Upload
doannhi
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF CIRC, JIGSAW, DAN STAD TERHADAP KETERAMPILAN MEMBACA
DITINJAU DARI KEMAMPUAN LOGIKA BERBAHASA
Studi Eksperimen di Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah
DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh: Murtono
NIM. T840809004
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA (S3)
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Mahakuasa atas segala
rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan naskah disertasi ini.
Naskah ini dapat terselesaikan dengan baik berkat usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras penulis serta bantuan dari berbagai pihak yang demikian besar sumbangannya. Oleh karena itu, dengan segala hormat di awal sekali penulis menyampaikan rasa hormat, rasa berhutang budi, dan ungkapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd. (Promotor), Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum. (Copromotor I), dan Prof. Dr. Budiyono, M. Sc. (Copromotor II) yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, masukan, dan mencurahkan perhatian, serta mencurahkan waktu kepada penulis sehingga naskah disertasi ini dapat terselesaikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor, Direktur Pascasarjana, dan Ketua Program Studi S3 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan berbagai fasilitas, sarana, dan prasarana kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga terselesaikannya disertasi ini. Ucapan terima kasih yang sama, penulis sampaikan kepada Para Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah raga tempat penulis melakukan penelitian, yaitu Kepala Disdikpora Kabupaten Kudus, Kepala Disdikpora Kota Semarang, Kepala Disdikpora Kabupaten Karanganyar, dan Kepala Disdikpora Kabupaten Magelang.
Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Bapak/Ibu dosen Program Studi S3 PBI, rekan-rekan mahasiswa S3 PBI, dan rekan-rekan Kepala serta guru SD di lapangan tempat penulis melakukan penelitian. Berkat motivasi, bimbingan, masukan, dan bantuan beliau-beliaulah penulis dapat mengemban tugas yang mulia ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang banyak mendukung dan membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian mulai dari awal hingga penyusunan naskah disertasi ini.
Akhirnya, terima kasih yang tidak ternilai, penulis sampaikan kepada isteri tercinta Istiqomah, Anak-anakku: Izza, Ila, Ina, dan Salma yang telah memberikan dorongan, semangat, doa, dan hiburan kepada suami dan ayahnya hingga disertasi ini dapat terwujud.
Semoga semua amal baik pihak-pihak yang telah penulis sebutkan di atas, mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Yang Maha Pengasih.
Semoga karya yang penulis susun dengan kerendahan hati dan kerja keras ini dapat bermanfaat untuk pengembangan dunia pendidikan dan para pembaca yang budiman.
Surakarta, 2012 Penulis
i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGESAHAN DISERTASI
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF CIRC, JIGSAW, DAN STAD TERHADAP KETERAMPILAN MEMBACA
DITINJAU DARI KEMAMPUAN LOGIKA BERBAHASA
Studi Eksperimen di Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah
Oleh: Murtono
NIM. T840809004
Naskah disertasi ini telah disetujui oleh Tim Promotor:
Tanda Tangan
1 Nama dan Gelar : Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd. (Promotor) .....................
2 Nama dan Gelar : Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum. (Copromotor I) .......................
3 Nama dan Gelar : Prof. Dr. Budiyono, M. Sc. (Copromotor II) ......................
Mengetahui, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia S-3
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd. NIP 19620407 198703 1 003
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF CIRC, JIGSAW, DAN STAD TERHADAP KETERAMPILAN MEMBACA
DITINJAU DARI KEMAMPUAN LOGIKA BERBAHASA
Studi Eksperimen di Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah
Oleh: Murtono
NIM. T840809004
Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan dinyatakan lulus pada tanggal ... , oleh Tim Penguji:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M. S. : Ketua Merangkap Anggota .................................................................
2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S : Sekretaris Merangkap Anggota .................................................................
3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd :
Anggota .................................................................
4. Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd. : Anggota .................................................................
5. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum. : Anggota .................................................................
6. Prof. Dr. Budiyono, M. Sc. : Anggota .................................................................
7. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd : Anggota .................................................................
8. Prof. Dr. Zamzani, M. Pd. : Anggota ................................................................
Mengetahui,
Rektor Universitas Sebelas Maret
Prof. Dr. Ravik Karsidi, M. S. NIP. 19570707 198103 1 006
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Murtono NIM : T840809004 Program : Pascasarjana (S3) Universitas Sebelas Maret Program Studi : Pendidikan Bahasa Indonesia Tempat dan tanggal lahir : Pati, 7 Desember 1966 Alamat rumah : Perum. Muria Indah Blok E Nomor 135 RT
04 RW VII, Gondangmanis Bae Kudus Telepon : (0291) 441380 Alamat email : [email protected]
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa disertasi berjudul ”Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif CIRC, Jigsaw, dan STAD terhadap Keterampilan Membaca Ditinjau dari Kemampuan Logika Berbahasa” ini adalah asli (bukan jiplakan) dan betul-betul karya saya sendiri serta belum pernah diajukan oleh penulis lain untuk memperoleh gelar akademik tertentu.
Semua temuan, pendapat, atau gagasan orang lain yang dikutip dalam disertasi ini saya tempuh melalui tradisi akademik yang berlaku dan saya cantumkan dalam sumber rujukan atau saya tunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbuktri pernyataan saya ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku.
Surakarta, 24 Juli 2012
Yang membuat pernyataan,
Murtono
NIM. T840809004
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................ i PENGESAHAN PROMOTOR ..................................................................... ii PENGESAHAN UJIAN TERTUTUP ........................................................ iii PERNYATAAN .............................................................................................. iv DAFTAR ISI ............................................................................................. v DAFTAR TABEL ................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi ABSTRAK ..................................................................................................... xiv ABSTRACT .................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Indentifikasi Masalah ..................................................................... 12 C. Batasan Masalah ..................................................................... 14 D. Rumusan Masalah ..................................................................... 15 E. Tujuan Penelitian ................................................................... 15 F. Manfaat Penelitian ..................................................................... 16
BAB II KAJIAN TEORETIK, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ....... 18 A. Kajian Teori ................................................................................ 18
1. Hakikat Keterampilan Membaca ........................................... 18 a. Pengertian Membaca .......................................................... 19 b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Membaca ...................... 22 c. Keterampilan Membaca Pemahaman ................................. 24 d. Tujuan Keterampilan Membaca Pemahaman ..................... 26 e. Jenis Keterampilan Membaca Pemahaman . ..................... 28 f. Definisi Konseptual Keterampilan Membaca Pemahaman .. 30
2. Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif ………………… 31 a. Pengertian Model Pembelajaran .………………………… 31 b. Model Pembelajaran Kooperatif ….....……………… 35 c. Model Pembelajaran Kooperatif Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) ... 47
1) Konsep Model Pembelajaran Kooperatif CIRC ………… 47 2) Paradigma Model Pembelajaran Kooperatif CIRC …….. 48 3) Definisi Konseptual Model Pembelajaran Kooperatif CIRC ................................................ 51
d. Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw .....…………. 51 1) Konsep Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw ... 51 2) Paradigma Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw ... 54 3) Definisi Konseptual Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw ................................................. 57
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
e. Model Pembelajaran Kooperatif Student Team Achievement Divition (STAD) ………………... 57
1. Konsep Model Pembelajaran Kooperatif STAD ....… 57 2. Paradigma Model Pembelajaran Kooperatif STAD .…. 60 3. Definisi Konseptual Model Pembelajaran Kooperatif STAD .................................................... 62
f. Peranan Guru dalam Pembelajaran Bahasa dengan Model Pembelajaran kooperatif ................................. 64
1. Guru sebagai Pencari Keterangan .....………….…… 64 2. Guru sebagai Kreator .................................................. 66 3. Guru sebagai Pengamat .............................................. 68 4. Guru sebagai Fasilitator ............................................. 71 5. Guru sebagai Agen Perubahan .................................. 72
3. Hakikat Kemampuan Logika Berbahasa ............................ 76 a. Pengertian Logika Berbahasa ................................. 76
b. Multiple Intelligences sebagai Dasar Logika Berbahasa ... 78 c. Kemampuan Logika Berbahasa …………………. 86 d. Definisi Konseptual Kemampuan Logika Berbahasa ..... 87
B. Penelitian yang Relevan ……………………………… 88 C. Kerangka Berpikir Penelitian ………………………………… 92 D. Hipotesis Penelitian ………………………………………… 97
BAB III METODOLOGI PENELITIAN …….………………………… 98 A. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………… 98 B. Metode Penelitian ………………………………………… 101 C. Populasi, Sampel Penelitian, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 111 D. Instrumen Penelitian ……........................…………………… 120 E. Teknik Pengumpulan Data ………………………………… 140 F. Teknik Analisis Data ………………………………………… 141 G. Hipótesis Statistik ………………………………………… 144 H. Prosedur Penelitian ................................................................ 145
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………… 149 A. Deskripsi Data Penelitian …………………………………… 149 B. Pengujian Persyaratan Analisis …………………………….. 170 C. Pengujian Hipótesis Penelitian ……………………………. 176 D. Pembahasan Hasil Penelitian ………………………………. 190 E. Keterbatasan Penelitian ……………………………………. 206
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN …………………… 208 A. Simpulan ............................................................................... 208 B. Implikasi ............................................................................. 209 C. Saran ................................................................................... 222
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 225
LAMPIRAN ........................................................................................... 235
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 1 : Perbedaan Dasar Model Pembelajaran: CIRC, JIGSAW, dan STAD ..........................................................................................
63
Tabel 2 : Waktu Pelaksanaan Kegiatan Penelitian ……………............ 100 Tabel 3 : Sekolah Dasar Tempat Penelitian ................................................ 113 Tabel 4 : Rangkuman Hasil Uji Normalitas Tes Awal ............................. 116 Tabel 5 : Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Tes Awal .......................... 118 Tabel 6 : Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Tes Awal ................... 119 Tabel 7 : Indikator dan Kisi-kisi Tes Awal Keterampilan Membaca .......... 123 Tabel 8 : Indikator dan Kisi-kisi Tes Akhir Keterampilan Membaca ......... 123 Tabel 9 : Kalibrasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes Awal Keterampilan
Membaca .....................................................................................
130 Tabel 10 : Kalibrasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes Akhir Keterampilan
Membaca .....................................................................................
131 Tabel 11 : Indikator dan Kisi-kisi Tes Kemampuan Logika Berbahasa ........ 133 Tabel 12 : Kalibrasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Logika
Berbahasa ...................................................................................
139 Tabel 13 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai
Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1) .................................
152 Tabel 14 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1) .....
152 Tabel 15 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai
Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2) ...............................
153 Tabel 16 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2) ..
153 Tabel 17 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai
Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3) ................................
154 Tabel 18 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3) ...
155 Tabel 19 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai
Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) ...........................................................
156 Tabel 20 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Memiliki Logika Berbahasa Tinggi ............................................
156 Tabel 21 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Memiliki Logika Berbahasa Rendah............................................
157 Tabel 22 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Memiliki Logika Berbahasa Rendah ..........................................
158 Tabel 23 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai
Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) ........................................
159
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 24 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) .................................
159 Tabel 25 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai
Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A2B1) ............................................................
160 Tabel 26 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A2B1) .................................
161 Tabel 27 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai
Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A3B1) ............................................................
162 Tabel 28 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A3B1) ..................................
162 Tabel 29 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai
Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Logika Berbahasa Rendah (A1B2) ..........................................................
164 Tabel 30 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Logika Berbahasa Rendah (A1B2) ................................
164 Tabel 31 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai
Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Logika Berbahasa Rendah (A2B2) ..........................................................
165 Tabel 32 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Logika Berbahasa Rendah (A2B2) ...............................
165 Tabel 33 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai
Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Logika Bahasa Rendah (A3B2) ..............................................................
167 Tabel 34 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Logika Bahasa Rendah (A3B2) .....................................
167 Tabel 35 : Rangkuman Data Nilai Akhir Keterampilan Membaca .............. 169 Tabel 36 : Rangkuman Hasil Uji Normalitas Tes Akhir ............................. 172 Tabel 37 : Rangkuman Hasil Homogenitas Tes Akhir .................................. 175 Tabel 38 : Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Tes Akhir .................... 176 Tabel 39 : Komparasi Antarbaris Tes Akhir ............................................ 177 Tabel 40 : Komparasi Antarkolom Tes Akhir ............................................ 177 Tabel 41 : Komparasi Antarsel dalam Kolom yang Sama Tes Akhir ........... 182
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1 : Hubungan Kelompok Asal dan Kelompok Ahli dalam Jigsaw .... 53
Gambar 2 : Disain Faktorial Penelitian ……………………………... 111
Gambar 3 : Distribusi Jumlah Data Setiap Sel …………………………….... 115
Gambar 4 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti
Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1) ........................ 152
Gambar 5 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti
Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2) ..................... 154
Gambar 6 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti
Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3) ..................... 155
Gambar 7 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki
Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi(B1) ................................ 157
Gambar 8 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki
Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (B2) .............................. 158
Gambar 9 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan
Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) ……….. 160
Gambar 10 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan
Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A2B1) . ......... 161
Gambar 11 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang
Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan
Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A3B1) ....…... 163
Gambar 12 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti
Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Kemampuan
Logika Berbahasa Rendah (A1B2) ................................................. 165
Gambar 13 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti
Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Kemampuan
Logika Berbahasa Rendah (A2B2) …….......................................... 166
Gambar 14 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Kemampuan
Logika Berbahasa Rendah (A3B2) ……........................................... 168
Gambar 15 : Grafik Profil Variabel Model Pembelajaran dan Kemampuan
Logika Berbahasa ….........................………………………….... 181
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran A : Perbandingan Tiga Jenis Model Pembelajaran Kooperatif 235
Lampiran B : Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ............... 241
B.1 : RPP Model CIRC ........................................................... 243 B.2 : R P P Model Jigsaw ........................................……...... 275 B.3 : R P P Model STAD .......................................................... 307
Lampiran C : Instrumen Penelitian ...................................................... 338
C.1 : Kompetensi Dasar, Kisi-kisi, dan Naskah Tes Awal Keterampilan Membaca ................................................
339
C.2 : Kompetensi Dasar, Kisi-kisi, dan Naskah Tes Akhir Keterampilan Membaca ................................................
350
C.3 : Kisi-Kisi dan Naskah Tes Kemampuan Logika Berbahasa . 362
C.4 : Validitas, Reliabilitas, dan Analisis Butir Instrumen ... 368
a. Validitas Isi dan oleh Expert Judgement dan Focus Group Discussion .......................................................... b. Reliabilitas, Uji Beda, Tingkat Kesukaran, dan Analisis Pengecoh ........................................................ 1. Tes Kemampuan Awal Keterampilan Membaca .....
2. Tes Akhir Keterampilan Membaca ...........................
3. Tes Kemampuan Logika Berbahasa .........................
369
380
381
402
423
Lampiran D : Data Hasil Tes Kemampuan Awal Keterampilan Membaca 444 D.1 : Uji Normalitas Tes Kemampuan Awal Keterampilan
Membaca ........................................................................ a. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis
CIRC ……..................................................................... b. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw ………………………………………………... c. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD ………………………………………………… d. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis
CIRC-Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi .............. e. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis
Jigsaw –Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi …… f. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis
STAD-Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi ........... g. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis
CIRC-Kemampuan Logika Berbahasa Rendah ........... h. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis
Jigsaw –Kemampuan Logika Berbahasa Rendah .......
455
456
461
466
471
475
479
483
487
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD-Kemampuan Logika Berbahasa Rendah ..........
491
D. 2 : Uji Homogenitas Tes Awal Keterampilan Membaca …. a. Uji Homogenitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis
CIRC, Jigsaw, dan STAD b. Uji Homogenitas Model Kooperatif Jenis CIRC-
Logika Berbahasa Tinggi, Jigsaw-Logika Berbahasa Tinggi, dan STAD-Logika Berbahasa Tinggi ...............
c. Uji Homogenitas Model Kooperatif Jenis CIRC-Logika Berbahasa Rendah, Jigsaw-Logika Berbahasa Rendah,dan STAD-Logika Berbahasa Rendah ………
495
496
501
505 D. 3 : Analisis Variansi Dua Jalan Tes Kemampuan Awal 509
Lampiran E : Data Hasil Penelitian Tes Kemampuan Logika Berbahasa..............
516
Lampiran F : Data Hasil Penelitian Tes Akhir Keterampilan Membaca ... 534 F.1 : Uji Normalitas Tes Akhir Keterampilan Membaca ......
a. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC ……….................................................................
b. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw ………………………………………………...
c. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD ……………………………………………....…
d. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC-Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi ...........
e. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw –Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi ........
f. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD-Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi ..........
g. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC-Kemampuan Logika Berbahasa Rendah ...........
h. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw-Kemampuan Logika Berbahasa Rendah .........
i. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD-Kemampuan Logika Berbahasa Rendah ..........
566
567
572
577
582
586
590
594
598
602 F.2 : Uji Homogenitas Tes Akhir Keterampilan Membaca ....
a. Uji Homogenitas Model Kooperatif Jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD .........................................................
b. Uji Homogenitas Model Kooperatif Jenis CIRC-Logika Berbahasa Tinggi, Jigsaw-Logika Berbahasa Tinggi, dan STAD-Logika Berbahasa Tinggi ...............
c. Uji Homogenitas Model Kooperatif Jenis CIRC-Logika Berbahasa Rendah, Jigsaw-Logika Berbahasa Rendah, dan STAD-Logika Berbahasa Rendah ............
606
607
612
616 F.3 : Hasil Analisis Data secara Deskriptif Data Tes Akhir
Keterampilan Membaca .................................................. 620
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
F.4 : Analisis Variansi Dua Jalan Tes Akhir Keterampilan Membaca .........................................................................
633
F.5 : Hasil Uji Lanjut/Schefee’ dari Hasil Uji Anava Tes Akhir Keterampilan Membaca ....................................
638
Lampiran G : Izin Penelitian ................................................................. 646
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
MURTONO. NIM T840809004. PENGARUH MODEL PEMBELA-JARAN KOOPERATIF CIRC, JIGSAW, DAN STAD TERHADAP KETERAMPILAN MEMBACA DITINJAU DARI KEMAMPUAN LOGIKA BERBAHASA (Studi Eksperimen di Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jawa Tengah). Promotor : Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd., Copromotor I : Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum, dan Copromotor II : Prof. Dr. Budiyono, M. Sc. Disertasi. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Program Pasca Sarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tujuan penelitian ini adalah (1) menemukan perbedaan keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD, (2) menemukan perbedaan keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan rendah, dan (3) menemukan interaksi penggunaan ketiga jenis model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa dalam memengaruhi keterampilan membaca.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan disain faktorial 3x2. Manipulasi dilakukan pada variabel model pembelajaran. Kelompok eksperimen diberikan perlakukan khusus, masing-masing model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD. Kelompok eksperimen dibedakan atas siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan rendah. Populasi adalah siswa kelas 5 sekolah dasar di Jawa Tengah tahun pelajaran 2011/2012, sedangkan sampel adalah siswa kelas 5 pada 12 SD di empat kabupaten/kota, yaitu 3 SD di Kabupaten Kudus, 3 SD di Kota Semarang, 3 SD di Kabupaten Magelang, dan 3 SD di Kabupaten Karanganyar, yang seluruhannya berjumlah 364 siswa yang diambil dengan teknik multi stage area random sampling. Data keterampilan membaca dikumpulkan dengan tes keterampilan membaca, tingkat kemampuan logika berbahasa ditentukan dengan tes kemampuan logika berbahasa. Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan dianalisis. Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis variansi dua jalan.
Simpulan dalam penelitian ini adalah keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada yang belajar dengan jenis Jigsaw ataupun jenis STAD, sedangkan keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan jenis STAD sama baiknya. Keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika bahasa tinggi lebih baik daripada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika bahasa rendah. Terdapat interaksi antara jenis model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa dalam mempengaruhi keterampilan membaca. Interaksi tersebut berupa: pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, penggunaan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik dibandingkan dengan jenis Jigsaw ataupun jenis STAD, sedangkan jenis Jigsaw sama baiknya dengan jenis STAD. Pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah ketiga jenis model pembelajaran kooperatif itu sama baiknya.
Kata Kunci : Model Pembelajaran Kooperatif CIRC, Jigsaw, STAD, Keterampilan Membaca, Kemampuan Logika Berbahasa
xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
MURTONO. NIM T840809004. THE EFFECT OF COOPERATIVE LEARNING MODEL OF CIRC, JIGSAW, AND STAD TOWARD A READING SKILL VIEWED FROM LANGUAGE LOGIC ABILITY (An experiment on the Fifth Grade of Elementary School Students in Central Java). Promoter: Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd., First Co promoter: Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum, and Second Co promoter: Prof. Dr. Budiyono, M. Sc. Dissertation. Indonesian Language Education Program. Postgraduate Program. Sebelas Maret University Surakarta.
The purposes of this research are: (1) finding out the difference of reading skill between the students who join in CIRC cooperative learning model, Jigsaw cooperative learning model, and STAD cooperative learning model; (2) finding out the difference of reading skill between the students who have high language logic ability and low language logic ability; (3) and finding out the interaction between the use of the three cooperative learning models and the language logic ability in influencing the reading skill.
The study was an experimental research with 3x2 factorial designs. Manipulation was done towards the learning model variables. The experiment group was given a special treatment of respectively CIRC, Jigsaw, and STAD learning model. The experiment group was divided into two categories, students who had high language logic ability and those who had low language logic ability. The population of the study was the fifth grade elementary school student in Central Java of 2011/2012 Academic Year. Whereas, the sample was the fifth grade elementary students of 12 Elementary Schools in four regencies/cities, those are 3 Elementary Schools in Kudus Regency, 3 Elementary Schools in Semarang City, 3 Elementary Schools in Magelang Regency, and 3 Elementary Schools in Karanganyar Regency, which totally invloved as many as 364 students taken by multi stage area random sampling technique. The data collection of reading skill was done by using test of reading skill, while assessment on the level of language logic ability was done by using test of language logic ability. After the data was collected, they were presented in form of tables, graphs, and analyzed. The technique of data analysis was two way variant analyses.
There are conclusions, the reading skill of the students who joined in CIRC learning model is better than those who joined in Jigsaw or STAD model, meanwhile the students who joined in Jigsaw and STAD learning model have the same skill level; the reading skill of the students who have high language logic ability is better than those who have low language logic ability; there is interaction between cooperative learning model and the language logic ability in influencing reading skill. The interaction is to be used for students who have high language logic ability, CIRC learning model is more effective compared with Jigsaw and STAD, while Jigsaw and STAD does not show an effectiveness difference. To be used the use students who have low language logic ability, CIRC, Jigsaw, or STAD does not show an effectiveness difference.
Key Word: Cooperative Learning Model: CIRC, Jigsaw, STAD, Reading Skill, Language Logic Ability xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ada empat keterampilan berbahasa Indonesia yang menjadi muara akhir
pembelajaran bahasa Indonesia. Keempat keterampilan yang dimaksud adalah
keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan
keterampilan menulis. Sebagai salah satu tujuan pembelajaran bahasa Indonesia,
keterampilan membaca merupakan keterampilan yang paling mendasar apabila
dibandingkan dengan ketiga keterampilan yang lain.
Membaca merupakan keterampilan yang menjadi jendela ilmu pengetahuan.
Hampir semua ilmu pengetahuan dipahami melalui membaca. Membaca merupakan
sesuatu yang fundamental dalam semua disiplin ilmu (Lei, Rhinehart, Howard, &
Cho:1). Oleh karena itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut
terciptanya masyarakat untuk gemar membaca. Masyarakat yang demikian akan
memperoleh pengetahuan lebih cepat dan wawasan baru yang semakin meningkatkan
kecerdasannya sehingga mereka lebih mampu menjawab tantangan hidup pada masa-
masa mendatang (Farida Rahim, 2003:1).
Masyarakat terpelajar, sebagai masyarakat yang menentukan dinamika
kehidupan berbangsa dituntut untuk memiliki keterampilan sekaligus kegemaran
membaca yang memadai karena itulah jalan menuju kemajuan hidup. Pada
masyarakat terpelajar, terutama anak-anak yang normal pada umumnya mulai belajar
membaca pada usia lima atau enam tahun, dengan pengecualian sejumlah kecil orang
yang mempunyai cacat belajar. Membaca adalah sebuah keterampilan yang dianggap
suatu keharusan. Membaca merupakan keterampilan yang sangat penting untuk
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
sukses dalam semua konteks bidang pendidikan tidak dapat dibantah lagi (Brown,
2004:185). Demikian juga, membaca adalah dasar dari semua disiplin ilmu akademik
(White, 2004:38). Seseorang yang pemahaman membacanya baik akan banyak
mengetahui ilmu dan menjadi pembaca yang strategis (Anmarkrud, 2008:254).
Keterampilan membaca yang memadai juga dapat meningkatkan rasa percaya
diri dan kesiapan diri berikutnya dalam menghadapi bacaan-bacaan yang berikutnya
(Kembo, 1993:23) Mengingat demikian urgennya keterampilan membaca bagi
seseorang, maka sudah seharusnya keterampilan membaca ini disampaikan sejak usia
dini agar seseorang dapat lebih awal memahami bacaan sehingga lebih banyak dan
cepat menguasai dunia melalui bacaan.
Keterampilan membaca menghendaki penguasaan berbagai unsur kebahasaan
dan unsur di luar bahasa itu sendiri untuk dapat memahami naskah secara kompre-
hensif (Burhan Nurgiyantoro, 2009:271). Demikian pula, terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi keterampilan membaca Faktor-faktor yang mempengaruhi membaca
tersebut adalah faktor fisiologis, intelektual, lingkungan, dan psikologis (Lamp dan
Richard, 1976:47). Di samping itu, memahami ide, gagasan, ataupun pikiran melalui
bahasa tulis secara runtut dan padu bukanlah pekerjaan yang mudah, terutama bagi
para pemula. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah yang memadai untuk
meningkatkannya, dimulai dari pemahaman yang tekstual sampai pada pemahaman
secara kontekstual terhadap suatu wacana atau naskah (Meyers, 2005:3).
Berkaitan dengan keterampilan membaca, masyarakat Indonesia dikatakan
sebagai bangsa yang belum mempunyai kebiasaan dan budaya baca yang baik
sehingga keterampilan membaca mereka pun kurang memadai. Kekurangterampilan
membaca masyarakat Indonesia ini, salah satunya terbukti dari rendahnya tingkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
kegemaran ataupun keterampilan membaca pelajar Indonesia. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Asia Weeks (dalam Iskandarwassid dan Sunendar, 2009:245-246),
fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat negara maju ditandai oleh telah
berkembangnya budaya baca. Sebaliknya, negara-negara yang sedang berkembang
ditandai dengan rendahnya budaya baca.
Negara-negara yang masyarakatnya sangat maju dan kuat, misalnya, negara
Amerika, Jepang, Australia, Prancis, dan sebagainya, dalam diri masyarakatnya sudah
tertanam kebiasaan membaca yang tinggi. Sementara itu, masyarakat di negara-
negara berkembang ditandai oleh rendahnya keterampilan baca serta budaya baca
yang belum tertanam dengan baik. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia, Venezuela,
dan Trinidad-Tobago, keterampilan membaca penduduknya berada pada urutan
terakhir dari 27 negara yang diteliti. Demikian pula penelitian Hadi Dwi Winanto
(2009) menyimpulkan bahwa tingkat kegemaran dan keterampilan membaca bangsa
Indonesia masih ketinggalan apabila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di
dunia.
Penelitian lain yang mengungkapkan lemahnya keterampilan membaca siswa-
siswa Sekolah Dasar di Indonesia adalah penelitian Progress in International Reading
Literacy Study (PIRLS). Studi internasional dalam bidang membaca pada anak-anak
di seluruh dunia yang disponsori oleh The International Association for the
Evaluation Achievement (2008) ini, menunjukkan bahwa rata-rata keterampilan
membaca siswa SD di Indonesia berada di urutan 42 dari 45 negara di dunia yang
menjadi subjek penelitian.
Rendahnya keterampilan membaca bangsa Indonesia, relevan dengan
keterampilan membaca mahasiswa di Perguruan Tinggi (baca: calon ilmuwan),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
demikian juga para siswa SD, SMP, maupun SMA. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa rendahnya keterampilan membaca ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain lemahnya motivasi siswa, kurangnya koordinasi antarpengajar, dan terutama
kurang adanya analisis kebutuhan siswa dalam penyusunan materi pembelajaran
membaca (A. Chaedar Alwasilah, 2000: 677). Kemampuan siswa untuk memahami
aspek kebahasaan sebenarnya cukup baik, namun apabila diminta untuk
mengaplikasikan pemahaman membaca, para siswa ini malas menjalankan dan
mengalami kesulitan. Senada dengan kenyataan ini, Muljanto Sumardi (2000: 787)
menyatakan bahwa waktu yang tersedia untuk pengajaran bahasa habis tersita untuk
menjelaskan dan menghafalkan kaidah-kaidah tata bahasa.
Memang benar bahwa keterampilan membaca masyarakat Indonesia berada di
bawah rata-rata keterampilan membaca bangsa-bangsa di dunia. Demikian juga
berbicara masalah pendidikan, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa hampir 80 %
siswa Indonesia yang diukur dengan test of international math and science memiliki
skor sangat rendah dan di bawah minimal. Akan tetapi, ini semua tidak berarti bangsa
kita tidak dapat dikembangkan atau bangsa kita tidak memiliki prestasi. Secara
sinkronis, apabila dibandingkan dengan negara-negara maju, hampir semua segi
kehidupan bangsa Indonesia, menunjukkan hasil yang rendah. Namun demikian,
apabila dilihat secara diakronis, perkembangan (peningkatan) kualitas bangsa
Indonesia cukup membanggakan, saat republik ini didirikan lebih dari 95 %
penduduknya buta huruf. Bayangkan, puluhan juta manusia Indonesia sanggup
memanggul senjata, sanggup mendorong revolusi, tetapi tidak bisa menulis dan
membaca nama sendiri. Bangsa Indonesia buta huruf secara kolosal. Namun, hari ini
rakyat Indonesia yang buta huruf tinggal sekitar 8 persen, dan ini mayoritas adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
penduduk lanjut usia. Ini berarti bangsa Indonesia memiliki peluang berkembang dan
meningkat secara baik apabila terus berusaha, karena bangsa ini memiliki persyaratan
untuk berkembang (Iskandarwassid dan Sunendar, 2009:243)
Usaha untuk meningkatkan kualitas bangsa melalui dunia pendidikan umumnya
dan keterampilan membaca khususnya terus dilakukan oleh pemerintah, baik melalui
perbaikan kurikulum secara berkelanjutan, Sekolah Standar Nasional, Rintisan
Sekolah Berstandar Internasional, sampai pada peningkatan kualitas guru (UU no. 20
Tahun 2003 pasal 50). Usaha meningkatkan kualitas guru agar menjadi guru yang
profesional menjadi mantap dengan ditetapkan UU no. 14 Tahun 2005 tentang
kualifikasi dan kompetensi guru. Banyak kegiatan juga dilaksanakan antara lain
adalah pelatihan-pelatihan, penataran-penataran metodologi pembelajaran, diklat-
diklat, maupun memberi kesempatan kepada guru untuk mengikuti studi lanjut.
Namun demikian, sampai dewasa ini kualitas proses dan hasil pendidikan belum
sesuai dengan harapan.
Kondisi yang demikian disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1)
pendidikan diselenggarakan untuk kepentingan penyelenggara bukan untuk siswa dan
(2) pembelajaran yang diselenggarakan bersifat pemindahan isi (Depdiknas, 2008: 5).
Selaras dengan ini Bambang Yulianto (2009: 1) secara khusus menyebutkan bahwa
salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah belum efektifnya
proses pembelajaran di sekolah. Berkait dengan proses pembelajaran ini, Mackey
(1996:18) menyatakan bahwa dalam program pembelajaran dibutuhkan model
pembelajaran yang sesuai, masalah seleksi materi, gradasi materi, dan repetisi. Hal ini
selaras dengan pernyataan Ruszkiewicz (1986: 80), bahwa sasaran pembelajaran
keterampilan membaca siswa seyogyanya dimulai dari yang menyenangkan, misalnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
cerita, biografi orang-orang sukses, dan berkembang menuju yang lebih ilmiah, yaitu
esai, jurnal, makalah ilmiah, dan hasil karya ilmiah lainnya. Bahan bacaan yang
dipilih untuk program keterampilan membaca sebaiknya memenuhi kebutuhan siswa,
selera, dan kepentingan mereka sehingga memberi energi dan motivasi mereka untuk
membaca buku. Ini salah satunya dapat diawali melalui penggunaan bahan bacaan
yang akrab dan judul yang populer yang mencerminkan budaya lokal tempat siswa
berada (Bell & Campel, 1997: 88). Hal inilah yang dapat mengembangkan potensi
siswa ke masa depan.
Sehubungan dengan kondisi di atas, perlu dilakukan eksperimen dalam proses
pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran kooperatif.
Sebagaimana dinyatakan oleh Ormord (2008), pembelajaran kooperatif sangat baik
untuk meningkatkan keterampilan membaca pemahaman. Model pembelajaran
kooperatif ini dikembangkan khususnya bagi siswa SD karena memberikan motivasi
dan harapan kepada siswa dengan memberikan pembelajaran yang menyenangkan,
mengulang-ulang, dan sesuai kebutuhan . Di samping itu, bagi anak usia ini peran
kelompok sebaya sangat berarti. Ia sangat mendambakan penerimaan oleh
kelompoknya. Baik dalam penampilan perilaku ataupun dalam ungkapan diri,
terutama bahasa, ia cenderung meniru kelompok sebayanya (Iskandarwassid dan
Sunendar, 2009: 140). Keadaan ini sangat selaras dengan nafas model pembelajaran
kooperatif yang dasar pijakannya mengutamakan kerja sama dalam pembelajarannya.
Model pembelajaran kooperatif memiliki dasar filosofis bekerja sama akan
menghasilkan energi kolektif yang disebut sebagai sinergi (sy-nergy). Sinergi ini akan
menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Dalam dunia pendidikan sinergi ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
diaplikasikan dalam komunitas pembelajaran (Johnson & Johnson 1994: 21; Slavin,
1995: 16; Joyce, 2009: 34).
Dipilihnya model pembelajaran kooperatif ini, juga didasari oleh pemikiran,
pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan penggunaan pembelajaran
kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan
keterampilan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri
sendiri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua, pembelajaran
kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan
masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan (Slavin, 1995: 23).
Ketiga, hasil penelitian Evi Febicahyanti Manepong (2009) menyatakan bahwa model
pembelajaran kooperatif (STAD) lebih efektif digunakan (dibandingkan model
pembelajaran tradisional) untuk meningkatkan keterampilan membaca pemahaman
cerita anak terjemahan. Demikian juga hasil penelitian Ameliana Sapitri (2006),
tentang penerapan metode pembelajaran kooperatif yang menunjukkan hasil lebih
baik dari metode pembelajaran konvensional dalam keterampilan membaca. Di
samping beberapa alasan di atas, National Reading Panel-USA (2000) yang
dilaksanakan di Rockville memberikan rekomendasi adanya tujuh strategi yang
efektif dalam meningkatkan keterampilan membaca pemahaman, satu di antaranya
adalah melalui model pembelajaran kooperatif (National Reading Panel, 2000: 4-5).
Model jenis ini, di negara-negara maju memang sudah menjadi salah satu ujung
tombak untuk mendongkrak peningkatktan hasil pembelajaran, khususnya
pembelajaran keterampilan membaca. Lebih dari seribu penelitian di negara-negara
maju telah membahas dampak dari model pembelajaran kerja sama (kooperatif),
kompetitif, dan individualistis. Dari jumlah tersebut, 82 persen telah diterbitkan sejak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
tahun 1960 sampai tahun 1989 (Johnson & Johnson, 1994:24). Secara keseluruhan
hasilnya kooperatif lebih menguntungkan. Demikian pula, Olson & Kagan (1992: 4)
menganalisis 46 studi penelitian terkontrol di sekolah dasar dan menengah, dari
jumlah penelitian tersebut, 63 persen di antaranya model pembelajaran kooperatif
menunjukkan hasil yang lebih baik daripada model pembelajaran tradisional.
Namun demikian, di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, model-
model pembelajaran jenis kooperatif ini relatif belum banyak (baca: sangat kecil
persentasenya) diterapkan di sekolah-sekolah, apalagi di Sekolah Dasar. Hasil
eksplorasi selama kurun waktu semester genap 2009/2010 di Sekolah Dasar di Jawa
Tengah menunjukkan bahwa mayoritas guru Sekolah Dasar masih banyak yang
menggunakan metode konvensional, dampaknya pembelajaran masih berpusat pada
guru sehingga hasil pembelajarannya kurang maksimal. Oleh karena itu, perlu
diupayakan pemasyarakatan dan pembudayaan model pembelajaran kooperatif untuk
pembelajaran keterampilan membaca di Sekolah-Sekolah Dasar yang pada dasarnya
sudah memiliki napas dasar (berniat) untuk meningkatkan pembelajarannya dengan
pilar PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Sementara
itu, karakteristik PAKEM memang menjadi salah satu landasan utama dalam model
pembelajaran kooperatif.
Di samping model pembelajaran kooperatif, dalam penelitian ini juga dibahas
kemampuan logika berbahasa. Hal ini dikarenakan keterampilan membaca tidak
mungkin terlepas dari kemampuan logika berbahasa. Logika berbahasa memegang
peran penting dalam keterampilan membaca, tidak sedikit orang pandai berbicara
tetapi alur pikirnya kurang fokus. Kelihatan panjang tetapi sebenarnya hanya
memiliki pesan yang sederhana. Sebaliknya beberapa orang singkat berbicara tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
terlalu sarat dengan pesan yang urgen sehingga mana pesan utama dan tambahan sulit
diidentifikasi. Ini menunjukkan kurangnya penggunaan bahasa yang sesuai logika
berbahasa yang benar (Gorys Keraf, 1991: 97). Pengajaran keterampilan membaca
harus memperhatikan kebiasaan cara berpikir teratur dan baik. Hal ini disebabkan
membaca sebagai proses yang sangat kompleks, dengan melibatkan semua proses
mental yang lebih tinggi, seperti ingatan, pemikiran, daya khayal, pengaturan,
penerapan, dan pemecahan masalah (Mackey, 1996 : 33). Kegiatan membaca bukan
hanya kegiatan yang melibatkan prediksi, pengecekan skema, atau dekoding, tetapi
juga merupakan interaksi grafofonik, sintaktik, semantik, dan skematik. Di samping
itu, dalam keterampilan membaca diharuskan keterlibatan pikiran pembaca di dalam
mencari arti dari teks yang dibaca. Teks bacaan biasanya menggunakan alur pikir
yang sistematis, dapat berupa berpikir deduktif, induktif, ataupun analogi (M.
Ramlan, 1993: 11). Ini berarti betapa berperannya logika berbahasa dalam
keterampilan membaca yang tentu saja berkaitan dengan teks yang dibaca. Demikian
juga Stauffer (1975: 102) menyatakan bahwa membaca adalah salah satu media yang
terbaik untuk mengembangkan teknik berpikir dan berimajinasi. Jadi membaca
mempunyai fungsi bernalar dan seni.
Berpijak dari kenyataan di atas, penelitian eksperimen ini dilaksanakan dalam
rangka menemukan pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif, khususnya
CIRC, Jigsaw, dan STAD terhadap keterampilan membaca bahasa Indonesia ditinjau
dari kemampuan logika berbahasa pada siswa Sekolah Dasar di Dinas Pendidikan
Nasional Provinsi Jawa Tengah. Dipilihnya siswa Sekolah Dasar sebagai subjek
penelitian disebabkan anak pada usia ini diindikasikan mempunyai keinginan yang
tinggi untuk memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan dasar yang dipandang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
sangat penting bagi persiapan dan penyesuaian diri terhadap kehidupan pada masa
dewasa. Anak diharapkan dapat membekali diri dengan mempelajari keterampilan-
keterampilan tertentu, yakni keterampilan membantu diri sendiri, keterampilan sosial,
keterampilan sekolah, dan keterampilan bermain (Iskandarwassid dan Sunendar,
2009:140).
Keterampilan membantu diri sendiri artinya pada masa ini anak-anak
diharapkan mampu membantu dirinya sendiri untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Apabila ada masalah, seoptimal mungkin berusaha untuk mampu
memecahkan masalahnya sendiri dan baru minta bantuan orang dewasa setelah
kesulitan mencari jalan keluarnya sehingga ia dapat berintegrasi dengan
lingkungannya. Keterampilan sosial memiliki makna bahwa pada masa ini, anak-anak
diharapkan mampu bersosialisasi, baik dengan teman sebayanya, anak usia di
bawahnya, maupun dengan orang dewasa. Dengan demikian, sosialisasinya akan
harmonis dan terjadi keseimbangan. Bekal keterampilan sekolah diharapkan dimiliki
para anak usia 6 sampai 12 tahun, karena pada masa ini tugas utama mereka adalah
menuntut ilmu di sekolah. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan yang berkait
dengan sekolah, yakni terampil mengikuti pelajaran, memiliki strategi cara menyerap
materi pelajaraan, terampil belajar dengan efektif dan efisien, terampil membagi
waktu, dan sebagainya yang berkaitan dengan pendidikan di sekolah. Di samping itu,
siswa juga dibekali dengan keterampilan bermain karena di samping menuntut ilmu,
mereka juga diharapkan terampil bermain untuk mengisi diri guna pertumbuhan dan
perkembangan dengan permainan yang selaras dengan usianya.
Keterampilan-keterampilan di atas, perlu diberikan mengingat anak usia ini
disebut juga masa intelektual, karena keterbukaan dan keinginan anak untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
mendapatkan pengetahuan dan pengalaman. Beberapa sifat khas anak pada usia ini
(Iskandarwassid dan Sunendar, 2009: 141) adalah berikut ini.
(1) jasmani tumbuh sejalan dengan prestasi sekolah, (2) sikap tunduk kepada peraturan permainan yang tradisional, (3) kecenderungan suka memuji diri sendiri, (4) suka membandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu menguntungkan, (5) kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting, (6) menghendaki nilai yang baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak, (7) minat kepada kehidupan praktis sehari-hari, (8) realistis dan ingin tahu, (9) menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal mata pelajaran-mata pelajaran khusus, (10) sampai kira-kira umur 11 tahun, anak membutuhkan pengajar atau orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya, dan (12) setelah umur 11 tahun umumnya anak-anak berusaha menyelesaikan tugasnya sendiri.
Penelitian ini mengambil subjek penelitian siswa Sekolah Dasar dikandung
maksud untuk mengembangkan secara optimal potensi siswa yang merupakan masa
intelektual, karena keterbukaan dan keinginannya untuk mendapatkan pengetahuan,
membentuk sikap, dan meningkatkan keterampilan, terutama yang berkaitan dengan
keterampilan membaca.
Mulai tahun 1999, Pemerintah Republik Indonesia melalui Mendiknas
mencanangkaan Sekolah Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (SD-MBS). Program
ini adalah program pemerintah Indonesia dalam rangka memperkuat kehidupan
berdemokrasi, khususnya dalam bidang pendidikan. Selanjutnya dicantumkan secara
jelas dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009 yang
menyatakan, bahwa salah satu tujuan jangka menengah pembangunan pendidikan
nasional adalah meningkatnya efektivitas dan efisiensi manajemen pelayanan
pendidikan melalui peningkatan pelayanan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah,
peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan, serta efektivitas pelaksanaan
otonomi dan desentralisasi pendidikan termasuk otonomi keilmuan (Depdiknas,
2008:i). Tujuan program MBS adalah meningkatkan mutu pendidikan yang diterima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
anak-anak melalui manajemen proses pembelajaran yang berupa peningkatan dalam
pengelolaan pendidikan dan praktik-praktik pembelajaran. Melalui peningkatan mutu
proses perencanaan pembelajaran dan penganggaran di tingkat sekolah dengan
melibatkan sejumlah stakeholders, termasuk orang tua dan masyarakat sehingga
siswa akan mendapat manfaat penggunaan sumber-sumber yang lebih efektif.
Program MBS memiliki tiga pilar utama yaitu (1) konsep baru manajemen
berbasis sekolah, (2) peran serta masyarakat, dan (3) manajemen proses pembelajaran
melalui prinsip pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
(PAKEM) (Depdiknas, 2005: 6). Sekolah Dasar di seluruh Indonesia saat ini
diharapkan sudah menerapkan program manajemen berbasis sekolah. Berkait dengan
penelitian ini, pilar yang ketiga dari MBS yang menjadi dasar pijakan, yaitu
meningkatkan manajemen proses pembelajaran yang berupa menerapkan model
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan bagi peserta didik, khususnya siswa Sekolah Dasar.
Siswa ini menjadi subjek penelitian karena dengan semangat pilar ketiga program
manajemen berbasis sekolah, usaha peneliti untuk memasyarakatkan model
pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran keterampilan membaca di Sekolah
Dasar menjadi lebih terterima dan dapat berjalan secara optimal.
B. Identifikasi Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini. Membaca merupakan salah satu
keterampilan berbahasa yang sangat penting, terutama bagi para pelajar karena
jendela ilmu yang terutama adalah melalui membaca. Sementara itu, fakta
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia umumnya dan pelajar khususnya termasuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
memiliki tingkat kegemaran ataupun keterampilan membaca yang sangat rendah. Hal
ini ditandai dengan rendahnya keterampilan membaca serta budaya baca yang belum
tertanam dengan baik. Demikian juga keterampilan membaca penduduk Indonesia
berada pada urutan terakhir dari 27 negara yang diteliti. Lebih lanjut dikatakan bahwa
rata-rata keterampilan membaca siswa SD di Indonesia berada di urutan 42 dari 45
negara di dunia yang menjadi subjek penelitian. Rendahnya keterampilan membaca
siswa-siswa di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut
secara garis bersar dibedakan menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal antara lain (1) faktor kualitas lingkungan belajar, misalnya
fasilitas belajar, suasana belajar, ekonomi orang tua, pola asuh orang tua, teman
bermain; (2) faktor kualitas pembelajaran formal, misalnya materi ajar, guru,
kurikulum, orientasi pembelajaran, model pembelajaran.
Faktor internal antara lain (1) faktor fisiologis, misalnya neurologis, kesehatan
fisik, jenis kelamin; (2) faktor psikologis, misalnya sikap berbahasa, minat berbahasa,
kebiasaan berbahasa; (3) faktor intelektual, misalnya tingkat kecerdasan, penalaran
umum, kemampuan logika berbahasa.
Masalah-masalah tersebut perlu dianalisis secara cermat dan mendalam
sehingga ditemukan aspek-aspek pokok yang dapat memengaruhi keterampilan
membaca, khususnya keterampilan membaca bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar.
Berkait dengan hal tersebut, dapat dipilih beberapa faktor yang sangat berpengaruh
terhadap keterampilan membaca, yaitu model pembelajaran dalam keterampilan
membaca, khususnya model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika
berbahasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
C. Batasan Masalah
Penelitian eksperimen ini dibatasi pada pengaruh model pembelajaran
kooperatif terhadap keterampilan membaca bahasa Indonesia ditinjau dari
kemampuan logika berbahasa. Berkaitan dengan model pembelajaran kooperatif,
minimal ada 16 jenis yang diterapkan di dunia pendidikan (Slavin, 1995: 4-5; Anita
Lie, 2008: 23; Johnson, et al, 2000; Joyce, 2009: 5-17; Agus Suprijono, 2009: 89).
Namun, dalam penelitian ini dieksperimenkan tiga jenis model pembelajaran
kooperatif yang sangat berpengaruh dan dalam pembelajarannya telah terbukti dapat
meningkatkan keterampilan membaca, yaitu: Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) (Stevens & Slavin, 1986:123-135; Hertz, 1993), Jigsaw II
(Aronson, 1978; Mattingly, 1991) dan Student Teams Achievement Division (STAD)
(Frantz, 1979; Slavin, 1978: 39-49), peneliti tidak membandingkan ketiga model
eksperimen ini dengan kontrol (model konvensional), karena beberapa penelitian
sebelumnya (Slavin, 1995; Ameliana Sapitri, 2006; Evi Febicahyanti Manepong,
2009; National Reading Panel-USA, 2000), telah menunjukkan bahwa model
pembelajaran kooperatif lebih efektif digunakan dalam pembelajaran keterampilan
membaca dibandingkan dengan model konvensional. Jadi, peneliti hanya
membandingkan ketiga model tersebut satu dengan yang lainnya. Sementara itu,
kemampuan logika berbahasa dibedakan menjadi dua, yaitu kemampuan logika
berbahasa yang tinggi dan kemampuan logika berbahasa yang rendah. Keterampilan
membaca yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keterampilan dalam aspek
pemahaman membaca yang meliputi pengenalan kata, membaca literal, membaca
interpretatif, membaca kritis, dan membaca kreatif.
Berpijak dari uraian di atas, masalah penelitian ini dibatasi pada:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
1. Variabel bebas pertama yang merupakan variabel eksperimental ialah model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC, model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw,
dan model pembelajaran kooperatif jenis STAD.
