mencuri, merampok, menggunakan obat-obatan terlarang, berkelahi, membunuh,
pemerkosaan dan tindak kriminal lainnya. sedangkan agresi remaja yang di
salurkan melalui kata-kata ialah sering mengeluarkan kata-kata kotor, makian,
menghina, mengejek, dan berteriak yang tidak terkendali. Contoh tindakan
agresivitas remaja khususnya di kalangan para pelajar SMA dikenal dengan istilah
tawuran, tindakan bullying di sekolah yang dapat dikategorikan dalam agresivitas
verbal (memaki atau mengejek) atau dalam bentuk agresivitas fisik yaitu (pukulan
dan tendangan) serta perilaku kekerasan lainnya.
Nisfiannoor dan Yulianti (2005) menjelaskan bahwa bila remaja merasa
tidak bahagia dipenuhi banyak konflik batin, baik konflik yang berasal dari dalam
dirinya, pergaulannya maupun keluarganya. Dalam kondisi seperti itu remaja
akan mengalami frustrasi dan akan menjadi sangat agresif. Kecenderungan
19
berperilaku agresif pada remaja juga dikarenakan labilnya jiwa mereka, karena
mereka tengah mengalami banyak konflik dalam menjalani tugas
perkembangannya. Jika agresivitas remaja merasa tidak nyaman dengan kondisi
yang mereka rasakan, maka remaja tersebut akan mencari tempat yang akan
membuat mereka nyaman. Akibatnya, remaja akan mudah untuk berkembang
untuk membuat suatu perilaku yang membuat mereka merasa diakui seperti
perilaku antisosial dan kriminalitas.
2.1.3 Bentuk-bentuk agresivitas
Buss dan Perry (1992) berpendapat bahwa ada empat bentuk pola agresi yang
dilakukan oleh individu, yaitu agresi fisik, agresi verbal, agresi marah (anger) dan
agresi permusuhan (hostility).
a. Agresi fisik
Merupakan komponen dari perilaku motorik seperti melukai dan
menyakiti orang lain secara fisik misalnya dengan menyerang, memukul,
menendang atau mendorong.
b. Agresi verbal
Merupakan komponen motorik seperti melukai dan menyakiti orang lain,
hanya saja melalui verbalisasi, misalnya berdebat, menunjukan
ketidaksukaan dari ketidaksetujuan pada orang lain, kadang kala sering
menyebarkan gosip, membentak, menghina dan lain sebagainya.
c. Rasa Marah
Merupakan emosi atau efektif seperti keterbangkitan dan kesiapan
psikologis untuk bersikap agresif, misalnya mudah kesal, hilang kesabaran
20
dan tidak mampu mengontrol rasa marah. Merupakan perasaan tidak
senang sebagai reaksi fisik atas cidera fisik maupun cidera psikis yang
diderita individu.
d. Sikap permusuhan
Merupakan perwakilan dari komponen perilaku kognitif seperti perasaan
benci dan curiga pada orang lain, merasa kehidupan yang dialami tidak
adil dan iri hati. Sikap negatif terhadap orang lain karena penilaian diri
yang negatif.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa keempat bentuk agresivitas
tersebut mewakili komponen perilaku manusia, yaitu komponen motorik,
afektif dan kognitif.
Selanjutnya, Taylor, Peplau, dan O’sears (2009) membagi agresi menjadi tiga
macam, yaitu:
1. Prososial aggression (agresi prososial)
Adalah tindakan agresif yang mendukung norma sosial yang diterima
umum. Walaupun secara umum agresi adalah tindakan menyerang atau
melukai orang lain, tetapi tindakan tersebut tidak menimbulkan masalah,
bahkan terkadang mendukung. Misalnya, tindakan polisi menembak
perampok. Tindakan menembak itu sendiri adalah agresi, tetapi dikaitkan
dengan perampok sebagai korban, maka perilaku ini adalah prososial
agresi. Tujuan utama dari prososial agresi adalah menegakkan hukum atau
adat atau melindungi kepentingan bersama.
2. Antisosial aggression (agresi antisosial)
21
Adalah tindakan agresi yang melanggar norma sosial yang diterima secara
umum. Perilaku yang melukai atau menyerang orang lain yang tidak dapat
diterima oleh masyarakat atau tindakan agresi yang melanggar hokum.
Tujuan agresi ini lebih pada keuntungan sang pelaku agresi. Bukan untuk
kepentingan bersama atay kepentingan mulia lainnya.
3. Sanctioned aggression (agresi yang disetujui)
Adalah agresi yang dimaklumi sesuai dengan norma kelompok sosial
individu.
Jenis agresi ini termasuk tindakan yang tidak melanggar oleh norma sosial
tetapi ada di dalamnya batas-batasnya. Tindakan ini tidak melanggar
standar moral yang diterima luas. Misalnya, pelatih yang menghukum
pemain tim dengan menyuruh push-up biasanya dianggap bertindak sesuai
dengan haknya dan masih dalam batas yang diterima. Demikian juga
wanita yang menyerang pemerkosa.
Dalam penelitian ini bentuk agresivitas yang digunakan adalah teori Buss dan
Perry (1992). Hal ini dikarenakan keempat bentuk agresivitas Buss dan Perry
(1992) yaitu agresi fisik, verbal, marah dan permusuhan yang sering kali muncul
dalam perilaku agresivitas seseorang terutama pada pelajar/remaja.
2.1.4 Pengukuran agresivitas
Menurut Leon, et. al. (2002) ada beberapa pengukuran yang digunakan dalam
mengukur agresivitas, diantaranya adalah:
1. The Cook-Madley Hostility Scale. Skala ini terdiri dari 50
pernyataan benar-salah. Internal konsistensi pada skala ini dalam versi
22
Inggris dan Spanyol antara 0,75 dan 0,80 dan reabilitas skala test-retest
menunjukkan nilai 0,75.
2. The Buss-Durkee Hostility Inventory. Instrumen ini terdiri dari 75
pernyataan benar-salah. Terdiri dari kriteria: assault, indirect, hostility,
irritability, negativism, resentment, suspicion, verbal hostility, and
gulit. Internal konsistensi antara 0,57 dan 0,78 dari versi original
sedangkan versi Spanyol sebesar 0,86.
3. The Jenkins Activiiy Scale-Form H. Instrumen ini untuk evaluasi
atau membandingkan tipe A secara global serta terdiri dari 32
pernyataan. Reabilitas versi Inggris dan Spanyol antara 0,75 dan 0,88
dan konsistensinya antara 0,84 dan 0,92.
4. The state-Trait Anger Expression Inventory. Instrumen ini terdiri
dari 47 pernyataan, skala ini digunakan pada populasi Spanyol dan
menghasilkan alpha cronbach antara 0, 63 dan 0,95.
5. Aggression Questionnaire (AQ). Instrument yang dikembangkan
Buss & Perry (1992) ini terdiri 29 item atau pernyataan, pada standar
psikometri menunjukkan reabilitas dan internal konsistensi yang
adekuat. Instrument ini memiliki konsistensi yang adekuat. Instrument
ini memiliki konsistensi internal antara 0,72 dan 0,89 dan reabilitas
test-retest antara 0,72 dan 0,80.
Dari beberapa alat ukur diatas, peneliti memutuskan untuk mengadaptasi alat ukur
agresivitas yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992). Dalam jurnal
penelitian The Aggression Questionnaire yang menggunakan empat faktor yaitu
23
agresi fisik, verbal, marah, dan permusuhan dan terangkum dalam 29 item skala
baku. Hal ini karena skala yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992)
memiliki validitas yang baik dan reabilitas serta internal konsistensi yang adekuat.
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas, yaitu :
1. Kepribadian
Banyak trait kepribadian yang secara signifikan berkaitan dengan agresivitas.
Sarwono (2002) dengan beberapa penelitian menyatakan bahwa salah satu
teori sifat (trait) mengatakan bahwa orang-orang dengan tipe kepribadian A
(yang bersifat kompetitif, selalu buru-buru, ambisius, cepat tersinggung, dan
sebagainya) lebih cepat menjadi agresif daripada orang dengan tipe
kepribadian B (ambisinya tidak tinggi, sudah puas dengan keadaannya yang
sekarang, cenderung tidak buru-buru, dan sebagainya). Kemudian pengaruh
lain dari sifat kepribadian terhadap agresif adalah sifat pemalu. Orang yang
bertipe pemalu cenderung menilai rendah diri sendiri, tidak menyukai orang
lain, dan cenderung mencari kesalahan orang lain. Oleh karena itu, tipe orang
pemalu cenderung lebih agresif daripada yang tidak pemalu.
Selain kepribadian tipe A dan tipe B, bigfive personality juga
mempengaruhi perilaku agresif seperti penelitian yang ditemukan dalam
Caprara, et. al. (dalam DeWall, et. al, 2012) memaparkan bahwa dari lima
kepribadian, hanya tiga yang paling terkait dengan agresi, yaitu yang
mempunyai hubungan positif adalah neuroticism sedangkan yang mempunyai
hubungan negatif, yaitu conscientiousness dan agreeableness.
24
Penelitian yang dilakukan oleh Trninić¹, et. al. (2008) menemukan pada
sampel para tahanan agresivitas secara signifikan berkorelasi dengan bigfive
personality yaitu agreeableness, conscientiousness dan emotional stability,
sedangkan pada atlet remaja berkorelasi signifikan dengan extraversion,
agreeableness dan emotional stability.
2. Hostile Attributional Bias
Atribusi berperan pada reaksi kita terhadap perilaku orang lain, terutama
pada provokasi nyata yang mempengaruhi perilaku agresi. Hal ini mengacu
pada tendensi untuk mempersepsikan maksud atau motif hostile dalam
tindakan orang lain ketika tindakan ini dirasa ambigu. Ketika individu
memiliki bias atribusional hostile yang tinggi, ia jarang mempersepsikan
tindakan hostile yang dilakukan orang lain sebagai ketidaksengajaan, namun
mengasumsikan bahwa tindakan provokasi tersebut memang sengaja
dilakukan, dan individu tersebut segera melawan membalasnya (Baron &
Byrne, 2005).
3. Narsisme
Individu yang memiliki tingkat narsisme yang tinggi, dapat menunjukkan
perilaku agresi yang tinggi juga dibandingkan orang lain. Hal ini disebabkan
karena ia memiliki keraguan yang mengganggu mengenai kebenaran ego
mereka yang besar sehingga bereaksi pada tindakan kekerasan atau hinaan
kepada individu lain sebagai bentuk rasa marah (Baron & Byrne, 2005).
25
4. Frustasi
Baron dan Byrne (2005) mengatakan bahwa Frustasi selalu memunculkan
bentuk tertentu dari agresi, dan agresi selalu berasal dari frustasi. Singkatnya,
orang yang frustasi selalu terlibat dalam suatu tipe agresi dan semua tindakan
agresi, dan sebaliknya..
Meskipun frustasi biasanya membangkitkan amarah, namun adakalanya
juga tidak, meningkatkan amarah tidak selalu menyebabkan orang berperilaku
lebih agresif (Sears, Freedman & Peplau, 1985). Temuan penelitian juga
menunjukan bahwa ketika merasa frustasi, individu tidak selalu merespons
dengan melakukan agresi. Sebaliknya, mereka memperlihatkan banyak reaksi
berbeda, mulai dari kesedihan, keputusasaan, dan depresi di satu sisi, sampai
pada usaha langsung untuk mengatasi sumber frustasi mereka di sisi yang lain.
Agresi bukanlah respons otomatis dari frustasi (Baron & Byrne, 2005).
5. Provokasi langsung
Baron & Byrne (2005) mendefinisikan provokasi merupakan tindakan oleh
orang lain yang cenderung memicu agresi pada diri si penerima, sering kali
karena tindakan tersebut dipersepsikan berasal dari maksud yang jahat. Kritik
yang kasar serta tidak sopan yang dapat menyerang diri sendiri dan bukan
merupakan kritik terhadap perilaku diri yang salah, merupakan provokasi
yang kuat sehingga dapat memunculkan perilaku agresi. Kita cenderung untuk
membalas, memberikan agresi sebanyak yang kita terima, terutama jika orang
tersebut menyakiti diri kita.
26
6. Agresi yang Dipindahkan
Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa agresi yang dipindahkan
merupakan agresi terhadap seseorang yang bukan sumber dari provokasi yang
kuat; agresi dipindahkan terjadi karena orang yang melakukannya tidak ingin
atau tidak dapat melakukan agresi terhadap sumber provokasi. Agresi ini
merupakan hasil provokasi yang ia tahan, kemudian sewaktu-waktu ia luapkan
pada seseorang yang bukan sumber dari provokasi awal yang kuat.
7. Kekerasan pada Media
Baron & Byrne (2005) menyatakan bahwa makin banyak film atau program
televisi dengan kandungan kekerasan yang ditonton partisipan pada saat
kanak-kanak, makin tinggi tingkat agresi mereka ketika remaja atau dewasa.
Misalnya, makin tinggi kecenderungan mereka untuk ditangkap atas tuduhan
kriminal dengan kekerasan.
Selain film, dapat terjadi pula “copycat crimes”, dimana suatu kejahatan
yang dilaporkan di media kemudian ditiru oleh orang lain di lokasi yang jauh,
memperlihatkan bahwa dampak seperti itu nyata. Dampak lain dari kekerasan
pada media ialah timbulnya efek disensitisasi. Setelah individu menonton
banyak adegan kekerasan, individu tersebut menjadi acuh pada kesakitan dan
penderitaan orang lain; mereka menunjukkan reaksi emosional yang lebih
sedikit daripada yang seharusnya terhadap tanda-tanda kekerasan seperti itu.
Dan hal ini kemungkinan mengurangi pertahanan mereka sendiri menolak
terlibat dalam agresi (Baron & Byrne, 2005).
27
Menurut Sarwono (2002) dengan beberapa penelitian menyatakan bahwa
siaran televisi dapat menjadi penyalur emosi agresi (katarsis) sehingga orang
tidak perlu lagi melampiaskan agresivitasnya kepada orang lain, khususnya
jika korban agresi tidak mempunyai kemungkinan untuk secara langsung
melampiaskan pembalasannya kepada aggressor sebagimana terungkap dari
sebuah penelitian di Jerman Barat.
8. Keterangsangan yang Meningkat
Keterangsangan dapat berasal dari sumber-sumber yang bervariasi seperti
partisipan dalam permainan kompetitif, jenis olahraga yang keras, serta musik
tertentu. Contoh lainnya adalah faktor keterangsangan seksual. Hubungan
antara keterangsangan seksual dengan agresi bersifat curvilinear.
Keterangsangan seksual ringan mengurangi agresi hingga tingkat yang lebih
rendah daripada yang ditunjukkan oleh tidak adanya keterangsangan,
sedangkan keterangsangan yang lebih tinggi malah meningkatkan agresi di
atas tingkat ketiadaan keterangsangan. Hal ini disebabkan karena materi erotis
yang ringan akan memunculkan perasaan-perasaan positif yang menghambat
agresi, sedangkan stimulus seksual yang lebih eksplisit akan memunculkan
perasaan negatif sehingga meningkatkan agresi (Baron & Byrne, 2005).
9. Alkohol
Dalam beberapa eksperimen, partsisipan yang mengonsumsi alcohol dengan
dosis tinggi yang dapat membuat mereka mabuk ditemukan bertindak lebih
agresif dan merespon provokasi secara lebih kuat, dibandingkan partsisipan
yang tidak mengonsumsi alkohol (Baron & Bryne, 2005). Kemudian
28
penelitian Bushman dan Cooper (1990) menemukan bahwa ada pengaruh
alkohol terhadap tindakan agresif seseorang.
Dalam Sarwono (2002) menjelaskan bahwa khusus pada negara-negara
maju yang teletak di wilayah-wilayah musim dingin, alcohol bukan
merupakan hanya saran penghangat tubuh, melainkan juga sebagai sarana
pergaulan. Akan tetapi, pengaruh alkohol dapat memicu agresivitas. Karena
itulah dalam kenyataannya bar-bar dan tempat-tempat minum lainnya
merupakan tempat yang memiliki angka kekerasan dan agresi sangat tinggi.
10. Kondisi lingkungan
Rasa sesak berjejal/suasana yang ramai juga dapat memicu seseorang
bertindak agresi. Sarwono (2002) dengan beberapa penelitian menyatakan
bahwa di daerah perkotaan yang padat penduduk selalu lebih banyak terjadi
kejahatan dan kekerasan serta peningkatan agresivitas di daerah yang sesak
berhubungan penurunan perasaan akan kemampuan diri untuk mengendalikan
lingkungan sehingga terjadi frustasi.
11. Attachment orang tua
Penelitian dalam journal of Youth and Adolescence (2000) menunjukkan
bahwa attachment pada orang tua secara signifikan berhubungan dengan usia,
depresi, dan agresi. Remaja yang tingkat attachment orang tua tinggi akan
menunjukkan tingat agresi dan depresi yang rendah begitu pun sebaliknya
(Laible, Carlo & Raffaelli, 1999). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh
Gallarin & Arbiol (2012) menyatakan bahwa faktor yang mampengaruhi
agresivitas pada remaja adalah parenting practices, (praktek pengasuhan) dan
29
attachment (kelekatan) orang tua. Dari hasil penelitiannya hanya attachment
pada ayah yang signifikan terhadap agresivitas remaja.
12. Pengaruh kelompok dan teman sebaya
Penelitian White, Gallup dan Gallup (2010) mengemukakan bahwa korban
dari agresi teman sebaya tersebar luas pada anak-anak dan remaja antara 11
dan 16 tahun. Nansel, et. al. (dalam White, Gallup dan Gallup, 2010)
menunjukkan bahwa dalam The multi-national Health Behavior in School
Aged Children tidak kurang dari 9% dan sebanyak 54% dari anak usia sekolah
dari 25 negara yang diteliti terlibat dalam tindakan agresif terhadap teman
sebaya dan menjadi korban oleh teman sebayanya. Journal of Youth and
Adolescence (2000) menunjukkan bahwa Attachment teman sebaya secara
signifikan berhubungan dengan simpati, English efficacy, depresi dan agresi.
Remaja yang tinggi attachment teman sebaya akan tinggi tingkat simpati dan
English efficacy yang tingkat yang rendah pada depresi dan agresi.
Sarwono (2002) menyatakan bahwa gejala terpengaruh oleh kelompok
terdapat pada pelajar SMA yang saling berkelahi di Jakarta dengan alasan
membela teman. Inti dari agresivitas antarpelajar di Jakarta yaitu identitas
kelompok yang sangat kuat yang menyebabkan timbul sikap negatif dan
mengeksklusifkan kelompok lain.
13. Perbedaan Gender
Umumnya pria cenderung melakukan tindakan agresi secara langsung
ditujukan kepada targetnya, seperti memaki, mendorong, berteriak, dan lain
sebagainya. Sedangkan wanita cenderung melakukan agresi secara tidak
30
langsung, seperti bergunjing masalah orang lain. Tindakan ini memungkinkan
individu menutupi identitasnya dari target yang dituju. Sehingga, target tidak
dapat mengetahui siapa pelakunya (Baron & Byrne, 2005).
