169
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penataan ruang merupakan rangkaian kegiatan yang perlu mendapat perhatian sebagai salah satu aspek dalam pelaksanaan pembangunan dan dalam rangka percepatan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mewujudkan penataan ruang yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang diperlukan berbagai perangkat lunak berupa Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) sebagai acuan pelaksanaan penataan ruang. Kurangnya NSPM dalam penataan ruang menyebabkan kelemahan dalam penyelenggaraan penataan ruang sehingga implementasi penataan ruang tidak berjalan optimal. Definisi dari Norma, Standar, Prosedur, dan Manual itu sendiri menurut Kamus besar bahasa Indonesia ialah: Norma, yaitu Aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendalian tingkah laku yang sesuai Standar, yaitu Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan Prosedur, yaitu Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas atau metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu problem 1

Pengembangan Wilayah Copy

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pw

Citation preview

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangProses penataan ruang merupakan rangkaian kegiatan yang perlu mendapat perhatian sebagai salah satu aspek dalam pelaksanaan pembangunan dan dalam rangka percepatan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mewujudkan penataan ruang yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang diperlukan berbagai perangkat lunak berupa Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) sebagai acuan pelaksanaan penataan ruang. Kurangnya NSPM dalam penataan ruang menyebabkan kelemahan dalam penyelenggaraan penataan ruang sehingga implementasi penataan ruang tidak berjalan optimal. Definisi dari Norma, Standar, Prosedur, dan Manual itu sendiri menurut Kamus besar bahasa Indonesia ialah: Norma, yaitu Aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendalian tingkah laku yang sesuai Standar, yaitu Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan Prosedur, yaitu Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas atau metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu problem Manual, yaitu buku petunjuk praktis tentang suatu jenis pekerjaan atau tentang cara kerja suatu alat atau peranti tertentuBerdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa NSPM dapat dijadikan sebagai standar mutu terutama dalam bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah. Dalam merencanakan suatu kawasan yang berkelanjutan, diperlukan suatu standar dalam pengelolaannya. Hal ini perlu dilakukan karena mengingat bahwa setiap kegiatan memiliki karakteristik khusus dan memerlukan penanganan yang berbeda, agar pembangunan di kawasan tersebut tidak memberikan dampak buruk untuk kawasan itu sendiri. Oleh sebab itu NSPM memiliki peran penting dalam Pengembangan Wilayah sebagai modal awal perencanaan tata ruang yang baik dan berkualitas serta berdaya dukung lingkungan.

1.2TujuanTujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ilmiah ini adalah untuk :a. Menyiapkan materi mata kuliah Perencanaan Pengembangan Wilayah.b. Mengemukakan permasalahan pengelolaan kawasan pertanian, perkebunan, pertambangan, pegunungan, dan pesisir terhadap kawasan pemukimanc. Mengemukakan strategi pengembangan wilayah untuk berbagai kawasand. Mengemukakan strategi menyusun NSPM berbagai kawasan dalam melakukan Perencanaan Pengembangan Wilayah.

1.3Sistematika PenulisanBAB 1PENDAHULUANBerisi tentang latar belakang masalah, tujuan, batasan masalah, serta sistematika penulisan.BAB 2TINJAUAN PUSTAKABerisi tentang tinjauan pustaka.BAB 3ANALISIS MASALAHBerisi tentang uraian soal yang akan dianalisis dan pembahasan mengenai kasus yang diangkat menjadi masalahBAB 4KESIMPULANBerisi tentang kesimpulan, menyajikan hasil-hasil analisis dalam bab sebelumnya dalam bentuk ringkas, padat dan jelas sehingga diperoleh susunan rangkaian yang sistematis dan mudah dipahami.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1PENGEMBANGAN WILAYAHPengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya perkembangan wilayah secara harmonis melalui pendekatan yang bersifat komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya (Misra R.P, 1982). Pada dasarnya pendekatan pengembangan wilayah ini digunakan untuk lebih mengefisiensikan pembangunan dan konsepsi ini tersus berkembang disesuaikan dengan tuntutan waktu, teknologi dan kondisi wilayahnya.

2.1.1Pengertian WilayahBerdasarkan Undang Undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 disebutkan definisi wilayah dalam tata ruang, yaitu Wilayah: adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Adapun beberapa pengertian yang hampir sama tentang wilayah yaitu kawasan, dan daerah adalah sebagai berikut :Kawasan, adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah, yakni adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Daerah, umum dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif. Dalam UU no.32 tahun 2004, daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.Maka dari itu jelas sekali perbedaan antara wilayah, kawasan dan daerah dalam ilmu tata ruang berdasarkan masing-masing pengertian. Namun secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara umum dapat disatukan dalam satu istilah yang lebih umum yaitu wilayah (region), dimana setiap kawasan atau sub kawasan memiliki fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.Beberapa definisi wilayah secara teoriti yang di jelaskan oleh beberapa pakar adalah sebagai berikut :Murty (2000): Wilayah adalah suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik (kabupaten), dan perdesaan.Isard (1975): Wilayah adalah areal dengan batas-batas tertentu yang memiliki arti (meaningful) karena adanya masalah-masalah yang ada di dalamnya, khususnya karena menyangkut permasalahan sosial. Nasoetion (1990): wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional.

2.1.2Konsep WilayahDikarenakan tidak ada konsep wilayah yang benar-benar diterima secara luas, maka para ahli cenderung melepaskan perbedaan konsep wilayah terjadi sesuai dengan fokus masalah dan tujuan pengembangan wilayah tersebut.1) Konsep Pewilayahan (Zoning)Zoning adalah metode perencanaan penggunaan tanah yang digunakan oleh pemerintah lokal di sebagian besar negara maju . Pemintakatan bisa dilakukan berdasarkan penggunaan yang diizinkan untuk suatu lahan atau berdasarkan aturan lain seperti tinggi bangunan yang diperkenankan untuk suatu kawasan tertentu.Sistem zoning dilakukan untuk mempermudah pembagian kawasan : kawasan industri, kawasan pemukinan, kawasan komersial, kawasan perkantoran, kawasan rekreasi dan hiburan dan kawasan konservasi.

Gambar 1. Contoh Pemetakan (Zoning) Suatu Kota Dengan Memberikan Berbagai Warna Bagi Masing-Masing Peruntukan Zona

2) Zonasi tata ruang di atur dalam Undang Undang No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang , Pasal 27 Ayat 1 yang berbunyi :3) Rencana tata ruang nasional memuat (langsung ke huruf f) arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional, arahan perizinan, arahan intensif dan disintesif serta arahan sanksi. Maka dari itu tujuan Penyusunan Peraturan zonasi adalah :a) Mengatur kepadatan penduduk dan intensitas kegiatan, mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan tanah dan menentukan tindak atas suatu ruang.b) Melindungi kesehatan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat.c) Mencegah kesemrawutan, menyediakan pelayanan umum yang memadai serta meningkatkan kualitas hidup.d) Meminimumkan dampak pembangunan yang merugikan.e) Memudahkan pengambilan keputusan secara tidak memihak dan berhasil guna serta mendorong peran serta masyarakat.

2.1.3Konsep Pengembangan WilayahYang menjadi konsep pengembangan wilayah adalah : 1) Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang yang telah diujiterapkan dan kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia.2) Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa kota (rural urban linkages) dalam pengembangan wilayah. 3) Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah diatas kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran cemerlang putra-putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumberdaya alam akan mampu mempercepat pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota dan hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota. Selanjutnya adalah Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang memperkenalkan konsep Pola dan Struktur Ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang. Pada periode 1980-an ini pula, lahir Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sitem kota-kota nasional yang efisien dalam konteks pengembangan wilayah nasional. Dalam perjalanannya SNPP ini pula menjadi cikal-bakal lahirnya konsep Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) sebagai upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan fungsi dan peran kota yang diarahkan dalam SNPP. 4) Berdasarkan pemahaman teoritis dan pengalaman empiris diatas, maka secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI. Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang didalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni : Pertama, proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai guidance of future actions RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability). Kedua, proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Ketiga, proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.

2.2PENGERTIAN NORMA, STANDAR, PROSEDUR, MANUAL (NSPM)Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) adalah perangkat aturan-aturan yang merupakan kebijakan Departemen (sekarang Kementrian) yang terus dikembangkan untuk menunjang operasional Direktorat Jenderal dan lainnya yang terkait dengan kegiatan pembangunan infrastruktur Indonesia. NSPM diterapkan dalam upaya mengoptimalkan kinerja pelaksanaan, mulai dari pra konstruksi, masa konstruksi sampai pasca konstruksi, sehingga prasarana dan sarana atau infrastruktur yang dibanguna dapat dimanfaatkan sesuai dengan rencana bagi kepentingan masyarakat. (http://www.pustran.go.id/NSPM-Setba-2001-2002.htm)Ditetapkannya NSPM bertujuan untuk memberikan panduan dan kemudahan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam bidang pekerjaan konstruksi untuk melaksanakan kegiatan pembangunan prasarana dan sarana guna mempertahankan mutu pekerjaan atau bahkan dalam skala tertentu untuk menjaga kepentingan masyarakat agar tidak dirugikan akibat dampak pembangunan di bidang pekerjaan konstruksi (ke PU an).Norma : Aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendalian tingkah laku yang sesuai.Standar :Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan.Prosedur :Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas atau metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu problem.Manual :Buku petunjuk praktis tentang suatu jenis pekerjaan atau tentang cara kerja suatu alat atau peranti tertentu.

2.2.1 NSPM Bidang Perencanaan Pengembangan WilayahDitetapkannya NSPM dimaksudkan untuk memberikan panduan dan kemudahan bagi yang berkepentingan dalam bidang pekerjaan konstruksi (ke PU an) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan guna mempertahankan mutu pekerjaan atau bahkan dalam skala tertentu untuk menjaga kepentingan masyarakat agar tidak dirugikan akibat dampak pembangunan di bidang pekerjaan konstruksi.

