17
PENGENDALIAN PERKEMBANGAN KAWASAN MEGAURBANISASI GERBANGKERTASUSILA PLUS Oleh Nungki Meiriya 1 3208 206 002 ([email protected] ), Prof. Ir. Johan Silas 2 (johan@famsilas.eu ), Dr.Ing.Ir. Bambang Soemardiono 3 ([email protected] ) Abstrak Urbanisasi memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan perkotaan di Indonesia. Perkembangan kawasan Kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan lainnya yang dipengaruhi oleh urbanisasi skala mega memberikan dampak positif dan negatif terhadap perkotaan disekitarnya. Salah satunya adalah GERBANGKERTASUSILA Plus (GKS Plus), kawasan ini merupakan kawasan yang secara administratif terpisah tetapi secara fisik, ekonomi dan sosial menyatu akibat adanya dampak resiprokal perekonomian Kota Surabaya terhadap kabupaten/kota Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Jombang dan Pasuruan. Penyatuan tersebut mengakibatkan adanya fenomena megaurbanisasi yang sangat besar khususnya pada hinterland Kota Surabaya baik dari segi spasial, ekonomi dan sosial. Melalui hitungan indeks sosialekonomi dan spasial didapatkan antara sosialekonomi spasial memiliki hubungan yang saling mempengaruhi. Dari nilai indeks sosialekonomi dan spasial didapatkan bahwa perkembangan antar Kabupaten/Kota di GKS Plus masih belum optimal. Terdapat Kabupaten/Kota yang tidak seimbang antara perkembangan sosialekonomi terhadap perkembangan spasialnya. Berdasarkan identifikasi didapatkan banyak kepentingan dan stakeholder dalam pembangunan GKS Plus. Dengan analisis stakeholder didapatkan critical player untuk perumusan pola pengendalian. Hasil akhir yang didapatkan adalah pola pengendalian perkembangan kawasan megaurbanisasi yang terdiri dari aspek fisik yaitu kebijakan, proses perencanaan, dokumen tata ruang, perijinan dan mekanisme insentif serta disinsentif. Aspek nonfisik mencakup prasarana dan Investasi development generator. Kata kunci : GKS Plus, MegaUrbanisasi dan pengendalian I. Pendahuluan Perkembangan Kota Surabaya dan wilayah sekitarnya yakni GERBANGKERTASUSILA (saat itu) ternyata menunjukkan perkembangan yang lebih besar dari konsep SWP (Satuan Wilayah Pembangunan) yang ditentukan dalam RTRW Jawa Timur. Pola perkembangan ini terjadi terutama pada koridor antar kota dan pada beberapa bagian berfungsi sebagai suatu pusat (nodal). Pada dasarnya antara Surabaya–Sidoarjo bukan lagi menunjukkan pola koridor akan tetapi sudah merupakan penyatuan dua kawasan dalam skala besar. Sedangkan ke arah selatan Kota Surabaya memiliki perkembangan yang pesat, terutama berkembang kegiatan jasaperdagangan, industri, dan sebagian perumahan. Mengingat koridor ini sudah sangat padat, maka perkembangan sepanjang jalan utama kota harus dibatasi, membentuk kawasan industri di luar jalan utama kota. Perkembangan kawasan industri di Gresik implikasi pada perkembangan sekitar, berpengaruh terhadap wilayah utara. Adapun prospek perkembangan kawasan industri di Lamongan adalah shorebase, pelabuhan, pariwisata, kawasan berikat yang merupakan kawasan industri membentuk satu sentra atau nodal yang besar (RTRW Propinsi Jawa Timur 2020). Berdasarkan kompilasi data RTRW Propinsi Jawa Timur 2020 disebutkan bahwa perkembangan GERBANGKERTASUSILA lebih besar dan luas dari sebelumnya. Antaranya penguatan 1 Mahasiswa pasca sarjana studi pembangunan, Jurusan Arsitektur FTSPITS 2 Senior Peneliti Laboratorium Perumahan dan Permukiman , Jurusan Arsitektur FTSPITS 3 Kepala Laboratorium Arsitektur Lansekap dan Staff Pengajar Jurusan Arsitektur FTSPITS

PENGENDALIAN PERKEMBANGAN KAWASAN … · 2010-11-01 · perbandingan kontribusi tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian dan non‐pertanian dalam produk ... untuk fungsi jasa

Embed Size (px)

Citation preview

PENGENDALIAN PERKEMBANGAN KAWASAN MEGA‐URBANISASI GERBANGKERTASUSILA PLUS  

Oleh  Nungki Meiriya1 3208 206 002 ([email protected]),  

Prof. Ir. Johan Silas2(johan@fam‐silas.eu),  Dr.Ing.Ir. Bambang Soemardiono3 ([email protected])  

 Abstrak 

Urbanisasi memberikan  dampak  yang  signifikan  terhadap  perkembangan  perkotaan  di  Indonesia. Perkembangan  kawasan  Kota  besar  seperti  Jakarta,  Surabaya,  Bandung  dan  lainnya  yang dipengaruhi oleh urbanisasi skala mega memberikan dampak positif dan negatif terhadap perkotaan disekitarnya. Salah satunya adalah GERBANGKERTASUSILA Plus  (GKS Plus), kawasan  ini merupakan kawasan yang secara administratif terpisah tetapi secara  fisik, ekonomi dan sosial menyatu akibat adanya  dampak  resiprokal  perekonomian  Kota  Surabaya  terhadap  kabupaten/kota  Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Jombang dan Pasuruan. Penyatuan tersebut mengakibatkan  adanya  fenomena mega‐urbanisasi  yang  sangat  besar  khususnya  pada hinterland Kota Surabaya baik dari segi spasial, ekonomi dan sosial.  Melalui  hitungan  indeks  sosial‐ekonomi  dan  spasial  didapatkan  antara  sosial‐ekonomi  spasial memiliki  hubungan  yang  saling  mempengaruhi.  Dari  nilai  indeks  sosial‐ekonomi  dan  spasial didapatkan bahwa perkembangan antar Kabupaten/Kota di GKS Plus masih belum optimal. Terdapat Kabupaten/Kota  yang  tidak  seimbang  antara  perkembangan  sosial‐ekonomi  terhadap perkembangan  spasialnya.    Berdasarkan  identifikasi  didapatkan  banyak  kepentingan  dan stakeholder dalam pembangunan GKS Plus. Dengan analisis  stakeholder didapatkan  critical player untuk  perumusan  pola  pengendalian.  Hasil  akhir  yang  didapatkan  adalah  pola  pengendalian perkembangan  kawasan  mega‐urbanisasi  yang  terdiri  dari  aspek  fisik  yaitu  kebijakan,  proses perencanaan, dokumen  tata  ruang, perijinan dan mekanisme  insentif  serta disinsentif. Aspek non‐fisik mencakup prasarana dan Investasi development generator.  

  

Kata kunci : GKS Plus, Mega‐Urbanisasi dan pengendalian  

 I. Pendahuluan 

Perkembangan Kota Surabaya dan wilayah  sekitarnya yakni GERBANGKERTASUSILA  (saat itu)  ternyata  menunjukkan  perkembangan  yang  lebih  besar  dari  konsep  SWP  (Satuan  Wilayah Pembangunan) yang ditentukan dalam RTRW  Jawa Timur. Pola perkembangan  ini terjadi terutama pada  koridor  antar  kota  dan  pada  beberapa  bagian  berfungsi  sebagai  suatu  pusat  (nodal).  Pada dasarnya  antara  Surabaya–Sidoarjo  bukan  lagi  menunjukkan  pola  koridor  akan  tetapi  sudah merupakan penyatuan dua kawasan dalam  skala besar. Sedangkan ke arah  selatan Kota Surabaya memiliki perkembangan yang pesat, terutama berkembang kegiatan jasa‐perdagangan, industri, dan sebagian  perumahan. Mengingat  koridor  ini  sudah  sangat  padat, maka  perkembangan  sepanjang jalan  utama  kota  harus  dibatasi,  membentuk  kawasan  industri  di  luar  jalan  utama  kota. Perkembangan  kawasan  industri  di  Gresik  implikasi  pada  perkembangan  sekitar,  berpengaruh terhadap  wilayah  utara.  Adapun  prospek  perkembangan  kawasan  industri  di  Lamongan  adalah shorebase, pelabuhan, pariwisata, kawasan berikat yang merupakan kawasan  industri membentuk satu sentra atau nodal yang besar (RTRW Propinsi Jawa Timur 2020).  