Penelitian serupa juga dijelaskan Sarwono (2002) yang menyatakan bahwa
pria yang maskulin pada umumnya lebih agresif daripada wanita yang
feminisim. Tentunya gejala ini ada hubungannya dengan faktor kebudayaan
yaitu pada umumnya wanita diharapkan oleh norma masyarakat untuk lebih
mengekang agresivitasnya. Namun, ada pergeseran peran jenis kelamin yang
pada gilirannya juga akan meningkatkan agresivitasnya pada wanita.
Contohnya dalam kehidupan sehari-hari, agresivitas wanita kita saksikan
misalnya pada pengemudi kendaraan pribadi wanita di Jakarta yang berani
menantang pengemudi Metro Mini (pria) yang menyerempet mobilnya. Makin
banyak wanita menjadi anggota ABRI dan polisi, atau makin banyaknya
wanita yang terlibat dalam berbagai jenis olahraga agresif (balap mobil, sepak
bola, karate, pencak silat atau gulat).
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas yang telah dijelaskan, maka
peneliti memutuskan untuk menggunakan faktor kepribadian dan attachment
sebagai variabel independen. Hal ini dilakukan karena kepribadian diprediksi
dapat mengetahui bagaimana tingkat agresivitas yang dialami oleh para remaja
yang melakukan tawuran atau tidak. Kemudian attachment (kelekatan) dengan
orang tua dianggap dapat mempengaruhi agresivitas karena seorang anak pertama
kali meniru perilaku orang tuanya dan membutuhkan dukungan serta arahan dari
orang tua untuk melakukan sesuatu hal yang positif.
31
2.2 Kepribadian (personality)
2.2.1 Definisi kepribadian
Definisi kepribadian menurut Allport (dalam Hall, Linzey & Campbell, 1997)
adalah organisasi atau susunan yang dinamis dari system psikofisik dalam diri
individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik (khas) terhadap
lingkungannya. Sedangkan Pervin, Cervone dan John (2010) mengungkapkan
bahwa kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya
konsistensi perasaan, pemikiran dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Larsen & Buss (2002) kepribadian adalah himpunan sifat-sifat
psikologis dan mekanisme dalam diri individu yang terorganisir dan relatif
bertahan serta mempengaruhi interaksi dan adaptasi terhadap lingkungan
(termasuk intrapsikis, fisik, dan lingkungan sosial).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian menurut
peneliti adalah karakteristik di dalam diri individu yang relatif menetap dan
bertahan, sehingga mempengaruhi penyesuaian dirinya dalam lingkungan.
Kepribadian memiliki beberapa trait, salah satu trait kepribadian yang populer
adalah kepribadian big five. Feist & Feist (2009) menyatakan bahwa big five
dikembangkan oleh Costa & McCrae dari H. Eysenk. Hasil pengembangan yang
dilakukan oleh Costa & McCrae menghasilkan lima trait kepribadian. faktor.
Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion, neuroticism, openness to
experience, agreeableness, dan concientioueness. Model ini kemudian menjadi
suatu teori, yang dapat memprediksi perilaku dan menjelaskan perilaku (Feist &
Feist, 2010).
32
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian big five
merupakan pendekatan psikologi yang memiliki lima trait kepribadian
extraversion, neuroticism, openness to experience, agreeableness, dan
concientioueness yang digunakan untuk menganalisis kepribadian seseorang.
2.2.2 Dimensi Kepribadian
Definisi kepribadian menurut masing-masing ahli berbeda-beda tetapi kepribadian
yang populer adalah the big five personality. Dimensi-dimensi kepribadian
menurut Costa dan McCrae (dalam Feis & Feist, 2010) adalah sebagai berikut :
1. Extraversion
Menyatakan bahwa individu yang memili skor tinggi pada dimensi ini
cenderung penuh kasih sayang, suka bergabung menjadi anggota kelompok,
banyak bicara, menyukai kesenangan, aktif, dan selalu bersemangat.
Sedangkan individu yang memiliki skor rendah pada dimensi ini cenderung
tidak ramah dengan orang lain, suka menyendiri, pendiam, apa adanya, pasif,
dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar.
2. Neuroticism
Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini akan
cenderung gelisah/cemas, temperamental, sentimentil, emosional, dan rentan
terhadap kritikan orang lain. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah
cenderung tenang, bangga dengan diri sendiri, terkadang temperamental,
menyenangkan, tidak emosional, dan sabar.
33
3. Openness to experience
Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini (O)
cenderung imajinatif, kreatif, inovatif, selalu ingin tahu, menyukai sesuatu
yang berbeda, dan bebas. Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah
cenderung tidak kreatif, konventional, menyukai sesuatu yang menetap, tidak
peduli, dan konservatif.
4. Agreebleness
Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini (A)
akan cenderung berhati lembut, mudah percaya, dermawan, ramah, toleransi,
bersahabat dan baik hati. Sebaliknya individu dengan skor rendah akan
cenderung kejam, curiga, pelit, bersifat antagonis, kritis, dan mudah marah.
5. Conscientiousness
Menyatakan bahwa individu yang memiliki skor tinggi cenderung teliti,
pekerja keras, teratur, disiplin, ambisius, dan gigih. Sedangkan pada individu
yang memiliki skor rendah cenderung ceroboh, malas, tidak teratur, suka
terlambat, dan tidak memiliki tujuan yang pasti.
2.2.3 Pengukuran Kepribadian
John dan Srivastava (1999) membahas bahwa ada berbagai alat ukur yang
dikembangkan untuk mengukur big five personality, diantaranya:
1. NEO-PI-R yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae pada tahun 1992,
NEO-PI-R adalah sebuah alat ukur yang dikembangkan oleh Costa dan
McCrae dengan cara menggunakan kuesioner yang dirancang untuk mengukur
34
big five traits. Mereka membedakan masing-masing dari kelima dimensi
kepribadian tersebut.
2. Big five Inventory (BFI) yang dibuat oleh John, Donahue, dan Kentle (1991).
BFI sering digunakan dalam penelitian-penelitian dimana waktu subjek
terbatas dan format item yang singkat memberi lebih banyak konnteks
dibandingkan item tunggal Golberg sekaligus lebih sederhana dibandingkan
format kalimat yang digunakan dalam kuesioner NEO. Skala berjumlah 44
item.
Sedangkan, menurut Rammstedt dan John (2007) the big five personality
dapat diukur dengan menggunakan skala Big Five Inventory-10 (BFI-10).
BFI-10 merupakan turunan dari BFI-44 yang dikemukakan oleh John,
Donahue, & Kentle. Item pada instrument ini sebanyak 10 item, kurang dari
25% dari BFI-44 tetapi mampu memprediksi 70% dari item yang ada di BFI-
44.
Dari beberapa alat ukur diatas, peneliti memutuskan untuk mengadaptasi alat ukur
Big Five Inventory (BFI) yang dikembangkan oleh John, dkk (1991). BFI
merupakan kuesioner self-report yang berisi 44 item. Hal ini dikarenakan sesuai
dengan teori yang peneliti gunakan pada penelitian ini dan BFI juga sudah banyak
digunakan dan teruji pada penelitian terdahulu, serta item-item dalam BFI telah
dibandingkan dengan inventory kepribadian yang sudah baku dan memiliki
reabilitas yang cukup baik.
35
2.2.4 Agresivitas dan bigfive personality
Banyak penelitian sebelumnya telah mengkaji hubungan antara agresivitas dengan
bigfive personality. Sebagai contoh adalah penelitian yang dilakukan oleh Barlett and
Anderson (2012) pada mahasiswa di Universitas Midwestern menunjukkan bahwa
pada agresi fisik, Agreeableness secara tidak langsung berhubungan negatif dengan
perilaku agresi namun terlebih dahulu melalui emosi dan sikap agresi, neurotisisme
secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku agresif namun terlebih dahulu
melalui emosi agresif. Openness to Experience secara tidak langsung berhubungan
dengan perilaku dan sikap agresi. Sedangkan pada perilaku kekerasan, Agreeableness
dan Openness to Experience secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku
kekerasan namun terlebih dahulu melalui sikap agresi.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bigfive personality mempunyai
hubungan secara positif maupun secara negatif terhadap agresi dan perilaku
kekerasan. Contohnya, Agreeableness dan Conscientiousness berhubungan negatif
dengan dendam (agresi emosi), sedangkan menurut McCullough, et al (dalam
Barlett and Anderson, 2012) menemukan bahwa Neurotism berhubungan positif
dengan dendam. Penelitian Sharpe and Desai (dalam Barlett and Anderson, 2012)
menemukan bahwa Neurotism berhubungan positif dengan anger dan holistility
(agresi emosi) dan perilaku agresi, sedangkan extraversion, agreeableness and
conscientiousness berhubungan negatif dengan emosi dan agresi, kemudian
penelitian tersebut menemukan bahwa ada korelasi antara self-reported agresi
fisik dan hubungan Extraversion adalah negatif. Pada penelitian Anderson et al
(dalam Barlett and Anderson, 2012) menemukan juga bahwa Agreeableness dan
36
Conscientiousness berhubungan negatif dengan sikap agresi dan kekerasan,
karena Agreeableness ditandai dengan sifat baik hati, jujur dan kooperatif,
sedangkan Conscientiousness ditandai dengan bertanggung jawab, tertib dan
dapat diandalkan, Neurotism ditandai dengan mudah marah, dan emosi yang tidak
stabil, Openness ditandai dengan intelektual, halus dan berpikir mandiri.
Sementara itu, menurut John dan Srivasta (dalam Barlett and Anderson, 2012)
Extraversion ditandai dengan pembicara aktif, asertif, dan energik dan
mempunyai hubungan dengan agresi. Gleason (dalam Barlett and Anderson,
2012) menyatakan bahwa Agreeableness juga mempunyai hubungan negatif
dengan self-report dan peer-report perilaku agresif dan kekerasan. Sedangkan,
Openness tidak mempunyai hubungan dengan perilaku agresi. Sedangkan Gallo
dan Smith (dalam Barlett and Anderson, 2012) menemukan hubungan positif
antara extraversion dengan agresi fisik.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh dalam Caprara (dalam DeWall, et. al.,
2012) memaparkan bahwa ada hubungan agresi dengan bigfive personality namun dari
lima kepribadian, hanya tiga yang paling terkait dengan agresi: yang mempunyai
hubungan positif yaitu neuroticism, sedangkan yang mempunyai hubungan negatif
yaitu conscientiousness dan agreeableness.
Sementara itu, penelitian dengan sampel lainnya yang dilakukan oleh Trninić¹, et.
al. (2008) menemukan pada sampel para tahanan agresivitas secara signifikan
berkorelasi dengan bigfive personality yaitu agreeableness, conscientiousness dan
emotional stability, sedangkan pada atlet remaja berkorelasi signifikan dengan
extraversion, agreeableness dan emotional stability. Dalam analisis regresi berganda
37
menunjukkan bahwa agreeableness prediktor signifikan dari agresivitas dalam
tahanan, sedangkan pada atlet remaja emotional stability prediktor yang signifikan.
Sedangkan, penelitian lainnya yang dilakukan Anitei & Dumitrache (2013)
menunjukkan bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara conscientiousness dan
perilaku agresif pada pengemudi di sekolah pilot, sementara itu antara extraversion,
openness, agreeableness and emotional stability tidak ada hubungannya. Mengenai
pengaruh kepribadian pada pengemudi yang agresif, hanya conscientiousness yang
signifikan terhadap perilaku agresif pada pengemudi di sekolah pilot.
2.3 Attachment Style
2.3.1 Definisi Attachment
Konsep attachment berawal dari peneltian yang dilakukan oleh John Bowbly pada
tahun 1969 mengenai interaksi antara bayi dengan pengasuhnya atau paling sering
dengan ibu. Attachment style yang dimiliki seseorang akan berpengaruh pada
individu dalam berteman, berinteraksi dengan orang lain, dan keberhasilan dalam
membina hubungan sosial (Baron & Byrne, 2005). Attachment sebagai ikatan
afeksional yang kuat yang dirasakan terhadap orang tertentu yang membawa
kepada perasaan senang ketika berinteraksi dengannya dan nyaman bila berada di
dekatnya selama saat-saat yang menekan (Berk, 1997).
Kemudian Collin (1996) menjelaskan bahwa setiap aspek dari definisi
attachment itu penting. Oleh sebab itu, hal esensial yang terkandung dan terkait
dengan definisi attachment akan dijelaskan sebagai berikut. Attachment
merupakan ikatan emosional, bukan tingkah laku. Attachment merupakan
hubungan berlangsung lama dan relatif stabil yang terjadi sepanjang hidup
38
seseorang yang ditujukan pada figure attachment-nya. Jadi, bukan kesenangan
sementara yang didapat dari hubungan kebersamaannya dengan orang lain dalam
waktu sesaat.
Sedangkan, dalam Baron, Branscombe & Byrne (2008) attachment style
merupakan derajat keamanan yang dialami dalam hubungan interpersonal. Gaya-
gaya yang berbeda pada awalnya dibangun pada saat masih bayi, tetapi perbedaan
dalam kelekatan tampak mempengaruhi perilaku interpersonal sepanjang
hidupnya. Kemudian Bartholomew (Bartholomew & Shaver, 1998)
mendefinisikan attachment style yaitu kecenderungan perilaku lekat individu yang
terdiri dari dimensi positif dan negatif pada dua sikap dasar yaitu sikap dasar
mengenai self dan sikap dasar mengenai orang lain.
Konsep attachment meliputi apek sosial, emosional, kognitif dan perilaku
dari manusia. Attachment adalah properti dari hubungan sosial dimana individu
yang lemah, kurang terampil bergantung pada yang lebih kompeten dan kuat
sebagai sebuah perlindungan. Setiap hubungan mengalami ikutan emosional
dengan orang lain dan membentuk representasi internal (Bowlby menyebut
working model) dari hubungan oleh dua orang yang terlibat dalan perilaku yang
mencerminkan dan mempertahankan hubungan. Ini adalah hubungan yang dibawa
selanjutnya dalam tahap perkembangan seseorang (Golberg, 2000).
Ervika (2005) kelekatan adalah suatu hubungan emosional atau hubungan
yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang
mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan yang ditunjukkan pada
ibu atau pengasuhnya. Hubungan yang dibina bersifat timbal balik, bertahan
39
cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak terlihat dalam
pandangan anak.
Dari pengertian yang telah dipaparkan, maka peneliti mengambil kesimpulan
bahwa attachment style adalah ikatan secara emosional yang bertahan dalam
waktu yang relatif lama terhadap figur tertentu misalnya pada orang tua dengan
adanya keinginan untuk merasa senang, nyaman dan aman.
2.3.2 Dimensi Attachment Style (Gaya Kelekatan)
Bartholomew & Griffin (dalam Baron & Byrne, 2000) membagi gaya kelekatan
menjadi empat tipe, yaitu:
1. Gaya kelekatan aman (secure attachment)
Seseorang dengan gaya kelekatan aman memiliki hubungan yang hangat
dengan orang tua mereka dan mempersepsikan kehidupan keluarga mereka
dimasa lampau dan masa sekarang secara positif. Menurut Mikulincer (dalam
Baron & Byrne, 2000) mengungkapkan bahwa dibandingkan gaya kelekatan
yang lain, individu dengan gaya kelekatan aman tidak mudah marah, lebih
tidak mengatribusikan keinginan bermusuhan dengan orang lain dan
mengharapkan hasil positif dan konstruktif dari konflik.
2. Gaya kelekatan takut-menghindar (Fearful Attachment style)
Memiliki self esteem yang rendah dan negatif terhadap orang lain dengan
meminimalkan kedekatan interpersonal dan menghidari hubungan akrab,
mereka berharap dapat melindungi diri mereka dari rasa sakit karena ditolak.
Individu yang takut ditolak menggambarkan orang tua mereka secara negatif
40
memendam perasaan hostile dan marah tanpa menyadarinya (Baron & Byrne,
2000).
Remaja memiliki tingkat yang sangat tinggi dari rasa takut dan bingung.
Ini mungkin akibat dari pengalaman traumatis seperti kematian orang tua atau
penyalahgunaan oleh orang tua (Santrock, 2001).
3. Gaya kelekatan terpreokupasi (Preoccupied Attachment style)
Memiliki ketidakkonsistenan antara self image dengan image mengenai orang
lain. Individu dengan gaya kelekatan ini mempunyai pandangan yang negatif
mengenai self yang dikombinasikan dengan harapan positif bahwa orang lain
akan mencintai dan menerima mereka.
Lopez, et. al. (dalam Baron & Byrne, 2000) mengungkpakan bahwa
individu yang terpreokupasi mencari kedekatan dalam hubungan (kadang-
kadang kedekatan yang berlebihan), tapi mereka juga mengalami kecemasan
dan rasa malu karena merasa “tidak pantas” menerima cinta dari orang lain.
Tekanan mengenai kemungkinan ditolak terjadi secara ekstrem. Kebutuhan
untuk dicintai dan diakui ditambah adanya self cristism mendorong terjadinya
suatu depresi setiap kali hubungan menjadi buruk (Baron & Byrne, 2000).
Preoccupied/ambivalen adalah suatu kategori insecure dimana remaja
sangat bergantung pada pengalaman mengenai kelekatan (attachment). Ini
diduga terjadi terutama ketika para orang tua tidak disamping mereka secara
konsisten. Dapat mengakibatkan tingkat derajat tinggi dalam perilaku mencari
kelekatan (attachment) dengan adanya perasaan marah. Konflik antara orang
41
tua dan remaja dalam jenis attachment ini mungkin terlalu tinggi dalam tahap
perkembangan yang baik (Santrock, 2001).
4. Gaya kelekatan Menolak (Dismissing Attachment Style)
Memiliki self image yang sangat positif (kadang kala tidak realistis). Individu
yang independen dan sangat layak mendapatkan hubungan yang dekat (Baron
& Byrne, 2000). Orang lain mungkin lebih melihat mereka secara lebih tidak
positif dan mendeskripsikan mereka orang yang tidak ramah dan terbatas
keterampilan sosialmya.
Dismissing/avoidant attachment adalah suatu kategori insecure dimana
individu menekankan pentingnya attachment. kategori ini dikaitkan dengan
pengalaman yang konsisten dari penolakan kebutuhan attachment oleh
pengasuh. Salah satu kemungkinan hasil dari dismissing/avoidant adalah
bahwa orang tua dan remaja dapat saling menjauhkan diri dari satu sama lain,
yang mengurangi pengaruh orang tua. Dalam sebuah penelitian,
dismissing/avoidant attachment mempunyai hubungan dengan perilaku
kekerasan dan perilaku agresif pada remaja (Santrock, 2001).
