Upload
lamliem
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGAWASAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA
(Studi Kasus Desa Modayag Kecamatan Modayag, Kabupaten Bolaang Mongondow,
Provinsi Sulawesi Utara)
OLEH
FREDIE A. OCHOTAN A. 14202316
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Perubahan Orientasi Pembangunan Desa
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 19 Tahun 2006 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004 – 2009
menyatakan meskipun terdapat kemajuan dalam penegakan hukum dan reformasi
birokrasi, kapasitas kelembagaan baik pada Lembaga Kepolisian, Lembaga
Kejaksaan, Lembaga Peradilan mulai dari struktur organisasi, mekanisme kerja,
koordinasi, antara lembaga penegakan hukum satu dengan yang lainnya serta
dukungan sarana dan prasarana untuk mempercepat pemberantasan korupsi
belum optimal.
Dijelaskan pula bahwa belum tuntasnya pembenahan kelembagaan
penegakan hukum untuk mempercepat pemberantasan korupsi, kendala aparat
penegakan hukum untuk bertindak cepat, tepat, dan akurat dalam melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi terlihat dari kemampuan,
profesionalisme dan kualitas yang masih jauh dari yang diharapkan, selain
itu pula permasalahan yang mengemuka adalah masih lemahnya sistem
pengawasan.
Kondisi demikian mendorong terjadinya praktek-praktek penyalahgunaan
wewenang di berbagai tingkatan kekuasaan lembaga – lembaga pemerintah mulai
dari tingkat terendah ya itu desa sampai pada tingkat yang lebih tinggi. Pada ruang
lingkup birokrasi hal ini juga terjadi dari jajaran pemerintahan terendah sampai
pada tingkat eksekutif pemerintahan. Mekanisme hubungan pusat dan daerah
2
pun cenderung menganut sentralisasi kekuasaan yang dapat menghambat
penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan.
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,
pemerintah sangat dominan dalam mengatur pemerintahan desa, dengan
penyeragaman sistim pemerintahan desa secara nasional (social engineering).
Peran masyarakat dalam menentukan pembangunan desanya dibatasi atau sangat
kurang. Sementara di aras desa, kekuasaan kepala desa juga mendominasi,
peran serta masyarakat tidak diperhatikan. Kepala desa sebagai penanggung
jawab pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan memiliki
rangkapan jabatan yang cukup banyak baik sebagai perencana, pelaksana dan juga
pengawas atau pengendali pembangunan desa. Disamping itu jabatan kepala desa
secara ex-officio menjadi ketua LMD dan Ketua Umum LKMD.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa, menyebutkan bahwa Pemerintahan Desa
adalah Kepala Desa dan Perangkatnya. Badan Permusyawaratan Desa (BPD),
merupakan Parlemen atau Badan Legislatif di tingkat desa yang bersama-sama
kepala desa membuat peraturan desa. Pelaksanaan dan penjabaran Undang -
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut secara Nasional telah diberlakukan,
di desa lokasi penelitian pemberlakuannya secara otomatis pada tahun 2004.
Kedudukan kepala desa sejajar dengan BPD (Badan Perwakilan Desa) dan
keduanya merupakan mitra kerja. Badan Permusyawaratan Desa mempunyai
3
fungsi sebagai pengayom adat- istiadat dan pengemban tugas menerima,
menampung, mengolah dan menyalurkan/menyampaikan aspirasi masyarakat
yang disampaikan, serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan desa. Dari beberapa tugas dan fungsi
(BPD) tersebut, di desa penelitian pelaksanaannya telah dilakukan dengan
diterbitkannya beberapa Surat Keputusan Desa menyangkut pelaksanaan kegiatan
perkawinan, pemanfaatan fasilitas desa seperti lapangan sepak bola, balai desa
bagi kepentingan umum. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5
tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang dikenal dengan
kebijakan otonomi daerah memuat berbagai klausul penting, memperlihatkan
dan memberikan penilaian atas kebijakan masa lalu, khususnya mengenai desa.
Terlaksananya proses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan di desa, berhubungan langsung dengan masyarakat. Pengawasan
masyarakat (social control) mempunyai peranan penting demi terlaksananya
kegiatan dimaksud. Dalam proses pelaksanaannya pengawasan masyarakat
(social control) dapat berlangsung pada tataran dan ruang lingkup tertentu sesuai
dengan obyek dan subyek tertentu pula. Kasus–kasus yang nampak dari proses
pengawasan masyarakat (social control) yang dilakukan warga desa pada desa
penelitian kebanyakan menyangkut permasalahan-permasalahan yang bersifat
pelayanan umum (public service) antara lain penyelesaian ganti rugi tanah warga
oleh perusahan pertambangan emas, penyaluran beras bagi warga kurang mampu
4
(raskin), diduga warga masyarakat kepala desa melakukan penyimpangan dalam
pelaksanaannya.
Sejalan dengan tumbuhnya optimisme yang menyertai usaha-usaha
tersebut, berbagai hasil studi menemukan bahwa masih ada masalah mendasar
yang dapat mempengaruhi kelanjutan dan keberhasilan upaya pemerataan hasil-
hasil pembangunan di waktu-waktu mendatang. Masalah dimaksud berkenaan
dengan praktek kehidupan pada institusi- institusi formal desa yang gejalanya
cenderung masih memarginalkan dan mengesampingkan partisipasi warga
masyarakat desa.
Kenyataan ini berlangsung di setiap bidang kehidupan masyarakat, yaitu
kurang terakomodasikannya aspirasi mereka dalam dinamika yang bekerja
dalam kelembagaan yang bersangkutan, baik pada tahap gagasan, penetapan
memutuskan maupun pelaksanaannya dan evaluasi. Kondisi dinamika seperti ini
dapat diduga merupakan faktor terpenting yang mendorong dan memberikan
ruang pada kinerja institusi formal desa yang terpolakan mengikuti model pada
tingkat di atasnya yang terbangun, dan membentuk sebuah korporasi.
Kuatnya pengaruh kelompok (korporasi) dalam memperlakukan institusi-
institusi formal di desa menjadikannya sebagai unit perwakilan kepentingan
pemerintah tertentu di atasnya sesuai dengan kepentingannya. Lapera (2001)
menyatakan di mana pada masa Orde Baru penempatan pemerintahan desa
sebagai badan kekuasaan di tingkat lokal, yang berlangsung di bawah Camat dan
kekuasaan yang merupakan sub ordinat dari kekuasaan kabupaten, pada dasarnya
adalah menempatkan pemerintah desa tidak lebih sebagai perpanjangan tangan
dari negara.
5
Pengawasan masyarakat (social control) penyampaiannya dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung melalui media cetak dan media elektronik dan
media lainnya.Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa pengawasan masya rakat
(social control) terhadap pemerintah desa dalam hal ini kepala desa dan
perangkatnya di bidang pembangunan meliputi :
1. Adanya pengaduan masyarakat di bidang pembangunan, di antaranya
penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Desa.
2. Kasus-kasus yang dilaporkan di antaranya penyimpangan atas pelaksanaan
pembangunan.
3. Kurangnya disiplin aparatur Desa dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya.
4. Masalah pelayanan aparatur Desa yang kurang baik terhadap pelaksanaan
pembangunan.
Kasus-kasus dan permasalahan di maksud disampaikan dengan berbagai
cara seperti pengaduan langsung kepada perangkat atau pimpinan di tingkat
atasnya (Camat, Bupati, DPRD dan Kejaksaan Negeri serta Pengadilan Negeri),
melalui pemanfaatan media masa baik cetak maupun elektronik dan bahkan
tidak jarang dilakukan dengan demontrasi massa.
1.1.2. Pengawasan Masyarakat
Pengawasan adalah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan atau
diadakan untuk penyempurnaan dan penilaian sehingga dapat mencapai tujuan
seperti yang direncanakan. Sangat penting untuk mengetahui sampai di mana
pekerjaan sudah dilaksanakan, mengevaluasi dan menentukan tindakan korektif
6
atau tindak lanjut, sehingga pengembangan pekerjaan dapat ditingkatkan
pelaksanaannya. Dengan demikian pengawasan merupakan segala usaha, kegiatan
atau tindakan untuk mengetahui dan menilai pelaksanaan tugas atau kegiatan yang
dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Adanya suatu proses perbandingan antara rencana dan pelaksanaan, maka
pengawasan dapat disebut sebagai bagian dari manajemen. Hal mana disebut
demikian karena dalam proses manajemen yang lengkap dan sempurna
dilakukannya fungsi- fungsi manajemen, antara lain menurut. Terry sebagaimana
dikutip Panglaikim dan Kansil (1960) dalam Supriatna (1997) yaitu meliputi
empat fungsi manajemen masing-masing Planning, Organizing, Actuiting, and
Controlling.
Nawawi (2003) menyatakan pengawasan masyarakat (social control)
disingkat dalam bahasa Indonesia (Wasmas) adalah setiap pengaduan, kritik,
saran, pertanyaan dan lain- lain yang disampaikan anggota masyarakat mengenai
pelaksanaan pekerjaan oleh unit organisasi kerja non profit di bidang
pemerintahan dalam melaksanakan tugas pokoknya memberikan pelayanan umum
(public service) dan pembangunan untuk kepentingan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Zainum (2004) menyatakan masyarakat pun melakukan pengawasan
terhadap manajemen sumber daya manusia berupa pengawasan masyarakat
(Wasmas) yang dapat dilakukan melalui media massa, termasuk surat
pembaca, melalui kotak pos 5000, melalui surat ke instansi masing-masing,
melalui petisi atau resolusi melalui demonstrasi, melalui lembaga perwakilan,
melalui delegasi dan melalui pengaduan ke Pengadilan Umum dan/atau
7
Pengadilan Tata Usaha Negara yang secara khusus menampung pengaduan
masyarakat bila mana terdapat tindakan melanggar hukum dari pejabat maupun
pegawai pemerintah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001
tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, pasal 9
ayat (1) menyatakan masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten / Kota; pasal (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara perorangan, kelompok maupun organisasi masyarakat.
Secara nyata dapat dikatakan bahwa pengawasan masyarakat (social
control) dapat diartikan sebagai pengawasan yang dilakukan oleh warga
masyarakat baik perorangan maupun kelompok, baik secara lisan atau tertulis
yang ditujukan kepada organ pemerintah yang berkompoten dalam melaksanakan
pelayanan umum (public service) dalam bentuk pikiran, ide/gagasan, maupun
keluhan pengaduan yang bersifat positif atau membangun secara langsung
maupun melalui medium/sarana lain (media massa).
Dalam pelaksanaan pengawasan masyarakat (social control) tidak terlepas
dari norma umum pengawasan sehingga tujuannya tidak berorientasi
subyektivitas akan tetapi berorientasi obyektivitas. Pengawasan masyarakat
(social control) yang dilakukan masyarakat di desa penelitian, ditujukan kepada
pemerintah desa (Kepala Desa dan perangkatnya) sebagai suatu reaksi yang
timbul akibat kinerja pemerintah desa yang tidak maksimal dalam pelaksanaan
kegiatan pembangunan secara umum. Dari beberapa permasalahan yang terjadi,
8
bermula dari kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan pemerintah desa yang tidak
melibatkan atau mengikutsertakan warga dalam pengambilan keputusan.
Adapun beberapa kasus yang menonjol di desa penelitian antara lain
proses ganti rugi tanah warga oleh perusahan pertambangan emas, tindakan
kepala desa mengganti beberapa nama anggota masyarakat yang berhak
menerima ganti rugi dengan nama orang lain. Berkaitan dengan kasus yang sama
pula kepala desa melakukan pemotongan uang biaya ganti rugi tanah warga
dengan alasan untuk partisipasi pembangunan sarana ibadah (Masjid dan Gereja).
Atas tindakan ini masyarakat melakukan protes dalam bentuk demonstrasi ke
kantor desa dan kecamatan akan tetapi tidak mendapatkan tanggapan positif dari
pihak Kepala Desa Modayag dan Camat Modayag, maka oleh masyarakat
melaporkan kepada instansi yang berwenang lainnya yaitu Bupati Bolaang
Mongondow, DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow, Polisi Resort Bolaang
Mongondow, dan Kepolisian Daerah Sulawesi Utara untuk menuntut pertanggung
jawaban keuangan hasil pemotongan biaya ganti rugi tanah tersebut. Akhirnya
kejadian-kejadian tersebut muncul terekspose pada beberapa media masa lokal,
Manado Pos.
Mengacu pada permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka
kejadian di atas menunjukkan bahwa pengawasan masyarakat yang dilakukan
oleh warga mengandung arti sebagai suatu bentuk peran serta masyarakat dalam
pembangunan desa berbentuk non fisik. Perwujudan pengawasan masyarakat
(social control) dimaksud untuk merubah sistim perencanaan pembangunan gaya
Orde Baru yang (top down) menuju pada bentuk perencanaan pembangunan yang
partisipatif (bottom up).
9
1.1.3. Pembangunan Desa
Rahardjo (2002) menyatakan, bahwa pembangunan desa memiliki arti
pembangunan nasional yang ditujukan pada usaha meningkatkan taraf hidup
masyarakat desa, menumbuhkan partisipasi aktif setiap anggota masyarakat
desa dan menciptakan hubungan yang selaras antara masyarakat dengan
lingkungannya. Pembangunan desa berarti membangun swadaya masyarakat dan
rasa percaya diri sendiri. Departemen Sosial Republik Indonesia (1998)
menyimpulkan bahwa pembangunan desa adalah keseluruhan kegiatan
pembangunan yang berlangsung di desa dan meliputi seluruh aspek kehidupan
masyarakat dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya
gotong royong.
Beratha (1982) dalam Supriatna (1997) menyatakan pembangunan
masyarakat adalah suatu proses yang meliputi seluruh aspek kehidupan
masyarakat, tetapi pada permulaan terutama mengembangkan ekonomi.
Keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara langsung pada setiap tahapan
pembangunan di desa, pelaksanaannya dimulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan. Tahapan-tahapan tersebut merupakan siklus yang
saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan menggambarkan suatu
sinergis dinamika yang berkelanjutan. Kesempurnaan siklus ini akan menentukan
hasil seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat.
Batten sebaga imana dikutip Supriatna (1997) menjelaskan bahwa
pembangunan masyarakat desa adalah aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat,
dimana mereka mendiskusikan kebutuhan dan masalahnya secara bersama, serta
10
merencanakan masalah yang mereka hadapi secara bersama pula. Umalele
sebagaimana dikutip Supriatna (1997) pembangunan masyarakat desa sebagai
upaya perbaikan standar kehidupan bagi sebagian besar penduduk yang
berpenghasilan rendah yang tinggal di daerah pedesaan seraya menciptakan
pembangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan masyarakat menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
sebagaimana dikutip Supriatna (1997) ialah bahwa pembangunan masyarakat
merupakan suatu proses, baik usaha masyarakat sendiri yang berdasarkan
prakarsa, inisiatif, kreativitas, dan kemandiriannya bersama dengan pemerintah
memperbaiki kondisi sosial, budaya, dan ekonomi komunitas yang bersangkutan
menjadi integritas bangsa dalam memberikan dukungan bagi kemajuan bangsa
dan negara.
Pembangunan desa merupakan bagian dari pembangunan masyarakat yang
secara khusus dilakukan di desa. Pembangunan desa adalah proses kegiatan
pembangunan yang berlangsung di desa/kelurahan dan merupakan bagian yang
utuh dan tak terpisahkan dari pembangunan nasional yang mencakup seluruh
aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat dimana dilaksanakan secara
terpadu, terintegrasi dengan mengembangkan potensi sumberdaya alam,
manusia, dan kelembagaannya. Keikutsertaan masyarakat secara langsung pada
setiap tahapan pembangunan di desa mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan serta tindak lanjutnya adalah merupakan kunci keberhasilan
pembangunan itu sendiri.
11
Atas berbagai kebutuhan masyarakat, perencanaan, pelaksanaan
pembangunan di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow secara umum dan
lebih khusus yakni di desa Modayag kegiatan pembangunan dimaksud dilakukan
dalam bentuk fisik dan non-fisik. Kegiatan fisik seperti pelaksanaan
pembangunan sarana transportasi jalan desa, pembangunan sarana gedung
peribadatan (Masjid, Gereja), sarana irigasi desa, pembangunan sarana
pendidikan, sedangkan bentuk non fisik yakni penyusunan keputusan desa,
pelayanan administrasi umum lainnya yang didanai oleh swadaya murni
masyarakat melalui penerimaan anggaran pendapatan dan belanja desa dan
bantuan dari pemerintah atas desa serta bantuan dari lembaga lainnya.
Pemerintah desa dalam merancang dan menyusun program kegiatan
pembangunan serta pelaksanaannya bekerja sama dengan Badan Perwakilan Desa
(BPD) yang mempunyai fungsi dan tugas pokok menggerakkan, menumbuhkan
dan meningkatkan partisipasi anggota masyarakatnya untuk bersama-sama turut
serta melaksanakan pembangunan desa secara terpadu baik yang berasal dari
kegiatan pemerintah atas desa maupun kegiatan yang didanai dari swadaya murni
masyarakat. Hasil musyawarah tentang rencana pembangunan disusun sesuai
dengan skala prioritas dan kemampuan masyarakat desa dan selanjutnya
dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Desa.
Adapun untuk kegiatan pembangunan lainnya yang tidak dapat dibiayai
atau didanai oleh masyarakat melalui swadayanya, hal ini diajukan ke tingkat
pemerintah lebih tinggi melalui forum diskusi Unit Daerah Kerja Pembangunan
(UDKP) dan Temu karya LKMD tingkat kecamatan dan kelanjutan proses
12
tersebut diajukan melalui Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang)
Kabupaten dan Provinsi.
Dalam penyusunan rencana pembangunan diperlukan adanya kesepakatan
dan komitmen bersama tentang apa yang perlu dan akan dibangun atau diperbaiki
atau ditingkatkan. Konsep rencana pembangunan tersebut tidak lain memuat hal-
hal yang dapat menjawab berbagai kebutuhan masyarakat antara lain :
1. Tujuan yang diinginkan masyarakat
2. Kegiatan yang perlu dilaksanakan untuk mencapai tujuan.
3. Waktu bilamana kegiatan dilaksanakan.
4. Pelaksana dan penanggung jawabnya.
5. Dari mana sumber dana dan jumlah dana yang diperlukan.
Adapun hasil yang diperoleh dalam pelaksanaan musyawarah
pembangunan desa adalah dalam bentuk konsep; (a) rencana pembangunan yang
dibiayai dengan swadaya murni masyarakat, (b) rencana pembangunan yang
dibiayai dengan bantuan pemerintah atas, (c) gabungan dari kedua rencana
pembangunan yang dibiayai dari swadaya dan program pemerintah atas,
(d) rencana pembangunan yang diusulkan kepada pemerintah atas.
Pelaksanaan musyawarah pembangunan desa dilakukan setiap tahun, yang
berperan di dalamnya adalah pengurus LKMD dan kepala desa. Pejabat
pemerintah atas yang diundang adalah Camat, Kepala Seksi PMD,
Dinas/instansi/UPT di tingkat Kecamatan, pengurus BPD, tokoh masyarakat,
kepala seksi pembangunan desa, RT/RW. Dalam musyawarah tersebut dihasilkan
konsep Rencana Pembangunan Tahunan Desa ( RPTD) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD).
13
1.1.4. Dampak Pembangunan Desa
Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu
aktivitas, Sumarwoto sebagaimana dikutip Amirudin (1997). Sedangkan menurut
Suratmo dalam Amirudin (1997), dampak atau impak diartikan sebagai adanya
suatu benturan antara dua kepentingan yakni kepentingan pembangunan proyek
dengan kepentingan usaha melestarikan lingkungan sosial.
Dengan kata lain dampak adalah setiap fakta perubahan yang terjadi
dalam lingkungan akibat adanya aktivitas manusia. (Chadwick, Bahr, dan
Albrecht, 1991) dalam Amirudin (1997) dampak juga dapat didefinisikan
sebagai perubahan dalam kondisi ekonomi, sosial dan kependudukan yang sudah
mapan atau sedang berkembang, yang disebabkan oleh pengenalan suatu proyek
baru. Dampak dari suatu aktivitas (pembangunan) dapat bersifat biofisik, sosial-
ekonomi, dan budaya. Dampak primer biofisik – sosial – ekonomi dan budaya
secara langsung dapat mempengaruhi sasaran kesejahteraan yang ingin dicapai.
Akan tetapi dapat juga terjadi dampak primer itu menimbulkan dampak sekunder,
tersier, dan seterusnya (Sumarwoto sebagaimana dikutip Amirudin 1997).
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 yang dimaksud
dengan dampak lingkungan adalah perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh
suatu kegiatan. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993
menyatakan perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh
suatu usaha atau kegiatan.
14
Secara skematis terjadinya dampak dapat digambarkan seperti
pada Gambar 2.
Gambar 2. Terjadinya Dampak Akibat Suatu Kegiatan.
Sumarwoto dalam Amirudin (1997).
Pada kasus-kasus yang terjadi di desa penelitian, dampak timbul oleh
suatu kegiatan pembangunan, yakni pada komponen kegiatan pembangunan
sarana peribadatan, pembangunan jalan lorong, pembangunan satu unit menara /
tower transmisi gelombang serat optik, proses ganti rugi tanah perkebunan warga
untuk kepentingan investasi pembangunan industri pertambangan.
1.2. Perumusan Masalah
Berbagai kekurangan-kekurangan yang merupakan kelemahan pelaksanaan
pemerintahan desa pada masa yang lalu pada dasarnya disebabkan oleh (1)
kontrol masyarakat yang lemah terhadap pemerintah desa (Kepala desa dan
perangkatnya), (2) adanya dominasi Kepala Desa pada jabatan-jabatan strategis
PEMBANGUNAN
DAMPAK SOSIAL -
EKONOMI- DAN BUDAYA
DAMPAK BIOFISIK
TUJUAN : KENAIKAN
KESEJAHTERAAN
DAMPAK BIOFISIK
DAMPAK SOSIAL -
EKONOMI- BUDAYA
15
pemerintahan desa sehingga terjadinya perangkapan jabatan, secara ex-offisio
sebagai Ketua Umum LKMD dan Ketua LMD, (3) dimana kondisi ini di satu
pihak kepala desa sebagai pelaksana juga sebagai lembaga perencana dan
pengawas (4) desa dijadikan sasaran program pemerintah tingkat atas dimana
program yang dilaksanakan tidak menyentuh kebutuhan strategis masyarakat
desa, (5) masyarakat tidak diberikan akses dan ruang yang cukup untuk
menyalurkan aspirasinya (bergainning position) dalam pelaksanaan kegiatan
pembangunan.
Bergulirnya reformasi di berbagai bidang kehidupan bernegara,
bermasyarakat memberikan ruang dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk
mengakses berbagai kepentingannya. Dengan adanya reformasi terjadi perubahan
yang diharapkan mampu dan dapat mengakomodasikan berbagai tuntutan akan
kepentingan masyarakat desa.
Kiranya pengawasan masyarakat (social control) dalam pelaksanaannya
dapat mencerminkan wujud hubungan dua arah antara pemerintah sebagai aktor
pelaku pengendali masyarakat (social engineering) dan masyarakat sebagai aktor
pelaku pengawasan masyarakat (social control), dan diharapkan masyarakat dapat
berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pembangunan mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Dengan keinginannya masyarakat
kiranya memberikan respon terhadap pelaksanaan pembangunan, sedangkan
pemerintah desa (Kepala Desa dan perangkat) diharapkan dengan kearifannya
dapat menangkap, memahami keinginan masyarakatnya.
16
Berkaitan dengan beberapa hal tersebut, peneliti mencoba merumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah mekanisme pengawasan masyarakat (social control) dalam
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
2. Bagaimanakah tanggapan dan respons pemerintah desa (kepala desa dan
perangkatnya) terhadap pengawasan yang dilakukan masyarakat.
3. Bagaimanakah penekanan pengawasan masyarakat dapat memperbarui
pelaksanaan kegiatan pembangunan desa.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah bagaimana mendapatkan gambaran
dan mengetahui tentang pengawasan masyarakat terhadap pelaksanaan
pembangunan desa di desa Modayag.
Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Menganalisis pemahaman masyarakat tentang pengertian pembangunan desa.
2. Menganalisis keikutsertaan / keterlibatan masyarakat dalam kegiatan
pembangunan.
3. Menganalisis pengawasan masyarakat (social control) dalam pelaksanaan
pembangunan desa.
4. Menganalisis respons pemerintah desa (kepala desa dan perangkat) terhadap
pengawasan masyarakat di bidang pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan.
17
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian tentang pengawasan masyarakat (social control) terhadap
pelaksanaan pembangunan dan pemerintah di desa Modayag diharapkan dapat
memberikan kegunaan sebagai berikut :
1. Untuk memperoleh pemahaman tentang penerapan teori-teori pengawasan
pembangunan pada kehidupan masyarakat desa.
2. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam upaya
penyempurnaan kebijaksanaan operasional pengawasan terhadap pelaksanaan
pembangunan daerah dan pembangunan desa khususnya.
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Metode Kualitatif
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif, menggunakan strategi studi kasus dengan menerapkan
multi metode dalam pengumpulan data berupa wawancara, pengamatan langsung
dan studi dokumen Crewell dan Yin sebagaimana dikutip Agusta, (1998).
Menurut Denzim dan Lincoln dalam Agusta (1998) kata ”kualitatif”
menekankan kepada proses dan makna dengan menganalisis dan memahami
pola dan proses sosial masyarakat, yang diakui tidak dapat di ukur dan diuji
secara tepat (rigorously examined) dalam konteks kuantitas, jumlah, intensitas,
dan frekwensi. Dalam penelitian ini akan diteliti proses pengawasan
masyarakat (social control) dalam pelaksanaan pembangunan desa.
Menurut Yin sebagaimana dikutip Agusta (1998), studi kasus memadai
sebagai pilihan strategi penelitian untuk menjawab ”bagaimana” atau ”mengapa”,
bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-
peristiwa yang akan diteliti, serta fokus penelitian terletak pada fenomena
kontemporer dalam konteks kehidupan nyata. Pertanyaan tersebut menekankan
pada usaha memahami, menganalisis dan menafsirkan gejala dan proses
pengawasan dari golongan masyarakat /warga terhadap elit pemerintah (Kepala
Desa dan perangkatnya) pada suatu komunitas tertentu.
19
2.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Modayag, Kecamatan Modayag
Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara, (Gambar 1, 2 dan 3),
yang dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Desa Modayag adalah ibu kota Kecamatan Modayag, dengan latar belakang
penduduk dari beragam etnis, masing-masing etnis Mongondow, etnis
Minahasa, etnis Jawa, etnis Sangihe dan Talaut, etnis Gorontalo, etnis Batak,
etnis Toraja, dan etnis keturunan Cina. Dari beberapa etnis tersebut etnis
Mongondow merupakan etnis yang paling banyak jumlahnya dan
mendominasi posisi struktur pemerintahan dan kelembagaan di desa.
