Upload
minu-ngingas
View
78
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Ajaran agama merupakan sebuah nilai. Ketika teks ajaran agama dalam kitab suci menyatakan sesuatu secara eksplisit dan denotatif (bukan majazi) serta tidak mengandung makna ganda dan makna bias, kandungan tekstual ayat dalam kitab suci tersebut tidak banyak menimbulkan masalah dalam menangkap substansi kandungannya, tetapi akan memunculkan problem serius ketika pernyataan ayat itu bersifat sebaliknya. Begitu juga al-Qur‟an, di dalamnya banyak mengandung ayat majazi yang pada akhirnya melahirkan diferensiasi interpretasi (penafsiran secara majemuk) yang pada giliranya melahirkan beragam aliran pemikiran dalam Islam, baik di bidang ilmu ketuhanan (akidah), hukum-hukum Islam (fiqh), dan juga di bidang tasawuf. Hal ini memang menjadi keniscayaan, karena agama adalah sebuah nilai bagi pemeluknya, keselamatan dunia dan akherat diyakini dapat diperoleh hanya dengan kemampuan menangkap nilai substansial dari ajaran agamanya sebagai kerangka dasar sikap hidup (perbuatan) selama berada di dunia. Nilai-nilai (values), dalam pengertian prinsip moral dan lainnya, nilai-nilai menjadi fokus dari diskusi pada tiga level utama teori sosial. Pertama, nilai-nilai muncul sebagai obyek penelitian, seperti dalam diskusi nilai tukar dari nilai materialis hingga postmodernis. Kedua, nilai-nilai adalah kategori sentral beberapa perspektif teoritis dalam sosiologi, Khususnya fungsionalisme-struktural. Ketiga, teori sosial membahas problem filosofis dari relasi antara pernyataan faktual dan evaluatif dalam refleksi metodologis yang mengangkat isu fundamental hubungan antara teori sosial sistematis dengan orientasi normatif dalam komitmennya. Analisi Max Weber tentang nilai dari ajaran Protestan yang memberi motivasi dan stimulan lebih baik terhadap kemajuan (kemodernan) daripada nilai-nilai yang diajarkan oleh agama Katholik, semakin menunjukkan adanya korelasi antara nilai yang diyakini sebagai pedoman hidup oleh manusia dengan sikap hidup yang dijalaninya. Weber membedakan antara konsep klasifikasi atau penggunaan konsep dengan konsep tipe ideal (ideal type). Tipe ideal adalah tidak ideal dalam pengertian evaluatif, tetapi merepresentasikan aksentuasi fenomena dalam realitas dalam hubungannya dengan sudut pandang spesifik (dan ditentukan oleh nilai) dari mereka yang tertarik pada fenomena tersebut. Meskipun demikian (atau karenanya), Weber berpendapat bahwa adalah masih mungkin untuk membedakan antara pernyataan ilmiah dengan ekspresi nilai yang tidak punya tempat dalam sains. Sains tidak bisa memberi tahu kita apa yang seharusnya kita inginkan, tetapi hanya (mungkin) memberi tahu apa yang kita inginkan dan bagaimana cara mendapatkannya serta dengan apa kita mendapatkannya. Apapun harga yang pantas kita bayarkan adalah persoalan keputusan kita. Memercayai hal sebaliknya bukan hanya berarti akan mengacaukan sains dengan nilai, tetapi juga melepaskan tanggung jawab moral untuk memilih antara kebaikan dan kejahatan, sistem nilai alternatif, yang dengannya manusia berhadapan dengan dunia modern. Dan seharusnya kita menentukan pilihan ini: bebas nilai bukan berarti ketidakpedulian moral.Dalam kaitannya dengan ahlu al-sunnah wa al-jamaah dalam pengertian aliran pemikiran teologi Islam (manhaj al-fikr) adalah sejauh mana nilai-nilai yang dibawa aliran ini mempengaruhi para pengikutnya, mempengaruhi pola berpikir dan dampaknya pada realitas sosial. Dengan kata lain, sejauh mana nilai-nilai dari aliran ini membawa perubahan sosial umat Islam. Menurut penulis, kajian ini sebenarnya begitu sangat penting, mengingat jumlah penganut aliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah menempati posisi terbesar di dunia. Sementara kondisi umat Islam dari penganut aliran ini secara generalisasi dapat diukur kualitas kehidupannya dengan ukuran-ukuran penganut aliran lain dalam Islam seperti Syi‟ah, dan juga dapat diukur dari kondisi penganut agama dan faham di luar Islam. Tulisan ini merupakan analisa sederhana, namun standar pengkajiannya penulis berusaha menggunakan p
Citation preview
PENGARUH PEMIKIRAN AHLU AL-SUNNAH WA AL-
JAMAAH TERHADAP PERUBAHAN SOSIAL UMAT ISLAM
Oleh:
Imam Turmudi, S.Ag, M.Fil.I
A. PENDAHULUAN
Ajaran agama merupakan sebuah nilai. Ketika teks ajaran agama dalam
kitab suci menyatakan sesuatu secara eksplisit dan denotatif (bukan majazi)
serta tidak mengandung makna ganda dan makna bias, kandungan tekstual
ayat dalam kitab suci tersebut tidak banyak menimbulkan masalah dalam
menangkap substansi kandungannya, tetapi akan memunculkan problem
serius ketika pernyataan ayat itu bersifat sebaliknya.
Begitu juga al-Qur‟an, di dalamnya banyak mengandung ayat majazi
yang pada akhirnya melahirkan diferensiasi interpretasi (penafsiran secara
majemuk) yang pada giliranya melahirkan beragam aliran pemikiran dalam
Islam, baik di bidang ilmu ketuhanan (akidah), hukum-hukum Islam (fiqh),
dan juga di bidang tasawuf.
Hal ini memang menjadi keniscayaan, karena agama adalah sebuah nilai
bagi pemeluknya, keselamatan dunia dan akherat diyakini dapat diperoleh
hanya dengan kemampuan menangkap nilai substansial dari ajaran agamanya
sebagai kerangka dasar sikap hidup (perbuatan) selama berada di dunia.
Nilai-nilai (values), dalam pengertian prinsip moral dan lainnya, nilai-
nilai menjadi fokus dari diskusi pada tiga level utama teori sosial. Pertama,
nilai-nilai muncul sebagai obyek penelitian, seperti dalam diskusi nilai tukar
dari nilai materialis hingga postmodernis. Kedua, nilai-nilai adalah kategori
sentral beberapa perspektif teoritis dalam sosiologi, Khususnya
fungsionalisme-struktural. Ketiga, teori sosial membahas problem filosofis
dari relasi antara pernyataan faktual dan evaluatif dalam refleksi metodologis
yang mengangkat isu fundamental hubungan antara teori sosial sistematis
dengan orientasi normatif dalam komitmennya.1
Analisi Max Weber tentang nilai dari ajaran Protestan yang memberi
motivasi dan stimulan lebih baik terhadap kemajuan (kemodernan) daripada
nilai-nilai yang diajarkan oleh agama Katholik, semakin menunjukkan adanya
korelasi antara nilai yang diyakini sebagai pedoman hidup oleh manusia
dengan sikap hidup yang dijalaninya.
