Upload
deamindysasmita
View
44
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
qwqda
Citation preview
Penyakit Akibat Kerja (Bisinosis) pada Pekerja Garmen
Dea Mindy Sasmita
102012409
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
2015
Jalan Arjuna Utara no.6
Jakarta 11510
Abstrak
Bisinosis merupakan penyakit paru akibat kerja dengan karakterisasi penyakit
saluran udara akut atau kronik yang di jumpai pada pekerja pengelolahan kapas, rami
halus, dan rami. Bisinosis adalah gejala saluran napas serupa asma dalam berbagai
derajat yang disebabkan oleh pajanan terhadap serat kapas. Oleh karena gejala awal
bisinosis terjadi pada hari kerja pertama yang biasanya hari Senin, bisinosis disebut
juga Monday morning fever atau Monday moning chest tightness atau Monday
morning asthma. Bisinosis lebih sering ditemukan pada karyawan pemintalan yang
terpajan debu kapas kadar tinggi dibanding karyawan pertenunan.
Kata Kunci : Monday morning sickness, serat kapas
Abstract Bisinosis an occupational lung disease with disease characterization of
acute or chronic airways were encountered in workers pengelolahan cotton , flax ,
and hemp . Bisinosis is similar respiratory symptoms in varying degrees of asthma
caused by exposure to cotton fibers . Hence the initial symptoms Byssinosis occur on
the first business day which is usually Monday , Byssinosis called Monday morning
Monday moning fever or chest tightness or Monday morning asthma . Bisinosis more
often found in employees exposed to cotton dust spinning higher levels than
employees weaving . Keywords : Monday morning sickness , cotton fiber
Pendahuluan
Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula pada kesehatan. Industri
menimbulkan polusi udara baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja sehingga
mempengaruhi sistem respirasi. Berbagai kelainan saluran napas dan paru pada
pekerja dapat terjadi akibat pengaruh debu, gas ataupun asap yang timbul dari proses
industri.1 Pneumokoniosis merupakan salah satu penyakit utama akibat kerja, terjadi
hampir di seluruh dunia dan merupakan masalah yang mengancam para pekerja. Data
World Health Organization (WHO) tahun 1999 menunjukkan bahwa terdapat 1,1 juta
kematian oleh penyakit akibat kerja di seluruh dunia, 5% dari angka tersebut adalah
pneumokoniosis. Pada survei yang dilakukan di Inggris secara rutin yaitu surveillance
of workrelated and occupational respiratory disease (SWORD) menunjukkan
pneumokoniosis hampir selalu menduduki peringkat 3-4 setiap tahun.2
Pneumokoniosis sudah dikenal lama sejak manusia mengenal proses penambangan
mineral. Berbagai jenis debu mineral dapat menimbulkan pneumokoniosis, Debu
asbes dan silika serta batubara merupakan penyebab utama pneumokoniosis. Debu
mineral lainnya dapat juga menyebabkan pneumokoniosis. Pneumokoniosis baru
tampak secara klinis dan radiologis setelah pajanan debu berlangsung 20-30 tahun.
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja,
bahan, proses maupun lingkungan kerja.Menurut ILO 1,1 juta kematian karena
penyakit atau kecelakaan akibat hubungan pekerjaan 300,000 kematian adalah akibat
250 juta kecelakaan yang terjadi 160 juta peny akit akibat hubungan kerja.1,2
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan,alat
kerja , bahan , proses maupun lingkungan kerja.Paparan debu di lingkungan kerja
dapat menimbulkan berbagai penyakit. Penyakit yang timbul diantaranya yang
berkaitan dengan pulmonologi termasuk pneumokoniosis dan silikotuberkulosis,
penyakit paru dan saluran nafas akibat debu logam keras, penyakit paru dan saluran
nafas akibat debu kapas (bissinosis), asma akibat kerja dan lainnya.Pabrik tekstil
yang memakai kapas ,hemp, flax sebagai bahan dasar memberi resiko menderita
bisinosis.2
TUJUH LANGKAH DIAGNOSIS PAK
Langkah I : Diagnosis Klinik
Anamnesis3,4
Pada anamnesis klinik penyakit akibat hubungan kerja dokter perlu
menanyakan identitas pasien terutama pekerjaan pasien.Sebelumnya 3 pertanyaan
baku yang di rekomendasikan hipocrates yaitu menanyakan nama pasien , usia, dan
tempat tinggal.Selain itu perlu di tanyakan apakah pekerjaan menyebabkan atau
berhubungan dengan penyakit,Alasan lain di tanyakan untuk menanyakan riwayat
pekerjaan pasien yang kembali bekerja, seperti apakah kembali bekerja menyababkan
kambuhnya penyakit, atau kembali bekerja menyababkan kerugian dan mengganggu
kesehatan teman sekerja atau masyarakat.selain itu riwayat pekerjaan yang perlu di
tanyakan seperti sudah berapa lama bekerja, riwayat pekerjaan sebelumnya, alat kerja,
bahan kerja, serta proses kerjaa, sampa dengan hasil produksi, lain nya seperti apa alat
pelindung diri yang dipakai,waktu bekerja sehari, apakah punya kebiasaan merokok ,
apakah ada pekerja lain yang mengeluh hal yang sama seperti pasien dan apakah ada
keadaan lain yang memperberat penyakit pasien pada saat kembali bekerja.Beberapa
pertanyaan yang membantu menegakan diagnosa bisinosis sendiri di antaranya
menyangkut keluhan pasien,seperti adakah sesak napas, nyeri dada,batuk, demam,
apakah membaik jika pekerja berlibur dan kambuh jika pasien kembali bekerja.