2.3.3 Perkembangan attachment dalam rentan hidup
Kebutuhan akan attachment cenderung stabil selama perjalanan hidup seseorang,
yang berubah hanyalah tingkah laku attachment yang ditampilkan serta hakikat
dari attachment itu sendiri (Collin, 1996). Hasrat dan kebutuhan untuk
mendapatkan perlindungan dan rasa aman tetap menjadi alasan utama bagi
manusia untuk mengembangkan attachment. akan tetapi kondisi yang
meningkatkan aktivasi dari sistem attachment, jenis tingkah laku attachment yang
42
ditampilkan, serta derajat kedekatan akan berubah seiring bertambahnya usia
(Collin, 1996).
a. Masa kanak-kanak
Sejak awal kehidupan sampai masa ini, frekuensi tingkah laku attachment yang
nyata seperti menangis dan melekat pada figure attachment relatif menurun,
seiring dengan meningkatnya kemampuan fisik, keterampilan sosial, dan
pengetahuan. Anak akan menjadi lebih percaya pada dirinya sendiri, sedangkan
kebutuhan akan kedekatan fisik dengan figure attachment berkurang.
b. Masa remaja
Ainsworth (dalam Collin, 1996). Perubahan hormonal, neurofiologis dan kognitif
yang diasosiasikan pada remaja mungkin mendasari perubahan normatif dalam
proses attachment. figure attachment tidak hanya meliputi ibu, ayah dan pengasuh
lainnya. Saudara kandung yang lebih tua, saudara atau keluarga lain, guru dan
teman-teman dapat menjadi figur tambahan. Pada masa ini, perilaku attachment
mulai bersifat timbal balik, artinya kedua belah pihak (individu dan figure
attachment) menyediakan perhatian dan perlindungan satu sama lain.
c. Masa dewasa
Hubungan attachment pada masa dewasa mempunyai kemiripan dengan
hubungan yang terjadi pada masa kanak-kanak. Hal yang membedakan
attachment pada masa kanak-kanak dan dewasa adalah berubahnya figure
attachment pada masa dewasa, dimana figure attachment pada orang dewasa
biasanya ditunjukkan pada sahabat, teman sebaya, atau pasangannya, sedangkan
pada masa kanak-kanak lebih kepada pengasuhnya. Kedua, orang dewasa lebih
43
mampu mentolerir keterpisahan dengan figure attachment-nya daripada kanak-
kanak.
2.3.4 Pembentukan tingkah laku lekat (attachment behavior)
Monks dan Knoers (2006) berpendapat bahwa attachment behavior atau tingkah
laku lekat merupakan tingkah laku yang khusus bagi manusia, yaitu
kecenderungan dan keinginan seseorang untuk mencari kedekatan dengan orang
lain, untuk mencari kepuasan dalam hubungan dengan orang tersebut.
Schaffer (dalam Monks & Knoers, 2006) mengemukakan bahwa anak
pada waktu dilahirkan mempunyai semacam struktur kognitif yang spesifik yaitu
suatu struktur kognitif yang terarah pada jenisnya sendiri yang dapat menambah
keinginan untuk mempertahankan hidupnya. Dalam tiga bulan pertama, akan
timbul daya tarik terhadap manusia pada umumnya, kemudian struktur kognitif
tersebut berubah arah akibat pengalaman dan belajar hingga anak lebih tertarik
pada orang-orang tertentu saja. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Bowlby
(dalam Meinz, 1997) bahwa keterikatan anak dengan orang tuanya berkembang
dari hal yang tidak terarah, sedikit demi sedikit lebih terarah dan tertentu.
Menurut Monks dan Knoers (2006) ada dua macam tingkah laku yang
menyebabkan seseorang dipilih sebagai objek kelekatan atau figur lekat, yaitu:
1. Sering mengadakan reaksi terhadap tingkah laku anak yang dimaksudkan
untuk mencari perhatian.
2. Sering membuat interaksi secara spontan dengan anak.
Berdasarkan hasil penelitian, Berk (2005) menemukan beberapa faktor
yang mempengaruhi secure attachment pada anak, diantaranya:
44
1. Kesempatan untuk membangun kelekatan.
2. Kualitas pengasuh.
3. Karakteristik bayi.
4. Model mental kelekatan orang tua.
Bowlby (dalam Monks & Knoers, 2006) berpendapat bahwa timbulnya
kelekatan anak terhadap figur lekatnya adalah ikatan dari aktifnya sejumlah
sistem tingkah laku (behavior systems) yang membutuhkan kedekatan dengan ibu.
Bila anak ditinggalkan oleh ibu atau dalam keadaan takut, sistem tingkah laku
tersebut menjadi aktif dan hanya bisa dihentikan oleh sentuhan, suatu kehadiran
ibu.
2.3.5 Model mental kelekatan
Bowbly (dalam Baron & Byrne, 2003) mengajukan bahwa pada saat
berlangsungnya interaksi antara bayi dan pengasuhnya tersebut, anak membentuk
kognisi yang terpusat pada dua sikap yang sangat penting (istilah Bowbly
terhadap sikap-sikap ini adalah model kerja atau working model atau dikenal juga
dengan istilah model mental kelekatan). Salah satu sikap dasar adalah evaluasi
terhadap diri sendiri, disebut juga self esteem yaitu perilaku dan reaksi emosional
dari pengasuh kepada bayi bahwa ia dihargai, penting individu yang dicintai atau
pada ujung ekstrim yang lainnya, relatif tidak berharga, tidak penting dan tidak
dicintai.
Mc Cartney dan Dearing (2002) menyatakan bahwa pengalaman awal
akan menggiring dan menentukan perilaku dan perasaan melalui internal working
model. Adapun penjelasan mengenai konsep ini adalah, “Internal” : karena
45
disimpan dalam pikiran; “working” : karena membimbing persepsi dan perilaku
dan “model” : karena mencerminkan representasi kognitif dari pengalaman dalam
membina hubungan. Anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu
hubungan, khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan bahaya. Sikap dasar
dua yang diperoleh bayi adalah aspek social self yang terdiri dari belief dan
harapan mengenai orang lain yang disebut kepercayaan interpersonal
(interpersonal trust). Gagasan umumnya adalah bahwa bayi memperoleh
pengalaman bahwa pengasuhnya dapat dipercaya, dapat diharapkan dan dapat
diandalkan atau relatif tidak dapat dipercaya, tidak diharapkan dan tidak dapat
diandalkan.
Selama bayi tumbuh dan berinteraksi dengan orang lain di dalam dan luar
keluarga, sika dasar mengenai self tetap ada, sikap dasar mengenai pengasuh
digeneralisasikan kepada individu lain. Jika Bowlby benar, jauh sebelum kita
memperoleh keterampilan berbahasa, kita mampu membentuk skema dasar
mengenai diri kita sendiri dan mengenai orang lain, skema yang membimbing
perilaku interpersonal kita sepanjang hidup kita. Sebagai akibatnya, interaksi kita
dengan anggota keluarga, orang asing teman sebaya dan sahabat, pasangan
romantis, dan pasangan hidup hingga derajat tertentu dipengaruhi oleh apa yang
kita pelajari pada awal masa bayi (Baron & Byrne, 2003).
Dapat disimpulkan bahwa model mental kelekatan adalah kognisi yang
terpusat pada dua sikap penting yaitu sikap dasar terhadap diri sendiri yang terdiri
dari evalusi terhadap diri sendiri dan sikap dasar terhadap orang lain yang terdiri
46
dari belief dan harapan mengenai orang lain. Model kelekatan ini akan
mempengaruhi perilaku individu sepanjang rentan kehidupan..
2.3.6 Pengukuran Attachment style
Bäckstrӧm & Holmes (2001) membahas bahwa ada berbagai alat ukur yang
dikembangkan untuk mengukur attachment, diantaranya:
1. Relationship Questionnaire (RQ)
RQ dikembangkan oleh Bartholomew dan Horowitz (dalam Bäckstrӧm &
Holmes, 2001) yang digunakan untuk mengukur hubungan dekat antara teman
sebaya. Alat ukur ini terdiri dari 4 paragraf singkat yang mendeskripsikan
masing-masing attachment (secure, fearful, dismissing dan preoccupied).
Responden diminta untuk memberikan rating skala 7 poin masing-masing
paragraph dan diminta pula untuk memilih deskripsi mana yang paling sesuai
atau menjelaskan diri mereka.
2. Relationship Scale Questionnaire (RSQ)
RSQ dikembangkan oleh Griffin dan Bartholomew (1994). RSQ digunakan
untuk mengukur 4 attachment, yaitu secure, fearful, dismissing dan
preoccupied attachment style. RSQ terdiri dari 30 item pernyataan, yang item-
itemnya diambil dari alat ukur kelekatan milik Hazan dan Shaver (1987).
Dari beberapa alat ukur diatas, peneliti memutuskan untuk mengadaptasi dan
memodifikasi alat ukur RSQ (Relationship Scale Questionnaire) yang
dikembangkan oleh Griffin dan Bartholomew (dalam Hofstra & Van
Oudenhoven, 2004) dengan mengganti sasaran peneliti yaitu pada remaja dan
attachment pada orang tua. Secara keseluruhan skala ini terdiri dari 24 item
47
namun oleh peneliti satu item tidak diikutsertakan dalam pengambilan data, yakni
item dari dimensi preoccupied attachment karena tidak sesuai dengan yang akan
diukur dan menambahkan satu item pada dimensi dismissing attachment style.
Yang digunakan dalam penelitian ini tetap 24 item. Terdiri dari empat dimensi
dalam skala ini yaitu, secure attachment, fearful attachment, preoccupied
attachment dan dimissing attachment.
2.3.5 Attachment dan agresivitas
Gallarin & Alonso-Arbiol (2012) memaparkan bahwa keterkaitan parenting
practices, parental attachment dengan agresivitas remaja. Parental attachment
sebagai variable moderator antara parenting practices dan agresivitas remaja.
Parenting practices memiliki pengaruh terhadap persepsi mengenai attachment
secure/insecure pada orang tua, dan insecure attachment ayah akan berpengaruh
terhadap agresivitas.
Menurut Dyka, Ziv dan Cassidy (dalam Gallarin & Alonso-Arbiol, 2012)
menyatakan bahwa remaja yang secure attachment (kelekatan yang aman)
dibandingkan dengan yang insecure attachment (kelekatan yang tidak aman)
dianggap lebih prososial atau cenderung kurang berperilaku agresif. Journal of
Youth and Adolescence (2000) juga menunjukkan bahwa attachment pada orang
tua secara signifikan berhubungan dengan usia, depresi, dan agresi. Remaja yang
tingkat attachment orang tua tinggi akan menunjukkan tingat agresi dan depresi
yang rendah begitu pun sebaliknya (Laible, Carlo,& Raffaelli, 1999).
Pada penelitian diatas disimpulkan jika remaja yang mempunyai kelekatan
yang positif dengan orang tuanya seperti rasa aman dan nyaman pada orang tua
48
yang akan membuat anak merasakan amat berharga, penuh dorongan dukungan
sosial dan kasih sayang dari orang tuanya akan mengurangi agresivitas remaja,
sedangkan insecure attachment style menimbulkan rasa tidak nyaman dalam
sebuah kelekatan, sehingga anak memiliki persepsi yang selalu curiga kepada
orang tuanya maupun pada orang lain serta menghindar dan selalu merasa cemas
yang akan memunculkan perilaku agresi.
2.4 Kerangka Berpikir Dan Hipotesis
2.4.1 Kerangka Berpikir
Agresivitas merupakan perilaku agresi yang bertujuan untuk menyakiti dan
melukai makhluk hidup (orang lain) dengan sengaja baik secara fisik dan psikis
dan target menghindari perilaku tersebut. Seperti yang telah didefinisikan oleh
Myers (1996) perilaku agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja denga
maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Perilaku maladaptif ini
sering terjadi pada masa remaja, terbukti fenomena-fenomena dapat kita lihat
dalam berita-berita atau media massa yang menyoroti betapa banyaknya kasus
kekerasan yang sampai saat ini sulit untuk ditangani seperti pada kasus tawuran
antar pelajar yang banyak terjadi di sekolah-sekolah menengah atas. Oleh karena
itu kasus tawuran antar pelajar pun sudah menjadi hal yang tidak asing lagi
bahkan sudah menjadi pembicaraan umum dikalangan masyarakat dan belum ada
solusi yang konkrit untuk mengatasinya yang sampai saat ini hal tersebut sudah
semakin kompleks.
Agresivitas remaja bukan hanya dalam persoalan tawuran antar pelajar
saja, namun banyak tindakan kekerasan lainnya seperti bullying yang juga dapat
49
dikategorikan dalam agresivitas fisik seperti menyakiti dan mendorong atau dalam
bentuk verbal seperti mengancam, mencela dan sebagainya (Ylvisaker, 2006).
Remaja/pelajar adalah fase pencarian jati diri, pencarian identitas diri ini adalah
tugas perkembangan yang wajib dilalui remaja, remaja mulai mempertanyakan
hakikat dirinya, dan esensi dari berbagai macam hal, mereka mencari apa yang
menjadi potensinya dan menjadi seperti apakah pribadi yang mereka inginkan,
kebanyakan remaja ingin diakui eksistensinya, ingin menjadi pusat perhatian.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan agresivitas pada remaja salah
satunya adalah kepribadian big five personality yaitu kepribadian yang terdiri dari
lima dimensi extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan
openness to experiences. Contohnya, Individu yang semakin tinggi skornya pada
dimensi extraversion yaitu cenderung penuh kasih sayang, suka bergabung
menjadi anggota kelompok, banyak bicara, menyukai kesenangan, aktif, dan
selalu bersemangat, semakin baik ia mengontrol emosinya sehingga akan
mengurangi agresivitasnya. Pada dimensi agreeableness individu yang
agresivitasnya rendah maka individu tersebut memiliki skor tinggi pada
kepribadian agreeableness yaitu cenderung berhati lembut, mudah percaya,
dermawan, ramah, toleransi, bersahabat dan baik hati. Pada dimensi
conscientiousness, seseorang dengan kepribadian ini mampu mengontrol tingkah
lakunya terhadap lingkungan sosialnya, berpikir sebelum bertindak, menunda
kepuasaan, mengikuti peraturan dan norma yang berlaku. Oleh karena itu akan
kecil kemungkinan untuk agresivitas. Individu yang memiliki skor tinggi pada
dimensi neuroticism akan cenderung gelisah/cemas, temperamental, sentimentil,
50
emosional, dan rentan terhadap kritikan orang lain yang besar kemungkinan akan
bertindak agresif. individu mempunyai skor rendah pada openness yaitu tidak
peduli pada orang lain maka akan tinggi tingkat agresivitasnya, sedangkan jika
mempunyai skor tinggi pada openness yaitu mudah toleransi, fokus dan wapada
pada berbagai perasaan maka akan rendah agresivitasnya.
Selain bigfive personality peneliti mengajukan variabel lain yang
mempengaruhi agresivitas pada remaja, yaitu attachment (keterikatan). Karena
dengan attachment yang baik seperti rasa aman, kasih sayang, mendapatkan
dorongan yang positif (secure) dari orang tuanya anak akan mengurangi perilaku
agresi daripada anak yang tidak mempunyai rasa aman (insecure) dari orang
tuanya. Pada pola insecure anak akan merasa menolak, menghindari serta merasa
dirinya dapat melakukan sesuatu hal tanpa perlu arahan dari orang tuanya
sedangkan anak dengan pola secure dapat lebih aman dan nyaman untuk terbuka
dan mau mengeluhkan perasaan-perasaan yang mereka rasakan di lingkungan
sosialnya maupun di dalam dirinya sendiri.
Menurut Dyka, Ziv dan Cassidy (dalam Gallarin & Alonso-Arbiol, 2012)
menyatakan bahwa remaja yang secure attachment (kelekatan yang aman)
dibandingkan dengan yang insecure attachment (kelekatan yang tidak aman)
dianggap lebih prososial atau cenderung kurang berperilaku agresif.
Selama ini, banyak peneliti menerima adanya tiga pola attachment seperti
yang didefinisikan oleh Bowbly (secure attachment, insecure avoidant
attachment, dan insecure-ambivalent attachment). Namun Bartholomew dan
Horowitz (1991) mengembangkan empat dimensi attachment yaitu Secure
51
attachment, fearful attachment, preoccupied attachment, dan dismissing
attachment. Misalnya, individu dengan gaya kelekatan aman (secure attachment)
akan mampu melakukan kontrol, sehingga tidak mudah marah (anger). Individu
yang tidak mudah marah akan kecil kemungkinan untuk agresivitas. Kemudian,
fearful attachment (kelekatan rasa takut) individu yang takut ditolak
menggambarkan orang tua mereka secara negatif memendam perasaan hostile dan
marah tanpa menyadarinya yang kemudian besar kemungkinan untuk agresivitas.
Selanjutnya, individu dengan gaya kelekatan terokupasi (preoccupied attachment)
individu yang memiliki kecemasan dan rasa malu karena tidak pantas menerima
kasih sayang ini diduga terjadi terutama ketika para orang tua tidak disamping
mereka secara konsisten dan dapat mengakibatkan perilaku mencari kelekatan
(attachment) dengan adanya perasaan marah yang kemungkinan akan
menimbulkan agresivitas. Terakhir, gaya kelekatan menolak (dismissing
attachment) dimana orang tua dan remaja dapat saling menjauhkan diri dari satu
sama lain, yang mengurangi pengaruh orang tua. Kemungkinan hal ini
dikarenakan individu melihat dirinya secara positif seperti independen (lebih
mandiri), merasa layak mendapatkan hubungan yang layak, maka individu
tersebut lebih peduli terhadap dirinya sendiri agar tidak melakukan sesuatu yang
membahayakan dirinya, namun orang lain melihat individu tersebut sebagai orang
yang tidak ramah yang akan menimbulkan perilaku kekerasan dan perilaku
agresif.
Faktor lain juga diasumsikan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap
agresivitas diantaranya jenis kelamin. Dalam hal ini laki-laki diduga lebih agresif
52
dibandingkan perempuan, karena laki-laki sangat memungkinkan untuk membalas
dengan agresi fisik bila mereka di serang atau diganggu oleh orang lain, hal yang
serupa telah diungkapkan dalam Taylor, Peplau, dan O’Sears (2009) yang
menyatakan bahwa di seluruh dunia, pria cenderung lebih agresif ketimbang
perempuan baik dimasa kanak-kanak sampai ke dewasa.
Dari permasalahan dan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
peneliti memfokuskan penelitian ini pada pengaruh bigfive personality dan
attachment style terhadap agresivitas pada pelajar. Selain itu peneliti juga
menambahkan variabel demografi seperti jenis kelamin.
Gambar 2.1 merupakan rangkuman kerangka berpikir yang digunakan
dalam penelitian ini:
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Secure attachment
Fearful attachment
Preoccupied attachment
Extraversion
Agreeableness
Conscientiousness
Dismissing attachment
Agresivitas Attachment style
Neuroticism
Openness to experiences
BIGFIVE
PERSONALITY
Jenis kelamin
53
2.4.2 Hipotesis Penelitian
1. Hipotesis mayor
Ada pengaruh yang signifikan bigfive personality, dan attachment style
(kelekatan) orang tua terhadap agresivitas pada pelajar di SMAN 6 Jakarta.
2. Hipotesis minor
Ha1 : Ada pengaruh yang signifikan antara extraversion terhadap agresivitas
pada pelajar di SMAN 6 Jakarta.
