46
Halaman 1 dari 46 PERANAN NEGARA MENGATASI KEGAGALAN PASAR SEBAGAI DAMPAK PELAKSANAAN ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT - ACFTA Sasmito Jati Utama A. Pengantar (Tak penting kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus) (Deng Xiaoping) Pameo yang diungkapkan Deng Xiaoping yang dikenal sebagai “Bapak Cina Modern” pada perkembangannya telah telah mampu membumikan paradigma Mao sarat akan nilai-nilai ideologis-utopis menjadi program modernisasi Cina yang berorientasi empiris-pragmatik. Sikap pragmatik ini juga sangat dirasakan dalam kebijakan dan komunikasi politik yang berusaha mengombinasikan kebijakan modernisasi ekonomi Cina melalui pendekatan kombinatif dan . Cina dengan sepenuhnya menyadari bahwa modernisasi tidak selalu menyediakan jalan untuk meraih kedua tujuan pokok yang menjadi mimpi setiap bangsa kemakmuran ekonomi dan demokratisasi secara bersamaan. Akan tetapi, diantara tujuan tersebut salah satunya harus ada untuk mendahului yang lain. Seperti halnya modernisasi yang berlangsung di negara-negara sedang berkembang pada umumnya, Cina menempatkan kemakmuran ekonomi sebagai prioritas utama, dan sambil perlahan-lahan membangun sistem politik demokratis. Orientasi tersebut menempatkan Cina untuk menempuh model pengembangan . Pendekatan tersebut merupakan suatu model yang menempatkan negara sebagai pemegang kendali kebijakan reformasi ekonomi; sambil perlahan membuka keran demokratisasi. Cina adalah fenomena kontras yang sedang memacu proyek modernisasi untuk menjadi raksasa ekonomi dunia yang tampil elegan di pertengahan abad ke-21 ini. Fenomena supremasi Cina senada dengan pemikiran futurolog John Naisbitt dalam Megatrend Asia (1997) 1 , yang telah memprediksi bahwa dalam abad XXI ini, perekonomian kawasan Asia Pasifik akan beralih ke perekonomian yang dikuasai Cina dan orang-orang Cina perantauan (hoakiao) yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Pada perkembangannya ramalan Nasbitt jelas bukan tanpa bukti. Kebangkitan ekonomi China benar-benar menjadi fakta yang semakin jelas konsekuensinya bagi setiap negara.Pada 1 John Naisbitt, , dialihbahasakan oleh Danan Priyatmoko, Gramendia, Jakarta, 1997

PERANAN NEGARA MENGATASI KEGAGALAN PASAR.pdf

  • Upload
    sasmito

  • View
    48

  • Download
    12

Embed Size (px)

Citation preview

  • Halaman 1 dari 46

    PERANAN NEGARA MENGATASI KEGAGALAN PASAR

    SEBAGAI DAMPAK PELAKSANAAN

    ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT - ACFTA

    Sasmito Jati Utama

    A. Pengantar

    (Tak penting kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus)

    (Deng Xiaoping)

    Pameo yang diungkapkan Deng Xiaoping yang dikenal sebagai Bapak Cina

    Modern pada perkembangannya telah telah mampu membumikan paradigma Mao

    sarat akan nilai-nilai ideologis-utopis menjadi program modernisasi Cina yang

    berorientasi empiris-pragmatik. Sikap pragmatik ini juga sangat dirasakan dalam

    kebijakan dan komunikasi politik yang berusaha mengombinasikan kebijakan modernisasi

    ekonomi Cina melalui pendekatan kombinatif dan . Cina dengan

    sepenuhnya menyadari bahwa modernisasi tidak selalu menyediakan jalan untuk meraih

    kedua tujuan pokok yang menjadi mimpi setiap bangsa kemakmuran ekonomi dan

    demokratisasi secara bersamaan. Akan tetapi, diantara tujuan tersebut salah satunya

    harus ada untuk mendahului yang lain. Seperti halnya modernisasi yang berlangsung di

    negara-negara sedang berkembang pada umumnya, Cina menempatkan kemakmuran

    ekonomi sebagai prioritas utama, dan sambil perlahan-lahan membangun sistem politik

    demokratis. Orientasi tersebut menempatkan Cina untuk menempuh model

    pengembangan . Pendekatan

    tersebut merupakan suatu model yang menempatkan negara sebagai pemegang kendali

    kebijakan reformasi ekonomi; sambil perlahan membuka keran demokratisasi. Cina

    adalah fenomena kontras yang sedang memacu proyek modernisasi untuk menjadi

    raksasa ekonomi dunia yang tampil elegan di pertengahan abad ke-21 ini.

    Fenomena supremasi Cina senada dengan pemikiran futurolog John Naisbitt

    dalam Megatrend Asia (1997)1, yang telah memprediksi bahwa dalam abad XXI ini,

    perekonomian kawasan Asia Pasifik akan beralih ke perekonomian yang dikuasai Cina

    dan orang-orang Cina perantauan (hoakiao) yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Pada

    perkembangannya ramalan Nasbitt jelas bukan tanpa bukti. Kebangkitan ekonomi China

    benar-benar menjadi fakta yang semakin jelas konsekuensinya bagi setiap negara.Pada

    1 John Naisbitt, ,

    dialihbahasakan oleh Danan Priyatmoko, Gramendia, Jakarta, 1997

  • Halaman 2 dari 46

    Tahun 2010 China telah mengambil alih kedudukan Jepang sebagai negara dengan

    ekonomi terbesar di dunia, dengan (GDP) nominal yang

    mencapai USD 5,87 triliun.2

    Seperti diketahui bahwa melambungnya data Gross Domestic Product (GDP)

    China pada tahun 2010 yang mencapai 10,3% dari 9,2% di 2009 menggambarkan bahwa

    kondisi ekonomi china tersebut sudah overheating. Hingga saat ini China merupakan

    negara tujuan ekspor utama dunia, khususnya komoditas, sehingga perlambatan

    ekonomi akan mendorong melemahnya permintaan komoditas di dunia. Investor

    khawatir kondisi tersebut akan mempengaruhi kinerja perusahaan-perusahaan berbasis

    ekspor di dunia 3. Lebih fantastis lagi, Produk Domestik Bruto (PDB) Cina pada tahun 2011

    dan 2012 yang diperkirakan oleh IMF meningkat 9,6% dan 9,5%, dan merupakan negara

    yang pertumbuhan ekonominya paling cepat dalam anggota G20 4. Angka pertumbuhan

    ekonomi China tahun 2010 mencapai 10,3%, sedangkan untuk 2011, China menargetkan

    pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Sementara itu, target pertumbuhan ekonomi dalam

    5 tahun ke depan rata-rata 7%. Perkiraan IMF lebih tinggi daripada target perkiraan

    pemerintah China. Sementara itu, IMF juga memperkirakan angka inflasi China pada

    2011 akan mencapai 5%, tahun 2012 akan mencapai 2,5%, menduduki tingkat yang lebih

    rendah dalam negara-negara berkembang, tapi tergolong tinggi dibanding negara-negara

    maju 5.

    Sehubungan dengan tumbuh berkembangnya kekuatan ekonomi Cina yang

    fantastis tersebut, apakah para pemimpin kita sudah memikirkan atau membuat kalkulasi

    terkait masa depan ketahanan ekonomi Indonesia dalam konteks ASEAN China

    (ACFTA) dalam 15 atau 25 tahun ke depan? Apakah ketika pemerintah

    menandatangani perundingan ACFTA tahun 2003 lalu sudah menyiapkan dengan matang

    prasyarat-prasyarat penting yang harus dipenuhi, semisal kesiapan infrastuktur,

    sinkroninasi regulasi (baik dalam rangka menjaga dan meningkatkan daya saing produk

    nasional maupun pengamanan pasar dalam negeri), sumberdaya manusia dan

    pendidikan, skenario industri, peran UMKM dan sektor pertanian yang bisa diandalkan,

    kebijakan finansial dan suku bunga perbankan yang kompetitif, tata kelola pemerintahan

    dan kualitas layananan publik yang efektif, reformasi birokrasi dan pemangkasan

    dan pemberantasan korupsi serta selusin aspek penting

    2 Harian Seputar Indonesia, Dalam Bayangan Supremasi China, 27 April 2011. Electronic Copy Available At

    http: //www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/395238/ 3 Nurul Qomariyah, Detik Finance, 24 Januari 2011, Ulasan Sepekan | IHSG Dibayangi Tingginya Inflasi

    Bulan Januari. Electronic Copy Available At http://www.financeindonesia.org/showthread.php?2292-

    Ulasan-Sepekan-IHSG-Dibayangi-Tingginya-Inflasi-Bulan-

    Januari&s=e4ca621f6baf484cdd312ae660de9ef6 4 Harian Analisa, IMF Perkirakan Pertumbuhan Ekonomi China Capai 10%, April 2011. Electronic Copy

    Available At http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=93023:

    imf-perkirakan-pertumbuhan-ekonomi-china-capai-10&catid=982:20-april-2011&Itemid=215 5 Ibid

  • Halaman 3 dari 46

    lainnya dalam konteks implementasi ASEAN China (ACFTA) yang

    berlaku efektif per Januari 2010 lalu ?

