Upload
enita-kurniaatmaja
View
132
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
1
Referat
PERAN HIPERSENSITIVITAS VISCERAL PADA
DISPEPSIA FUNGSIONAL
Oleh: Enita R. Kurniaatmaja
Sub-Bagian Gastro-Hepatologi
Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UGM / RS. Dr. Sardjito Yogyakarta
Yogyakarta 2009
Disetujui : ....................................................Tanggal .............................................
Dr. Putut Bayupurnama, Sp.PD-KGEH
Dipresentasikan :.........................................Tanggal ..............................................
Dr. Putut Bayupurnama, Sp.PD-KGEH
2
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul …………………………..........………………….... i
DAFTAR ISI .................................................................................... ii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ............………………….….. iii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................... 4
DEFINISI .......................................................................... 4
KLASIFIKASI................................................................... 4
PATOFISIOLOGI.............................................................. 5
PERAN HIPERSENSITIVITAS VISCERAL ................. 12
BAB III. KESIMPULAN ................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 19
3
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. ……………...………………………………………...... 12
Gambar 2 ……………...………………………………………....... 13
Gambar 3 ……………...………………........................................... 16
4
BAB I
PENDAHULUAN
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam
praktek sehari-hari. Diperkirakan kasus dispepsia dijumpai pada 30% kasus pada
praktek dokter umum dan 60% pada praktek gastroenterologist. Di masyarakat,
dispepsia memiliki angka morbiditas yang tinggi dan menghabiskan biaya yang
cukup besar. Penelitian mengenai dispepsia fungsional ini sudah bermacam-
macam, namun salah satu penelitian memperkirakan bahwa sebanyak 25% dari
orang Amerika mungkin menderita dispepsia (Keohane et al., 2006, Choung R. S
& Talley., 2006).
Dispepsia adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat
kenyang, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Dispepsia
dapat disebabkan oleh kelainan organik (misalnya tukak peptik, gastritis,
kolesistitis, dan lainnya), maupun yang bersifat fungsional. Berdasarkan kriteria
Roma II tahun 2000 dispepsia didefisikan sebagai dyspepsia refers to pain or
discomfort centered in upper abdomen. Dispepsia fungsional dibagi atas 3
subgrup yaitu: (a) dispepsia tipe ulkus {ulcer-like dyspepsia) bila gejala yang
dominan adalah nyeri ulu hati; (b) dispepsia tipe dismotilitas (dysmotility-like
dyspepsia) bila gejala dominan adalah kembung, mual, cepat kenyang; dan (c)
dispepsia non-spesifik yaitu bila gejalanya tidak sesuai dengan (a) maupun (b).
5
Dispepsia dijumpai pada sekitar 25% (8%-54%) populasi setiap tahun
(Wibawa, 2006).
Dispepsia fungsional merupakan salah satu kondisi klinis yang sering di
jumpai di masyarakat dan merupakan salah satu penyakit yang sering ditemukan
oleh gastroenterologists seluruh dunia. Yang merupakan kelainan fungsional
gastrointestinal (FGID’s), seperti irritable bowel sindrom (IBS), nyeri dada non
kardiak, dispepsia fungsional dan non ulkus yang tumpang-tindih dengan
penyakit refluks non erosive. (NERD) (Keohane et al., 2006).
Dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus (FD) merupakan satu
alasan dokter di daerah melakukan rujukan ke gastroenterologists. Hal ini
berhubungan dengan kualitas hidup dan angka morbiditas yang signifikan.
Banyak peneliti percaya bahwa dispepsia fungsional dan Irritable Bowel
Syndrome memiliki sebagian spektrum proses penyakit sama.
Sampai saat ini patofisiologi dispepsia masih belum jelas, akan tetapi
beberapa teori menunjukkan hipersensitivitas visceral, disfungsi motorik gastric,
infeksi H. pylori dan faktor psikososial terlibat di dalamnya
(Keohane et al., 2006).
Meskipun penelitian akhir-akhir ini telah mempelajari berbagai
mekanisme patofisiologi dari dispepsia, akan tetapi patogenesis dispepsia masih
saja diperdebatkan. Patofisologi dispepsia berhubungan dengan berbagai
mekanisme berikut seperti keterlambatan pengosongan lambung,
hipersensitivitas distensi lambung, sensitivitas duodenum terhadap lemak dan
6
asam, motilitas duodeno-jejunum yang abnormal dan lainnya (Mimidis, K &
Tack, J., 2008).