Berdasarkan  kompilasi  data  RTRW  Propinsi  Jawa  Timur  2020  disebutkan  bahwa perkembangan GERBANGKERTASUSILA lebih besar dan luas dari sebelumnya.  Antaranya penguatan 

                                                            1 Mahasiswa pasca sarjana studi pembangunan, Jurusan Arsitektur FTSP‐ITS 2 Senior Peneliti Laboratorium Perumahan dan Permukiman , Jurusan Arsitektur FTSP‐ITS 3 Kepala Laboratorium Arsitektur Lansekap dan Staff Pengajar Jurusan Arsitektur FTSP‐ITS 

aktifitas  perekonomian  di  koridor  Pandaan‐Wonorejo‐Purwosari  (Pasuruan),  Surabaya‐Gresik‐Lamogan‐Tuban,  Surabaya‐Krian‐Mojokerto‐Peterongan  (Jombang),  Babat  (Lamongan)‐Bojonegoro (data kompilasi RTRW Propinsi Jawa Timur 2020). Oleh karena itu dibentuk pengembangan kawasan baru  yang  disebut  GERBANGKERTASUSILA  Plus  dengan  tergabungnya  Kabupaten  Pasuruan,  Kota Pasuruan,  dan  Kabupaten  Bojonegoro,  Kabupaten  Tuban  dan  Kabupaten  Jombang  dalam perwilayahannya. Pola perkembangan  ini terjadi terutama dalam pola koridor antar kota dan pada beberapa  bagian  sebagai  suatu  pusat  (nodal).  Pada  koridor  Surabaya‐Sidoarjo‐Gempol‐Pandaan (Pasuruan), secara  linear berkembang sebagai kawasan permukiman dan  industri. Trend Surabaya–Krian–Mojokerto‐Peterongan  (Jombang)  ternyata memiliki  hubungan  yang  kuat  dengan  kawasan tersebut  didominasi  berkembangnya  industri  secara  linier,  perkembangan  permukiman  yang cenderung menguat (RTRW Propinsi Jawa Timur 2020).  

Pada mega‐urbanisasi GERBANGKERTASUSILA Plus,  jaringan perkotaan terbangun dengan sistem  batas  administratif  masih  terlihat  jelas  serta  penggunaan  lahan  masih  tersegregasi.  Hal tersebut  karena menurut  Silas  (1992) bentuk MUR  yang  terjadi  teridentifikasi di  sekitar  Surabaya adalah : - Kearah selatan hingga sekitar bandara Juanda dalam bentuk self contained urbanization, yang 

merupakan bentuk ex‐urbanisasi dengan tergantung pada sumber daya lokal. - Kedua adalah bentuk strong  link and depend to main city (Surabaya), yang merupakan bentuk 

utama MUR Kota Surabaya. - Terakhir  adalah  centered  mega  urbanization, merupakan model  yang  terbangun  pada  kota 

disekitar kota pusat (Surabaya) yang memiliki hubungan kuat dengan kota tersebut. Melihat  kondisi  tersebut,  maka  diperlukan  manajemen  perkotaan  yang  dapat  menguntungkan semua  pihak  dalam  kawasan  mega‐urbanisasi  tersebut,  terintegrasi  dalam  investasi  dan pengembangan  kawasannya  serta  kawasan  perkotaan memiliki  ikatan  erat  dengan  hinterlandnya sehingga  adanya  ecological  footprint  pada  kawasan  yang  mengalami  mega‐urbanisasi  dapat terkendali.  Pada MUR  (Mega  Urban  Region)  Surabaya,  penyediaan  lahan  di  kawasan  kota  telah mengalami  kejenuhan  dan  mengalami  perubahan  untuk  kawasan  terbangun  terutama  untuk permukiman, perdagangan dan industri. Oleh karenanya, struktur pertumbuhan kota mulai bergerak menjauh  dari  pusat  kota  menyebar  dan  menggeser  wilayah  pinggiran  (fringe  areas)  dan kota/kabupaten sekitarnya (JM Nas, 2003).  

Pesatnya perkembangan  tersebut menunjukkan perlu adanya sinergi yang holistik dalam pengelolaan dan pengendalian perkembangan  kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus  sebagai  salah satu  kawasan  yang berkembang menjadi  kawasan  yang mengalami mega‐urbanisasi  di  Indonesia. Seperti  yang diungkapkan  Tjahjati  (1997) bahwa dalam pengelolaan  regional  secara  terpadu  agar perencanaan  regional  lebih  sensitif  terhadap  kebutuhan  daerah  dan  pelaksanaannya  perlu diterjemahkan  ke dalam  rencana  sektoral  tetapi  tetap memperhatikan  keterpaduan wilayah  yang bersangkutan. Untuk itu diperlukan adanya koordinasi antar masing‐masing sektor dan pemerintah. Kurangnya  konsep  pengendalian  kawasan mega‐urbanisasi memberikan  dorongan  diperlukannya sebuah konsep yang dapat mengendalikan perkembangan yang terjadi di kawasan mega‐urbanisasi tersebut. Perkembangan kawasan tidak terlepas dari faktor spasial dan aspasial yang terdapat pada kawasan  urban  fringe  Kota utama  (Kota  Surabaya).  Pertimbangan  terhadap potensi  ekonomi dan lingkungan hidup diperlukan sebagai bahan pertimbangan analisa pola perkembangan yang terjadi di kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus. Untuk itu dalam penelitian ini akan dibahas mengenai kondisi potensi dan permasalahan dalam pemanfaatan ruang yang secara  tidak  langsung berdampak pada perkembangan  kawasan  GERBANGKERTASUSILA  Plus.  Kemudian  dari  identifikasi  tersebut  dan berdasarkan  pada  kriteria  pengendalian  perkembangan,  maka  dapat  dirumuskan  konsep pengendalian kawasan mega‐urbanisasi yang aplikatif dan dinamis. 

 II. Kajian Pustaka 2.1 Proses Urbanisasi dan Fenomena Mega‐Urbanisasi 

Paling terurbanisa

Tidak terurbanisa

Kepentingan  ekonomi merupakan  faktor  dominan  dalam  proses  urbanisasi  skala mega. Pembangunan berdasar pada kepentingan ekonomi memiliki bentuk dan model yang berbeda (Silas, 2002). Urbanisasi  di  Asia  Tenggara  juga  dicirikan  oleh  kaburnya  antara  rural  dan  urban.  Aktifitas agrikutur  dan  non‐agrikultur  bertempat  berdekatan  dengan  pusat  kota,  dan  pembangunan  fisik perkotaan yang berkembang melebihi batas administratif kota. McGee, 2005  (dalam Firman 2008) kemudian menyebut fenomena ini sebagai mega‐urbanisasi, sebelumnya disebut dengan kotadesasi (sebuah  frase dari bahasa  Indonesia) yang berarti sebagai proses sosial ekonomi dan  integrasi  fisik antara  kawasan  Kota  (Kota)  dan  kawasan  perdesaan  (Desa)  (McGee  1991  dalam  Firman  2008). Menurut Mc.Gee  (1991),  kawasan  antara  rural  dan  urban  tidak  dikategorikan  hanya  berdasarkan keruangan. Tetapi juga mempertimbangkan faktor kepadatan, permukiman, pekerjaan, sektoral dan kategori rumah tangga. Dalam hipotesisnya, disebutkan bahwa pada beberapa negara yang memiliki populasi lebih dari 10 ribu jiwa dikatakan sebagai kawasan urban sedangkan sisanya adalah kawasan rural.  Akan  tetapi,  untuk  mengetahui  adanya  proses  urbanisasi  di  kawasan  perkotaan menurut Mc.Gee (1991) adalah dengan mengetahui pergeseran perkonomian yang terjadi. (1) perbandingan kontribusi  antara  aktifitas  pertanian  dan  non‐pertanian  dalam  produk  domestik  regional,  dan  (2) perbandingan kontribusi tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian dan non‐pertanian dalam produk domestik regional. Untuk lebih jelasnya akan digambarkan pada matrik berikut: 