    Apabila menelaah terhadap kondisi pasar domestik Indonesia tanpa kesepakatan

    ACFTA pun, kondisi Indonesia saat ini sudah kalah bersaing dengan produk impor yang

    terus membanjiri pasar domestic dalam negeri, khususnya barang Cina. Selain Cina,

    produk impor dari AS, Jepang, Uni Eropa, Korea Selatan, dan India juga kian sesak

    menjejali pasar kita. Kenyataan menunjukkan bahwa, sepanjang tahun 2009 bahkan

    terjadi lonjakan produk impor dari Cina di pasar domestik indonesia. Fakta ini sejalan

    dengan hasil perhitungan BPS, dimana neraca perdagangan antara Indonesia dan Cina

    kini mengalami defisit. Artinya, nilai impor dari Cina masih lebih besar dibanding ekspor

    Indonesia ke Cina. Mengutip catatan BPS (2010)6, nilai ekspor Indonesia ke Cina pada

    Februari 2010 ini mencapai US$ 986,2 juta, turun dari US$ 1,01 miliar dari Januari 2010.

    Sementara data tahun 2008 lalu menunjukkan, impor dari Cina telah mengambil alih 70

    persen pangsa pasar domestik yang semula dikuasai sektor usaha kecil dan menengah

    nasional.

    Dari sisi dampak perdagangan bebas Cina-ASEAN dalam konteks kemampuan

    daya tahan dan daya saing industri nasional, mengutip Martin Manurung (2010)7,

    setidaknya terdapat 10 sektor industri manufaktur Indonesia yang tercatat akan terimbas

    dampak negatif jika ACFTA benar-benar direalisasikan. Jika kita mau jujur, saat ini saja

    kondisi industri nasional berada dalam posisi sulit dan kalah bersaing dengan produk

    impor. Kesepuluh sektor industri tersebut meliputi industri tekstil dan produk tekstil

    (TPT), industri makanan dan minuman, industri petrokimia, industri peralatan dan mesin

    pertanian, industri alas kaki, industri fiber sintetik, industri elektronik (termasuk kabel

    dan peralatan listrik), industri permesinan, industri rancang bangun serta industri baja.

    Jika dampak deindustrialisasi itu benar, maka bisa dipastikan kampanye pemerintahan

    Susulo Bambang Yudhoyono-Boediono untuk memerangi kemiskinan dan menekan

    angka pengangguran hanya tinggal wacana. Selanjutnya, diprediksi, ancaman

    deindustrialisasi itu berpotensi bagi terjadinya PHK massal terhadap 3 hingga 7,5 juta

    pekerja Indonesia. Sebagai catatan, sebelum ACFTA diberlakukan, sektor tekstil dan

    produk tekstil kita sudah jauh-jauh hari kalah bersaing. Di tahun 2009 lalu saja,

    setidaknya sekitar 271 pabrik atau perusahaan tutup. Akibatnya 18.396 buruh yang

    bekerja di industri ini harus rela menjadi penganggur karena ter-PHK. Sementara, ditilik

    dari aspek neraca perdagangan Indonesia- Cina, menurut catatan Faisal Basri,8 setidaknya

    6 BPS. 2010. Data Perdagangan Internasional. Electronic Copy Available At http://www.bps.go.id 7 Martin Manurung, 2010, Transkrip diskusi edisi kedelapan Jurnal Sosial Demokrasi, 17 Februari 2010,

    PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CINA: $ Jurnal Sosial Demokrasi Volume 8 No. 3

    Februari - Juni 2010, Penerbit Pergerakan Indonesia dan Komite Persiapan Yayasan Indonesia Kita,

    Jakarta. Electronic Copy Available At http://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/07003/2010-

    08.pdf 8 Faisal Basri, FTA ASEAN-China dan Deindustrialisasi, Senin, 21 Desember 2009, Kompas.Com, Electronic

    Copy Available At http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/12/21/06350379/fta.asean-

    china.dan. deindustrialisasi

  • Halaman 4 dari 46

    sejak tahun 2008, neraca perdagangan Indonesia-Cina mendadak sontak berbalik arah

    menjadi defisit bagi pihak Indonesia sebesar US$ 3,6 miliar. Padahal, setahun

    sebelumnya Indonesia masih menikmati surplus sebesar US$ 1,1 miliar. Lebih

    mencengangkan lagi, defisit neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Cina

    meroket dari US$ 1,3 miliar pada tahun 2007 menjadi US$ 9,2 miliar pada tahun 2008,

    atau meningkat lebih dari 600 persen. Selama Januari-Oktober 2009, defisit sudah

    mencapai US$ 3,9 miliar. Pelonjakan defisit perdagangan dengan Cina pada tahun 2008

    disebabkan sebelum tahun 2008 data impor tidak memasukkan barang yang berasal dari

    kawasan berikat. Berarti, sebenarnya, defisit perdagangan dengan Cina sangat boleh jadi

    sudah berlangsung sebelum tahun 2008.

    Konfigurasi persoalan ketidakseimbangan keuntungan akibat dilaksanakan ACFTA

    khususnya bagi perdagangan Indonesia, kurang ditanggapi secara oleh pemerintah

    Indonesia, bahkan pihak pemerintah melalui Menteri Perdagangan mengungkapkan

    pelaksanaan ACFTA tidak perlu dibatalkan akan tetapi dengan negosiasi ulang.9

    Padahal upaya renegosiasi terkait perjanjian perdagangan bebas atau (ACFTA), kandas

    ditengah jalan. Pemerintah memutuskan untuk melakukan pendekatan bilateral dengan

    China sebagai pengganti renegosiasi ACFTA.10 Hal ini ditanggapi pula oleh pengamat

    ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Anggito Abimanyu tidak yakin dengan

    kemampuan negosiasi pejabat Indonesia, bahkan disebutkan bahwa gagalnya renegosiasi

    sebagai bukti bahwa pejabat Indonesia tidak mampu bernegosiasi.11

    Hendri Saparini, Ekonom dari ECONIT Advisory Group menanggapi sikap dari

    Menteri Mari Pangestu yang mengabaikan hasil kajian Satuan Tugas (Satgas) ACFTA yang

    dibentuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menemukan beberapa indikasi

    pelanggaran terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait penggunaan tenaga kerja

    asing. Dari hasil kajiannya, Satgas ACFTA Menakertrans menunjukkan bahwa pelaksanaan

    ACFTA diprediksi akan memunculkan banyak perselisihan dalam hubungan industrial

    karena akan terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak.12

    Sayangnya, pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Mari Pangestu justru dengan

    mudah menyetujui usulan China untuk membatalkan renegosiasi dan sepakat untuk

    mengkompensasi dampak buruk ACFTA bagi industri Indonesia dengan janji investasi di

    sektor infrastruktur oleh China. Logika dari kesepakatan ini sulit diterima karena investasi

    infrastruktur dari China jelas tidak akan dapat memperlambat laju percepatan

    deindustrialisasi yang telah dan akan terus terjadi akibat gempuran produk impor China.

    9 Pemerintah negosiasi ulang ACFTA, Arrahmah.com, & Electronic Copy Available At

    http://m.arrahmah.com/read/2011/04/12/11865-pemerintah-negosiasi-ulang-acfta.html 10

    Negosiasi ACFTA Gagal, Surabaya Post Online, Rabu, 27/04/2011 | 10:52 WIB, Electronic Copy Available

    At http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=6756cd0e4c74ef32aaa21e358b076

    7b8& jenis=d41d8cd98f00b204e9 800998ecf8427e 11

    Ibid 12

    Hendri Saparini, Dampak ASEAN China Free Trade Agreement: Negosiasi Setengah Hati, Jurnal Ekonomi

    Pembangunan | JEP FE UMS, 25 Mei 2011, Juga dimuat dalam Dimuat di Harian Republika, Senin, 18

    April 2011, Electronic Copy Available At http://www.developmenteconomic.com/2011_05_01_

    archive.html

  • Halaman 5 dari 46

    Industri yang bangkrut akibat ACFTA tentu tidak mudah dan murah untuk dibangkitkan

    lagi meskipun dibantu dengan pembangunan infrastruktur. Lebih lanjut menurut Hendri

    Saparini, sikap Indonesia yang mendukung pembatalan renegosiasi tarif justru semakin

    jelas dengan kedatangan Perdana Menteri China Wen Jiabao untuk membicarakan

    investasi China di Indonesia. Wakil Presiden Boediono bahkan menyambut dan

    menyatakan bahwa bagi Indonesia yang lebih penting adalah menyiapkan infrastruktur

    bukan merevisi kesepakatan ACFTA yang telah dibuat. Jadi, fokus pemerintah Indonesia

    memang bukan memperjuangkan renegosiasi tariff yang akan menyelamatkan industri

    manufaktur nasional.13 Penolakan Indonesia untuk melakukan renegosiasi ACFTA juga

    sudah terlihat sebelumnya. Pada pertengahan tahun 2009, jauh sebelum penerapan

    ACFTA secara penuh, Menteri Mari Pangestu juga mengabaikan masukan Asosiasi

    Pertekstilan Indonesia (API) yang menyampaikan bahwa tidak hanya pengusaha

    Indonesia, tetapi juga pengusaha tekstil yang tergabung dalam koalisi tekstil ASEAN

    merasa keberatan dengan ACFTA sehingga meminta kepada pemerintahannya masing-

    masing untuk mengajukan penundaan AC-FTA. Upaya ini merupakan langkah lanjutan

    pengusaha setelah pada awal 2009 pengusaha perikanan Filipina juga mengajak

    pengusaha ASEAN mendorong penundaan liberalisasi sektor perikanan dalam kesepatan

    ACFTA.

