Upload
shinta-rizky
View
66
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Peran Endotel dalam Sepsis Berat dan Sindrom Difungsi Organ Multipel
Citation preview
Peran Endotel dalam Sepsis Berat dan Sindrom Difungsi
Organ Multipel
Patofisiologi
Terdapat beberapa hal yang penting dalam patofisiologi sepsis. Yang pertama,
adalah respon pejamu, dibandingkan dengan sifat alami patogen, hal ini lebih
mempengaruhi hasil akhir pasien. Kedua, monosit dan sel endotel memiliki peran
utama dalam mengawali dan mempertahankan respon pejamu. Ketiga, sepsis
dihubungkan dengan keterlibatan aktivasi kaskade inflamasi dan koagulasi. Pada
akhirnya, dalam upaya yang dilakukan untuk melawan dan mengeliminasi
pathogen, respon pejamu dapat menimbulkan kerusakan yang sejalan pada
jaringan normal, mengakibatkan suatu keadaan patologi yang tidak difus, tetapi
lebih dapat dikenali distribusinya secara fokal. Setiap hal-hal tersebut di atas akan
dibahas satu persatu.
Pentingnya respon pejamu. Beberapa temuan menunjukkan tentang
pentingnya faktor pejamu dalam mempengaruhi hasil akhir pasien dengan sepsis
berat. Pertama, meskipun cepatnya implementasi terapi antibiotik yang tepat,
angka kematian sepsis masih cukup tinggi, antara 28% hingga 50%. Kedua,
pasien sepsis dengan kultur positif dan kultur negatif atau dengan syok septik
memiliki angka kematian yang sebanding. Ketiga, pemberian antibodi anti-
endotoksin dalam jumlah besar, secara klinis tidak memberikan peningkatan
angka kelangsungan hidup. Dan yang terakhir, terdapat hubungan langsung antara
jumlah kriteria SIRS dan angka kematian, dan terdapat peningkatan lebih lanjut
dalam angka kematian pada spectrum SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik.
Yang jelas, kesuksesan terapi masa depan akan berdasarkan pada kemampuan
respon pejamu yang adekuat.
Peran monosit dan sel endotel dalam memediasi respon pejamu. Monosit,
makrofag jaringan, berbagai derivat sel myeloid lainnya, dan beberapa perluasan
sel endotel, merupakan penjuru utama dari respon imun bawaan. Sebagai lini
pertama sistem pertahanan, sel-sel ini mengenali patogen yang menginvasi
1
melalui reseptor yang berinteraksi dengan struktur mikroba yang diawetkan.
Interaksi antara pathogen dan sel pejamu menghasilkan inisiasi kaskade inflamasi
dan koagulasi (Gambar 1). Jalur ini menghasilkan mediator yang dapat larut yang
berfungsi dalam siklus autokrin dan parakrin untuk mengaktifkan monosit/
makrofag jaringan dan/atau endotel lebih lanjut.
Gambar 1. Peran monosit dan endotel dalam memediasi respon pejamu terhadap
infeksi. LPS dan/atau sel yang berkaitan dengan pathogen lainnya, mengaktifkan reseptor
pengenal pathogen (atau toll-like receptors) pada monosit, makrofag jaringan dan sel
endotel, menghasilkan pelepasan mediator inflamasi dan faktor jaringan (dengan aktivasi
berurutan dari jalur koagulasi). Bersamaan dengan produk sistem kontak (misal, kinin)
dan kaskade komplemen (misal, C5a) (tidak ditunjukkan), mediator inflamasi berfungsi
dalam siklus autokrin dan parakrin untuk mengaktifkan monosit dan endotel lokal lebih
lanjut (garis putus-putus, kiri, menunjukkan jalur parakrin). Komponen kaskade
koagulasi yang bervariasi tidak hanya mengaktifkan substrat berikutnya (menghasilkan
pembentukan fibrin), tetapi juga memicu reseptor yang diaktifkan protease pada
permukaan beberapa sel, termasuk endotel (garis putus-putus, kanan). Efek gabungan
dari LPS, mediator inflamasi, dan serine protease pada endotel dapat menghasilkan
modulasi fenotipe yang signifikan (tidak ditunjukkan). CAM adalah cell adhesion
molecules; PAF, platelet activating factor; NO, nitric oxide; ROS, reactive oxygen
species; MIP-2, macrophage inflammatory protein 2.
Aktivasi jalur inflamasi dan koagulasi. Hal ini telah diakui secara luas bahwa
respon inflamasi memiliki peran yang penting dalam memediasi fenotipe sepsis.
Patogen memicu aktivasi awal dari sistem kontak (faktor XII, prekalikrein, dan
kininogen dengan berat molekul tinggi) dan kaskade komplemen, dan
meningkatkan pelepasan mediator inflamasi secara cepat dari beberapa tipe sel
2
(contoh monosit, dan sel endotel), perubahan yang bersamaan dengan manifestasi
klinis SIRS. Secara serentak, jalur inflamasi endogen teraktivasi, yang akan
mengurangi respon inflamasi. Proses berikutnya disebut sebagai sindrom respon
kompensasi anti-inflamasi. Idealnya, kedua fase ini dikoordinasikan untuk
membantu host melawan invasi oleh pathogen. Meskipun demikian, respon
inflamasi yang berlebihan atau terus-menerus, respon anti-inflamasi yang tidak
adekuat, atau mungkin tidak serentaknya kedua fase ini dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan dan kematian.
Di samping mengaktifkan sistem inflamasi, pathogen juga memicu kaskade
pembekuan darah. Selama terjadinya sepsis, ekspresi faktor jaringan (TF) pada
permukaan monosit dan makrofag jaringan yang beredar akan meningkat
jumlahnya, mengakibatkan aktivasi jalur ekstrinsik, peningkatan thrombin dan
pembentukan fibrin. Fibrin tidak hanya menstabilkan perlekatan platelet, tetapi
juga berperan dalam menghambat pergerakan pathogen pada permukaan leukosit,
mempermudah untuk memakan dan menghilangkan pathogen. Pembekuan darah
diawali melalui jalur ekstrinsik dan dilanjutkan melalui jalur intrinsik oleh
mekanisme yang melibatkan umpan silang dan umpan balik. Kaskade pembekuan
darah disusun oleh serangkaian reaksi yang saling berhubungan dimana serine
protease, bila teraktivasi, akan terbebas untuk mengaktifkan substrat berikutnya.
Reaksi ini terjadi pada membran fosfolipid yang teraktivasi dan pada beberapa
kasus dipercepat dengan munculnya kofaktor (faktor VIIIa dan Va). Dalam setiap
respon prokoagulan, terdapat reaksi antikoagulan yang alami. Tissue factor
pathway inhibitor (TFPI) mengontrol jalur ekstrinsik, antitrombin III (ATIII)—
heparan menetralisir serin protease dalam kaskade tersebut, meekanisme
trombomodulin (TM)/protein C/protein S akan menonaktifkan kofaktor Va dan
VIIIa, dan plasmin mengurangi pembentukan fibrin. Hemostasis
merepresentasikan keseimbangan yang sangat baik antara pembentukan
prokoagulan dan antikoagulan. Bukan hanya aktivasi jalur ekstrinsik pada sepsis,
tetapi juga terdapat penurunan respon antikoagulan alami (misal pengurangan
kadar protein C dan ATIII yang beredar, penurunan ekspresi TM pada permukaan
sel endotel, fibrinolisis yang dihambat). Pergeseran hasil ke arah status
3
prokoagulan akan mengakibatkan peningkatan thrombin, pembentukan fibrin, dan
pemakaian faktor pembekuan yang berlebihan.