Weber membedakan antara konsep klasifikasi atau penggunaan konsep
dengan konsep tipe ideal (ideal type). Tipe ideal adalah tidak ideal dalam
pengertian evaluatif, tetapi merepresentasikan aksentuasi fenomena dalam
realitas dalam hubungannya dengan sudut pandang spesifik (dan ditentukan
oleh nilai) dari mereka yang tertarik pada fenomena tersebut. Meskipun
demikian (atau karenanya), Weber berpendapat bahwa adalah masih mungkin
untuk membedakan antara pernyataan ilmiah dengan ekspresi nilai yang tidak
punya tempat dalam sains. Sains tidak bisa memberi tahu kita apa yang
seharusnya kita inginkan, tetapi hanya (mungkin) memberi tahu apa yang kita
inginkan dan bagaimana cara mendapatkannya serta dengan apa kita
mendapatkannya. Apapun harga yang pantas kita bayarkan adalah persoalan
keputusan kita. Memercayai hal sebaliknya bukan hanya berarti akan
mengacaukan sains dengan nilai, tetapi juga melepaskan tanggung jawab
moral untuk memilih antara kebaikan dan kejahatan, sistem nilai alternatif,
yang dengannya manusia berhadapan dengan dunia modern. Dan seharusnya
kita menentukan pilihan ini: bebas nilai bukan berarti ketidakpedulian moral.2
Dalam kaitannya dengan ahlu al-sunnah wa al-jamaah dalam pengertian
aliran pemikiran teologi Islam (manhaj al-fikr) adalah sejauh mana nilai-nilai
yang dibawa aliran ini mempengaruhi para pengikutnya, mempengaruhi pola
1 Williem Outhwaite (ed), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, (Jakarta: Kencana Prenada
2 Ibid.
berpikir dan dampaknya pada realitas sosial. Dengan kata lain, sejauh mana
nilai-nilai dari aliran ini membawa perubahan sosial umat Islam. Menurut
penulis, kajian ini sebenarnya begitu sangat penting, mengingat jumlah
penganut aliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah menempati posisi terbesar di
dunia. Sementara kondisi umat Islam dari penganut aliran ini secara
generalisasi dapat diukur kualitas kehidupannya dengan ukuran-ukuran
penganut aliran lain dalam Islam seperti Syi‟ah, dan juga dapat diukur dari
kondisi penganut agama dan faham di luar Islam.
Tulisan ini merupakan analisa sederhana, namun standar pengkajiannya
penulis berusaha menggunakan parameter yang se-faktual mungkin, di
samping mendasarkan pada referensi yang cukup diakui.
B. TINJAUAN UMUM
1. Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah
a. Pengertian
Ahlu al- Sunnah Wa al-Jama’ah berasal dari kata ahl (ahlun) yang
berarti golongan atau pengikut.3 Sedang Al-Sunnah memiliki arti,
pertama, sunnah berarti metode atau tariqah yaitu mengikuti metode
para sahabat dan tabi’in serta salaf dalam memahami ayat-ayat
mutasyabihat dengan menyerahkan sepenuhnya pengertian ayat
tersebut kepada Allah sendiri, tidak mereka-reka daya nalar manusia
semata-mata. Kedua, sunnah berarti hadis Nabi Muhammad, yaitu
meyakini kebenaran hadis sahih sebagai dasar keagamaan. Rangkaian
kata sunnah dengan jamaah menjadi ahl al-sunnah wa al-jama’ah
memberi arti bahwa dasar keagamaan yang dianut bersumber kepada
al-Qur‟an dan sunnah Nabi dan sunnah para sahabat atau lazim
3 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam); Sejarah, Pemikiran, dan Perkembangannya,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 187.
dengan ungkapan ijma’ sahabat, yaitu tradisi yang telah melembaga
dalam kehidupan social keagamaan para sahabat Nabi setelah Nabi
Muhammad wafat, khususnya zaman khulafa rasyidun.4
Sejalan dengan pengertian di atas, Abu al-Fadl bin al-Syekh „Abd.
al-syakur al-Sanuri mendefinisikan kata ahlu al-Sunnah wa al-jamaah
dengan golongan yang senantiasa berpegang teguh (committed)
mengikuti Sunnah Rasul Saw dan petunjuk (tariqah) para sahabatnya,
baik dalam lingkup akidah, ibadah, maupun dalam lingkup akhlak.5
س ي ص ل ز ه ن ت بػ ج ان ت انس م ا ى ث ا ث ذ ح ز ئ ح ى ه س ه ػ للا ه ص ب ان ت ا
ال ق ان ق ه ب ال خ ت انب ذ بل ال ػ ت انذ ق بئ ذ ان ؼ بب ت ف ح انص ق ت ت .ط ش
Tatkala itu telah terjadi penamaan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah bagi
orang-orang memegangi sunnah Nabi saw dan thariqah (cara hidup)
para sahabat dalam akidah agama, amal perbuatan badaniyah, dan
akhlak hati.6
Sunnah Nabi yang dimaksud adalah semua ucapan, perbuatan, dan
ketetapan Nabi Muhammad Saw di bidang keagamaan. Sedang yang
dimaksud dengan cara hidup para sahabat adalah tradisi keagamaan
para sahabat sekaligus pemikiran keagamaan yang dikembangkannya.
Dan karena, corak dan ciri pemikiran keagamaan Abu al-Hasan
al-„Asy‟ari dan Abu Manshur al-Maturidi dianggap berpegang dan
berdasar kuat pada sunnah Nabi Muhammad Saw, sunnah para
sahabat Nabi, juga pada pemikiran dan perilaku para tabi‟in maka
pengikut kedua tokoh pemikir Islam ini disebut dengan golongan
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam Sahilun A Nasir dijelaskan:7
انس ا م اا ط ه ق ذ :ا ر ب انض ل ا ة ش بػ ش ل ا ى ب اد ش بن ف ت بػ نج ا ت ق ت د س ت ن
4 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik,
(Jakarta: Gramedia, 1994), 67-68. 5 Sahilun A. Nasir, Pemikiran ..., 187.
6 Sahilun A. Nasir, Pemikiran …, 189.
7 Ibid., 187.
Berkata Imam al-Zubaidi, jika dikatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah,
maka maksudnya adalah semua orang yang mengikuti Imam al-
Asy‟ari dan al-Maturidi.