2.2.2Urgensi NSPM dalam Perencanaan dan Pengembangan Wilayah 1) Dimulai tahun 1980-an sebagai kritik terhadap sistem pemerintahan sentralistik yang mengakibatkan ketidakefisienan pembangunan2) Dikenalkannya desentralisasi perencanaan, untuk mendukung proses ini, Departemen PU menetapkan PP No.14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidan ke-PU-an kepada Daerah, termasuk penyerahan urursan rencana tata ruang yang merupakan bagian bidang Cipta Karya (Ruchyat Deni, 2003). Pada saat itulah dibuat NSPM dalam kegiatan perencanaan dan pembangunan. 3) Kurangnya NSPM bidang penataan ruang selama ini telah disadari sebagai satu kelemahan dalam penyelenggaraan penataan ruang.Bagaimanapun juga, desentralisasi mempunyai dampak dalam pelaksanaannya. Pengaruh desentralisasi terhadap wilayah yang belum siap menjadi bumerang terhadap wilayah tersebut dan sekitar. Implementasi dari Perencanaan dan Pengembangan Wilayah yang buruk dinilai sebagai faktor utama dari banyak wilayah seharusnya berkembang menjadi tidak berkembang sehingga mengakibatkan kemiskinan, kerusakan lingkungan dan buruknya tata ruang dan tata guna lahan wilayah tersebut. Sebagai contoh ketidaksesuaian NSPM terhadap implemetasinya dalam perencanaan dan pengembangan wilayah adalah Waduk Pluit yang mengalami pendangkalan akibat lahan yang seharusnya digunakan untuk RTH digunakan sebagai permukiman. (Sumber: http://www.indopos.co.id/index.php/berita-utama/1660-banjir-di-pluit-yang-paling-susah-hilang) Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dalam Kesepakatan Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan pada 2 Januari 2004, sebagai bagian Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan yang mencantumkan Tujuan Pembangunan Milenium negara (Tantangan Tata Kelola Lingkungan, 2010).Untuk mewujudkan hal tersebut, haruslah dibuat Perencanaan Pengembangan Wilayah kembali yang disesuaikan dengan keadaan sekarang (karena sudah mengalami perubahan lingkungan).NSPM perencanaan tata ruang ditujukan untuk menjamin produk rencana tata ruang yang berkualitas, yang disusun dengan berdasarkan pada daya dukung lingkungan, kebutuhan pelayanan prasarana dan sarana, dan kebutuhan pengembangan kegiatan masyarakat yang terus berkembang, serta melalui proses partisipatif memperhatkan kepentingan seluruh pemangku kepentingan.

2.3 KARAKTERISTIK SETIAP KAWASAN2.3.1 Kawasan Pertanian Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya (Wikipedia). Menurut Hadisapoetro (1975), pertanian diartikan sebagai setiap campur tangan tenaga manusia dalam perkembangan tanam-tanaman maupun hewan agar diperoleh manfaat yang lebih baik daripada tanpa campur tangan tenaga manusia. Mosher (1966) memberi definisi pertanian sebagai sejenis proses produksi yang khas yang didasarkan proses pertumbuhan tanaman dan hewan yang dilakukan oleh petani dalam suatu usaha tani sebagai suatu perusahaan. Dengan demikian unsur pertanian terdiri dari proses produksi, petani, usaha tani, dan usaha tani sebagai perusahaan.

Gambar 2 Sawah di Indonesia

2.3.2Penggunaan Lahan Pertanian Di IndonesiaPenggunaan Lahan Di Daerah Pedesaan Agraris Pada Umumnya Digunakan Untuk pertanian. Lahan pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu, lahan basah (sawah) dan lahan kering. Perbedaan kedua lahan tersebut terletak pada ketersediaan air untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman.Secara umum lahan pertanian di Indonesia dibagi menjadi dua jenis, yaitu :1) Pertanian lahan basah (sawah)Tujuan utama pemanfaatan lahan pesawahan untuk bercocok tanam padi. Di daerah yang sudah maju, biasanya sawah sering ditanami palawija dan ikan secara bergiliran. Pergiliran tersebut biasanya disebabkan oleh ketersediaan air, musim dan keadaan di pasaran. Menurut Djamari (1985: 587 588), dilihat dari ketersediaan air terdapat beberapa jenis sawah, di antaranya:a. Sawah tadah hujan, yaitu sawah dengan sistem irigasinya tergantung pada curah hujan. Biasanya ditanami pada setiap tahun sekali. Namun di beberapa daerah dilakukan gogo rancah, dengan demikian sawah tadah hujan dapat ditanami dua kali setiap tahun.b. Sawah kemarau, yaitu sawah yang berbatasan dengan wilayah rawa, misalnya terdapat di daerah hulu sungai di Kalimantan. Pada musim penghujan sawah tergenang air, pada musim kemarau air surut dan sawah mulai ditanami.c. Sawah irigasi, yaitu sawah yang menggunakan irigasi (pengairan teknis). Biasanya ditanami padi 2-3 kali setiap tahun, atau diselingi dengan ditanami palawija dan beternak ikan.d. Sawah pasang surut, yaitu sawah yang dilakukan di sekitar muara sungai besar, di daratan pantai landai dan berawa. Sistem pengairannya ada pada waktu air laut pasang mendorong/ menghambat aliran sungai, sehingga permukaan air sungai naik, kemudian dialirkan ke daerah sekitar sungai itu melalui saluran yang sengaja dibuat oleh penduduk.e. Sawah lebak, yaitu sawah yang dilakukan di pematang sungai, karena di belakang pematang-pematang sungai terdapat tanah rendah dan tergenang air sehingga dibuatlah sawah lebak.

2) Pertanian lahan keringMenurut Sandy (1985: 132-135) berdasarkan jenis tanaman atau usaha yang diselenggarakan lahan kering dapat diklasifikasikan sebagai berikut:a. Pekarangan, merupakan lahan usaha tani yang biasa dipakai sebagai tempat mendirikan bangunan-bangunan usaha tani seperti rumah keluarga petani, kandang ternak, dan lumbung penyimpanan hasil usaha tani. Sebagian lagi dari lahan ini ada juga yang ditanami berbagai macam holtikultura seperti buah-buahan, kelapa, sayuran, tanaman hias, palawija dan lain-lain.b. Ladang atau tegalan, adalah lahan usaha yang digunakan untuk bercocok tanam. Jenis tanaman yang diusahakan umumnya berumur pendek seperti jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian.c. Perkebunan, dapat dikelompokkan menjadi perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Perkebunan rakyat memiliki ciri-ciri, yaitu: Luas lahan relatif sempit Modal kecil Produktifikas rendah Pemeliharaan dan pengolahan sederhanaPerkebunan besar memiliki ciri-ciri, yaitu: Modal besar Teknologi pertanian tinggi Luas lahan tiap unit besar Produktivitas tinggi Ditangani oleh perusahaan swasta atau pemerintahd. Kebun campuran, yaitu lahan pertanian pekarangan dengan aneka ragam tanaman budidaya yang diusahakan secara tumpang sari, hanya letaknya di luar wilayah pekarangan.Dari kedua jenis pertanian tersebut, lahan pertanian basah lebih banyak terdapat di daerah dataran sedangkan lahan pertanian kering lebih banyak terdapat di daerah lahan miring, termasuk daerah sekitar hutan.

2.2.4Permasalahan Pertanian di IndonesiaSecara lebih detail, ada beberapa permasalahan yang dihadapi lahan pertanian. Yang utama adalah pertambahan jumlah penduduk Indonesia sebesar 1,3 sampai dengan 1,5 % per tahun. Dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi ini, diperkirakan pada tahun 2035 penduduk Indonesia akan mencapai 440 juta jiwa.Masalah lainnya adalah kompetisi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor yang semakin ketat dan rencana alihfungsi lahan sawah yang sangat dasyat berdasarkan RTRW kabupaten/kota seluas 3,09 juta ha dari 7,8 juta ha lahan sawah menjadi permukiman, perindustrian, dan lain-lain (BPS, 2004). Meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan dukungan dinamika dan kebutuhan pembangunan di setiap daerah secara langsung atau tidak langsung memaksa terjadinya perubahan penggunaan lahan-lahan pertanian, khususnya sawah, semakin tinggi. Selain itu, lahan sawah itu sendiri memiliki masalah, yaitu tingkat produktivitas yang mendekati levelling off sehingga ada tendensi total produksi relatif stagnan jika tidak diimbangi dengan teknologi. Tiap tahun, terjadi intensifikasi dan kapasitas perluasan areal sawah sekitar 40.000 ha.Konversi sawah menjadi lahan nonpertanian dari tahun 1999 2002 mencapai 563.159 ha atau rata-rata 187.719,7 ha pertahun. Sebenarnya neraca pertambahan luas lahan sawah sempat naik antara tahun 1981 1999, yaitu seluas 1,6 juta ha. Namun antara tahun 1999 2002 terjadi penciutan luas lahan seluas 141.285 ha per tahun. Data dari Biro Pusat Statistik tahun 2004 menunjukkan bahwa besaran laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke nonsawah sebesar 187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke nonpertanian sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi ke pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun. Adapun alih fungsi lahan kering pertanian ke nonpertanian sebesar 9.152 ha per tahun. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 1.2.

Konversi lahan pertanian terutama lahan sawah tidak hanya menyebabkan kapasitas produksi pangan turun, tetapi merupakan salah satu bentuk kerugian investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi dan budaya pertanian, dan menyebabkan semakin sempitnya luas garapan usaha tani.Hal ini merupakan salah satu sebab turunnya kesejahteraan petani karena kegiatan usaha tani tidak lagi dapat menjamin tingkat kehidupan yang layak bagi petani. Tantangan untuk menekan laju konversi lahan pertanian ke depan adalah bagaimana melindungi keberadaan lahan pertanian melalui perencanaan dan pengendalian tata ruang, meningkatkan optimalisasi, rehabilitasi dan ekstensifikasi lahan, meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha pertanian serta pengendalian pertumbuhan penduduk.Di lain pihak, secara sistematis pemerintah daerah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota akan merencanakan alih fungsi lahan pertanian menjadi peruntukan lain yang sangat dahsyat. Fenomena ini terlihat di ketujuh pulau besar di Indonesia. Seluas 3 juta ha dari total luas lahan sawah yaitu 8,9 juta ha (42,4% total luas lahan sawah) akan diubah peruntukannya, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.3.