Pemeriksaan Fisik3,4
Pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas, dan Suhu.Pada
pasein dengan bisinosis didapatkan terjadi penurunan frekuensi nafas dan peningkatan
suhu, sedangkan nadi dan tekanan darah dalam batas normal kecuali ada penyakit
penyerta lainnya. Didapatkan keluhan iritasi saluran napas bagian atas seperti : bersin-
bersin, iritasi pada mata, hidung, stridor.
Pada pasien bisinosis dengan efek kronik biasa memiliki ciri obstruksi jalan
napas dan secara klinik sulit di bedakan dengan bronchitis kronis dan emfisema, maka
pada saat Inspeksi terdapat retraksi inspirasi abnormal dari intercostal.
Gambaran klinis: Penyakit ini memiliki ciri napas pendek dan dada sesak.
Dalam bentuk dini berupa dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari pertama
kerja sesudah hari libur, selanjutnya disebut hari Senin (Monday morning chest
tightness). Mungkin disertai batuk yang lama-kelamaan menjadi batuk berdahak. Pada
sebagian besar individu, temuan ini akan berkurang atau hilang pada hari kedua
bekerja. Pada pekerja yang sudah lama terpajan selama bertahun-tahun, adanya
riwayat dispnoe saat melakukan kegiatan adalah temuan yang biasa.
Pemeriksaan Penunjang3,4
Uji fungsi Paru
Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan terhadap fungsi ventilasi
dengan menggunakan alat spriometer yang mengukur arus udara dalam satuan isi dan
waktu.Spirometri mencatat nilai ekspirasi lebih umum digunakan.Spirometer dapat
digunakan untuk berbagai macam uji tetapi yang paling bermanfaat di lapangan
adalah volume ekspirasi paksa 1 detik (VEPI) dan kapasitas vital palsa (KVP),
Dengan spirometri ini, dapat diketahui uji fungsi paru dasar yang meliputi Vital
Capacity (VC), Force Vital Capacity (FVC) dan Forced Expiratory Volume in One
Second (FEV1). Vital Capacity adalah jumlah udara maksimal yang dapat diekspirasi
sesudah inspirasi maksimal sedang Force Vital Capacity adalah pengukuran kapuritas
vital yang di dapat pada ekspirasi dengan dilakukan secepat dan sekuat mungkin.
Forced Expiratory Volume One Second adalah volume udara yang dapat diekspirasi
dalam waktu satu detik selama tindakan FVC kedua pembacaan tersebut dapat dibuat
dari usaha ekspirasi yang sama. Pembacaan akhir pada kedua hal tersebut adalah rata-
rata tiga tarikan napas yang di dahului oleh dua tarikan napas latihan.
Pada tes fungsi paru, tes dibagi dalam dua kategori yaitu tes yang
berhubungan dengan fungsi ventilasi paru-paru dan dinding dada serta tes yang
berhubungan dengan pertukaran gas. Pemeriksaan dengan spirometri ini adalah tes
yang berhubungan dengan fungsi ventilasi paru-paru dan dinding dada. Hasil dari tes
fungsi paru ini tidak dapat untuk mendiagnosa suatu penyakit paru-paru tapi hanya
memberikan gambaran gangguan fungsi paru yang dapat dibedakan atas kelainan
ventilasi obstruktif dan restriktif. Kelainan obstruktif adalah setiap keadaan hambatan
aliran udara karena adanya sumbatan atau penyempitan saluran nafas.Sedangkan
gangguan restriktif adalah gangguan pada paru yang menyebabkan kekakuan paru
sehingga membatasi pengembangan paru-paru.
Pada kasus bisinosis pemeriksaan dilakukan pada hari pertama bekerja,
dilakukan sebelum dan sesudah pajanan selama 6 jam, dapat menghasilkan penurunan
FEV I. Gambaran penurunan FEV I yang bermakna (10% atau lebih) , derajat
perbaikan penyumbatan jalan napas dapat dikaji dengan tes FEV I sebelum giliran
tugas dilakukan setelah dua hari tidak terpajan.
Radiologis
Gambaran radiologi paru pada penderita Bisinosis tidak menunjukkan
kelainan yang khas.