Sekali teraktivasi, interaksi jalur inflamasi dan koagulasi satu sama lain akan
memperkuat respon pejamu lebih lanjut (Gambar 1). Misalnya, mediator inflamasi
meningkatkan ekspresi TF pada permukaan monosit, makrofag jaringan, netrofil,
dan mungkin beberapa bagian sel endotel yang beredar. Sebaliknya, serine
protease mampu berinteraksi dengan reseptor yang diaktifkan protease pada
permukaan monosit dan sel endotel, mengakibatkan aktivasi dan inflamasi
tambahan. Contohnya, adanya sinyal trombin dalam sel endotel akan
menghasilkan perubahan bentuk sel, permeabilitas sel, respon proliferasi, dan
adhesi leukosit. Perubahan selanjutnya dimediasi terutama oleh kemampuan
trombin untuk mempengaruhi ekspresi E-selectin, P-selectin, Molekul Adhesi
Interseluler 1 (ICAM-1) dan Molekul Adhesi Sel Vaskuler 1 (VCAM-1). Selain
itu, adanya sinyal trombin dalam sel endotel telah terbukti dapat mempengaruhi
sekresi faktor von Willebrand (VWF), meningkatkan ekspresi reseptor mRNA
yang diaktifkan protease 1 (PAR-1), IL-8, monocyte chemoattractant protein 1
(MCP-1), faktor pertumbuhan, dan matriks metalloproteinase. Kompleks TF/VIIa
dan faktor Xa juga dapat berikatan dengan reseptor yang diaktifkan protease dan
memicu respon proinflamasi. Yang terakhir, fibrin(ogen) telah terbukti akan
berinteraksi dengan sel endotel, menghasilkan sejumlah perubahan fenotip
termasuk peningkatan ekspresi IL-8. Umpan silang antara jalur inflamasi dan
koagulasi berperan dalam respon pejamu yang kuat terhadap sepsis.
Ekspresi fokal terhadap fenotip sepsis. Sifat konsisten dari lesi patologis
dalam sepsis berat dan MODS adalah distribusinya yang bersifat fokal.
Khususnya, pasien hanya mengalami disfungsi pada beberapa organ yang terbatas.
Endotel merupakan faktor yang penting pada respon fokal dalam kasus sepsis.
Seperti yang akan didiskusikan berikut, endotel menunjukkan heterogenitas yang
sangat baik dalam status kesehatan dan penyakit, memadukan perubahan sistemik
dalam inflamasi dan koagulasi dalam jalur yang berbeda dari organ satu ke organ
lainnya.
4
Peran endotel dalam menyusun respon pejamu pada sepsis
Aktivasi dan disfungsi sel endotel
Endotel merupakan organ yang sangat pervasif; Tubuh manusia mengandung
sekitar 1013 sel endotel, dengan berat 1 kg dan mencakup luas permukaan 4000 m 2
hingga 7000 m2. Di antara fungsi-fungsi lainnya, endotel memediasi tonus
vasomotor, mengatur peredaran seluler dan nutrisi, memelihara kekentalan darah,
berperan atas keseimbangan lokal dalam mediator proinflamasi dan anti-inflamasi,
berpartisipasi dalam pembentukan pembuluh darah baru, dan menjalankan
kematian sel yang direncanakan. Yang penting, tiap-tiap aktivitas tersebut diatur
dalam waktu dan tempat yang berbeda (sebuah fenomena yang disebut sebagai
heterogenitas sel endotel atau keragaman vaskuler).
Dalam kondisi normal, sel endotel sangatlah aktif, secara terus-menerus
mengartikan dan bereaksi terhadap perubahan dalam lingkungan ekstraseluler
setempat, yang mungkin muncul dalam kondisi transient bacteremia, trauma
kecil, dan beberapa stress harian lainnya. Dengan kata lain, aktivasi sel endotel
muncul sebagai respon adaptasi normal, keberadaan dan durasinya tidak hanya
tergantung pada tipe stimulus, tetapi juga pada dinamika ruang dan waktu dari
sistem tersebut. Contohnya, pada setiap waktu, sel endotel vena dan arteri dapat
memiliki respon yang berbeda terhadap setiap sinyal sistemik, sedangkan di setiap
lokasi, respon akan bervariasi dari satu waktu ke waktu, bergantung pada
kesehatan dan status keseluruhan organisme. Oleh karena itu, aktivasi sel endotel
bukanlah suatu respon menyeluruh atau respon yang tidak berarti, dan apakah
respon ini perlu dikaitkan dengan penyakit. Aktivasi sel endotel justru
merepresentasikan sebuah spektrum dari respon dan muncul dibawah pengaruh
kondisi fisiologis dan patofisiologis.
Berbagai respon endotel yang bermanfaat bagi pejamu dapat dipertimbangkan
sebagai fungsional, fisiologis atau adaptasi. Misalnya, ketika patogen menginvasi
suatu jaringan, sel endotel dipengaruhi secara lokal untuk melepaskan mediator-
mediator inflamasi, untuk menarik leukosit, dan untuk meningkatkan pembekuan
darah untuk mendirikan pertahanan terhadap infeksi. Selama proses ini, sel
endotel dapat mengalami nekrosis atau apoptosis seiring dengan jaringan yang
5
direabsorbsi dan diperbaiki. Bila kita melihat pada tingkat seluler, nekrosis
dan/atau apoptosis merupakan ekspresi akhir dari suatu disfungsi. Meskipun
demikian, bila dipertimbangkan pada konteks pertahanan pejamu yang lebih luas,
kehilangan endotel lokal merupakan bagian dari sebuah respon adaptasi yang
telah dikoordinasikan lebih luas. Mungkin analogy yang pas adalah altruism
kelompok atau pemilihan kelompok, sebuah mekanisme kerjasama yang
evolusioner pada hewan, dimana efek positif pada tingkat kelompok lebih berarti
daripada efek negatif pada tingkat individu. Istilah disfungsi sel endotel lebih
dipilih untuk kasus dimana respon sel endotel, baik lokal maupun sistemik,
menggambarkan suatu kewajiban terhadap pejamu. Misalnya, dalam kasus sepsis
berat, terdapat aktivasi endotel yang berlebih, terus-menerus dan menyeluruh.
Tanpa adanya dukungan buatan terhadap organ, sebenarnya semua pasien dengan
sepsis berat akan meninggal. Dengan kata lain, sebagian besar manusia tersebut
telah melewati ambang dari respon adaptif menjadi respon maladaptif. Sepanjang
endotel berperan dalam fenotip sepsis berat, perjalanannya dapat ditandai dengan
suatu gangguan fungsi.