Hal ini menimbulkan kontravensi dengan etnis lain, seperti pada kasus ganti
rugi tanah warga, dalam daftar nama-nama penerima dana ganti rugi, Kepala
Desa menggantikan atau menukarkan nama warga dari etnis lain dengan etnis
Mongondow. Kontravensi ini terjadi pada pertemuan-pertemuan warga
seperti pada acara syukuran/selamatan, pertemuan rukun keluarga,
pernikahan. Hal serupa terjadi pula pada pendaftaran nama-nama warga
penerima beras Raskin, dimana yang terdaftar dan menerima beras raskin
terbanyak adalah etnis Mongondow atau yang dekat hubungannya dengan
Kepala Desa dan keluarganya.
2. Peneliti bertempat tinggal di desa tersebut. Sepengetahuan peneliti dari ke
tiga kepala desa terakhir (saat ini) pernah dilaporkan oleh masyarakat kepada
pejabat tingkat atasnya yang berwenang (Bupati, DPRD, Camat). Hal ini
menunjukkan berjalannya proses pengawasan masyarakat (social control)
terhadap pemerintah desa dimana warga masih tetap menuntut pertanggung
20
jawaban Kepala Desa atas penggantian nama-nama mereka dengan nama
orang lain pada proses ganti rugi tanah pertambangan emas.
3. Studi lapangan dalam penelitian ini dilakukan selama kurang lebih satu
bulan yaitu terhitung mulai tanggal 1 Agustus sampai dengan tanggal
1 September tahun 2005.
Dalam periode waktu tersebut bentuk-bentuk pengawasan masyarakat
(social control) masih muncul dalam bentuk gugatan hukum dan pertanggung
jawaban berkaitan dengan ganti rugi tanah untuk pertambangan, Raskin, dan
rencana pemilihan kepala desa. Akhir penelitian ini pada bulan September 2005.
(Tabel 1.).
Tabel 1. Jadwal Penelitian.
No Kegiatan Juli Agustus September Lokasi 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penyusunan Proposal Kampus IPB
2 Kolokium Proposal Kampus IPB
3 Perbaikan Proposal Kampus IPB
4 Pengumpulan Data Lapangan Lokasi penelitian
5 Analisis Data Lapangan Lokasi penelitian, Kampus IPB.
6 Penyusunan Draf Laporan Lokasi penelitian/ Kampus IPB
7 Seminar Hasil Penelitian Kampus IPB
8 Perbaikan Draf Laporan Kampus IPB
9 Ujian Kampus IPB
GAMBAR 1. PETA KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW DAN KECAMATAN DI DALAMNYA
PROPINSI GORONTALO
LAUT SULAWESI
Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow.
21
GAMBAR 2. PETA DESA MODAYAG DAN DESA-DESA LAIN DI KECAMATAN MODAYAG
KEC. PASSI
KEC. KOTAMOAGU
KEC. KOTABUNAN
KEC. NUANGAN
PETA DESA MODAYAG
Sumber : Kantor Camat Modayag
22
23
GAMBAR 3 . SKETSA DESA MODAYAG
24
2.3. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan hipotesis, maka metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah kualitatif dengan strategi studi kasus. Tahap pertama dalam pengumpulan
data ini adalah pemilihan responden dan informan. Responden dan informan
dipilih secara sengaja (purposive) menurut hal, peristiwa, struktur masyarakat
dan situasi yang ada kaitannya dengan topik penelitian (Tabel 2.) menunjukkan
dalam penelitian ini, responden yang diambil berjumlah 6 (enam) orang yang
terdiri dari unsur Badan Perwakilan Desa (BPD) elit ekonomi, elit politik dan
unsur pemerintah desa (Kepala Desa dan perangkatnya) warga masyarakat serta
sumber lain yang dapat memberikan informasi sesuai dengan topik penelitian.
(Tabel 3).
Tabel 2. Topik Wawancara TOPIK
SUB TOPIK
SUMBER INFORMASI
METODE
1 2 3 4 1. PEMBANGUNAN DESA
2. DAMPAK PEMBANGUNAN DESA
3. PENGAWASAN MASYARAKAT
4. RESPON PEMERINTAH DESA
1. Mekanisme Perencanaan kegiatan pembangunan. 2. Mekanisme pelaksanaan pembangunan 3. Mekanisme evaluasi 4. Manfaat dan kegunaan Pembangunan.
1. Dampak fisik. 2. Dampak non fisik
1. Maksud dan Tujuan pengawasan. 2. Bentuk–bentuk pengawasan. 3. Sasaran Pengawasan 4. Bila mana pengawasan dilakukan. 5. Kapan pengawasan dilakukan. 1. Tanggapan Pemerintah atas
pengawasan yang dilakukan warga.
2. Perubahan apa yang terjadi /konkrit atas pengawasan masyarakat.
3. Bentuk-bentuk respon apa yang muncul dari pemerintah.
1.Pemerintah Desa, Tokoh
Masyarakat, (BPD)Badan Perwakilan Desa, Masyarakat.
1. Aparat Desa, Badan
Perwakilan Desa (BPD), Masyarakat : - Pro Aparat - Kontra Aparat
2. Masyarakat : - Pro Aparat - Kontra Aparat
1.Aparat Desa, Badan
Perwakilan Desa (BPD).
1.Aparat Desa, Badan
Perwakilan Desa (BPD),
- Wawancara - Pengamatan
- Pengamatan - Wawancara - Pengamatan - Wawancara - Wawancara - Pengamatan
- Wawancara - Pengamatan
25
Tabel 3. Responden Penelitian
Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah tahap pengumpulan data. Data
diperoleh melalui teknik bola salju (Snow Ball), yaitu proses pengumpulan data
secara bertahap dan berlapis, dimana setiap ketambahan data akan
menambah kelengkapan dan kedalaman data yang diperoleh. Data diperoleh
dengan melakukan wawancara mendalam (in-depth interviewing) dengan
pedoman pertanyaan selain dari pada itu pula dilakukan juga pengamatan
(observation).
Data primer diperoleh dari subyek penelitian dan informan yang bekerja
sama dalam menggali informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
topik penelitian. Bila data yang diperoleh sudah sesuai dengan yang diperlukan,
maka dilanjutkan dengan metode triangulasi (metode yang berfungsi untuk
melakukan cross check) yang berkaitan dengan topik penelitian.
Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti kantor Desa,
Kecamatan, kantor Bupati, Badan Pengawas Kabupaten, media massa cetak dan
arsip atau dokumen yang berkaitan dan sesuai dengan topik penelitian (Tabel 3.)
Dari semua data yang diperoleh, dicatat dalam catatan harian peneliti
(Lampiran 2. ), isi catatan harian peneliti memuat seluruh catatan fakta-fakta,
teori/konsep yang diperoleh di lapangan dan catatan metodologi.
LAPISAN MASYA RAKAT JENIS KELAMIN
LAKI-LAKI PEREMPUAN
Pemerintah Desa Aparat Desa 1 BPD 2
Masyarakat Desa Pro Aparat Desa 3 4 Kontra Aparat Desa 5 6
26
Pembangunan Desa - Fisik - Non Fisik
Dampak - Fisik dan - Non Fisik
Respon Aparat - Koreksi Kinerja - Memberikan
Penjelasan
Pengawasan Masyarakat - Nilai dan Norma Adat - Hukum dan Sanksi Adat
- Pengetahuan / kearifan lokal
(indigenous knowledge).
2.4. Analisis Data
Analisis data dengan cara kualitatif melalui telaan data primer dan
sekunder, kemudian disusun dan dikategorikan sesuai dengan masing-masing unit
analisis. Analisis kualitatif ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau
verifikasi data. Reduksi data adalah merupakan kegiatan pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, mengabstraksikan, dan mentransformasikan data
kasar yang terdapat pada catatan-catatan lapangan.
Gambar 4. Pengawasan Masyarakat Dalam Pembangunan Desa
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa pembangunan desa yang
dilakukan oleh pemerintah desa yang berwujud fisik dan non fisik akan
memberikan dampak kepada masyarakat atau warganya. Dampak tersebut dapat
27
berupa dampak positif ataupun dampak negatif. Dari dampak negatif
pembangunan fisik dan non fisik ini, maka secara langsung akan mendorong
warga untuk melakukan pengawasan masyarakat (social control) terhadap
pemerintah. Dengan pengawasan masyarakat (social control) maka akan
merespon pemerintah desa dalam pelaksanaan kinerjanya sebagai lembaga
pemerintah ataupun subyek pribadinya sebagai oknum.
Adanya perubahan kinerja aparat sebagai respon terhadap pengawasan
masyarakat (social control) akan memberikan pengaruh yang positif pada
pelaksanaan pembangunan berikutnya. Proses tersebut merupakan suatu dinamika
yang berlangsung terus menerus dari waktu ke waktu secara siklikal.
GAMBAR. 2. PETA KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW DAN KECAMATAN DI DALAMNYA
PROPINSI GORONTALO
LAUT SULAWESI
Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow.
25
GAMBAR 3. PETA DESA MODAYAG DAN DESA-DESA LAIN DI KECAMATAN MODAYAG
KEC. PASSI
KEC. KOTAMOAGU
KEC. KOTABUNAN
KEC. NUANGAN
PETA DESA MODAYAG
Sumber : Kantor Camat Modayag
27
GAMBAR . 4 . SKETSA DESA MODAYAG
28
BAB III
KONTEKS LOKASI
3.1. Pengawasan Di Kabupaten Bolaang Mongondow
Pengawasan menurut Undang-Undang Dasar 1945 (Sugandha dalam
Alamsyah 1998), dilakukan oleh Lembaga Tinggi dan Tertinggi Negara terhadap
eksekutif yang bertindak sebagai penyelenggara Negara. Pengawasan keuangan
(financial control) dilakukan oleh badan pemeriksa keuangan (BPK).
Pengawasan legislatif (legislative control) dilakukan oleh DPR. Pengawasan
hukum (yudicial control) dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan
pengawasan pertimbangan (advisory control) dilakukan oleh DPA.
Pengawasan berdasarkan Instruksi Presiden nomor 15 tahun 1983,
(Sujamto dalam Alamsyah 1998) dilakukan oleh (1) Badan pengawas keuangan
dan pembangunan (BPKP), (2) Inspektorat jenderal departemen dalam negeri
dan aparat pengawas lembaga pemerintah non departemen/instansi pemerintah
lainnya, (3) Badan pengawas provinsi dan badan pengawas kabupaten/kota.
Dengan demikian secara struktural pengawasan di Indonesia mencakup
pengawasan pada tingkat lembaga tinggi negara, dan pengawasan pada tingkat
penyelenggaraan pemerintahan negara. Secara operasional dikenal berbagai
macam pengawasan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah,
yang menurut LANRI (1992) dapat dibedakan sebagai berikut :
1). Berdasarkan subyek yang melakukan pengawasan dalam administrasi Negara
Indonesia dikembangkan empat macam pengawasan, yaitu ;
- Pengawasan Melekat, pengawasan yang dilakukan setiap pimpinan terhadap
bawahan dalam satuan kerja yang dipimpinannya.
29
- Pengawasan Fungsional, pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang
tugas pokoknya melakukan pengawasan seperti badan pengawas propinsi,
inspektorat jenderal, BPKP, serta deputi-deputi pengawasan pada lembaga
non departemen atau badan lainnya.
- Pengawasan legislatif, pengawasan yang dilakukan oleh lembaga
perwakilan rakyat baik dipusat (DPR) maupun di daerah (DPRD).
- Pengawasan masyarakat, pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat baik
secara langsung, maupun melalui media massa.
2). Berdasarkan cara pelaksanaannya dibedakan :
- Pengawasan langsung, yaitu pengawasan yang dilaksanakan di tempat
kegiatan berlangsung dengan membedakan inspeksi dan pemeriksaan.
- Pengawasan tidak langsung , yaitu pengawasan yang dilaksanakan dengan
membedakan pemantauan dan pengkajian laporan dari pejabat satuan kerja
yang bersangkutan, aparat pengawasan fungsional, pengawasan legislatif,
dan pengawasan masyarakat.
3). Berdasarkan waktu pelaksanaan pengawasan dibedakan ;
- Pengawasan sebelum kegiatan.
- Pengawasan selama kegiatan.
- Pengawasan sesudah kegiatan.
Menurut Instruksi Presiden Nomor 15 tahun 1983, pengawasan
bertujuan mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan pembangunan dan
pemerintahan dengan sasaran sebagai berikut :
(1). Agar pelaksanaan tugas umum pemerintahan dilakukan secara tertib
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berdasarkan
30
sendi-sendi kewajaran penyelenggaraan pemerintahan agar tercapai daya
guna, hasil guna, dan tepat guna yang sebaik-baiknya.
(2). Agar pelaksanaan pembangunan dilakukan sesuai dengan rencana program
pemerintah serta peraturan perundangan yang berlaku sehingga tercapai
sasaran yang ditetapkan.
(3). Agar hasil pembangunan dapat dinilai seberapa jauh tercapai untuk
memberikan umpan balik berupa pendapat, kesimpulan dan saran terhadap
kebijaksanaan, perencanaan, pembinaan, dan pelaksanaan tugas umum
pemerintahan dan pembangunan.
(4). Agar sejauh mungkin mencegah terjadinya pemborosan, kebocoran, dan
penyimpangan dalam penggunaan wewenang, tenaga, uang, dan
perlengkapan milik Negara, sehingga dapat terbina aparatur yang tertib,
bersih, berwibawa, berhasil guna, dan berdaya guna.
Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow dalam menjalankan
tugas dan fungsinya sebagai badan yang dibentuk dan didasarkan pada Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Daerah Nomor 38 tahun 2000 tentang Struktur Organisasi dan
Tata Kerja Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow tanggal 30
Desember 2000, Peraturan Menteri Dalam Negeri 16 Tahun 2003 tentang
Pedoman Penanganan Pengaduan di Lingkungan Departemen Dalam Negeri
tanggal 7 Mei 2003.
Menyadari akan pentingnya peranan pengawasan masyarakat (social
control), pemerintah daerah Kabupaten Bolaang Mongondow mengajak warga
masyarakat untuk ikut serta dalam melakukan pengawasan pembangunan melalui
31
saluran-saluran yang tersedia baik formal dan informal untuk menampung atau
mewadahi berbagai aspirasi dan tanggapan atas penyelenggaraan proses
pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Bolaang Mongondow. Masukan-
masukan dari masyarakat tersebut direspons secara positif dan ditindak lanjuti
untuk kepentingan penyelenggaran proses pemerintahan itu, untuk dan demi
masyarakat itu sendiri, sesuai Peraturan Daerah Nomor 25 tahun 2003 tentang
Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan di daerah Kabupaten
Bolaang Mongondow. Untuk mengetahui laporan pengaduan masyarakat di
Kabupaten Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Gambar 5.
Ket : Garis laporan masyarakat.
Garis koordinasi antar Pimpinan Daerah, Dinas terkait.
Gambar 5. Alur Laporan Pengaduan Masyarakat di Kabupaten Bolaang Mongondow.
Laporan masyarakat baik perorangan, kelompok dan lembaga,
disampaikan atau ditujukan kepada pemerintah dan jajarannya di daerah.
Berdasarkan laporan masyarakat tersebut maka badan pengawas daerah, dinas
teknis, lembaga legislatif dan yudikatif sesuai dengan kewenangannya, merespons
BUPATI
KEJAKSAAN KEPOLISIAN
BADAN PENGAWAS
DINAS TEKNIS
D P R D)
PENGADILAN
M A S Y A R A K A T
32
laporan masyarakat dan mengambil langkah penyelesaian permasalahan
dimaksud.
Adapun masing-masing instansi dalam menanggapi dan menyelesaikan
laporan masyarakat yang diterima, dalam prosesnya berbeda satu dengan yang
lainnya sesuai dengan dasar ketentuan-ketentuan, peraturan masing-masing
institusi dan tata cara, mekanisme dan prosedur pada masing-masing instansi.
Akan tetapi di antara instansi ini secara bersama melakukan koordinasi antar
institusi dalam proses penyelesaian setiap permasalahan/laporan masyarakat, agar
di dalam pencapaian hasil akhir dari penyelesaian permasalahannya benar-benar
dilakukan secara obyektif dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum
kepada masyarakat. Adapun bentuk koordinasi yang dilakukan yakni apabila ada
pejabat atau oknum pejabat yang terkait dalam suatu kasus tindak pidana baik
pidana umum maupun pidana khusus (korupsi), oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan
dan Pengadilan Negeri, dalam proses pengusutannya akan memohon kepada
Bupati untuk menerbitkan Surat Ijin Pemeriksaan (SIP) sebagai atasan langsung
yang bersangkutan.
3.1.1. Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow
Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai badan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tentang Otonomi Pemerintahan Daerah dan Peraturan Daerah Kabupaten
Bolaang Mongondow nomor 38 Tahun 2000 tentang Struktur Organisasi
Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow tanggal 30 Desember 2000.
Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 74 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Penyelesaian Kasus Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Lembaga Departemen
33
Dalam Negeri, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2003
tentang Pedoman Penanganan Pengaduan di Lingkungan Departemen Dalam
Negeri tanggal 7 Mei 2003, sebagai dasar hukum pelaksanaan tugas-tugas
pengawasan di daerah.
Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow menerima laporan
pengaduan masyarakat yang disampaikan langsung maupun tidak langsung dalam
bentuk tertulis (surat) ataupun lisan (tatap muka, demonstrasi massa, perorangan
atau kelompok) ataupun laporan yang disampaikan melalui media masa cetak
(harian, mingguan, tabloi dan lain- lain). Oleh bagian tata usaha laporan dimaksud
dicatat atau dibukukan dalam buku agenda surat masuk dan buku agenda
inventaris laporan pengaduan masyarakat. Adapun tata cara pelaksanaan
penanganan kasus pengaduan masyarakat pada instansi badan pengawas
Kabupaten Bolaang Mongondow adalah sebagai berikut :
I. Penatausahaan Pengaduan
Pada tahap proses ini, berkas surat-surat pengaduan, informasi langsung
yang diterima badan pengawas kabupaten meliputi tahapan kegiatan sebagai
berikut :
A. Penerimaan :
1. Sumber Pengaduan, Lembaga tertinggi / tinggi Negara, Departemen /
lembaga non departemen, Badan/lembag/Instansi daerah , Badan hukum,
Mass media, Organisasi masyarkat, Partai politik, Perorangan.
2 Surat-surat pengaduan yang sifatnya penting dan strategis serta
penanganannya perlu segera dilakukan, setelah diagendakan di bagian
administrasi, disampaikan kepada kepala badan pengawas untuk
34
mendapatkan petunjuk lebih lanjut copy surat pengaduan disampaikan
kepada kepala bagian evaluasi dan pelaporan.
3 Surat pengaduan yang dimaksud meliputi surat-surat sebagai berikut :
Surat pengaduan masyarakat / lembaga / instansi yang disampaikan
langsung kepada Menteri Dalam Negeri dan atau Inspektur Jenderal
yang mempunyai muatan informasi tentang adanya penyimpangan dan
tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh pejabat/pegawai negeri sipil di
Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
4 Surat penyaluran pengaduan dari kantor Menpan atau Tromol Pos 5000
dan pelimpahan dari lembaga pemerintah lainnya yang oleh instansi
tersebut ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri.
5 Tembusan surat pengaduan, dan tembusan surat pengaduan dari Menpan
/Tromol Pos 5000 dan lembaga pemerintah lainnya yang oleh instansi
tersebut ditujukan (antara lain) kepada Inspektur Jenderal dan atau
Menteri Dalam Negeri.
B. Inventarisasi Surat Pengaduan
Proses inventaris surat-surat dilaksanakan oleh bagian evaluasi dan pelaporan
meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. Pencatatan Data surat pengaduan oleh bagian administrasi mencakup
data-data sebagai berikut :
a. Nomor agenda, tanggal agenda, tanggal surat masuk, katagori surat
perihal surat.
b. Data pelapor ; nama, alamat, kab/kota /provinsi, katagori pelapor.
35
c. Data terlapor; Nama, Nip/Nrp, jabatan , instansi terlapor, katagori
instansi.
d. Lokasi kasus, meliputi Kabupaten/kota, provinsi, negara,
e. Materi pokok pengaduan
2. Klasifikasi, adalah proses pengelompokan surat-surat pengaduan sesuai
kaidah dan standart yang ditetapkan.
a. Berkadar pengawasan, pengaduan yang mempunyai identitas
pengiriman yang jelas, isinya mengadung informasi adanya dugaan
atau indikasi terjadi penyimpangan/penyalahgunaan wewenang
terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. Tidak berkadar pengawasan, isi surat mengandung informasi,
himbauan, permintaan sumbangan pikiran, saran, dan kritik terhadap
penyelenggaraan pemerintah.
c. Pengelompokan surat pengaduan menurut masalah; kasus yang
merugikan negara/daerah, kewajiban penyetoran kepada negara/
daerah, pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, pelanggaran
terhadap prosedur dan tata kerja yang ditetapkan, penyimpangan
ketentuan anggaran, hambatan terhadap kelancaran pelaksanaan
proyek dan tugas pokok, kelemahan adminstrasi, pelanggaran
terhadap pelayanan masyarakat, lingkungan hidup.
II. Pengkajian, konfirmasi, dan pelaporan surat pengaduan
A. Pengkajian
Pengkajian pengaduan adalah proses mempelajari materi surat
pengaduan yang diterima. Hasil pengajian berupa rekomendasi atau usul
36
penanganan dalam bentuk surat nota dinas. Rekomendasi disampaikan
kepada kepala badan berupa usulan sebagai kegiatan sebagai berikut:
1. Bahan pemantauan, apabila surat pengaduan yang diterima sesuai
ketentuan yang berlaku merupakan kewenangan pejabat sesuai hirarkhis,
atau instansi lain tetapi loksi kejadian berada dalam wilayah kerja badan
pengawas bersangkutan.
2. Bahan klarifikasi, apabila pengaduan yang diterima, berkadar pengawasan
namun menurut pengkajian terdapat hal yang meragukan, tidak jelas atau
sumir.
3. Konfirmasi, apabila surat pengaduan yang diterima berkadar pengawasan
dengan identifikasi jelas, tetapi materi yang diadukan diragukan
kebenarannya dan dipandang perlu memberikan penjelasan mengenai
permasalahan yang diadukan.
4. Pemeriksaan, apabila surat pengaduan yang diterima berkadar
pengawasan dan menurut pengkajian dan konfirmasi perlu dilakukan
pemeriksaan.
B. Pemeriksa dan Penelitian
Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow, pada tahap proses
pembentukan tim pemeriksa dan penelitian ini, kegiatan yang dilaksanakan yaitu
berdasarkan isi disposisi kepala Badan Pengawas Kabupaten, Sekretaris kantor
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya antara lain membentuk tim pemeriksa
/peneliti untuk melakukan penelitian dan pemeriksaan di lapangan. Adapun proses
pembentukan tim pemeriksa dan penelitian di lapangan dilakukan berdasarkan
pada struktur organisasi dan tata kerja Badan Pengawas Kabupaten Bolaang
37
Mongondow. Struktur organisasi dan tata kerja badan pengawas Kabupaten
Bolaang Mongondow terdiri dari kepala badan, kepala tata usaha (sekretaris),
kepala bidang pemerintahan dan pertanahan, kepala bidang ekonomi dan
pembangunan, kepala bidang kesejahteraan sosial, kepala bidang keuangan dan
perlengkapan, kepala bidang kesatuan bangsa, perlindungan masyarakatan dan
kepegawaian, serta seksi-seksi sesuai pada bidang-bidang masing-masing.
Penunjukan anggota personil tim dilakukan berdasarkan pada latar
belakang pendidikan dan keahlian yang telah diperoleh selama dalam pendidikan
internal pengawasan. Dari hasil kegiatan penyusunan tim pemeriksa dan peneliti
maka terbentuklah struktur susunan tim yang terdiri dari ketua, sekretaris,
pengendali tim dan anggota. Kegiatan tim tersebut sebelum turun ke lapangan
untuk melakukan pemeriksaan dan penelitian atas laporan pengaduan masyarakat
melakukan identifikasi atas isi laporan pengaduan masyarakat.
Sebelum tim pemeriksa/peneliti turun ke lapangan, tim berkewajiban
mengindentifikasi isi laporan pengaduan masyarakat tersebut. Adapun proses
identifikasi ini bertujuan untuk menganalisis isi laporan, serta untuk
mendapatkan indikator- indikator yang terkandung dalam laporan.
Dengan diketahuinya indikator-indikator yang terkandung dalam laporan
maka dapat pula diketahui oleh tim hal-hal apa yang berhubungan dalam
pelaksanaan pemeriksaan dan penelitian nanti di lapangan. Yang dimaksud
dengan hal-hal yang berhubungan dalam pemeriksaan dan penelitian di lapangan
adalah obyek, subyek, data dan fakta tertulis dan lisan (hasil wawancara) yang
diperlukan untuk dijadikan alat periksa serta bahan analisa tim dalam penyusunan
laporan hasil pemeriksaan dan penelitian. Pelaksanaan pemeriksaan dan penelitian
atas laporan pengaduan masyarakat yang dilakukan tim pemeriksa dan peneliti
38
di lapangan. Berdasarkan surat perintah tugas yang diterbitkan atau yang
dikeluarkan oleh kepala badan pengawas atas nama Bupati atau pejabat yang
berwenang (Bupati, Wakil Bupati) sebagai dasar hukum perintah melaksanakan
pemeriksaan dan penelitian atas laporan yang disampaikan masyarakat
di lokasi, instansi atau di wilayah (desa, kelurahan, kecamatan). Adapun laporan
masyarakat yang diterima oleh Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow
selang enam tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel. 4. Laporan Masyarakat pada Kantor Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow selang tahun 2000 s/d 2005.
N0
TAHUN
U R A I A N B I D A N G
JML
STATUS PENANGANAN
% SELESAI PEMERINTA
HAN
PEMBANGU
NAN
KEMASYARA
KATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2000 5 4 3 12 Selesai 100 % 2 2001 7 3 3 13 Selesai 100 % 3 2002 5 6 4 15 Selesai 100 % 4 2003 6 8 2 16 Selesai 100 % 5 2004 8 7 5 20 Selesai 100 % 6 2005 9 5 6 20 Selesai 100 %
Jumlah 40 33 23 86 Selesai 100 % Sumber : Kantor Badan Pengawas Kab. Bolaang Mongondow
Selama enam tahun terakhir, 86 kasus pengaduan masyarakat yang
dilaporkan kepada Badan Pengawas Kabupaten Bolaang Mongondow, mencakup
bidang pemerintahan terdapat (40 kasus), bidang pembangunan berjumlah (33
kasus) dan bidang kemasyarakatan (23 kasus). Dari ketiga bidang masalah
tersebut dapat dikategorikan pula laporan yang berasal masyarakat, yakni
penyalahgunaan wewenang, pelayanan masyarakat, korupsi/pungutan liar, aparat,
pertanahan / perumahan, hukum / peradilan, kewaspadaan nasional, tata laksana
birokrasi, dan lingkungan hidup. Badan Pengawas menyelesaikannya secara
tuntas dengan status penanganan selesai.