Pemeriksaan Tempat kerja
Pemeriksaan tempat kerja:5
- Faktor penyebab
- Hasil pengukuran
Pabrik tekstil mengeluarkan bahan pencemar debu. Bila berhadapan dengan
bahan pencemar debu (bentuk partikel) maka yang perlu dievaluasi adalah komposisi
kimiawi dari debu tersebut., tentang ukuran aerodinamik partikel debu tersebut karena
hal ini berhubungan dengan deposisi didalam saluran napas, serta kadar dari debu
tersebut, hal ini berhubungan dengan NAB. Keadaan lingkungan kerja seperti suhu
terlalu panas, kelembapan dapat mempengaruhi respons karyawan terhadap pengaruh
bahan dalam lingkungan kerja.4,5 Di samping itu kelembapan yang tinggi dapat
mengurangi gerakan silia saluran napas sehingga mengakibatkan lebih banyak
partikel dalam lingkungan kerja yang terhirup tidak dapat dikeluarkan kembali dan
masuk ke dalam saluran napas lebih dalam. Kelembapan optimal untuk mendapatkan
toleransi karawaan sebaik-baiknya adalah antara 30% dan 70%.5
Diagnosis Klinis
Bronkitis Kronik5,6
Bronkitis kronik merupakan penyakit saluran napas yang sering didapat di
masyarakat. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan oleh karena sifatnya yang
kronik, persisten dan progresif. Infeksi saluran napas merupakan masalah klinis yang
sering dijumpai pada penderita bronkitis kronik yang dapat memperberat penyakitnya.
Eksaserbasi infeksi akut akan bronkitis kronik yang dapat memperberat penyakitnya.
Eksaserbasi infeksi akut akan mempercepat kerusakan yang telah terjadi, disamping
itu kuman yang menyebabkan eksaserbasi juga berpengaruh terhadap morbiditas
penyakit ini. Penyakit ini berlangsung lebih lama dibandingkan bronkitis akut, yaitu
berlangsung selama 1 tahun dengan frekuensi batu produktif 3 bulan selam 2
tahun .berturut-turut..Temuan utama pada bronkitis adalah hipertropi kelenjar mukosa
bronkus dan peningkatan jumlah sel goblet dengan infiltasi sel-sel radang dan edema
pada mukosa sel bronkus. Pembentukan mukosa yang terus menerus mengakibatkan
melemahnya aktifitas silia dan faktor fagositosis dan melemahkan mekanisme
pertahananya sendiri. Pada penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi akibat perubahan
fibrotik yang terjadi dalam saluran napas.
Gejala umum bronkitis akut maupun bronkitis kronik adalah: Batuk dan
produksi sputum adalah gejala yang paling umum biasanya terjadi setiap hari.
Intensitas batuk, jumlah dan frekuensi produksi sputum bervariasi dari pasien ke
pasien. Dahak berwarna yang bening, putih atau hijaukekuningan. Dyspnea (sesak
napas) secara bertahap meningkat dengan tingkat keparahan penyakit. Biasanya,
orang dengan bronkitis kronik mendapatkan sesak napas dengan aktivitas dan mulai
batuk. Gejala kelelaha, sakit tenggorokan , nyeri otot, hidung tersumbat, dan sakit
kepala dapat menyertai gejala utama. Demam dapat mengindikasikan infeksi paru-
paru sekunder virus atau bakteri. Penyebab dari bronkitis sendiri adalah kebiasaan
merokok, usia dan infeksi Hemophilus influenza dan Streptococus pneumonie
TBC Paru5,6
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB paru sering menimbulkan gejala klinis
yang dapat dibagi menjadi 2 yaitu gejala respiratorik dan gejala sistematik. Gejala
respiratorik seperti batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada, sedangkan gejala
sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan dan
malaise. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
mungkin pasien tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi akibat adanya
iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar. Pada
pemeriksaan penunjang didapati flek pada paruu dan terlihat perselubungan dan pada
pemeriksaan kultur sputum didapati BTA + . penyebab tersering dari TBC paru
sendiri adalah mycobacterium tuberculosis.
Langkah II : Pajanan yang dialami
Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah
esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk ini
perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti.
Lebih baik jika ada pengukuran lingkungan.
- Bahan yang diproduksi
- Materi (bahan baku) yang digunakan
- Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan
(MSDS, label, dan sebagainya.
Yang diartikan dengan debu kapas ialah debu yang dilepaskan ke dalam udara
yang terjadi pada pengolahan serat kapaas. Debu kapas yang timbul waktu panen,
pengangkutan dan pengolahan tidak hanya mengandung bahan yang berasal dari serat
kapas saja, tetapi tercemar oleh bahan yang berasal dari tanaman seperti daun, ranting,
biji, berbagai mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur dan lain-lain bahan yang
berasal dari tanah. Komponennya sebagian besar terdiri dari selulose, protein, dan
mineral. Debu kapas dibagi menurut urutannya sebagai berikut:4
- Halus atau respirabel yang berukuran kurang dari 7 µm.
- Sedang yang berukuran antara 7 µm-2 mm.
- Kasar berukuran lebih dari 2 mm yang terutama terdiri atas serat
kapas sendiri.