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Dispepsia merupakan sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau
cepat kenyang, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada.
Dalam Konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia
sebagai dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen.
(UPD) Definisi lain, dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut
bagian atas atau dada, yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh
atau rasa sakit atau rasa terbakar di perut (Anonym., 2009).
KLASIFIKASI
Dispepsia terbagi dua,yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Pada sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari,
radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.
2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus
(DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai
kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis,
laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).
8
Dalam konsensus Roma II dispepsia fungsional didefinisikan sebagai
dispepsia yang berlangsung at least 12 weeks, which need not be consecutive,
in the preceding 12 month of : 1. persistent or recurrent dyspepsia (pain or
discomfort centered in the upper abdomen); 2. No evidence of organic
disease (including at upper endoscopy) thet is likely to explain the symptoms,
and; 3. No evidence that dyspepsia is exclusively relieved by defecation or
associated with the onset of a change in stool frequency or stool form (i.e. not
irritable bowel) (Djojoningrat, 2006).
PATOFISIOLOGI
Dispepsia fungsional adalah kompleks gejala bercirikan oleh nyeri perut
bagian atas yang dirasakan sesudah makan, rasa penuh, mual, muntah, distensi
abdomen, kembung, dan anorexia tanpa adanya kelainan organik. Abnormalitas
motorik gastrointestinal, yang melibatkan sensasi visceral dan faktor psikososial
diduga sebagai mekanisme patofisiologi mayor. Persepsi sekarang ini sudah
mengganti pandangan sebelumnya bahwa kondisi ini merupakan hasil dari
kelainan sensorik atau motorik dari perut. Sehingga strategi terapi mendatang
sebaiknya bertujuan untuk mengurangi nociceptor sebaik peningkatan respon
akomodasi (Thumshirn, 2002).
Dispepsia fungsional merupakan kumpulan gejala yang kompleks dan
heterogenous. Penelitian terbaru memperlihatkan adanya hubungan yang
potensial antara gangguan patofisiologi spesifik dengan gejala dispepsia.
Keterlambatan pengosongan lambung didapatkan sekitar 30% pada pasien
9
dengan dispepsia fungsional yang berhubungan dengan gejala rasa cepat penuh
sesudah makan, mual, dan muntah. Hipersensitivitas distensi lambung
didapatkan sekitar 37% pada pasien dengan dispepsia fungsional dan
berhubungan dengan gejala nyeri sesudah makan, bersendawa, dan penurunan
berat badan. Faktor psikososial dan perubahan respon terhadap lemak dan asam
juga diduga sebagai salah satu mekanisme patofisiologi. (Jae Lee et al., 2004)
Adapun Beberapa Faktor yang berperan dalam patofisiologi dispepsia
fungsional :
I. Faktor Genetik
Bukti terbaru menunjukkan adanya relevansi dari faktor genetik dengan
kejadian dispepsia fungsional. Holtman et al (2004) melakukan penelitian
case control dan hasilnya didapatkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara genotip GNβ3 (C825T) CC dengan kejadian dyspepsia
fungsional (OR = 2,2, IK 95% = 1,4-3,3). Meskipun pada penelitian ini
terdapat keterbatasan penelitian seperti prevalensi genotip CC yang tinggi
diantara subyek control, akan tetapi adanya hubungan ini dapat dinyatakan
secara independent. Lebih lanjut diperlukan suatu penelitian untuk
mengetahui hubungan antara polimorfism gen dengan factor patofisiologi
dyspepsia fungsional lainnya (Choung R & Talley N, 2006).
II. Abnormalitas Fungsi Motorik Lambung
Prevalensi gangguan fungsi motorik pada dispepsia fungsional
diperkirakan sekitar 20-40%. Manifestasi gangguan fungsi motorik lambung
10
ini seperti perlambatan pengosongan lambung, gangguan kontraktilitas
antrum dan gangguan akomodasi lambung (Choung R & Talley N, 2006).