2. Variabel bebas kedua yang merupakan variabel atributif ialah kemampuan logika
berbahasa siswa.
3. Variabel terikat ialah keterampilan membaca siswa.
D. Rumusan Masalah
Pokok bahasan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pengaruh model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD terhadap keterampilan
membaca bahasa Indonesia ditinjau dari kemampuan logika berbahasa bagi siswa
Sekolah Dasar di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Tengah.
Masalah pokok yang dirumuskan adalah berikut ini.
1. Apakah ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok
siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis: CIRC, Jigsaw,
dan STAD?
2. Apakah ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok
siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan yang memiliki
kemampuan logika berbahasa rendah?
3. Apakah ada interaksi antara penggunaan jenis model pembelajaran kooperatif dan
kemampuan logika berbahasa dalam memengaruhi keterampilan membaca?
E. Tujuan Penelitian
Berpijak dari rumusan masalah, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
1. Menemukan perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok
siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis: CIRC, Jigsaw,
dan STAD.
2. Menemukan perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok
siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan yang memiliki
kemampuan logika berbahasa rendah.
3. Menemukan interaksi antara penggunaan ketiga jenis model pembelajaran
kooperatif dan kemampuan logika berbahasa dalam memengaruhi keterampilan
membaca.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini menemukan pengaruh model pembelajaran kooperatif jenis
CIRC, Jigsaw, dan STAD terhadap keterampilan membaca bahasa Indonesia siswa
ditinjau dari kemampuan logika berbahasa. Penelitian ini juga telah diuji
keefektifannya di lapangan. Oleh karena itu, selanjutnya perlu dikembangkan secara
masif model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD yang
disesuaikan dengan tingkat kemampuan logika berbahasa dalam rangka
meningkatkan keterampilan membaca bahasa Indonesia siswa SD di wilayah Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah khususnya dan SD di seluruh
Indonesia pada umumnya. Jadi manfaat secara langsung penelitian adalah berikut ini.
1. Manfaat secara teoretis
a. Sebagai input yang memberikan tambahan khazanah ilmu tentang model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD sebagai model
pembelajaran yang berprinsip PAKEM seperti yang diungkap dalam
beberapa jurnal ilmiah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
b. Sebagai data tambahan dalam rangka melengkapi contoh-contoh model
pembelajaran yang berorientasi pada kerja sama yang saling
menguntungkan dengan teori yang mudah dipahami.
2. Manfaat secara praktis
a. Bagi guru, sebagai pertimbangan dalam mengupayakan penggunaan
model pembelajaran yang menciptakan suasana yang nyaman dan
menyenangkan dengan melalui pengambilan model pembelajaran yang
tepat.
b. Bagi sekolah, membantu usaha sekolah dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan bagi siswa dan sekolah pada umumnya dengan cara
penerapan model pembelajaran yang berprinsip PAKEM ini.
c. Bagi pengambil kebijakan, ikut mendukung program pemerintah melalui
program MBS, yang salah satu pilarnya adalah manajemen proses
pembelajaran. Dukungan itu berupa penggunaan model pembelajaran yang
berprinsip aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan melalui penerapan
model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR,
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kajian Teori
1. Hakikat Keterampilan Membaca
Orientasi di dalam pembelajaran bahasa pada dasarnya ialah empat
keterampilan berbahasa. Apabila keempat keterampilan berbahasa ini dapat terkuasai
dengan memadai oleh seseorang, maka dianggap baiklah keterampilan berbahasa
seseorang itu. Keempat keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan menyimak,
keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Keempat
keterampilan ini saling berkait dan menunjang satu dengan yang lainnya.
Keempatnya merupakan keterampilan yang berbeda tetapi korelatif, tidak ada
keterampilan menyimak tanpa berbicara atau membaca, tidak ada keterampilan
berbicara tanpa menyimak, tidak ada keterampilan membaca tanpa menulis, tidak ada
keterampilan menulis tanpa membaca, dan sebagainya. Demikianlah keempatnya
saling erat berkait. Namun demikian, untuk memudahkan pembelajarannya,
keempatnya perlu didalami secara mandiri (tentu tidak dapat lepas sama sekali). Ini
dilakukan semata-mata untuk memudahkan pendalaman pembelajarannya.
Sebagai salah satu keterampilan berbahasa, keterampilan membaca
merupakan suatu keterampilan yang sangat unik dan sebagai alat komunikasi yang
utama bagi kehidupan manusia, serta sangat berperan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan alam (Iskandarwassid dan Sunendar, 2009: 245). Dikatakan unik karena
tidak semua manusia, walaupun telah memiliki keterampilan membaca, mampu
mengembangkannya menjadi alat untuk memberdayakan dirinya atau bahkan
18
18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
menjadikannya budaya bagi dirinya. Dikatakan alat komunikasi yang utama karena
membaca merupakan media komunikasi yang efektif dan efisien. Demikian pula
disebut sangat berperan bagi pengembangan ilmu pengetahuan alam, karena
persentase transfer ilmu pengetahuan terbanyak dilakukan melalui membaca.
Di samping itu, keterampilan membaca bukanlah suatu keterampilan yang
sederhana seperti yang diperkirakan banyak pihak. Keterampilan membaca bukan
hanya kegiatan yang terlihat kasat mata, melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor
baik dari luar maupun dari dalam diri pembaca. Keterampilan membaca merupakan
kegiatan yang kompleks sehingga membutuhkan banyak faktor untuk
menjalankannya. Membaca pada hakikatnya bukan sekadar melafalkan tulisan, tetapi
juga melibatkan banyak hal, antara lain aktivitas visual, berpikir psikolinguistik, dan
metakognitif (Farida Rahim, 2003:7). Keterampilan membaca juga ditentukan
kemampuan pembaca dalam kesadaran fonemik, ilmu pengetahuan secara umum,
kelancaran, kosa kata, dan pemahaman teks (Mellard, Fall, & Woods, 2010: 155).
a. Pengertian Membaca
Dalam keterampilan membaca, terdapat aneka ragam batasan tentang membaca.
Hal ini disebabkan kecenderungan para ahli bahasa dari segi mana meninjaunya.
Harimurti Kridalaksana (2009: 151) mengartikan membaca adalah menggali
informasi dari teks, baik dari yang berupa tulisan maupun dari gambar atau diagram,
maupun dari kombinasi itu semua. Membaca merupakan keterampilan mengenal dan
memahami bahasa tulisan dalam bentuk urutan lambang-lambang grafis dan
perubahannya menjadi wicara bermakna dalam bentuk pemahaman diam-diam atau
pengujaran keras-keras.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Crawley & Mountain (1995:8) mendefinisikaan membaca sebagai suatu
proses visual yang merupakan menerjemahkan simbol tulis ke dalam bunyi.
Membaca sebagai proses linguistik, skemata pembaca membantunya membangun
makna, sedangkan fonologis, semantik, dan fitur sintaksis membantunya
mengomunikasikan dan menginterpretasikan pesan-pesan.
Kirby (2007:1) mendefinisikan membaca adalah proses seseorang
memahami teks yang dibaca, dengan tujuan apa, mengapa diajarkannya, dan mengapa
peduli dengan hal tersebut.
Klein, Peterson, & Semingston (1991: 22) mengemukakan bahwa membaca
mencakupi (1) membaca merupakan suatu proses, (2) membaca adalah suatu
strategis, dan (3) membaca merupakan interaktif. Membaca merupakan suatu proses,
dimaksudkan informasi dari teks dan pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca
mempunyai peranan yang utama dalam membentuk makna. Membaca adalah suatu
strategis, mengandung makna keefektifan membaca ditentukan oleh penggunaan
berbagai strategi membaca yang sesuai dengan teks dan konteks dalam rangka
mengkontruksi makna ketika membaca. Strategi ini bervariasi sesuai dengan jenis
teks dan tujuan membaca. Sedangkan membaca merupakan interaktif mengandung
makna keterlibatan pembaca dengan teks tergantung pada konteks. Orang yang
senang membaca suatu teks yang bermanfaat akan menemui beberapa tujuan yang
ingin dicapainya, teks yang dibaca seseorang harus mudah dipahami sehingga terjadi
interaksi antara pembaca dan teks.
Ahli lain, mengartikan membaca merupakan kegiatan untuk mendapatkan
makna dari apa yang tertulis dalam teks (Iskandarwassid dan Sunendar, 2009: 146).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Untuk keperluan tersebut, selain perlu mengusai bahasa yang dipergunakan, seorang
pembaca perlu juga mengaktifkan berbagai proses mental dalam sistem kognisinya.
Di samping itu, membaca diartikan suatu cara untuk mendapatkan informasi
yang disampaikan secara verbal dan merupakan hasil ramuan pendapat, gagasan,
teori-teori, hasil penelitian para ahli untuk diketahui dan menjadi pengetahuan siswa
(Lei, Rhinehart & Howard, 2006: 106). Membaca memerlukan keterampilan dan
pembiasaan, karena membaca merupakan pekerjaan yang berat dan melibatkan
beberapa sikap.
Secara umum pada dasarnya membaca mencakupi dua aspek, yakni aspek
mekanik dan aspek pemahaman. Aspek mekanik atau visual berkaitan dengan
kemahiran membaca dalam menggerakkan dan memanfaat organ wicara lainnya pada
waktu membaca. Sedangkan aspek pemahaman berhubungan dengan kemahiran
pembaca dalam menangkap isi bacaan yang dibaca. Pemahaman terhadap bacaan
lebih diutamakan. Namun, dari kedua aspek membaca tersebut, aspek pemahaman
lebih diutamakan. Ini selaras dengan apa yang dikatakan Durkin (1993) bahwa
pemahaman membaca adalah esensi dalam keterampilan membaca untuk dapat
mempelajari masa depan, untuk mendesain kegiatan, membuat strategi, dan juga
pemahaman membaca merupakan cermin dari kemampuan subjek.
Batasan yang disampaikan Harimurti Kridalaksana sebenarnya mencakupi
kedua aspek tersebut, hanya saja batasan ini masih bersifat umum sehingga belum
aplikatif dan masih membutuhkan indikator-indikator penjelasnya. Crawley &
Mountain memberikan batasan membaca yang meliputi dua aspek, yaitu mekanik dan
pemahaman. Sementara itu, Kirby memaknai membaca hanya ditinjau dari
pemahaman saja tetapi dilengkapi dengan penjelasan apa tujuan membaca itu,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
mengapa harus mengajarkan membaca, dan mengapa seseorang memiliki kepedulian
dengan membaca. Jadi Kirby menjelaskan tentang membaca dan hal-hal yang
berkaitan dengannya. Sedangkan Klein, Iskandarwassid, dan Lei, Rhinehart &
Howard memaknai membaca lebih pada aspek pemahaman dengan indikator-
indikatornya.
b. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Membaca
Beberapa faktor yang memengaruhi keterampilan membaca adalah faktor
fisiologis, faktor intelektual, faktor lingkungan, dan faktor psikologis (Lamp dan
Richard, 1976:136).
Faktor fisiologis meliputi kesehatan fisik (gangguan alat bicara, alat pendengaran,
alat pendengaran, kelelahan, dan sebagainya), pertimbangan neurologis (berbagai
cacat otak dan syaraf untuk membaca), dan jenis kelamin (laki-laki dan wanita
memiliki karakteristik yang berbeda). Gangguan alat bicara, alat pendengaran, dan
alat penglihatan dapat menghambat kemajuan belajar membaca anak. Analisis bunyi,
misalnya sukar bagi anak yang memiliki masalah pada alat bicara. Huruf yang kecil
atau kurang jelas, susah dibaca oleh anak yang mengalami gangguan mata. Gangguan
pendengaran dapat mengganggu siswa dalam membedakan bunyi-bunyi yang
homorgan (b, p, w).
Faktor intelektual atau intelegensi didefinisikan sebagai suatu kegiatan berpikir
yang terdiri atas pemahaman yang esensial tentang situasi yang diberikan dan
meresponnya secara tepat. Intelegensi juga merupakan kemampuan global individu
untuk bertindak sesuai dengan tujuan, berpikir rasional, dan berbuat secara efektif
terhadap lingkungan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Faktor lingkungan ini mencakupi latar belakang dan pengalaman siswa di
rumah dan sosial ekonomi keluarga siswa. Kondisi rumah sangat mempengaruhi
pribadi dan penyesuaian diri anak dalam masyarakat. Kondisi ini pada gilirannya
akan dapat membantu atau menghalangi anak dalam belajar membaca. Anak-anak
yang tinggal di rumah yang rumah tangganya harmonis, rumah yang penuh dengan
cinta kasih, rumah yang orang tuanya memahami anak-anaknya, akan sangat
membatu keterampilan membacanya. Faktor sosial ekonomi juga sangat
mempengaruhi membaca. Anak-anak yang mendapatkan fasilitas yang buku, surat
kabar, majalah yang memadai akan lebih cepat terampil membaca. Anak-anak yang
di rumahnya mendapatkan banyak kesempatan membaca, dalam lingkungan yang
penuh dengan bahan bacaan yang beragam akan mempunyai keterampilan membaca
yang tinggi (Crawley & Mountain, 1995:112).
Faktor psikologis mencakupi motivasi, minat, dan kematangan sosial, emosi,
dan penyesuaian diri. Motivasi termasuk faktor kunci di dalam keterampilan
membaca. Anak yang memiliki motivasi yang tinggi akan sangat berhasil dalam
membaca, karena dengan motivasi tinggi mereka akan senang dan menikmati
membaca. Oleh karena itu, tugas guru haruslah memberikan motivasi yang tinggi
kepada siswa. Minat adalah keinginan yang kuat dengan disertai usaha-usaha. Anak
yang minatnya kuat akan berusaha untuk mewujudkan dan menyediakan bahan
bacaan untuk kepentingan membacanya. Kematangan sosial, emosi, dan penyesuaian
diri diperlukan dalam membaca. Oleh karena dengan ketiganya, anak tidak akan
mudah putus asa, dapat mengatur ritma membaca, dan dapat memilih bahan bacaan
yang sesuai dengan perkembangan dirinya. Apabila menghadapi suatu masalah, anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
ini akan berusaha memecahkan masalah sesuai kemampuannya atau berusaha
bertanya pada orang dewasa yang mengetahui (guru misalnya).
c. Keterampilan Membaca Pemahaman
Secara umum kegiatan membaca terdiri atas dua komponen, yaitu proses
membaca dan produk membaca (Burns, Betty & Ross, 1996: 7). Proses membaca
terdiri atas tiga komponen dasar yaitu recording, decoding, dan meaning yang dapat
diurai menjadi sembilan aspek, yaitu sensori, perseptual, urutan, pengalaman, pikiran,
pembelajaran, asosiasi, sikap, dan gagasan. Kesembilan aspek ini saling berkait dan
mendukung untuk membentuk proses membaca yang selaras.
Kegiatan sensori adalah pengungkapan simbol-simbol grafis yang digunakan
untuk merepresentasikan bahasa lisan melalui indra penglihatan. Kegiatan perseptual
merupakan aktivitas mengenal suatu kata sampai pada suatu makna berdasarkan
pengalaman masa lalu. Ketika orang membaca, otak menerima gambaran kata-kata
kemudian mengungkapkannya berdasarkan pengalaman pembaca sebelumnya dengan
objek, gagasan, atau emosi. Aspek urutan dalam proses membaca merupakan
kegiatan mengikuti rangkaian tulisan yang tersusun secara linear, yang umumnya
tampil pada suatu halaman dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Pengalaman
sangat berperan dalam kegiatan membaca. Anak-anak yang mempunyai banyak
pengalaman akan memiliki kesempatan yang lebih luas dalam mengembangkan
pemahaman kosa kata dan konsep yang mereka hadapi dalam membaca dibandingkan
dengan anak-anak yang pengalamannya terbatas. Membaca merupakan proses
berpikir. Pembaca terlebih dahulu memahami kata-kata dan kalimat yang dihadapi
melalui proses asosiasi dan eksperimen, kemudian membuat simpulan dengan
menghubungkan isi preposisi yang terdapat dalam bacaan. Untuk itulah pembaca
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
harus berpikir sistematis, logis, dan kreatif. Pembelajaran dalam membaca
merupakan suatu keniscayaan. Guru dapat membimbing siswa-siswanya dalam
pembelajaran membaca. Melalui pembelajaran membaca sejak usia dini diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak. Mengenal hubungan antara simbol
dengan bunyi bahasa dan makna merupakan aspek asosiasi dalam membaca. Anak-
anak menghubungkan simbol-simbol grafis dengan bunyi bahasa dan makna, tanpa
kedua kemampuan asosiasi ini, siswa tidak akan dapat memahami teks. Aspek sikap
berkenaan dengan perhatian, kegemaran, maupun motivasi. Hal-hal tersebut
diperlukan dalam membaca karena akan meningkatkan kemampuan membaca siswa.
Aspek kesembilan adalah gagasan, yaitu penggunaan sensori dan perseptual dengan
latar belakang pengalaman dan tanggapan afektif serta membangun makna teks yang
dibacanya secara pribadi. Pembaca dengan latar belakang pengalaman yang berbeda
dan reaksi afektif yang berbeda akan menghasilkan makna yang berbeda walaupun
membaca teks yang sama.
Produk membaca merupakan komunikasi dari pemikiran dan emosi antara
penulis dan pembaca. Komunikasi dapat terjadi dari konstruksi pembaca melalui
integrasi pengetahuan yang telah dimiliki pembaca dengan informasi yang disajikan
dalam teks, dengan demikian terjalinnya kesamaan pikiran antara penulis teks dan
pembaca adalah sebuah keniscayaan (Bell, 1998: 99). Hal selaras juga ditegaskan
oleh Nunan (1991: 65-66) bahwa dalam proses membaca sangat dilibatkan eksploitasi
pengetahuan latar belakang, pengetahuan tersebut dianggap sebagai penyedia
platform dalam membaca untuk memprediksi isi teks berdasarkan skema yang sudah
ada sebelumnya. Ketika siswa membaca, skema ini diaktifkan dan membantu
pembaca untuk memecahkan dan menafsirkan pesan di luar kata-kata yang tercetak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Proses ini mengandaikan bahwa pembaca memprediksi, mengambil sampel,
hipotesis, dan mereorganisasi pemahaman mereka tentang pesan tersebut seperti yang
diungkapkan saat membaca. Berkaitan dengan membaca pemahaman, para ahli
memberi beberapa cakupan keterampilan dalam membaca pemahaman. Crawley &
Mountain (1995: 14) mengatakan sebagai suatu proses berpikir, membaca mencakupi
aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan
pemahaman kreatif. Nurhadi (2004: 57) menyatakan bahwa pemahaman dalam
membaca berhubungan dengan kemahiran pembaca dalam menangkap isi bacaan,
yaitu kemampuan membaca literal, membaca kritis, dan membaca kreatif. Ahli lain,
menyatakan bahwa membaca sebagai sesuatu yang merujuk pada proses memahami
makna, proses memahami ini melalui berbagai tingkat, mulai dari tingkat literal
sampai pada pemahaman interpretatif, kreatif, dan evaluatif (Imam Syafei, 1999: 22).
d. Tujuan Keterampilan Membaca Pemahaman
Kegiatan membaca pemahaman hendaknya mempunyai tujuan yang jelas.
Setiap orang membaca memiliki tujuan yang berbeda-beda. Seseorang yang membaca
dengan tujuan yang pasti cenderung lebih mudah memahami bacaan dibandingkan
dengan orang yang membaca tanpa tujuan (Berardo, 2006: 60). Membaca merupakan
salah satu kegiatan yang termasuk dalam penguasaan bahasa secara pasif. Secara
umum tujuan membaca ialah menangkap isi bahasa yang tertulis dengan tepat dan
teratur. Menangkap bahasa yang tertulis yang dimaksudkan adalah memahami isi
bacaan yang merupakan buah pikiran penulisnya. Dengan membaca, pembaca dapat
memahami idea yang dituliskan oleh penulis dengan tepat dan teratur. Membaca ialah
menangkap pikiran dan perasaan orang lain dengan perantaraan tulisan. Kemampuan
membaca sangat diperlukan seseorang untuk memperluas pengetahuan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
pengalaman, mempertinggi daya pikir, mempertajam penalaran, untuk mencapai
tujuan, dan meningkatkan diri (Slamet, 2008:58).
Dalam pembelajaran membaca, guru harus menyusun tujuan membaca dengan
menentukan tujuan khusus yang sesuai dengan kepentingan membaca atau membantu
siswa menyusun tujuan membacanya sendiri. Blanton, dkk. (dalam Burns, Betty &
Ross, 1996 : 36-38) menjelaskan membaca bertujuan: (1) membaca untuk kesenangan
atau rekreasi, (2) untuk menyempurnakan membaca nyaring, (3) menggunakan
strategi tertentu, (4) memperbarui pengetahuan tentang suatu topik, (5) mengaitkan
informasi baru dengan informasi yang telah diketahuinya, (6) memperoleh informasi
untuk laporan lisan atau tertulis, (7) mengkonfirmasikan atau menolak prediksi, (8)
menampilkan suatu eksperimen atau mengaplikasikan informasi yang diperoleh dari
suatu teks dalam beberapa cara lain dan mempelajari tentang struktur teks, dan (9)
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik.
Sementara itu, Grabe & Stoller (2002: 13) menyatakan tujuan membaca
meliputi tujuh jenis, yaitu (1) menemukan informasi sederhana, (2) sepintas dan
cepat, (3) mempelajari isi teks, (4) mengintegrasikan infomasi, (5) menemukan
informasi untuk kepentingan menulis, (6) mengkritisi teks, dan (7) memperoleh
pemahaman secara umum.
Berpijak dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan membaca
adalah untuk: (1) kesenangan atau rekreasi, (2) menyempurnakan membaca nyaring,
(3) menemukan informasi sederhana, (4) mempelajari isi teks, (5) mengintegrasikan
informasi, (6) menemukan informasi untuk kepentingan menulis/membuat laporan,
(7) mengonfirmasikan, menolak prediksi atau mengkritisi teks, (8) memperoleh
pemahaman teks secara menyeluruh, (9) menampilkan suatu eksperimen atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
mengaplikasikan informasi yang diperoleh dari suatu teks, dan (10) menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang spesifik yang ada kaitannya dengan teks.
e. Jenis Keterampilan Membaca Pemahaman
Para ahli memberi beberapa cakupan keterampilan dalam membaca
pemahaman. Keterampilan membaca adalah suatu proses berpikir, membaca
mencakupi aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca
kritis, dan pemahaman kreatif (Crawley & Mountain, 1995:14). Sementara itu,
Nurhadi (2004:57) menyatakan bahwa pemahaman dalam membaca berhubungan
dengan kemahiran pembaca dalam menangkap isi bacaan, yaitu kemampuan
membaca literal, membaca kritis, dan membaca kreatif. Ahli lain, menyatakan bahwa
membaca sebagai sesuatu yang merujuk pada proses memahami makna, proses
memahami ini melalui berbagai tingkat, mulai dari tingkat literal sampai pada
pemahaman interpretatif, kreatif, dan evaluatif (Imam Syafei, 1999: 22).
Brown (2004:189) menyatakan membaca pemahaman meliputi beberapa jenis,
yaitu membaca perseptif, membaca selektif, membaca interaktif, dan membaca
ekstensif. Sementara itu, Leak (2005:7-10) membagi keterampilan membaca menjadi
lima tingkatan, yakni membaca pengenalan, membaca seleksi, membaca interpretatif,
membaca kritis, dan membaca kreatif.
Berpijak dari beberapa batasan di atas, dapat ditarik suatu simpulan bahwa
keterampilan membaca pemahaman pada hakikatnya mencakupi lima jenis
pemahaman, yakni pengenalan kata, pemahaman literal, interpretatif (evaluatif),
membaca kritis, dan membaca kreatif.
Keterampilan pengenalan kata adalah keterampilan pembaca untuk mengenal
bahan bacaan yang tertera secara tersurat. Pembaca hanya menangkap informasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
tercetak dengan jelas dalam bacaan yaitu merujuk kata dan kalimat dalam wacana
yang kemudian mengingatnya dalam pikiran. Pengenalan kata bisa berupa aktivitas
membaca kata-kata dengan menggunakan kamus (Crawley & Mountain, 1995:31).
Guru dapat meminta siswa untuk menebak makna kata-kata baru yang ditemui dalam
sebuah teks berdasarkan petunjuk teks dan pengalaman masa lalu. Siswa diminta
mengaitkan kosa kata yang telah dikuasai dengan kosa kata yang baru diperoleh.
Keterampilan membaca literal adalah keterampilan pembaca untuk
menangkap dan memahami bahan bacaan yang tertera secara eksplisit. Eksplisit
artinya pembaca hanya menangkap informasi yang tercetak secara tampak jelas dalam
bacaan. Ciri keterampilan membaca ini adalah tidak melibatkan berpikir kritis, hanya
menerima apa adanya dan mengasosiasikan kembali apa yang dikatakan penulis,
bersifat pasif, pemahaman hanya pada aspek yang tersurat, hanya menjawab
pertanyaan: apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana seperti disampaikan
pengarang (Nurhadi, 2004:57- 58).
Keterampilan membaca interpretatif adalah keterampilan pembaca untuk
menangkap dan memahami bahan bacaan yang tersirat. Mengharuskan siswa untuk
mengembangkan pemahaman yang lebih lengkap, menjelaskan pentingnya sesuatu
itu, dan melengkapi konsep yang disampaikan (Leak, 2005: 7). Pemahaman ini
diperoleh melalui kesan, pendapat, dan pandangan yang berhubungan dengan adanya
tafsiran. Siswa diminta mengapresiasi teks dengan reseptif, sesuai dengan penafsiran
masing-masing asal logis dan memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pembaca didorong untuk bertanya pada diri sendiri mengapa fakta-fakta yang
disajikan dalam teks masuk akal (Pressley, 2001: 5; Imam Syafei, 1999: 36).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Keterampilan membaca kritis adalah keterampilan pembaca mengolah bahan
bacaan secara kritis untuk menemukan keseluruhan makna bacaan, baik makna yang
tersurat maupun yang tersirat. Siswa diminta berdiri di luar objek bacaan agar berlaku
objektif untuk melihat proses, membandingkan, dan memahami dampak sesuatu itu
(Leak, 2005: 7). Kegiatan ini dilakukan melalui tahapan mengenal, memahami,
menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi. Karakteristik pembaca ini adalah
melibatkan keterampilan berpikir kritis, mencari kebenaran yang hakiki, terlibat
dengan permasalahan mengenai gagasan, mengolah bahan bacaan dan tidak hanya
mengingat saja, tetapi juga berusaha mengaplikasikannya (Nurhadi, 2004: 59-60).
Keterampilan membaca kreatif yaitu keterampilan membaca, yang tidak
hanya menangkap makna yang tersurat ataupun makna tersirat, lebih dari itu pembaca
juga mampu secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kepentingkan
sehari-hari. Indikator seseorang yang terampil membaca kreatif adalah terampil
menerapkan hasil membaca untuk kepentingan sehari-hari, terjadi perubahan sikap
dan tingkah laku setelah proses membaca selesai, hasil membaca berlaku dalam
waktu yang lama, dan terampil menilai secara kritis dan kreatif bahan bacaan serta
memberikan umpan balik (Crawley & Mountain, 1995:31; Farida Rahim, 2003:27).
f. Definisi Konseptual Keterampilan Membaca Pemahaman
Kata keterampilan diartikan sebagai kecakapan untuk menyelesaikan tugas.
Dalam kaitannya dengan keterampilan membaca yang esensial adalah membaca
pemahaman, maka dalam penelitian ini, keterampilan membaca yang dimaksud
adalah kecakapan seseorang untuk memakai bahasa dalam pikirannya untuk
menanggapi secara betul stimulus tulisan, memahami pola gramatikal dan kosa kata
secara tepat. Pemahaman yang dimaksud meliputi lima komponen, yaitu pengenalan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
kata, pemahaman literal, membaca interpretatif (evaluatif), membaca kritis, dan
membaca kreatif.
2. Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif
a. Pengertian Model Pembelajaran
Secara umum dikatakan bahwa model adalah gambaran mental yang
membantu memahami sesuatu yang tidak dapat dilihat atau pengalaman langsung
(Dorin, Demmin, dan Gabel dalam Mergel, 1998: 2). Sementara itu, Dilworth (1992,
74) mendefinisikan model sebagai representasi abstrak dari proses, sistem, atau
subsistem yang konkret. Model digunakan dalam seluruh aspek kehidupan. Model
bermanfaat dalam mendeskripsikan pilihan-pilihan dan dalam menganalisis tampilan
pilihan-pilihan tersebut.
Selaras dengan pengertian ini, model pembelajaran memiliki batasan yang
berbeda-beda sesuai dengan bidang ilmu atau pengetahuan yang mengadopsinya.
Salah satu definisi model dikemukakan Dewey (dalam Joyce, 2009: 14), model
pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang digunakan dalam penyusunan
kurikulum, mengatur materi siswa, dan memberi petunjuk kepada pengajar di dalam
kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya. Model pembelajaran adalah
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu dan berfungsi
sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran (Suryaman, 2004: 66).
Terdapat beberapa model pembelajaran yang berpijak dari paradigma berpikir
dalam pendidikan yang telah dikembangkan di dunia maju. Joyce (2009: 23-28)
mengelompokkan model pembelajaran ini minimal ada empat kelompok yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
mendasar, yaitu: (1) model pemrosesan informasi (information processing family
model), (2) model pribadi (personal family model), (3) model interaksi sosial (social
family model, dan (4) model sistem perilaku (behavioral system family model).
Sementara, ahli yang lain meyebutkan minimal ada tiga jenis model mendasar, yaitu :
competitive learning model, individual learning model, dan cooperative learning
model (Slavin, 1995: 4-5; Anita Lie, 2008: 23).
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan tujuan pembelajaran kompetitif
dan individualistis. Pembelajaran dalam situasi kooperatif adalah siswa bekerja satu
dengan lainnya dalam kelompok untuk mencapai tujuan yang hanya satu atau
beberapa tetapi secara bersama. Dampaknya mereka akan bekerja secara sungguh-
sungguh dan bekelompok, tidak terjadi persaingan negatif antarindividu tetapi justru
saling membantu, karena keberhasilan individu tergantung keberhasilan kelompok
bersama, demikian juga keberhasilan kelompok tergantung aktivitas individu.
Sedangkan dalam kompetitif terdapat saling ketergantungan antara prestasi dan tujuan
negatif, siswa merasa bahwa mereka dapat mencapai tujuan mereka jika dan hanya
jika siswa lain di kelas gagal untuk mendapatkan tujuan mereka. Dampaknya adalah
siswa bekerja sangat keras untuk berbuat lebih baik daripada teman-teman sekelas
mereka, atau mengambil jalan pintas untuk memenangkan persaingan agar memiliki
kesempatan untuk menang. Dalam situasi belajar individualis, siswa bekerja sendiri
untuk mencapai tujuan mereka dan tidak terkait dengan teman-teman satu kelas serta
dievaluasi berdasarkan kriteria-referensi. Pencapaian tujuan siswa adalah independen,
siswa menganggap bahwa pencapaian tujuaan belajar mereka tidak berhubungan
dengan apa yang dilakukan siswa lain. Dampaknya, siswa hanya fokus pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
kepentingan diri dan sukses pribadi serta mengabaikan relevansi keberhasilan dan
kegagalan orang lain (Johnson & Johnson, 1994:26).
Competitive learning model adalah pembelajaran yang berpijak dari paradigma
pola pikir kompetisi, menempatkan siswa belajar dalam suasana persaingan. Guru
sering memotivasi siswa untuk bersaing dengan memberikan imbalan dan ganjaran.
Konsep imbalan dan ganjaran yang berpijak dari teori behaviorisme ini mewarnai
penilaian dalam hasil belajar. Model pembelajaran inilah yang selama ini diterapkan
dalam dunia pendidikan di Indonesia, sehingga disebut model pembelajaran
tradisional.
Individual learning model berpijak dari pola pikir individual dengan ancangan
setiap anak didik belajar dengan kecepatan yang sesuai dengan kemampuan mereka
sendiri. Disiapkan paket dan bahan ajar yang memungkinkan anak belajar mandiri
dengan sedikit bantuan guru. Dalam pembelajaran ini, setiap anak didik tidak
bersaing dengan teman lainnya, kecuali bersaing dengan dirinya sendiri. Teman-
teman lain hampir dianggap tidak ada karena jarang ada interaksi antarsiswa di kelas.
Pola penilaian model ini berbeda dengan model kompetisi. Kalau dalam model
kompetisi penilaian dilakukan secara bertingkat dari yang paling tinggi sampai yang
paling rendah, dalam model individual ini penilaian atas dasar standar setiap individu
(Anita Lie, 2008: 26). Model pembelajaran ini secara nyata diterapkan dalam
pembelajaran di Universitas Terbuka.
Cooperative learning model mendasarkan diri pada kerja sama merupakan
kebutuhan yang sangat penting. Tanpa kerja sama tidak akan ada kegiatan yang
harmonis. Model pembelajaran ini belum banyak diterapkan di Indonesia, pada hal
model ini, sebenarnya sangat cocok diterapkan di Indonesia, mengingat nilai-nilai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
utama kebudayaan Indonesia yang kita banggakan yaitu gotong royong. Nilai-nilai ini
sangat relevan dengan model pembelajaran kooperatif yang mengutamakan kerja
sama. Model ini bercirikan kerja sama dalam kelompok, tetapi tidak semua kerja
kelompok disebut dengan model pembelajaran kooperatif. Kerja sama kelompok yang
termasuk model pembelajaran kooperatif mempunyai karakteristik: saling terjadi
ketergantungan positif antaranggota, tanggung jawab perorangan, kesempatan sukses
yang sama, terjadi komunikasi antaranggota, terdapat evaluasi dalam proses
kelompok (Slavin, 1995: 27).
Apapun jenis landasan paradigma berpikirnya, semua model mengandung
komponen berikut (Joyce, 2009: 135) : (1) orientasi model (model oriented), yaitu
fokus atau kerangka acuan yang menyangkut tujuan pengajaran dan aspek
lingkungan; (2) urutan kegiatan (syntax), yaitu tahapan tindakan model, (3) sistem
sosial (social system), yaitu norma (sikap, keterampilan, pengertian) yang
menyangkut hubungan antara guru dan siswa; (4) prinsip reaksi (priciple of reaction),
yaitu reaksi dalam pembelajaran; (5) sistem penunjang (support sytem), yaitu
intrumen pendukung bagi keberhasilan pembelajaran; dan (6) dampak instruksional
dan penyerta (instructional and nurturant effect). Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa
model pembelajaran pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Memiliki prosedur yang sistematis untuk memodifikasi perilaku siswa
berdasarkan asumsi-asumsi tertentu;
(2) Hasil belajar ditetapkan secara khusus dalam bentuk unjuk kerja yang dapat
diamati;
(3) Penetapan lingkungan secara khusus yang meliputi faktor-faktor pendukung
seperti silabus/RPP, media pembelajaran, dan lain sebagainya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
(4) Ukuran kriteria keberhasilan yang ditunjukkan dalam bentuk unjuk kerja siswa;
(5) Interaksi dengan lingkungan yang menetapkan bagaimana siswa melakukan
interaksi dan mereaksi dengan lingkungan (Abdul Aziz Wahab, 2006: 54-55).
Makna pentingnya model pembelajaran dikenali melalui fungsinya yang meliputi: (1)
pedoman menjelaskan apa yang harus dilakukan guru; (2) membantu
mengembangkan kurikulum; (3) menetapkan bahan-bahan pembelajaran; (4)
membantu perbaikan dalam mengajar (Chauhan, 1979: 201).
b. Model Pembelajaran Kooperatif
Dasar filosofis pembelajaran kooperatif ialah keyakinan bahwa bekerja sama
akan menghasilkan energi kolektif yang disebut sebagai sinergi (synergy). Sinergi ini
akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa Dalam dunia pendidikan sinergi ini
diaplikasikan dalam komunitas pembelajaran (Johnson & Johnson, 1994: 21; Slavin,
1995: 16; Joyce, 2009: 34).
Di samping dasar filosofis di atas, model pembelajaran kooperatif muncul karena
adanya suatu anggapan mengenai tabiat dasar manusia sebagai makhluk sosial dan
cara-cara mereka belajar. Model sosial menitikberatkan pada tabiat sosial manusia,
bagaimana manusia mempelajari tingkah laku sosial, dan bagaimana interaksi sosial
ini dapat meningkatkan hasil capaian pembelajaran. Oleh karena itu, tujuan utama
pendidikan yang ingin dicapai dalam model ini adalah untuk mempersiapkan warga
negara yang akan mengembangkan tingkah laku demokratis yang terpadu, baik dalam
tataran pribadi maupun dalam tataran sosial serta meningkatkan taraf kehidupan yang
berbasis demokrasi sosial yang produktif. Dalam aplikasinya model pembelajaran
kooperatif dilandasi tujuan-tujuan dan asumsi-asumsi sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
(1) Sinergi yang ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi
yang jauh lebih besar daripada dalam bentuk lingkungan kompetisi individual.
Kelompok-kelompok sosial integratif memiliki pengaruh yang lebih besar
daripada kelompok yang dibentuk secara berpasangan. Perasaan-perasaan saling
berhubungan (feelings of connectedness) menghasilkan energi yang positif.
(2) Anggota-anggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu dengan lainnya.
Setiap pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak daripada dalam
sebuah struktur pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antarsatu siswa
dengan siswa lainnya.
(3) Interaksi antaranggota akan menghasilkan aspek kognitif, semisal kompleksitas
(4) Kerja sama meningkatkan perasaan positif satu dengan lainnya, menghilangkan
penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan memberikan pandangan positif
terhadap orang lain.
(5) Kerja sama meningkatkan penghargaan diri, tidak hanya pembelajaran yang terus
berkembang tetapi juga melalui perasaan dihormati dan dihargai oleh orang lain
dalam sebuah lingkungan.
(6) Siswa yang mengalami dan menjalani tugas, merasa harus bekerja sama sehingga
dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bekerja sama secara produktif.
(7) Siswa dapat belajar dari beberapa latihan untuk meningkatkan kemampuan
mereka untuk bekerja sama (Joyce, 2009: 302)
Berpijak dari asumsi-asumsi di atas, pembelajaran kooperatif dapat dikatakan
sebagai pembelajaran dalam bentuk kelompok siswa yang memerlukan saling
ketergantungan positif, akuntabilitas individu, memiliki keterampilan interpersonal,
tatap muka interaksi promotif, dan pengolahan kelompok (Johnson & Johnson,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
2006). Dalam pembelajaran kooperatif, siswa memerlukan ketergantungan positif
dikandung maksud bahwa dalam belajar kelompok siswa yang satu dengan lainnya
saling membutuhkan, keberhasilan anggota yang satu juga keberhasilan yang lain.
Terdapat akuntabilitas individu, mempunyai makna bahwa tiap-tiap anggota
kelompok memiliki kontribusi belajar dalam kelompok, tidak ada satu pun anggota
kelompok yang tidak memiliki andil dalam kelompok. Keterampilaan interpersonal
bercirikan dalam kelompok harus terjadi komunikasi, kepercayaan, kepemimpinan,
pengambilan keputusan, dan resonansi konflik. Adanya tatap muka interaktif
promotif adalah kerja kelompok dilakukan secara langsung dengan tatap muka dan
saling menjelaskan satu dengan lainnya. Sedangkan pengolahan kelompok adalah
merefleksikan seberapa baik tim berfungsi dan bagaimana fungsi dapat semakin
ditingkatkan.
Model pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang
dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan. Ada empat unsur penting dalam model ini: (1)
adanya peserta dalam kelompok; (2) adanya aturan kelompok; (3) adanya upaya
belajar setiap anggota kelompok; dan (4) adanya tujuan yang harus dicapai (Wina
Sanjaya, 2009: 241)..
Model ini berupa kerja sama kelompok dengan karakteristik: saling terjadi
ketergantungan positif, tanggung jawab perorangan, kesempatan sukses yang sama,
terjadi komunikasi antaranggota, terdapat evaluasi dalam proses kelompok (Slavin,
1995: 26-28).
Dalam kerja kelompok, keberhasilan akan terjadi apabila terdapat kerja sama
antaranggotanya. Berkait dengan pembelajaran, pengajar harus pandai menciptakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
kelompok kerja yang efektif. Pengajar harus dapat menyusun tugas sedemikian rupa
sehingga setiap siswa dalam kelompok dapat menyelesaikan tugasnya masing-masing
agar tujuan kelompok dapat tercapai. Setiap anggota kelompok memiliki sumbangan
yang bermakna bagi kelompoknya. Oleh karena itu, setiap anggota kelompok akan
saling tergantung secara positif.
Walaupun kegiatan ini berlaku secara kelompok, tetapi tanggung jawab tetap
pada individu-individu anggotanya. Sebagaimana dijelaskan di atas, tujuan kelompok
akan tercapai apabila tugas individu dapat terselesaikan. Dengan demikian apabila
tugas individu tidak terselesaikan, maka tujuan kelompok pun tidak akan tercapai.
Hal ini akan memotivasi setiap individu untuk bertanggung jawab secara perorangan,
demi keberhasilan dirinya dan juga kelompoknya.
Dalam kelompok pembelajaran kooperatif, harus terjadi kesempatan sukses yang
sama antaranggota. Di dalam kelompok terjadi interaksi antaranggota sehingga
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah
menghargai perbedaan pendapat, memanfaatkan kelebihan, dan saling mengisi
kekurangan masing-masing, karena pada dasarnya demikianlah sifat manusia.
Karakteristik yang tidak kalah penting dalam pembelajaran kooperatif adalah
terjadinya komunikasi antaranggota. Di dalam komunikasi ini, tiap-tiap anggota harus
memberikan masukan, saran, kritik yang membangun kepada teman sejawat. Dengan
demikian agar komunikasi berjalan dengan efektif, setiap anggota kelompok harus
dibekali cara-cara memberikan sanggahan, saran, dan sebagainya, sehingga tidak
terjadi saling tersinggung antaranggota bahkan komunikasi harus berjalan dengan
cair, menyenangkan, dan penuh kreatif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Untuk mengetahui keberhasilan kerja kelompok, maka perlu dilakukan evaluasi
dalam proses kelompok. Ini dilakukan untuk mengetahui seberapa efektif model
pembelajaran kooperatif diterapkan dalam pembelajaran tertentu. Oleh karena itu,
model pembelajaran kooperatif tidak terlepas dari pembelajaran dalam bidang yang
menjadi topik pembicaraan.
Model pembelajaran kooperatif menjadi salah satu andalan dalam meningkatkan
pembelajaran didasari oleh tiga pilar utama (Johnson, et al, 2000) yaitu: (1)
didasarkan pada teori yang mantap, (2) divalidasi oleh penelitian, dan (3)
dioperasionalkan dengan sistematis sehingga para pendidik dapat menggunakan
dengan prosedur yang jelas.
Pembelajaran kooperatif kokoh didasari pada berbagai teori dalam antropologi,
sosiologi, ekonomi, ilmu politik, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dalam
psikologi, kerja sama telah menjadi studi yang paling intensif, pembelajaran ini
berakar pada saling ketergantungan sosial, perkembangan kognitif, dan terori-teori
pembelajaran perilaku. Sangat jarang suatu prosedur instruksional adalah pusat dari
berbagai teori ilmu sosial. Hal inilah kelebihan yang menonjol pada pembelajaran
kooperatif.
Pembelajaran kooperatif divalidasi lebih dari 900 penelitian dengan peneliti
yang berbeda, orientasi yang berbeda, bekerja dengan peraturan yang berbeda, negara
dan dekade yang berbeda. Jejak penelitian semakin bervariasi dari berbagai latar
belakang budaya, kelas ekonomi, usia, gender, dan karenanya membuat model
pembelajaran ini mantap untuk diaplikasikan. Para peneliti itu antara lain : Cohen,
1994; Johnson, 1970, Johnson & Johnson, 1974, 1978, 1989, 1999; Sharan, 1980;
Slavin, 1977, 1991, dan sebagainya (dalam Johnson, Johnson & Stanne, 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Pembelajaran kooperatif dioperasionalkan dengan sistematis sehingga para
pendidik dapat menggunakan dengan prosedur yang jelas. Hal ini dijelaskan bahwa
dalam pembelajaran kooperatif telah disediakan berbagai metode pembelajaran
berkait dengan kooperatif, guru dalam pelaksanaannya tinggal memilih yang sesuai
dengan tujuan pembelajarannya. Perangkat evaluasi dalam pembelajaran juga sudah
diskenario dengan baik. Demikian juga berbagai program penelitian dan pelatihan
pembelajaran ini telah disiapkan secara memadai. Pendek kata blue print
pembelajaran sudah tersedia secara memadai.
Kombinasi dari dasar teori yang mantap, penelitian yang mendalam, dan
operasional praktik pembelajaran kooperatif yang sistematis membuat sebuah
prosedur belajar yang kuat. Di samping itu, model ini juga memiliki beberapa
kelebihan yaitu:
(1) Mendorong siswa saling belajar dalam kerja kelompok dan menghadirkan suasana
kerja yang akan mereka alami dalam dunia profesional (Allen, 1986).
(2) Menanamkan kerja sama dan toleransi terhadap pendapat orang lain dan
meningkatkan kemampuan memformulasi dan menyatakan gagasan. Memiliki
gagasan untuk kreatif atau pikiran analitik lebih baik daripada hanya berkapasitas
sebagai data tambahan (Schenck, 1986: 9).
(3) Menanamkan sikap akan membaca sebagai suatu proses karena kerja kelompok
menekankan revisi, memungkinkan siswa mengajari sejawat dan memungkinkan
pembaca yang agak lemah mengenal kemampuan membaca sejawat yang lebih
bagus (Lunsford 1986).
(4) Membiasakan koreksi diri dan membaca teks secara berulang, sehingga siswa
menjadi pembaca yang paling setia. Setelah beberapa teks khusus tersusun, siswa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
menjadi pembaca imajiner dan teks tersebut menjadi objek eksternal (Brookes &
Grundy, 1990: 21).
Prosedur pembelajaran kooperatif di kelas pada dasarnya meliputi empat
tahapan. Namun, selanjutnya dikembangkan sesuai dengan tipe kooperatif yang
berjalan. Keempat tahapan itu adalah penjelasan materi, belajar dalam kelompok,
penilaian, dan pengakuan tim.
Pada tahap penjelasan materi, guru menyampaikan pokok-pokok materi
pelajaran yang akan dibahas kepada siswa sebelum siswa dibagi dalam kelompok-
kelompok. Dalam tahap penjelasan materi ini, guru dapat menyampaikan materi
dengan metode ceramah atau metode lain yang dianggap perlu. Demikian juga dapat
menggunakan media point power atau media lain untuk memudahkan penerimaan
siswa. Setelah gambaran umum materi-materi pokok disampaikan, siswa diminta
berkelompok sesuai dengan pembentukannya.
Pembentukkan kelompok kelas kooperatif bersifat heterogen, artinya
kelompok dibentuk berdasarkan karakteristik setiap anggota kelompok. Karakteristik
itu, misalnya: jenis kelamin, sosial ekonomi, latar belakang agama, etnik, maupun
kemampuan akademiknya. Khusus dalam hal kemampuan akademik, biasanya
kelompok terdiri atas satu orang berkemampuan tinggi, dua atau tiga orang
berkemampuan sedang, dan satu orang lainnya berkemampuan rendah (Anita Lie,
2008).
Dalam pembelajaran kooperatif penilaian dilakukan dengan cara tes atau kuis.
Tes atau kuis yang disusun oleh guru dapat diberikan secara individu dan kelompok.
Tes individu akan memberikan informasi atas kemampuan setiap siswa, sedangkan
tes yang diberikan untuk kelompok akan memberikan informasi atas kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
setiap kelompok. Setiap siswa anggota suatu kelompok memiliki nilai kelompok yang
sama karena nilai kelompok merupakan hasil kerja sama antaranggota kelompok.
Hasil akhir setiap siswa adalah gabungan antara nilai individu dan nilai kelompok
dibagi dua. Penilaian
Dalam pembelajaran kooperatif, pengakuan tim atau kelompok perlu
dilakukan. Pengakuan ini berkaitan dengan prestasi setiap tim. Pengakuan tim
diberikan kepada tim yang dianggap paling berprestasi sehingga layak mendapatkan
pengharagaan atau hadiah. Penghargaan yang diberikan sebaiknya tidak berupa nilai,
tetapi sesuatu yang dapat membangkitkan motivasi kepada individu maupun
kelompok sehingga dapat lebih meningkatkan prestasi belajar.
Berkaitan dengan pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran bahasa,
McGroarty (1989:53) mengenali enam manfaat utama dari pembelajaran kooperatif
bagi siswa, yaitu pembelajaran kooperatif menawarkan:
(1) peningkatan frekuensi dan keragaman praktik bahasa melalui jenis interaksi yang
berbeda.
(2) kemungkinan bagi perkembangan atau penggunaan bahasa dengan cara-cara
yang mendukung perkembangan kognitif dan meningkatnya keterampilan bahasa
tersebut.