Tabel 2.1 Matrik Proses Urbanisasi dari Sisi Ekonomi  

Sumber : Mc.Gee 1991 dengan terjemahan oleh penulis 

 2.2 Pengendalian dan Manajemen Perkotaan 

Menurut, Friedmann  (1991 dalam Glasson, 1997) mendefinisikan pembangunan  regional sebagai: pembangunan ekonomi, peningkatan pendapatan, lapangan kerja dan kesejahteraan. Serta dalam melakukan manajemen pembangunan kawasan regional, disebutkan bahwa kekuatan dalam menentukan  keputusan  yang  bersifat  mengikat  kota  dan  daerah  (multiplycity)  dan  suatu kawasan/region  tersebut merupakan  faktor yang paling penting. Menurut Soegijoko  (1997) bahwa timbulnya  regional  planning  akibat  adanya  pertumbuhan  kota‐kota  yang  semakin  pesat  yaitu semenjak adanya tekanan urbanisasi. Yang berupa semakin padatnya daerah‐daerah slums, kongesti lalu  lintas, pengangguran di kota‐kota dan perumahan  liar di kawasan pinggiran kota. Persoalan  ini menurut Soegijoko (1997) menunjukkan perlunya hubungan keseimbangan antara daerah rural dan urban.  Menurut  Brenann  (1992  dalam  Dharmapatni  1997)  disebutkan  bahwa  isu  utama  dalam menghadapi  mega  urban  region  adalah  bukan  terletak  pada  ukuran  kota  tetapi  pada  urban management  (pengelolaan  kota)  yang  dapat  mengoptimalkan  pertumbuhan  ekonomi  dan meminimalkan eksternalitasnya. 

Di  Indonesia,  pengendalian  telah  dituangkan  dalam Undang‐undang No.26  Tahun  2007 mengenai Penataan Ruang. Menyatakan bahwa Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang, hal  ini berarti bahwa pelaksanaan pembangunan baik di  tingkat pusat maupun daerah harus sesuai dengan  rencana  tata  ruang yang ada.  Namun  pada  tahap  implementasinya  tidak  selalu  sesuai  dengan  tata  ruang  yang  telah 

1. Kawasan urbanisasi jika 50% dari,  - Kontribusi  produk  domestic  regional  di 

sektor non‐agrikultur - Tenaga  kerja  bekerja  disektor  non‐

agrikultur 

2. Kawasan semi‐urbanisasi II jika, - Kontribusi  produk  domestic  regional 

di  sektor  non‐agrikultur  kurang  dari dari 50% 

- Tenaga  kerja  bekerja  disektor  non‐agrikultur lebih dari 50% 

3. Kawasan semi‐urbanisasi I jika, - Kontribusi  produk  domestic  regional  di 

sektor non‐agrikultur lebih dari 50% - Tenaga  kerja  bekerja  disektor  non‐

agrikultur kurang dari 50% 

4. Kawasan tidak‐terurbanisasi jika 50%, - Kontribusi  produk  domestic  regional 

di sektor agrikultur  - Tenaga  kerja  bekerja  disektor 

agrikultur 

ditetapkan. Ketidaksesuaian  tersebut dapat disebabkan oleh produk  tata  ruang yang kurang dapat mengakomodasi perkembangan eksisting, atau juga disebabkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang kurang memperhatikan  rencana  tata  ruang.  Sehingga  kegiatan  pengendalian  pemanfaatan  ruang yang tepat sangat dibutuhkan dalam praktek pemanfaatan ruang. Dalam pasal 35 UU No. 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa : ” Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi,  perizinan,  pemberian  insentif  dan  disinsentif,  serta  pengenaan  sanksi“.  Berdasarkan  pasal tersebut dapat diketahui bahwa  instrumen pengendalian  ruang  terdiri atas 4 hal yaitu  : Peraturan zonasi, Ketentuan perizinan, Pemberian Insentif dan Disinsentif dan pengenaan sanksi.  2.3 Best Practices Mega‐Urban di Dunia 2.3.1 Manajemen Pengendalian Megacity di Eropa 

Menurut Hall dan Pain  (2006), berdasarkan studi yang dilakukannya pada kota‐kota yang mengalami mega‐urbanisasi di kawasan Eropa antara  lain:  Inggris (London), Belanda   (Amsterdam), Jerman (Berlin, Hannover), Swiss, Belgia, Prancis (Paris dan Frankurt) dan Dublin. Menyatakan bahwa dalam  pengelolaan  kawasan  kota  yang mengalami mega‐urbanisasi  (dibukunya  disebut megacity) diperlukan beberapa langkah agar wilayah kota tersebut mengalami keberlanjutan lingkungan hidup. Langkah tersebut adalah : 1. Keunikan fungsi dari “first city”: pada kawasan mega‐urbanisasi diperlukan adanya kota utama 

yang menjadi fungsi  jasa  lanjutan atau advanced producer services, dengan derajat spesialisasi yang berbeda, misalnya akuntansi, perbankan, logistik. 

2. Fungsi  penting  dari  pusat  kedua:  untuk  fungsi  jasa  yang  lainnya  hendaknya  pada  pusat kedua/sub pusat lain.  

3. Komunikasi memiliki nilai dan  intensitas yang berbeda dan bersifat  internasional:  komunikasi yang terjadi pada pusat utama memiliki intensitas yang superior khususnya untuk transaksi 

4. Hubungan antara pusat dan sub pusat serta antar sub pusat terjalin dengan baik 5. Globalisasi merupakan kunci utama khususnya pada penghilangan batas administratif dan bisnis 6. Clustering pada pusat utama:  tujuannya adalah mereduksi adanya pencampuran aktifitas dan 

penggunaan lahan 7. E‐communication meningkat, tetapi hubungan antar orang tetap terjadi : penggunaan teknologi 

informasi  dan  komunikasi  penting  tetapi  tidak menghilangkan  adanya  hubungan  pertemuan antar orang untuk mengurangi eksklusifitas 

8. Perjalanan  menuju  ke  tempat  kerja  diperlukan,  membatasi  home‐working,  khususnya  pada perjalanan yag sifatnya internasional 

9. Infrastruktur yang saling berhubungan khususnya dengan pusat kota utama 10. Penyediaan transportasi yang reliabel baik dalam maupun antar wilayah bahkan secara global 

dengan menggunakan  jalan darat,  jalur  kereta  api, perhubungan udara  khususnya pada  kota utama 

11. Tenaga  kerja  yang  terlatih  dan  terdidik  pada  pusat  kota  utama  untuk  mengurangi  adanya pengangguran  dan  slums  pada  kawasan  pusat  kota  serta  untuk meningkatkan  inovasi  pada kawasan kota utama 

12. Adannya City buzz: penentuan  lokasi kegiatan  tertentu yang penting bagi orang banyak  tidak ditentukan  semata  secara  kriteria  ekonomi.  Daya  tarik  lingkungan  kota/city  environment merupakan hal yang lebih penting, dari pada infrastruktur fisik yang ditawarkan. 

13. Kebijakan  megacity  yang  terintegrasi  dan  skalanya:  diperlukan  adanya  kebijakan  yang mengelola kawasan mega‐urbanisasi secara utuh yang tidak hanya pada intervensi pasar tetapi pada infrastruktur transportasi, pendidikan, perumahan dan perencanaan kota. 

 2.3.2 Manajemen Pengendalian Megacity di Asia 

Menurut  Laquian  (2004)  berdasarkan  studi  yang  dilakukannya  pada  kota‐kota  yang mengalami mega‐urbanisasi di kawasan Asia Pasifik antara  lain: Tokyo, Mumbai, Calcuta, Shanghai, Dhaka,  Karachi,  Delhi,  Beijing,  Osaka,  Metro  Manila  and  Seoul.  Menyatakan  bahwa  dalam 

pengelolaan  kawasan  perkotaan  yang  mengalami  mega‐urbanisasi  diperlukan  beberapa  langkah pengendalian  agar  kawasan  kota  tersebut  mengalami  keberlanjutan  lingkungan  hidup.  Langkah tersebut adalah : 1. Pengendalian pertumbuhan dengan model “Smart Growth”, pertumbuhan dengan model smart 

growth memiliki  beberapa  elemen  kunci  yaitu  :  1)  Konsentrasi  pembangunan  ekonomi  dan sosial pada kawasan yang memiliki kepadatan tinggi, 2) Preservasi kawasan ruang terbuka hijau, lahan  pertanian,  kawasan  hutan  dan  kawasan  ekologi  kritis,  3)  Perencanaan  kawasan  pusat jamak  atau  permukiman  kawasan  hinterland  dalam  konteks  regional,  4)  Provisi  terhadap berbagai  macam  transportasi,  5)  Pelibatan  masyarakat,  kelompok  masyarakat,  swasta  dan stakeholder  yang  lain  dalam  formulasi,  adaptasi  dan  eksekusi  kebijakan  dan  strategi  smart growth. 