Ha2 : Ada pengaruh yang signifikan antara agreeableness terhadap
agresivitas pada pelajar di SMAN 6 Jakarta.
Ha3 : Ada pengaruh yang signifikan antara conscientiousness terhadap
agresivitas pada pelajar di SMAN 6 Jakarta.
Ha4 : Ada pengaruh yang signifikan antara neuroticism terhadap agresivitas
pada pelajar di SMAN 6 Jakarta.
Ha5 : Ada pengaruh yang signifikan antara openness to experiences
terhadap agresivitas pada pelajar di SMAN 6 Jakarta.
Ha6 : Ada pengaruh yang signifikan antara secure attachment terhadap
agresivitas pada pelajar di SMAN 6 Jakarta.
Ha7 : Ada pengaruh yang signifikan antara fearful attachment terhadap
agresivitas pada pelajar di SMAN 6 Jakarta.
Ha8 : Ada pengaruh yang signifikan antara preoccupied attachment
terhadap terhadap agresivitas pada pelajar di SMAN 6 Jakarta.
Ha9 : Ada pengaruh yang signifikan antara dismissing attachment terhadap
agresivitas pada pelajar di SMAN 6 Jakarta.
54
Ha10 : Ada pengaruh yang signifikan jenis kelamin terhadap agresivitas
pada pelajar di SMAN 6 Jakarta.
55
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini akan memberikan penjelasan mengenai metode penelitian yang meliputi
populasi dan sampel, variabel penelitian beserta definisi operasionalnya, instrumen
pengumpulan data, pengujian validitas konstruk, prosedur penelitian, dan metode
analisis data yang digunakan dalam penelitian.
3.1 Sampel dan Teknik Pengambilan Data
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa dan siswi di SMAN 6 Jakarta yang
berjumlah 990 pelajar. Adapun cara pemilihan sampel dilakukan secara probability
sampling, dimana semua anggota populasi diketahui, memiliki probabilitas atau
peluangnya untuk dijadikan sampel. Teknik pengambilan sampel dengan
menggunakan proportional sample, sebanyak 250 pelajar di SMAN 6 Jakarta
(kurang lebih 25% populasi) yang menjadi sampel dalam penelitian ini.
3.2 Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel terikat (dependent
variable) dan variabel bebas (independent variable). Variabel-variabel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah agresivitas.
b. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini yaitu:
1. Variabel big five personality dengan dimensi-dimensi yang meliputi
extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan openness
to experience.
56
2. Variabel attachment style dengan dimensi-dimensi yang meliputi secure
attachment, fearful attachment, preoccupied attachment dan dismissing
attachment.
3. Variabel jenis kelamin
3.3 Definisi Operasional Variabel
Agar dapat dilakukan pengukuran terhadap semua variabel penelitian perlu
ditetapkan definisi operasional dari semua variabel tersebut. Definisi operasional
masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Agresivitas adalah suatu tindakan atau perilaku bertujuan untuk menyakiti
atau melukai orang lain, yang diukur menggunakan skala agresivitas yang
diadaptasi dari skala Aggression Questionnaire yang dikembangkan oleh
Buss dan Perry (1992). Skala disusun berdasarkan bentuk-bentuk
agresivitas yaitu physical aggression, verbal aggression, anger, dan
hostility.
2. Kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya
konsistensi perasaan, pemikiran dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari,
yang diukur menggunakan skala kepribadian yang diadaptasi dari Big Five
Inventory (BFI) yang dikembangkan oleh Oliver P. John, et al. (1991).
Empat dimensi, yaitu Extraversion, Neuroticism, Agreeableenes,
Conscientiousness dan Opennes to experience.
3. Attachment style adalah kecenderungan perilaku lekat individu yang terdiri
dari dimensi positif dan negatif dua sikap dasar, yaitu sikap mengenai self
dan sikap terhadap orang lain maupun orang tuanya, yang diukur
57
menggunakan skala attachment style yang diadaptasi dan dimodifikasi dari
skala RSQ (Relationship Scale Questionnaire) oleh Bartholomew and
Griffin (dalam Hofstra & Van Oudenhoven, 2004). Yang didalamnya terdiri
dari subskala yang mengandung empat gaya lekat, yaitu secure attachment,
fearful attachment style, preoccupied attachment style dan dismissing
attachment style.
3.4 Pengumpulan Data
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan instrumen baku yang
telah dikembangkan oleh peneliti lain. Instrumen yang diadaptasi Antara lain skala
Aggression Questionnaire (Buss & Perry, 1992), Big Five Inventory (BFI) yang
dikembangkan oleh Oliver P. John, et. al. (1991) dan instrumen yang diadaptasi dan
dimodifikasi yaitu RSQ (Relationship Scale Questionnaire) oleh Bartholomew and
Griffin (dalam Hofstra & Van Oudenhoven, 2004). Peneliti kemudian akan
menerjemahkan item-item dalam instrumen tersebut ke dalam bahasa Indonesia dan
pada skala Relationship Scale Questionnaire, mengganti sasaran peneliti yaitu pada
remaja dan attachment pada orang tua. Dalam proses penerjemahan dan
penyusunan alat ukur, peneliti menggunakan literatur yang terkait dengan
instrumen penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode skala sebagai alat
pengumpul data, yaitu sejumlah pernyataan tertulis untuk memperoleh jawaban dari
responden. skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala model
Likert dengan variasi pilihan respon dan skala penilaian. Beberapa hal yang harus
58
diperhatikan ketika menggunakan alat ukur model Likert antara lain adalah terdapat
variasi pilihan respon yang masing-masing terdiri dari empat alternatif jawaban
yang disediakan. untuk mengukur variabel-variabel penelitian ini, peneliti
menggunakan skala model Likert yang telah dimodifikasi, yaitu dengan
menghilangkan jawaban netral agar mendorong responden untuk memilih dan
memutuskan respon negatif ataupun positif, sehingga terlihat central tendency dari
jawaban responden. Pernyataan tertinggi untuk pernyataan unfavorable diberikan
pada pilihan jawaban “sangat tidak setuju” dan skor terendah diberikan untuk
pilihan “sangat setuju”.
Tabel 3.4.1.1 Tabel Skor Skala Model Likert
Kategori Respon SS S TS STS
Favorable 4 3 2 1
Unfavorable 1 2 3 4
Skala model likert dipilih untuk mengukur variabel agresivitas, big five personality
dan attachment style.
Dalam penelitian ini, subjek akan diberikan kuesioner yang terdiri dari tiga bagian,
yaitu:
3.1 Bagian pengantar, berisi tentang nama peneliti, tujuan dari penelitian,
kerahasiaan jawaban yang diberikan oleh responden, dan ucapan terima
kasih peneliti.
3.2 Bagian data, berisi tentang data-data subjek seperti nama insial, usia,
jenis kelamin dan kelas.
59
3.3 Bagian inti, berisi tiga alat ukur penelitian, yaitu alat ukur Aggression
Questionnaire, Big five Personality Inventory, dan Relationship
Attachment style Questionnaire.
Saat penelitian, subjek diminta untuk memilih salah satu dari pilihan jawaban yang
menunjukkan kesesuaian pernyataan yang diberikan dengan keadaan yang
dirasakan oleh responden dengan memberikan tanda silang (X) pada pilihan
jawaban
3.4.2 Instrumen Penelitian
1. Aggression Questionnaire scale
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala Aggression Questionnaire scale
dari Buss & Perry (1992) yang telah diadaptasi sebelumnya. Skala ini menggunakan
model Likert dengan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S),
Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Secara keseluruhan skala ini
terdiri dari 29 item yang dapat mengukur empat dimensi, yaitu physical aggression,
verbal aggression, anger, dan hostility. Adapun blue print skala Aggression
Questionnaire dapat dalam tabel 3.4.2.1
Tabel 3.4.2.1
Blueprint Skala Aggression Questionnaire
Dimensi Indikator Item Jumlah
Physical
aggression Menyerang, memukul dan merusak barang 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 17*, 18 9
Verbal
aggression
Berdebat, pengkritik, dan menunjukkan
ketidaksukaan dari ketidaksetujuan pada orang lain 1, 3, 5, 21, 28 5
Anger Mudah marah dan keras kepala, 11, 13, 15, 19, 22*, 24, 26 7
Hostility Iri hati dan curiga 7, 9, 16, 20, 23, 25, 27, 29 8
Keterangan: (*) unfavorable
60
2. Big five Personality Inventory (BFI)
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Big Five Inventory (BFI) yang
dikembangkan oleh Oliver P. John, dkk (1991) yang telah diadaptasi sebelumnya.
BFI merupakan kuesioner self-report terdiri dari 44 item yang dapat mengukur lima
dimensi, yaitu Extraversion, Neuroticism, Agreeableenes, Cconscientiousness dan
Opennes to experience. Adapun blue print skala Big Five Inventory (BFI) dapat
dalam tabel 3.4.2.2
Tabel 3.4.2.2
Blueprint skala big five personality
Dimensi Indikator Item Jumlah
Extraversion
Banyak bicara, penuh semangat,
mempunyai antusiasme yang tinggi,
memiliki kepribadian asertif (tegas) dan
mudah bergaul.
1, 6*, 11, 16, 21*, 26,
31*, 36 8
Agreeableness
Memiliki sifat pemaaf, mudah
mempercayai orang lain, perhatian dan
baik ke semua orang, dan suka bekerja
sama dengan orang lain.
2*, 7, 12*, 17, 22, 27*,
32, 37*, 42 9
Conscientious
ness
Mengerjakan pekerjaan dengan teliti,
tekun mengerjakan tugas hingga selesai,
melakukan sesuatu dengan efisien, dan
suka membuat perencanan dan
mewujudkannya.
3, 8*, 13, 18*, 23*, 28,
33, 38, 43* 9
Neuroticism
Terkadang bersikap tegang, mudah
cemas, mudah murung dan mudah
merasa gugup.
4, 9*, 14, 19, 24*, 29,
34*, 39 8
Openness to
Experience
Kreatif, suka menemukan ide-ide baru,
ingin tahu tentang banyak hal, memiliki
imajinasi yang aktif dan menjunjung
tinggi nilai artistik dan pengalaman
estetik.
5, 10, 15, 20, 25, 30,
35*, 40, 41*, 44 10
Keterangan: (*) unfavorable.
3. Relationship Attachment Scale Questionnaire (RSQ)
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan RSQ (Relationship Scale
Questionnaire) yang dikembangkan oleh Griffin dan Bartholomew (dalam Hofstra
& Van Oudenhoven, 2004) yang telah dimodifikasi dan diadaptasi sebelumnya oleh
61
peneliti, dengan mengganti sasaran peneliti yaitu pada remaja dan attachment pada
orang tua. Secara keseluruhan skala ini terdiri dari 24 item namun oleh peneliti satu
item tidak diikutsertakan dalam pengambilan data, yakni item dari dimensi
preoccupied attachment karena tidak sesuai dengan yang akan diukur dan
menambahkan satu item pada dimensi dismissing attachment style. Yang digunakan
dalam penelitian ini tetap 24 item. Terdiri dari empat dimensi dalam skala ini yaitu,
secure attachment, fearful attachment, preoccupied attachment dan dismissing
attachment. Relationship Scale Questionnaire (RSQ) dapat dalam tabel 3.4.2.3
Tabel 3.4.2.3
Blueprint Skala attachment style
Dimensi Indikator Item Jumlah
Secure
attachment
Mudah dekat dengan orang tua secara emosional, nyaman
jika bergantung dengan orang tua dan begitu sebaliknya
dan tidak khawatir apabila sendiri atau orang tua tidak
menerimanya.
2, 5, 7*, 10, 13, 15,
20, 7
Fearful-
avoidant
attachment
Kurang nyaman dekat dengan orang tua, menginginkan
kedekatan emosi dengan orang tua tapi sulit untuk
mempercayai orang tua, dan khawatir harapan saya
dialihkan ketika dekat dengan orang tua
1, 3, 6, 18, 22 5
Preoccupied
attachment
Keinginan dekat dengan orang tua secara emosional tapi
sering merasakan orang tua enggan untuk dekat dan tidak
nyaman tanpa adanya kedekatan emosional dengan orang
tua, namun merasa khawatir orang tua tidak
menyayanginya.
4, 9, 11, 14, 17*, 19 6
Dismissing
attachment
Nyaman tanpa adanya kedekatan emosional dengan orang
tua, merasa mandiri serta memilih untuk tidak bergantung
pada orang tua, begitupun sebaliknya dan merasa nyaman
menjadi diri sendiri.
8*, 12, 16, 21, 23,
24 6
Keterangan: (*) unfavorable.
3.5 Pengujian Validitas Konstruk
Sebelum melakukan analisis data, peneliti melakukan pengujian terhadap validitas
konstruk keempat instrumen yang dipakai, yaitu 1) Aggression Questionnaire 2)
Big five Personality Inventory, dan 3) Relationship Attachment style Questionnaire.
Untuk menguji validitas konstruk alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini,
62
peneliti menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Adapun logika dari
CFA (Umar, dalam Inspirawan, 2012) :
1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan
secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan
untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran
terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-
itemnya.
2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap
subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun subtes
bersifat unidimensional.
3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks
korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional.
Matriks korelasi ini disebut sigma (∑), kemudian dibandingkan dengan
matriks dari data empiris, yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar
(unidimensional) maka tentunya tidak ada perbedaan antara matriks ∑ -
matriks S atau bisa juga dinyatakan dengan ∑ - S = 0.
4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan
chi square. Jika hasil chi square tidak signifikan p>0.05, maka hipotesis
nihil tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut
dapat diterima bahwa item ataupun sub tes instrument hanya mengukur satu
faktor saja.
5. Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan
atau tidak mengukur apa yang hendak di ukur, dengan menggunakan t-
63
value. Jika hasil t-value tidak signifikan maka item tersebut tidak signifikan
dalam mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian di
drop dan sebaliknya.
6. Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan
faktornya negatif, maka item tersebut harus di drop. Sebab hal ini tidak
sesuai dengan sifat item, yang bersifat positif (favorable).
7. Setelah mendapatkan item dengan muatan faktor signifikan (t > 1,96) dan
positif, selanjutnya item tersebut diolah untuk mendapatkan faktor skornya.
Adapun skor faktor dihitung untuk menghindari estimasi bias dari kesalahan
pengukuran. Untuk kemudahan dalam penafsiran hasil analisis, maka
peneliti mentransformasikan faktor skor yang diukur dalam skala baku (z
score) menjadi T score yang memiliki mean = 50 dan standar deviasi (SD)
= 10 sehingga tidak ada responden yang mendapat skor negatif. Adapun
rumus T score adalah :
T score = (10 x skor faktor) + 50
8. Langkah terakhir setelah didapatkan T score, nilai baku inilah yang akan
dianalisis dalam uji hipotesis korelasi dan regresi.
Adapun pengujian analisis CFA seperti ini dilakukan dengan menggunakan
software LISREL 8.70. Uji validitas tiap alat ukur akan dipaparkan pada sub bab
berikut.
64
3.5.1 Uji Validitas Konstruk agresivitas
Peneliti menguji apakah dua puluh sembilan item yang ada bersifat unidimensional,
artinya benar hanya mengukur agresivitas remaja. Dari hasil CFA yang dilakukan
dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square= 2017,92, df=377,
P-value= 0,00000, RMSEA= 0,132. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak
76 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran
diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi
Square = 298,09, df= 262, P-value= 0,06199, RMSEA= 0,024. Nilai Chi-Square
menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu
agresivitas remaja. Hanya saja, dalam pengukuran ini terdapat kesalahan
pengukuran pada beberapa item yang saling berkorelasi, sehingga dapat
disimpulkan bahwa sebenarnya bersifat multidimensional.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu
perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut
signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item
pengukuran agresivitas disajikan pada tabel 3.5.1.1
65
Tabel 3.5.1.1 Tabel Muatan faktor item agresivitas
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM01 0,10 0,07 1,48 X
ITEM02 0,45 0,06 7,16 V
ITEM03 0,27 0,06 4,11 V
ITEM04 0,35 0,07 5,28 V
ITEM05 0,15 0,07 2,28 V
ITEM06 0,37 0,06 5,93 V
ITEM07 0,40 0,06 6,43 V
ITEM08 0,12 0,06 1,78 X
ITEM09 0,34 0,06 5,22 V
ITEM10 0,20 0,06 3,13 V
ITEM11 0,49 0,06 8,08 V
ITEM12 0,14 0,06 2,13 V
ITEM13 0,43 0,06 6,87 V
ITEM14 0,46 0,06 7,32 V
ITEM15
ITEM16
ITEM17
ITEM18
ITEM19
ITEM20
ITEM21
ITEM22
ITEM23
ITEM24
ITEM25
ITEM26
ITEM27
ITEM28
ITEM29
0,73
0,21
0,33
0,39
0,64
0,55
0,29
0,50
0,11
0,61
0,33
0,80
0,49
0,38
0,23
0,06
0,07
0,07
0,06
0,06
0,06
0,07
0,06
0,07
0,06
0,06
0,05
0,06
0,06
0,07
12,97
3,14
5,00
6,13
10,85
9,11
4,40
8,05
1,65
10,28
5,08
14,83
8,22
6,01
3,58
V
V
V
V
V
V
V
V
X
V
V
V
V
V
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Pada tabel diatas terdapat tiga item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96 yaitu item
nomor 1, 8 dan 23. Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta
dianalisis.
Setelah itu peneliti kemudian kembali melakukan analisis dengan tidak
mengikutsertakan item yang bermuatan negatif ( t > 1.96 ) dan ternyata ada satu
item yang harus ikut didrop yaitu item nomor 5 sehingga didapat hasil analisis CFA
dengan Chi Square = 219,45, df = 191, P-value = 0.07740, RMSEA = 0.024.
Kemudian, koefisien muatan faktor agresivitas disajikan pada tabel 3.5.1.2.
66
Dari tabel 3.5.1.2 dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang
tidak signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada
item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
Tabel 3.5.1.2 Muatan Item Agresivitas Setelah Di-drop
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM02 0,54 0,06 8,59 V
ITEM03 0,26 0,07 3,94 V
ITEM04 0,36 0,06 5,74 V
ITEM06 0,37 0,06 5,83 V
ITEM07 0,44 0,06 7,19 V
ITEM09 0,37 0,06 5,75 V
ITEM10 0,26 0,06 4,08 V
ITEM11 0,49 0,06 7,75 V
ITEM12 0,20 0,07 2,99 V
ITEM13 0,43 0,06 6,72 V
ITEM14 0,40 0,06 6,44 V
ITEM15
ITEM16
ITEM17
ITEM18
ITEM19
ITEM20
ITEM21
ITEM22
ITEM24
ITEM25
ITEM26
ITEM27
ITEM28
ITEM29
0,73
0,25
0,35
0,41
0,52
0,54
0,25
0,52
0,60
0,37
0,77
0,57
0,40
0,24
0,06
0,07
0,06
0,06
0,06
0,06
0,06
0,06
0,06
0,07
0,06
0,06
0,06
0,06
12,60
3,80
5,44
6,47
8,52
8,80
3,92
8,36
10,13
5,45
13,89
9,08
6,43
3,83
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
3.5.2 Uji Validitas Konstruk Big Five Personality
a. Extraversion
Peneliti menguji apakah delapan item yang benar-benar bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur extraversion. Dari hasil analisis CFA dengan
model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square =147,92, df=20, P-
value=0,00000, RMSEA=0,160. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 5
kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara
67
item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi-square=11,28,
df= 9 P-value=0,09920, RMSEA=0,045. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value >
0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional)
dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu extraversion.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu
perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut
signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item
pengukuran extraversion disajikan pada tabel 3.5.2.1.
