45
DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 09 KAJIAN SEKTOR KESEHATAN PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN

PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

  • Upload
    others

  • View
    25

  • Download
    7

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKATKEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

0 9

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN

Page 2: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN© 2019 by Kementerian PPN/Bappenas

PengarahDr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc

PenulisDr. Widyastuti Wibisana, dr. MPH.

Reviewer dan EditorInti Wikanestri, SKM, MPAM. Dzulfikar Arifi, SKMRenova Glorya Montesori Siahaan, SE, MScPungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhDProf. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH.

Foto: UNICEF Indonesia

Diterbitkan dan dicetak oleh Direktorat Kesehatan dan Gizi MasyarakatKedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603Email: [email protected]

Cetakan pertama: April 2019ISBN: 978-623-93153-6-8

Hak Penerbitan @ Kementerian PPN/Bappenas Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm dan sebagainya.

PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKATKEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN

Page 3: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

Kajian Sektor Kesehatan • viv • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

KATA PENGANTAR

Indonesia menganut sistem pelayanan kesehatan berjenjang, yaitu pelayanan tingkat pertama atau primer, tingkat kedua atau sekunder, dan tingkat ketiga atau tersier. Di setiap tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta. Pemerintah terus mendorong penguatan pelayanan kesehatan baik dari segi fasilitas pelayanan kesehatan (infrastruktur) maupun segi Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan. Namun demikian, masih ditemukan permasalahan ketidakcukupan dan distribusi baik dari sisi fasyakes maupun SDM kesehatan, sehingga mempengaruhi kualitas dan mutu pelayanan.

Mengingat Indonesia memiliki letak geografis yang luas dan bervariasi, maka pada wilayah DTPK diberikan intervensi khusus di bidang kesehatan. Dalam upaya memenuhi agar semua penduduk terlindungi dari kemiskinan akibat kesakitan, dan mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak maka telah diluncurkan program JKN di tahun 2014. Program ini bersifat mandatori bagi seluruh masyarakat Indonesia. Untuk mendukung program tersebut, pihak swasta diberikan ruang besar untuk turut berpatisipasi. Salah satu strategi untuk memperkuat peran swasta, pemerintah telah mengembangkan pola Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KBPU) agar pihak swasta semakin banyak terlibat dalam upaya pelayanan kesehatan.

Kajian ini me-review perkembangan semua komponen yang ada upaya kesehatan masyarakat dalam lima tahun terakhir. Review dilakukan mulai dari analisis situasi dari upaya pelayanan kesehatan, tantangan yang dihadapi, isu strategis, arah kebijakan pembangunan kesehatan dan usulan strategi yang direkomendasikan dari hasil kajian ini. Hasil kajian ini diharapkan bisa menjadi masukan untuk penyusunan bahan background study dan penyusunan rencana strategi pembangunan bidang kesehatan dalam RPJMN 2020-2024.

Semoga kajian ini dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan kesehatan di Indonesia.

Jakarta, April 2019

Subandi Sardjoko

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas

Page 4: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

Kajian Sektor Kesehatan • vii

DAfTAR ISI

Kata Pengantar iv

Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Singkatan xii

Ringkasan Eksekutif xiv

1. PENDAHULUAN 1

2. ANALISIS SITUASI 5

2.1. Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) 6

2.2. Situasi Pelayanan Kesehatan Dasar 7

2.2.1. Kondisi Layanan Kesehatan Tingkat Pertama/Primer 8

2.2.2. Kondisi Pelayanan Kesehatan Primer: SDM, Obat & Vaksin, Alkes 14

2.2.3. Akses untuk DTPK terutama Kawasan Indonesia Timur (KTI) 15

2.2.4. Kualitas Mutu Layanan 16

2.2.5. Utilization Review 19

2.2.6. PPK-BLUD di Fasyankes Primer 20

2.2.7. Fasyankes Primer sebagai Gatekeeper 21

2.3. Sistem Pelayanan Rujukan 22

2.3.1. Situasi dan Perkembangan Rumah Sakit Rujukan Regional 23

2.3.2. Rujuk Balik 26

2.3.3. Kondisi Layanan Tingkat Sekunder dan Tersier 27

2.3.4. Situasi Perkembangan Rumah Sakit Swasta Saat Ini 31

2.3.5. Tinjauan Rumah Sakit Khusus 32

2.3.6. Pengembangan Rumah Sakit melalui Mekanisme Kemitraan Swasta Publik (PPP) 33

2.3.7. Kualitas Mutu Layanan 34

2.3.8. Utilization Review 35

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN Penghargaan dan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Republik Indonesia yang telah memberikan akses bagi pemanfaatan berbagai data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018, SDKI 2017, Riset Tenaga Kesehatan (RISNAKES) 2017, serta kajian Burden of Disease yang telah dan sedang dilakukan bersama IHME. Terima kasih juga disampaikan kepada Badan Pusat Statistik pada pemberian data SUPAS 2015 dan data terkait lainnya, termasuk masukan teknis untuk laporan. Apresiasi yang tinggi kami berikan kepada Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat (KGM) Bappenas, Inti Wikanestri, SKM, MPA, M. Dzulfikar Arifi, SKM, dan tim lainnya yang telah memberikan input untuk perbaikan tulisan, tim penulis dan Sekretariat Health Sector Review (HSR) 2018, UNICEF, Frances Ng, dan juga para pakar dan narasumber yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Kajian ini disusun oleh sebuah tim Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) di bawah bimbingan Dr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan - Bappenas) dengan arahan teknis dari Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD (Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat - Bappenas). Adapun koordinator teknis pelaksanaan HSR 2018 adalah Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas) didukung oleh Prof. dr. Ascobat Gani sebagai team leader HSR 2018.

Kajian yang dilakukan pada tahun 2018 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas ini mendapatkan dukungan dari kementerian/Lembaga terkait, serta dukungan dari UNICEF and DFAT, beserta beberapa mitra pembangunan lain seperti WHO, ADB, World Bank, USAID, UNFPA, WFP, FAO, JICA, UNDP, GIZ, dan Nutrition International. Proses edit dan cetak laporan kajian ini didukung oleh UNICEF Indonesia.

Kajian sektor kesehatan dilakukan secara paralel untuk 10 topik meliputi:

1 Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

2 Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

3 Kesehatan Reproduksi, Ibu, Neonatal, Anak dan Remaja

4 Pembangunan Gizi di Indonesia

5 Sumber Daya Manusia Kesehatan

6 Penyediaan Obat, Vaksin, dan Alat Kesehatan

7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan

8 Pembiayaan Kesehatan dan JKN

9 Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

10 Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

vi • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Page 5: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

Kajian Sektor Kesehatan • ixviii • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

DAfTAR TABEL

Tabel 1 Perbandingan Jumlah UKBM di Indonesia, Tahun 2009 dengan 2017 6

Tabel 2 Peningkatan Jumlah puskesmas Rawat Inap dan Nonrawat Inap, 2013-2017 9

Tabel 3 Persentase puskesmas dengan Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial menurut item Obat, Triwulan IV, 2017 11

Tabel 4 Utilisasi Rawat Jalan dan Rawat Inap Sebelum dan Sesudah JKN, 2012-2015 19

2.3.9. PPK-BLUD Rumah Sakit 36

2.4. Tata Kelola Dinas Kesehatan dan Fasyankes 37

2.5. Teknologi Informasi di Layanan Kesehatan 38

2.5.1. Sistem Informasi Kesehatan yang Belum Adekuat 39

3. TANTANGAN DAN ISU STrATEGIS 43

3.1. Tantangan 44

3.1.1. Adanya Transisi Epidemiologi dan Transisi Demografi Menuntut Pelayanan Kesehatan yang Lebih Komprehensif 44

3.1.2. Pertumbuhan Penduduk Menuntut Penambahan Fasyankes 44

3.1.3. Tuntutan dari Komitmen Global terkait SDGs 44

3.1.4. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 45

3.1.5. Desentralisasi: Perhatian untuk Penyempurnaan Regulasi 46

3.2. Isu Strategis 46

3.2.1. Rendahnya Keterlibatan Aktif Masyarakat dalam UKBM 46

3.2.2. Menurunnya Program UKS yang Berbasiskan Sekolah/PAUD 47

3.2.3. Menurunnya Leadership puskesmas tentang Peran dan Tanggungjawab puskesmas sebagai Pembina Wilayah di Tingkat Kecamatan 47

3.2.4. Supply Side Readiness dalam Fasyankes Primer, Sekunder, Tersier Masih Tidak Merata antar Wilayah. 47

3.2.5. Pertumbuhan Faskes belum diiringi SDM yang Berimplikasi terhadap Kualitas Pelayanan 48

3.2.6. Sistem Rujukan yang Perlu Diperkuat 48

3.2.7. Kualitas Layanan Fasyankes Perlu Ditingkatkan 49

4. ArAH KEBIjAKAN DAN STrATEGI 51

4.1. Penguatan dan Penataan Ulang Program UKBM 52

4.2. Percepatan dan Penguatan Fasyankes 53

4.3. Penguatan Tata Kelola Manajemen Kesehatan & Teknologi Digital 56

referensi 58

Lampiran 63

Page 6: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

Kajian Sektor Kesehatan • xix • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

DAfTAR GAMBAR

Gambar 1 Kecenderungan Pertumbuhan Jumlah Fasyankes Primer, 2014-2018 8

Gambar 2 Persentase puskesmas dengan Kecukupan Tenaga Kesehatan, 2017 10

Gambar 3 Ketersediaan Fasilitas Dasar di puskesmas di Indonesia 12

Gambar 4 Kondisi Kesiapan Pelayanan di Tingkat Fasyankes Primer, 2011 dan 2016 13

Gambar 5 Capaian Kumulatif puskesmas Terakreditasi dan Persentasenya per Provinsi, 2017 17

Gambar 6 Distribusi puskesmas Belum Terakreditasi di Kawasan Barat & Timur Indonesia 2017 18

Gambar 7 Kecenderungan Angka Utilisasi Rawat Jalan dan Rawat Inap, 2014-2017 20

Gambar 8 Tata Kelola Rujukan 22

Gambar 9 Gambaran Ketersediaan Sarana, Prasarana, dan Alkes pada Rumah Sakit Rujukan 23

Gambar 10 Lokasi Pusat Unggulan Kawasan Wisata Medik 25

Gambar 11 Perkembangan Jumlah Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, 2012-2018 27

Gambar 12 Perkembangan Rumah Sakit yang Tergabung dengan BPJS Kesehatan, 2014-2018 28

Gambar 13 Rata-Rata Persen Perubahan per Tahun pada Pendapatan Kotor (2011-2016) 31

Gambar 14 Jumlah Rumah Sakit Khusus menurut Kepemilikan dari Tahun 2012 sampai 2017 32

Gambar 15 Kerangka Pengembangan E-Kesehatan 38

Page 7: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

xii • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

DAfTAR SINGKATAN

ANC Antenatal ASI Air Susu IbuASPAK Aplikasi Sarana dan Prasarana Alat Kesehatan BKPM Badan Koordinasi Penanaman ModalBLUD Badan Layanan Umum Daerah BMHP Bahan Medis Habis PakaiBOK Biaya Operasional Kesehatan BPjS-K Badan Penyelenggara Jaminan Sosial KesehatanCDr Crude Death RateCPr Contraceptive Prevalence Rate DAK NF Dana Alokasi Khusus Non Fisik DNI Daftar Negatif Investasi DPT Difteri, Pertusis, dan TetanusDTPK Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan Terluar DTPK Daerah Tertinggal, Kepulauan, dan Terpencil EPHF Essential Public Health FunctionsFasyankes Fasilitas Pelayanan KesehatanFornas Formularium Nasional Germas Gerakan Masyarakat Hidup SehatGF ATM Global Fund AIDS, TB, Malaria IHIS Integrated Health Information SystemjKN Jaminan Kesehatan Nasional jKN-KIS Jaminan Kesehatan Nasional Keluarga Indonesia SehatjMD Juru Malaria DesaKArS Komisi Akreditasi Rumah sakit KB Keluarga BerencanaKBK Kapitasi Berbasis Komitmen KBPU Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha KIA Kesehatan Ibu Dan Anak KKI Konsil Kedokteran Indonesia KTI Kawasan Timur Indonesia LTD Lembaga Teknis Daerah MBS Mass Blood SurveyMEA Masyarakat Ekonomi Asean NS Nusantara SehatNSPK Norma, Standar, Prosedur, Kegiatan OAM Obat Anti Malaria Pemda Pemerintah Daerah PHC Primary Health Care PIS-PK Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga

Kajian Sektor Kesehatan • xiii

PP Peraturan Pemerintah PPK-BLUD Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah PTM Penyakit Tidak Menular rITL Rawat Inap Tingkat Lanjutan rITP Rawat Inap Tingkat PertamarjTL Rawat Jalan Tingkat Lanjutan rjTP Rawat Jalan Tingkat Pertama rKO Rencana Kebutuhan Obat rS Rumah Sakit rSD Rumah Sakit Daerah (RSD) rSUD Rumah Sakit Umum Daerah SDG Sustainable Development Goals SDM Sumber Daya Manusia SIK Sistem Informasi Kesehatan SIKDA Sistem Informasi Kesehatan Daerah SIKNAS Sistem Informasi Kesehatan Nasional SIMDA Sistem Informasi DaerahSIMPUS Sistem Informasi Puskesmas SIMrS Sistem Informasi Rumah Sakit SIP Sistem Informasi Puskesmas SjSN Sistem Jaminan Kesehatan Nasional SKN Sistem Kesehatan NasionalSKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah SPM Standar Pelayanan MinimalTB TuberkulosisTIK Teknologi Informasi Dan Komunikasi TP Tugas Pembantuan TT Tempat Tidur UHC Universal Health Coverage UKBM Upaya Kesehatan Berbasis MasyarakatUKM Upaya Kesehatan MasyarakatUKP Upaya Kesehatan PeroranganUKS Usaha Kesehatan Sekolah UPT Unit Pelaksana TeknisUPTD Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah USAID United States Agency for International DevelopmentUU Undang-Undang WKDS Wajib Kerja Dokter Spesialis

Page 8: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

RINGKASAN EKSEKUTIf

1. Analisis Situasi

1.1. Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM)Program UKBM masih menghadapi kendala dalam percepatannya salah satunya karena pembinaan dari puskesmas rendah. Salah satu jenis UKBM yang telah lama dikembangkan dan mengakar di masyarakat adalah posyandu, namun kurang mendapat pembinaan serius dari puskesmas. Meskipun dalam delapan tahun terakhir jumlah posyandu yang dilaporkan meningkat 9 persen, dari 266 ribu (2009) menjadi 294 ribu (2017), namun hanya kurang lebih 50 persen posyandu yang masih aktif1 melakukan kegiatannya sampai saat ini (Kemenkes, 2018). Demikian pula, jumlah kader juga meningkat dari 58 ribu orang (2009) menjadi 569 ribu orang di 2014.

1.2. Situasi Pelayanan Kesehatan DasarKetersediaan dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan primer masih belum merata antar daerah meskipun jumlah fasyankes yang dibangun setiap tahunnya mengalami peningkatan baik oleh pemerintah maupun swasta. Sementara itu, ketersediaan SDM kesehatan puskesmas masih belum mencukupi dan standar jenis petugas minimal puskesmas masih belum terpenuhi. Ketersediaan SDM kesehatan terbatas salah satunya karena kebijakan moratorium tenaga kesehatan. Selain itu, ketersediaan obat dan vaksin esensial di puskesmas masih belum mencukupi yang mengakibatkan pasien tidak bisa diobati secara cepat sehingga berpotensi terjadinya epidemi penyakit. Demikian pula, ketersediaan sarana & prasarana penunjang yang masih bervariasi antar fasyankes. Sedangkan alat Kesehatan masih belum terpenuhi secara lengkap di fasyankes primer. Semua hal tersebut berpengaruh terhadap kualitas dan mutu layanan.

Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi ketimpangan pembangunan, Indonesia melakukan percepatan pembangunan pada daerah tertinggal, kepulauan, dan terpencil (DTPK). Intervensi khusus telah dilakukan melalui berbagai program seperti Nusantara Sehat dan WKDS untuk mengisi SDM kesehatan. Sedangkan DAK-Afirmasi dilakukan untuk pembangunan infrastruktur puskesmas dan rumah sakit.

Untuk menjaga mutu kualitas layanan, dilakukan akreditasi dan kredensialing di fasyankes primer. Saat ini puskesmas yang telah melaksanakan akreditasi puskesmas belum mencapai 50 persen dan hanya < 5 persen puskesmas yang mencapai status akreditasi paripurna. Ini mengindikasikan bahwa kualitas puskesmas masih jauh dari harapan ideal. Kredensialing pada fasyankes primer juga masih banyak yang belum memenuhi standar, karena salah satu syaratnya akreditasi. Kredensialing memainkan peran kunci untuk menentukkan jumlah dan sebaran fasyankes yang akan bekerjasama dengan BPJS agar lebih merata. Posisi fasyankes primer amat penting sebagai gatekeeper, karena merupakan kontak pertama kasus dengan layanan tenaga profesional kesehatan.

1 Posyandu aktif adalah posyandu yang mampu melaksanakan kegiatan utamanya secara rutin setiap bulan (KIA: ibu hamil, ibu nifas, bayi, balita, KB, imunisasi, gizi, pencegahan dan penanggulangan diare) dengan cakupan masing-masing minimal 50 persen dan melakukan kegiatan tambahan.

Dukungan dana BOK cenderung meningkat setiap tahunnya namun realisasinya cenderung turun dari tahun 2013. Salah satu kendala teknis adalah keterlambatan penerbitan petunjuk teknis. Puskesmas sering lebih terkonsentrasi pada pemanfaatan dana kapitasi dibandingkan anggaran BOK.

Dalam upaya mendorong pengelolaan keuangan yang mandiri, maka puskesmas didorong berbentuk PPK-BLUD. Namun, dalam implementasinya PPK-BLUD belum dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pertama, pola pengelolaan keuangan (PPK-BLUD) belum mencerminkan fleksibilitas pengelolaan keuangan sesuai konsep BLUD. Kedua, puskesmas belum mampu mengatasi kendala utama yang terkait pada kesiapan BLUD yaitu masalah sumber daya manusia dan sistem akuntansi keuangan.

1.3. Sistem Pelayanan rujukanSistem rujukan menganut sistem berjenjang dari layanan primer ke layanan sekunder dan tersier dan dalam kondisi gawat darurat bisa langsung ke jenjang layanan tertinggi. Rumah sakit rujukan provinsi menjadi pengampu bagi 4 rumah sakit regional di setiap provinsi. Saat ini ada sekitar 110 rumah sakit rujukan regional, 20 rumah sakit rujukan provinsi, dan 14 rumah sakit rujukan pusat. Sistem rujukan saat ini belum berjalan optimal karena keterbatasan sarana prasarana, kompetensi SDMK bervariasi, ketimpangan jumlah, mutu layanan belum standar, dan akses ke layanan.

Kondisi sarana dan prasarana pada rumah sakit rujukan lebih baik dibandingkan rumah sakit non-rujukan. Pada rujukan horizontal sebagian besar rumah sakit dengan kelas tertentu diarahkan ke rumah sakit dengan kritera kelas yang sama. Sedangkan pada rujukan vertikal, klinik swasta mampu memberikan pelayanan yang lebih efisien dibandingkan puskesmas yang ditunjukkan oleh angka rujukan yang lebih rendah. Rujukan dari semua jenis fasyanes primer cenderung diarahkan kepada rumah sakit kelas C/D dan kelas B.

Sementara itu sistem rujukan berjenjang berbasis kompetensi masih terkendala geografis, jarak, transportasi, dan pendanaan. Pada pertengahan tahun 2018, BPJS Kesehatan melakukan ujicoba sistem rujukan online berbasis kompetensi untuk memperbaiki sistem rujukan. Program rujuk balik masih perlu perbaikan dalam manajemen pengelolaan program dan perlu perbaikan cara komunikasi antara fasyankes primer dan fasyankes tingkat lanjut. BPJS juga membuat program rujuk balik untuk program Prolanis yang bertujuan mendorong peserta penyandang penyakit kronis mencapai kualitas hidup optimal.

1.4. Kondisi Layanan Tingkat Sekunder dan TersierJumlah dan distribusi fasyankes sekunder dan tersier terus meningkat. Pertumbuhan rumah sakit yang paling besar ada di Pulau Jawa, sedangkan yang tidak banyak bertumbuh di wilayah Indonesia tengah (Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Kaltara) dan timur (NTT, Maluku, Malut, Papua Barat, Papua). Pertumbuhan rumah sakit khusus swasta lebih tinggi dibandingkan rumah sakit pemerintah, namun jumlah tempat tidur di rumah sakit pemerintah lebih tinggi. Jumlah rasio tempat tidur terhadap 1.000 penduduk di Indonesia telah memadai namun di tingkat provinsi masih ada delapan provinsi dengan rasio tempat tidur yang masih belum mencapai rasio ideal. Pada periode 2014-2017, utilisasi rawat jalan meningkat hampir 3 kali lipat dan rawat inap 2 kali lipat. Tren kenaikan utilisasi diperkirakan akan terus berlanjut. Untuk itu, diperlukan

Kajian Sektor Kesehatan • xvxiv • Sumber Daya Manusia Kesehatan

Page 9: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

penambahan jumlah dan distribusi rumah sakit baru. Selain itu, dari aspek sarana prasarana pengelolaan limbah medis mayoritas rumah sakit yang sesuai standar masih rendah. Total SDM kesehatan di rumah sakit pada tahun 2017 adalah 665.826 orang yang terdiri dari 69% tenaga kesehatan dan 31% tenaga penunjang kesehatan. Tenaga kesehatan terbanyak adalah perawat, sedangkan di antara dokter spesialis yang terbanyak adalah dokter spesialis obstetri dan ginekologi. Utilisasi layanan di tingkat rumah sakit cenderung meningkat setiap tahunnya pada semua tingkat layanan.

Jumlah rumah sakit yang telah tergabung dengan JKN sekitar 86%, dengan kepesertaan rumah sakit swasta sebesar 62%. Pendapatan rata-rata tahunan dan kisaran rata-rata pengeluaran pada rumas sakit yang dikontrak BPJSK lebih tinggi. Komposisi total pendapatan bergeser secara signifikan dari pembayaran langsung (out-of-pocket) ke asuransi di rumah sakit yang dikontrak BPJS. Sementara itu, proporsi pengeluaran biaya farmasi menurun di rumah sakit yang dikontrak BPJS-K yang disebabkan tingkat penggunaan obat generik. Secara umum, keuntungan terus meningkat sejak 2011 untuk rumah sakit yang dikontrak BPJS-K, sementara rumah sakit yang belum dikontrak BPJS-K mengalami pertumbuhan yang lebih lambat.

Pertumbuhan jumlah RS swasta lebih tinggi dibandingkan RS pemerintah dan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sementara itu, di wilayah Indonesia Timur justru cenderung menurun pertumbuhannya. Jumlah rumah sakit yang dimiliki oleh organisasi not profit semakin berkurang.

Jumlah rumah sakit yang menerapkan PPK-BLUD belum terlalu banyak. Berdasarkan hasil evalusi, rumah sakit yang berstatus PPK-BLUD ternyata belum sepenuhnya sesuai standar Permendagri 61/2007. Ada dua faktor yang menyebabkan kegagalan PPK-BLUD, yaitu faktor internal karena SOP keuangan masih terlalu rigid sehingga RSUD belum bisa sepenuhnya memanfaatkan fleksibilitas pengelolaan keuangan BLUD. Faktor eksternal karena SIMDA belum bisa memfasilitasi kebutuhan perencanaan BLUD (RBA) dan Peraturan Kepala Daerah yang masih rigid khususnya dalam masalah jenjang nilai pengadaan.

1.5. Tata kelola Dinas Kesehatan dan FasyankesTata kelola perangkat daerah bidang kesehatan di lingkungan pemerintah daerah masih perlu disinkronkan karena belum selarasnya UU pemerintah daerah dan UU rumah sakit. Berdasarkan UU pemerintah daerah, Rumah Sakit Daerah yang semula sebagai sebuah lembaga di bawah Bupati/Walikota langsung berubah menjadi sebuah unit di bawah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sedangkan menurut UU Rumah Sakit, kedudukan Rumah Sakit Daerah (RSD) adalah sebagai Lembaga Teknis Daerah (LTD) yang dipimpin oleh seorang direktur dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.