Serat yang tampak dengan mata dan terlalu besar untuk dihirup yang
berukuran sampai 2,5 cm disebut fly. Kadar protein ditemukan sebanyak 28-47%
dalam debu halus dan 3-7% dalam debu yang berukuran sedang-kasar.2,4
Kadar debu kapas dalam lingkungan kerja dapat diukur dengan alat pengukur
debu yang dapat diletakkan di lokasi kerja dengan ketinggian breathing zone antara
mulut dan hidung yaitu sekitar 1,5 m dari lantai untuk jangka waktu tertentu yang
disebut vertical elutriator. Ada pula alat pengukur debu kapas yang disebut personal
sampler yang dapat diikatkan pada ikat pinggang karyawan, sehingga kadar debu
yang diukur lebih banyak berhubungan dengan lama pemaparan karyawan. 4
Langkah III : Hubungan pajanan dengan Penyakit
Dengan menarik nafas, udara yang mengandung debu masuk ke dalam paru-
paru. Secara umum terdapat tiga factor yang berpengaruh pada inhalasi bahan
pencemar kedalam paru, yaitu factor komponen fisik, kimiawi dan host. Aspek fisik
adalah bahan yang diinhalasi sedangkan aspek kimiawi yang berpengaruh antara lain
adalah kecenderungan untuk bereaksi dengan jaringan sekitarnya, keasaman atau
tingkat alkalisitas yang dapat merusak silia dan sistem enzim.6 Bahan tersebut, dapat
menimbulakan fibrosis di paru dan bersifat antigen yang masuk keparu, factor host
penting diperhitungkan sistem pertahanan paru baik anatomis maupun fisiologis. Silia
yang aktif dapat membersihkan debu yang menempel dan asap rokok jelas
mempengaruhi daya pertahanan paru.
Lamanya paparan dan kerentanan individu yang terpapar perlu diperhatikan.
Partikel debu yang dapat dihirup oleh pernafasan manusia mempunyai ukuran 0,1
mikron sampai 10 mikron. Pada hidung dan tenggorokan bagian bawah ada cilia yang
berfungsi menahan benda-benda asing seperti debu dengan ukuran 5 – 10 mikron
yang kemudian dikeluarkan bersama secret waktu nafas. Partikel-partikel debu yang
berdiameter lebih dari 15 mikron tersaring keluar pada saluran nafas bagian atas.
Partikel 5-15 mikron tertangkap pada mukosa saluran yang lebih rendah dan kembali
disapu ke laring oleh kerja mukosiliar, selanjutnya akan ditelan.4,6 Bila partikel ini
mengiritasi saluran nafas, atau melepaskan zat-zat yang merangsang respon imun,
dapat timbul penyakit pernafasan misalnya bronchitis.4
Partikel 0.5-5 mikron melewati system mukosiliar dan masuk ke saluran nafas
terminal serta alveoli.4 Dari sana debu ini akan dikumpulkan oleh sel-sel scavenger
(makrofag) dan dihantar kembali ke system limfatik atau system mukosiliar. Partikel
berdiameter kurang dari 0.5 mikron kemungkinan tetap mengambang dalam udara
dan tidak di retensi. Partikel-partikel panjang atau serta yang berdiameter kurang dari
3 mikron dengan panjang sampai 100 mikron dapat mencapai saluran nafas terminal,
namun tidak dibersihkan oleh makrofag, akan tetapi partikelini mungkin pula ditelan
oleh lebih dari satu makrofag dan dibungkus dengan protein sehingga terbentuk abses.
Secara ringkas dapat dikatakan reaksi yang timbul akibat debu yang terinhalasi pada
paru tergantung pada sifat alamiah kimia dari debu, ukuran debu, distribusi dari debu
yang terinhalasi, kadar partikel debu, lamanya paparan, kerentanan individu dan
pembersihan partikel debu.2,4
Disamping itu debu kapas juga dapat menimbulkan reaksi alergi sebagaimana
debu yang lain seperti serpihan kayu, tenun, wol dan kapur. Hal ini merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I dimana debu kapur yang menempel pada permukaan mukosa
saluran nafas disertai dengan media reaksi immunoglobulin E (lgE) akan mengikat sel
mukosa yang dapat berakibat sel mukosa akan melepaskan bahan vasoaktif termasuk
histamine.2,4,6 Reaksi alergi ini menyebabkan terjadinya bronkhostriksi, meningkatnya
sekresi mucus, dan meningkatnya permeabilitas kapiler sebagai akibat dari rekasi
histamine.2,4,6
Langkah IV : Pajanan Cukup Besar
Kadar partikel debu yang rendah dalam udara inhalasi , dapat di bersihkan
secara komplit , namun semakin tinggi kadarnya maka semakin banyak I dalam
mengalami deposisi dalam paru.Untuk debu kapas standar menurut WHO yang di
perbolehkan 0,2 /m3.4,7 Angka-angka prevalensi Bisinosis antara 20-50% telah
dilaporkan pada ruang penyisiran (cadroom) kapas dengan kadar debu respirasi antara
0,35 mg/m3, dan 0,60 mg/m3 .Prevalensi kurang dari 10% di temukan pada ruang
dengan kadar debu respirasi kurang dari 0,1 mg/m3.4,7 Penurunan FEV I pertahun
lebih besar didapatkan diantara para pekerja tekstil dengan riwayat paparan dbu yang