Respon endotel dalam sepsis berat
Sepsis dapat meningkatkan modulasi fenotip endotel dengan berbagai
mekanisme yang berbeda. Dalam beberapa kasus, patogen secara langsung
menginfeksi sel endotel yang intak. Pada umumnya, komponen dinding sel bakteri
(seperti lipopolisakarida [LPS]) akan mengaktivasi reseptor pengenal pola pada
permukaan endotel. Akhirnya, ada banyak sekali faktor turunan pejamu yang
mengaktifkan sel endotel, termasuk komplemen, sitokin, kemokin, serin protease,
fibrin, leukosit dan trombosit yang teraktivasi, hiperglikemia, dan/atau perubahan
dalam oksigenasi atau aliran darah (lihat Tabel 1 dan Gambar 2 untuk daftar
mediator turunan pejamu)
Reaksi endotel dapat berbeda-beda tergantung pada sifat alami patogen,
genetic pejamu, komorbiditas yang mendasari, usia, jenis kelamin, dan lokasi
pembuluh darah utama. Sel endotel dapat mengalami perubahan struktural,
termasuk vakuolisasi nucleus, pembengkakan sitoplasma, fragmentasi sitoplasma,
pelepasan dan/atau pemisahan. Perubahan fungsional lebih umum terjadi dan
6
mencakup pergeseran keseimbangan hemostatis, peningkatan peredaran dan
adhesi leukosit, perubahan tonus vasomotor, penurunan fungsi pertahanan dan
kematian sel yang terprogram.
Tabel 1. Pengobatan menurut target.
Referensi tidak seluruhnya dimasukkan; tetapi disusun berdasarkan fase pemilihan dasar,fase
preklinis, fase klinis awal dan/atau fase 3 percobaan klinis, sebagaimana tinjauan yang terpilih.
*Penetapan cepat dari terapi antibiotik yang tepat memberikan jalan utama dalam terapi pasien
dengan sepsis berat.
†Fase 3 percobaan klinis telah menunjukkan tidak ada manfaat bagi angka kelangsungan hidup.
‡ Peran fisiologis utama Faktor XII bukan untuk memediasi aktivasi koagulasi, tetapi lebih
untuk meningkatkan angka dan luas aktivasi prekalikrein, menghasilkan pembentukakn
bradikinin, meningkatkan aktivitas profibrinolitik dan menghambat aktivasi trombosit yang
dimediasi trombin.
§ Fase 3 percobaan klinis telah dilakukan dan terbukti mampu meningkatkan angka
kelangsungan hidup. Derajat dimana penurunan aktivasi sel endotel terkait pengobatan yang
memiliki peran dalam manfaat keseluruhan masih belum diketahui.
7
Keberadaan prokoagulan. Mediator inflamasi dapat berinteraksi dengan sel
endotel untuk meningkatkan fenotipe prokoagulan sesungguhnya. Dalam kondisi
in vitro, penambahan LPS dan/atau sitokin pada sel endotel telah terbukti dapat
menurunkan sintesis TM, aktivator plasminogen tipe jaringan dan heparan, untuk
meningkatkan ekspresi TF dan penghambat aktivator plasminogen 1 (PAI-1), dan
untuk membentuk mikropartikel prokoagulan. Perluasan terhadap perubahan yang
terjadi pada endotel yang intak masih belum dimengerti dengan jelas. Dalam
penelitian terkini pada pasien dengan meningococcemia, kadar TM berkurang
dalam pembuluh darah mikro di kulit, sebuah efek yang akan diprediksikan untuk
menghasilkan penurunan kadar protein C aktif. Dalam percobaan tikus dengan
endotoksemia, pemberian LPS menghasilkan penurunan jumlah total antigen TM
jaringan di paru dan otak, tetapi tidak di ginjal, menunjukkan bahwa perubahan
ekspresi TM akibat sepsis dapat bervariasi pada masing-masing organ. Ketika
sepsis dihubungkan dengan peningkatan kadar PAI-1, sumber endotel PAI-1
masih belum ditentukan. Dengan beberapa pengecualian, penelitian sepsis secara
konsisten telah gagal dalam menunjukkan TF pada endotel yang intak.
Bila endotel dilihat dalam konteks lingkungan alaminya, kepemilikan
tambahan muncul yang dapat melibatkan status prokoagulan. Contohnya, sel
endotel yang teraktivasi akan menarik trombosit, monosit, dan netrofil—sel yang
mampu menginisiasi dan memperkuat koagulasi. Aktivasi endotel dapat
menghasilkan translokasi fosfolipid permukaan sel yang meningkatkan ikatan
kompleks koagulasi. Sel endotel yang mengalami apoptosis dapat
mengekspresikan sebuah fenotipe prokoagulan yang meningkat. Perkembangan
status aliran dalah yang lambat pada sepsis, yang dapat mengurangi curah jantung
secara sekunder, vasokonstriksi, atau lesi oklusif, dapat mengurangi pembersihan
serin protease yang teraktivasi, sehingga mengakibatkan pembekuan darah
tambahan.
Sebagaimana kekayaan endotel lainnya, keseimbangan hemostatis diatur
secara berbeda antar anyaman pembuluh darah. Dalam percobaan tikus dengan
endotoksemia, pemberian LPS sistemik menghasilkan pengendapan fibrin yang
spesifik organ pada ginjal dan kelenjar adrenal. Dalam penelitian lain, pemberian
8
LPS menghasilkan kadar fibrin yang dapat ditemukan di paru, tetapi tidak di otak,
dari seekor mencit liar. Penelitian lainnya membuktikan bahwa injeksi LPS pada
mencit liar berhasil meningkatkan kadar fibrin di ginjal, hepar, dan miokardium,
tetapi tidak di paru. Pada percobaan baboon dengan model sepsis, pemberian E.
coli dengan dosis lethal menghasilkan peningkatan endapan fibrin pada area
marginal dan sinusoid limpa, sinusoid hepar, glomerulus, dan pembuluh darah
peritubular ginjal, tetapi sedikit atau bahkan tidak ditemukan fibrin pada vena
porta hepar, korteks cerebrii, kulit, miokardium, atau aorta. Ketidaksesuaian pola
endapan fibrin dalam beberapa penelitian di atas mungkin berkaitan dengan
perbedaan spesies/keturunan yang diteliti, tipe model sepsis, dan/atau sifat alami
dari uji fibrin. Meskipun demikian, bila data tersebut dikumpulkan, terdapat data
yang konsisten dalam membuktikan hubungan antara sepsis dan koagulasi yang
spesifik organ.
Pada percobaan genetic tikus dengan hiperkoagulabilitas, sepsis menghasilkan
pergeseran yang menonjol dalam keseimbangan hemostasis. Contohnya, pada
mencit yang membawa mutasi gen TM yang akan mengacaukan aktivasi protein C
dependen TM, pemberian LPS mengakibatkan kadar endapan fibrin yang lebih
tinggi di paru dan ginjal tetapi tidak di otak, dibandingkan dengan mencit liar.
Pada mencit dengan defisiensi ATIII heterozigot, tantangan LPS menghasilkan
peningkatan endapan fibrin di dalam ginjal, hepar, dan jantung. Beberapa
penelitian tersebut menunjukkan pentingnya genetic yang mendasari dalam
memodulasi fenotip sepsis.
