Upload
nanana
View
7
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ok
Citation preview
Penyalahgunaan zat adalah pemakaian zat atau obat diluar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep
dokter digunakan untuk pemakaian sendiri secara teratur atau berkala, sekurang kurangnya selama satu
bulan dan dapat menciptakan keadaaan tak terkuasai oleh individu. Pemakaian bersifat patologik dan
dapat menimbulkan gangguan konsentrasi (hendaya) dalam fungsinya dirumah, di sekolah atau kampus,
di tempat kerja, atau di lingkungan social yang dapat membahayakan dirinya sendiri atau masyarakat
Penyalahgunaan NAPZA merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dimensi yang sangat
luas, baik dari sudut medik, psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psikososial. Banyak ahli yang
berkompeten dalam masalah NAPZA dan telah memberikan defenisi, atau pengertian, tentang
penyalahgunaan NAPZA, meskipun dengan istilah yang berbeda-beda: zat, obat, narkoba, atau napza.
Widjono, dkk. (1991), misalnya, mendefenisikan penyalahgunaan obat sebagai pemakaian obat secara
terus-menerus, atau sesekali tetapi berlebihan, dan tidak menurut petunjuk dokter atau praktek
kedokteran. Ini selaras dengan rumusan WHO yang mendefenisikan penyalahgunaan zat yang
berlebihan secara terus-menerus, atau berkala, diluar maksud medik atau pengobatan. Sarason dan
Sarason (1993) mendefenisikan penyalahgunaan zat sebagai penggunaan bahan kimia, legal atau ilegal,
yang menyebabkan kerusakan fisik, mental dan sosial seseorang. Sedangkan Wicaksana (1996), Holmes
(1996), dan Hawari (1998) mendefenisikan penyalahgunaan zat sebagai pola penggunaan yang bersifat
patologik paling sikit satu bulan lamanya, sehingga menimbulkan gangguan funsi sosial dan okupasional
(pekerjaan dan sekolah). Pola penggunaan zat yang patologik dapat berupa intoksikasi sepanjang hari
terus-menerus menggunakan zat tersebut, meskipun pengguna mengetahui bahwa Universitas
Sumatera Utara dirinya sedang menderita sakit fisik yang berat akibat zat tersebut, atau adanya
kenyataan bahwa ia tidak dpat berfungsi dengan baik tanpa menggunakan zattersebut. Gordon dan
Gordon (2000) membedakan pengertian pengguna, penyalah guna, dan pecandu narkoba. Menurutnya,
pengguna adalah seseorang yang menggunakan narkoba hanya sekedar untuk, misalnya bersenag-
senag, rileks atau relaksasi, dan hidup mereka tidak berputar di sekitar narkoba. Pengguna jenis ini
disebut juga pengguna sosial rekreasional. Penyalah guna, adalah seseorang yang mempunyai masalah
secara langsung berhubungan dengan narkoba. Masalah tersebut bisa muncul dalam ranah fisik, mental,
emosional, maupun spritual. Penyalah guna menolak untuk berhenti sama sekali dan selamanya.
Sedangkan pecandu adalah seseorang yang sudah mengalami hasrat/obsesi secara mental dan
emosional serta fisik. Bagi pecandu, tidak ada hal yang lebih penting selain memperoleh narkoba,
sehingga jika tidak mendapatkannya, ia akan mengalami gejala-gejala putus obat dan kesakitan.
Dampak penyalahgunaan NAPZA Menurut Rachim (2001) ancaman penyalahgnaan narkoba
bersifat multi dimensional; kesehatan, ekonomi, sosial, pendidikan, keamanan dan penegakan hukum.
Dari dimensi kesehatan, penyalahgunaan narkoba dapat menghancurkan dan merusak kesehatan
manusia, baik kesehatan jasmani maupun rohani; dari dimensi ekonomi memerlukan biaya besar; dari
dimensi sosial dan pendidikan dapat menyebabkan perilaku ke arah asusila dan anti sosial; sedangkan
dari dimensi keamanan dan penegakan hukum dapat mendorong terjadinya tindakan-tindakan yang
mengganggu masyarakat dan pelanggaran hukum lainnya. Dari dimensi kesehatan, Ogden (2000)
menyatakan bahwa dampak penyalahgunaan narkoba, antara lain, meningkatkan kemungkinan terkena
sirosis hati, kanker pancreas, gangguan memori, dan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan. Pendek
kata, penyalahgunaan narkoba dapat menghilangkan potensi dan kapasitas untuk berfikir dan bekerja
produktif, dapat mendorong tindak kriminalitas, dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit serius bagi
penyalah guna, dan bahkan dapat mengakibatkan kematian dini. Dalam catatan Hawari, sebagaimana
dilansir oleh majalah sabili (4 April 2002), 17,16% penyalah guna narkoba mati sia-sia dalam usia muda.
Belum lagi yang terkena penyakit paru-paru, lever, hepatitis c, dan bahkan 33% diantaranya terjangkit
HIV/AIDS, yang hingga sekarang belum ditemukan obat maupun vaksin pencegahnya.
Efek samping Susunan saraf pusat
1. Analgesia Khasiat analgetik didasarkan atas 3 faktor:
a. meningkatkan ambang rangsang nyeri
b. mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa morfin dapat mengubah reaksi yang timbul
menyertai rasa nyeri pada waktu penderita merasakan rasa nyeri. Setelah pemberian obat penderita
masih tetap merasakan (menyadari) adanya nyeri, tetapi reaksi khawatir takut tidaklagi timbul. Efek
obat ini relatif lebih besar mempengaruhi komponen efektif (emosional) dibandingkan sensorik
c. Memudahkan timbulnya tidur
2. Eforia Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan menimbulkan perasaan
eforia dimana penderita akan mengalami perasaan nyaman terbebas dari rasa cemas. Sebaliknya pada
dosis yang sama besar bila diberikan kepada orang normal yang tidak mengalami nyeri, sering
menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir disertai mual, muntah, apati, aktivitas fisik berkurang dan
ekstrimitas terasa berat.
3. Sedasi Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi. Kombinasi morfin
dengan obat yang berefek depresi sentral seperti hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur yang sangat
dalam
4. Pernafasan Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan, yang disebabkan oleh
inhibisi langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit
setelah ijeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi subkutan atau intramuskular. Respirasi kembali ke
normal dalam 2-3 jam
5. Pupil Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis terjadi akibat
stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N. III
6. Mual dan muntah Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger
zone di batang otak.
Efek perifer
1. Saluran cerna o Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas lambung
berkurang, tetapi tonus bagian antrum meninggi. o Pada usus beasr akan mengurangi gerakan
peristaltik, sehingga dapat menimbulkan konstipasi
2. Sistem kardiovaskular Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah,
frekuensi maupun irama jantung. Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder terhadap
berkurangnya aktivitas badan dan keadaan tidur, Hipotensi disebabkan dilatasi arteri perifer dan vena
akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin
3. Kulit Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan
terasa panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat, kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya
peredaran darah di kulit akibat efek sentral danpelepasan histamin
4. Traktus urinarius Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot sphinkter
meningkat,sehingga dapat menimbulkan retensi urine.