    Indonesia sebagai salah satu negara penting di ASEAN dan saat ini bahkan

    menjadi ketua ASEAN, ternyata bukan memanfaatkan forum ASEAN dan kerjasama

    dengan para menteri ASEAN lainnya untuk mencari solusi bagi penyelamatan

    kepentingan nasional, tetapi justru cenderung berlindung dibalik berbagai kesepakatan

    untuk tidak melakukan renegosiasi ACFTA dengan sungguh-sungguh. Fenomena ini jelas

    merupakan problema dilematik khusunya dalam perspektif peranan negara terhadap

    kegagalan pasar (market failure) dalam konteks ACFTA saat ini.

    B. ASEAN Cina Free Trade Area (ACFTA)

    Zona Perdagangan Bebas/Regional Free Trade Area (R-FTA) merupakan

    perwujudan dari fenomena integrasi ekonomi. R-FTA memunculkan banyak pro dan

    kontra diantara para ahli ekonomi. R-FTA memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih

    baik dengan mengeliminasi tarif, sehingga masyarakat memiliki daya beli barang yang

    lebih tinggi. ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) diimplementasikan dengan menghapus

    dan mereduksi segala penghalang dalam proses perdagangan barang (baik tarif maupun

    non-tarif), memperbaiki akses ke pasar jasa, peraturan dan regulasi investasi dan juga

    perbaikan kerja sama ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas ASEAN dan

    Cina. ACFTA membawa banyak keuntungan, dan juga kerugian bagi negara-negara

    ASEAN. Pemerintah Indonesia berharap bahwa ACFTA akan membawa hasil yang

    menggembirakan kedepannya, seperti kesempatan yang lebih luas bagi Indonesia untuk

    memasuki pasar Cina dengan mendayagunakan tarif yang relatif rendah dan populasi

    13 Ibid

  • Halaman 6 dari 46

    yang besar; meningkatkan kerja sama antar pengusaha di kedua negara melalui

    pembentukan aliansi strategis; meningkatkan daya beli atas barang-barang Cina dengan

    penurunan tarif dan biaya; dan meningkatkan kemungkinan transfer teknologi antar

    pengusaha kedua negara. Semua ekspektasi diatas, lepas dari tercapai atau tidaknya,

    akan butuh bertahuntahun untuk melihat dampak nyata dari ACFTA.

    Perdana Menteri Cina, Zhu Rongji adalah orang yang menelurkan ide zona

    perdagangan bebas antara Cina dan ASEAN pada Cina-ASEAN Summit, November 2000.

    Di bulan Oktober 2001, sebuah kelompok ahli ekonomi dari Cina dan ASEAN

    mengeluarkan sebuah rekomendasi pembentukan ASEAN-Cina dalam waktu 10 tahun

    kedepan. Satu bulan kemudian di bulan November 2001, pada Cina-ASEAN Summit

    lainnya, para pemimpin dari negara-negara tersebut memulai negosiasi atas

    kemungkinan diwujudkannya ide tersebut. Satu tahun kemudian, para pemimpin negara-

    negara ASEAN dan perdana menteri Cina, Zhu Rongji, menandatangani Perjanjian

    Kerangka Kerja ACFTA14. Perjanjian ini berfungsi sebagai roadmap pembentukan zona

    perdagangan bebas antara Cina dan ASEAN. Perjanjian ini merumuskan bahwa zona

    perdagangan bebas harus diselesaikan pada tahun 2015. Perjanjian Kerangka Kerja

    ACFTA merupakan dokumen yang inovatif bagi negara ASEAN, karena ASEAN sebagai

    sebuah organisasi, meski telah menjalin perjanjian perdagangan bebas antar anggotanya,

    belum pernah membuat perjanjian semacam ini dengan negara non-anggota. Selain itu,

    Perjanjian Kerangka Kerja ACFTA merupakan perjanjian perdagangan bebas pertama Cina

    dengan negara asing. Sejak hadirnya Perjanjian Kerangka Kerja ACFTA, baik Cina dan

    ASEAN telah memasuki tahap negosiasi perjanjian perdagangan bebas lainnya dengan

    negara-negara lain.

    ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) adalah sebuah persetujuan kerjasama

    ekonomi regional yang mencakup perdagangan bebas antara negara anggota ASEAN

    (Assosiation of South East Asian Nation) dengan China. Persetujuan ini telah disetujui dan

    ditandatangani oleh negara-negara ASEAN dan China pada tanggal 29 November 2004.

    Dalam kerjasama ini, hambatan-hambatan tarif dan non-tarif dihilangkan atau dikurangi

    dalam rangka mewujudkan perdagangan bebas dalam kawasan regional ASEAN dan

    China15. Secara historis perjalanan ACFTA ini diawali dengan adanyan Framework

    Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and Peoples

    Republic of China ditandatangani oleh para Kepala Negara ASEAN dan China pada tanggal

    4 Nopember 2002 di Phnom Penh, Kamboja. Protokol perubahannya telah

    ditandatangani oleh Para Menteri Ekonomi pada tanggal 6 Oktober 2003 di Bali.

    Selanjutnya penjanjian Agreement Trade in Goods dan Agreement Dispute Settlement

    14 Wirapati et al, Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang

    Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan, Buletin Ekonomi Militer dan Perbankan,

    Volume 13, Nomor 1, Juli 2010, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, hal 77 15

    Agreement on Trade in Goods of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation

    between the Association of Southeast Asian Nations and the Peoples Republic of China Electronic Copy

    Available At http://www.aseansec.org/16646.htm pada tanggal 23 April 2011 pukul 18: 39 WIB.

  • Halaman 7 dari 46

    Mechanism telah di tandatangani di Vientiane, Laos oleh para Menteri Ekonomi Negara

    ASEAN dan China pada tanggal 29 November 2004. Perkembangan berikutnya di

    Indonesia dilakukan ratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui

    Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004. Lebih lanjut Landasan

    hukum terhadap seluruh perjanjian perdagangan bebas ASEAN di Indonesia

    pemerintahan SBY meratifikasi Piagam ASEAN (ASEAN Charter) melalui UU No 38 tahun

    2008. Piagam ASEAN berisikan garis besar haluan kebijakan ASEAN. Dalam piagam

    tersebut sangat jelas disebutkan bahwa ASEAN adalah kawasan pasar bebas. Atas dasar

    perjanjian tersebut disepakatilah penurunan tarif secara bertahap hingga nol persen

    untuk kategori normal track terhadap 1880 pos tarif hingga mencapai 0 % pada awal

    tahun 2010. Pemberlakuan kesepakatan penurunan tarif perdagangan dalam kerangka

    ACFTA terakhir kali ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan RI No. 235/PMK.

    011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk.

    Namun, tidak semua anggota ASEAN menyetujui penghapusan tarif dalam waktu

    bersamaan. ASEAN yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei

    Darussalam, dan Filipina menyetujui penghapusan per 1 Januari 2010 sedangkan CMLV

    (Cambodia, Myanmar, Laos,dan Vietnam) baru akan mengeliminasi dan menghapus tarif

    per 1 Januari 2015. Tidak hanya itu, negara-negara yang telah menyetujuinya juga akan

    meningkatkan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi serta meningkatkan

    aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak ACFTA.

    Di dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the

    ASEAN and Peoples Republic of China, kedua pihak sepakat akan melakukan kerjasama

    yang lebih intensif di beberapa bidang seperti pertanian, teknologi informasi,

    pengembangan SDM, investasi, pengembangan Sungai Mekong, perbankan, keuangan,

    transportasi, industri, telekomunikasi, pertambangan, energi, perikanan, kehutanan,

    produk-produk hutan dan sebagainya. Kerjasama ekonomi ini dilakukan untuk mencapai

    tujuan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.16 Adapun Road

    Map Perjanjian ACFTA ini dapat dilihat pada gambar berikut :

    16 ASEAN-China Free Trade Area Electronic Copy Available At http://ditjenkpi.depdag.go.id/Umum/

    Regional/Win/ASEAN %20-%20China%20FTA.pdf pada tanggal 23 April 2011 pukul 21: 50 WIB.