Untuk tujuan penulisan makalah ini, yang dimaksud dengan ahlu
al-Sunnah wa al-Jamaah adalah pemikiran Abu al-Hasan al-Asy‟ari
dan Abu Manshur al-Maturidi tentang ilmu kalam atau teologi Islam.
Yaitu ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-
kepercayaan iman, dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi
bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari
kepercayaan salaf dan ahli sunnah.8
b. Sejarah Singkat
Sejak meninggalnya Utsman bin Affan, ruang lingkup pemikiran
kalam terus bergulir menjadi perdebatan yang panjang di dalam
perjalanan sejarah perkembangan pemikiran Islam. Berangkat dari ciri
status dosa besar dan dosa kecil, berkembang menjadi perdebatan
tentang status kafir dan mukmin, lalu berujung pada perdebatan
tentang ketakberdayaan dan kebebasan manusia. Dalam hal ini seperti
dikutip oleh Sahilun A Nasir, Syaikh Muhammad Abduh
menjelaskan:9
ي ف ف ال نخ ا ش ظ ت ن أ س ي ل ا ت ب ك س ل ا ل ال ق ت اس بس ت خ ل ا ت ن أ س ب بن ؼ ف ا ت اد س إ ب ب
ت بس ت خ ل ا ا ب ت ى ن ة ش ب نك ا ب ك ت اس ي ت ن أ س ي , ف ف ه ت خ , بر ت س ا بء ط ػ اب م اص ب
ش ص انب س انح ػ ز خ ا ك ى ن لاص ا ى ه ؼ ن ض ت اػ , غ ب ي شا ث ك ا ش , ى ي ف ه انس ا
ك –ل نق ا ه ػ – س انح ت اد س ا ه ػ ػ ة س بد انص بن ػ ا ف بس ت خ ي ذ ب نؼ ا ا أ س ه ػ ب بو ق ,
س ل ا ا ن اا ب ر ز انه ش ب انج م ا ء ل ؤ ع ص ب بت باد س ل ا ه ػ ف ب ك ش ح ف ش انش ج ب ص أ غ ك
اس ت . ش ط ض ا ل
Dan adalah masalah yang mula-mula menimbulkan pertikaian di
antara mereka itu adalah masalah ikhtiar, kebebasan kemajuan
manusia dengan kehendaknya dan perbuatan-perbuatan yang bisa
diikhtiarkan itu, dan masalah tentang orang yang melakukan dosa
8 Ibid., 2
9 Ibid., 203
besar, sedang dia tidak tobat (sampai meninggalnya). Dalam masalah
tersebut, pendapat Washil bin „Atho‟, berbeda dengan pendapat
gurunya, Hasan al-Bashri, Dia kemudian memisahkan diri dari
gurunya, lalu mengajarkan pula pokok-pokok pendiriannya, baik yang
diterimanya dari gurunya ataupun pendapatnya sendiri. Akan tetapi
dalam masalah itu, kebanyakan kaum salaf, di antaranya termasuk
Hasan al-Bashri sendiri, setuju dengan pendapat, bahwa manusia itu
bebas melakukan perbuatan-perbuatan pilihannya yang ditimbulkan
oleh ilmu dan kemauannya. Sedangkan golongan Jabariah membantah
pendapat itu dan berpendirian bahwa manusia itu dalam segala
kehendak perbuatannya tak ubahnya seperti ranting-ranting pohon
kayu yang bergerak lantaran terpaksa belaka.10
Pertarungan politik juga ikut berperan aktif mempengaruhi
intensifnya pergulatan pemikiran ilmu kalam.
Adalah aliran Mu‟tazilah, sebuah mazhab teologi Islam pertama
yang tersistematisasi yang lahir di paroh pertama abad kedelapan.
Fazlur Rahman menjelaskan tentang aliran Mu‟tazilah sebagai
berikut:
Kaum Mu‟tazilah berpendapat bahwa seorang muslim yang
melakukan dosa besar (semisal mencari, membunuh, atau berzina),
bukan lagi seorang muslim, tetapi bukan pula kafir: ia menempati
“posisi di antara dua posisi tersebut”. Kaum Mu‟tazilah menyebut diri
mereka sebagai “Kaum Pengikut Keesaan dan Keadilan Tuhan”.
Keesaan Tuhan yang mereka maksud adalah bahwa Tuhan adalah zat
tanpa sifat; orang yang mengangap Tuhan memiliki sifat abadi di
samping zat-Nya berarti menyekutukan Tuhan. Posisi Mu‟tazilah
berada di garis batas Islam, dan menerbitkan kontroversi di kalangan
penganut agama lain seperti Kristen, Buddha, dan Yahudi.
Tampaknya di samping berhadap-hadapan dengan agama-agama lain,
kaum Mu‟tazilah juga terkena pengaruh tertentu dari mereka. Ajaran
Mu‟tazilah mengenai Zat dan Sifat Tuhan tampaknya dipengaruhi
oleh ajaran Kristen tentang konsep trinitas, yaitu bagaimana tiga
10
Ibid., 204
persona membentuk satu Tuhan. Ihwal keadilan Tuhan, mereka
berpendapat bahwa Tuhan, dengan sifat adil-Nya, memberikan
kebebasan dan kehendak penuh kepada manusia. Oleh karena itu,
manusia bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, sementara
Tuhan tidak berperan sama sekali. Mereka lebih jauh meyakini bahwa
sebagaimana pada hari kiamat kelak Tuhan tidak akan menyiksa orang
yang berbuat baik, Dia juga tidak akan memaafkan orang yang
berbuat jahat karena jika tidak demikian, akan kaburlah perbedaan
antara kebaikan dan kejahatan. Karena sifat Maha Pengampun dan
Maha Pemaaf Tuhan sebagaimana banyak dinyatakan al-Qur‟an telah
disangkal oleh kaum Mu‟tazilah, masyarakat umum mulai menjauhi
ajaran mereka. Setelah sempat mengalami kemapanan selama
beberapa dekade dalam abad kesembilan, kaum Mu‟tazilah jatuh dari
kekuasaannya semasa pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil (wafat
861M).
Rasionalisme-ekstrem Mu‟tazilah menimbulkan reaksi dari ajaran
al-Asy‟ari, seorang teolog yang semula menganut ajaran Mu‟tazilah
tetapi kemudian beralih ke mazhab sunni yang lebih mengutamakan
hadis”.11
Jadi salah satu latar belakang munculnya pemikiran Ahlu al-
Sunnah wa al-Jamaah oleh al-Asy‟ari adalah reaksi atas pemikiran
Mu‟tazilah yang dianggapnya tidak sesuai dengan nilai dan tradisi
Islam awal.