2. Mengembangkan lebih banyak kawasan‐kawasan ekonomi khusus, industri estate, dan kawasan high‐tech  lainnya  untuk  membagi  perkembangan  kawasan  mega‐urbanisasi.  Pengembangan kawasan‐kawasan ekonomi dan  industri yang tertutup pada sekitar kawasan perkotaan secara tidak langsung akan memisahkan aktifitas perumahan dan industri. 

3. Konservasi  kawasan  pertanian  dan  perawatan/mempertahankan  eksistensi  ruang  terbuka dengan tujuan mereduksi limbang gas buangan pada kawasan perkotaan. 

4. Kebijakan transportasi komprehensive berdasarkan pada rapid transit system dan mengurangi ketergantungan  pada  mobil  pribadi.  Penggunaan  rail  rapid  transit  dan  busway  serta memberikan pajak yang  tinggi, biaya pada  licence mengemudi dan anti‐pollution charge akan mengurangi penggunaan mobil pribadi sehingga dapat menurunkan polusi yang dihasilkan. 

5. Redevelopment/peremajaan kawasan pusat kota lama sebagai kawasan konservasi sejarah dan budaya, agar masyarakat yang menempati kawasan tersebut tetap bertahan dan tidak pindah ke kawasan pinggiran kota. 

6. Kebijakan dan program menyediakan kawasan perumahan dan layanan dasar pada kaum urban poor dengan menyediaakan perumahan yang terjangkau. 

7. Penanganan  secara  komprehensive  dan  strategis  terkait  dengan  air  bersih  dan  sistem persampahan. 

8. Kebijakan penggunaan energi yang ramah lingkungan. 9. Bentuk  demokratis  dari  sisitem  pemerintahan  terkait  pada  pemilihan  kepala  daerah,  efisien 

urban management, sistem keuangan kota yang bertanggung jawab serta pengurangan korupsi. 10. Pelibatan masyarakat dalam formulasi, adaptasi dan eksekusi dari urban development program 

dan penguatan masyarakat dalam penyeleseian masalah lingkungannya.  III. Metode Pendekatan 

Dalam melakukan  penelitian  ini,  digunakan  pendekatan positivisme  yang  rasionalistik dan bersifat kualitatif. Dengan jenis data yang digunakan adalah data primer (hasil wawancara/kuesioner dan survey) dan  sekunder  (dokumentasi,  tabulasi  dan  rekaman  oleh  pihak  lain). Teknik  yang digunakan adalah : 1. Teknik Mapping Analysis, Data  lebih mudah disajikan dalam bentuk kata‐kata. Di  sisi  lain,  jika 

mempertimbangkan dalam konteks  konsep dan analisa, maka diperlukan adanya  representasi dari  data  tersebut.  Berdasarkan  kelemahan  dan  kekuatan  antara model  representasi  tematik dan word‐mapping merupakan suatu keuntungan jika keduanya digunakan secara bersama. Hal ini  terkait  dengan  efisiensi  dan  sinergi  dalam mengkombinasikan  dua  pendekatan  untuk  text analysis. Konsep mapping merupakan pendekatan terintegrasi seperti representasi tematik dan text analysis (Weller&Romney, 1988 dalam Trochim,2002). 

2. Teknik  identifikasi  narasumber,  Dalam mengidentifikasi  responden  yaitu  nara  sumber  dalam penelitian  ini  digunakan  teknik  analisis  stakeholder.  Stakeholder  adalah  orang,  grup,  atau institusi yang akan merasakan dampak  (baik positif dan negatif) kegiatan yang akan dilakukan atau yang dapat mempengaruhi hasil dari intervensi (Narayan, 1995).  

3. Teknik  formulasi pola, Pada penelitian  ini,  teknik  formulasi pola pengendalian kawasan mega‐urbanisasi  menggunakan  teknik  delphi.  Teknik  delphi  adalah  prosedur  peramalan  pendapat untuk memperoleh, menukar, dan opini tentang peristiwa di masa depan (Sackman, 1975). Lima prinsip  dasar  dalam  teknik  delphi  adalah  :  1)  anonimitas,  2)  iterasi,  3)  tanggapan  balik  yang terkontrol, 4) jawaban statistik, dan 5) konsensus nara sumber. 

 IV. Gambaran Umum 

Perkembangan  urbanisasi  di  Kota  Surabaya membawa pengaruh  terhadap  perkembangan wilayah  di  kawasan  pantai  utara  Jawa  Timur  hingga  kawasan  Pasuruan.  Sebagian  besar  wilayah tersebut  adalah  wilayah  dengan  potensi  pengembangan  sebagai  kawasan  industri.  Apabila diperhatikan, aliran pertumbuhan wilayah yang terjadi pada kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus ini cenderung berbentuk memusat menuju ke Kota Surabaya (Gambar 4.1). Secara tidak langsung hal ini mengindikasikan  adanya  backwash  effect  sumber  daya  dari  kawasan  GERBANGKERTASILA  Plus menuju ke Kota Surabaya. 

 

Gambar 4.1 Arah Perkembangan GERBANGKERTASUSILA Plus (Sumber : RTRW Jawa Timur 2020) 

Pola perkembangan yang berbentuk  linear  tersebut, semakin memperluas wilayah cakupan mega‐urbanisasi  Kota  Surabaya.  Kondisi  ini  membuat  pengelolaan  yang  dilakukan  Pemerintah  Daerah Kabupaten/Kota menjadi  tidak optimal.  Fenomena  ini berdampak pada  adanya  kawasan‐kawasan desa urban di sekitar Surabaya dan semakin meluas pada Kabupaten dan Kota Sekitarnya 

Dalam  periode  tahun  1971‐2005,  penduduk  yang menempati  kawasan GKS  Plus  semakin meningkat.  Data  sensus  penduduk  BPS  2000‐2005,  menunjukkan  pertumbuhan  penduduk  pada kabupaten/kota  disekitar  Kota  Surabaya  cukup  tinggi.  Berdasarkan  grafik  tersebut  terlihat  bahwa angka  laju  pertumbuhan  penduduk  pada  Kabupaten/Kota  yang  berada  di  kawasan GERBANGKERTASUSILA  Plus  menunjukkan  angka  yang  tinggi  berkisar  diatas  2%.  Rata‐rata  laju pertumbuhan  penduduk  dengan  angka  yang  sangat  tinggi  terdapat  pada  Kabupaten  Pasuruan, Kabupaten  Sidoarjo,  Kabupaten  Gresik  dan  Kota  Mojokerto  yang  memiliki  angka  pentumbuhan penduduk  diatas  10%  per  sepuluh  tahun.  Sedangkan  Kabupaten  Mojokerto  dan  Kabupaten Bojonegoro, angka pertumbuhan penduduknya  relatif  lebih  rendah dibandingkan Kota/Kabupaten lainnya, yaitu kurang dari 5%. Dengan proporsi untuk penududk kawasan perkotaan dan perdesaan pada tabel 4.1 : 

 

Gambar 4.2 Rata‐rata Laju Pertumbuhan Penduduk GERBANGKERTASUSILA Plus tahun 1971‐2005 (dalam %)  

(Sumber : Jawa Timur dalam Angka 2009, diolah) Tabel 4.1 Proporsi Penduduk Perkotaan di GERBANGKERTASUSILA Plus tahun 

1971‐2005 (dalam %) 

Kota/Kabupaten Tahun 

1971  1980  1990  1995*  2000  2005* Kabupaten Pasuruan  4,8  16,0  22,0  24,5  37,7  37,2 

Kabupaten Sidoarjo  6,2  21,7 50,4 67,6 85,7  85,6 

Kabupaten Mojokerto  0,0  6,8  21,6  29,6  41,8  58,5 

Kabupaten Jombang  5,6  11,2  23,7  32,5 54,6  56,3 

Kabupaten Gresik  7,9**  14,2  25,8  34,2  49,8  51,3 

Kabupaten Tuban  5,6  7,4  11,2  12,7  18,9  16,9 Kabupaten Bojonegoro  6,1  8,4  11,4  12,1  16,8  19,1 Kabupaten Lamongan  2,3  8,6  9,0  9,6  16,8  15,4 Kabupaten Bangkalan  4,6  10,1  15,2  18,6  21,6  21,8 

Kota Pasuruan  100,0 97,8*** 88,2*** 83,7*** 96,6***  96,2*** 

Kota Mojokerto  100,0 100,0 97,0 98,0 100,0  100,0 

Kota Surabaya  100,0 86,1 97,5 98,9 100,0  100,0 

Sumber : Sensus Penduduk tahun 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2005, diolah Keterangan : (*)   merupakan data dari survey penduduk antar sensus (supas) yang dilakukan 

5  tahun,  sedangkan  yang  lainnya merupakan  data  sensus  penduduk  tiap sepuluh tahun. 