39
Kasus-kasus yang dilaporkan warga kepada instansi/dinas dan lembaga
pemerintah yang lain (DPRD, Pengadilan Negeri, dan Kejaksaan Negeri)
di Kabupaten Bolaang Mongondow antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2005
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kegiatan DPRD Menerima Delegasi/Demonstrasi Kelompok Massa Masyarakat Kabupaten Bolaang Mongondow tahun 1999 s/d 2005
NO. TAHUN BENTUK KUNJUNGAN
JUMLAH DEMONTRASI TATAP MUKA
1 2 3 4 5 1 2000 42 22 64 2 2001 23 25 48 3 2002 48 32 80 4 2003 31 18 49 5 2004 37 26 63 6 2005 35 32 67
JUMLAH 216 155 371 Sumber : Kantor DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow
Laporan masyarakat yang dilakukan secara tatap muka langsung maupun
dengan cara melakukan demonstrasi di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
berjumlah 371 kasus. Dari jumlah kasus sebanyak ini hampir mencapai rata-rata
50 - 65 persen pengaduan masyarakat di kantor Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dilakukan dengan cara demonstrasi massa. Sedangkan tatap muka
langsung tanpa melakukan demonstrasi sebesar 40 – 42 persen.
Tabel 6. Jumlah Laporan Tindak Pidana Khusus Pada Kantor Kejaksaan Negeri Kotamobagu Tahun 2000 s/d 2005.
NO. TAHUN EKONOMI PEMBANGUNAN JUMLAH 1 2 3 4 5 1 2000 3 7 10 2 2001 4 9 13 3 2002 2 11 13 4 2003 6 5 11 5 2004 5 7 12 6 2005 5 10 15
JUMLAH 25 47 72 Sumber : Kantor Kejaksaan Negeri Kotamobagu.
40
Dari Tabel 6. tersebut secara keseluruhan ada kecenderungan peningkatan
jumlah kasus yang dilaporkan masyarakat di kantor Kejaksaan Negeri
Kotamobagu. Pada tahun 2003 khusus untuk bidang pembangunan laporan
masyarakat mengalami kenaikan yang sangat signifikan yaitu rata-rata setiap
tahun antara 2 hingga 3 kasus laporan yang disampaikan. Kasus – kasus pada
bidang pembanguan ini terjadi pada proses-proses kegiatan pelaksanaan
perencanaan, proses tenderisasi proyek pada dinas-dinas daerah, pelaksanaan
kegiatan fisik dan non fisik, pada penyaluran dana KUT tahun-tahun sebelumnya,
serta pada laporan atas kegiatan ilegal loging di wilayah Kabupaten Bolaang
Mongondow. Dari sekian kasus yang masuk, beberapa diantaranya telah
disidangkan di Pengadilan Negeri Kotamobagu dan telah mendapatkan putusan
hukum tetap, sedangkan yang lainnya masih dalam tahap perampungan berkas
penuntutan.Gambar 6. menunjukan bentuk pengawasan masyarakat yang dilaku-
kan melalui demonstrasi massa dibawah ini.
3.1.2. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam menjalankan fungsinya
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Gambar 6. Demonstrasi massa di kantor DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow
41
Daerah tanggal 15 Oktober 2004, Bab XI Bagian Ketiga Pasal 209
menyatakan bahwa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berfungsi menetapkan
peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat.
Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 64 Tahun 1999
tanggal 6 September 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai
Desa, Bab III Bagian Kelima pasal 36 ayat (1) menyatakan BPD mempunyai
fungsi : (a). Mengayomi yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan
berkembang di Desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan
pembangunan, (b). Legislasi yaitu merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa
bersama-sama Pemerintah Desa, (c). Pengawasan yaitu meliputi pengawasan
terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa serta Keputusan Kepala Desa, (d). Menampung aspirasi masyarakat yaitu
menangani dan menyalurkan aspirasi diterima dari masyarakat kepada pejabat
dan instansi yang berwenang.
Jumlah anggota BPD ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa.
Anggota BPD dari calon-calon yang diajukan oleh kalangan Adat, Agama,
Organisasi sosial politik, golongan profesi, dan unsur pemuka masyarakat, yang
lamanya memenuhi persyaratan. Hasil pemilihan BPD tahun 2002, terpilih
jumlah anggota BPD di desa penelitian berjumlah 16 orang. Untuk mengisi
struktur Ketua, Bendahara, Sekretaris, dan Komisi.
Komisi A diketuai J. Mamonto, yang membidangi hukum dan
pemerintahan; Komisi B diketuai R. Wowor, membidangi ekonomi dan
pembangunan; Komisi C diketuai Hi. J. Suadu membidangi kesejahteraan sosial;
42
Komisi D diketuai Sumaryono Mokoginta membidangi Adat dan Agama.
Masing-masing komisi dibantu oleh tiga orang anggota.
3.1.3. Guhanga Lipu
Di Bolaang Mongondow perorangan adalah subyek hukum yang tersendiri
sesuai status dalam masyarakat. Dalam (Wetbook 1930) Bolaang Mongondow
(Undang-Undang Bolaang Mongondow) masyarakat berpegang pada sistim
pemisahan/penggolongan yaitu: (1). Kaum bangsawan (Ninggrat), (2). Simpal
(Pembesar raja atau pegawai kerajaan, kaum terpelajar), (3). Nonow (Keluarga
kaya, Saudagar), (4). Tompunu (Pejabat pemerintah tingkat Kecamatan, Desa),
(5). Taling (Bala rakyat, petani, buruh tani), (6). Yobuat (Para budak atau orang
belian).
Sebagai masyarakat hukum terkecil, adalah keluarga – keluarga (kaum).
Dalam setiap kaum terdapat seorang yang disebut Guhanga atau tua-tua negeri,
atau tua-tua kampung. Guhanga adalah seorang yang dianggap cakap, trampil
dan mampu dalam kapasitasnya untuk memimpin keluarga atau kaumnya
sesuai hukum adat. Sedangkan fungsi Guhanga yaitu membantu pemerintah
desa dalam penyelesaian permasalahan di desa atau kampung/lipu seperti sengketa
pertanahan, pertunangan/peminangan dan pernikahan, serta permasalahan
pembangunan lainnya. (Beschrijving Van het Adatrecht In Bolaang Mongondow).
Dengan adanya fungsi- fungsi yang berkaitan dengan kegiatan
pemerintahan desa, maka oleh masyarakat atau warga kampung atau Lipu
menyebutnya Guhanga Lipu, disamping melaksanakan fungsinya di tengah
keluarga masing-masing secara internal.
43
3.2. Kecamatan Modayag
3.2.1. Letak Gografis
Kecamatan Modayag adalah hasil pemekaran dari Kecamatan Passi yang
dilakukan pada tahun 1960. Kecamatan Modayag diapit oleh Gunung Ambang
dan Gunung Tobongon. Sebagian besar areal merupakan daerah hutan dan
perkebunan. Bentuk topografi permukaan yaitu dataran tinggi yang berbukit.
Jarak pusat pemerintahan wilayah Kecamatan dengan ibu kota provinsi berjarak
198 kilometer. Sedangkan jarak pusat pemerintahan daerah Kabupaten Bolaang
Mongondow 10 kilometer. Pusat pemerintahan Kecamatan Modayag berada
pada ketinggian 650 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata 16 °C
hingga 20 ºC serta suhu minimum 10 ºC.
Sebelah Utara Kecamatan ini dengan wilayah Kecamatan Kotamobagu
Timur, sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kecamatan Kotabunan,
sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Modoinding Kabupaten
Minahasa Selatan, sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan Lolayan.
Luas wilayah Kecamatan Modayag berjumlah 1.786.600 Ha, di wilayah
ini berjumlah 13 desa yaitu Desa Moyongkota, Desa Bangunan Wuwuk, Desa
Bongkudai, Desa Modayag, Desa Purworejo, Desa Liberia, Desa Tobongon,
Desa Bongkudai Baru, Desa Mo’at, Desa Guaan, Desa Badaro, Desa Lanut,
Desa Buyandi. Ibu kota kecamatan terletak di Desa Modayag. Letak Desa
Modayag sangat strategis dan dapat dijangkau oleh masyarakat dari desa-desa
tetangga se Kecamatan Modayag.
3.2.2. Penduduk
Penduduk Kecamatan Modayag berjumlah 27.086 jiwa, dengan kepala
keluarga (KK) berjumlah 8.171, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata
sebesar 1.47 % pertahun. Penduduk terdiri dari beberapa suku yaitu suku
Mongondow, Minahasa, Sanger Talaut, Gorontalo, sedangkan suku pendatang
44
adalah suku Bugis Makasar, Jawa, Sunda, Batak, di samping terdapat pula warga
keturunan seperti Belanda, Cina Taiwan, Jepang, Pakistan lihat Tabel 7.
Tabel 7. Penduduk Kecamatan Modayag Dirinci menurut Desa Tahun 2005.
NO
NAMA DESA
JENIS KELAMIN JUMLAH JIWA L P
1 2 3 4 5 1 Moyongkota 1986 2114 4100 2 Bangunan wuwuk 502 645 1147 3 Bongkudai 1887 1914 3801 4 Modayag 2198 2883 5081 5 Purworedjo 1192 1333 2525 6 Liberia 996 989 1985 7 Moat 419 542 961 8 Guaan 742 767 1509 9 Bongkuday baru 779 880 1659 10 Tobongon 519 608 1127 11 Badaro 381 410 791 12 Lanut 598 680 1278 13 Buyandi 544 578 1122
JUMLAH 12743 14343 27086 Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005.
Jumlah penduduk di Desa Modayag terbanyak dari desa lainnya yaitu
5.081 jiwa (18,75 %). Sedangkan desa yang menempati urutan kedua adalah
Desa Moyongkota dengan jumlah penduduk 4.100 Jiwa (15,13 %), Desa
Bongkudai adalah desa yang berada pada urutan ketiga dengan jumlah penduduk
3.801 jiwa (14,03 %). Ketiga desa ini mengalami pertambahan penduduk yang
sangat cepat karena memiliki keunggulan dari desa yang lain, antara lain dahulu
merupakan desa lama atau induk. Kedua desa yang paling sedikit jumlah
penduduknya adalah Desa Badaro dengan jumlah 791 jiwa. Desa ini berada di
bagian Selatan Kecamatan Modayag. Desa ini baru karena adanya proyek
tranmigrasi lokal pada tahun 1985, Desa Badaro merupakan desa penghasil gula
45
aren di Kecamatan Modayag. Selain usaha tani aren, penduduk Desa Badaro juga
melakukan usaha tani perkebunan cengkih, hasil hutan lainnya kayu dan rotan.
Desa Moat dengan jumlah penduduk 971 jiwa, terletak di bagian Timur di
bawah kaki / lereng gunung Ambang bersama dua desa lainnya yaitu Guaan, dan
Bongkudai Baru. Penduduk di desa ini adalah petani yang berasal dari desa
Bongkudai Lama yang telah menetap di lahan perkebunannya, dengan usaha tani
holtikultura. Lokasi desa ini merupakan dataran tinggi berbukit dan berada pada
ketinggian ± 800 - 850 meter di atas pemukaan laut. Desa Moat, Guaan dan desa
Bongkudai Baru adalah sentra penghasil sayur mayur di Kabupaten Bolaang
Mongondow, dan Purworejo di Kecamatan Modayag. Luas wilayah Kecamatan
Modayag 1.589.469 Ha. Kepadatan penduduk dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Penduduk, Luas dan Kepadatan Dirinci menurut Desa di Kecamatan Modayag Tahun 2005.
NO.
NAMA DESA
JUMLAH PENDUDUK
(JIWA)
LUAS (KM²)
KEPADATAN / (JIWA/KM²)
1 2 3 4 5 1 Moyongkota 4100 19,76 207,48 2 Bangunan Wuwuk 1147 5,95 192,77 3 Bongkudai 3801 19,76 191,02 4 Modayag 5081 22,75 239,95 5 Purworedjo 2525 17,50 144,28 6 Liberia 1985 18,76 100,45 7 Moat 961 13,21 36,03 8 Guaan 1509 11,71 128,86 9 Bongkudai Baru 1659 10,56 157,10 10 Tobongon 1127 7,22 156,09 11 Badaro 791 17,50 21,25 12 Lanut 1278 13,34 112,69 13 Buyandi 1122 2,11 225,11
JUMLAH 27086 178,66 151,61 Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005
Terdapat tiga desa yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi yaitu
Desa Modayag, dengan jumlah penduduk 5.081 jiwa dalam kepadatan penduduk
46
per kilometer 239,95. Desa Moyongkota jumlah penduduk 4.100 dengan
kepadatan per kilometer 207,48 jiwa, dan di Desa Buyandi jumlah pend uduk
1.122 jiwa dengan kepadatan 225,11 jiwa per kilometer. Secara keseluruhan
penduduk Kecamatan Modayag berjumlah 27.086 jiwa dengan kepadatan rata-
rata 151,61 jiwa per kilometer.
Kerukunan antar umat beragama, di Kecamatan Modayag sejak masa
pemerintahan kerajaan raja Cornelis Manoppo sudah terbina dengan baik. Lebih
dari 67 persen penduduk di Kecamatan Modayag menganut agama Islam.
Adapun penduduk Kecamatan Modayag menurut golongan agama dapat dilihat
pada Tabel 9.
Tabel 9. Penduduk Menurut Golongan Agama di Kecamatan Modayag tahun 2005.
No. DESA / KEL
A G A M A
JUMLAH JIWA
ISLAM
KRISTEN
KHATOLIK HINDU BUDHA
1 2 3 4 5 6 7 8 1 Moyongkota 4.053 47 - - - 4.100 2 Bangunan Wuwuk 5 1.115 27 - - 1.147 3 Bongkudai 3.715 86 - - - 3.801 4 Modayag 3.046 1.968 67 - - 5.081 5 Purworedjo 2.454 60 - 11 - 2.525 6 Liberia 1.965 20 - - - 1.985 7 Moat 422 539 - - - 961 8 Guaan - 723 786 - - 1.509 9 Bongkudai Baru - 1.634 25 - - 1.659 10 Tobongon 623 504 - - - 1.127 11 Badaro 338 453 - - - 791 12 Lanut 525 707 46 - - 1.278 13 Buyandi 1.025 97 - - - 1.122 JUMLAH 18.171 7.953 951 11 - 27.086
Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005.
Sebanyak 67.08 % penduduk mayoritas menganut atau beragama Islam.
Sedangkan golongan lain seperti Kristen Protestan dan Katholik 32,87 %,
beragama Hindu 0,04 % sedangkan agama Budha 0%. Tiga desa yang dihuni
mayoritas non Muslim yakni Desa Guaan, Bongkudai Baru dan Bangunan
47
Wuwuk. Dilihat dari sisi etnis ketiga desa ini mayoritas suku/etnis Minahasa.
Selain itu ketiga desa ini menjadi pintu masuk ke Kabupaten Bolaang
Mongondow bagian Timur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten
Minahasa Selatan.
Tabel 10. Sarana Pendidikan Berdasarkan Jenjang, Status, Jumlah Murid dan Guru di Kecamatan Modayag Tahun 2005.
NO JENJANG
STATUS
GEDUNG KELAS MURID GURU RASIO
MURID & GURU NEGERI
SWASTA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 TK - v 10 10 328 4 10,36 2 SD v - 30 191 3882 254 15,28 3 SMP v - 4 12 1071 85 12,60 4 SMU v - 1 6 248 18 13,78
Sumber data statistik diknas kecamatan modayag tahun 2005
Berdasarkan Tabel 10. sarana pendidikan di Kecamatan Modayag
secara umum terjadi meningkat, dibangunnya 1 unit Sekolah Menengah Umum
(SMU) yang berlokasi di Desa Modayag. Unit sekolah ini pada tahun 2005 telah
menerima murid baru angkatan pertama sebanyak 248 murid.
Gambar. 6. Sarana Pendidikan Menengah Atas di Kecamatan Modayag
48
Rasio murid terhadap guru pada semua jenjang pend idikan yaitu rata-
rata berada pada rentang angka 10,36 sampai dengan 15,28. Setiap satu orang
guru pada semua jenjang pendidikan menangani kira-kira 10 sampai dengan 15
murid.
Mata pencaharian utama warga masyakarakat di Kecamatan Modayag
pada umumnya pertanian. Jenis usaha tani dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Usahatani tanaman pangan yaitu padi, jagung, sayur mayur,
(holtikultura) dan tanaman umbi-umbian serta jenis palagung dan berbagai
sumber pangan lainnya. Tanaman pangan dan holtikultura untuk kebutuhan
keluarga dan dapat diperdagangkan / dijualbelikan.
Tabel 11. Luas panen, Produksi Padi Sawah dirinci Menurut Desa di Kecamatan Modayag tahun 2005.
NO.
DESA
LUAS (HA)
PRODUKSI (TON)
RATA-RATA
1 2 3 4 5 1 Moyongkota 75 420,0 5,6 2 Bangunan Wuwuk 55 302,5 5,5 3 Bongkudai 30 168,0 5,6 4 Modayag 30 159,0 5,3 5 Purworedjo 50 270,0 5,4 6 Liberia 40 220,0 5,5 7 Moat - - - 8 Guaan - - - 9 Bongkudai Baru - - - 10 Tobongon 35 192,5 5,5 11 Badaro - - - 12 Lanut - - - 13 Buyandi - - -
JUMLAH 315 1732 5,5 Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005.
Tabel 11. menggambarkan bahwa jumlah areal lahan khusus jenis usaha
tani padi sawah, berjumlah 315 Ha dengan produksi sebesar 1.732 ton per tahun
dengan rata-rata tingkat produksi 5,5 ton per Ha. Produksi pada sawah pada
49
kondisi demikian masih dibawah rata-rata produksi padi dengan pola intensifikasi
secara nasional 6 – 8 ton per Ha gabah.
Kondisi ini disebabkan sumber air irigasi yang dipergunakan adalah
irigasi non teknis pada wilayah/lokasi persawahan tertentu, sedangkan yang
bersifat semi teknis hanya beberapa desa yakni Desa Purworejo, Tobongon, dan
Moyongkota. Terdapat enam desa yang sama sekali tidak menghasilkan padi
sawah yaitu Desa Badaro, Buyandi, Lanut, Moat, Bongkudai Baru dan Guaan.
Secara goegrafis terdapat 3 desa (Moat, Guaan, Bongkudai baru) yang terletak di
bagian Timur, berada pada ketinggian ± 600 - 750 di permukaan laut.
Sedangkan tiga desa lainnya di bagian Selatan yaitu Badaro, Lanut dan Buyandi
adalah daerah pegunungan berbukit, sehingga tidak memungkinkan diadakannya
budidaya tanaman padi. Maka warga masyarakat di tiga desa ini memanfaatkan
lahan dengan menanam tanaman perkebunan (cengkih, kopi, kakao, kayu, pala,
aren,vanilli).
Tabel 12. Luas Perkebunan Rakyat Dirinci menurut Jenis, Desa di Kecamatan Modayag tahun 2005.
No.
D e s a
Kelapa (Ha)
Cengkih (Ha)
Pala (Ha)
Kopi (Ha)
Kakao (Ha)
1 2 3 4 5 6 7 1 Moyongkota 100,50 7,25 6,50 37,00 25,50 2 Bangunan Wuwuk 56,50 2,25 2,25 6,25 8,50 3 Bongkudai 245,00 38,50 4,00 154,00 38,50 4 Modayag 22,75 114,50 2,75 175,00 13,75 5 Purworedjo 8,25 28,00 - 389,75 9,25 6 Liberia 16,25 7,25 - 357,75 - 7 Moat - 2,25 - 103,00 - 8 Guaan - 2,75 - 6,25 - 9 Bongkudai Baru - 3,25 - 41,50 - 10 Tobongon 14,50 198,25 1,75 338,50 9,25 12 Badaro 19,50 139,00 1,50 96,25 25,25 13 Lanut 20,50 235,50 2,25 45,50 15,50 14 Buyandi 25,06 254,50 1,75 17,25 13,75
JUMLAH 529,31 913,25 22,75 1.768,00 149,25
Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005.
50
Tabel 12. menggambarkan bahwa produksi tanaman perkebunan di
wilayah Kecamatan Modayag, setiap desa memiliki andalan produksi komoditas
tanaman perkebunan, sesuai dengan luas lahan perkebunan yang ada di desa
masing-masing. Tanaman kelapa di Desa Bongkudai memiliki luas areal 245
Ha atau (46,38 %) dari 529,31 Ha luas tanaman kelapa di Kecamatan Modayag
sedangkan urutan kedua Desa Moyongkota yakni 100,50 atau 18,99 %. Untuk
komoditas cengkih Desa Buyandi menduduki urutan pertama luas areal 254,50
Ha atau 27,87 % tanaman Cengkih di Kecamatan Modayag, urutan kedua Desa
Lanut 235,50 Ha atau 25,78 %, urutan ke tiga Desa Tobongon 198,25 Ha atau
21,71 %. Perkebunan Kopi terluas berada di Desa Purworejo 387,75 Ha atau
22,04 % luas areal tanaman Kopi di Kecamatan Modayag, urutan kedua Desa
Liberia 357,75 Ha atau 20,23 %, urutan ketiga Desa Tobongon 338,50 Ha atau
19,15 %. Untuk komoditas Pala dan Kakao merupakan komuditas perkebunan
yang baru dikembangkan di Kecamatan Modayag sejak tahun 1999, sehingga
jumlah areal kedua komoditi ini masih sangat kecil. Untuk mengetahui jumlah
produksi komoditas perkebunan dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat dirinci menurut Desa di Kecamatan Modayag tahun 2005.
NO
D E S A
KELAPA
(TON)
CENGKIH
(TON)
PAL A
(TON)
K O P I
(TON)
CACAO
(TON) 1 2 3 4 5 6 7 1 Moyongkota 150,000 7,250 7,500 25,900 30,900 2 Bangunan Wuwuk 84,750 2,250 1,125 4,375 4,200 3 Bongkudai 375,500 38,500 4,500 107,800 38,700 4 Modayag 34,115 107,00 0,375 109,900 11,700 5 Purworedjo 12,375 22,250 - 250,425 3,600 6 Liberia 24,370 4,750 - 272,825 2,100 7 Moat - 2,250 - 72,100 - 8 Guaan - 2,750 - 4,200 - 9 Bongkudai Baru - 3,000 - 29,050 - 10 Tobongon 21,750 185,250 - 236,950 9,300 12 Badaro 28,500 109,750 - 66,850 15,600 13 Lanut 30,750 209,750 - 25,375 10,500 14 Buyandi 37,500 247,500 - 11,900 5,400
JUMLAH 1.252,99 957,500 13,500 1.160,75 132,000 Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005
51
Tabel 14. Sarana Angkutan Menurut Jenis di Kecamatan Modayag Tahun 2005
NO
D E S A
RODA DUA
RODA TIGA
RODA EMPAT
KETERANGAN
1 2 3 4 5 6 1 Moyongkota 22 9 5 Jenis angkutan roda tiga dikenal
dengan nama Bentor (bendi-motor)digunakan warga sejak tahun 2000.
2 Bangunan Wuwuk 11 4 3 3 Bongkudai 25 6 6 4 Modayag 73 9 14 5 Purworedjo 26 4 9 6 Liberia 15 2 3 7 Moat 9 - 3 8 Guaan 18 - 4 9 Bongkudai Baru 19 - 6 10 Tobongon 15 - 2 12 Badaro 5 - - 13 Lanut 11 - 2 14 Buyandi 9 - 3
JUMLAH 258 34 58 Sumber : Kecamatan dalam angka tahun 2005
Dari Tabel 14. tergambar bahwa terdapat beberapa desa yang tidak bisa
diakses dengan kendaraan roda tiga (bentor). Hal ini sesuai dengan topografi
lokasi desa yang berbukit dengan tanjakan yang melebihi dari 45 derajat,
sehingga tidak memungkinkan kendaraan roda tiga (bentor) untuk beroperasi atau
dapat digunakan. Sebaliknya desa-desa yang memiliki roda tiga adalah desa-desa
dengan kondisi topografi wilayah datar atau landai, dengan sarana jalan yang
baik dan telah memenuhi sya rat teknis (hotmix). Gambar 7. menunjukkan sarana
angkutan masyarakat desa di dalam desa.
Gambar 7. Sarana Transportasi di Desa Modayag.
52
3.3. Desa Modayag
3.3.1. Konteks Fisik Dan Ekonomi
Desa Modayag merupakan perkembangan dari Desa Moyag, kurang
lebih tahun 1800. Pada saat itu sebagian besar masih berupa hutan, sedangkan
wilayah perkebunan masyarakat sangat kecil. Kondisi sangatlah rawan dengan
adanya binatang buas, sapi hutan Sulawesi (anoa) dan ular. Di wilayah timur desa
ini dikelilingi hutan lebat dan pegunungan, yaitu Gunung Ambang, gunung yang
berstatus gunung berapi aktif, sedangkan pada bagian Barat adalah jajaran
Gunung Mata Guma.
Keadaan Vulkanis pegunungan ini memberikan kesuburan tanah
di wilayah ini, sehingga memungkinkan untuk tumbuhnya tanaman yang
memberikan sumber pangan bagi masyarakat pada waktu itu. Daya tarik semakin
memikat penduduk di lereng pegunungan ini, sehingga semakin luaslah areal
perkebunan ke arah Timur, berkembang sampai pada ujung pegunungan yang
bernama Gunung Tobongon. Pendudukpun semakin bertambah oleh karena
tersedianya kebutuhan pokok pangan untuk hidup. Kira-kira pada awal tahun
1850-an wilayah ini sudah menjadi lokasi perkebunan masyarakat yang tetap
dengan berbagai jenis usaha taninya. Pada tahun 1900, pada masa pemerintahan
Kerajaan Mongondow, Raja Cornelius Lourens Adrian Manoppo, menyetujui dan
meresmikan Tobongon menjadi desa baru dan terdaftar pada daftar inventaris
kerajaan sebagai sebuah Lipu (bahasa Mongondow) atau Kampung. Di bawah
kekuasaan seorang Mayor Kadato, setingkat pejabat camat pada saat ini, yang
bernama Gereths Bronthjie Mokoagow sekaligus sebagai Sangadi.
53
Pada tahun 1910 terjadi musibah serangan hama tikus yang sangat
merugikan petani di lokasi desa baru tersebut. Berbagai usaha dilakukan akan
tetapi keadaan ini tidak berubah. Serangan tikus makin meningkat. Bukan hanya
jagung, padi ladang/gogo akan tetapi tikus menyerang tanaman pangan lainnya
seperti ketela pohon, ubi jalar, pisang. Pada waktu itu belum ada racun anti
hama tikus.