2.2.5Kebijakan Nasional PertanianKebijakan strategi perencanaan perluasan areal pertanian disusun dari hasil analisis situasi dan kondisi obyektif atas target yang ingin dicapai berdasarkan potensi yang tersedia. Namun, harus mempertimbangkan secara seksama kendala, isuisu, dan permasalahan empiris yang dihadapi. Dalam analisis, fokus bahasan diarahkan pada simpulsimpul strategis yang perlu dipertimbangkan dengan seksama dalam perencanaan perluasan areal pertanian. Hal ini mencakup sejumlah aspek dan suatu kombinasi beberapa pendekatan yang secara implisit merupakan konsekuensi logis dari keragaman situasi dan kondisi obyektif yang terjadi di lapangan.1) Target PerluasanPemerintah telah menetapkan bahwa selama periode 2010 2014 dapat dilakukan perluasan areal pertanian seluas 2 juta hektar. Luasan tersebut adalah untuk pertanian rakyat dan mencakup lahan sawah dan areal pertanian lahan kering yang meliputi lahan kering untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, serta hijauan makanan ternak dan padang penggembalaan.2) Simpul Strategis Status tanah tersediaSecara teoritis, perluasan areal pertanian dapat dilakukan dengan membuka hutan, mendayagunakan bekas kawasan hutan yang dapat dikonversi menjadi kawasan pertanian, memanfaatkan lahan terlantar, memanfaatkan lahan bekas transmigrasi yang ditinggalkan pemiliknya, dan sebagainya. Sesuai dengan: hasil kajian terhadap sejumlah kebijakan dan program pemerintah yang terkait dengan pendayagunaan sumberdaya lahan dalam rangka ketahanan pangan dan revitalisasi pertanian, serangkaian hasil FGD, maka diperoleh kesimpulan bahwa pilihan paling layak adalah lahan terlantar, lahan bekas transmigrasi, dari (sebagian kecil) lahan bekas kawasan hutan konversi.Dari sudut pandang luasannya, dari ketiga kategori tersebut yang diharapkan menjadi tumpuan harapan adalah pendayagunaan tanah (lahan). Sudah barang tentu yang dimaksud adalah yang secara teknis, sosial budaya, ekonomi, dan yuridis memenuhi persyaratan. Unsur-unsur Dalam PerencanaanPada dasarnya perluasan areal pertanian merupakan salah satu bentuk dari pendayagunaan sumberdaya lahan. Proses perencanaan dan implementasinya tergantung pada tiga unsur pokok, yaitu : Pertama, pihakpihak yang berkepentingan dan hal ini terkait dengan sifat multifungsi lahan. Kedua, bahwa kualitas atau keterbatasan setiap komponen unit lahan untuk penggunaan yang berbeda berimplikasi pada tahapan yang diperlukan dalam perencanaan. Ketiga, bahwa opsiopsi pemanfaatan yang layak di wilayah yang bersangkutan harus selalu dikaitkan dengan aspek keberlanjutan. Selain itu, perlu pula diperhatikan adanya faktorfaktor teknis lain yang perlu dipetimbangkan dalam perencanaan, antara lain: luasan yang tersedia dan penguasaannya; kualitas, potensi produktivitas dan kesesuaian lahannya; tingkat teknologi yang dipakai untuk mendayagunakan sumberdaya lahan tersebut; kepadatan penduduk; kebutuhan dan standard kehidupan masyarakat. Setiap faktor tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Database pendukung Rangka Kerja dan Pengambilan KeputusanPerencanaan yang baik sulit diwujudkan jika tidak ditunjang oleh ketersediaan database yang memadai. Namun, sistem database pertanahan yang tersedia di negeri ini masih sangat kurang apabila dibandingkan dengan yang diperlukan. Kurangnya ketersediaan database disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: belum terbentuknya suatu sistem database yang terintegrasi yang secara konsisten diremajakan (diup date) dari waktu ke waktu, masih lemahnya sistem koordinasi antar lembaga/instansi terkait dalam aktivitas pengumpulan, kompilasi, dan penyimpanan database yang sesuai dengan prinsipprinsip database management, sangat terbatasnya anggaran dan sumberdaya manusia yang tersedia (relatif terhadap luas wilayah, konfigurasi daratan, dan keragaman kondisi sosial ekonomi, dan kebutuhan untuk pembangunan)Database pertananahan yang sangat diperlukan untuk mendukung perluasan areal pertanian khususnya dan pendayagunaan sumberdaya lahan untuk pertanian pada dasarnya mencakup database sosial ekonomi dan database sumberdaya alam Keterpaduan Pertanian dan Kelembagaan LokalPembangunan pertanian tidak akan mencapai sasaran yang diharapkan apabila perencanaan dan pelaksanaannya tidak dipadukan dengan pembangunan perdesaan. Hubungan sinergis pertanian dan perdesaan terbentuk dari sifat komplementaritas faktorfaktor strategis yang mencakup aspek teknologi, kependudukan dan ketenagakerjaan, struktur penguasaan tanah, infrastruktur, permodalan, dan sosialbudaya. Keterpaduannya semakin tampak pada perdesaanperdesaan agraris, yakni sebagian besar penduduknya menggantungkan nafkahnya dari pertanian dan kelembagaan hubungan kerja pertanian merupakan salah satu inti dari kelembagaan sosial masyarakat desa tersebut. Azas: Efisiensi Keadilan Kelestarian LingkunganLahan adalah sumberdaya strategis yang sangat langka. Terkait karakteristik intrinsiknya dan sifat multi fungsi sumberdaya ini, setiap aktivitas pendayagunaannya (land use change) akan berdampak bukan saja pada viabilitas ekonomi pada aktivitas itu sendiri tetapi juga berdampak pada keseluruhan sektor ekonomi, bahkan sosial budaya dan politik. Oleh karena itu strategi pendayagunaannya harus berbasis pada azas efisiensi keadilan kelestarian lingkungan secara holistik dan terpadu.Dalam penerapan azas efisiensi, perlu dipahami secara komprehensif bahwa viabilitas ekonomi usaha tani sangat ditentukan oleh keberhasilan memadukan prinsip-prinsip agronomi dan ekonomi dalam proses produksi pertanian. Pilihan jenis komoditas, skala usaha, teknik pengolahan lahan, penggunaan variates, pengelolaan air, pengendalian organisme pengganggu tanaman, pemupukan, serta pengelolaan pengadaan input dan pemasaran output adalah kuncikunci pokok yang menentukan viabilitas finansial usaha tani. Namun, tentunya proses produksi usaha tani tidak dapat dilepaskan dari karakteristik intrinsik proses pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, sehingga usaha tani prinsipprinsip managed ecosystem tidak dapat dihindari karena hal ini sangat menentukan bukan saja efisiensi tetapi juga keberlanjutan sistem usaha tani.Dalam komunitas agraris, kaitan antara distribusi penguasaan tanah dengan keadilan sangat erat. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di perdesaan agraris berkorelasi positif dan nyata dengan distribusi penguasaan lahan.Dalam level makro, konflik pertanahan dan hubungannya dengan aspek keadilan juga terkait dengan fakta bahwa sampai saat ini di beberapa wilayah di Indonesia masih terdapat dualisme kerangka hukum (legal framework) di bidang pertanahan. Meskipun dalam UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) eksistensi hukum adat diakui dan diakomodasikan, namun pada kasuskasus tertentu nilainilai budaya lokal yang menjadi basis kelembagaan pengelolaan sumberdaya lahan di lokasi itu tidak compatible dengan nilainilai yang dijadikan landasan penyusunan peraturan formal yang berlaku secara nasional. Persoalan ini perlu dicermati dalam membuat perencanaan dan strategi pelaksanaannya. Infrastruktur sebagai Faktor KunciKetersediaan infrastruktur sangat mempengaruhi viablilitas ekonomi usaha tani dan bahkan keberlanjutannya. Apabila didekomposisi, pengaruh keberadaan infrastruktur pertanian/perdesaan terhadap perkembangan dan keberlanjutan usaha tani dapat dipilah menjadi dua kategori: efek langsung, dan efek kombinasi.Efek langsung berupa pengaruh ketersediaan masingmasing jenis infrastruktur tersebut, sedangkan efek kombinasi terbentuk melalui sinergi yang terbentuk dari keberadaan dua atau lebih jenis infrastruktur yang sifatnya komplemen Determinan Usaha tani Sebagai Basis Pemahaman Pendekatan TerpaduSasaran perluasan areal pertanian dapat dicapai jika perencanaannya dilakukan melalui pendekatan terpadu. Basis pendekatan terpadu adalah determinan usaha tani karena usaha tani adalah core business pertanian, sedangkan perluasan areal pertanian pada dasarnya adalah means dalam rangka pengembangan pertanian.Kinerja sistem usaha tani dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal petani dapat dipilah menjadi dua yaitu: Faktor A yakni kondisi agroekosistem. Ini terdiri dari dua komponen yaitu: yang sifatnya alamiah (jenis, topografi, dan sebagainya), dan hasil buatan manusia (irigasi, jalan usaha tani, dan sebagainya). Faktor B (internal) mencakup karakteristik rumah tangga petani. Ini mencakup jumlah dan komposisi anggota rumah tangga menurut umur dan jenis kelamin, tingkat pendidikan, keterampilan manajerial, kepemilikan/penguasaan sumberdaya produktif (lahan pertanian, ternak, peralatan dan mesin pertanian, dan sebagainya), akses petani terhadap modal, akses petani terhadap pasar masukan maupun keluaran pertanian, sikap/perilaku dan tujuan petani dalam berusaha tani, dan sebagainya. Faktor C yakni faktor sosial ekonomi lingkungan yang mempengaruhi keputusan petani dalam berusaha tani. Termasuk dalam faktor ini adalah kebijakan pemerintah (harga, perkreditan, tataniaga, tarif, subsidi, dan sebagainya), kondisi infrastruktur fisik maupun non fisik (pendidikan/latihan, penyuluhan, penelitian, pengangkutan, fasilitas pemasaran), kelembagaan (undangundang agraria dan peraturan / perundang-undangan terkait lainnya, kelembagaan hubungan kerja, dan sebagainya), struktur perekonomian (kaitan sektoral sektor pertanian dengan sektor lainnya, kesempatan kerja, dinamika nilai tukar, inflasi, dan sebagainya). StrategiStrategi yang dapat ditempuh untuk mencapai sasaran tersebut mencakup dua kategori. Pertama, perluasan lahan pertanian baru dengan cara langsung yaitu melalui proyek perluasan areal pertanian. Ini merupakan cara paling populer untuk mencapai sasaran sebagian besar perluasan areal baru yang selama ini ditempuh. Kedua, cara tidak langsung yaitu dengan menciptakan insentif bagi petani di wilayah potensial untuk melakukan perluasan areal pertanian. Transmigrasi Sebagai Andalan Strategi Perluasan Lahan Pertanian Baru Jangka Menengah dan Jangka PanjangUntuk jangka menengah dan jangka panjang, perluasan areal pertanian yang terintegrasi dengan program transmigrasi merupakan pendekatan yang paling layak. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari fakta bahwa sebagian besar sumberdaya lahan yang tersedia untuk pengembangan kawasan pertanian baru terletak di Luar Pulau Jawa, utamanya di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Terutama di Kalimantan dan Papua, sumberdaya lahan yang tersedia masih sangat banyak tetapi jumlah penduduknya sangat sedikit, sementara itu kawasan hutan yang layak didayagunakan untuk pertanian masih sangat banyak. Di sisi lain, Pulau Jawa yang luasnya hanya sepertujuh dari luas daratan Indonesia dihuni oleh separuh penduduk Indonesia.Pengembangan kawasan pertanian baru melalui transmigrasi dari P. Jawa dan Bali ke wilayahwilayah berkepadatan penduduk rendah di PulauPulau besar tersebut tidak hanya memperbaiki distribusi spatial penduduk tetapi juga lebih menjamin keberlanjutan kawasan pertanian penghasil pangan (utamanya padi) di lokasi tersebut. Hal ini disebabkan keberlanjutan sistem usaha tani padi tak lepas dari aspek sosio budaya, sedangkan secara relatif sejarah perkembangan budaya bercocok tanam padi di Indonesia yang paling menonjol adalah di kalangan masyarakat Jawa dan Bali.Seiring dengan perubahan tata nilai dan sistem politik yang terjadi sejak Reformasi, kebijakan dan program transmigrasi membutuhkan pendekatan yang berbeda. Pendekatan bottomup dalam perumusan kebijakan, perumusan program, dan koordinasi; baik koordinasi lintas sektor maupun koordinasi Pusat Daerah harus diberi bobot yang lebih besar.Adalah fakta bahwa pelaksanaan program transmigrasi yang telah dilakukan selama empat puluh tahun terakhir cukup berhasil meskipun kasuskasus kegagalan juga ditemukan. Sudah barang tentu dari kisah sukses dan kegagalan tersebut terdapat pembelajaran yang dapat digunakan sebagai masukan dalam perumusan kebijakan dan program dengan pendekatan baru.