Al-Asy‟ari yang nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali bin Isma‟il
al-Asy‟ari lahir di Basrah (Irak) pada tahun 873 M dan meninggal
dunia tahun 935 M. Perpindahan pendirian dari Mu‟tazilah ke Ahlu al-
Sunnah wa al-Jamaah karena menganggap ajaran Mu‟tazilah begitu
11
Fazlur Rahman, Etika Pengobatan Islam: Penjelajahan Seorang Neomodernis, (Bandung:
Mizan, 1999), 21
ekstrem dalam meletakkan posisi akal dalam memahami agama.
Namun pada akhirnya al-Asy‟ari sendiri tampaknya hanyalah
mengintegrasikan atau tepatnya mensintesiskan dua kutub pemikiran
ekstrem yang ada, yaitu pemikiran ahlu ra’yu (yang diwakili oleh
Mu‟tazilah) dan ahlu al-hadis (yang hakekatnya adalah jabariyah,
sebuah paham bahwa manusia tidak mempunyai daya ikhtiar, semua
yang ada pada makhluk pada hakekatnya kehendak Allah Swt).
Namun demikian sebagai jalan tengah, pemikiran al-Asy‟ari
mendapat pengikut terbesar sepanjang sejarahnya.
Dalam perjalanan waktu, pemikiran al-Asy‟ari terus mendapat
dukungan dan penyempurnaan oleh para pemikir sesudahnya, dan
yang paling menonjol dan diakui oleh golongan Ahlu al-Sunnah wa
al-Jama‟ah sendiri adalah Abu Mansur al-Maturidi.
Abu Mansur al-Maturidi yang nama lengkapnya Imam Abu
Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-
Anshari yang wafat pada tahun 944 M adalah salah satu pembela dan
penjaga faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah, di samping juga
pemikirannya banyak mempengaruhi pemikiran umat Islam di bidang
ilmu kalam.
c. Pemikiran Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
Yang dimaksud pemikiran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dalam
makalah ini adalah pemikiran Abu Hasan al-Asy‟ari dan Abu
Manshur al-Maturidi yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan
sosial masyarakat Islam. Pemikiran itu antara lain:12
1) Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
12
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru,
2008), 405-411
Yaitu bahwa Allah memang memiliki sifat, seperti berfirman,
melihat, mendengar, dan sebagainya, tetapi sifat-sifat itu harus
dipahami secara simbolis. Ini karena memang Allah itu
bukanlah makhluk maka sifat-Nya pun berbeda dengan sifat
makhluk.
2) Kebebasan dalam berkehendak
Menurut al-Asy‟ari manusia dipandang lemah, manusia dalam
kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan
kekuasaan Tuhan.13
Dalam faham al-Asy‟ari , untuk terwujudnya perbuatan
perlu ada dua daya, daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang
berpengaruh dan yang efektif pada akhirnya dalam perwujudan
perbuatan ialah daya Tuhan.14
Sebagaimana uraian al-Asy‟ari dalam kutipan Sahilun A
Nasir berikut ini: 15
ش ش انب ل ق ك أ ش نق ا اا ػ ض ف ت ب ث أ ل ق ان شا ظ ش انش ق ه خ بد ب نؼ ا اا ق ا ا
خ ت ب ث ا ز انه ص ج ان ش انش ق ه خ ش خ ل ا ش انخ ق ه خ ى ذ ح ا ق بن ا ت ػ ص ,
ك بل ي بء ش م ج ض ػ للا ا ت س ذ نق ا ك ه ػ غ ج با بن فاال خ بء ش بل ي
ئابء بش ي ا ه س ان ش بء ا بل ت ش ب ش للا ,ف أ خ بء ش ا ا ل بئ بت ش ي م ج ض بػ
. بئ ش ا للا بء ش ذ ق ل ا
Mereka menganggap al-Qur‟an sama seperti perbuatan
manusia, mereka menetapkan dan meyakini bahwa manusia itu
yang membuat perbuatan jahat. Itu sama halnya dengan
pendapat orang-orang Majusi, yang menetapkan adanya dua
pencipta. Yang satu pencipta kebaikan dan pencipta lainnya,
membuat kejahatan. Dan orang-orang Qadariyah menganggap
bahwa Allah Azza wa Jalla itu menciptakan kebaikan saja,
sedangkan setan yang membuat kejahatan. Mereka
beranggapan bahwa sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
berkehendak sesuatu yang tidak ada dan sesuatu yang ada itu
bukanlah sesuatu yang dikehendaki. Hal itu tentunya
13
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Pers, 1986), 106 14
Ibid., 111 15
Sahilun A. Nasir, Pemikiran …, 220 - 221.
bertentangan dengan pendapat yang telah disepakati oleh kaum
muslimin, bahwa apa yang dikehendaki oleh Allah tentu
terwujud dan sebaliknya. Seandainya Allah menghendaki akan
wujudnya Dia adalah Maha Kuasa mewujudkannya. Dan Allah
Swt. Berfirman: “Tidaklah kamu dapat menghendaki sesuatu,
kecuali Allah menghendaki juga.”16
Maka beritahukanlah
bahwa kita tidak dapat berkehendak terhadap adanya sesuatu,
kecuali adanya sesuatu tersebut telah dikehendaki oleh Allah
juga.”17
Sedang menurut al-Maturidi, perbuatan manusia
timbul berkat qudrah Allah tapi hamba punya qudrah yang
diciptakan Allah bersamaan dengan perbuatan itu. Dan manusia
mempunyai pilihan untuk menggunakan dan mengarahkan
qudrah tersebut kepada ketaatan atau kemaksiatan.18
3) Akal dan wahyu
Menurut penjelasan al-Asy‟ari semua kewajiban dapat
diketahui hanya melalui wahyu. Akal tak dapat menentukan
sesuatu menjadi wajib dan dengan demikian tak dapat
mengetahui bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi
perbuatan jahat adalah wajib.19
Penentuan baik dan buruk haruslah di dasarkan pada
wahyu, karena akal tidak cukup mampu untuk menentukan hal
yang baik dan hal yang buruk. Jadi dalam menentukan baik dan
haruslah buruk haruslah berdasarkan wahyu.20
4) Keadilan Tuhan
Aliran al-Asy‟ariyah memberi makna keadilan Tuhan
dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak
hati-Nya. Dengan demikian, ketidakadilan difahami dalam arti
16
Al-Qurān, 81(At-Takwir): 29. 17
Sahilun A. Nasir, Pemikiran…, 221. 18
Abu al-Khair Muhammad Ayyub Ali, Aqidah al-Islam wa al- Imam al-Maturidy (Surabaya: Bina Ilmu, tt), 115
19 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UIP-
Pres), 1986), 76 20
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, (Surabaya: Bina Ilmu, tt), Buku 1, 85
Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-
Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil bila yang
difahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-
Nya.21
5) Kedudukan orang berdosa
Dalam hal dosa besar al-Asy‟ari menempuh jalan tengah,
dan berpendapat bahwa orang mukmin yang mengesakan
Allah Swt tetapi dia fasik, hal itu terserah kepada Allah Ta‟ala.