(3) peluang untuk memadukan bahasa dengan pembelajaran berbasis muatan;
(4) peluang untuk memasukkan berbagai macam materi kurikulum untuk merangsang
bahasa serta pembelajaran konsep;
(5) kebebasan bagi para guru untuk menguasai keterampilan profesional yang baru,
khususnya yang menekankan komunikasi; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
(6) peluang bagi siswa untuk bertindak sebagai nara sumber untuk siswa yang lain,
yang dengan demikian memiliki peran yang lebih aktif dalam pembelajaran
mereka.
Penelitian-penelitian tentang pembelajaran bahasa dengan model kooperatif
membuat peningkatan dalam beberapa hal (Olson & Kagan, 1992: 5-7), yakni:
perkembangan sosial dan perilaku prososial (social development and prosocial
behaviors), termasuk peningkatan kesukaan siswa terhadap sesama siswa
(costudents), berkurangnya sentimen dan diskriminasi ras (reduced racial
stereotyping and discrimination), peningkatan harga diri (increased self-esteem),
peningkatan keterarahan diri (increased self-direction), peningkatan harapan diri
(increased self-expectations), peningkatan gagasan tentang kemampuan intelektual
(increased sense of intelectual competence), dan peningkatan kesukaan terhadap kelas
(increased liking for class).
Di samping hal-hal di atas, kegiatan yang terkait dengan prestasi dan hasil
akademis juga meningkat melalui pembelajaran kooperatif, seperti peningkatan
pengajaran teman sebaya (peer tutoring), peningkatan frekuensi dan jenis praktik
(increased frequency and type of practice), peningkatan pemahaman struktur tugas
(increased comprehension of task structure), dan waktu-dalam-tugas (time-on-task).
Pembelajaran kooperatif menawarkan lebih banyak kesempatan bagi
pengembangan bahasa dan memadukan bahasa dengan muatan lain melalui
peningkatan komunikasi aktif (penggunaan bahasa yang aktif baik memahami
maupun memproduksi) peningkatkan kerumitan komunikasi, dan penggunaan bahasa
untuk fungsi akademis dan sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Peningkatan Komunikasi Aktif, para guru di kelas tradisional melakukan
banyak pembicaraan. Cohen (dalam Olson & Kagan, 1992: 5-7) melaporkan bahwa
dalam pembelajaran kooperatif hanya 25-40 persen waktu yang mungkin benar-benar
dipakai oleh guru untuk menerangkan pelajaran selebihnya keaktifan ada pada siswa.
Kurang dari 20 persen waktu kelas dicurahkan kepada produksi bahasa siswa, dan
siswa yang berprestasi rendah biasanya diberi lebih sedikit kesempatan untuk
berpartisipasi, karena pembicaraan siswa di kelas berurutan, yaitu, satu siswa pada
satu waktu, masing-masing hanya memiliki sebagian kecil waktu untuk berbicara
dalam satu jam pelajaran yang berlangsung selama lima puluh menit di sebuah kelas
yang terdiri atas 30 siswa. Sebaliknya hingga 80 persen waktu kelas dapat
dijadwalkan untuk kegiatan-kegiatan yang meliputi pembicaraan siswa. Karena
pembicaraan siswa tersebut serentak, maka separuh siswa mungkin terlibat dalam
produksi bahasa sementara yang lain terlibat dalam pemahaman bahasa. Hal ini
menghasilkan peningkatan komunikasi bagi semua siswa.
Peningkatan kuantitas komunikasi melalui pembelajaran kooperatif sangat
penting, terutama bagi siswa yang memiliki keterbatasan dalam kecakapan berbahasa
karena lebih banyak komunikasi yang tersedia untuk asupan akan lebih meningkat
kemampuan komunikasinya. Sedangkan para siswa di kelas tradisional biasanya
menerima lebih sedikit komunikasi guru dan teman sebaya dibandingkan dengan
siswa lainnya. Lagipula, komunikasi biasanya ada pada tingkat kognitif dan linguistik
yang lebih rendah. Oleh karena itu, peningkatan kuantitas komunikasi yang ada untuk
digunakan dapat menguntungkan siswa.
Meningkatnya kualitas komunikasi, kualitas komunikasi linguistik
meningkat melalui berbagai cara, seperti bertambahnya pernyataan tentang informasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
baru, pemberian penjelasan, penawaran dasar pemikiran, dan penunjukan
penggabungan informasi. Siswa yang diajar dalam kelompok pembelajaran kooperatif
memperlihatkan jumlah wacana yang lebih besar yang mengulangi, menyatakan
kembali, atau mengklarifikasi informasi. Para siswa meminta dan memberikan
klarifikasi seperti perluasan, perulangan, penjelasan, dan penguraian guna menjamin
pemahaman. Klarifikasi dan pemahaman semacam itu tidak mungkin dilakukan pada
saat pembelajaran tradisional, tetapi seringkali mereka perlukan untuk menyelesaikan
tugas-tugas pembelajaran kooperatif. Lagipula, peningkatan kerumitan linguistik
biasanya disertai oleh ciri-ciri nonlinguistik atau paralinguistik – misalnya, gerak
isyarat seperti ekspresi wajah atau gerakan bahu untuk menyampaikan penekanan.
Juga, gerak isyarat, visual, manipulasi tangan, atau realita lainnya yang membantu
menjelaskan makna. Hasil dari peningkatan kuantitas dan kerumitan komunikasi
merupakan wacana yang lebih berkualitas.
Meningkatnya Pemahaman, adalah kepentingan setiap siswa untuk
membuat komunikasinya dapat dipahami oleh siswa lain karena semakin banyak hal
itu dipelajari oleh masing-masing, maka semakin besar penghargaan bagi semua
siswa. Bejarano (1987) menjelaskan hal ini sebagai komunikasi multilateral wajib
yang diperlukan untuk menjalankan tugas kelompok tersebut. Sebagai contoh, dalam
metode jigsaw, setiap siswa harus mempelajari apa yang harus diingat oleh kelompok
lain dan begitu juga siswa yang mahir berbahasa dengan sabar menarik/melatih para
siswa yang kurang mahir berbahasa, sehingga menjamin pemahamannya. Demikian
halnya, siswa yang kurang mahir harus memahami siswa yang mahir berbahasa, jadi
siswa yang kurang mahir juga termotivasi untuk menegosiasikan makna – untuk
memverifikasi, menjelaskan, mengklarifikasi, dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Pengembangan bahasa sosial, beberapa perilaku prososial yang penting
dalam pembelajaran kooperatif sangat mirip dengan fungsi bahasa yang dianggap
penting untuk siswa, seperti meminta dan memberikan klarifikasi. Di kelas
pembelajaran kooperatif, mungkin ada pelatihan yang jelas dalam keterampilan-
keterampilan seperti memarafrasekan ide-ide lain, meminta penjelasan, merangkum
kemajuan kelompok, mengklarifikasi, mengindikasikan persetujuan/ketidaksetujuan,
dan melakukan interupsi dengan sopan.
Beberapa penelitian dan penjelasan di atas, menunjukkan demikian penting dan
manfaat pembelajaran kooperatif dalam meningkatkan kemampuan berbahasa.
Pembelajaran kooperatif ada beberapa jenis. Setiap jenis mepunyai perbedaan
dalam hakikat pembelajaran, bentuk kerja sama, peranan dan komunikasi antarsiswa
serta peranan guru. Sedikitnya ada 16 jenis model pembelajaran kooperatif yang telah
dikembangkan di negara-negara maju (Slavin, 1995: 4-5; Anita Lie, 2008: 23;
Johnson, et al, 2000; Joyce, 2009: 13-28; Agus Suprijono,2009: 89), yaitu : STAD
(Student Teams Achievement Divisions), TGT (Teams-Games-Tournaments), TAI
(Team Accelerated Instruction), Jigsaw II, Learning Together (LT), TPS (Think-Pair-
Share), NHT (Numbered Heads Together), GI (Group Invertigation), TSTS (Two Stay
Two Stray), MM (Make a Match), LT (Listening Team), IOC (Inside-Outside-Circle),
BD (Bamboo Dancing), PCP (Point-Counter-Point), PT (The Power of Two), dan
CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition). Berkait dengan penelitian
ini yaitu untuk meningkatkan keterampilan membaca, penulis menerapkan tiga jenis
model pembelajaran yang sesuai dengan pembelajaran keterampilan membaca, yaitu
Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC), Student Teams
Achievement Division (STAD), dan Jigsaw.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
c. Model Pembelajaran Kooperatif Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC)
1) Konsep Model Pembelajaran Kooperatif CIRC
Model pembelajaran kooperatif jenis CIRC pertama kali dibahas oleh Madden,
Slavin & Stevens (1986) dalam tulisannya Cooperative Integrated Reading and
Composition: Teacher Manual. Dalam buku ini dibahas secara mendasar langkah-
langkah dan bagaimana mengaplikasikan model CIRC ini dalam pembelajaran di
kelas. Stevens & Slavin pada tahun yang sama mengadakan penelitian dengan judul
The Effect of Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) on
Academically handicapped and nonhandicapped students’ achievement, attitudes,
and metacognition in Reading and Writing, dalam Elemetary School Jaurnal (1986,
11, 123-135). Selanjutnya, Hertz-Lazarowitz, Ivory & Calderon (1993) mengadakan
penelitian tentang model ini yang dituangkan dalam tulisannya dengan judul The
Bilingual Cooperative Integrated Reading and Composition (BCIRC) Project in the
Ysleta Independent School District: Standarized Test Outcomes.
Model pembelajaran kooperatif CIRC adalah model kooperatif yang khusus
dibuat untuk pembelajaran bahasa. Hal ini sesuai dengan namanya yang merupakan
program komprehensif untuk mengajarkan membaca dan menulis pada kelas sekolah
dasar, di samping sekolah yang lebih tinggi (Slavin, 1995: 16). Oleh karena bersifat
integratif, maka dalam aplikasinya selalu mengaitkan kedua jenis keterampilan
berbahasa tersebut.
Dalam contoh sebuah pembelajaran, misalnya guru menggunakan novel atau
bahan bacaan yang berisi latihan soal dan cerita. Para siswa ditugaskan berpasangan
dalam kelompok mereka untuk belajar dalam serangkaian kegiatan yang bersifat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
kogniitif, membacakan cerita satu sama lain, membuat prediksi mengenai bagaimana
akhir dari sebuah cerita, saling merangkum cerita satu sama lain, menulis tanggapan
terhadap cerita, dan melatih pengucapan, penerimaan, dan kosa kata. Para siswa juga
belajar dalam kelompoknya untuk menguasai gagasan utama dan kemampuan
komprehensif lainnya. Selama proses pembelajaran semua anggota kelompok terlibat
dalam membaca, memahami bacaan, pelatihan penulisan, konsep penulisan, saling
merevisi, menyunting karya yang satu dengan yang lainnya, dan mempersiapkan hasil
kerja kelompok untuk dipresentasikan.
2) Paradigma Model Pembelajaran Kooperatif CIRC
Paradigma pembelajaran kooperatif CIRC dilandasi oleh beberapa pemikiran
berikut ini.
a) Landasan Filosofis
Keyakinan bahwa bekerja sama akan menghasilkan energi kolektif yang disebut
sebagai sinergi (synergy). Sinergi ini akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa
Dalam dunia pendidikan sinergi ini diaplikasikan dalam komunitas pembela-jaran
(Johnson & Johnson, 1994: 21; Slavin, 1995: 16; Joyce, 2009: 34).
b) Asumsi-asumsi
Model pembelajaran ini dilandasi oleh asumsi-asumsi: (1) Sinergi yang
ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi yang jauh
lebih besar daripada dalam bentuk lingkungan kompetisi individual; (2) Anggota-
anggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu dengan lainnya. Setiap
pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak daripada dalam sebuah
struktur pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antarsatu siswa dengan
siswa lainnya; (3) Interaksi antaranggota akan menghasilkan aspek kognitif,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
semisal kompleksitas; (4) Kerja sama meningkatkan perasaan positif satu dengan
lainnya, menghilangkan penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan
memberikan pandangan positif terhadap orang lain; (5) Kerja sama meningkatkan
penghargaan diri, tidak hanya pembelajaran yang terus berkembang tetapi juga
melalui perasaan dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah
lingkungan; (6) Siswa yang mengalami dan menjalani tugas, merasa harus bekerja
sama sehingga dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bekerja sama secara
produktif; (7) Siswa dapat belajar dari beberapa latihan untuk meningkatkan
kemampuan mereka untuk bekerja sama (Joyce, 2009: 302)
c) Sistem Sosial
Menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan diatur oleh suatu kesepakatan yang
dikembangkan, atau paling tidak divalidasi oleh pengalaman kelompok dalam
batas dan hubungan terhadap fenomena rumit yang kemudian dijelaskan oleh
seorang guru sebagai suatu objek pembelajaran. Aktivitas kelompok muncul
dalam struktur eksternal minimalis yang diberikan oleh seorang guru.
d) Prinsip Reaksi
Lebih mengutamakan integrasi antara membaca dan menulis. Pemahaman anak
dalam membaca sangat didukung oleh kemampuan menulisnya. Oleh karena
memadukan membaca dan menulis maka pemahaman anak akan lebih
komprehensif dan tahan lama.
e) Syntax
Tahap-tahap pelaksanaan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC adalah: (1)
Membentuk kelompok dengan anggota 4-5 anak secara heterogen; (2) Pengenalan
topik yang akan dibahas; (3) Guru menyajikan pelajaran; (4) Siswa bekerja sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
dan berdiskusi, saling membacakan, mene-mukan ide pokok, dan memberi
tanggapan terhadap teks/kliping. Semua kegiatan di samping dibaca juga harus
ditulis secara sistematis pada lembar kertas. Semua anggota menulis dengan
sungguh-sungguh sambil dipahami; (5) Setiap kelompok mempresentasikan/
membacakan hasil diskusi kelompoknya kepada kelompok lain. Kelompok
lain bisa bertanya kepada kelompok yang tampil, dan anggota kelompok yang
tampil menjawab secara bergantian; (6) Guru memberi kuis/pertanyaan kepada
seluruh kelompok. Kuis dikerjakan secara berkelompok dengan berdiskusi, pada
saat menjawab kuis, siswa bisa saling melengkapi dan saling membantu (7) Guru
memberikan penghargaan atas penampilan kelompok dan hasil mengerjakan kuis;
(8) Guru memberikan kuis bersifat individu; dan (9) Guru dan siswa membuat
simpulan bersama secara tertulis. (Madden, 1986; Steven & Slavin, 1986: 123-
135)
f) Sistem Penunjang
Mengingat pembelajaran mengutamakan integrasi keterampilan membaca dan
menulis, maka perlu disediakan lembar kerja berupa teks/kliping yang dapat
dibahas secara mendalam/ditinjau dari aspek keterampilan membaca sekaligus
dari keterampilan menulis.
g) Dampak Instruksional
Oleh karena mengintegrasikan keterampilan membaca dan menulis, maka
dibutuhkan waktu yang relatif agak lama dan menuntut kesabaran, ketelitian, dan
perhatian lebih dari guru.
3) Definisi Konseptual Model Pembelajaran Kooperatif CIRC
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Model pembelajaran kooperatif CIRC adalah strategi pembelajaran yang
berpijak dari interaksi sosial kelompok kecil, yang merupakan program pembelajaran
komprehensif untuk mengajarkan membaca dan menulis. Proses pembelajarannya
memiliki tiga unsur penting, yaitu kegiatan-kegiatan dasar terkait, pengajaran
langsung pelajaran memahami bacaan, dan seni berbahasa dan menulis terpadu.
d. Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw
1) Konsep Model Pembelajaran Jigsaw
Model pembelajaran koopertif jenis Jigsaw pertama kali dikenalkan oleh
Aronson, dkk. dalam bukunya The Jigsaw classroom (1978). Moskowits, dkk dalam
Journal Contemporary Educational Psychology (1985, 10, 104-112) menulis model
ini dengan topik Evaluation of Jigsaw, a Cooperative Learning Technique. Lebih
lanjut model pembelajaran Jigsaw juga dibahas oleh Mattingly & Vansickle dalam
tulisannya pada Journal Social Education (1991, 55 (6), 392-395) dengan topik
Cooperative Learning and Achievement in Social Studies: Jigsaw II.
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah satu tipe pembelajaran
kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung
jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut
kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arend, 1997:73).
Jigsaw menggabungkan konsep pengajaran pada teman sekelompok atau teman
sebaya dalam usaha membantu belajar sesamanya. Jigsaw didesain untuk
meningkatkan rasa tanggung jawab untuk pembelajarannya sendiri dan juga
pembelajaran orang lain.
Dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini, siswa bekerja/belajar dalam
kelompok yang heterogen dan beranggotakan 4 sampai 6 orang, yang disebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
kelompok asal. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas penguasaan bagian
dari materi belajar yang ditugaskan kepadanya, kemudian mengajarkan bagian
tersebut kepada anggota kelompok yang lain. Masing-masing anggota kelompok yang
mendapat tugas penguasaan bagian materi itu disebut ahli. Keahlian tersebut dapat
diperoleh dari menawarkan bagian materi kepada anggota kelompok menurut
kemampuan mereka, atau ditunjuk oleh guru sesuai dengan kemampuan mereka.
Anggota dari kelompok yang berbeda dengan topik yang sama (ahli) bertemu untuk
berdiskusi antarahli. Mereka dapat saling membantu satu sama lain tentang topik
yang ditugaskan dan mendiskusikannya. Selanjutnya, siswa pada kelompok ahli
kembali kepada kelompok masing-masing untuk menjelaskan materi tersebut kepada
anggota kelompok asal, tentang hasil yang dibahas dalam kelompok ahli.
Hubungan yang terjadi antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan:
Kelompok asal (home teams)
Kelompok ahli (expert teams)
Gambar 1. Hubungan kelompok asal dan kelompok ahli dalam Jigsaw
Tiap-tiap anggota kelompok bertemu dalam diskusi kelompok ahli membahas
materi yang ditugaskan. Setelah selesai berdiskusi dalam kelompok ahli, kembali
pada kelompok asal untuk menjelaskan pada teman sekelompoknya. Jigsaw didesain
@ # * + $
@ # * + $
@ # * + $
@ # * + $
@ @ @ @
# # # #
+ + + +
$ $ $ $
* * * *
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
tidak hanya untuk meningkatkan rasa tanggung jawab secara mandiri, tetapi juga
dituntut untuk saling bergantungan dalam arti positif terhadap teman sekelompoknya.
Pada penelitian ini, tiap-tiap kelompok asal terdiri dari lima orang siswa karena
dalam keterampilan membaca dibedakan menjadi lima subtopik, yaitu pengenalan
kata (didalami oleh siswa @), pemahaman literal (didalami oleh siswa #) , membaca
interpretatif (didalami oleh siswa +), membaca kritis (didalami oleh siswa $), dan
membaca kreatif (didalami oleh siswa *). Setiap siswa bertanggung jawab atas
penguasaan materi yang ditugaskan kepadanya. Selanjutnya tiap-tiap kelompok ahli
dengan materi yang sama bertemu untuk berdiskusi, membahas secara mendalam, dan
mengerjakan latihan soal-soal yang diberikan. Setelah pemahaman setiap anggota
kelompok ahli memadai dan waktu yang diberikan selesai, masing-masing siswa
dalam kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang
menjadi bagian tanggung jawabnya kepada siswa lain pada kelompok asalnya dengan
materi yang berbeda-beda. Siswa yang mendapat bagian materi pengenalan kata
menjelaskan pada siswa lain yang mendapat bagian materi pemahaman literal,
membaca interpretatif (evaluatif), membaca kritis, dan membaca kreatif. Siswa yang
mendapat bagian pemahaman literal menjelaskan pada siswa lain yang mendapat
bagian pengenalan kata, membaca interpretatif (evaluatif), membaca kritis, dan
membaca kreatif. Demikian seterusnya sehingga siswa-siswa dalam semua anggota
kelompok asal dapat memahami semua materi membaca pemahaman pada pertemuan
hari itu. Sedapat mungkin siswa berdisusi dahulu dengan temannya dalam satu
kelompok, jika menemui kesulitan baru bertanya pada guru. Karena peran guru di sini
masih diperlukan, baik sebagai motivator maupun fasilitator. Hal ini dilakukan untuk
meminimalkan kelas yang ramai atau gaduh, karena guru dapat terus memantau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
jalannya diskusi tiap-tiap kelompok, baik dalam diskusi kelompok asal maupun
diskusi kelompok ahli sehingga pembelajaran tetap efektif dan optimal.
2) Paradigma Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw
Paradigma pembelajaran kooperatif Jigsaw dilandasi oleh beberapa pemikiran
berikut ini.
a) Landasan Filosofis
Keyakinan bahwa bekerja sama akan menghasilkan energi kolektif yang disebut
sebagai sinergi (synergy). Sinergi ini akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa
Dalam dunia pendidikan sinergi ini diaplikasikan dalam komunitas pembela-jaran
(Johnson & Johnson, 1994: 21; Slavin, 1995: 16; Joyce, 2009: 34).
b) Asumsi-asumsi
Model pembelajaran ini dilandasi oleh asumsi-asumsi: (1) Sinergi yang
ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi yang jauh
lebih besar daripada dalam bentuk lingkungan kompetisi individual; (2) Anggota-
anggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu dengan lainnya. Setiap
pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak daripada dalam sebuah
struktur pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antarsatu siswa dengan
siswa lainnya; (3) Interaksi antaranggota akan menghasilkan aspek kognitif,
semisal kompleksitas; (4) Kerja sama meningkatkan perasaan positif satu dengan
lainnya, menghilangkan penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan
memberikan pandangan positif terhadap orang lain; (5) Kerja sama meningkatkan
penghargaan diri, tidak hanya pembelajaran yang terus berkembang tetapi juga
melalui perasaan dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah
lingkungan; (6) Siswa yang mengalami dan menjalani tugas, merasa harus bekerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
sama sehingga dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bekerja sama secara
produktif; (7) Siswa dapat belajar dari beberapa latihan untuk meningkatkan
kemampuan mereka untuk bekerja sama (Joyce, 2009: 302)
c) Sistem Sosial
Menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan diatur oleh suatu kesepakatan yang
dikembangkan, atau paling tidak divalidasi oleh pengalaman kelompok dalam
batas dan hubungan terhadap fenomena rumit yang kemudian dijelaskan oleh
seorang guru sebagai suatu objek pembelajaran. Aktivitas kelompok muncul
dalam struktur eksternal minimalis yang diberikan oleh seorang guru.
d) Prinsip Reaksi
Lebih mengutamakan spesialiasi pemahaman individu kemudian diminta untuk
menjelaskan kepada teman lainnya. Dampaknya semua anak betul-betul harus
menguasai materi bagian masing-masing sebelum menjelaskan pada teman yang
lain.
e) Syntax
Tahap-tahap pelaksanaan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw adalah: (1)
Membentuk kelompok dengan anggota 4-5 anak secara heterogen sebagai
kelompok asal (home teams); (2) Pengenalan topik yang akan dibahas; (3) Guru
menyajikan pelajaran; (4) Setiap anggota kelompok ditunjuk menjadi ahli dalam
bidang tertentu (yang dianggap ahli) mempelajari materi secara mendalam dan
bertanggung jawab terhadap materi bagian masing-masing, berkumpul menjadi
kelompok baru yang disebut kelompok ahli (expert teams). Kelompok baru yang
terdiiri atas anggota yang ahli (expert) dalam subtopik tertentu, berdiskusi dengan
anggota kelompok lain yang memiliki keahlian sama; (5) Setelah materi terkuasai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
oleh semua anggota kelompok ahli, semua anggota ahli kembali ke kelompok asal
untuk menjelaskan (secara bergantian) materi bagian kelompok ahli kepada
anggota kelompok asal lainnya; (6) Guru memberi kuis/pertanyaan kepada
seluruh kelompok. Kuis dikerjakan secara berkelompok dengan berdiskusi, pada
saat menjawab kuis, siswa bisa saling melengkapi dan saling membantu; (7) Guru
memberikan penghargaan hasil kuis kelompok; (8) Guru memberikan kuis
bersifat individu; dan (9) Guru dan siswa membuat simpulan (Arends, RI,
1997:73).
f) Sistem Penunjang
Topik yang dibahas harus terdiri dari beberapa subtopik (4-5 subtopik), sehingga
dapat dibagi kepada anggota-anggota ahli untuk mendalami sesuai tanggung
jawabnya, yang selanjutnya dijelaskan kepada teman anggota kelompok asal.
g) Dampak Instruksional
Oleh karena setiap siswa diberi tanggung jawab secara individu dalam subtopik
tertentu, maka apabila anak seorang anak yang kurang memahami materi yang
menjadi tanggung jawabnya, dampaknya seluruh anggota kelompok akan tidak
memahami pula.
3) Definisi Konseptual Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw
Model pembelajaran kooperatif Jigsaw adalah strategi pembelajaran yang
berpijak dari interaksi sosial kelompok kecil, dengan pembelajaran setiap anggota
kelompok bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu
mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (kelompok
asal). Agar dapat menguasai materi yang menjadi tanggung jawabnya, setiap anggota
kelompok asal berkumpul dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendalami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
materi yang sama. Tiap-tiap anggota kelompok bertemu dalam diskusi kelompok ahli
membahas materi yang ditugaskan. Setelah selesai berdiskusi dalam kelompok ahli,
kembali pada kelompok asal untuk menjelaskan pada teman sekelompoknya.
e. Model Pembelajaran Koooperatif Student Teams Achievement Division (STAD)
1) Konsep Dasar Model Pembelajaran Koopertif STAD
Model pembelajaran kooperatif jenis STAD merupakan bentuk pembelajaran
kooperatif paling tua dan paling sederhana. Pertama kali dikenalkan pada awal tahun
1978 oleh Slavin dalam tulisannya pada Journal of Research and Development in
Education (1978, 12, 39-49) dengan topik Student Teams and Achievement Divisions.
Selanjutnya, dikembangkan oleh Frantz (1979) dalam penelitiannya yang berjudul
The Effect of The Student Teams Achievement Approach in Reading on Peer
Attitudes.
STAD merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang paling
sederhana dan merupakan model yang paling banyak dipakai oleh guru di dunia maju,
dan telah digunakan mulai dari kelas dua sampai kelas sebelas (Slavin, 1995: 143).
STAD terdiri atas lima komponen utama, yaitu presentasi kelas, tim (kelompok),
kuis/pertanyaan, skor kemajuan individu, dan rekognisi tim/kelompok.
Presentasi kelas, dalam presentasi kelas ini secara mendasar adalah memberi
informasi akademik baru kepada peserta didik menggunakan presentasi verbal atau
teks. Hal ini digunakan untuk memperkenalkan materi yang akan dibahas dalam
pertemuan pembelajaran. Kegiatan ini merupakan pengajaran langsung yang
dipimpin oleh guru, tetapi dapat juga melalui presentasi menggunakan audiovisual.
Semua petunjuk dan aturan pembelajaran STAD dijelaskan oleh guru, sehingga siswa
harus benar-benar memperhatikan penjelasan guru selama presentasi kelas ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Tim (kelompok) terdiri atas empat sampai lima siswa yang mewakili seluruh
bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras, dan entitas. Fungsi
utama dari kelompok ini adalah memastikan bahwa semua anggota kelompok benar-
benar belajar, dan paling penting adalah mempersiapkan setiap anggota kelompok
agar dapat mengerjakan kuis dengan baik. Setelah guru menjelaskan materi,
kelompok berkumpul untuk mempelajari kegiatan-kegiatan atau materi-materi
pembelajaran. Para anggota kelompok melakukan pembahasan materi bersama,
membandingkan jawaban, dan mengoreksi setiap kesalahan pemahaman apabila
anggota tim ada yang melakukan kesalahan. Tim (kelompok) adalah fitur yang paling
penting dalam STAD. Pada setiap kegiatan, yang ditekankan adalah membuat
anggota kelompok melakukan yang terbaik untuk kelompok. Demikian sebaliknya,
kelompok pun harus melakukan yang terbaik bagi anggota-anggotanya. Kelompok
memberikan dukungan bagi kinerja akademik anggotaanya, memberikan perhatian
yang mendalam, sehingga hubungan antaranggota kelompok, harga diri, dan
penerimaan anggota dapat dioptimalkan.
Kuis (pertanyaan) diberikan untuk menajaman penguasaan materi pelajaran.
Setelah para siswa bekerja sama dalam kelompok, kuis diberikan secara individual.
Para siswa tidak diperbolehkan saling membantu dalam mengerjakan kuis individu
ini. Oleh karena itu setiap siswa bertanggung jawab terhadap diri masing-masing
setelah sebelumnya bekerja sama dan bertanggung jawab secara kelompok, karena
pemahaman materi yang sebelumnya sudah dilakukan dalam kelompok, akhirnya
juga harus dipahami secara individu.
Skor kemajuan individu ialah tolok ukur kemampuan pribadi. Gagasan dibalik
skor individu ialah untuk memberikan kepada setiap siswa, tujuan kinerja yang akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih
baik daripada sebelumnya. Setiap siswa dapat memberikan kontribusi nilai yang
maksimal kepada kelompoknya dalam sistem skor ini. Skor ini akan dibandingkan
sebelum dan sesudah diskuisi kelompok dilakukan.
Rekognisi tim (kelompok) ialah penghargaan yang berupa sertifikat atau
piagam atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai
kriteria tertentu.
2) Paradigma Model Pembelajaran Kooperatif STAD
Paradigma pembelajaran kooperatif STAD dilandasi oleh beberapa pemikiran
berikut ini.
a) Landasan Filosofis
Keyakinan bahwa bekerja sama akan menghasilkan energi kolektif yang disebut
sebagai sinergi (synergy). Sinergi ini akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa
Dalam dunia pendidikan sinergi ini diaplikasikan dalam komunitas pembela-jaran
(Johnson & Johnson, 1994: 21; Slavin, 1995: 16; Joyce, 2009: 34).
b) Asumsi-asumsi
Model pembelajaran ini dilandasi oleh asumsi-asumsi: (1) Sinergi yang
ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi yang jauh
lebih besar daripada dalam bentuk lingkungan kompetisi individual; (2) Anggota-
anggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu dengan lainnya. Setiap
pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak daripada dalam sebuah
struktur pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antarsatu siswa dengan
siswa lainnya; (3) Interaksi antaranggota akan menghasilkan aspek kognitif,
semisal kompleksitas; (4) Kerja sama meningkatkan perasaan positif satu dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
lainnya, menghilangkan penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan
memberikan pandangan positif terhadap orang lain; (5) Kerja sama meningkatkan
penghargaan diri, tidak hanya pembelajaran yang terus berkembang tetapi juga
melalui perasaan dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah
lingkungan; (6) Siswa yang mengalami dan menjalani tugas, merasa harus bekerja
sama sehingga dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bekerja sama secara
produktif; (7) Siswa dapat belajar dari beberapa latihan untuk meningkatkan
kemampuan mereka untuk bekerja sama (Joyce, 2009: 302)
c) Sistem Sosial
Menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan diatur oleh suatu kesepakatan yang
dikembangkan, atau paling tidak divalidasi oleh pengalaman kelompok dalam
batas dan hubungan terhadap fenomena rumit yang kemudian dijelaskan oleh
seorang guru sebagai suatu objek pembelajaran. Aktivitas kelompok muncul
dalam struktur eksternal minimalis yang diberikan oleh seorang guru.
d) Prinsip Reaksi
Lebih mengutamakan tutor sebaya, sehingga anggota kelomp[ok yang lebih
dahulu memahami harus menjelaskan pada anggota yang belum memahami,
sampai semua anggota kelompok dapat memahami.
e) Syntax
Tahap-tahap pelaksanaan model pembelajaran kooperatif jenis STAD adalah: (1)
Membentuk kelompok dengan anggota 4-5 anak secara heterogen; (2) Pengenalan
topik yang akan dibahas; (3) Guru menyajikan pelajaran; (4) Guru memberikan
tugas kepada kelompok untuk dikerjakan anggota-anggota kelompok, anggota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
kelompok yang kesulitan dapat dijelaskan anggota kelompok lain yang
sudah mengerti, sampai semua anggota kelompok itu mengerti semuanya.
(5) Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh kelompok. Kuis dikerjakan
secara berkelompok dengan berdiskusi. Pada saat menjawab kuis, siswa
bisa saling melengkapi dan saling membantu; (6) Guru memberikan
penghargaan atas hasil kuis kelompok; (7) Guru memberikan kuis bersifat
individu; (8) Memberi evaluasi pembelajaran dan simpulan; dan (9) Penutup
(Frantz, 1979; Slavin, 1995: 145).
f) Sistem Penunjang
Biasanya disiapkan lembar kerja yang berupa dan pertanyaan-pertanyaan yang
membutuhkan jawaban sistematis sehingga menggiring kepada pemahaman
membaca secara urut dan menyeluruh.
g) Dampak Instruksional
Oleh karena mengutamakan tutor sebaya, apabila ada siswa yang lebih dahulu
memahami materi tidak mau menjelaskan kepada teman lain yang belum
memahami, dampaknya siswa (anggota kelompok) yang belum paham, akan tidak
dapat menguasai materi.
3) Definisi Konseptual Model Pembelajaran Kooperatif STAD
Model pembelajaran kooperatif STAD adalah strategi pembelajaran yang
berpijak dari interaksi sosial kelompok kecil, dengan pembelajaran setiap setiap
anggota kelompok belajar, berdiskusi, dan saling menjelaskan antaranggota
kelompok. anggota kelompok yang kesulitan dapat dijelaskan anggota kelompok
lain yang sudah mengerti, sampai semua anggota kelompok itu mengerti semuanya.
Model pembelajaran ini terdiri atas lima komponen utama, yaitu presentasi kelas,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
tim (kelompok), kuis/pertanyaan, skor kemajuan individu, dan rekognisi
tim/kelompok.
Secara bersama-sama, ketiga model pembelajaran kooperatif: CIRC, Jigsaw,
dan STAD dalam pembelajaran dapat dijelaskan sebagai berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Tabel 1 : Perbedaan Dasar Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC, JIGSAW, dan STAD
Langkah CIRC JIGSAW STAD 1 Membentuk kelompok dengan anggota 4-5
anak secara heterogen Membentuk kelompok dengan anggota 4-5 anak secara heterogen (home teams)
Membentuk kelompok dengan anggota 4-5 anak secara heterogen
2 Pengenalan topik yang akan dibahas Pengenalan topik yang akan dibahas Pengenalan topik yang akan dibahas 3 Guru memberikan teks/ kliping sesuai
dengan topik pembelajaran. Guru membagikan materi kepada kelompok dan anggota kelompok dengan materi yang berbeda
Guru menyajikan pelajaran
4 Siswa bekerja sama dan berdiskusi, saling membacakan, mene-mukan ide pokok, dan memberi tanggapan ter-hadap teks/kliping. Semua kegiatan di samping dibaca juga harus ditulis secara sistematis pada lembar kertas
Setiap anggota kelompok dibagi menjadi ahli subtopik untuk mempelajari materi secara mendalam dan bertanggung jawab materi bagian masing- masing. Setiap kelompok di kelas itu memiliki anggota yang ahli (expert) di bidang tertentu, berdiskusi dengan anggota kelompok lain yang memiliki keahlian sama dan membentuk kelompok baru (expert teams)
Guru memberikan tugas kepada kelompok untuk dikerjakan anggota-anggota kelompok, anggota kelompok yang kesulitan dapat dijelaskan anggota kelompok lain yang sudah mengerti, sampai semua anggota kelompok itu mengerti semuanya
5 Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelom-poknya kepada kelompok lain. Kel-ompok lain bisa bertanya kepada kelompok yang tampil, dan anggota kelompok yang tampil menjawab secara bergantian.
Setelah materi terkuasai oleh semua anggota kelompok ahli, semua anggota ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan (secara bergantian) materi bagian kelompok ahli kepada anggota kelompok asal lainnya.
Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh kelompok. Kuis dikerjakan secara berkelompok dengan berdiskusi, pada saat menjawab kuis, siswa bisa saling melengkapi dan saling membantu
6 Guru memberi kuis kepada seluruh kelompok. Kuis dikerjakan secara berkelompok dengan berdiskusi, pada saat menjawab kuis, siswa bisa saling melengkapi dan saling membantu
Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh kelompok. Kuis dikerjakan secara berkelompok dengan berdiskusi, pada saat menjawab kuis, siswa bisa saling melengkapi dan saling membantu
Guru memberikan penghargaan atas jaawaban kelompok
7 Guru memberikan penghargaan atas penampilan kelompok dan kuis kelompok
Guru memberikan penghargaan hasil kuis kelompok.
Guru memberikan kuis bersifat individu
8 Guru memberikan kuis bersifat individu Guru memberikan kuis bersifat individu Evaluasi pembelajaran dan simpulan 9 Guru dan siswa membuat simpulan
bersama secara tertulis Guru dan siswa mengambil simpulan Penutup
10 Penutup Penutup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Dalam penelitian ini, ketiga jenis model pembelajaran kooperatif di atas,
dieksperimenkan pada pembelajaran keterampilan membaca siswa SD. Dengan demikian
kegiatan pembelajaran akan didasari oleh ketiga jenis cooperative learning model, yang
meliputi: (1) prosedur sistematika perilaku siswa dalam pembelajaran berdasarkan asumís
pembelajaran kooperatif, (2) penetapan hasil belajar, (3) penetapan lingkungan
pembelajaran dan faktor pendukung (silabus/RPP, media pembelajaran, dan lain-lain), (4)
ukuran keberhasilan dalam bentuk unjuk verja siswa, dan (5) interaksi dengan
lingkungannya.
f. Peranan Guru dalam Pembelajaran Bahasa dengan Model Pembelajaran
Kooperatif
Agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan dengan optimal, guru mempunyai
beberapa peran yaitu : pencari keterangan, kreator, pengamat, fasilitator, dan agen
perubahan (McDonell, 1992: 163-172).
1) Guru sebagai Pencari Keterangan
Seorang guru yang dapat memahami anak-anak dan bagaimana cara siswa dapat
belajar maupun menciptakan lingkungan yang medukung pembelajaran akan menjadi guru
yang sukses dalam pembelajaran (Goodman, 1986: 164). Oleh karena itu, guru dapat
memulai memberikan pemrograman yang komprehensif dan optimal kepada siswa, kolega
dan orang tua.
Dalam pembelajaran kooperatif, guru terus menerus menguji dan mempertanyakan
keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi. Mengkaji sikap dan nilai-nilai yang dianut oleh siswa
yang memiliki keragaman budaya, ras, kelas, dan bahasa minoritas yang pada dasarnya
sangat penting dalam konteks pengajaran di kelas multilingual dan multiras.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Berkait dengan pemahaman terhadap siswa, guru membuat rencana pembelajaran,
guru dalam pembelajaran kooperatif harus mengenal siswa secara mendalam. Guru harus
berusaha mengajukan pertanyan-pertanyaan berikut ini: Berapa usia siswa? Berapa tingkat
kefasihan bahasanya? Bagaimana pengalaman belajar, minat, kemampuan, dan kebutuhan
sebelumnya?
Dan pertimbangan-pertimbangan lain yang seringkali diabaikan adalah cara-cara yang
diserap untuk mempelajari dan menampilkan pengetahuan.
Guru bahasa secara efektif daapat bekerja dengan anak-anak minoritas, sehingga
menyadari akan pentingnya bahasa dan peran yang ia mainkan dalam memberikan akses
terhadap budaya. Mereka mengetahui bahwa kegiatan-kegiatan yang melibatkan
komunikasi yang nyata dan menjalankan tugas-tugas yang bermanfaat. Penggunaan
bahasa yang bermanfaat bagi siswa akan meningkatkan proses dan hasil pembelajaran.
Dalam kaitannya dengan sikap dan harapan, guru model pembelajaran kooperatif
harus percaya bahwa siswa memiliki kemampuan untuk belajar. Mereka mengakui potensi
siswa, dan berharap agar siswa dapat berhasil. Di samping itu, guru dalam model
pembelajaran kooperatif juga harus percaya bahwa bukan hanya siswa yang dapat belajar
melainkan juga guru. Pola pikir ini memengaruhi proses belajar dan memiliki dampak
pemberdayaan terhadap semua yang terlibat dalam pembelajaran. Dengan jenis orientasi
siswa dan guru ini, tidak ada faktor yang menghambat untuk mencegah kesuksesan.
Muara akhir dalam pembelajaran ini ialah guru dalam model pembelajaran
kooperatif akan menjadikan sebuah model ilmu pendidikan interaktif yang membebaskan
siswa dari ketergantungan terhadap guru. Hal ini mendorong siswa untuk menjadi
pembangkit yang aktif bagi pengetahuannya sendiri. Para pendidik berkomitmen terhadap
kesetaraan pendidikan. Di samping itu hal yang utama ialah mengakui bahwa model
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
transmisi dari penyampaian program membatasi siswa yang berisiko pada peran pasif
yang merangsang bentuk “ketidakberbahayaan yang dipelajari”.
Pendidik dalam pembelajaran kooperatif harus memahami informasi tentang
masalah belajar dan mengajar. Mereka mengetahui bagaimana siswa belajar dan
bagaimana mempelajari bahasa yang digunakan siswa. Mereka menilai bahasa dan budaya
yang dibawa oleh siswa ke dalam kelas. Mereka mengetahui tentang perbedaan budaya
dan bahasa dari siswa mereka, dan melihat perbedaan tersebut secara positif. Mereka
percaya bahwa struktur yang diarahkan kepada dan didominasi oleh guru perlu diganti
dengan sebuah pendekatan yang mengatur kelas menjadi sebuah lingkungan yang kaya
akan bahasa, sehingga siswa dapat berinteraksi dan belajar dari yang satu dengan yang
lain, serta dari guru dan dunia di sekitar mereka. Dengan kata lain, guru-guru dalam
pembelajaran kooperatif harus mempercayai pentingnya kolaborasi dan mendorong kerja
sama di kalangan siswa di dalam kelas.
2) Guru sebagai Kreator
Oleh karena kelas kooperatif berorientasi kepada proses, para guru dalam
pembelajarannya harus berpijak dengan kerja kelompok yang efektif dan harus menyadari
bahwa lingkungan belajar yaang kreatif perlu diciptakan secara terstruktur dan tersusun
dengan baik. Kunci-kunci untuk menstrukturisasi kelas pembelajaran kooperatif yang
sukses ditemukan dalam menciptakan iklim sosial, menetapkan tujuan, merencanakan dan
menstrukturisasi tugas, menetapkan tata ruang kelas, menempatkan siswa pada kelompok
dan peran, dan memilih materi serta menentukan waktu yang tepat.
Dalam pembelajaran guru memulai dengan penciptaan iklim sosial yang
mendorong kreativitaas. Lingkungan belajar harus positif, mengasuh, mendukung,
keamanan, toleran terhadap kesalahan, dan mempercayai anak. Individu dihargai dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
dihormati. Siswa didorong untuk mengambil risiko dan belajar dari kesalahan.
Lingkungan kelas aktif dan interaktif. Hal ini mendorong siswa menjadi produktif.
Unsur penting lain dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif adalah
membuat rekanan yang setara. Guru dan siswa menegosiasikan dan membentuk
pembelajaran bersama. Siswa memeroleh kepercayaan, bertanggung jawab atas
pembelajaran mereka.
Meskipun perencanaan dan pemrograman adalah untuk siswa, para guru
mempelajari tentang apa yang mereka ketahui tentang siswa dan apa yang akan tepat
dalam kaitannya dengan pendekatan dan sumberdaya. Pengalaman belajar yang terencana
terstruktur sehingga menjadikan siswa memiliki kesempatan untuk membangun
berdasarkan apa yang mereka ketahui, memiliki gagasan yang jelas tentang arah, dan
memiliki cukup waktu untuk mengembangkan pemahaman mereka. Guru memerlukan
waktu untuk mempelajari latar belakang siswa sebelum menentukan tujuan dan
menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif.
Sebelum pembelajaran dimulai, guru perlu menetapkan tujuan akademis dan
tujuan. Keterampilan kolaboratif akan ditekankan untuk membantu siswa untuk
menetapkan sasaran.
Ketika keputusan telah dibuat, guru harus berupaya menciptakan pengalaman
belajar yang terstruktur untuk menuju ketergantungan positif, pertanggungjawaban positif,
kerjasama antarkelompok, dan peluang bagi siswa yang belajar bahasa. Siswa dipacu
untuk menggunakan bahasa sesuai tujuan dan secara bermanfaat dalam konteks
keterampilan kerja sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Untuk memfasilitasi sebuah pendekatan pembelajaran kelompok, kelas sebaiknya
diatur sedemikian rupa sehingga siswa dapat duduk saling berdekatan dan berbicara pelan,
memelihara kontak mata, dan berbagi materi.
Akses siswa terhadap materi yang relevan juga harus dipertimbangkan. Ketika
siswa mencari lebih banyak informasi untuk pengalaman memecahkan masalah mereka,
mereka akan memerlukan buku referensi, kamus, dan buku-buku tentang subjek terkait.
Pertimbangan selanjutnya adalah menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok.
Kelompok merupakan dasar bagi organisasi kelas. Siswa dikelompokkan menurut faktor-
faktor yang diketahui oleh guru tentang pembelajar, misalnya tingkat kefasihan berbahasa,
kreatifitas, maupun sosial budaya.
Berapa lama suatu kelompok bekerja sama tergantung kepada beberapa variabel
yang dibahas, termasuk lamanya unit tersebut. Diharapkan dalam jangka panjang setiap
siswa akan bekerja dengan setiap teman sekelas.
Waktu sangat penting dalam melaksanakan kerja kelompok yang sukses. Reid
(1989) menyatakan apabila siswa tidak memiliki cukup waktu, mereka tidak dapat terlibat
dengan baik dalam eksplorasi yang diperlukan. Tekanan yang terlalu besar menghambat
pembelajaran yang efektif. Namun sebaliknya, waktu yang terlalu banyak juga akan
merusak pembelajaran kelompok ini. Etika guru dan siswa memeroleh lebih banyak
pengalaman dengan kelompok kerja, mereka akan mencapai suatu keseimbangan untuk
menggunakan waktu secara lebih efisien.
Di antara sumber daya yang paling penting yang diperlukan siswa adalah anggota
kelompoknya. Selain sumber daya tersebut, guru memilih materi yang otentik, sarat akan
tujuan, relevan secara budaya, dan meningkatkan interaksi dalam sebuah lingkungan yang
kaya akan bahasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
3) Guru sebagai Pengamat
Guru yang telah mengajar anak-anak dan mengevaluasi perkembangan mereka,
akan menjaga siswa, memfasilitasi pembelajaran mereka, dan mencoba menemukan
mengapa siswa melakukan apa yang mereka lakukan. Guru telah belajar untuk
menghargai kekuatan anak sebagai pengguna bahasa.
Memperhatikan dan mendengarkan siswa merupakan kegiatan alami dalam hari-
hari setiap guru. Kegiatan tersebut dapat bersifat formal dan informal, terencana atau tak
terencana. Pengamatan yang mendalam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
proses pengajaran. Pembelajaran kooperatif kelompok kecil memberikan kesempatan
kepada guru untuk mengamati, merefleksi, dan mengintervensi dengan cara yang
mendukung.
Ketika guru mendengarkan dan mengamati anak dalam pembelajaran, guru akan
mengetahui minat, kelebihan, kebutuhan dan perasaan siswa. Guru memperoleh
kesempatan untuk menilai interaksi kelompok dan memantau bagaimana siswa
mempraktikkan keterampilan sosial. Yang terakhir, mengamati kelompok yang sedang
bekerja memberikan dasar kepada guru untuk merefleksikan praktik belajar dan mengajar.
Hal ini memberi alasan bagi guru untuk melakukan intervensi yang mendukung.
Seperti yang disebutkan di atas, observasi dapat bersifat informal dan formal.
Salah satu jenis dari metode informal adalah observasi global sementara yang lebih
formal disebut observasi sistematis. Dalam observasi global, guru berdiri di belakang,
mendengarkan dan mencermati kelompok. Guru kemudian mencatat semua hasil
pengamatan, misalnya bahasa tubuh, tingkat keterlibatan, gerak isyarat, atau nada bicara.
Ketika hal itu dicatat, guru dapat merefleksikannya dengan upaya untuk menafsirkan
pengamatan dengan cara yang tidak menghakimi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Observasi sistematis memfokuskan pengamatan guru. Guru sering membuat
checklist untuk mengenali keterampilan-keterampilan yang penting untuk interaksi
kooperatif. Dalam dokumen Metro Toronto School Board Together We Learn (dalam
McDonell, 1992 : 170) dikemukakan bahwa untuk menggunakan checklist secara efektif,
guru didorong agar melakukan hal-hal berikut ini.
(1) Tidak terlalu mencolok, tidak mengalihkan perhatian siswa dari pekerjaan mereka.
(2) Pengamatan harus direncanakan secara cermat.
(3) Menggunakan sebuah lembar pengamatan untuk setiap kelompok.