lama , bila di banddingkan dengam subjek yang tidak terpapar. Perokok juga lebih
rentan terhadap bisinosis dan mungkin mengalami bentuk lanjut dari penyakit ini.7
Epidemiologi
Penelitian tentang prevalensi Bisinosis di lakukan pada karyawan pabrik
tekstil di berbagai Negara antara 1-88% dan pada umumnya bergantung pada kadar
debu lingkungan kerja dan lama nya paparan.Prevalensi bisinosis tidak selalu
berkorelasi positif antara timbulnya gangguan saluran pernapasan dengaan tinggi nya
debu lingkungan kerja.Menurut Rylander tidak selalu di temukan hubungan antara
bisinosis dengan obstruksi akut bahkan obtruksi akuit sering di temukan tanpa
adanya bisinosis,sedangkan peneliti di Surabaya menemukan adanya hubungan
bermakna antra obstruksi akut dengan lama paparan.4 Murlinhar di Bombay
melaporkan adanya korelasi positif antara lama bekerja dengan derajat penurunan
fungsi paru dan peningkatan prevalensi bisinosis. Dan beberapa peneliti di Beijing
mendapatkan rata-rata timbulnya kelainan fungsi paru didapatkan setelah bekerja
lebih dari 5 tahun.Penelitian tentang kadar debu dengan prevalensi bisinosis dan
penurunan fungsi paru dilaporkan di Cina dimana kadar debu kapas antara 3,04- 12,32
mg/m3 didapatkan perasaan dada tertekan di awal kerja sebesar 9%.7 Penurunan VEPI
sebesar 21,8%, batuk disertai dahak 18,2 %, dan bronchitis kronik sebesar 10,9 %,
serta bisinosis didapatkan sebesar 1,7 %.7 Di Indonesia penyakit ini belum dilaporkan
secara spesifik bukan karna tidak ada tetapi penyakit paru masih didominasi oleh
penyakit infekssi spesifik maupun nonspesifik, dan kurangnya pengetahuan tenaga
kesehatan tentang gejala dan perjalanan penyakit menyerupai penyakit yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan.4
Cara kerja , Proses kerja , lingkungan kerja2,4,7,8
Untuk membuat kain, dimulai dari bahan baku yang paling dasar yaitu kapas.
Dari kapas proses selanjutnya untuk membuat kain kaos disebut proses pemintalan
atau didalam industri tekstil biasa disebut dengan proses spinning.
Proses spinning yakni proses mengolah kapas atau polyester menjadi benang. Setelah
proses pemintalan atau spinning, maka hasilnya adalah benang. Benang hasil
pemintalan ini akan masuk ke proses berikutnya yang disebut soft winder. Soft
winder adalah proses penggulungan benang hasil dari pemintalan.
Benang yang telah digulung melalui proses soft winder, akan masuk ke proses
pencelupan benang. Tujuannya adalah untuk memberi warna pada benang sebelum
ditenun menjadi kain. Jadi warna dari kain itu berasal dari proses pencelupan benang
ini. Setelah proses pencelupan benang selesai kemudian benang dikeringkan.
Proses selanjutnya setelah pencelupan atau pewarnaan pada benang adalah
proses weaving. Weaving biasa disebut juga proses penenunan, yaitu proses mengolah
benang menjadi kain. Sebelum masuk ke proses penenunan atau weaving, benang
perlu dipersiapkan terlebih dahulu. Proses ini, mempersiapkan benang hingga
terbentuk anyaman benang yang siap masuk ke mesin tenun. Setelah itu baru masuk
ke proses dalam proses weaving atau penenunan.
Setelah proses penenunan selesai maka hasilnya adalah lembaran-lembaran
kain. Kain-kain dari hasil mesin tenun ini kemudian masuk ke proses pemeriksaan
atau disebut Shiage. Di proses ini kain akan dicek dan ditentukan gradenya. Bila dari
pemeriksaan ditemukan kecacatan maka kain dikirim ke bagian perbaikan. Di proses
ini juga dilakukan proses klasifikasi kain sesuai dengan jenisnya.
Lulus dari proses pemeriksaan atau Shiage. Kain akan masuk ke proses
pemolesan terhadap warna, penampilan dan pegangan (handling) disebut dengan
proses Dyeing. Proses ini merupakan proses terakhir dari proses produksi, mulai dari
pengolahan bahan baku kapas atau polyester hingga menjadi kain.
Sebelum kain dikirim ke pasaran ada proses terakhir yaitu proses
penggulungan dan pengepakan kain sesuai dengan pesanan dari pelanggan. Sampai
tahap ini selesailah proses produksi kain di pabrik.
Kemudian kain akan dipasarkan ke pelanggan-pelanggan atau distributor dan
pusat-pusat grosir kain. Dari pusat-pusat grosir inilah bisanya industri garmen
mendapatkan supply bahan baku kain. Industri-industri garmen ini meliputi industri
konveksi, sablon atau percetakan hingga ke level industri rumah tangga.
Sampai di level konveksi atau industri garment, kain-kain tersebut dipotong
sesuai pola. Setelah dipotong kain kaos kemudian dijahit, dan dikemas sampai
menjadi produk akhir seperti t-shirt.