1. Perlambatan pengosongan lambung dan dismotilitas gastrointestinal
Perlambatan pengosongan lambung terjadi sekitar 25-50% pasien
dengan dispepsia fungsional. Secara keseluruhan tidak dapat dijelaskan.
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum, tapi
harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan
proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung
tidak dapat mutlak mewakili hal tersebut. Pada suatu penelitian besar
terhadap 304 pasien Italia dengan dispepsia fungsional, didapatkan bahwa
perlambatan pengosongan lambung yang diukur melalui tes nafas
pengosongan lambung secara independen berhubungan dengan rasa cepat
penuh sesudah makan, mual dan muntah. (Jae Lee et al., 2004, (Choung
R & Talley N, 2006).
2. Gangguan akomodasi lambung
Fungsi motorik proksimal dan distal lambung berbeda satu sama
lain. Dimana bagian distal mengatur perut mengosongkan makanan
dengan menghancurkan dan menyaring makanan sampai menjadi partikel
cukup kecil sehingga dapat melewati pylorus, sedangkan bagian
proksimal berperan sebagai reservoir. Akomodasi lambung terdiri atas
relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan dan
11
memungkinkan penambahan volume tanpa meningkatkan tekanan di
dalam lambung. (Jae Le et al., 2006)
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam
hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya
neuropati vagal juga diiduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian
proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan
gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang
(Djojoningrat, 2006).
Dari penelitian yang dilakukan Park D.I dkk, diketahui tidak
terdapat hubungan antara hipersensitivitas visceral dengan derajat
keparahan dispepsia. Sehingga diduga bahwa adanya defek pada regio
spinal atau sistem saraf pusat merupakan mekanisme mayor yang
berperan dalam hipersensitivitas visceral pada dyspepsia fungsional
(Park D. I, 2000).
3. Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan
elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia
fungsional, tetapi hal ini bersifat inkonsisten (Choung R & Talley N,
2006).
III. Gangguan pada Sensitivitas Visceral
Dinding lambung memiliki 3 reseptor saraf : (1) Kemoreseptor di mukosa
lambung, yang akan berespon terhadapa rangsang kimia; (2) Mekanoreseptor
pada otot polos lambung, yang berperan dalam mekanisme kontraksi dan
12
kompresi dan (3) Nociceptor, merupakan reseptor terbesar di lambung, yang
dapat mencetuskan rasa nyeri (Choung R & Talley N, 2006).
1. Peran hipersensitivitas visceral terhadap distensi mekanik
Meningkatnya persepsi fisiologi visceral diduga sebagai salah satu
mekanisme patofisiologi mayor pada dyspepsia fungsional. Tingkat
abnormalitas dimana hipersensitivitas visceral berperan masih belum
jelas, tapi beberapa penelitian menduga kemungkinan berada pada system
saraf pusat atau adanya hipereksitabilitas dari visceral afferent. Beberapa
penelitian mendapatkan pasien dengan dyspepsia fungsional memiliki
ambang yang rendah saat timbul nyeri saat terjadi distensi gaster.
Diakatakan oleh Mertz et al, hipersensitivitas terhadap distensi balon
lambung spesifik untuk dyspepsia fungsional. Dan diketahui terdapat
hubungan antara hipersensitivitas dengan disitensi lambung dengan
prevalensi kejadian nyeri post prandial, sendawa dan penurunan berat
badan. Adanya abnormalitas pada system saraf pusat dalam memproses
informasi afferent saat adanya stimulus terhadap lambung diduga sebgai
salah satu mekanisme hipersensitivitas visceral (Choung R & Talley N,
2006).
2. Peran hipersensitivitas visceral terhadap stimulus kimia
Penelitian dari Feinle dkk, mempelajari efek lemak terhadap
sensasi gastrointestinal pasien dengan dan tanpa keluhan dyspepsia.
Hasilnya diketahui bahwa reseptor mediator yakni cholecystokinin A
(CCK-A) dan serotonergic (5-HT) berperan dalam sensasi
13
gastrointestinal. Dilaporkan bahwa pemberian antagonis reseptor CCK-A
dapat mengurangi efek asam duodenum pada relaksasi lambung selama
distensi lambung (Choung R & Talley N, 2006).
IV. AGEN INFEKSI
1. Infeksi H. pylori
Peran infeksi H. pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan, kekerapan
H. pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda
bermakna dengan angka kekerapan H. pylori pada kelompok orang sehat.
Mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada
dispepsia fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan
pengobatan konservatif baku (Djojoningrat, 2006).
2. Dispepsia post infeksi
Penelitian Mearin dkk, menyebutkan bahwa kejadian dyspepsia
meningkat 5x lebih besar dalam 1 tahun setelah terinfeksi gastroenteritis
Salmonella. Akan tetapi diperlukan penelitian lanjutan untuk
mengidentifikasi faktor risiko dan patofisiologi yang melatabelakangi
terjadinya dispepsia untuk menentukan prognosis (Choung R & Talley N,
2006).
V. FAKTOR PSIKOSOSIAL
Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres
14
sentral. Korelasi antara faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom
dan motilitas masih tetap kontroversial (Djojoningrat, 2006).
Pada pasien dengan dispepsia fungsional, faktor psikologis seperti
somatisasi, depresi dan ansietas terlibat dalam kejadian dispepsia. Faktor
psikososial ini dapat mempengaruhi kerja dari system saluran cerna; melalui
axis otak-saluran cerna. Hasilnya, terapi psikologis pada dyspepsia
fungsional sangat diperlukan (Choung R & Talley N, 2006).
Proses patofisiologi lain yang juga potensial berhubungan dengan
dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, hormonal, diet dan
faktor lingkungan.
1. Sekresi asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional umunya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang
rata-rata normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut (Djojoningrat,
2006)
2. Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional.
Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan
gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron,
estradiol dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan
memperlambat waktu transit gastrointestinal (Djojoningrat, 2006)
15
3. Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus
dispepsia fungsional (Djojonigrat, 2006)
Gambar 1. Mekanisme Patofisiologi Dispepsia Fungsional
PERAN HIPERSENSITIVITAS VISCERAL
Bagaimana mekanisme hipersensitivitas visceral menyebabkan dispepsia,
masih belum dipahami. Diketahui dinding usus mempunyai berbagai reseptor,
termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi,
nampaknya dispepsia mempunyai hipersensitivitas visceral terhadap distensi
balon digaster atau duodenum. Penelitian menggunakan balon intragastrik
mendapatkan hasil pada 50% populasi dengan dispepsia fungsional sudah timbul
rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang
16
lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi
kontrol (Djojoningrat, 2006).
Untuk memahami lebih dalam bagaimana peran hipersensitivitas visceral
pada dispepsia fungsional, perlu diingat kembali pada neurofisiologi dan
dipahami bagaimana stimulasi dinding usus menghasilkan persepsi conscious.
Persepsi nyeri somatik terlibat melalui tiga rantai neuron, seperti diilustrasikan
pada gambar 2. Untuk nyeri visceral, juga terjadi mekanisme yang sama. Sinyal
dimulai pada reseptor sensorik di mukosa, lapisan otot atau tunika serosa dan
diteruskan melalui intrinsic primary afferent neurons (IPAN’s), saraf sensorik
afferent spinal atau vagal menuju ke neuron lainnya khususnya saat memasuki
system saraf, batang otak atau spinal cord. (Keohane et al., 2006)
Gambar 2. Mekanisme dan gejala yang berhubungan dengan dyspepsia fungsional
Banyak teori menganggap adanya suatu abnormalitas dari sinyal indrawi
pada dispepsia fungsional. Meskipun kebanyakan studi menyebutkan adanya
keterlibatan stimulus mekanik seperti distensi namun tidak menyingkirkan
17
adanya keterlibatan stimulus lain. Misalnya, Samsom dkk sebelumnya telah
meneliti bahwa penderita dispepsia fungsional lebih peka terhadap asam dan
lemak usus. Dan mengenai hipersensitivitas pada mekanoreseptor usus, sudah
diteliti oleh Tack dkk. Pada penelitian ini, sebanyak lima puluh pasien dengan
hipersensitivitas visceral dipelajari dan diobati dengan fundus relaxing drugs,
sumatriptan dan clonidine. Dan setelah dilakukan pengujian ulang, mereka yang
mendapatkan fundus relaxing drugs menunjukkan penurunan yang signifikan
terhadap sensitivitas lambung. Hal ini menjelaskan mekanisme mekanoreseptor
dalam menimbulkan gejala dari hollow viscus ke saluran gastrointestinal telah
diteliti sebelumnya (Keohane et al., 2006).