(4) Membuat tanda tertentu setiap kali melakukan pengamatan keterampilan kooperatif.
(5) Mengamati komunikasi nonverbal, seperti ekspresi wajah dan postur tubuh.
(6) Menghindari pengamati semua hal secara global.
(7) Menggunakan waktu beberapa menit antarkelompok untuk membuat catatan tentang
ketidaktepatan umum dan pengamatan penting yang sesuai dengan kategori-kategori
dalam lembar pengamatan.
(8) Menjaga agar lembar pengamatan menilai perkembangan dari waktu ke waktu.
Pada awalnya, prinsip pembelaajaran kooperatif menganjurkan guru agar menjadi
pengamat. Guru diharapkaan menunjukkan peran sebagai pengamat. Pada saat siswa
sudah siap menerima peran, mereka akan mengetahui apa yang harus dilakukan. Guru
harus memberi tahu siswa tentang hasil pengamatan guru.Hal ini dapat menyebabkan
kegelisahan siswa menjadi berkurang ketika mereka diberitahu oleh guru tentang apa yang
dicari dan bagaimana mereka akan mengumpulkan dan melaporkan data.
Setelah melakukan pengamatan, guru diharapkan mengajukan pertanyaan, “Apa
arti semua itu?” Guru perlu merefleksikan tentang apa yang telah diamati untuk membuat
penilaian. Refleksi ini lebih mengarah kepada penetapan sasaran bagi keterampilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
kolaboratif, dan untuk merencanakan pengalaman belajar yang tepat. Guru dapat memilih
merefleksikan tentang situasi: (1) dengan mengajukan pertanyaan misalnya “Apa yang
sedang saya lakukan untuk mendorong ketergantungan ini?”; (2) Membicarakan hasil
pengamatan dengan kolega untuk mendapatkan opini yang berbeda, atau (3) Menyimpan
catatan pengamatan dan pertanyaan. Dalam satu periode ini, sebuah pola akan muncul
sehingga akan menginformasikan kepada guru.
4) Guru sebagai Fasilitator
Peran sebagai fasilitator bermakna bahwa guru disiapkan untuk melangkah ke tepi
untuk memberi peran yang berarti kepada siswa. Guru diharapkan menjadi fasilitator yang
memadai. Fasilitator-fasilitator yang efektif disiapkan untuk campur tangan dan
membantu dalam proses pemecahan masalah [problem-solving process]. Mereka
mendukung dan mendorong keinginan siswa untuk belajar lebih aktif.
Guru sebagai fasilitator akan menjelajahi seluruh ruangan, menolong murid-murid
dan kelompok-kelompok seiring munculnya kebutuhan. Selama waktu ini, guru
berinteraksi, mengajar, memfokuskan kembali, menanyai, mengklarifikasi, mendukung,
menjabarkan, merayakan, dan menegaskan. Bergantung kepada problem apa yang
berkembang, perilaku-perilaku yang mendukung harus digunakan. Fasilitator memberikan
umpan balik, mengalihkan [redirecting] kelompok dengan pertanyaan-pertanyaan,
mendukung kelompok untuk memecahkan masalahnya sendiri, memperluas aktivitas,
mendorong pemikiran, mengatur konflik, mengobservasi murid-murid, dan menyediakan
sumber daya (Cohen, 1986). Sekali lagi, siswa menerima pesan bahwa guru memiliki
kepercayaan pada kemampuan mereka untuk memecahkan masalah-masalah. Kontrol dari
tugas dipindahkan dari guru ke siswa. Para siswa didorong secara terus menerus menuju
tujuan dari pemecahan masalah yang sukses.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Sementara guru memfasilitasi pembelajaran akademik dan sosial, ada banyak
demonstrasi di ruang kelas. Ketika guru ikut membantu, ada demonstrasi-demonstrasi
bahasa dan perilaku-perilaku pemecahan masalah. Saat para siswa didorong untuk
kembali dalam suatu diskusi untuk mengejar strategi baru, ada demonstrasi-demonstrasi
negosiasi. Ketika para siswa diminta untuk becermin pada bagaimana kelompok itu
bekerja sama, ada demonstrasi keterampilan kooperatif [cooperative skills]. Terakhir,
tetapi bukan yang paling sedikit [last but not least], adalah fakta bahwa fasilitator
mendemonstrasikan kepemimpinan yang efektif [effective leadership]. Jika apa yang
diungkapkan Smith (1988) benar – bahwa para siswa mempelajari apa yang
didemonstrasikan guru pada mereka – lalu kita bisa mengasumsikan bahwa demonstrasi
dan kolaborasi memiliki efek pemberdaya dan pemberi kuasa kepada siswa, maka mereka
telah belajar bahasa dengan baik.
5) Guru sebagai Agen Perubahan
Dalam sebuah pidato paripurnanya yang berjudul “How School Must Change”
(Bagaimana sekolah harus berubah) yang diberikan kepada Ontario Reading Association
pada bulan Oktober 1989, Frank Smith menyatakan bahwa salah satu perubahan yang
dapat membuat perbedaan yang signifikan di sekolah adalah perubahan-perubahan yang
dibuat dalam struktur sosial. Dengan kata lain, struktur soaial adalah perubahan yang
mempengaruhi cara guru dan siswa untuk merasakan satu sama lain sehingga mereka
akhirnya memengaruhi iklim sosial bagi pembelajaran.
Apabila itu menjadi kasusnya, maka basis untuk perubahan yang efektif di
sekolah-sekolah terletak pada hubungan-hubungan interpersonal yang ditemukan di antara
sekolah tersebut. Selanjutnya kita menguji hubungan-hubungan sosial ini dengan tujuan
mengubah kondisi sekolah? Smith menyarankan agar kita memulai dengan pemeriksaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
kolaboratif [collaborative inquiries] kepada guru dan siswa. Di samping itu, juga
pemeriksaan ruang kelas yang menjadi agen natural bagi perubahan.
Glenda Bissex (Bissex dan Bullock, 1987) dan Ann Berthoff (dalam Goswani dan
Stillman, 1987) mendukung pandangan tersebut. Para peneliti ini menyatakan bahwa guru
mempunyai peran kunci dalam mereformasi ruang kelas. Mereka juga menyatakan bahwa
ketika guru menyiapkan ruang kelas untuk menjadi tempat pemeriksaan, pertanyaan-
pertanyaan yang dieksplor dalam konteks yang penuh arti, maka dampaknya sangat
positif. Selanjutnya guru dan siswa berkolaborasi untuk mencari jawaban, kemudian guru
mempunyai peran yang terdefinisi ulang sebagai guru-peneliti. Dengan menjadi peneliti,
guru mengambil alih kontrol dari kelas mereka dan menjadi ahli dalam diri mereka.
Mereka memercayai intuisi sendiri, mengambil risiko, dan percaya pada diri-sendiri
sebagai bagian dari proses pembuatan keputusan. Hasilnya adalah bahwa mereka
mengklaim otonomi dan membebaskan diri mereka dari paksaan kekuatan-kekuatan dari
luar. Mereka membangkitkan profesionalisme dengan aktif dan dihormati sebagai
profesional. Guru adalah faktor terpenting dalam ruang kelas yang ditransformasi dalam
aktivitas pembelajaran.
Bissex & Bullock (1987) mendefinisikan guru-peneliti sebagai orang yang
mengobservasi, menanyai, mempelajari, sehingga menjadi guru yang lebih sempurna.
Dalam pembelajaran kooperatif, guru mengamati siswa dan proses pembelajaran dalam
setting kelompok kecil. Ini tampak lebih jelas dengan sebuah pengamatan yang
terinformasi pada apa yang sedang terjadi di ruang kelas yang merupakan bagian dari
proses guru sebagai observer dan peneliti.
Dari observasi-observasi ini timbul keinginan untuk mengetahui lebih mendalam
tentang suatu masalah pembelajaran. Masalah-masalah menjadi pertanyaan-pertanyaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
untuk diinvestigasi dan menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada untuk belajar.
Guru-guru terus tumbuh dalam peran mereka sebagai peneliti ketika mereka menanyakan
pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa itu pembelajaran kelompok? Bagaimana para siswa
berinteraksi? Apa yang siswa nilai? atau Apa yang telah siswa pelajari dari pengalaman
ini?
Proses pertanyaan ini menghasilkan guru menjadi peneliti yang baik. Perhatian
difokuskan kepada apa yang telah dipelajari guru daripada hanya apa yang guru ajarkan.
Dalam komunitas kooperatif ini semuanya belajar, baik guru maupun siswa. Guru
memberikan pertanyaan kepada siswa dan kepada diri mereka sendiri dengan tujuan untuk
belajar.
Sebagai hasil dari observasi, pertanyaan, dan pembelajaran ini, biasanya dapat
ditemukan kelemahan guru sehingga dapat diperbaiki. Ditemukan seorang guru yang
mengetahui, memahami, dan dapat melakukan yang seharusnya. Yang lebih penting,
sebagai hasil mempelajari kegiatan siswa dan lingkungan kelas, guru-guru sudah mulai
menguji dirinya menjadi bagian dari konteks dan cara mereka mengajar. Guru memeriksa
dan menjadikan dirinya pada reformasi edukasional yang dilakukannya.
Praktik ilmu pengetahuan yang disampaikan secara lisan, memungkinkan guru
menjadi komunikator. Guru sekarang dapat mengartikulasikan alasan-alasan untuk
mengajarkan sebuah cara tertentu dan menjelaskan mengapa pembelajaran kooperatif
digunakan oleh siswa untuk belajar bahasa. Guru dapat menjadi seorang advokat bagi
siswa yang belajar bahasa, mengomunikasikan inisiatif-inisiatif dan program-program
untuk siswa, staf, orang tua, dan komunitas secara luas.
Guru harus berkolaborasi dengan orang-orang yang menjadi sumber daya
komunitas yang bisa menyediakan pengertian mendalam kepada siswa dan guru tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
kebudayaan, agama, dan tradisi kebahasaan yang berbeda sehingga menandai populasi
siswa (Cummins, 1989). Sekolah-sekolah bertindak sebagai agen perubahan ketika
mereka menerima dan bertanggung jawab dalam semua dimensi yang lebih kolaboratif.
Sebagaimana yang disampaikan Cummins, kita sering kurang adil dalam memberdayakan
dan memberi kuasa kepada siswa dalam konteks sekolah bahwa komunitas sendiri kurang
diberdayakan melalui interaksi mereka dengan sekolah. Pada hal interaksi sosial adalah
bagian yang sangat penting bagi orang tua dan guru untuk menjadi partner dalam
pendidikan murid.
Guru sebagai agen perubahan, mempunyai makna bahwa perubahan yang
dilakukan oleh guru harus secara eksplisit dapat dirasakan. Derajat perubahan harus
terjadi pada level guru dan ini betul-betul berhubungan dengan luasnya guru dalam
berinteraksi dengan guru yang lain (Fullan, 1982). Keberhasilan pada level sekolah
mengandalkan kebersamaan antarguru. Dalam hal ini, guru harus memberikan dukungan
yang optimal pada pembelajaran kooperatif. Guru harus didorong menggalakkan untuk
melakukan pembelajaran kooperatif Prosesnya akan sama seperti yang digunakan untuk
mendorong kooperatif di antara para siswa (Johnson dan Johnson, 1994). Kepercayaan
yang cukup dan keterbukaan harus dihadirkan sehingga guru mampu berbagi ide, meminta
pertolongan pada yang lain, dukungan dan saling bergantung satu sama yang lain yang
berhubungan dengan kepentingan bersama dan berkeinginan bersama untuk belajar dan
mengembangkan pekerjaan. Demonstrasi-demonstrasi kerja guru secara kolaboratif adalah
dorongan terbaik untuk menimbulkan jiwa kooperatif di antara para siswa.
Pesan yang tertera dalam peran guru dalam pembelajaran kooperatif ini adalah
guru merupakan kunci pembelajaran. Guru membuat perbedaan, Christa McAuliff, guru
astronot, pernah berkata, “Saya menyentuh masa depan, karena saya mengajar.” Kita akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
membuat dampak yang kekal. Baik kita menyukainya atau tidak, guru mendemonstrasikan
apa yang dipelajari oleh siswa. Bagaimana siswa mengalami kehadiran kita adalah apa
yang diingat. Apabila memori ini signifikan, kita sebagai guru harus menghidupkan nilai-
nilai besar dan mengundang siswa untuk mendalaminya (Van Manen, 1986). Hanya inilah
yang kemudian membuat kita menjadi guru yang berharga untuk dikenang.
3. Hakikat Kemampuan Logika Berbahasa
a. Pengertian Logika Berbahasa
Logika merupakan pengetahuan tentang kaidah berpikir. Logika berasal dari
bahasa Yunani logos, yang artinya hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan
melalui kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah ilmu bernalar secara tepat. Hal
itu berarti bahwa ilmu bernalar berusaha menemukan dan menyatakan kaidah-kaidah
sesuai dengan kegiatan berpikir yang dapat dinilai baik atau buruk, benar atau salah, atau
masuk akal atau tidak (Leonard, 1967: 11-12). Sementara itu, Copi (1978: 3) menyatakan
bahwa logika adalah studi tentang metode dan prinsip yang digunakan untuk membedakan
penalaran yang benar dari penalaran yang tidak benar. Konsep bentuk logis adalah inti
dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan sebuah argumen ditentukan oleh
bentuk logisnya, bukan oleh isinya.
Logika terdiri atas dua bagian, yaitu bahasa dan cara penalarannya. Logika
berbahasa adalah penalaran secara umum dengan menggunakan media bahasa (Hasan
Alwi, 2007:680). Logika adalah alat utama untuk mempresentasikan dan bernalar tentang
pengetahuan. Secara khusus diperlukan adanya kemampuan untuk bernalar secara logis.
Keuntungan menggunakan bahasa yang logis dalam kecerdasan buatan adalah bahwa
bahasa mempresentasikan hal yang terbatas dan secara tepat (Puchta dan Rinvolucri,
2005: 5). Sementara itu, berbahasa pada hakikatnya juga bernalar, artinya bahwa dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
tindak berbahasa juga terlibat strategi yang bersifat lain yang bukan sekadar penggunaan
kata-kata. Kejelasan, keruntutan, dan ketepatan penggunaan kata-kata dalam berbahasa
berhubungan dengan logika seseorang, kemampuan berpikir logis seseorang. Logika
bahasa memiliki tiga aspek utama, yakni berkaitan dengan gramatikal secara umum
(morfologi, sintaksis, wacana), semantik, dan metode penalarannya. Oleh karena itu,
logika berbahasa sering disebut logika verbal.
Logika berbahasa atau logika verbal adalah kecerdasan kata-kata atau kemampuan
untuk menggunakan inti dari cara kerja bahasa dengan jelas. Komponen utama dari
kecerdasan ini dijalankan melalui komunikasi dengan cara membaca, menulis,
mendengarkan, dan berbicara. Penggunaan kecerdasan ini membantu menghubungkan
antara ilmu dan pemahaman yang telah dimiliki dengan informasi-informasi baru serta
menjelaskan bagaimana hubungan itu terjadi (Bellanca, 2011: 2). Kecerdasan verbal
memungkinkan pemikiran seseorang dikomunikasikan dengan pihak lain, sehingga
kecerdasan ini memiliki nilai lebih di sekolah.
Secara umum logika berbahasa digolongkan menjadi dua, yaitu logika induktif dan
logika deduktif. Logika induktif adalah logika yang bertolak dari yang khusus atau
spesifik menuju pada suatu simpulan umum (D’Angelo, 1978: 241-242). Generalisasi,
analogi (induktif maupun deklaratif), dan hubungan sebab akibat adalah bagian dari logika
induktif. Sedangkan logika deduktif menggunakan berpikir silogisme. Logika ini bertolak
dari keadaan secara umum untuk menuju kenyataan-kenyataan secara spesifik. Di
dalamnya terdapat premis-premis, yaitu premis mayor (umum) maupun premis minor
(khusus). Dalam logika deduktif, premis mayor dikemukakan terlebih dahulu, baru
kemudian diikuti dengan premis-premis minor sebagai penjabarannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
b. Multiple Intelligences sebagai Dasar Logika Berbahasa (Kecerdasan Linguistik)
Kemampuan logika berbahasa adalah salah satu dari jenis kecerdasan ganda
(multiple intelligences) yang terdapat dalam diri manusia (Gardner, 1989: 9). Pada awal
penemuannya yang tertuang dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences (1983), ahli ini mengemukakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki
kecerdasan yang berbeda-beda. Kecerdasan majemuk yang dikemukakan menjelaskan
manusia memiliki delapan kecerdasan, yaitu kecerdasan bahasa (kepekaan pada makna
dan susunan kata), kecerdasan logika matematika (kemampuan menangani
relevansi/argumentasi serta mengenali pola dan urutan), kecerdasan musikal (kepekaan
terhadap pola titinada, melodi, irama, dan nada), kecerdasan kinestetik tubuh (kemampuan
menggunakan tubuh dengan terampil dan memegang objek dengan cakap), kecerdasan
spasial (kemampuan mengindera dunia secara akurat dan menciptakan kembali atau
mengubah aspek-aspek dunia tersebut), kecerdasan natural (kemampuan untuk mengenali
dan mengklasifikasi aneka spesies flora dan fauna dalam lingkungan), kecerdasan
interpersonal (kemampuan untuk memahami orang dan membina hubungan), dan
kecerdasan personal (kemampuan emosianal sebagai sarana untuk memahami diri dan
orang lain).
Sementara itu, dalam buku berikutnya yang berjudul Multiple Intelligences: The
Theory in Practice, Gardner (1993) menyempurnakan temuannya dengan membedakan
keterampilan majemuk ini menjadi sembilan jenis kecerdasan. Kesembilan jenis
kecerdasan manusia tersebut adalah kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence),
kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence), kecerdasan logikal-matematikal
(logical-mathematical intelligence), kecerdasan linguistik (linguistic intelligence),
kecerdasan musikal (musical intelligence), kecerdasan spasial (spatial intelligence),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
kecerdasan kinestetik jasmani (kinaesthetic bodily intelligence), kecerdasan natural
(natural intelligence), dan kecerdasan eksistensial (existencial intelligence).
1) Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal Intelligence)
Kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan pemahaman diri atau pengenalan
diri, yaitu kemampuan untuk mengenal diri sendiri, belajar, dan menentukan tanggung
jawab dalam hidupnya. Orang yang memiliki kecerdasan intrapersonal tinggi, dapat
memahami kisaran emosinya dan menggunakannya untuk mengatur sikap dan tingkah
lakunya, dengan tepat dapat berpikir cepat, menampilkan dan menilai dirinya.
Pada kecerdasan ini, horizon adalah batas dari diri berada. Kecerdasan ini harus
dilakukan dengan kebahagiaan dalam diri sendiri, kegembiraan dengan mengetahui
dirinya, sebuah kesadaran atas perasaan dan keinginan-keinginan diri sendiri. Sebuah
kemampuan untuk membaca secara abstrak tentang diri dan membayangkannya adalah
bukti yang baik dari kecerdasan intrapersonal dalam kerja.
2) Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intelligence)
Kecerdasan interpersonal adalah kecerdasan untuk bersosialisasi dan
bermasyarakat, atau kemampuan untuk memahami dan berhubungan dengan orang
lain. Orang yang menunjukkan kecerdasan ini dapat melihat dan membedakan suasana
hati, watak, sikap, motivasi, dan maksud seseorang. Kecerdasan ini termasuk
kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain dengan hasil saling
menguntungkan. Kecerdasan interpersonal meliputi kemampuan komunikasi verbal
dan nonverbal, kemampuan bekerja sama, kemampuan mengelola konflik,
kemampuan membuat perjanjian. Di samping itu, juga kemampuan untuk
mempercayai, menghargai, memimpin, dan memotivasi orang lain untuk mencapai
hasil yang saling menguntungkan bagi kedua pihak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Kapasitas inti dalam kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk
mengetahui dan membuat pembedaan di antara individual yang satu dengan lainnya,
khususnya antara suasana hati [moods], temperamen-temperamen, motivasi-motivasi,
dan niat orang lain. Hal ini dapat diketahui dari bentuk yang paling dasar, yaitu
kecerdasan interpersonal menjadikan seseorang mampu membedakan antara
individual-individual yang satu dengan yang lain di sekitarnya dan mampu mendeteksi
bermacam-macam perasaan mereka. Bentuk-bentuk yang sangat baik untuk
dikembangkan dalam kecerdasan ini ditemukan pada pemimpin-pemimpin organisasi
massa. Sentral dari kecerdasan ini adalah kemampuan untuk mendengarkan apa yang
kelihatannya dikatakan oleh orang lain, sehingga mampu memperoleh hubungan yang
baik dengan orang lain dan akhirnya menjadi ahli dalam negosiasi dan persuasi.
3) Kecerdasan Logikal-Matematikal (Logical-Mathematical Intelligence)
Kecerdasan logika-matematika adalah kecerdasan angka dan alas an, atau
kemampuan untuk menggunakan alasan-alasan induksi dan deduksi, memecahkan
masalah-masalah abstrak, dan memahami hubungan-hubungan yang kompleks dari
hal-hal, konsep-konsep dan ide-ide yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya.
Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk mengklasifikasi, memprediksi,
menentukan prioritas, menyusun hipotesis ilmiah, dan memahami pola hubungan
sebab-akibat.
Sebuah contoh yang jelas dari kecerdasan logikal-matematikal adalah pada
kerja kecepatan berpikir untuk menjawab masalah. Kecerdasan ini sering
diasosiasikan dengan pemikiran “ilmiah”. Einstein menggunakan sedikit kata untuk
mengungkapkan ide yang luas dengan kejelasan yang tajam. Itu sering mulai berperan
dalam bagian analitis dari pemecahan-masalah, ketika kita menghubungkan koneksi-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
koneksi dan menetapkan relasi-relasi di antara potongan informasi yang kelihatan
terpisah. Ketika kita menemukan pola-pola, dan juga terlibat dalam perencanaan untuk
membuat prioritas dan pengaturan. Pemikiran analistis inilah yang cenderung disebut
sebagai kecerdasan logika matematika.
4) Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligence)
Sartre (dalam Puchta, 2005: 21) menyatakan:
Dengan menulis saya eksis, dengan membaca jendela terbuka. Dengan pena saya berpacu dengan sangat cepat sehingga pergelangan tangan saya sering terluka. Saya akan melempar buku-buku catatan yang terisi ke lantai, saya akan membacanya dan secepatnya melupakannya, mereka akan menghilang ... Saya menulis dengan tujuan untuk menulis. Saya akan membaca sebanyak-banyaknya. Saya tidak menyesal. Setelah saya baca saya mencoba untuk menyenangkan hati. Saya akan menjadi sebuah keajaiban lagi. Menjadi tersembunyi, saya yang sejati.
Pernyataan Sartre ini, ingin mengungkapkan betapa seseorang memiliki kecerdasan
berbahasa atau linguistik. Kecerdasan linguistik adalah sebuah kecerdasan yang
memperhatikan dengan intens perihal aspek linguistik. Kecerdasan ini teraplikasi
dalam kemampuan logika berbahasa. Logika berbahasa digambarkan sebagai
penyampaian/penangkapan ide melalui tulisan/tuturan yang memenuhi standar kohesi
dan koherensi. Ini berkaitan dengan semua unsur pembangun bahasa, yaitu: ejaan,
fonologis, morfologis, sintaksis, paragraf, wacana, dan semantik
Paragraf dalam bentuk tulisan/tuturan merupakan satuan informasi dengan ide
pokok sebagai pengendalinya. Informasi yang disampaikan dalam kalimat tulisan/tutur
yang satu berhubungan erat dengan informasi yang dinyatakan dalam kalimat
tulisan/tutur yang lain dalam sebuah paragraf. Demikian pula antara paragraf yang
satu dan paragraf lainnya haruslah mempunyai keterkaitan dan keserasian sehingga
membangun wacana yang komprehensif. Tanpa adanya keterkaitan ataupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
keserasian, informasi-informasi tersebut sulitlah dipahami makna komulatifnya. Oleh
karena itu, kohesi dan koherensi memegang peran penting dalam logika berbahasa.
Kohesi adalah kepaduan di bidang bentuk, sedangkan koherensi adalah kepaduan
dibidang makna.
Seseorang yang memiliki kecerdasan linguistik yang kuat, dengan mudah
dapat memahami hubungan antara penanda dan petanda [signifier and signified]
secara memadai. Demikian juga dapat mendeskripsikan dengan baik pemikiran logika-
matematika, karena hal ini sangat diperhatikan dalam kecerdasan linguistik. Namun
demikian, hal ini harus berkaitan dengan penggunaan bahasa yang berhubungan
dengan kata dan kalimat dalam wacana. Di samping itu, sikap linguistik juga berpijak
pada hubungan bentuk dan isi. Bentuk adalah unsur-unsur bahasa yang membangun
sebuah wacana, sedangkaan isi adalah makna yang tersurat maupun tersirat yang
terkandung di dalam wacana.
5) Kecerdasan Musikal (Musical Intelligence)
Saya ingin menemukan nada-nada untuk bagian-bagian dari setiap unit. Saya memiliki hak untuk menggunakan Walkman saya dalam bagian membaca dan menulis dari pelajaran. Bisakah kita mendapatkan nyanyian jazz lebih banyak? Saya ingin menyanyikan tatabahasa. Saya memiliki hak untuk mendengarkan musik yang membuat saya rileks. Saya memiliki hak untuk mendengarkan musik yang mengungkapkan perasaan saya. Saya memiliki hak terhadap musik untuk menerangi/meringankan kerja bahasa saya.
(Grice dalam Puchta, 2005: 22)
Seseorang yang memiliki kecerdasan musikal yang berkembang dengan baik, akan
mudah meraih keuntungan dalam dunia detak, ritme, nada, alunan, volume, dan
pengaturan suara. Oleh sebab itu, beruntunglah guru bahasa, karena kebanyakan fitur-
fitur tersebut adalah bagian yang wajar dalam linguistik. Meskipun demikian, dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
dipilih mana yang perlu mendapatkan tekanan dan mana yang tidak. Dengan
demikian, bagi siswa yang bagus kecerdasan musikalnya, hal ini akan menjadi mudah
untuk dilakukan. Secara singkat dapat dikatakan kecerdasan musikal adalah kepekaan
seseorang terhadap pola titinada, melodi, irama, dan nada.
Saat siswa mengembangkan keterampilan musiknya, mereka juga
mengembangkan dasar-dasar kecerdasan ini. Kecerdasan musikal ini berkembang
seiring dengan meningkatnya kepuasan siswa saat mendengarkan musik.
Perkembangan berikutnya terjadi saat siswa menciptakan variasi pola musik yang
lebih kompleks dan lebih halus, mengembangkan bakat terhadap alat-alat musik,
dilanjutkan dengan minat terhadap komposisi musik yang kompleks.
6) Kecerdasan Spasial (Spatial Intelligence)
Kecerdasan spasial adalah kecerdasan terhadap bentuk dan gambar, atau
kemampuan untuk memahami dunia visual secara akurat dan menghadirkan kembali
pengalaman-pengalaman visualnya. Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk
melihat bentuk, warna, figure, daan tekstur dalam “pikiran yang dimiliki mata” dan
mengubahnya ke dalam tampilan nyata berbentuk seni.
Kecerdasan ini dimulai dari penajaman sensor motorik penglihataan dan
kesadaran. Mata membedakan warna, bentuk, figure, tekstur, kedalaman ruang,
dimensi, dan hubungan. Saat kecerdasan berkembang, koordinasi mata-tangan dan
otot-otot yang mengontrolnya memungkinkan individu yang bersangkutan dapat
menghadirkan kembali figur dan warna pada berbagai media. Berikut ilustrasi tentang
kecerdasan ini. Bayangkan diri Anda berdiri di luar sebuah gedung besar yang Anda
ketahui dengan baik, seperti gedung teater, kolam renang, masjid atau lapangan
santai. Perhatikan hubungan antara gedung itu dengan ruang di sekitarnya. Tutup mata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Anda. Secara mental masuki gedung tersebut. Berdirilah terpaku sekali Anda berada
di dalam, dan perhatikan apa yang dapat Anda dengar, dan bagaimana ruang yang
Anda rasakan di sekitar yang Anda rasa – suhu, kekeringan atau kelembaban tempat
tersebut. Sekarang secara mental buka mata Anda dan lihat di sekitar Anda. Garis apa
yang Anda perhatikan? Warna-warna apa? Dan apa itu permainan terang dan gelap di
sini dan sana di antara ruang tersebut? Gardner menyajikan kecerdasan spasial
terutama bergantung pada kemampuan kita untuk melihat. Intinya kecerdasan ini
adalah kemampuan mengindera dunia secara akurat dan menciptakan kembali atau
mengubah aspek-aspek dunia tersebut.
7) Kecerdasan Kinestetik Jasmani (Kinaesthetic Bodily Intelligence)
Kecerdasan kinestetik adalah kecerdasan seluruh tubuh, untuk memung-kinkan
mengontrol dan menginterpretasikan gerakan-gerakan tubuh, mengatur objek-objek
fisik, dan membangun keseimbangan antara tubuh dan jiwa.
Karakteristik dari kecerdasan ini adalah kemampuan untuk menggunakan
tubuh dengan tepat, yang setiap individu memiliki cara yang sangat berbeda dan
keterampilan yang berlainan. Baik untuk ekspresif, seperti kegunaan yang mengarah
ketujuan maupun lainnya. Karakteristik lain juga merupakan kapasitas untuk bekerja
secara mahirnya dalam menanggapi suatu objek, keduanya melibatkan pergerakan
motor yang baik dari jari-jari dan tangan seseorang. Hal itu akan mengeksploitasi
pergerakan dari tubuh. Jadi kecerdasan kinestetik tubuh sangat berkaitan dengan
kemampuan menggunakan tubuh maupun organnya secara terampil dan memegang
objek dengan cakap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
8) Kecerdasan Natural (Natural Intelligence)
Kecerdasan natural adalah kecerdasan alamiah yang lahir dari kemampuan
seseorang untuk mengenali spesies-spesies tumbuhan dan hewan yang ada di
lingkungan hidup, kemudian menciptakan taksonomi untuk mengelompokkan ke
dalam beberapa subspecies. Kecerdasan natural harus dilakukan dalam harmoni
dengan alam dengan berbagai cara dan dari banyak orang, dari yang terdahulu sampai
pada masa mendatang.
Beberapa karakteristik seseorang yang memiliki kecerdasan natural ini,
misalnya seorang anak kecil yang dapat memetik beberapa jenis bunga, menyebutkan
nama hewan-hewan yang berbeda, bahkan mampu mengelompokkan barang-barang
seperti sepatu, mobil-mobilan, pakaian berdasarkan kesamaan yang dimiliki barang-
barang tersebut. Di samping itu, juga misalnya seorang anak yang ada di taman dan
menghadapi tanaman, yang memiliki sebuah kesadaran setengah naluriah dan
setengah berdasarkan pengetahuan, mulai dari kapan menyiram, kapan tidak
menyiram, kapan memupuk, kapan menyiangi rumput dan kapan meninggalkannya
tanpa gangguan apapun. Semua ini harus dilakukan dengan kecerdasan natural. Jadi
kecerdasan natural adalah kemampuan seseorang untuk mengenali dan
mengklasifikasi aneka spesies, flora, dan fauna dalam lingkungan kehidupan.
9) Kecerdasan Eksistensial (Existencial Intelligence)
Kecerdasan ini berkait dengan keberadaan diri kita di alam ini. Kecerdasan ini
harus dilakukan dengan persepsi dari apa itu alam baka, apa yang lebih tinggi, apa
yang lebih besar dari kita. Mungkin Anda memiliki teman yang pergi pada ruang-
ruang tertentu dan merasakan sesuatu yang sulit bagi mereka untuk ditekankan dengan
bukti-bukti dan menuliskannya. Kita memiliki teman seperti orang yang menggetarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
dan diisi oleh sesuatu yang terlalu suci untuk dikatakan/ tak terlukiskan setiap kali dia
memasuki tempat suci tertentu. Ketika Anda becermin pada kekayaan pengalaman
berpikir yang telah ditimbulkan dalam beberapa halaman terakhir, lalu jelaslah bahwa
tes-tes kecerdasan standar penurun yang tampak nyata tidak cukup. Namun,
dikebanyakan tempat mereka masih memegang cara politis dan institusional.
Kesembilan jenis kecerdasan ini tidak bersifat paten, tetapi dapat dikembangkan
dan ditingkatkan dengan dilatih menggunakan strategi tertentu (Goleman, 2000; Puchta
dan Rinvolucri, 2005: 7-11; Khairil Ansari, 1997). Demikian juga, ada seseorang yang
memiliki kecerdasan lebih dari satu, namun dapat dilihat kecerdasan jenis apa yang paling
menonjol.
Berkait dengan penelitian ini, penulis mengangkat kecerdasan berbahasa. Logika
berbahasa diperlukan juga dalam beberapa bidang aktivitas yang berkaitan dengan
keterampailan berbahasa. Dalam penelitian ini kemampuan logika berbahasa sangat
berkait dengan kecerdasan linguistik sebagaimana yang disampaikan oleh Howard
Gardner di atas.
c. Kemampuan Logika Berbahasa
Kemampuan (ability) adalah kesanggupan untuk melakukan suatu perbuatan.
Kemampuan ini dapat berupa kesanggupan bawaan sejak lahir, dan merupakan hasil
latihan atau praktik (Chaplin, 2000: 11). Oleh karena bawaan sejak lahir, kemampuan
jenis pertama bersifat statis, sedangkan kemampuan yang kedua dapat dikembangkan
pada masa mendatang asalkan disertai dengan pengkondisian dan latihan yang memadai.
Sementara itu, menurut ahli yang lain, kemampuan dinyatakan sebagai kesanggupan atau
kepandaian yang dapat dinyatakan melalui pengukuran-pengukuran tertentu (Fuad Hasan,
1981: 43-44).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Aristoteles menunjukkan bahwa akar penalaran dan pemahaman sesuatu konsep
berdiri di atas landasan logika. Bahasa memiliki keteraturan struktur gramatikal dan
bentuk kata dan kesepadanan antara bentuk gramatikal dan makna kata. Di sini bahasa
dipandang memiliki sifat kategorial. Dengan demikian orang dapat mengungkapkan
pikiran dan pernyataan melalui penalaran, dan dengan menggunakan batasan dari masing-
masing definisi tersebut (Robins, 1980:315). Dengan kata lain, logika menjadi pikiran
yang terungkap melalui bahasa. Logika ini berkaitan dengan penggunaan bahasa yang
berhubungan dengan kata dan kalimat dalam wacana. Di samping itu, sikap linguistik juga
berpijak pada hubungan bentuk dan isi. Bentuk adalah unsur-unsur bahasa yang
membangun sebuah wacana, sedangkaan isi adalah makna yang tersurat maupun tersirat
yang terkandung di dalam wacana.Bentuk-bentuk pemikiran dalam logika diawali dari
suatu konsep, kemudian proposisi atau pernyataan, serta ketepatannya berdasarkan
penalaran, termasuk inferensi (Sri Samiati Tarjana, 2009: 100). Konsep menunjukkan
pemahaman atau pengertian atas sesuatu makna pada sistem lambang dari bahasa, yang
dapat dibedakan antara leksikon dan definisi. Proposisi menunjuk pada pemahaman ,
pengertian, atau skemata yang muncul dari rangkaian leksikon. Pada umumnya hal ini
terbentuk dari terma yang diposisikan sebagai predikat atau argumen. Ada pun inferensi
menunjuk pada penarikan simpulan berdasarkan proposisi-proposisi, apakah berterima
secara nalar atau tidak (Cruse, 1986; Tannen, 1994).
d. Definisi Konseptual Kemampuan Logika Berbahasa
Kata kemampuan dapat diartikan sebagai kesanggupan, kecakapan, dan
kekuatan. Dalam kaitannya dengan logika berbahasa, kemampuan merupakan kecakapan
dalam menggunakan penalaran yang berhubungan dengan bahasa. Dengan demikian,
kemampuan logika berbahasa adalah kesanggupan seseorang mengungkapkan ide melalui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
bahasa dan cara penalarannya yang dapat dinyatakan melalui pengukuran-pengukuran
tertentu, baik kejelasan, keruntutan, dan ketepatan penggunaan kata-kata dalam berbahasa
berhubungan dengan logika seseorang ataupun kemampuan berpikir logis seseorang.
Logika bahasa memiliki tiga aspek utama, yakni berkaitan dengan gramatikal secara
umum (morfologi, sintaksis), semantik, dan metode penalarannya.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Berkait dengan model pembelajaran kooperatif dalam bahasa, Sharan
dan Shanchar (1988) melakukan eksperimen dengan menggunakan dua kelompok siswa
sekolah dasar. Kelompok eksperimen diberikan perlakuan pendekatan pembelajaran
bahasa dalam kelas model kooperatif, sedangkan pada kelompok kontrol dengan
pendekatan model konvensional. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang belajar
bahasa dengan model kooperatif, hasilnya jauh lebih baik dibandingkan dengan siswa
yang belajar dengan model konvensional. Pengetahuan dan keterampilan bahasa siswa
yang belajar dengan model kooperatif meningkat cukup signifikan apabila dibandingkan
dengan sebelum mereka belajar dengan model ini. Sementara yang menggunakan model
konvensional peningkatannya kurang memuaskan. Ini berarti model kooperatif sangat
efektif untuk pembelajaran bahasa.
Hasil penelitian Ameliana Sapitri (2006), tentang penerapan model pembelajaran
kooperatif melalui strategi Raund Table untuk meningkatkan kemampuan membaca pada
siswa SD di Jawa Barat, menunjukkan bahwa hasil pembelajaran membaca dengan
pembelajaran kooperatif jauh lebih baik dari pada pembelajaran konvensional.
Penelitian tentang model pembelajaran CIRC, yang dilakukan Stevens dan Slavin
(1986) maupun Hertz-Lazarowitz, dkk. (1993) dalam penelitian masing-masing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif model CIRC, sangat unggul untuk
meningkatkan kemampuan membaca dan menulis.
Model pembelajaran kooperatif jenis STAD dalam sikap membaca, juga dilakukan
oleh Frantz (1979) dalam penelitiannya yang berjudul The Effect of Student Teams
Achievement Approach in Reading on Peer Attitudes, hasilnya menunjukkan pengaruh
yang meyakinkan model pembelajaran STAD dalam meningkatkan minat baca siswa.
Penelitian Evi Febicahyanti Manepong (2009) Penerapan Model STAD (Student
Teams Achievement Division) dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman Kelas VII SMP
Negeri 29 Bandung Jawa Barat, menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif
(STAD) lebih efektif digunakan dibandingkan model pembelajaran tradisional untuk
meningkatkan kemampuan membaca pemahaman cerita anak terjemahan.
Berkait dengan model pembelajaran Jigsaw, Mattingly dan Vansickle dalam
review penelitiannya pada Journal Social Education (1991, 55 (6), 392-395) dengan topik
Cooperative Learning and Achievement in Social Studies: Jigsaw II, menyatakan
pembelajaran kooperatif jenis jigsaw II sangat efektif untuk meningkatkan ilmu social.
Dari beberapa hasil penelitian tentang model pembelajaran kooperatif di atas,
dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran ini sangat baik untuk diterapkan dalam
rangka meningkatkan keterampilan membaca. Namun demikian, penelitian-penelitian di
atas masih bersifat parsial, belum dibandingkan satu dengan lainnya sehingga kelebihan
dan kekurangannya belum dapat dianalisis dengan memadai. Model koopertif jenis apa
yang baik untuk materi pembelajaran tertentu, dan bagaimana apabila dikaitkan dengan
faktor lainnya. Sepengetahuan penulis, penelitian mengenai perbandingan efektivitas
penerapan ketiga jenis model kooperatif itu, belum ada yang melakukannya. Di negara-
negara maju, model jenis ini memang sudah menjadi salah satu ujung tombak untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
mendongkrak peningkatan keterampilan membaca sebagaimana dinyatakan dalam
National Reading Panel-USA (2000) yang dilaksanakan di Rockville yang memberikan
rekomendasi adanya tujuh strategi yang efektif dalam meningkatkan keterampilan
membaca pemahaman, satu di antaranya adalah melalui cooperative learning (National
Reading Panel, 2000: 4-5). Akan tetapi, di negara-negara berkembang, seperti Indonesia,
model-model jenis kooperatif ini masih belum banyak diterapkan (baca: sangat kecil
persentasinya), apalagi di Sekolah Dasar. Hasil eksplorasi yang penulis lakukan selama
kurun waktu semester genap 2009/2010 di Sekolah Dasar di Jawa Tengah menunjukkan
bahwa mayoritas guru Sekolah Dasar masih menggunakan model konvensional dan belum
memahami model kooperatif dengan semestinya. Oleh karena itu, penulis tertantang untuk
memasyarakatkan model pembelajaran kooperatif untuk keterampilan membaca di
Sekolah Dasar yang pada dasarnya sudah tumbuh nafas kehidupan untuk meningkatkan
pembelajarann dengan penerapan model pembelajaran berprinsip PAKEM (Pembelajaran
Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Karakteristik PAKEM ini, memang menjadi
salah satu landasan utama dalam model pembelajaran kooperatif.
Sementara itu, berkait dengan kemampuan logika berbahasa, penelitian yang
relevan adalah penelitian yang berjudul “Pengaruh Pendekatan Pembelajaran dan Latar
Belakang terhadap Kemampuan Analogi Verbal” menyimpulkan bahwa kemampuan
analogi verbal mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran terpadu lebih baik daripada
yang belajar dengan pembelajaran terpisah. Hasil penelitian juga menggambarkan bahwa
pembelajaran terpadu lebih berpengaruh dibandingkan dengan pembelajaran terpisah
dalam meningkatkan kemampuan analogi verbal mahasiswa (Khairil Ansari, 1997).
Hasil penelitian Slamet (2004) yang berjudul “Pengaruh Orientasi Pembelajaran
dan Kemampuan Penalaran terhadap Keterampilan Menulis Bahasa Indonesia”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
menyimpulkan bahwa orientasi pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa lebih efektif
untuk meningkatkan kemampuan menulis dibadingkan pembelajaran yang berpusat pada
mahasiswa. Mahasiswa yang penalarannya tinggi, keterampilan menulisnya menunjukkan
hasil lebih baik dibandingkan yang rendah. Di samping itu, juga terjadi interaksi antara
orientasi pembelajaran dan penalaran terhadap keterampilan menulis. Interaksi itu berupa,
pada mahasiswa yang kemampuan penalarannya tinggi, orientasi pembelajaran berpusat
pada mahasiswa lebih efektif daripada yang berpusat pada dosen, sedangkan pada
mahasiswa yang kemampuan penalarannya rendah, orientasi pembelajaran yang berpusat
pada dosen lebih efektif. Hasil penelitian ini menggambarkan bahawa penalaran
mempunyai peran penting dalam pembelajaran apabila pendekatan yang digunakan
berbentuk student centre learning dan pendekatan inilah yang menjadi ciri utama model
pembelajaran inovasi, hasil sebaliknya apabila digunakan teacher centre learning.
Berpijak dari kajian-kajian teori, jurnal-jurnal ilmiah, dan beberapa penelitian yang
relevan di atas maka penelitian ini memiliki kebaruan dalam aspek aplikasi, adaptasi, dan
komparasi model pembelajaran inovatif model pembelajaran kooperatif jenis CIRC,
Jigsaw, dan STAD, yang dikaitkan dengan kemampuan logika berbahasa dalam rangka
meningkatkan keterampilan membaca siswa sekolah dasar di Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Tengah. Sejauh kajian dan pengetahuan yang penulis lakukan selama ini, penelitian
yang demikian belum pernah dilakukan sehingga memerlukan kajian lebih mendalam.
Penelitian mendalam dengan eksperimen model pembelajaran kooperatif jenis CIRC,
Jigsaw, dan STAD ini akan menemukan sumbangan tiap-tiap model dalam meningkatkan
pembelajaran. Oleh karenanya akan ditemukan kelebihan dan kekurangan, serta
bagaimana mengaplikasikannya secara mudah, murah, berhasil guna, berdaya guna, dan
memasyarakat di lingkungan pendidikan. Selanjutnya dengan memasyarakatnya model
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
tersebut, dapat diketahui secara mendalam kelebihan dan kekurangan dalam aplikasinya,
sehingga pada saatnya dapat dilakukan penelitian pengembangan lebih lanjut.
C. Kerangka Berpikir Penelitian
1. Perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara siswa SD yang
belajar dengan model pembelajaran kooperatif: CIRC, Jigsaw, dan STAD.
Perbedaan ini berupa keterampilan membaca bahasa Indonesia siswa SD yang
belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik dibandingkan
yang belajar dengan jenis Jigsaw ataupun STAD. Perbedaan ini disebabkan oleh jenis
CIRC yang lebih memudahkan siswa dalam mempelajari keterampilan membaca
karena model ini mengintegrasikan keterampilan membaca dan menulis, sementara
pada dua model yang lain tidak ada pengintegrasian. Diketahui secara umum bahwa
dalam berbahasa, keterampilan membaca dan keterampilan menulis adalah dua hal
yang erat berkaitan. Keduanya merupakan jenis keterampilan yang bersifat aktif.
Keterampilan membaca bersifat aktif reseptif dari sumber tertulis, sedangkan
keterampilan menulis bersifat aktif produktif. Jadi keduanya memang tidak lepas dari
tulisan (Henry Guntur Tarigan, 1985: 6). Kedua keterampilan ini saling berkait dan
saling menunjang.satu dengan yang lainnya. Keduanya merupakan keterampilan yang
berbeda tetapi korelatif, tidak ada keterampilan membaca tanpa menulis, tidak ada
keterampilan menulis tanpa membaca. Terdapat efek dari keterampilan membaca
terhadap keterampilan bahasa yang lain, yakni menulis, berbicara, dan pengaturan
sintaksis (Elley, 1991: 404). Di samping itu, membaca juga meningkatkan
pengusaasaan kosa kata secara tidak langsung, dan penguasaan kosa kata ini sangat
bermanfaat untuk keterampilan menulis (Nagy & Herman, 1987: 24). Hubungan yang
erat antara membaca dan menulis ini juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Hafiz &
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Tudor (1989) di Inggris dan Pakistan serta Robb & Susser (1989) di Jepang yang pada
dasarnya menyatakan bahwa ada pengaruh positif keterampilan membaca pada siswa
praperguruan tinggi terhadap keterampilan menulis. Mereka yang keterampilan
membacanya baik, akan menjadi penulis yang baik ketika mereka masuk perguruan
tinggi. Dengan demikian, diduga perbedaan keterampilan membaca antara siswa SD
yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik
dibandingkan dengan jenis Jigsaw ataupun STAD disebabkan oleh penerapan CIRC
yang mengintegrasikan keterampilan membaca dan menulis, sementara pada dua
model yang lain tersebut tidak ada pengintegrasian. Keterampilan membaca adalah
keterampilan yang bersifat reseptif. Untuk pendalamannya diperlukan keterampilan
yang seirama yang bersifat produktif, yaitu keterampilan menulis.
Sementara itu, keterampilan membaca bahasa Indonesia siswa SD yang belajar
dengan Jigsaw dan STAD tidak terjadi perbedaan. Di duga kesamaan tersebut
dikarenakan keduanya mempunyai kemiripan dalam pelaksanaan dan tidak
mengaitkan secara langsung keempat keterampilan berbahasa dalam pembelajarannya.
Jenis Jigsaw memperdalam keterampilan membaca dengan membagi setiap anggota
kelompok untuk mendalami pemahaman tiap-tiap jenis membaca pemahaman,
sementara STAD pendalaman pembelajaran hanya dengan tanya jawab berkisar materi
bacaan. Keduanya tidak mengaitkan bacaan dengan keterampilan menulis.
2. Perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara siswa SD yang
memiliki kemampuan logika berbahasa yang tinggi dan yang rendah
Ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara siswa SD yang
memiliki kemampuan logika berbahasa yang tinggi dan yang rendah. Hal ini
dikarenakan keterampilan membaca tidak mungkin terlepas dari kemampuan logika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
berbahasa. Logika berbahasa memegang peran penting dalam keterampilan membaca,
tidak sedikit orang pandai berbicara tetapi alur pikirnya kurang fokus. Kelihatan
panjang tetapi sebenarnya hanya memiliki pesan yang sederhana. Sebaliknya beberapa
orang singkat berbicara tetapi terlalu sarat dengan pesan yang urgen sehingga mana
pesan utama dan tambahan sulit diidentifikasi. Ini menunjukkan kurangnya
penggunaan bahasa yang sesuai logika berbahasa yang benar (Gorys Keraf, 1991: 97).
Pengajaran keterampilan membaca harus memperhatikan kebiasaan cara berpikir
teratur dan baik. Hal ini disebabkan membaca sebagai proses yang sangat kompleks,
dengan melibatkan semua proses mental yang lebih tinggi, seperti ingatan, pemikiran,
daya khayal, pengaturan, penerapan, dan pemecahan masalah (Mackey, 1996 : 33).