1.6 . Teknologi Informasi di Layanan KesehatanSistem informasi kesehatan saat ini masih fragmented dengan berbagai aplikasi dari tiap unit/program, seperti Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA), SIMPUS untuk puskesmas dan SIMRS untuk rumah sakit. Keberagaman sistem informasi tersebut memerlukan inter-operabilitas antar-sistem. Ke depan akan semakin berkembang pelayanan kesehatan berbasis teknologi digital yang mengubah paradigma pelayanan kesehatan dari “Fasyankes Sentris” menuju ke “Pasien Sentris”, dan lebih mendekatkan ke masyarakat. Telemedicine yang telah berkembang pesat di berbagai daerah, seperti di DI Yogyakarta dan Makassar memerlukan regulasi lebih lanjut seperti pemberian lisensi, akreditasi, privasi dan kerahasiaan catatan medis elektornik pasien, SOP, tanggung gugat bila terjadi malpraktek, dan kewenangan yurisdiksi.

2. Tantangan dan Isu Strategi

2.1. TantanganTransisi epidemiologi dan transisi demografi menuntut pelayanan kesehatan yang lebih komprehensif. Transisi demografi dan transisi epidemiologi ditambah perkembangan ekonomi mengakibatkan Indonesia menghadapi tiga beban ganda. Pertama, Indonesia masih menghadapi tingginya angka kesakitan penyakit menular, seperti TB, DBD, Diare, malaria, dsb. Beban kedua, meningkatnya angka kematian penyakit tidak menular seperti, hipertensi, diabetes mellitus, cardiovaskuler, dan kanker. Beban ketiga, munculnya penyakit baru (new emerging disease), seperti HIV/AIDS, SAR, Avian Influenza, H1N1. Penyakit ini disebabkan oleh virus lama yang bermutasi sehingga tubuh manusia tidak mengenalinya dengan cepat.

Pertumbuhan penduduk menuntut penambahan fasyankes. Jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat dari 238 juta orang di tahun 2010 menjadi 305 juta orang di tahun 2035 (BPS, 2010). Dengan semakin meningkatnya populasi penduduk maka diperlukan tambahan fasilitas pelayanan kesehatan dan penguatan JKN untuk mendorong masyarakat lebih sadar kesehatan.

Tuntutan dari komitmen global terkait SDGs. Dalam rangka mencapai target SDGs, maka perlu dukungan dan komitmen pemerintah yang kuat untuk pemenuhan infrastruktur kesehatan dan sumber daya kesehatan yang cukup dan berkualitas agar mencapai target SDGs yang disepakati.

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) mendorong investasi kesehatan asing semakin meningkat. Pada tahun 2015 telah dibentuk pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara yang dikenal dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). MEA merupakan kesepakatan negara-negara anggota ASEAN dalam membentuk suatu kawasan perdagangan bebas di mana terdapat aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih bebas. Akibat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN, Industri Kesehatan termasuk indutri farmasi akan berhadapan langsung untuk bersaing dengan Industri Kesehatan dan Farmasi dari negara lain yang bebas masuk ke dalam negeri. Di era MEA, arus uang masuk ke Indonesia meningkat lima kali lipat, dari US$ 3,9 miliar pada 2016 menjadi US$ 23,1 miliar di tahun 2017. Sementara itu, investasi ASEAN ke Indonesia naik 20 persen menjadi US$ 11,9 miliar pada tahun 2017 (Asean, 2018). Investor asing makin gencar membidik peluang investasi di sektor industri rumah sakit. Minat investor asing ke industri rumah sakit meningkat pesat sejak 2016. Dalam DNI sebelumnya, investasi asing di rumah sakit dibatasi untuk rumah sakit spesialis, tetapi saat ini diperbolehkan berinvestasi di rumah sakit umum.

Desentralisasi: masih perlu keseriusan dalam penyelesaian turunan regulasi dan aturan mainnya. Merujuk pada UU No. 23 Tahun 2014, urusan pemerintahan terbagi menjadi 3 bagian yaitu urusan absolut, urusan pemerintahan umum, dan urusan konkuren. Bidang kesehatan termasuk urusan konkuren yang bersifat wajib, dan termasuk pelayanan dasar. Kewenangan pemerintah pusat ada 2 amanah yang harus dibuat dan ditetapkan yaitu Norma, Standar, Prosedur, Kegiatan (NSPK) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Kedua amanah tersebut belum dituntaskan semua.

Kajian Sektor Kesehatan • xviixvi • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Page 10: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2.2. Isu Strategisrendahnya keterlibatan aktif masyarakat dalam UKBM. Indikasi ini terlihat dari makin berkurangnya jumlah posyandu aktif dan kader kesehatan dari tahun ke tahun. Akibat dari penurunan tersebut menyebabkan kegiatan penjangkauan luar gedung puskesmas menjadi tidak optimal sehingga menyebabkan kinerja program UKM menurun.

Menurunnya program UKS yang berbasiskan sekolah. Ujung tombak upaya penanganan program kesehatan di sekolah dilakukan oleh puskesmas dikenal dengan istilah upaya kesehatan sekolah (UKS). Aktivitas UKS sebagai instrumen dalam edukasi hidup sehat sejak dini dan penjaringan kesehatan siswa sekolah saat ini cenderung menurun intensitasnya. Keterlibatan lintas KL belum optimal sehingga aktivitas UKS cenderung menunggu dari sektor kesehatan serta melalui puskesmas di setiap wilayahnya. Optimalisasi UKS diyakini dapat menjadi sarana dalam peningkatan keterlibatan masyarakat dalam peningkatan hidup sehat termasuk sektor pendidikan yang menjadi sasaran intervensinya.

Menurunnya leadership Puskesmas tentang peran dan tanggungjawab Puskesmas sebagai pembina wilayah di tingkat kecamatan. Salah satu peran puskesmas adalah sebagai pembina kesehatan wilayah. Peran pembinaan oleh puskesmas masih terkendala pada jumlah posyandu dan kader aktif hyang menurun. Di sisi lain, banyak puskesmas lebih memperhatikan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) sehingga program UKM terpinggirkan dan cenderung menjadi klinik pengobatan.

Supply side readiness dalam fasyankes primer, sekunder, tersier masih tidak merata antar wilayah. Walaupun terjadi kenaikan jumlah fasyankes setiap tahunnya namun ketidakcukupan jumlah dan distribusi fasyankes yang tidak merata masih terjadi. Ketidaksiapan sisi suplai mengakibatkan terjadinya ketimpangan akses pelayanan kesehatan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta DTPK.

Pertumbuhan faskes belum diiringi peningkatan SDM yang berimplikasi terhadap kualitas pelayanan. Pemerintah berupaya menambah jumlah fasyankes setiap tahun dengan melibatkan peran swasta namun belum diiringi dengan peningkatan jumlah SDM kesehatan. Salah satunya karena ada aturan moratorium tenaga kesehatan dan produksi tenaga kesehatan. Selain SDM kesehatan yang masih kurang, maldistribusi tenaga kesehatan juga menjadi tantangan dengan semakin meningkatnya jumlah tenaga kesehatan di perkotaan.

Sistem rujukan perlu diperkuat. Sistem rujukan belum berjalan optimal, karena 1) fasyankes primer banyak merujuk ke fasyankes sekunder dan tersier karena ketidakmampuan melakukan penanganan pada 144 kasus; 2) Ketidaktahuan masyarakat sehingga memaksa fasyakes primer untuk merujuk ke fasyankes yang lebih tinggi; 3) Ketidaktahuan kapasitas antar fasyankes menyebabkan seringkali antar mereka saling merujuk. Upaya penguatan fasyankes dilakukan secara berjenjang dengan mengembangkan konsep tata kelola rujukan regionalisasi. Namun demikian, isu kualitas antar fasyankes dan distribusi fasyankes yang tidak merata menyebabkan sistem rujukan yang telah dibangun belum berjalan optimal.

Kualitas layanan fasyankes perlu ditingkatkan. Kualitas layanan dapat diukur dengan beberapa perpektif, yaitu pasien dan provider. Dari sisi pasien dapat dilihat pada tingkat kepuasan pasien, sedangkan dari sisi provider dapat dilihat dari kualitas dan kapasitas SDM kesehatan, sarana & prasarana, ketersediaan obat dan vaksin, dan sebagainya. Tingkat kepuasan pasien yang

telah mengakses layanan kesehatan pada pasien BPJS masih belum mencapai target. Dari sisi provider, beberapa hal yang masih menjadi tantangan adalah: 1) belum semua fasyankes primer dan lanjut dapat terpenuhi sarana dan prasarana penunjangnya untuk kelancaranan pelayanan dan operasional kegiatan; 2) distribusi dan kesiapan fasyankes primer tidak merata antar wilayah, terutama daerah di pedesaan dan DTPK; 3) ketidakcukupan jumlah obat karena ketidakmampuan dalam perencanaan dan manajemen pengelolaan obat, serta kekurangan tenaga farmasi.

3. Arah Kebijakan dan Strategi

Arah kebijakan upaya pelayanan kesehatan adalah penguatan program UKBM melalui penjangkauan, keterlibatan, dan pemberdayaan masyarakat, sekaligus percepatan supply side readiness yang diiringi dengan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya kesehatan serta memperkuat sistem rujukan dan kualitas layanan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi digital. Secara strategis dapat dituangkan dalam 3 program besar dengan beberapa isu berikut ini:

3.1. Penguatan dan Penataan Ulang Program UKBMBeberapa strategi yang diusulkan untuk penguatan dan penataan ulang program UKBM adalah sebagai berikut:• Penguatan keterlibatan peran aktif masyarakat dalam UKBM melalui peningkatan

kuantitas dan kualitas kader kesehatan dari generasi milenial dengan memanfaatkan teknologi digital

• Menambah dan merevitalisasi posyandu yang lebih responsif terhadap permasalahan kesehatan melalui inovasi program dengan memperkuat peran pembinaan dari puskesmas

• Memperkuat program UKS yang berbasiskan sekolah/PAUD melalui koordinasi, komunikasi, dan jejaring dengan pihak Diknas dan Kemenag kabupaten/kota, sekolah, dan komite sekolah dengan fokus kegiatan pada edukasi, praktek, dan penguatan peer edukasi

3.2. Percepatan dan Penguatan Fasyankes Beberapa stategi yang diusulkan untuk percepatan dan penguatan fasyankes:• Memperkuat kemampuan kepemimpinan (leadership) Puskesmas melalui pelatihan

manajemen puskesmas dan pelatihan kepemimpinan bagi para kepala puskesmas, serta menetapkan minimum standar kualifikasi ketika merekrut seorang pimpinan puskesmas

• Penguatan program UKM melalui pembuatan NSPK, mencabut moratorium tenaga kesehatan, melengkapi seluruh puskesmas dengan 5 jenis tenaga, jaspel petugas UKM, dan dana desa bagi UKM

• Peningkatan jumlah dan distribusi fasyankes melalui pelibatan aktif peran swasta nasional dan asing melalui pola kerjasama KBPU, serta memperkuat regulasi dalam mengantisipasi FDI

• Peningkatan jumlah fasyankes harus diiringi dengan penambahan kuantitas SDM kesehatan yang berkualitas melalui perbaikan kurikulum pendidikan dan kualitas pengajaran, strategi pemenuhan SDM kesehatan, dan pengembangan kebijakan afirmasi pada DTPK

• Penguatan sistem rujukan melalui penguatan jejaring regionalisasi fasyankes dan evaluasi sistem rujukan saat ini, serta memanfaatkan teknologi digital dalam membangun sistem rujukan

• Peningkatan kualitas dan mutu layanan fasyankes melalui percepatan akreditasi fasyankes dan clinical pathways

Kajian Sektor Kesehatan • xixxviii • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Page 11: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

xx • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

3.3. Penguatan Tata kelola Manajemen Kesehatan & Teknologi Digital Beberapa strategi yang diusulkan untuk penguatan tata kelola manajemen kesehatan dan teknologi digital adalah sebagai berikut:• Memperkuat tata kelola Dinas Kesehatan melalui penyusunan tupoksi dan standar

kompetensi Dinkes, hubungan kerja antara Dinkes, rumah sakit, dan puskesmas, kemampuan dalam perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja, penguatan koordinasi dan kerjasama lintas sektor

• Membangun dan memperkuat sistem e-kesehatan melalui pengintegrasian satu pintu sistem pencatatan & pelaporan data untuk monev kinerja, memastikan kepatuhan pelaporan data rutin dapat terlaksana dari jenjang terbawah, serta mengembangkan telemedicine dan regulasinya

1. PENDAHULUAN

Penguatan sistem Pelayanan kesehatan

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

Page 12: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

1. Pendahuluan • 32 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Sesuai pasal 30 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN), Indonesia menganut sistem pelayanan kesehatan berjenjang yang terbagi menjadi 3 jenjang, yaitu pelayanan tingkat pertama atau primer, tingkat kedua atau sekunder, dan tingkat ketiga atau tersier. Di setiap tingkatan layanan tersebut, terbagi menjadi 2 upaya pelayanan kesehatan yaitu upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP). Semua fasilitas layanan tersebut dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta.

Menurut Permenkes No. 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas, yang dimaksud UKM adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat. Berdasarkan Perpres 72 Tahun 2012 tentang SKN, UKM mencakup upaya-upaya promosi kesehatan, pemeliharaan kesehatan, pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan, dan penyediaan sanitasi dasar, perbaikan gizi masyarakat, pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pengamanan penggunaan zat aditif (bahan tambahan makanan) dalam makanan dan minuman, pengamanan narkotika, psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya, sesrta penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan. Sedangkan UKP adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan. UKP mencakup upaya-upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit individu, pengobatan rawat jalan, pengobatan rawat inap, pembatasan dan pemulihan kecacatan yang ditujukan terhadap perorangan. Dalam UKP juga termasuk pengobatan tradisional dan alternatif serta pelayanan kebugaran fisik dan kosmetika.

Di dalam SKN disebutkan bahwa layanan UKM strata pertama ujung tombaknya adalah puskesmas yang didukung secara lintas sektor, sedangkan UKM strata kedua penanggungjawabnya adalah Dinas Kesehatan kab/kota, yang memiliki dua fungsi yaitu manajerial dan teknis kesehatan. Dinkes Provinsi dan Kemenkes adalah penanggungjawab UKM strata ketiga. Peran aktif masyarakat dan swasta dalam penyelenggaraan UKM strata pertama diwujudkan melalui berbagai upaya yang dimulai dari diri sendiri, keluarga sampai dengan upaya kesehatan bersama yang bersumber masyarakat (UKBM). Saat ini telah dikembangkan berbagai bentuk UKBM, seperti Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa, Pos Upaya Kesehatan Kerja, Dokter Kecil dalam Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Dalam rangka memperkuat UKM, Pemerintah Pusat berupaya melalui berbagai program seperti Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), SPM (Standar Pelayanan Minimal), dan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK).

UKP strata pertama adalah upaya pelayanan oleh pemerintah, masyarakat, dan swasta yang diwujudkan melalui berbagai bentuk pelayanan profesional, seperti praktik bidan, praktik perawat, puskesmas, dll. UKP strata kedua adalah adalah upaya pelayanan oleh pemerintah, masyarakat, dan swasta yg diwujudkan dalam bentuk praktik dokter spesialis, praktik dokter gigi spesialis, klinik spesialis, Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4), Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM), Balai Kesehatan Jiwa Masyarakat (BKJM), rumah sakit kelas C dan B non pendidikan milik pemerintah (termasuk TNI/POLRI dan BUMN), dan rumah sakit swasta. UKP strata ketiga adalah pemerintah, masyarakat, dan swasta yg diwujudkan dalam bentuk praktik dokter spesialis, praktik dokter gigi spesialis, klinik spesialis bersama, rumah sakit kelas B pendidikan dan kelas A milik pemerintah (termasuk TNI/POLRI dan BUMN), serta rumah sakit

khusus, dan rumah sakit swasta. Regulasi penting lain terkait pelayanan kesehatan adalah UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Permenkes No. 75/2014 tentang Puskesmas, Peraturan Pemerintah No. 1/2012 tentang sistem rujukan, beserta peraturan turunannya.

Letak geografis wilayah Indonesia yang bervariasi, baik antar provinsi maupun di dalam provinsi (antar kab/kota), menyebabkan adanya perbedaan tingkat kesulitan dalam akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan. Apalagi pada masyarakat yang tinggal di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan terluar (DTPK) umumnya mengalami kesulitan untuk mengakses pelayanan kesehatan primer dan lanjutan yang berkualitas. Hal tersebut disebabkan kondisi geografi, topografi, transportasi, akses komunikasi, tingginya tingkat kemiskinan penduduk, dan berbagai masalah sosial lainnya yang mereka hadapi. Dalam rangka meningkatkan aksesibilitas, kualitas pelayanan kesehatan, serta memberikan kepastian hukum kepada seluruh masyarakat maka pemerintah membuat terobosan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan pada DTPK. Kementerian Kesehatan terus mendorong penguatan pelayanan kesehatan baik dari segi fasilitas pelayanan kesehatan maupun segi Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan melalui peningkatan ketersediaan sarana dan alat kesehatan serta meningkatkan kapasitas SDM Kesehatan. Upaya tersebut antara lain adalah DAK Afirmasi, alokasi beasiswa, hingga terobosan pengiriman tim Nusantara Sehat dan Wajib Kerja Dokter Spesialis sebagai upaya pemenuhan tenaga kesehatan di DTPK. Bahkan, komitmen pemerintah tersebut tertuang di dalam Permenkes No. 90 Tahun 2015.

Dalam rangka memenuhi amanah UUD 1945 dan undang-undang (UU) No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN), maka pemerintah telah mengimplementasikan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak Januari 2014. Tujuan penyelenggaraan JKN adalah menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Sedangkan tujuan program JKN agar semua penduduk terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak. Pelaku kunci JKN melibatkan 4 pihak, yaitu peserta JKN, provider, dan BPJS serta regulator (DJSN, Kemenkes). Ada banyak tantangan selama implementasi JKN pada tiap tingkatan. Tantangan paling menonjol adalah defisit pembiayaan setiap tahunnya sehingga berdampak pada kualitas layanan rumah sakit dan industri farmasi. Tantangan lain terkait ketersediaan dan kesiapan sisi suplai pelayanan kesehatan, dalam upaya pemenuhan maupun pemerataan akses layanan, terutama di wilayah Indonesia Timur. Salah satu solusi adalah dengan membuka peluang lebih besar kepada pihak swasta agar terlibat dalam sistem kesehatan nasional.

Walaupun belum ada kejelasan arah kebijakan mengenai peran sektor swasta dalam bidang kesehatan namun terjadi perkembangan pesat dalam upaya peningkatan akses (supply side). Meskipun begitu, belum semua fasilitas kesehatan swasta terintegrasi kondisinya mengenai jumlah, distribusi, ruang lingkup dan kualitas layanan di semua jenjang. Salah satu strategi untuk memperkuat peran swasta, pemerintah telah mengembangkan pola Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KBPU). KBPU adalah kerjasama antara pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu kepada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/BUMN/BUMD, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko antara para pihak. Saat ini KBPU masih fokus pada area infrastruktur, yang sebenarnya dapat diperluas pada bidang jasa atau layanan. Sebagai informasi, proses kerjasama yang terjalin antara pemerintah dan pihak swasta dapat dilakukan

Page 13: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

4 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

dalam beberapa cara yaitu melalui service contract, management contract, lease contract, concession, BOT (Build Operation Transfer), Joint Venture Agreement, dan Community Based Provision. Namun dalam proses kerjasama yang dilakukan ini terdapat beberapa keunggulan dan kelemahannya. Hal yang perlu diperhatikan adalah perlunya unsur-unsur penyeimbang regulasi, monitoring dan pengawasan yang harus dirancang dengan seksama.

2. ANALISIS SITUASI

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

Penguatan sistem Pelayanan kesehatan

Page 14: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 76 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Kesehatan No. 41 Tahun 2018 tentang pemeriksaan malaria dan pemberian obat anti malaria (OAM) dan penemuan kasus oleh Juru Malaria Desa (JMD). Peraturan ini merupakan payung hukum kegiatan MBS (Mass Blood Survey), yang mendorong kerjasama program malaria dengan sektor pembangunan desa dalam pengembangan UKBM, pelatihan kader dan pemberian kewenangan bagi kader terlatih dalam membantu deteksi dini dan pengobatan kasus malaria. Kesepakatan konferensi global pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care – PHC) di Astana-Kazakhstan tanggal 25-26 Oktober 2018 menekankan kembali pentingnya penguatan pelayanan kesehatan primer atau dasar sesuai komitmen global tentang kesehatan bagi semua (Health for All) di Alma Alta dan dalam rangka untuk mencapai UHC dan SDGs.

2.2. SITUASI PELAYANAN KESEHATAN DASAr

Fungsi kesehatan masyarakat esensial (Essential Public Health Functions-EPHF) merupakan tanggung jawab pemerintah. Menurut WHO (2003), ada 10 jenis upaya kesehatan masyarakat esensial yang mencakup layanan berikut ini, yaitu: 1) memantau status kesehatan untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan masyarakat; 2) mendiagnosis dan menyelidiki masalah kesehatan dan bahaya kesehatan di masyarakat; 3) menginformasikan, mendidik, dan memberdayakan orang tentang masalah kesehatan; 4) memobilisasi kemitraan dan tindakan masyarakat, untuk mengidentifikasi/menyelesaikan masalah kesehatan; 5) mengembangkan kebijakan dan rencana yang mendukung upaya kesehatan individu dan masyarakat; 6) menegakkan hukum dan peraturan yang melindungi kesehatan dan memastikan keselamatan; 7) memberikan perawatan untuk orang yang membutuhkan layanan kesehatan pribadi; 8) memastikan kompetensi tenaga kerja kesehatan publik dan perorangan; 9) mengevaluasi efektivitas, aksesibilitas, dan kualitas layanan kesehatan; 10) teliti wawasan baru dan solusi inovatif untuk masalah kesehatan. Dalam implementasi upaya kesehatan masyarakat esensial tersebut maka pemerintah melibatkan berbagai pihak, seperti masyarakat, swasta, dan pihak lainnya. Untuk mewujudkannya, maka sistem kesehatan dibangun dengan cara berjenjang, mulai dari tingkat primer sampai tersier. Pada tingkat layanan primer, dikoordinasikan oleh puskesmas pada setiap wilayah kerjanya. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat.

Pemerintah/pemerintah daerah bersama unit pelaksana teknisnya (UPT), seperti rumah sakit, puskesmas, laboratorium kesehatan daerah (labkesda) dan masyarakat diperbolehkan melakukan rekrutmen dan penempatan tenaga penunjang (tenaga masyarakat, seperti kader) yang diperlukan untuk mendukung Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan. Untuk itu, peranan pemerintah adalah membuka akses informasi dan dialog, menyiapkan regulasi, menyiapkan masyarakat dengan membekali pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat, dukungan sumber daya untuk membangun kemandirian dalam upaya kesehatan dan mendorong terbentuknya UKBM, seperti: posyandu, poskestren, musholla sehat, desa siaga, atau pemuda siaga peduli bencana, dsb.

2.1. UPAYA KESEHATAN BErBASIS MASYArAKAT (UKBM)

Dalam perpres SKN dinyatakan bahwa peran aktif masyarakat dan swasta dalam penyelenggaraan UKM strata pertama diwujudkan melalui berbagai upaya yang dimulai dari diri sendiri, keluarga sampai dengan upaya kesehatan bersama yg bersumber masyarakat (UKBM). Saat ini telah berhasil dikembangkan berbagai bentuk UKBM, seperti Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa, Pos Upaya Kesehatan Kerja, Dokter Kecil dalam Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Sayangnya pemanfaatan semua potensi yang ada tersebut saat ini dirasakan makin berkurang.

Salah satu jenis UKBM yang telah lama dikembangkan dan mengakar di masyarakat adalah posyandu. Posyandu memiliki 5 fungsi program prioritas, yaitu kesehatan ibu dan anak, KB, perbaikan gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare. Dari profil kesehatan 2017, dilaporkan bahwa meskipun dalam delapan tahun terakhir jumlah posyandu meningkat 9 persen, dari 266 ribu (2009) menjadi 294 ribu (2017), namun hanya separuh posyandu yang masih aktif melakukan kegiatannya sampai saat ini (Kemenkes, 2018). Posyandu aktif adalah posyandu yang mampu melaksanakan kegiatan utamanya secara rutin setiap bulan (KIA: ibu hamil, ibu nifas, bayi, balita, KB, imunisasi, gizi, pencegahan dan penanggulangan diare) dengan cakupan masing-masing minimal 50 persen dan melakukan kegiatan tambahan. Ada variasi yang lebar antar provinsi dengan proporsi posyandu aktif terendah 18 persen di Kalimantan Tengah dan tertinggi di Sulawesi Utara (95 persen).