2.3.2 Kawasan PerkebunanEkosistem hutan memegang peran penting dalam siklus karbon global. Sekitar 80% dari cadangan karbon atas tanah (above ground) dan 40 % bawah tanah (below ground) ada di hutan. Hutan pun memegang peranan sebagai penyerap karbon (yang ada di atmosfir) terbesar. Hutan, yang merupakan kumpulan dari banyak pohon, menjalankan proses fotosintesis (yang merupakan salah satu bagian dari siklus karbon) yang menyerap karbondioksida di atmosfer dan kemudian disimpan dalam bentuk biomassa berupa daun, batang, akar, maupun buah, serta menghasilkan oksigen ke udara yang akan dipergunakan oleh manusia, hewan, dan tumbuhan dalam melakukan respirasi. Proses fotosintesis yang dijalankan oleh pohon-pohon dalam hutan tersebut sangat berguna dalam mengurangi dampak perubahan iklim global (global climate change mitigation) karena dapat mengurangi jumlah karbon di udara sebagai gas rumah kaca penyebab pemanasan global (global warming).

Gambar 2.1 Hutan Sebagai Penyerap KarbonSumber: http://ghinaghufrona.blogspot.com/2011/10/fungsi-hutan-tropika-secara-ekologis.html

Hutan merupakan salah satu penyerap karbon (carbon sink) terbesar dan teraman. Namun, kerusakan yang terjadi pada hutan akan menyebabkan laut berperan sebagai penyerap utama karbon tersebut.Peneliti pada Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian Institution Washington Amerika, Nancy Knowlton mengatakan potensi penyerapan karbon (carbon sink) oleh laut memang besar akan tetapi hal tersebut dapat mengakibatkan rusaknya kehidupan biota laut. Laut memang menyimpan potensi penyerapan karbon besar tetapi dampaknya bisa mengakibatkan kadar air laut menjadi asam (asidifikasi) yang bisa menyebabkan kerusakan biota laut.Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa emisi karbon berperan dalam terjadinya efek gas rumah kaca (GBK) yang mempunyai peran penting dalam perubahan iklim dunia. Gas ini terdiri dari CO2, methan, Nitrouse Oxide dan ozone. Ketika sinar matahari mencapai permukaan bumi, sebagian di serap oleh bumi, ini menyebabkan suhu permukaan meningkat. Disamping itu, permukaan bumi melepas radiasi gelombang panjang (long wave). Sebagian dari radiasi ini diserap oleh GRK. GRK kemudian melepas emisi baik ke luar bumi maupun ke arah dalam. Emisi yang kembali dilepas ke bumi akan menyebabkan pemanasan bumi. Inilah yang dikenal dengan fenomena GRK. Ketika jumlah GRK meningkat, maka temperatur permukaan bumi akan otomatis naik.Carbon dioxide (CO2) atau lebih sering disebut carbon, adalah komponen penyusun GRK antropogenik terbesar. Jumlahnya mencapai 72 % dari total GRK, yang berperan 9-26% dari fenomena GRK. Selama 20 tahun terakhir, emisi karbon didominasi oleh pembakaran bahan bakar fosil melalui proses konversi fosil ke gas. Sisanya 10-30 % berasal dari perubahan lahan dan deforestasi. Dimana perubahan lahan dan deforestasi tersebut disebabkan oleh pembukaan lahan baru untuk perkebunan dan pemukiman.

Gambar 2.2 Deforestasi Akibat Alih Fungsi Hutan Menjadi PerkebunanSumber:http://www.mongabay.co.id/2013/02/22/statistik-fao-indonesia-buang-187-miliar-ton-karbon-antara-1990-2010/

1) Kawasan Peruntukan PerkebunanMenurut UU No. 18 Tahun 2004, Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.Menurut UU No. 18 Tahun 2004, perkebunan diselenggarakan dengan tujuan :a. Meningkatkan pendapatan masyarakat.b. Meningkatkan penerimaan negara.c. Meningkatkan penerimaan devisa negara.d. Menyediakan lapangan kerja.e. Meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing.f. Memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.g. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Menurut UU No. 18 Tahun 2004, Ruang lingkup pengaturan perkebunan meliputi a. Perencanaan.b. Penggunaan tanah.c. Pemberdayaan dan pengelolaan usaha.d. Pengolahan dan pemasaran hasil.e. Penelitian dan pengembangan.f. Pengembangan sumber daya manusia.g. Pembiayaan.h. Pembinaan dan pengawasan.

Untuk mencapai tujuan diselengaranya perkebunan, maka dibutuhkan perencanaan di bidang perkebunan. Menurut UU No. 18 Tahun 2004, Perencanaan perkebunan mencakup :a. Wilayah.b. Tanaman perkebunan.c. Sumber daya manusia.d. Kelembagaan.e. Keterkaitan dan keterpaduan hulu-hilir.f. Saran dan prasaran.g. Pembiayaan.

Perencanaan perkebunan dilakukan berdasarkan :a. Rencana pembangunan nasional.b. Rencana tata ruang wilayah.c. Kesesuaian tanah dan iklim serta ketersediaan tanah untuk usaha perkebunan.d. Kinerja pembangunan.e. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.f. Sosial budaya.g. Lingkungan hidup.h. Kepentingan dan masyarakat.i. Pasar.j. Aspirasi daerah dengan tetap menjunjung tinggi keutuhan bangsa dan negara.2) Urgensi Perkembangan Perkebunan Emisi Gas Karbon IndonesiaOrganisasi Pangan dan Pertanian PBB, FAO telah merilis statistik emisi karbon secara global akibat dari deforestasi, pertanian dan berbagai bentuk lain dari penggunaan lahan antara tahun 1990 hingga 2010 silam.Seluruh data ini, menjadi bagian dari database statistik FAO yang tergabung dalam FAOSTAT, berbasis pada perkiraan biomassa hutan, deforestasi, dan tutupan pohon. Data ini diurutkan berdasarkan negara dan wilayah.Data dari FAOSTAT menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca (GHG) menunjukkan bahwa negara-negara yang mengalami deforestasi tinggi menghasilkan emisi yang besar akibat dari hilangnya hutan dalam kurun waktu 20 tahun tersebut. Secara umum konversi lahan di Brasil mengakibatkan lepasnya 25,8 miliar metrik ton ekuivalen karbon dioksida (CO2e) antara tahun 1990 hingga 2010. Sementara, negeri kita Indonesia melepas 13,1 miliar metrik ton karbon, Nigeria 3,8 miliar ton karbon, Republik Demokratik Kongo 3 miliar ton karbon dan Venezuela 2,6 miliar ton karbon.

Gambar 2.3 Diagram Emisi GRK Negara yang Mengalami DeforestasiSumber: http://www.mongabay.co.id/2013/02/22/statistik-fao-indonesia-buang-187-miliar-ton-karbon-antara-1990-2010/

Gambar 2.4 Diagram Emisi CO2 dari Berbagai Negara Akibat Perubahan Tata Guna LahanSumber:http://www.mongabay.co.id/2013/02/22/statistik-fao-indonesia-buang-187-miliar-ton-karbon-antara-1990-2010/

Di sisi lain, Cina yang mengalami penambahan luasan hutan lewat upaya penanaman kembali, dan pemulihan 5,2 juta hektar hutan telah berhasil menambah simpanan karbon sebanyak 5,7 miliar ton karbon. Sementara AS menambah cadangan karbon sebanyak 1,9 miliar ton karbon dan Vietnam 1,2 miliar ton karbon.Data yang dirilis oleh FAO ini juga mencatat emisi yang ditimbulkan akibat dari ekspansi lahan pertanian. Indonesia memimpin di urutan pertama dengan hilangnya 5,6 miliar ton karbon ke udara, disusul oleh AS dengan 1,4 miliar ton karbon, lalu Papua Nugini dengan 816 juta ton karbon, Malaysia 690 juta ton karbon, dan Bangladesh 612 juta ton karbon. Emisi di Indonesia, Papua Nugini dan Malaysia terutama terkait dengan tingginya konversi hutan rawa gambut yang menyimpan cadangan karbon sangat tinggi.

Dampak dari Perluasan PerkebunanPerluasan perkebunan yang sangat ekspansif ternyata membawa berbagai dampak positif dan negatif. Berdasarkan Wawan Kurniawan dalam tulisannya berjudul Urgensi Pembangunan Agroindustri Kelapa Sawit Berkelanjutan Untuk Mengurangi Pemanasan Global dapat disimpulkan beberapa dampak negatif dari pengembangan perkebunan, antara lain : Penggunaan lahan gambut untuk lahan perkebunan yang salah, ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap pemanasan global. Hutan alam menjadi sangat monokultur. Hutan alam yang seharusnya menjadi sumber penangkap karbon menjadi berkurang kemampuannya dalam menangkap karbon yang dapat mempengaruhi pemanasan global (Efek Rumah Kaca). Terganggunya Keseimbangan ekologis. Hilangnya berbagai flora dan fauna yang khas dan unik menyebabkan keseimbangan menjadi terganggu. Kebutuhan tanaman seperti kelapa sawit yang sangat haus akan air tanah.

Beberapa dampak negatif inilah yang antara lain menjadi alasan berbagai pihak yang menuding perluasan perkebunan terutama pada saat pembukaan lahan baru sangat mempengaruhi pemanasan global. Dimana konsep pembukaan lahan harus dilakukan tanpa proses bakar (zero burning). Pelaksanaanya harus diawasi dengan benar melalui penegakan hukum dengan sanksi yang mengikat. Umumnya, para petani tradisional masih menggunakan metode pembukaan lahan melalui proses pembakaran. Proses pembakaran bahan organik adalah proses pematangan tanah dengan paling murah, walaupun bila dilakukan dalam skala besar (perkebunan skala besar) dapat meningkatkan emisi gas karbon monoksida dan mempengaruhi iklim global.