Kegiatan membaca bukan hanya kegiatan yang melibatkan prediksi, pengecekan
skema, atau dekoding, tetapi juga merupakan interaksi grafofonik, sintaktik, semantik,
dan skematik. Di samping itu, keterlibatan pembaca di dalam mencari arti dari teks
yang dibaca. Ini berarti betapa berperannya logika berbahasa dalam keterampilan
membaca. Oleh karena itu, siswa sekolah dasar yang memiliki kemampuan logika
berbahasa yang tinggi akan lebih baik keterampilan membacanya apabila
dibandingkan dengan siswa yang kemampuan logika berbahasa rendah. Dengan
demikian, diduga perbedaan ini disebabkan siswa yang memiliki kemampuan logika
berbahasa yang tinggi cara berpikirnya akan lebih logis, sistematis, kreatif, dan
analitis, sehingga para siswa ini akan lebih mudah memahami bacaan. apabila
dibandingkan dengan yang kemampuan logika berbahasanya rendah.
3. Interaksi antara penggunaan jenis model pembelajaran kooperatif dan
kemampuan logika berbahasa dalam mempengaruhi keterampilan membaca
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Ada interaksi antara penggunaan jenis model pembelajaran kooperatif dan
kemampuan logika berbahasa dalam mempengaruhi keterampilan membaca. Interaksi
itu berupa dalam keterampilan membaca:
a. Siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, model pembelajaran
kooperatif jenis CIRC lebih efektif, bila dibandingkan model pembelajaran
kooperatif jenis Jigsaw ataupun STAD. Hal ini disebabkan dalam pembelajaran
keterampilan membaca, CIRC selalu mengaitkan logika berbahasa dan berbagai
unsur bahasa dengan keterampilan membaca dan menulis sekaligus yang saling
mendukung. Siswa akan mengungkapkan kembali pemahamannya dalam bahasa
tulis. Bahasa tulis lebih tahan lama dan tidak mudah hilang, sehingga apabila
dengan bacaan kurang jelas, siswa akan lebih mendalami melalui bahasa tulisnya.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Slavin (1995: 16) bahwa CIRC
adalah jenis model kooperatif yang merupakan program komprehensif untuk
mengajarkan membaca dan menulis pada kelas sekolah dasar. Oleh karena itu,
diduga perbedaan itu disebabkan dalam jenis CIRC, logika berbahasa tinggi sangat
diperlukan untuk mengintegrasikan keterampilan membaca dan menulis.
Sementara jenis Jigsaw dan STAD tidak pengintegrasian kedua keterampilan
tersebut sehingga logika berbahasa tinggi tidak dapat dioptimalkan.
b. Siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, penerapan ketiga jenis
model pembelajaran kooperatif tersebut sama efektifnya. Hal ini disebabkan tanpa
logika berbahasa yang memadai, bahasa tulis kurang bermakna bahkan siswa akan
mengalami kesulitan dalam mengungkapkan kembali pemahaman bacaannya
dalam bentuk tulisan, sehingga siswa cenderung lambat untuk mengungkapkan
kembali pemahaman bacaannya dalam bahasa tulis. Oleh karena itu, walaupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
bahasa tulis lebih tahan lama karena kemampuan logika berbahasa rendah maka
siswa tidak memperoleh hasil yang baik. Mereka cenderung tidak dapat
memanfaatkan bahasa tulis secara optimal.
Alur berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan berikut ini.
1) CIRC KLB-T KLB-R Jigsaw 2) CIRC KLB-T KLB-R STAD 3) Jigsaw KLB-T KLB-R STAD Keterangan :
KLB-T = Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi KLB-R = Kemampuan Logika Berbahasa Rendah
> = >
> = >
= = =
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
D. Hipotesis Penelitian
Berpijak dari latar belakang masalah, kajian teori, dan kerangka berpikir di atas,
maka hipotesis yang penulis ajukan adalah berikut ini.
1. Ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia kelompok siswa yang
mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD. Perbedaan
itu berupa keterampilan membaca bahasa Indonesia kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada keterampilan membaca
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran jenis Jigsaw dan STAD.
Sementara antara model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan jenis STAD sama
baiknya.
2. Ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia kelompok siswa yang
memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan yang memiliki kemampuan logika
berbahasa rendah. Perbedaan itu berupa keterampilan membaca kelompok siswa yang
memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi lebih baik daripada keterampilan bahasa
membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah.
3. Ada interaksi antara penggunaan jenis model pembelajaran kooperatif dan kemampuan
logika berbahasa dalam memengaruhi keterampilan membaca. Interaksi itu adalah (a)
Pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik model pembelajaran kooperatif jenis
Jigsaw ataupun model pembelajaran kooperatif jenis STAD, sementara antara model
pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan jenis STAD sama baiknya.
(b) Pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah,
penggunaan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, jenis Jigsaw, dan kooperatif
jenis STAD sama baiknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar pada kelas 5 Dinas Pendidikan
Nasional Provinsi Jawa Tengah.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan semester gasal tahun pelajaran 2011/2012, dengan
tahapan berikut ini.
a. Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi pengajuan judul penelitian, penyusunan usulan
penelitian, penyusunan instrumen, penyusunan skenario pembelajaran,
konsultasi dan pengajuan izin tempat penelitian, serta mempersiapkan guru
untuk mengajar dengan model yang dieksperimenkan.
b. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan meliputi uji coba instrumen dan pelaksanaan eksperimen.
Pelaksanaan eksperimen diawali dengan memberikan tes keterampilan
membaca (tes awal) dan tes kemampuan logika berbahasa, dilanjutkan dengan
menerapkan model pembelajaran koperatif jenis: CIRC, Jigsaw dan STAD,
serta pengumpulan data dengan menggunakan tes keterampilan membaca
setelah eksperimen. Pengambilan data sebelum dan setelah eksperimen (data
keterampilan membaca dan kemampuan logika bahasa) menggunakan
instrumen yang telah diuji validitas, uji beda, analisis butir soal, dan
98
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
reliabilitasnya untuk instrumen keterampilan membaca dan uji validitas serta
realibilitas untuk instrumen kemampuan logika berbahasa.
c. Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian meliputi mengolah data hasil penelitian dan membuat
laporan penelitian.
Secara rinci pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah berikut ini.
99
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
TABEL 2 : Waktu Pelaksanaan Kegiatan Penelitian
No
Kegiatan
Waktu Pelaksanaan Tahun Akademik 2010/2011
Agts 2010
Sept. 2010
Okt. 2010
Nov. 2010
Des. 2010
Jan. 2011
Feb. 2011
Maret 2011
April 2011
Mei 2011
Juni 2011
Juli 2011
1 Penyusunan Rancangan Usulan Penelitian untuk Disertasi
x
2 Seminar Rancangan Usulan Penelitian x 3 Revisi Usulan Penelitian Hasil Seminar,
Penyusunan skenario pembelajaran, dan Instrumen Penelitian
x x
4 Penyusunan Proposal untuk Ujian Komprehensif
x
5 Ujian Komprehensif x 6 Revisi Hasil Ujian Komprehensif x 7 Mempersiapkan kancah eksperimen x x 8 Uji coba instrumen x x 9 Validasi Instrumen dan Perangkat
Pembelajaran x
Tahun Akademik 2011/2012 Agt. 2011
Sept. 2011
Okt. 2011
Nov. 2011
Des. 2011
Jan. 2012
Feb. 2012
Maret 2012
April 2012
Mei 2012
Juni 2012
Juli 2012
10 Pelaksanaan Eksperimen x x x x 11 Pengumpulan Data Penelitian x 12 Mengolah Data Hasil Penelitian dan
Menyusun Laporan Penelitian x x x x x
13 Penilaian Kelayakan Naskah Disertasi x 14 Ujian Disertasi Tertutup x 15 Ujian Disertasi Terbuka x
100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental
semu. Penelitian eksperimental berpijak dari investigasi hubungan sebab akibat yang
mungkin timbul atas pemberian kondisi-kondisi perlakuan dan membandingkannya
antara kelompok yang diberikan perlakuan dan kelompok pembanding atau kontrol.
Kerlinger (1990: 486-491) membedakan penelitian eksperimental ini menjadi (1)
eksperimen laboratorium dan (2) Eksperimen lapangan.
Eksperimen laboratorium adalah kajian penelitian, dengan karakteristik semua
variabel atau hampir semua variabel bebas yang berpengaruh yang mungkin ada
namun tidak relevan dengan masalah yang sedang diselidiki diminimalkan. Ini
dilakukan dengan mengasingkan penelitian itu dalam suatu situasi fisik yang terpisah
dari rutinitas kehidupan sehari-hari, dan dengan memanipulasi satu atau lebih variabel
bebas dalam kondisi yang ditetapkan, dioperasikan, dan dikontrol secara cermat dan
ketat. Kelebihan yang utama dalam eksperimen laboratorium ini ialah kemungkinan
untuk pelaksanaan kontrol yang relatif sempurna. Hasil laboratorium yang tepat-
cermat terutama dicapai dengan memanipulasi yang terkontrol dan pengukuran
terkontrol di suatu lingkungan yang telah dibersihkan dari kondisi-kondisi yang
mungkin merancukan. Kelemahan dalam penelitian ini ialah kurangnya kekuatan
variabel bebas, karena situasinya tidak nyata. Situasi yang dibuat-buat untuk maksud-
maksud khusus, dapat dikatakan bahwa efek-efek dari manipulasi eksperimen itu
biasanya lemah.
Eksperimen lapangan adalah kajian penelitian dalam suatu situasi nyata, dengan
memanipulasi satu atau lebih variabel bebas dalam kondisi yang dikontrol dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
cermat oleh pembuat eksperimen sejauh yang dimungkinkan oleh situasinya.
Perbedaan eksperimen laboratorium dengan eksperimen lapangan adalah dalam
eksperimen laboratorium, variabel penganggu dapat diminimalkan tetapi nilai
kurangnya di alam yang tidak nyata, sedangkan eksperimen lapangan, kontrol dalam
situasi eksperimen jarang dapat seketat kontrol eksperimen laboratorium tetapi nilai
lebihnya di alam yang nyata.
Penelitian eksperimental pada umumnya memiliki tiga karakteristik dasar,
yakni (1) suatu variabel bebas dimanipulasi; (2) semua variabel lainnya, kecuali
variabel bebas, dipertahankan tetap; dan (3) pengaruh manipulasi variabel bebas
terhadap variabel terikat diamati (Ary, Jacobs & Razaveih, 2005: 338).
1. Variabel Bebas Dimanipulasi
Ciri pertama, penelitian eksperimental adalah adanya tindakan manipulasi
variabel bebas yang secara terencana dilakukan oleh peneliti. Manipulasi dalam
pengertian ini bukan dalam pengertian umum yang negatif. Akan tetapi memiliki
pengertian tindakan yang dilakukan oleh peneliti atas dasar pertimbangan ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka guna memperoleh perbedaan efek pada
variabel terikat. Pada pelaksanaannya subjek penelitian dibagi dalam beberapa
kelompok, kemudian tiap-tiap kelompok diberikan perlakuan yang berbeda. Sebelum
dilakukan eksperimen, subjek penelitian harus dalam kondisi yang homogen.
Perbedaan kondisi direncanakan sebagai penentu sejak awal agar mereka memeroleh
hasil yang mungkin berbeda di antara dua atau lebih kelompok tersebut. Perbedaan
yang muncul tersebut diperhitungkan sebagai akibat adanya manipulasi variabel bebas
terhadap dua atau lebih kelompok.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Peneliti dapat memanipulasi satu variabel saja atau sejumlah variabel
sekaligus. Analisis berdimensi ganda dapat menghemat waktu dan tenaga karena
memungkinkan dilakukannya penyelidikan sekaligus terhadap sejumlah variabel yang
dipertimbangkan satu-persatu ataupun secara interaksi. Interaksi sering merupakan
segi penelitian yang paling penting.
Pada penelitian ini ditentukan variabel bebas yang dimanipulasi adalah
variabel model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, model pembelajaran kooperatif
jenis Jigsaw, model pembelajaran koopertif jenis STAD. Ketiga jenis model
pembelajaran koopertif ini merupakan variabel ekperimental. Variabel bebas yang lain
yang memengaruhi secara langsung variabel terikat adalah kemampuan logika
berbahasa sebagai variabel atributif. Sementara itu variabel terikat yang menjadi
sasaran perubahan adalah keterampilan membaca.
2. Semua Variabel Lainnya, kecuali Variabel Bebas, Dipertahankan Tetap
Ciri kedua dalam penelitian eksperimental ialah semua variabel lainnya,
kecuali variabel bebas, dipertahankan tetap. Ini berarti harus ada pengendalian yang
sengaja dilakukan oleh peneliti terhadap variabel yang lain selain variabel bebas.
Pengendalian adalah salah satu inti metode eksperimen. Tanpa pengendalian, peneliti
tidak mungkin dapat menilai secara tegas pengaruh variabel bebas. Sebagaimana
dikatakan Gray (1982: 211) mengontrol merupakan usaha peneliti untuk
memindahkan pengaruh variabel lain pada variabel terikat yang mungkin
mempengaruhi penampilan variabel tersebut. Kegiatan mengontrol ini sangat penting
karena tanpa melakukan kontrol yang sistematis, seorang peneliti tidak mungkin dapat
melakukan evaluasi dengan melakukan pengukuran secara cermat terhadap variabel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
terikat. Ada dua konsep asumsi pengendalian variabel dalam penelitian eksperimental,
yaitu:
1. Apabila dua situasi sama dalam segala hal, kecuali faktor yang ditambahkan atau dibuang dari salah satu situasi itu, maka setiap perbedaan yang muncul di antara kedua situasi tersebut dapat dikaitkan dengan faktor tersebut. Pernyataan ini disebut hukum variabel tunggal (law of the single variable). 2. Apabila dua situasi tidak sama tetapi dapat ditunjukkan bahwa tidak ada satu variabel pun yang signifikan dalam menimbulkan gejala yang sedang diselidiki, atau gejala variabel-variabel yang signifikan itu dibuat sama, maka setiap perbedaan yang terjadi di antara kedua situasi itu sesudah dimasukkan variabel baru ke dalam salah satu di antaranya, dapat dianggap disebabkan oleh variabel baru tersebut. Pernyataan ini disebut hukum satu-satunya variabel yang signifikan (the law of the only signifikan variable) (Ary, Jacobs & Razaveih, 2005: 342-343).
Lebih lanjut para ahli tersebut menyatakan bahwa kondisi yang mendasari
hukum variabel tunggal lebih mungkin dipenuhi dalam bidang ilmu-ilmu eksakta.
Sebaliknya, penelitian pendidikan karena berhubungan dengan manusia, maka selalu
terdapat banyak variabel. Berusaha memperkecil masalah pendidikan sampai menjadi
operasi satu variabel bukan saja tidak realistik, melainkan mungkin bahkan tidak
dapat dilakukan. Untunglah pengendalian sekeras itu tidak mutlak penting, karena
banyak aspek yang menyebabkan perbedaan situasi itu tidak ada hubungannya dengan
tujuan pendidikan, sehingga dapat diabaikan. Jadi berkait dengan penelitian
pendidikan dapat diterapkan hukum satu-satunya variabel yang signifikan (the law of
the only signifikan variable).
Di samping hal-hal di atas, hasil eksperimen dengan subjek manusia atau
tingkah laku kemungkinan bervariasi, apabila peneliti tidak bisa memisahkan antara
variabel yang diperlukan dan variabel luar di sekitar proses eksperimen. Oleh karena
itu, suatu eksperimen dikatakan valid apabila memenuhi (1) hasil yang dicapai hanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
diakibatkan oleh variabel bebas yang dimanipulasi secara sistematis dan (2) hasil
akhir eksperimen harus digeneralisasikan pada kondisi eksperimen yang berbeda
(Sukardi, 2009: 188). Untuk mencapai kedua hal ini diperlukan dua syarat, yaitu
validitas internal dan validitas eksternal.
a. Validitas Internal
Suatu ekperimen dikatakan memiliki validitas internal yang tinggi apabila
kondisi yang berbeda pada variabel terikat dari subjek yang diteliti merupakan hasil
langsung dari adanya manipulasi variabel bebas. Misalnya, penelitian tentang
pengaruh beberapa model pembelajaran terhadap hasil belajar siswa. Jika validitasnya
tinggi, maka perbedaan hasil belajar siswa di antara beberapa kelompok eksperimen,
hanya disebabkan adanya pengaruh dari beberapa model pembelajaran tersebut.
Validitas ini dapat terjadi karena adanya delapan faktor penting sebagai sumber
variasi yang dapat dikontrol, yaitu: (1) faktor sejarah subjek yang diteliti, (2) proses
kematangan, (3) pretesting, (4) instrumen pengukur yang digunakan, (5) adanya
kecenderungan terjadinya regresi statistik pada individu, (6) perbedaan seleksi subjek,
(7) perbedaan lainnya disebabkan adanya mortalitas dalam proses eksperimen, dan (8)
adanya interaksi seleksi – kematangan. Kedelapan faktor ini perlu dikontrol agar
hanya variabel yang direncanakan atau dimanipulasi yang mengakibatkan perubahan
pada variabel terikat.
Validitas internal pada penelitian ini dikontrol sebaik-baiknya. Untuk itu,
maka dilakukan beberapa upaya sebagai berikut ini.
(1) Pengaruh sejarah (history) ini dikendalikan dengan cara mencegah munculnya
kejadian-kejadian khusus yang dapat mempengaruhi selama pelaksanaan eksperimen,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
yaitu dengan cara menggunakan waktu pembelajaran sesuai dengan jadwal yang telah
ada di sekolah.
(2) Proses kematangan (maturation) dikontrol dengan cara melaksanakan perlakuan
dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat disesuaikan
dengan materi eksperimen, agar subjek penelitian tidak mengalami perubahan yang
berarti, baik secara fisik maupun mental yang dapat berpengaruh terhadap hasil
belajar. Untuk itu, penelitian ini dilaksanakan dalam waktu empat bulan, yaitu bulan
Juli sampai dengan Oktober 2011. Subjek yang diteliti dan proses kematangan ini
sebenarnya juga dikontrol melalui homogenitas karakteristik siswa SD sebagaimana
dinyatakan oleh Iskandarwassid berikut ini.
Homogenitas karakteristik/sifat khas anak pada usia SD adalah (1) jasmani tumbuh sejalan dengan prestasi sekolah, (2) sikap tunduk kepada peraturan permainan yang tradisional, (3) kecenderungan suka memuji diri sendiri, (4) suka membandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu menguntungkan, (5) kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting, (6) menghendaki nilai yang baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak, (7) minat kepada kehidupan praktis sehari-hari, (8) realistis dan ingin tahu, (9) menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal mata pelajaran-mata pelajaran khusus, (10) sampai kira-kira umur 11 tahun, anak membutuhkan pengajar atau orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya, dan (12) setelah umur 11 tahun umumnya anak-anak berusaha menyelesaikan tugasnya sendir (Iskandarwassid dan Sunendar, 2009: 141).
(3) Pengaruh pengujian (pretesting) dapat dihindari dengan jarak waktu yang tidak
terlalu singkat antara pemberian tes awal dengan tes akhir, pada semua kelompok.
(4) Pengaruh instrumen pengukur yang digunakan (measuring instruments) dapat
dihindari menggunakan tes awal dan tes akhir yang memiliki kisi-kisi sama tetapi soal
yang berbeda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
(5) Pengaruh regresi statistik (statistical regression) yakni pengalaman pada masa
lampau dari subjek yang diamati dapat dihindari karena kelompok eksperimen terdiri
atas subjek yang tidak berkeinginan untuk dijadikan kelinci percobaan, melainkan
karena hasil undian. Pengontrolan juga dilakukan melalui pengambilan sampel dan
metode sampling yang digunakan.
(6) Pengaruh seleksi subjek (differential selection of subjects) dihindari dengan
menyeimbangkan taraf kemampuaan logika berbahasa pada semua kelompok yang
diperoleh dari hasil tes mereka, agar semua kelompok tersebut sebanding. Di samping
itu, juga digunakan uji keseimbangan setiap kelompok sebelum eksperimen
dilakukan. Data yang digunakan sebagai bahan uji keseimbangan untuk mengetahui
apakah tiap-tiap kelas dari sampel penelitian mempunyai kemampuan awal yang sama
atau seimbang adalah pretes keterampilan membaca. Hal ini sesuai dengan anjuran
Abdul Gafur (2002: 60) yang menyatakan bahwa langkah-langkah untuk mengetahui
karakteristik kemampuan awal siswa ada dua cara. Cara pertama adalah dengan
menggunakan catatan yang tersedia, misalnya: Surat Tanda Tamat Belajar, nilai tes
inteligensi, serta nilai masuk sekolah. Dan cara yang kedua adalah dengan
menggunakan prasyarat dan tes awal atau pretes. Berkait dengan penelitian ini, cara
yang kedualah yang cocok digunakan.
(7) Pengaruh mortalitas (experimental mortality) yang akan berakibat kepada
perubahan peserta perlakuan dari tiap-tiap kelompok akan diatasi dengan memilih
peserta yang mengikuti kegiatan pada waktu tes awal dan tes akhir.
8) Pengaruh interaksi seleksi – kematangan (selection-maturation interaction)
kelompok-kelompok yang diteliti dapat dihindari dengan menggunakaan kelompok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
sampel secara terpisah, tidak adanya interaksi antaranggota sampel setiap sel
penelitian, mengingat anggota sampel dalam setiap sel saling berjauhan tetapi
memiliki homogenitas karakter.
Di samping beberapa kontrol terhadap validitas internal yang dilakukan
tersebut, untuk mengatasi agar unsur pengaruh terhadap variabel terikat dalam
eksperimen ini semata-mata hanya ditentukan oleh variabel bebas maka perlu
dilakukan uji keseimbangan kelompok sampel penelitian. Uji keseimbangan ini
dilakukan untuk mengetahui apakah kemampuan awal siswa dalam kelompok yang
akan dipakai untuk eksperimen benar-benar dalam kondisi seimbang, sehingga dapat
diyakini terjadinya perubahan benar-benar disebabkan adanya perlakuan.
b. Validitas Eksternal
Validitas eksternal dikatakan tinggi apabila kondisi hasil penelitian yang
dilakukan dapat digeneralisasikan dan digunakan pada kelompok lain di luar setting
eksperimen, ketika keadaan serupa dengan kondisi penelitian eksperimen. Validitas
eksternal pada umumnya dibedakan menjadi empat macam faktor (Sukardi, 2009:
189), yaitu: (1) adanya interaksi pengaruh bias pemilihan dan X, (2) pengaruh
interaksi pretesting, (3) pengaruh reaktif proses eksperimen, dan (4) adanya
interferensi antarperlakuan selama dalam proses penelitian eksperimen. Validitas
internal dan eksternal pada penelitian ini diusahakan seoptimal mungkin.
Pengendalian pengaruh variabel di luar variabel bebas terhadap variabel
terikat, dapat dilakukan dengan mengendalikan perbedaan-perbedaan yang relevan
dan sudah ada sebelumnya di antara subjek-subjek yang digunakan dalam eksperimen.
Dengan cara ini dapat diyakinkan bahwa setiap perbedaan yang terjadi sesudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
eksperimen dapat dikaitkan dengan kondisi eksperimen dan bukan dengan perbedaan
subjek yang sudah ada sebelumnya. Ada lima prosedur dasar pengendalian yang
digunakan untuk meningkatkan kesamaan antara kelompok-kelompok yang akan
dihadapkan kepada berbagai situasi eksperimental. Prosedur-prosedur tersebut adalah
(1) penempatan secara acak, (2) pemadanan teracak (randomized matching), (3)
pemilihan yang homogen, (4) analisis kovariansi, dan (5) penggunaan subjek sebagai
pengendali mereka sendiri (Ary, Jacobs & Razaveih, 2005: 342-343).
Validitas eksternal pada penelitian ini dikontrol seoptimal mungkin, yaitu: (1)
adanya interaksi pengaruh bias pemilihan dan X, (2) pengaruh interaksi pretesting, (3)
pengaruh reaktif proses eksperimen, dan (4) adanya interferensi antarperlakuan
selama dalam proses penelitian eksperimen. Keempatnya dapat dikontrol melalui
karakteristik homogen setiap sel penelitian dan jauhnya tempat anggota penelitian
sehingga diprediksi tidak terjadi interaksi antaranggota sampel dalam penelitian ini.
3. Pengaruh Manipulasi Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat Diamati
Ciri ketiga penelitian eksperimental ialah pengaruh manipulasi variabel bebas
terhadap variabel terikat diamati. Tindakan observasi harus dilakukan selama proses
eksperimen berlangsung. Observasi ini dilakukan baik untuk kelompok eksperimen
maupun kelompok kontrol. Pengamatan dilakukan terhadap ciri-ciri tingkah laku
subjek yang diteliti. Tujuan observasi ini adalah untuk melihat dan mencatat
fenomena apa yang muncul yang memungkinkan terjadinya perbedaan di antara kedua
kelompok, sebagai akibat dari adanya kontrol dan manipulasi variabel.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu, karena pada penelitian ini
peneliti tidak mungkin mengontrol semua variabel yang relevan. Namun demikian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
kedua validitas eksperimen di atas, dimaksimalkan pengontrolannya. Harus ada
kompromi dalam menentukan validitas internal dan validitas eksternal sesuai dengan
batasan-batasan yang ada (Muhammad Nasir, 1998: 86). Eksperimen semu digunakan
ketika tugas acak dari subjek terhadap kelompok eksperimental dan kontrol tidak
mungkin dan tidak dapat dijalankan (Borg & Gall, 1979: 556-557). Selaras dengan
pernyataan tersebut, tujuan eksperimen ini adalah untuk memperoleh informasi yang
merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang
sebenarnya dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol dan atau
memanipulasi semua variabel yang relevan (Budiyono, 2003: 82).
Sebelum dilakukan perlakuan, penentuan subjek penelitian dilakukan secara
acak. SD yang terdapat di empat kabupaten sampel penelitian diacak dan dipilih
setiap kabupaten tiga SD untuk eksperimen. Setelah itu, terlebih dahulu dilakukan uji
keseimbangan terhadap kelompok-kelompok siswa eksperimen. Ini dilakukan untuk
mengetahui bahwa beberapa kelompok siswa yang akan dikenai eksperimen
mempunyai keterampilan membaca bahasa Indonesia yang sama. Data yang
digunakan untuk uji keseimbangan adalah nilai hasil tes awal keterampilan membaca
bahasa Indonesia. Di akhir penelitian, semua kelompok diberikan tes akhir prestasi
belajar keterampilan membaca pada pokok bahasan membaca pemahaman yang
terdeskripsi dalam pengenalan kata, pemahaman literal, interpretatif, kritis, dan
kreatif. Hasilnya digunakan untuk analisis dengan uji statistik kovariansi. Adapun
rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial 3 x 2.
Penentuan desain merujuk Ary, Jacobs & Razavieh (2005: 391). Pola rancangan
faktorial 3 x 2 ini tampak pada gambar berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
B
B-1 B-2
A
A-1 A1B1 A1B2
A-2 A2B1 A2B2
A-3 A3B1 A3B2
Gambar 2 : Disain Faktorial Penelitian
Keterangan:
A = Model Pembelajaran Kooperatif B = Kemampuan Logika Berbahasa A-1 = Model Pembelajaran Kooperatif CIRC A-2 = Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw A-3 = Model Pembelajaran Kooperatif STAD B-1 = Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi B-2 = Kemampuan Logika Berbahasa Rendah
A1B1 = kumpulan nilai keterampilan membaca kelompok CIRC- kemampuan logika bahasa tinggi
A1B2 = kumpulan nilai keterampilan membaca kelompok Jigsaw – kemampuan logika bahasa tinggi
A2B1 = kumpulan nilai keterampilan membaca kelompok STAD-kemampuan logika bahasa tinggi
A2B2 = kumpulan nilai keterampilan membaca kelompok CIRC- kemampuan logika bahasa rendah
A3B2 = kumpulan nilai keterampilan membaca kelompok Jighsaw- kemampuan logika bahasa rendah
A3B2 = kumpulan nilai keterampilan membaca kelompok STAD-kemampuan logika bahasa rendah
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi
Populasi (universum) adalah keseluruhan pengamatan yang ingin diteliti,
berhingga atau tak berhingga (Budiyono, 2009: 121). Suharsimi Arikunto (2003: 115)
memberikan batasan populasi sebagai keseluruhan subjek penelitian. Sementara ahli
lain, menyatakan bahwa populasi adalah seluruh objek yang menjadi perhatian kita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan (S. Margono, 2004: 228).
Banyaknya anggota suatu populasi disebut ukuran populasi.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD tahun pelajaran
2011/2012 Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jawa Tengah sebanyak 928.216 siswa
yang tersebar dalam 25.138 SD di 35 kabupaten/kota dan 565 wilayah kecamatan
(Sumber: Rekap Data Kependidikan Provinsi Jawa Tengah Tahun Pelajaran
2010/2011).
Dalam penelitian, mengamati seluruh anggota populasi sering kali tidak
mungkin dan atau tidak perlu. Apalagi dalam penelitian ini populasinya sangat besar.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti mengambil sebagian dari populasi yang
mewakili. Sebagian populasi yang diamati dalam penelitian disebut sampel
(Budiyono, 2009: 121).
2. Sampel
Dalam pengambilan sampel, prinsip keterwakilan populasi pada sampel harus
terpenuhi, karena itu harus dibuat agar setiap anggota dari populasi mempunyai
peluang yang sama untuk menjadi sampel.
Kabupaten/kota yang terambil menjadi sampel penelitian ini adalah empat
kabupaten/kota, yaitu Kota Semarang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Karanganyar,
dan Kabupaten Magelang. Dari tiap-tiap kabupaten/kota yang terpilih sebagai sampel
diambil tiga kecamatan secara acak, selanjutnya dari tiap-tiap kecamatan diambil
sebuah Sekolah Dasar secara acak, jadi jumlah sekolah yang menjadi sampel
penelitian sebanyak 12 Sekolah Dasar. Sekolah Dasar terpilih adalah Sekolah Dasar
yang stratanya mewakili strata seluruh Sekolah Dasar yang ada di kabupaten/kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
tersebut. Hal ini sesuai karakteristik penelitian eksperimental yang mengutamakan
homogenitas sampel dan kontrol yang ketat. Dari raandom yang dilakukan terpilih12
SD yang menjadi tempat penelitian adalah berikut ini.
Tabel 3
Sekolah Dasar Tempat Penelitian
Model SD Sampel Jumlah Siswa
Kecamatan Kabupaten/ Kota
CIRC 1. SD Muhammadiyah 1 33 Jati Kab. Kudus 2. SD Petompon 7 28 Gajah Mungkur Kota Semarang 3. SD Mungkid 2 31 Mungkid Kab. Magelang 4. SD 1 Wonorejo 30 Gondangrejo Kab. Karanganyar Jumlah 122
Jigsaw 1. SD 1 Bae 31 Bae Kab. Kudus 2. SD Pedurungan Lor 1 33 Pedurungan Kota Semarang 3. SD Mertoyudan 2 30 Mertoyudan Kab. Magelang 4. SD 1 Pompongan 30 Karanganyar Kab. Karanganyar Jumlah 124
STAD 1. SD 3 Demaan 32 Kota Kudus Kab. Kudus 2. SD Pandean Lamper 7 29 Gayamsari Kota Semarang 3. SD Borobudur 1 29 Borobudur Kab. Magelang 4. SD 1 Pandeyan 28 Tasikmadu Kab. Karanganyar Jumlah 118
Total Sampel 364
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling yang digunakan ialah multi stage area random sampling
(area provinsi, area Kabupaten/kota dan area kecamatan: Gugus Sekolah/Daerah
Binaan). Dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah dipilih secara acak 4
kabupaten/kota, kemudian dari 4 kabupaten terpilih masing-masing diambil secara
acak 3 kecamatan, selanjutnya tiap-tiap kecamatan diambil secara acak 1 SD. SD
terpilih setiap kecamatan dalam masing-masing kabupaten merupakan SD penelitian,
sehingga jumlah SD penelitian yang didapatkan adalah 12 sekolah dasar yang tersebar
di 4 kabupaten dan 12 kecamatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
Empat kabupaten/kota terpilih adalah Kabupaten Kudus, Kota Semarang,
Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Karanganyar. Di Kabupaten Kudus terpilih 3
kecamatan, yaitu Kecamatan Jati dengan SD sampel SD Muhammadiyah 1,
Kecamatan Bae dengan SD sampel SD 1 Bae dan Kecamatan Kota dengan SD
sampel SD 3 Demaan. Di Kota Semarang terpilih 3 kecamatan, yaitu Kecamatan
Pedurungan dengan SD sampel SD Pedurungan Lor 1, Kecamatan Gajah Mungkur
dengan SD sampel SD Petompon 7, dan Kecamatan Gayamsari dengan SD sampel
SD Pandean Lamper 7. Di kabupaten Magelang terpilih 3 kecamatan, yaitu
Kecamatan Mungkid dengan SD sampel SD Mungkid 2, Kecamatan Mertoyudan
dengan SD sampel SD Mertoyudan 2, dan Kecamatan Borobudur dengan SD sampel
SD Borobudur 1. Di Kabupaten Karanganyar terpilih 3 kecamatan, yaitu Kecamatan
Gondangrejo dengan SD sampel SD 1 Wonorejo, Kecamatan Karanganyar dengan SD
sampel SD 1 Pompongan, dan Kecamatan Tasikmadu dengan SD sampel SD 1
Pandeyan.
Dari 12 SD yang menjadi sampel penelitian, 4 sekolah (kelas) untuk sampel
perlakuan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, 4 sekolah (kelas) untuk sampel
perlakuan model pembelajaran jenis Jigsaw, dan 4 sekolah (kelas) untuk sampel
perlakuan model pembelajaran kooperatif jenis STAD.
Seluruh data eksperimen yang masuk ditabulasi dan diklasifikasi menjadi 6
sel, yang tiap-tiap sel berbeda jumlahnya (Erickson-Nosanchuk, 1983: 372-378).
Adapun jumlah setiap sel yang dimaksud, yaitu model CIRC terdiri atas 4 SD dengan
siswa sebanyak 122, model Jigsaw terdiri atas 4 SD dengan siswa sebanyak 124, dan
model STAD dengan siswa sebanyak 118.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
Distribusi data dalam model-model pembelajaran dimaksud tergambar sebagai
berikut ini.
B
B1 B2 Jumlah
A A1 58 64 122
A2 63 61 124
A3 59 59 118
Jumlah 180 184 364
Gambar 3 : Distribusi Jumlah Data Setiap Sel
Keterangan:
A = Model Pembelajaran A1 = Model CIRC A2 = Model Jigsaw A3 = Model STAD B = Kemampuan Logika Berbahasa B1 = Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi B2 = Kemampuan Logika Berbahasa Rendah
4. Uji Keseimbangan Kemampuan Awal Siswa
Sebagaimana dinyatakan oleh para ahli riset, dalam penelitian, mengamati
seluruh anggota populasi sering kali tidak mungkin dan atau tidak perlu. Apalagi
dalam penelitian itu populasinya sangat besar dan jenis penelitian eksperimental. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini peneliti mengambil sebagian dari populasi yang
mewakili. Sebagian populasi yang diamati dalam penelitian disebut sampel
(Budiyono, 2009: 121). Hal ini sesuai dengan karakteristik penelitian eksperimental
yang mengutamakan subjek eksperimen yang homogen dan kontrol yang kuat
(Sudjana, 1996: 4). Dalam rangka memenuhi kriteria tersebut, maka perlu dilakukan
uji keseimbangan kelompok sampel penelitian. Uji keseimbangan ini dilakukan untuk
mengetahui apakah kemampuan awal siswa dalam kelompok yang akan dipakai untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
eksperimen benar-benar dalam kondisi seimbang, sehingga dapat diyakini terjadinya
perubahan benar-benar disebabkan adanya perlakuan. Kemampuan awal siswa kelas 5
SD ini diambil dari tes awal keterampilan membaca (Lampiran D).
Sebelum uji keseimbangan dilakukan terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
dengan metode Lilliefors untuk mengetahui apakah kelompok sampel berasal dari
populasi yang berdistribusi normal. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji normalitas tes
awal dalam tabel berikut ini.
Tabel 4
Rangkuman Hasil Uji Normalitas Tes Awal
No Kelompok Siswa N Lobs Ltabel Ket.
1 Model CIRC (A1) 122 0.0750 0.0802 Normal
2 Model Jigsaw (A2) 124 0.0784 0.0796 Normal
3 Model STAD (A3) 118 0.0750 0.0816 Normal
4 CIRC-Logika Bahasa Tinggi (A1B1) 58 0.0724 0.1163 Normal
5 Jigsaw-Logika Bahasa Tinggi (A2B1) 63 0.0790 0.1116 Normal
6 STAD-Logika Bahasa Tinggi (A3B1) 59 0.0676 0.1125 Normal
7 CIRC-Logika Bahasa Rendah (A1B2) 64 0.0815 0.1108 Normal
8 Jigsaw-Logika Bahasa Rendah (A2B2) 61 0.0839 0.1134 Normal
9 STAD-Logika Bahasa Rendah (A3B2) 59 0.0731 0.1153 Normal
Dari tabel di atas tampak bahwa uji normalitas tes awal kelompok siswa yang
mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC
(A1) diperoleh nilai Lobs 0.0750, sedangkan Ltabel = 0.0802. Pada kelompok siswa yang
mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw
(A2) diperoleh nilai Lobs 0.0784, sedangkan Ltabel = 0.0796. Pada kelompok siswa yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD
(A3) diperoleh nilai Lobs 0.0750, sedangkan Ltabel = 0.0816.
Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca
dengan model pembelajaran CIRC-logika bahasa tinggi (A1B1) diperoleh nilai Lobs
0.0724, sedangkan Ltabel = 0.1163. Pada kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw-logika
bahasa tinggi (A2B1) diperoleh nilai Lobs 0.0790, sedangkan Ltabel = 0.1116. Pada
kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model
pembelajaran STAD-logika bahasa tinggi (A3B1) diperoleh nilai Lobs 0.0676,
sedangkan Ltabel = 0.1125.
Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca
dengan model pembelajaran CIRC-logika bahasa rendah (A1B2) diperoleh nilai Lobs
0.0815, sedangkan Ltabel = 0.1108. Pada kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw-logika
bahasa rendah (A2B2) diperoleh nilai Lobs 0.0839, sedangkan Ltabel = 0.1134. Pada
kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model
pembelajaran STAD-logika bahasa rendah (A1B2) diperoleh nilai Lobs 0.0731,
sedangkan Ltabel = 0.1153. Data di atas menunjukkan bahwa pada taraf signigikansi
5% hipotesis nol untuk seluruh model pembelajaran diterima karena Lobs lebih kecil
dari pada Ltabel. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data pada setiap model
pembelajaran berasal dari populasi yang berdistribusi normal, sehingga persyaratan
normalitas tes awal telah terpenuhi. Perhitungan uji normalitas secara rinci
selengkapnya terdapat pada Lampiran D.1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
Selanjutnya dilakukan uji homogenitas pada tes awal dengan uji Bartlett . Dari
uji homogenitas tes awal, diperoleh hasil seperti paada tabel berikut ini.
Tabel 5 Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Tes Awal
No Kelompok Siswa χ2 obs χ2
tabel Ket. 1 CIRC (A1)-Jigsaw (A2)-STAD (A3) 0.1222 3.8410 Homogen 2 CIRC Logika Bahasa Tinggi (A1B1)-Jigsaw
Logika Bahasa Tinggi (A2B1)-STAD Logika Bahasa Tinggi (A3B1)
0.1347 3.8410 Homogen
3 CIRC Logika Bahasa Rendah (A1B2)-Jigsaw Logika Bahasa Rendah (A2B2)-STAD Logika Bahasa Rendah (A3B2)
0.0226 3.8410 Homogen
Dari uji Bartlett kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan
membaca dengan model pembelajaran CIRC (A1), Jigsaw (A2), dan STAD (A3)
diperoleh harga χ2 obs = 0.1222. Sementara χ2
tabel pada taraf signifikansi 5% (α = 0.05)
= 3.841. Ini berati χ2 obs lebih kecil dari χ2
tabel sehingga dinyatakan kemampuan ketiga
kelompok pembelajaran tersebut dalam keadaan seimbang. Dari kelompok sampel
yang mengikuti model pembelajaran CIRC-logika bahasa tinggi (A1B1), Jigsaw-
logika bahasa tinggi (A2B1), dan STAD-logika bahasa tinggi (A3B1) diperoleh harga
χ2 obs = 0.1347. Sementara χ2
tabel pada taraf signifikansi 5% (α = 0.05) = 3.841. Ini
berati χ2 obs lebih kecil dari χ2
tabel sehingga dinyatakan kemampuan ketiga sel
kelompok pembelajaran tersebut dalam keadaan seimbang Dari kelompok sampel
yang mengikuti model pembelajaran CIRC-logika bahasa rendah (A1B2), Jigsaw-
logika bahasa rendah (A2B2), dan STAD-logika bahasa rendah (A3B2) diperoleh harga
χ2 obs = 0.0226. Sementara χ2
tabel pada taraf signifikansi 5% (α = 0.05) = 3.841. Ini
berati χ2 obs lebih kecil dari χ2
tabel sehingga dinyatakan kemampuan ketiga sel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
kelompok pembelajaran tersebut dalam keadaan seimbang. Hasil perhitungan
homogenitas untuk semua kelas selengkapnya terdapat pada Lampiran D. 2.
Hasil pengujian di atas, menunjukkan bahwa variansi-variansi antara populasi
tersebut adalah homogen. Populasi tersebut adalah (1) kelompok siswa yang
mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC
(A1), Jigsaw (A2), dan STAD (A3), (2) CIRC-logika bahasa tinggi (A1B1), Jigsaw-
logika bahasa tinggi ((A2B1), dan STAD-logika bahasa tinggi (A3B1), dan (3) populasi
siswa yang mengikuti model pembelajaran CIRC-logika bahasa rendah (A1B2),
Jigsaw-logika bahasa rendah (A2B2), dan STAD-logika bahasa rendah (A3B2).
Selanjutnya untuk mengetahui keseimbangan populasi eksperimen dilakukan
anava dua jalan pada kemampuan awal siswa, diperoleh hasil analisis variansi dua
jalur seperti dalam tabel berikut ini.
Tabel 6 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Tes Awal
Sumber JK Dk RK Fobs F α P Model (A) 39.1959 2 19.59795 0.0727 3.00 < 0.05 Logika Berbahasa (B) 0.7381 1 0.7381 0.00274 3.84 < 0.05 Interaksi (AB) 79.3138 2 39.6569 0.1471 3.00 < 0.05 Galat 96483.2782 358 269.5064 - - - Total 96602.5261 363 - - - -
Dari tabel di atas diketahui bahwa harga FA sebesar 0.0727, sedangkan harga F α
= 0.05 sebesar 3.00. Jadi FA < Fα, berarti HOA diterima. Hal ini berarti bahwa
populasi yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model CIRC
(A1), model Jigsaw (A2), dan model STAD (A3) adalah seimbang. Demikian juga
diperoleh harga FAB sebesar 0.1471, sedangkan harga F α = 0.05 sebesar 3.00. Jadi
FAB < Fα, berarti HOAB diterima. Hal ini berarti bahwa populasi yang mengikuti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
pembelajaran keterampilan membaca dengan model CIRC-logika bahasa tinggi
(A1B1), model Jigsaw-logika bahasa tinggi (A2B1), dan model STAD-logika bahasa
tinggi (A3B1) dalam keadaan seimbang. Demikian juga populasi yang mengikuti
model pembelajaran model CIRC-logika bahasa rendah (A1B2), model Jigsaw-logika
bahasa rendah (A2B2), dan model STAD-logika bahasa rendah (A3B2) adalah
seimbang. Perhitungan secara rinci terdapat pada Lampiran D.3.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian.
Keberhasilan sebuah penelitian sangat tergantung pada keakuratan data yang
terkumpul melalui instrumen ini. Oleh karena itu, untuk memeroleh data yang akurat
dan objketif perlu dikembangkan alat ukur yang baik. Sebuah alat ukur dikategorikan
baik apabila memenuhi kriteria tertentu yang dipersyaratkan.
Berkait dengan variabel penelitian ini, ada dua variabel yang diambil datanya,
yaitu variabel keterampilan membaca dan variabel kemampuan logika berbahasa. Ada
tiga langkah yang dilakukan pada penelitian ini agar instrumen yang digunakan
merupakan instrumen yang baik. Ketiga langkah itu adalah: (1) menyusun kisi-kisi
instrumen berdasarkan konstruk teoretis yang diajukan; (2) dilakukan uji validitas
dengan menggunakan validitas isi oleh expert judgment dan professional jugment
yang dilanjutkan dengan ujian instrumen oleh promotor dan tim penguji instrumen,
kemudian dilakukan focus group discusion yang terdiri dari guru kelas 5 SD terpilih;
dan (3) dilakukan try out instrumen yang telah disusun kepada siswa kelas 5 SD di
luar sampel, hasilnya diuji reliabilitas dan analisis butir instrumen, yang meliputi uji
beda, tingkat kesukaran, dan analisis pengecoh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
1. Instrumen Keterampilan Membaca
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data keterampilan
membaca ini adalah tes objektif pilihan ganda dengan empat alternatif jawaban.
Uraian lebih rinci tentang instrumen tersebuat adalah berikut ini.
a. Definisi Konseptual
Kata keterampilan diartikan sebagai kecakapan untuk menyelesaikan tugas.
Dalam kaitannya dengan membaca dalam penelitian ini, keterampilan membaca
merupakan kecakapan seseorang untuk memakai bahasa dalam pikirannya untuk
menanggapi secara betul stimulus tulisan, memahami pola gramatikal dan kosa
kata secara tepat. Pemahaman yang dimaksud meliputi lima komponen, yaitu
pengenalan kata, pemahaman literal, membaca interpretatif (evaluatif), membaca
kritis, dan membaca kreatif. Jadi keterampilan membaca yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam pengenalan kata, pemahaman
literal, membaca interpretatif, membaca kritis, dan membaca kreatif dalam bahasa
Indonesia.
b. Definisi Operasional
Secara operasional, keterampilan membaca adalah nilai yang diperoleh
siswa setelah mengerjakan tes keterampilan membaca bahasa Indonesia. Adapun
komponen pokok yang terdapat dalam keterampilan membaca bahasa Indonesia,
yaitu (1) pengenalan kata, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca untuk
mengenal bahan bacaan yang tertera secara tersurat merujuk kata-kata dan kalimat
dalam wacana yang kemudian mengingatnya dalam pikiran; (2) pemahaman
literal, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca untuk menangkap dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
memahami bahan bacaan yang tertera secara eksplisit informasi yang tercetak
secara tampak jelas dalam bacaan; (3) membaca interpretatif, yang berupa
keterampilan siswa dalam membaca untuk menangkap dan memahami bahan
bacaan yang tersirat, pemahaman ini diperoleh melalui kesan, pendapat, dan
pandangan yang berhubungan dengan adanya tafsiran; (4) membaca kritis, yang
berupa keterampilan siswa dalam membaca dengan mengolah bahan bacaan
secara kritis untuk menemukan keseluruhan makna bahan bacaan, baik makna
yang tersurat maupun yang tersirat, ini dilakukan melalui tahapan mengenal,
memahami, menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi; dan (5) membaca
kreatif, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca, yang tidak hanya
menangkap makna yang tersurat ataupun makna tersirat, lebih dari itu mampu
secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kepentingkan sehari-hari.
c. Dimensi dan Indikator
Berdasarkan konstruk yang dibangun atas dasar kajian teoretik di atas
(berdasarkan kompilasi kritis dari beberapa pendapat para ahli: Crawley dan
Mountain (1995: 14), Imam Syafei (1999: 22), Pressley (2001: 5), Farida Rahim
(2003: 27), Nurhadi (2004: 2004:57), dan Brown (2004:189)) dapatlah ditetapkan
indikator-indikator yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan sosial dan
berpikir siswa kelas 5 Sekolah Dasar, berkait dengan keterampilan membaca
dalam penelitian ini adalah (1) pengenalan kata, (2) pemahaman literal, (3)
membaca interpretatif, (4) membaca kritis, dan (5) membaca kreatif.