Tabel 1. Perbandingan jumlah UKBM di Indonesia, Tahun 2009 dengan 2017

Deskripsi 2009 2014 2017

Kader / Toma terlatih 58.048 569.477 -

Desa siaga/RW siaga/Poskesdes 51.996 58.849 -

Total Posyandu 266.827 289.635 294.428

Total Posyandu Aktif - - 169.087

Sumber: Profil Kesehatan Indonesia, Tahun 2009, 2014, dan 2017

Upaya peningkatan peran dan fungsi posyandu bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, namun semua komponen yang ada di masyarakat, termasuk kader. Peran kader dalam penyelenggaraan posyandu sangat besar karena selain sebagai pemberi informasi kesehatan kepada masyarakat juga sebagai penggerak masyarakat untuk datang ke posyandu dan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat. Pada tahun 2009, jumlah kader mencapai hampir 58 ribu orang dan meningkat tajam menjadi 569 ribu orang di 2014, tetapi saat ini jumlah kader tersebut sudah tidak terlaporkan lagi pada profil kesehatan sejak tahun 2015 sampai sekarang. Namun jumlah posyandu aktif yang turun, menjadi indikasi jumlah kader aktif turun.

Dalam konteks pengembangan program UKBM melalui pendekatan UKM telah dilakukan upaya melalui peran partisipasi masyarakat dan kerjasama lintas sektor dalam penanganan program penyakit menular dan tidak menular. Kondisi ini tercermin dalam Peraturan Menteri

Page 15: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 98 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

2.2.1. Kondisi Layanan Kesehatan Tingkat Pertama/Primer

Pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Dalam konteks ini lebih banyak dibahas dari fasyankes primer yang dimiliki pemerintah, yaitu puskesmas. Menurut Permenkes nomor 75 tahun 2014 tentang Puskesmas, disebutkan bahwa persyaratan puskesmas meliputi: 1) puskesmas harus didirikan pada setiap kecamatan; 2) Dalam kondisi tertentu, pada 1 (satu) kecamatan dapat didirikan lebih dari 1 (satu) puskesmas; 3) Pertimbangan pendirian puskesmas meliputi pertimbangan akan kebutuhan pelayanan, jumlah penduduk, dan aksesibilitas; 4) Pendirian puskesmas harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, peralatan kesehatan, ketenagaan, kefarmasian dan laboratorium. Sebagai Unit Pelaksana Teknis, puskesmas bertugas menjalankan kebijakan kesehatan dalam rangka pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Terkait hal tersebut, puskesmas berperan dalam menyelenggarakan: 1) Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) tingkat pertama dan 2) Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) tingkat pertama di wilayah kerjanya.

Ketersediaan dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan primer. Jaringan pelayanan fasyankes primer meliputi klinik, praktek dokter/dokter gigi, apotik, laboratorium (milik swasta) dan puskesmas (milik pemerintah). Jumlah fasyankes primer di setiap wilayah secara akurat belum tercatat, namun jumlah fasyankes primer yang bekerjasama dengan BPJS tercatat sejumlah 8.610 fasyankes primer yang tercatat sebagai klinik yang 11 persennya merupakan klinik utama dan sisanya klinik pratama. Sedangkan praktek mandiri tercatat 8.860 buah, yang terdiri dari dokter praktek swasta 73 persen dan sisanya dokter gigi praktek swasta (Profil Kesehatan Indonesia, 2017). Jumlah fasyankes primer yang tergabung dengan BPJS semakin meningkat setiap tahunnya, dari 18.437 (2014) menjadi 22.634 (September, 2018) atau meningkat sekitar 23 persen. Sebesar 44 persen dari fasyankes primer sebagai penyelenggara JKN adalah puskesmas (BPJS, 2018). Distribusi dan kesiapan fisik fasyankes primer belum merata, khususnya fasyankes swasta. Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa puskesmas secara umum memiliki kesiapan yang lebih baik dari sisi sarana dasar, obat, dan alat medik dibanding fasyankes swasta (WB, QSDS 2017).

Gambar 1. Kecenderungan Pertumbuhan jumlah Fasyankes Primer, 2014-2018

24 RS D

9.903puskesmas

1.214Dokter 656 Klinik TNI

5.135 Klinik

561 Klinik

Sumber: BPJS, 2018

Merujuk pada data Profil Kesehatan Indonesia (2017) terlihat ada kecenderungan peningkatan jumlah puskesmas sekitar 7% atau dari 9.731 ke 9.825 puskesmas dari tahun 2014 sampai 2017. Puskesmas terbagi dua jenis yaitu puskesmas dengan layanan rawat inap dan tanpa rawat inap. Secara proporsi pertumbuhan jumlah puskesmas rawat inap cenderung stabil berkisar 35% setiap tahunnya. Peningkatan jumlah puskesmas setiap tahun menggambarkan upaya pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan primer di suatu wilayah. Standar minimal indikator adalah adanya satu puskesmas kecamatan di setiap kecamatan. Secara rata-rata nasional pada tahun 2017, rasio puskesmas terhadap kecamatan adalah 1,36, angka ini sudah memenuhi standar rasio minimal. Bila dikaji per provinsi, masih ditemukan 3 provinsi yang mempunyai kecamatan tanpa puskesmas, yaitu di provinsi Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Utara (Kemenkes, 2018). Dua dari tiga provinsi dengan rasio ketersediaan puskesmas per kecamatan terendah berada di wilayah Indonesia Timur. Kondisi ini akibat wilayah kerja yang luas dengan kendala geografis serta keterbatasan sistem transportasi untuk akses pelayanan kesehatan. Disisi lain, kecamatan di Pulau Jawa dan Bali bisa mempunyai lebih dari satu puskesmas, terutama di DKI Jakarta mencapai 7 puskesmas per kecamatan.

Tabel 2. Peningkatan jumlah Puskesmas rawat Inap dan Nonrawat Inap, 2013-2017

Tahun Puskesmas rawat Inap

Puskesmas Non-rawat Inap

jumlah Seluruh Puskesmas

2013 3317 6338 9655

2014 3378 6353 9731

2015 3396 6358 9754

2016 3411 6356 9767

2017 3454 6371 9825

Sumber: Diolah dari Tabel 2.4 Profil Kesehatan Indonesia 2017. Pusdatin, Kemkes.

Ketersediaan SDM kesehatan Puskesmas. Jumlah keseluruhan SDM Kesehatan yang ada di puskesmas se-Indonesia sebanyak 406.012 orang di tahun 2017. Terdiri atas 2 jenis ketenagaan, yaitu 85 persen tenaga kesehatan dan 15 persen tenaga penunjang kesehatan. Dengan proporsi tenaga kesehatan di puskesmas terbanyak adalah bidan (36%), sedangkan yang paling sedikit dokter gigi (2%). Merujuk pada peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas terkait SDM Kesehatan, ternyata masih ada kekurangan jumlah tenaga kesehatan dokter gigi (43%), dokter (25%), perawat (20%), dan bidan (14%) (Kemenkes, 2017). Kondisi ini bila dibandingkan dengan data Risnakes pada tahun yang sama (2017), jumlah kekurangan SDM Kesehatan jauh lebih kecil, seperti dokter (8%), dokter gigi (37%), perawat (1%), dan bidan (1%), serta kesmas (24%). Namun demikian, dari kedua sumber data tersebut mengindikasikan bahwa SDM Kesehatan masih kurang.

Page 16: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 1110 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Gambar 2. Persentase Puskesmas dengan Kecukupan Tenaga Kesehatan, 2017

Sumber: diolah dari data Pusdatin dalam Profil Kesehatan Indonesia, 2017

Salah satu indikator upaya meningkatkan ketersediaan dan mutu SDM Kesehatan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan adalah jumlah puskesmas yang memiliki lima jenis tenaga kesehatan promotif dan preventif yang berguna untuk penguatan UKM. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah tenaga kesehatan lingkungan, tenaga kefarmasian, tenaga gizi, tenaga kesehatan masyarakat, dan analis kesehatan. Di tahun 2017, hanya 27% dari 9812 puskesmas yang melaporkan data memiliki lima jenis tenaga kesehatan tersebut (Kemenkes, 2018). Ketersediaan SDM kesehatan puskesmas tertinggi di provinsi DI Yogyakarta (63%) dan terendah di Papua Barat (9%). Sedangkan berdasarkan self assessment yang dilakukan oleh 3.392 puskesmas, terdapat 3.225 puskesmas yang telah memberikan pelayanan sesuai standar. Namun angka ini belum dapat mencerminkan kondisi sesungguhnya, karena hanya sekitar 35% yang melaporkan self assessment puskesmas (Kemenkes, 2018).

Ketersediaan obat dan vaksin untuk pelayanan kesehatan. Obat dan vaksin salah satu kebutuhan yang wajib disediakan oleh pemerintah, khususnya di puskesmas untuk pelayanan kesehatan tingkat primer. Pada tahun 2017, dari sekitar 8.472 puskesmas yang melaporkan, hanya sekitar 80 persen puskesmas memiliki obat dan vaksin esensial. Sebagai catatan, Kemenkes telah melakukan pemantauan terhadap 20 item obat yang dianggap sebagai indikator ketersediaan obat dan vaksin. Dari 20 item obat tersebut, kisaran ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas adalah antara 76% (Magnesium Sulfat injeksi 20%) hingga 98% (Amoxicillin 500 mg tab) (Kemenkes, 2018).

Tabel 3. Persentase Puskesmas dengan Ketersediaan Obat dan Vaksin Esensial menurut Item Obat, Triwulan IV, 2017

No Nama Obat Satuanjumlah Puskesmas yang Menyediakan Item Obat

dan Vaksin Esensial%*

(1) (2) (3) (4) (5)

1 Albendazol tab Tablet 7.186 84,82

2 Amoxicilin 500 mg tab Tablet 8.294 97,90

3 Amoxicilin syrup Botol 8.184 96,60

4 Deksametason tab Tablet 7.949 93,83

5 Diazepam injeksi 5 mg/mL Ampul 4.825 56,95

6 Epinefrin (Adrenalin) in-jeksi 0,1% (sebagai HCL) Ampul 6.959 82,12

7 Fitomenadion (Vitamin K) injeksi Ampul 7.369 86,98

8 Furosemid tablet 40 mg/Hidroklorotiazid (HCT) Tablet 7.677 90,62

9 Garam oralit Kantong 7.990 94,31

10 Glibenklamid/Metformin Tablet 7.751 91,49

11 Kaptopril tab Tablet 8.121 95,86

12 Magnesium Sulfat injeksi 20% Vial 6.430 75,90

13 Metilergometrin Maleat inj 0,200 mg-1 ml Ampul 7.010 82,74

14 Obat Anti Tuberculosis Dewasa Paket 7.626 90,01

15 Oksitosin injeksi Ampul 7.471 88,18

16 Parasetamol 500 mg tab Tablet 8.129 95,95

17 Tablet Tambah Darah Tablet 7.904 93,30

18 Vaksin BCG Vial 8.271 97,63

19 Vaksin DPT/DPT-HB/DPT-HB-Hib Vial 8.015 94,61

20 Vaksin Td Vial 8.144 96,13

Sumber: Profil Kesehatan Indonesia, 2017

puskesmas mendapat obat/alat kesehatan (alkes) melalui dua cara. Pertama, obat program yang disediakan oleh pusat, termasuk obat TB, vaksin, obat malaria, obat fiariasis, dan ARV untuk HIV/AIDS. Kedua, obat yang direncanakan serta diusulkan melalui pelaporan Rencana Kebutuhan Obat (RKO). Permasalahan utama terkait manajemen logistik obat, yaitu 1) lemahnya kemampuan puskesmas dan Dinas Kesehatan dalam menyusun RKO; 2) keterbatasan tenaga farmasi di puskesmas; 3) tidak ada akses jaringan internet, khususnya di daerah terpencil dan kurangnya kapasitas tenaga dalam mengoperasikan komputer (Bappenas, 2018). Sementara itu, dari studi Bappenas di 6 kab/kota di tahun 2016 ditemukan hanya 43 persen ketersediaan tenaga farmasi. Keterbatasan tenaga apoteker

Page 17: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 1312 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

atau farmasi di puskesmas akan menghambat perencanaan obat. Perencanaan obat menjadi tidak akurat karena didasarkan pada data-data tren, tanpa melihat kebutuhan atau pola penyakit di daerah. Apalagi minimnya peningkatan kapasitas atau pelatihan penyusunan RKO dari pihak Dinkes.

Isu lain terkait kemampuan manajemen tata kelola logistik puskesmas yang lemah. Kedua hal tersebut berkontribusi terhadap kekurangan atau kekosongan obat di puskesmas. Faktor lain yang menyebabkan kekosongan obat adalah karena persyaratan administrasi pemesan tidak lengkap, pemesanan mendadak dan tidak terencana, serta pembayaran oleh pemesan belum dilaksanakan atau keterlambatan supplier dalam mengirimkan obat atau ketidaklancaran pengiriman oleh rekanan dengan berbagai alasan antara lain ongkos kirim yang mahal, jumlah yang dipesan di bawah “minimal order”, keterbatasan stok karena masalah bahan baku, dan lain-lain (Bappenas, 2018). Kekurangan atau kekosongan obat di puskesmas di atasi dengan cara membeli obat di apotek atau supplier terdekat, antara lain dengan menggunakan sebagian dari dana kapitasi. Hanya saja, beberapa puskesmas tidak memanfaatkan dana kapitasi untuk melakukan pengadaan dan pembelian dikarenakan ketidakpahaman dan ketidaktahuan akan mekanisme dan aturan penggunaan dana kapitasi.

Ketersediaan sarana & prasarana penunjang. Ketersediaan sarana dan prasarana sangat diperlukan oleh puskesmas untuk menunjang kelancaran layanan operasional setiap harinya. Untuk itu, potret ketersediaan sarana dan prasarana yang ada di puskesmas perlu diketahui agar diketahui tantangan yang dihadapi puskesmas dalam menjalankan fungsinya. Ketersediaan alat komunikasi sangat penting untuk melakukan koordinasi dengan pihak lainnya. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan World Bank (2014) diketahui hanya sekitar 84% dari puskesmas yang memiliki komunikasi dasar seperti telepon. Tidak seluruh puskesmas memiliki listrik (2%), padahal listrik merupakan sumber utama energi untuk menggerakan layanan, seperti untuk cold-chain, autoclave, atau mengoperasikan komputer yang digunakan untuk membuat system pencatatan dan pelaporan. Kondisi jejaring internet yang ada di puskesmas masih jauh dari harapan, karena baru sekitar 16%. Padahal saat ini sudah memasuki era indutrilisasi 4.0 yang lebih mengedepankan informasi teknologi.

Gambar 3. Ketersediaan Fasilitas Dasar di Puskesmas di Indonesia

Sumber: Risfaskes (2011), dikutip dalam World Bank, 2014

Pasokan ketersediaan air bersih sangat penting di fasilitas medis mana pun, termasuk puskesmas. Air bersih tersebut digunakan tidak hanya untuk minum tetapi juga untuk sanitasi dan pembersihan. 24 persen dari fasyankes primer tidak memiliki akses layanan air dan sanitasi dengan variasi regional yang signifikan (11-60%). Lebih dari dua pertiga puskesmas (72%) tidak memiliki fasilitas cuci tangan dengan sabun di tiga ruangan, yaitu ruang konsultasi umum, ruang imunisasi, dan ruang bersalin. Lebih dari 50 persen dari tiga jenis faskes di bawah jaringan puskesmas ternyata lebih rendah (pustu, poskesdes, polindes) tidak memiliki air dan sanitasi dasar (Odagiri, M, et.all, 2018).

Alat Kesehatan.puskesmas merupakan tulang punggung sistem kesehatan masyarakat yang memiliki jaringan di bawahnya, baik yang dimiliki pemerintah, swasta, ataupun masyarakat. Layanan pada tingkat puskesmas terdiri dari layanan UKM dan UKP. Pada layanan UKM lebih mengarah kepada layanan preventif dan promotif, sedangkan UKP lebih ke arah layanan kesehatan dasar. Sementara itu fasilitas di tingkat kab/kota dan tingkat pemerintahan selanjutnya menyediakan layanan kesehatan sekunder dan tersier.

Gambar 4. Kondisi Kesiapan Pelayanan di Tingkat Fasyankes Primer, 2011 dan 2016

Sumber: Indonesia Quantitative Service Delivery Survey (2016) and Rifaskes (2011)

Dalam konteks kewilayahan, puskesmas bertanggungjawab untuk melayani kesehatan sebanyak 25 ribu-30 ribu penduduk. Saat ini jumlah puskesmas sekitar 9.825 puskesmas. Namun demikian, masih ditemukan variasi dalam kesiapan layanan fasyankes primer di tingkat kab/kota. Salah satu kajian dari World Bank (2016) menemukan bahwa puskesmas di Jawa Tengah memiliki peralatan yang lebih baik daripada yang ada di Indonesia Timur (mis. Papua dan Maluku). Fasyankes di perkotaan memiliki tingkat ketersediaan dan kesiapan layanan yang lebih tinggi daripada fasyankes di pedesaan. Sementara itu,

Page 18: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 1514 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

banyak orang Indonesia harus menghadapi hambatan fisik dan waktu yang signifikan ketika mengakses layanan kesehatan, terutama di Indonesia Timur2

1. Sementara itu, ada peningkatan keseluruhan kesiapan layanan antara 2011 dan 2016, kesenjangan penting yang terjadi masih tetap sama terutama terkait dengan kapasitas diagnostik dan ketersediaan obat-obatan di tingkat fasyankes primer (Gambar 2). Puskesmas umumnya lebih siap memberikan layanan daripada klinik swasta.

Keluhan lainnya adalah kualitas alat kesehatan dan bahan medis habis pakai (BMHP) seperti tensi meter dan timbangan. Alat kesehatan yang diterima cepat rusak atau tidak dapat berfungsi dengan baik. Timbangan tidak pernah dikalibrasi sehingga timbangan tidak akurat. Keluhan banyak disampaikan oleh puskesmas yang berada di DTPK. Di samping masalah obat, puskesmas di DTPK mengalami masalah dengan “cold chain” pada saat suplai listrik terganggu. Cold chain minyak tanah juga tidak dapat dimanfaatkan karena kelangkaan minyak tanah. Oleh sebab itu, dibutuhkan kebijakan afimasi untuk puskesmas yang berada di DTPK (Bappenas, 2018).

2.2.2. Kondisi Pelayanan Kesehatan Primer: SDM, Obat & Vaksin, Alkes

SDM kesehatan dilayanan primer. Jumlah SDM kesehatan walaupun pada beberapa provinsi terlihat telah di atas kecukupan, tetapi masih ada yang masih kurang dari standar yang telah di tetapkan Kemenkes. Isu terbesar terkait SDM Kesehatan yang dihadapi adalah ketersediaan jenis tenaga, distribusi atau sebaran tenaga, kemampuan kompetensi dan ketrampilan, dan produksi baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Dengan berbagai tantangan tantangan tersebut, tentu memberikan pengaruh yang besar terhadap pencapaian kinerja dan target pada program kesehatan. Dengan kondisi seperti ini tentu merupakan tantangan berat bagi Kemenkes untuk mengimplementasikan UKM secara baik. Dalam Permenkes No. 71/2013 ditetapkan bahwa puskesmas adalah fasyankes primer yang bekerja sama dengan BPJS dan harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan komprehensif yang sifatnya adalah pelayanan perorangan. Akibatnya seluruh energi petugas puskesmas tertuju untuk mensukseskan program JKN ini, ditambah lagi adanya insentif dari dana kapitasi. Hal ini menyebabkan banyak puskesmas yang orientasinya menjadi dominan pelayanan kesehatan perorangan (pelayanan kuratif) dibandingkan tugas utamanya sebagai motor Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Dampak perubahan fungsi puskesmas terhadap kinerja UKM terlihat pada indikator program-program UKM (cakupan imunisasi dan ASI ekslusif yang menurun, CPR KB dan CDR TB stagnan, serta penurunan stunting pada balita tidak signifikan).

Obat dan vaksin. Ketidakcukupan obat dan vaksin masih ditemukan di tingkat puskesmas. Dengan ketiadaan obat pada fasyankes primer, terutama di puskesmas akan meminta pasien menebus obat di luar. Puskesmas akan memberikan resep obat kepada pasien, dan meminta pasien tersebut membeli obat di apotik/toko obat dengan biaya dari kantong sendiri. Dengan kondisi tersebut, mengakibatkan tambahan beban pada pasien dari sisi waktu, biaya, dan tenaga. Obat kadaluarsa terjadi karena kelebihan stok obat sehingga tersimpan sampai kadaluarsa; atau obat yang diterima dari Dinkes sudah mendekati

2 Is Indonesia ready to serve? An analysis of Indonesia’s primary health care supply-side readiness.

masa kadaluarsa. Jika obat kadaluarsa ini sampai terdistribusi ke masyarakat maka akan menimbulkan masalah baru. Dengan kondisi sistem manajemen pengelolaan obat yang belum tertata dengan baik tentu berimplikasi luas, tidak hanya kepada program tetapi juga masyarakat.

Sarana dan prasarana. Ketersediaan sarana dan prasarana yang tersedia di fasyankes primer (terutama puskesmas) masih bervariasi antar daerah, terutama di Indonesia Timur. Namun demikian, ketersediaan sarana dan prasarana di puskesmas lebih baik dibandingkan di klinik swasta. Implikasi kondisi ini adalah ketimpangan kualitas dan mutu layanan yang diberikan kepada masyarakat.

Berdasarkan data dari Ditjen Yankes Kemenkes (2017), diketahui ada 2.926 puskesmas yang menjadi target pendekatan keluarga; tahun 2017 hanya terdapat 38% puskesmas yang sesuai dengan standar. Untuk itu sebagai konsekuensinya diperlukan adanya berbagai intervensi yang harus dilakukan agar target pemenuhan standar Sarana, Prasarana dan Peralatan Kesehatan (SPA) di puskesmas tersebut sesuai standard, salah satu caranya dengan melakukan validasi data SPA di seluruh puskesmas3.2

2.2.3. Akses untuk DTPK terutama Kawasan Indonesia Timur (KTI)

Pemenuhan SDMK pada daerah DTPK tidak hanya membutuhkan peran pusat tetapi juga peran dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota dengan menganalisis kebutuhan wilayahnya dan mengajukannya ke pemerintah pusat. Penempatan spesialis dan dokter di Kawasan Timur Indonesia dilakukan melalui kebijakan WKDS, program Nusantara Sehat, dan program pelayanan kesehatan untuk DTPK. Di sebagian wilayah, kelangkaan tenaga perlu diatasi dengan penerapan konsep multi-tasking tenaga kesehatan sesuai peraturan yang berlaku.

Tenaga kesehatan di DTPK meliputi dokter umum sebesar 11,4%, dokter gigi sebesar 9,7%, perawat sebesar 14,2%, dan bidan sebesar 17,2% dari seluruh nakes yang ada di Indonesia. Sejak tahun 2015 telah ditempatkan tenaga kesehatan yang tergabung dalam Tim Nusantara Sehat (Tim NS) selama 2 tahun. Tim NS minimal terdiri dari lima jenis tenaga kesehatan dari sembilan jenis tenaga, yaitu dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga gizi, tenaga kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik, tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan masyarakat. Total penempatan sampai dengan tahun 2017 adalah di 365 puskesmas, 127 kabupaten, 29 provinsi (Kemenkes, 2018).

Peningkatan akses yankes dilakukan dengan 1) pemenuhan sarana prasarana dan alat kesehatan, 2) program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga (PIS-PK), 3) pelayanan kesehatan bergerak (Mobile, flying floating health care), 4) pemenuhan SDM (WKDS), 5) Regionalisasi sistem rujukan dan telemedicine, 6) pelayanan kesehatan gugus pulau4

3, dan 7) rumah tunggu kelahiran54. Tantangan yang dihadapi meliputi

3 http://www.yankes.kemkes.go.id/read-peningkatan-sarana-dan-prasarana-kesehatan-puskesmas-upaya-mendukung-pendekatan-keluarga-1347.html

4 Layanan kesehatan gugus pulau mencakup beberapa pulau yang membentuk suatu kesatuan kelompok pelayanan tanpa memperhatikan batasan wilayah administrasi. Fasyankes pusat gugus berfungsi sebagai pengampu seluruh fasyankes yang menjadi bagian gugusnya.

5 Rumah tunggu kelahiran merupakan tempat atau ruangan yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara bumil dan pendamping sebelum dan sesudah persalinan berada dekat fasyankes yang mampu memberikan pertolongan persalinan depat memanfaatkan rumah penduduk/bangunan lain, yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.