Bila Dia menghendaki, maka ia memaafkannya dan
memasukkannya ke dalam surga. Dan bila menghendaki, maka
Dia menyiksanya (dimasukkan ke dalam neraka) karena
perbuatan fasiknya, kemudian sesudah itu memasukkannya ke
dalam surga.22
2. Perubahan Sosial
a. Pengertian dan Ruang Lingkup
Perubahan sosial (social change) adalah setiap perubahan
yang tak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan.23
Selo Sumardjan sebagaimana dikutip oleh Soerjono
Soekamto dalam Sosiologi Suatu Pengantar mendefinisikan
perubahan sosial dengan segala perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat,
yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-
nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat.24
Sedang menurut penulis perubahan sosial adalah
21
Abdul Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia,2009), 186. 22
Sahilun A. Nasir, Pemikiran…, 253. 23
Piotr Sztompka, Sosiologi …, 3. 24
Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar(Jakarta: Rajawali Pers, 1999), 337
perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang
menyangkut semua aspek kehidupan.
Perhatian sosiologi secara intensif terhadap perubahan sosial
muncul di awal abad 19, hal ini dikarenakan oleh: (1) kesadaran
tentang pengaruh sosial yang radikal dari industrialisasi terhadap
masyarakat Eropa, dan (2) apresiasi terhadap jurang perbedaan
yang mendasar antara masyarakat industrial Eropa yang disebut
sebagai “masyarakat primitif”. Teori perubahan sosial berpusat
pada ciri-ciri kapitalis atau perkembangan industrial dan ketiadaan
perkembangan sosial yang nyata dalam masyarakat yang telah
menjadi bagian dari wilayah kekuasaan kolonial Eropa. Namun
memasuki abad 21 teori perubahan sosial menjadi lebih populer
dengan berbagai macam pemikiran post-fordism dan post-
modernitas, yang berusaha menangkap apa yang diterima sebagai
perubahan sosial yang mendasar dan sistemik.25
Sedang analisa perubahan social dalam tulisan ini didasari
oleh (1) mengidentifikasi pengaruh paham Ahlu al-Sunnah wal
Jama‟ah, khususnya pemikiran al-Asy‟ari dan al-Maturidi
terhadap perubahan social masyarakat Islam. Dan (2),
mengidentifikasi perbedaan yang mendasar antara masyarakat
Islam yang berhaluan faham Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama‟ah
dengan masyarakat yang berada di luar faham Ahlus Sunnah Wal
Jamaah dalam melakukan perubahan sosial.
b. Bentuk Proses Sosial
Yang juga penting untuk dipahami dalam mengkaji perubahan
sosial adalah proses sosial. Pitirim Sorokin sebagaimana dikutip
oleh Sztompka mendefinisikan proses sosial dengan setiap
25
Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Bryan S. Turner, Kamus Sosiologi, (Yogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 510-511
perubahan subyek tertentu dalam perjalanan waktu, entah itu
perubahan tempatnya dalam ruang, atau modifikasi aspek
kuantitatif atau kualitatifnya.26
Jadi, konsep proses sosial
menunjukkan: (1) berbagai perubahan; (2) mengacu pada sistem
sosial yang sama; (3) saling berhubungan sebab akibat; (4)
perubahan itu saling mengikuti satu sama lain dalam rentetan
waktu (berurutan menurut rentetan waktu).27
Untuk kepentingan
tulisan ini, proses sosial yang penulis maksud adalah perubahan
yang terjadi pada umat Islam penganut aliran Ahlu al-Sunnah wa
al-Jamaah secara mayoritas dengan mengukur kualitas semua
aspek kehidupan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif,
Ada dua bentuk khusus proses sosial yang menjadi perhatian
sosiolog, yaitu perkembangan sosial dan peredaran sosial.28
(1) Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial melukiskan proses perkembangan
potensi yang terkandung di dalam sistem sosial. Konsep
perkembangan sosial memuat tiga ciri, yaitu: (a) menuju ke
arah tertentu dalam arti keadaan sistem tak terulang sendiri di
setiap tingkatan; (b) keadaan sistem pada waktu berikutnya
mencerminkan tingkat lebih tinggi dari semula (misalnya,
terjadi peningkatan diferensiasi struktur, kenaikan output
ekonomi, kemajuan ekonomi, atau pertambahan penduduk),
atau di setiap saat dan kemudian keadaan sistem semakin
mendekati ciri-ciri umum (misalnya, masyarakat makin
mendekati ciri-ciri keadilan sosial, kesejahteraan umum, atau
demokratis); dan (c) perkembangan ini dipicu oleh
kecenderungan yang berasal dari dalam sistem (misalnya,
26
Piotr Sztompka, Sosiologi …, 6 27
Ibid., 7 28
Ibid.
pertambahan penduduk yang diikuti peningkatan kepadatan,
penanggulangan kontradiksi internal dengan menciptakan
bentuk-bentuk kehidupan baru yang lebih baik, menyalurkan
kreatifitas bawaan ke arah inovasi yang berarti).29
Dalam
kaitan tulisan ini, perkembangan sosial diukur dari
peningkatan secara terus menerus terhadap penataan kualitas
kehidupan pengikut Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah secara
umum.
(2) Peredaran Sosial
Dalam peredaran sosial, proses sosial tidak lagi menuju
arah tertentu tetapi juga tidak serampangan. Proses ini ditandai
dua ciri: (a) mengikuti pola edaran : Keadaan sistem pada
waktu tertentu kemungkinan besar muncul kembali pada
waktu mendatang dan merupakan replika dari apa yang telah
terjadi di masa lalu; dan (b) perulangan ini disebabkan
kecenderungan permanen di dalam sistem karena sifatnya
berkembang dengan cara bergerak ke sana kemari. Dengan
demikian, walaupun dalam jangka pendek terjadi perubahan,
tetapi dalam jangka panjang perubahan tidak terjadi karena
sistem kembali ke keadaan semula.30
Dari sini penulis juga
mengidentifikasi kondisi dalam periode tertentu yang pernah
tercatat dalam sejarah tentang pasang surutnya kualitas sosial-
keagamaan dari masyarakat penganut Ahlu al-Sunnah wa al-
Jamaah.