  • Halaman 8 dari 46

    Bagan 1. Road Map Perjanjian ACFTA17

    Sumber : Ibrahim et al (2010).

    Secara lebih spesifik, ACFTA antara lain bertujuan untuk :

    Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi

    antara negara-negara anggota.

    Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa

    serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah

    investasi.

    Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan

    kebijaksanaan

    yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.

    Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru

    17 Ibrahim et al, DAMPAK PELAKSANAAN ACFTA TERHADAP PERDAGANGAN INTERNASIONAL

    INDONESIA, Buletin Ekonomi Militer dan Perbankan, Volume 13, Nomor 1, Juli 2010, Direktorat Riset

    Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, hal 31-33

    4 Nov 6 Oktober 15 Juni 7 Juli 15 Maret 6 Feb 23 Des 29 Jan

    Kepala negara ASEAN dan Cina menandatangani kerangka persetujuan Comprehensive Economic Cooperation Pnom Penh

    Menteri Ekonomi ASEAN dan Cina menandatangani protocol perubahan kerangka persetujuan di Bali

    Indonesia meratifikasi kerangka-persetujuan ACFTA melalui Kepres No.48/2004

    Terbit: Permenkeu No.56/PMK.010/2 005 tentang Penurunan / Penghapusan Tarif BM dl Rangka Normal Track ASEAN-China

    Terbit: Permenkeu No.21/PMK.010/ 2006 tentang Penetapan Tarif BM dlm Rangka Normal Track ACFTA thn 2006

    Terbit: - Permenkeu No. 07/KMK.04/2007 tentang perpanjangan SK Menkeu No.355/2004 Permenkeu No. 08/PMK.04/20 07 tentang perpanjangan SK Menkeu No.356/KMK. 01/2004

    Terbit: Permenkeu No. 235/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif BM dalam rangka ACFTA

    Depperin meminta penundaan ACFTA dari 2010 hingga 2012 akibat krisis

    21 Juli 2 Des

    Terbit: - SK Menkeu No.355/KMK/01/2004 tentang Penetapan Tarif BM atas impor barang dalam Kerangka Early Harvest Package (EHP) AC-FTA.- SK Menkeu No.356/KMK/01/2004 tentang Penetapan Tarif BM atas Impor Barang dl Kerangka EHP Bilateral Indonesia-China FTA

    10 Asosiasi industry meminta penundaan ACFTA ke DPR.

    25 Des

    \ Dibentuk tim bersama untuk ACFTA yang dipimpin Menko, dg melibatkan Apindo, Kadin, dan Depdag

    2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

  • Halaman 9 dari 46

    (Cambodia, Laos, Myanmar, dan VietnamCLMV) dan menjembatani kesenjangan

    pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.18

    Adapun katagori produk yang terdapat pada perjanjian tersebut meliputi Early

    Harvest Program (EHP), produk-produk yang tercakup dalam Normal Track, dan Sensitive

    serta Highly Sensitive. Pada tanggal 1 Januari 2006 tarif bea masuk ke China untuk semua

    produk-produk yang tercakup dalam Early Harvest Program (EHP) sudah menjadi 0 %.

    Adapun cakupan produk tersebut adalah Chapter 01 sampai dengan 08 (yaitu 01. Live

    Animals; 02. Meat and Edible Meat Offal; 03. Fish; 04. Daily Products; 05. Other Animal

    Products; 06. Live Trees; 07. Edible Vegetables dan 08. Edible Fruits and Nuts) dengan

    pengecualian Sweet Corn (HS 07 10 40000). Selain itu untuk menyeimbangkan nilai

    ekspor Indonesia dan China terhadap produk-produk di atas, disepakati produk-produk

    EHP yang dinegosiasikan secara bilateral sebanyak 47 pos tarif (10 digit) antara lain Kopi,

    Minyak kelapa (Kopra), Lemak dan minyak hewani, margarine, Bubuk Kakao (HS

    1806.10.00.00), Sabun, perabotan dari rotan dan Stearic Acid. Dari beberapa produk

    dalam EHP mengalami pelonjakan nilai ekspor Indonesia ke China yang sangat nyata yaitu

    antara lain Maniok (HS 0714); Fish, Frozen (HS 0303); Kopra dan turunannya, (HS 1513);

    Margarine (HS 1517); Glass envelope (HS 7011).

    Sedangkan pada program penurunan bertahap dan penghapusan tarif bea masuk

    produk-produk yang tercakup dalam Normal Track berlaku efektif mulai tanggal 20 Juli

    2005, dengan cakupan produk yang menjadi andalan ekspor Indonesia ke China

    diantaranya produk Coal (HS 2701); Polycarboxylic acids (HS 2917); Wood (HS 4409);

    Copper wire (HS 7408). Produk andalan Indonesia yang oleh China dimasukkan dalam

    Sensitive dan Highly Sensitive antara lain Palm Oil dan turunanya (HS 1511); Karet Alam

    (HS 4001); Plywood, vennered panels (HS 4412). Sebaliknya, Indonesia juga memasukkan

    produk-produk unggulan Ekspor China ke Indonesia antara lain Barang Jadi Kulit; tas,

    dompet; Alas kaki: Sepatu sport, Casual, Kulit; Kacamata; Alat Musik; Tiup, petik, gesek;

    Mainan: Boneka; Alat Olah Raga; Alat Tulis; Besi dan Baja; Spare part; Alat angkut;

    Glokasida dan Alkaloid Nabati; Senyawa Organik; Antibiotik; Kaca; Barang-barang Plastik;

    Produk Pertanian, seperti Beras, Gula, Jagung dan Kedelai; Produk Industri Tekstil dan

    produk Tekstil (ITPT); Produk Otomotif; Produk Ceramic Tableware. Adapun tabel

    penurunan bea tarif beserta penjadwalannya dapat dilihat pada tabel berikut :

    18 Ibid

  • Halaman 10 dari 46

    Tabel 1. Program Penurunan Tarif Bea masuk dalam ACFTA19

    Katagori Jenis Time frame

    I EHP 1 Januari 2004 dan menjadi 0% pada 1 Januari 2006

    II Normal Track I dan II 20 Juli 2005 untuk Normal Track, yang menjadi 0%

    pada tahun 2010; dengan fleksibilitas pada produk-

    produk yang akan menjadi 0% pada tahun 2012

    III Sensitive list Mulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa

    maksimun tariff bea masuk pada tahun 2012 adalah

    20% dan akan menjadi 0-5% mulai tahun 2018

    Highly sensitive list Tahun 2015, dengan maksimum tariff bea masuk pada

    tahun 2015 sebesar 50%

    Sumber : ASEAN-China Free Trade Area, 2010

    Legal enactment penurunan dan penghapusan tarif untuk EHP telah dilakukan

    melalui SK MENKEU Nomor: 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan

    Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam Kerangka EHP ASEAN-China Free Trade Area

    (FTA) serta SK MENKEU Nomor 356/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang

    Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam Kerangka EHP Bilateral Indonesia-

    China FTA. Sedangkan untuk produk Stearic Acid telah masuk ke dalam program EHP dan

    mulai berlaku penurunan tarifnya pada tanggal 1 Januari 2005 dengan Peraturan Menteri

    Keuangan No. 09/PMK.010/2005 tanggal 31 Januari 2005.

    Lebih lanjut untuk program penurunan dan penghapusan tarif bea masuk untuk

    Normal Track berlaku efektif mulai tanggal 20 Juli 2005. Sedangkan Legal Enactment

    Penurunan dan Penghapusan tarif untuk Normal Track telah dilakukan melalui Keputusan

    MENKEU Nomor: 56/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Jadwal Penurunan Tarif

    dalam Kerangka ACFTA serta Keputusan MENKEU Nomor: 57/PMK.010/2005 tanggal 7

    Juli 2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam Kerangka ACFTA untuk tahun 2005.

    Adapun jadwal program penurunan dan penghapusan tarif bea masuk untuk Normal

    Track sebagai berikut:

    Tabel 2. Program Penurunan Tarif Bea masuk untuk Normal Track dalam ACFTA20 Tariff Rate (x) 2005 2007 2009 2010

    X > 20 20 12 5 0

    15 < x < 20 15 8 5 0

    10 < x < 15 10 8 5 0

    5 < x < 10 5 5 0 0

    X < 5 5 5 0 0

    Sumber : ASEAN-China Free Trade Area, 2010

    Program penurunan tarif dimulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa untuk

    produk-produk Sensitive tarif bea masuk maksimum pada tahun 2012 adalah 20%.

    Selanjutnya dilakukan penghapusan bertahap atas bea masuk produk-produk dimaksud,

    sehingga mulai tahun 2018 tarif bea masuknya menjadi 0-5%. Program penurunan tarif

    19 Ibid

    20 Ibid

  • Halaman 11 dari 46

    bea masuk untuk produk-produk Highly Sensitive, dimulai pada tahun 2015, dengan

    penjadwalan bahwa pada tahun 2015 tarif bea masuk maksimum 50%.