Page 19: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 1716 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

besarnya biaya untuk mengembankan pelayanan bergerak, kurangnya sumber daya tenaga kesehatan, tingkat sosial ekonomi penduduk dan kemampuan Pemda. Pelayanan kesehatan bergerak memerlukan biaya besar yang sering harus dibayar tunai. Sebagian dapat di atasi dengan telemedicine sepanjang komunikasi online memungkinkan. Tim pelayanan kesehatan bergerak untuk meningkatkan akses dan ketersediaan pelayanan di daerah yang tidak memiliki fasyankes atau tidak mendapat pelayanan kesehatan, menggunakan alat transportasi udara, kapal/perahu, darat atau kombinasi. Upaya yang dapat dilakukan adalah pengamatan sarana prasarana dan demografi, yankes kegawat-daruratan, layanan laboratorium lapangan, promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Pola pelayanan bergerak dari provinsi ke kabupaten 4 kali setahun, dari kabupaten ke kecamatan juga 4 kali setahun, dari kecamatan ke desa dengan tim @ 5-8 orang dan jumlah hari kerja disesuaikan dengan kondisi setempat. Kegiatannya meliputi pengobatan, penyuluhan, pemberdayaan, surveilans dan alih pengetahuan. Dengan dukungan DAK-Afirmasi, tercapai peningkatan jumlah RS pratama dari 22 menjadi 27 tahun 2016, dan meningkat hampir dua kali lipatnya menjadi 51 pada 2017. Pembangunan puskesmas DTPK tercapai 110 dari target 124 pada 2017 menuju target 209 di 2018 dan 300 tahun 2019. Sedang diproses pembangunan RS Vertikal di Ambon dan Wamena serta Kupang.

2.2.4. Kualitas Mutu layanan

Akreditasi. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas mutu layanan dilakukan melalui akreditasi, berdasarkan Permenkes No. 46 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama dan Praktek Mandiri Dokter dan Dokter Gigi. Akreditasi puskesmas terbagi menjadi 4 tingkatan, yaitu dasar, madya, utama, dan paripurna (semakin ke kanan semakin baik tingkatannya). Saat ini telah terakreditasi sebanyak 43% dari 9.825 puskesmas per 31 Desember 2017. Hanya 15 dari 34 provinsi yang proporsi puskesmas terakreditasinya telah melebihi 43%. Provinsi puskesmas terakreditasi terendah ada di Papua (8%) dan Malut (10%), sedangkan provinsi terakreditasi tertinggi ada di DI Yogyakarta (94%) dan Jateng (73%). 1% atau 39 puskesmas yang mencapai akreditasi paripurna dan tiap tahun relatif tidak ada peningkatan untuk puskesmas paripurna sejak tahun 2015. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kualitas puskesmas masih jauh dari harapan ideal. Dengan demikian, peran Dinas Kesehatan harus lebih diperkuat dalam melakukan pembinaan ke puskesmas.

Gambar 5. Capaian Kumulatif Puskesmas Terakreditasi dan Persentasenya per Provinsi, 2017

Sumber: Dit. Mutu dan Akreditasi Kemenkes, 2018

Page 20: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 1918 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Gambar 6. Distribusi Puskesmas Belum Terakreditasi di Kawasan Barat & Timur Indonesia 2017

Sumber: Direktorat Mutu dan Akreditasi, Kemkes. 2018

Kredensialing. Merujuk pada Permenkes No. 71 Tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan pada jaminan kesehatan nasional, dijelaskan tentang kredentialing. Pengertian kredentialing adalah kegiatan peninjauan dan penyimpanan data-data fasyankes berkaitan dengan pelayanan profesinya yang mencakup lisensi, riwayat malpraktek, analisis pola praktek dan sertifikasi. Kegiatan ini dilaksanakan oleh BPJS kesehatan untuk melakukan kualifikasi fasyankes yang memenuhi standar dan mutu layanan yang ditetapkan. Kegiatan ini sekaligus merupakan proses evaluasi untuk menyetujui atau menolak fasyankes yang dapat bekerjasama dengan BPJS kesehatan yang penilaiannya didasarkan pada aspek administrasi dan teknis pelayanan. Dalam menetapkan pilihan fasilitas kesehatan, BPJS Kesehatan melakukan seleksi dan kredensialing dengan menggunakan kriteria teknis yang meliputi: a) sumber daya manusia; b) kelengkapan sarana dan prasarana; c) lingkup pelayanan; dan d) komitmen pelayanan. Kriteria teknis dimaksud digunakan untuk penetapan kerja sama dengan BPJS Kesehatan, jenis dan luasnya pelayanan, besaran kapitasi, dan jumlah peserta yang bisa dilayani.

Saat melakukan kredensialing, BPJS melibatkan Dinkes kab/kota setempat dan atau asosiasi faskes sebagai satu tim kredisialing. Pelaksanaannya merujuk pada Regulasi antara lain untuk fasyankes primer merujuk pada Permenkes No. 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas, fasyankes rumah sakit merujuk pada Permenkes No. 56 Tahun 2014, dan rumah sakit khusus merujuk pada Permenkes No. 340 Tahun 2010. Hasil dari kredensialing untuk fasyankes primer pemerintah adalah sebagai dasar penentuan besaran Kapitasi Berbasis Komitmen (KBK). Sedangkan untuk fasyankes primer swasta tidak bisa bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Sementara di tingkat rumah sakit terkait dengan penentuan kelas rumah sakit yang terkait dengan besaran paket INA-DRG. Tantangan kegiatan kredensialing adalah hasilnya banyak yang belum sesuai dengan standar Permenkes. Kondisi ini dapat tercermin pula dari fasyankes yang belum

banyak terakreditasi. Peran kunci kredensialing dapat menentukkan jumlah dan sebaran fasyankes yang akan bekerjasama dengan BPJS agar lebih merata. Peran ini belum optimal dimainkan pihak BPJS.

2.2.5. Utilization Review

Dampak terhadap UKP. JKN memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan utilisasi layanan pada semua fasyankes, baik milik pemerintah maupun swasta. Peningkatan utilisasi layanan ini juga dinikmati oleh penduduk 40% terbawah/miskin. Indikasi dapat terlihat pada Tabel 4, dengan membandingkan utilisasi layanan sebelum (2012-2013) dan sesudah JKN (2014-2015). Walaupun demikian, fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa masih terjadi ketimpangan akses layanan berdasarkan letak geografis. Mereka yang berada di daerah perkotaan lebih banyak menikmati dan merasakan manfaat dengan adanya JKN dibandingkan di daerah pedesaan ataupun DTPK.

Tabel 4. Utilisasi rawat jalan dan rawat Inap sebelum dan sesudah jKN, 2012-2015

Uraian Penduduk

Sebelum jKN (%)

Sesudah jKN (%)

2012 2013 2014 2015

Utilisasi Rawat Jalan (semua)Nasional 12,9 12,2 13,4 17,0

40% ter-bawah 11,7 12,2 13,9 16,0

Utilisasi Rawat Jalan SwastaNasional 8,1 8,7 10,4 8,7

40% ter-bawah 6,4 7,1 8,5 7.6

Utilisasi Rawat Inap (semua)Nasional 1,9 2,3 2,5 3.6

40% ter-bawah 1,3 1,6 1,8 2.6

Utilisasi Rawat Inap SwastaNasional 0,8 1,0 1,1 1.7

40% ter-bawah 0,4 0,5 0,8 0.9

Sumber: Indonesian Health Financing System Assessment. Expend more, right and better.

Policy Brief, WB 2016

Angka utilisasi layanan rawat jalan dan rawat inap diprediksi akan cenderung semakin meningkat di tahun mendatang (Gambar 7), dimana angka utilisasi rawat jalan sekitar 55% dan rawat inap sekitar 7,5% (BPJS, 2018). Dengan fakta ini pengeluaran biaya klaim program JKN diperkirakan akan terus meningkat di tahun mendatang. Padahal sejak dilaksanakannya program JKN selalu mengalami defisit pembiayaan sampai saat ini, dan defisit pembiayaan yang terjadi semakin membesar setiap tahunnya. Akibat terjadinya defisit maka BPJS mengalami kesulitan likuiditas untuk membayar klaim pihak rumah sakit. Efek domino terjadi pada industri farmasi dan indutri lain yang terkait dengan rumah sakit. Implikasi lebih jauh terganggungnya layanan kesehatan terhadap pasien.

Kawasan Indonesia Barat Kawasan Indonesia Timur

Page 21: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 2120 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Gambar 7. Kecenderungan Angka Utilisasi rawat jalan dan rawat Inap, 2014-2017

Sumber data: BPJS, 2018 (paparan evaluasi program JKN di Bappenas)

2.2.6. Pengelolaan Keuangan Fasyankes Primer

Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) merupakan instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Implentasi BLUD merujuk Permendagri No.13/2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Tujuan BLUD adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Dengan BLUD diharapkan akan mempermudah proses penggunaan barang dan jasa, mempermudah penyesuaian tarif, dan kemudahan dalam pengelolaan keuangan.

PPK-BLUD dapat terbagi menjadi 3 jenis; yaitu pertama, BLUD bertahap, yang diberikan fleksibilitas keuangan pada batas-batas tertentu. Kedua, BLUD Holding, yaitu puskesmas tidak mempunyai SDM yang memadai, dan sumber dana yang kurang, maka sumber dana puskesmas akan dikelola oleh holding untuk dikoordinasikan pada semua puskesmas yang menjadi unit dari holding tersebut. Terakhir, BLUD Penuh, yaitu diberikan fleksibilitas tata kelola keuangan secara penuh.

Secara teori diharapkan, puskemas sebagai BLUD berpeluang untuk dapat meningkatkan pelayanannya ke masyarakat. Puskesmas akan mengelola sendiri keuangannya, tanpa memiliki ketergantungan operasional kepada pemerintah daerah. Pelaksanaan PPK-BLUD tersebut masih belum seperti yang diharapkan. Pada kenyataannya, dari hasil kajian puskesmas BLUD diketahui, pola pengelolaan keuangan (PPK-BLUD) belum mencerminkan fleksibilitas pengelolaan keuangan sesuai konsep BLUD. Puskesmas belum mampu mengatasi kendala utama yang terkait pada kesiapan BLUD yaitu masalah sumber daya manusia dan sistem akuntansi keuangan. Puskesmas belum dapat juga

meningkatkan kinerja dan akuntabilitas puskesmas (Yulianti S, 2014). Dengan demikian, penerapan Pola Pengelolaan Keuangan (PPK) dengan status BLUD penuh pada puskesmas belum dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Saat ini, puskesmas memiliki 3 status kelembagaan strategis, yakni a) UPT Dinas Kesehatan (PP-18/2016 dan PMK-75/2014 sebagai pembina kesehatan wilayah/UKM); b) FKTP BPJS (PMK-19/2014 sebagai pelaksana UKP), dan optional sebagai c) Lembaga PPK-BLUD (Permendagri-61/2007 untuk pola pengelolaan keuangan/PPK-puskesmas). Dengan beban yang seperti itu, maka dikhawatirkan peran puskesmas untuk menjalankan fungsi UKM menjadi semakin melemah. Kondisi ini terjadi karena SDM puskesmas yang telah terbatas lebih memilih untuk memprioritaskan pada UKP karena adanya dana insentif dari kapitasi JKN (Kementerian PPN/Bappenas, 2018).

2.2.7. Fasyankes Primer sebagai Gatekeeper

Konsep gatekeeper adalah konsep sistem pelayanan kesehatan dimana fasilitas kesehatan tingkat pertama/primer yang berperan sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar berfungsi optimal sesuai standar kompetensinya dan memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan medik. Sedangkan konsep pelayanan kesehatan primer pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dikembangkan dengan penguatan pelayanan primer sebagai gatekeeper dengan konsep managed care. Pada konsep managed care, suksesnya sistem gatekeeper salah satunya dinilai dari angka kunjungan dan angka rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat sekunder dan tersier. Oleh karena itu, posisi fasyankes primer amat penting sebagai gatekeeper, karena merupakan kontak pertama kasus dengan layanan tenaga profesional kesehatan; yang dapat mengakibatkan rujukan dan cost tinggi bila kompetensinya belum memadai. Pelayanan primer sebagai gatekeeper terkendala oleh kompetensi nakes yang lemah dalam penguasaan penanganan 144 pedoman praktek klinik kasus layanan primer dan belum mantapnya pelaksanaan pengembangan dokter spesialis kedokteran layanan primer (Britton, K, dkk, 2018). Ada 4 fungsi sebagai gatekeeper, yaitu kontak pertama pelayanan, pelayanan berkelanjutan, pelayanan paripurna, dan koordinasi pelayanan.

Saat ini peran fasyankes primer sebagai gatekeeper belum berjalan optimal. Indikasi ini terlihat dari masih tingginya jumlah faskes yang merujuk ke faskes tingkat lanjut. Pada tahun 2014 tingkat rujukan yang dilakukan fasyankes primer ke rumah sakit sekitar 2,2 juta rujukan dari total 14,6 juta kunjungan atau mencapai 17%. Angka rujukan itu juga tergolong tinggi. Idealnya, maksimal rerata tingkat rujukan fasyankes primer ke rumah sakit tidak boleh lebih dari 10% (Media Indonesia.com, 2015)6

5. Kondisi ini disebabkan oleh sistem rujukan berjenjang belum berjalan optimal, adanya moral hazard dari peserta yang memaksa ke fasyankes pertama meminta surat rujukan sehingga berimplikasi terjadinya adverse selection.

Pada bulan Agustus 2018, BPJS telah menguji coba sistem rujukan online pada beberapa wilayah. Dengan sistem ini peserta secara otomatis akan diberikan 3 pilihan tempat layanan yang paling terdekat dengan tempat tinggal pasien, tetapi tidak boleh langsung ke rumah sakit tipe A atau B (kecuali kondisi gawat darurat).

6 http://mediaindonesia.com/read/detail/1887-tingkat-rujukan-ke-rs-tinggi

Page 22: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 2322 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Hasil positif dari penerapan sistem ini adalah terjadi pergeseran proporsi pelayanan yang biasa menumpuk di rumah sakit kelas A dan B, kini bergeser ke kelas C dan D. Upaya perbaikan yang perlu segera dilakukan dengan memperbaiki sistem antrian layanan rujukan dan masih adanya ketidaksesuaian mapping atau posisi pelayanan kesehatan. Sehingga para peserta BPJS Kesehatan mengeluhkan ini karena terpaksa harus berpindah rumah sakit untuk mendapat pelayanan (Tribunenew.com, 2018)7

6.

2.3. SISTEM PELAYANAN rUjUKAN

Sistem rujukan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal. Walaupun konsepnya telah baik, tetapi masih ada masalah akses pelayanan yang belum merata berakibat pada rujukan pasien belum efektif dan efisien karena masih ditemukan penumpukan pasien di rumah sakit tertentu sehingga perlu ada penataan sistem rujukan dengan regionalisasi agar sistem rujukan dapat terstruktur dan berjenjang. Untuk itu, telah dikembangkan tata kelola rujukan mulai dari fasyankes tingkat primer sampai dengan tingkat tersier. Rumah sakit kab/kota akan menjadi pengampu layanan di tingkat primer, seperti puskesmas, klinik, dan dokter praktek mandiri. Di setiap provinsi akan ada satu rumah sakit pusat rujukan provinsi. Rumah sakit rujukan provinsi akan menjadi pengampu bagi 4 rumah sakit regional di setiap provinsi. Penunjukan rumah sakit regional ini harus memenuhi kriteria tertentu, dengan merujuk pada Kepmenkes No.390/2014 dan No.391/2014. Rumah sakit rujukan regional ini yang akan menjadi pengampu beberapa RS di kab/kota. Pola rujukan ada 2 macam, yaitu vertikal dan horizontal. Rujukan vertikal adalah pasien dirujuk dari fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti klinik, puskesmas, dan dokter praktik ke Rumah Sakit. Sementara rujukan horizontal adalah rujukan pasien dari rumah sakit ke rumah sakit, tanpa meninjau kelas rumah sakit yang dituju. Saat ini ada sekitar 110 rumah sakit rujukan regional, 20 rumah sakit rujukan provinsi, dan 14 rumah sakit rujukan pusat.

Gambar 8. Tata Kelola rujukan

Sumber: Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan (Paparan Penyiapan Fasyankes Rujukan dalam JKN)

7 http://www.tribunnews.com/tribunners/2018/08/01/pelayanan-puskesmas-sebagai-gatekeeper-di-era-bpjs-

2.3.1. Perkembangan Sistem rujukan

Walaupun telah dikembangkan sistem rujukan regional, tetapi masih ditemukan berbagai tantangan baik dari sisi geografis, fasyankes, dan pasien. Sisi geografis karena Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak pada cincin api daerah pegunungan menyebabkan isu akses layanan menjadi hambatan utama, berimplikasi terhadap sebaran ketersediaan fasyankes tidak merata. Saat ini pemerintah telah mengembangkan program percepatan akses layanan terutama pada wilayah DTPK. Dari sisi pasien, walaupun biaya kesehatan bagi sebagian besar masyarakat tidak lagi menjadi masalah karena telah ada program JKN, hambatan terbesar adalah biaya untuk transportasi mencapai layanan. Sementara dari sisi rumah sakit, ada tantangan isu sumber daya manusia, ketersediaan sarana & prasarana dan alkes, serta obat.

Gambar 9. Gambaran Ketersediaan Sarana, Prasarana, dan Alkes pada rumah Sakit rujukan

Sumber: Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan

(Paparan Penyiapan fasyankes rujukan dalam JKN)

Kondisi sarana, prasana, dan alat kesehatan rumah sakit rujukan lebih baik dibandingkan rumah sakit bukan rujukan. Karena itu, upaya peningkatan sarana, prasarana dan alat kesehatan tetap harus dipenuhi terutama pada rumah sakit rujukan provinsi dan rumah sakit rujukan regional. Beberapa provinsi yang masih kurang diantaranya Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Utara, dan Sumatera Utara.

Pola rujukan ada 2 macam, yaitu vertikal dan horizontal. Hasil dari salah satu studi diketahui, pada rujukan horizontal, klinik memiliki angka kunjungan tertinggi (154/1.000 peserta) sedangkan puskesmas terendah (73/1.000 peserta). Namun demikian, angka rujukannya menunjukkan pola yang kontradiktif. Puskesmas memiliki angka rujukan yang

Page 23: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 2524 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

tertinggi (15/100 kunjungan), sementara pada klinik sekitar (11/100 kunjungan). Kondisi ini berarti bahwa klinik mampu memberikan pelayanan yang lebih efisien, yaitu ditunjukkan oleh tingginya angka rujukan namun tetap dapat menekan angka rujukan tidak terlalu tinggi. Rujukan dari semua jenis fasyanes primer cenderung diarahkan kepada rumah sakit kelas C/D (54%) dan kelas B (41%). Secara prinsip, hal ini dapat dikatakan cukup sesuai dengan mekanisme yang seharusnya. Namun demikian, masih ada beberapa kasus yang langsung dirujuk ke Rumah Sakit Kelas A. Mereka yang dirujuk ke RS tipe A karena permintaan kontrol. Alasan ini dapat diterima karena jenis diagnosis yang dirujuk memang diperlukan pelayanan spesialistik/sub-spesialistik. Diperkirakan ada 62% diagnosis yang dinilai sesuai antara diagnosis keluar dari layanan primer dan diagnosis keluar Rumah Sakit. Sayangnya masih ditemukan pada provinsi Papua dimana tidak ada satupun diagnosis yang sesuai antara layanan primer dengan rumah sakit. Sementara itu, kecenderungan rujukan pasien di rumah sakit ke rumah sakit yang lain (rujukan horizontal). Dalam praktiknya, pada setiap kelas rumah sakit menunjukkan pola rujukan yang paling besar pada tingkatan yang sama. Artinya rujukan dari rumah sakit dengan kelas tertentu sebagian besar diarahkan ke rumah sakit dengan kriteria kelas yang sama (PKEKK, 2016).

Sistem rujukan berjenjang berbasis kompetensi. Pelaksanaan sistem rujukan berjenjang mengalami hambatan terkait faktor geografis, jarak, transportasi, dan keterbatasan fasilitasi pelayanan kesehatan di daerah. Penataan sistem rujukan pelayanan kesehatan kedepan diarahkan melalui regionalisasi rujukan, secara berjenjang dan menggunakan sistem rujukan berbasis kompetensi fasilitas pelayanan kesehatan. Sistem rujukan berbasis kompetensi adalah sistem pelimpahan wewenang dan tanggung jawab atas kasus penyakit tertentu dari satu fasyankes yang mempunyai kompetensi terhadap suatu jenis penyakit kepada fasyankes kompetensi yang lebih mampu atau fasyankes di bawahnya dengan kompetensi pada jenis penyakit yang sama. Tujuannya untuk mampu menjawab faktor hambatan yang terjadi pada sistem rujukan.

Pada pertengahan tahun 2018, BPJS Kesehatan melakukan ujicoba sistem rujukan online berbasis kompetensi untuk memperbaiki sistem rujukan yang telah ada. Sistem rujukan sebelumnya dibuat dengan sistem manual, dimana pilihan fasyankes rujukan diserahkan kepada fasyankes primer. Menurut pihak BPJS, sistem rujukan online Program JKN-KIS adalah digitalisasi proses rujukan berjenjang untuk kemudahan dan kepastian peserta dalam memperoleh layanan di rumah sakit disesuaikan dengan kompetensi, jarak, dan kapasitas rumah sakit tujuan rujukan berdasarkan kebutuhan medis pasien. Sistem ini diwajibkan bagi semua fasyankes primer (puskesmas, Klinik Pratama, Dokter Praktik Perorangan) yang sudah terhubung jaringan komunikasi internet. Tujuan sistem rujukan online untuk meningkatkan kualitas pelayanan administrasi di fasilitas kesehatan. Dimana data bersifat real time dari fasyankes primer ke fasyankes tingkat lanjut, menggunakan digital documentation dimana data dari P-Care di fasyankes primer langsung terkoneksi ke fasyankes tingkat lanjut sehingga memudahkan analisis data calon pasien. Selain itu, paperless, jadi meminimalisir potensi kendala yang terjadi akibat pasien lupa membawa surat rujukan.

Sistem rujukan online telah merekomendasikan secara otomatis 3 nama tempat fasyankes yang akan menjadi tempat rujukan ke tingkat lanjut, dan tidak bisa diganti.

Dalam praktiknya, banyak terjadi kendala dan protes dari peserta, karena dari sisi pasien lebih mempersulit dari sisi jarak sehingga menambah beban biaya transportasi dan waktu pasien yang hilang. Dari sisi rumah sakit, terjadi pemerataan jumlah kunjungan pasien dimana terjadi peningkatan kunjungan pada rumah sakit tipe C/D tetapi penurunan pasien pada rumah sakit tipe B. Sayangnya ada beberapa fasyankes tipe C/D yang tidak siap dengan peningkatan utilisasi tersebut, sehingga merujuk kembali ke fasyankes lainnya. Kondisi ini yang dikeluhkan pasien karena harus berkeliling ke beberapa fasyankes untuk mendapatkan layanan sehingga menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya. Dampak yang paling membahayakan akibat sistem ini bila ada pasien yang menderita penyakit menular ternyata tidak mendapatkan penanganan segera karena harus berpindah-pindah faskes karena adalah ketidakmampuan penanganan atau keterbatasan kapasitas rumah sakit. Akibatnya justru terjadi penularanan penyakit ke orang lain tanpa disadarinya, misalkan kasus MDR-TB. Oleh karena itu, masih banyak kekurangan dan komplain dari peserta JKN, maka saat ini sistem rujukan online masih terus diperbaiki.

Pelayanan wisata medis. Indonesia memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa sehingga menjadi potensi wisata bagi para turis mancanegara. Untuk mendukung program wisata, maka Kemenkes telah melakukan Permenkes No.76 Tahun 2015 tentang Pelayanan Wisata Medis. Saat ini telah dibuat pengembangan 9 pusat unggulan pelayanan kesehatan terutama di kawasan wisata yang diarahkan sebagai yankes bermutu yang terintegrasi dengan layanan tradisional (Design Wisata Medik, Kemkes 2018).

Gambar 10. Lokasi Pusat Unggulan Kawasan Wisata Medik

Sumber: Ditjen Pelayanan Kesehatan, Kemkes, 2018

Pilot proyek rumah sakit yang mengembangkan pelayanan wisata medis adalah RSUD Kota Mataram, RSUD Sanglah dan RSUP Sarjito. Rumah Sakit yang telah ditetapkan sebagai Rumah Sakit wisata medis harus melakukan Pengembangan Pelayanan Wisata Medis yaitu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini dalam bidang kesehatan meliputi: sumber daya manusia; sarana, prasarana dan peralatan; jenis layanan unggulan; dan rencana bisnis, serta mengembangkan layanan kedokteran standar dalam paket layanan wisata medis.