(3) Kemajuan Sosial (social progress)
Kemajuan sosial juga menjadi kajian paling menarik
sepanjang sejarah pemikiran. Dan pemikiran ini menambahkan
29
Piotr Sztompka, Sosiologi …, 7. 30
Ibid., 8
dimensi penilaian kategori yang lebih obyektif dan lebih netral
terhadap aspek kehidupan normatif. Pada dasarnya yang
dimaksud dengan kemajuan adalah (a) proses menjurus; dan
(b) terus menerus membawa sistem sosial semakin mendekati
keadaan yang lebih baik atau lebih menguntungkan (atau
dengan kata lain menuju penerapan nilai pilihan tertentu
berdasarkan etika seperti kebahagiaan, kebebasan,
kesejahteraan, keadilan, atau kepada prestasi masyarakat ideal
dalam bentuk masyarakat utopia).31
Dalam kaitan ini penulis
dengan menggunakan standar tertentu membandingkan umat
di luar faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dengan kelompok
masyarakat yang berfaham di luarnya. Tujuan utamanya untuk
mengetahui perbandingan kemajuan yang telah dicapai oleh
faham teologi ini.
c. Dinamika Proses Sosial
Konsep dasar dari dinamika sosial adalah (1) perubahan sosial
akan berbeda artinya antara keadaan suatu masyarakat tertentu
dalam jangka waktu yang berbeda; (2) proses sosial merupakan
rentetan kejadian atau peristiwa sosial (perbedaan keadaan
kehidupan sosial); (3) perkembangan sosial, kristalisasi sosial, dan
artikulasi kehidupan dalam berbagai dimensinya berasal dari
kecenderungan internal; (4) kemajuan sosial atau setiap
perkembangan sosial dipandang sebagai sesuatu yang
menguntungkan.32
Di sini penulis akan menguraikan dinamika proses sosial dari
masyarakat atau umat Islam yang beraliran Ahlu al-Sunnah wa al-
Jamaah.
31
Ibid. 32
Piotr Sztompka, Sosiologi…, 12
C. LANDASAN TEORI
Landasan teori yang digunakan dalam penulisa ini adalah teori Max
Weber. Berangkat dari fenomena empiris, Weber mengamati adanya
hubungan terus menerus yang mencolok: di periode awal kapitalisme, agen
penting (pimpinan perusahaan, tenaga teknis dan komersial terlatih, tenaga
kerja terampil) cenderung di dominasi oleh orang Protestan. Dalam hal ini
Weber menarik kesimpulan bahwa factor yang menentukan peran khusus
orang Protestan dalam menggerakkan kapitalisme adalah:
Karakter intrinsik permanen, keyakinan agama mereka, dan tidak hanya
dalam situasi politik historis sementara saja.33
Keterkaitan dengan agama Katolik, sebagaimana dikutip oleh Piotr
Sztompka, Weber menjelaskan:
Orang Katolik lebih tenang, kurang serakah, dan berpenghasilan lebih.
Mereka enggan menjalani hidup bergairah yang penuh resiko, walaupun
kehidupan semacam ini menimbulkan peluang untuk mendapatkan
kehormatan dan kekayaan.34
Singkatnya, menurut Weber, ada korelasi signifikan antara nilai ajaran
agama yang diyakini dengan sikap perilaku pemeluknya.
D. ANALISIS
a. Pemikiran Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah dan Pengaruhnya
Terhadap Kehidupan Sosial Umat Islam
Sejak faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah diformulasikan sebagai
manhaj dalam teologi Islam oleh al-Asy‟ari, dalam waktu cepat memiliki
pengikut yang besar, bahkan dalam perjalanan singkat berikutnya aliran
ini memiliki penganut terbesar hingga saat ini. Untuk saat ini, hanya
aliran Syiah sajalah aliran lain yang secara real formal masih ada.
33
Ibid., 276 34
Ibid,. 278
Dari berbagai aspek kehidupan nyata (sosial, politik, ekonomi,
pendidikan, budaya, keadilan, keamanan, kesejahteraan, dan sebagainya)
masyarakat, juga bangsa penganut faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah,
secara mayoritas tampak memiliki keadaan yang hampir sama.
Masyarakatnya pasif, gairah kehidupan lemah, kesejahteraan rendah,
korupsi merajalela, miskin ilmu pengetahuan, dekadensi juga besar
meskipun meski terselubung seperti di wilayah negara-negara Islam
Timur Tengah, menjadi konsumen pasif dari negara maju, pendidikan
yang kurang bermutu, tidak mampu mengelola alam, kurang memiliki
kesadaran kesehatan, sikap toleransi rendah, sensitifitas negatif yang
cukup tinggi, pemimpinnya para tiran, adalah realitas yang dimiliki
hampir oleh semua masyarakat Islam yang berfaham ahlu al-Sunnah wa
al-jamaah. Adanya kesamaan-kesamaan itu, menurut penulis pasti ada
nilai yang yang sama atau hampir sama, sehingga memiliki pola
kehidupan yang hampir sama.
Nilai-nilai dasar sebagai prinsip dalam faham Ahlu al-Sunnah wa al-
Jamaah itu antara lain, pertama, keyakinan bahwa Allah memiliki sifat.
Tetapi sifat ini dipahami secara majazi (konotatif) karena sifat Tuhan
pastilah berbeda dengan sifat yang ada pada makhluk-Nya. Dalam dasar
pemahaman ini hamper tidak ada dampak social, perbedaan sifat antara
makhluk dan Khalik sudah menjadi kemafhuman umum para penganut
faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah.
Kedua, faham tentang kebebasan dan kehendak manusia. Dalam hal
ini al-Asy‟ari mengatakan: manusia mempunyai kemampuan berbuat atu
tidak berbuat, karena manusia sendiri dapat merasakan pada dirinya
perbedaan antara gerak reflek yang dikarenakan terkejut setelah
mendengar suara yang cukup mengejutkan dengan gerak yang memang
lahir dari keinginannya sendiri. Perbedaan kedua gerak ini diketahuinya,
karena gerak yang lahir dari keinginannya bersumber dari kemampuan
yang ada pada dirinya dan kemampuan yang seperti itu tentunya lahir
dari orang yang memiliki kemampuan. Berdasar arumentasi di atas
katanya (al-Asy‟ari): perbuatan (kasab) adalah suatu kemampuan yang
berasal dari kekuatan manusia yang diciptakan Allah pada manusia.35
Jadi, setiap perbuatan manusia terjadi dengan kehendak dan “ridlo”
Tuhan, baik perbuatan itu baik maupun buruk.36
Dari uraian di atas pemahamannya adalah, kehendak manusia berada
di antara kebebasan dan keterikatan. Dampak social yang muncul dari
pemahaman ini adalah optimalisasi kekuatan kreatifitas serta kekuatan
sumber daya manusia bukanlah murni cita-cita serta upaya maksimal dari
manusia itu sendiri. Keyakinan akan adanya pembatasan sebuah upaya
telah menanamkan kepercayaan diri yang mengambang. Ketika di luar
faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah kekuatan manusia dioptimalkan
untuk membangun budaya dan peradaban, dengan keyakinan realitas
hidup tergantung pada niat dan perilaku manusia, faham al-Asy‟ari ini
justru mengingkari kekuatan murni manusia. Dampaknya, hampir tidak
ada umat Islam penganut faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah yang
memiliki prestasi besar di bidang keduniaan. Sikap ini membuat umat
Islam secara keseluruhan menjadi umat yang inferior dan terbelakang.