2.3.3 Kawasan Pertambangan1) Masalah Sektor Pertambangan Secara Umum Pertambangan di Indonesia dimulai berabad-abad lalu. Namun pertambangan komersial baru dimulai pada zaman penjajahan Belanda, diawali dengan pertambangan batubara di Pengaron-Kalimantan Timur (1849) dan pertambangan timah di Pulau Bilitun (1850). Sementara pertambangan emas modern dimulai pada tahun 1899 di BengkuluSumatera. Pada awal abad ke- 20, pertambangan-pertambangan emas mulai dilakukan di lokasi-lokasi lainnya di Pulau Sumatera. Pada tahun 1928, Belanda mulai melakukan penambangan Bauksit di Pulau Bintan dan tahun 1935 mulai menambang nikel di Pomalaa-Sulawesi.Setelah masa Perang Dunia II (1950-1966), produksi pertambangan Indonesia mengalami penurunan. Baru menjelang tahun 1967, pemerintah Indonesia merumuskan kontrak karya (KK). KK pertama diberikan kepada PT. Freeport Sulphure (sekarang PT. Freeport Indonesia). Berdasarkan jenis mineralnya, pertambangan di Indonesia terbagi menjadi tiga kategori, yaitu:Pertambangan Golongan A, meliputi mineral-mineral strategis seperti: minyak, gas alam, bitumen, aspal, natural wax, antrasit, batu bara, uranium dan bahan radioaktif lainnya, nikel dan cobalt. Pertambangan Golongan B, meliputi mineral-mineral vital, seperti: emas, perak, intan, tembaga, bauksit, timbal, seng dan besi. Pertambangan Golongan C, umumnya mineral-mineral yang dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih rendah daripada kedua golongan pertambangan lainnya. meliputi berbagai jenis batu, limestone, dan lain-lain.Eksploitasi mineral golongan A dilakukan Perusahaan Negara, sedang perusahaan asing hanya dapat terlibat sebagai partner. Sementara eksploitasi mineral golongan B dapat dilakukan baik oleh perusahaan asing maupun Indonesia. Eksploitasi mineral golongan C dapat dilakukan oleh perusahaan Indonesia maupun perusahaan perorangan.Adapun pelaku pertambangan di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu Negara, Kontraktor dan Pemegang KP (Kuasa Pertambangan). Selanjutnya beberapa isu-isu penting permasalahan pada pertambangan, adalah ketidakpastian kebijakan, penambangan liar, konflik dengan masyarakat lokal, konflik sektor pertambangan dengan sektor lainnya.

2) Ketidakpastian KebijakanHal ini mengakibatkan tidak adanya jaminan hukum dan kebijakan yang dapat menarik para investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia. Menurut Pricewaterwaterhouse Coopers (PwC), dalam laporan Indonesian Mining Industry Survey 2002, kekurangpercayaan investor terlihat dari penurunan eksplorasi dan kelayakan, serta pengeluaran untuk pengembangan dan aktiva. Tahun 2001, pengeluaran menurun 42% dibanding tahun 2000, sedangkan pengeluaran untuk aktiva dan pengembangan tahun 2001 hanya 15% dibanding rata-rata pengeluaran periode 1996-1999. Pengeluaran untuk eksplorasi dan kelayakan tahun 2001 menurun dari rata-rata pengeluaran tahun 1996-1999, sebesar US$ 434,3 juta menjadi US$ 37,9. 3

3) Penambangan LiarAntara lain hal ini disebabkan oleh lemahnya penerapan hukum dan kurang baiknya sistem perekonomian, sehingga mendorong masyarakat mencari mata pencaharian yang cepat menghasilkan. Salah satu bentuk penambangan liar yang sering dibicarakan adalah PETI (Pertambangan Emas Tanpa Ijin). Pertambangan seperti ini banyak ditemui di pedalaman Kalimantan. Di sana masyarakat setempat mendulang emas di sepanjang tepian sungai dengan peralatan tradisional. Salah satu sungai yang ramai oleh pertambangan emas masyarakat adalah Sungai Kahayan. Kegiatan PETI berdampak cukup serius, seperti pendangkalan sungai, terganggunya alur pelayaran kapal oleh pasir gusung, pencemaran air sungai oleh merkuri, dan berkurangnya sumber protein bagi masyarakat (ikan).

4) Sulitnya Mengakomodasi Kegiatan Pertambangan kedalam Penataan Ruang.Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya terminologi land use dan land cover dalam penataan ruang. Land use (penggunaan lahan) merupakan alokasi lahan berdasarkan fungsinya, seperti permukiman, pertanian, perkebunan, perdagangan, dan sebagainya. Sementara land cover merupakan alokasi lahan berdasarkan tutupan lahannya, seperti sawah, semak, lahan terbangun, lahan terbuka, dan sebagainya. Pertambangan tidak termasuk ke dalam keduanya, karena kegiatan sektor pertambangan baru dapat berlangsung jika ditemukan kandungan potensi mineral di bawah permukaan tanah pada kedalaman tertentu. Meskipun diketahui memiliki kandungan potensi mineral, belum tentu dapat dieksploitasi seluruhnya, karena terkait dengan besaran dan nilai ekonomis kandungan mineral tersebut. Proses penetapan kawasan pertambangan yang membutuhkan lahan di atas permukaan tanah membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan proses penataan ruang itu sendiri.

2.3.4 Kawasan PegununganPenggunaan lahan sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan lahan. Saat ini banyak dijumpai penggunaan-penggunaan lahan yang kurang sesuai sehingga terjadi alih fungsi lahan, misalnya adalah perubahan lahan RTH dan Hutan Lindung pada pegunungan menjadi permukiman atau industri. Institut Pertanian Bogor (IPB) Ernan Rustiadi dalam acara diskusi yang digelar oleh Forum Jabodetabek Pusat Pengkajian, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB, di Kampus Baranangsiang, Kota Bogor, menyatakan bahwa Tata ruang kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat tidak konsisten (inkonsisten) dengan daya dukung lahan yang ada. 40% kawasan Puncak tidak sesuai dengan tata ruang. Sejumlah kawasan tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti wilayah hutan konservasi berubah menjadi perkebunan. Sementara itu, lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan perumahan, vila dan bangunan lainnya. Disebutkan bahwa untuk kawasan pegunungan, tata guna lahan kawasan ini utamanya ialah daerah resapan air dan hutan lindung. Pembangunan di kawasan puncak memang boleh dilakukan namun harus memperhatikan peraturan yang ada. Berikut aturan peruntukan lahan berdasarkan kemiringan lereng dan kondisi geologi:

Tabel 2.3 Peruntukan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng

Tabel 2.4 Kaitan Kondisi Geologi dengan Tata Guna Lahan

Pembangunan di lahan berkontur tinggi seperti pegunungan harus memenuhi patokan: Pertama, Membangun hanya pada daerah yang pergerakan masa tanahnya cukup stabil untuk mengurangi bahaya geologi dan kerugian sumber daya manusia dan alam yang akhirnya tidak ekonomis lagi.Kedua, Kemiringan lereng disesuaikan dengan fungsi yang sebaiknya ditampung seperti pada Tabel 2.3 Ketiga, Kegiatan pengolahan tanah pelandaian lereng dengan cara timbun gali sebaiknya dibatasi dan disarankan sebaiknya : Meninggalkan system petak lahan seperti pada perumahan real estate/perumnas pada umumnya mengingat system tersebut akan banyak memerlukan jaringan jalan yang berarti meningkatkan jumlah pelandaian lereng dan mengakibatkan ketidakstabilan tanah. Memperhitungkan penempatan fasilitas dan penataan parkir yang mmemperhitungkan kemiringan lereng. Penggunaan tipe perancangan bangunan yang tidak banyak merubah kontur lahan. Pembuatan turap-turap alami yang melindungi daerah permukiman dari bahaya longsoran dan memakai tumbuhan-tumbuhan yang dapat membantu kestabilan tanah.Tabel 2.5 Luas Lahan dengan Kemiringan Lahan

Keempat, Ketinggian lahan memperngaruhi tata guna lahan, sebagai contoh Ketinggian lahan di Wilayah Bandung Utara relative tinggi dari permukaan laut (diatas 750 m dpl) dengan bentuk permukaan lahan yang tidak rata, termasuk wilayah pegunungan. Akibat ketinggian dan bentuk morfologinya, Wilayah Bandung Utara merupakan wilayah konservasi air sehingga memerlukan penataan yang khisus. Ketentuan penataan ruang berdasarkan ketinggian lahan di Wilayah Bandung Utara dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.6 Peruntukan Lahan berdasarkan Ketinggian Lahan Kawasan Bandung Utara (750m dpl)

1) Pemasalahan Pengembangan Permukiman di Kawasan Pegunungan Pengembangan Permukiman di Kawasan Pegunungan telah banyak menyalahi tata guna lahan. Contohnya saja kawasan pegunungan Cyclops, Papua dimana perumahan masih didirikan diatas ketinggian 1700 m yang diperuntukan sebagai cagar alam pegunungan Cyclops, tidak hanya Papua, bahkan wilayah terdekat ibu kota, yaitu kawasan Puncak, Bogor dan Bandung, Sebanyak 250 pemukiman menyalahi aturan tata ruang serta 12 bangunan tanpa Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Semua bangunan mewah milik pejabat dan mantan jenderal ini berdiri di atas kawasan Hutan Lindung.