1 Danau Toba, Sumatera Utara

2 Kep. Seribu & Kota Tua Jakarta

3 Tanjung Kelayang, Bangka Belitung

4 Tanjung Lesung Banten

5 Borobudur, Jawa Tengah

6 Bromo Tengger Semeru JaTim

7 Mandalika Nusa Tenggara Barat

8 Labuang Bajo, NusaTenggaraTimur

9 Morotai, Maluku Utara

Page 24: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 2726 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

2.3.2. rujuk Balik

Program Rujuk Balik (PRB) adalah Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada penderita penyakit kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan jangka panjang yang dilaksanakan di Faskes Tingkat Pertama atas rekomendasi/rujukan dari Dokter Spesialis/Sub Spesialis yang merawat (BPJS, 2014)8

7. Program rujuk balik mengacu pada Permenkes No. 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan dan peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. Pelayanan Program Rujuk Balik diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan penderita penyakit kronis, khususnya penyakit diabetes melitus, hipertensi, jantung, asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), epilepsi, stroke, schizophrenia, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang sudah terkontrol/stabil namun masih memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan dalam jangka panjang. Proses penanganan masalah kesehatan peserta BPJS Kesehatan dimulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti di puskesmas, dokter keluarga, dan klinik, terus berjenjang menuju ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan di rumah sakit. Dan sebaliknya, pasien yang sudah stabil atau sudah bisa terkontrol dikembalikan lagi ke fasilitas tingkat pertama, jika sudah dinyatakan pulih oleh dokter rumah sakit. Selanjutnya, pasien bisa mendaftar ke fasilitas pelayanan primer atau kantor cabang BPJS untuk dimasukkan dalam mekanisme rujuk balik.

Hal yang masih menjadi tantangan dari berbagai kajian di antaranya adalah: 1) Pelaksanaan PRB belum optimal dari faktor komunikasi (dokter spesialis di FKTL dengan dokter umum di FKTP) pada aspek kejelasan, karena informasi yang seharusnya disampaikan oleh dokter spesialis melalui surat rujuk balik tidak dituliskan. Surat rujuk balik yang digunakan oleh FKTL masih berubah-ubah. Persediaan obat yang masih sering kosong. Untuk mengatasi kekosongan obat, pihak rumah sakit meminjam obat yang dibutuhkan dari rumah sakit lain, dan dikembalikan bila telah tersedia. Sementara di layanan primer, apabila terjadi kekosongan obat maka pasien harus mencari obat di luar puskesmas, di apotek yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (Pertiwi D, et.all, 2017). Kebutuhan obat PRB untuk pasien BPJS oleh Apotik telah dapat dipenuhi. Lebih dari 95% dari semua pelayanan obat PRB telah dilakukan oleh pihak Apotek yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dengan pola penggunaan obat terbanyak yaitu untuk hipertensi sebanyak 84,09%, disusul diabetes melitus (37,52%) dan penyakit jantung (12,72%) (Sembada, S.D.,et.all, 2016).

Prolanis. Program Prolanis dibuat BPJS dalam rangka memperkuat program rujuk balik. Prolanis adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan Peserta, Fasilitas Kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan yang menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien (BPJS, 2014b)9

8. Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong peserta penyakit kronis mencapai kualitas hidup optimal dengan indikator 75% peserta terdaftar yang berkunjung ke Faskes Tingkat Pertama memiliki hasil “baik” pada pemeriksaan spesifi terhadap penyakit DM Tipe 2 dan Hipertensi sesuai Panduan

8 BPJS (2014). Panduan Praktis. Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN9 BPJS (2014b).Panduan Praktis. PROLANIS (Program PengelolaanPenyakit Kronis)

Klinis terkait sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi penyakit. Isu yang perlu mendapat perhatian penguatan promosi dan edukasi kesehatan kepada peserta prolanis. Belum adanya standarisasi edukasi mengakibatkan kualitas edukasi sangat tergantung masing-masing fasyankes primer.

2.3.3. Kondisi Layanan Tingkat Sekunder dan Tersier

jumlah dan distribusi. Dalam 7 tahun terakhir, 2012-2018, jumlah rumah sakit (RS) meningkat sekitar 35% dari 2.083 (2012) menjadi 2.822 (2018) atau sekitar 5% per tahun. Peningkatan jumlah RS swasta lebih banyak dibandingkan RS pemerintah, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7% per tahun, sedangkan pertumbuhan RS pemerintah hanya sebesar 2% per tahun. Walaupun demikian, jumlah tempat tidur yang tersedia pada RS pemerintah (53%) lebih besar dibandingkan RS swasta (website SIRS Kemkes, Januari 2019). Ini mengindikasikan ada potensi besar pada industri kesehatan di Indonesia yang membuat pihak swasta tertarik terutama pada daerah perkotaan. Dengan demikian, peran pemerintah perlu lebih besar pada daerah pedesaan dan DTPK. Apabila melihat dari sisi regionalisasi sejak tahun 2012 terlihat adanya ketimpangan pertumbuhan rumah sakit antar regional. Pertumbuhan rumah sakit yang paling besar ada di Pulau Jawa. Sedangkan dari jenis pelayanan, terjadi pelambatan pertumbuhan jumlah rumah sakit khusus dari 551 buah (2014) menjadi 578 (2017), dibandingkan peningkatan pada rumah sakit umum dari 1.855 buah menjadi 2.198 buah di tahun 2017 (Kemenkes, 2018). Rumah sakit juga dikelompokkan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan menjadi Kelas A, Kelas B, Kelas C, dan Kelas D. Pada tahun 2017, terdapat 3% RS Kelas A, 14% Kelas B, 48% RS Kelas C, 27% RS Kelas D dan kelas D Pratama, dan 8% RS lainnya belum ditetapkan kelas.

Gambar 11. Perkembangan jumlah rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, 2012-2018

Sumber: SIRS, Kemenkes, 2019

Salah satu indikator terpenuhi atau tidaknya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan rujukan dan perorangan di suatu wilayah dapat dilihat dari rasio tempat tidur terhadap 1.000 penduduk. Rasio jumlah tempat tidur di Indonesia berkisar 1,07 sampai 1,21 per 1.000 penduduk. Dengan demikian, jumlah tempat tidur di Indonesia sudah tercukupi menurut standar WHO. Namun ketika diuraikan per provinsi, masih ada

Page 25: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 2928 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

delapan provinsi dengan rasio tempat tidur terhadap penduduknya kurang mencukupi dengan kisaran 0,68 sampai 0,99, yaitu Riau, Lampung, Banten, Jawa Barat, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Sementara itu, rasio tempat tidur tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (2,24) dan Sulawesi Utara sebesar (2,15) (Kemenkes, 2018).

Dalam konteks JKN, jumlah rumah sakit yang telah tergabung dengan BPJS Kesehatan sekitar 86% atau ada 2419 dari 2822 rumah sakit (BPJS, 2018). Dampak JKN terhadap rumah sakit swasta di antaranya: 1) Kapasitas fasilitas rumah sakit swasta meningkat dan menawarkan lebih banyak layanan; 2) 81% rumah sakit swasta melaporkan peningkatan rawat inap dan rawat jalan; 3) Indikator keuangan menunjukkan pengeluaran out-of-pocket menurun secara signifikan pada rumah sakit yang dikontrak BPJS-K.

Gambar 12. Perkembangan rumah Sakit yang Tergabung dengan BPjS Kesehatan, 2014-2018

�Sumber: BPJS, 2018

Ketersediaan SDM. Total SDM Kesehatan di rumah sakit pada tahun 2017 adalah 665.826 orang yang terdiri dari 69% tenaga kesehatan dan 31% tenaga penunjang kesehatan. Tenaga kesehatan terbesar adalah perawat sebesar 48%, sedangkan yang terendah tenaga kesehatan tradisional sebesar 0,01%. Sedangkan jumlah dokter spesialis ada sebanyak 55.924 orang, terdiri atas dokter spesialis dasar (45%) dan yang terkecil dokter gigi spesialis (3%). Menurut jenis spesialisasinya, dokter spesialis terbanyak adalah dokter spesialis obstetri dan ginekologi sebanyak 7.512 orang (13%). Provinsi dengan jumlah dokter spesialis terbanyak di Jawa Barat dan DKI Jakarta, sedangkan provinsi dengan jumlah dokter spesialis paling sedikit adalah Kalimantan Utara dan Sulawesi Barat. Diperkirakan ada 54% dari rumah sakit kabupaten/kota kelas C yang telah memiliki empat dokter spesialis dasar dan tiga dokter spesialis penunjang.

Pengelolaan limbah medis. Cakupan Rumah Sakit yang telah melakukan pengelolaan limbah sesuai standar terus meningkat dari 15% di tahun 2015 menjadi 17% (2016) dan terus meningkat menjadi 22% di tahun 2017. Provinsi Lampung, DI Yogyakarta, dan Kalimantan Utara merupakan provinsi pengelolaan limbah terbaik dengan proporsi antara 67% sampai 95%, sedangkan yang terendah berkisar antara 2% sampai 4%, yaitu di Papua, Sulawesi Tengah, dan Jawa Timur. Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan limbah medis, seperti masih sedikitnya fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan pengelolaan limbah medis sesuai standar, masih banyak fasilitas pelayanan kesehatan yang menggunakan alat kesehatan yang bermerkuri, serta hambatan teknis dan perizinan dalam pengolahan limbah medis.

Obat. Rencana Kebutuhan Obat (RKO) dan e-katalog mulai melibatkan RS sejak dimulai penerapan kebijakan Kemkes dalam pengadaan obat menggunakan Formularium Nasional, RKO dan e-katalog. Beberapa kebijakan efisiensi obat berjalan, namun masih terjadinya gangguan perencanaan dukungan logistik farmalkes, stock-out farmalkes, obat dan vaksin. Penyebabnya antara lain penetapan harga yang terlalu menekan keuntungan produsen, sehingga menghambat pengadaan atau pengiriman obat di daerah yang membutuhkannya.

Program penyediaan obat generik dan esensial belum berjalan dalam basis paket simultan. Bentuk-bentuk pendanaan paket terpadu dangan peningkatan sinkronisasi lintas program perlu terus dilakukan untuk keberadaan dan pemerataan pelayanan kesehatan rumah sakit.

Pendapatan dan beban rumah sakit. Jumlah klaim biaya pelayanan yang telah dibayarkan oleh BPJS mencapai Rp 250 triliun dari tahun 2014 sampai 2017. Biaya klaim tersebut dibayarkan untuk layanan tingkat pertama sebesar Rp 47 triliun dan layanan tingkat kedua dan ketiga mencapai Rp 203 triliun. Biaya klaim yang harus dibayarkan tersebut cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dari Rp 42 triliun di tahun 2014 menjadi hampir 2 kali lipatnya, yaitu Rp 82 triliun di tahun 2017 (BPJS, 2018). Sementara itu, dari sisi pendapatan BPJS lebih rendah dari beban biaya klaim tersebut. Akibatnya setiap tahun terjadi defisit pembiayaan JKN. Solusi yang diambil pemerintah dengan memberikan dana talangan ke BPJS pada tahun

1.506 rS Swasta

715 rS Pemerintah Daerah

138 Pemerintah Provinsi

577 Pemerintah Kab/Kota

198 rS Pemerintah Pusat

49 Kementerian

107 TNI

42 POLRI

Page 26: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 3130 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

berikutnya. Akibatnya, BPJS telat melakukan pembayaran klaim ke rumah sakit. Rumah sakit mengalami kesulitan lukuiditas keuangan sehingga berdampak terhadap industri yang terkait seperti farmasi. Puncak kesulitan pembayaran BPJS terjadi pada tahun 2018 karena jumlah tagihan klaim dari pihak rumah sakit telah lebih besar dari asset yang dimiliki BPJS. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian menyeluruh untuk program JKN dan perlu segera mengambil langkah strategis sesuai dengan permasalahan yang ditemukan agar program JKN dapat diteruskan karena memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat Indonesia.

Hasil kajian yang dilakukan oleh HP+ dan TNP2K (2018) menunjukkan pendapatan rata-rata tahunan dan kisaran rata-rata pengeluaran pada rumah sakit yang dikontrak BPJSK lebih tinggi pada tahun 2013 dan 2016. Rumah sakit yang dikontrak BPJS-K melaporkan, rata-rata, pendapatan tahunan antara Rp 20-39 miliar pada 2013 dan 2016, sementara rumah sakit yang tidak dikontrak BPJS-K melaporkan kisaran pendapatan tahunan rata-rata Rp 10-19 miliar. Hal yang menarik, komposisi total pendapatan bergeser secara signifikan dari pembayaran langsung (out-of-pocket) ke pendapatan asuransi BPJS. Pendapatan dari layanan rawat inap lebih tinggi pada rumah sakit yang dikontrak BPJS dibandingkan rumah sakit yang tidak dikontrak BPJS (42 persen berbanding 35 persen). Kontributor terbesar kedua terhadap total pendapatan, obat-obatan, menurun antara 2013 dan 2016 di kedua rumah sakit yang dikontrak BPJS-K- dan non-BPJS-K (masing-masing 24% pada 2013 menjadi 21% pada 2016, dan 37% menjadi 32%).

Dibandingkan dengan tren pendapatan, proporsi total pengeluaran farmasi menurun di rumah sakit yang dikontrak BPJS-K, karena tingkat penggunaan obat generik. RS non-BPJS-K memiliki proporsi pengeluaran biaya farmasi 20 persen pada 2013 dan 2016. Rumah sakit BPJS-K, proporsi total pengeluaran yang merupakan obat-obatan menurun dari 20 persen pada 2013 menjadi 18,5 persen pada 2016. Antara 2013 dan 2017, proporsi obat yang dibeli secara generik meningkat di rumah sakit yang dikontrak BPJS-K dan non-BPJS-K (Gambar 13), meningkat 36 persen di antara rumah sakit yang dikontrak BPJS-K dan 33 persen di antara rumah sakit yang tidak dikontrak BPJS-K.

72 persen rumah sakit yang dikontrak BPJS-K melaporkan rujukan harga farmasi di e-katalog di mana harga seringkali jauh lebih rendah karena pengadaan massal oleh sektor publik secara signifikan lebih besar daripada yang bisa didapatkan oleh rumah sakit swasta. Di sisi lain, hanya 33 persen rumah sakit non-BPJS-K yang dilaporkan menggunakan e-katalog untuk referensi harga. Karena rumah sakit yang dikontrak BPJS-K lebih mengandalkan JKN untuk pendapatan mereka, temuan ini tampaknya menunjukkan bahwa mereka menjadi lebih sadar biaya dan mengambil berbagai strategi untuk mengurangi pengeluaran mereka untuk mempertahankan pendapatan bersih yang positif.

Gambar 13. rata-rata Persen Perubahan per Tahun pada Pendapatan Kotor (2011-2016)

Sumber: HP+ dan TNP2K (2018)

Keuntungan terus meningkat sejak 2011 untuk rumah sakit yang dikontrak BPJS-K, sementara rumah sakit yang tidak dikontrak BPJS-K mengalami pertumbuhan yang lambat sejak inisiasi JKN. Dari hasil catatan keuangan fasilitas menunjukkan bahwa pertumbuhan pendapatan dan pengeluaran tetap relatif konstan untuk rumah sakit yang dikontrak BPJS-K, sementara rumah sakit yang tidak dikontrak BPJS-K menunjukkan perlambatan. Pada 2015-2016, rata-rata rumah sakit yang tidak dikontrak mengalami penurunan laba.

2.3.4. rumah Sakit Swasta

Jumlah RS swasta lebih tinggi dibandingkan RS pemerintah. Sayangnya perkembangan RS swasta tidak menyebar di seluruh provinsi di Indonesia. Pertumbuhan RS swasta terkonsentrasi di Pulau Jawa karena populasi penduduknya besar. Dalam 6 tahun terakhir, di Jawa Timur paling tinggi kenaikannya mencapai 4 kali lipat, diikuti Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah (Laksono T & Elisabeth L, 2018). Sementara itu, di wilayah Indonesia Timur terutama di regional 5 justru cenderung menurun pertumbuhannya. Kondisi ini dapat dipahami karena pihak swasta lebih berorientasi profit. Oleh karena itu, peran pemerintah harus lebih banyak pada provinsi yang dianggap kurang dengan memberikan insentif kepada pihak swasta jika mau membangun RS di wilayah tersebut.

Prospek ke depan pihak RS swasta masih akan membangun bisnisnya terkonsentrasi di Pulau Jawa karena rasio jumlah tempat tidur (TT) per 100ribu penduduk masih tidak jauh berbeda dengan regional lainnya, yaitu sekitar 1.000-an orang /100 ribu penduduk kecuali di regional 3 (2.652 orang). Ini mengindikasikan kebutuhan pasar untuk membangun rumah sakit masih cukup terbuka. Dengan demikian, pertumbuhan RS swasta masih memprioritaskan pada provinsi yang memiliki populasi cukup besar dengan angka tingkat kesakitan tinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat regulasi yang mengatur dengan mekanime berdasarkan kebutuhan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah (certification of need) ketika akan membangun sebuah rumah sakit termasuk jenis penyediaan alatnya. Apabila pengaturan ini tidak dibuat, ada kemungkinan terjadi persaingan yang tidak sehat yang pada akhirnya akan merugikan RS swasta.

Page 27: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 3332 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

2.3.5. rumah Sakit Khusus

Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya. Rumah sakit khusus ada sekitar 20% dari seluruh rumah sakit yang ada di Indonesia. Setiap tahun jumlah rumah sakit khusus cenderung meningkat sekitar 18% dari tahun 2012 sampai 2017. Peningkatan tersebut pada rumah sakit yang dimiliki oleh swasta yang mencapai 2 kali lipatnya dalam 6 tahun terakhir. Jumlah rumah sakit yang dimiliki oleh organisasi not profit semakin berkurang, tinggal separuhnya. Demikian juga yang dimiliki pemerintah. Rumah sakit khusus yang tidak memiliki teknologi canggih dan sumber daya yang berkualitas sepertinya akan kalah dalam persaingan bisnis. Rumah sakit khusus tersebut untuk tetap mempertahankan bisnisnya lebih memilih untuk memperluas pasar, dengan berubah menjadi rumah sakit umum yang memberikan layanan lebih banyak sehingga mendapatkan potensi pendapatan yang lebih besar. Di sisi lain, perubahan peran rumah sakit khusus menjadi rumah sakit umum untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat akibat adanya program JKN yang diluncurkan tahun 2014.

Gambar 14. jumlah rumah Sakit Khusus menurut Kepemilikan dari Tahun 2012 Sampai 2017

Sumber: data diolah dari http://sirs.yankes.kemkes.go.id/rsonline

Di era JKN ini, jumlah rumah sakit khusus sepertinya akan semakin berkurang, kecuali bagi rumah sakit swasta yang mengusung teknologi canggih atau memang menyasar ceruk pasar yang kecil (niche). Dengan mempertimbangkan aspek epidemiologi penyakit di Indonesia, diprediksi jumlah rumah sakit khusus yang menangani kasus-kasus yang terkait kesehatan jiwa dan penyakit tidak menular akan terus bertumbuh, tetapi tidak untuk penyakit yang menular seperti kusta atau paru. Hal yang perlu dipikirkan apabila rumah sakit khusus ini banyak yang menyediakan teknologi canggih dengan biaya yang mahal perlu diatur regulasi jumlah pengadaan alatnya di suatu daerah. Tujuannya untuk mencegah tindakan diagnostik berlebihan kepada pasien yang menyebabkan biaya pengobatan menjadi mahal atau dari sisi rumah sakit akan mengalami kesulitan menutup biaya pembelian alat diagnostik tersebut karena volume penggunaan alat yang rendah.

2.3.6. Pengembangan rumah Sakit Melalui Mekanisme Kemitraan Swasta Publik (PPP)

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mendorong pemerintah daerah untuk menginisiasi pembangunan proyek infrastruktur melalui skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) atau dulu dikenal dengan Kemitraan Pemerintah Swasta (Public Private Partnership/PPP). Untuk itu, Kementrian Kesehatan telah mengeluarkan regulasi yang tertuang di dalam Permenkes No. 40 Tahun 2018 tentang Pedoman Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur kesehatan. Permenkes tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan terkait dalam melaksanakan kerjasama antara pemerintah dengan BUP dalam Penyediaan Infrastruktur Kesehatan. Infrastruktur kesehatan yang dimaksud adalah rumah sakit, puskesmas/klinik, labolatorium kesehatan, dan poliklinik kesehatan, yang meliputi penyediaan bangunan, prasarana, peralatan medis, dan/atau sumber daya manusia.

Kementerian Kesehatan menyiapkan empat proyek pengembangan rumah sakit kepada badan usaha pada 2019. Skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) ini melanjutkan skema serupa yang diterapkan di tiga rumah sakit pada 2018. Tahun ini kementerian memulai inovasi pengembangan rumah sakit dengan pola KPBU di RS Dharmais Jakarta, RS Pirngadi Medan, dan RSUD Sidoarjo. RS Dharmais merupakan rumah sakit vertikal pertama yang akan dikembangkan dengan skema KPBU. Proyek ini mendapat bantuan penyiapan proyek dari Kementerian Keuangan.

Di tingkat daerah konsep KBPU juga direspon sangat positif. Misalkan Provinsi Gorontalo menawarkan pengembangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Hasri Ainun Habibie (HAH) Gorontalo dengan nilai investasi sebesar Rp 841,8 miliar. Saat ini merupakan rumah sakit tipe D, direncanakan sebagai rumah sakit rujukan (tipe B). Di Provinsi Gorontalo sendiri belum tersedia rumah sakit yang melayani khusus untuk penanganan seperti penyakit ginjal, mata, jantung, dan kanker. Skema KPBU dipilih karena Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki keterbatasan dana dalam pengembangan dan pembangunan rumah sakit tersebut.

Ke depan konsep pembiayaan KBPU akan menjadi pilihan menarik di kalangan pemerintah daerah, karena adanya keterbatasan kemampuan kapasitas fiskal daerah. Proses pembelajaran penting dalam mengimplementasi KBPU adalah 1) Proyek yang akan dilakukan dengan KPBU perlu dikaji secara transparan yang menggambarkan kelayakan sebagai proyek KPBU; 2) Secara terus bersama dan berkonsultasi untuk mendapatkan model KPBU yang tepat dan dokumen pelelangan yang standar; 3) Tentukan kriteria pengadaan yang tidak rumit dan memudahkan bilamana terdapat audit; 4) Selalu tetap menjaga minat swasta dan lakukan dialog dengan pelaku investasi maupun industri; 5) Pengadaan tanah masih menjadi salah satu masalah utama, efektivitas dari UU. Sebab pengadaan tanah untuk kepentingan umum belum teruji. Untuk itu, proses pengadaan tanah perlu secara efektif dilakukan, idealnya dilakukan sebelum tender dimulai; 6) Perlu dukungan terpadu dari unsur pemerintah dalam memproses perizinan, sehingga dapat efisien dan efektif.

Pemerintah Swasta Organisasi non profit

Page 28: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 3534 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

2.3.7. Kualitas Mutu Layanan

Akreditasi rumah Sakit. Akreditasi rumah sakit adalah pengakuan resmi dari pemerintah kepada rumah sakit yang telah memenuhi standar pelayanan kesehatan. Akreditasi wajib dilakukan oleh semua rumah sakit di Indonesia, dan dilakukan minimal 3 tahun sekali. Tujuannya untuk mengevaluasi mutu suatu rumah sakit dengan penetapan standar mutu pelayanan. Penilaian akreditasi rumah sakit dilakukan oleh lembaga independen, yaitu Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), yang telah diakui pemerintah. Pada tahun 2017 telah ada sekitar 53% dari 2.770 rumah sakit yang terakreditasi, yaitu 22% milik pemerintah dan 32% milik swasta. Jumlah tersebut meningkat lagi pada bulan Juni 2018, mencapai 57% dari 2.835 rumah sakit (Kemenkes, 2018). Peningkatan jumlah akreditasi yang meningkat terus karena sebagai salah satu persyaratan faskes untuk dikontrak BPJSK dalam pelayanan peserta JKN, menjadi pendorong kuat atas hal ini. Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit maka Pemerintah telah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus Non Fisik (DAK NF) akreditasi rumah sakit sebanyak 195 rumah sakit (RS) pada tahun 2016, 97 RS pada tahun 2017 dan 85 RS pada tahun 2018. Beradasarkan hasil evaluasi Direktorat Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan menunjukkan bahwa 521 RS pemerintah yang berada di 360 Kabupaten/Kota telah terakreditasi nasional. Jumlah RS penerima DAK NF Tahun 2016-2017 yang belum terakreditasi sebanyak 48 RS, sedangkan 2 RS penerima DAK NF 2018 telah terakreditasi. Oleh karna itu perlu dilakukan monitoring dan evaluasi percepatan pelaksanaan akreditasi RS (Kemenkes, 2018)10.9

Studi USAID bersama Puslit Keluarga Sejahtera UI 2016-17 menemukan bahwa akreditasi mendorong berkembangnya budaya mutu, namun memerlukan upaya peningkatan mutu yang berlanjut dan berkesinambungan. Sejumlah RS berhasil mengelola peningkatan mutu dengan pelatihan, penerapan metode lean management dan bentuk-bentuk perasat peningkatan mutu dengan terus mengembangkan keselamatan pasien, continuous quality improvement berdampingan dengan tata kelola klinis dan korporat yang baik. Kursus-kursus yang dikembangkan berbagai asosiasi rumah sakit dan perguruan tinggi dalam manajemen rumah sakit memperoleh banyak peserta.