Keberadaan proadhesif. Reaksi endotel terhadap mediator inflamasi dengan
mengekspresikan adhesi molekul pada permukaan sel, termasuk P-selectin, E-
selectin, ICAM-1 dan VCAM-1. Secara bersamaan, perubahan ini mengakibatkan
peningkatan pergiliran, perlekatan yang kuat, dan perpindahan leukosit menuju
jaringan yang mendasari. Perubahan ini tidaklah menyeluruh, tetapi lebih
cenderung terjadi secara lokal di organ dan segmen anyaman pembuluh darah
tertentu. Sel endotel yang teraktivasi juga akan menarik jumlah trombosit yang
lebih banyak ke dinding pembuluh darah. Pentingnya adhesi molekul dalam
memediasi fenotip sepsis didukung oleh penelitian pada mencit mati.
9
Gambar 2. Endotel sebagai target terapi.
Pemahaman respon endotel terhadap patogen memberikan dasar untuk desain terapi. Untuk tujuan
ilustrasi dan diskusi, urutan waktu kejadian digambarkan dari kiri ke kanan. Dalam sepsis, endotel
diaktifkan oleh ikatan toll-like receptor (TLR4) yang dimediasi LPS, atau dengan interaksi
mediator inflamasi (IL-6, TNF-α, IL-1, kinin, dan C5a ditampilkan) dengan reseptornya yang
berurutan (digambarkan sebagai reseptor tunggal yang mewakilinya). Pada waktu yang sama (atau
selanjutnya dalam kaskade sepsis), endotel dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan lainnya,
seperti hipoksi, aliran darah yang lambat, perubahan suhu, gangguan elektroli/asam-basa, dan/atau
hiperglikemia. Interaksi mediator ekstraseluler dengan reseptornya mengakibatkan aktivasi jalur
pemberian isyarat berikutnya (termasuk MAPK dan PKC), yang menghasilkan perubahan
posttranskripsi dari fungsi sel atau perubahan profil ekspresi gen melalui sejumlah faktor
transkripsi, termasuk NF-кB, GATA-2, dan AP-1. Peningkatan adhesi molekul sel pada
permukaan endotel (P-selectin, E-selectin, VCAM-1 dan ICAM-1 ditunjukkan) menimbulkan
peningkatan adhesi, pergiliran, dan perpindahan leukosit yang beredar. Interaksi leukosit-endotel
lebih lanjut akan memodulasi fenotip sel-sel tersebut. Pelepasan sitokin dari endotel
mengakibatkan aktivasi tambahan monosit dan sel endotel. Peningkatan ekspresi prokoagulan
(seperti TF) dan/atau berkurangnya ekspresi antikoagulan (contoh TM, EPCR) menimbulkan
peningkatan produksi trombin dan pembentukan fibrin. Berbagai komponen jalur koagulasi
(termasuk serin protease, fibrin, dan trombosit) dapat memberikan isyarat langsung pada endotel
melalui reseptor yang diaktifkan protease (PAR-1 ditunjukkan). Perubahan ekspresi gen
proapoptosis dan antiapoptosis (bersama dengan banyaknya perubahan posttranskripsi) dapat
mengakibatkan pergeseran keseimbangan kematian sel terprogram. Selama proses aktivasi,
NADPH oksidase dapat mempengaruhi pembentukan reactive oxygen species (ROS), nitric oksida
(NO) dilepaskan, dan permeabilitas sel meningkat. Untuk menjaga dinamika tempat dan waktu,
aktivitas relatif berbagai jalur akan bervariasi antar sel endotel yang berbeda dari satu waktu ke
waktu lainnya. Hal yang tidak digambarkan adalah interaksi kuat antara endotel dengan matriks
ekstraseluler dan sel parenkim yang mendasari. Temp menunjukkan suhu; ICAM-1, adhesi
10
molekul intraseluler 1; VCAM-1, adhesi molekul sel pembuluh darah; EC, sel endotel; TF, faktor
jaringan; TM, trombomodulin; EPCR, reseptor protein C endotel; NO, nitricoksida; PGI2,
prostasiklin. Reseptor dinamai dengan huruf tipis.
Keberadaan vasomotor. Tonus vasomotor diatur oleh kombinasi mekanisme
yang tergantung endotel dan yang tidak tergantung endotel. Sel endotel
memproduksi molekul vasoaktif yang mengatur tonus arteriol dan berperan dalam
pengaturan tekanan darah. Hal ini mencakup vasodilator (nitrit oksida [NO] dan
prostasiklin) dan vasokonstriktor (endothelin, tromboksan A2 dan platelet
activating factor). Pada sepsis, endotel yang teraktivasi akan mengalami
perubahan spesifik lokasi yang dapat mempengaruhi keseimbangan
vasokonstriktor dan vasodilator.
Peningkatan permeabilitas. Dalam pembuluh darah yang intak, endotel
membentuk pertahanan yang bersifat terus-menerus, semipermeabel yang
bervariasi kesatuan dan pengaturannya pada setiap anyaman pembuluh darah yang
berbeda. Sifat utama endotel dalam sepsis adalah peningkatan permeabilitas atau
hilangnya fungsi pertahanan, yang mengakibatkan pergeseran komponen sirkulasi
dan edema jaringan. TNF-α mempengaruhi peningkatan permeabilitas sel endotel
baik in vitro maupun in vivo. Dalam kondisi in vitro, trombin juga meningkatkan
permeabilitas sel endotel, sedangkan TNF-α dan trombin bekerja secara sinergis
untuk mempengaruhi disfungsi pertahanan in vitro. Distribusi ulang cairan dari
ruang intravaskular ke ekstravaskular dapat berperan dalam hipovolemia,
hemokonsentrasi, dan stasis aliran darah.
Apoptosis sel endotel. Apoptosis sel endotel merupakan proses yang diatur
dengan sangat baik. Normalnya, hanya sedikit sekali persentase (< 0.1%) sel
endotel yang mengalami apoptosis. Dalam kondisi in vitro, patogen tertentu
mampu mempengaruhi apoptosis sel endotel. Inkubasi sel endotel biakan dengan
LPS telah dilaporkan dapat mempengaruhi apoptosis pada beberapa tetapi tidak
semuanya. LPS telah terbukti mampu meningkatkan regulasi Bc1-2 homolog, A1,
dan zinc finger protein, A20, dalam sel endotel biakan. Kaskade sepsis melibatkan
banyak mediator inflamasi lainnya yang dapat mempengaruhi apoptosis sel
11
endotel, termasuk TNF-α, IL-1, interferom, radikal bebas oksigen, dan hipoksia.
Interaksi antara sel yang beredar dan endotel dapat memperbesar sinyal
proapoptosis lebih lanjut. Misalnya, monosit yang diaktifkan LPS menimbulkan
kematian sel terprogram pada sel endotel melalui kombinasi mekanisme yang
tergantung dan tidak tergantung TNF-α.
Apoptosis sel endotel mengakibatkan respon proinflamasi yang berarti.
Contohnya, dalam kondisi in vitro, sel endotel yang apoptosis akan memediasi
induksi parakrin ICAM-1 dan VCAM-1 yang dependen IL-1, meningkatkan
produksi reactive oxygen species (ROS), meningkatkan aktivitas prokoagulan,
menurunkan produksi prostasiklin, dan aktivasi komplemen. Selain itu, sel endotel
yang mengalami apoptosis terbukti dapat meningkatkan ikatan terhadap platelet
yang nonaktif.