Alat Pelindung Diri
Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknik pengamanann tempat,peralatan
, dan lingkungan kerja adalah sangat perlu diutamakan.Namun kadang keadaan
bahaya masih belum dapat di kendalikan sepenuhnyam sehingga diperlukan alat
pelindung diri (personal protektif devices) alat demikian harus memenuhi persyaratan
:8,9
Enak dan nyaman di pakai
Tidak mengganggu kerja
Memberi perlindungan efektif terhadap jenis bahaya
Pada kasus bisinosis salah satu APD yang utama adalah APD untuk alat
pernapasan yakni respirator atau masker khusus.APD seperti masker filter berguna
jika secara teratur di periksa filtrasi udara efektif dan sempurna.sayangnya pemakaian
masker seringkali tidak mengenakan , khususnya di daerah yang beriklim panas.8,9
Langkah V : Faktor Individu
Status kesehatan fisik dari masing-masing individu, mempengaruhi berat-
ringannya penyakit bisisnosis ini. Pada penderita bisinosis yang mempunyai riwayat
atopi atau alergi, kebiasaan olahraga yang jarang bahkan tidak penah atau riwayat
penyakit dalam keluarga yang lain, dapat menimbulkan gejala yang lebih berat serta
memperburuk keadaan bisinosis yang dialami.4 Kerentanan masing-masing individu
juga mempengaruhi cepat-lambat munculnya bisinosis ini.
Demikian juga dengan higene perorangan sangat penting dalam timbulnya
penyakit ini. Higene perorangan yang baik, meminimalisasikan adanya pajanan yang
dapat masuk kedalam tubuh seseorang.4,8 Semakin meningkatnya umur maka lebih
rentan terhadap suatu penyakit.Kerentanan individu Hal ini sulit di perkirakan karena
individu yang berbeda dengan paparan yang sama akan menimbulkan bahwa peranan
saraf otonom cukup penting dalam respon terhadap iritan.Gangguan keseimbangan
antara rangsangan vagus dan simpatolitik tampaknya mempengaruhi sensitivitas
seseorang terhadap rangsang debu.3,4 Diperkirakan juga dalam paparan terhadap debu
dapat merusak epithelium saluran napas, sensitasi reseptor sensoris sehingga dapat
meningkatkan reflex bronkokonstriksi.8
Langkah VI Faktor lain di Luar individu
Selain dari pada kualitas dan kuantitas paparan dalam pekerjaan, bisisnosis
juga dapat ditimbulkan dari faktor lain diluar pekerjaan seperti kebiasaan, pekerjaan
dirumah ataupun pekerjaan sambilan.4
Kebiasaan yang buruk seperti merokok, juga lebih rentan terhadap bisinosis
oleh karena zat yang terkandung di dalam nya dapat merusak system pertahanan
alamin dalam tubuh kita, sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, selain
itu rokok juga dapat memperberat kondisi pasien terhadap penyakit, bahkan dengan
merokok seseorang lebih mungkin mengalami bentuk lanjut dari pada penyakit itu
sendiri dapat dan bahkan mempercepat timbulnya komplikasi yang lebih berat.4,7,8
Pekerjaan dirumah ataupun pekerjaan sambilan yang berkaitan dengan adanya
paparan debu, juga dapat menjadi salah satu faktor munculnya penyakit bisinosis
Pada kelainan yang ada di selaput lendir akan menimbulkan gejala berupa
penyumbatan.sedangkan enfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif yang
melibatkan kerusakan pada kantung udara (alveoli) di paru, sehingga membuat pasien
sulit bernapas/sesak napas.4
Langkah VII : Diagnosis okupasi
Penyakit paru akibat paparan debu kapas (Bisinosis)
Penyakit paru akibat kerja ialah penyakit atau kerusakan paru yang terjadi
akibat debu/asap/ gas/ bahan yang berbahaya oleh pekerja di tempat kerja mereka.
Penyakit Bisinosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh
pencemaran debu napas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam
paru-paru.4 Debu kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan
kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas serta pabrik atau bekerja lain
yang menggunakan kapas atau tekstil; seperti tempat pembuatan kasur, pembuatan jok
kursi dan lain sebagainya.4
Masa inkubasi penyakit bisinosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun. Tanda-
tanda awal penyakit bisinosis ini berupa sesak napas, terasa berat pada dada, terutama
pada hari Senin (yaitu hari awal kerja pada setiap minggu).4 Secara psikis setiap hari
Senin bekerja yang menderita penyakit bisinosis merasakan beban berat pada dada
serta sesak nafas. Reaksi alergi akibat adanya kapas yang masuk ke dalam saluran
pernapasan juga merupakan gejala awal bisinosis. Pada bisinosis yang sudah lanjut
atau berat, penyakit tersebut biasanya juga diikuti dengan penyakit bronchitis kronis
dan mungkin juga disertai dengan emphysema Paparan debu kapas dapat
menimbulkan obtruksi saluran napas atau bisinosis.7 Patogenesis bisinosis belum
sepenuhnya jelas, ada bukti bahwa suatu zat toksik yang melepaskan histmamin
mungkin bertanggung jawab atas gejala khas bisinosis, yaitu sesak napas pada hari
pertama setelah liburan akhir minggu.7 Secara luas di yakini bahwa kerja pelepasan
histamine ini di sebabkan oleh senyawa molekuler kecil yang larut air dan stabil panas
yang berasal dari bulu tanaman kapas.disamping pelepasan histamine paparan
terhadap debu kapas juga menyebabkan iritasi saluran napas bagian atas dan bronkus ,
dimana setelah paparan yang lama perlahan-lahan berlanjut menjadi penyakit paru
obtruktif kronik. Mungkin juga terdapat lebih dari satu tipe reaksi manusia terhadap
debu ini,Inhalasi endotoksin bakteri gram negative telah terbukti dapat menyebabkan
gejala menyerupai bisinosis.