Kredensialing. Pengertian kredensial dapat dilihat pada 2 tingkatan, yaitu secara internal rumah sakit terhadap calon/karyawannya dan rumah sakit sebagai institusi untuk kontrak kerjasama dengan BPJS. Pada konteks internal rumah sakit, Kredensial adalah proses evaluasi terhadap tenaga kesehatan untuk menentukan kelayakan pemberian kewenangan klinis. Rekredensial adalah proses re-evaluasi terhadap tenaga kesehatan yang telah memiliki kewenangan klinis untuk menentukan kelayakan pemberian kewenangan klinis tersebut. Merujuk pada Permenkes No. 755 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit. Untuk peran kredensial/rekredensial dilakukan oleh Komite Medik rumah sakit, dengan melakukan pemeriksaan dan pengkajian atas: a) kompetensi, b) kesehatan fisik dan mental; c) perilaku; d) etika profesi. Dengan mekanisme tersebut diharapkan rumah sakit mendapatkan dan memiliki tenaga kesehatan yang qualified sehingga kualitas dan mutu layanan dapat terjaga. Salah satu studi menemukan bahwa 1) proses kredensial dokter di rumah sakit Indonesia sering dicampuradukkan dengan proses

10 http://yankes.kemkes.go.id/read-pertemuan-monitoring-dan-evaluasi-percepatan-pelaksanaa-akreditasi-ru-mah-sakit-wilayah-tengah-4539.html

penerimaan karyawan; 2) Pada dasarnya dokter memiliki kebutuhan perbaikan sistem kredensial; 3) Harapan Dokter selaras dengan model kredensial yang mengarah kepada “delineation of clinical privilege”. Model ini bertonggak pada proses segitiga kredensial yang terdiri dari clinical privilege, white paper, dan peer group, dengan keluaran berupa clinical appointment; 4) Sistem kredensial dokter di rumah sakit dengan menggunakan model “delineation of clinical privilege” sangat memungkinkan untuk diterapkan karena berbagai elemen yang diperlukan telah terdapat dalam profesi medis di Indonesia saat ini (Herkutanto & Astrid PS, 2009).

Sementara kredensialing yang dilakukan BPJS bertujuan untuk mengetahui kapasitas dan kualitas fasilitas kesehatan yang akan bekerjasama dengan BPJS sehingga peserta dapat dilayani. Fasyankes yang sudah bekerjasama dengan badan penyelenggara akan dimonitor dan dievaluasi oleh badan penyelenggara secara berkala untuk menjaga standar dan kualitas pelayanan. BPJS Kesehatan melakukan seleksi dan kredensialing melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan. Kriteria teknis yang menjadi pertimbangan BPJS Kesehatan untuk menyeleksi fasilitas kesehatan yang ingin bergabung antara lain sumber daya manusia (tenaga medis yang kompeten), kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan. Fasilitas kesehatan swasta yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib memperbaharui kontraknya setiap tahun. Namun pada dasarnya kontrak sifatnya sukarela. Hakekat dari kontrak adalah semangat mutual benefit. Dalam proses memperbarui kontrak kerja sama, dilakukan rekredensialing untuk memastikan benefit yang diterima peserta berjalan dengan baik sesuai kontrak selama ini. Dalam proses ini juga mempertimbangkan pendapat Dinas Kesehatan setempat dan memastikan bahwa pemutusan kontrak tidak mengganggu pelayanan kepada masyarakat dengan melalui pemetaan analisis kebutuhan faskes di suatu daerah. BPJS Kesehatan mengakhiri kerja sama dengan 65 rumah sakit swasta di berbagai daerah di Indonesia terhitung mulai 1 Januari 2019. Pemutusan itu dilakukan karena puluhan rumah sakit tersebut belum mendapatkan sertifikat akreditasi. Sementara itu 15 rumah sakit lain putus kerja sama karena tidak memenuhi syarat rekredensialing atau uji kelayakan ulang.

2.3.8. Utilization Review

Peningkatan utilisasi layanan terjadi dari tahun ke tahun, pada semua tingkatan layanan. Pada tingkat pertama jumlah kunjungan sekitar 66,8 juta kali (2014) meningkat lebih dari 2.5 kali lipatnya menjadi 150,3 juta kali (2017). Demikian pula yang terjadi di rumah sakit. Pada layanan poliklinik sekitar 21,3 juta (2014) meningkat 3 kali lipatnya dalam 3 tahun menjadi 64,4 juta kunjungan (2017). Demikian pula rawat inap dari 4,2 juta kasus (2014) menjadi 8,7 juta kasus (2017). Dengan beban layanan yang begitu besar tentu kualitas layanan akhirnya menjadi tidak optimal bila tidak diimbangi dengan jumlah fasyankes dan kapasitas yang cukup. Kondisi ini yang memicu terjadinya antrian pendaftaran dan waktu tunggu layanan lama.

Dalam lima tahun ke depan jumlah pasien masih akan terus meningkat dan berimplikasi terhadap beban biaya kesehatan yang semakin membesar. Jumlah pasien akan semakin meningkat karena tingkat utilisasi masih belum pada tingkat yang matur atau stabil baik pada rawat jalan dan rawat inap. Kedua, angka kesakitan Penyakit Tidak Menular (PTM) cenderung meningkat. Padahal pengobatan PTM berbiaya mahal. Apabila pemerintah

Page 29: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 3736 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

tidak segera merubah strategi lebih ke arah preventif dan promotif terutama melalui intervensi kebijakan tentunya angka prevalensi PTM akan terus naik. Contoh intervensi kebijakan misalkan membatasi penggunaan gula dan garam atau pengenaan pajak tinggi pada produk yang berakibat terhadap kesehatan.

2.3.9. Pengelolaan Keuangan rumah Sakit

Undang Undang No. 1/2004 memberi peluang pada RSUD untuk berkembang menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yaitu suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Hal ini tentunya memberikan paradigma baru sebagai sebuah Badan Layanan Umum Daerah juga harus seimbang antara Enterprising The Government dalam arti mewiraswastakan instansi pemerintah dengan pengelolaan instansi pemerintah ala bisnis, dengan Public Service Oriented yaitu tetap berorientasi pada peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

Jumlah rumah sakit yang tercatat telah memiliki status PPK-BLUD ada sebanyak 279 rumah sakit di tahun 2014, yang terdiri atas 260 telah BLUD penuh, dan sisanya 19 BLUD bertahap11

10. Dari salah satu studi diketahui, bahwa penerapan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) telah sesuai dengan Permendagri No. 61/2007 dan telah dijalankan dengan baik. Pertama, Pola Tata Kelola, Rencana Strategis Bisnis dan Laporan Pengelolaan Keuangan penerapannya telah sesuai dengan Permendagri. Namun, masih ditemukan penerapan BLUD yang belum sesuai dengan aturan, yaitu penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) belum sesuai indikator dan kriteria. Kedua, peran Dinas Kesehatan sebagai dewan pengawas belum dilaksanakan sesuai dengan Undang Undang Rumah Sakit No. 44/2009 dan Permendagri No. 61/2007 (Surianto & Laksono T, 2013). Sementara studi lain menunjukkan pola sebaliknya bahwa pelaksanaan tata kelola, capaian standar pelayanan minimal, serta perencanaan dan penganggaran belum sepenuhnya sesuai dengan Permendagri 61/2007. Kinerja Rumah sakit setelah menerapkan PPK-BLUD dilihat dari perspektif keuangan, perspektif pelanggan, serta perspektif pertumbuhan dan pembelajaran mengalami peningkatan, namun jika dilihat dari perspektif proses bisnis internal tidak seluruhnya mengalami peningkatan kinerja (Sunandar,A, 2017). Pendapat lain disampaikan bahwa rumah sakit yang belum mengimplementasikan PPK-BLUD dengan benar sesuai amanah Permendagri disebabkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal karena SOP keuangan masih terlalu rigid sehingga RSUD belum bisa sepenuhnya memanfaatkan fleksibilitas pengelolaan keuangan BLUD. Faktor eksternal karena SIMDA belum bisa memfasilitasi kebutuhan perencanaan BLUD (RBA) dan Peraturan Kepala Daerah yang masih rigid khususnya dalam masalah jenjang nilai pengadaan.

11 http://keuda.kemendagri.go.id/datin/index/3/2014

2.4. TATA KELOLA DINAS KESEHATAN DAN FASYANKES

Tata kelola pemerintah daerah pada awalnya telah diatur pada UU Nomor 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa perangkat daerah Kabupaten/Kota terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan. Merujuk turunan dari UU tersebut terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Pemerintahan Daerah (OPD), disebutkan bahwa Lembaga Teknis Daerah bisa berbentuk Badan, Kantor dan Rumah Sakit. Dengan demikian, kedudukan Rumah Sakit Daerah (RSD) adalah sebagai Lembaga Teknis Daerah (LTD) yang dipimpin oleh seorang direktur dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Status badan hukum dan kelembagaan inilah yang dianut oleh rumah sakit daerah sampai dengan saat ini.

Seiring berjalannya waktu, UU No. 32/2004 telah direvisi menjadi UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Pada salah satu pasal menyatakan bahwa Perangkat Daerah kabupaten/kota terdiri atas: Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas, Badan dan Kecamatan. Dengan demikian, Lembaga Teknis Daerah (LTD) sebagai induk kelembagaan rumah sakit daerah telah dihapus. Pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah menyatakan bahwa terdapat Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD) Kabupaten/Kota di bidang kesehatan berupa rumah sakit Daerah kabupaten/kota dan pusat kesehatan masyarakat sebagai unit organisasi bersifat fungsional dan unit layanan yang bekerja secara profesional. Dengan demikian, entitas Rumah Sakit Daerah sebagai sebuah lembaga di bawah Bupati/Walikota langsung dan berubah menjadi hanya sebuah unit di bawah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dengan demikian, Rumah Sakit Daerah (RSD) berada di bawah Dinas Kesehatan berbentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD).

Merujuk pasal 44 PP Nomor 18 Tahun 2016 diatur bahwa Rumah Sakit Daerah (RSD) kabupaten/kota dalam penyelenggaraan tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis dibina dan bertanggung jawab kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui penyampaian laporan kinerja rumah sakit kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata hubungan kerja rumah sakit Daerah kabupaten/kota akan diatur dalam Peraturan Presiden. Sebagai infromasi bahwa sampai dengan saat ini kelembagaan rumah sakit daerah adalah sebagai Lembaga Teknis Daerah (LTD) dengan mengacu pada PP Nomor 41 Tahun 2007 yang merupakan aturan hukum turunan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 sampai dengan pemberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2014 beserta perangkat-perangkat hukum turunan nya. Secara sederhana diterjemahkan bahwa di RSD tidak ada lagi pejabat struktural (eselon-ring) dan hanya diisi oleh para pejabat fungsional dan pelaksana fungsional layanan secara professional. RSD dipimpin oleh direktur rumah sakit Daerah kabupaten/kota, bersifat otonom dalam penyelenggaraan tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis serta menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD).

Dalam upaya penata laksanaan tata kelola birokrasi yang lebih baik, maka Kemenpan-RB telah mengeluarkan regulasi. Merujuk pada Permenpan-RB No. 38 Tahun 2017 tentang reformasi birokrasi Republik Indonesia mensyaratkan adanya standar kompetensi aparatur sipil negara (ASN) meliputi 3 jenis yaitu identitas jabatan, kompetensi jabatan, dan prasyarat jabatan. Hal yang perlu dibuat dan disepakati terkait dengan kompetensi jabatan di dinas kesehatan yang terdiri dari 3 komponen, yaitu kompetensi teknis, kompetensi manajerial, dan kompetensi sosial kultural. Saat ini masih dibahas intensif terkait isu ini dan belum selesai.

Page 30: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 3938 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

2.5. TEKNOLOGI INFOrMASI DI LAYANAN KESEHATAN

Kementrian kesehatan telah menggunakan teknologi informasi dalam melakukan penataan sistem data dan informasi di bidang kesehatan. Dalam arti luas, e-kesehatan berhubungan dengan upaya meningkatkan arus informasi, melalui sarana elektronik, untuk mendukung pelayanan kesehatan dan pengelolaan sistem kesehatan. Ruang lingkup e-kesehatan terbagi atas Sistem Informasi Kesehatan (SIK) dan tele-kesehatan. SIK adalah seperangkat tatanan yang meliputi data, informasi, indikator, prosedur, perangkat, teknologi, dan sumber daya manusia yang saling berkaitan dan dikelola secara terpadu untuk mengarahkan tindakan atau keputusan yang berguna dalam mendukung pembangunan kesehatan. Telemedicine adalah pemakaian telekomunikasi untuk memberikan informasi dan pelayanan medis jarak-jauh dalam upaya meningkatkan kualitas Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Termasuk di dalamnya antara lain Teleradiologi, Telekardiologi, Telefarmasi, Telekonsultasi, dsb. Sedangkan tele-kesehatan (telehealth) adalah pemakaian telekomunikasi untuk memberikan informasi dan pelayanan yang lingkupnya lebih luas, termasuk kepentingan konsumen dan pengguna akhir yang menjadi fokus kegiatan peningkatan upaya kesehatan masyarakat. Peran tele-kesehatan semata-mata merupakan sarana penunjang untuk melakukan komunikasi jarak jauh dan data yang dihasilkan akan disimpan dalam database yang menjadi bagian dari SIK (Daryo Soemitro, 2016)

Gambar 15. Kerangka Pengembangan eKesehatan

Sumber: Daryo Soemitro, 2016

Implementasi e-kesehatan di Indonesia butuh interoperabilitas dan arsitektur. Jika ada arsitektur dari e-kesehatan, akan terlihat ada kejelasan hubungan antar komponen di stakeholder, teknologi, people, dan process. Saat ini telah banyak inisiatif terkait pembangunan e-kesehatan, baik untuk personal, mobile hingga berbasis web yang dikembangkan oleh pelaku usaha di pusat dan daerah. Tetapi persoalannya referensi dan interoperabilitas akan jadi isu utama agar inisiasi-inisiasi bisa berjalan lebih efisien, efektif dan murah.

2.5.1. Sistem Informasi Kesehatan yang Belum Adekuat

Sistem Informasi Kesehatan (SIK) diperlukan untuk menjalankan upaya kesehatan dan memonitor agar upaya tersebut efektif dan efisien. Oleh karena itu, data informasi yang akurat, pendataan cermat dan keputusan tepat kini menjadi suatu kebutuhan. Kementerian Kesehatan, melalui Pusat Data dan Informasi telah mengembangkan Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) elektronik yang berisi data set yang diharapkan menjadi sebuah standar pencatatan dan pelaporan setiap puskesmas di seluruh Kota/Kabupaten sejak tahun 2011. Kegiatan pengembangan SIK ini meliputi pengembangan regulasi dan standar (road map, peraturan pemerintah, dan pengembangan petunjuk teknis SIK); pengembangan Bank Data Nasional; dan pengembangan National Health Data Dictionary.

Sementara itu, banyak Dinas Kesehatan telah mengembangkan Sistem Informasi Puskesmas (SIMPUS) dan rumah sakit dengan SIMRS. Berbagai program kesehatan pun telah mengembangkan sistem informasi sendiri secara spesifik seperti Kartini untuk program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), EWARS untuk surveilans penyakit, SITT untuk tuberkulosis dan SIHA untuk HIV/AIDS. Semua sistem informasi tersebut berdiri sendiri (fragmented), sehingga tidak dapat diintegrasikan dalam satu data repository tertentu atau bank data kesehatan, agar dapat dianalisis sesuai kebutuhan. Kondisi tersebut terjadi karena belum memiliki acuan standar yang jelas dan justru mengancam terjadinya pulau-pulau informasi baru karena terbatasnya kemampuan untuk dipertukarkan satu sama lainnya (integrasi dan interoperabilitas). Dalam rangka untuk memastikan integrasi dan interoperabilitas antar berbagai sistem informasi yang menyediakan data kesehatan secara elektronik, perlu diidentifikasi kebutuhan data dan standar yang digunakan dalam transaksi elektronik tersebut. Berdasarkan pengalaman dari negara lain, caranya membuat Kamus Data Kesehatan Nasional (Health Data Dictionary) sebagai salah satu bagian penting untuk mendukung integrasi dan interoperabilitas antar sistem yang berbeda-beda (Guardian Yoki Sanjaya, 2016).

Belajar dari pengalaman provinsi DI Yogyakarta, menurut Ani Roswiani (2016), pada awal pengembangan SIKDA berbasis teknologi informasi diawali dengan pengintegrasian Sistem Informasi Puskesmas (SIMPUS) dan Rumah Sakit (SIMRS) yang diberi nama IHIS (Integrated Health Information System). Permasalahan yang dihadapi sistem pencatatan dan pelaporan yang diakomodasi oleh SIMPUS terbatas pada sistem informasi yang berkaitan dengan upaya kesehatan perorangan, sedangkan sistem pencatatan dan pelaporan untuk kegiatan upaya kesehatan masyarakat lebih banyak dilakukan secara manual. Pencatatan elektronik baru sebatas menggunakan spreadsheet. Tantangan berikutnya adalah terkait dengan mekanisme pengiriman laporan dari puskesmas ke kabupaten/kota, kabupaten/kota ke provinsi/Kementerian Kesehatan, dan dari provinsi ke Kementerian Kesehatan. Peluang untuk mewujudkan SIKDA yang berkualitas karena sebagain puskesmas sudah memiliki komputer didukung dengan sarana komunikasi yang memungkinkan untuk melakukan koneksi internet. Strategi yang diterapkan untuk pengembangan SIKDA di DI Yogyakarta adalah dengan melakukan penguatan implementasi sistem, penetapan standar, dan fasilitasi teknologi informasi yang tepat sasaran. Sementara itu, di kabupaten Subang, termasuk mengintegrasikan sistem data SIMUNDU, Kartini, dan SITT. Proses pembelajaran yang dipetik adalah (a)

Page 31: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

2. Analisis Situasi • 4140 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Pengembangan SIKDA tidak bisa dilakukan sekaligus, namun secara bertahap (b) Sistem Informasi Kesehatan Daerah adalah sistem yang tidak berdiri sendiri, karena SIKDA merupakan sub sistem dari Sistem informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS), oleh karena itu pengembangan SIKDA mempertimbangkan kebutuhan informasi super sistemnya (SIKNAS).

Pada akhirnya penguatan pembangunan SIKDA perlu lebih diperkuat dan dipercepat di era revolusi industri 4.0. Bila hal itu tidak segera dibenahi, maka ketersediaan dan kualitas data yang real time akurat tidak akan pernah ada. Di luar dari isu sistem integrasi program SIKDA, permasalahan lain yang menonjol terkait dengan kemampuan dan keterbatasan sumber daya manusia, ketersediaan listrik, ketersediaan komputer/laptop, dan jaringan internet. Hal yang paling mendasar dan perlu mendapat perhatian serius adalah perilaku kepatuhan petugas dalam melakukan pencatatan dan pelaporan data tepat waktu, termasuk memberikan umpan balik atas kualitas data yang telah dikirimkan. Petugas di tingkat terbawah (puskesmas dan rumah sakit) merupakan ujung tombak dan kunci utama agar sistem SIKDA yang dibangun dapat optimal hasil dan pemanfaatanya.

Pada tingkat puskesmas tingkat kepatuhan pelaporannya masih rendah, karena terlalu banyak jumlah data yang harus dilaporkan sehingga tidak sempat untuk membuatnya. Diperkirakan ada 129 formulir pencatatan dan 22 formulir pelaporan yang sebagian besar harus dibuat dan dilaporkan setiap bulannya ke Dinkes kab/kota. Mengingat begitu banyak formulir, maka kiranya perlu dirancang ulang sistem pencatatan dan pelaporan data yang dianggap indikator kunci dengan sistem online. Isu kepatuhan pelaporan data tepat waktu masih menjadi kendala. Salah satu cara yang mungkin dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem pelaporan data dengan menggunakan smartphone yang dapat dilakukan secara harian seperti pada sistem P-Care BPJS.

Potensi pemanfaatan teknologi untuk telemedicine (Pelayanan Medis jarak jauh).Pada era revolusi industri 4.0 telah telah mulai ada inisiasi dan pengembangan teknologi di bidang kesehatan di Indonesia. Sektor kesehatan akan memdapatkan manfaat yang besar dari fusi antara sistem fisik, digital, dan biologis dapat membuat transformasi di bidang kesehatan. Misalkan, sensor yang terkoneksi dapat memudahkan pasien memantau kondisi kesehatannya sendiri. Novartis telah mengembangkan inhaler digital, yang memungkinkan pasien penyakit paru obstruktif menahun (PPOK) memantau data tentang penggunaan inhalasi secara real time (Kompas, 26 Desember 2018)12.11 Munculnya aplikasi HaloDoc yang baru diluncurkan dalam bulan April 2016 di Indonesia, disambut antusias mengindikasikan adanya keselarasan antara kebutuhan masyarakat untuk memperoleh kemudahan dan kenyamanan pelayanan kesehatan di satu sisi, dengan kepentingan pihak penyedia jasa. BPJS Kesehatan juga telah menerapkan teknologi informasi dengan nama Sistem Rujukan Online yang diluncurkan pada pertengahan 2018, bertujuan untuk memperbaiki sistem rujukan yang bersifat manual menjadi online .

Telemedicine juga mulai berkembang pesat di berbagai daerah di Indonesia. Telemedicine adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang digabungkan dengan kepakaran medis untuk memberikan layanan kesehatan, mulai dari konsultasi, diagnosa dan tindakan medis, tanpa terbatas ruang atau dilaksanakan dari jarak jauh. Untuk dapat

12 Djoko Santoso (2018). Industri 4.0 dan Kesehatan. Kompas, 26 Desember 2018. https://www.pressreader.com/

berjalan dengan baik, sistem ini membutuhkan teknologi komunikasi yang memungkinkan transfer data berupa video, suara, dan gambar secara interaktif yang dilakukan secara real time dengan mengintegrasikannya ke dalam teknologi pendukung video conference. Tujuan telemedicine adalah mengusahakan tercapainya pelayanan kesehatan secara merata di seluruh wilayah tanpa batasan geografis, meningkatkan kualitas pelayanan terutama untuk daerah terpencil, dan penghematan biaya dibandingkan cara konvensional. Selain itu, akan mengurangi rujukan ke dokter ataupun pelayanan kesehatan. Tipe atau bentuk praktek telemedicine dapat berupa telekonsultasi, teleassistansi, teleedukasi dan telemonitoring serta telesurgery.

Praktek kedokteran dengan menggunakan telemedicine mengandung potensi kerawanan yang dapat menyebabkan terjadi perubahan orientasi, baik dalam tata nilai maupun pemikiran. Perubahan orientasi tersebut akan mempengaruhi proses penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Apalagi sejauh ini belum ada aturan perizinan yang dibuat khususnya bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang menggunakan telemedicine baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Demikian pula, organisasi profesi kedokteran belum mengatur secara spesifik tentang standar profesi dalam penggunaan telemedicine. Untuk itu, standar profesi yang terukur harus menjadi bagian dari prinsip hukum penggunaan telemedicine baik oleh dokter Indonesia maupun bagi dokter asing. Isu hukum penggunaan telemedicine dalam praktek kedoteran adalah pemberian lisensi, akreditasi, privasi dan kerahasiaan catatan medis elektronik pasien, SOP, tanggung gugat bila terjadi malpraktek, dan kewenangan yurisdiksi.

Fakta di lapangan telah ada upaya pengembangan dan penerapan aplikasi untuk mengembangkan telemedicine. Misalkan di kota Makassar yang mengembangkan telemedicine untuk program homecare atau di kab Gunung Kidul untuk pemeriksaan layanan kesehatan. Hal yang masih menjadi tantangan implementasi telemedicine adalah 1) Tingginya biaya pengadaan & pemeliharaan infrastruktur; 2) Pola pikir yang masih konvensional: Dokter harus berada di ruang yang sama dengan pasien untuk interpretasi hasil pemeriksaan; 3) Titik berat pelayanan hanya pada pelayanan kesehatan (clinical service); 4) Tingginya biaya operasional penyelenggaraan telemedicine; 5) Pengoperasian yang tidak mudah.