Tabel 3.5.2.1 Tabel muatan faktor item extraversion
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM1 0,43 0,07 5,79 V
ITEM6 0,45 0,07 6,46 V
ITEM11 0,80 0,07 11,96 V
ITEM16 0,57 0,08 5,67 V
ITEM21 -0,09 0,07 -1,22 X
ITEM26 0,46 0,07 6,71 V
ITEM31 0,33 0,07 4,65 V
ITEM36 0,66 0,07 9,81 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Pada tabel diatas terdapat satu item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96 dan
memiliki muatan faktor yang negatif, yaitu item nomor 21. Oleh karena itu item
tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis.
Setelah itu peneliti kemudian kembali melakukan analisis dengan tidak
mengikutsertakan item yang bermuatan negatif ( t > 1.96 ) sehingga didapat hasil
analisis CFA dengan Chi Square = 11,28, df = 9, P-value = 0.25693, RMSEA =
0.032. Kemudian, koefisien muatan faktor extraversion disajikan pada tabel 3.5.2.2.
68
Dari tabel 3.5.2.2 dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang
tidak signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada
item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
Tabel 3.5.2.2 Muatan Item extraversion Setelah Di-drop
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM1 0,42 0,07 6,09 V
ITEM6 0,40 0,07 5,97 V
ITEM11 0,84 0,06 13,17 V
ITEM16 0,59 0,07 8,74 V
ITEM26 0,45 0,07 6,76 V
ITEM31 0,28 0,07 4,00 V
ITEM36 0,65 0,07 9,66 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
b. Agreeableness
Peneliti menguji apakah sembilan item yang benar-benar bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur agreeableness. Dari hasil analisis CFA
dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square=76,96, df=27, P-
value= 0,00000, RMSEA=0,086 Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 13
kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara
item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi-square=
31,34, df= 23, P-value=0,11469, RMSEA=0,038. Nilai Chi-Square menghasilkan
P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor
(unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu
agreeableness.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu
perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
69
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut
signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item
pengukuran extraversion disajikan pada tabel 3.5.2.3.
Tabel 3.5.2.3 Tabel muatan faktor item agreeableness
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM2 0,04 0,07 0,56 X
ITEM7 0,77 0,07 11,13 V
ITEM12 0,25 0,07 3,51 V
ITEM17 0,68 0,07 10,12 V
ITEM22 0,35 0,08 3,92 V
ITEM27 0,70 0,07 0,98 X
ITEM32 0,41 0,07 8,07 V
ITEM37
ITEM42
0,28
0,31
0,07
0,07
4,56
4,37
V
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Pada tabel diatas terdapat dua item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96, yaitu item
nomor 2 dan 27. Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis.
Setelah itu peneliti kemudian kembali melakukan analisis dengan tidak
mengikutsertakan item yang bermuatan negatif (t > 1.96) sehingga didapat hasil
analisis CFA dengan Chi Square = 15,90, df = 12, P-value=0.19582, RMSEA=
0.036. Kemudian,koefisien muatan faktor agreeableness disajikan pada tabel
3.5.2.4
Dari tabel 3.5.2.4 dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang
tidak signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada
item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
70
Tabel 3.5.2.4 Muatan Item agreeableness Setelah Di-drop
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM7 0,76 0,07 11,00 V
ITEM12 0,25 0,07 3,50 V
ITEM17 0,69 0,07 10,23 V
ITEM22 0,30 0,08 3,79 V
ITEM32 0,55 0,07 8,11 V
ITEM37
ITEM42
0,32
0,31
0,07
0,07
4,49
4,42
V
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
c. Conscientiousness
Peneliti menguji apakah sembilan item yang benar-benar bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur conscientiousness. Dari hasil analisis CFA
dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square= 148,03, df=27, P-
value= 0,00000, RMSEA=0,134. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak
13 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran
diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi-
square= 28,56, df= 20, P-value=0,09675, RMSEA=0,041. Nilai Chi-Square
menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu
conscientiousness.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu
perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut
signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item
pengukuran extraversion disajikan pada tabel 3.5.2.5.
71
Tabel 3.5.2.5 Tabel muatan faktor conscientiousness
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM3 0,78 0,06 13,06 V
ITEM8 0,23 0,07 3,28 V
ITEM13 0,53 0,06 8,13 V
ITEM18 0,21 0,07 2,95 V
ITEM23 0,46 0,07 6,90 V
ITEM28 0,76 0,06 12,70 V
ITEM33 0,56 0,07 8,52 V
ITEM38
ITEM43
0,38
0,04
0,07
0,07
5,59
0,50
V
X
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Pada tabel diatas terdapat satu item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96, yaitu
item nomor 43. Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis.
Setelah itu peneliti kemudian kembali melakukan analisis dengan tidak
mengikutsertakan item yang bermuatan negatif ( t > 1.96 ) sehingga didapat hasil
analisis CFA dengan Chi Square = 23,97, df = 16, P-value = 0.09012, RMSEA =
0.045. Kemudian, koefisien muatan faktor conscienttiousness disajikan pada tabel
3.5.2.6.
Dari tabel 3.5.2.6 dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang
tidak signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada
item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
Tabel 3.5.2.6 Muatan Item conscientiousness Setelah Di-drop
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM3 0,78 0,06 13,03 V
ITEM8 0,23 0,07 3,27 V
ITEM13 0,53 0,07 8,14 V
ITEM18 0,21 0,07 3,01 V
ITEM23 0,46 0,07 6,84 V
ITEM28 0,76 0,06 12,45 V
ITEM33 0,56 0,07 8,55 V
ITEM38 0,38 0,07 5,60 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
72
d. Neuroticism
Peneliti menguji apakah delapan item yang benar-benar bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur neuroticism. Dari hasil analisis CFA dengan
model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square=11,92, df=20, P-value=
0,00000, RMSEA=0,136. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 6 kali
terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara
item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi-square=
23,55, df= 14, P-value=0,05185, RMSEA=0,052. Nilai Chi-Square menghasilkan
P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor
(unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu neuroticism.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu
perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut
signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item
pengukuran neuroticism disajikan pada tabel 3.5.2.7.
Dari tabel 3.5.2.7 dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif Kemudian tidak ada muatan faktor yang
tidak signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada
item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
73
Tabel 3.5.2.7 Tabel muatan faktor item neuroticism
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM4 0,81 0,06 13,87 V
ITEM9 0,57 0,06 9,55 V
ITEM14 0,56 0,07 9,49 V
ITEM19 0,75 0,06 12,64 V
ITEM24 0,37 0,06 5,58 V
ITEM29 0,52 0,08 8,64 V
ITEM34 0,77 0,07 11,13 V
ITEM39 0,54 0,06 8,51 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
e. Openness to Experience
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang benar-benar bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur openness to experiences. Dari hasil analisis
CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square=116,46,
df=35, P-value= 0,00000, RMSEA=0,097. Namun, setelah dilakukan modifikasi
sebanyak 8 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan
pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan
nilai Chi-square= 25,88, df= 27, P-value=0,52547, RMSEA=0,000. Nilai Chi-
Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan
satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu
openness to experiences.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu
perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut
signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item
pengukuran openness to experiences disajikan pada tabel 3.5.2.8.
74
Tabel 3.5.2.8 Tabel muatan faktor item openness to experiences
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM5 0,82 0,06 14,75 V
ITEM10 0,31 0,06 4,87 V
ITEM15 0,57 0,06 9,41 V
ITEM20 0,50 0,06 7,92 V
ITEM25 0,85 0,06 15,15 V
ITEM30 0,26 0,07 3,90 V
ITEM35 0,09 0,07 1,38 X
ITEM40
ITEM41
ITEM44
0,81
-0,01
0.42
0,06
0,07
0,06
14,10
-0,16
6,65
V
X
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Pada tabel diatas terdapat dua item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96 dengan
satu item memiliki muatan faktor yang negatif, yaitu item nomor 35 dan 41. Oleh
karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis.
Setelah itu peneliti kemudian kembali melakukan analisis dengan tidak
mengikutsertakan item yang bermuatan negatif ( t > 1.96 ) sehingga didapat hasil
analisis CFA dengan Chi Square 22,97, df = 16, P-value = 0.11451, RMSEA =
0.042. Kemudian, koefisien muatan faktor openness to experiences disajikan pada
tabel 3.5.2.9.
Dari tabel 3.5.2.9 dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang
tidak signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada
item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
Tabel 3.5.2.9 Muatan Item openness to experiences Setelah Di-drop
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM5 0,86 0,05 15,79 V
ITEM10 0,32 0,07 4,90 V
ITEM15 0,57 0,06 9,16 V
ITEM20 0,53 0,07 8,17 V
ITEM25 0,81 0,05 15,15 V
ITEM30 0,27 0,07 3,90 V
ITEM40
ITEM44
0,77
0.40
0,06
0,06
13,80
6,22
V
V
75
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
3.5.3 Uji Validitas Konstruk Attachment Style
a. Secure Attachment Style
Peneliti menguji apakah tujuh item yang benar-benar bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur secure attachment style. Dari hasil analisis
CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi-Square=85,59, df=14,
P-value= 0,00000, RMSEA=0,143 Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak
9 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran
diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi-
square= 3,37, df=5, P-value=0,64282, RMSEA=0,000. Nilai Chi-Square
menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu secure
attachment style.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu
perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut
signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item
pengukuran secure attachment style disajikan pada tabel 3.5.3.1.
Dari tabel 3.5.3.1 dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang
76
tidak signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada
item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
Tabel 3.5.3.1 Tabel muatan faktor item secure attachment style
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM2 0,50 0,07 7,53 V
ITEM5 0,43 0,06 6,89 V
ITEM7 0,89 0,06 13,66 V
ITEM10 0,61 0,06 9,56 V
ITEM13 0,90 0,07 12,16 V
ITEM15 0,44 0,06 6,97 V
ITEM20 0,63 0,06 9,83 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
b. Fearful Attachment Style
Peneliti menguji apakah lima item yang benar-benar bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur fearful attachment style. Dari hasil analisis
CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square=110,38, df=5,
P-value= 0,00000, RMSEA=0,291. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak
1 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran
diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi
Square = 2,55, df=4, P-value=0,63489, RMSEA=0,000. Nilai Chi-Square
menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu fearful
attachment style.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu
perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut
77
signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item
pengukuran fearful attachment style disajikan pada tabel 3.5.3.2.
Dari tabel 3.5.3.2 dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang
tidak signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada
item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
Tabel 3.5.3.2 Tabel muatan faktor item fearful attachment style
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM1 0,57 0,06 8,81 V
ITEM3 0,64 0,06 10,19 V
ITEM6 0,73 0,06 12,17 V
ITEM18 0,76 0,06 12,76 V
ITEM22 0,77 0,06 12,98 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
c. Preoccupied Attachment Style
Peneliti menguji apakah enam item yang benar-benar bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur preoccupied attachment style. Dari hasil
analisis CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square=74,80,
df=9, P-value= 0,00000, RMSEA=0,171 Namun, setelah dilakukan modifikasi
sebanyak 12 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan
pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan
nilai Chi Square =3,09, df= 3, P-value=0,37751, RMSEA=0,011. Nilai Chi-Square
menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu
preoccupied attachment style.
78
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu
perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut
signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item
pengukuran preoccupied attachment style disajikan pada tabel 3.5.3.3.
Tabel 3.5.3.3 Tabel muatan faktor item preoccupied attachment style
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM4 0,53 0,07 7,21 V
ITEM9 0,79 0,08 10,32 V
ITEM11 0,40 0,08 5,38 V
ITEM14 -0,17 0,08 -2,28 X
ITEM17 -0,57 0,07 -8,03 X
ITEM19 -0,08 0,08 -1,04 X
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Pada tabel diatas terdapat satu item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96 yaitu
item nomor 19 dan dua item memiliki muatan faktor yang negatif, yaitu item nomor
14 dan 17. Oleh karena itu item tersebut di drop dan tidak ikut serta dianalisis.
Setelah itu peneliti kemudian kembali melakukan analisis dengan tidak
mengikutsertakan item yang bermuatan negatif ( t > 1.96 ) sehingga didapat hasil
analisis CFA dengan Chi Square 0,00, df = 0, P-value = 1,00000, RMSEA = 0.000.
Kemudian, koefisien muatan faktor preoccupied attachment style disajikan pada
tabel 3.5.3.4.
Dari tabel 3.5.3.4 dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Kemudian tidak ada muatan faktor yang
tidak signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa tidak ada
item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
79
Tabel 3.5.3.4 Muatan Item preoccupied attachment style Setelah Di-drop
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM4 0.71 0,08 8,49 V
ITEM9 0.61 0,08 7,76 V
ITEM11 0.55 0,08 7,26 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
d. Dismissing Attachment Style
Peneliti menguji apakah enam item yang benar-benar bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur dismissing attachment style. Dari hasil
analisis CFA dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square =82,72,
df=9, P-value= 0,00000, RMSEA=0,181. Namun, setelah dilakukan modifikasi
sebanyak 11 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan
pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan
nilai Chi Square = 3,68, df= 4, P-value=0,45066, RMSEA=0,000. Nilai Chi-Square
menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu
faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu
dismissing attachment style.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu
perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut
signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item
pengukuran dismissing attachment style disajikan pada tabel 3.5.3.5.
80
Tabel 3.5.3.5 Tabel muatan faktor item dismissing attachment style
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM8 0,23 0,08 2,94 V
ITEM12 0,14 0,07 1,94 X
ITEM16 -0,74 0,07 -11,05 X
ITEM21 -0,78 0,07 -11,10 X
ITEM23 -0,16 0,08 -2,04 X
ITEM24 -0,56 0,07 -8,58 X
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Pada tabel diatas terdapat satu item yang memiliki nilai koefisien t < 1,96, yaitu
item nomor 12. Dan empat item memiliki muatan faktor yang negatif, yaitu item
nomor 16, 21, 23 dan 24.
Setelah itu peneliti memutuskan kembali melakukan modifikasi analisis
dengan tidak mengikutsertakan item yang bermuatan positif ( t < 1.96 ), hal ini
dikarenakan kemungkinan pada saat penelitian, ada kesalahan dalam pengambilan
data. Item-item yang terdapat pada dimensi dismissing attachment style dengan
melihat perbandingan jumlah item negatif yang > 1,96 lebih banyak daripada item
positif, sehingga didapat hasil analisis CFA dengan Chi Square 0,00, df = 0, P-value
= 1,00000, RMSEA = 0.000. Kemudian, koefisien muatan faktor dismissing
attachment style disajikan pada tabel 3.5.3.6.
Dari tabel 3.5.3.6 dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien sudah menjadi bermuatan positif. Kemudian tidak ada muatan
faktor yang tidak signifikan, seluruh item signifikan. Maka ini menunjukkan bahwa
tidak ada item yang di drop, seluruh item tersebut ikut serta dianalisis.
Tabel 3.5.3.6 Muatan Item dismissing attachment style Setelah Di-drop
No Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan
ITEM16 0,77 0,07 10,77 V
ITEM21 0,76 0,07 10,63 V
ITEM24 0,54 0,07 8,00 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
81
3.6 Prosedur Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan dalam pengumpulan data yaitu
sebagai berikut:
1. Peneliti menentukan dan menyusun instrumen yang akan digunakan dalam
penelitian, yaitu adaptasi alat ukur untuk mengukur agresivitas remaja, adaptasi
alat ukur Aggression Questionnaire scale (1992), Big Five Inventory (1991)
untuk mengukur big five personality dan adaptasi serta modifikasi alat ukur
(Relationship Scale Questionnaire) yang dikembangkan oleh Griffin dan
Bartholomew (dalam Hofstra, J., & Van Oudenhoven, 2004) untuk mengukur
attachment style.
2. Menentukan sampel penelitian yaitu siswa dan siswi SMAN 6 Jakarta Selatan.
Pengambilan sampel bersifat nonprobability sampling, kemudian memberikan
angket yang telah disediakan kepada subjek.
3. Hasil skala yang telah diisi kemudian di skoring untuk dianalisis datanya.
3.7 Metode Analisis Data
Untuk menjawab pertanyaan penelitian digunakan teknik analisis regresi berganda
karena peneliti ingin melihat pengaruh IV terhadap DV. Dalam penelitian ini
terdapat 10 IV dan 1 DV, sehingga susunan persamaan regresi penelitian adalah:
Jika dituliskan variabelnya maka:
Y = Agresivitas remaja
a = Konstan
Y=a+b₁X₁+ b2X2+ b3X3 + b4X4 + b5X5 +b6X6 + b7X7+ b8X8+b9X9+b10X10+e
82
b = Koefisien regresi yang distandardisasikan untuk masing – masing X
X1 = extraversion
X2 = agreeableness
X3 = conscientiousness
X4 = neuroticism
X5 = openness to experience
X6 = secure attachment
X7 = Fearful-avoidant attachment
X8 = Preoccupied attachment
X9 = Dimissing attachment
X10 = jenis kelamin
e = Residu
Keterangan :
X1 – X5 = dimensi dari kepribadian
X6 – X9 = dimensi dari attachment style
X10 = jenis kelamin
Selanjutnya analisis regresi, dimulai secara simultan, kemudian dari satu per satu
IV. Sehingga nilai R2 yang dihasilkan dapat dilihat secara murni. Fungsi R2 ini
adalah untuk melihat proporsi varians dari komitmen organisasi yang dipengaruhi
IV yang ada. Melihat jumlah R2 x (dikalikan) 100%. Maka dihasilkanlah proporsi
varians atau determinant. R2 sendiri didapatkan dengan rumus :
83
Selanjutnya, untuk membuktikan apakah regresi Y dan X signifikan atau
tidak, maka digunakanlah uji F untuk membuktikan hal tersebut menggunakan
rumus:
Dimana pembilang disini adalah R2 dengan df nya (dilambangkan k), yaitu
sejumlah IV yang dianalisis, sedangkan penyebutnya (1 – R2) dibagi dengan df nya
N – k – 1 dimana N adalah jumlah sampel. Dari hasil uji F yang dilakukan nantinya,
dapat dilihat apakah IV yang diujikan memiliki pengaruh terhadap DV.
Kemudian peneliti melakukan uji T dari tiap-tiap IV yang dianalisis.
Maksud uji T adalah melihat apakah signifikan dampak dari tiap IV terhadap DV.