Sangadi memerintahkan warganya meninggalkan wilayah desa ini
sementara waktu untuk menghindari bencana kelaparan akibat hama tikus ini.
Atas perintah Sangadi, yang menjadi tujuan lokasi perkebunan adalah Modayag
yang merupakan lokasi lama. Di lokasi lama ini warga menetap. Dengan tingkat
kesuburuan tanah yang tinggi pula, masyarakat bercocok tanam tanaman pangan
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Desa Modayag berkembang menjadi desa
yang maju seperti sekarang ini. Desa diresmikan sekitar tahun 1912. Sangadi
masa itu masih ditunjuk oleh Raja Gereths Bronthjie Mokoagow, sangadi
yang memerintah Desa Modayag sejak tahun 1912 dapat dilihat pada lihat
Tabel 15. di bawah ini.
Tabel 15. Kepala Desa Modayag Tahun 1912 Sampai Sekarang.
NO. NAMA PEJABAT SELANG TAHUN 1 2 3 1 Gereths B. Mokoagow 1912 s/d 1912 2 Pasikin 1912 s/d 1913 3 Lamuda 1913 s/d 1915 4 Antang Mamonto 1915 s/d 1918 5 Sambe Gan 1918 s/d 1919 6 Lamuda 1919 s/d 1920 7 Kodja Mamonto 1921 s/d 1922 8 Gereths B. Mokoagow 1923 s/d 1926 9 Leppy mamonto 1926 s/d 1951
10 Ansah B. Mamonto 1951 s/d 1955 11 Majampa Mamonto 1955 s/d 1957 12 A. Kairupan 1957 s/d 1959 13 Uju . J. Mamonto 1959 s/d 1961 14 Ahmad Mokodompit 1962 s/d 1963 15 J.U. Mamonto 1964 s/d 1979 16 Hajir Pasambuna 1980 s/d 1988 17 Majai Mamonto 1988 s/d 1996 18 Umar Mokoapa 1996 s/d sekarang
Sumber : Data Primer.
54
Sejak tahun 1912 sampai tahun 2005, kepala desa yang menjabat
berjumlah 16 (enam belas) pejabat dari delapan belas periode peralihan/
pergantian pimpinan kepala desa. Kepala Desa yang menjabat sebanyak dua kali
adalah Gereths Bronthjie Mokoagow, pada pada tahun 1912 dan pada tahun
1923 sampai 1926, selama ± 3 (tiga) tahun masa kekuasaan raja Cornelius
Lourens Adrian Manoppo. Pejabat lainnya yaitu Lamuda pada tahun 1913
sampai tahun 1915 ± 3 (tiga), dan pada tahun 1919 sampai 1920. Sedangkan
seorang pejabat yang paling lama memerintah desa Modayag yaitu Leppy
Mamonto pada tahun 1926 sampai tahun 1951, selama 25 (dua puluh lima)
tahun, mengalami dua masa pemerintahan, yakni sebelum dan sesudah
kemerdekaan Republik Indonesia.
Desa Modayag terdiri dari enam dusun, yaitu dusun I (Kampung Bawah),
Dusun II (Kampung Tengah), Dusun III (Kampung Baru), Dusun IV (Dusun
Maesan), Dusun V (kompleks pasar/terminal) dan Dusun VI (Kampung
Kaliputih). Nama dusun menunjukkan keadaan lokasi dan etnis. Kampung
Maesan, berasal dari bahasa Minahasa berarti persatuan, Dusun ini dihuni oleh
etnis Minahasa. Dusun III (Kampung Baru) adalah lahan perkebunan lama yang
dijadikan perluasan pemukiman penduduk, dihuni oleh etnis Mongondow. Dusun
VI Kampung Kaliputih dihuni oleh etnis Gorontalo. Batas wilayah desa Modayag
adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan desa Liberia.
Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Tobongon.
Sebelah Timur berbatasan dengan desa Purworedjo.
Sebelah Barat berbatasan dengan desa Bongkudai dan desa Motoboy.
55
Luas wilayah Desa Modayag sebesar 22,75 Km² dengan tingkat kepadatan
penduduk 239,93 per kilometer persegi. Penduduk Desa Modayag pada tahun
2005 berjumlah 5.081 jiwa, dengan komposisi 2.198 laki- laki dan 2.883 jiwa
perempuan. Adapun rasio jenis kelamin 76,24, menggambarkan jumlah
perempuan di Desa Modayag lebih banyak dari pada jumlah laki- laki. Kepala
keluarga di Desa Modayag berjumlah 1.369 KK, dengan anggota rumah tangga
3 – 4 jiwa. Tabel 16. menunjukkan penduduk menurut kelompok umur.
Tabel 16. Penduduk Desa Modayag menurut Kelompok Umur Tahun 2005.
Sumber : Data Statistik Desa Modayag tahun 2005.
Jumlah golongan umur produktif umur 14 tahun sampai umur 64 tahun
berjumlah 4.161 jiwa atau 81,81 %. Sedangkan umur tidak/non produktif
berjumlah 926 jiwa atau 18,20 %, dari total jumlah penduduk.
Mata pencaharian utama warga adalah sektor pertanian. Jenis usahatani
yang diusahakan yaitu padi, jagung, sayur mayur (holtikultura) dan perkebunan
NO. KELOMPOK UMUR
J U M L A H JUMLAH SEX RATIO L
P
1 2 3 4 5 6 2 0-4 130 167 297 77,84 3 5-9 197 234 431 84,18 4 10-14 251 281 532 89,96 5 15-19 220 311 541 70,41 6 20-24 295 384 679 76,82 7 25-29 271 327 598 82,87 8 30-34 206 348 554 59,19 9 35-39 146 175 321 83,42 10 40-44 101 150 251 67,33 11 45-49 89 112 201 76,78 12 50-44 83 111 194 74,77 13 55-59 71 93 164 76,34 14 60-64 60 71 131 84,50 14 65+ 78 119 190 65,54
JUMLAH 2.198 2.883 5.081 76,24
56
(Kelapa, Cengkih, Pala, Kopi, Kakao, komuditas lain seperti vanili, Kayu manis,
Lada). Usaha pertanian dan perkebunan warga dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel .17. Produksi Pangan dan Komoditas Perkebunan Desa Modayag tahun 2001 s/d 2005.
No.
Tahun
Kelapa (Ton)
Cengkih
(Ton)
P a l a (Ton)
Kopi (Ton)
Kakao
(Ton)
Padi (Ton)
Jagung (Ton)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2001 34,115 137,00 0,375 109,900 11,700 159,00 15,75 2 2002 30,735 158,00 0,395 119,900 14,100 153,00 18,25 3 2003 32,125 147,00 0,285 106,900 12,600 149,00 14,95 4 2004 33,415 132,00 0,295 138,800 15,200 157,00 16,15 5 2005 31,235 125,00 0,305 143,900 16,500 152,00 15,25 JUMLAH 161,625 797,00 1,655 619,400 70.100 770,00 70,35
Sumber : Data Potensi Desa Modayag tahun 2005.
Produksi padi sawah rata-rata 154,5 ton per tahun atau sebesar 5,5 ton
per hektar. Jagung dengan luas 3.0 hektar memiliki nilai produksi per tahun
sebesar 9,1 ton. Tanaman perkebunan yakni kopi, kelapa, cengkih, kakao menjadi
komoditas penopang ekonomi warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Luas pemanfaatan lahan di Desa Modayag, dapat dilihat pada
Tabel 18.
Tabel 18. Penggunaan Lahan di Desa Modayag tahun 2005
NO. PERUNTUKAN PENGGUNAAN
LAHAN
LUAS (HA)
PERSENTASE %
1 2 3 4 1 Sawah 30,00 1,32 2 Ladang 25,00 1,1 3 Perkebunan 961,25 42,25 4 Hutan 1.247,50 54,83 5 Sarana umum 3,50 0,15 6 Jalan 7,75 0,35
JUMLAH 2.275,00 100 Sumber : Data monografi desa tahun 2005.
Mata pencaharian sebagai petani, penambang, pedagang, pegawai
negeri sipil, karyawan swasta, tukang, dan buruh tani lihat Tabel 19.
57
Tabel 19. Pekerjaan dan Mata Pencaharian Warga Masyarakat Desa Modayag tahun 2005.
NO. PEKERJAAN JUMLAH
JIWA PERSENTASE
% 1 2 3 3 1 Tani Pemilik 1.283 64,18 2 Tani Penggarap 585 29,26 3 Tukang 147 7,35 4 Penambang 302 15,11 5 Pegawai Negeri/ABRI/Sipil 48 2,40 6 Karyawan Perusahan Swasta 71 3,55 7 Sopir Taksi 21 1,05 8 Sopir Ojek 42 2,10
JUMLAH 1.999 100 Sumber : Data monografi desa tahun 2005.
3.3.2. Sosial
Berdasarkan Tabel 20. dapat tergambar bahwa jumlah sarana pendidikan
untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah dengan jumlah murid di Desa
Modayag masih rasional. Dari 1.239 jiwa anak didik terdapat sarana, tenaga
pengajar/guru berada pada angka 19,32. Dapat diartikan bahwa satu orang guru
pada semua tingkatan pendidikan menangani rata-rata 19,32 jumlah anak/murid.
Tabel 20. Sarana Pendidikan, Murid, Kelas, dan Guru di Desa Modayag Tahun 2005.
No Jenjang Status
Gedung (Unit)
Kelas (Ruang)
Murid (Jiwa)
Guru (Jiwa)
Rasio Murid
& Guru Negeri Swasta
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 TK - 1 1 1 30 3 10,00 2 SD 2 1 3 24 691 35 19,74 3 SMP - 1 1 6 270 8 33,75 4 SMU 1 - 1 6 248 18 13,78 JUMLAH 3 3 6 26 1.239 64 19,32
Sumber : Data monografi desa tahun 2005.
Tabel. 21. menyajikan penduduk Desa Modayag berdasarkan jenjang
dan tingkat pendidikan tahun 2005.
58
Tabel 21. Penduduk Yang Menempuh Pendidikan dirinci menurut Jenjang Pendidikan di Desa Modayag Tahun 2005.
NO. TINGKAT PENDIDIKAN JURUSAN JUMLAH ORANG %
1 2 3 4 5 1. TK - 30 2,33 2. SD - 691 50,61 3. SMP - 270 20,95 4. SMU sederajat - 248 19,24 5. D1 Ekonomi 3 0,23 6. D2 Ekonomi 3 0,23 7. D3 Ekonomi 1 0,08
8.
Sarjana (S1)
Teknik 7 0,54 Kedokteran 1 0,08 Ekonomi 5 0,39 Kehutanan 2 1,06 Hukum 6 3,17 Social 6 3,17 Pendidikan 3 0,23 Pertanian 4 0,31 Theologia 9 0,70
JUMLAH 1.289 100 Sumber : Data monografi Desa Modayag tahun 2005
Sarana kesehatan di Desa Modayag adalah sebagai berikut: BKIA 1
unit, poliklinik 1 buah, Posyandu 1 buah. Sedangkan tenaga kesehatan yakni
dokter 2 orang, paramedis/perawat 7 orang, bidan 6 orang, mantri 2 orang,
dukun terlatih 3 orang. Desa Modayag menjadi ibu kota kecamatan, maka
terdapat 1 unit pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), yang berstatus
puskesmas rawat inap. Terdapat tenaga dokter 2 orang dan 4 orang tenaga medis
yang setiap hari selama 24 jam merawat dan melayani masyarakat di desa
Modayag maupun dari desa tetangga. Lihat Tabel 22.
Tabel 22. Sarana, Tenaga Kesehatan di Desa Modayag Tahun 2005
NO SARANA KESEHATAN JUMLAH TENAGA
KESEHATAN JUMLAH ORANG
PERSENTASE %
1 2 3 4 5 6 1 RSU - Dokter 2 10 2 BKIA 1 Perawat 7 35 3 PUSKESMAS 1 Bidan 6 30 4 POLIKLINIK 1 Mantri 2 10 5 POSYANDU 1 Dukun 3 15
JUMLAH 4 20 100 Sumber : Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Modayag Tahun 2005
59
Pada tahun 2000 Desa Modayag dipilih dan ditunjuk untuk menjadi
lokasi/tempat dilaksanakannya kegiatan yang berskala nasional di bidang agama,
yakni kegiatan pertemuan Dialog Kerukunan Antar Umat Beragama se Asia
Pasifik. Pada masa kejayaan raja Mongondow, raja dan sebagian dari anggota
keluarganya yakni anak-anaknya menganut agama Islam dan yang lainnya ada
juga menganut agama non Islam, sedangkan warganya masyarakat pada waktu itu
sebagian menganut agama Islam dan lainnya menganut agama non Islam.
Kerukunan antar umat beragama ini diwujudkan dalam kehidupan seha ri-
hari warga Desa Modayag dalam pembangunan fisik sarana ibadah yakni masjid
dan gereja. Telah terjadi pula perkawinan antar suku. Tabel 23 menyajikan
keadaan penduduk menurut agama di Desa Modayag.
Tabel .23. Penduduk menurut Agama dan Sarana Ibadah di Desa Modayag Tahun 2005.
NO
AGAMA
SARANA IBADAH JUMLAH
PEMELUK PERSENTASE
%
1 2 3 4 5 1 Islam 3 3330 65,54 2 Kristen Protestan 4 1712 33,82 3 Katolik 1 137 2,70 4 Hindu - - - 5 Budha - 2 0,04
JUMLAH 8 5081 100 Sumber : Data Kecamatan Dalam Angka tahun 2005.
Sebanyak 3.330 jiwa menganut agama Islam (65,53 %) dan yang menganut
agama Kristen Protestan berjumlah 1.712 jiwa (33,82 %) sedangkan penganut
ketiga agama yang lain yakni Katholik, Hindu dan Budha hanya 139 jiwa atau
0,767 %.
60
3.3.3. Budaya
Sistem adat masih perpedoman pada struktur dan pemerintahan (Lipu)
atau kampung. Walaupun masih terkesan feodalisme karena keputusan diambil
dari lapisan atas, pengambil keputusan adalah orang yang dianggap yang teruji
kepemimpinannya dan kemampuannya, yang disebut Guhanga lipu, sehingga
masyarakat masih mematuhi mekanisme yang terlahir dari kepemimpinan
kampung lipu.
Pada suku Mongondow, dikenal perjanjian Dodandian I Paloko Bo I
Kinalang. Dodandian berasal dari bahasa daerah/suku Mongondow tua atau
lama yang berarti Janji Leluhur. Perjanjian Paloko dan Kinalang ini, diuraikan
sebagai berikut, Paloko = berarti Rakyat , dan Kinalang = berarti Pemerintah.
Kutipan Perjanjian luhur dalam bahasa daerah suku/etnis Mongondow; “Kai
Kinalang; Baba in akuoy, ba bibitonku Iko. Dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan sebagai berikut “Kata Kinalang; Dukung aku, supaya Engkau
(Paloko) Ku angkat, dan kemudian dijawab oleh Paloko “O’ o, Kuntungonku
in Iko tonga?, bibit in Akuoy. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai
berikut ; “ Iya, jawab Paloko, engkau aku dukung tapi angkat pula aku.
Gambar 8. Sarana peribadatan di Desa Modayag.
61
Dalam kehidupan masyarakat suku Mongondow perjanjian ini
dipraktekkan dalam semua bidang kehidupan masyarakat. Perjanjian ini adalah
landasan dan tercermin sosial-budaya masyarakat suku Mongondow dalam proses
interaksinya antara warga masyarakat dengan pemerintah. Tergambar di dalamnya
suatu sistem kerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan.
Ketika seseorang didukung, ditolong, diangkat derajatnya, di kemudian hari, ia
harus juga berbuat demikian kepada orang lain sesamanya, untuk mengangkat
harkat dan martabat sesamanya. Dalam praktek pemerintahan, jelas bahwa
pemerintah dan semua kemampuannya diarahkan untuk kepentingan masyarakat
warga.
Ketika pemerintah membutuhkan dukungan rakyat dalam pelaksanaan
kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, ketika itu pula secara
langsung pemerintah harus dapat memahami apa yang dibutuhkan rakyat saat itu.
Tersirat juga di dalamnya sikap mental dan moral yang baik, jujur, adil, dan
berani mengambil keputusan, serta bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan kepada manusia. Gambar 9. menunjukkan pertemuan tokoh agama dan
dewan adat di tingkat desa.
Gambar 9. Kegiatan Pertemuan Tokoh Agama dan Dewan Adat di Desa Modayag.
62
63
Tabel.......Jumlah Perkara Pidana dan Gugatan pada Pengadilan Negeri Kotamobagu selang tahun 2000 s/d bulan Oktober 2005.
N OMO R
T A H U N
PIDANA J U M L A H
PERDATA J U M L A H
KET BIASA SING
KAT CEPAT /LALIN
GUGAT
AN
PERMO HONAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2000 77 59 1119 1255 50 16 66
2 2001 70 61 1668 1799 60 16 76
2 2002 68 101 4323 4492 58 17 75
3 2003 168 58 7812 8038 39 16 55
4 2004 159 42 4736 4937 37 14 51 5 2005 171 70 5671 5917 213 24 237
Jumlah 713 391 25329 27537 457 103 560
Sumber Kantor Pengadilan Negeri Kotamobagu
64
Tabel .......Perkara pada Kejaksaan Negeri Kotamobagu selang tahun 2003 s/d Nopember 2005
NO
JENIS PERKARA
TAHUN
PASAL
JLH
KET 2003 2004 2005
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Penganiayaan 67 52 68 351 187
2 Pembunuhan 24 3 4 338 / 340 31
3 Pencurian 49 29 21 362 / 363 148
4 Mengakibatkan orang mati 33 26 20 359 79
5 Mengakibatkan org lain luka berat - - 14 359 / 360 14
6 Penggelapan 11 17 26 378 43
7 Penghinaan - 7 8 310 15
8 Perbuatan cabul 12 27 27 293 / 284 61
Jumlah 196 161 188 - 538
Sumber Kantor Kejaksaan Negeri Kotamobagu
Tabel.......Laporan /gugatan Perdata pada Pengadilan Negeri Kotamobagu selang tahun 2000 s/d 2005
NO
T A H U N
JENIS GUGATAN
HASIL PENANGANAN
K E T
PERTA NAHAN
PERCERAIAN
HUTANG PIUTANG DLL
BELUM
DALAM PROSES
SELESAI
PRESENTASI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2000 31 11 8 - - 50 100 2 2001 43 17 - - 60 100 3 2002 36 20 2 - - 58 100 4 2003 31 6 5 - - 42 100
65
5 2004 30 7 - - - 37 100 6 2005 40 13 2 - 25 30 54,54 JUMLAH 211 74 17 - 25 277
Sumber Pengadilan Negeri Kotamobagu
62
BAB IV
KASUS PEMBANGUNAN DESA MODAYAG Reformasi memberi peluang kepada masyarakat untuk mewujudkan
kepercayaan, nilai dan pengharapan sehingga masyarakat semakin kritis dan
peka terhadap penyimpangan dan penyelewengan (Alamsyah 1998). Masyarakat
dapat melihat dan menilai kinerja pemerintah yang telah dilakukan dahulu dan
sekarang baik fisik maupun non fisik. Kegiatan yang dilakukan pemerintah di
tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa, ada kalanya tidak sesuai dengan
keinginan dan harapan sebagian atau bahkan keseluruhan masyarakat. Kondisi
ini mendorong masyarakat melakukan tindakan pengawasan (social control)
terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi dalam lingkup kekuasaan dan
kewenangannya.
Sujamto dalam Alamsyah (1998) mengemukakan beberapa faktor
pendorong terjadinya penyalahgunaan wewenang, meliputi : (1) faktor- faktor
subyektif, yaitu faktor- faktor yang melekat pada diri subjek pekerjaan yang
bersangkutan, (2) faktor- faktor obyektif, yaitu faktor-faktor yang melekat pada
pekerjaan atau standar pekerjaan yang bersangkutan, (3). faktor-faktor ekologis,
yaitu faktor- faktor yang berasal dari lingkungan kerja yang bersangkutan.
4.1. Pembangunan Fisik.
Pembangunan desa di Kabupaten Bolaang Mongondow berdasarkan
pada Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional 0259/M.PPN/I/2005 Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor : 050/166/SJ
tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2005 tanggal 20
Januari 2005.
63
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dan peraturan tersebut di atas
mekanisme pembangunan desa dari perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi/pengawasan, sistim perencanaan dilakukan secara (bottom up) atau
perencanaan pembangunan dari bawah. Mekanisme perencanaannya di tingkat
desa dengan nama Musrenbang Desa / Kelurahan.
4.1.1. Pembangunan Sarana Peribadatan
Masjid adalah sarana ibadah yang dibutuhkan oleh jamaah atau umat
muslim di Desa Modayag. Dalam perencanaan dusun I sampai dusun IV diwakili
oleh kepala dusun masing-masing dalam suatu rapat di desa, tahun 1998.
Hasil rapat yakni untuk membangun kembali masjid lama yang telah
dibangun pada tahun 1964. Hal ini ditindaklanjuti dengan hasil musyawarah
kepala desa dengan LKMD dan LMD tanggal 18 Agustus 1998 tentang rencana
pembangunan masjid Baiturrahman Desa Modayag. Dibentuklah panitia
pembangunan.
Saat ini masjid telah terbangun dengan kemajuan fisik mencapai ± 60 %
selesai. Masyarakat menyumbang berupa materi maupun non materi, sesuai
dengan kategori keadaan ekonomi masing-masing keluarga. Kategori I adalah
Pegawai Negeri (Sipil, ABRI dan Polri, Pensiunan) dan karyawan Swasta,
dengan beban tanggungan sebesar Rp. 7.500 per bulan. Kategori II petani pemilik
lahan dengan beban tanggungan sebesar Rp. 5000 per bulan dan Kategori III
yakni petani penggarap, buruh tani, buruh tambang, buruh harian lepas dengan
beban tanggungan sebesar Rp. 2500 per bulan.
Ketiga kategori ini menjadi dasar dalam penagihan, namun ada keluarga
yang menyumbang lebih dari nilai yang telah ditentukan. Kewajiban ini disepakati
64
bersama, dan realisasi penagihannya disampaikan kepada panitia seksi dana setiap
bulan berdasarkan jadwal penagihan oleh masing-masing kepala dusun. Kegiatan
pengumpulan dana juga dilakukan berupa penjualan makanan oleh wanita di
dusun masing-masing sesuai jadwal mingguan.
Dibangun pos penghimbau untuk menghimpun dana dari donatur yang
tidak terikat setiap hari, yang dilakukan oleh pemuda masjid. Jadwal pelaksanaan
dilakukan dalam seminggu yakni pada hari Senin sampai Kamis secara bergulir
pemuda masjid dusun I sampai dusun VI, rata-rata pendapatan berjumlah Rp.
200.000 – 300.000 per minggu. Penerimaan dana melalui pos penghimbau sejak
tahun 2002 sampai dengan tahun 2004 berjumlah Rp. 7. 920.000.
Dana pembangunan juga diperoleh dari sumbangan pemerintah lewat
dana bantun desa Tahun Anggaran 2000 sampai dengan 2001 berjumlah Rp.
5.000.000 dan bantuan dari Dinas Sosial Kabupaten Bolaang Mongondow tahun
2001 berjumlah Rp. 3.500.000. Akan tetapi untuk sekarang ini bantuan
pemerintah tidak dapat lagi diarahkan pada pembangunan fisik namun pada
kegiatan ekonomi produktif di desa.
Pelaksanaan pembangunan fisik masjid kegiatan dilakukan dengan
secara Bobakid (kerja bakti) baik yang beragama Islam maupun Kristen dan
agama lain. Perencanaan teknis disusun oleh bapak Arsad Mamonto. Kelompok
kerja ini diawasi oleh kepala tukang sebagai pembantu kepala teknis. Akan tetapi
saat ini pembangunan menurut. Masyarakat curiga terhadap panitia dan kepala
desa dalam pengelolaan anggaran pembangunan.
Hasil pengumpulan dana dari kegiatan sepak bola pada tahun 2001
berjumlah ± 70 juta, namun setelah diadakan evaluasi oleh badan pemeriksa
65
panitia pembangunan masjid terdapat selisih kurang sejumlah Rp. 4.275.000.
Kekurangan tersebut menjadi topik perbincangan di tengah jamaah. Setelah
diklarifikasi melalui rapat panitia ternyata ada beberapa orang oknum panitia
masing-masing sekretaris pelaksana berinisial (YN) mengunakan dana
pembangunan sebesar Rp. 2.500.000 untuk kepentingan pribadi untuk penambah
modal usaha dagang (warung).
Ketua seksi pengadaan dana berinisial (SM) sebesar Rp. 1.125.000 dari
perolehan penjualan kalender sebanyak 150 eksemplar x @ Rp. 7500, dan
partisipasi donatur dari kartu kawan Rp. 650.000 digunakan untuk belanja bahan
bangunan rumah tinggalnya. Dana yang diperoleh dari warga hasil ganti rugi
lahan perkebunan oleh perusahaan tambang emas Rp. 1.000.000– 1.5000.000
setiap orang. Dari dana berjumlah Rp. 15.000.000 ini tidak jelas berapa yang
disetor Sangadi kepada bendahara pembangunan masjid. Dana ini menjadi
perbincangan di antara warga jamaah, karena menurut pandangan mereka
ketambahan dana ganti akan mempercepat penyelesaian masjid.
Pengawasan BPD sangat lemah atau BPD kurang berfungsi. Hal ini
terbukti BPD tidak mendesak kepada Sangadi untuk memperingatkan bahkan
mengganti mereka dengan orang lain dalam jabatannya secara resmi dan segera
mengembalikan dana pembangunan yang telah digunakan untuk kepentingan
pribadi.
Pembangunan masjid saat ini bukan lagi dilaksanakan oleh panitia akan
tetapi sudah di bawah kendali Sangadi atau kasarnya Sangadi sudah berfungsi
ganda sebagai ketua pembangunan dan sebagai kepala desa. Hal ini terbukti dari
tindakannya, dimana dalam pengadaan belanja barang/bahan material dilakukan
66
langsung oleh Sangadi. Begitu pula dengan pembuatan/penyusunan proposal
permohonan bantuan dana dilakukan oleh Sangadi tanpa melalui
rapat/musyawarah dengan BPD dan panitia pembangunan. Proposal tersebut
dikirim kepada warga masyarakat desa Modayag yang bekerja di luar daerah
(Jakarta, Makasar, Manado) dan pemerintah Propinsi, serta pimpinan partai
politik. Ada tidaknya realisasi dari proposal tersebut sampai saat ini tidak
dipertanggung jawabkan atau disampaikan kepada panitia pembangunan dan
masyarakat. Partisipasi warga dalam bentuk Gotong royong dapat dilihat pada
Gambar 10.