Dalam percobaan tikus dengan endotoksemia, LPS yang diberikan secara
intraperitoneal mengakibatkan apoptosis endotel yang luas. Dalam penelitian
lainnya, pemberian LPS melalui intravena pada mencit telah terbukti mampu
mempengaruhi apoptosis sel endotel di paru, tetapi tidak di hepar, menunjukkan
adanya kematian sel yang terprogram yang spesifik pada organ tertentu.
Aktivasi endotel lokal versus sistemik
Respon pejamu bawaan berkembang sebagai mekanisme kerja lokal untuk
merngeradikasi patogen dan jaringan nekrotik. Endotel menyusun respon lokal
dengan memicu adhesi dan transmigrasi leukosit, mempengaruhi produksi
trombin dan pembentukan fibrin, mengubah tonus vasomotor lokal, meningkatkan
permeabilitas, dan memicu kematian sel yang terprogram. Aktivasi koagulasi
memberikan sejumlah peran yang potensial, termasuk pertahanan terhadap
patogen, aktivasi reseptor yang diaktifkan protease, dan stimulasi ekspresi
chemokin makrofag ekstravaskuler. Normalnya, mekanisme umpan balik negatif
lokal dan sistemik akan teraktivasi, mengurangi respon pada lokasi distal.
Penggolongan respon imun bawaan membatasi kerusakan kolateral pejamu dan
melindungi integritas dan kemampuan adaptasi terhadap endotel yang tidak
terlibat. Oleh karenanya, endotel secara keseluruhan tidak terkunci ke dalam
respon tunggal tetapi juga menjaga keseimbangan untuk berhubungan dengan
12
serangan lain. Ketika respon pejamu menyeluruh, hal ini akan melepaskan
keseimbangan dan kesesuaian lokal yang berkembang baik dan mengakibatkan
gangguan regulasi, respon inflamasi yang tidak tepat. Dalam kondisi ini,
keterlibatan endotel yang luas dan monosit/makrofag jaringan, bersama dengan
aktivasi inflamasi dan koagulasi yang lebih menyeluruh, dapat mengakibatkan
SIRS dan MODS.
Hubungan antara disfungsi sel endotel dan MODS
Selain meningkatnya pengetahuan bahwa kaskade inflamasi dan koagulasi
akan teraktivasi dalam kondisi sepsis berat, sedikit yang tahu tentang mekanisme
bahwa hal itu dapat mengakibatkan disfungsi organ dan kematian. Jalur inflamasi
dan koagulasi dan tipe sel yang bervariasi sangatlah erat kaitannya bahwa mereka
tidak dapat dan tidak seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri-
sendiri dalam sepsis berat. Aktivasi kaskade inflamasi memberi pengaruh yang
kuat bagi jalur koagulasi, dan juga sebaliknya. Monosit yang teraktivasi
mempengaruhi endotel, dan begitu pula sebaliknya. Adanya disfungsi dari satu
organ manapun memiliki efek beruntun terhadap semua organ lainnya. Sehingga,
respon pejamu terhadap sepsis sangatlah terintegrasi dengan baik, dan secara
keseluruhan jauh lebih besar daripada total unsur utamanya (Gambar 3).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, bagaimana bisa kita menilai dengan baik
peran endotel dalam memediasi fenotip sepsis? Bukti yang ada menunjukkan
bahwa fungsi endotel berubah dalam kondisi sepsis berat yang akan berbeda dari
satu lokasi anyaman pembuluh darah dengan yang lainnya. Perubahan ini, pada
bagian yang lebih besar, respon pejamu yang terintegrasi, dapat membantu
mengawali dan mempertahankan siklus inflamasi, koagulasi, dan interaksi seluler
yang spesifik lokasi yang pada akhirnya dapat mengakibatkan oklusi, hipoksia,
dan disfungsi organ. Untuk mendukung bahwa endotel memiliki peran utama
yang lebih atau kutang dibandingkan dengan monosit, atau bahwa kaskade
inflamasi lebih atau kurang penting dibandingkan kaskade koagulasi dalam
pathogenesis sepsis masih belum diketahui pasti. Mungkin sebuah jalan pemikiran
yang lebih produktif adalah sebagai berikut: endotel sangatlah penting, tetapi tidak
tunggal, sebagai komponen respon pejamu terhadap sepsis; endotel secara
13
strategis terletak di antara darah dan jaringan yang mendasarinya; endotel
merupakan lapisan sel yang sangat lunak dan fleksibel; sehingga, endotel
berpotensi sebagai target yang berharga bagi terapi sepsis.
Endotel sebagai target terapi
Perspektif terapi
Selama satu dekade terakhir, sejumlah penelitian telah dicurahkan pada
percobaan sepsis, dengan lebih dari 10000 pasien terdaftar dalam lebih dari 20
percobaan dengan kontrol placebo, fase 3 percobaan klinis acak. Kebanyakan
pengobatan ini telah gagal dalam mengurangi angka kematian pasien dengan
sepsis berat, termasuk strategi antiendotoksin, antisitokin, antiprostaglandin,
antibradikinin, dan anti-PAF, ATIII serta TFPI. Selama penulisan jurnal ini,
sejumlah 5 fase 3 percobaan klinis telah membuktikan peningkatan angka
kelangsungan hidup pada pasien yang sakit kritis atau pasien dengan sepsis berat.
Hal ini meliputi penggunaan ventilasi volume tidal yang rendah, protein C aktif,
glukokortikoid dosis rendah, terapi insulin intensif, dan terapi dengan tujuan
terarah segera.
Gambar 3. Gambaran kompleks respon pejamu terhadap infeksi
Respon pejamu terhadap infeksi melibatkan serangkaian sel dan mediator larut yang sangat luas,
dimana meliputi tetapi tidak terbatas pada monosit, sel endotel, dan trombosit dan komponen
komplemen, kaskade inflamasi dan koagulasi. Dibandingkan menunjukkan hubungan yang detil,
gambar ini bermaksud untuk menyampaikan sifat respon pejamu yang saling ketergantungan,
berlebihan, dan pleiotropik. Beberapa faktor memodulasi fenotip, termasuk tipe patogen, dan
14
faktor pejamu, seperti genetik, make up, usia, jenis kelamin, status kesehatan dan sistem organ
lainnya (contohnya ginjal dan hepar). Normalnya, mekanisme pejamu terkoordinasi dengan baik,
baik dalam tempat dan waktu, untuk membantu pejamu melawan patogen. Meskipun demikian,
ketika respon pejamu tidaklah proporsional dengan pengobatan (misal, berlebihan, terus-menerus,
terlokalisasi buruk), maka keseimbangan kekuatan akan bergeser menyerupai patogen,
mengakibatkan fenotip sepsis. Dengan adanya respon dengan integrasi tinggi dan sifat alami yang
nonlinear, akan cukup sulit untuk mengidentifikasi komponen tunggal dari modulasi terapi
manakah yang akan mempersingkat kaskade dan meningkatkan hasilnya. Seiring dengan
kompleksitas respon sepsis yang menyisakan hal di luar kendali kita, harapan terbaik bagi
kemajuan terapi akan berdasar pada sasaran yang luas, dimana komponen multipel ditargetkan
pada waktu yang sama.