Dari indikator-indikator inilah dikembangkan lebih lanjut menjadi kisi-kisi
instrumen tes keterampilan membaca yang digunakan dalam penelitian ini. Tes
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
awal dan tes akhir keterampilan membaca dalam penelitian ini memiliki indikator-
indikator sama, hanya tes awal dengan materi keterampilan membaca kelas 4
semester genap (semester dua), sedangkan untuk tes akhir dengan materi
keterampilan membaca kelas 5 semester gasal (semester satu).
d. Kisi-kisi Instrumen Tabel 7
Indikator dan Kisi-kisi Tes Awal Keterampilan Membaca
Tabel 8
Indikator dan Kisi-kisi Tes Akhir Keterampilan Membaca
Keterangan : C1 = Ingatan C4 = Analisis C2 = Pemahaman C5 = Sintesis
C3 = Aplikasi C6 = Evaluasi
Indikator Tingkat Kesulitan Jml C1 C2 C3 C4 C5 C6
1. Pengenalan Kata
1,22,33 8,16 24,39 20,47 35 - 10
2. Pemahaman Literal
19,37, 46
2,31,40 21 36 25 23 10
3. Pemahaman Interpretatif
- 3,30 10,12, 44
6,43 11,37 48 10
4. Pemahaman kritis
- 4,7 17,26 42,47 9,24,45 49 10
5. Pemahaman kreatif
- 18 13,29 32 5,15 14,28, 34,38
10
Jumlah 6 10 10 8 9 7 50
Indikator Tingkat Kesulitan Jml C1 C2 C3 C4 C5 C6
1. Pengenalan Kata
1,6,11 16,18, 23,46
28,30 42,47 - - 11
2. Pemahaman Literal
2,7,12 19,24 31,35 39,43 48 - 10
3. Pemahaman Interpretatif
3,8 13 20,25 29,32 36,40 44 10
4. Pemahaman kritis
- 4,9 14,17 21,26 33,37 45,49 10
5. Pemahaman kreatif
- 5 10,15 22,27 34,38, 41
46,50 9
Jumlah 8 9 10 10 8 5 50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
e. Skor dan Penilaian dalam Intrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data keterampilan
membaca berupa tes. Tes yang dipakai berupa tes objektif berbentuk pilihan ganda
dengan empat alternatif jawaban (A, B ,C , dan D). Soal keterampilan membaca
berjumlah 50 butir soal untuk tes awal dan 50 butir soal untuk tes akhir, yang
tersebar dalam enam tingkat kesulitan (ingatan/C1, pemahaman/C2, aplikasi/C3,
analisis/C4, sistesis/C5, dan evaluasi/C6) yang disesuaikan dengan kemampuan
sosial dan berpikir siswa kelas 5 Sekolah Dasar. Siswa memilih salah satu
alternatif jawaban yang paling tepat. Untuk mendeskripsikan nilai siswa dilakukan
dengan: (1) pemberian skor, yaitu untuk jawaban betul diberi skor 1 dan jawaban
salah diberi skor 0, (2) penjumlahan skor, dan (3) nilai terakhir adalah jumlah skor
dikalikan 2, jadi peluang nilai antara 0 – 100. Nilai tersebut menggambarkan
tingkat keterampilan membaca siswa.
f. Kalibrasi Instrumen Penelitian
Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, instrumen keterampilan
membaca perlu diuji validitas dan diujicobakan kepada siswa kelas 5 Sekolah
Dasar di luar sampel penelitian, yaitu siswa kelas 5 SD 1 Barongan Kudus
sejumlah 46 siswa. Hal ini penting untuk mengetahui kesahihan, keterandalan, dan
melakukan analisis butir yang meliputi uji pembeda, tingkat kesukaran, dan
analisis pengecoh.
1) Kesahihan Instrumen
Kesahihan instrumen dilakukan dengan menggunakan validitas isi. Dari
definisi konseptual yang telah dikemukakan dan disusun atas dasar berbagai acuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
teoretik yang relevan dengan variabel penelitian ini, pengembangan dimensi dan
indikator serta kriteria penilaian tersebut menunjukkan kesahihan isi instrumen
itu. Kesahihan instrumen dilakukan melalui expert judgment dan professional
judgment yang dilanjutkan dengan ujian instrumen oleh tim promotor dan tim
penguji instrumen, kemudian dilakukan focus group discusion guru kelas 5
terpilih untuk membahas dan memberi masukan pada RPP dan instrumen
penelitian (Lampiran C.4.a). Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Best (1981:197)
bahwa validitas isi didasarkan pada kajian teori, silabus, objek, pertimbangan
profesional, yang selanjutnya dikaji lebih lanjut dalam panel ahli.
2) Keterandalan Instrumen
Reliabilitas suatu tes menunjukkan pada keajegan skor-skor yang diperoleh
oleh individu yang sama pada waktu yang berbeda, atau yang diperoleh dengan
cara yang lain yang sepadan. Suatu instrumen dinyatakan reliabel jika seseorang
melakukan pengukuran dengan instrumen yang sama pada waktu yang berbeda
maka hasil pengukurannya adalah sama. Atau jika dilakukan oleh orang yang
berbeda tetapi dengan kondisi yang sama, maka pengukuran dengan instrumen
yang sama akan memberikan hasil yang sama pula (Budiyono, 2003: 65).
Keterandalan instrumen keterampilan membaca bahasa Indonesia
ditentukan dengan menggunakan teknik Kuder-Richardson atau biasa disebut
dengan KR-20 (Budiyono, 2003: 69), dengan rumus berikut.
÷÷ø
öççè
æ -÷øö
çèæ
-= å
2
2
11 1 t
iit
s
qps
nn
r
dengan :
11r : koefisien reliabilitas tes $ n : banyak item
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
2ts : variansi total
ip : proporsi subyek yang menjawab item dengan benar
iq : proporsi subyek yang menjawab item dengan salah (qi = 1 – pi).
Dalam penelitian ini, tes yang digunakan adalah tes yang mempunyai
koefisien reliabilitas minimal 0,70. Ini berarti, hasil pengukuran yang mempunyai
indeks reliabilitas 0,70 atau lebih cukup baik nilai kemanfaatannya, dalam arti
instrumennya dapat dipakai untuk melakukan pengukuran (Budiyono, 2003: 72).
Berdasarkan perhitungan koefisien reliabilitas tes keterampilan membaca
yang dihitung dengan bantuan komputasi kerandalan instrumen tes awal dari 60
butir soal yang disediakan menunjukkan hasil 0,882. Hal ini menunjukkan bahwa
koefisien reliabilitas tes tersebut tinggi sehingga layak digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian untuk tes awal (Lampiran C.4.b.1).
Berdasarkan perhitungan koefisien reliabilitas tes keterampilan membaca
yang dihitung dengan bantuan komputasi kerandalan instrumen tes akhir dari 60
butir soal yang disediakan menunjukkan hasil 0,891. Hal ini menunjukkan bahwa
koefisien reliabilitas tes tersebut tinggi sehingga layak digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian untuk tes akhir (Lampiran C.4.b.2).
3) Analisis Butir Instrumen
a) Daya Pembeda
Suatu butir soal dikatakan mempunyai daya pembeda jika kelompok yang
pandai menjawab benar lebih banyak dari kelompok yang kurang pandai. Uji beda
ini dilakukan pada siswa kelas 5 Sekolah Dasar di luar sampel penelitian, yaitu
siswa kelas 5 SD 1 Barongan Kudus sejumlah 46 siswa. Untuk mengetahui daya
beda dalam penelitian ini digunakan konsistensi internal, yaitu korelasi antara skor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
butir-butir dengan skor totalnya. Penghitungan konsistensi internal ini digunakan
rumus korelasi product moment Karl Pearson (Budiyono, 2003:65) dengan rumus:
( )( )( )( ) ( )( )å åå å
ååå--
-=
2222 YYnXXn
YXXYnrxy
Keterangan:
rxy = indeks daya beda untuk butir ke-i n = banyaknya subjek yang dikenai tes (instrumen)
X = skor untuk butir ke-i (dari subjek uji coba) Y = total skor (dari subjek uji coba)
Ketentuan butir soal dianggap memiliki indeks daya beda baik apabila memiliki
nilai koefisien minimal 0,3 sehingga batir ke-i yang kurang dari 0,3 dibuang.
Berdasarkan perhitungan indeks beda tes keterampilan membaca yang
dihitung dengan rumus korelasi product moment Karl Pearson melalui bantuan
komputasi indeks beda instrumen tes awal, dari 60 butir soal yang disediakan
menunjukkan hasil 53 butir soal dengan indeks beda antara 0,312 - 0,54 sehingga
memiliki daya beda yang baik dan 7 butir soal dengan indeks beda di bawah 0,3
sehingga dianggap memiliki daya beda yang tidak baik. Ketujuh butir soal yang
memiliki indeks beda di bawah 0,3 (tidak baik) tersebut adalah butir soal nomor :
31, 34, 36, 45, 46, 49, dan 50 (Lampiran C.4.b.1).
Berdasarkan perhitungan indeks beda tes keterampilan membaca yang
dihitung dengan rumus korelasi product moment Karl Pearson melalui bantuan
komputasi indeks beda instrumen tes akhir, dari 60 butir soal yang disediakan
menunjukkan hasil 56 butir soal dengan indeks beda antara 0,311 - 0,449 sehingga
memiliki daya beda yang baik dan 4 butir soal dengan indeks beda di bawah 0,3
sehingga dinyatakan tidak baik. Keempat butir soal yang memiliki indeks beda
tidak baik tersebut adalah butir soal nomor : 17, 28, 32,dan 35 (Lampiran C.4.b.2).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
b) Tingkat Kesukaran
Butir soal dikatakan baik apabila mempunyai tingkat kesukaran yang
memadai artinya tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Oller (1979: 247)
menyatakan suatu butir soal dinyatakan layak jika indeks tingkat kesukarannya
berkisar antara 0,3 – 07, indeks di bawah 0,3 dianggap terlalu sukar dan di atas 0,7
dianggap terlalu mudah. Dalam penelitian ini butir soal dianggap layak apabila
indeks kesukarannya antara 0,3 – 0,7. Untuk menentukan tingkat kesukaran tiap-
tiap butir soal dalam penelitian ini digunakan rumus berikut.
SJB
P =
Keterangan: P = indeks kesukaran B = banyak peserta tes yang menjawab soal benar JS = jumlah seluruh peserta tes (Suharsimi Arikunto, 2003: 212)
Berdasarkan perhitungan koefisien indeks tingkat kesukaran tes
keterampilan membaca yang dihitung dengan bantuan program anates, indeks
kesukaran instrumen tes awal dari 60 butir soal yang disediakan menunjukkan
hasil antara 0,3 – 0,7 sebanyak 59 butir soal, dibawah 0,3 sebanyak 1 soal yaitu
soal nomor 40, dan tidak ada butir soal yang di atas 0,7 (Lampiran C.4.b.1).
Berdasarkan perhitungan koefisien indeks tingkat kesukaran tes
keterampilan membaca yang dihitung dengan bantuan program anates, indeks
kesukaran instrumen tes akhir dari 60 butir soal yang disediakan menunjukkan
hasil antara 0,3 – 0,7 sebanyak 54 butir soal, dibawah 0,3 sebanyak 6 soal yaitu
soal nomor 17, 21, 27, 32, 35, 43 dan tidak ada butir soal yang di atas 0,7
(Lampiran C.4.b.2).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
c) Analisis Pengecoh
Penentuan layak tidaknya butir soal berbentuk pilihan-ganda ditentukan juga
oleh bagaimana sebaran distribusi frekuensi jawaban pada alternatif yang
disediakan. Butir soal yang baik, pengecohnya akan dipilih secara merata oleh
peserta didik yang menjawab salah. Sebaliknya, butir soal yang kurang baik,
pengecohnya akan dipilih secara tidak merata.
Pengecoh dianggap baik bila jumlah peserta didik yang memilih pengecoh
itu sama atau mendekati jumlah ideal. Adapun distraktor (pengecoh) dianggap
baik apabila dipilih minimal 5% peserta didik yang ikut tes dan kelompok rendah
lebih banyak memilih dibandingkan kelompok tinggi (Burhan Nurgiyantoro,
2009:144).
Berdasarkan perhitungan tingkat keterpilihan oleh peserta yang mengikuti
tes keterampilan membaca yang dihitung dengan bantuan program anates, indeks
distraktor tes awal dari 60 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil sebanyak
58 butir soal distraktornya dianggap layak karena memenuhi syarat di atas dan 2
soal dianggap tidak layak yaitu distraktor soal nomor 45 dan 50 (Lampiran
C.4.b.1).
Berdasarkan perhitungan tingkat keterpilihan oleh peserta yang mengikuti
tes keterampilan membaca yang dihitung dengan bantuan program anates, indeks
distraktor tes akhir dari 60 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil sebanyak
58 butir soal distraktornya dianggap layak karena memenuhi syarat di atas dan 2
soal dianggap tidak layak yaitu distraktor soal nomor 17 dan 32 (Lampiran
C.4.b.1).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
4) Instrumen Tes Keterampilan Membaca yang digunakan dalam Penelitian
a) Tes Awal
Enam puluh butir soal tes awal keterampilan membaca yang secara
validitas konstruk sudah dianggap layak oleh expert jugement dan proffesional
jugment tersebut dilanjutkan dengan uji coba dilapangan untuk mengetahui
reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, dan kualitas pengecoh. Secara ringkas
rangkuman hasil tiap-tiap analisis adalah berikut ini.
Tabel 9 Kalibrasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes Awal Keterampilan Membaca
Reliabilitas Daya beda Tingkat Kesukaran
Kualitas Pengecoh
Baik Tidak Baik Tidak Baik Tidak 0.882 53
butir soal
7 butir soal (31,34,36,45,
46,49,50)
59 butir soal
1 soal (40)
58 butir soal
2 butir soal (45,50)
Dari penjelasan dan tabel tersebut diketahui beberapa butir soal yang layak
dan tidak layak ditinjau secara komprehensif, baik dari segi validitas isi
reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, maupun kualitas pengecoh. Ditemukan
butir soal yang layak sebanyak 52 soal dan yang tidak layak 8 butir soal, yaitu soal
nomor 31,34,36,40,45,46,49, dan 50. Soal yang tidak layak tidak digunakan untuk
pengumpulan data dalam penelitian ini. Soal yang digunakan untuk
pengumpuloan data adalah soal yang memenuhi syarat secara komprehensif.
Namun, guna memudahkan penilaian dalam penelitian, soal yang dipakai adalah
50 butir soal, sisanya sebanyak 2 butir soal dibuang, yaitu nomor 18, 20. Soal
yang dibuang adalah soal yang keterwakilan indikator dalam kisi-kisi sudah
mencukupi (Lampiran C.4.a.b).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
b) Tes Akhir
Enam puluh butir soal tes akhir keterampilan membaca yang secara
validitas konstruk sudah dianggap layak oleh expert jugement dan proffesional
jugment tersebut dilanjutkan dengan uji coba dilapangan untuk mengetahui
reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, dan kualitas pengecoh. Secara ringkas
rangkuman hasil tiap-tiap analisis adalah berikut ini.
Tabel 10 Kalibrasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes Akhir Keterampilan Membaca
Reliabilitas Daya beda Tingkat Kesukaran Kualitas Pengecoh
Baik Tidak Baik Tidak Baik Tidak 0.891 56
butir soal
4 butir soal (17,28,32,35)
54 butir soal
6 soal (17,21,27,32,
35,43)
58 butir soal
2 butir soal
(17,32)
Dari penjelasan dan tabel tersebut diketahui beberapa butir soal yang layak
dan tidak layak ditinjau secara komprehensif, baik dari segi validitas isi
reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, maupun kualitas pengecoh. Ditemukan
butir soal yang layak sebanyak 53 soal dan yang tidak layak 7 butir soal, yaitu soal
nomor 17,21,27,28,32,35, dan 43. Soal yang tidak layak tidak digunakan untuk
pengumpulan data dalam penelitian ini. Soal yang digunakan untuk pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah soal yang memenuhi syarat secara komprehensif.
Namun, guna memudahkan penilaian dalam penelitian, soal yang dipakai adalah
50 butir soal, sisanya sebanyak 3 butir soal dibuang, yaitu nomor 18,42, dan 4.
Soal yang dibuang adalah soal yang keterwakilan indikator dalam kisi-kisi sudah
mencukupi (Lampiran C.4.a.b).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
2. Instrumen Kemampuan Logika Berbahasa
a. Definisi Konseptual
Kata kemampuan dapat diartikan sebagai kesanggupan, kecakapan, dan
kekuatan. Dalam kaitannya dengan logika berbahasa, kemampuan merupakan
kecakapan dalam menggunakan penalaran yang berhubungan dengan bahasa.
Dengan demikian, kemampuan logika berbahasa adalah kesanggupan seseorang
mengungkapkan ide melalui bahasa dan cara penalarannya yang dapat dinyatakan
melalui pengukuran-pengukuran tertentu, baik kejelasan, keruntutan, dan
ketepatan penggunaan kata-kata dalam berbahasa berhubungan dengan logika
seseorang ataupun kemampuan berpikir logis seseorang. Logika bahasa memiliki
tiga aspek utama, yakni berkaitan dengan gramatikal secara umum (morfologi,
sintaksis), semantik, dan metode penalarannya.
b. Definisi Operasional
Secara operasional, kemampuan logika berbahasa adalah nilai yang
diperoleh siswa setelah mengerjakan tes kemampuan logika berbahasa. Untuk
mengetahui nilai siswa (responden) dilakukan: (1) pemberian skor, yaitu setiap
jawaban yang betul diberi skor 1 dan setiap jawaban yang salah diberi skor 0, (2)
Penjumlahan skor, dan (3) penjumlahan skor tersebut menggambarkan
kemampuan logika berbahasa.
Adapun komponen pokok yang terdapat dalam kemampuan logika
berbahasa, yaitu kesanggupan seseorang mengungkapkan ide melalui bahasa yang
berkait dengan (1) sintaksis atau penyusunan kalimat; (2) morfologi atau tata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
bentuk kata; (3) semantik yang berupa sinonim; (4) semantik yang berupa
antonim, dan (5) metode penalaran berbahasa.
c. Dimensi dan Indikator
Berdasarkan konstruk yang dibangun atas dasar kajian teoretik tentang
kemampuan logika berbahasa di atas (berdasarkan kompilasi kritis dari beberapa
pendapat para ahli: Robins, (1980:315), Cruse (1986), Tannen (1994), dan Sri
Samiati Tarjana (2009: 100)), dapatlah ditetapkan indikator-indikator
kemampuan logika berbahasa yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan
sosial dan berpikir siswa kelas 5 sekolah dasar adalah (1) logika dalam sintaksis,
(2) logika dalam morfologi, (3) logika dalam semantik, dan (4) logika dalam
metode penalaran berbahasa.
Dari indikator-indikator inilah dikembangkan lebih lanjut menjadi kisi-kisi
instrumen tes kemampuan logika berbahasa yang digunakan dalam penelitian ini.
d. Kisi-kisi Instrumen
Indikator yang menjadi kisi-kisi tes kemampuan logika berbahasa pada
penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 11
Indikator dan Kisi-kisi Tes Kemampuan Logika Berbahasa
Indikator Nomor Soal Jml. Skor
1. Logika dalam Sintaksis 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 8 8 2. Logika dalam Morfologi 9,10,11,12,13,14,15,16 8 8 3. Logika Semantik
Sinonim 17,18,19,20,21,22,23,24 8 8 Antonim 25,26,27,28,29,30,31,32 8 8
4. Logika dalam Metode Penalaran Berbahasa
33,34,35,36,37,38,39,40 8 8
Jumlah 40 40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
e. Skor dan Penilaian dalam Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data kemampuan logika
berbahasa ini berbentuk tes. Tes yang dipakai berupa tes objektif berbentuk pilihan
ganda dengan empat alternatif jawaban (A, B ,C , dan D). Soal kemampuan logika
berbahasa berjumlah 40 butir soal yang yang disesuaikan dengan kemampuan
logika berbahasa siswa kelas 5 sekolah dasar. Siswa memilih salah satu alternatif
jawaban yang paling tepat. Untuk mendeskripsikan nilai siswa dilakukan dengan:
(1) pemberian skor, yaitu untuk jawaban betul diberi skor 1 dan jawaban salah
diberi skor 0, (2) penjumlahan skor, dan (3) nilai terakhir adalah jumlah skor yang
diperoleh siswa. Nilai tersebut menggambarkan tingkat kemampuan logika
berbahasa siswa. Skor siswa tersebut dikelompokkan menjadi dua, kelompok
logika berbahasa tinggi (separuh dari skor yang bagian atas) dan kelompok logika
berbahasa rendah (separuh dari skor yang bagian bawah) (Lampiran E).
f. Kalibrasi Instumen
Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, instrumen kemampuan
logika berbahasa perlu diuji validitas dan diujicobakan kepada siswa kelas 5
Sekolah Dasar di luar sampel penelitian, yaitu siswa kelas 5 SD 1 Barongan
Kudus sejumlah 46 siswa. Hal ini penting untuk mengetahui kesahihan,
keterandalan, dan melakukan analisis butir yang meliputi uji pembeda, tingkat
kesukaran, dan analisis pengecoh.
1) Kesahihan Instrumen
Kesahihan instrumen dilakukan dengan menggunakan validitas isi.
Dari definisi konseptual tentang kemampuan logika berbahasa yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
dikemukakan dan disusun atas dasar berbagai acuan teoretik yang relevan dengan
variabel penelitian ini, pengembangan dimensi dan indikator serta penilaian
kriteria penilaian tersebut menunjukkan kesahihan isi instrumen itu. Selain itu,
kesahihan instrumen juga dilakukan melalui expert judgment dan professional
jugment yang dilanjutkan dengan ujian instrumen oleh promotor dan tim penguji
instrumen, kemudian dilakukan focus group discusion guru kelas 5 terpilih
membahas dan memberi masukan pada RPP dan Instrumen penelitian (Lampiran
C.4.a). Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Best (1981:197) bahwa validitas
konstruk didasarkan pada kajian teori, silabus, objek, pertimbangan profesional
terpilih, yang selanjutnya dikaji lebih lanjut dalam panel ahli.
2) Keterandalan Instrumen
Reliabilitas suatu tes menunjukkan pada keajegan skor-skor yang diperoleh
oleh individu yang sama pada waktu yang berbeda, atau yang diperoleh dengan
cara yang lain yang sepadan. Suatu instrumen dinyatakan reliabel jika seseorang
melakukan pengukuran dengan instrumen yang sama pada waktu yang berbeda
maka hasil pengukurannya adalah sama. Atau jika dilakukan oleh orang yang
berbeda tetapi dengan kondisi yang sama, maka pengukuran dengan instrumen
yang sama akan memberikan hasil yang sama pula (Budiyono, 2003: 65).
Keterandalan instrumen kemampuan logika berbahasa ditentukan dengan
menggunakan teknik Kuder-Richardson atau biasa disebut dengan KR-20
(Budiyono, 2003: 69), dengan rumus berikut.
÷÷ø
öççè
æ -÷øö
çèæ
-= å
2
2
11 1 t
iit
s
qps
nn
r
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
dengan :
11r : koefisien reliabilitas tes n : banyak item
2ts : variansi total
ip : proporsi subyek yang menjawab item dengan benar
iq : proporsi subyek yang menjawab item dengan salah (qi = 1 – pi).
Dalam penelitian ini, tes yang digunakan adalah tes yang mempunyai
koefisien reliabilitas minimal 0,70. Ini berarti, hasil pengukuran yang mempunyai
indeks reliabilitas 0,70 atau lebih cukup baik nilai kemanfaatannya, dalam arti
instrumennya dapat dipakai untuk melakukan pengukuran (Budiyono, 2003: 72).
Berdasarkan perhitungan koefisien reliabilitas tes kemampuan logika
berbahasa yang dihitung dengan bantuan komputasi keterandalan instrumen tes
awal dari 50 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil 0,88. Hal ini
menunjukkan bahwa koefisien reliabilitas tes tersebut tinggi sehingga layak
digunakan untuk mengumpulkan data penelitian (Lampiran C.4.b.3).
3) Analisis Butir Instrumen
a) Daya Pembeda
Suatu butir soal dikatakan mempunyai daya pembeda jika kelompok yang
pandai menjawab benar lebih banyak daripada kelompok yang kurang pandai.
Untuk mengetahui daya beda dalam penelitian ini digunakan konsistensi internal,
yaitu korelasi antara skor butir-butir dengan skor totalnya. Penghitungan
konsistensi internal ini digunakan rumus korelasi product moment Karl Pearson
(Budiyono, 2003: 65) dengan rumus berikut.
( )( )( )( ) ( )( )å åå å
ååå--
-=
2222 YYnXXn
YXXYnrxy
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
Keterangan:
rxy = indeks daya beda untuk butir ke-i
n = banyaknya subjek yang dikenai tes (instrumen)
X = skor untuk butir ke-i (dari subjek uji coba)
Y = total skor (dari subjek uji coba)
Ketentuan butir soal dianggap memiliki indeks daya pembeda yang baik apabila
memiliki nilai koefisien minimal 0,3 sehingga untuk batir ke-i kurang dari 0,3
harus dibuang.
Berdasarkan perhitungan indeks beda tes kemampuan logika berbahasa yang
dihitung dengan rumus korelasi product moment Karl Pearson melalui bantuan
komputasi indeks beda instrumen tes kemampuan logika berbahasa dari 50 butir
soal yang disediakan menunjukkan hasil 44 butir soal dengan indeks beda antara
0,3 - 0,602 sehingga memiliki daya beda yang baik dan 6 butir soal dengan indeks
beda di bawah 0,3 sehingga dianggap memiliki daya beda yang tidak baik.
Keenam butir soal yang memiliki indeks beda di bawah 0,3 (tidak baik) tersebut
adalah butir soal nomor : 15, 19, 21, 27, 31, dan 47 (Lampiran C.4.b.3).
b) Tingkat Kesukaran
Butir soal dikatakan baik apabila mempunyai tingkat kesukaran yang
memadai artinya tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Oller (1979: 247)
menyatakan suatu butir soal dinyatakan layak jika indeks tingkat kesukarannya
berkisar antara 0,3 – 07, indeks di bawah 0,3 dianggap terlalu sukar dan di atas 0,7
dianggap terlalu mudah. Dalam penelitian ini butir soal dianggap layak apabila
indeks kesukarannya antara 0,3 – 0,7. Untuk menentukan tingkat kesukaran tiap-
tiap butir soal dalam penelitian ini digunakan rumus berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
SJB
P =
Keterangan: P = indeks kesukaran B = banyak peserta tes yang menjawab soal benar JS = jumlah seluruh peserta tes (Suharsimi Arikunto, 2003: 212)
Berdasarkan perhitungan koefisien indeks tingkat kesukaran tes
kemampuan logika berbahasa yang dihitung dengan bantuan program anates,
indeks kesukaran instrumen tes dari 50 butir soal yang disediakan menunjukkan
hasil antara 0,3 – 0,7 sebanyak 46 butir soal, dibawah 0,3 sebanyak 3 soal yaitu
soal nomor 37,46,47 dan 1 butir soal yang di atas 0,7, yaitu soal nomor 21
(Lampiran C.4.b.3).
c) Analisis Pengecoh
Penentuan layak tidaknya butir soal berbentuk pilihan-ganda ditentukan juga
oleh bagaimana sebaran distribusi frekuensi jawaban pada alternatif yang
disediakan. Butir soal yang baik, pengecohnya akan dipilih secara merata oleh
peserta didik yang menjawab salah. Sebaliknya, butir soal yang kurang baik,
pengecohnya akan dipilih secara tidak merata.
Pengecoh dianggap baik bila jumlah peserta didik yang memilih pengecoh
itu sama atau mendekati jumlah ideal. Adapun distraktor (pengecoh) dianggap
baik apabila dipilih minimal 5% peserta didik yang ikut tes dan kelompok rendah
lebih banyak memilih dibandingkan kelompok tinggi (Burhan Nurgiyantoro,
2009:144).
Berdasarkan perhitungan tingkat keterpilihan oleh peserta yang mengikuti
tes keterampilan membaca yang dihitung dengan bantuan program anates, indeks
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
distraktor tes dari 50 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil sebanyak 47
butir soal distraktornya dianggap layak karena memenuhi syarat di atas dan 3 soal
dianggap tidak layak yaitu distraktor soal nomor 43, 46, dan 47 (Lampiran
C.4.b.3).
5) Instrumen Tes Kemampuan Logika Berbahasa yang digunakan dalam
Penelitian
Lima puluh butir soal tes kemampuan logika berbahasa yang secara
validitas konstruk sudah dianggap layak oleh expert jugement dan proffesional
jugment tersebut dilanjutkan dengan uji coba dilapangan untuk mengetahui
reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, dan kualitas pengecoh. Secara ringkas
rangkuman hasil tiap-tiap analisis adalah berikut ini.
Tabel 12 Kalibrasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Logika Berbahasa
Reliabilitas Daya beda Tingkat Kesukaran
Kualitas Pengecoh
Baik Tidak Baik Tidak Baik Tidak 0.88 44
butir soal
6 butir soal (15,19,21,27,
31,47)
46 butir soal
4 soal (21,37, 46,47)
47 butir soal
3 butir soal (43,46,47)
Dari penjelasan dan tabel tersebut diketahui beberapa butir soal dianggap
layak dan tidak layak ditinjau secara komprehensif, baik dari segi validitas isi,
reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, maupun kualitas pengecoh. Ditemukan
butir soal yang layak sebanyak 41 butir soal dan yang tidak layak 9 butir soal,
yaitu soal nomor 15,19,21,27,31,37,43,46 dan 47. Soal yang tidak layak tidak
digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini. Soal yang digunakan
untuk pengumpulan data adalah soal yang memenuhi syarat secara komprehensif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
Namun, guna memudahkan penilaian dalam penelitian, soal yang dipakai adalah
40 butir soal, sisanya sebanyak 1 butir soal dibuang, yaitu nomor 23. Soal yang
dibuang adalah soal yang keterwakilan indikator dalam kisi-kisi sudah mencukupi
(Lampiran C.4.a.b).
E. Teknik Pengumpulan Data
Beberapa item komponen yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
1. Model pembelajaran dipersiapkan dan dirancang melalui penyusunan RPP untuk
perlakuan pada tiga kelompok sampel dan enam sel penelitian yang berbeda.
a. RPP untuk kelas dengan model pembelajaran CIRC (dengan kemampuan
logika berbahasa sel tinggi-rendah).
b. RPP untuk kelas dengan model pembelajaran Jigsaw (dengan kemampuan
logika berbahasa sel tinggi-rendah).
c. RPP untuk kelas dengan model pembelajaran STAD (dengan kemampuan
logika berbahasa sel tinggi-rendah).
Untuk menjaga keakuratan pelaksanaan model pembelajaran yang dilakukan para
guru, keseluruhan RPP sebelum dipakai dalam penelitian terlebih dahulu
dilakukan validasi oleh expert judgment dan focus group discusion (pakar dan
guru pemakai terpilih), kemudian guru kelas penelitian diberikan pelatihan agar
pembelajaran sesuai dengan perencanaan penelitian ini.
2. Data penelitian berkait dengan keterampilan membaca siswa diperoleh melalui
intrumen tes keterampilan membaca dan data penelitian berkait dengan
kemampuan logika berbahasa diperoleh melalui tes kemampuan logika berbahasa.
Data keterampilan membaca berbentuk nilai keterampilan membaca yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
diperoleh melalui instrumen tes objektif keterampilan membaca, yang berupa 50
item tes objektif pilihan ganda dengan empat alternatif jawaban. Tes ini sebelum
digunakan telah divalidasi (1) konstruk oleh expert judgment, (2) diuji reliabilitas
dan (3) analisis butir soal yang berupa uji beda, uji kesukaran, dan uji pengecoh
dengan melalui uji coba instrumen di lapangan secara efektif.
Data kemampuan logika berbahasa berbentuk skor logika berbahasa yang
diperoleh melalui instrumen tes objektif kemampuan logika berbahasa, yang
berupa 40 item tes objektif pilihan ganda dengan empat alternatif jawaban. Tes ini
juga sudah divalidasi (1) konstruk oleh expert judgemen, (2) (2) diuji reliabilitas
dan (3) analisis butir soal yang berupa uji beda, uji kesukaran, dan uji pengecoh
dengan melalui uji coba instrumen di lapangan secara efektif.
F. Teknik Analisis Data
1. Analisis uji prasyarat, yaitu uji keseimbangan berupa uji normalitas dan uji
homogenitas. Uji prasyarat ini dilakukan untuk menguji apakah sampel berasal
dari populasi yang berdistribusi normal. Pengujian dilakukan sebanyak 9 kali, tiga
kali pengujian efek utama dan enam kali pengujian efek interaksi. Pengujian efek
utama sebanyak 3 kali, yaitu pertama terhadap kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran keterampilan membaca dengan model CIRC (A1), kedua terhadap
kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan
model Jigsaw (A2), dan ketiga terhadap kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran keterampilan membaca dengan model STAD (A3). Pengujian efek
interaksi sebanyak 6 kali, yaitu keempat terhadap kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran membaca keterampilan membaca dengan model CIRC dan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A1 B1), kelima terhadap kelompok
siswa yang mengikuti pembelajaran membaca keterampilan membaca dengan
model Jigsaw dan yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A2 B1),
keenam terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran membaca
keterampilan membaca dengan model STAD dan yang memiliki kemampuan
logika berbahasa tinggi (A3B1), ketujuh terhadap kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran membaca keterampilan membaca dengan model CIRC dan yang
memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A1 B2), kedelapan terhadap
kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran membaca keterampilan membaca
dengan model Jigsaw dan yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A2
B2), dan kesembilan terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran
membaca keterampilan membaca dengan model STAD dan yang memiliki
kemampuan logika berbahasa rendah (A3B2).
Jika Lhitung yang diperoleh lebih kecil daripada Ltabel, maka dinyatakan
sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Demikian pula sebaliknya.
Di samping uji normalitas, juga dilakukan uji homogenitas varian.
2. Tekniks analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analysis of
Variance (ANAVA) dua jalan dengan sel tak sama. Teknik analisis ini dilakukan
dengan maksud untuk melihat variansi-variansi yang muncul karena adanya
beberapa perlakuan (treatment) untuk menyimpulkan ada atau tidaknya perbedaan
rerata pada k populasi (Budiyono, 2009:183). Adapun prosedur analisis yang
dimaksud adalah berikut ini.
a. Menetapkan hipotesis statistik,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
b. Menetapkan taraf signifikansi 0.05,
c. Melakukan statistik uji hipotesis menggunakan Uji F yang menguji hipotesis
efek model pembelajaran (CIRC, Jigsaw, STAD) dan hipotesis efek interaksi
model pembelajaran dan tingkat kemampuan logika berbahasa.
3. Apabila hasil analisis menunjukkan adanya interaksi, maka dilanjutkan Uji
Scheffe’
berikut ini.
a. Untuk komparasi rerata antarbaris dengan formula
( )
úúû
ù
êêë
é+
-=-
ji
jiji
nnRKG
XXF
11
2
Dengan daerah kritik : ( ){ }pqp NFpFFDK --->= ,1 1a
Keterangan :
Fi-j = nilai Fobs pada perbandingan pada baris ke-i dan baris ke-j
i = rerata pada baris ke-i
j = rerata pada baris ke-j
RKG = rerata kuadrat galat, yang diperoleh dari perhitungan analisis variansi.
ni = ukuran baris ke-i
nj = ukuran baris ke-j
(Budiyono, 2009:215)
b. Untuk komparasi rerata antarsel pada kolom yang sama dengan formula
( )
úúû
ù
êêë
é+
-=-
ikij
ikijkjij
nnRKG
XXF
11
2
Dengan daerah kritik : ( ){ }pqpq NFpqFFDK --->= ,1 1a
XX
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
Keterangan :
Fij-ik = nilai Fobs pada perbandingan rataan pada sel ij dan rataan pada sel ik.
ij = rataan pada sel ij
ik = rataan pada sel ik
RKG = rataan kuadrat galat, yang diperoleh dari perhitungan anava.
nij = ukuran sel ij
nik = ukuran sel ik
(Budiyono, 2009:216)
G. Hipotesis Statistik
1) Hipotesis pertama
HoA : αi = 0, untuk setiap harga i; i = 1,2,3 (Tidak terdapat efek model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD
terhadap prestasi belajar keterampilan membaca)
H1A : αi ¹ 0, untuk paling sedikit ada satu harga αi tidak nol (Terdapat efek
model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan
STAD terhadap prestasi belajar keterampilan membaca)
2) Hipotesis kedua
HoB : βj = 0, untuk semua harga j, j = 1,2 (Tidak terdapat efek
kemampuan logika berbahasa terhadap prestasi belajar
keterampilan membaca)
H1B : βj ¹ 0, untuk paling sedikit ada satu harga βj tidak nol (Terdapat
efek kemampuan logika berbahasa terhadap prestasi belajar
keterampilan membaca)
X
X
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
3) Hipotesis ketiga
HoAB : αβij = 0, untuk setiap i = 1,2,3 dan j = 1,2 (Tidak terdapat interaksi
antara model pembelajaran kooperatif dan kemampuan
logika berbahasa terhadap prestasi belajar keterampilan
membaca)
H1AB : αβij ¹ 0, paling sedikit ada satu (αβ)ij , yang tidak nol (Terdapat
interaksi antara model pembelajaran kooperatif dan
kemampuan logika berbahasa terhadap prestasi belajar
keterampilan membaca).
H. Prosedur Penelitian
Dalam mengadakan penelitian ini terdapat berbagai kegiatan yang yang
dilakukan peneliti, baik sebelum maupun selama pelaksanaan ekperimen penelitian.
Kegiatan tersebut meliputi penyiapan lapangan, tenaga lapangan, pelaksanaan
pretes, pelaksaanaan eksperimen, dan pelaksanaan postes.
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan penelitian ini, meliputi beberapa persiapan, yaitu:
a. Studi Awal
Sebelum melakukan penelitian, penulis melakukan studi awal yang berupa
kegiatan identifikasi masalah dalam pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya
keterampilan membaca pada siswa kelas 5 Sekolah Dasar. Hal ini dilakukan
pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar, mengingat beberapa pertimbangan : (1)
pada jenjang inilah keterampilan membaca menjadi fondasi pada jenjang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
berikutnya, (2) perkembangan sosial anak yang sudah mampu menjalin
hubungan sosial dengan lingkungan, (3) pilihan jatuh pada kelas 5 SD, karena
siswa telah mendapatkan pembelajaran keterampilan bahasa Indonesia selama 4
tahun di SD (bahkan ditambah 2 tahun di TK), dipandang cukup memiliki dasar-
dasar keterampilan membaca. Pilihan bukan pada kelas 4 atau kelas 6, karena
kelas 4, siswa baru tahap selesai pengenalan kemampuan dasar berbahasa,
sedangkan di kelas 6 pembelajaran bahasa Indonesia dipersiapkan fokus pada
ujian nasional, dan (4) penelitian ini mengambil subjek penelitian siswa kelas 5
sekolah dasar dikandung maksud untuk mengembangkan secara optimal potensi
siswa yang merupakan masa intelektual, karena keterbukaan dan keinginannya
untuk mendapatkan pengetahuan, membentuk sikap, dan meningkatkan
keterampilan, terutama yang berkaitan dengan keterampilan membaca.
Beberapa kegiatan yang dilakukan pada studi awal adalah melakukan
observasi secara mendalam dan dilanjutkan wawancara dengan beberapa guru
kelas 5 sekolah dasar. Identifikasi masalah ini dilengkapi dengan dokumentasi
hasil belajar bahasa siswa kelas 5 SD.
b. Persiapan Penelitian
Pada tahap ini dilakukan penyusunan perencanaan item komponen
pembelajaran yang akan digunakan dalam eksperimen, dimulai dari kompetensi
dasar, penyusunan silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, serta intrumen
tes keterampilan membaca dan tes kemampuan logika berbahasa untuk
pengumpulan data penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
c. Expert Judgment dan Focus Group Discusion
Sebelum dilakukan eskperimen, semua komponen pembelajaran yang
akan digunakan untuk eksperimen yang berupa silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran, serta instrumen tes keterampilan membaca dan logika berbahasa
divalidasi dengan meminta pendapat pakar dan guru terpilih yang profesional
dalam forum expert Judgment dan focus group discusion untuk uji kelayakan
pada item komponen pembelajaran yang telah disusun. Masukan dan saran pada
forum ini digunakan untuk menyempurnakan item komponen pembelajaran
tersebut.
d. Training Guru
Pada tahap ini dilakukan pelatihan kepada guru-guru kelas 5 pada SD
yang terpilih untuk sekolah penelitian. Kegiatan ini dilakukan dikandung
maksud agar para guru yang melakukan eksperimen memiliki persepsi dan
langkah yang sama dengan perencanaan penelitian ini, khususnya tentang
pembelajaran keterampilan membaca. Koordinasi dan pelatihan dilakukan
selama 2 bulan, sehingga para guru dapat mengikuti perencanaan pembelajaran,
pelaksanaan pembelajaran, maupun proses pembelajaran dengan model
pembelajaran yang sesuai dengan perencanaan penelitian ini.
2. Tahap Pelaksanaan Eksperimen
Sebelum dilakukan eksperimen siswa diberikan tes kemampuan awal,
yaitu tes keterampilan membaca dan tes kemampuan logika berbahasa.
Selanjutnya selama dua bulan (6 kali pertemuan = 15 jam pelajaran) dilakukan
ekpserimen pada 12 Sekolah Dasar terpilih, yang dikenakan perlakuan sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
dengan perencanaan penelitian ini. Para guru kelas 5 Sekolah Dasar yang telah
dipersiapkan, diminta melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kompetensi
dasar, materi dan model pembelajaran yang telah ditentukan. Kompetensi dasar
dan materi pembelajaran yang diberikan adalah keterampilan membaca pada
semester gasal kelas 5 SD, yang terdiri atad 3 kompetensi dasar dan dijabarkan
menjadi 6 indikator. KD 1: membaca teks percakapan dengan lafal dan intonasi
yang tepat, dengan indikaotor (1) siswa mampu mencatat pokok-pokok isi
percakapan dan (2) siswa mampu menemukan rangkuman isi percakapan. KD 2:
menemukan gagasan utama suatu teks yang dibaca dengan kecepatan 75
kata/menit, dengan indikator (1) siswa mampu mencatat pokok-pokok bacaan,
(2) siswa mampu menemukan gagasan utama setiap paragraf, dan (3) siswa
mampu menyimpulkan isi bacaan. KD 3: membaca puisi dengan lafal dan
intonasi yang tepat, dengan indikator siswa mampu menentukan jeda atau
penggalan kata untuk memperjelas arti menentukan isi puisi.
Pada akhir penelitian, dilakukan tes keterampilan membaca kepada semua
siswa kelas 5 Sekolah Dasar tempat penelitian ini dilakukan.
3. Tahap Penyusunan Hasil Laporan Penelitian
Data yang diperoleh dari hasil penelitian, selanjutnya dianalisis,
dilakukan pembahasan, disimpulkan dan disusun dalam sebuah laporan sebagai
hasil dari penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas hasil penelitian yang terdiri atas deskripsi data penelitian,
pengujian persyaratan analisis, pengujian hipotesis, dan pembahasan hasil penelitian.
A. Deskripsi Data Penelitian
Nilai keterampilan membaca pada penelitian ini adalah nilai yang diperoleh
siswa setelah mengerjakan tes keterampilan membaca bahasa Indonesia yang diberikan
setelah dilakukan eksperimen model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan
STAD kepada kelompok siswa kelas 5 SD yang memiliki kemampuan logika berbahasa
tinggi maupun siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah selama 3 bulan
(6 kali pertemuan/15 jam pelajaran). Adapun komponen pokok tes dalam keterampilan
membaca bahasa Indonesia ini, yaitu (1) pengenalan kata, yang berupa keterampilan
siswa dalam membaca untuk mengenal bahan bacaan yang tertera secara tersurat
merujuk kata-kata dan kalimat dalam wacana yang kemudian mengingatnya dalam
pikiran sebanyak 11 butir soal; (2) pemahaman literal, yang berupa keterampilan siswa
dalam membaca untuk menangkap dan memahami bahan bacaan yang tertera secara
eksplisit informasi yang tercetak secara tampak jelas dalam bacaan sebanyak 10 butir
soal; (3) membaca interpretatif, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca untuk
menangkap dan memahami bahan bacaan yang tersirat, pemahaman ini diperoleh
melalui kesan, pendapat, dan pandangan yang berhubungan dengan adanya tafsiran
sebanyak 10 butir soal; (4) membaca kritis, yang berupa keterampilan siswa dalam
membaca dengan mengolah bahan bacaan secara kritis untuk menemukan keseluruhan
makna bahan bacaan, baik makna yang tersurat maupun yang tersirat, ini dilakukan
149
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
melalui tahapan mengenal, memahami, menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi.
sebanyak 10 butir soal; dan (5) membaca kreatif, yang berupa keterampilan siswa dalam
membaca, yang tidak hanya menangkap makna yang tersurat ataupun makna tersirat,
lebih dari itu mampu secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kepentingkan
sehari-hari sebanyak 9 butir soal.
Penentuan tinggi rendahnya kemampuan logika berbahasa didasarkan atas skor
hasil tes kemampuan logika berbahasa. Skor siswa tersebut dikelompokkan menjadi dua,
kelompok logika berbahasa tinggi (di atas skor median/separuh dari skor bagian atas)
dan kelompok rendah (di bawah skor median/separuh dari skor bagian bawah)
(Lampiran E). Komponen pokok yang terdapat dalam tes kemampuan logika berbahasa,
yaitu kesanggupan seseorang mengungkapkan ide melalui bahasa yang berkait dengan
(1) sintaksis atau penyusunan kalimat sebanyak 8 butir soal; (2) morfologi atau tata
bentuk kata sebanyak 8 butir soal; (3) semantik yang berupa sinonim sebanyak 8 butir
soal; (4) semantik yang berupa antonim sebanyak 8 butir soal, dan (5) metode penalaran
berbahasa sebanyak 8 butir soal.
Berikut disajikan secara berurutan deskripsi data hasil penelitian yang berupa: (1)
nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis
CIRC, (2) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif jenis Jigsaw, (3) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis STAD, (4) nilai keterampilan membaca siswa yang
memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, (5) nilai keterampilan membaca siswa
yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, (6) nilai keterampilan membaca
siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC yang memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
kemampuan logika berbahasa tinggi, (7) nilai keterampilan membaca siswa yang
mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw yang memiliki kemampuan
logika berbahasa tinggi, (8) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis STAD yang memiliki kemampuan logika berbahasa
tinggi, (9) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif jenis CIRC yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, (10) nilai
keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis
Jigsaw yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, dan (11) nilai keterampilan
membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD yang
memiliki kemampuan logika berbahasa rendah.
Data hasil penelitian ini disajikan dalam rangka memberikan gambaran awal dan
memudahkan pelaksanaan analisis data hasil penelitian. Secara deskriptif disajikan
berturutan data nilai tertinggi, nilai terendah, rentang nilai, mean, mode, median, dan
simpangan baku.
1. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1)
Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC (A1)
menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 98, nilai terendah
sebesar 56, dan memiliki rentang nilai 56 – 98. Dari perhitungan statistik deskriptif
diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 79.4590, modus (Mo) sebesar 80, median (Me)
sebesar 80, dan simpangan baku (s) sebesar 11.4763. Perhitungan lebih rinci lihat
Lampiran F.3.a. Nilai-nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
Tabel 13
Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1)
Kelompok Siswa N Nilai Min Nilai Max Mean Mo Me S
CIRC 122 56 98 79.4590 80 80 11.4763
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC (A1) dapat dilihat pada tabel 14 berikut.
Tabel 14
Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1)
No. Kelas Interval f Absolut f (dalam %) 1 56 – 64 16 13.11 2 65 – 73 17 13.93 3 74 – 82 38 31.15 4 83 – 91 29 23.77 5 92-100 22 18.03 Jumlah 122 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC (A1) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 4 Histogram Nilai Keterampilan Membaca
Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
2. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2)
Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw (A2)
menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 98, nilai terendah
sebesar 54, dan memiliki rentang nilai 54 – 98. Dari perhitungan statistik deskriptif
diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 76.7581, modus (Mo) sebesar 80, median (Me)
sebesar 78, dan simpangan baku (s) sebesar 10.9622. Perhitungan lebih rinci lihat
Lampiran F.3.b. Nilai-nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini.
Tabel 15
Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2)
Kelompok Siswa N Nilai Min Nilai Max Mean Mo Me S
Jigsaw 124 54 98 76.851 80 78 10.9622
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw (A2) dapat dilihat pada tabel 16 berikut.
Tabel 16
Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2)
No. Kelas Interval f Absolut f (dalam %) 1 54 – 62 14 11.29 2 63 – 71 27 21.77 3 72 – 80 38 30.65 4 81 – 89 28 22.58 5 90-98 17 13.71 Jumlah 124 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw (A2) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
Gambar 5
Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2)
3. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3)
Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD (A3)
menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 98, nilai terendah
sebesar 56, dan memiliki rentang nilai 56 – 98. Dari perhitungan statistik deskriptif
diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 76.3898, modus (Mo) sebesar 76, median (Me)
sebesar 76, dan simpangan baku (s) sebesar 10.8076. Perhitungan lebih rinci lihat
Lampiran F.3.c. Nilai-nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini.
Tabel 17
Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3)
Kelompok Siswa N Nilai Min Nilai Max Mean Mo Me S
STAD 118 56 98 76.3898 76 76 10.8076
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis STAD (A3) dapat dilihat pada tabel 18 berikut.