4.1.2. Proyek Pembangunan Lorong Desa
Pembangunan fisik di antaranya proyek pelebaran lorong. Perencanaan
kegiatan ini, telah dimusyawarahkan oleh warga masyarakat bersama kepala
dusun IV dan ketua-RT 1 /RW.1. Inisiatif warga tersebut disampaikan kepala
dusun kepada Sangadi, Kepala Desa memusyawarahkan dengan BPD. BPD
menyetujuinya. BPD merekomendasikan kepada Sangadi untuk menguatkan
Gambar. 10. Partisipasi Warga Dalam Bentuk Gotong Royong Pembangunan Majid Baitulrahman Desa Modayag .
67
usulan warga tersebut dengan Surat Keputusan Desa. Surat Keputusan tersebut
menjadi usulan desa ke tingkat kecamatan. Atas proposal kegiatan pembangunan
tersebut Camat mengajukannya ke tingkat kabupaten. Setelah mendapat
persetujuan dari Bupati, usulan tersebut resmi untuk dilaksanakan di desa.
Ketika proyek ini akan dilaksanakan di desa, terdapat permasalahan
baru. Di lokasi kegiatan 18 Kepala Keluarga (KK) warga masyarakat tinggal di
depan jalan utama desa dan tidak merelakan halaman rumahnya dikurangi 1
meter untuk pelebaran lorong. Mereka beralasan, bahwa pada saat rapat
musyawarah di tingkat dusun tidak diundang hadir pada pertemuan membahas
perencanaan pelebaran. Pagar halamannya terbuat dari beton secara permanen
sehingga sayang untuk dibongkat. Dirk Supit menyatakan sebagai berikut:
“Torang nin tau kalu di kampong ada pembangunan jalan/pelebaran lorong. Selama ini sangadi nda perna kasih tau pa torang tentang proyek ini, probis lei deng kepala dusun (Papa Nie) lewat-lewat ndak pernah babilang pa torang apa-apa.
Makanya, sapa nyanda mo’kage,, torang pe pagar kintal/halaman rumah dorang ada kerja bakti/mapalus somo bongkar. Kalu jadi panggulu jang burako, pake kua torang pe adat mongondow biar jo cuma itu bobahasaan atau oaeran, kalu itu pemerintah jadikan pegangan, samua tu pekerjaan atau oaid pasti nyada ada hambatan, samua pekerjaan akan mo jadi lancar deng mobagus bo mogaga mollapad. Selama ini torang tau, cuma dorang jo yang salalu sangadi deng probis ja undang kalu ada rapat.” Terjemahannya sebagai berikut :
Kami tidak mengatahui bila di desa ini ada kegiatan proyek pembangunan pelebaran jalan/lorong. Selama ini kepala desa tidak memberitahukan kepada kami. Kepala dusunpun sering lewat melalui jalan ini tapi tidak juga menginformasikan kepada kami tentang kegiatan proyek ini.
Kami terkejut ketika melihat warga yang sedang gotong-royong kerja bakti akan membongkar pagar/tembok halaman depan rumah kami. Bila menjadi pejabat atau pemerintah jangan bersikap dan bertindak sewenang-wenang atau arogan. Tolong pakai adat istiadat orang Mongondow. Walaupun hanya berupa salam yang didasari dengan ketulusan hati dan menghargai, menghormati sesama. Sebelumnya informasikanlah. Bila ini yang dijadikan dasar pegangan maka semua pekerjaan dapat dilaksanakan tanpa hambatan dengan hasil baik dan memuaskan. Selama ini bila ada rapat atau musyawarah kampung hanya mereka saja (oknum-oknum yang dekat dengan pemerintah) yang diundang.
68
Kejadian ini dilaporkan kepala dusun kepada sangadi. Sangadi secara
kekeluargaan mengunjungi dan menemui warga yang tidak merelakan halaman
rumahnya selebar 1 meter untuk pelebaran lorong. Sangadi menjelaskan dan
memohon persetujuan serta kerelaannya mengikhlaskan tanahnya kepada
pemerintah desa demi kepentingan umum. Upaya sangadi tersebut tidak
membuahkan hasil, karena warga tetap pada pendiriannya untuk tidak
menyerahkan tanah bagi kepentingan tersebut. Sepengetahuan Sangadi saat ia
masih menjabat sebagai kepala urusan pembangunan, lorong desa tersebut
semulan sangat lebar. Akan tetapi saat ini sudah menyempit di beberapa sisi
bagian ruas lorong. Warga memperlebar, menambah, mengambil, sepanjang satu
meter dan menjadikannya halaman rumah. Di bagian depan jalan masuk
menyempit. Pada tahun 2005 Desa Modayag mendapat alokasi dana sebesar Rp
85.000.000. dari pemerintah kabupaten khusus proyek peningkatan jalan
kabupaten (PPJK). Berdasarkan petunjuk Dinas Kimpraswil Kabupaten Bolaang
Mongondow bahwa untuk penentuan lokasi proyek, harus dimusyawarahakan
terlebih dahulu dengan warga desa agar dalam pelaksanaan kegiatan proyek nanti
tidak menemui permasalahan. Sangadi dan BPD, Kepala Dusun serta warga yang
berada di depan jalan utama melaksanakan rapat membahas alokasi dana tersebut.
Hasil musyawarah Sangadi dan BPD, Kepala Dusun I sampai dengan Dusun VI
dan warga, sepakat menunjuk lokasi proyek di Dusun IV. Kesepakatan ini
didasarkan atas pertimbangan lorong di dusun IV merupakan ruas jalan alternatif
yang menghubungkan dusun V dan lokasi terminal, Pasar Modayag.
69
Selanjutnya kegiatan pembuatan parit/saluran atau got air menimbulkan
masalah baru. Penyimpangan terjadi atas penyaluran/distribusi bahan semen oleh
bendahara bernama (MN). Biasanya semen didistribusikan atau disalurkan oleh
kepala teknik bernama bapak Herson Tuela, yang bersangkutan adalah seorang
tukang di desa yang telah berpengalaman, sehingga pemakaian semen dapat
dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis untuk menghindari pemborosan
material. Akan tetapi semen disalurkan oleh (JW) yang ditunjuk langsung oleh
Sangadi. Warga tetap semangat mengerjakan parit, mengejar waktu dan cuaca
sebelum musin penghujan yang nantinya menghambat penyelesaian. Beberapa
hari kemudian (JW) mengurangi stok semen dan komposisi campuran antara
semen dan pasir. (JW) mengatakan sebagai berikut :
“Depe campuran semen deng paser kase robah akang karna sangadi ada kase tau pa kita torang mo ba hemat semen, kalu ada lebe itu semen mopake di kerja laeng. Skarang depe campuran 1 kantong semen di campor deng 5 kantong paser, torang mo robah beking jadi 1 kantong semen campur jo deng 7 kantong paser. Kalu ngoni mo perlu semen harus kase tau pa kita jang sambarangan pi ba ambe pa bendahara karna bendahara so tau lai ini kabar dari sangadi tadi pagi. Terjemahannya :
Campuran komposisi semen dan pasir tolong harus dirubah,
karena sesuai informasi dari sangadi, kita semua harus menghemat material semen. Kelebihan atau sisa semen dalam pekerjaan ini sisanya akan dipergunakan pada pekerjaan lain atau kegiatan lain. Sekarang komposisi satu kantong semen dicampur dengan 5 kantong pasir, harus dirubah menjadi 1 kantong semen dicampur dengan 7 kantong pasir. Bila kalian nanti butuh semen beritahu saya, jangan langsung minta kepada bendahara karena bendaharapun sudah mengetahui informasi ini langsung dari sangadi pagi tadi.
Empat hari kemudian (JW) menginformasikan kepada warga yang
bergotong royong bahwa bahan semen telah habis. Pekerjaan untuk sementara
dihentikan karena dana yang dicairkan dari bank pada rekening desa saat ini baru
sebesar 70 persen. Pekerjaan akan dilaksanakan lagi bila dana telah disalurkan
seluruhnya seratus persen. Warga heran atas informasi ini karena merasa realisasi
70
pekerjaan belum sesuai target yang ada dalam bestek gambar proyek. Dalam
bestek tertera volume pekerjaan fisik sepanjang 100 meter, sedangkan hasil
capaian yang dikerjakan saat ini hanya mencapai volume 45 meter.
Sepengetahuan warga biasanya pada tahun-tahun yang lalu dana bantuan
desa untuk kegiatan fisik sebesar 70 persen dari total anggaran itu diperuntukan
khusus mendanai fisik proyek, sedangkan sisanya 30 persen untuk membiayai
administrasi atau non fisik kegiatan operasional desa. Beberapa waktu kemudian
diketahui warga bahwa material semen dimanfaatkan oleh seorang oknum aparat
desa yang dekat dengan Sangadi (MN) untuk membuat kolam ikan pribadi di
belakang halaman rumahnya. Kejadian ini dilaporkan oleh warga kepada Camat
Modayag. Akan tetapi permasalahannya hanya didiamkan.
Atas kejadian ini masyarakat resah, dimana masyarakat mengambilan
kembali material (batu, pasir) yang dipersiapkan sebelumnya di lokasi proyek.
Kegiatan proyek pembangunan jalan ini danai dari dana alokasi umum (DAU)
Kabupaten Bolaang Mongondow untuk Subsektor Pembangunan Desa, dan
swadaya masyarakat baik materil (Dana, batu, pasir, peralatan, transportasi)
maupun non materil (tenaga kerja, waktu).
4.1.3. Pembangunan Pabrik Pengolahan Material Batuan Logam Mulia dan Pengolahan Kayu
Warga desa mengadukan pencemaran limbah lingkungan perusahaan
pengolahan kayu (sawmill) PT Rocky, milik warga Desa Modayag (RW).
Kasus ini disebabkan tercemarnya udara, air, dengan debu gergajian dan unit
pengeringan kayu ( dryer ) di lingkungan pemukiman warga sekitar pabrik.
Kasus ini mengakibatkan gangguan pernafasan, batuk serta air sumur warga kotor
71
terkontaminasi debu, berbau, berwarna. Seorang warga, ibu korban pencemaran
lingkungan ini yang bernama (AD) memprotes pemilik perusahaan,
“ Om (RW tolong do akang patorang, torang nyanda larang itu perusahaan kayu ada, malahan torang senang karena torang pe warga lain ada dapa karja di perusahaan. Cuma itu depe abu dan arang yang angin tiup so masok pa torang pe rumah, parigi, mengotori itu jemuran deng yang lebe para torang sering kena penyakit kokehe”. Terjemahannya sebagai berikut:
“ Om (RW) tolonglah kepada kami (warga), warga sekitar pabrik tidak
melarang atau protes perusahan dibangun disekitar lokasi ini, malahan kami menerima dan senang karena warga sekitar mendapatkan pekerjaan diperusahaan. Akan tetapi debu dan arang yang ditiup angin sudah masuk ke rumah kami, sumur, juga mengenai jemuran pakaian, dan lebih parah lagi kami sering terkena penyakit batuk dan sesak nafas”.
Jawaban dari pemilik perusahaan “ Io kwa kita tau tapi tolong jangan
lapor pa pemerintah. Saya suka torang selesaikan ini masalah deng cara musyawah jo. Kalo ada parlu kase tau pa kita misalnya ngoni perlu aliran listrik kita mo Bantu pasang akang atau parlu air bersih kita mosambung akang. Samua depe ongkos pasang dengan biaya rekening nanti kita yang tanggung jawab. Yang penting jang lapor neh.” Terjemahannya sebagai berikut :
Jawaban dari pemilik perusahaan “. Iya saya mengerti dan saya tahu tapi jangan laporkan kepada pemerintah. Saya suka permasalahan ini kita selesaikan bersama secara musyawarah saja. Jika kalian perlu atau memerlukan bantuan saya bersedia, misalnya butuh air bersih atau listrik saya akan membantu pasang. Semua rekening dan ongkosnya saya yang bertanggung jawab.”
Debu tetap terbawa angin ke dalam rumah warga di sekitar pabrik,
sehingga kantor AMDAL Kabupaten memberikan sanksi. Direkomendasikan
kepada perusahaan untuk memberikan dana kompensasi kepada masyarakat yang
dirugikan. Besarnya dana kompensasi dimusyawarahkan dengan warga setempat
secara rasional dan wajar, serta layak. Perusahaan juga harus merehabilitasi unit-
unit produksi pengolahan kayu sesuai persyaratan teknis.
Kasus pencemaran lingkungan yang lain disebabkan lumpur beracun, oleh
perusahaan pengolah bahan material pertambangan emas, PT. Rocky yang juga
dimiliki (RW). Kasus ini disebabkan pipa penyalur limbah tambang (tailling)
patah dan bocor dan dam/pond penampung limbah lumpur bocor. Lumpur
72
limbah ini mengalir masuk perkebunan warga (AS) serta mencemari sungai.
Kejadian ini mengakibatkan beberapa jenis tanaman perkebunan dan pangan,
buah-buahan mati. (DN) memprotes pengawas perusahaan bapak bernama (JP)
sebagai berikut :
“ Om (JP) tolong pergi lia akang itu bak/pond penampungan pece, karna so penuh, torang kuatir kalo ta buang meluap ke kebong pa torang, dengan mo masuk ke sungai. Itu air sungai torang ada pake untuk kolam ikan, deng tetangga kobong yang laeng, pake disawah. Terjemahnya sebagai berikut : Bapak (JP) tolong lihat itu bak penampungan lumpur karena sudah penuh. Saya kuatir bila terbuang atau meluber ke kebun kami, dan juga nanti masuk ke sungai. Air sungai dipakai warga untuk mengairi sawah, tambak kolam ikan, serta tetangga kebun lainnya Jawab Bapak (JP) saat itu “ (DN) ngana jang kuatir kita tau kwa karna itu volume limbah pece yang ke bak penampung torang lebe tau deng ngana, depe jumlah yang ada skarang belum apa-apa”. Terjemahnya sebagai berikut : Jawab Bapak (JP) “ (DN) anda jangan kuatir. Saya tahu volume limbah lumpur yang berada dan masuk kedalam bak penampungan. Saya lebih tahu dari pada anda. Jumlah lumpur yang ada sekarang ini belum banyak.”
Menurut (DN) memang saat itu masih musim kemarau, namun jika
musim hujan bak penampungan tidak akan cukup menampung masuknya air
hujan. (AS) melaporkan kejadian ini kapada kepala desa dan Camat Modayag.
Tuntutannnya sebagai berikut : (1). bahwa limbah / material lumpur CV Rocky
telah mencemari lokasi ladang/kebun, (2). bahwa dengan adanya pencemaran
akibat limbah lumpur yang mengadung bahan kimia beracun asam sianida
(NaCN) telah merusak kebun / ladang, baik kondisi fisik, keseimbangan kimia
tanah dan tanaman perkebunan dan pangan yang tumbuh (kopi, kelapa, matoa,
alpukat, rambutan, lengkeng, singkong, ubi talas, nenas dll). Beberapa daun
tanaman mulai kuning, layu, gugur bahkan sudah ada yang mati, (3) bahwa
limbah lumpur telah mengalir mencapai sungai air tawar, di mana air sungai
73
digunakan untuk kegiatan pertanian, peternakan, perikanan darat, (4) pencemaran
limbah/material lumpur tersebut disebabkan bocornya bak/pond limbah pada sisi
bagian barat dan patah / pecahnya pipa saluran limbah lumpur yang
dibenam/ditanam pada sisi kanan jalan kebun/lorong, (5) pembuatan bak limbah
lumpur dan saluran pipa limbah lumpur tidak sesuai syarat teknis. (6). akibat
aliran limbah lumpur yang menggerus, secara fisik telah mengakibatkan
longsornya bagian tebing lahan/kebun yang berbatasan dengan sungai (Moayat),
limbah lumpur mengalir masuk sungai (Moayat) (7). bahwa jarak bak/pond
limbah lumpur hanya kurang lebih satu meter dengan batas lahan/kebun ladang
milik kami sebagai korban.
Camat meminta kepada korban agar tidak mengirim surat serupa ke
Kabupaten, karena Camat menyelesaikan kasus ini secepatnya. Dengan kejadian
ini pemilik lahan/tanah menuntut ganti rugi. Atas musyawarah yang dimediasi
oleh Camat Modayag maka disepakati biaya ganti rugi sebesar Rp 6.500.000,00.
Perusahan juga diwajibkan melakukan reklamasi lokasi yang tercemar milik
warga. (Gambar 11).
Gambar 11. Kasus Pencemaran Lingkungan Akibat Penambangan Mineral Emas di Desa Modayag.
74
4.1.4. Pembangunan Tower Transmisi Gelombang Optik PT Satelindo
Kasus pembangunan lainnya yaitu kasus pembangunan tower satelindo di
Lorong Maesaan. Kasus ini disebabkan tidak direalisasikannya janji perusahaan
kepada masyarakat. Untuk memberikan penerangan lampu di lokasi tower dan
persimpangan tiga lokasi lorong masuk. Kasus ini mengakibatkan diputuskannya
aliran listrik yang dimanfaatkan untuk unit tower sehingga tower tidak dapat
berfungsi sebagimana mestinya.
Hal ini juga mengakibatkan signal handphone di wilayah itu hilang
beberapa minggu. Kondisi ini merugikan masyarakat umum penggunan
handphone di wilayah Kecamatan Modayag dan kecamatan lain yang
menggunakan fasilitas tower Satelindo.
Atas kejadian ini perusahaan melalui bagian humasnya datang menemui
pemerintah desa dan warga di sekitar lokasi tower untuk memusyawarahkan
perjanjian antara perusahaan dengan masyarakat. Hasil rapat disepakati bersama
bahwa perusahaan akan merealisasikan janjinya seminggu kemudian dengan
mamasang tiang dan lampu mercuri, setiap tiang dipasang satu buah lampu.
4.2. Pembangunan Non Fisik
4.2.1. Ganti Rugi Lahan Perkebunan Warga untuk Industri Pertambangan Emas
Kasus-kasus pembangunan khusus non fisik yang terjadi di Desa
Modayag, menyangkut proses ganti rugi tanah warga oleh salah satu perusahaan
pertambangan emas di wilayah perkebunan masyarakat di lokasi Gogagoman dan
Talugon. Kasus ini disebabkan tidak transparannya pemerintah desa dan
kecamatan. Pemerintah desa dan kecamatan tidak mensosialisasikan kepada warga
75
masyarakat sejelas-jelasnya menyangkut ganti rugi lahan/tanah oleh perusahaan
kepada warga pemilik lahan.
Pada pertengahan tahun 2002 sebuah perusahaan pertambangan emas
bernama PT Avocet Minning berkedudukan di Inggris menandatangani kuasa
usaha pertambangan dengan pemerintah Indonesia di Jakarta, dengan konsesi
usaha lahan pertambangan seluas ± 1300 Ha lokasinya di wilayah Desa Lanut
Kecamatan Modayag.
Ketika proses ganti rugi tanah warga, sesuai tahapannya yakni tahap
pertama pemetaan / pengukuran, tahap dua kelengkapan administrasi ke PPAT-an
dan tahap ketiga transaksi pembayaran untuk keperluan kegiatan penambangan
emas oleh PT Avocet Minning Bolaang Mongondow di Kecamatan Modayag
pada September 2005, terjadi sengketa lahan perkebunan antara warga Desa
Modayag dan warga Desa Tobongon. Sengketa ini terjadi disebabkan tumpang
tindih peta lokasi perkebunan kedua kelompok tani dimaksud. (DK) anggota
kelompok tani masyarakat Desa Modayag melaporkan permasalahan ini ke
DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow, serta melalui media massa Manado Pos
mengekspos permasalahan ini.
Masing-masing warga kedua desa saling mengklaim dan
mempertahankan wilayah yang akan diganti rugi oleh perusahaan sebagai
milik mereka. Warga Desa Modayag dipimpin ketua kelompok tani bapak (RA),
sedangkan dari warga Desa Tobongon Sangadi sendiri bapak (AI). Sebenarnya
permasalahan ini sudah lama dilaporkan (RA) kepada Sangadi Desa Modayag.
Sangadi Desa Modayag menyatakan akan menyelesaikan permasalahan dengan
Camat Modayag.
76
Pada bulan Januari 2005 kepala desa bersama kelompok tani
mengadakan rapat membahas pemasalahan tanah perkebunan ini. Akan tetapi
Sangadi tidak dapat memutuskan karena menyangkut hak kepemilikan,
sedangkan yang bersengketa bukan warga se desa akan tetapi warga antar desa.
Mengkhawatirkan hal-hal yang terjadi, Sangadi melaporkan kepada Camat
Modayag. Seminggu kemudian Camat mengundang kedua Sangadi dan warga
dari kelompok tani masing-masing di kantor Camat dalam rangka penyelesaian
sengketa dimaksud.
Camat mengatakan bahwa apabila kedua kelompok tidak mendapatkan
kesepakatan maka disarankan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan untuk
mendapatkan kepastian hukum yang tetap. Atas pernyataan Camat demikian,
kelompok tani dari Desa Modayag beranggapan tidak mendapatkan pelayanan
semestinya dari pejabat pemerintah kecamatan. Kelompok dari Desa Modayag
menyatakan bahwa Camat Modayag ”plinplan” dalam menyelesaikan
permasalahan ini, Camat bersikap tidak netral.
Penyebab permasalahan tersebut yakni ; (1) adanya tarik ulur tanda batas
lokasi perkebunan antara warga Desa Modayag dengan warga Desa
Tobongon dan Liberia. (2) terjadi perebutan lahan antara warga se Desa
Modayag, (3) terjadi pelanggaran atas Surat Keputusan Bupati Nomor.
521.52/238/PEM/II/84 tanggal 15 Pebruari 1984, tentang Izin Penetapan Lokasi
Perkebunan Gogagoman dan Talugon, (4) terjadi manipulasi nama warga, tidak
sesuai lagi dengan SK Bupati. (5) terjadi perampasan hak warga oleh oknum
pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten.
”Data bocoran” yang di temukan salah satu anggota kelompok tani Desa
Modayag bernama (DK) bahwa oknum Camat dan beberapa anggota DPRD
77
namanya terdaftar sebagai penerima ganti rugi tanah pada kelompok tani Desa
Tobongon. Sedangkan oknum-oknum pejabat tersebut namanya tidak terdaftar
dalam lampiran Surat Keputusan Bupati Bolaang Mongondow Nomor
521.52/238/PEM/II/84 tanggal 15 Pebruari 1984. Pada tanggal 25 September
2005 kasus ini diselesaikan lewat dengar pendapat (hearing) kelompok tani
dengan instansi terkait. Instansi yang berkompeten dalam hearing tersebut yakni
assisten I dan II Setda Bolaang Mongondow, Dinas Pertambangan dan Energi
Kabupaten Bolaang Mongondow, Badan Pertanahan, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, Camat Modayag, Sangadi Modayag dan Tobongon. Hearing
dipimpin oleh ketua DPRD dengan anggota komisi A yang membidangi
hukum dan pertanahan.
Dalam hearing kedua kelompok menyampaikan bukti-bukti kepemilikan
sebagai alas hak masing-masing berupa berkas yang terdiri dari peta lahan, surat
keputusan dari pejabat yang berwenang, dan saksi ahli serta alasan-alasan dan
argumentasi. Kedua kelompok saling berdebat untuk meyakinkan pimpinan
DPRD dan pemerintah kabupaten agar mereka dapat memperoleh pengakuan serta
legalitas atas kepemilikan tanah dimaksud. Permasalahan ini tidak selesai pada
hari itu, dan dilanjutkan dengan peninjauan lapangan/lokasi oleh tim yang
dipimpin oleh ketua komisi A.
Pada tanggal 1 Oktober 2005 kelompok tani dari kedua desa ini
diundang oleh DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow, instansi/dinas dan badan
Setda Kabupaten Bolaang Mongondow, tim berkesimpulan bahwa tanah yang
disengketakan adalah sah secara hukum menjadi milik masyarakat Desa
78
Modayag. Gambar 12. menunjukkan kunjungan Bupati Bolaang Mongondow,
DPRD pada acara peresmian perusahaan tambang.
4.2.2. “Pernikahan di Bawah Tangan” oleh Aparat Desa
Kasus tindakan amoral oleh oknum aparat pemerintah Desa Modayag
(UM) dengan seorang wanita yang sudah bersuami. UM sengaja melarikan
WM ke luar desa dan mengawininya secara agama (”di bawah tangan”) tanpa
seij in istri pertama. Kasus ini dilaporkan oleh suami korban kepada BPD, akan
tetapi BPD tidak dapat mengatasi karena pelaksana adat berada di bawah
pengaruh kuat Sangadi.
Kasus ini mengakibatkan cerainya pernikahan yang sah AM dengan
wanita berinisial WM. Kasus inipun menjadi topik perbincangan warga pada
saat itu. Seorang kepala desa sebagai pemimpin adat berbuat dan berperilaku
amoral, merusak hubungan keluarga suami- istri. Kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah desa menurun.
Gambar 12. Bupati, DPRD dan Pimpinan perusahaan pada acara pengresmian perusahaan pertambangan.
79
4.2.3. Pemilihan Kepala Desa Modayag
Pada bulan Juli 2004 Desa Modayag mengadakan proses pemilihan
kepala desa (Pilkades), karena memang saat itu jabatan kepala desa lama sudah
berakhir. Camat pada waktu itu (Drs.SM), memerintahkan Kepala Desa untuk
membentuk panitia pemilihan Kepala Desa Modayag. Berdasarkan perintah
kecamatan maka dibentuklah panitia pilkades, dengan susunan panitia sebagai
berikut ketua (CL), sekretaris (MN) dan bendahara (JM). Pada bulan Agustus
2004 diadakanlah pendaftaran bakal calon kades, secara bersamaan dilakukan
pendaftaran wajib pilih. Pada saat itu terjaring 5 (lima) bakal calon Sangadi yaitu
(1) (UM), (2) (FJO), (3) (NM), (4) JM dan (5) ARM.
Berdasarkan hasil tes penjaringan di tingkat kabupaten semuanya
memenuhi syarat untuk ikut dalam pilkades menjadi calon kepala desa.
Sebetulnya terdapat satu sangadi yang tidak memenuhi syarat berijasah minimal
SMP. Bakal calon dimaksud, (UM) ternyata lolos ditingkat kecamatan dan
kabupaten. FJO berijasah sarjana lainnya berijasah setingkat SMU/SMA.
Pada proses pelaksanaan , sesuai daftar nama pemilih tetap jumlah pemilih
tercatan sebesar 3.814 wajib pilih. Ketika tiba saat hari pemilihan terjadi
kejanggalan, yaitu warga desa luar ikut melakukan pencoblosan kertas suara atau
ikut memilih. Namanya tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap. Ia adalah adik
kandung (UM). Seorang pemilih lagi masih di bawah umur. Keadan ini diprotes
saksi calon di tempat pemungutan suara. Pilkades terhenti sekitar satu jam. Atas
kesepakatan dan untuk menjaga tidak terjadi keributan yang memancing massa
calon masing-masing, maka pelaksanaan pilkades dilanjutkan kembali.