Gambar 2.4 Pembukaan Lahan Pegunungan untuk Perumahan dan ApartemenBupati Bogor Rahmat Yasin sendiri tidak menampik adanya bangunan-bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dikawasan tersebut. Beberapa waktu lalu Wakil Bupati. Kabupaten Bogor, Karyawan Faturah menyatakan sulitnya menertibkan bangunan yang berada di Puncak, karena sebagain besar pemilik bangunan tersebut atas kepemilikan sebagaian warga Jakarta dan membutuhkan bantuan dari pemerintah Jakarta untuk menertibkannya dikarenakan pemiliknya merupakan orang berpengaruh dipemerintahan. Tabel 2.7 Jumlah Villa Tak Berizin di Kawasan Puncak Bogor 2009-2010TahunJumlah Bangunan

2009112

2010163

2011127

Sumber Data: Dinas Tata Bangunan dan PermukimanSetiap vila memiliki luas bervariasi dari sekitar 1.000 meter persegi hingga 1-2 hektar. Dapat dilihat pada Tabel 2.2 Tahun 2010 jumlah villa menurun setelah diadakan pembongkaran dan hingga akhir tahun 2011 belum lagi ada pembongkaran.(Sumber: http://m.poskota.co.id/berita-terkini/2011/12/11/250-bangunan-di-puncak-menyalahi-tata-ruang)2) Konversi Penggunaan Lahan Kawasan PegununganKonversi penggunaan lahan pegunungan menjadi kawasan permukiman dan produksi tanpa memperhatikan kawasan lindung dikawasan Puncak, Bogor bukan hanya kesalahan para pengguna lahan, tetapi juga kesalahan pemerintah Bogor dalam pemberian izin serta Perda yang salah. PP Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur menjadi dasar dalam penetapan Puncak sebagai kawasan lindung. Anehnya, Perda Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat Nomor 22 tahun 2010 mengubah peruntukan kawasan di Puncak menjadi kawasan produksi. Selama ini, aturan rencana tata ruang Kabupaten Bogor tidak bertentangan dengan PP Nomor 54 tahun 2008. Namun belakangan aturan ini berupaya direvisi menyesuaikan Perda Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010. (Sumber: http://www.mongabay.co.id/2012/08/10/kehancuran-kawasan-puncak-pemerintah-diminta-bertanggungjawab/#ixzz2LVdfTP1b)

Gambar 2.5 Perubahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Puncak Bogor(Sumber: http://indonesiacompanynews.wordpress.com/2012/07/30/puncak-mengancam-jakarta/)Selain puncak Bogor, pembangunan tak terkendali kawasan Bandung Utara juga dikarenakan kesalahan peraturan. Kawasan Punclut, berketinggian 800-1100 m yang diperuntukan sebagai RTH melalui Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 dengan KDB 2% diubah Walikota menjadi Kawasan Zona 3 dengan KDB 20% melalui Peraturan Nomor 981 Tahun 2006 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Wilayah Pengembangan Cibeunying dan Perda Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004.

Gambar 2.6 Kawasan Punclut yang Menjadi Kuning (Perumahan Kepadatan Rendah) (Sumber : www.envirozer.blogspot.com, 2008)

2.3.5 Kawasan PesisirPesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001).Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Wilayah Pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan provinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota.Kay dan Alder (1999) The band of dry land adjancent ocean space (water dan submerged land) in wich terrestrial processes and land uses directly affect oceanic processes and uses, and vice versa. Diartikan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan wilayah perairan yang mana proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.Pengertian wilayah pesisir menurut kesepakatan terakhir internasional adalah merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Dahuri, dkk, 2001).Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Gambar 2.1 Batas Wilayah Pesisir

Dari pengertian-pengertian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuran antara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh terhadap kondisi fisik dimana pada umumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar.

1) Karakteristik Kawasan Pesisir a. Karakteristik Fisik Lingkungan Karateristik pantai secara geomorfologi menurut Hantoro (http://sim.nilim.go.jp/GE/SEMI3/PROSIDING/01-WAHYU.doc, 2004) adalah : Pantai curam singkapan batuanJenis pantai ini umumnya ditemukan di pesisir yang menghadap ke laut lepas dan merupakan bagian jalur tunjaman/tumbukan, berupa pantai curm singkapan batu volkanik, terobosan, malihan atau sedimen. Pantai landai atau dataranPesisir datar hingga landai menempati bagian mintakat kraton stabil atau cekungan belakang. Pembentukan pantai dikendalikan oleh proses eksogen cuaca. Pantai dataran endapan lumpurEstuari lebar menandai muara dengan tutupan tebal bakau. Bagian pesisir dalam ditandai dataran rawa atau lahan basah. Sedimentasi kuat terjadi di perairan bila di hulu mengalami erosi. Progradasi pantai atau pembentukan delta sangat lazim. Kompaksi sedimen diiringi penurunan permukaan tanah, sementara air tanah tawar sulit ditemukan. Pantai dengan bukit atau paparan pasirPantai menghadap perairan bergelombang dan angin kuat dengan asupan sedimen sungai cukup, umumnya membentuk rataan dan perbukitan pasir. Pantai lurus dan panjang dari pesisir datar.Pantai tepian samudra dengan agitasi kuat gelombang serta memiliki sejumlah muara kecil berjajar padanya dengan asupan sedimen, dapat membentuk garis lurus dan panjang pantai berpasir. Pantai dataran tebing karang.Bentang pantai ini ditemukan di berbagai mintakat berbeda, yaitu di jalur tumbukan/tunjaman, jalur volkanik, pulau-pulau sisa tinggian di paparan tepi kontinen, jalur busur luar atau jalur tektonik geser. Terjalnya tebing pantai dan kuatnya agitasi gelombang meniadakan peluang terumbu karang tumbuh, demikian halnya dengan bakau. Tutupan tumbuhan masih mampu tumbuh di lapukan batuan, terutama di kawasan dengan curah hujan memadai. Pantai erosiJenis pantai seperti ini terdapat dibeberapa tempat yang menghadap perairan dengan agitasi gelombang kuat. Pantai akresiProses akresi terjadi di pesisir yang menerima asupan sedimen lebih dari jumlah yang kemudian dierosi oleh laut. Akresi pantai oleh sedimen halus sering diikuti tumbuhnya bakau yang berfungsi kemudian sebagai penguat endapan baru dari erosi atau longsor.b. Karakteristik Ekosistem PesisirEkosistem di perairan laut dangkal pada umumnya seperti terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove pada dasarnya dilindungi seperti pada tertera di dalam UU No.4/1982 dan UU No. 5/1990. Ekosistem EstuariaEstuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Pritchard dalam Supriharyono, 2002: 12). Ekosistem Mangrove/ Komunitas Hutan Bakau Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang-surut air laut), dan kedua sebagai individu spesies (Macnae dalam Supriharyono, 2007: 40). Ekosistem Padang LamunPadang lamun (seagrass beds) juga merupakan salah satu ekosistem yang terletak di daerah pesisir atau perairan laut dangkal. Keunikan dari tumbuhan lamun dari tumbuhan laut lainnya adalah adanya perakaran yang ekstensif dan sistem rhizome. Karena tipe perakaran ini menyebabkan daun-daun tumbuhan lamun menjadi lebat, dan ini besar manfaatnya dalam menopang keproduktifan ekosistem padang lamun (Supriharyono, 2007: 72). Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut (Dawes dalam Supriharyono, 2002: 62).2) Potensi Bencana Alam di Wilayah PesisirBerikut ini adalah sepuluh elemen potensi bencana alam di wilayah pesisir, (enam elemen adalah penyebab bencana alam, angin kencang/putting beliung, gempa bumi, tsunami, gelombang badai pasang, banjir, dan gerakan tanah, empat elemen adalah sebagai akibat bencana yaitu abrasi, akresi, wrosi dan intrusi air laut). yaitu : Angin Kencang/Putting Beliung Gelombang Laut. Tsunami Abrasi Erosi Gerakan Tanah Gempa Bumi Banjir Akresi Intrusi Air Laut3) Permasalahan Pemanfaatan Dan Pengelolaan Pesisir Permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : Pemanfaatan dan pengelolaan daerah belum diatur dengan peraturan perundang-ungan yang jelas, seingga daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan sesuatu kebijakan. Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cendrung bersifat sektoral, sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain. Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar daerah. Kewenangan daerah dalam rangka otonomi daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap daerah dan setiap sector timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir. 4) Isu-isu PentingMenurut APKASI isu-isu penting yang perlu segera diluruskan dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir ke depan antara lain, yaitu : Adanya kesan bahwa sebagian daerah melakukan pengkaplingan wilayah laut dan pantainya. Utuk itu perlu diterapkan oleh pusat pedoman bagi pelaksanaan kewenangan daerah di bidang kelautan. Pemanfaatan daearah terhadap daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh batas wilayah administratif pemerintahan. Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir secara alami dan berkelanjutan. 5) Langkah Strategis Pengembangan Wilayah Pesisir Terpadu BerkelanjutanPada dasarnya pengembangan wilayah pesisir secara terpadu merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Untuk mencapai keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan, beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain : Mengembangkan kajian-kajian penelitian dan teknologi pengelolaan wilayah pesisir yang ramah lingkungan. Mengembangkan system informasi manajemen di wilayah pesisir dan meningkatkan keterampilan masyarakat. Memberdayakan masyarakat pesisir melalui pengembangan usaha-usaha yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir. Melakukan penataan ruang wilayah pesisir sesuai dengan status dan fungsi wilayah tersebut. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumber daya alam pesisir agar tidak melampaui ambang batas.6) Langkah Strategis Mitigasi Bencana Alam di Wilayah PesisirSebagai kegiatan yang sifatnya rutin dan berkelanjutan, mitigasi bencana hendaknya merupakan system dan prosedur yang sederhana (Coburn et al., 1994). Prosedur yang sederhana ini akan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memahaminya, dan diharapkan akan cepat memiliki kemampuan untuk dapat melakukan secara mandiri. Berkaitan dengan hal tersebut beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain : Meningkatkan koordinasi dengan berbagai pihak terkait termasuk kerjasama internasional sesuai dengan UU 22/1999 dan UU 24/2007. Memberdayakan masyarakat pesisir dalam bidang penanggulangan bencana. Merevisi RTRW Pesisir dan peraturannya dengan mempertimbangkan aspek mitigasi bencana alam. Mempersiapkan data dan peta rawan bencana alam serta prakiraan risiko bencana yang akan terjadi. Mempersiapkan NSPM (norm standard procedure manual) bangunan rumah, bangunan gedung dan bangunan air di wilayah rawan bencana. Menyederhanakan SOP mitigasi bencana dengan SMART.