Uji T dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana b adalah koefisien regresi dan Sb adalah standar error dari b. Hasil
uji T ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan dilakukan oleh peneliti
nantinya. Adapun seluruh perhitungan penelitian ini akan dilakukan dengan
menggunakan software SPSS 17.0 for windows.
84
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
Dalam bab ini akan dibahas hasil dari penelitian yang telah dilakukan.
Pembahasan tersebut mencakup analisis deskriptif, dan pengujian hipotesis
penelitian
4.1 Analisis Deskriptif
Subjek dalam penelitian ini adalah 250 siswa dan siswi kelas X, XI dan XII
SMAN 6 Jakarta Selatan. Selanjutnya akan dijelaskan gambaran subjek
berdasarkan jenis kelamin, Gambaran sampel penelitian dapat dilihat pada table
4.1.1
Tabel 4.1.1 Gambaran Subjek
Kategori Frekuensi Persentase
Jenis Kelamin
Laki-Laki 101 40,4%
Perempuan 149 59,6%
Usia
15-16 62 24,8%
16-17
17-18
Kelas X
X IPA 4
X IPA 3
Kelas XI
XI IPS 2
XI IPS 3
XI IPS 4
Kelas XII
XII IPA 3
XII IPA 4
XII IPA 5
XII IPS 2
89
99
31
31
30
30
29
27
28
28
16
25,6%
39,6%
12,4%
12,4%
12%
12%
11,6%
10,8%
11,2%
11,2%
6,4%
Responden laki-laki jumlahnya lebih sedikit daripada perempuan yaitu 101
sampel (40,4%), sedangkan responden perempuan berjumlah 149 (59,6%).
Responden yang berumur 15-16 tahun berjumlah 62 (24,8%), 16-17 tahun
85
berjumlah 69 (25,6%) dan 17-18 tahun berjumlah 99 (39,6%). Responden dari
kelas X sebanyak dua kelas, yaitu kelas X IPA 3 dan X IPA 4 sebanyak 31 sampel
(12,4%). Responden dari kelas XI sebanyak tiga kelas yaitu XI IPS 2, XI IPS 3
sebanyak 30 sampel (12%) dan XI IPS 4 sebanyak 29 sampel (11,6%). Responden
dari kelas XII sebanyak empat kelas yaitu XII IPA 3 sebanyak 27 sampel (10,5%),
XII IPA 4 dan XII IPA 5 sebanyak 28 sampel (11,2%) dan XII IPS 2 sebanyak 16
sampel (6,4%).
Tabel 4.1.2
Nilai Rata-Rata Agresivitas Berdasarkan Jenis Kelamin Group Statistics
Jenis Kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Agresivitas Laki-laki 101 50.6666 8.60891 .85662
Perempuan 149 49.5482 9.61177 .78743
Berdasarkan hasil tabel 4.1.2 dapat diketahui bahwa laki-laki memiliki nilai rata-
rata agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Siswa laki-laki
sebesar 50.6666 sedangkan siswa perempuan sebesar 49.5482.
4.2 Kategorisasi hasil penelitian
Kategorisasi variabel untuk menenpatkan individu ke dalam kelompok-kelompok
yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang
diukur. Kontinum jenjang ini contohnya adalah dari rendah ke tinggi yang akan
penulis gunakan dalam kategorisasi variabel penelitian.
Sebelum mengkategorisasikan skor masing-masing variabel berdasarkan
tingkat rendah dan tinggi, penulis terlebih dahulu menetapkan norma dari skor
dengan menggunakan nilai mean dann standar deviasi pada tabel sebelumnya dan
86
berlaku pada semua variabel. Adapun norma skor tersebut dapat digambarkan
dalam tabel 4.3 di bawah ini.
Tabel 4.2.1
Norma skor
Kategori Norma
Rendah X < Nilai Mean
Tinggi X ≥ Nilai Mean
Setelah kategori tersebut didapatkan, maka akan diperoleh nilai persentasi
kategori untuk agresivitas, big five personality, dan attachment style terhadap
agresivitas pada pelajar di SMA Negeri 6 Jakarta Selatan
Tabel 4.2.2 Tabel subjek berdasarkan tingkat agresivitas
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 127 50,8%
Tinggi 123 49,2%
Berdasarkan tabel 4.2.2, diperoleh hasil presentase variabel agresivitas
sebanyak 127 subjek (50,8%) pada kategori rendah dan 123 subjek (49,2%) pada
kategori tinggi. Dengan demikian dari hasil sebaran pada variabel agresivitas lebih
banyak berada pada kategori rendah.
Selanjutnya, perbedaan tingkat agresivitas berdasarkan jenis kelamin adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.2.3 Tabel subjek berdasarkan tingkat agresivitas pada pria dan
wanita
Kategori Frekuensi Persentase
Laki-laki
Rendah 50 49,5%
Tinggi 51 50,5%
Perempuan
Rendah 76 51%
Tinggi 73 49%
87
Berdasarkan tabel diatas, ada perbedaan tingkat agresivitas antara laki-laki
dengan perempuan, dimana kecenderungan tingkat agresivitas yang tinggi terlihat
pada laki-laki, sedangkan perempuan cenderung memiliki tingkat agresivitas yang
rendah.
Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan
tingkat big five personality, sebagai berikut:
Tabel 4.2.4 Tabel subjek berdasarkan tingkat extraversion
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 126 50,4%
Tinggi 124 49.6%
Berdasarkan tabel 4.2.4, diperoleh hasil presentase variabel extraversion
sebanyak 126 subjek (50,4%) pada kategori rendah dan 124 subjek (49,6%) pada
kategori tinggi. Dengan demikian dari hasil sebaran pada variabel extraversion
lebih banyak berada pada kategori rendah.
Tabel 4.2.5 Tabel subjek berdasarkan tingkat agreeableness
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 106 42,4%
Tinggi 144 57,6%
Berdasarkan tabel 4.2.5, diperoleh hasil presentase variabel agreeableness
sebanyak 106 subjek (42,4%) pada kategori rendah dan 144 subjek (57,6%) pada
kategori tinggi. Dengan demikian dari hasil sebaran pada variabel agreeableness
lebih banyak berada pada kategori tinggi.
Tabel 4.2.6 Tabel subjek berdasarkan tingkat conscientiousness
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 121 48,4%
Tinggi 129 51,6%
Berdasarkan tabel 4.2.6, diperoleh hasil presentase variabel
conscientiousness sebanyak 121 subjek (48,4%) pada kategori rendah dan 129
88
subjek (51,6%) pada kategori tinggi. Dengan demikian dari hasil sebaran pada
variabel conscientiousness lebih banyak berada pada kategori tinggi.
Tabel 4.2.7 Tabel subjek berdasarkan tingkat neuroticism
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 128 51,2%
Tinggi 122 48,8%
Berdasarkan tabel 4.2.7, diperoleh hasil presentase variabel neuroticism
sebanyak 128 subjek (51,2%) pada kategori rendah dan 122 subjek (48,8%) pada
kategori tinggi. Dengan demikian dari hasil sebaran pada variabel neuroticism
lebih banyak berada pada kategori rendah.
Tabel 4.2.8 Tabel subjek berdasarkan tingkat openness to experience
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 112 44,8%
Tinggi 138 55,2%
Berdasarkan tabel 4.2.8, diperoleh hasil presentase variabel openness to
experience sebanyak 112 subjek (44,8%) pada kategori rendah dan 138 subjek
(55,2%) pada kategori tinggi. Dengan demikian dari hasil sebaran pada variabel
openness to experience lebih banyak berada pada kategori tinggi.
Selanjutnya akan dipaparkan mengenai distribusi sampel penelitian berdasarkan
tingkat attachment style, sebagai berikut:
Tabel 4.2.9 Tabel subjek berdasarkan tingkat secure attachment
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 122 48,8%
Tinggi 128 51,2%
Berdasarkan tabel 4.2.9, diperoleh hasil presentase variabel secure
attachment sebanyak 122 subjek (48,8%) pada kategori rendah dan 128 subjek
(51,2%) pada kategori tinggi. Dengan demikian dari hasil sebaran pada variabel
secure attachment lebih banyak berada pada kategori tinggi.
89
Tabel 4.2.10 Tabel subjek berdasarkan tingkat fearful attachment
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 138 54,4%
Tinggi 114 45,6%
Berdasarkan tabel 4.2.10, diperoleh hasil presentase variabel fearful
attachment sebanyak 138 subjek (54,4%) pada kategori rendah dan 114 subjek
(45,6%) pada kategori tinggi. Dengan demikian dari hasil sebaran pada variabel
fearful attachment lebih banyak berada pada kategori rendah.
Tabel 4.2.11 Tabel subjek berdasarkan tingkat preoccupied attachment
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 130 52%
Tinggi 120 48%
Berdasarkan tabel 4.2.11, diperoleh hasil presentase variabel preoccupied
attachment sebanyak 130 subjek (52%) pada kategori rendah dan 120 subjek
(48%) pada kategori tinggi. Dengan demikian dari hasil sebaran pada variabel
preoccupied attachment lebih banyak berada pada kategori rendah.
Tabel 4.2.12 Tabel subjek berdasarkan tingkat dismissing attachment
Kategorisasi Frekuensi Persentase
Rendah 136 54,4%
Tinggi 114 45,6%
Berdasarkan tabel 4.2.12, diperoleh hasil presentase variabel dismissing
attachment sebanyak 136 subjek (54,4%) pada kategori rendah dan 114 subjek
(45,6%) pada kategori tinggi. Dengan demikian dari hasil sebaran pada variabel
dismissing attachment lebih banyak berada pada kategori rendah.
90
4.3 Uji Hipotesis Penelitian
4.3.1 Analisis Regresi Variabel Penelitian
Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi
berganda dengan menggunakan software SPSS 17. Seperti yang sudah disebutkan
pada bab 3, dalam regresi ada 3 hal yang dilihat, yaitu melihat besaran R square
untuk mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV, kedua
apakah secara keseluruhan IV berpengaruh secara signifikan dengan DV,
kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing
masing IV.
Langkah pertama penulis menganalisis besaran R square untuk
mengetahui berapa persen (%) varians pada DV yang dijelaskan oleh IV. Untuk
tabel R square, dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 4.3.1.1 R square
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .620a .385 .359 7.37955
a. Predictors: (Constant), gender, preoccupied, agreableness, dismissing, extraversion, fearful,
conscentiousness, neuroticism, openess, secure
Berdasarkan tabel diatas diketahui nilai koefisien determinasi (R Square)
pada penelitian ini adalah sebesar 0,385. Artinya seluruh variabel independen
yang diteliti secara simultan menjelaskan 38,5% proporsi varian agresivitas. Hal
ini menunjukkan bahwa 61,5% dari bervariasinya agresivitas pada remaja
dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
91
Langkah kedua penguji menganalisis dampak dari seluruh IV terhadap
resiliensi. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.3.1.2 berikut.
Tabel 4.3.1.2 Tabel Anova ANOVAb
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 8144.389 10 814.439 14.955 .000a
Residual 13015.402 239 54.458
Total 21159.791 249
a. Predictors: (Constant), gender, preoccupied, agreableness, dismissing, extraversion, fearful, conscentiousness, neuroticism, openess, secure
b. Dependent Variable: agresivitas
Jika melihat kolom signifikansi (p<0,05), maka hipotesis nihil yang
menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan seluruh variabel independen
terhadap agresivitas ditolak. Artinya ada pengaruh yang signifikan extraversion,
agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openness to experiences, secure
attachment, fearful attachment, preoccupied attachment, dismissing attachment
dan jenis kelamin terhadap agresivitas.
Langkah ketiga adalah melihat koefisien regresi setiap independen
variabel. Jika nilai p< 0,05 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti
bahwa IV tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap agresivitas.
Adapun penyajiannya pada tabel 4.3.1.3 berikut
92
Tabel 4.3.1.3 Koefisien Regresi
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 10.075 7.915 1.273 .204
Extraversion -.220 .064 -.196 -3.448 *.001
Agreeableness -.297 .070 -.258 -4.243 *.000
Conscientiousness -.183 .064 -.171 -2.876 *.004
Neuroticism .432 .060 .418 7.235 *.000
Openness -.140 .068 -.135 -2.062 *.040
Secure .144 .074 .139 1.945 .053
Fearful .221 .069 .216 3.198 *.002
Preoccupied .132 .069 .110 1.912 .057
Dismissing -.023 .064 -.038 -.666 .506
Jenis kelamin 4.058 1.046 .216 3.881 *.000
a. Dependent Variable: agresivitas
keterangan: (*) signifikan
Berdasarkan tabel diatas, dapat dijelaskan persamaan regresi sebagai berikut:
Agresivitas: 10.075 - 0,220 extraversion - 0,297 agreeableness - 0,183
conscientiousness + 0,432 neuroticism - 0,140 openness to experience + 0,144
secure + 0,221 fearful + 0,132 preoccupied - 0,023 dismissing + 4,058 jenis
kelamin
Dari tabel 4.3.1.3, terdapat koefisien regresi extraversion, agreeableness,
conscientiousness, neuroticism, openness to experience, fearful attachment,
preoccupied attachment dan jenis kelamin yang memiliki nilai signifikan,
sedangkan variabel yang lainnya tidak.
Adapun penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-masing
variabel independen adalah sebagai berikut:
93
1. Nilai koefisien regresi extraversion sebesar -0,220 dan nilai signifikansinya
sebesar 0,001 (p< 0,05). Hal ini berarti variabel extraversion secara negatif
berpengaruh signifikan terhadap agresivitas. Jadi, semakin tinggi skor
extraversion maka semakin rendah agresivitas.
2. Nilai koefisien regresi agreeableness sebesar -0,297 dan nilai signifikansinya
sebesar 0,000 (p< 0,05). Hal ini berarti variabel agreeableness secara negatif
berpengaruh signifikan terhadap agresivitas. Jadi, semakin tinggi skor
agreeableness maka semakin rendah agresivitas.
3. Nilai koefisien regresi conscientiousness sebesar -0,183 dan nilai
signifikansinya sebesar 0,004 (p< 0,05). Hal ini berarti variabel
conscientiousness secara negatif berpengaruh signifikan terhadap agresivitas.
Jadi, semakin tinggi skor conscientiousness maka semakin rendah agresivitas.
4. Nilai koefisien regresi neuroticism sebesar 0,432 dan nilai signifikansinya
sebesar 0,000 (p< 0,05). Hal ini berarti pengaruh variabel neuroticism
signifikan terhadap agresivitas. Jadi, semakin tinggi skor neuroticism maka
semakin tinggi agresivitas.
5. Nilai koefisien regresi openness to experience sebesar -0,140 dan nilai
signifikansinya sebesar 0,040 (p< 0,05). Hal ini berarti variabel openness to
experiences secara negatif berpengaruh signifikan terhadap agresivitas. Jadi,
semakin tinggi skor openness to experience maka semakin rendah agresivitas.
6. Nilai koefisien regresi secure attachment sebesar 0,144 dan nilai
signifikansinya sebesar 0,053 (p> 0,05). Hal ini berarti pengaruh variabel
secure attachment tidak signifikan terhadap agresivitas.
94
7. Nilai koefisien regresi fearful attachment sebesar 0,221 dan nilai
signifikansinya sebesar 0,002 (p< 0,05). Hal ini berarti pengaruh variabel
fearful attachment signifikan terhadap agresivitas. Jadi, semakin tinggi fearful
attachment maka semakin tinggi agresivitas.
8. Nilai koefisien regresi preoccupied attachment sebesar 0,132 dan nilai
signifikansinya sebesar 0,057 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel preoccupied
attachment tidak signifikan terhadap agresivitas.
9. Nilai koefisien regresi dismissing attachment sebesar –0,23 dan nilai
signifikansinya sebesar 0,506 (p> 0,05). Hal ini berarti variabel dismissing
attachment secara negatif berpengaruh tidak signifikan terhadap agresivitas.
Jadi, semakin tinggi dismissing attachment maka semakin rendah agresivitas.
10. Jenis kelamin diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 4.058 dengan
signifikansi 0.000 (p<0.05). Hal ini berarti pengaruh variabel jenis kelamin
signifikan terhadap agresivitas.
Kemudian langkah selanjutnya penguji menguji penambahan proporsi varians
dari tiap variabel independen jika IV tersebut dimasukkan satu per satu ke dalam
analisis regresi. Tujuannya adalah melihat penambahan (incremented) proporsi
varians dari tiap IV apakah signifikan atau tidak. Untuk analisis lengkapnya
dibahas pada sub bab berikut.
4.3.2 Pengujian Proporsi Varian Masing-Masing Independent Variable
Pengujian tahapan ini bertujuan untuk melihat apakah signifikan tidaknya
penambahan (incremented) proporsi varians dari tiap IV, yang mana IV tersebut
dianalisis secara satu per satu. Pada tabel kolom pertama adalah IV yang dianalisis
95
secara satu per satu, kolom ketiga merupakan total penambahan varians DV dan
tiap IV yang dianalisis satu per satu tersebut, kolom keenam merupakan nilai
murni varians DV dari tiap IV yang dimasukkan secara satu per satu, kolom tujuh
adalah harga f hitung bagi IV yang bersangkutan, kolom df adalah derajat bebas
bagi IV yang bersangkutan pula, yang terdiri dari numerator dan denumerator,
kolom terakhir adalah kolom Sig F Change yang fungsinya untuk mengetahui
signifikansinya. Apabila p < 0,05 maka IV memiliki sumbangan yang signifikan.
Jika signifikan artinya bahwa penambahan (incremented) proporsi varians dari IV
yang bersangkutan, dampaknya signifikan.
Tabel 4.3.2.1 Tabel Proporsi Varians untuk masing-masing independent
variable
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
Change Statistics
R Square
Change F Change df1 df2
Sig. F
Change
1 .060a .004 .000 9.22043 .004 .891 1 248 .346
2 .346b .120 .113 8.68372 .116 32.603 1 247 .000*
3 .371c .138 .127 8.61149 .018 5.161 1 246 .024*
4 .482d .273 .261 7.92517 .135 45.452 1 245 .000*
5 .553e .284 .270 7.87721 .012 3.992 1 244 .047*
6 .527f .288 .271 7.87318 .004 1.250 1 243 .265
7 .579g .335 .316 7.62333 .047 17.190 1 242 .000*
8 .588h .345 .323 7.58235 .010 3.623 1 241 .058
9
10
.588i
.620j
.346
.385
.322
.359
7.59266
7.37955
.001
.039
.346
15.062
1
1
240
239
.557
.000*
a. Predictors: (Constant), extraversion
b. Predictors: (Constant), extraversion, agreeableness
c. Predictors: (Constant), extraversion, agreeableness, conscientiousness
d. Predictors: (Constant), extraversion, agreeableness, conscientousness, neuroticism
e. Predictors: (Constant), extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openness
f. Predictors: (Constant), extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openess, secure
g. Predictors: (Constant), extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openess, secure, fearful
h. Predictors: (Constant), extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openess, secure, fearful, preoccupied
I. Predictors: (Constant), extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openess, secure, fearful,
preoccupied, dismissing j. Predictors: (Constant), extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openess, secure, fearful,
preoccupied, dismissing, jenis kelamin
96
Jika di jabarkan kontribusi dari setiap IV terhadap DV diatas disampaikan sebagai
berikut:
1. Variabel extraversion memiliki R square change sebesar 0,004 jadi aspek
ini memberikan kontribusi sebesar 0,4% terhadap agresivitas.