Gejala bisinosis di bagi dalam 4 derajat , yaitu :4,7
Derajat 0 Tidak ada gejala
Derajat ½ Kadang-kadang dada tertekan pada hari
pertama kerja
Derajat 1 Dada tertekan atau sesak napas tiap hari
pertama minggu kerja
Derajat 2 Rasa berat didada dan sukar bernafas
tidak hanya pada hari pertama tapi pada
hari lain minggu kerja
Derajat 3 Gejala seperti derajat 2 ditambah toleransi
terhadap aktivitas secara menetap dan
pengurungan kapasitas ventilasi
Tabel 1 : derajat bisinosis.4,7
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
1. Beta2-Agonis Long Acting 10,11
Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol yang mempunyai durasi
kerja panjang lebih dari 12 jam. Cara kerja obat beta2-agonis adalah melalui
aktivasi reseptor beta2-adrenergik yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase
yang meningkatkan konsentrasi siklik AMP . Beta2-agonis long acting inhalasi
menyebabkan relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan klirens mukosiliar,
menurunkan permeabilitas vaskuler dan dapat mengatur pelepasan mediator dari
sel mast dan basofil. Juga menghambat reaksi asma segera dan lambat setelah
terjadi induksi oleh alergen, dan menghambat peningkatan respon saluran nafas
akibat induksi histamin. Efek sampingnya adalah stimulasi kardiovaskuler, tremor
otot skeletal dan hipokalemi.
2. Sodium kromoglikat dan sodium nedokromil10,11
Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan mekanisme kerja yang
pasti belum diketahui. Obat ini terutama menghambat pelepasan mediator yang
dimediasi oleh IgE dari sel mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel
inflamasi yang lain (makrofag, eosinofil, monosit). Obat ini diberikan untuk
pencegahan karena dapat menghambat reaksi asma segera dan reaksi asma lambat
akibat rangsangan alergen, latihan, udara dingin dan sulfur dioksida. Pemberian
jangka panjang menyebabkan penurunan nyata dari jumlah eosinofil pada cairan
BAL dan penurunan hiperrespon bronkus nonspesifik. Bisa digunakan jangka
panjang setelah asma timbul, dan akan menurunkan gejala dan frekuensi
eksaserbasi.
Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih besar
dibanding sodium kromoglikat. Walau belum jelas betul, nedokromil menghambat
aktivasi dan pelepasan mediator dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai
pencegahan begitu asma timbul.
3. Teofilin lepas lambat10,11
Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada
penatalaksanaan asma. Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih
belum diketahui, tetapi mungkin karena teofilin menyebabkan hambatan terhadap
phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE IV, yang berakibat peningkatan cyclic
AMP yang akan menyebabkan bronkodilatasi.
Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk
efek antiinflamasi. Teofilin secara bermakna menghambat reaksi asma segera dan
lambat segera setelah paparan dengan alergen. Beberapa studi mendapatkan
teofilin berpengaruh baik terhadap inflamasi kronis pada asma.
Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan teofilin
lepas lambat efektif dalam mengontrol gejala asma dan memperbaiki fungsi paru.
Karena mempunyai masa kerja yang panjang, obat ini berguna untuk mengontrol
gejala nokturnal yang menetap walaupun telah diberikan obat antiinflamasi.
Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem
organ yang berlainan. Gejala gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal
yang paling sering. Pada anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan
kematian. Efek kardiopulmoner adalah takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi
pusat pernafasan.
4. Kortikosteroid 10,11
Mekanisme aksi antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara
pasti. Beberapa yang ditawarkan adalah berhubungan dengan metabolism asam
arakidonat, juga sintesa leukotrien dam prostaglandin, mengurangi kerusakan
mikrovskuler, menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah migrasi dan
aktivasi sel radang dan meningkatkan respon reseptor beta pada otot polos saluran
nafas.
Studi tentang kortikosteroid inhalasi menunjukkan kegunaannya dalam
memperbaiki fungsi paru, mengurangi hiperrespon saluran nafas, mengurangi
gejala,mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki kualitas
hidup. Dosis tinggi dan jangka panjang kortikosteroid inhalasi bermanfaat untuk
pengobatan asma persisten berat karena dapat menurunkan pemakaian
koetikosteroid oral jangka panjang dan mengurangi efek samping sistemik.
Untuk kortikosteroid sistemik, pemberian oral lebih aman dibanding
parenteral. Jika kortikosteroid oral akan diberikan secara jangka panjang, harus
diperhatikan mengenai efek samping sistemiknya. Prednison, prednisolon dan
metilprednisolon adalah kortikosteroid oral pilihan karena mempunyai efek
mineralokortikoid minimal, waktu paruh yang relatif pendek dan efek yang ringan
terhadap otot bergaris. Pendapat lain menyatakan kortikosteroid sistemik dipakai
pada penderita dengan penyakit akut, pasien yang tidak tertangani dengan baik
memakai bronkodilator dan pada pasien yang gejalanya menjadi lebih jelek
walaupun telah diberi pengobatan maintenance yang baik.