7) Prinsip-Prinsip Pengelolaan Wilayah Pesisira. Pembangunan Berwawasan Lingkungan Membatasi perluasan areal pembangunan akibat perkembangan kegiatan kota, terutama perkembangan kegiatan pembangunan di wilayah pesisir. Pembangunan di wilayah pesisir kota dibatasi sampai kawasan sempadan pantai, misalnya melalui upaya penempatan green belt dan pelestarian kawasan lindung. Kegiatan pembangunan di wilayah darat kota pesisir harus memperhitungkan dampak terhadap kondisi lingkungan di wilayah pesisir dan laut (integrasi pembangunan antara wilayah darat dan wilayah laut). Pembangunan di wilayah darat maupun pesisir dan laut kota pesisir metro harus menghindari kemungkinan terjadinya bencana dan perusakan lingkungan serta habitat dan ekosistem di wilayah pesisir dan laut, seperti banjir, pencemaran air laut, intrusi air laut, sedimentasi, kerusakan terumbu karang, punahnya ekosistem/biota pesisir dan laut, dll. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah penyediaan waste water treatment yang memadai untuk aktivitas kota pesisir metro akibat buangan limbah industri maupun rumah tangga. Menghindari perkembangan lingkungan kumuh di wilayah pesisir dan laut. Kegiatan pembangunan yang biasanya cenderung menciptakan lingkungan kumuh diantaranya adalah perkampungan nelayan, pelabuhan perikanan serta kegiatan wisata bahari yang bersifat massal. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah melalui upaya pengawasan secara rutin serta mempertegas proses perijinan, dan upaya pembelajaran pola hidup bersih. Melestarikan ekosistem pesisir dan laut, biota laut, seperti hutan mangrove, terumbu karang, dll di wilayah pesisir dan laut kota pesisir metro. Upaya ini bertujuan untuk mempertahankan dan melestarikan tempat-tempat pemijahan ikan serta dapat pula difungsikan sebagai upaya pencegahan abrasi pantai dan menstabilkan kualitas dan kuantitas penyediaan air.b. Pelestarian Keindahan Pemandangan (View/Vistas) serta Peninggalan Bersejarah Bangunan di sepanjang wilayah pesisir memanfaatkan potensi keindahan atau pandangan yang menghadap ke arah laut. Laut dimanfaatkan sebagai halaman depan bangunan yang dibangun di wilayah pesisir dan laut kota pesisir metro. Menyediakan akses pandang langsung dari darat ke arah pantai atau laut. Minimal ada point akses pandangan dari wilayah darat ke wilayah pantai atau laut, misalnya melalui penyediaan akses jalan yang linier (vertikal atau horizontal dari wilayah darat). Melestarikan keberadaan bangunan peninggalan bersejarah yang terdapat di wilayah pesisir dan laut, misalnya kapal karam, bangunan-bangunan bersejarah.c. Laut Merupakan Common Goods (Eksosbud) Mengembangkan sektor kegiatan kelautan dan perikanan sebagai leading sector, (misalnya : perikanan, wisata bahari, jasa-jasa industri kelautan, dll). Masyarakat pesisir harus terlibat secara langsung maupun tidak langsung, khususnya dalam kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan laut (misalnya : pengawasan pembangunan, pembangunan swadaya masyarakat)

Gambar 3.25 Pemanfaatan Ruang Laut

Keseimbangan kepemilikan lahan di wilayah pesisir. Biasanya kepemilikan di wilayah pesisir di dominasi oleh kepemilikan private. Oleh karena itu harus ada upaya pembatasan kepemilikan secara seimbang. Pantai yang landai sebaiknya menjadi dominasi kepemilikan publik. Menyediakan lokasi interaksi masyarakat umum (ruang publik) atau tempat rekreasi, misalnya promenade, sport centre, sepeda dan jogging track, taman, playground, dll. Kegiatan pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir dan laut merupakan upaya peningkatan kesempatan kerja, khususnya masyarakat lokal pesisir dan laut. Kawasan rekreasi wisata bahari, perlu dilengkapi dengan ketersediaan pos pengawas keselamatan (lifeguard). Untuk kota pesisir metro yang memiliki wilayah laut sebagai wilayah perbatasan negara, perlu menempatkan pos-pos pengaman di wilayah perbatasan laut.d. Memiliki Jatidiri Menghidupkan akses melalui pesisir dan laut. Hal ini dapat direalisasikan melalui pengembangan pintu gerbang laut yang terpadu dengan akses transportasi darat. Design bangunan kota pesisir metro, sedapat mungkin melestarikan design bangunan tradisional setempat atau mengembangkan design bangunan yang dapat menciptakan jatidiri suatu kota pesisir. Mempertahankan bangunan-bangunan dan objek bersejarah atau mengembangkan biota laut yang merupakan jati diri suatu kota pesisir metro.

2.3.6 Kawasan Permukiman1) Teori PemukimanPermukiman sebagai produk tata ruang mengandung arti tidak sekedar fisik saja tetapi juga menyangkut hal-hal kehidupan. Permukiman pada dasarnya merupakan suatu bagian wilayah tempat dimana penduduk/pemukim tinggal, berkiprah dalam kegiatan kerja dan kegiatan usaha, berhubungan dengan sesame pemukim sebagai suatu masyarakat serta memenuhi berbagai kegiatan kehidupan.Menurut Doxiadis (1974), permukiman merupakan totalitas lingkungan yang terbentuk oleh 5 (lima) unsur utama yaitu : Alam (nature), lingkungan biotik maupun abiotik. Permukiman akan sangat ditentukan oleh adanya alam baik sebagai lingkungan hidup maupun sebagai sumber daya seperti unsur fisik dasar. Manusia (antropos), Permukiman dipengaruhi oleh dinamika dan kinerja manusia. Masyarakat (society), hakekatnya dibentuk karena adanya manusia sebagai kelompok masyarakat. Aspek-aspek dalam masyarakat yang mempengaruhi permukiman antara lain : kepadatan dan komposisi penduduk, stratifikasi sosial, struktur budaya, perkembangan ekonomi, tingkat pendidikan, kesejahteraan, kesehatan dan hukum. Ruang kehidupan (shell), ruang kehidupan menyangkut berbagai unsur dimana manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat melaksanakan kiprah kehidupannya. Jaringan (network), yang menunjang kehidupan (jaringan jalan, jaringan air bersih, jaringan drainase, telekomunikasi, listrik dan sebagainya).Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan pola permukiman : Geografi dan alam ;Topografi, iklim, dan ketersediaan bahan bangunan. Buatan manusia ;Kekuatan utama yang mempengaruhi bentuk kota (kegiatan perdagangan, kekuatan sosial politik dan keagamaan) ; berbagai faktor yang terkait dengan perkembangan masyarakatdan teknologi; dan faktor yang besar pengaruhnya (antara lain infrastruktur kota, pola jaringan jalan, peraturan dan perundangundangan). Faktor lokasi Permukiman yang timbul secara organik Ketersediaan sumber daya alam Permukiman yang potensial untuk petahanan Faktor lokasi pasar (lokasi strategis dekat persimpangan jalan, dekat sarana transportasi pelabuhan, terminal, bandara dan muara sungai). Permukiman yang terencana Kriteria-kriteria yang digunakan untuk menentukan lokasi yang akan direncanakan untuk mengembangkanpermukiman sama dengan faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan permukiman secara organik. Faktor-faktor lain (sosial, politik, religi) antara lain strategi, peluang pengembangan ekonomi dan pertanian, keberadaaan sumberdaya mineral dan alasan-alasannya. Kesesuaian dengan fungsi kota sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, kebudayaan, agama, pertahanan, produksi, kesehatan, rekreasi dan campuran.

2) Kriteria Kawasan Pemukiman Kawasan Permukiman harus dibangun dilahan yang sesuai dengan daya dukung lahannya agar penggunaan lahan lebih produktif. Penilaian kesesuaian lahan permukiman berdasarkan tapak/topografi permukiman dapat dilihat pada Tabel 2.7 berikut:Tabel 2.7 Penilaian Kesesuaian Kawasan Permukiman Berdasarkan Tapak Permukiman

Selain disesuaikan dengan ketentuan diatas, beberapa kriteria pembangunan permukiman harus memperhatikan hal-hal terkait dengan Cakupan Kawasan Permukiman, yaitu :a. Kawasan Permukiman Perkotaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. b. Kawasan Permukiman Perdesaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, sosial dan ekonomi. 3) Karakteristik Kawasan Permukiman ialah Kawasan yang terletak pada lahan yang bermorfologi datar-landai dengan kemiringan lahan 0-8% tanpa rekayasa teknis, atau kemiringan 8-15% dengan rekayasa teknis. 4) Ketentuan Teknis Permukiman : a. Ketentuan penataan ruang di Kawasan Permukiman Perkotaan sebagai berikut : Pengembangan permukiman perkotaan harus didasarkan pada penataan bangunan dan lingkungan yang serasi dan seimbang, yang meliputi system drainase, air bersih, air kotor, persampahan, jalan lingkungan, tata ruang dan perumahan. Pengembangan permukiman perlu pengaturan ruang untuk fasilitas lingkungan seperti ruang terbuka hijau, taman dan fasilitas umum lainnya. Kepadatan bangunan dan koefisien dasar bangunan yang dapat menunjang fungsi konservasi/peresapan air dan pengendalian air limpasan permukaan. Untuk pembangunan perumahan dalam skala besar diwajibkan untuk menyediakan lahan kuburan, minimal 5% dari luas areal. Perlu menyediakan lahan secara bersama (iuran) oleh para pengembang yang membangun perumahan pada radiusb. Ketentuan penataan ruang di Kawasan Permukiman Perdesaan sebagai berikut : Bangunan yang diperkenankan dikawasan permukiman desa hanya bangunan usaha tani, kepadatan maks 5 rumah/Ha, dengan koefisien dasar bangunan (KDB) maks 5%. Perlu dibatasi agar permukiman perdesaan tidak berubah menjadi permukiman perkotaan, agar pertanian produktif tetap dapat dipertahankan, serta konservasi tanah dan air tanah dapat dilakukan dengan baik.c. Kemiringan lereng atau topografi suatu Kawasan ikut berpengaruh terhadap peruntukan lahan seperti system perencanaan jaringan jalan, drainase, dll. Kawasan dengan kemiringan diatas >30% tidak boleh dibangun permukiman, kawasan tersebut diperuntukan sebagai kawasan penyangga seperti yang diterangkan Tabel 2.3. d. Pertimbangan Geologi Kawasan mempunyai keterkaitan dengan penggunaan lahan. Geologi Kawasan yang dimaksud di sini adalah : Sifat disik tanah dan batuan. Kestabilan lereng termasuk potensial longsoran, rayapan dan robohan. Kehadiran sesar aktif atau yang mungkin aktif dan pusat episentrum yang ada dengan skala magnitude dan intensitas. Kontur muka air tanah atau keadaan muka air tanah dan potensial air permukaan. Ketebalan tanah atau kedalaman hingga mencapai batuan. Penyebaran luas setiap daerah banjir, longsoran dan ablasan, gunung api dengan penyebaran produk, dan batasan-batasan penyebaran banjir gelombang pasang.e. Ketinggian lahan. Sebagai contoh membangun dikawasan pegunungan seperti Bandung Utara ketinggian yang tepat menurut Tabel 2.6 ialah ketinggian 750-1000 m. f. Pertimbangan Konservasi air. g. Pertimbangan Penetapan Intensitas Pemanfaatan Ruangh. Pertimbangan Aliran Run Off/ Air Permukaani. Pertimbangan Jenis Tanah(Sumber:http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/197812312005012-BETA_PARAMITA/Petunjuk_Teknis_KBU.pdf)