Hampir sebagian besar kerja hipersensitivitas visceral melibatkan distensi
balon di lambung. Perkembangan mekanisme baroreseptor memungkinkan
pemeriksa untuk mengukur kekenyalan perut dan respon sensorik secara akurat
dan tepat. Meskipun telah diketahui secara klinis bahwa pasien dengan irritable
bowel sindrome (IBS) mempunyai ambang rendah terhadap rasa sakit pada saat
pasein mendapatkan stimulus seperti pemeriksaan rectal digital, sigmoidoscopy
dan colonoscopy (Keohane et al., 2006).
Mearin’s dkk juga memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan respon
somatosensorik antara kontrol dan pasien dispepsia, dengan begitu jelas bahwa
ini merupakan fenomena visceral. Bahkan beberapa peneliti mengganggap
bahwa hipersensitivitas visceral muncul pada spesifik organ, seperti respon
distensi rectal spesifik pada IBS, begitu pula dengan distensi gaster yang spesifik
untuk dispepsia fungsional. Bagaimanapun juga penelitian oleh Bouin et al yang
18
melihat somatik sensasi dengan membenamkan tangan di air dingin, dan
menemukan bahwa mereka dengan kelainan fungsional gastrointestinal
memperoleh rasa sakit lebih awal dan mempunyai toleransi rasa sakit lebih
rendah dibandingkan kontrol. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa
hipersensitivitas bukan hanya merupakan problem visceral, tapi juga merupakan
bentuk disfungsi sensorik secara keseluruhan (Keohane et al., 2006)
Tempat lain yang mungkin terjadinya kelainan sensorik pada dispepsia
fungsional adalah saraf sensorik afferen, sumsum tulang belakang, dan otak.
Semakin banyak penelitian yang dipusatkan pada axis otak-usus. Biasanya,
sensasi visceral yang menuju sistem saraf pusat tidak akan mencapai persepsi
sadar, akan tetapi pasien dengan dispepsia fungsional berpikir untuk mendalami
stimuli dengan abnormal. Vandenberghe dkk, dalam studinya, menyatakan
bahwa hipersensitivitas visceral mungkin berasal dari di tempat lain di luar
dinding usus dan melibatkan jalur multimodal. Baik distensi lambung yang nyeri
maupun tak nyeri menghasilkan skor gejala yang tinggi di antara sekelompok
pasien dengan dyspepsia fungsional, akan tetapi belakangan keluhan serupa juga
didapatkan pada kelompok pasien dyspepsia fungsional tanpa hipersensitivitas,
sehingga diduga bahwa persepsi tidak hanya berupa fenomena dinding usus
(Keohane et al., 2006).
Penelitian pada hewan menggali pengetahuan kita lebih dalam mengenai
jalur sesorik visceral (Gambar 3). Sebelumnya sudah dipikirkan bahwa
nocioceptor dimediasi oleh saraf afferen dan sistem saraf simpatis, sampai studi
pada hewan memperlihatkan mekanisme vagal afferen berperan di modulasi
19
nociceptor. Munculnya alat skaning fungsionil magnetic resonance imaging
(fMRI) dan positron emission tomography (PET) yang dapat memindai secara
hebat sehingga menambah pengetahuan kita mengenai jalur sensorik akhir pada
sumsum tulang dan otak. Selain itu, dua studi terbaru sudah memperlihatkan
pengaktifan beberapa area otak pada individu dengan distensi lambung. Beberapa
area pengaktifan termasuk thalamus, insula, gyrus post sentral kanan dan kiri,
dan anterior cingulate gyrus. Yang terakhir, sebelumnya diperlihatkan sebagai
area dengan derajat pengaktifan rendah, padapasien IBS, sebagai respon terhadap
stimulus nyeri. Demikian pula dengan distensi esofageal non painful akan
merangsang sisitem somatosensorik primer di korteks, kedua insula dan
operkulum serta mengaktivasi stimulus nyeri korteks insular anterior kanan dan
singulasi gyrus. Penelitian ini menggambarkan proses kompleks dari sistem saraf
pusat dalam menimbulkan nyeri visceral (Keohane, 2006).