Pemanfaatan teknologi informasi akan semakin marak di dunia kesehatan, termasuk Indonesia. Dengan semakin berkembangnya industri 4.0 maka penggunaan dan pemanfaatan sistem online dan telemedicine harus dipersiapkan sebaik mungkin. Pemanfaatan big-data dari sistem online dan telemedicine harus dapat dimanfaatkan secara optimal, misalkan untuk memprediksi preferensi pola hidup sehat, pengingat untuk minum obat, pendaftaran atau melihat ketersediaan tempat tidur termasuk sistem rujukan, atau deteksi dini untuk terjadinya suatu wabah penyakit, dan sebagainya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pembangunan e-kesehatan tidak semata-mata menyangkut keberhasilan dalam aspek teknologi, namun juga kultur-budaya di suatu daerah yang banyak diwarnai oleh komposisi generasi penduduk. Regulasi yang menyangkut keterlibatan atau peran serta SDM dalam TIK maupun kebutuhan masyarakat akan mengandung dimensi yang lebih kompleks dibanding regulasi yang akan diterapkan untuk mengatur aspek infrastruktur TIK yang karakteristiknya lebih terstruktur.

Page 32: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

42 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

3. TANTANGAN

DAN ISU STrATEGIS

Penguatan sistem Pelayanan kesehatan

Page 33: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

3. Tantangan dan Isu Strategis • 4544 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

3.1. TANTANGAN

Berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia di dalam menyongsong era industri 4.0, yaitu:

3.1.1. Transisi Epidemiologi dan Transisi Demografi Menuntut Pelayanan Kesehatan yang Lebih Komprehensif

Saat ini Indonsia mengalami dua transisi yaitu transisi epidemiologi dan transisi epidemiologi penyakit. Transisi demografi ditandai oleh terjadinya perubahan struktur penduduk dari tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi menjadi rendah karena ekonomi suatu negara. Sedangkan transisi epidemiologi, ditandai dengan masih tingginya prevalensi penyakit menular, dan pada saat yang sama penyakit tidak menular seperti kardiovaskuler dan kanker juga meningkat. Kedua transisi tersebut ditambah perkembangan ekonomi mengakibatkan Indonesia menghadapi tiga beban ganda. Pertama, Indonesia masih menghadapi masih tingginya angka kesakitan penyakit menular, seperti TB, DBD, diare, malaria, dsb. Beban kedua, tingginya angka kesakitan penyakit tidak menular seperti, hipertensi, diabetes mellitus, cardiovaskuler, kanker, dan sebagainya. Saat ini angka kematian penyakit tidak menular lebih tinggi dari penyakit menular. Tingginya kasus PTM ini dikarenakan perubahan pola gaya hidup di era globalisasi, perubahan struktur umur penduduk, dan faktor lainnya. Beban ketiga, munculnya penyakit baru (new emerging disease), seperti HIV/AIDS (1983), SAR (2003), Avian Influenza (2004), H1N1 (2009). Penyakit ini disebabkan oleh virus lama yang bermutasi sehingga tubuh manusia tidak mengenalinya dengan cepat. Angka kesakitan dan kematian pada penyakit ini sangat tinggi dan berlangsung cepat. Dengan kondisi seperti itu, maka dituntut penyediaan pelayanan kesehatan yang adekuat dan merata di seluruh Indonesia, dari sisi jumlah dan distribusi fasyankes, kecukupan SDM kesehatan, ketersediaan dan kelengkapan sarana dan prasarana, fasilitas labolatorium dan penunjang medis, ketersediaan dan kecukupan obat dan vaksin, dan sebagainya.

3.1.2. Pertumbuhan Penduduk Menuntut Penambahan Fasyankes

Jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat dari 238 juta orang di tahun 2010 menjadi 305 juta orang di tahun 2035 (BPS, 2010). Dengan semakin meningkatkan populasi penduduk dan asumsi angka kejadian sakitnya tetap dapat dipertahankan, maka tetap diperlukan tambahan fasilitas pelayanan kesehatan, agar tidak terjadi antrian dan penumpukan pasien yang sakit. Apalagi program JKN mendorong kesadaran masyarakat Indonesia untuk lebih sadar kesehatan, dan diprediksi angka utilisasi akan makin meningkat di tahun mendatang. Dengan kondisi fasyankes seperti sekarang ini, tentunya kapasitas rumah sakit tidak mungkin menampung jumlah permintaan yang semakin meningkat.

3.1.3. Tuntutan dari Komitmen Global terkait SDGs

Merujuk pada komitmen global yang tertuang di dalam tujuan pembangunan berkelanjutan dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) adalah 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dengan waktu target pencapaian di tahun 2030. Komitmen ini telah ditentukkan oleh PBB sebagai agenda pembangunan di seluruh

dunia. Indonesia salah satu negara yang harus dapat memenuhi target yang telah disepakati dalam SDGs tersebut. Di bidang kesehatan, isu tersebut terkait dengan tujuan ke 3, yaitu kehidupan sehat dan sejahtera, salah satunya terkait dengan Universal Health Coverage (UHC). Pencapaian indikator kesehatan juga tercantum pada berbagai tujuan SDGs lainnya. Untuk pencapaian target SDGs tersebut, maka perlu ada dukungan dan komitmen pemerintah untuk penyiapan dan penyediaan infrastruktur dan sumber daya kesehatan yang memadai dan mencukupi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

3.1.4. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)

Pada tahun 2015 telah disepakati dibentuknya pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara dikenal dengan istilah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). MEA merupakan bentuk kesepakatan negara-negara anggota ASEAN dalam membentuk suatu kawasan perdagangan bebas di mana terdapat aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih bebas. Akibat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN, Industri Kesehatan termasuk indutri farmasi akan berhadapan langsung untuk bersaing dengan Industri Kesehatan dan Farmasi dari negara lain yang bebas masuk ke dalam negeri. Merujuk Permenkes 317/2010, tenaga kerja asing dapat bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia. Bahkan menurut UU 44/2009 tentang rumah sakit juga menyebutkan RS dapat mempekerjakan tenaga kerja asing sesuai dengan kebutuhan pelayanan, dan pendayagunaannya dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan alih iptek serta ketersediaan nakes setempat. MEA juga berimplikasi terhadap industri farmasi. Industri Farmasi merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki oleh negara Indonesia di bidang kesehatan dalam menghasilkan berbagai produk kesehatan, seperti obat-obatan, alat kesehatan, dan kosmetika. Industri farmasi Indonesia adalah salah satu yang terbesar di ASEAN dan menyumbang sekitar 27% dari total pangsa pasar farmasi ASEAN atau sekitar US$ 4,2 miliar per tahun13

1. Di tingkat dunia, industri farmasi Indonesia berada di peringkat 23 teratas, dan diperkirakan akan naik ke 20 teratas pada 2017. Namun, 90% bahan baku farmasi di Indonesia masih diimpor dari negara lain, terutama Cina dan India (Dirjen kerfarmasian & alkes, 2016). Di era MEA, arus uang masuk ke Indonesia meningkat lima kali lipat, dari US$ 3,9 miliar pada 2016 menjadi US$ 23,1 miliar di tahun 2017. Sementara itu, investasi ASEAN ke Indonesia naik 20 persen menjadi US$ 11,9 miliar pada tahun 2017, didukung oleh kenaikan investasi sebesar 28 persen dari Singapura (investor terbesar di Indonesia) menjadi US$ 10,7 miliar (Asean, 2018).

Investor asing makin gencar membidik peluang investasi di sektor industri rumah sakit. Merujuk pada data BKPM, pada tahun 2015 investasi asing yang telah ditanamkan sebesar US$ 0,8 juta, kemudian menjadi US$ 0,2 juta pada 2016. Namun, per semester I/2017 angka investasi asing melonjak menjadi US$ 14,3 juta14.2 Minat investor asing ke industri rumah sakit meningkat pesat sejak 2016. Dalam DNI sebelumnya, investasi asing di rumah sakit dibatasi untuk rumah sakit spesialis, tetapi saat ini diperbolehkan berinvestasi di rumah sakit umum. Bahkan berdasarkan Peraturan Presiden No. 44/2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal dikenal juga dengan istilah Daftar Negatif Investasi (DNI). Dalam perpres tersebut bidang kesehatan termasuk bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu. Terkait DNI bidang kesehatan, investor asing diperbolehkan mengoperasikan rumah sakit hingga 67% (non-Asean) dan 70% bagi

13 https://www.researchpartnership.com/media/71822/asean-6-infographic.pdf14 https://banten.bisnis.com/read/20170815/448/680828/industri-rumah-sakit-investasi-asing-makin-gencar-

Page 34: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

3. Tantangan dan Isu Strategis • 4746 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

perusahaan asal Asean. Regulasi ini berlaku untuk seluruh Indonesia, kecuali Makassar dan Manado. Sementara, klinik pratama ditutup untuk asing, sedangkan industri rumah sakit dan klinik utama diperbolehkan bagi investor Asean. Sementara itu untuk investasi bidang kesehatan lain, seperti farmasi, alkes, pest control, dan lainnya, dapat dilihat pada daftar DNI pada perpres tersebut, dimana kisaran investasi asing yang diperbolehkan 49% sampai 85%. Dengan kondisi seperti itu, maka pemerintah perlu segera melakukan peningkatan kemampuan dan kapasitas sumber daya kesehatan menjadi krusial harus segera dilaksanakan agar mampu berkompetisi dengan negara lainnya di era MEA, termasuk penyiapan regulasi yang lebih teknis.

3.1.5. Desentralisasi: Perhatian untuk Penyempurnaan regulasi

Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Pengertian ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dengan adanya desentralisasi maka muncul otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Pengertian otomomi daerah adalah adanya hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI. Tujuannya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem NKRI (Kemendagri, 2015).

Merujuk pada UU No. 23 Tahun 2014, urusan pemerintahan terbagi menjadi 3 bagian yaitu urusan absolut, urusan pemerintahan umum, dan urusan konkuren. Bidang kesehatan termasuk urusan konkuren yang bersifat wajib, dan termasuk pelayanan dasar. Terkait urusan kesehatan maka ada 4 pembagian kewenangan antara pusat, provinsi, dan kab/kota, yaitu 1) upaya kesehatan; 2) SDM kesehatan; 3) sediaan farmasi, alkes, & makanan/minuman, terakhir 4) pemberdayaan masyarakat. Kewenangan pemerintah pusat ada 2 amanah yang harus dibuat dan ditetapkan yaitu Norma, Standar, Prosedur, Kegiatan (NSPK) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Secara keseluruhan, PP 38/2007 mengamanatkan penyusunan NSPK sebanyak 2413 NSPK. Penelitian ini mengindikasikan jumlah NSPK yang belum ada sama sekali sebanyak 1.425 (60%), NSPK yang membutuhkan penyelesaian dan revisi sebanyak 581 (25%) dan NSPK yang sudah tersusun sebanyak 407 (17%). Bidang kesehatan termasuk kategori harus diikuti dengan penyelesaian atau revisi NSPK.

3.2. ISU STrATEGIS

3.2.1. rendahnya Keterlibatan Aktif Masyarakat dalam UKBM

Indikasi ini terlihat dari makin berkurangnya jumlah posyandu aktif dan kader kesehatan dari tahun ke tahun. Akibat dari penurunan tersebut menyebabkan kegiatan penjangkauan kegiatan luar gedung puskesmas menjadi tidak optimal sehingga menyebabkan kinerja program menjadi menurun. Kondisi ini dapat terlihat dari indicator program imunisasi, KB, atau ASI eksklusif ditingkat nasional dengan membandingkan angka sebelum dan setelah JKN (Hidayat B, 2017). Penguatan program UKBM perlu segera dilakukan dengan cara merevitalisasi program UKBM dengan memanfaatkan teknologi digital dan

merekrut kader-kader baru dari generasi milenial. Dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat melalui berbagai gerakan baru yang seminat atau sehobi merupakan peluang besar merekrut mereka menjadi volunteer dibidang kesehatan. Pelibatan masyarakat dengan konsep viral marketing bertujuan untuk menciptakan gerakan sosial yang lebih peduli kesehatan, wajib dilakukan dengan memanfaatkan teknologi digital. Konsep dan strategi promosi kesehatan tradisional yang selama ini dilakukan Kemenkes perlu diubah dengan konsep baru yang lebih mudah diterima oleh generasi milenial dengan memanfaatkan teknologi di era indutri 4.0.

3.2.2. Menurunnya Program UKS yang Berbasiskan Sekolah

Aktivitas Upaya Kesehatah Sekolah (UKS) sebagai instrumen dalam edukasi hidup sehat sejak dini dan penjaringan kesehatan siswa sekolah saat ini cenderung menurun intensitasnya. Mengacu pada regulasi yang menjadi payung hukumnya, pelaksanaan UKS/M menjadi tanggung jawab Kemendikbud, Kemenag, Kemenkes, dan Kemendagri. Akan tetapi, kegiatan utamanya ada di Kemendikbud dan Kemenag dan juga beberapa kegiatan terkait ada di Direktorat Kesehatan Keluarga (Kesga) Kemenkes. Keterlibatan lintas KL belum optimal sehingga aktivitas UKS cenderung menunggu dari sektor kesehatan serta melalui puskesmas di setiap wilayahnya. Optimalisasi UKS diyakini dapat menjadi sarana dalam peningkatan keterlibatan masyarakat dalam peningkatan hidup sehat termasuk sektor pendidikan yang menjadi sasaran intervensinya.

3.2.3. Menurunnya Leadership Puskesmas tentang Peran dan Tanggungjawab Puskesmas sebagai Pembina Wilayah di Tingkat Kecamatan

Salah satu peran puskesmas adalah sebagai pembina kesehatan wilayah. Sayangnya peran yang seharusnya kuat justru semakin melemah saat ini. Puskesmas cenderung ke arah Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) atau kuratif sehingga terdorong menjadi klinik pengobatan. Kondisi ini terdorong adanya kapitasi dari program JKN. Puskesmas berlomba untuk mendapatkan dana kapitasi yang lebih besar sehingga insentif jasa pelayanan yang diterima akan semakin besar. Merujuk pada Permenkes No. 75 Tahun 2009, dinyatakan bahwa puskesmas menyelenggarakan layanan UKM dan UKP, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Namun patut disayangkan, terlihat indikasi bahwa setelah adanya JKN maka kinerja fasyankes primer terutama puskesmas untuk program upaya kesehatan masyarakat justru menurun, misalkan pada program imunisasi dan KB.

3.2.4. Supply Side Readiness dalam Fasyankes Primer, Sekunder, Tersier Masih tidak Merata antar Wilayah

Walaupun terjadi kenaikan jumlah fasyankes setiap tahunnnya. Namun, ketidakcukupan jumlah dan ketimpangan sebaran fasyankes masih tetap terjadi. Tantangan ini semakin nyata ketika mempersiapkan program JKN. Ketidaksiapan sisi suplai mengakibatkan terjadinya ketimpangan akses pelayanan kesehatan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta DTPK. Pada program JKN, layanan di tingkat primer masih terkonsentrasi pada puskesmas, yang berimplikasi terhadap beban kerja puskesmas semakin meningkat. Padahal potensi peran swasta dapat lebih banyak dimanfaatkan, terutama di daerah perkotaan.

Page 35: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

3. Tantangan dan Isu Strategis • 4948 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

3.2.5. Pertumbuhan Faskes belum Diiringi SDM yang Berimplikasi terhadap Kualitas Pelayanan

Pemerintah setiap tahunnya berupaya untuk menambah jumlah fasyankes, termasuk melibatkan peran swasta. Sayangnya, peningkatan jumlah fasyankes ini tidak diiringi dengan peningkatan jumlah SDM Kesehatan. Salah satunya karena adanya memoratorim tenaga kesehatan nonmedis dan memotarium produksi tenaga kesehatan. Dengan adanya kedua moratorium tersebut menghambat terjadinya peningkatan tambahan tenaga kesehatan. Sementara itu, potret ketersediaan SDM Kesehatan yang ada tidak menggembirakan, karena secara kuantitas tenaga kesehatan strategis (dokter, dokter gigi, perawat dan bidan) telah terjadi maldistribusi, kecuali tenaga kesehatan dokter gigi yang memang masih sangat kurang, sehingga menimbulkan inequety dalam penggunaan layanan kesehatan. Faktor pendorong terjadinya inequity tersebut adalah belum terimplementasikannya kebijakan pendayagunaan tenaga kesehatan strategis secara konsekuen. Perencanaan penempatan tenaga kesehatan belum mengacu pada Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 (Budijanto D & Astuti WD, 2015). Di sisi lain masih mencuat pula permasalahan kualitas pelayanan dengan kompetensi tenaga kesehatan. Dengan demikian, ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan dan kompetensi tenaga kesehatan menjadikan kendala yang serius dalam rangka peningkatan kualitas layanan terhadap masyarakat. Untuk itu, perlu kebijakan relokasi tenaga kesehatan dari yang berlebih ke yang kurang diikuti oleh peningkatan kualitas kompetensinya. Suatu upaya yang tidak mudah namun mendesak perlu, jika tidak ingin kekosongan tenaga kesehatan tersebut diisi oleh tenaga kesehatan asing yang di kontrak. Redistribusi tenaga kesehatan di puskesmas adalah kewenangan dari Bupati/Walikota, dan hal itu sifatnya ‘harus’ jika terjadi ketimpangan tenaga kesehatan di puskesmas (fasyankes). Sayangnya kebijakan tersebut jarang diimplementasikan sehingga ketimpangan ketenagaan tetap terjadi.

3.2.6. Sistem rujukan yang Perlu Diperkuat

Saat ini, sistem rujukan yang ada belum berjalan optimal, karena 1) fasyankes primer masih banyak yang merujuk pada fasyankes sekunder dan tersier karena ketidak-mampuan melakukan penanganan pada 144 kasus; 2) Ketidaktahuan masyarakat sehingga memaksa fasyakes primer untuk merujuk ke fasyankes yang lebih tinggi; 3) Ketidaktahuan kapasitas antar fasyankes menyebabkan seringkali antar mereka saling merujuk. Upaya penguatan fasyankes dilakukan secara berjenjang dengan mengembangkan konsep tata kelola rujukan regionalisasi. Namun demikian, isu kualitas antar fasyankes dan distribusi fasyankes yang tidak merata menyebabkan sistem rujukan yang telah dibangun belum berjala optimal. Upaya teknikal asisten dengan sistem jarak jauh dikembangkan, dengan istilah sister hospital ataupun melalui webinar terus digalakkan. Untuk mengatasi hambatan letak geografi maka Kemenkes telah memanfaatkan teknologi digital yang dikenal dengan telemedicine. Dengan telemedicine maka pakar petugas kesehatan tidak harus berada secara langsung dilokasi bersama pasien, tetapi bisa ditangani secara jarak jauh dengan dibantu oleh petugas di lokasi kejadian. Selain itu, pihak BPJS juga berupaya melakukan pembenahan sistem melalui sistem rujukan online bagi peserta BPJS ketika akses pelayanan kesehatan tingkat lanjut. Dengan sistem rujukan online ini maka peserta diberikan pilihan fasyankes yang akan dipilih, tidak perlu membawa bukti surat rujukan, dan tidak perlu mengurus administrasi di fasyankes yang terpilih. Saat ini sistem rujukan online masih terus dilakukan upaya perbaikan.

3.2.7. Kualitas Layanan Fasyankes Perlu Ditingkatkan

Kualitas layanan dapat diukur dengan beberapa perpektif, yaitu pasien dan provider. Dari sisi pasien dapat dilihat pada tingkat kepuasan pasien, sedangkan dari sisi provider dapat dilihat dari kualitas dan kapasitas SDM Kesehatan, sarana & prasarana, ketersediaan obat dan vaksin, dan sebagainya. Tingkat kepuasan pasien yang telah akses layanan kesehatan pada pasien BPJS masih belum mencapai target. Saat ini pencapian tingkat kepuasan pasien sekitar 80% di tahun 2017, padahal targetnya adalah 85% (BPJS, 2017). Dari sisi provider, beberapa hal yang masih menjadi tantangan adalah: 1) belum semua fasyankes primer dan lanjut dapat terpenuhi sarana dan prasarana penunjangnya untuk kelancaranan pelayanan dan operasional kegiatan; 2) distribusi dan kesiapan fasyankes primer tidak merata antar wilayah, terutama daerah di pedesaan dan DTPK; 3) ketidakcukupan jumlah obat karena ketidakmampuan dalam perencanaan dan manajemen pengelolaan obat, serta kekurangan tenaga farmasi.

Page 36: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

50 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

4.ArAH KEBIjAKAN

DAN STrATEGI

Penguatan sistem Pelayanan kesehatan

Page 37: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

4. Arah Kebijakan dan Strategi • 5352 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Arah kebijakan upaya pelayanan kesehatan adalah penguatan program UKBM melalui penjangkauan, keterlibatan, dan pemberdayaan masyarakat, sekaligus percepatan supply side readiness yang diiringi dengan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya kesehatan serta memperkuat sistem rujukan dan kualitas layanan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi digital. Secara strategi dapat dituangkan dalam 3 program besar dengan beberapa isu berikut ini:

4.1. PENGUATAN DAN PENATAAN ULANG PrOGrAM UKBM

Berdasarkan hasil analisis situasi, diketahui ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam program UKBM di antaranya; semakin menurunnya partisipasi masyarakat dalam bidang posyandu dan hal ini terkait dengan komitmen para kader kesehatan dalam mendukung program kesehatan, program yang berjalan cenderung monoton dan belum memanfaatkan teknologi digital, serta belum menggali potensi sumber daya yang ada secara optimal di masyarakat. Atas dasar itu, maka beberapa strategi yang diusulkan sebagai berikut:

• Penguatan keterlibatan peran aktif masyarakat dalam UKBM melalui peningkatan kuantitas dan kualitas kader kesehatan dari generasi milenial dengan memanfaatkan teknologi digital. Walaupun data secara akurat jumlah kader kesehatan yang aktif tidak bisa diperoleh, namun ada kecenderungan jumlah kader kesehatan yang aktif menurun karena jumlah posyandu aktif hanya tinggal separuh dari jumlah yang tercatat. Oleh karena itu, regenerasi kader kesehatan harus segera dilakukan dengan merekrut generasi milenial yang melek dengan teknologi digital di era industri 4.0. Kemenkes perlu segera membuat inovasi baru dengan memanfaatkan teknologi digital untuk merekrut para kader dan menyampaikan pesan edukasi dan informasi kesehatan. Dengan demikian, kesenjangan teknologi dan informasi dapat dieliminir dengan merekrut para kader generasi milenial. Generasi milenial telah terbiasa dan melek dengan teknologi digital. Sehingga mereka perlu dilibatkan agar pesan dan komunikasi yang dibangun oleh Kemenkes nantinya dapat diterima dan tersosialisasi dengan baik.

• Menambah dan merevitalisasi posyandu yang lebih responsif terhadap permasalahan kesehatan melalui inovasi program dengan memperkuat peran pembinaan dari Puskesmas.Jumlah posyandu aktif tinggal separuhnya dari yang tercatat di Kemenkes. Oleh sebab itu, perlu ada strategi baru untuk memperkuat peran posyandu. Salah satunya dengan membuat posyandu agar lebih responsif terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat sehingga kehadiran posyandu dirasakan manfaatnya. Kunci sukses untuk mewujudkan hal tersebut ada di puskesmas selaku pembina wilayah. Puskesmas perlu melakukan pembinaan dan kontak rutin dengan para kader kesehatan agar selalu mengerakkan masyarakat untuk hadir ke posyandu.

Saat ini, gerakan untuk hidup sehat mulai tumbuh subur di masyarakat, tetapi masih tersebar dan saling berdiri sendiri karena pendirian kelompok-kelompok gerakan tersebut didasari atas kesamaan minat atau hobbi, misalkan kelompok peminat lari marathon, kelompok jantung sehat, kelompok sepeda, dsb. Mulai tubuhnya kesadaran untuk hidup sehat ini merupakan sebuah potensi besar yang harus dimanfaatkan dan dioptimalkan

menjadi sebuah gerakan massa untuk mendukung program kesehatan. Saat ini gerakan yang ada belum diorganisir dan diarahkan untuk menjadi sebuah gerakan yang bisa menjadi sebuah kekuatan sosial untuk perubahan gaya hidup yang lebih baik. Kemenkes perlu membuat gerakan yang fragmented ini menjadi lebih terarah dan menjadi bagian dari program gerakan masyarakat sehat (Germas) melalui puskesmas sebagai ujung tombak di masyarakat.

• Memperkuat program UKS yang berbasiskan sekolah/PAUD melalui koordinasi, komunikasi, dan jejaring dengan pihak Diknas & Kemenag kab/kota, sekolah, dan komite sekolah dengan fokus kegiatan pada edukasi, praktek, dan penguatan peer edukasi.Permasalahan kesehatan remaja perlu mendapat perhatian dan penanganan serius dari pemerintah yang terkait dengan gizi (anemia, malnutrisi, pola makan sehat) dan perilaku berisiko (merokok, alkohol, seks pra-nikah). Ujung tombak upaya penanganan program kesehatan di sekolah dilakukan oleh puskesmas dikenal dengan istilah Upaya Kesehatan Sekolah (UKS). Dalam implementasinya perlu ada penguatan koordinasi dan komunikasi yang intensif antara Dinkes dengan pihak Diknas & Kemenag kab/kota, lalu dalam penjabaran program antara puskesmas dengan sekolah yang bekerjasama dengan komite sekolah. Dari sisi program, perlu meningkatkan kualitas program UKS yang fokus ke edukasi, praktek, dan penguatan peer edukasi terhadap permasalahan kesehatan yang dihadapi remaja.