Bahkan hampir tidak memiliki andil yang signifikan untuk membantu
problem-problem kehidupan. Lebih dari itu, ketika menghadapi kejahatan
baik yang disenagaja maupun tidak, selalu disandarkan pada pemahaman
bahwa itu hasil dari perbuatan Tuhan, sehingga penegakkan keadilan dan
penentangan terhadap kejahatan menjadi asangat lemah.
Ketiga, tentang akal dan wahyu. Ketika akal berhasil menciptakan
formulasi ilmu, yang salah satunya berhasil melahirkan teknologi yang
memiliki efek sosial secara total dan universal, kelompok ahlu al-Sunnah
wa al-Jamaah masih memperdebatkan bolehkah menafsirkan al-Qur‟an
dengan ilmu pengetahuan, haramkah sekulerisme, liberalisme dan
35
Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Surabaya: Bina Ilmu, tt), Buku I, 80 36
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2000), 128
kapitalisme, bagaimana mencari titik temu antara Islam dan ilmu
pengetahuan (sains). Menurut penulis, pertanyaan-pertanyaan di atas
adalah pertanyaan yang lucu dan memalukan. Lebih-lebih bila diukur
dari substansi pertanyaannya, karena pertanyaan itu secara umum justru
sudah dijalani tetapi tanpa disadari. Bahwa akal memiliki kemampuan
dan wahyu harus menjadi pijakan eksplorasi kreatifitas akal, sudah
menjadi kesepakatan umat Islam secara umum. Namun Ketika hubungan
akal dan wahyu dipahami dari sudut faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah
bahwa akal harus tunduk kepada wahyu tanpa penafsiran yang luas dan
terbuka (penafsiran yang luas dan terbuka inipun dipahami sebagai
penyimpangan keagamaan), maka pesan-pesan wahyu hanya menjadi
sebuah puisi mati. Dampak sosialnya adalah sikap dangkal memahami
agama, serta wawasan sempit melingkupi aktifitas keagamaan.
Pluralisme yang masih menjadi masalah, perbenturan antar faham dalam
Islam yang tidak pernah reda, adalah dampak dari pemaknaan korelasi
antara wahyu dan akal yang memerlukan penafsiran ulang. Menurut
penulis, wahyu bukanlah membingkai kebebasan akal, tetapi memberi
petunjuk dan bimbingan terhadap kebebasan akal, sebuah anugerah
terbesar yang hanya diberikan kepada manusia. Meminjam istilah Fazlur
Rahman, wahyu (al-Qur‟an) adalah Islam normatif, artinya ajaran-
ajarannya yang hidup yang berbentuk nilai-nilai moral dan prinsip-
prinsip dasar, sedang penafsiran terhadap wahyu adalah Islam sejarah.
Islam sejarah mengandung maksud penafsiran yang dilakukan terhadap
ajaran Islam dalam bentuknya yang eragam (dan berkembang, pen),37
sehingga wahyu itu hidup dan selalu berkomunikasi dengan jamannya.
Keempat, kriteria baik dan buruk. Dalam hal ini al-Asy‟ari
mengatakan:
37
Abd A‟la, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2009), 16
semua kewajiban agama ditetapkan melalui wahyu bukan melalui akal.
Akal manusia tidak dapat menetapkan mana yang baik dan mana yang
buruk.38
Dalam batas-batas tertentu akal memang memiliki keterbatasan,
termasuk dalam mengukur baik dan buruk. Tetapi jika baik dan buruk
hanya dapat ditentukan oleh wahyu semata, ada banyak hal kriteria baik
dan buruk tidak dijelaskan dalam wahyu, tetapi hal itu terjadi dalam
kehidupan. Dan di sini sebenarnya peran akal bisa berfungsi secara
mandiri (meski tentu saja harus berpijak pada landasan normatif wahyu)
dengan mengukur dan mempertimbangkan manfaat dan keburukannya.
Dampak sosial yang terjadi dari pemahaman ini antara lain, ada
banyak penetapan norma agama yang bersifat mengambang. Korupsi bisa
dianggap imbalan jasa, musik dianggap haram tanpa analisa, penetapan
hukum bunga bank yang tidak konsisten (konon masyarakat Timur
Tengah lebih suka menabung di bank Eropa tanpa mau mengambil
bunga), dan sebagainya. Anehnya, perilaku yang sebenarnya tidak
dibenarkan menurut wahyu malah menjadi kebiasaan, seperti kesukaan
menggali informasi gossip dari media, menonton pertandingan tinju, sifat
konsumtif tinggi, menjual barang palsu, menjual makanan dengan zat
pengawet yang membahayakan (menjual makanan dengan bahan
berbahaya lebih banyak dilakukan oleh pedagang Islam, yang mestinya
hukumnya sama dengan membunuh secara terencana dalam tenggang
waktu yang tidak seketika).
Dari uraian masalah di atas mestinya akal bisa dikerahkan secepat
mungkin untuk mengukur baik dan buruknya. Kemudian hukum dan
normanya dibentuk berdasar analisa pemikiran, karena akal, dalam hal-
hal tertentu ini, mampu untuk menetapkan ukuran tentang baik dan
buruk.
38
Asy-Syahrastani, Al-Milal…, jilid 1, 85
Kelima. Keadilan Tuhan. Tentang keadilan Tuhan menurutal-Asy‟ari,
semua kewajiban yang dibebankan agama kepada manusia, bukan
manfaat kewajiban itu kembali kepada Allah. Dengan demikian juga
semua yang merusak tidak mengurangi kebesaran Allah, karena Allah
maha kuasa, untuk memberikan pahala dan menimpakan dosa dan Allah
kuasa memberikan kelebihan kepada seseorang karena kemurahan-Nya.
Pahala, nikmat dan belas kasihan, semuanya ini merupakan karunia, azab
dan siksa semuanya keadilan.39
Dalam pandangan ini, Allah Maha Adil, dan keadilanNya tergantung
atas kemauan Allah sendiri. Jika orang baik disiksa di neraka dan orang
jahat dimasukkan ke dalam surga bukanlah bentuk ketidak adilan Tuhan.