80
Pada proses perhitungan kartu suara, terjadi perbedaan menyolok antara
jumlah wajib pilih dengan jumlah kartu suara yang masuk sebesar 32 suara.
Kejadian inipun diprotes oleh seorang saksi calon di TPS. Saksi calon (JR)
sempat berang. Aparat keamanan yang berada di lokasi langsung menetralkan
situasi dengan menenangkan saksi calon. Perhitungan suara dilanjutkan. Hasil
perhitungan suara menunjukan UM mendapat 2.027 suara, FJO mendapat 1.504
suara, NM mendapat 103 suara, ARM mendapat 67 Suara, JM mendapat 81
suara.
Sebagian warga heran, karena saat kampanye massa masing-masing
calon terlihat memungkinkan untuk menggantikan kepala desa lama UM, akan
tetapi di saat perhitungan suara semuanya berubah. Setelah dua hari lewat, muncul
kabar dari warga HM bahwa pada waktu persiapan pilkades tepatnya sehari
sebelum pemilihan, calon UM melakukan taktik politik dengan membagikan
uang (Money Politic) kepada wajib pilih di waktu pagi dini hari (serangan fajar)
yang disalurkan oleh JU tim suksesnya.
Setelah ditelusuri hal ini ternyata memang benar, kebenaran informasi ini
ditemukan pada saat informan menanyai dua orang warga Ela dan Fin dengan
tulus mengaku menerima uang masing-masing sejumlah Rp. 20.000. Hal lain
yang mempengaruhi pilkades yaitu bahwa beberapa anggota BPD, tokoh
masyarakat, pengusaha, dan tua-tua kampung (guranga lipu) termasuk sekretaris
panitia pilkades turut berkampanye mendukung UM, serta beberapa ketua-ketua
kerukunan keluarga. UM menyampaikan pernyataan sebuah istilah ” Inga-Inga
tu di Talugon dan Gogagoman” (Jangan lupa waktu di lokasi Talugon dan
Gogagoman). Lokasi talugon dan gogagoman adalah lokasi perkebunan warga
81
yang pada tahun 2002 yang lalu oleh perusahan pertambangan telah melakukan
ganti rugi tahap pertama. Gambar 13. menunjukan pemilihan Kepala Desa
Modayag tahun 2004.
Hal ini terbukti dengan diloloskannya yang bersangkutan pada proses
(pilkades) pemilihan kepala desa. Sedangkan menyangkut pemilih dari luar desa
panitia menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah warga Desa Modayag,
karena yang bersangkutan adalah adik kandung dari UM. Akan tetapi warga
mengetahui identitas dan tempat tinggal yang bersangkutan dengan jelas,
walaupun ia adalah adik kandung calon.
4.2.4. Penyaluran Beras Untuk Keluarga Miskin di Desa Modayag Laporan warga kepada Bupati Bolang Mongondow, Polres Bolaang
Mongondow, Camat Modayag, atas penyimpangan beras keluarga miskin
(Raskin) di Desa Modayag, dilakukan oleh seorang penyalur (TM). Kasus ini
disebabkan ; (1). Pendataan dan inventarisasi keluarga miskin di desa tidak akurat.
(2). Pemotongan volume fisik beras sebesar 2 – 3 kilogram terhadap setiap
Gambar 13 . Pelaksanaan Pilkades Desa Modayag tahun 2004.
82
keluarga penerima raskin.; (3). Penyalur menaikkan harga beras Rp 250,00
rupiah per kilogram sehingga menjadi Rp1250,00 per kilogram dan pengambilan
kartu keluarga miskin dikenakan biaya sebesar Rp. 2000,00 untuk setiap
keluarga miskin. Jatah volume beras yang diterima warga keluarga miskin
berkurang dan terjadi pembebanan uang kepada warga keluarga miskin.
Kegiatan distribusi beras untuk keluarga miskin dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Distribusi Raskin di Kantor Dolog Bolaang Mongondow.
83
BAB V
DAMPAK PEMBANGUNAN DESA
5.1. Pembangunan Sarana Peribadatan
Pelaksanaan pembangunan sarana peribadatan yang dilakukan oleh
warga bersama pemerintah desa yakni pembangunan satu unit rumah ibadah
(masjid) Baitulrahman Desa Modayag. Masjid adalah sarana ibadah yang
memang sangat dibutuhkan oleh jamaah muslim. Sebelum dibangunnya
masjid baru ini, masyarakat menggunakan/memanfatkan gedung lama masjid
Baitulrahman. Bangunan masjid lama secara fisik sudah tidak layak lagi untuk
dipergunakan. Masjid lama dibangun pada tahun 1975 dengan ukuran 16 meter x
20 meter semi permanen. Atap masjid dari seng. Rangka atap terbuat dari kayu
lokal kelas 3 (tiga) Kayu Cempaka, rehab bagian atap masjid terakhir tahun
1988.
Kondisi alam Desa Modayag yang sangat dekat dengan gunung
Ambang, yang merupakan gunung berapi aktif. Gunung Ambang setiap saat
mengeluarkan asap yang mengandung zat asam belerang. Bila hujan hari atau
kabut asap turun menutupi wilayah desa-desa yang berada di bawah kaki gunung.
Desa Modayag berada dekat kaki gunung kurang lebih tiga kilometer, sehingga
bangunan yang menggunakan atap seng akan mudah berkarat dan cepat bocor.
Kebocoran atap berakibat rusaknya rangka atap dan pada bagian lain,
tiang, dinding dan lantai. Kondisi masjid, kapasitasnya tidak lagi sesuai dengan
jumlah Jama’ah dan kualitas struktur fisik sudah memprihatinkan bahkan
berbahaya bila terjadi bencana alam gempa bumi. Warga mengkuatirkan keadaan
84
fisik masjid sehingga setiap pelaksanaan ibadah sholat Jum’at, ada warga yang
duduk di luar, di masjid.
Setelah masjid dibangun, masyarakat sudah merasakan manfaatnya,
tidak lagi beribadah diluar gedung, karena daya tampung gedung baru berukuran
lebih besar yakni lebar 18 meter x panjang 22 meter. Sedangkan kualitas gedung
sudah baik terutama lantai sudah dipasang ubin/tegel sehingga warga sudah dapat
melakukan ibadah di dalam ruangan masjid, walaupun belum 100 % selesai.
Warga tidak lagi merasa kuatir dengan keadaan cuaca dan bencana alam gempa
bumi.
Dengan adanya pembangunan fisik sarana peribadatan diatas beberapa
manfaat langsung yang dirasakan warga yakni (1). Secara phsikologis timbul
kebanggaan warga, karena walaupun bertahap selangkah demi selangkah
sudah dapat membangun masjid kondisi permanen. (2). Masyarakat merasa
nyaman dalam beribadah, tidak ada rasa kuatir bila terjadi hujan, dan keadaan
panas pada siang hari. (3). Tumbuh dan berkembang, kebersamaan diantara
warga jamaah, dan antar umat beragama, karena dalam pelaksanaan dilakukan
secara bersama pula bergotong royong (Bobakid).
Ketika pembangunan fisik dilaksanakan dan dilakukan bersama warga
muncul beberapa permasalahan yakni; (1) adanya pembebanan biaya berupa target
dalam bentuk uang kepada setiap keluarga. (2) adanya korbanan waktu ,tenaga
saat setiap pelaksanaan kegiatan setiap hari jum’at. (3). Pembuangan talang air
hujan yang menggenangi halaman rumah warga, karena talang pembuangan air
sudah bersinggungan dengan tanah warga.
Dampak negatif non fisik yang muncul yakni secara psikologis adalah
(1). Adanya kecurigaan warga masyarakat terhadap pemerintah desa dan panitia
85
pelaksana dalam pengelolaan anggaran pembangunan yang tidak transparan
kepada masyarakat, (2). Menurunnya partisipasi baik materil dan non materi
warga masyarakat dalam menunjang pelaksanaan pembangunan, (3).Menurunnya
kepercayaan warga masyarakat kepada pemerintah dan panitia pelaksana
pembangunan,(4) memunculkan rasa apatis warga masyarakat terhadap
pelaksanaan kegiatan, (5). Menimbulkan pengawasan masyarakat terhadap
pemerintah dan aparaturnya. Seorang warga (MS) menuturkan :
Saat ini torang perhatikan pembangunan masjid ini so nyanda dilaksanakan oleh panitia tapi so Sagadi langsung kasarnya Sangadi So berfungsi ganda sebagai ketua pembangunan masjid dan sebagai kepala desa. Contohnya blanja pengadaan barang/materia,l so Sangadi langsung yang blanja di toko. Torong duga dana pembangunan masjid dorang so pake untuk kepentingan pribadi. Tetapi setelah torang tanya pa dorang(Panitia pembangunan dan sangadi) dorang jawab bahwa kekurangan yang terjadi pada buku kas hanya disebabkan kesalahan administrasi pembukuan. Yang lebe parah lagi bahwa ketua BPD ta iko-iko pa sangadi. Sampe skarang torang masih mempertanyakan itu beberapa kekurangan yang terjadi pada keuangan pembangunan masjid, tetapi dorang (panitia pembangunan dan sangadi) badiang nyanda perhatikan lagi seolah-olah nyanda terjadi apa-apa. Diterjemahkan : Saat ini setelah saya perhatikan pembangunan masjid ini bukan lagi dilaksanakan oleh panitia tetapi sudah dibawah kendali kepala desa atau kasarnya kepala desa sudah berfungsi ganda sebagai ketua pembangunan masjid dan sebagai kepala desa. Contohnya banyak pengadaan barang/material yang dilakukan langsung oleh kepala desa. Pernah juga ada dugaan bahwa dana pembangunan masjid telah dimanfaatkan oleh sekretaris panitia pembangunan. Tetapi setelah dipertanyakan masyarakat, panitia dan kepala desa menjawab bahwa kekurangan yang terjadi pada buku kas hanya disebabkan kesalahan administrasi pembukuan. Yang sangat parah lagi bahwa ketua BPD dibawah kendali kepala desa. Sampai saat ini kami masih mempertanyakan beberapa kekurangan yang terjadi pada keuangan pembangunan masjid, panitia dan Sangadi hanya diam tidak memperhatikan lagi seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
86
5.2. Pembangunan Lorong Desa
Pembangunan sarana transportasi di wilayah desa memungkinkan
tumbuhnya kesempatan untuk serangkaian tingkah laku inovatif, menyangkut
lebih banyak individu yang melakukan perjalanan, teknologi baru usaha tani,
bentuk baru lapangan kerja, pelayanan baru, kegiatan waktu senggang yang baru,
pola konsumsi baru, dan peningkatan partisipasi warga dalam pembangunan,
(Cook dalam Agusta 2004).
Pelaksanaan pembangunan sarana transportasi yang dilakukan oleh warga
bersama pemerintah desa yakni pembangunan jalan lorong (pelebaran dan saluran
air) desa Modayag. Pembangunan sarana transportasi ini memang sangat
dibutuhkan oleh warga masyarakat di desa Modayag khususnya yang bermukim
di lorong menuju ke BPU desa Modayag. Sebelum dibangunnya sarana
transportasi ini, kondisi jalan lorong tersebut kurang baik, keadaannya becek dan
dibeberapa bagian berlobang tidak rata, juga terdapat bebatuan yang nampak di
permukaan jalan. Bila melalui jalan lorong tersebut pada malam hari sangat jika
tidak hati-hati bisa jatuh atau terantuk batu. Namun setelah dibangun atau di
tingkatkan kondisinya sudah lebih baik, dan masyarakat telah dapat
menggunakan/memanfaatkan, walaupun belum 100 % selesai. Warga yang
bertempat tinggal dan bermukim di lorong tersebut merasa legah.
Ada beberapa dampak yang nyata setelah dibangunnya jalan lorong dan
saluran airnya yakni (1). Kemudahan jangkauan pelayanan kendaraan yang
masuk di lorong tersebut, sebelum dibangun/di tingkatkan kualitas jalannya
mobil taksi/angkot tidak mau masuk melalui lorong tersebut (2). Lorong sudah
87
dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan baik roda empat maupun roda dua,
lebih cepat, nyaman, (3). Bertambahnya bangunan rumah tinggal penduduk di
lokasi lorong tersebut, sekarang lorong sudah mulai ramai atas ketambahan
warga di dusun tetangga yang membeli dan tinggal di jalan lorong tersebut, (4).
Adanya kenyamanan warga berjalan kaki, tidak kuatir lagi jatuh terantuk batu
atau licin karena becek. Dituturkan warga (RS).
Bila torang bandingkan itu kondisi jalan yang lalu sangat besae , oto-oto taksi umum nimau maso di lorong ini, tapi sekarang so ada peningkatan. Torang warga merasa senang, dengan berbagai kemudahan transportasi ini. Waktu lalu, torang pigi ke Kotamobagu beli bahan / material bangunan, oto taksi so suka antar sampe dirumah. Belum lagi kepentingan laeng, seperti anak skolah so dapa naik oto langsung di depan rumah masing-masing,dan ibu-ibu ke pasar. Diterjemahkan : Bila dibandingkan dengan kondisi jalan yang lalu sangat jelek, kendaraan umum tidak dapat melalui lorong ini, tapi sekarang sudah ada peningkatan. Kami warga pun merasa senang, dengan berbagai kemudahan transportasi. Waktu yang lalu, saya ke kotamobagu membeli bahan / material bangunan, kendaraan angkutan mengantar sampai kerumah. Belum lagi kepentingan lainnya, seperti anak sekolah sudah dapat naik mobil langsung di depan rumah masing-masing dan ibu-ibu ke pasar.
Selain dampak positif fisik yang dirasakan langsung oleh warga
masyarakat ada juga positif non fisik, yakni ; (1). Adanya suasana baru bagi
warga yang bertempat tinggal di lorong tersebut, jalan lorong terasa luas/lebar,
rata, tidak becek, berlobang, (2). Waktu terasa lebih cepat untuk ke sekolah bagi
anak-anak, pasar, ke puskesmas, ke kantor desa, dll, berbeda sebelum dibangun
harus jalan kaki ke sekolah, ke kantor dan ke pasar serta berbagai kepentingan
lain, (3). Warga merasa tidak terisolasi atau minder untuk tinggal di lorong yang
menjorok masuk ke dalam areal pemukiman, (4). Kesehatan sanitasi, peningkatan
88
kesehatan lingkungan, saluran air sudah baik, bila hujan sampah tidak berserakan
di jalan, tidak becek mengotori pakaian, sandal, dan sepatu.
Selama ini yang menjadi keluhan warga dengan adanya pembangunan
jalan/lorong tersebut menimbulkan dampak negatif yakni ; (1). Terjadi
peningkatan jumlah kendaran roda dua dan roda empat, karena lorong tersebut
dijadikan jalan alternatif, mudah terjadi kecelakaan lalu lintas bila jalan
induk ditutup untuk kepentingan umum masyarakat dan pemerintah, (2). Bila
musim kemarau terjadi polusi udara debu beterbangan masuk kerumah warga dan
polusi suara saat mobil atau motor masuk keluar lorong tersebut.
Dampak negatif non fisik muncul kemudian setelah dibangunnya jalan
tersebut yakni disebabkan oleh ; (1). Saat kegiatan pelaksanaan pembangunan,
terjadi penyelewengan/penyimpangan atas penggunaan material yang dilakukan
oleh oknum aparat desa, (2). Terjadi kecurigaan dan menurunnya tingkat
kepercayaan warga masyarakat yang tinggal dilorong tersebut kepada pemerintah
desa, (3). Menurunkan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan desanya.
5.3. Tower Transmisi Gelombang Optik PT Satelindo
Tower satelindo dibangun pada tahun 2004 dengan lokasi pembangunan
di Desa Modayag dengan tinggi kurang lebih 75 meter dan lebar bagian ukuran
pondasi bawah 9 meter x 9 meter. Pelaksanaan pembagunan tower ini
melibatkan masyarakat sekitar lokasi tower. Dengan dibangunnya bangunan
tower oleh PT Satelindo, beberapa dampak muncul yakni :
Dampak positif fisik dibangunnya tower PT. Satelindo dilokasi dusun
IV lorong Maesaan adalah yaitu ; (1) bertambahnya jumlah bangunan permanen
89
di dusun IV Maesaan, (2) Berubahnya kondisi lingkungan sekitar tower. (3)
Bertambahnya pengguna Handphone di Desa Modayag, karena kualitas signal
telah menjangkau wilayah Kecamatan Modayag dan beberapa kecamatan
tetangga.
Dampak positif non fisik dengan dibangunnya bangunan tower PT.
Satelindo yakni ; (1). Saat dimulainya pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik,
warga masyarakat selama kurang lebih empat bulan mendapatkan pekerjaan
sebagai buruh, tukang, pada kegiatan tersebut, bertambahnya pendapatan keluarga
pekerja, (2). Dengan beroperasinya tower, dua orang warga mendapatkan
pekerjaan tetap untuk menjadi operator tower dan penjaga bangunan tower, (3)
Bertambahnya nilai dan jumlah pajak (PBB) di desa, (4). Secara teknis,
meningkatnya kualitas signal handphone (HP) di wilayah Kecamatan Modayag
secara khusus dan meningkatnya hubungan komunikasi antar warga se Kecamatan
Modayag dan kecamatan tetangga secara umum. Sebelum di bangunnya tower
signal, handphone di Desa Modayag kurang baik sering putus-putus, tetapi
dengan adanya tower, sekarang sudah baik. (5). Pemanfatan uang hasil penjualan
tanah warga yang menjual tanahnya untuk kepentingan pembangunan tower,
mendapatkan harga jual yang tinggi, dari perusahaan dan digunakan untuk
membeli rumah dan tanah yang lebih luas. Dituturkan warga (JA).
So bagus itu signal, setelah ada beking to tower, dua taong lalu itu signal di Kecamatan Modayag putus-putus nyanda bagus. Torang kalu mo aktifkan itu Handphone musti cari tampa tinggi baru dapa depe signal. Skarang biar di kamar itu signal pe kuat sebab tu tower perusahaan so beking.
90
Diterjemahkan : Signal sudah bagus setelah perusahaan membangun tower, dua tahun yang lalu signal handphone di Kecamatan Modayag sering hilang atau putus tiba-tiba. Bila kami mengaktifkan Handphone, harus mencari tempat yang lebih tinggi untuk mendapatkan kualitas signal yang baik. Sekarang walaupun di dalam kamar, signal sudah kuat/baik sebab perusahan telah membangun tower. Selain dampak positif baik fisik mupun non fisik pembangunan tower
transmisi signal PT Satelindo berdampak negatif fisik dan non fisik, untuk
dampak negatif fisik yaitu ; (1). Rusakanya jalan dan gorong-gorong (leput) yang
dibangun pemerintah di dusun IV lorong Maesaan, disebabkan transportasi alat
berat saat mendistribusikan material pembangunan tower, sebelum dibangunnya
tower ini jalan masuk lorong kondisinya aspal sangat baik akan tetapi ketika
dimulainya pembangunan tower kendaraan yang mengangkut material bahan
bangunan dan besi membuat lapisan aspal pecah/retak dan ketika hujan, aspal
jalan mulai terangkat, turunnya permukaaan jalan, (2). Meningkatnya frekuensi
terjadi petir di lokasi lingkungan sekitar bangunan tower lorong pada radius 250
meter, (3). Meningkatnya kerusakan peralatan elektronik Televisi, Telepon
rumah, CD Player, dan Radio.
Adapun dampak negatif non fisik yang ditimbulkan atas dibangunnya
tower transmisi signal PT Satelindo di dusun IV lorong Maesaan adalah ; (1)
Kekuatiran warga di lingkungan tower saat terjadi hujan yang disertai kilat/petir.
Sebelum dibangunnya tower dilokasi tersebut jarang terjadi petir yang kuat,
namun setelah dibangunnya tower sekarang ini intensitas petir semakin
tinggi, (2). Sengketa warga dengan PT Satelindo atas pemutusan aliran listrik
yang digunakan pada penerangan lampu tower oleh warga, (3). Kepercayaan
91
warga terhadap perusahaan menurun, (4). Berkurangnya kepemilikan tanah
warga, karena beralih kepada pihak swasta atau investor, (5)..Memicu warga
untuk melakukan tuntutan dan melaporkan permasalahan ini kepada pemerintah
daerah, untuk membongkar tower yang sudah dibangun. Ditutur seorang warga
(RP) :
Setelah tower dorang beking, warga torang yang tinggal disekitar lingkungan tower sering menjadi sasaran kilat/petir. Torang pe barang-barang elektronik (Televisi, telephon, VCD, tape recorder) slalu rusak sebab sambaran kilat/petir. Selain itu torang tako kalu ada gempa bumi, torang rasa kuatir kalu nanti tower runtuh kong tatindis pa torang pe rumah, torang pe keselamatan jiwa terancam. Diterjemahkan : Setelah tower dibangun, kami yang tinggal disekitar lingkungan tower menjadi sasaran kilat/petir. Barang-barang elektronik (Televisi, telephon, VCD, tape recorder) sering rusak akibat sambaran petir. Selain itu kami juga ketika terjadi gempa bumi merasa kuatir jika nanti tower runtuh dan menimpa warga sekitar, keselamatan jiwa kami terancam.
5.4. Pembangunan Pabrik Pengolahan Emas dan Pengolahan Kayu (Sawmill)
Pembangunan pabrik pengolahan material batuan logam mulia (emas)
dan Pengolahan kayu (sawmill) menimbulkan berbagai dampak baik dampak
positif fisik maupun non fisik dan dampak negatif fisik dan non fisik.
Dampak positif fisik yakni; (1). Jalan menuju ke pabrik/perusahaan
sepanjang satu kilometer dibangun perusahan dengan kondisi yang baik terbuat
dari aspal hotmix, (2). Memberikan daya tarik kepada masyarakat, untuk
membangun rumah tempat tinggal dan usaha di sepanjang jalan menuju
pabrik, (3) Adanya lampu penerangan jalan yang dipasang oleh perusahaan
sepanjang satu kilometer, menambah keindahan dan meningkatkan keamanan
lingkungan sekitar pabrik. (4). Adanya kelancaran transportasi bagi warga yang
bermukim di sekitar pabrik, karena kendaran umum roda empat, roda dua dan
92
sepeda dapat menjangkau kebutuhan warga seperti ibu- ibu ke pasar untuk belanja
keperluan sehari-hari, anak-anak ke sekolah, ke Puskesmas, ke kantor pemerintah
kecamatan, karena sebelum perusahaan membangun jalan ini kondisinya kurang
baik, berbatu, tidak rata, berlobang. Bila hujan becek, sebaliknya saat kemarau
berdebu. Kendaraan umum tidak dapat melalui lorong tersebut, sekarang berbagai
kepentingan transportasi warga dengan cepat diperoleh.
Dampak positif non fisik yang ditimbulkan dengan adanya
pembangunan pabrik tersebut yakni ; (1). Adanya lapangan usaha baru dan
terbukanya peluang kerja didalam lingkungan perusahaan dan diluar bagi warga
sekitar pabrik dan di desa pada umumnya, warga masyarakat dapat bekerja
dipabrik pengolahan kayu dan pengolahan bantuan material logam mulia (emas),
(2). Adanya kontribusi berupa partisipasi perusahaan kepada pemerintah desa
secara materil, (3). Adanya kontribusi materil dari perusahan kepada warga
berupa penyediaan air bersih dan energi listrik bagi warga yang belum mampu
membayar biaya administrasi sambungan instalasi listrik dirumah tinggalnya (4).
Adanya pengetahuan alih teknologi pengolahan dengan bahan kimia yang berbeda
dari yang terdahulu kepada warga.
Dampak positif fisik dan non fisik pembangunan pabrik pengolahan
kayu dan logam mulia, terdapat juga dampak negatif fisik yakni ; (1). Terjadi
pencemaran lingkungan polusi ( air, udara, tanah dan suara) bagi warga yang
bermukin disekitar pabrik. (2). Berkurangnya lahan pertanian warga yang
disebabkan terjadinya peralihan hak atas tanah melalui proses transaksi jual beli
93
antara warga dan perusahaan, (3). Meningkatnya arus transportasi dilingkungan
pabrik karena aktivitas perusahaan.
Selain adanya dampak positif fisik dan positif non fisik, adanya
pembangunan pabrik pengolahan kayu dan logam mulia ini terdapat juga
dampak negatif non fisik yakni ; (1). Adanya gugatan warga atas pencemaran
lingkungan yang disebabkan limbah pabrik yang berbentuk lumpur, debu,
gas/asap, (2). Menimbulkan gangguan kesehatan bagi warga yang bermukim
disekitar pabrik, (3). Hilangnya rasa nyamanan hidup warga yang tinggal di
lingkungan sekitar pabrik, (4). Menimbulkan ketidakharmonisan warga di sekitar
lingkungan pabrik dengan pihak perusahaan.
5.5. Ganti Rugi Tanah Lahan Perkebunan Warga untuk Industri
Pertambangan Emas
Dampak dari pada pembangunan industri pertambangan di wilayah
Kecamatan Modayag, terkait langsung dengan warga desa modayag yakni pada
proses ganti rugi tanah perkebunan warga masyarakat Modayag yang berlokasi di
Desa Lanut. Akan tetapi di Desa Modayag dimana warga pemilik adalah warga
Desa Modayag, maka dampak positif yang terjadi di Desa Modayag adalah
sebagai berikut; (1). Dari dana ganti rugi lahan perkebunan yang diterima warga,
dimanfaatkan untuk membangun rumah, biaya pendidikan anak, membeli
kendaraan roda dua, roda empat, serta membeli lahan pengganti di lokasi lain,
(2). Dengan dibangunnya jalan menuju kelokasi perusahaan, masyarakat yang
lahannya tidak masuk pada kawasan eksplorasi dan ekploitasi atau kawasan
hijau (green belt) dapat memanfatkan jalan tersebut, serta ke kebun sudah
94
menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua, (3). Warga membangun rumah
dengan dana ganti rugi, karena sebelumnya kondisi bangunan rumah warga tidak
sesuai dengan standar rumah sehat, masih menggunakan atap (rumbia), atap yang
dibuat dari susunan daun sagu, dan berdinding terbuat dari anyaman batang
bambu. Tetapi sekarang terjadi peningkatan, sudah semi permanen bahkan beratap
genteng, lantai ubin, berdinding bata plesteran semen. (4). Bertambahnya
kepemilikan kendaraan roda empat dan roda dua, (5). Meningkatnya sarana
transportasi desa.
Dampak positif non fisik dari pada proses ganti rugi tanah perkebunan
warga masyarakat modayag yang berlokasi di Desa Modayag yakni, (1). Adanya
perbaikan dan peningkatan taraf hidup khusus bagi warga penerima dana ganti
rugi, (2). Terbukanya lapangan pekerjaan dan usaha ekonomi warga di desa,
bahkan secara umum di Kecamatan Modayag, sebab dana ganti rugi oleh sebagian
warga dimanfaatkan untuk modal usaha (3). Meningkatnya kesadaran masyarakat
dalam partisipasi terhadap pembangunan di desa, (4). Meningkatnya status
sosial warga penerima dana ganti rugi.