2. Variabel agreeableness memiliki R square change sebesar 0,116 jadi
aspek ini memberikan kontribusi sebesar 11,6% terhadap agresivitas.
3. Variabel conscientiousness memiliki R square change sebesar 0,18 jadi
aspek ini memberikan kontribusi sebesar 1,8% terhadap agresivitas.
4. Variabel neuroticism memiliki R square change sebesar 0,135 jadi aspek
ini memberikan kontribusi sebesar 13,5% terhadap agresivitas.
5. Variabel openness to experience memiliki R square change sebesar 0,012
jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 1,2% terhadap agresivitas.
6. Variabel secure attachment memiliki R square change sebesar 0,004 jadi
aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,4% terhadap agresivitas.
7. Variabel fearful attachment memiliki R square change sebesar 0,047 jadi
aspek ini memberikan kontribusi sebesar 4,7% terhadap agresivitas.
8. Variabel preoccupied attachment memiliki R square change sebesar 0,010
jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 1% terhadap agresivitas.
9. Variabel dismissing attachment memiliki R square change sebesar 0,001
jadi aspek ini memberikan kontribusi sebesar 0,1% terhadap agresivitas.
10. Variabel jenis kelamin memiliki R square change sebesar 0,039 jadi aspek
ini memberikan kontribusi sebesar 3,9% terhadap agresivitas.
97
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi
tentang penelitian serta saran secara praktis dan secara teoritis untuk penelitian
selanjutnya.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji hipotesis penelitian, maka kesimpulan yang dapat diambil
dari penelitian ini adalah ada pengaruh yang signifikan big five personality
(extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openness to
experience), attachement style (secure attachment, fearful attachment,
preoccupied attachment, dismissing attachment) dan jenis kelamin terhadap
agresivitas pada pelajar di SMAN 6 Jakarta
Hasil uji hipotesis minor diperoleh tujuh variabel yang signifikan
pengaruhnya terhadap agresivitas yaitu extraversion, agreeableness,
conscientiousness, neuroticism, openness to experience, fearful attachment, dan
jenis kelamin.
5.2 Diskusi
Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian hipotesis pada bab 4 menunjukkan
bahwa secara keseluruhan ada pengaruh yang signifikan dari variabel big five
personality, attachment style dan jenis kelamin terhadap agresivitas pada pelajar
di SMAN 6 Jakarta. Hal ini di ungkapkan juga dalam penelitian sebelumnya yang
telah dilakukan oleh Caprara, et. al. (dalam DeWall, et. al. (2012) yang
menyatakan bahwa big five personality mempunyai hubungan dengan agresivitas,
98
Namun, hanya tiga variabel yang mempunyai hubungan positif adalah
neuroticism sedangkan yang mempunyai hubungan negatif, yaitu
conscientiousness dan agreeableness. Dalam penelitian ini, semua dimensi dari
big five personality yaitu extraversion, agreeableness, conscientiousness,
neuroticism dan openness to experiences mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap agresivitas pada pelajar di SMAN 6 Jakarta. Hal ini diungkapkan Pervin,
Cervone dan John (2010) dalam sebuah teori kepribadian mengungkapkan bahwa
kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya
konsistensi perasaan, pemikiran dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Jadi,
kecenderungan remaja melakukan tindakan agresi juga tidak lepas dari peran
kepribadian sebagai pembentuk perilaku.
Dalam penelitian ini variabel attachment style memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap agresivitas pada pelajar di SMAN 6 Jakarta. Hal ini serupa
dengan penelitian yang di temukan dalam Journal of Youth and Adolescence
(2000) menunjukkan bahwa attachment pada orang tua secara signifikan
berhubungan dengan usia, depresi, dan agresi. Remaja yang tingkat attachment
orang tua tinggi akan menunjukkan tingat agresi dan depresi yang rendah begitu
pun sebaliknya (Laible, Carlo, & Raffaelli, 1999).
Pada analisis koefisien regresi yang dilakukan dalam penelitian ini,
terdapat lima variabel yakni extraversion, agreeableness, conscientiousness,
neuroticism dan openness to experiences dari big five personality, dua variabel
yakni fearful attachment dan preoccupied attachment dari attachment style dan
variabel jenis kelamin yang berpengaruh secara signifikan terhadap agresivitas
99
pada pelajar di SMAN 6 Jakarta. Sedangkan pada variabel secure attachment dan
dismissing attachment tidak berpengaruh secara signifikan terhadap agresivitas
pada pelajardi SMA Negeri 6 Jakarta Selatan. Hal tersebut menggambarkan
kesesuaian sekaligus pertentangan dengan teori-teori yang juga meneliti variabel-
variabel ini sebelumnya. Oleh karena itu peneliti mencoba untuk membahasnya.
Variabel extraversion berpengaruh signifikan terhadap agresivitas dan
berhubungan secara negatif. Jadi, semakin tinggi skor extraversion maka semakin
rendah tingkat agresivitas, begitupun sebaliknya. Hal ini sesuai dengan teori Costa
dan McCrae (dalam Feis & Feist 2010) yang menyatakan bahwa individu yang
memili skor tinggi pada dimensi ini cenderung penuh kasih sayang, suka
bergabung menjadi anggota kelompok, banyak bicara, menyukai kesenangan,
aktif, dan selalu bersemangat. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah
pada dimensi ini cenderung tidak ramah dengan orang lain, suka menyendiri,
pendiam, apa adanya, pasif, dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar. Jadi,
semakin tinggi skornya pada dimensi extraversion yaitu penuh kasih sayang,
menyukai kesenangan, ramah pada orang lain, selalu bersemangat maka semakin
baik ia mengontrol emosinya sehingga akan mengurangi agresivitasnya,
Variabel agreeableness berpengaruh signifikan terhadap agresivitas dan
berhubungan secara negatif. Jadi, semakin tinggi skor agreeableness maka
semakin rendah tingkat agresivitas, begitupun sebaliknya. Hal ini sesuai dengan
teori Costa & McCrae (dalam Feis & Feist 2010) yang menyatakan bahwa
individu yang memiliki skor tinggi akan cenderung berhati lembut, mudah
percaya, dermawan, ramah, toleransi, bersahabat dan baik hati. Jadi, jika
100
agresivitasnya tinggi maka individu tersebut memiliki skor rendah pada
kepribadian agreeableness. Menurut Costa & McCrae (dalam pervin, et.al., 2010)
mengungkapkan bahwa kepribadian ini mempunyai karateristik yaitu suka
mengejek, tidak sopan, kasar, curiga, tidak dapat bekerja sama dengan orang lain,
pendendam, bengis atau kejam, pemarah, suka memerintah dan manipulatif.
Variabel conscientiousness berpengaruh signifikan terhadap agresivitas
dan berhubungan secara negatif. Jadi, semakin tinggi skor conscientiousness maka
semakin rendah tingkat agresivitas, begitupun sebaliknya. Hal ini sesuai dengan
teori Costa & McCrae (dalam pervin, et al, 2010) yang menyebutkan bahwa
karateristik individu conscientiousness memiliki sifat yang terorganisir, dapat
diandalkan, pekerja keras, disiplin, tepat waktu, cermat, rapih, ambisius, dan
mempunyai hati yang keras dan tekun. Seseorang dengan kepribadian ini mampu
mengontrol tingkah lakunya terhadap lingkungan sosialnya, berpikir sebelum
bertindak, menunda kepuasaan, mengikuti peraturan dan norma yang berlaku.
Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Anitei dan Dumitrache (2013)
menunjukkan bahwa Tingkat kehati-hatian (conscientiousness) yang tinggi akan
mengakibatkan lebih cenderung untuk mengikuti aturan, melihat masalah dengan
serius dengan bertingkah laku dan bekerja secara hati-hati. Orang-orang dengan
tingkat kehati-hatian (conscientiousness) yang tinggi akan lebih baik dalam
mengontrol situasi serta lebih teliti dan disiplin.
Variabel agreeableness dan conscientiousness berpengaruh pada
agresivitas dan berhubungan secara negatif. Hal ini di dukung juga dalam
penelitian sebelumnya Anderson et al (dalam. Barlett dan. Anderson, 2012)
101
menemukan juga bahwa Agreeableness dan Conscientiousness berhubungan
negatif dengan sikap agresi dan kekerasan, karena Agreeableness ditandai dengan
sifat baik hati, jujur dan kooperatif, sedangkan Conscientiousness ditandai dengan
bertanggung jawab, tertib dan dapat diandalkan,
Variabel neuroticism berpengaruh signifikan terhadap agresivitas dan
berhubungan secara positif. Jadi, semakin tinggi skor neuroticism maka semakin
tinggi tingkat agresivitas, begitupun sebaliknya. Hal ini sesuai dengan teori Costa
& McCrae (dalam Feis & Feist 2010) yang menyatakan bahwa individu yang
memiliki skor tinggi pada dimensi ini akan cenderung gelisah/cemas,
temperamental, sentimentil, emosional, dan rentan terhadap kritikan orang lain.
Jadi, semakin tinggi skor tinggi yaitu emosional, mudah marah akan
mempermudah ia melakukan tindakan agresivitas. Di dukung juga dalam
penelitian Sharpe & Desai (dalam Barlett & Anderson, 2012) Neurotism
mempunyai hubungan yang positif dengan perilaku agresi.
Variabel openness to experiences berpengaruh signifikan terhadap
agresivitas dan berhubungan secara negatif. Jadi, semakin tinggi skor openness to
experiences maka semakin rendah tingkat agresivitas. Hal ini sesuai dengan teori
Costa & McCrae (dalam Feis & Feist 2010) Individu yang memiliki skor tinggi
pada dimensi ini cenderung imajinatif, kreatif, inovatif, selalu ingin tahu,
menyukai sesuatu yang berbeda, dan bebas. Sebaliknya, individu yang memiliki
skor rendah cenderung tidak kreatif, konventional, menyukai sesuatu yang
menetap, tidak peduli, dan konservatif. Jadi, jika individu mempunyai skor rendah
yaitu tidak peduli pada orang lain maka akan tinggi tingkat agresivitasnya,
102
sedangkan jika mempunyai skor tinggi pada openness yaitu mudah toleransi,
focus dan wapada pada berbagai perasaan maka akan rendah agresivitasnya.
Variabel fearful attachment berpengaruh signifikan terhadap agresivitas
dan berhubungan secara positif. Jadi, semakin tinggi skor fearful attachment maka
semakin tinggi tingkat agresivitas. Fearful attachment style merupakan kategori
dari insecure attachment (menghindari/menolak hubungan dekat dengan orang
tua). Hal ini sesuai dengan teori Baron & Byrne (2000) menjelaskan bahwa fearful
attachment yaitu individu yang memiliki self esteem yang rendah dan negatif
terhadap orang lain dengan meminimalkan kedekatan interpersonal dan
menghindari hubungan akrab, mereka berharap dapat melindungi diri mereka dari
rasa sakit karena ditolak. Individu yang takut ditolak menggambarkan orang tua
mereka secara negatif memendam perasaan hostile dan marah tanpa menyadarinya
yang akan menimbulkan agresivitas.
Variabel preoccupied attachment tidak memberikan pengaruh signifikan
terhadap agresivitas, begitupun sebaliknya. Preoccupied attachment style
merupakan kategori dari insecure attachment (menghindari/menolak hubungan
dekat dengan orang tua). Keterbatasan jumlah penelitian terdahulu membuat
perbandingan dengan penelitian ini untuk dilakukan. Kemudian Variabel Secure
attachment merupakan variabel dari attachment style secara positif tidak
memberikan pengaruh signifikan terhadap agresivitas pada remaja, begitupun
sebaliknya. Jadi semakin tinggi secure attachment maka semakin tinggi
agresivitas. Hal ini tidak sesuai dengan teori Mikulincer (dalam Baron & Byrne,
2000) yang menyatakan bahwa individu dengan gaya kelekatan aman tidak
103
mudah marah, lebih tidak mengatribusikan keinginan bermusuhan dengan orang
lain dan mengharapkan hasil positif dan konstruktif dari konflik. Dan tidak sesuai
dalam penelitian Papini, et, al. (dalam Santrock 2002) menemukan dalam suatu
studi bahwa bila remaja muda memiliki suatu attachment yang kokoh (secure
attachment) dengan orang tuanya, mereka memahami keluarga mereka sebagai
keluarga yang kohensif dan mengeluhkan hanya sedikit kecemasan sosial atau
perasaan-perasaan depresi.
Dalam penelitian ini secure attachment tidak signifikan dapat dikarenakan
pengaruh dari faktor lainnya, seperti kematangan emosi pada remaja. Menurut
Hurlock (1980) secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai
dan tekanan”, suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari
perubahan fisik dan kelenjar, tekanan sosial dan kondisi baru. Hurlock juga
menyatakan masa remaja sebagai masa yang tidak realistik memiliki cita-cita
yang tidak realistik menyebabkan meningginya emosi. Faktor dari orang tua yang
agresi, seperti yang diungkapkan dalam Taylor, Peplau dan Sears (2009) yang
menyatakan bahwa semua anak punya tendensi untuk meniru orang lain. Perilaku
agresi anak dibentuk dan ditentukan oleh apa yang dia amatinya, anak pun tidak
sembarangan meniru seseorang; mereka meniru beberapa orang dan tidak meniru
orang lain. Semakin disukai, berpengaruh, dan kuat orang lain itu, semakin besar
kemungkinan si anak akan meniru perilakunya. Orang yang sering mereka lihat
akan semakin sering di tiru perilakunya. Miles dan Carey (dalam Taylor, Peplau
& Sears, 2009) mengungkapkan bahwa orang tua biasanya menjadi model utama
bagi si anak pada masa-masa awal perkembangan, dan mekanisme utama yang
104
menentukan perilaku agresi manusia adalah proses belajar masa lalu. Jadi, jika
orang tua bertindak agresi di depan anaknya walaupun anak merasa secure
dengan orang tuanya, maka anak akan mencontoh apa yang dilakukan oleh orang
tuanya. Pengaruh dari teman sebaya karena sebagian besar waktu remaja yaitu di
sekolah daripada di rumahnnya dan banyaknya interaksi dengan rekan sebaya
yang agresif memperbesar kemungkinan seseorang melakukan tindakan agresi.
Variabel dismissing attachment merupakan variabel dari attachment style
secara negatif yang tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap agresivitas
pada remaja, begitupun sebaliknya. Jadi semakin tinggi dismissing attachment
maka semakin rendah agresivitas, begitupun sebaliknya. Hal ini tidak sesuai
penelitian yang menemukan bahwa dismissing attachment mempunyai hubungan
dengan perilaku kekerasan dan perilaku agresif pada remaja (Santrock, 2001).
Dismissing attachment adalah bahwa orang tua dan remaja dapat saling
menjauhkan diri dari satu sama lain, yang mengurangi pengaruh orang tua.
Kemungkinan hal ini dikarenakan individu melihat dirinya secara positif seperti
independen (lebih mandiri), merasa layak mendapatkan hubungan yang layak,
maka individu tersebut lebih peduli terhadap dirinya sendiri agar tidak melakukan
sesuatu yang membahayakan dirinya, namun orang lain melihat individu tersebut
sebagai orang yang tidak ramah.
Variabel jenis kelamin berpengaruh signifikan terhadap agresivitas pada
pelajar di SMAN 6 Jakarta. Jadi ada perbedaan jenis kelamin laki-laki dan
perempuan terhadap agresivitas pada remaja Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan Eagly dan Steffen (1986) menunjukkan
105
ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki
lebih agresi dibandingkan perempuan, Penelitian serupa juga dijelaskan dalam
Sarwono (2002) yang menyatakan bahwa pria yang maskulin pada umumnya
lebih agresif daripada wanita yang feminisim. Tentunya gejala ini ada
hubungannya dengan faktor kebudayaan yaitu pada umumnya wanita diharapkan
oleh norma masyarakat untuk lebih mengekang agresivitasnya. Kedua pendapat di
atas menunjukkan bahwa agresivitas pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan
dengan perempuan.
5.3 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan ini, penulis menyadari bahwa
secara keseluruhan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Dengan keterbatasan
tersebut, penulis mencoba berbagi pengalaman dan memberikan saran sebagai
pertimbangan dalam melakukan penelitian yang terkait yaitu saran teoritis dan
saran praktis sebagai berikut:
5.3.1 Saran Teoritis
1. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar penelitian tentang
agresivitas selanjutnya dapat menggunakan faktor-faktor lain di luar
faktor-faktor dalam penelitian ini.
2. Berdasarkan hasil uji validitas konstruk dismissing attachment, ditemukan
bahwa 5 dari 6 item yang digunakan dalam penelitian ini tidak valid (t
<1,96 dan muatan faktor negatif). Hal ini mungkin disebabkan karena
kurang sesuai penerapan pada budaya masyarakat Indonesia. Oleh karena
106
itu, untuk penelitian selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk
menggunakan alat ukur yang lebih sesuai.
3. Untuk penelitian selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk menggunakan
metode penelitian lain, seperti observasi, dan deep interview agar hasil
penelitian lebih mendalam dan akurat.
4. Pemilihan subjek penelitian hendaknya lebih variasi karena agresivitas
tidak hanya remaja, namun terdiri berbagai kalangan.
5.3.2 Saran Praktis
1. Bagi sekolah dan guru
Menyelenggarakan seminar atau training untuk para siswa dan para orang
tua
Mempertegas aturan di sekolah seperti pelajar yang melakukan agresivitas.
Memberikan pencegahan terjadinya stress dan frustasi yang menjadi
pemicu perilaku agresi, seperti menciptakan suasan belajar yang kondusif
dan menyenangkan (tidak monoton).
Disarankan lebih mengawasi, mendampingi, memberikan arahan dan
perilaku yang lebih baik dan positif.
Mendeteksi siswa-siswi yang berpotensi perilaku agresi agar dapat
dicegah.
Guru diharapkan memberikan evaluasi dan saran yang tepat kepada siwa
terhadap tindakan yang dilakukan.
Untuk guru BK, siswa dapat dilakukan melalui kegiatan konseling, seperti
membuat grup-grup terapi dan lain sebagainya
107
2. Bagi orang tua
Kenali diri anak agar dapat membentuk pribadi anak menjadi lebih baik,
Pengasuhan anak dalam keluarga sangat erat hubungannya dengan tingkah laku
lekat antara pengasuh (dalam hal ini orang tua sebagai primer dan pengasuh
lainnya sebagai sekunder) dengan anak yang diasuhnya sehingga didalamnya
pengasuhannya sehari-hari sangat mengedepankan nilai-nilai positif yang
dianutnya baik berlandaskan agama, kepercayaan dan kebudayaan sehingga
membekali anak mempunyai karakter yang kuat dalam dirinya dan dapat
mencegah dan mengurangi perilaku negatif seperti perilaku agresivitas.