Tabel 18
Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3)
No. Kelas Interval f Absolut f (dalam %) 1 56 – 64 21 17.80 2 65 – 73 25 21.19 3 74 – 82 37 31.36 4 83 – 91 25 21.9 5 92-100 10 8.47 Jumlah 118 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis STAD (A3) ini dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 6 Histogram Nilai Keterampilan Membaca
Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3)
4. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (B1)
Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk
kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (B1) menunjukkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 98, nilai terendah sebesar 62, dan
memiliki rentang nilai 62 – 98. dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-
rata (mean) sebesar 82.1778, modus (Mo) sebesar 80, median (Me) sebesar 82, dan
simpangan baku (s) sebesar 10.1715. Perhitungan lebih rinci lihat Lampiran F.3.d. Nilai-
nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini.
Tabel 19
Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (B1)
Kelompok Siswa N Nilai Min Nilai Max Mean Mo Me S
Logika Tinggi 180 62 98 82.1778 80 82 10.1715
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti
pembelajaran yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (B1) dapat dilihat pada
tabel 20 berikut ini.
Tabel 20
Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (B1)
No. Kelas Interval f Absolut f (dalam %) 1 62 – 69 25 13.89 2 70 – 77 30 16.67 3 78 – 85 50 27.78 4 86 – 93 42 23.33 5 94-100 33 18.33 Jumlah 180 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang memiliki kemampuan
logika berbahasa tinggi (B1) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
Gambar 7
Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berahasa Tinggi (B1)
5. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (B2)
Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk
kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (B2) menunjukkan
bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 92, nilai terendah sebesar 54, dan
memiliki rentang nilai 54 – 92. dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-
rata (mean) sebesar 73.0109, modus (Mo) sebesar 74, median (Me) sebesar 74, dan
simpangan baku (s) sebesar 10.1637. Perhitungan lebih rinci lihat Lampiran F.3.e. Nilai-
nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini.
Tabel 21
Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (B2)
Kelompok Siswa N Nilai Min Nilai Max Mean Mo Me S
Logika Rendah 184 54 92 73.0109 74 74 10.1637
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang memiliki kemampuan
logika berbahasa rendah (B2) dapat dilihat pada tabel 22 berikut.
Tabel 22
Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (B2)
No. Kelas Interval f Absolut f (dalam %) 1 54 – 61 29 15.76 2 62 – 69 39 21.20 3 70 – 77 47 25.54 4 78 – 85 43 23.37 5 86-93 26 14.13 Jumlah 184 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang memiliki kemampuan
logika berbahasa rendah (B2) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 8 Histogram Nilai Keterampilan Membaca
Siswa dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (B2)
6. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A1B1)
Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A1B1) menunjukkan bahwa nilai tertinggi
keterampilan membaca sebesar 98, nilai terendah sebesar 64, dan memiliki rentang nilai
64 – 98. Dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar
86.3793, modus (Mo) sebesar 90, median (Me) sebesar 88, dan simpangan baku (s)
sebesar 8.7094. Lebih rinci lihat Lampiran F.3.f. Nilai-nilai tersebut adalah berikut ini.
Tabel 23
Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan
Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A1B1)
Kelompok Siswa N Nilai Min Nilai Max Mean Mo Me S CIRC-Tinggi 58 64 98 86.3793 90 88 8.7093
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti
pembelajaran yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan memiliki
kemampuan logika berbahasa tinggi (A1B1) dapat dilihat pada tabel 24 berikut.
Tabel 24
Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan
Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A1B1)
No. Kelas Interval f Absolut f (dalam %) 1 64 – 70 3 5.17
2 71 – 77 7 12.07
3 78 – 84 13 22.41
4 85 – 91 15 25.86
5 92-98 20 34.48
Jumlah 58 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi
(A1B1) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
Gambar 9 Histogram Nilai Keterampilan Membaca
Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A1B1)
7. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A2B1)
Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki
kemampuan logika berbahasa tinggi (A2B1) menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan
membaca sebesar 98, nilai terendah sebesar 62, dan memiliki rentang nilai 62 – 98. Dari
perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 80.2540, modus
(Mo) sebesar 80, median (Me) sebesar 80, dan simpangan baku (s) sebesar 10.2893. Lebih
rinci lihat Lampiran F.3.g. Nilai-nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini.
Tabel 25
Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki
Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A2B1)
Kelompok Siswa N Nilai Min Nilai Max Mean Mo Me S
Jigsaw-Tinggi 63 62 98 80.2540 80 80 10.2893
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti
pembelajaran yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki
kemampuan logika berbahasa tinggi (A2B1) dapat dilihat pada tabel 26 berikut.
Tabel 26
Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki
Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A2B1)
No. Kelas Interval f Absolut f (dalam %) 1 62 – 69 12 19.03 2 70 – 77 10 15.87 3 78 – 85 20 31.75 4 86 – 93 12 19.05 5 94-100 9 14.29 Jumlah 63 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi
(A2B1) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 10
Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan
Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A2B1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
8. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A3B1)
Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki
kemampuan logika berbahasa tinggi (A3B1) menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan
membaca sebesar 98, nilai terendah sebesar 62, dan memiliki rentang nilai 62 – 98. dari
perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 80.1017, modus
(Mo) sebesar 80, median (Me) sebesar 80, dan simpangan baku (s) sebesar 10.2683. Lebih
rinci lihat Lampiran F.3.h. Nilai-nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini.
Tabel 27
Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki
Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A3B1)
Kelompok Siswa N Nilai Min Nilai Max Mean Mo Me S
STAD-Tinggi 59 62 98 80.1017 80 80 10.2683
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti
pembelajaran yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki
kemampuan logika berbahasa tinggi (A3B1) dapat dilihat pada tabel 28 berikut.
Tabel 28
Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki
Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A3B1)
No. Kelas Interval f Absolut f (dalam %) 1 62 – 69 12 18.64 2 70 – 77 12 20.34 3 78 – 85 17 28.81 4 86 – 93 9 15.25 5 94-100 10 16.95 Jumlah 59 100.00
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi
(A3B1) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 11
Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan
Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A3B1)
9. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A1B2)
Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan
memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A1B2) menunjukkan bahwa nilai
tertinggi keterampilan membaca sebesar 92, nilai terendah sebesar 56, dan memiliki
rentang nilai 56 – 92. Dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata
(mean) sebesar 73.1875, modus (Mo) sebesar 80, median (Me) sebesar 74, dan
simpangan baku (s) sebesar 9.9355. Perhitungan lebih rinci lihat Lampiran F.3.i. Nilai-
nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
Tabel 29
Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan
Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A1B2)
Kelompok Siswa N Nilai Min Nilai Max Mean Mo Me S
CIRC-Rendah 64 56 92 73.1875 80 74 9.9355
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti
pembelajaran yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan memiliki
kemampuan logika berbahasa rendah (A1B2) dapat dilihat pada tabel 30 berikut.
Tabel 30
Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki
Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A1B2)
No. Kelas Interval f Absolut F (dalam %) 1 56 – 63 13 20.31 2 64 – 71 12 18.75 3 72 – 79 19 29.69 4 80 – 87 15 23.44 5 88-95 5 7.81 Jumlah 64 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah
(A1B2) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
Gambar 12
Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki
Kemampuan Logika Bahasa Rendah (A1B2)
10. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A2B2)
Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki
kemampuan logika berbahasa rendah (A2B2) menunjukkan bahwa nilai tertinggi
keterampilan membaca sebesar 92, nilai terendah sebesar 54, dan memiliki rentang nilai 54
– 92. Dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 73.1475,
modus (Mo) sebesar 80, median (Me) sebesar 74, dan simpangan baku (s) sebesar 10.5291.
Lebih rinci lihat Lampiran F.3.j. Nilai-nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini.
Tabel 31
Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki
Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A2B2)
Kelompok Siswa N Nilai Min Nilai Max Mean Mo Me S Jigsaw-Rendah 61 54 92 73.1475 80 74 10.5291
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti
pembelajaran yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki
kemampuan logika berbahasa rendah (A2B2) dapat dilihat pada tabel 32 berikut.
Tabel 32
Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki
Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A2B2)
No. Kelas Interval f Absolut F (dalam %) 1 54 – 61 9 14.75 2 62 – 69 14 22.95 3 70 – 77 14 22.95 4 78 – 85 14 22.95 5 86-93 10 16.39 Jumlah 61 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa Rendah
(A2B2) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 13
Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan
Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A2B2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
11. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A3B2)
Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki
kemampuan logika berbahasa rendah (A3B2) menunjukkan bahwa nilai tertinggi
keterampilan membaca sebesar 90, nilai terendah sebesar 56, dan memiliki rentang nilai 56
– 90. dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 72.1475,
modus (Mo) sebesar 72, median (Me) sebesar 72, dan simpangan baku (s) sebesar 10.1071.
Selengkapnya lihat Lampiran F.3.k. Nilai-nilai tersebut digambarkan sebagai berikut ini.
Tabel 33
Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki
Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A3B2)
Kelompok Siswa N Nilai Min Nilai Max Mean Mo Me S
Jigsaw-Rendah 59 56 90 72.6780 72 72 10.1071
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti
pembelajaran yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki
kemampuan logika berbahasa rendah (A3B2) dapat dilihat pada tabel 34 berikut.
Tabel 34
Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan
Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A3B2)
No. Kelas Interval f Absolut f (dalam %) 1 56 – 62 13 22.03 2 63 – 69 10 16.95 3 70 – 76 14 23.73 4 77 – 83 10 16.95 5 84 – 90 12 20.34 Jumlah 59 100.00
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah
(A3B2) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 14
Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan
Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A3B2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
Tabel 35 Rangkuman Data Nilai Keterampilan Membaca
MODEL PEMBELAJARAN (A)
KEMAMPUAN LOGIKA BAHASA (B) Jumlah
Tinggi (B1) Rendah (B2)
CIRC (A1)
N 58 64 122 ∑ X 5010 4684 9694 Min. 64 56 56 Max. 98 92 98 Mean 86.38 73.19 79.46 Mo 90 80 80 Me 88 74 80 S 8.7093972 9.935534 11.47628
Var. 75.8536 100.2817 131.7049 Range 64-98 56-92 56-98 ∑X2 437084 349128 786212
JIGSAW (A2)
N 63 61 124 ∑X 5056 4462 9518 Min. 62 54 54 Max. 98 92 98 Mean 80.25 73.16 76.76 Mo 80 80 80 Me 80 74 78 S 10.289312 10.529065 10.962145
Var. 105.8699 110.8612 120.1686 Range 62-98 54-92 54-98 ∑ X2 412328 333036 745364
STAD (A3)
N 59 59 118 ∑X 4726 4288 9014
Min. 62 56 56 Max. 98 90 98 Mean 80.10 72.68 76.39 Mo 80 72 76 Me 80 72 76 S 10.268289 10.107083 10.80759
Var. 105.4378 102.1531 116.8040 Range 62-98 56-90 56-98 ∑X2 384676 317568 702244
Jumlah
N 180 184 ∑X 14792 13434
Min. 62 54 Max. 98 92 Mean 82.18 73.01 Mo 80 74 Me 82 74 S 10.170148 10.163682
Var. 103.4319 103.3004 Range 62-98 54-92 ∑X2 1234088 999732
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
B. Pengujian Persyaratan Analisis
Sebelum dilakukan analisis hasil penelitian dengan teknik analisis variansi dua
jalan, terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis yang meliputi : (1) uji normalitas
dengan menggunakan uji Liliefors dan (2) uji homogenitas varians dengan menggunakan
uji Bartlett.
1. Uji Normalitas Populasi
Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi sebelum dilakukan analisis variansi
adalah uji normalitas. Dalam penelitian ini, uji normalitas digunakan metode Lilliefors
untuk mengetahui apakah kelompok sampel berasal dari populasi yang berdistribusi
normal atau tidak. Pengujian dilakukan sebanyak sembilan kali, tiga kali pengujian efek
utama dan enam kali pengujian efek interaksi.
Uji normalitas terhadap efek utama, yaitu pertama dilakukan terhadap kelompok
siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran
CIRC (A1), kedua terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan
membaca dengan model pembelajaran Jigsaw (A2), dan ketiga terhadap kelompok siswa
yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran
STAD (A3).
Uji normalitas terhadap efek interaksi, yaitu pertama dilakukan terhadap
kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model
pembelajaran CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A1B1), kedua
terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan
model pembelajaran Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A2B1),
ketiga terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
dengan model pembelajaran STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi
(A3B1), keempat dilakukan terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran
keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC dan memiliki kemampuan
logika berbahasa rendah (A1B2), kelima terhadap kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw dan memiliki
kemampuan logika berbahasa rendah (A2B2), dan keenam terhadap kelompok siswa
yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran
STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A3B2).
Dari perhitungan uji normalitas efek utama, Pada kelompok siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan model CIRC (A1) diperoleh nilai Lobs 0.0778, sedangkan
Ltabel = 0.0802. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan
membaca dengan model pembelajaran Jigsaw (A2) diperoleh nilai Lobs 0.0730,
sedangkan Ltabel = 0.0796. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran
keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD (A3) diperoleh nilai Lobs
0.0701, sedangkan Ltabel = 0.0816. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran
keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC-logika bahasa tinggi (A1B1)
diperoleh nilai Lobs 0.0922, sedangkan Ltabel = 0.1163. Pada kelompok siswa yang
mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw-
logika bahasa tinggi (A2B1) diperoleh nilai Lobs 0.0786, sedangkan Ltabel = 0.1116. Pada
kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model
pembelajaran STAD-logika bahasa tinggi (A3B1) diperoleh nilai Lobs 0.0672, sedangkan
Ltabel = 0.1125. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan
membaca dengan model pembelajaran CIRC-logika bahasa rendah (A1B2) diperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
172
nilai Lobs 0.0730, sedangkan Ltabel = 0.1108. Pada kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw-logika bahasa
rendah (A2B2) diperoleh nilai Lobs 0.0646, sedangkan Ltabel = 0.1134. Pada kelompok
siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran
STAD-logika bahasa rendah (A1B2) diperoleh nilai Lobs 0.0759, sedangkan Ltabel =
0.1153. Data di atas menunjukkan bahwa pada taraf signigikansi 5% hipotesis nol untuk
seluruh model pembelajaran diterima karena Lobs lebih kecil dari pada Ltabel. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa data pada setiap model pembelajaran berasal dari
populasi yang berdistribusi normal, sehingga persyaratan normalitas tes akhir telah
terpenuhi. Perhitungan selengkapnya lihat Lampiran F.1. Rangkuman perhitungan uji
normalitas tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 36
Rangkuman Hasil Uji Normalitas Tes Akhir
No Kelompok Siswa N Lobs Ltabel Ket.
1 Model CIRC (A1) 122 0.0778 0.0802 Normal
2 Model Jigsaw (A2) 124 0.0730 0.0796 Normal
3 Model STAD (A3) 118 0.0701 0.0816 Normal
4 CIRC-Logika Bahasa Tinggi (A1B1) 58 0.0922 0.1163 Normal
5 Jigsaw-Logika Bahasa Tinggi (A2B1) 63 0.0786 0.1116 Normal
6 STAD-Logika Bahasa Tinggi (A3B1) 59 0.0672 0.1125 Normal
7 CIRC-Logika Bahasa Rendah (A1B2) 64 0.0730 0.1108 Normal
8 Jigsaw-Logika Bahasa Rendah (A2B2) 61 0.0646 0.1134 Normal
9 STAD-Logika Bahasa Rendah (A3B2) 59 0.0759 0.1153 Normal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
2. Uji Homogenitas Variansi
Persyaratan analisis variansi selanjutnya adalah uji homogenitas untuk
mengetahui apakah variansi populasi sama atau tidak. Uji Homogenitas yang digunakan
dalam uji keseimbangan ini adalah uji Bartlett .
Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali, satu kali untuk pengujian efek utama,
dan dua kali untuk pengujian efek interaksi. Pengujian efek utama dilakukan terhadap:
(1) kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan
model pembelajaran CIRC (A1), kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran
keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw (A2), dan kelompok sampel
yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran
STAD (A3).
Pengujian homogenitas untuk efek interaksi dilakukan terhadap kelompok-
kelompok sampel berikut ini. (2) Kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran
keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC yang memiliki kemampuan
logika berbahasa tinggi (A1B1), kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran
keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw yang memiliki kemampuan
logika berbahasa tinggi (A2B1), dan kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran
keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD yang memiliki kemampuan
logika berbahasa tinggi (A3B1). Dan (3) kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran
keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC yang memiliki kemampuan
logika berbahasa rendah (A1B2), kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran
keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw yang memiliki kemampuan
logika berbahasa rendah (A2B2), dan kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD yang memiliki kemampuan
logika berbahasa rendah (A3B2).
Dari uji Bartlett terhadap tiap-tiap kelompok sampel diperoleh hasil berikut ini.
Pengujian efek utama, dari perhitungan uji homogenitas terhadap kelompok siswa yang
mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC (A1),
Jigsaw (A2), dan STAD (A3) diperoleh harga χ2 obs = 0.4782, sedangkan harga χ2
tabel
pada taraf sifnifikansi α = 0,05 adalah 3,841. Harga χ2 obs = 0.4782 ternyata lebih kecil
dari nilai χ2 tabel pada taraf sifnifikansi α = 0,05 (dk=1) yang sebesar 3,841. Hal ini
berarti hipotesis nol diterima. Oleh karena itu, dapat disimpulkan variansi-variansi
populasi kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan
model pembelajaran CIRC (A1), Jigsaw (A2), dan STAD (A3) adalah sama. Perhitungan
selengkapnya terdapat pada Lampiran F.2.a.
Pengujian efek interaksi, terhadap kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran
keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC-logika berbahasa tinggi
(A1B1), Jigsaw-logika berbahasa tinggi (A2B1), dan STAD-logika berbahasa tinggi
(A3B1) diperoleh harga χ2 obs = 2,0564 sedangkan harga χ2
tabel pada taraf sifnifikansi α =
0,05 adalah 3,841. Dari perhitungan ini, ternyata harga χ2 obs lebih kecil dari nilai χ2
tabel
pada taraf sifnifikansi α = 0,05 (dk=1). Hal ini berarti hipotesis nol diterima. Dengan
demikian, dapat disimpulkan variansi-variansi populasi kelompok siswa ini adalah
seimbang. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran F.2.b.
Uji homogenitas terhadap kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran
keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC-logika berbahasa rendah
(A1B2), Jigsaw-logika berbahasa rendah (A2B2), dan STAD-logika berbahasa rendah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
(A3B2) diperoleh harga χ2 obs = 0.1741 sedangkan harga χ2
tabel pada taraf sifnifikansi α =
0.05 adalah 3.841. Dari perhitungan ini, ternyata harga χ2 obs lebih kecil dari nilai χ2
tabel
pada taraf sifnifikansi α = 0.05 (dk=1). Hal ini berarti hipotesis nol diterima. Dengan
demikian, dapat disimpulkan variansi-variansi populasi kelompok siswa ini adalah
seimbang. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran F.2.c.
Hasil perhitungan homogenitas terhadap semua kelompok eksperimen tersebut
secara jelas dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 37
Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Tes Akhir
No Kelompok Siswa χ2 obs χ2 tabel Ket.
1 CIRC (A1)-Jigsaw (A2)-STAD (A3) 0.4782 3.8410 Homogen
2 CIRC logika bahasa tinggi (A1B1) – Jigsaw
logika bahasa tinggi (A2B1) - STAD logika
bahasa tinggi (A3B1)
2.0564 3.8410 Homogen
3 CIRC logika bahasa rendah (A1B2) - Jigsaw
logika bahasa rendah (A2B2) - STAD logika
bahasa rendah (A3B2)
0.1741 3.8410 Homogen
Hasil perhitungan uji keseimbangan tiap-tiap kelompok siswa tersebut, ternyata
hasilnya lebih rendah apabila dibandingkan dengan χ2
tabel pada taraf signifikansi 5% (α
= 0.05) = 3.841. Ini berarti pada taraf signigikansi 5% hipotesis nol diterima. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa semua kelas dalam ekperimen telah memenuhi
persyaratan homogenitas, karena dalam kondisi yang seimbang. Hasil perhitungan
homogenitas untuk semua kelas pembelajaran keterampilan membaca selengkapnya
terdapat pada Lampiran F.2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
176
Berdasarkan hasil pengujian normalitas dengan menggunakan uji Lilliefors dan
pengujian homogenitas dengan uji Bartlett di atas dapat disimpulkan bahwa kedua
persyaratan untuk melakukan analisis variansi telah dipenuhi, maka selanjutnya
dilakukan analisis variansi.
C. Pengujian Hipotesis Penelitian
Sebagaimana dijelaskan di Bab III, teknik analisis yang digunakan untuk menguji
hipotesis penelitian ini adalah analisis variansi dua jalan sel tak sama dan dilanjutkan
dengan uji Scheffe’. Dari data keterampilan membaca yang terkumpul dalam penelitian
ini, yang dilanjutkan dengan menganalisis data tersebut, diperoleh hasil analisis variansi
dua jalan seperti terlihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 38
Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Tes Akhir
Sumber JK Dk RK Fobs F α P
Model (A) 852.8936 2 426.4468 4.2529 3.00 < 0.05
Logika Berbahasa (B) 7760.2601 1 7760.2601 77.3923 3.84 < 0.05
Interaksi (AB) 710.9211 2 355.4606 3.5450 3.00 < 0.05
Galat 35897.2850 358 100.2717 - - -
Total 44521.7468 363 - - - -
Keterangan:
JK = Jumlah kuadrat
Dk = Derajat kebebasan
RK = Rerata kuadrat
F Obs = Nilai F hasil pengamatan
Fα = Nilai F tabel
Dari tabel di atas diketahui bahwa harga FA sebesar 4.2529, sedangkan
harga F α = 0.05 sebesar 3.00. Jadi FA > Fα, berarti HOA ditolak. Harga FB sebesar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
177
77.3923, sedangkan harga F α = 0.05 sebesar 3.84. Jadi FB > Fα, berarti HOB ditolak.
Demikian juga diperoleh harga FAB sebesar 3.5450, sedangkan harga F α = 0.05 sebesar
3.00. Jadi FAB > Fα, berarti HOAB ditolak. Perhitungan secara rinci terdapat pada
Lampiran F.4. Oleh karena harga FAB > Fα tiap-tiap kelompok populasi berbeda, maka
selanjutnya dilakukan dengan uji Scheffe’ untuk mendeskripsikan perbedaan masing-
masing.
Sebelum dilakukan komparasi ganda, terlebih dahulu dilakukan uji komparasi
antarsel dalam baris yang sama untuk menemukan perbedaan antara siswa yang
menggunakan model CIRC, Jigsaw, dan STAD. Pehitungan secara rinci terdapat pada
Lampiran F.5. Berikut rangkuman hasil uji komparasi antar baris.
Tabel 39 Komparasi Antarbaris Tes Akhir
Komparasi
RKG F Kritik Keputusan
m1. vs m2. 7.2951 0.016261237 100.2717 4.4741 3.00 Ho Ditolak m1. vs m3. 9.4199 0.016671296 100.2717 5.6351 3.00 Ho Ditolak m2. vs m3. 0.1356 0.016539092 100.2717 0.0818 3.00 Ho Diterima
Selanjutnya dilakukan uji komparasi antarkolom untuk menemukan perbedaan antara
siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan yang memiliki
kemampuan logika berbahasa rendah. Pehitungan secara rinci terdapat pada F.5. Berikut
rangkuman hasil uji komparasi antarkolom tersebut.
Tabel 40 Komparasi Antarkolom Tes Akhir
Komparasi
RKG F Kritik Keputusan
m1. vs m2. 310.7380 0.017168 140.0881 129.2055 3.84 Ho Ditolak
( )2ji xx - ÷÷ø
öççè
æ+
ji nn
11
( )2ji xx - ( )2ji xx -
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
178
1. Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran
Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1), yang
Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2), dan yang
Mengikuti Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3)
Dari analisis komparasi antarsel dalam baris yang sama ditemukan nilai
keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif jenis CIRC (A1) dan yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis
Jigsaw (A2) diperoleh harga FA1.2 sebesar 4.4741, sedangkan Fα pada taraf
signifikansi 0.05 sebesar 3.00. Jadi Fobs > Fα, sehingga HOA1.2 ditolak. Hal ini berarti
bahwa model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan model pembelajaran
kooperatif jenis Jigsaw tidak memberikan efek yang sama terhadap keterampilan
membaca. Keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif jenis CIRC berbeda dengan keterampilan membaca siswa yang megikuti
pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw.
Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC sebesar 79.4590 dan
simpangan baku sebesar 11.4763, sedangkan untuk kelompok siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw,
rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 76.7581 dan simpangan baku
10.9621. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan
membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih
baik daripada siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw.
Perhitungan selengkapnya pada Lampiran F.5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
179
Dari analisis komparansi antarsel dalam baris yang sama ditemukan nilai
keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif jenis CIRC (A1) dan jenis STAD (A3) diperoleh harga FA1.3 sebesar
5.6351, sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 3.00. Jadi Fobs > Fα,
sehingga HOA1.3 ditolak. Hal ini berarti bahwa model pembelajaran kooperatif jenis
CIRC dan jenis STAD tidak memberikan efek yang sama terhadap keterampilan
membaca..
Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC sebesar 79.4590 dan
simpangan baku sebesar 11.4763, sedangkan untuk kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran kooperatif jenis STAD, rata-rata nilai keterampilan
membacanya sebesar 76.3898 dan simpangan baku 10.8076. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa secara umum keterampilan membaca siswa yang mengikuti
model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada siswa yang mengikuti
model pembelajaran kooperatif jenis STAD. Perhitungan selengkapnya pada
Lampiran F.5.
Dari analisis komparasi antarsel dalam baris yang sama ditemukan nilai
keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif jenis Jigsaw (A2) dan jenis STAD (A3) diperoleh harga F A2.3 sebesar
0.0818, sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 3.00. Jadi Fobs < Fα,
sehingga HOA2.3 diterima. Hal ini berarti bahwa model pembelajaran kooperatif jenis
Jigsaw dan jenis STAD memberikan efek yang sama terhadap keterampilan
membaca. Keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
180
kooperatif jenis Jigsaw tidak berbeda dengan keterampilan membaca siswa yang
megikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD.
Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw sebesar 76.7581 dengan
simpangan baku 10.9621, dan untuk kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD, rata-rata nilai
keterampilan membacanya sebesar 76.7581 dengan simpangan baku 10.9621. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan membaca siswa
yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw sama baiknya dengan
siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD. Perhitungan
selengkapnya pada Lampiran F.5.
2. Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika
Berbahasa Tinggi (B1) dan yang Memiliki Kemampuan Logika Berahasa
Rendah (B2)
Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca yang
diperoleh siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (B1) dan yang
memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (B2) diperoleh harga Fobs sebesar
129.2055, sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 3.84. Jadi Fobs > Fα,
sehingga HOA ditolak. Hal ini berarti bahwa siswa yang memiliki kemampuan logika
berbahasa tinggi dan siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah tidak
memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan
membaca siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi berbeda dengan
keterampilan membaca siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
181
Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi sebesar 82.1778 dan simpangan baku
sebesar 10.1702, sedangkan untuk kelompok siswa yang memiliki kemampuan
logika berbahasa rendah, rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 73.0109
dan simpangan baku 10.1637. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara
umum keterampilan membaca siswa yang yang memiliki kemampuan logika
berbahasa tinggi lebih baik daripada siswa yang memiliki kemampuan logika
berbahasa rendah. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran F. 5.
3. Interaksi antara Siswa yang Mengikuti Tiga Jenis Model Pembelajaran
Kooperatif dan Kemampuan Logika Berbahasa
Dari hasil analisis variansi dua jalan diperoleh harga Fobs sebesar 3.5450, harga
ini lebih besar dibandingkan Fα pada taraf signifikansi 0.05, yaitu 3.00, sehingga
HOab ditolak. Hal ini berarti bahwa terdapat interaksi antara tiga jenis model
pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa. Interaksi antara model
pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa digambarkan berikut ini.
Gambar 15
Grafik Profil Variabel Model Pembelajaran Kooperatif dan Logika Berbahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
182
Profil variabel model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa di
atas tidak sejajar. Hal ini mengindikasikan kedua variabel tersebut terdapat interaksi.
Namun demikian, untuk menemukan ada atau tidaknya interaksi yang signifikan
tetap harus dilihat dari signifikansi interaksi pada analisis variansinya.
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa HOAB ditolak, berarti ada interaksi
antara model pembelajaran dan kemampuan logika berbahasa terhadap keterampilan
membaca siswa. Untuk menemukan rincian interaksi yang dimaksud, selanjutnya
dilakukan komparasi ganda antarsel (Perhitungan rinci dapat dilihat pada Lampiran
F.5). Rangkuman hasil komparasi ganda ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 41 Komparasi Antarsel dalam Kolom yang Sama
Komparasi
RKG F Kritik Keputusan
m11 vs m21 37.51981573 0.033114395 100.2717 11.29965784 11.05 Ho Ditolak m11 vs m31 39.40845548 0.034190532 100.2717 11.49489427 11.05 Ho Ditolak m21 vs m31 0.02318717 0.032822168 100.2717 0.007045339 11.05 Ho Diterima m12 vs m22 0.001596723 0.032018443 100.2717 0.000497337 11.05 Ho Diterima m12 vs m32 0.259624794 0.032574153 100.2717 0.079486699 11.05 Ho Diterima m22 vs m32 0.22050057 0.033342595 100.2717 0.065952573 11.05 Ho Diterima
a. Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa
Tinggi (B1)
1) Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran
Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC-Logika
Berbahasa Tinggi (A1B1) dan yang Mengikuti Pembelajaran Membaca
dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw-Logika Berbahasa
Tinggi (A2B1)
Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca
yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan
memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A1B1) dengan yang mengikuti model
( )2ji xx - ÷÷ø
öççè
æ+
ji nn
11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
183
pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa
tinggi (A2B1) diperoleh harga Fobs sebesar 11.3000, sedangkan Fα pada taraf
signifikansi 0.05 sebesar 11.05. Jadi Fobs > Fα, sehingga HOA ditolak. Hal ini berarti
bahwa siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan
kemampuan logika berbahasa tinggi dan siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa tinggi tidak
memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan
membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan
kemampuan logika berbahasa tinggi berbeda dengan siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa tinggi.
Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan
kemampuan logika berbahasa tinggi sebesar 86.3793 dan simpangan baku sebesar
8.7094, sedangkan untuk kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa tinggi,
rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 80.2540 dan simpangan baku
10.2893. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan
membaca siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa tinggi lebih baik daripada siswa
yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw
dengan kemampuan logika berbahasa tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
184
2) Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran
Membaca dengan Model Kooperatif Jenis CIRC-Logika Berbahasa Tinggi
(A1B1) dan yang Mengikuti Pembelajaran Membaca dengan Model STAD-
Logika Berbahasa Tinggi (A3B1)
Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca
yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan
memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A1B1) dengan yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa
tinggi (A3B1) diperoleh harga Fobs sebesar 11.4949, sedangkan Fα pada taraf
signifikansi 0.05 sebesar 11.05. Jadi Fobs > Fα, sehingga HOA ditolak. Hal ini berarti
bahwa siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan
kemampuan logika berbahasa tinggi dan siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa tinggi tidak
memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan
membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan
kemampuan logika berbahasa tinggi berbeda dengan siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa tinggi.
Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan
kemampuan logika berbahasa tinggi sebesar 86.3793 dan simpangan baku sebesar
8.7094, sedangkan untuk kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa tinggi,
rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 80.1017 dan simpangan baku
10.2683. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
185
membaca siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa tinggi lebih baik daripada siswa
yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD
dengan kemampuan logika berbahasa tinggi.
3) Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran
Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw-Logika
Berbahasa Tinggi (A2B1) dan yang Mengikuti Model Pembelajaran
Kooperatif Jenis STAD-Logika Berbahasa Tinggi (A3B1)
Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca
yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw
dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A2B1) dengan yang mengikuti
model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika
berbahasa tinggi (A3B1) diperoleh harga Fobs sebesar 0.0071, sedangkan Fα pada
taraf signifikansi 0.05 sebesar 11.05. Jadi Fobs < Fα, sehingga HOA diterima. Hal ini
berarti bahwa siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw
dengan kemampuan logika berbahasa tinggi dan siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa tinggi
memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan
membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan
kemampuan logika berbahasa tinggi tidak berbeda dengan siswa yang mengikuti
model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa
tinggi.
Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
186
kemampuan logika berbahasa tinggi sebesar 80.2540 dan simpangan baku sebesar
10.2893, sedangkan untuk kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika bahasa tinggi, rata-
rata nilai keterampilan membacanya sebesar 80.1017 dan simpangan baku 10.2683.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan membaca
siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis
Jigsaw dengan kemampuan logika bahasa tinggi tidak lebih baik daripada siswa yang
belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan
kemampuan logika berbahasa tinggi.
b. Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa
Rendah (B2)
1) Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran
Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC-Logika
Berbahasa Rendah (A1B2) dan yang Mengikuti Model Pembelajaran
Kooperatif Jenis Jigsaw-Logika Berbahasa Rendah (A2B2)
Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca
yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan
memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A1B2) dengan yang mengikuti
pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki
kemampuan logika berbahasa rendah (A2B2) diperoleh harga Fobs sebesar 0.0005,
sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 11.05. Jadi Fobs < Fα, sehingga
HOA diterima. Hal ini berarti bahwa siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa rendah dan siswa yang
mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika
berbahasa rendah memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
187
Keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis
CIRC dengan kemampuan logika berbahasa rendah tidak berbeda dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika
berbahasa rendah.
Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan
kemampuan logika berbahasa rendah sebesar 73.1875 dan simpangan baku sebesar
9.9355, sedangkan untuk kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa rendah,
rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 73.1475 dan simpangan baku
10.5291. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan
membaca siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa rendah tidak lebih baik daripada
siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis
Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa rendah.
2) Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran
Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC-Logika
Berbahasa Rendah (A1B2) dan yang Mengikuti Model Pembelajaran
Kooperatif Jenis STAD-Logika Berbahasa Rendah (A3B2)
Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca
yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan
memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A1B2) dengan yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa
rendah (A3B2) diperoleh harga Fobs sebesar 0.0794, sedangkan Fα pada taraf
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
188
signifikansi 0.05 sebesar 11.05. Jadi Fobs < Fα, sehingga HOA diterima. Hal ini berarti
bahwa siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan
kemampuan logika berbahasa rendah dan siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah memberikan
efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan membaca siswa yang
mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika
berbahasa rendah tidak berbeda dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah.
Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan
kemampuan logika berbahasa rendah sebesar 73.1875 dan simpangan baku sebesar
9.9355, sedangkan untuk kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah,
rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 72.6780 dan simpangan baku
10.1071. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan
membaca siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa rendah tidak lebih baik daripada
siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD
dengan kemampuan logika berbahasa rendah.
3) Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran
Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw-Logika
Berbahasa Rendah (A2B2) dan yang Mengikuti Model Pembelajaran
Kooperatif Jenis STAD-Logika Berbahasa Rendah (A3B2)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
189
Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca
yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw
dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A2B2) dengan yang mengikuti
model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika
berbahasa rendah (A3B2) diperoleh harga Fobs sebesar 0.0660, sedangkan Fα pada
taraf signifikansi 0.05 sebesar 11.05. Jadi Fobs < Fα, sehingga HOA diterima. Hal ini
berarti bahwa siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw
dengan kemampuan logika berbahasa rendah dan siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah
memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan
membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan
kemampuan logika berbahasa rendah tidak berbeda dengan siswa yang mengikuti
model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa
rendah.
Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan
kemampuan logika berbahasa rendah sebesar 73.1475 dan simpangan baku sebesar
10.5291, sedangkan untuk kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah,
rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 72.6780 dan simpangan baku
10.1071. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan
membaca siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa rendah tidak lebih baik daripada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
190
siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD
dengan kemampuan logika berbahasa rendah.
D. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada analisis variansi di atas, perlu
disampaikan pembahasan mengenai hasil penelitian tersebut.
1. Hipotesis Penelitian Pertama
Pada pengujian hipotesis pertama yang menyatakan ada perbedaan antara
keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif jenis CIRC dan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw ataupun
model pembelajaran kooperatif jenis STAD teruji kebenarannya. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok
siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada
keterampilan membaca bahasa Indonesia kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw ataupun jenis STAD.
Lebih lanjut terbukti bahwa kelompok siswa yang belajar dengan model
pembelajaran CIRC lebih efektif daripada yang belajar dengan Jigsaw. Hal ini
dibuktikan dengan nilai rata-rata keterampilan membaca siswa yang belajar dengan
model CIRC sebesar 79.459 yang ternyata lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan rata-rata nilai kelompok siswa yang belajar dengan model
pembelajaran Jigsaw dengan nilai rata-rata sebesar 76.758.
Hal ini terjadi disebabkan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan model CIRC dapat mengembangkan hasil pemahaman bacaannya dengan
menuangkan kembali dalam bentuk tulisan secara garis besar. Dengan demikian,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
191
pemahamannya tidak bersifat sementara, tetapi bersifat mendalam bahkan
pemahaman produktif (Leak, 2005:8). Hasil tulisan inipun selanjutnya dikoreksi
antarteman dalam kelompok kecilnya (Hurry & Sylva, 2007: 228). Siswa yang
kurang tepat pemahamannya dapat disempurnakan teman lain dalam kelompok
saling koreksi ini. Hasil penelitian ini menguatkan penelitian yang dilakukan Stevens
dan Slavin (1986) maupun Hertz-Lazarowitz, dkk. (1993) dalam penelitian masing-
masing menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif model CIRC, sangat
unggul untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis.
Dalam berbahasa, keterampilan membaca dan keterampilan menulis adalah
dua hal yang erat berkaitan. Keduanya merupakan jenis keterampilan yang bersifat
aktif. Keterampilan membaca bersifat aktif reseptif (menerima) dari sumber tertulis,
sedangkan keterampilan menulis bersifat aktif produktif (menghasilkan) tulisan. Jadi
keduanya memang tidak lepas dari tulisan (Henry Guntur Tarigan, 1985: 6). Kedua
keterampilan ini saling berkait dan menunjang satu dengan yang lainnya. Keduanya
merupakan keterampilan yang berbeda tetapi korelatif, tidak ada keterampilan
membaca tanpa menulis, tidak ada keterampilan menulis tanpa membaca. Terdapat
efek dari keterampilan membaca terhadap keterampilan bahasa yang lain, yakni
menulis, berbicara, dan pengaturan sintaksis (Elley, 1991: 404). Di samping itu,
membaca juga meningkatkan penguasaan kosa kata secara tidak langsung dan
penguasaan kosa kata ini sangat bermanfaat untuk keterampilan menulis (Nagy &
Herman, 1987: 24). Hubungan yang erat antara membaca dan menulis ini juga
ditunjukkan oleh hasil penelitian Hafiz & Tudor (1989) di Inggris dan Pakistan serta
Robb & Susser (1989) di Jepang yang pada dasarnya menyatakan bahwa ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
192
pengaruh positif keterampilan membaca pada siswa praperguruan tinggi terhadap
keterampilan menulis. Mereka yang keterampilan membacanya baik, akan menjadi
penulis yang baik ketika mereka masuk perguruan tinggi.
Keterampilan membaca adalah keterampilan yang bersifat reseptif. Untuk
pendalamannya diperlukan keterampilan yang seirama yang bersifat produktif, yaitu
keterampilan menulis (Leak, 2005:9). Dengan demikian, terbukti bahwa
keterampilan membaca bahasa Indonesia antara siswa SD yang belajar dengan model
pembelajaran kooperatif CIRC lebih baik dibandingkan dengan model Jigsaw
disebabkan oleh penerapan model CIRC yang mengintegrasikan keterampilan
membaca dan menulis, sementara pada model Jigsaw tidak ada pengintegrasian.
Jigsaw berisi pendalaman tentang topik-topik tertentu oleh setiap anggota kelompok
asal, kemudian anggota kelompok ini membentuk kelompok baru (berkumpul dalam
topik yang sama untuk mendalaminya). Setelah mereka memahami bagian masing-
masing, mereka kembali pada kelompok asal dan menjelaskan kepada teman
kelompok asalnya (Arend, 1997: 392-395). Ada beberapa kelemahan yang peneliti
temukan di lapangan bahwa ternyata tidak semua anggota ahli betul-betul menguasai
topik bagiannya, karena tidak semua anggota memiliki kemampuan yang sama.
Dampaknya anggota kelompok ini pun tidak tuntas dalam menjelaskan kepada
anggota kelompok asal lainnya. Topik yang dikuasai anggota asal yang baik
penguasaannya akan baik hasilnya bagi anggota lain, sementara topik yang belum
baik dikuasai anggota kelompok asal, maka hasilnya pun kurang baik bagi anggota
lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
193
Pengujian menyatakan ada perbedaan antara keterampilan membaca kelompok
siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan model
pembelajaran kooperatif jenis STAD teruji kebenarannya. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok
siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada
keterampilan membaca bahasa Indonesia kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif jenis STAD.
Lebih lanjut terbukti bahwa kelompok siswa yang belajar dengan model
pembelajaran CIRC lebih efektif daripada yang belajar dengan STAD. Hal ini
dibuktikan dengan nilai rata-rata keterampilan membaca siswa yang belajar dengan
model CIRC sebesar 79.459 yang ternyata lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan rata-rata nilai kelompok siswa yang belajar dengan model
pembelajaran STAD dengan nilai rata-rata sebesar 76.390.
Hal ini terjadi disebabkan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan model CIRC dapat mengembangkan hasil pemahaman bacaannya dengan
menuangkan kembali dalam bentuk tulisan secara garis besar. Dengan demikian,
pemahamannya tidak bersifat sementara, tetapi bersifat mendalam bahkan
pemahaman produktif. Hasil tulisan inipun selanjutnya dikoreksi antarteman dalam
kelompok kecilnya (Hurry & Sylva, 2007: 228). Siswa yang kurang tepat
pemahamannya dapat disempurnakan teman lain dalam kelompok saling koreksi ini.
Hasil penelitian ini menguatkan penelitian yang dilakukan Stevens dan Slavin (1986)
maupun Hertz-Lazarowitz, dkk. (1993) dalam penelitian masing-masing
menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif model CIRC, sangat unggul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
194
untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis. Hal ini hampir seirama
dengan hipotesis pertama. Sementara, pada model STAD pendalaman materi
dilakukan dengan tanya jawab dalam kelompok kooperatif itu. Memang pendalaman
pemahaman dengan tanya jawab ini lebih baik dibandingkan dengan cara tradisional
(Slavin, 1978), tetapi pemahaman yang melalui tanya jawab ini ternyata mudah juga
terlupakan karena seakan-akan hanya merupakan hafalan (Myers & Jones, 1993:xi).
Ini berbeda dengan pengintegrasian membaca dan menulis yang memang bersifat
aplikatif yang akan lama mengendap dalam pikiran.
Pengujian menyatakan keterampilan membaca bahasa Indonesia kelompok
siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw sama baiknya
dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model kooperatif jenis
STAD terbukti kebenarannya. Hasil penelitian membuktikan bahwa tidak ada
perbedaan yang berarti dalam keterampilan membaca pada kelompok siswa yang
mengikuti pembelajaran model Jigsaw dan model STAD.
Lebih lanjut terbukti bahwa kelompok siswa yang belajar dengan model
pembelajaran Jigsaw tidak lebih efektif daripada yang belajar dengan STAD. Hal ini
dibuktikan dengan nilai rata-rata keterampilan membaca siswa yang belajar dengan
model pembelajaran Jigsaw dengan nilai rata-rata sebesar 76.758 yang ternyata tidak
berbeda secara signifikan dibandingkan dengan rata-rata nilai kelompok siswa yang
belajar dengan model pembelajaran STAD dengan nilai rata-rata sebesar 76.390.
Setelah dilakukan uji lebih lanjut perbedaan tersebut tidaklah signifikan.
Sebenarnya baik Jigsaw ataupun STAD adalah model inovatif yang dapat
digunakan untuk meningkatkan keterampilan membaca (Johnson & Johnson 1994:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
195
21; Slavin, 1995: 16; Joyce, 2009: 34), bahkan National Reading Panel-USA (2000)
telah merekomendasikan model kooperatif Jigsaw dan STAD sebagai salah satu
model yang diandalkan untuk meningkatkan keterampilan membaca. Namun, model
Jigsaw ataupun STAD sebagai model pembelajaran kooperatif yang mula-mula ini,
masih memiliki kelemahan yang menonjol. Model Jigsaw, misalnya mengharuskan
setiap anggota kelompok memiliki kemampuan untuk menguasai materi dengan
baik, agar nantinya dapat menjelaskan dengan baik pula kepada anggota kelompok
yang lain (Mattingly & Vansickle, 1991: 392-395). Oleh karena setiap anggota harus
bergantian menjelaskan materi tanggung jawabnya kepada anggota kelompok yang
lain. Tentu kemampuan siswa yang merata itu sulit untuk terjadi. Itu berarti apabila
ada salah satu anggota yang kurang dapat menjelaskan bagiannya dengan baik, maka
akan berdampak pada teman yang dijelaskan menjadi kurang paham.
Sementara model STAD memang sangat baik untuk meningkatkan hasil belajar
matematika, karena STAD ini memang awalnya dirancang untuk matematika.
Sebagaimana dinyatakan Slavin (1978: 143), STAD merupakan salah satu model
pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan model yang paling
banyak dipakai oleh guru di dunia maju, dan telah digunakan mulai dari kelas dua
sampai kelas sebelas terutama untuk pembelajaran matematika. Namun demikian
dalam perkembangan selanjutnya STAD juga dikembangkan untuk pembelajaran
keterampilan membaca, sebagaimana yang dilakukan oleh Frantz (1979) dalam
penelitiannya yang berjudul The Effect of The Student Teams Achievement Approach
in Reading on Peer Attitudes. Waktu itu, penggunaan STAD pada keterampilan
membaca menunjukkan hasil yang baik dibandingkan dengan model konvensional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
196
Akan tetapi perlu dipahami bahwa dalam keterampilan membaca tidak hanya
membutuhkan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh kelompok ataupun
individu dalam kelompok sebagaimana ciri utama dalam STAD, karena keterampilan
membaca pemahaman ini meliputi lima tingkatan, yaitu pengenalan kata,
pemahaman lateral, pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman
kreatif. Jawaban pertanyaan tidak selalu bersifat teks book, tetapi lebih dari itu
membutuhkan daya interpretatif, kekritisan tersendiri, dan kreativitas anggota
kelompok.
Data analisis hasil penelitian menunjukkan model STAD ini, memiliki
kecenderungan cocok untuk tingkatan pemahaman pengenalan kata dan pemahaman
lateral, dan tidak baik untuk pemahaman interpretatif, kritis, dan kratif. Hal ini
dibutktikan dengan nilai keterampilan membaca yang diperoleh pada materi
pengenalan kata 19,034 (87 % dari nilai maksimal 22), materi pemahaman lateral
18,458 (92 % dari nilai maksimal 20). Pada kedua materi ini, nilai persentase yang
diperoleh sangat baik. Berbeda dengan nilai keterampilan membaca pada materi
pemahaman interpretatif sebesar 14,322 (72 % dari nilai maksimal 20), pemahaman
kritis sebesar 13,492 (67 % dari nilai maksimal 20), dan pemahaman kreatif sebesar
11,220 (62 % dari nilai maksimal 18). Ini berarti persentase nilai yang diperoleh
kurang baik dibandingkan dengan materi pengenalan kata dan pemahaman lateral
(Lampiran F).
2. Hipotesis Penelitian Kedua
Pengujian hipotesis kedua yang menyatakan ada perbedaan keterampilan
membaca bahasa Indonesia antara kelompok siswa yang memiliki kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
197
logika berbahasa yang tinggi dan siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa
yang rendah teruji kebenarannya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa keterampilan
membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi
berbeda dengan kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa
rendah. Perbedaan itu berupa nilai rata-rata daripada siswa yang memiliki
kemampuan logika berbahasa tinggi sebesar 82.1778 lebih baik dibandingkan
dengan nilai rata-rata kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa
rendah sebesar 73.0109. Hasil penelitian ini relevan dengan penelitian Khairil Ansari
(1997) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pendekatan Pembelajaran dan
Latar Belakang terhadap Kemampuan Analogi Verbal” yang menyimpulkan bahwa
kemampuan analogi verbal (penalaran yang menggunakan bahasa sebagai sarana
utama) mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran terpadu lebih baik daripada
yang belajar dengan pembelajaran terpisah. Lebih lanjut, hasil penelitian juga
menggambarkan bahwa pembelajaran terpadu lebih berpengaruh dibandingkan
dengan pembelajaran terpisah dalam meningkatkan kemampuan analogi verbal
mahasiswa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan verbal dapat
ditingkatkan dengan pembelajaran terpadu.