Strategi untuk mencapai target endotel
Pada prinsipnya, terdapat 2 strategi untuk mengurangi respon endotel pada
sepsis. Pertama adalah untuk menargetkan komponen nonendotel respon pejamu,
termasuk mediator yang larut atau tipe sel lainnya (seperti leukosit, trombosit),
yang tidak memodulasi fungsi sel endotel. Strategi lainnya adalah dengan
menargetkan komponen endotel (misal, reseptor permukaan sel, jalur pemberi
tanda, jaringan transkripsi, atau produk gen sel endotel) yang terlibat dalam
memediasi fenotip sepsis (Gambar 2; Tabel 1). Target yang terdaftar dalam Tabel
1 diturunkan dari kombinasi penelitian dasar dan klinis. Sementara sejumlah
terapi ini telah mencapai fase 3 percobaan klinis, yang lain masih dalam fase
preklinis atau fase klinis awal. Perluasan terhadap target selanjutnya akan
menerjemahkan ke dalam efektivitas klinis masih harus diperhatikan.
Terapi antimediator. Beberapa upaya telah dibuat untuk mencapai target LPS
atau mediator inflamasi yang secara langsung mengaktifkan sel endotel baik pada
tingkat faktor ekstraseluler maupun reseptornya sendiri. Pada fase besar 3
percobaan klinis, penggunaan terapi antimediator spesifik telah gagal dalam
meningkatkan angka kelangsungan hidup pada pasien dengan sepsis berat.
Terapi antiadhesi. Interaksi sel yang beredar dengan endotel sepertinya
memiliki peran yang penting dalam respon pejamu terhadap infeksi. Beberapa
strategi telah digunakan untuk menghambat interaksi leukosit-sel endotel dalam
percobaan hewan dengan sepsis, termasuk penggunaan antibody monoclonal.
15
Selain itu, trombosit yang nonaktif mendorong endotel yang terstimulasi, dalam
sebuah proses yang melibatkan P-selectin dan E-selectin, menunjukkan bahwa
terapi yang ditujukan pada adhesi molekul sel ini juga dapat mengurangi interaksi
trombosit-endotel. Trombosit yang teraktivasi telah terbukti dapat melekat pada
endotel melalui mekanisme dependen GPIIbIIIa, menunjukkan peran yang
potensial bagi penghambat GPIIbIIIa dalam sepsis. Hingga saat ini, terapi
antiadhesi dalam sepsis masih diselidiki.
Terapi antikoagulan. Beberapa molekul antikoagulan telah diteliti dalam
percobaan hewan primata dengan sepsis. Heparin dan active-site-blocked factor
Xa menghambat aktivasi koagulasi, tetapi tidak melindungi terhadap disfungsi
organ atau kematian. Hasil ini menunjukkan bahwa aktivasi kaskade koagulasi
tidaklah cukup untuk mempengaruhi angka kematian dalam sindrom ini.
Berlawanan dengan agen yang menghambat aktivitas trombin atau penghasil
trombin, pemberian active-site-blocked factor Xa, ATIII, dan protein C aktif, atau
TFPI akan memblok aktivasi jalur koagulasi dan inflamasi, mengurangi kerusakan
organ, dan mencegah kematian pada percobaan baboon dengan sepsis. Efek anti-
inflamasi dari agen ini terkait, setidaknya sebagian, dengan kemampuan mereka
untuk memblok protease-activated receptor–mediated signaling dan/atau untuk
mengaktifkan jalur perlindungan dalam endotel. Bersama dengan kegagalan hasil
percobaan antisitokin/antimediator, data ini menunjukkan, tetapi tanpa bukti
berarti, bahwa angka kematian pada sepsis berat berkaitan dengan aktivasi
gabungan dari jalur proinflamasi dan koagulasi.
Potensi terapi protein C aktif dibuktikan dalam fase 3 terbaru percobaan
Protein C Worldwide Evaluation in Severe Sepsis (PROWESS), dimana
pemberian rekombinasi protein C aktif manusia (drotrecogin alfa [aktif]) kepada
pasien dengan sepsis berat menghasilkan penurunan angka kematian. Sejumlah
1690 pasien dengan diagnosis sepsis berat diacak untuk menerima terapi
drotrecogin alfa (aktif) atau placebo. Terdapat penurunan yang signifikan dalam
waktu 28 hari yang menyebabkan kematian (24.7% vs. 30.8% dalam kelompok
pengobatan dan placebo, P < 0.005). Percobaan PROWESS merupakan percobaan
16
klinis yang pertama kali dipublikasikan untuk membuktikan adanya keuntungan
angka kelangsungan hidup pada pasien dengan sepsis berat.
Berlawanan dengan hasil penelitian preklinis dan fase awal 1/2 yang
menjanjikan, fase 3 percobaan klinis dengan ATIII atau TFPI gagal membuktikan
peningkatan angka kelangsungan hidup pada pasien dengan sepsis berat. Satu
penjelasan yang memungkinkan atas temuan ini adalah terkait dengan desain
penelitian. Misalnya, pasien dalam fase 3 percobaan klinis mungkin telah
mendapatkan dosis ATIII dan/atau TFPI yang kurang optimal. Selain itu, dalam
penelitian ATIII, manfaat potensial dari obat tersebut dapat dikaburkan dengan
pemberian heparin yang bersamaan. Penjelasan lain adalah bahwa protein C aktif
memiliki efek biologis unik yang menjadikannya terlepas dari ATIII dan TFPI
pada manusia dengan sepsis berat (berbeda dengan percobaan baboon dengan
sepsis). Sesungguhnya, saat TFPI dan ATIII mungkin menggunakan efek anti
inflamasinya secara tidak langsung melalui reseptor yang diaktifkan protease
(hingga saat ini, belum ada bukti tentang reseptor ATIII), protein C aktif mengikat
dan mengaktifkan reseptor unik, reseptor protein C endotel (EPCR), yang
diekspresikan pada permukaan sel endotel dan beberapa monosit. Interaksi antara
protein C aktif dengan reseptornya telah diterapkan dalam fungsi anti-inflamasi
dan antiapoptosis nya yang sangat besar.
Terapi antiapoptosis. Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, apoptosis
memiliki peran yang sangat penting dalam memediasi fenotip sepsis. Yang
menarik, adanya inhibisi apoptosis akan merepresentasikan suatu alur umum
dalam terapi sepsis yang ditetapkan. Contohnya, protein C aktif telah terbukti
mampu menghambat apoptosis dalam sel endotel biakan dengan mekanisme yang
mungkin mencakup penurunan transkripsi dari gen proapoptosis calreticulin dan
TRMP-2, dan mempengaruhi gen antiapoptosis A1 Bc1-2 homolog dan
penghambat apoptosis (IAP) homolog B. Pemeliharaan aliran darah dan oleh
karenanya mengurangi stress dapat menjadi penghambat apoptosis sel endotel
yang penting, dan manfaat terapi yang direncanakan dengan segera dapat
menggambarkan, sedikitnya sebagian, efek perlindungan hemodinamik pada
fungsi sel endotel. Selain itu, insulin menimbulkan kelangsungan sel endotel yang
17
dependen Akt. Untuk menyoroti temuan ini, sangatlah menarik untuk
menspekulasikan bahwa terapi insulin yang intensif dan kontrol gula darah yang
ketat pada pasien dengan sakit kritis memiliki efek perlindungan (prosurvival)
terhadap endotel.