Dampak negatif fisik proses ganti rugi tanah perkebunan warga
masyarakat modayag (1). Terjadinya penambahan unit kendaran roda empat dan
roda dua, hal ini disebabkan warga yang menerima dana ganti rugi sebagian
membeli kendaraan roda empat dan roda dua, (2). Terjadinya peningkatan polusi,
suara dan gas emisi buangan kendaraan, ( 3). Terjadinya peningkatan kepadatan
lalulintas di ruas jalan utama desa, yang disebabkan adanya penambahan armada
95
kendaraan roda empat dan roda dua di desa yang mengakibatkan kecelakaan
lalulintas.
Dampak negatif non fisik dari pada proses ganti rugi tanah
perkebunan warga masyarakat modayag yang berlokasi di desa penelitian
yakni ; (1). Muncul kecemburuan sosial diantara warga yang disebabkan karena
beberapa warga yang namanya terdaftar dan berhak menerima sesuai surat
keputusan bupati nomor. 521.52/238/PEM/II/84 tanggal 15 pebruari 1984,
tidak menerima ganti rugi, (2). Terjadi manipulasi nama warga, perampasan hak
warga oleh oknum pemerintah desa, (3). Terjadi sengketa lahan (perebutan)
antara warga Desa Modayag dengan desa tetangga, yang disebabkan oleh
tumpang tindih (overlapping) peta lahan, tidak jelasnya tanda batas yang
mengakibatkan tarik ulur tanda batas lokasi perkebunan antara warga Desa
Modayag dengan warga dua desa tetangga, (4). Menurunya kredibilitas dan
kepercayaan sebagian warga kepada pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten,
yang disebabkan oleh tindakan kesewenangan aparat pemerintah, dan
mengakibatkan mereka kehilangan sebagian atau keseluruhan hak
miliknya, (5). Memicu warga melakukan tekanan atau protes kepada pemerintah
melalui pengawasan masyarakat
Dari beberapa kasus kejadian mengenai pelaksanaan kegiatan
pembangunan, terdapat tiga kasus pembangunan desa di Desa Modayag yang
hanya berdampak negatif non fisik yakni seperti dibawah ini.
5.6. Pernikahan di ”Bawah Tangan” oknum Aparat Desa
Dari kejadian permasalahan pernikahan dibawah tangan yang dilakukan
oleh seorang oknum aparat desa ini, secara fisik tidak ditemukan, sedangkan yang
96
ditemukan hanyalah dampak negatif non fisik yakni (1). Terjadi pelanggaran
hukum adat yang berlaku di dalam desa dan Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang
Mongondow Nomor 29 Tahun 2000 tanggal 30 Desember 2000 Tentang
Pemerintahan Desa, oleh seorang oknum pemerintah desa, (2). Rusaknya
hubungan keluarga (suami istri) yang berakibat cerainya pernikahan yang sah
(AM) dengan (WM), (3). Menimbulkan keresahan warga, karena seorang oknum
pemerintah desa sebagai panutan di desa, pengayom adat berbuat dan berprilaku
amoral, (4).Menurunya kredibilitas dan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah desa.
5.7. Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Modayag
Pelaksanakan pesta demokrasi di desa yakni pemilihan kepala desa.
Masyarakat menyambut dengan baik kegiatan tersebut karena masyarakat
berpendapat bahwa sudah seharusnya Desa Modayag melaksanakannya, karena
masa jabatan kepala desa sekarang ini sudah waktunya berakhir. Adanya
pimpinan formal di desa akan dapat membantu masyarakat dalam hal melayani
kepentingan masyarakat. Secara umum dalam bentuk kegiatan pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pemilihan Kepala Desa adalah sarana untuk menyampaikan aspirasi
masyarakat dan memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi pada
proses politik demokrasi di aras desa. Keikutsertaan warga adalah mutlak mulai
pada tingkat perumusan hingga pada tingkat memutuskan. Sebagai pemimpin
nanti ia harus mendapatkan dukungan politik dari berbagai komponen masyarakat
desa untuk mengkukuhkan kekuasaannya dalam rangka mendukung
kepemimpinannya kemudian. Proses pemilihan Kepala Desa diletakkan pada
97
dasar ketentuan dan aturan yang baku dan berlaku di wilayah sesuai dengan
situasi dan kondisi sosial masyarakat. Kondisi sosial politik di aras desa akan
kondusif baik jika pimpinan pemerintah desa memiliki dukungan politik yang
besar. Integritas seorang pimpinan pemerintah di desa yang baik akan
menggambarkan keadaaan dan kondisi sosial politik di wilayah desa, dan warga
masyarakatnya.
Proses pelaksanaan kegiatan pemilihan Kepala Desa/Sangadi di desa
penelitian menimbulkan dampak positif non fisik yakni ; (1). Memberikan ruang
bagi partisipasi dalam pembangunan politik di aras desa, (2). Memberikan
pendidikan politik kepada warga masyarakat, (3). Memberikan kesempatan
kepada warga dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan politik di aras
desa.
Sedangkan dampak negatif non fisik yang muncul pada proses pemilihan
Kepala Desa (pilkades) yakni; (1). Munculnya kegiatan yang dilakukan kandidat
calon, menggunakan segala cara yang bertentangan dengan norma-norma hukum
yang berlaku, (2). Pelanggaran terhadap aturan dan perundang-undangan yang
berlaku, (3). Adanya cara mengeksploitasi potensi politik warga untuk
kepentingan pribadi oknum kandidat calon tertentu, (4). Adanya kegiatan
pembodohan politik warga. Pernyataan calon Sangadi (UM) kepada warga
(massa) saat melaksanakan kampanye pemilihan Kepala Desa ” Inga-Inga tu di
Talugon dan Gogagoman” Diterjemahkan “Jangan lupa waktu di lokasi Talugon
dan Gogagoman”. Lokasi Talugon dan Gogagoman adalah lokasi perkebunan
warga yang diganti rugi oleh perusahaan tambang pada tahun 2002. Pernyataan
98
warga masyarakat saat proses pemilihan Kepala Desa Modayag (ARM) sebagai
berikut :
Kami heran, karena saat kampanye, massa salah satu calon Sangadi (FJO) sangat mendominasi sehingga memungkinkan Ia menggantikan kepala desa lama (UM), akan tetapi disaat perhitungan suara semuanya berubah. Setelah dua hari kemudian, ditemukan informasi, dari masyarakat bahwa waktu persiapan pilkades sehari sebelum pemilihan, calon Sangadi (UM) melakukan kecurangan dengan membagikan uang (money politic) kepada masyarakat di waktu pagi dini hari (serangan fajar) dengan manfaatkan beberapa orang tim suksesnya.
5.8. Penyaluran Beras untuk Keluarga Miskin di Desa Modayag
Kasus lain yang dilaporan warga kepada Bupati Bolang Mongondow,
Polres Bolaang Mongondow, Camat Modayag, yakni penyimpangan beras
keluarga miskin (Raskin), yang dilakukan oleh seorang penyalur warga desa
berinisial (TM). Kasus ini disebabkan; (1). Pendataan dan inventarisir
terhadap jumlah keluarga miskin di desa tidak jelas. (2). Pemotongan volume fisik
beras sebesar 2 – 3 kilogram terhadap setiap keluarga penerima raskin; (3)
Penyalur menaikan harga beras setiap kilogram sejumlah Rp. 250 rupiah
sehingga menjadi Rp.1250, dan pengambilan kartu keluarga miskin dikenakan
biaya sebesar Rp. 2.000 setiap keluarga miskin. Atas tindakan penyalur
mengakibatkan berkurangnya jatah volume beras yang diterima warga keluarga
miskin dan terjadi pembebanan sejumlah uang kepada warga keluarga miskin.
Kasus penyimpangan atas penyaluran beras untuk keluarga miskin (raskin)
berdampak non fisik yakni : (1). Menurunnya kepercayaan warga terhadap
kredibilitas pemerintah, (2). Adanya kecemburuan sosial di antara warga desa,
yang menerima dan yang tidak menerima sedangkan kondisi kehidupan mereka
99
juga sama keluarga miskin, (3). Adanya pembebanan biaya tambahan kepada
warga miskin, (4). Adanya pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku.
Seorang warga (IM) memprotes penyaluran raskin sebagai berikut :
Papa mantan porobis (kepala Dusun), brenti dari tugas karena usia tua, deng so saki-saki. Papa saki, karna dulu nyada brenti karja siang malang bantu pa sangadi, skarang papa saki nyanda pernah Sangadi datang lia. Lia jo torang pe keadaan hidup. Masakan petugas nyada daftar Papa pe nama sedangkan yang bantu papa Cuma saya anak perempuan satu-satunya. Diterjemahkan : Ayah saya adalah mantan porobis (kepala Dusun) yang berhenti dari tugasnya karena usia lanjut dan kondisi fisik dalam keadaan sakit. Dahulu ayah rajin bantu sangadi siang maupun malam. Sekarang ayah sakit sangadi tidak pernah menjenguk. Beginilah keadaan kami Petugas desa juga tidak mendaftarkan nama ayah sebagai penerima Raskin. Saya anak perempuan satu-satunya yang merawat papa.
100
BAB VI
ETIKA PENGAWASAN MASYARAKAT DESA
Sebagaimana suku dan masyarakat lokal yang lain, Suku Mongondow
juga memiliki adat istiadat dan sosial budaya (pengetahuan lokal) yang dijadikan
sebagai penuntun perilaku masyarakatnya. Babcock, (1999) sebagaimana dikutip
Arafah (2000) menyatakan pengetahuan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan
cara berfikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang
merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama. Menurut Zakaria
sebagaimana dikutip Arafah (2002), pengetahuan lokal (local knowledge) atau
kearifan tradisional dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang
dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan
kebudayaan yang berkenan dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam secara lestari. Pada suku Mongondow dikenal semboyan ”tiga
moto” dan sebutan Tule Molantud.
Ketiga moto ini disebut juga sebagai pesan leluhur (Singog Ing
Mogoguyang) nenek moyang suku Mongondow yang berisikan janji (Dodandian)
yang dalam praktek kehidupan berguna sebagai pedoman/penuntun kepada
keturunnya suku/etnik Mongondow sebagai satu keturunan yang memiliki sifat
geneologis atau yang berhubungan darah. Sedangkan Tule Molantud adalah
merupakan sebutan kepada seseorang (warga) yang memiliki kapasitas dan
kualitas intelektual yang handal serta status yang tinggi dalam komunitas suku
Mongondow.
101
6.1. Tiga Moto (Singog Ing Mogoguyang)
6.1.1. Mototompia’an
Tompia, berarti membangun, sehat, baik, atau kondisi baik, bagus,
terbangun tidak dalam keadaan sakit. Kata mototompia’an telah diberi awalan
”moto” dan akhiran ”an”, yang mengandung arti saling membangun, saling
memperbaiki. Harapan leluhur ialah bahwa bila mototompia’an dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari oleh keturunannya akan tercipta keluarga yang damai
dan sejahtera, terhindar dari berbagai pertikaian yang akan menghancurkan
hubungan kekeluargaan. Dalam kehidupan nyata mototompia’an secara fisik
dipraktekkan atau diwujudkan dalam bentuk gotong royong dalam berbagai
bidang kehidupan masyarakat.
Dalam kaitan dengan pengawasan masyarakat, mototompiaan
mengandung maksud untuk mengaplikasikan hakekat yang benar, yakni untuk
saling bahu-membahu, bersama menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul
di tengah warga masyarakat, makna lainnya menunjukan rasa kepedulian sebagai
sesama warga, atau terhadap anggota, pimpinan dengan tujuan untuk membangun
baik fisik, dan mental. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk kritik membangun
yang mengoreksi suatu hal atau kondisi menjadi lebih baik dan menuju pada
kesempurnaan yang hakiki dan dapat di pertanggungjawabkan.
Kasus yang dapat menggambarkan adanya nilai-nilai pengetahuan lokal di
desa penelitian yakni ketika warga desa mengetahui adanya penyimpangan
terhadap pengelolaan dana pembangunan masjid yang lakukan oleh beberapa
oknum panitia pelaksana (Ketua, Sekretaris, Bendahara) dan pemerintah desa
102
(Sangadi). Dilandasi nilai-nilai adat tersebut warga merasa bertanggung jawab
untuk mengoreksi, mempertanyakan kepada panitia pembangunan masjid dan
pemerintah desa (Sangadi) menyangkut pengelolaan dana pembangunan masjid
serta meminta tanggung jawabannya, sehingga pengelolaan dana pembangunan
masjid dapat dilakukan sesuai dengan nilai-nilai adat dan ketentuan yang berlaku.
Hal ini bermaksud pula untuk menghindarkan oknum pemerintah dan panitia
terhindar dari perbuatan tercelah dan bertentangan dengan adat- istiadat dan
ketentuan formal lainnya serta akibat lain yang dapat merugikan semua pihak.
6.1.2. Mototabian
Kata kotabi, berarti sayang / rasa sayang, kasih/rasa mengasihi. Kata
kotabi telah diberi awalan ”moto” dan akhiran ”an” sehingga mengandung arti
saling sayang. Saling sayang – menyayangi dapat juga berarti baku-baku
sayang (saling menyayangi satu dengan lainnya) bergandengan tangan
mengangkat derajat hidup sesama warga. Mototabian menunjukan hubungan
kasih persaudaraan antara satu suku, keluarga, warga, di daerah Bolaang
Mongondow.
Berkaitan dengan pengawasan masyarakat, bahwa ketika pelaksanaan
pembangunan, khususnya kegiatan ganti rugi lahan perkebunan warga untuk
kepentingan industri pertambangan, warga merasakan ada ketidakadilan yang
dilakukan oknum pemerintah desa mengganti nama warga yang berhak menerima
dengan warga lain yang tidak berhak. Di tingkat Kecamatan dan Kabupaten
terjadi pula hal yang sama, oknum Camat Modayag dan beberapa anggota DPRD
103
Kabupaten Bolang Mongondow namanya terdaftar sebagai penerima ganti rugi.
Oknum-oknum pejabat tersebut namanya tidak terdaftar dalam lampiran Surat
Keputusan Bupati Bolaang Mongondow Nomor 521.52/238/PEM/II/84 tanggal
15 Pebruari 1984. Pada tanggal 25 September 2005. Masyarakat menilai
telah terjadi perampasan atas hak mereka. Oleh masyarakat beranggapan bahwa
hal tersebut telah menyimpang dari adat istiadat dan ketentuan hukum lainnya.
Pemerintah telah menyimpang dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya
sesuai norma-norma adat dan ketentuan formal Negara, untuk menjamin hak dan
kewajiban warga sebagai wujud kasih sayangnya dan tidak membeda-bedakan
status warga satu dengan yang lainnya.
6.1.3. Mototanoban
Kata tanoban, berarti ingat, rasa mengingat, tidak melupakan. Kata
tanoban telah diberi awalan ”moto” menjadi mototanoban yang mengandung
arti saling mengingatkan (baku-baku inga). Mototanoban menunjukan hubungan
dua arah antara warga suku, keluarga, warga, daerah Bolaang Mongondow.
Dalam kehidupan nyata masyarakat Mongondow sebagai warga, individu,
pemerintah di daerah (lipu) kampung, bila kehidupannya telah berhasil atau
melebihi dari warga yang lain baik materil (harta) maupun non materil (jabatan),
harus mengingat, membantu, menolong, tidak sewenang-wenang terhadap
saudaranya atau warga yang lain.
Kasus yang dapat menggambarkan adanya nilai-nilai pengetahuan lokal
berkaitan dengan pengawasan masyarakat di desa penelitian yakni masyarakat
104
mengharapkan pemerintah desa memberikan perlindungan terhadap hak-hak
warga sebagai bentuk pengabdiannya. Pada kasus ganti rugi lahan perkebunan
warga untuk kepentingan industri pertambangan, warga yang berhak menerima
ganti rugi tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah, nama mereka diganti
dengan nama warga lain yang tidak berhak. Sebaliknya, terjadi tindakan
sewenang-wenang berupa perampasan hak warga dari oknum pemerintah.
Kondisi ini mendorong warga untuk melakukan protes, karena warga
beranggapan pemerintah telah menyimpang dari adat - istiadat yang berlaku serta
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
6.2. Tule Molantud
Tule Molantud berasal dari dua kata yakni kata Tule, yang berarti teman,
rekan yang setia, dan kata Molantud yang mengadung arti tertinggi, pandai,
unggul, berani, jujur dan trampil. (Lasabuda, 2006). Jadi Tule Molantud dapat
diartikan sebagai teman yang setia, yang mempunyai keunggulan dalam hal
intelektual, jujur dan pemberani, pengayom Ia bukan menjadi seorang penguasa,
sebaliknya adalah menjadi pelindung, berlaku adil, mendahulukan kepentingan
umum atau bersama. Seorang tule molantud tidak akan dan pernah melakukan
hal-hal yang tidak terpuji seperti memperkosa hak rakyat, mementingkan diri
sendiri, dan keluargannya saja, berlaku tidak adil dalam memutuskan perkara
dalam komunitasnya, egoistis, serakah, korup, dan penindas rakyat.
Warga Mongondow, yang diberi gelar dan kedudukan dalam masyarakat
sebagai Tule Molantud dipandang benar-benar memiliki komitmen yang kuat
105
terhadap Dodandian Paloko Bo Kinallang, serta mampu mempratekkan dalam
kehidupan sosial ketiga moto yakni mototabian, mototompiaan dan mototanoban.
Pengawasan masyarakat yang dilakukan, berkaitan dengan pengetahuan
lokal (local knowledge) di daerah penelitian yakni adanya benturan nilai yang
dianut warga komunitas dan nilai baru yang mengintervensi perilaku dan
kebiasaan warga masyarakat. Berbagai kegiatan pembangunan yang dilakukan di
aras desa, merupakan bentuk pengendalian masyarakat di dalamnya membawa
nilai-nilai baru. Nilai-nilai baru tersebut di dalamnya terdapat keselarasan dengan
nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini ditemukan di desa penelitian yaitu ketika
pelaksanaan proyek pembangunan jalan lorong yang dibiayai dari dana APBD-
DAU Kabupaten Bolaang Mongondow masyarakat menerima, buktinya dengan
partisipasi yang diberikan warga berbentuk bahan material (batu, pasir, tenaga dll)
proyek dilaksanakan bersama warga dalam bentuk gotong royong (Bobakid).
Proyek ini bertujuan membuka keterisolasian warga, serta meningkatkan
aksesibilitas kebutuhan warga. Akan tetapi nilai-nilai baru inipun terkadang
bahkan bertentangan atau tidak selaras dengan nilai-nilai yang ada di dalam
masyarakat di sisi lain. Akumulasi dari pada ketidakselarasan ini secara psikologis
mempengaruhi ruang kesadaran warga, sehingga menimbulkan dampak,
terjadinya penolakan yang diwujudkan dengan bentuk perlawanan.
Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan baik kelompok masa, individu
oleh warga kebanyakan, bahkan boleh dikatakan hampir semua bersumber pada
kekecewaan mereka terhadap perlakukan yang tidak adil atau ketidakpuasan
106
terhadap kebijaksanaan pemerintah, baik tingkat Kabupaten, Kecamatan maupun
Desa. Sebagian menampakan aktivitas protes secara langsung melalui aksi masa,
seperti demonstrasi dan unjuk rasa, sebagian menulis surat ke beberapa lembaga
atau instansi yang mempunyai fungsi pengawasan (DPRD, Badan Pengawas,
Kejaksaan, Pengadilan maupun ke Kepolisian di daerah. (Suyanto, et all 1995).
Di desa penelitian perlawanan yang dilakukan oleh warga yakni dengan
melakukan tindakan protes massa, seperti pada kasus ganti rugi lahan perkebunan
warga , proyek subsidi beras keluarga miskin (raskin), pelaksanaan kegiatan
pemilihan kepala desa (pilkades), pencemaran lingkungan oleh perusahaan
tambang dan pengolahan kayu (sawmill). Sedangkan kasus yang dilaporkan
langsung kepada pejabat pemerintah di tingkat kecamatan maupun desa yakni
seperti kasus pelaksanaan kegiatan pembangunan sarana transportasi pelebaran
jalan dan saluran air, pernikahan di bawah tangan oleh oknum pemerintah desa.
6.3. Guhanga Lipu
Di Bolaang Mongondow perorangan adalah subyek hukum yang tersendiri
sesuai status dalam masyarakat. Dalam (Wetbook 1930) Bolaang Mongondow
(Undang-Undang Bolaang Mongondow Tahun 1930) masyarakat berpegang pada
sistim pemisahan/penggolongan yaitu: (1). Kaum bangsawan (Ninggrat), (2).
Simpal (Pembesar raja atau pegawai kerajaan, kaum terpelajar), (3). Nonow
(Keluarga kaya, saudagar), (4). Tompunu (Pejabat pemerintah tingkat Kecamatan,
Desa), (5). Taling (Bala rakyat, petani, buruh tani), (6). Yobuat (Para budak atau
orang belian).
107
Masyarakat hukum terkecil adalah keluarga – keluarga (kaum). Dalam
setiap kaum terdapat seorang yang disebut Guhanga atau tua-tua negeri, atau tua-
tua kampung. Guhanga adalah seorang yang dianggap cakap, trampil dan
mampu kapasitasnya memimpin keluarga atau kaumnya sesuai hukum adat.
Sedangkan fungsi Guhanga yaitu membantu pemerintah desa dalam
penyelesaian permasalahan di desa atau kampung/lipu seperti sengketa
pertanahan, pertunangan/peminangan dan pernikahan, serta permasalahan
pembangunan lainnya. (Beschrijving Van het Adatrecht In Bolaang Mongondow).
Dengan fungsi–fungsi yang berkaitan dengan kegiatan pemerintahan desa, maka
oleh warga kampung menyebutnya Guhanga Lipu.
Guhanga Lipu dalam melaksanakan fungsinya di tengah keluarga masing-
masing secara internal, juga melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan
kegiatan pemerintah desa. Berbagai permasalahan yang terjadi di desa penelitian
antara lain yakni kasus tindakan amoral oknum pemerintah desa yang melarikan
perempuan bersuami warga desa dan menikahinya di ”bawah tangan” di luar
desa.
Kasus ini dilaporkan warga ke pemerintah kabupaten dengan tembusan
surat yang sama kepada Camat Modayag dan BPD, karena warga beranggapan
bahwa oknum pemerintah desa (UM) telah melakukan pelanggaran Hukum
Adat dan Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Nomor 29 Tahun
2000 tanggal 30 Desember 2000 Tentang Pemerintahan Desa. Adapun warga
yang melaporkan kasus tersebut terdiri dari keluarga pihak laki- laki (AM) dan
keluarga pihak perempuan (WM), dan warga yang lain (kaum bapak dan ibu
108
rumah tangga), yang bersimpati kepada kedua belah pihak keluarga (AM) dan
(WM).
Pemerintah Kabupaten dan Kecamatan menyerahkan kembali penanganan
dan penyelesaian kasus tersebut ke tingkat desa untuk diselesaikan secara adat.
Ketika kasus ini dikembalikan oleh pemerintah Kecamatan ke tingkat Desa, maka
otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah desa dalam hal ini Guhanga
Lipu, BPD dan dewan Adat. Berkaitan dengan kasus tersebut Guhanga Lipu,
BPD dan dewan Adat dalam penyelesaiannya dilakukan melalui musyawarah
kampung yang bertempat di rumah ketua BPD (TM) di Dusun I Desa Modayag.
Pada musyawarah tersebut, hadir ke dua pihak keluarga perempuan (WM),
keluarga pihak laki- laki (AM), Ketua BPD dan tiga anggota, dewan adat,
Guhanga Lipu, serta disaksikan oleh masyarakat desa. Pada pertemuan ini pelaku
(UM) oknum pemerintah desa tidak menghadiri pertemuan tersebut. Rapat
dipimpin oleh ketua BPD bapak (T.M).
Kesempatan pertama untuk menanggapi kasus tersebut diberikan kepada
Guhanga Lipu bernama (AM), selanjutnya kepada dewan adat kampung dan
berturut-turut kepada kedua belah pihak keluarga laki- laki dan perempuan.
Setelah mendengar tanggapan dari kedua pihak keluarga dengan tuntutannya
masing-masing, suasana musyawarah mulai menghangat dimana tuntutan
keluarga pihak laki- laki (AM) meminta, melalui BPD dan dewan adat, serta
Guhanga Lipu kiranya : (1). Kepada oknum pemerintah desa (UM) diturunkan
dari jabatannya sebagai Kepala Desa, (2). Kepada oknum pemerintah desa (UM)
dikenakan sangsi adat berupa denda uang sejumlah Rp. 1.500.000. sesuai
ketentuan adat kampung yang berlaku. Dipihak keluarga perempuan (WM), yang
109
menjadi tuntutan mereka yakni (1). Oknum pemerintah desa (UM) harus
bertanggung jawab atas masa depan dua orang anak hasil pernikahan dari (AM)
dengan (WM), (2). Oknum pemerintah desa (UM) harus menceraikan istri
pertama.
Tanggapan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atas kasus tersebut
adalah jika permasalahan ini tidak terselesaikan hingga tuntas di tingkat desa
maka BPD akan melanjutkannya atau menyerahkan kasus ini ketingkat Kabupaten
melalui Camat Modayag. Sedangkan menurut dewan adat bahwa secara agama
hal tersebut dapat diterima, asalkan yang bersangkutan (UM) dapat menafkahi
kedua istrinya, namun menyangkut ketentuan adat sudah jelas (UM) telah
melakukan pelanggaran dan sanksi adat dikenakan kepadanya, karena
menyangkut pelaksanaan hukum adat di desa tidak ada warga yang dikecualikan.
Pada musyawarah penyelesaian kasus tersebut, tuntutan keluarga pihak
laki- laki (AM) menyangkut pencopotan jabatan Kepala Desa tidak dapat diterima
dengan alasan bahwa menyangkut penggantian jabatan seorang Kepala Desa
adalah merupakan kewenangan Bupati atas usul Camat, bukan kewenangan BPD,
sedangkan tuntutan-tuntutan yang lainnya dapat dipertimbangkan.
Menyangkut hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, oleh dewan adat
akan dilaksanakan sesuai dengan ketetapan hukum adat. Karena tidak merasa
puas, keluarga pihak laki- laki tidak menerima hasil musyawarah tersebut sehingga
mereka melaporkan permasalahan tersebut ke tingkat Kabupaten dengan
tembusan surat kepada Camat Modayag, akan tetapi laporan masyarakat tersebut
tidak ditindaklanjuti oleh Camat Modayag pada waktu itu (Drs.S.M).
110
Tabel 24, menunjukan kasus-kasus yang terjadi di desa penelitian dan
lembaga pengawasan masyarakat desa yang terlibat dalam penanganan dan
penyelesaiannya.