    Sejak pembentukan ACFTA Januari 2010, banyak reaksi negatif diterima dari para

    pemain di sektor riil dan bidang terkait lainnya. Kebanyakan dari mereka menyatakan

    bahwa pihaknya belum siap berkompetisi dengan Cina dan mereka meminta pemerintah

    untuk menunda implementasi dari perjanjian ACFTA. Terutama untuk kasus ACFTA and

    Common Effective Preferential Tariff-ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA),

    Indonesia masih menyetujui penurunan tarif sesuai daftar, dimana produk-produk yang

    termasuk dalam Normal Track (NT1) ACFTA dan Inclusion List (IL) CEPT-AFTA untuk

    ASEAN, direncanakan akan diberikan tarif masuk 0% mulai 1 Januari 2010. Menteri

    Perdagangan telah menunda penghapusan tarif masuk untuk beberapa produk karena

    ketidaksiapan dari beberapa sektor domestik. Pada saat ini, Indonesia sedang dalam

    posisi menunda pemotongan tarif 227 kategori produk. 21

    Sehubungan dengan pelaksanaan ACFTA Park et al (2008) dalam Ibrahim et al

    (2010)22, menganalisa keunggulan dan prospek ACFTA dan mengungkapkan bahwa

    ACFTA, yang terdiri dari 11 ekonomi dengan total populasi dan GDP yang cukup besar,

    sangat memungkinkan untuk menjadi suatu kawasan kerjasama ekonomi yang efektif.

    Relatif besarnya level tarif intra wilayah juga merupakan potensi yang dapat

    meningkatkan trade creation. Pada perkembangannya, meskipun Cina dan ASEAN telah

    berupaya meliberasikan perdagangannya, ternyata tingkat tarif dan hambatan antara

    keduanya ternyata masih cukup tinggi, sehingga memungkinkan untuk terciptanya trade

    creation. Cina memberlakukan tarif rata-rata sebesar 9,4% untuk barang dari ASEAN.

    Sebaliknya, tarif yang diberlakukan negara ASEAN terhadap barang dari Cina secara rata-

    rata hanya sebesar 2,3%.

    Namun tak dapat dipungkiri bahwa selain peluang terdapat pula tantangan

    dengan berlakunya ACFTA. Tantangan terbesar yaitu peningkatan kompetisi produk.

    Ketakutan akan ketidakmampuan untuk bersaing produk dalam negeri menghadapi

    serangan produk impor dari Cina maupun ketakutan akan ketidakmampuan produk

    ekspor untuk masuk ke potensi pasar Cina yang terbuka lebar merupakan tantangan yang

    apabila dikelola dengan bijaksana maka dapat menjadi peluang yang cukup potensial.

    Yue (2004) Ibrahim et al (2010)23 mencontohkan peningkatan perdagangan intra industri

    pada produk mesin dan perlengkapan elektrik sebagai contoh dari dampak ACFTA

    terhadap peningkatan perdagangan yang cukup berhasil. Terdapat berbagai penelitian

    yang telah membahas dampak perdagangan ACFTA sebagai berikut :

    21 Wirapati et al, Juli 2010Op cit, hal 79

    22 Ibrahim et al, Juli 2010, Op cit, hal 31-33

    23 Ibid

  • Halaman 12 dari 46

    Tabel 3. Penelitian-Penelitian terkait dengan ACFTA24

    Peneliti Tahun Metode Analisis Temuan

    Park et al 2008 Indikator

    Perdagangan dan

    GTAP

    - Secara keseluruhan akan meningkatkan net trade, output dan

    welfare regional

    - Dampak masing-masing negara sangat beragam

    - Keuntungan yang besar untuk negara seperti Singapura, Malaysia,

    Indonesia dan Thailand dibandingkan negara anggota yang relatif

    lebih miskin seperti Kamboja, Laos dan Myanmar.

    - Optimis mengenai prospek penerapan ACFTA.

    Park

    2007

    Kualitatif - ASEAN merupakan potensi pasar yang besar bagi ekspor China

    sekaligus alternatif sumber impor

    - China merupakan pasar potensial bagi produk ekspor ASEAN

    terutama barang intermediate dan capital

    - ACFTA akan memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan

    terhadap perekonomian ASEAN dan China

    - Tekanan kompetisi dari China akan membawa dampak negatif

    dalam jangka pendek namun akan berdampak positif berupa

    peningkatan produktivitas dan efisiensi di jangka panjang

    Jiang &

    McKibbin

    2008 GTAP Studi ini membandingkan dampak dari berbagai kerjasama

    perdagangan yang diikuti oleh China. Hasil temuan untuk kasus

    ACFTA menyatakan bahwa China akan mendapatkan keuntungan

    dari keikutsertaannya dalam ACFTA

    Tambunan

    2005

    Indikator

    Perdagangan

    - Peningkatan ekspor ASEAN ke China

    - Kompetisi terhadap produk impor dari China

    - Terjadi trade creation dari ASEAN-China yang cenderung lebih

    tinggi dibandingkan pertumbuhan intra trade antar negara ASEAN

    Okamoto 2005 Indikator

    Perdagangan

    Singapura dan Malaysia memperoleh keunggulan dari spesialisasi

    inter dan intra industri sementara Thailand memperoleh keunggulan

    dari spesialisasi intra industri. Namun Indonesia dan Filipina tidak

    banyak memperoleh keuntungan

    Universal

    Acces to

    Compititive-

    ness and

    Trade

    (UACT)

    GTAP - Peningkatan Ekspor ASEAN ke China dan sebaliknya

    - Manfaat terbesar dari sisi ekspor dirasakan Indonesia, Malaysia,

    Singapura dan Thailand

    - Komoditi ekspor andalan ASEAN merupakan barang

    intermediate China sehingga peningkatan ekspor China akan

    mendorong peningkatan ekspor ASEAN

    - PDB ASEAN meningkat 0,9% sementara PDB China meningkat

    0,3%

    Yue

    2004

    GTAP

    - Manfaat ekonomi : peningkatan speasialisasi dan

    perdagangan. Namun demikian, juga akan terjadi trade

    diversion dengan non member yang signifikan.

    - Dampak perdagangan : peningkatan eskpor ASEAN ke China dan

    sebaliknya. Peningkatan ekspor terbesar akan dialami oleh

    Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand. Secara sektoral,

    keuntungan terbesar akan dinikmati oleh produk tekstil dan

    pakaian, mesin dan perlengkapan elektrik, serta industri

    lainnya. Terdapat peningkatan yang signifikan untuk perdagangan

    intra industri.

    - Dampak terhadap PDB : PDB ASEAN akan meningkat 0,9% dan

    China 0,3%. Vietnam akan mengalami peningkatan terbesar.

    Sementara Indonesia akan mengalami penurunan PDB.

    - Keuntungan non-ekonomi : peningkatan hubungan poilitik dan

    sosial.

    Sumber : Ibrahim et al (2010).

    24 Ibrahim et al, Juli 2010, Op cit, hal 33

  • Halaman 13 dari 46

    C. ACFTA : Menguntungkan Atau Merugikan

    I like to see a man proud of the place in which he lives. I like to see a man live

    so that his place will be proud of him

    (Saya ingin melihat seseorang bangga pada tempat di mana dia hidup. Saya

    ingin melihat orang itu hidup sehingga tempat di mana dia hidup, bangga

    terhadapnya) (Abraham Lincon)

    Jargon sebagaimana yang disampaikan oleh Abraham Lincon (1809-1865)

    tersebut penuh dengan muatan makna, yang mana menjadi suatu kepastian bahwa

    segala sesuatu yang diinginkan membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Hal inilah

    yang dapat dianalogikan dalam perjuangan menghadapi ACFTA. Indonesia harus

    introspeksi dan berbenah diri, mau tidak mau ACFTA memang harus dihadapi mengingat

    inilah medan pertempuran yang nyata. Indonesia tidak bisa berdiam diri dan menyerah

    pada keadaan, terus berjuang bukan saja untuk menghadapi ACFTA, tetapi juga untuk

    Indonesia yang lebih baik.