(**)  pada  tahun  tersebut,  Kabupaten  Gresik  masih  bernama  Kabupaten Surabaya 

(***)  mulai  tahun  1975,  terdapat  penambahan  luas  Kota  Pasuruan  dari Kabupaten  Pasuruan  sehingga  terjadi  peningkatan  proporsi  penduduk Kota yang tinggal di kawasan perdesaan 

 Berdasarkan  pada  gambaran  tersebut,  untuk  mengetahui  posisi  urbanisasi  yang  ada  di 

kawasan GERBANGKERTASUSILA  Plus  dilakukan  dengan mengacu  pada  konsep Mc.Gee mengenai 

Paling terurbanisa

si 

Tidak terurbanisa

si 

proses urbanisasi.  Yaitu dengan mempertimbangkan  2 hal  (1) Kontribusi  PDRB  sektor non‐primer pada perekonomian dan  (2) Prosesntase  tenaga  kerja  yang bekerja pada  sektor non‐primer. Oleh karena  itu, maka  urbanisasi  yang  terjadi  pada GERBANG‐KERTASUSILA  Plus  dapat  dibagi menjadi beberapa bentuk seperti pada matrik berikut. 

Tabel 4.2 Matrik Urbanisasi dari Sisi Ekonomi GERBANGKERTASUSILA Plus  

Sumber : hasil analisis, 2010 

Perkembangan  infrastruktur  yang  penting  adalah  pada  jaringan  jalan.  Karena  keberadaan jaringan jalan merupakan faktor penting adanya arus urbanisasi dan perubahan pemanfaatan lahan. Jaringan  jalan merupakan  infrastruktur utama dalam perkembangan  suatu wilayah. Suatu wilayah dapat berkembang jika ada prasarana dasar yaitu jaringan jalan yang melintas di kawasan tersebut. Jaringan  jalan  berdasarkan  kewenangan  pengelolaannya  di  kawasan  GERBANGKERTASUSILA  Plus terdiri dari Jalan Negara, Jalan Propinsi dan Jalan Kabupaten/Kota.  

 Gambar 4.2 Jaringan Jalan Utama GERBANGKERTASUSILA Plus 

(sumber: RTRW Propinsi Jawa Timur 2020) 

1. Kawasan urbanisasi meliputi,  - Kota Surabaya - Kota Mojokerto - Kabupaten Sidoarjo - Kabupaten Gresik, Karena  50%  PDRB  dan  tenaga  kerja bekerja pada sektor non‐primer 

2. Kawasan semi‐urbanisasi II 

3. Kawasan semi‐urbanisasi I meliputi,- Kabupaten Bangkalan,  - Kabupaten Mojokerto,  - Kabupaten Lamongan  - Kabupaten Tuban,  - Kabupaten Bojonegoro,  - Kabupaten Jombang,  - Kabupaten Pasuruan dan  - Kota Pasuruan Karena 50% PDRB pada sektor non‐primer tetapi tenaga kerja bekerja pada sektor non‐primer < 50% 

4. Kawasan tidak‐terurbanisasi  

 Gambar 4.4 Grafik Pertambahan Jaringan Jalan Utama GERBANGKERTASUSILA Plus  

(sumber: Dinas Perhubungan Jawa Timur, 2009 diolah) 

Perkembangan  perumahan  dan  permukiman  di  kawasan  GERBANGKERTASUSILA  Plus membentuk pola linear yang berpusat di Kota Surabaya. Pertumbuhan terjadi disepanjang jalur‐jalur utama  dan  menuju  ke  arah  Kota  Surabaya.  Kondisi  ini  menunjukkan  bahwa  perkembangan perkotaan yang terjadi di Kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus memiliki fenomena urban bias, yaitu fenomena  perkembangan  spasial  dan  sosial‐ekonomi  perkotaan menuju  kawasan  pinggiran  yang masih memiliki  sifat  spasial  rural. Kondisi  ini  sering  terjadi pada  kawasan perkotaan  yang  sedang mengalami  urbanisasi.  Fenomena  adanya  peningkatan  aktifitas  perkotaan  dan  perkembangan mengikuti pola perkembangan jalan merupakan cirri utama dalam perkembangan urbanisasi. 

 Gambar 4.5 Penggunaan Lahan Eksisting GERBANGKERTASUSILA Plus  

(Sumber:Studi Penelitian dan Penyiapan Rencana Tata Ruang Wilayah GKS Plus, 2007)  V. Analisis dan Pembahasan 

Dengan berdasarkan pada data spasial bab sebelumnya. Kemudian membuat indeks sebagai  sebuah nilai kondisi  spasial wilayah yang  terukur,  selanjutnya dapat diperlihatkan komparasi kondisi antar wilayah di kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus. 

Tabel  5.3  Indeks  Komposit  Sosial‐Ekonomi  dan  Spasial  Kabupaten/Kota  di GERBANGKERTASUSILA Plus. 

Kabupaten/Kota Indeks komposit sosial ekonomi 

Indeks komposit spasial 

Kabupaten Pasuruan  0,29  0,17 Kabupaten Sidoarjo  0,36  0,23 Kabupaten Mojokerto  0,12  0,23 Kabupaten Jombang  0,20  0,31 Kabupaten Gresik  0,34  0,24 Kabupaten Tuban  0,25  0,33 Kabupaten Bojonegoro  0,34  0,36 Kabupaten Lamongan  0,17  0,14 Kabupaten Bangkalan  0,10  0,18 Kota Pasuruan  0,10  0,49 Kota Mojokerto  0,20  0,39 Kota Surabaya  0,76  0,51 Sumber : hasil analisis, 2010 

Untuk  mengetahui  hubungan  antara  sosial‐ekonomi  dan  spasial  maka  dilakukan denganperhitungan korelasi antara keduanya. Korelasi adalah alat statistik yang digunakan untuk mengetahui derajat hubungan  linier dan  sifat dari hubungan  tersebut dengan nilai antara ‐1 sampai 1. Sifat dari hubungan yang menggunakan uji korelasi adalah digambarkan dengan tanda +/‐. Jika hubungan antar variabel memiliki hubungan yang sama maka tanda + dan sebaliknya. Berikut diberikan dugaan awal pada pengujian keoptimalan perkembangan kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus dilihat dari aspek sosial‐ekonomi dan spasial.  H0 = tidak terdapat hubungan antara perkembangan sosial‐ekonomi dan spasial  H1 = perkembangan sosial‐ekonomi berhubungan dengan perkembangan spasial atau 

setidak‐tidaknya hubungan tersebut derajatnya rendah. Pengujian ini signifikan pada α = 1%. 

Berdasarkan perhitungan minitab didapatkan hasil hitungan  korelasi  antara  indeks sosial‐ekonomi dan indeks spasial sebagai berikut: 

   

Dari  hasi  tersebut  terlihat  bahwa  angka  korelasi  yang  ditunjukkan  kurang  dari  0,5  dan berada pada kriteria kedua yaitu hubungan yang  terjadi antara sosial‐ekonomi dan spasial bersifat substansial. Hasil  tersebut menunjukkan bahwa antara sosial‐ekonomi dan spasial saling mempengaruhi walaupun masih  bersifat  substansial. Nilai  P‐value merupakan  nilai signifikansi/derajat kebenaran hasil. Dari nilai P‐value terlihat nilai > 0,01 atau berada diatas daerah  penolakan,  sehingga  dapat  dikatakan  hitungan  tersebut  valid.  Maka  dari  itu, hipotesis H0 dapat disimpulkan ditolak. Atau hasil akhir menunjukkan bahwa antara sosial‐ekonomi dan spasial terdapat hubungan yang bersifat substansial. 