3. Bagi siswa
Siswa dianjurkan untuk mengikuti berbagai kegiatan di sekolah seperti
ekstrakulikuler seperti bela diri, rohis, paskibra, basket, voli dan lain sebagainya
untuk meminimalisir tindakan agresi menjadi negatif seperti perkelahian antar
pelajar.
108
Daftar Pustaka
Anitei, M., & Dumitrache, A. (2013). Correlative study between personality traits
and aggression at young driver-A pilot study. International Journal of Traffic
and Transportation Psychology, 1, 5-20.
Anderson, A.C., & Bushman, J. B. (2002). Human aggression. Annual Reviews
Psychology, 53, 27-51.
Bartholomew. K., & Horowitz. M. L. (1991). Attachment style among young
adults: A test of four- category model. Journal of personality and social
psychology, 61 (2), 226-244.
Bartholomew. K., & Shaver, P. R. (1998). Chapter two: methods of assessing adult
attachment. Dalam Simpson, J.A & Rholes, W.S (ed). Attachment Theory and
Close Relationship (25-45). New York: Guilford Press.
Bäckstrӧm, M., & Holmes, B. M. (2001). Measuring adult attachment; construct
validation of two self-report instruments. Scandinavian Journal of
Psychology, 42, 79-86.
Baron, A.R & Bryne, D. (2000). Social psychology (9th ed). Boston: Allyn and
Bacon.
Baron, A.R & Bryne, D. (2003). Social psychology. Psikologi sosial. Ratna Djuwita
(terj.). Jakarta: Erlangga.
Baron, A.R & Bryne, D. (2005). Psikologi sosial (Jilid 2, edisi 10). Jakarta:
Erlangga.
Baron, A.R., Branscombe, R.N., & Baron, A.R. (2008). Social psychology (12th ed).
Boston: Pearson.
Buss, A., & Perry, M. (1992). The aggression questionnaire. Journal of Personality
Social Psychology, 63 (3), 452-459.
Bushman, B.J. & Cooper, H. M. (1990). Effect of alcohol on human aggression: An
integrative research review. Psychological Bulletin, 107 (3), 341-354.
Barlett, C.P., & Anderson, C.A. (2012). Direct and indirect relations between the
Big 5 personality traits and aggressive and violent behavior. Personality and
Individual Differences, 52, 870–875.
Berkowitz, L. (1993). Aggression; its causes, consequences and control. USA:
McGraw-Hill, Inc
109
Berk, E. L. (1997). Child development (4th ed). Boston: Allyn and Bacon A Viacom
Company.
Berk, E. L. (2005). Infants, children and adolescents. USA: Pearson Education.
Canning, M. H. A. (2011). An investigation of the relationship between self-esteem
and aggression in care leavers. South Wales: Cardiff University.
Chaplin, J. F. (2008). Kamus lengkap psikologi, kartini kartono (terj.). Jakarta: PT.
Raja Grafindo Perkasa.
Collin, V.L. (1996). Human attachment. New York: McGraw-Hill, Inc.
Donnellan, B. M., Kali H. Trzesniewski, H. K., et., al. (2005). Low self-esteem is
related to aggression, Antisocial behavior, and delinquency. American
psychological society, 16 (4), 328-335.
DeWall, C. N., Anderson, C. A., & Bushman, B. J. (2012). Aggression. chapter in
I. Weiner (Ed.), Handbook of psychology, 2nd Edition, Volume 5, 449-466.
H. Tennen & J. Suls (Eds.), Personality and social psychology. New York:
Wiley.
Eagly, H.A., & Steffen, J.V. (1986). Gender and aggressive behavior: A meta-
analytic review of the social psychological literature. Journal of
psychological bulletin, 100 (3), 309-330.
Ervika, E. (2005). Kelekatan (attachment) pada anak. Jurnal psikologi, Fakultas
kedokteran. Diunduh tanggal 20 Januari 2014 dari
http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-eka%20ervika.pdf
Feist, J., & Feist, G. (2009). Theories of personality. New York: McGraw-Hill.
Feist, J., & Feist, G. (2010). Teori kepribadian. Theories of personality. Jakarta:
Salemba Humanika.
Gallarin, M., & Arbiol-Alonso., I. (2012). Parenting practices, parental attachment
and aggressiveness in adolescence: A predictive model. Journal of
adolescence, 35, 1601-1610.
Goldberg, S. (2000). Attachment and development. New York: Oxford University
Press.
Geen, G.R. (2001). Human aggression (2th ed). Philadelphia: Open university press.
Hall, S.C., Lindzey, G & Campbell, B.J. (1997). Theories of personality (4th ed).
New York: John Wiley & Sons, Inc.
110
Hofstra, J., & Van Oudenhoven, J.P. (2004). Attachment styles. In A. B. Dijkstra,
J. Hofstra, J. P. van Oudenhoven, J. L. Peschar, & M. van der Wal, Oud
gedaan, jong geleerd? Een studie naar de relaties tussen hechtingsstijlen,
competenties, EVLN-intenties en sociale cohesie (pp.31-67). Chapter two:
Development of the Attachment Styles Questionnaire. Amsterdam: Aksant.
Hurlock Elizabeth. B. (1980). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Inspirawan, Reza. (2012). Study validitas konstruk subtes digit symbol dari tes
inteligensi multidimensional (TIM). Jurnal pengukuran psikologi dan
pendidikan Indonesia, 1 (1), 56-70.
John, P. O., & Srivastava, S. (1999). The big five trait taxonomy: history,
measurement, and theoretical perspectives. New York: Guildford.
Leon, A., Reyes, G., Vila, J., Perez, N., Robles, H., & Ramos, M. (2002). The
aggression questionnaire: A validation study in student samples. The
spanish journal of psychology, 5 (1), 45-53.
Larsen & Buss, M. D. (2002). Personality psychology: domains of knowledge
about human nature. New York: McGraw-Hill Higher Education.
Laible, J.D., Carlo, G., & Raffaelli, M. (2000). The differential relations of parent
and peer attachment to adolescent adjustment. Faculty publications,
department of psychology, 29 (1), 45-59. Diunduh tanggal 20 Januari 2014
dari http://www.springerlink.com/content/l4814t561117k76u
Monks, FJ. & Knoers, A.M.P. (2006). Psikologi perkebangan pengantar berbagai
bagiannya. Siti Rahayu Haditono (terj.). Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Myers, G. D. (1988). Social psychology (2th ed). New York: McGraw Hill Book
Company.
Nisfiannoor, M, & Yulianti, Eka. (2005). Perbandingan perilaku agresif antara
remaja yang berasal dari keluarga bercerai dengan keluarga utuh. Jurnal
Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta, 3 (1), 1-18.
Pervin, A Lawerence, Daniel C, Oliver P. John. (2010). Psikologi kepribadian:
teori dan penelitian. Jakarta: Kencana.
Pederson. M. S. (1999). Insecure attachment as a predictor of aggression in adults.
Master Thesis. USA: San Jose State University
111
Rammstedt, B., & John, P.O. (2007). Measuring personality in one minute or less:
A 10-item short version of the Big Five Inventory in English and German.
Journal of Research in Personality, 41, 203–212.
Santrock, W.J. (2001). Child Development (9th ed). New York: McGraw-Hill
Santrock, W.J. (2002). Live Span Developmental: Perkembangan masa hidup. Jilid
2. Alih bahasa: Cusairi, A & Damanik,J. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, Wirawan, Sarlito. (2002). Psikologi sosial: individu dan teori-teori
psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Sears, O. D., Freedman, L.J., & Peplau, A.L. (1985). Psikologi sosial jilid. 2, Edisi
5. Michael Adryanto (terj). Jakarta: Erlangga.
Trninić, V., Barančić, M., Nazor, M. (2008). The five-factor model of personality
and aggressiveness in prisoners and athletes. Kinesiology, 40 (2), 170-181.
Taylor, S.E., Peplau, L.A., & Sears, D.O. (2009). Social psychology 12 th edition.
Psikologi sosial edisi kedua belas. Tri Wibowo B.S (terj). Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
White, D.D., Gallup, C.A., & Gallup, G.G. (2010). Indirect peer aggression in
adolescence and reproductive behavior. Evolutionary psychology, 8(1), 49-
65.
Ylvisaker, M. (2006). Aggression. tutorial. New York: Albany.
Media Massa:
Kompas.(2012). Kompleksitas tawuran pelajar. Diunduh tanggal 8 Januari 2015
dari
http://edukasi.kompas.com/read/2012/10/02/11592356/Kompleksitas.Taw
uran.Pelajar
Kompasiana. (2012). Inilah kronologi tawuran SMA 6 dan SMA 70. Diunduh
tanggal 20 Januari 2014 dari
http://regional.kompasiana.com/2012/09/25/inilah-kronologi-tawuran-
sma-6-dan-sma-70-495970.html
MetroVIVAnews. (2012). Alasan FR Sering Tawuran, Ingin Jadi Hero di SMA 70.
Diuduh tanggal 20 Januari 2014 dari
http://metro.news.viva.co.id/news/read/357081-alasan-fr-sering-tawuran--
ingin-jadi-hero-di-sma-70
LAMPIRAN
Lampiran 2
KUESIONER PENELITIAN
Assalammu’alaikum wr, wb.
Salam kenal,
Saya, mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
sedang melaksanakan penelitian skripsi. Saya meminta kesediaan Anda untuk mengisi
form kuesioner di bawah ini.
Dalam hal ini tidak ada jawaban yang benar atau salah, jawablah sesuai dengan
keadaan diri sendiri anda apa adanya. Adapun informasi atau data yang Anda berikan,
akan sangat bermanfaat bagi penelitian saya dan perlu diperhatikan bahwa segala
informasi yang Anda berikan beserta jawaban Anda bersifat RAHASIA dan hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian.
Saya harapkan Anda tidak melewatkan satupun pernyataan, oleh karena itu di
mohon untuk memeriksa kembali kelengkapan jawaban anda.
Atas perhatian dan bantuannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Hormat Saya,
Yunia Syukmawati
IDENTITAS DIRI
Nama / Inisial :
Jenis Kelamin : L / P (Lingkari salah satu)
Usia : …… tahun
Kelas :
PETUNJUK PENGISIAN
Berikut ini terdapat butir-butir pernyataan, baca dan pahami baik-baik setiap
pernyataan. Anda diminta untuk mengemukakan apakah pernyataan-pernyataan
tersebut sesuai dengan diri Anda, dengan cara memberi tanda (√ ) pada salah satu dari
empat pilihan yang tersedia, pada kolom bagian kanan.
Jika jawaban Anda sangat setuju, beri tanda pada kolom SS. Jika jawaban Anda
setuju, beri tanda S. Jika jawaban Anda tidak setuju, beri tanda pada kolom TS. Jika
jawaban Anda sangat tidak setuju, beri tanda pada kolom STS.
Contoh
Jika jawaban anda setuju
No. Penyataan SS S TS STS
1. Saya percaya dengan kemampuan yang saya miliki √
Tidak ada jawaban yang benar atau salah setiap pernyataan,seluruh jawaban adalah
benar selama itu sesuai dengan diri Anda.
SKALA I
No. Pernyataan SS S TS STS
1. Saya jujur kepada teman-teman ketika tidak
sependapat dengan mereka.
2. Terkadang saya tidak dapat menahan keinginan
untuk menyerang orang lain.
3. Saya sering berbeda pendapat dengan orang lain.
4. Jika diprovokasi, saya bisa memukul orang lain.
5. Ketika orang lain mengganggu, saya bisa
mengatakan kepada mereka apa yang saya
rasakan.
6. Jika ada yang memukul saya, saya akan
membalasnya.
7. Saya terkadang iri dengan orang lain.
8. Saya lebih sering terlibat perkelahian
dibandingkan orang lain.
9. Terkadang saya merasa tertipu.
10. Jika perlu, saya akan menggunakan kekerasan
untuk melindungi hak-hak saya.
11. Saya cepat marah tapi cepat juga reda amarahnya.
12. Pernah ada yang menantang saya sehingga kami
berkelahi.
13. Ketika frustasi, saya memperlihatkannya.
14. Saya pernah mengancam orang yang saya kenal.
15. Saya terkadang merasa seperti orang yang kasar
yang mudah meledak, amarahnya.
16. Orang lain terlihat selalu tenang.
17. Saya bisa berpikir bahwa memukul orang itu tidak
baik.
18. Jika saya marah, saya bisa memecahkan dan
merusak barang-barang.
19. Teman-teman saya merasa, saya orang yang keras
kepala.
20. Terkadang saya tidak mengetahui mengapa saya
sering berpikir negatif terhadap suatu hal.
21. Saya selalu beradu argument (debat) ketika
berbeda pendapat dengan orang lain.
22. Saya orang tenang.
23. Saya mengetahui jika teman-teman saya
membicarakan saya dari belakang.
SKALA II
No Pernyataan SS S TS STS
1. Saya adalah orang yang banyak bicara.
2. Saya cenderung orang yang suka
mencari/menemukan kesalahan orang lain.
3. Saya adalah orang yang melakukan pekerjaan
dengan teliti.
4. Saya adalah orang yang mudah tertekan pada
sesuatu hal.
5. Saya adalah orang yang mempunyai ide-ide baru
6. Saya adalah orang yang lebih suka diam.
7. Saya adalah orang yang suka membantu dan tidak
egois pada orang lain.
8. Saya adalah orang yang agak ceroboh.
9. Saya adalah orang yang santai dan dapat mengatasi
stress dengan baik.
10. Saya adalah orang ingin tahu tentang banyak hal
yang berbeda.
11. Saya adalah orang yang penuh semangat.
12. Saya orang yang suka memulai pertengkaran
dengan orang lain.
13. Saya adalah pekerja yang dapat diandalkan.
14. Saya adalah orang yang mudah menjadi tegang.
15. Saya adalah orang yang cerdas dan suka
memikirkan hal secara mendalam.
16. Saya adalah orang yang antusias.
17. Saya adalah orang yang pemaaf.
18. Saya adalah orang yang tidak menyukai
keteraturan.
24. Terkadang saya kehilangan kendali diri tanpa
alasan yang jelas.
25. Saya curiga dengan orang asing yang terlalu
akrab.
26. Saya kurang bisa mengendalikan amarah saya.
27. Terkadang saya merasa orang lain menertawakan
saya dari belakang.
28. Menurut teman-teman, saya orang yang
argumentatif (pengritik).
29. Ketika orang lain terlalu baik, saya merasa ingin
tahu apa yang mereka inginkan.
19. Saya adalah orang yang mempunyai banyak
kekhawatiran (mudah cemas).
20. Saya adalah orang yang aktif berimajinasi
21. Saya adalah orang yang tenang.
22. Saya adalah orang yang mudah percaya dengan
orang lain.
23. Saya adalah orang yang cenderung pemalas.
24. Saya adalah orang yang mempunyai emosi yang
stabil dan tidak mudah terganggu oleh orang lain
25. Saya adalah orang yang kreatif.
26. Saya mempunyai kepribadian yang asertif (mampu
mengungkapkan dengan baik apa yang saya ingin
ungkapkan).
27. Saya adalah orang yang suka menyendiri dan
dingin pada orang lain.
28. Saya adalah orang yang tekun sampai tugas selesai.
29. Saya adalah orang yang mudah murung.
30. Saya adalah orang yang memghargai nilai artistik
(kesenian) dan pengalaman estetika (keindahan).
31. Saya kadang-kadang pemalu dan suka berdiam diri.
32. Saya adalah orang yang perhatian dan baik pada
hampir setiap orang.
33. Saya adalah orang yang melakukan hal-hal secara
efisien.
34. Saya adalah orang yang tetap tenang dalam situasi
yang tegang.
35. Saya adalah orang yang lebih suka pekerjaan secara
monoton.
36. Saya adalah orang yang ramah dan supel (suka
bergaul).
37. Saya kadang-kadang kasar pada orang lain.
38. Saya adalah orang yang suka membuat rencana dan
mewujudkannya.
39. Saya adalah orang yang mudah gugup.
40. Saya adalah orang yang suka untuk merefleksikan
dan bermain dengan ide-ide.
41. Saya adalah orang yang memiliki sedikit minat
pada artistik (seni).
42. Saya adalah orang yang suka bekerja sama dengan
orang lain.
43. Saya adalah orang yang mudah tersinggung.
44. Saya adalah orang yang ahli dalam bidang seni,
musik atau sastra.
SKALA III
No Pernyataan SS S TS STS
1. Saya ingin terbuka pada orang tua saya tetapi saya
merasa tidak dapat mempercayai orang tua saya.
2. Saya merasa nyaman secara emosional dengan
orang tua saya.
3. Saya ingin memiliki hubungan dekat dengan orang
tua saya, tapi saya merasa sulit untuk sepenuhnya
mempercayai mereka.
4. saya sering bertanya-bertanya apakah orang tua
saya menyayangi saya.
5. Saya percaya dan suka ketika orang tua saya
mengandalkan saya.
6. saya merasa tidak nyaman bila hubungan saya
dengan orang tua menjadi dekat.
7. Saya menghindari kedekatan dengan orang tua
saya.
8. Saya tidak bisa hidup sendiri tanpa orang tua.
9. saya merasa orang tua saya tidak menyanyangi
saya seperti saya menyayangi mereka.
10. Saya mudah terlibat dalam hubungan yang dekat
dengan orang tua saya.
11. saya takut orang tua saya tidak menyayangi saya.
12. Saya merasa nyaman tanpa memiliki hubungan
yang dekat dengan orang tua saya.
13. Saya merasa nyaman dengan hubungan yang akrab
dengan orang tua saya.
14. saya khawatir ditinggalkan sendirian oleh orang
tua saya.
15. Bagi saya, penting bahwa orang-orang dapat saling
mengandalkan satu sama lain.
16. Yang terpenting bagi saya adalah menjadi pribadi
yang mandiri.
17. saya tidak khawatir jika orang tua saya tidak
menyayangi saya.
18. Saya takut harapan saya akan dialihkan ketika saya
berhubungan terlalu dekat dengan orang tua saya.
19. yang terpenting bagi saya adalah mengetahui
apakah orang tua saya menyayangi saya.
20. Saya yakin bahwa orang tua saya akan selalu ada
untuk saya ketika saya membutuhkan mereka.
21. Saya menyukai diri saya menjadi pribadi yang
mandiri.
22. Saya berhati-hati untuk terlibat dalam hubungan
yang dekat dengan orang tua saya karena saya
takut tersakiti.
23. Saya lebih menyukai saya tidak bergantung pada
orang tua saya dan orang tua saya tidak bergantung
pada saya.
24. Saya lebih senang menjadi diri saya sendiri.
Terimakasih ya adik-adik, mohon diperiksa lagi jawabannya jangan ada
yang terlewatkan
LAMPIRAN 4:
CONFIRMATORY FACTOR ANALYSIS (CFA)
1. Agresivitas
2. Extraversion
3. Agreeableness
4. Conscientiousness
5. Neuroticism
6. Openness to experiences
7. Secure attachment
8. Fearful attachment
9. Preoccupied attachment
10. Dismissing attachment