    Eksistensi ACFTA merupakan manifestasi dari globalisasi. Padahal dalam

    perjalanannya, globalisasi memang mengalami berbagai perkembangan yang tidak

    memberikan pola yang pasti. Pengandaian semua negara mendapatkan keuntungan yang

    setara dari hilangnya batas-batas territorial negara dalam aktivitas ekonomi tidak

    berjalan secara sempurna. Berbekal realitas yang demikian ini, maka pelaksanaan

    globalisasipun mengalami beberapa perubahan. Menurut Andrianto (2009) globalisasi

    yang menyatukan aktivitas ekonomi dunia menjadi terpolarisasi menjadi dua pola

    aktivitas ekonomi global, yakni (i) kelompok perdagangan yang dibentuk atas dasar

    kedekatan wilayah (integrasi regional); dan (ii) kelompok perdagangan yang dibentuk

    berdasarkan skala ekonomi tertentu.25

    Pola pertama itulah yang menjadi pijakan atas pelaksanaan kesepakatan

    perdagangan bebas antara ASEAN dan Cina (serta Taiwan dan Hongkong) sejak 1 Januari

    2010, Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Cina/ ASEAN - China Free Trade Agreement

    (ACFTA), telah sepenuhnya efektif memperkenalkan bebas tariff terhadap 6682 pos tarif

    mencakup 17 sektor usaha, termasuk 12 di sector manufaktur dan 5 di pertanian,

    tambang dan maritim. Hal itu telah memunculkan banyak perdebatan publik yang serius

    di Indonesia; beberapa pendapat menegaskannya sebagai peluang, sedangkan yang lain

    menganggapnya sebagai ancaman bagi perekonomian Indonesia.

    Polemik itu memang disadari, sehingga Farrel (2004) berargumentasi bahwa

    perdagangan bebas regional yang sampai sekarang ini telah terjadi memang memberikan

    gambaran bahwa tidak ada keadilan ekonomi setara yang diperoleh setiap negara

    25 Andrianto, Jati. 2009. Ekonomi Politik Globalisasi. Dalam Ahmad Erani Yustika. Ekonomi Politik: Kajian

    Teoritis dan Analisis Empiris. Pustaka Pelajar. Yogyakarta hal 77

  • Halaman 14 dari 46

    peserta kesepakatan perdagangan bebas tersebut.26 Perdebatan akademik tentang

    kesepakatan perdagangan bebas regional ini memang belum selesai. Walau demikian

    Eichengreen (2006) menanggapi bahwa, terdapat konsep pasti akan integrasi regional ini.

    Polanya, setelah integrasi perdagangan, dilanjutkan dengan integrasi keuangan, integrasi

    moneter, dan integrasi politik.27

    Lebih lanjut dalam melakukan analisis atas eksistensi ACFTA dalam bingkai

    keuntungannya, kerugiannya yang ditunjukkan dengan beberapa sektor yang terancam,

    serta beragam problem kontekstual di Indonesia dalam menghadapi ACFTA dapat

    dirangkum dalam bagan berikut :

    Bagan 2. Analisa Problem, Kerugian dan Keuntungan Penerapan ACFTA

    Sumber : diolah oleh penulis, 2011

    Analisa Neraca Perdagangan

    Kajian tentang neraca perdagangan menunjukkan berdasarkan data ASEAN

    Investment Fact Sheet 2009, selama 2009 perputaran uang akibat aktivitas ekonomi Cina

    di ASEAN mencapai US$ 200 miliar. Angka yang demikian ini memang wajar karena

    selama 2009 Cina merupakan negara terbesar ketiga di dunia dalam melakukan trading

    partner. Mempertimbangkan realitas perdagangan bebas regional tersebut, maka

    26 Farrel, Mary. 2004. Regional Integrasion and Cohesion Lessons from Spain and Ireland in the UE.

    Journal of Asian Economics. 14:927-946 27

    Eichengreen, Barry. 2006. On the Sequencing of Regional Integration: General Considerations and an

    Application to Asia. North American Journal of Economics and Finance. 17: 329334

    NERACA

    PERDAGANGAN

    INDONESIA

    AACCFFTTAA ANALISA

    SEKTOR

    PELUANG

    ANALISA

    SEKTOR

    TERANCAM

    ANALISA

    PROBLEM

    KONTEKSTUAL

  • Halaman 15 dari 46

    implementasi ini akan kian meningkatkan nilai perdagangan yang terjadi di kawasan

    ASEAN + Cina. Selain itu, berdasarkan data yang ada, selama 2008 Cina telah melakukan

    investasi langsung (FDI) di ASEAN senilai US$ 6,1 miliar. Sementara itu, ASEAN sendiri

    selama 2008 melakukan investasi ke Cina sebesar US$ 5,6 miliar.28 Data ini memiliki arti

    bahwa kontribusi Cina di ASEAN lebih tinggi dibandingkan kontribusi yang diberikan

    ASEAN terhadap Cina. Lebih dari itu, data ini juga mengambarkan bahwa pertumbuhan

    ekonomi Cina yang paling tinggi di dunia bukan hanya memberikan manfaat sekaligus

    ditopang oleh perekonomian domestik tetapi juga memberikan kontribusi bagi

    perekonomian regional.

    Sementara itu, dalam konteks perdagangan antara Cina dan Indonesia, pola yang

    terjadi di wilayah regional tidak sama dengan perdagangan bilateral ini. Dalam konteks

    neraca perdagangan misalnya, selama Januari - Oktober 2009, neraca perdagangan

    Indonesia terhadap Cina mengalami defisit yang mencapai US$ 2 miliar. Lebih lanjut,

    berdasarkan data BPS, struktur neraca perdagangan Indonesia ke Cina tersebut dikuasai

    oleh sektor manufaktur, yakni sebesar 80%. Sisanya diikuti dengan mining 16% dan

    agriculture 4%. Namun jika struktur ekspor tersebut ditelaah, sebenarnya yang paling

    dominan itu adalah ekspor berbasiskan natural resources, yaitu mencapai sebesar 50,6%.

    Sedangkan, yang non-natural resources sebanyak 49,4%. Data yang demikian ini memang

    menggambarkan bahwa nilai ekspor Indonesia ke Cina memiliki nilai tambah yang

    rendah.

    Lebih lanjut, Kementerian Perdagangan dan Badan Pusat Statistik belum lama

    melansir keadaan terakhir neraca perdagangan Indonesia dengan China periode Januari-

    November 2010. Data tersebut mengungkapkan bahwa ekspor Indonesia ke China telah

    meningkat dari US$ 12,4 miliar menjadi US$ 17,7 miliar AS. Sisi positif lainnya juga

    dikatakan bahwa ekspor didominasi oleh produk industri, bukan bahan mentah.

    Sayangnya, neraca perdagangan total tetap tak bisa bohong bahwa defisit neraca

    perdagangan Indonesia-China pada periode yang sama mencapai US$ 5,3 miliar,

    meningkat US$ 1 miliar dibanding tahun sebelumnya.29 Hal ini tentunya menjawab

    kekhawatiran berbagai khalayak terhadap dampak berlakunya ACFTA. Apalagi China kini

    menjadi tujuan ekspor nomor dua menggeser posisi Amerika Serikat. Keadaan ini juga

    mengubah kerangka ketergantungan ekspor Indonesia dari Amerika Serikat ke China.

    Lebih lanjut apabila dicermati kondisi tersebut terlihat jika nilai perdagangan akan

    meningkat secara drastis di wilayah regional, namun secara bilateral terus mengalami

    defisit, maka bisa dipastikan bahwa volume perdagangan produk dalam negeri kurang

    kompetitif tatkala bersaing di Cina. Selain itu, jika struktur makro ekonominya seperti itu,

    28 Andrianto, Jati et al, Memetakan Sektor Berpeluang dan Terancam, Jurnal Sosial Demokrasi Volume 8

    No. 3 Februari - Juni 2010, Penerbit Pergerakan Indonesia dan Komite Persiapan Yayasan Indonesia Kita,

    Jakarta, hal 43-44. Electronic Copy Available At http://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/

    07003/2010-08.pdf 29

    Pamungkas Ayudhaning Dewanto, Satu Tahun ACFTA, Electronic Copy Available At http://niamchomsky.

    wordpress.com/2011/01/17/satu-tahun-acfta/

  • Halaman 16 dari 46

    bagaimana dengan struktur mikro ekonominya, spesifik tentang sektor-sektor ekonomi

    yang ada. Berpijak pada tujuan inilah, maka uraian-uraian selanjutnya akan mengupas

    secara mendalam sektor-sektor ekonomi mana sajakah di Indonesia yang akan akan

    berkembang dan terancam akibat implementasi kesepakatan perdagangan bebas antara

    ASEAN dan Cina (ACFTA).

    Analisa Sektor Berpeluang

    Ciri-ciri sektor usaha yang berpotensi meraih kesempatan dengan adanya ACFTA

    ialah apabila sector usaha itu mampu menjadi penopang ekonomi domestik, memiliki

    basis industri yang kokoh dari hulu ke hilir, tidak masuk dalam pos tarif penundaan

    ACFTA, memiliki comparative advantage index yang cukup tinggi, dan tingkat ekspor yang

    tidak terganggu dengan adanya ACFTA, serta memiliki perangkat kebijakan dan undang-

    undang yang telah siap diimplementasikan. Berdasarkan analisis dan perhitungan yang

    dilakukan oleh Warta Ekonomi Intelligence Unit 30, terdapat dua sektor industri Indonesia

    yang memiliki peluang tumbuh dalam implementasi ACFTA.