BAB 3NSPM KAWASAN PERTANIAN, PERKEBUNAN, PEGUNUNGAN, PESISIR DAN PERTAMBANGAN

3.1 NSPM (Norma, Standart. Pedoman, dan Manual) Kawasan Pertanian3.1.1. Normatif UU 45 pasal 33 Kekayaan Alam sebesar-besarnya untuk Kemakmuran Rakyat Mewujudkan Ketahanan Pangan NasionalUndang-Undang RI Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan menyebutkan bahwa pangan merupakan hak asasi bagi setiap individu di Indonesia. Oleh karena itu terpenuhinya kebutuhan pangan di dalam suatu negara merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi. ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap individu dan rumahtangga memiliki akses secara fisik, ekonomi, dan ketersediaan pangan yang cukup, aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Konsep ketahanan pangan dijelaskan sebagai berikut : Ketersediaan pangan yang mencangkup produksi, cadangan dan pemasukan Distribusi atau aksesibilitas yang menunjang mencakup fisik dan ekonomi Konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta kecukupan gizi individuElemen untuk mencapai ketahanan pangan, yaitu : Tersedianya pangan yang cukup yang sebagian besar berasal dari produksi sendiri Stabilitas ketersediaan pangan sepanjang tahun, tanpa pengaruh musim Akses atau keterjangkauan terhadap pangan yang dipengaruhi oleh akses fisik dan ekonomi terhadap pangan Kualitas konsumsi pangan serta keamanan pangan.Dasar Hukum Pelaksanaan Program Ketahanan Pangan : Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Pemerintah, laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Masyarakat. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2006 Tentang Dewan Ketahanan Pangan Peraturan Menteri Pertanian No. 06/Permentan/SR.130/2/2011 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementrian Negara Peraturan Presiden No. 47 tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Kementrian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon 1 Kementrian Pertanian. InInstruksi Presiden No. 5 tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan No. 05/Permentan/PP.200/2/2011 tentang Pedoman Harga Pembelian Pemerintah Untuk Gabah dan Beras di Luar Kualitas Peraturan Menteri Keuangan No. 94/PMK.02/2011 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Perhitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban Subsidi Pupuk. Peraturan Menteri Keuangan No. 13/PMK.010/2006 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 110/PMK.010/2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor Peraturan Menteri Pertanian No. 65/Permentan/OT.140/12/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota Peraturan Menteri Pertanian No. 15/Permentan/RC.110/1/2010 tentang Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014 Peraturan Presiden No. 15 tahun 2011 tentang perubahan Peraturan Presiden No. 77 tahun 2005 tentang penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai Barang dalam Pengawasan. Peraturan Menteri Perdagangan No. 07/M-DAG/PER/2/2009 tentang perubahan Peraturan Menteri Perdagangan No. 21/M-DAG/PER/6/2008 tentang Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Peraturan Menteri Pertanian No.22/Permentan/SR.130/4/2011 tentang perubahan Peraturan Menteri pertanian No. 06/Permentan/SR.130/2/2011 tentang kebutuhan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian TA 2011 Peraturan Menteri Keuangan No.129/PMK.02/2010 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan dan Pertanggungjawaban Dan Subsidi Benih Padi Non Hibrida, Jagung Komposit, Jagung Hibrida, dan Kedelai Bersertifikat. Peraturan Menteri Keuagan No. 167/PMK.02/2010 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Benih Nasional dan Bantuan Langsung Benih Unggul. Peraturan Menteri Pertanian No.16/Permentan/SR.130/3/2011 tentang Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk 2011 Surat Menteri Perindustrian No. 15/M-IND/1/2011 Usul Penurunan Tarif Bea Masuk Bahan Baku Pupuk. Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Direktorat Jendral Tanaman Pangan No. 44/KPA/SK.310/C/3/2011 Perubahan Lampiran Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Direktorat Jendral Tanaman Pangan No. 36/KPA/SK.310/C/3/2011 tentang Pengangkatan Tim Penyususun Refernesi Harga Kegiatan Subsidi Benih, Cadangan Benih Nasional (CBN) dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) Dirjen Tanaman Pangan TA 2011. Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Direktorat Jenderal Tanaman Pangan No. 44/KPA/SK.310/C/3/2011 Perubahan Lampiran Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Direktorat Jenderal Tanaman Pangan No. 36/KPA/SK.310/C/3/2011 tentang Pengangkatan Tim Penyususun Referensi Harga Kegiatan Subsidi Benih, Cadangan Benih Nasional (CBN), dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) Direktorat Jenderal Tahun Anggaran 2011 Rencana Strategis Badan ketahanan Pangan 2010-2014

1) Melaksanakan Kemandirian Pangan Undang- Undang No 18 Tahun 2012 menjelaskan kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi, namum dinilai belum mencukupi (necessary but not sufficient) dalam konteks ketahanan pangan, karena masih banyak variabel yang berpenngaruh untuk mencapai ketahanan pangan tingkat daerah dan rumah tangga. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Bila terjadi kelebihan pangan tersebut haruslah di perdagangkan antar wilayah, terutama bagi wilayah yang mengalami defisit pangan dan ekspor. Begitupun dalam sebaliknya, bila terjadi kekurangan (defisit) sebagian pangan untuk konsumsi dalam negeri dapat dipenuhi dari pasar luar negeri atau impor.

2) Melakukan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai gerakan mendukung Swasembada PanganUU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan SE MENDAGRI 474/4263/SJ/1994 Mempertahankan Sawah Irigasi Teknis untuk mendukung Swasembada Pangan, merupakan beberapa peraturan yang membahas perihal konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian yang merupakan masalah utama bagi pengembangan pertanian.Dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada khususnya yang terkait dengan pengembangan pertanian dalam arti luas maka diupayakan suatu pendekatan melalui produk pengaturan yang berupa pedoman pengelolaan ruang kawasan sentra produksi pangan nasional dan daerah. Hal ini dilakukan dengan pengelolaan ruang dengan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang yang diperuntukan bagi ertanian, perkebunan, perternakan, perikanan dan usaha berbasis agribisnis dalam skala nasional, tercantum PP No.15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang mengatur masalah lahan pertanian berkelanjutan.

3.1.2. Standard 1) Kawasan Peruntukan Pertaniana. Ketentuan UmumKegiatan kawasan peruntukan pertanian meliputi pertanian tanaman pangan perkebunan-tanaman keras, peternakan, perikanan air tawar, dan perikanan laut. Fungsi Utama :Kawasan peruntukan pertanian memiliki fungsi antara lain: Menghasilkan bahan pangan, palawija, tanaman keras, hasil peternakan dan perikanan; Sebagai daerah resapan air hujan untuk kawasan sekitarnya; Membantu penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.Kriteria Umum dan Kaidah Perencanaan Ketentuan pokok tentang perencanaan dan penyelenggaraan budidaya tanaman; serta tata ruang dan tata guna tanah budidaya tanaman mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; Ketentuan pokok tentang kegiatan perencanaan perkebunan; penggunaan tanah untuk usaha perkebunan; serta pemberdayaan dan pengelolaan usaha perkebunan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; Pemanfaatan ruang di kawasan peruntukan pertanian harus diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetap memelihara sumber dayatersebut sebagai cadangan pembangunan yang berkelanjutan dan tetap memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi lingkungan hidup; Ketentuan pokok tentang pemakaian tanah dan air untuk usaha peternakan; serta penertiban dan keseimbangan tanah untuk ternak mengacu kepada Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan; Ketentuan pokok tentang wilayah pengelolaan perikanan; pengelolaan perikanan; dan usaha perikanan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; Penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian tanaman harus memanfaatkan potensi tanah yang sesuai untuk peningkatan kegiatan produksi dan wajib memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya; Kawasan pertanian tanaman lahan basah dengan irigasi teknis tidak boleh dialihfungsikan; Kawasan pertanian tanaman lahan kering tidak produktif dapat dialihfungsikan dengan syarat-syarat tertentu yang diatur oleh pemerintah daerah setempat dan atau oleh Departemen Pertanian; Wilayah yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifik lokasi dilindungi kelestariannya dengan indikasi ruang; Wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis dilarang dialihfungsikan; Kegiatan pertanian skala besar (termasuk peternakan dan perikanan), baik yang menggunakan lahan luas ataupun teknologi intensif harus terlebih dahulu memiliki kajian studi Amdal; Penanganan limbah pertanian tanaman (kadar pupuk dan pestisida yang terlarut dalam air drainase) dan polusi industri pertanian (udara-bau dan asap, limbah cair) yang dihasilkan harus disusun dalam RPL dan RKL yang disertakan dalam dokumen Amdal; Penanganan limbah peternakan (kotoran ternak, bangkai ternak, kulit ternak, bulu unggas, dsb) dan polusi (udara-bau, limbah cair) yang dihasilkan harus disusun dalam RPL dan RKL yang disertakan dalam dokumen Amdal; Penanganan limbah perikanan (ikan busuk, kulit ikan/udang/kerang) dan polusi (udara-bau) yang dihasilkan harus disusun dalam RPL dan RKL yang disertakan dalam dokumen Amdal; Pengolahan limbah dilakukan pada setiap kegiatan pertanian pra-panen, panen, pasca panen, dan pasca pengolahan. Kegiatan pertanian skala besar (termasuk peternakan dan perikanan), harus diupayakan menyerap sebesar mungkin tenaga kerja setempat; Pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan; Upaya pengalihan fungsi lahan dari kawasan pertanian lahan kering tidak produktif (tingkat kesuburan rendah) menjadi peruntukan lain harus dilakukan tanpa mengurangi kesejahteraan masyarakat.

b. Ketentuan Teknis Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan Karakteristik kawasan peruntukan pertanian terdiri dari pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan pertanian tanaman tahunan. Masing-masing karateristik kawasan peruntukan pertanian tersebut memiliki kriteria teknis seperti ditunjukkan pada Tabel Karakteristik Kawasan Peruntukan Pertanian. Kriteria teknis: Pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan; Upaya pengalihan fungsi lahan dari kawasan pertanian lahan kering tidak produktif (tingkat kesuburan rendah) menjadi peruntukan lain harus dilakukan secara selektif tanpa mengurangi kesejahteraan masyarakat; Kawasan pertanian lahan basah mencakup: Pola tanam: monokultur, tumpangsari, campuran tumpang gilir; Tindakan konservasi berkaitan dengan: Vegetatif: pola tanam sepanjang tahun, penanaman tanaman panen atas air tersedia dengan jumlah dan mutu yang memadai yaitu 5-20 L/detik/ha untuk mina padi, mutu air bebas polusi, suhu 23-30C, oksigen larut 3-7 ppm, amoniak 0.1 ppm dan pH 5-7; Mekanik: pembuatan pematang, teras, dan saluran drainase. Kawasan pertanian lahan kering mencakup: Kemiringan 0-6%: tindakan konservasi secara vegetatif ringan, tanpa tindakan konservasi secara mekanik; Kemiringan 8-15%: Tindakan konservasi secara vegetatif ringan sampai berat yaitu pergiliran tanaman, penanaman menurut kontur, pupuk hijau, pengembalian bahan organik, tanaman penguat keras; Tindakan konservasi secara mekanik (ringan), teras gulud disertai tanaman penguat keras; Tindakan konservasi secara mekanik (berat), teras gulud dengan interval tinggi 0.75-1.5 m dilengkapi tanaman penguat, dan saluran pembuang air ditanami rumput. Kemiringan 15-40%: Tindakan konse