Dengan membuat  koordinat  antara  indeks  komposit  spasial  dan  indeks  komposit kondisi sosial‐ekonomi tersebut, dapat dibuat model keterkaitan kondisi sosial‐ekonomi dan kondisi  spasial  dalam  sebuah  diagram  Kartesius  yang  dapat  dijadikan  gambaran perkembangan wilayah secara komprehensif. 

      

Pearson correlation of indeks komposit sosial ekonomi and indeks komposit spasial = 0,408

P-Value = 0,188

 Gambar  5.1  Hubungan  Sosial‐Ekonomi  dan  Spasial  di  Kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus (Sumber : hasil analisis, 2010) 

Nilai kondisi sosial‐ekonomi‐spasial tertinggi saat ini ada di Kota Surabaya. Surabaya sebagai  kota  yang  di  tetapkan  sebagai  pusat  kegiatan mempunyai  kelengkapan  fasilitas, infrastruktur yang paling baik dan modern. Dari grafik  tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkembangan  spasial  kawasan  GERBANGKERTASUSILA  Plus  secara  umum  masih  belum optimal.  Hal  ini  terlihat  dari  ketidakseimbangan  hubungan  antara  perkembangan  sosial‐ekonomi  dan  spasial.  Oleh  karena  itu,  diperlukan  adanya  perumusan  pola  pengendalian perkembangan/development  control  kawasan  GERBANGKERTASUSILA  Plus  yang  aplikatif  dan dinamis sesuai dengan perkembangan kondisi eksistingnya. 

Tabel 5.1 Karakater Perkembangan Kabupaten/Kota di GERBANGKERTASUSILA Plus. Kabupaten/Kota  Peluang/Kekuatan Kelemahan/Tantangan 

Kabupaten Pasuruan 

- Potensi lahan penyediaan lahan yang luas 

- Mulai berkembang sebagai kawasan industri estate 

- Penyediaan infrastuktur perkotaan cukup rendah 

- Aksesibilitas menurun akibat bencana lingkungan lumpur panas 

Kabupaten Sidoarjo 

- Kedekatan jarak dengan Kota Surabaya sehingga spill over kegiatan ekonomi lebih mudah 

- Proporsi penduduk yang menempati kawasan perkotaan lebih tinggi  

- Laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi 

- Tingkat konversi lahan produktif sangat besar akibat perluasan kawasan industri 

- Bencana lingkungan yaitu semburan lumpur panas 

Kabupaten Mojokerto 

- Potensi lahan penyediaan lahan yang luas khususnya sebagai lahan produktif

- Mulai berkembang sebagai kawasan industri sebagai bentuk perluasan dari Kabupaten Sidoarjo 

- Penyediaan infrastuktur perkotaan cukup rendah 

- Laju Pertumbuhan penduduk  yang cukup rendah dengan luas lahan yang luas 

- Aktifitas perekonomian yang rendah 

Kabupaten Jombang 

- Proporsi penduduk yang menempati kawasan perkotaan lebih tinggi 

- Potensi lahan penyediaan lahan yang luas khususnya sebagai lahan produktif

- Penyediaan infrastuktur perkotaan cukup rendah 

- Aktifitas perekonomian yang rendah 

Kabupaten Gresik - Kedekatan jarak dengan Kota Surabaya 

sehingga spill over kegiatan ekonomi lebih mudah. 

- Laju pertumbuhan penduduk  yang sangat tinggi 

- Tingkat Penyediaan infrastuktur 

Kabupaten/Kota  Peluang/Kekuatan Kelemahan/Tantangan - Proporsi penduduk yang menempati 

kawasan perkotaan lebih tinggi perkotaan cukup rendah 

Kabupaten Tuban 

- Memiliki sumber daya alam berupa bahan galian 

- Mulai berkembang sebagai kawasan industri 

- Penyediaan infrastuktur perkotaan cukup rendah khususnya pada jaringan jalan penghubung antar Kabupaten/Kota 

Kabupaten Bojonegoro 

- Laju pertumbuhan ekonomi sangat tinggi 

- Memiliki sumber daya alam berupa minyak mentah skala besar 

- Tingkat Penyediaan infrastuktur perkotaan cukup rendah khususnya pada jaringan jalan penghubung antar Kabupaten/Kota 

Kabupaten Lamongan 

- Tingkat Penyediaan infrastuktur perkotaan tinggi 

- Mulai berkembang sebagai kawasan industri dan perikanan 

- Tingkat konversi lahan produktif sangat besar akibat perluasan kawasan industri 

Kabupaten Bangkalan 

- Potensi lahan penyediaan lahan yang luas khususnya sebagai lahan industri 

- Aksesibilitas/penyediaan infrastruktur antar Kabupaten/Kota meningkat 

- Penyediaan fasilitas perkotaan cukup rendah 

- Laju Pertumbuhan penduduk  yang cukup rendah  

- Aktifitas perekonomian yang rendah

Kota Pasuruan 

- Tingkat Penyediaan infrastuktur perkotaan tinggi 

- Proporsi penduduk perdesaan cukup besar 

- Aksesibilitas menurun akibat bencana lingkungan lumpur panas 

- Aktifitas perekonomian masih rendah 

Kota Mojokerto - Mulai berkembang sebagai kawasan 

industri sebagai bentuk perluasan dari Kabupaten Sidoarjo 

- Aktifitas perekonomian masih rendah 

- Penyediaan fasilitas perkotaan cukup rendah 

Kota Surabaya 

- Terjadi pergeseran fungsi sebagai kawasan jasa komersial 

- Aktifitas perekonomian tinggi - Penyediaan infrastruktur dan fasilitas 

perkotaan memadai 

- Penurunan kualitas lingkungan hidup 

- Tingkat komuting sangat tinggi menyebabkan kepadatan di jalan utama pada jam tertentu 

- Penyediaan ruang terbuka kurang Sumber : hasil analisis, 2010 

Berdasakan  ketimpangan  yang  ada,  diperlukan  adanya  perumusan  pola  pengendalian perkembangan  kawasan  GERBANG‐KERTASUSILA  Plus  yang  aplikatif  dan  dinamis  sesuai  dengan perkembangan  kondisi  eksistingnya. Untuk  mendapatkan  pola  tersebut,  dilakukan  dengan mengiterasikan kriteria dalam pengendalian perkembangan kawasan yang  telah dilakukan sub bab sebelumnya kepada para nara sumber (dalam hal ini adalah stakeholder yang berkepentingan dalam pembangunan  kawasan  GERBANGKERTASUSILA  Plus).  Tujuan  dari  iterasi  tersebut  adalah  untuk mendapatkan  kesepakatan  mengenai  pola  pengendalian  perkembangan  suatu  kawasan  yang mengalami mega‐urbanisasi seperti kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus. 

Tabel 5.2 Pola Pengendalian Berdasarkan Karakter Kabupaten/Kota Kabupaten/ 

Kota Karakter Wilayah  Pola Pengendalian yang diperlukan 

Kabupaten Pasuruan 

Peluang/Kekuatan - Potensi lahan penyediaan lahan 

yang luas - Mulai berkembang sebagai 

kawasan industri estate 

- Aspek Non‐fisik  Kebijakan, dan perijinanyang berkonsentrasi pada  pembangunan industri estate yang mengadopsi keunikan lokal, dan karakter masyarkat setempat 

Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengendalian konversi lahan pertanian dengan zonasi dan pemberian insentif  serta 

Kelemahan/Tantangan - Penyediaan infrastuktur 

perkotaan cukup rendah 

Kabupaten/ Kota 

Karakter Wilayah  Pola Pengendalian yang diperlukan 

- Aksesibilitas menurun akibat bencana lingkungan lumpur panas 

disinsentif- Aspek Fisik 

Pembangunan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol dsb.