    Pertama, sektor otomotif. Tren pertumbuhan industri otomotif Indonesia

    memiliki kecenderungan untuk tetap stabil. Hal ini didasarkan pada indeks pertumbuhan

    produksi otomotif yang mengalami kenaikan selama tiga tahun (2006 - 2008). Walaupun

    sektor kendaraan bermotor mengalami defisit sebesar 46,46% pada 2006, tetapi pada

    dua tahun berikutnya meningkat ke angka 29,65% dan 22,41%. Adapun pada bagian

    subsector (alat angkutan selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih), memiliki

    porsi kenaikan lebih tinggi dan persentase penurunan yang fluktuatif. Jika dilihat dari

    angka selama tiga tahun, pertumbuhan produksi per 2006 defisit di angka 36,62% dan

    dua tahun ke depan mengalami perbaikan dan peningkatan ke angka 8,89% dan 35,45%.

    Sektor otomotif sangat sensitive dengan faktor daya beli masyarakat dan sistem kredit

    perbankan. Hal ini pulalah yang memberikan dampak signifikan terhadap indeks

    pertumbuhan sektor otomotif di Indonesia. Pada 2006 Indonesia memiliki permasalahan

    pada faktor inflasi dan rezim suku bunga yang tinggi, sedangkan pada 2008-2009

    Indonesia dihadapkan pada krisis global. Kondisi yang mengundungkan adalah Indonesia

    mampu menjaga stabilitas system keuangan, sehingga mampu menjaga tingkat inflasi

    secara seimbang dan memperkuat daya beli masyarakat Indonesia. Jika pada tahun ini

    pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil dan positif, maka hal itu akan sangat membantu

    memperkuat fundamental sektor otomotif terkait penerapan ACFTA pada 2010. Sebagai

    tambahan, insentif pemerintah dalam menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI)

    akan sangat membantu industri otomotif, terutama untuk sektor komponen manufaktur

    dalam negeri dan sebagai peningkatan standar kualitas barang yang dihasilkan.

    Kedua, sektor pertambangan. Pertambangan merupakan sektor usaha di

    Indonesia yang termasuk memiliki comparative dan competitive advantage. Faktor

    utama dari potensi sector ini ialah luasnya sumber daya alam yang dimiliki oleh

    30 Andrianto, Jati et al, 2010, Op cit, hal, 44

  • Halaman 17 dari 46

    Indonesia. Komoditas-komoditas yang dihasilkannya pun sukses menjadi komoditas

    dunia. Indonesia memiliki potensi pasar yang besar, baik di dalam negeri maupun di luar

    negeri. Untuk salah satu komoditas dalam sektor ini, secara comparative advantage

    berhasil mencapai angka 41,05% pada 2008 dengan trend yang meningkat setiap

    tahunnya.

    Analisa Sektor Terancam

    Tentu saja, di samping yang berpotensi mendapat peluang, ada pula sektor-sektor

    usaha yang tergolong terancam terkait hadirnya era ACFTA. Ciri-ciri sektor usaha yang

    diperkirakan terancam terkait ACFTA ialah memiliki perangkat undang-undang dan

    kebijakan yang masih lemah, memiliki basis industri yang masih lemah dari hulu ke hilir,

    masuk dalam pos tarif penundaan ACFTA, comparative advantage index yang cukup

    rendah, dan ekspor terganggu dengan adanya ACFTA. Reaksi dari para pelaku usaha dan

    asosiasi industri setidaknya mencatat 10 sektor industri dalam negeri potensial bakal

    terimbas dampak buruk pemberlakuan ACFTA. Sektor tersebut meliputi pakaian, tekstil,

    tas, sepatu, mainan anak, sandal, sepatu, jamu, makanan, minuman, pertanian dan

    holtikultura serta perikanan/peternakan. Kategori sektor industry lainnya yang diprediksi

    akan terpuruk meliputi industri manufaktur (seperti besi dan baja, petrokimia, elektronik,

    kabel, dan serat sintesis) serta industry padat karya (seperti mebel, benang dan kain, alas

    kaki, dan mainan).

    Berdasarkan analisis dan perhitungan yang dilakukan oleh Warta Ekonomi

    Intelligence Unit, ada delapan sektor industri di Indonesia yang terancam akibat

    implementasi ACFTA. Pertama, sektor alas kaki. Walaupun ekspor alas kaki diprediksi

    akan meningkat dalam beberapa tahun mendatang, tetapi implementasi ACFTA diyakini

    akan membuat industri alas kaki di dalam negeri ikut tergerus. Pasalnya, proporsi

    kenaikan ekspor itu ditaksir belum mampu menutupi kerugian dalam negeri akibat

    penerapan ACFTA. Melihat indeks pertumbuhan produksi industri alas kaki, maka selama

    2006, rata-rata produksinya mengalami pertumbuhan defisit sebesar 3,45% dan pada

    2007 defisit itu mulai berkurang menjadi 0,47%. Sedangkan pada 2008, walaupun

    mengalami kenaikan, tetapi porsi kenaikan tersebut terbilang kecil, yakni menjadi positif

    14,07%. Sebagai salah satu sektor padat karya di Indonesia, sudah barang tentu industri

    alas kaki harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Dengan penerapan

    ACFTA, otomatis kualitas dan harga-harga produk murah dari Cina akan menjadi

    konsumsi utama konsumen dalam negeri. Hal ini tentu memprihatinkan. Jika pemerintah

    tidak segera merelokasi tarif masuk dan jangka waktu penerapannya, dikhawatirkan hal

    ini akan membuat industri alas kaki gulung tikar. Selain itu, yang patut digarisbawahi,

    tujuan ekspor alas kaki Indonesia selama ini ialah negara-negara maju seperti Amerika,

    Jepang, dan kawasan Uni Eropa, bukanlah Cina. Dengan kondisi ekonomi yang belum

    pulih dan melihat keuntungan yang akan diambil dari ekspor akan tetapi lebih rendah,

    maka sungguh beralasan untuk cemas atas kemungkinan membanjirnya produk Cina di

    Indonesia saat ini.

  • Halaman 18 dari 46

    Kedua, sektor tekstil dan produk tekstil. Comparative advantage (CA) yang rendah

    untuk tekstil dan produk tekstil (TPT) selama delapan tahun terakhir memberikan opsi

    ancaman bagi industri TPT di Indonesia dalam menghadapi ACFTA. Berdasarkan kalkulasi

    Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (Indef) misalnya, pada

    2008 CA TPT hanya sebesar 1,81%. Pada 2007 dan 2006 pun tidak jauh berbeda, hanya

    1,9% dan 2,03%. Sektor TPT juga menjadi penyumbang eksportir terbesar jika

    dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Tercatat terdapat 187 eksportir yang

    melakukan ekspor ke luar negeri. Berdasarkan data BPS, indeks pertumbuhan produksi

    TPT juga mencatat pertumbuhan fluktuatif selama tiga tahun terakhir (2006-2008), yang

    secara berurutan sebesar 6,04%, 11,17%, dan 3,38%. Atas dasar ini, tampaknya

    pemerintah perlu meratifikasi kebijakan terkait penentuan standar tarif dan bea dumping

    yang diterapkan bagi produk-produk TPT.

    Ketiga, sektor kimia. Kapasitas produksi bahan kimia pada 2008 mencapai 38,24

    juta ton, sedangkan untuk ekspor pada periode yang sama mencapai 5,63 juta ton.

    Sementara itu, kebutuhan bahan kimia yang diimpor pada 2007 mencapai 3,7 juta ton

    dan pada 2008 mengalami peningkatan menjadi 3,8 juta ton. Industri kimia terbilang

    salah satu industri yang terancam akibat penerapan ACFTA. Hal ini disebabkan masih

    terjadinya kesenjangan antara pasokan dan permintaan produk kimia nasional,

    khususnya polypropylene. Dengan kesenjangan kualitas mutu standar yang tinggi

    antarjenis barang kimia, hal ini menjadi celah negatif yang dapat mengakibatkan

    rendahnya daya saing barang kimia di pasar domestik. Sementara itu, tingkat

    comparative advantage industri kimia hanya 0,47% pada 2008. Tampaknya, kesiapan dan

    kesungguhan dari para pelaku industri kimia dan pemerintah dalam memproteksi

    industry kimia pada era ACFTA ini sangat besar manfaatnya. Apalagi jika melihat indeks

    pertumbuhan produksi kimia rata-rata selama 2008 menurun menjadi 6,84% dari tahun

    sebelumnya yang mampu mencapai 35,84%.

    Keempat, sektor besi dan baja. Dari usulan total 228 pos tarif yang disepakati

    untuk ditunda dalam proses negosiasi ACFTA, sebanyak 114 pos tarif berasal dari sektor

    industry besi dan baja, dengan jumlah kompensasi sebanyak 53 pos. Hal ini makin

    meyakinkan bahwa industry besi dan baja dalam negeri akan mengalami kesulitan

    menghadapi serbuan produk-produk Cina. Seperti diketahui, industri besi dan baja di

    Tanah Air belum memiliki perangkat counter measures seperti antidumping duty (AD),

    countervailing duty (CVD), dan safeguard. Faktor-faktor tersebut cukup untuk

    memperlihatkan kurang seriusnya pemerintah dalam menghadapi persaingan global

    tingkat ACFTA. Menimbang kondisi di atas, maka seharusnya baja dimasukkan ke dalam

    kategori Highly Sensitive List (HSL). Hal ini untuk meyakinkan setidaknya industri besi dan

    baja tidak kalah telak dalam persaingan dalam negeri dengan produk-produk dari Cina.