Hipoksia telah terbukti mampu mempengaruhi kematian sel yang terprogram
pada sel endotel, sehingga menegaskan pentingnya memelihara oksigenasi yang
adekuat. Strategi antiapoptosis lainnya yang dapat dipertimbangkan mencakup
statin, antioksidan, faktor pertumbuhan dan penghambat caspase.
Faktor transkripsi sebagai target. Beberapa faktor transkripsi dalam endotel
telah terlibat dakam respons pejamu terhadap infeksi, termasuk NF-кB,
epithelium-specific Ets factor-1 (ESE-1), activator protein-1 (AP-1), GATA-2,
dan Egr-1. Selain itu, pemberian LPS pada hewan pengerat telah terbukti mampu
menurunkan aktivitas ikatan DNA dengan Sp1 dan AP-2.
Dari berbagai faktor transkripsi yang terlibat dalam mediasi fenotip sepsis,
NF-кB telah mendapatkan perhatian khusus sebagai target terapi yang potensial.
Pada percobaan tikus dengan endotoksemia, transfer gen somatic secara intravena
dengan IкBα menghasilkan peningkatan angka kelangsungan hidup. Dalam
percobaan tikus dengan sepsis, pemberian pyrrolidine dithiocarbamate sistemik
menghambat ekspresi gen TNF-α, siklooksigenase-2 (COX-2) dan ICAM-1 yang
dimediasi oleh NF-кB. Penghambat NF-кB yang lebih selektif, seperti peptida
antibacterial PR39, dapat mempertahankan hasil yang lebih menjanjikan.
ATIII dan protein C aktif, masing-masing telah terbukti dapat menghambat
aktivasi NF-кB pada sel endotel. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
penggunaan glukokortikoid dosis rendah mengurangi angka kematian pada pasien
dengan sepsis berat. Efek steroid yang menguntungkan juga mungkin
berhubungan, sebagian, dengan melemahnya aktivitas NF-кB.
Sebagai hal yang penting, NF-кB telah terbukti mampu mengurangi apoptosis
sel endotel yang dimediasi TNF-α, mungkin melalui induksi protein sitoprotektif
seperti IAPs, Bc1-2-like factors, dan A20. Selain itu, blokade selektif NF-кB
dapat mensensitisasi sel endotel terhadap efek proapoptosis TNF-α. Pengamatan
ini menunjukkan bahwa NF-кB memiliki peran protektif selama perjalanan sepsis
18
dan menggarisbawahi perlunya kewaspadaan dalam pengembangan terapi anti-
NF-кB.
Jalur pemberian isyarat sebagai target. Jalur pemberian isyarat p38 mitogen-
activated protein kinase (MAPK) dipercaya memiliki peran penting dalam
memediasi respon proinflamasi dan apoptosis sel endotel. Mencit yang tidak
memiliki MAPKAP kinase 2, sebuah target akhir p38 MAPK, menunjukkan
peningkatan resistensi terhadap LPS, sebuah efek yang diperjelas dengan
berkurangnya produksi TNF-α. Beberapa penelitian telah menjadikan isyarat p38
MAPK sebagai target dalam percobaan menggunakan hewan, dengan hasil yang
beragam. Yang menarik, dalam percobaan seorang manusia dengan endotoksemia,
pemberian per oral penghambat p38 MAPK terbaru mengurangi produksi sitokin
dan respon leukosit. Suatu perluasan dimana pengobatan tidak berdampak pada
disfungsi sel endotel.
Isoform protein kinase C (PKC) yang baru dan atipikal juga terlibat dalam
aktivasi sel endotel. Dalam kondisi in vitro, induksi ICAM-1 yang dimediasi
trombin dalam sel endotel akan tergantung pada jalur pemberian isyarat PKC-δ-
NF-кB, dimana stimulasi ICAM-1 oleh TNF-α melibatkan PKC-ζ-NF-кB.
Stimulasi trombin VCAM-1 dalam sel endotel dimediasi oleh PKC-δ-NF-кB dan
jalur isyarat PKC-ζ-GATA-2. PKC-ζ juga terbukti memediasi stimulasi TNF-α
terhadap NADPH oxidase–derived ROS dalam sel endotel. Dibandingkan dengan
mencit liar, pemberian LPS terhadap PKC-ζ -/- mencit menghasilkan aktivasi NF-
кB yang lebih sedikit dan signifikan di paru, tetapi tidak di hepar. Hasil ini
menunjukkan bahwa isoform PKC-ζ memiliki peran yang penting dalam
memediasi respon pejamu pada organ tertentu dan dapat menunjukkan target
terapi spesifik lokasi yang berharga pada kasus sepsis berat.
Pengambat Nitric oxide synthase (NOS). Sepsis dikaitkan dengan
peningkatan aktivitas inducible NOS (iNOS) dan menurunkan aktivitas endotel
NOS (eNOS). Meskipun demikian, peran relatif iNOS dan eNOS dalam
memediasi fenotip sepsis masih belum jelas. Pada percobaan genetic tikus, tidak
adanya iNOS dan eNOS tidak mengubah fenotipe sepsis secara signifikan.
Sesungguhnya, ekspresi eNOS yang berlebih dan kronik dalam endotel mencit
19
berakibat peningkatan resistensi terhadap hipotensi yang dipengaruhi LPS dan
kematian. Dalam beberapa penelitian, penggunaan penghambat NOS memberikan
hasil yang menguntungkan, dimana beberapa penelitian lain melaporkan temuan
yang berlawanan. Pada percobaan kelinci dengan sepsis, pemberian L-arginin,
tetapi tanpa L-NAME (N(G)-nitro-L-arginine methyl ester), dapat menurangi
kerusakan sel endotel oleh LPS. Induksi interaksi trombosit-endotel oleh LPS
pada mencit yang telah terbukti dapat dikurangi dengan donor NO dan diperburuk
dengan penghambat NOS atau defisiensi eNOS, menunjukkan efek
menguntungkan dari NO turunan eNOS. Penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan
untuk mempertimbangkan terapi penghambat NOS pada sepsis.
Tantangan terapi
Banyak alasan yang diungkapkan untuk menjelaskan sejarah kegagalan
percobaan klinis pada sepsis. Hal ini meliputi tidak dapat digunakannya hasil
percobaan dari hewan dengan sepsis, ketidakseragaman pengobatan suportif,
heterogenitas populasi pasien, keterlibatan efek perancu, pemilihan waktu yang
tidak tepat, dan pilihan pengujian hasil yang buruk. Penjelasan yang berhubungan
dengan rumitnya respon pejamu. Hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan
ketika memilih endotel sebagai target terapi.
Pemilihan waktu. Sepsis menggambarkan serangkaian gejala klinis dan
patologis yang berat. Dalam percobaan sepsis, pilihan criteria inklusi dan eksklusi
akan sangat mempengaruhi hasilnya. Contohnya, pada satu akhir spectrum,
inklusi pasien berisiko rendah dapat menyembunyikan respon menguntungkan
yang sebaliknya. Pada individu ini, efek berlawanan dari pengobatan (seperti
perdarahan akibat antikoagulan) dapat lebih banyak dari keuntungan kecil lainnya.
Pertimbangan lain yang penting adalah sifat adaptasi alami respon pejamu.