Kabupaten Sidoarjo 

Peluang/Kekuatan - Kedekatan jarak dengan Kota 

Surabaya sehingga spill over kegiatan ekonomi lebih mudah 

- Proporsi penduduk yang menempati kawasan perkotaan lebih tinggi 

- Aspek Non‐fisik  Kebijakan berkonsentrasi pada pembatasan urbanisasi, konversi lahan pertanian serta penanganan masalah lumpur panas 

Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengendalian konversi lahan pertanian dengan zonasi, perijinan dan disinsentif  pada industri yang polutif, pertumbuhan penduduk dan penyediaan fasilitas perkotaan. 

- Aspek Fisik  Perbaikan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, kereta api serta fasilitas dan utilitas yang mendorong investasi seperti terminal kargo dsb. 

Kelemahan/Tantangan - Laju pertumbuhan penduduk 

yang sangat tinggi - Tingkat konversi lahan produktif 

sangat besar akibat perluasan kawasan industri 

- Bencana lingkungan yaitu semburan lumpur panas 

 Kabupaten Mojokerto 

Peluang/Kekuatan - Potensi lahan penyediaan lahan 

yang luas khususnya sebagai lahan produktif 

- Mulai berkembang sebagai kawasan industri sebagai bentuk perluasan dari Kabupaten Sidoarjo 

- Aspek Non‐fisik  Kebijakan berkonsentrasi pada  intensifikasi dan deversiifikasi hasil pertanian 

Kemudahan perijinan pada industri berbasis pertanian 

Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengembangan kawasan dan  penyediaan fasilitas perkotaan. 

Pemberian insentif pada para pengembang dan investor 

- Aspek Fisik  Penyediaan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, kereta api serta fasilitas dan utilitas yang mendorong tumbuhnya industri. 

Kelemahan/Tantangan- Penyediaan infrastuktur 

perkotaan cukup rendah - Laju Pertumbuhan penduduk  

yang cukup rendah dengan luas lahan yang luas 

- Aktifitas perekonomian yang rendah  

Kabupaten Jombang 

Peluang/Kekuatan - Proporsi penduduk yang 

menempati kawasan perkotaan lebih tinggi 

- Potensi lahan penyediaan lahan yang luas khususnya sebagai lahan produktif 

- Aspek Non‐fisik  Kebijakan berkonsentrasi pada  intensifikasi dan deversifikasi hasil pertanian 

Dokumen tata ruang konsentrasi pada penyediaan fasilitas perkotaan. 

Pemberian insentif pada para pengembang dan investor 

- Aspek Fisik  Penyediaan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan. 

Kelemahan/Tantangan- Penyediaan infrastuktur 

perkotaan cukup rendah - Aktifitas perekonomian yang 

rendah 

Kabupaten Gresik 

Peluang/Kekuatan - Kedekatan jarak dengan Kota 

Surabaya sehingga spill over kegiatan ekonomi lebih mudah. 

- Proporsi penduduk yang menempati kawasan perkotaan lebih tinggi 

- Aspek Non‐fisik Kebijakan berkonsentrasi pada pembatasan urbanisasi, konversi lahan pertanian 

Kemudahan perijinan pada industri  Dokumen tata ruang konsentrasi pada penyediaan fasilitas perkotaan.  

Disinsentif  pada industri yang polutif. 

Kabupaten/ Kota 

Karakter Wilayah  Pola Pengendalian yang diperlukan 

Kelemahan/Tantangan - Laju pertumbuhan penduduk  

yang sangat tinggi - Tingkat Penyediaan infrastuktur 

perkotaan cukup rendah 

- Aspek Fisik Perbaikan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, kereta api serta fasilitas dan utilitas yang mendorong investasi seperti pelabuhan kargo dsb. 

Kabupaten Tuban 

Peluang/Kekuatan - Memiliki sumber daya alam 

berupa bahan galian - Mulai berkembang sebagai 

kawasan industri 

- Aspek Non‐fisik Kebijakan, dan perijinanyang berkonsentrasi pada  pembangunan industri estate yang mengadopsi potensi SDA lokal (local resources based industry), dan karakter masyarkat setempat 

Kemudahan perijinan pada industri dan investor 

Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengendalian pertambangan dengan zonasi  

Pemberian insentif berupa fasilitas dan utilitas kawasan industri 

- Aspek Fisik  Pembangunan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, pelabuhan/terminal kargo dsb. 

Penyediaan lahan untuk kawasan ekonomi khusus/kawasan berikat 

Kelemahan/Tantangan - Penyediaan infrastuktur 

perkotaan cukup rendah khususnya pada jaringan jalan penghubung antar Kabupaten/Kota 

Kabupaten Bojonegoro 

Peluang/Kekuatan - Laju pertumbuhan ekonomi 

sangat tinggi - Memiliki sumber daya alam 

berupa minyak mentah skala besar 

- Aspek Non‐fisik Kebijakan, dan perijinanyang berkonsentrasi pada  pembangunan industri estate yang mengadopsi potensi SDA lokal (local resources based industry), dan karakter masyarkat setempat 

Kemudahan perijinan pada industri dan investor 

Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengendalian pertambangan dengan zonasi  

Pemberian insentif berupa fasilitas dan utilitas kawasan industri 

- Aspek Fisik  Pembangunan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, pelabuhan/terminal kargo dsb. 

Penyediaan lahan untuk kawasan ekonomi khusus/kawasan berikat 

Kelemahan/Tantangan - Tingkat Penyediaan infrastuktur  

dan fasilitas perkotaan cukup rendah khususnya pada jaringan jalan penghubung antar Kabupaten/Kota 

Kabupaten Lamongan 

Peluang/Kekuatan - Tingkat Penyediaan infrastuktur 

perkotaan tinggi - Mulai berkembang sebagai 

kawasan industri dan perikanan 

- Aspek Non‐fisik Kebijakan berkonsentrasi pada pembatasan konversi lahan pertanian 

Kemudahan perijinan pada industri dan perikanan 

Dokumen tata ruang konsentrasi pada penyediaan fasilitas perkotaan.  

Disinsentif  pada industri yang polutif. - Aspek Fisik 

Perbaikan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, kereta api serta fasilitas dan utilitas yang 

Kelemahan/Tantangan - Tingkat konversi lahan produktif 

sangat besar akibat perluasan kawasan industri 

Kabupaten/ Kota 

Karakter Wilayah  Pola Pengendalian yang diperlukan 

mendorong investasi.

Kabupaten Bangkalan 

Peluang/Kekuatan - Potensi lahan penyediaan lahan 

yang luas khususnya sebagai lahan industri 

- Aksesibilitas/penyediaan infrastruktur antar Kabupaten/Kota meningkat 

- Aspek Non‐fisik Kebijakan, dan perijinanyang berkonsentrasi pada  pembangunan industri estate yang mengadopsi potensi SDA lokal (local resources based industry), dan karakter masyarkat setempat 

Kemudahan perijinan pada industri dan investor 

Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengendalian kawasan industri dengan zonasi 

Pemberian insentif berupa fasilitas dan utilitas kawasan industri 

- Aspek Fisik  Pembangunan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, pelabuhan/terminal kargo dsb. 

Penyediaan lahan untuk kawasan ekonomi khusus/kawasan berikat 

Kelemahan/Tantangan - Penyediaan fasilitas perkotaan 

cukup rendah - Laju Pertumbuhan penduduk  

yang cukup rendah  - Aktifitas perekonomian yang 

rendah 

Kota Pasuruan 

Peluang/Kekuatan - Tingkat Penyediaan infrastuktur 

perkotaan tinggi - Proporsi penduduk perdesaan 

cukup besar 

- Aspek Non‐fisik Kebijakan, dan perijinanyang berkonsentrasi pada  pembangunan industri yang mengadopsi keunikan lokal, dan karakter masyarkat setempat 

Dokumen tata ruang konsentrasi pada pengendalian konversi lahan pertanian dengan zonasi  

Pemberian insentif  serta disinsentif - Aspek Fisik 

Pembangunan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol dsb.

Kelemahan/Tantangan - Aksesibilitas menurun akibat 

bencana lingkungan lumpur panas 

- Aktifitas perekonomian masih rendah 

Kota Mojokerto 

Peluang/Kekuatan - Mulai berkembang sebagai 

kawasan industri sebagai bentuk perluasan dari Kabupaten Sidoarjo 

- Aspek Non‐fisik Kebijakan berkonsentrasi pada peningkatan infrastruktur 

Kemudahan perijinan pada industri   Dokumen tata ruang konsentrasi penyediaan fasilitas perkotaan. 