4.2. PErCEPATAN DAN PENGUATAN FASYANKES

Ada berbagai tantangan yang harus segera diselesaikan untuk mengatasi isu akses, kuantitas, kualitas, dan mutu layanan pada fasyankes. Permasalahan yang ada merupakan kumpulan masalah yang belum banyak diselesaikan dari persoalan yang terjadi pada saat ini dan beberapa tahun lalu. Mulai dari persoalan kemampuan leadership dari para pengelola program, perebutan antara UKM vs UKP, keterlibatan peran swasta, penanganan sistem rujukan, dan mutu kualitas layanan. Strategi yang diusulkan untuk mengatasi berbagai isu pada fasyankes berikut ini:

• Memperkuat kemampuan kepemimpinan (leadership) Puskesmas melalui pelatihan manajemen Puskesmas dan pelatihan kepemimpinan bagi para kepala Puskesmas, serta menetapkan minimum standar kualifikasi ketika merekrut seorang pimpinan Puskesmas. Kunci sukses keberhasilan sebuah puskesmas salah satu faktornya ada leadership yang kuat dari pimpinan puskesmas, yang didukung kuat oleh seluruh staf. Peran kepala puskesmas sangat besar untuk menentukan arah dan gerak puskesmas. Sayangnya tidak semua puskesmas memiliki kepala puskesmas yang leadership-nya baik. Pentingnya kepemimpinan atau leadership telah tercantum dalam Permenkes No.44 tahun 2016 tentang manajemen puskesmas. Diharapkan adanya penerapan kepemimpinan yang mampu membangun kerja sama dalam tim, mendorong partisipasi serta mengembangkan kemampuan bekerja profesional yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, penguatan perlu dilakukan melalui pelatihan manajemen puskesmas dan pelatihan kepemimpinan bagi para kepala puskesmas.

Page 38: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

4. Arah Kebijakan dan Strategi • 5554 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

• Penguatan program UKM melalui pembuatan NSPK, mencabut moratorium tenaga kesehatan, melengkapi seluruh Puskesmas dengan 5 jenis tenaga, jaspel petugas UKM, dan dana desa bagi UKM.Saat ini program UKM semakin termaginalisasi semenjak era JKN di tingkat puskesmas. Padahal program UKM sangat krusial dalam penanganan kesehatan berbasis masyarakat. Oleh karena itu perlu upaya penguatan program UKM melalui pembuatan Norma, Standar, Prosedur, Kinerja (NSPK) setiap kegiatan UKM. Dengan demikian, semua yang terlibat program UKM menjadi tahu apa dan bagaimana cara mengimlementasikan program UKM. Di sisi lain, ada regulasi yang menghambat pencapaian program UKM yaitu adanya moratorium tenaga kesehatan yang dikeluarkan oleh Kemenkes, MenPan, dan Kemenkeu. Akibatnya, jumlah dan kelengkapan jenis tenaga kesehatan di puskesmas menjadi kurang. Dengan kondisi seperti itu, tentu akan semakin sulit untuk mencapai target kinerja UKM. Kemenkes mensyaratkan untuk dapat mencapai kinerja UKM yang optimal harus memiliki minimal 5 jenis ketenagaan kesehatan. Sayangnya masih banyak puskesmas yang belum bisa memenuhi prasyarat tersebut. Percepatan pemenuhan tenaga kesehatan ini harus segera dipenuhi sekaligus dengan cara mencabut moratorium tenaga kesehatan.

puskesmas memiliki dual fungsi yaitu UKP dan UKM, terkait isu task-shifting dan multi-tasking di puskesmas, maka seringkali terjadi ketidakmerataan pembagian tugas dan jasa pelayanan. Saat ini yang ada insentif untuk jasa pelayanan dari kegiatan UKP, sementara untuk kegiatan UKM tidak ada. Dalam upaya memperkuat program UKM maka diperlukan jasa pelayanan yang bersumber dari UKM. Dukungan pembiayaan program UKM dari sektor lain amat diperlukan, salah satunya dengan memanfaatkan sumber pendanaan dari dana desa.

• Peningkatan jumlah dan distribusi fasyankes melalui pelibatan aktif peran swasta nasional dan asing melalui pola kerjasama KBPU, serta memperkuat regulasi dalam mengantisipasi FDI.Pemerintah telah menyadari tidak mungkin melakukan percepatan penyiapan ketersediaan fasyankes di seluruh Indonesia. Atas dasar itu, pemerintah telah mempersiapkan regulasi untuk melibatkan secara aktif pihak swasta, baik swasta nasional ataupun asing. Regulasi yang ada dikenal dengan nama kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KBPU). Dengan semakin menglobalnya pasar perdagangan dan jasa, maka Indonesia telah masuk dari bagian Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Untuk itu, perlu ada regulasi yang mengatur secara lebih jelas terkait dengan investasi langsung negara asing dikenal sebagai Foregn Direct Investmen (FDI). Kecenderungan FDI semakin meningkat setiap tahunnya karena pasar Indonesia besar. Di bidang kesehatan, FDI harus menjadi komplementer, bukan dianggap sebagai kompetitor yang pada akhirnya dapat menghancurkan pasar kesehatan pemain lokal. Regulasi untuk itu harus diatur agar terjadi senergi yang saling menguatkan antara fasyankes milik pemerintah, swasta, maupun asing.

• Peningkatan jumlah fasyankes harus diiringi dengan penambahan kuantitas SDM Kesehatan yang berkualitas melalui perbaikan kurikulum pendidikan dan kualitas pengajaran, strategi pemenuhan SDM kesehatan, dan pengembangan kebijakan afirmasi pada DTPK.Ironi bila pemerintah telah membangun fasyankes tetapi setelah berdiri ternyata tidak tersedia sumber daya kesehatan yang mencukupi bahkan cenderung kurang. Jika hal itu terjadi, maka pelayanan kesehatan tidak bisa terlaksana sesuai standar dan bermutu. Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki informasi peta kebutuhan antara fasyankes dengan kebutuhan sumber daya kesehatan. Sayangnya kualitas SDM kesehatan yang mumpuni masih menjadi pertanyaan seiring dengan adanya indikasi kualitas lulusan di bawah standar. Akibatnya, terjadi moratorium atas program studi di bidang kesehatan dalam rangka penataan ulang atas program studi yang ada. Salah satu upaya untuk mengisi kekosongan tenaga kesehatan pada deerah tertentu, terutama di DTPK maka perlu dilakukan strategi penugasan khusus atau pengembangan kebijakan afirmasi DTPK.

• Penguatan sistem rujukan melalui penguatan jejaring regionalisasi fasyankes dan evaluasi sistem rujukan saat ini, serta memanfaatkan teknologi digital dalam membangun sistem rujukan.Sistem rujukan yang telah berjalan masih belum optimal. Upaya penguatan dan aturan main yang lebih jelas perlu ada agar sejalan dengan road map sistem rujukan. Penguatan dan pembinaan antar jejaring masih belum optimal berjalan karena berbagai tantangan. Pola rujukan regional yang tujuannya ingin mendistribusikan pasien agar tidak terjadi penumpukan pasien masih terjadi. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi ulang atas sistem rujukan yang ada saat ini yang dijadikan sebagai bahan masukan untuk perbaikan dan penguatan sistem rujukan. Teknologi informasi perlu diaplikasikan dalam membangun sistem rujukan ini agar prosesnya bisa lebih cepat dan akurat, misalkan untuk pendaftaran, pencarian faskes, pencarian tempat tidur, rekomendasi fasyankes yang sesuai antara jenis penyakit dengan tenaga ahli yang ada di fasyankes tersebut, dsb. Apabila sistem rujukan tersebut dapat berjalan optimal maka tercipta efisiensi biaya dan efektifitas waktu layanan baik dari perpektif provider maupun pasien.

• Peningkatan kualitas dan mutu layanan fasyankes melalui percepatan akreditasi fasyankes dan clinical pathways.Variasi standar dan kualitas layanan masih lebar antar fasyankes yang berimplikasi terhadap kualitas dan mutu layanan yang diberikan kepada pasien. Dalam upaya percepatan menjaga mutu layanan di fasyankes di seluruh Indonesia sama, maka Kemenkes telah mengeluarkan kebijakan untuk meminta semua fasyankes melakukan akreditasi, baik ditingkat fasyankes primer, sekunder, dan tersier. Sayangnya target Kemenkes untuk melakukan akreditasi tidak besar setiap tahunnya. Untuk itu, perlu dilakukan percepatan target akreditasi semua fasyankes dalam waktu dekat. Upaya lain yang dilakukan dalam menjaga kualitas layanan dengan meminta pihak rumah sakit membuat clinical pathway.

Page 39: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

4. Arah Kebijakan dan Strategi • 5756 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

4.3. PENGUATAN TATA KELOLA MANAjEMEN KESEHATAN & TEKNOLOGI DIGITAL

Tata kelola manajemen kesehatan yang efektif dan efisien masih menjadi tantangan untuk ditaklukan ditingkat pemerintah daerah terutama di dinas kesehatan. Umumnya pada tataran implentasi regulasi untuk program/kegiatan bidang kesehatan di tingkat daerah maka Dinas Kesehatan memainkan peran besar. Sayangnya masih ada berbagai tantangan terkait regulasi tata kelola, tupoksi, dan kompetensi yang harus dimiliki dinas kesehatan tersebut. Di sisi lain kemampuan perencanaan & penggaran berbasis kinerja masih lemah dan isu ego-sektoral masih kuat sehingga menyulitkan koordinasi dan kerjasama lintas sektoral ketika akan membuat integrasi program/kegiatan.

Dalam upaya mengatasi tantangan tersebut, maka strategi yang diusulkan sebagai berikut:

• Memperkuat tata kelola Dinas Kesehatan melalui penyusunan tupoksi dan standar kompetensi dinkes, hubungan kerja antara Dinkes, rumah sakit, dan Puskesmas, kemampuan dalam perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja, memperkuat koordinasi dan kerjasama lintas sektor.Dalam upaya penguatan dan peningkatan kualitas birokrasi maka menpan-RB telah mengeluarkan regulasi terkait dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan kebijakan tersebut telah diatur tupoksi dan kompetensi Dinas Kesehatan. Namun, sampai saat ini belum dapat terselesaikan sejak tahun 2017. Aturan main ini harus segera diselesaikan agar semua kinerja program kesehatan dapat tercapai secara optimal. D isisi lain masih ditemukan adanya ketidakharmonisan regulasi terkait tata kelola dinas kesehatan dengan fasyankes. Pihak asosiasi rumah sakit daerah masih memperjuangkan untuk kembali ke sistem yang lama yaitu di bawah sekretaris daerah, karena terkait substansi hukum dimana PP No.18 tahun 2016 bertentangan dengan strata hukum yang lebih tinggi UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa rumah sakit yang didirikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan, Instansi tertentu atau Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks pengelolaan program kemampuan perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja masih belum adekuat. Perencanaan Dinkes cenderung belum berbasiskan bukti, karena sistem pencatatan dan pelaporan data rutin belum berjalan optimal. Akibatnya, perencanaan yang dibuat merujuk pada pengalaman tahun lalu dengan melakukan modifikasi karena keterbatasan waktu untuk menyerahkan ke pihak Bappeda. Sementara itu, ego sektoral masih kuat antar dinas sehingga seringkali menyulitkan ketika akan melakukan koordinasi dan atau kerjasama untuk pengintegrasian program/kegiatan.

• Membangun dan memperkuat sistem e-kesehatan melalui pengintegrasian satu pintu sistem pencatatan dan pelaporan data untuk monev kinerja, memastikan kepatuhan pelaporan data rutin dapat terlaksana dari jenjang terbawah, serta mengembangkan telemedicine dan regulasinya.Sistem informasi dan data kesehatan yang telah terbangun tersebar pada berbagai program dan unit di lingkungan Kemenkes. Sistem yang terbangun ini dimulai dari tingkat pusat bahkan sampai ada yang ke tingkat puskesmas. Pembangunan sistem informasi yang terkotak-kotak ini disebabkan tidak berjalannya sistem pencatatan dan pelaporan

data rutin dari tingkat puskesmas. Akibatnya, masing-masing program mencoba membuat sistem pencatatan dan pelaporan sendiri. Situasi makin kompleks karena mereka memiliki arsitektur data dan sistem software yang berbeda sehingga menyulitkan ketika dilakukan integrasi sistem manajemen informasi dan data. Upaya untuk pengintegrasian data dan informasi pada satu pintu harus bisa dilakukan agar mudah melakukan pemantauan kinerja dan hasilnya publikasinya tidak berbeda. Semua sistem yang dibangun akan percuma bila kepatuhan pencatatan dan pelaporan data rutin tidak bisa berjalan optimal dari jenjang terbawah. Untuk mengatasi kendala akses pelayanan kesehatan dari sisi jarak dan waktu maka teknologi digital harus dioptimalkan, misalkan dengan telemedicine. Isu yang perlu diantisipasi pada teknologi telemedicine terkait penyiapan regulasi dan dari sisi etik medis.

Page 40: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

Kajian Sektor Kesehatan • 5958 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

15. Kementerian Kesehatan. (2018). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI 2018

16. Kementerian Kesehatan. (2018). Pasien RSHS Ditengah Uji Coba Rujukan Online. Dapat diakses melalui: http://www.yankes.kemkes.go.id/read-pasien-rshs-ditengah-uji-coba-rujukan-online --4898.html

17. Kementerian PPN/Bappenas. (2016). Penyusunan Toolkits KBPU Berbasis Website: Buku 1. Jakarta: Bappenas

18. Kementerian PPN/Bappenas (2018). Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar Di puskesmas. Jakarta: Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan

19. Odagiri, M., et.all (2018). Water, Sanitation, and Hygiene Services in Public Health-Care Facilities in Indonesia: Adoption of World Health Organization/United Nations Children’s Fund Service Ladders to National Data Sets for a Sustainable Development Goal Baseline Assessment. Am.J.Trop.Med.Hyg., 99(2), 2018, pp. 546–551

20. Peraturan Bersama antara Menkes, Mendagri, & Menpan RB No.61 Tahun 2014; No. 68 Tahun 2014 dan No. 08/SKB/Menpan-RB/10/2014 tentang Perencanaan dan Pemerataan Tenaga Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah Daerah.

21. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah

22. Peraturan Menteri Dalam Negeri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

23. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 317 Tahun 2010 Tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing di Indonesia

24. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pedoman Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha

25. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 755 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit

26. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 76 tahun 2015 tentang Pelayanan Wisata Medis

27. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340 tahun 2010 tentang Rumah Sakit Khusus

28. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 390 tahun 2014 tentang Pedoman Penetapan Rumah Sakit Rujukan Nasional

29. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 391 tahun 2014 tentang Pedoman Penetapan Rumah Sakit Rujukan Regional

REfERENSI

1. ASEAN. (2018). ASEAN Investment Report 2018 – Foreign Direct Investment and the Digital Economy in ASEAN. Jakarta: ASEAN Secretariat

2. BPJS. (2014). Panduan Praktis: Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN. Jakarta: BPJS

3. BPJS. (2014b). Panduan Praktis: PROLANIS (Program Pengelolaan Penyakit Kronis). Jakarta: BPJS

4. BPJS. (2018). Paparan BPJS Kesehatan dalam FGD Evaluasi Pelaksanaan Program JKN”. Bappenas, 8 November 2018

5. BPS. (2010). Population Projection 2010-2035. Jakarta: BPS

6. Britton, K., Koseki, S., and Dutta, A. (2018). Expanding Markets while Improving Health in Indonesia: Private Health Sector Market in the JKN Era. Washington, DC: Palladium, Health Policy Plus; and Jakarta, Indonesia: TNP2K.

7. Daryo Soemitro (2016). Tantangan e-kesehatan Di Indonesia. Buletin Jendala Data Dan Informasi Kesehatan. Semester I, Puslitdatin Kemkes, 2016.

8. Dianita Pertiwi, Putri Asmita Wigati, Eka Yunila Fatmasari. (2017). Analisis Implementasi Program Rujuk Balik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Kota Magelang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal). Volume 5, Nomor 3, Juli 2017 (ISSN: 2356-3346)

9. Didik Budijanto dan Wahyu Dwi Astuti .(2015). Tingkat Kecukupan Tenaga Kesehatan Strategis puskesmas di Indonesia (Analisis Implementasi Permenkes No. 75 Tahun 2014). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 18 No. 2 April 2015: 179–186

10. Herkutanto, Astrid Pratidina Susilo. (2009). Hambatan dan Harapan Sistem Kredensial Dokter: Studi Kualitatif Di Empat Rumah Sakit Indonesia. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 3 September 2009

11. Kementerian Kesehatan. (2010). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI

12. Kementerian Kesehatan. (2015). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI

13. Kementerian Kesehatan. (2016). Industri Rumah Sakit Investasi Asing Makin Gencar. Dapat diakses melalui: https://banten.bisnis.com/read/20170815/448/680828/industri-rumah-sakit-investasi-asing-makin-gencar-.

14. Kementerian Kesehatan. (2017). Penyiapan Fasyankes Rujukan Dalam JKN. Jakarta: Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan R.I

Page 41: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

Kajian Sektor Kesehatan • 6160 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

30. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 tahun 2014 tentang Rumah Sakit

31. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014 tentang Puskesmas

32. Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 38 tahun 2017 tentang Reformasi Birokrasi Republik Indonesia

33. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah

34. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Pemerintahan Daerah (OPD)

35. Peraturan Pemerintah No. 1/2012 tentang Sistem Rujukan

36. Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal

37. Peraturan Presiden No.72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN)

38. PKEK UI .(2016). Studi Evaluasi Penyelenggaraan Sistem Rujukan Berjenjang Pada Era JKN. Jakarta: PKEK UI

39. Ross, R., S. Koseki, A. Dutta, P. Soewondo, and Y. Nugrahani. (2018). Results of a Survey of Private Hospitals in the Era of Indonesia’s Jaminan Kesehatan Nasional: Impact of Contracting with National Health Insurance on Services, Capacity, Revenues, and Expenditure. Washington, DC: Palladium, Health Policy Plus; and Jakarta, Indonesia: National Team for Accelerating Poverty Reduction (TNP2K).

40. Sitanggang, Maura Linda/Dirjen Farmalkes. (2016). Kebijakan dan Regulasi Kemandirian Bahan Baku Obat. Disampaikan pada Seminar Pentahelix Kemandirian Bahan Baku Farmasi UNPAD.

41. Sunandar, Agung .(2017). Evaluasi Atas Implementasi Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) di Rumah Sakit Daerah (RSD) Idaman Banjarbaru Kota Banjarbaru. Other thesis, Universitas Sebelas Maret.

42. Sung, T.K. (2017). Industri 4.0: a Korea perspective. Technological Forecasting and Social Change Journal, 1-6.

43. Surianto dan Laksono Trisnantoro. (Maret 2013). Evaluasi Penerapan Kebijakan Badan Layanan Umum Daerah di RSUD Undata Propinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 02, No. 1

44. Surya Dwi Sembada, Kuswinarti, Nita Arisanti. (2016). Jumlah Pemenuhan dan Pola Penggunaan Obat Program Rujuk Balik di Apotek Wilayah Gedebage Kota Bandung. JSK, Volume 2 Nomor 1 September Tahun 2016

45. UGM & WB (xxx). Penilaian Status Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria untuk Pelayanan Pemerintah Daerah: Laporan Akhir. DSF

46. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

47. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

48. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

49. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

50. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

51. WHO (2003). Essential Public Health Functions: A Three-country study in the Western Pacific Region. Manila, Philippines. Geneva: WHO

52. World Bank. (2014). Supply-Side Readiness for Universal Health Coverage: Assessing The Depth of Coverage for Non-Communicable DiseasesiIn Indonesia. Washington: World Bank

53. World Bank. (2016). Indonesia Quantitative Service Delivery Survey. Jakarta: World Bank

54. World Bank. (2016). Indonesian Health Financing System Assessment: Expend more, right and better. Policy Brief, WB 2016

55. Yulianti S, (2014). Analisis Fleksibilitas Pengelolaan Keuangan Pada puskesmas Badan Layanan Umum Daerah (Kasus Dua puskesmas di Kabupaten Banjar). FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Page 42: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

62 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Penguatan sistem Pelayanan kesehatan

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

LAMPIrAN

Page 43: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

64•PenguatanSistemPelayananKesehatan Lampiran • 65

L a m p i r a n 1

Tantangan, Isu Strategis, Arah Kebijakan dan Strategi

Tantangan Isu Strategis Arah Kebijakan Strategi/Opsi Kegiatan

· Berkurangnya posyandu aktif

· Berkurang jumlah kader dan regenerasi tidak berjalan

Rendahnya keterlibatan aktif masyarakat dalam UKBM

Penguatan program UKBM melalui keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat

· Merekrut kader baru dari generasi milenial dengan memanfaatkan teknologi digital

· Memperkuat peran kader sebagai tenaga surveillance di masyarakat melalui teknologi digital

· Mendorong gerakan sadar kesehatan agar lebih terarah

· Membuat program yang lebih inovatif dan menarik dengan memanfaatkan teknologi digital dan audio visual

· Merevitalisasi posyandu yang lebih responsif terhadap permasalahan saat ini.

· Rendahnya pola hidup dan makan sehat (olah raga, jajan, makan pagi)

· Malnutrisi (stunting dan obesitas)

· Anemia

· Perilaku berisiko: Merokok, alkohol, seks bebas, kecelakaan lalu lintas

Makin tingginya permasalahan di kalangan anak sekolah dan remaja: malnutrisi, anemia, merokok, alkohol, pola makan sehat, dsb

Revitalisasi program UKS

· Koordinasi antara Dinas terkait serta antara puskesmas dengan sekolah

· Meningkatkan peran komite sekolah, guru, dan siswa secara aktif dalam UKS

· Meningkatkan kualitas program UKS yang fokus ke edukasi, praktek, dan penguatan peer edukasi

Jumlah posyandu aktif berkurang

Menurunnya masyarakat yang datang ke posyandu

Menurunnya capaian program imunisasi

Makin berkurangnya jumlah posyandu aktif dan penjangkauan kegiatan luar gedung puskesmas belum optimal

Penguatan penjangkauan dan supervisi oleh petugas kesehatan/ puskesmas terhadap jejaring di bawahnya

· Melakukan advokasi kepada kecamatan dan kelurahan/desa untuk aktivasi dan revitalisasi posyandu

· Mengaktifkan posyandu melalui kader baru milenial

· Menggerakan masyarakat datang ke posyandu dengan berbagai strategi, termasuk memanfaatkan teknologi digital

Tantangan Isu Strategis Arah Kebijakan Strategi/Opsi Kegiatan

· Adanya transisi epidemiologi menuntut pelayanan yang komprehensif

· Pertumbuhan penduduk yang menuntut penambahan fasyankes

· Tuntuntan dari komitmen global terkait SDGs (Supply Side Readiness)

· DTPK

· Desentralisasi—kewajiban pemda dan kewenangan & tanggungjawab

· Ketersediaan obat

· MEA isu kebijakan FDI for health facility, ex group Ramsey **) share modal) – aturan main di indonesia. Belum ada/proteksi

Supply side readiness dalam fasyankes primer, sekunder, tersier

Pertumbuhan faskes belum diiringi SDM yang berimplikasi terhadap kualitas pelayanan

Sistem rujukan yang perlu diperkuat

Kualitas layanan

Percepatan supply side readiness yang diiringi dengan peningkatan dan kapasitas Sumber daya Kesehatan serta memperkuat sistem rujukan dan kualitas layanan kesehatan

· Meningkatkan pola kerjasama KBPU dan peran partipasi swasta

· Memperkuat regulasi dalam mengantisipasi FDI -> FDI bukan kompetitor tetapi komplementer

· Diperlukan strategi untuk pemenuhan SDM Kesehatan

· Penguatan layanan sesuai standar yang didukung sumber daya kesehatan

· Perbaikan dan penguatan sistem rujukan melalui evaluasi sistem rujukan saat ini

· Percepatan fasyankes mendapatkan akreditasi

· Mengintegrasi sistem informasi kesehatan dan kepatuhan pelaporan data yang dikaitkan penegakan regulasi

· Mengembangkan kebijakan afirmasi pada DTPK

· Memperkuat peran dan fungsi Kemenkes dan dinas kesehatan dalam upaya kesehatan masyarakat

Page 44: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

66 • Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

Page 45: PENGUATAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN · tingkatan terbagi atas Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah

Direktorat Kesehatan dan Gizi MasyarakatKedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas

Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603Email: [email protected]