3. Hipotesis Penelitian Ketiga
Pengujian hipotesis ini berkaitan dengan terjadi tidaknya interaksi dalam
penggunaan model dan kemampuan logika berbahasa. Setelah dilakukan analisis
variansi ternyata terjadi interaksi pada keduanya. Hal ini ditunjukkan adanya profil
variabel model pembelajaran dan kemampuan logika berbahasa yang tidak sejajar.
Ini mengindikasikan kedua variabel tersebut terdapat interaksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
198
Apabila tidak ada interaksi tentu profil model pembelajaran dan kemampuan
logika berbahasa menunjukkan garis yang sejajar (lihat gambar 15). Misalnya,
apabila model CIRC lebih efektif dibandingkan dengan Jigsaw dan STAD untuk
meningkatkan keterampilan membaca kelompok siswa yang kemampuan logika
berbahasanya tinggi, berarti juga seharusnya CIRC akan lebih efektif untuk
meningkatkan keterampilan membaca bagi kelompok siswa yang kemampuan logika
berbahasanya rendah. Namun yang terjadi tidaklah demikian, karena model CIRC
hanya lebih efektif untuk diterapkan pada siswa yang memiliki kemampuan logika
berbahasa tinggi (86.379) dibandingkan dengan penggunaan model Jigsaw dan
STAD pada siswa yang kemampuan logika berbahasanya tinggi (80.254 dan 80.102).
Sementara itu, bagi siswa yang kemampuan logika berbahasanya rendah, model
pembelajaran CIRC (nilai rata-rata = 73.188) tidak lebih efektif dibandingkan
dengan penerapan model Jigsaw (nilai rata-rata = 73.148) ataupun STAD (nilai rata-
rata = 72.678). Interaksi tersebut dapat dijelaskan berikut ini.
a. Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa
Tinggi (B1)
Rata-rata nilai keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki
kemampuan logika berbahasa tinggi, penggunaan model pembelajaran CIRC lebih
baik dibandingkan nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
mengikuti model pembelajaran Jigsaw. Hal ini disebabkan logika berbahasa tinggi
sangat diperlukan model CIRC dalam mengembangkan pemahaman bacaan menjadi
tulisan. Dan pengembangan tulisan hasil pemahaman bacaan ini, sangat mendukung
pemahaman tingkat tinggi sehingga tidak mudah lupa/hilang (Parker, 1993).
Kemampuan berpikir secara logis dengan bahasa adalah modal penting untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
199
pemahaman membaca (White, 2004). Berpikir logis adalah modal dasar untuk
memudahkan pemahaman dan mengembangkan ide dalam tulisan. Hal ini berbeda
dengan model Jigsaw mengandalkan penjelasan dari teman sebaya dan tidak terlalu
memerlukan logika berbahasa yang tinggi tetapi mengutamakan hubungan sosial
yang nyata (Arends, 1997:37). Oleh karena itu, dalam model ini kemampuan logika
berbahasa tinggi tidak dapat dioptimalkan sehingga hasilnya tidak sebaik model
CIRC.
Hasil analisis data pada penelitian ini mendukung hasil penelitian Cromley &
Azevedo (2007) yang diplubikasikan pada Journal of Educational Psickology,
Volume 99, halaman 311-325, dengan judul Testing and Refining the Direct and
Inferential Mediation Model of Reading Comprehension. Dalam hasil penelitian ini,
Cromley & Azevedo menyimpulkan bahwa antara membaca, menulis, dan
kemampuan berpikir berkaitan erat satu dengan lainnya. Semakin tinggi kemampuan
berpikir seseorang semakin bagus keterampilan membaca dan menulisnya.
Pengujian hipotesis ini berkaitan dengan terjadi tidaknya interaksi dalam
penggunaan model dan kemampuan logika berbahasa. Pengajuan hipotesis yang
berbunyi keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika
berbahasa tinggi, penggunaan pembelajaran dengan model CIRC lebih baik daripada
penggunaan pembelajaran dengan model STAD terbukti kebenarannya. Hal ini
terlihat dari adanya perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata keterampilan
membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran CIRC dengan logika
berbahasa tinggi (86.3793) dibandingkan nilai rata-rata keterampilan membaca
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
200
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran STAD dengan logika
berbahasa tinggi (80.102).
Setelah peneliti cermati lebih dalam tentang perbedaan nilai keterampilan
membaca pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi
pada model CIRC dan STAD, ditemukan distribusi penyebaran nilai keterampilan
membaca ini tidak merata. Pada jenis materi keterampilan membaca yang pertama
dan kedua (pengenalan kata dan pemahaman lateral) antara model CIRC dan STAD
nilai rata-rata yang diperoleh kelompok siswa ini hampir sama. Pada materi
pengenalan kata diperoleh nilai rata-rata sebesar 19,148 (87 % dari nilai maksimal
22) untuk CIRC dan 19,525 (89 % dari nilai maksimal 22) untuk STAD. Pada materi
pemahaman lateral diperoleh nilai rata-rata sebesar 18 (90 % dari nilai maksimal 20)
untuk model CIRC dan 18,677 (93 % dari nilai maksimal 20). Ini berarti pada materi
keterampilan membaca materi pengenalan kata dan pemahaman lateral, bagi siswa
yang kemampuan logika bahasanya tinggi, kedua model tersebut sama efektifnya.
Sementara itu, pada jenis materi ketiga, keempat, dan kelima (pemahaman
interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif), antara model CIRC dan
STAD nilai rata-rata yang diperoleh kelompok siswa ini berbeda. Pada materi
pemahaman interpretatif diperoleh nilai sebesar 16,931 (85 % dari nilai maksimal
20) untuk CIRC dan 15,153 (75 % dari nilai maksimal 20) untuk STAD. Pada materi
pemahaman kritis diperoleh nilai sebesar 16,897 (85 % dari nilai maksimal 20) untuk
model CIRC dan 14,407 (72 % dari nilai maksimal 20) untuk STAD. Pada materi
pemahaman kreatif diperoleh nilai sebesar 15,379 (85 % dari nilai maksimal 18)
untuk model CIRC dan 12.373 (69 % dari nilai maksimal 18) untuk STAD. Ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
201
berarti pada materi keterampilan membaca materi pemahaman interpretatif,
pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif, bagi siswa yang kemampuan logika
berbahasanya tinggi, kedua model tersebut berbeda efektivitasnya (Lampiran E).
Dari hasil analisis data tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pada materi
pengenalan kata dan pemahaman lateral yang masih bersifat ingatan dan bersifat
tersurat, pada kemampuan logika berbahasa tinggi, pengintegratian membaca dan
menulis tidaklah terlalu dibutuhkan. Sementara pada materi pemahaman interpretatif,
kritis, dan kreatif yang bersifat tidak hanya tersurat, tetapi juga tersirat, menganalisis,
melengkapi konsep, membandingkan, mengevaluasi, bahkan menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari, untuk memahaminya tidak hanya dibutuhkan kemampuan
logika berbahasa tinggi tetapi juga pengintegrasian membaca dan menulis secara
terpadu yang bersifat interpretatif, kritis, dan kreatif.
Hasil analisis ini selaras dengan hasil penelitian Stevens & Slavin (1986, 11,
123-135) yang berjudul The Effect of Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) on Academically handicapped and nonhandicapped students’
achievement, attitudes, and metacognition in Reading and Writing, dalam Elemetary
School Jaurnal. Dalam penelitian ini, Stevens & Slavin menyimpulkan pentingnya
CIRC yang diimbangi dengan kemampuan berbahasa yang logis untuk meningkatkan
keterampilan membaca siswa.
Hasil analisis ini juga mendukung hasil penelitian Hertz-Lazarowitz, Ivory &
Calderon (1993) yang judul The Bilingual Cooperative Integrated Reading and
Composition (BCIRC) Project in the Ysleta Independent School District: Standarized
Test Outcomes, yang menyatakan bahwa model CIRC adalah model pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
202
kooperatif yang khusus untuk digunakan dalam keterampilan berbahasa ini
membutuhkan analisis kebahasaan yang logis.
Penelitian menunjukkan keterampilan membaca kelompok siswa yang
memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, penggunaan pembelajaran dengan
model Jigsaw sama baiknya dengan penggunaan pembelajaran dengan model STAD
terbukti kebenarannya. Hal ini terlihat dari tidak adanya perbedaan yang signifikan
antara nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran Jigsaw dengan logika berbahasa tinggi (80,254) dan nilai rata-rata
keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran STAD
dengan logika berbahasa tinggi (80.102).
Hasil analisis ini, setelah peneliti cermati lebih dalam tentang kesamaan nilai
keterampilan membaca pada kelompok siswa yang memiliki logika berbahasa tinggi
pada model Jigsaw dan STAD, ditemukan distribusi penyebaran nilai keterampilan
membaca ini yang merata pada semua jenis materi keterampilan membaca. Pada
jenis materi keterampilan membaca yang pertama dan kedua (pengenalan kata dan
pemahaman lateral) antara model Jigsaw dan STAD nilai rata-rata yang diperoleh
kelompok siswa ini hampir sama dan menunjukkan hasil yang sangat baik. Pada
materi pengenalan kata diperoleh nilai rata-rata sebesar 19,333 (88 % dari nilai
maksimal 22) untuk Jigsaw dan 19,525 (89 % dari nilai maksimal 22) untuk STAD.
Pada materi pemahaman lateral diperoleh nilai rata-rata sebesar 18,175 (91 % dari
nilai maksimal 20) untuk model Jigsaw dan 18,678 (93 % dari nilai maksimal 20)
untuk model STAD. Ini berarti pada materi keterampilan membaca materi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
203
pengenalan kata dan pemahaman lateral, bagi siswa yang kemampuan logika
berbahasanya tinggi untuk kedua model tersebut dapat dioptimalkan.
Sementara itu, pada jenis materi ketiga, keempat, dan kelima (pemahaman
interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif), antara model Jigsaw dan
STAD nilai rata-rata yang diperoleh kelompok siswa ini juga sama tetapi kurang
optimal. Pada materi pemahaman interpretatif diperoleh nilai sebesar 15.175 (75 %
dari nilai maksimal 20) untuk Jigsaw dan 15,153 (75 % dari nilai maksimal 20)
untuk STAD. Pada materi pemahaman kritis diperoleh nilai sebesar 14,762 (74 %
dari nilai maksimal 20) untuk model Jigsaw dan 14,407 (72 % dari nilai maksimal
20) untuk model STAD. Pada materi pemahaman kreatif diperoleh nilai sebesar
12,381 (69 % dari nilai maksimal 18) untuk model Jigsaw dan 12.373 (69 % dari
nilai maksimal 18) untuk model STAD. Ini berarti pada materi keterampilan
membaca materi pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman
kreatif, bagi siswa yang kemampuan logika berbahasa nya tinggi, kedua model
tersebut menunjukkan hasil yang sama tetapi keduanya juga tidak optimal (Lampiran
F).
Dari hasil analisis data tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pada materi
pengenalan kata dan pemahaman lateral yang masih bersifat ingatan dan bersifat
tersurat, pada kemampuan logika berbahasa tinggi pada model kedua model tersebut
memang sangat dibutuhkan dan hasilnya optimal. Sementara pada materi
pemahaman interpretatif, kritis, dan kreatif yang bersifat tidak hanya tersurat, tetapi
juga tersirat, menganalisis, melengkapi konsep, membandingkan, mengevaluasi,
bahkan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk memahaminya, kedua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
204
model tersebut tidak dapat mengotimalkan kemampuan logika berbahasa tinggi. Hal
ini juga berarti, dalam pemahaman tingkat ketiganya tidak hanya dibutuhkan
kemampuan logika berbahasa tinggi tetapi juga model pembelajaran yang
mendukung untuk peningkatan daya kreativitas.
b. Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa
Rendah (B2)
Pengajuan hipotesis yang berbunyi keterampilan membaca kelompok siswa
yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, penggunaan ketiga model
pembelajaran ini sama baiknya terbukti kebenarannya. Hal ini terlihat dari tidak
adanya perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata keterampilan membaca
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran CIRC dengan logika berbahasa
rendah (73,188), nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
mengikuti model pembelajaran Jigsaw dengan logika berbahasa rendah (73,148), dan
nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran STAD dengan logika berbahasa rendah (72,678).
Pencermatan lebih detail terhadap hasil analisis ini, menunjukkan bahwa
kesamaan nilai keterampilan membaca pada kelompok siswa yang memiliki logika
berbahasa rendah pada ketiga model itu, ditemukan distribusi penyebaran nilai
keterampilan membaca ini yang merata pada semua jenis materi keterampilan
membaca. Pada jenis materi keterampilan membaca yang pertama dan kedua
(pengenalan kata dan pemahaman lateral) antara model CIRC, Jigsaw dan STAD
nilai rata-rata yang diperoleh kelompok siswa ini hampir sama dan menunjukkan
hasil yang baik. Pada model CIRC materi pengenalan kata diperoleh nilai rata-rata
sebesar 18,688 (85 % dari nilai maksimal 22), pada model Jigsaw sebesar 18,721
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
205
(85 % dari nilai maksimal 22), dan untuk STAD sebesar 18,542 (84 % dari nilai
maksimal 22). Pada model CIRC materi pemahaman lateral diperoleh nilai rata-rata
sebesar 18,125 (90 % dari nilai maksimal 20), untuk model Jigsaw sebesar 17,934
(90 % dari nilai maksimal 20), dan untuk model STAD sebesar 18,237 (91 % dari
nilai maksimal 20). Ini berarti pada materi keterampilan membaca materi pengenalan
kata dan pemahaman lateral, ketiga model tetap dapat mengoptimalkan nilai bagi
siswa yang kemampuan logika berbahasanya rendah.
Sementara itu, pada jenis materi ketiga, keempat, dan kelima (pemahaman
interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif), baik model CIRC, model
Jigsaw, ataupun model STAD nilai rata-rata yang diperoleh kelompok siswa logika
berbahasa rendah ini juga sama tetapi nilainya kurang baik. Pada model CIRC materi
pemahaman interpretatif diperoleh nilai sebesar 13,188 (66% dari nilai maksimal
20), untuk model Jigsaw sebesar 13.311 (66 % dari nilai maksimal 20), dan untuk
model STAD sebesar 13.390 (67 % dari nilai maksimal 20). Pada model CIRC
materi pemahaman kritis diperoleh nilai sebesar 12,563 (63 % dari nilai maksimal
20), untuk model Jigsaw sebesar 12,721 (64 % dari nilai maksimal 20), dan untuk
model STAD sebesar 12,508 (63 % dari nilai maksimal 20). Sedangkan model pada
model CIRC materi pemahaman kreatif diperoleh nilai sebesar 10,625 (59 % dari
nilai maksimal 18), untuk model Jigsaw sebesar 10.492 (58 % dari nilai maksimal
18), dan untuk model STAD sebesar 10 (56 % dari nilai maksimal 18) . Ini berarti
pada materi pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif,
bagi siswa yang kemampuan logika berbahasanya rendah, ketiga model tersebut
menunjukkan hasil yang sama tetapi ketiganya juga tidak optimal (Lampiran E).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
206
Dari hasil analisis data tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pada materi
pengenalan kata dan pemahaman lateral yang masih bersifat ingatan dan bersifat
tersurat, pada kemampuan logika berbahasa rendah, ketiga model tersebut memang
sangat dibutuhkan dan hasilnya optimal. Sementara pada materi pemahaman
interpretatif, kritis, dan kreatif yang bersifat tidak hanya tersurat, tetapi juga tersirat,
menganalisis, melengkapi konsep, membandingkan, mengevaluasi, bahkan
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk memahaminya, ketiga model
tersebut tidak dapat optimal padal siswa yang kemampuan logika bahasanya rendah.
E. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini telah diupayakan semaksimal mungkin sesuai dengan prosedur,
ketentuan ilmiah, dan ketentuan yang berlaku di lapangan, serta sesuai dengan program
yang telah direncanakan. Namun, dalam pelaksanaannya banyak mengalami hambatan,
kekurangan, maupun merasa ada ketidaksempurnaan. Semua kelemahan yang terjadi
berusaha peneliti atasi agar tidak mengurangi nilai ketentuan penelitian ilmiah. Beberapa
keterbatasan yang terjadi akibat keterbatasan penelitian adalah berikut ini.
Pertama, relatif sulitnya mengurus perizinan dan variatifnya birokrasi untuk
lokasi penelitian mengingat banyaknya lokasi penelitian (4 kota/kabupaten dengan tiap-
tiap kota/kabupaten 3 Sekolah Dasar), menuntut kesabaran, membutuhkan waktu yang
lama, dan tenaga yang tidak sedikit. Beruntung, peneliti jauh-jauh hari telah melakukan
pengurusan izin dan menetapkan key person di setiap kota/kabupaten untuk membantu
sehingga pelaksanaan eksperimen dapat berjalan sesuai dengan rencana.
Kedua, luas dan jauhnya lokasi penelitian membutuhkan dana dan waktu yang
relatif besar sehingga peneliti harus menyiapkan dana untuk penelitian yang relatif besar,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
207
baik untuk pelatihan guru, maupun akomodasi yang lain. Beruntung teman-teman guru
kelas 5 Sekolah Dasar yang melaksanakan eksperimen bisa memahami kondisi penulis
sehingga beliau-beliau berusaha membantu penulis dengan sungguh-sungguh
menjalankan model pembelajaran yang dieksperimenkan. Namun ada sebagian di antara
teman guru yang meminta kepada peneliti di lapangan untuk pembimbingan penelitian
tindakan kelas bagi guru di Sekolah Dasar tempat penelitian. Namun peneliti belum
dapat membantu membimbing di lapangan tersebut, mengingat tugas penelitian untuk
disertasi ini harus terselesaikan terlebih dahulu, dan peneliti berjanji segera akan
membantu pembimbingan setelah laporan penelitian ini selesai. Hal ini pada beberapa
guru SD tempat penelitian menyebabkan kekecewaan, namun tidak sampai
menyebabkan gangguan yang berarti bagi peneliti, karena peneliti berjanji untuk
memberikan pendampingan PTK setelah menyelesaikan ujian disertasi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilaksanakan pada Bab IV
dapat diambil beberapa simpulan, implikasi, dan saran berkait dengan pengaruh model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD terhadap keterampilan membaca
bahasa Indonesia siswa ditinjau dari kemampuan logika berbahasa. Simpulan, implikasi,
dan saran yang dimaksud adalah berikut ini.
A. Simpulan
1. Ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok siswa
yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kelompok
siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw ataupun
jenis STAD. Perbedaan itu berupa keterampilan membaca kelompok siswa yang
belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada
yang belajar dengan jenis Jigsaw ataupun STAD, sedangkan antara jenis Jigsaw
dan STAD sama baiknya.
2. Ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok siswa
yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan rendah. Perbedaan itu
berupa keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika
berbahasa tinggi lebih baik daripada yang rendah.
3. Ada interaksi antara penggunaan jenis model pembelajaran kooperatif dan
kemampuan logika berbahasa dalam mempengaruhi keterampilan membaca
bahasa Indonesia. Interaksi tersebut dapat dijelaskan berikut ini.
a. Dalam pembelajaran keterampilan membaca siswa yang memiliki
kemampuan logika tinggi, penggunaan model pembelajaran kooperatif jenis
208
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
209
CIRC lebih baik dibandingkan dengan jenis Jigsaw ataupun STAD,
sedangkan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw sama baiknya
dibandingkan dengan jenis STAD.
b. Dalam pembelajaran keterampilan membaca pada siswa yang memiliki
kemampuan logika rendah, penggunaan ketiga model pembelajaran
kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, maupun STAD sama baiknya.
B. Implikasi Penelitian
1. Implikasi Teoritis
Temuan penelitian tentang penggunaan model pembelajaran kooperatif jenis
CIRC untuk meningkatkan keterampilan membaca berbanding lurus dengan
penggunaan model ini untuk meningkatkan keterampilan menulis. Artinya model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC tidak hanya dapat meningkatkan keterampilan
membaca siswa, tetapi juga keterampilan menulis. Penggunaan model ini bagaikan
pisau bermata dua, dapat meningkatkan secara signifikan keterampilan membaca
sekaligus keterampilan menulis. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keterampilan
membaca ataupun menulis ini dalam pembelajaran direkomendasikan untuk
menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC. Hal ini sesuai dengan
National Reading Panel-USA (2000) yang dilaksanakan di Rockville yang
memberikan rekomendasi adanya tujuh strategi yang efektif dalam meningkatkan
keterampilan membaca pemahaman maupun keterampilan menulis, satu di antaranya
adalah melalui model pembelajaran kooperatif jenis CIRC (National Reading Panel,
2000: 4-5). Dengan penerapan model ini secara benar, maka keterampilan membaca
siswa akan meningkat secara signifikan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Pemahaman siswa akan lebih tahan lama dan mendalam, demikian juga keterampilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
210
menulis akan lebih berkulitas. Berbeda dengan model pembelajaran kooperatif jenis
Jigsaw ataupun STAD yang tidak mengintegrasikan keduanya, sehingga hanya
keterampilan membaca siswa saja yang meningkat secara langsung.
Keunggulan lain yang menarik pada model pembelajaran kooperatif jenis
CIRC adalah peningkatan yang sangat signifikan terjadi pada kelompok siswa yang
memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, namun bagi kelompok siswa yang
memiliki logika berbahasa rendah tidak lebih buruk dibandingkan model lain,
sehingga model ini cocok untuk diterapkan kepada siswa di semua jenis kelas
pembelajaran, baik yang siswanya memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi,
yang rendah, ataupun campuran keduanya. Pada umumnya di lapangan, kelas-kelas
pembelajaran berupa kelas yang berisi siswa yang heterogen dalam kemampuan
logika berbahasa, di dalam satu kelas terdapat siswa yang kemampuan logika
berbahasa tinggi dan yang rendah.
Dari kajian yang penulis lakukan terhadap beberapa model pembelajaran
inovatif, sebagian besar menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam
pembandingan dua atau lebih model pembelajaran adalah pada kondisi 1, model A
lebih baik daripada model B. Sementara itu, pada kondisi 2, model A lebih buruk
daripada kondisi B. Ini berarti model A hanya sesuai untuk siswa pada kondisi 1 dan
tidak sesuai untuk kondisi 2, sedangkan model B tentu bukan model yang memadai
karena baik dalam kondisi 1 ataupun kondisi 2 tidak memberikan hasil yang optimal.
Sebagai contoh, hasil penelitian Ameliana Sapitri (2006), tentang penerapan model
pembelajaran dengan strategi Raund Table untuk meningkatkan kemampuan
membaca pada anak SD di Jawa Barat, menunjukkan bahwa pada siswa yang
memiliki penalaran tinggi hasil pembelajaran membaca dengan strategi pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
211
dengan strategi Raund Table jauh lebih baik daripada pembelajaran konvensional.
Sementara itu, pada siswa yang memiliki penalaran rendah justru sebaliknya, strategi
pembelajaran konvensional lebih baik daripada strategi Raund table. Ini berarti,
strategi Raund Table tidak cocok untuk kelas yang siswanya heterogen. Strategi ini
hanya cocok untuk kelas yang homogen dengan siswa khusus yang memiliki
penalaran tinggi. Yang menjadi pertanyaan: bukankah kelas-kelas pembelajaran SD
di Indonesia ini umumnya bersifat heterogen? Mungkin ada kelas-kelas pembelajaran
SD yang memiliki siswa homogen dengan penalaran tinggi (misalnya RSBI atau
kelas akselerasi) tetapi itu sangat terbatas, dan ini tidak sesuai dengan harapan
penulis untuk memasyarakatkan pembelajaran kooperatif bagi semua siswa SD di
Jawa Tengah khususnya dan Indonesia umumnya.
Hal lain yang penulis temukan di lapangan adalah ada satu dua orang guru
yang belum terbiasa dengan persiapan yang memadai untuk melakukan proses
pembelajaran dengan model kooperatif ini. Padahal gurulah skenario utama dalam
pembelajaran kooperatif agar siswa sebagai aktor dapat menjalankan peran utamanya.
Memang, selama ini tidak sedikit guru yang melakukan persiapan pembelajaran asal-
asalan. Guru mulai mengajar tanpa persiapan yang baik. Hal ini tidak terlalu terasa
apabila mereka menggunakan model pembelajaran konvensional, dengan
pembelajaran terpusat pada guru, dan siswa tidaklah aktif pada proses pembelajaran.
Ini sangat berbeda dengan model pembelajaran yang penulis eksperimenkan. Dalam
model kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD dibutuhkan persiapan yang
memadai dari guru. Persiapan itu berupa, RPP sistem kooperatif, bahan ajar, media
pembelajaran, metode pembelajaran, dan sebagainya. Sebagai contoh, dalam model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC misalnya menciptakan iklim sosial, menetapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
212
tujuan, merencanakan dan menstrukturisasi tugas, menerapkan tata ruang kelas,
menempatkan siswa pada kelompok dan peran, dan memilih materi serta menentukan
waktu yang tepat, diperlukan guru yang konstruktif, membangun semangat belajar
siswa sebelum pelajaran dimulai, perlu disediakan lembar kerja berupa teks/kliping
yang dapat dibahas secara mendalam/ditinjau dari aspek keterampilan membaca
sekaligus dari keterampilan menulis. Agar proses pembelajaran kooperatif berjalan
dengan baik guru diharapkan memiliki beberapa peran yaitu: pencari keterangan,
kreator, pengamat, fasilitator, dan agen perubahan.
Guru harus pandai mencari keterangan yang berkaitan dengan proses
pembelajaran. Seorang guru yang dapat memahami siswa, mengetahui bagaimana
cara siswa belajar dengan baik, maupun menciptakan lingkungan yang mendukung
pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi sukses. Oleh karena itu, sebelum
melakukan pembelajaran guru harus membuat program yang komprehensif dan
optimal kepada siswa, kolega, dan orang tua. Dalam pembelajaran kooperatif, guru
terus-menerus menguji, mempertanyakan keyakinan, nilai-nilai, dan mengkaji sikap
dan nilai-nilai yang dianut oleh siswa yang memiliki keragaman budaya, ras, kelas,
dan bahasa minoritas yang pada dasarnya sangat penting dalam konteks pembelajaran
di kelas heterogen.
Berkait dengan pemahaman terhadap siswa, guru membuat rencana
pembelajaran, guru dalam pembelajaran kooperatif harus mengenal siswa secara
mendalam. Guru harus berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
Berapa usia siswa? Berapa tingkat kefasihan bahasanya? Bagaimana pengalaman
belajar, minat, kemampuan, dan kebutuhan sebelumnya?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
213
Dalam kaitannya dengan sikap dan harapan, guru model pembelajaran
kooperatif harus percaya bahwa siswa memiliki kemampuan untuk belajar. Mereka
mengakui kemampuan potensi siswa, dan berharap agar siswa dapat berhasil. Di
samping itu, guru dalam model pembelajaran kooperatif juga harus percaya bahwa
bukan hanya siswa yang dapat belajar melainkan juga guru. Pola pikir ini
memengaruhi proses belajar dan memiliki dampak pemberdayaan terhadap semua
yang terlibat dalam pembelajaran. Dengan jenis orientasi siswa dan guru ini, tidak
ada faktor yang menghambat untuk mencegah kesuksesan.
Muara akhir dalam pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD
ialah guru menjadikan sebuah model ilmu pendidikan interaktif yang membebaskan
siswa dari ketergantungan terhadap guru. Hal ini mendorong siswa untuk menjadi
pembangkit yang aktif bagi pengetahuannya sendiri. Guru berkomitmen terhadap
kesetaraan pendidikan. Di samping itu, hal yang utama ialah guuru mengakui bahwa
model transmisi dari penyampaian program membatasi siswa yang berisiko pada
peran pasif yang merangsang bentuk “ketidakberbahayaan yang dipelajari”.
Pendidik dalam model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan
STAD harus memahami informasi tentang masalah belajar dan mengajar. Mereka
mengetahui bagaimana siswa belajar dan bagaimana mempelajari bahasa yang
digunakan siswa. Mereka menilai bahasa dan budaya yang dibawa oleh siswa ke
dalam kelas. Mereka mengetahui tentang perbedaan budaya dan bahasa dari siswa
mereka, dan melihat perbedaan tersebut secara positif. Mereka percaya bahwa
struktur yang diarahkan kepada dan didominasi oleh guru perlu diganti dengan
sebuah pendekatan yang mengatur kelas menjadi sebuah lingkungan yang kaya akan
bahasa, sehingga siswa dapat berinteraksi dan belajar dari yang satu dengan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
214
lain, serta dari guru dan dunia di sekitar mereka. Dengan kata lain, guru-guru dalam
pembelajaran kooperatif harus mempercayai pentingnya kolaborasi dan mendorong
kerja sama di kalangan siswa di dalam kelas.
Guru harus pandai berkreasi dalam proses pembelajaran. Oleh karena, ketiga
jenis model kooperatif ini berorientasi kepada proses, guru dalam pembelajarannya
harus berpijak dengan kerja kelompok yang efektif dan harus menyadari bahwa
lingkungan belajar yang kreatif perlu diciptakan secara terstruktur dan tersusun
dengan baik. Kunci untuk menstrukturisasi kelas pembelajaran kooperatif yang
sukses ditemukan dalam menciptakan iklim sosial, menetapkan tujuan, merencanakan
dan menstrukturisasi tugas, menetapkan tata ruang kelas, menempatkan siswa pada
kelompok dan peran, dan memilih materi serta menentukan waktu yang tepat.
Dalam pembelajaran guru memulai dengan penciptaan iklim sosial yang
mendorong kreativitas. Lingkungan belajar harus positif, mengasuh, mendukung,
keamanan, toleran terhadap kesalahan, dan mempercayai anak. Individu dihargai dan
dihormati. Siswa didorong untuk mengambil risiko dan belajar dari kesalahan.
Lingkungan kelas aktif dan interaktif. Hal ini mendorong siswa menjadi produktif.
Unsur penting lain dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif adalah
membuat rekanan yang setara. Guru dan siswa menegosiasikan dan membentuk
pembelajaran bersama. Siswa memeroleh kepercayaan, bertanggung jawab atas
pembelajaran mereka. Meskipun perencanaan dan pemrograman adalah untuk siswa,
para guru mempelajari tentang apa yang mereka ketahui tentang siswa dan apa yang
akan tepat dalam kaitannya dengan pendekatan dan sumberdaya. Pengalaman belajar
yang terencana terstruktur sehingga menjadikan siswa memiliki kesempatan untuk
membangun berdasarkan apa yang mereka ketahui, memiliki gagasan yang jelas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
215
tentang arah, dan memiliki cukup waktu untuk mengembangkan pemahaman mereka.
Guru memerlukan waktu untuk mempelajari latar belakang siswa sebelum
menentukan tujuan dan menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif.
Sebelum pembelajaran dimulai, guru perlu menetapkan tujuan akademis dan
tujuan. Keterampilan kolaboratif akan ditekankan untuk membantu siswa untuk
menetapkan sasaran. Ketika keputusan telah dibuat, guru harus berusaha menciptakan
pengalaman belajar yang terstruktur untuk menuju ketergantungan positif,
pertanggungjawaban positif, kerjasama antarkelompok, dan peluang bagi siswa yang
belajar bahasa. Siswa dipacu untuk menggunakan bahasa sesuai tujuan dan secara
bermanfaat dalam konteks keterampilan kerja sama. Untuk memfasilitasi sebuah
pendekatan pembelajaran kelompok, kelas sebaiknya diatur sedemikian rupa
sehingga siswa dapat duduk saling berdekatan dan berbicara pelan, memelihara
kontak mata, dan berbagi materi. Akses siswa terhadap materi yang relevan juga
dipertimbangkan. Ketika siswa mencari lebih banyak informasi untuk pengalaman
memecahkan masalah mereka, mereka akan memerlukan buku referensi, kamus, dan
buku-buku tentang subjek terkait.
Pertimbangan selanjutnya adalah menempatkan siswa dalam kelompok-
kelompok. Kelompok merupakan dasar bagi organisasi kelas. Siswa dikelompokkan
menurut faktor-faktor yang diketahui oleh guru tentang pembelajar, misalnya tingkat
kefasihan berbahasa, kreativitas, maupun sosial budaya. Suatu kelompok bekerja
sama tergantung pada beberapa variabel yang dibahas, termasuk lamanya unit
tersebut. Diharapkan dalam jangka panjang setiap siswa akan bekerja dengan setiap
teman sekelas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
216
Waktu sangat penting dalam melaksanakan kerja kelompok yang sukses.
Apabila siswa tidak memiliki cukup waktu, mereka tidak dapat terlibat dengan baik
dalam eksplorasi yang diperlukan. Tekanan yang terlalu besar akan menghambat
pembelajaran yang efektif. Namun sebaliknya, waktu yang terlalu banyak juga akan
merusak pembelajaran kelompok ini. Etika guru dan siswa memeroleh lebih banyak
pengalaman dengan kelompok kerja, mereka akan mencapai suatu keseimbangan
untuk menggunakan waktu secara lebih efisien.
Guru harus selalu mengawati secara teliti selama proses pembelajaran. Guru
yang telah mengajar anak-anak dan mengevaluasi perkembangan mereka, akan
menjaga siswa, memfasilitasi pembelajaran mereka, dan mencoba menemukan
mengapa siswa melakukan apa yang mereka lakukan. Guru telah belajar untuk
menghargai kekuatan anak. Memperhatikan dan mendengarkan siswa haruslah
merupakan kegiatan alami dalam hari-hari setiap guru. Kegiatan tersebut dapat
bersifat formal dan informal, terencana atau tak terencana. Pengamatan yang
mendalam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pengajaran.
Pembelajaran kooperatif kelompok kecil memberikan kesempatan kepada guru untuk
mengamati, merefleksi, dan mengintervensi dengan cara yang mendukung.
Ketika guru mendengarkan dan mengamati anak dalam pembelajaran, guru
akan mengetahui minat, kelebihan, kebutuhan dan perasaan siswa. Guru memperoleh
kesempatan untuk menilai interaksi kelompok dan memantau bagaimana siswa
mempraktikkan keterampilan sosial. Yang terakhir, mengamati kelompok yang
sedang bekerja memberikan dasar kepada guru untuk merefleksikan praktik belajar
dan mengajar. Hal ini memberikan alasan bagi guru untuk melakukan intervensi yang
mendukung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
217
Seperti yang disebutkan di atas, observasi dapat bersifat informal dan formal.
Salah satu jenis dari metode informal adalah observasi global, sedangkan yang lebih
formal disebut observasi sistematis. Dalam observasi global misalnya, guru berdiri di
belakang, mendengarkan, dan mencermati kelompok. Guru kemudian mencatat
semua hasil pengamatan, misalnya bahasa tubuh, tingkat keterlibatan, gerak isyarat,
atau nada bicara. Ketika hal itu dicatat, guru dapat merefleksikannya dengan upaya
untuk menafsirkan pengamatan dengan cara yang tidak menghakimi. Observasi
sistematis memfokuskan pengamatan. Guru membuat checklist untuk mengenali
keterampilan-keterampilan yang penting dalam interaksi kooperatif. Agar dapat
menggunakan checklist secara efektif, guru sebaiknya melakukan hal-hal: (1) Tidak
terlalu mencolok, tidak mengalihkan perhatian siswa dari pekerjaan mereka; (2)
Pengamatan harus direncanakan secara cermat; (3) Menggunakan sebuah lembar
pengamatan untuk setiap kelompok; (4) Membuat tanda tertentu setiap kali
melakukan pengamatan; (5) Mengamati komunikasi nonverbal, seperti ekspresi
wajah dan postur tubuh; (6) Menghindari pengamati semua hal secara global; (7)
Menggunakan waktu beberapa menit antarkelompok untuk membuat catatan tentang
ketidaktepatan umum dan pengamatan penting yang sesuai dengan kategori-kategori
dalam lembar pengamatan; (8) Menjaga agar lembar pengamatan merupakan
penilaian perkembangan dari waktu ke waktu.
Guru harus memberi tahu siswa tentang hasil pengamatan guru. Hal ini
menyebabkan kegelisahan siswa menjadi berkurang karena siswa diberitahu oleh
guru tentang apa yang dicari dan bagaimana mengumpulkan dan melaporkan data.
Setelah melakukan pengamatan, guru diharapkan mengajukan pertanyaan, ”Apa arti
semua itu?” Guru perlu merefleksikan tentang apa yang telah diamati untuk membuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
218
penilaian. Refleksi ini lebih mengarah kepada penetapan sasaran bagi keterampilan
kolaboratif, dan untuk merencanakan pengalaman belajar yang tepat. Guru dapat
memilih merefleksikan tentang situasi: (1) Dengan mengajukan pertanyaan misalnya
“Apa yang sedang saya lakukan untuk mendorong ketergantungan ini?”; (2)
Membicarakan hasil pengamatan dengan kolega untuk mendapatkan opini yang
berbeda, atau (3) Menyimpan catatan pengamatan dan pertanyaan.
Guru harus pandai memberi fasilitas belajar selama proses pembelajaran.
Peran sebagai fasilitator bermakna bahwa guru disiapkan untuk melangkah ke tepi
untuk memberi peran yang lebih penting kepada siswa. Guru diharapkan menjadi
fasilitator yang memadai. Fasilitator-fasilitator yang efektif disiapkan untuk campur
tangan dan membantu dalam proses pemecahan masalah. Guru harus mendukung dan
mendorong keinginan siswa untuk belajar lebih aktif. Guru sebagai fasilitator akan
menjelajahi seluruh ruangan, menolong murid-murid dan kelompok-kelompok
seiring munculnya kebutuhan. Selama waktu ini, guru berinteraksi, mengajar,
memfokuskan kembali, menanyai, mengklarifikasi, mendukung, menjabarkan,
merayakan, dan menegaskan. Bergantung kepada problem apa yang berkembang,
perilaku-perilaku yang mendukung harus digunakan. Fasilitator memberikan umpan
balik, menjawab pertanyaan-pertanyaan kelompok, mendukung kelompok untuk
memecahkan masalahnya sendiri, memperluas aktivitas, mendorong pemikiran,
mengatur konflik, mengobservasi murid-murid, dan menyediakan sumber daya.
Siswa menerima pesan bahwa guru memiliki kepercayaan pada kemampuan mereka
untuk memecahkan masalah-masalah. Kontrol dari tugas dipindahkan dari guru ke
siswa. Para siswa didorong secara terus-menerus menuju tujuan dari pemecahan
masalah yang sukses.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
219
Guru diharapkan menjadi agen perubahan. Salah satu perubahan yang dapat
membuat perbedaan yang signifikan di sekolah adalah perubahan-perubahan yang
dibuat dalam struktur sosial. Dengan kata lain, struktur sosial adalah perubahan yang
mempengaruhi cara guru dan siswa untuk merasakan satu sama lain sehingga mereka
akhirnya memengaruhi iklim sosial bagi pembelajaran. Basis untuk perubahan yang
efektif di sekolah-sekolah terletak pada hubungan interpersonal yang ditemukan di
sekolah tersebut. Selanjutnya, perlu diuji hubungan-hubungan sosial ini dengan
tujuan mengubah kondisi sekolah. Guru mempunyai peran kunci dalam mereformasi
ruang kelas. Guru sebaiknya menyiapkan ruang kelas untuk menjadi tempat
pemeriksaan, pertanyaan-pertanyaan yang dieksplor dalam konteks yang penuh arti,
sehingga mempunyai dampak yang positif. Selanjutnya guru dan siswa berkolaborasi
untuk mencari jawaban, sehingga guru mempunyai peran yang lebih penting yaitu
guru-peneliti. Dengan menjadi peneliti, guru mengambil alih kontrol dari kelas dan
menjadi ahli. Guru memercayai intuisi sendiri, mengambil risiko, dan percaya pada
diri sendiri sebagai bagian dari proses pembuatan keputusan. Hasilnya adalah bahwa
guru memiliki otonomi dan membebaskan diri dari paksaan kekuatan-kekuatan dari
luar. Guru dapat membangkitkan profesionalisme diri dengan aktif sehingga
dihormati sebagai profesional. Guru adalah faktor terpenting dalam ruang kelas yang
ditransformasi dalam aktivitas pembelajaran dan penelitian. Oleh karena itu,
penelitian tindakan kelas menjadi sesuatu yang penting.
2. Implikasi Praktis
Model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD, sangat
mungkin dapat diterapkan pada siswa Sekolah Dasar secara umum. Pembelajaran
membaca ini merupakan salah satu aspek dalam pembelajaran bahasa Indonesia, di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
220
samping keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, dan keterampilan menulis,
yang wajib diikuti oleh semua siswa Sekolah Dasar.
Agar pembelajaran keterampilan membaca, khususnya dalam membaca
pemahaman dapat berhasil dengan baik, perlu diterapkan model pembelajaran yang
mengoptimalkan aktivitas siswa dalam kelompok kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan
STAD, sehingga siswa belajar membaca secara kelompok kecil dengan tanggung
jawab individu sehingga pembelajaran berhasil dengan lebih baik. Untuk
menghasilkan pemahaman yang baik, siswa harus mengetahui letak kekurangan dan
kesalahannya dalam keterampilan membaca pemahaman ini, baik mulai tingkat
pengenalan kata sampai pada membaca kreatif. Hal ini dapat dilakukan dalam
kelompok kooperatif, antar sesama siswa ada proses peer assessment, serta siswa
diberi kesempatan merevisi hasil pemahamannya berdasarkan temuan dari hasil peer
assessment, sehingga siswa menghasilkan pemahaman membaca yang lebih baik.
Pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran kooperatif
jenis CIRC, dapat mengoptimalkan kegiatan siswa belajar membaca melalui
kelompok kooperatif yang diawali dengan tahap kegiatan membaca secara
berkelompok untuk membahas wacana dan permasalahan yang dipersiapkan oleh
guru, hal ini sangat membantu siswa berlatih berimajinasi dan menguasai banyak
kosakata yang diperlukan sebagai bahan untuk mengembangkan tingkat pemahaman
dalam keterampilan membaca, dilanjutkan dengan mengintegrasikan dengan menulis
secara individu yang hasilnya ditukarkan dengan sesama teman dalam kelompok
untuk dikoreksi dengan lembar penilaian yang dipersiapkan oleh guru. Hasil temuan
dalam koreksi dipakai oleh siswa pada tahap berikutnya yaitu revisi hasil karyanya,
baru karya yang sudah direvisi dinilai oleh guru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
221
Upaya lain dalam rangka meningkatkan kemampuan membaca yaitu dengan
mempertimbangkan tingkat kemampuan logika berbahasa siswa. Kemampuan logika
berbahasa sangat membantu bahkan memudahkan siswa memahami ide, gagasannya,
maksud yang tersurat maupun tersirat dari sebuah bacaan. Dengan kemampuan logika
berbahasa yang tinggi, siswa dapat berimajinasi dan mengorganisir ide dan
gagasannya dalam bacaan.
Penggunaan kemampuan logika berbahasa yang optimal akan memudahkan
siswa dalam mengorganisir pikiran dan gagasannya untuk memahami bacaan yang
ditemukan. Dengan pengasaan kemampuan logika berbahasa siswa akan terlatih
berpikir sistematis, terarah, kohesif dan koheren. Dengan kemampuan logika
berbahasa yang tinggi, siswa terlatih menarik simpulan isi paragraf berangkat dari
pemahaman terhadap kalimat utama dan kalimat penjelas, serta pemahaman lebih
lanjut ke dalam penyimpulan isi paragraf secara utuh.
Penerapan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan diiringi
kemampuan logika berbahasa yang baik dalam pembelajaran keterampilan membaca,
yaitu sebelum siswa membaca secara individual berdasarkan pada media yang
disiapkan guru dalam pembelajaran, siswa terkondisikan untuk mempelajari wacana
yang disiapkan untuk dipelajari dengan membaca dan membahasnya dalam kelompok
kooperatif. Dengan demikian sebelum siswa membaca secara individual, telah
memiliki wawasan tentang alur sebuah tema dalam wacana yang dipelajarinya,
sehingga membantu siswa mempermudah menemukan ide dan gagasan untuk
penulisan, yang juga membantu siswa memperkaya penguasaan kosakata yang sangat
bermanfaat dalam membaca pemahaman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penerapan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC yang diimbangi dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
222
kemampuan logika berbahasa yang tinggi dalam pembelajaran membaca akan
diperoleh hasil yang sangat optimal.
Dalam penelitian ini telah terbukti terjadi interaksi berupa siswa yang
memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dengan penggunaan model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC, keterampilan membacanya meningkat secara
signifikan dibandingkan jenis Jigsaw ataupun STAD, sementara siswa yang
kemampuan logika berbahasa rendah sama dengan model yang lain. Ini berarti model
ini cocok digunakan untuk kelompok siswa yang kemampuan logika bahasanya tinggi
(tentu kelas seperti ini agak sulit dalam realitanya kecuali kelas unggulan), tetapi
tidak menimbulkan dampak negatif bagi kelas heterogen (dan kelas seperti inilah
yang umum terjadi dalam dunia pendidikan). Berbeda dengan model-model lain yang
apabila digunakan untuk siswa yang IQ-nya tinggi akan meningkat signifikan tetapi
apabila digunakan untuk siswa yang IQ-nya tidak tinggi justru terjadi yang
sebaliknya. Oleh karena itu, model yang interaksinya demikian hanya cocok untuk
kelas IQ tinggi dan kurang cocok untuk kelas yang heterogen.
C. Saran
Dari pelaksanaan penelitian di lapangan, hasil penelitian, pembahasan
penelitian, simpulan, dan implikasi diusulkan beberapa saran kepada pihak-pihak
yang terkait dengan hasil penelitian ini.
a. Guru
Pertama, keterampilan membaca adalah jendela ilmu pengetahuan, dalam rangka
meningkatkan keterampilan membaca, guru hendaknya memberikan bahan
bacaan yang menyenangkan sesuai dengan usia siswa tanpa harus mengorbankan
kualitas pembelajaran. Hal ini diharapkan tidak hanya meningkatkan keterampilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
223
membaca siswa tetapi juga meningkatkan minat, motivasi, dan kegemaran
membaca yang muaranya siswa akan lebih banyak menguasai ilmu pengetahuan.
Di samping itu, kemampuan logika bahasa sangat penting bagi keterampilan
membaca. Oleh karena itu, dalam pembelajaran keterampilan membaca juga
harus diintegrasikan dengan upaya peningkatan kemampuan logika bahasa ini.
Bacaan yang berisi mengurutkan secara nalar kata-kata ataupun kalimat-kalimat
perlu terus diberikan. Pengembangan paragraf dengan kepaduan makna yang
selaras dengan penalaran juga sangat baik dikembangkan. Jangan hanya
memberikan bacaan yang bersifat ingatan, tetapi perlu dikembangkan sampai
pada tahapan analisis, sintesis, bahkan evaluasi, tentu hal ini disesuaikan dengan
perkembangan berpikir siswa.
Kedua, berkait dengan hasil penelitian yang menyatakan model pembelajaran
kooperatif jenis CIRC jauh lebih baik dibandingkan jenis Jigsaw ataupun jenis
STAD terutama kepada kelompok siswa yang sebagian besar memiliki
kemampuan logika berbahasa yang tinggi, maka guru dianjurkan menggunaan
jenis CIRC untuk pembelajaran keterampilan membaca.
Ketiga, berkait dengan hasil penelitian yang menemukan ketiga model kooperatif
jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD sama baiknya untuk kelompok siswa yang
memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, maka untuk siswa yang sebagian
besar siswanya memiliki karakteristik ini guru dapat menggunakan ketiga jenis
model kooperatif tersebut yang disesuaikan dengan kondisi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
224
a. Sekolah
Pertama, memberikan fasilitas dan kesempatan yang memadai kepada guru agar
dapat melakukan model pembelajaran kooperatif CIRC, Jigsaw, dan STAD dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan bagi siswa dan sekolah pada umumnya.
Kedua, mendorong guru untuk meningkatkan profesionalitas guru melalui
penulisan karya ilmiah yang berbasis model pembelajaran kooperatif jenis CIRC,
Jigsaw, dan STAD ataupun berbasis kemampuan logika berbahasa.
b. Pengambil kebijakan
Pertama, untuk mendukung program pemerintah melalui program MBS, yang
salah satu pilarnya adalah manajemen proses pembelajaran. Dukungan itu berupa
penggunaan model pembelajaran yang berprinsip aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan melalui penerapan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC,
Jigsaw, dan STAD.
Kedua, untuk memberikan kesempatan ataupun menyediakan fasilitas kepada
penelitia lain agar melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan model
pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD dengan variabel lain,
berkaitan dengan variabel kemampuan logika berbahasa dengan variabel lain,
ataupun penelitian pengembangan berbasis keduanya. Penelitian tentang
keterampilan membaca ini sangat penting. Membaca adalah jendela ilmu
pengetahuan, kalau ingin menguasai dunia membacalah jalan yang terbaik. Oleh
karena itu, peneliti berharap ada penelitian lain yang berorientasi pada kegemaran
membaca agar dapat menyadarkan masyarakat menjadi gemar membaca, bahkan
membudayakan keterampilan membaca. Kalau ini terjadi tentu bangsa kita akan
segera mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa yang maju.