Pencegahan8,9
1. Melakukan pre-employment medical check up
- Penderita yang atopik idealnya dianjurkan menghindari tempat yang jelas
tepat mencetuskan serangan asma, seperti produksi sutra, deterjen, dan
pekerjaan yang mempunyai paparan garam platinum. Industri dan tempat
kerja yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan serangan asma
hendaklah tidak menerima pegawai yang atopik.
2. Pengendalian kadar debu dalam lingkungan
i. Pencegahan Terhadap Sumbernya
- Pengontrolan debu di ruang kerja terhadap sumbernya antara lain :
Isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu di ruang kerja dengan
‘Local Exhauster’ atau dengan melengkapi water sprayer pada cerobong
asap.
ii. Pencegahan Terhadap Transmisi
- Memakai metode basah yaitu,penyiraman lantai dan pengeboran basah
(Wet Drilling).
- Dengan alat berupa Scrubber,Elektropresipitator,dan Ventilasi Umum.
iii. Pencegahan Terhadap Tenaga Kerja
Antara lain dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker,
sarung tangan. Pemantauan medis agar bissinosis dan obstruksi saluran
napas dapat ditemukan dan dicegah sedini mungkin
3. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok mempunyai hubungan yang paling bermakna
secara statistic terhadap terjadinya bisinosis selain lama paparan. Hal ini
berarti karyawan yang merokok mempunyai resiko 3,3 kali lebih besar
disbanding dengan karyawan tidak merokok. Sebaiknya sewaktu pemeriksaan
prakerja dilakukan ditanyakan riwayat merokok pada calon karyawan.
Karyawan yang diambil bekerja sebaiknya tidak mempunyai riwayat merokok
atau diharuskan berhenti merokok untuk menurunkan resiko menghidap
bisinosis.
Prognosis
Bisinosis ringan atau dini kemungkinan masih reversible sedangkan penyakit
yang berat dan kronis tidak .Pasien dengan gejala khas dan menunjukan penurunan
FEVI 10% lebih harus dipindahka ke tempat yang tidak terpajan.Pasien dengan
penyumbatan jalan napas sedang dan berat (FEV <60%) harus tidak terpajan.2,4
KESIMPULAN
Untuk mencegah terjadinya obstruksi saluran napas pada karyawan yang
terpapar dengan debu kapas, semua karyawan yang melamar untuk bekerja di pabrik
tekstil hendaknya menjalani penyaringan khusus yang dimulai dengan wawancara
terpimpin dan dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, spirometri, foto paru dan tes
kulit terhadap beberapa allergen inhalan umum. Kepada karyawan yang baru diterima,
hendaknya diberikan penyuluhan tentang kesehatan kerja, bahaya pemaparan debu
kapas dan gejala dini obstruksi saluran napas. Mereka dianjurkan segera melaporkan
diri kepada dokter perusahaan bila merasa dada tertekan, batuk dan sesak yang ada
hubungannya dengan lingkungan kerja. Karena rokok pada umumnya mempunyai
hubungan dengan gangguan saluran napas, semua karyawan yang terpapar dengan
debu kapas dianjurkan tidak atau menghentikan merokok. Instansi pemerintah
diharapkan agar dapat mengawasi pabrik-pabrik yan mengolah kapas dengan jalan
mengukur kadar debu dalam lingkungan kerja, memeriksa mesin, kualitas udara
dalam pabrik, mengontrol pemakaian filter, respiratoir dan masker dan bila perlu
memperketat izin operasi pabrik.
Daftar Pustaka
1. Jeyaratnam J, Koh david.Bisinosis . Dalam : Praktik kedokteran kerja.Jakarta :
EGC.2010.h 85-7.
2. Yunus F. Dampak Debu Industri pada Paru Pekerja dan Pengendaliannya.
Cermin Dunia Kedokteran :Jakarta.2007. Hal : 45-50
3. Bickley L.S. Pemeriksaan Torak dan Paru. Dalam: Buku Saku Pemeriksaan
Fisik & Riwayat Kesehatan Bates Edisi ke-5.Jakarta : EGC. 2008. h 110
4. Suma’mur, PK. Higine Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Sagung Seto :
Jakarta .2009. Hal : 245-59
5. Suryadi, dr. 2010. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
6. Sudoyo, A.W; Setiyohadi, B; Alwi, I; Simadibrta, MK; Setiati, S; Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.2006. h. 234-56.
7. Cowie RL, Murray JF, Becklake MR. Pneumoconiosis. In: Mason RJ,
Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of Respiratory
Medicine. 4th Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. p. 1748-82
8. Levy, S. Barry. Wegman, David H. Occupational Health : Regocnizing and
Preventing Work Related Disease and Injury. 4th Edition. Lippincott Williams
& Wilkin : USA. 2005. Hal : 477-502
9. Ridley J. Iktisar Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Erlangga : Jakarta. 2006.
Hal : 253-6.
10. MedLinePlus. Byssinosis. Edisi 2011. Tersedia dari URL
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001089.html . Diunduh
tanggal 19 Oktober 2015.
11. Darmanto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta. 2009. H. 456-60.