Selama respon menyeluruh adalah protektif (misal selama stadium awal
perjalanan sepsis), terapi yang ditargetkan mungkin tidak memiliki pengaruh, atau
bahkan memberikan dampak negative terhadap kelangsungan hidup. Pada
keadaan lain, pasien dengan penyakit stadium akhir dapat relatif resisten terhadap
terapi. Kaskade yang dipengaruhi sepsis yang telah mendapatkan intervensi terapi,
mungkin tidak lagi responsif. Ketika merencanakan terapi dengan target endotel,
20
akan sangatlah penting untuk menentukan pemilihan waktu yang optimal dan
spectrum beratnya suatu penyakit.
Kerumitan respon pejamu. Secara tradisional, berbagai pendekatan telah
dilakukan untuk memahami patofisiologi sepsis. Sesungguhnya, sebagian besar
penelitian dasar dalam bidang ini telah terfokus pada mekanisme isolasi dan
spesifik tentang respon pejamu. Data ini telah memunculkan model patofisiologi
linear, yang telah memandu pada pilihan target terapi. Dugaan bahwa berbagai
komponen respon pejamu terlibat dalam serangkaian prediksi dimana
berkurangnya satu saja komponen tersebut (contoh TNF-α) akan mengganggu
kaskade sepsis. “Model tipe domino” ini memberikan cara untuk paradigma
kerumitan nonlinear yang lebih realistis, dimana berbagai tipe sel, mediator
inflamasi, faktor koagulasi, reseptor permukaan sel, jalur isyarat intraseluler,
faktor transkripsi, dan gen berinteraksi sebagai bagian dari jaringan yang saling
berpasangan lokasi dan waktunya.
Satu cara untuk memahami kerumitan respon pejamu yang tak terpisahkan
adalah untuk mengembangkan rencana target dasar yang luas, dimana berbagai
komponen dikurangi secara bersamaan, misalnya kaskade inflamasi dan
koagulasi. Hal ini mungkin dengan memilih terapi yang lebih luas yang
menggantikan protein C aktif, dimana banyak agen lainnya sebelum ia gagal.
Meskipun mekanisme yang tepat dimana drotrecogin alfa (aktif) yang
meningkatkan angka kelangsungan hidup pada pasien ini belum diketahui,
beberapa bukti mengarah pada peran beraneka ragam komponen ini dalam
menghambat respon proinflamasi dan prokoagulan, memicu fibrinolisis, dan
mengurangi aktivasi sel endotel dan leukosit.
Pendekatan alternative adalah untuk menargetkan komponen respon pejamu
yang tidak berlebihan yang menjadi pusat inisiasi dan bertahannya fenotip sepsis.
Beberapa contoh dapat meliputi fungsi tunggal endotel (misal apoptosis), atau
faktor transkripsi tunggal (misal NF-кB). Meskipun demikian, dalam
merencanakan strategi semacam itu, sangatlah penting bila kita memahami
perilaku sistem kompleks linear yang tak terprediksi dan mengatur kembali
harapan kita sesuai kondisi tersebut. Bila dalam teori, respon pejamu terhadap
21
infeksi (dalam setiap pasien pada setiap waktu) dapat dibentuk dengan
serangkaian kompleks persamaan nonlinear yang sangat rumit, formula ini tidak
hanya sulit untuk dipahami, tetapi juga mungkin sangat sensitive pada kondisi
awal. Hasilnya, menjadikan target komponen tunggal tidak hanya dapat gagal
dalam memodulasi respon pejamu, tetapi dapat memiliki konsekuensi yang tidak
diharapkan dan mengganggu. Tantangan ilmiah yang penting untuk abad 21
adalah untuk mempelajari bagaimana mempengaruhi interaksi nonlinear bagi
pendekatan mekanistik dan terapetik. Perkembangan lebih lanjut dalam
memahami jaringan yang rumit akan mendasari peningkatan hasil dan sarana
matematis dan statistik yang lebih lengkap, termasuk kemajuan teknik
pengelompokan, pengumpulan data dan strategi pengenalan pola, teknik Bayesian,
persamaan diferensial, serta sarana simulasi. Dengan mempelajari dan melingkupi
model biologis yang lebih realistis yang melibatkan jaringan yang rumit, kita
dapat meningkatkan kapasitas kita untuk menyusun kembali respon pejamu dalam
pemahaman kita.
Implikasi bagi percobaan klinis. Dalam percobaan klinis, pasien mungkin
serupa, tetapi mereka tidak pernah identik. Dari titik awal terapi, apa yang dapat
menyelamatkan seorang pasien, mungkin berbahaya bagi yang lainyya. Selain itu,
intervensi terapi yang menguntungkan pasien pada suatu waktu dapat
mengganggu titik lain pada saat bersamaan. Sehingga, terapi yang optimal bagi
sepsis sangat tergantung pada masing-masing pasien dan waktu. Meskipun
demikian, sampai saat kita dapat menandai perilaku yang rumit dari respon
pejamu, kita akan terbatas pada desain klasik randomized control trial, dimana
intervensi tunggal diuji dalam kelompok pasien yang heterogen. Tujuan yang
penting, yang hanya dapat dicapai melalui percobaan klinis besar, adalah untuk
mengidentifikasi sejumlah pasien yang mendapatkan manfaat pengobatan.
Informasi ini kemudian dapat digunakan untuk merancang penelitian
preklinis/klinis yang baru. Beberapa pendekatan akan membantu mengurangi
heterogenitas pasien dan dapat mengembangkan terapi yang lebih sesuai,
misalnya, terhadap salah satu komponen respon endotel atau komponen lainnya
atau terhadap anyaman pembuluh darah yang spesifik.
22
Simpulan
Selain informasi baru tentang patofisiologi dan pengobatan sepsis berat,
kelainan ini juga berhubungan dengan tingginya angka kematian yang tidak dapat
diterima. Pemecahan selanjutnya akan membutuhkan pergeseran konsep yang
menegaskan hubungan antara mediator yang bervariasi dan sel yang terlibat dalam
respon pejamu. Endotel merupakan kunci dalam mengawali, mempertahankan dan
memodulasi respon pejamu terhadap infeksi. Penelitian tambahan menjanjikan
untuk memberikan pandangan yang baru tentang endotel, bukan sebagai
mekanisme isolasi dari patofisiologi sepsis, tetapi lebih sebagai koordinator dalam
respon yang tersusun jauh lebih luas, secara lokasi dan waktu.
Catatan tambahan untuk dibuktikan. Penelitian terkini menunjukkan bahwa
protein C aktif memberi isyarat melalui PAR-1 dalam sel endotel biakan, oleh
suatu mekanisme dependen EPCR. Konsisten dengan hasil ini, baik EPCR dan
PAR-1 terbukti memang dibutuhkan untuk memediasi fungsi sitoprotektif dari
protein C aktif dalam biakan sel endotel otak manusia yang hipoksia dan dalam
mencit dengan model stroke. Secara bersamaan, temuan ini menunjukkan bahwa
protein C aktif memberi isyarat melalui reseptor PAR-1 baik in vitro maupun in
vivo. Oleh karena PAR-1 juga merupakan reseptor bagi trombin, penelitian ini
menimbulkan pertanyaan menarik tentang bagaimana dua ligan yang berbeda,
yaitu protein C aktif dan trombin, memediasi respon PAR-1 yang berbeda (misal,
respon perlindungan dan proinflamasi, secara berurutan).
23