Gambar 3. Jalur sensorik sensasi visceral dari perifer melalui saraf spinal sensorik afferen ke sistem saraf pusat.
20
Biasanya, pasien dengan dispepsia fungsional mengeluhkan gejala yang
mereka rasakan kepada food ingesti. Dan diketahui sekitar 60%-70% pasien
dengan dispepsia fungsional sensitif terhadap keberadaan lemak pada duodenum.
Juga akan nampak hipersensitivitas merupakan nutrisi yang spesifik bagi cairan
intraduodenal dari trigliserida rantai panjang yang menyebabkan rasa penuh,
mual, dan kembung pada pasien dengan dispepsia fungsional, sedangkan cairan
glukosa tidak. Mekanisme lemak ini sebelumnya telah dipelajari, di mana lipase
inhibitor, orlistat, nyata sekali mengurangi persepsi rasa penuh and mual yang
dipicu oleh cairan lemak duodenum dan distensi lambung (Keohane et al., 2006).
Penelitian Samson dkk, mengemukakan bahwa usus halus dengan nutrisi
dan lemak tertentu sama baiknya dengan respon motorik pada pangkal usus, yang
mungkin memegang peranan dalam menginduksi timbulnya fungsional
dyspepsia (Keohane et al., 2006).
21
BAB III
KESIMPULAN
Dispepsia fungsional merupakan salah satu bentuk penyakit heterogen.
Berbagai paradigma patofisiologi masih diperdebatkan untuk menjelaskan
berbagai variasi dari gejala dispepsia. Diketahui dinding usus mempunyai
berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor.
Berdasarkan studi, nampaknya dispepsia mempunyai hipersensitivitas visceral
terhadap distensi balon digaster atau duodenum. Bagaimana hipersensitivitas
dapat menimbulkan gejala pada dispepsia fungsional adalah melalui 3 reseptor
saraf, yakni : (1) Kemoreseptor di mukosa lambung, yang akan berespon
terhadapa rangsang kimia; (2) Mekanoreseptor pada otot polos lambung, yang
berperan dalam mekanisme kontraksi dan kompresi dan (3) Nociceptor,
merupakan reseptor terbesar di lambung, yang dapat mencetuskan rasa nyeri
(Choung R & Talley N, 2006).
22
DAFTAR PUSTAKA
Choung, R. S., Talley, N. J. 2006. Novel mechanisms in functional dyspepsia.
World J Gastroenterol. 12(5): 673-677
Djojoningrat, D. 2006. Dispepsia Fungsional. Dalam Sudoyo, A.A., Setiyohadi,
B., Alwi, I., Simadibrata, M.K., Setiati, S (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, edisi 4, jilid II, Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, Jakarta,
h: 354-356.
Jae Lee, K., Kindt, S., Tack, J. 2004. Pathophysiology of functional dyspepsia.
Best Practice & Research Clinical Gastroenterology. 18 ( 4) : 707–716.
Keohane, J., Quigley, Eamonn, M. M. 2006. Functional dyspepsia: The role of
visceral hypersensitivity in its pathogenesis. World J Gastroenterol.
12(17): 2672-2676.
Mimidis, K., Tack, J. 2008. Pathogenesis of Dyspepsia. Digestive Disease.
26:194–202.
Anonym. 2009. Dispepsia. http://tbmcalcaneus.org . September.
Park DI., Rhee PL., Lee YW., Kim JE., Hyun JG., Kim CS., Jang JK., Shim SG.,
Sung IK., Kim YH., Son HJ., Kim JJ., Paik SW., Rhee JC., Choi KW.
2000. The Role of Autonomic Dysfunction in Patients with Functional
Dyspepsia. Korean J Gastrointest Motil. 6 (2):214-221.
Thumshirn, M. 2002. Visceral Perception : Pathophysiology of functional
dyspepsia. Gut. 51 : 163-166.
Wibawa, I Dewa, Nyoman. 2006. Penanganan Dispepsia pada Lanjut Usia.
Jurnal Penyakit Dalam. 7 (3) : 214-220.
---------, Mariadi, Ketut. 2007. Perkembangan Terkini dalam Diagnosis dan
Penatalaksanaan Irritabel Bowel Syndrome. Jurnal Penyakit Dalam. 8 (3) : 240-
253.