Pemberian insentif pada para pengembang dan investor 

- Aspek Fisik  Penyediaan infrastruktur yang mendukung perkembangan kawasan seperti jalan tol, kereta api serta fasilitas dan utilitas perkotaan. 

Kelemahan/Tantangan - Aktifitas perekonomian masih 

rendah - Penyediaan fasilitas perkotaan 

cukup rendah 

Kota Surabaya 

Peluang/Kekuatan - Terjadi pergeseran fungsi sebagai 

kawasan jasa komersial - Aktifitas perekonomian tinggi - Penyediaan infrastruktur dan 

fasilitas perkotaan memadai 

- Aspek Non‐fisik  Kebijakan berkonsentrasi pada pembatasan urbanisasi, konversi lahan pertanian 

Pembatasan perijinan pada industri, penggunaan bercampur (mixed used), pembangunan hypermarket dan alih fungsi lahan. 

Dokumen tata ruang konsentrasi pada perbaikan fasilitas perkotaan dan mengatasi kemacetan.  

Kelemahan/Tantangan- Penurunan kualitas lingkungan 

hidup - Tingkat komuting sangat tinggi 

Kabupaten/ Kota 

Karakter Wilayah  Pola Pengendalian yang diperlukan 

menyebabkan kepadatan di jalan utama pada jam tertentu 

- Penyediaan ruang terbuka kurang 

Disinsentif  pada industri yang polutif. - Aspek Fisik 

Perbaikan infrastruktur yang seperti jalan tol, kereta api serta fasilitas dan utilitas perkotaan. 

Sumber : hasil analisis, 2010  VI. Kesimpulan 

Berdasarkan hasil analisis bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal penting  terkait dengan  penelitian  pola  pengendalian  perkembangan  kawasan  mega‐urbanisasi GERBANGKERTASUSILA  Plus.    Peluang/kekuatan  yang  dimaksud  mencakup  pada  dinamika  yang potensial untuk dikembangkan antara  lain  laju kependudukan, aktifitas  sosial‐ekonomi yang mulai berkembang, serta kondisi fisik yang homogen. Di sisi lain, kelemahan/tantangan yang menghambat terkait  dengan  pola  penyebaran  kependudukan,  infrastruktur,  pusat  pertumbuhan  dan  pola pergerakan yang masih terpusat ke Kota Surabaya.  

Berdasarkan  kesepakatan  dari  para  stakeholder  didapatkan  bahwa  dalam  pola pengendalian perkembangan kawasan mega‐urbanisasi diperlukan adanya 2 (dua) pendekatan yaitu secara non‐fisik dan fisik. Secara non‐fisik diperlukan adanya: 

Kebijakan  yang  lintas  sektoral,  ramah  lingkungan  dan menyeimbangkan  kepentingan  antara swasta, pemerintah dan masyarakat. 

Proses  perencanaan  yang  bersifat  public  domain,  Prescription  dan  memeperhatikan  aspek spasial dan a‐spasial. 

Tata  ruang  yang  terintegrasi  secara  vertikal,  berkenaan  dengan  lingkungan  hidup  dan berkelanjutan serta berorientasi masa depan. 

Proses perijinan yang efektif, efisien dan equity.  Diperlukan insentif dan disinsentif. 

Sedangkan secara Fisik diperlukan adanya :  Dukungan prasarana  yang  terhubung  antar Kabupaten/Kota, Mass Rapid  System dan  fasilitas lain yang lintas Kabupaten/Kota. 

Terdapat  Investasi development generator yaitu pembangunan  infrastruktur dan  fasilitas skala regional. 

 VII. Daftar Pustaka [1]. Badan Perencanaan Pembangunan Propinsi Jawa Timur (2005), Rencana Tata Ruang Wilayah 

Propinsi Jawa Timur, Bappeda Propinsi Jawa Timur, Surabaya [2]. Badan Perencanaan Pembangunan Propinsi Jawa Timur (2005), Executive Summary Peraturan 

Daerah  Rencana  Tata  Ruang Wilayah  Propinsi  Jawa  Timur,  Bappeda  Propinsi  Jawa  Timur, Surabaya 

[3]. Badan Pusat Statistik (1971), Sensus Penduduk tahun 1971, BPS, Jakarta [4]. Badan Pusat Statistik (1980), Sensus Penduduk tahun 1980, BPS, Jakarta [5]. Badan Pusat Statistik (1990), Sensus Penduduk tahun 1990, BPS, Jakarta [6]. Badan Pusat Statistik (1995), Survey Penduduk antar Sensus tahun 1995, BPS, Jakarta [7]. Badan Pusat Statistik (2000), Sensus Penduduk tahun 2000, BPS, Jakarta [8]. Badan Pusat Statistik (2005), Survey Penduduk antar Sensus tahun 2005, BPS, Jakarta [9]. Dharmapatni, Ida Ayu Indira. (1997), Fenomena Mega Urban dan Tantangan Pengelolaannya, 

Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Gramedia, Jakarta [10]. Dinas  Pekerjaan  Umum  Tata  Ruang  Propinsi  Jawa  Timur  (2007),  Studi  Penelitian  dan 

Penyiapan  Rencana  Tata  Ruang  Wilayah  GKS  Plus,  Kerjasama  Swakelola  antara    Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Propinsi Jawa Timur dan  Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 

[11]. Dinas  Perhubungan  dan  DLLAJ  Propinsi  Jawa  Timur  (2009),  Panjang  dan  Kelas  Jalan  2006, Dishub, Surabaya 

[12]. Firman,  T.  (2008),  The  Patterns  Of  Indonesia’s  Urbanization  1980‐2007,  Jurnal  Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung, Bandung 

[13]. Glasson,  John.  (1997)    An  introduction  to  regional  planning  concepts,  theory  and  practice second edition, Hutchinson, Melbourne 

[14]. Lauqian, Aprodico A. (2004), The Sustainability of Mega‐Urban Regions in Asia and The Pacific, Keynote  address  at  the  19th  EAROPH World  Planning  and  Housing  Congress, Melbourne, Australia,  19‐22  September  2004,  University  of  British  Columbia,  Vancouver,  B.C.,  Canada, download dari www.mams.rmit.edu.au tanggal 7 Januari 2008. 

[15]. McGee, Terrance Gary, Ginsburg, Norton dan Kopple, Bruce. (1991), The Extended Metropolis Settlement Transition in Asia, University of Hawaii Press, USA 

[16]. Nas, Peter  J.M.,  (2003),  Ecumenopolis  in Asia, Artikel download dari www.fsw.leidenuniv.nl tanggal 23 maret 2006. 

[17]. Narayan,  Deepa,  dan  McCraken,  Jennifer  Rietbergen,  (1995),  Participation  And  Social Assessment Tools And Techniques, Social Department, London  

[18]. Pain,  Kathy,  dan  Hall,  Peter.  (2006),  The  Polycentric Metropolis  Learning  from Mega  City Regions in Europe, Earth scan, London‐UK. 

[19]. Sackman, Harold. (1975), Dephi Critique, Health and Company, Lexington MA D.C [20]. Sekretaris Negara. (2007), Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang 

Penataan Ruang, Presiden Republik Indonesia, Jakarta [21]. Silas,  Johan.  (2002),  Mega  Urbanization:  new  town  and  city  setting,  paper  yang 

dipresentasikan  pada Mega Urbanization  seminar  at University  of  Leiden,  12‐15 Desember 2002, Laboratorium perumahan dan lingkungan, ITS Surabaya 

[22]. Silas, Johan (2003), Greater Surabaya: The Formation of a Planning Region,  IIAS News Letter 31, Juli 2003, artikel mega‐urbanisasi download dari www.iias.nl  

[23]. Soegijoko,  Sugijanto.  (1997),  Ruang  Lingkup  dan  Peranan  Regional  Planning,  Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Gramedia, Jakarta 

[24]. Tjahjati, Budhy.  (1997), Perencanaan Regional dan Pembangunan Kawasan Terpadu, Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Gramedia, Jakarta 

[25]. Trochim, William M.  K.  dan  Kristin M.  Jackson.  (2002),  Concept Mapping  as  an Alternative Approach for the Analysis of Open‐Ended Survey Responses, Organizational Research Methods, Vol. 5 No. 4, October 2002 307‐336, Cornell University, Sage Publications, New York