Tabel 24. Kasus dan Lembaga Pengawasan Masyarakat dalam Penanganan dan penyelesaiannya.
NO.
URAIAN KASUS
TAHUN
LEMBAGA
PENGAWASAN
R E S O L U S I
1
2
3
4
5
1
Kasus Pembangunan Pabrik Pengolahan Material Batuan Logam Mulia dan Pengolahan Kayu
2005
BPD, Guhanga Lipu, Polsek, Pemkab.
- Kompensasi Ganti rugi tanaman - Reklamsi lokasi Limbah. - Pembenahan unit produksi sesuai -
persyaratan Amdal.
2
Kasus Pembangunan Tower Transmisi Gelombang Optik PT Satelindo
2005
BPD, Guhanga, Lipu, Polisi, Pemkab.
- Realisasi pemasangan lampu jalan Sesuai sepakatan dengan warga. - Warga menjamin keamanan tower.
3
Kaus Pembangunan Sarana Peribadatan
2003
BPD, Guhanga Lipu Lembaga Agama, Pemerintah Desa.
- Pengembalian dana pembagunan. - Penggantian anggota panitia.
4
Kaus Ganti Rugi lahan Perke- bunan Warga Untuk Industri Pertambangan Emas.
2003
BPD, Guhanga lipu, Polisi DPRD, Pemkab, LSM, Media Massa.
- Dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
- Ganti rugi oleh perusahaan kepada yang berhak sesuai harga yang layak.
5
Kasus Pernikahan di Bawah Tangan oleh Aparat Desa
2004
BPD, Guhanga Lipu, Lembaga Adat
- Tidak ada realisasi konkrit atas
kasus tersebut.
6
Kasus Pemilihan Kepala Desa Modayag
2004
BPD, Guhanga Lipu Pemkab.
- Dilaksanaklan sesuai ketentuan yang
berlaku. - Hasil pemilihan dinyatakan sah oleh
pemerintah Kabupaten.
7 Kasus Proyek Pembangunan Lorong Desa
2004
BPD, Guhanga Lipu Pemkab.
- Warga menyerahkan satu meter
halaman depan untuk pembangunan jalan.
- Warga dilibatkan dalam proses pelaksanaannya.
8
Kasus Penyaluran Beras Untuk Keluarga Miskin di Desa Modayag
2004
BPD, Guranga lipu Polres, Pemkab, Media Massa.
- Sanksi Ganti Rugi kepada Petugas
penyalur. - Membebaskan yang bersangkutan
dari jabatannya.
Sumber : Data Primer.
111
BAB VII
RESPONS APARAT DESA TERHADAP PENGAWASAN MASYARAKAT
Respons (response) merupakan istilah yang digunakan menggantikan kata
”tanggapan” sebagai reaksi atau sambutan terhadap masalah atau berita yang
datang, atau reaksi tingkah laku yang merupakan akibat dari kejadian sebelumnya
(Reading sebagaimana dikutip Sapja 1998). Menurut Anwar (1988) sikap dapat
nyatakan sebagai respons. Dijelaskan lebih lanjut bahwa respons hanya timbul
ketika individu diperhadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki timbulnya
reaksi individual. Respons evaluatif itu didasari oleh proses evaluasi dalam
diri individu, yang memberikan kesimpulan nilai terhadap stimulus dalam bentuk
baik atau buruk, positif atau negatif, menyenangkan atau tidak menyenangkan,
suka atau tidak suka, kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap
obyek sikap.
Kleden sebagaimana dikutip Agusta (1997) menyatakan, dalam
merespons rangsangan-rangsangan dari luar, suatu institusi sosial dalam
komunitas berperan meringankan proses pelajar, dengan cara menciptakan
rujukan bagi respons-respons tersebut. Dijelaskan pula bahwa institusi juga
menjaga stabilitas hubungan anggota komunitas melalui pembinaan kebiasaan-
kebiasaan, yang mencakup respons fisik. Respons sosial tidak dikonsepkan
secara formal dalam sosiologi, meskipun sering digunakan oleh para ahli sosial.
Respons dalam arti umum berarti jawaban atau reaksi terhadap kesempatan.
Dalam kajian skripsi ini, pemberi aksi adalah institusi pemerintah, adapun
112
yang menjadi media pemberi aksi yakni suatu aktivitas terencana atau kegiatan
proyek pembangunan pada ruang tertentu yang menimbulkan dampak. Ini
dikategorikan sebagai penyebab atau sebab. Dampak adalah suatu keadaan
(kondisi) yang tercipta sebagai hasil dari aktivitas pemberi aksi yakni kegiatan
pembangunan pada suatu ruang biotik fisik (komunitas, lingkungan) dan abiotik
non fisik (sosial dan ekonomi) ini dikategorikan sebagai (kondisi). Sedangkan
perespons yakni komunitas, merupakan salah satu komponen lingkungan yang
menjadi obyek dan subyek pemerintah atau pemberi aksi.
Tekanan pemberi aksi dalam bentuk aktivitas kegiatan pembangunan
kedalam lingkungan biotik (hidup) komunitas warga yang di dalamnya membawa
nilai-nilai positif maupun negatif tertentu. Dampak sebagai hasil aktivitas
pemberi aksi, selanjutnya diterima dan diartikulasikan atau di interpretasikan oleh
lingkungan biotik (komunitas) perespons. Reaksi atas dampak oleh perespon
(komunitas) berupa perubahan tingkah laku baru (control) atau pengawasan.
Pengawasan dilakukan dengan berbagai bentuk (pikiran, ide/gagasan,) pada
Bagan 3.
SEBAB KONDISI AKIBAT
Bagan 3. Proses respons Aparat Terhadap Pengawasan Masyarakat.
PEMBERI AKSI § Aktivitas Pembangunan (Aksi) pemerintah.
DAMPAK § Lingkungan Biotic,
(komunitas)Abiotik (Sosek & Sosbud)
PERESPONS § Pengawasan masyarakat
(Control Sosial) dalam bentuk ide/gagasan.
Koreksi kinerja dan memberikan penjelasan
113
Respons organisasi pemerintahan desa atau institusi desa terhadap
pengawasan masyarakat (social control) akan menghasilkan kondisi atau keadaan
baru untuk menjawab kebutuhan komunitas warga. Proses ini akan terus menerus
terjadi dan sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan pemberi aksi dan
perespons. Secara keseluruhan pelaksanaan kegiatan pembangunan tersebut
direspon warga, akan tetapi ketika terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh
pemerintah bersama sebagian warga yang memiliki kedekatan pribadi dengan
pemerintah, serta pelaksana kegiatan pembangunan lainnya (swasta) untuk
kepentingan yang tidak sejalan dengan kepentingan umum yang menimbulkan
dampak menjadi (akibat), maka respons yang muncul kemudian adalah
pengawasan masyarakat (social control).
Warga masyarakat merasa teralienasi dari hak asasi dan demokrasi,
dominasi kekuasaan dan kesewenang-wenangan serta ketidakadilan, biasanya
menyebabkan timbulnya bentuk perlawanan. Ketika proses pelaksanaan ganti
rugi lahan perkebunan warga bagi kepentingan pembangunan industri
pertambangan terjadi penyimpangan oleh oknum aparat pemerintah. Atas
kejadian ini warga beranggapan bahwa hak mereka di alihkan pemerintah kepada
orang lain yang tidak berhak, maka masyarakat melakukan perlawanan berupa
demonstrasi massa, melaporkan tindakan sewenang-wenang oknum pemerintah
desa, kecamatan kepada oleh lembaga penegak hukum.
Apa pun yang dilakukan warga untuk menuntut dipulihkannya hak dan
kewajibannya, malah justru sering menyebabkan semakin melemahnya kekuatan
tawar-menawar warga. Sementara disisi lain kekuatan mulai tumbuh karena
114
didukung oleh warga terdidik dan media, tak pelak protes warga masyarakat pun
perlahan mulai tampil kepermukaan.
7.1. Koreksi Kinerja
Dalam kamus Inggris – Indonesia kata koreksi berasal dari kata correction.
Diterjemahkan ke dalam bahasan Indonesia koreksi, yang mengandung arti
pembetulan, perbaikan, hal-hal yang harus dibetulkan atau perbaikan dari
penyimpangan-penyimpangan yang ada (Echols dan Shadily 1996). Joko
sebagaimana dikutip Handaka (2004), mengemukakan bahwa kinerja diartikan
sebagai hasil kerja selama periode tertentu dibandingkan dengan standard,
target/sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Benardin dan Russel dalam Handaka (2004), menyatakan bahwa kinerja
(performance) adalah Peformance is defined the record of outcomes produced on
a specified job function or activity during a specified time period (Prestasi adalah
catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi- fungsi pekerjaan tertentu
selama kurun waktu tertentu). Sebagaimana difinisi yang dikemukakan di atas,
bahwa kinerja dapat diartikan sebagai prestasi yang menekankan hasil atau apa
yang keluar (outcome) dari sebuah pekerjaan dan kontribusinya kepada organisasi,
sebagai satu kesatuan tak terpisahkan antara input, proses, hasil, dan dampak
sesuai dengan konteksnya.
Meningkatnya daya kritis masyarakat terhadap kinerja aparatur
pemerintah, seakan membuat masyarakat memiliki banyak mata dan telinga untuk
memantau kiprah para penyelenggara negara, tidak terkecuali pemerintah desa.
Tanggapan yang diberikan dapat berupa pujian terhadap capaian yang positif,
115
namun yang lebih sering terdengar adalah berupa kecaman terhadap ”record”
buruk yang dicapai.
Aksi-aksi protes yang dilakukan warga masyarakat baik perorangan,
kelompok, organisasi profesi dan lain lain, kebanyakan – bahkan boleh dikatakan
hampir semua – bersumber pada kekecewaan mereka terhadap perlakuan yang
tidak adil atau ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, baik pemerintah
daerah, kecamatan dan desa. Bentuk manifestasi protes yang dilakukan warga
masyarakat sangat beragam. Sebagian menampakan aktivitas protes secara
langsung melalui aksi massa, seperti unjuk rasa dan demonstrasi, sebagian
menulis surat ke beberapa lembaga atau instansi yang mempunyai fungsi
pengawasan, dan sebagian yang lain memanivestasikan protes mereka dengan
tidak mendukung berbagai kegiatan pemerintah atau bersikap apatis dan acuh tak
acuh.
Terlepas dari bentuk perlawanan yang dilakukan dan saluran yang
ditempuh, protes dikalangan masyarakat warga bermakna sama. Yakni, sebagai
reaksi dan bentuk perlawanan terhadap tekanan dari luar pemerintah atau negara
dan kekuatan swasta yang dinilai telah mengancam eksistensi dan melanggar
hak asasi warga. Berbagai tekanan dilakukan warga masyarakat melalui
pengawasan masyarakat (social control) terhadap pemerintah, sebagai respon
masyarakat terhadap dampak yang muncul di tengah-tengah kehidupan warga.
Atas tekanan-tekanan warga melalui berbagai kasus kejadian protes dan
pengawasan masyarakat, maka dengan arif dan bijaksana dengan tidak merasa
rendah diri pemerintah desa menerima dan mewujudkannya dalam bentuk
pelayanan yang lebih baik lagi kepada warga serta merekonstruksi kembali
116
model-model dan cara pelayanannya sebagai bentuk respons atas pengawasan
masyarakat (social control).
7.1.1. Penggantian Aparat
Struktur pemerintahan Desa Modayag, berdasarkan ketentuan yang
berlaku yakni Peraturan Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow nomor 27 tahun
2000 tanggal 31 Desember 2000, tentang Pemerintahan Desa. Struktur
pemerintahan sesuai perda tersebut terdiri dari Kepala desa (Sangadi),
Sekretaris desa (juru tulis), dan 4 (empat) kepala urusan (probis) yakni probis
pemerintahan, probis umum, probis pembangunan serta probis kemasyarakatan
dan sosial. Kepala dusun sebanyak enam kepala dusun yakni kepala dusun I
sampai dengan VI, serta dibantu oleh 18 (delapan belas) orang hansip desa dan
seorang penghubung (juru palakat). Sedangkan lembaga lain seperti BPD terdiri
dari 16 (enam belas) orang anggota.
A. Pengantian Ketua BPD Desa Modayag
Hasil pemilihan anggota BPD pada tahun 2001, dengan mekanisme
demokrasi desa yang murni, maka terpilihlah putra-putri desa yang dianggap
cakap dan trampil serta mampu mengemban tugas-tugas dalam pengabdiannya
kepada masyarakat di Desa Modayag, yang berjumlah 16 (enam belas) orang.
Pada pemilihan tersebut juga secara demokratis pula dipilih dari ke 16 (enam
belas) orang tersebut yang akan mengisi struktur BPD. Maka terpilihlah Th.O.
Mamonto sebagai ketua, wakil ketua A. Lambertus, dan bendahara yakni
Sumaryo Mamonto, serta sekretaris M. Nayoan.
Disamping itu pula dipilih dari antara anggota yang tidak terpilih pada
pengisian struktur pimpinan, sesuai keahlian dan latar belakang pendidikan
117
masing-masing, untuk mengisi struktur komisi. Komisi yang ada yakni empat
komisi yakni komisi A yang diketuai J. Mamonto, yang membidangi hukum dan
pemerintahan; komisi B diketuai R. Wowor, membidangi ekonomi dan
pembangunan; komisi C diketuai Hi. J. Suadu membidangi kesos, pendidikan
dan kesehatan ; komisi D diketuai Sumaryono Mokoginta membidangi Adat dan
Agama. Masing-masing komisi dibantu oleh tiga sampai empat orang anggota.
Penggantian ketua BPD di Desa Modayag berpangkal dari berbagai kasus-
kasus permasalahan pelaksanaan kegiatan pembangunan di desa yaitu (1).
Ganti rugi lahan perkebunan warga untuk industri pertambangan; (2).
Pembangunan sarana ibadah; (3). Pembangunan sarana transportasi jalan lorong
dan saluran air; (4). Pembangunan sarana komunikasi (tower satelindo); (5).
Pembangunan non fisik institusi pemerintahan (pilkades); (6). Distribusi subsidi
beras keluarga miskin(Raskin); (7). Pembangunan pabrik pengolahan material
logam mulia (emas) dan pengolahan kayu (sawmill) oleh pihak swasta; (8).
Tindakan amoral oknum pemerintah desa melarikan perempuan bersuami warga
desa dan menikahinya di bawah tangan diluar desa. Atas kejadian kasus-kasus
diatas menimbulkan protes warga dengan melakukan demonstrasi dirumah kepala
desa dan rumah ketua BPD. Desakan dan tekanan warga masyarakat maka ketua
BPD dengan sukarela meletakan jabatannya dan bersedia untuk diganti.
Pada tanggal 15 Januari 2005, BPD mengadakan rapat/musyawarah atas inisiatif
ketua BPD dan beberapa orang anggota. Pada rapat musyawarah tersebut dibahas
menyangkut masalah pernyataan sikap ketua untuk mengndurkan diri dari jabatan
sebagai ketua BPD.
118
Ketika rapat musyawarah dimulai, ketua menyampaikan beberapa
penyampaiannya, yang di dalamnya terkandung maksud menyatakan pengunduran
diri dari jabatan. Pada proses penggantian ketua BPD ini terjadi permasalahan
baru, karena beberapa orang anggota BPD tidak menyetujui ketua mengundurkan
diri, hanya karena demonstrasi massa, anggota BPD yang menginginkan ketua
tetap berada pada posisinya adalah mereka yang dekat dengan kepala desa,
keluarga ketua BPD dan Sangadi. Akan tetapi di dalam tubuh BPD secara
internal, beberapa anggota BPD yang lain menginginkan ketua BPD untuk
mundur dari jabatannya dengan alasan karena sudah lanjut usia dan tidak
produktif lagi.
Tarik ulur pengunduran diri dari jabatan ketua BPD tersebut, maka
disepakati untuk diadakan votting dari semua anggota BPD. Dari hasil votting
ternyata bahwa dari ke 16 (enam belas) orang anggota BPD, 8 (delapan) orang
anggota menerima pengunduran diri ketua dan 6 (enam) orang menolak
sedangkan 2 (dua) orang menyatakan abstain. Secara kuorum maka dari hasil
votting tersebut dengan sendirinya ketua BPD harus meletakan jabatannya atau
mundur dengan sendirinya.
Untuk mengisi kekosongan jabatan ketua BPD karena pengunduran diri
dari ketua Th.O. Mamonto, maka pada rapat musyawarah malam itu juga
dilangsungkan pula pemilihan ketua yang baru. Berbaga i usul, saran, bahkan
kritikan muncul diantara para anggota BPD mengenai sistim yang akan
digunakan pada proses pemilihan ketua, ada yang mengusulkan bahwa secara
otomatis wakil ketua sudah dapat menduduki dan jabatan ketua untuk
119
menggantikan pejabat lama, ada juga yang lain mengusulkan kiranya harus
diadakan pemilihan ketua melalui mekanisme secara demokrasi. Pada saat itu
disepakati bersama pemilihan dilakukan secara demokrasi.
Melalui mekanisme pemilihan, Anton Lambertus memperoleh 8 (delapan)
suara, S. Sumaryono 6 (enam) suara, dan J. Mamonto memperoleh 2 suara.
Dengan terpilihnya Anton Lambertus sebagai ketua yang baru maka secara
otomatis permasalahan-permasalahan yang ada saat ini menjadi tanggung
jawabnya.
Melihat kinerja yang dilakukan oleh BPD yang diketua oleh Anton
Lambertus saat ini, beberapa permasalahan yang terjadi di desa menyangkut
gugatan dan laporan masyarakat baik di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten
beberapa dintaranya telah terselesaikan dan tuntas. Adapun capaian kenerja atas
permasalahan-permasalahan di Desa Modayag dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Capaian Penyelesaian Penanganan Kasus-Kasus di Desa Modayag Tahun 2005.
NO. URAIAN PERMASALAHAN
STATUS PERMASALAHAN
DALAM PROSES SELESAI BELUM %
1 2 3 4 5 6 1 Pembangunan sarana ibadah v - - 75 %
2 Ganti rugi lahan perkebunan untuk industri pertambangan v - - 75 %
3 Pembangunan jalan lorong dan saluran air - v - 100 % 4 Pembangunan sarana komunikasi - v - 100 % 5 Pembangunan institusi pemerintahan (pilkades) - v - 100 % 6 Distribusi beras keluarga miskin (Raskin); - v - 100 %
7 Pencemaran Lingkungan lumpur logam mulia (emas) dan pengolahan kayu (sawmill). - v - 100 %
8 Tindakan amoral oknum pemerintah desa. v - - 50 %
Sumber : BPD Modayag, olahan data primer
Berdasarkan tabel. 25 diatas dari 8 (delapan) kasus yang terjadi didesa
penelitian sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 telah 5 (lima) kasus
yang diselesaikan atau yang telah ditangani penyelesaiannya dengan status selesai.
Sedangkan 3 (tiga) kasus yang lain masih berstatus dalam proses. Pada kasus
120
pembangunan sarana ibadah telah ± 75 % selesai. Kasus ganti rugi tanah
perkebunan warga untuk kepentingan industri pertambangan, sampai saat
penelitian masih dalam proses melalui DPRD kabupaten, tinggal menanti proses
pencairan dana ganti rugi kepada warga yang berhak. Untuk kasus tindakan
amoral oknum pemerintah desa sampai saat penelitian, dalam proses yakni
melalui musyawarah keluarga korban dengan BPD dan dewan adat kampung.
B. Penggantian Kepala Urusan Pemerintahan
Tindakan penggantian kepala urusan pemerintahan desa modayag yang
dilakukan oleh kepala desa/sangadi berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh
BPD atas pelaksanaan kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh kepala
desa/sangadi selama satu tahun. Adapun alasan penggantian aparat desa yang
dilakukan oleh kepala desa kepada aparat bawahannya atas nama berinisial (JK)
probis pemerintahan, kepada yang bersangkutan dinilai sudah tidak loyal atau
sering melalaikan tugas yang dipercayakan kepadanya, seperti melakukan
perjalanan keluar desa tanpa memberitahukan Sangadi dan menggunakan
kendaran dinas roda dua milik desa, membocorkan rahasia dinas atas kebijakan
Sangadi kepada pihak lain, melakukan kegiatan politik menjadi anggota partai
tertentu di tingkat kecamatan dan desa, atas kegiatan tersebut akan menggangu
tugas pokok dan fungsinya sebagai aparat desa.
7.2. Penjelasan Tindakan
Respons aparat terhadap pengawasan masyarakat tentang memberikan
penjelasan kepada masyarakat dilakukan atau disampaikan dalam bentuk forum
rapat, musyawarah, yang dilakukan di kantor desa, balai pertemuan umum (BPU)
desa, pertemuan yang bersifat rutin dinas pemerintahan desa yakni rapat bersama
121
BPD yang dilakukan setiap 4 (empat) bulan sekali. Pertemuan hajatan/syukuran,
pesta nikah kampung dan keluarga. Rapat keluarga pogogutat (kaum), rapat
persekutuan ibu dan persekutuan bapak desa, baik di tingkat dusun masing-
masing maupun secara umum desa. Rapat di tingkat dusun, dilakukan dengan
cara bertemu langsung dengan masyarakat yang terlibat atau terkait. Adapun
tempat pelaksanaan dilakukan sesuai situasi. Pelaksanaan penyelesaian kasus –
kasus yang lakukan di tingkat desa dari delapan kasus yakni ; (1). Pembangunan
sarana ibadah; (2). Pembangunan sarana transportasi jalan lorong dan saluran
air; (3). Pembangunan sarana komunikasi (tower satelindo); (4). Tindakan amoral
oknum pemerintah desa melarikan perempuan bersuami warga desa dan
menikahinya dibawah tangan diluar desa; (5). Pembangunan non fisik institusi
pemerintahan desa (pilkades). Sedangkan yang dilakukan penyelesainnya
ditingkat kecamatan yakni kasus ; (1). ganti rugi lahan perkebunan warga untuk
industri pertambangan. (2). Pembangunan pabrik pengolahan material logam
mulia (emas) dan pengolahan kayu (sawmill) oleh pihak swasta.
Kasus yang di laporkan ke tingkat pemerintah kabupaten yakni kasus ganti
rugi tanah perkebunan warga untuk industri pertambangan yang dirujuk oleh
kecamatan, karena di tingkat kecamatan tidak memperoleh kesepakatan. Dua
kasus yang merupakan laporan langsung kepada Bupati Bolaang Mongondow
yakni kasus Penyimpangan distribusi subsidi beras keluarga miskin (Raskin).
Kasus penyimpangan distribusi beras keluarga miskin (Raskin) tersebut
penanganan penyelesaian masalahnya dilakukan di tingkat Kabupaten, melalui
Polres Bolaang Mongondow. Dan hasil penyidikan pihak Polres Bolaang
Mongondow bahwa tindakan penyimpangan ini ditemukan terbukti. Oleh karena
122
itu yang bersangkutan bersedia untuk mengganti kekurangan beras keluarga
miskin yang telah digunakannya untuk kepentingan pribadi, maka yang
bersangkutan diberikan sangsi tuntutan ganti rugi (TGR) dan diberhentikan dari
tugasnya sebagai pelaksana penyalur beras keluarga miskin di desa.
Selanjutnya kasus tindakan amoral oknum pemerintah desa melarikan
perempuan bersuami warga desa dan menikahinya di ”bawah tangan” di luar
desa, kasus ini oleh pemerintah kabupaten menyerahkan kembali ke tingkat desa,
untuk diselesaikan penanganannya secara adat. Jika nanti secara adat telah
dilakukan namun tidak terselesaikan juga, maka pihak kabupaten akan
menyelesaikan secara struktural kedinasan, karena seorang oknum pemerintah
desa atasannya adalah Bupati dan Camat.
123
BAB VIII
PENUTUP
8. 1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pemahaman masyarakat tentang pembangunan di desa adalah kegiatan
pemerintah desa dalam memenuhi kebutuhan sosial (pendidikan, ekonomi,
kesehatan) warga di desa. Warga menyadari dan memahami bahwa pembangunan
yang dilaksanakan pemerintah desa adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
warga, sehingga menjadi tanggung jawab bersama warga dan pemerintah
dalam pelaksanaanya mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi/pengawasannya. Pelaksanaan pembangunan di desa ditanggapi warga
bahwa pemerintah sangat dominan dalam pelaksanaan kegiatan mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi/pengawasannya. Kurang dipahami dan
diperhatikan partisipasi dan aspirasi warga. Program-program pembangunan
yang dilaksanakan di desa kurang disosialisasikan kepada warga.
Pengawasan masyarakat (social control) dalam pelaksanaan
pembangunan di desa melalui lembaga formal desa (BPD) tidak optimal sesuai
harapan warga. Warga melakukan pengawasan secara pribadi, kelompok dalam
bentuk demonstrasi massa, melaporkan kepada pemerintah atas desa dan lembaga
penegak hukum di tingkat Kecamatan, Kabupaten, bahkan ke tingkat Provinsi
dengan memanfaatkan sarana media massa lokal.
Pemerintah desa menerima, menyadari dan memahami (merespons)
bahwa pengawasan masyarakat (social control) yang dilakukan warga adalah
bentuk kepedulian warga dan ketidakpuasannya terhadap kinerja pemerintah desa
dan aparatnya pemerintah kabupaten.
124
Atas tekanan warga melalui pengawasan masyarakat (social control)
pemerintah desa merespons dengan cara mereorganisasi institusi desa yakni
dengan adanya penggantian Ketua BPD Desa Modayag, Kepala Urusan
Pemerintahan, mengganti petugas penyalur/distribusi beras untuk keluarga miskin
(raskin) untuk menjawab kebutuhan dan keinginan warga.
Di tingkat kecamatan kasus ganti rugi lahan perkebunan warga untuk
kepentingan industri pertambangan, oleh kecamatan camat tidak dapat
memutuskannya dan merujuk ke tingkat kabupaten, karena menyangkut hal
yang prinsip.
8. 2. Rekomendasi
Berdasarkan data dan hasil analisa dapat direkomendasikan hal-hal
sebagai berikut :
1. Meningkatkan pembinaan dan penyuluhan aparatur, penegakkan hukum di
daerah dalam rangka menciptakan pemerintah yang bersih (clean governance)
dan berwibawa (good governance) untuk menekan korupsi dan meningkatkan
transparansi birokrasi.
2. Kiranya pemerintah daerah mengintensifkan penyuluhan, pembinaan dan
pemasyarakatan program-program pembangunan desa, supaya ada komunikasi
dua arah pemerintah dan masyarakat.
3. Meningkatkan pemasyarakatan pengawasan masyarakat (social control) dan
pengawasan fungsional secara luas di Kabupaten Bolaang Mongondow.
4. Menumbuhkembangkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge)
masyarakat, sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam rangka
meningkatkan program - program pembangunan desa, misalnya lewat aturan
adat.