Karena Tuhan atas kemaha-kuasaan-Nya tidak terpaksa oleh apapun
juga.
Dampak sosial dari pemahaman di atas adalah betapa orang
menggampangkan dosa. Bahkan dosa sosialpun seakan-akan mudah saja
lenyap dengan ritual mahdzah yang dilakukan secara istiqomah. Contoh
nyata yang terjadi adalah uang korupsi digunakan membangun tempat
ibadah, atau bahkan biaya haji, perzinaan tetap dilakukan namun ibadah
mahdzah tetap ditekuni. Atas nama keadilan (dalam arti kebebasan
kehendak Allah) kejahatan yang diperbuat memiliki peluang besar untuk
diampuni. Efek dari ini semua adalah tetap harmonisnya kebersamaan
antara kejahatan dan kebaikan.
Pengembangan dari faham ini antara lain pada sisi usaha manusia.
Bisa saja orang pekerja keras tetapi terus miskin dan pemalas menjadi
kaya. Karena Allah menghendaki demikian.
Keenam, kedudukan orang mukmin yang mengerjakan dosa besar.
Orang mukmin yang melakukan dosa besar, menurut al-Asy‟ari dianggap
39
Asy-Syahrastani, Al-Mila..., 86
tidak keluar dari Islam. Kemudian, orang yang mengerjakan dosa besar
yang meninggal tanpa bertobat, keadaan dirinya terserah kepada Allah.
Apakah ia diampuni karena rahmat-Nya atau memperoleh syafaat nabi-
Nya.40
Kalau ia berbuat aku tidak mengatakan bahwa tobatnya wajib
diterima Allah sesuai dengan hukum akal karena tidak ada yang wajib
bagi Allah. Namun menurut syara‟ bahwa tobatnya akan diterima dan
demikian juga orang-orang yang sangat menderita dikabulkan. Allah
adalah raja segala raja yang menguasai seluruh makhluk-Nya dan berbuat
sekehendak-Nya, meletakkan apa yang diinginkan-Nya.41
Uraian ini hampir sama dengan uraian di atas. Yaitu membuat orang
merasa mudah terhapus dosanya. Sehingga kejahatan yang dilakukan
tanpa meninggalkan rasa dosa dan rasa bersalah.
Dari semua uraian di atas, tampaknya prinsip-prinsip ahlu al-Sunnah
wa al-Jamaah belum banyak memberikan kontribusi dalam perubahan
sosial yang mengarah ke kebaikan kehidupan. Namun demikian yang
perlu dipertanyakan adalah prinsip-prinsip itu yang tidak membumi atau
pemahaman umat penganutnya yang memerlukan pemahaman dan
penafsiran baru untuk konteks kekinian.
b. Nilai Positif dari Ajaran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah
Menurut penulis sebenarnya faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah
menawarkan solusi keagamaan dan problem kehidupan yang sangat
efektif dan proposional secara faham keagamaan (Islam).
(1) Tentang Ketuhanan
Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah mengajarkan bahwa kita harus
memiliki kesadaran yang mendasar tentang eksisitensi Tuhan yang
juga hubungannya dengan manusia. Dari sini dapat kita jadikan
40
Asy-Syahrastani, al-Milal…, 85 41
Ibid.
pedoman dalam menjalani hidup agar berorientasi pada tujuan
yang sesuai dengan tuntunan Allah.
(2) Tentang kebebasan dan kehendak manusia. Ajaran al-Asy‟ari ini
mengajak untuk kreatif, optimal dalam berusaha tetapi jauh dari
sifat putus asa
(3) Tentang hubungan akal dan wahyu. Ajaran yang disampaikan
adalah agar kemampuan akal selalu berlindung di bawah petunjuk
Tuhan
(4) Tentang baik dan buruk. Ahlu al-sunnah wa al-Jamaah
membangun kesadaran akan keterbatasan akal dalam menilai baik
dan buruk (bukan berdasar prasangka dan perkeriaan dan
keinginan).
(5) Tentang keadilan Tuhan. Ajaran ini membangun kesadaran agar
manusia tidak bangga dengan kebaikannya. Realitas yang baik
belum tentu bersumber dari nilai (niat) yang benar. Kalau
perbuatan baik saja belum tentu diterima oleh Allah, Apalagi
perbuatan yang tidak baik.
(6) Tentang pelaku dosa besar. Di sini kita dianjurkan agar selalu
berharap pada kemurahan Allah, karena atas kebebasan kehendak
Allah terbuka untuk kita melakukan taubat dan berusaha mendekat
kepada-Nya.
E. KESIMPULAN
Kondisi umat Islam penganut faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dari
segi sosial, politik, ekonomi, humaniora, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan bahkan moralitas secara umum masih cukup memprihatinkan.
Tampaknya memang ada katerkaitan antara prinsip-prinsip dasar dalam
faham ini dengan sikap hidup penganutnya. Untuk itu diperlukan formulasi
ulang atau mungkin reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran dari faham Abu al-
Hasan al-Asy‟ari ini, agar nilai-nilai substansial yang dikandungnya memberi
motivasi yang kuat untuk melakukan perubahan social.
F. CATATAN AKHIR
Saat mengawali penulisan ini, penulis berniat memasukkan pemikiran
al-Maturridi kedalam pembahasan ini, penulis juga ingin melengkapi data-
data statistic kondisi social ekonomi dan politik negara-negara yang
penduduknya penganut faham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah secara
mayoritas, tanpa terasa, hal tersebut di atas belum tersusun, tiba-tiba batas
waktu penyelesaian tugas ini harus berakhir. Jadi, kemampuan yang penulis
miliki hanyalah semampu ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin, I’tiqad Ahlussunah wal Jamaah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah
Baru, 2008
Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2009
A‟la, Abd, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, Jakarta: Dian Rakyat-
Paramadina, 2009
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, Al-Milal wa al-Nihal, Terjemahan,
Surabaya: Bina Ilmu, tanpa tahun
Haidar, M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih
dalam Politik, Jakarta: Gramedia, 1994
Nasir, Sahilun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: Universitas Indonesia (UI)-Pres, 1986
Nasution Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1986
Nicholas Abercrombie, Stepehen Hill, Bryan S. Turner, Kamus Sosiologi,
Terjemahan, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Outhwaite, William (ed), Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, Terjemahan,
Edisi ke 2, Jakarta: Prenada, 2008
Rahman, Fazlur, Islam, Terjemahan, Bandung: Penerbit Pustaka, 2000
Rahman, Fazlur, Etika Pengobatan Islam: Penjelajahan Seorang Neomodernis,
Bandung: Mizan, 1999
Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Edisi ke IV, Jakarta: Rajawali
Pers, 1990
Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Terjemahan, Jakarta: Prenada, 2005