    Kelima, sektor furnitur. Dalam usulan rekapitulasi perubahan pos tarif

    pemberlakuan ACFTA, terdapat 5 pos (terkait sektor furnitur) dari total 228 pos tarif yang

    diusulkan untuk ditunda. Dalam hal indeks pertumbuhan produksi, sektor furniture

    mengalami fluktuasi kenaikan dan penurunan yang drastis. Pada 2006, rata-rata

  • Halaman 19 dari 46

    pertumbuhan produksi furniture sebesar -1,87%, lalu pada 2007 sebesar -14,12%, dan

    pada 2008 menjadi positif di level 33,56%. Data ini menandakan bahwa sektor tersebut

    belum stabil dalam laju pertumbuhan produksinya. Sektor ini pun mengalami keadaan

    sensitif terkait krisis global di wilayah Amerika Serikat dan Eropa. Dengan kondisi

    perekonomian di kawasan tersebut yang belum pulih, maka permintaan belum tersedia

    secara normal. Padahal, dari sisi jumlah, ekspor ke negara-negara tersebut cukup tinggi,

    sehingga jika ACFTA diberlakukan, substitusi target tujuan ekspor belum tersedia. Hal ini

    dikhawatirkan akan membuat produsen mebel dalam negeri gulung tikar karena

    permintaan yang menurun dan membanjirnya produk Cina di pasar domestik dengan

    harga murah dan kualitas yang lebih baik.

    Keenam, sektor elektronik. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Warta

    Ekonomi Intelligence Unit, implementasi ACFTA diprediksi mampu menggerus lima

    produk elektronik dalam negeri. Di antaranya, radio kaset jinjing, televisi jenis cembung,

    kipas angin, setrika berkapasitas 350 watt, serta pompa air 125 watt. Kelima produk

    tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan rendah dan jumlah populasi

    segmen masyarakat tersebut sebanyak 20 juta kepala keluarga di Indonesia. Maka, Cina

    yang memang menyasar segmen middle-low level di bisnis elektronik punya banyak

    alasan untuk menjadikan ACFTA sebagai waktu yang tepat untuk mengeruk keuntungan

    di pasar elektronik di Indonesia. Selain itu, berdasarkan data yang dirilis oleh Electronic

    Marketer Club (EMC), hingga 2009, terdapat 18 produsen elektronik yang masih

    memproduksi peralatan elektronik rumah tangga skala menengah. Untuk sector

    elektronik ini sendiri, produk Cina lebih murah 20% - 30% disbanding produk Indonesia

    ditambah dengan kualitas yang hampir sama.

    Ketujuh, sektor permesinan. Berdasarkan hasil rilis yang dilakukan oleh Indef,

    Comparative advantage (CA) sektor ini selalu konsisten di bawah 0,5% selama delapan

    tahun terakhir. Terakhir pada 2008, CAnya sebesar 0,28%. Dalam rekapitulasi usulan

    perubahan pos tarif seiring pemberlakuan ACFTA, jumlah penundaan di sektor ini

    sebanyak 10 pos. Persentase impor mesin dari luar negeri sangat besar. Jika melihat data

    BPS, pada 2005 sektor permesinan melakukan impor sebesar 72,3%. Bisa dibayangkan,

    defisit neraca pembayaran yang terjadi dengan fakta ini.

    Kedelapan, sektor makanan dan minuman. Menurut laporan Gabungan

    Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), terdapat empat

    produk olahan khusus yang perlu diproteksi, yaitu yang berbahan baku jagung, kedelai,

    gula, dan beras. Produk-produk tersebut diyakini belum dapat bersaing dengan Cina.

    Sektor ini pun telah mendapat perhatian Kementerian Perdagangan, dimana dengan

    dikeluarkannya Permendag No. 56/2008. Peraturan ini mengatur ketentuan impor

    produk tertentu yang mengizinkan impor lima produk, yakni alas kaki, garmen, produk

    elektronik, mainan, serta makanan dan minuman, hanya melalui lima pelabuhan utama.

    Pertumbuhan indeks produksi sektor makanan dan minuman Indonesia, seperti yang

    dilansir oleh BPS (lihat Tabel Pertumbuhan Indeks Produksi), mengalami penurunan

    jumlah produksi dari tahun ke tahun. Rata-rata pertumbuhan per tahun sector ini selama

  • Halaman 20 dari 46

    kurun waktu 2006-2008, yaitu 11,98%, -5,19%, dan -2,65%. Hal ini seharusnya menjadi

    fokus perhatian pemerintah mengingat sector makanan dan minuman merupakan sektor

    yang padat karya. Hal-hal yang perlu diperbaiki sebaiknya mengarah pada faktor

    peningkatan competitive advantage, yaitu berjalannya fair trade seperti yang telah

    digariskan serta penguatan hambatan-hambatan teknis (technical barrier) seperti izin

    edar dan kewajiban label Indonesia. Secara garis besar, sektor makanan dan minuman

    cukup dikhawatirkan terimbas masuknya produk Cina ke Indonesia. Lebih lanjut

    perbandingan antara peluang dan ancaman dari keberadaan ACFTA bagi Indonesia dapat

    dipaparkan dalam tabel berikut :

    Tabel 4. Sektor Peluang dan Terancam bagi Indonesia dengan Keberadaan ACFTA

    Peluang Terancam

    Sektor otomotif. Sektor alas kaki

    Sektor pertambangan Sektor tekstil dan produk tekstil

    Sektor kimia

    Sektor besi dan baja

    Sektor furnitur

    Sektor elektronik

    Sektor permesinan

    Sektor makanan dan minuman

    Sumber : data diolah, 2010

    Paparan tabel 4 diatas menunjukkan bahwa, banyak sektor dalam negeri yang

    terancam dengan adanya ACFTA. Walaupun demikian pilihan kebijakan yang tepat serta

    keberpihakan Negara dalam menghadapi kesepakatan ACFTA adalah sebuah keharusan

    yang tidak dapat ditawar. Indonesia tentu sangat sulit untuk mundur dari kesepakatan

    ACFTA. Pakta perdagangan bebas suka tidak suka telah datang dan Indonesia harus siap

    menyongsongnya. Kesepakatan tersebut harus mampu diarahkan sejalan dengan strategi

    meningkatkan perekonomian bangsa dengan bentuk kebijakan pembangunan yang

    benar-benar mampu menunjukkan sense of urgency.

    Analisa Problem Kontektual

    Lets Do Our Homework, merupakan kata yang tepat bagi semua problema

    Indonesia dalam menghadapi ACFTA. Pemetaan atas neraca, peluang dan sektor yang

    terancam di dalam negeri merupakan komponen-komponen riil sebagai input strategi

    kebijakan ekonomi pemerintah, yang perlu dirumuskan dan dilaksanakan sebagai

    bumper dari eksistensi ACFTA. Sehubungan dengan hal tersebut, disamping persoalan

    industry manufaktur yang terancam, problem-problem kontekstual perlu diselesaikan

    untuk dapat menstabillisasikan beragam dampak negative dari ACFTA.

    Problem kontekstual bagi Indonesia yang demikian rentan untuk menghadapi

    ACFTA adalah ekonomi biaya tinggi (high cost) yang kerap mewujud dalam retribusi, uang

    keamanan, uang sumbangan, biaya pengawalan barang, uang jago, dan beragam bentuk

  • Halaman 21 dari 46

    biaya siluman lainnya. Dari seluruh biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan negeri

    ini, ditaksir sekitar 12-15 persennya adalah biaya siluman. Pola rente ekonomi ini

    menyebabkan harga produk barang kita Indonesia (terutama untuk pasar ekspor)

    menjadi berbiaya tinggi dan sulit bersaing. Problemnya, hingga kini pemerintah tak

    terlihat serius memberantas bandit-bandit berseragam dan preman jalanan yang menjadi

    penyebab tingginya biaya produksi ini. Jika kondisi ini terus berlanjut, jelas daya saing

    produk industri nasional kita sampai kiamat sekalipun tak akan pernah bisa kompetitif.

    Berikutnya, infrastruktur yang tidak memadai, seperti jalan, pelabuhan, kereta

    api, listrik, saluran telepon, dan seterusnya. Lemahnya infrastruktur ini menyebabkan

    akselerasi pembangunan (terutama dalam rangka memacu investasi asing) sampai detik

    ini terus berjalan tertatih-tatih. Kendala utama pembangunan infrastruktur ini adalah

    biaya. Sebagai contoh, pendanaan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan

    ekonomi 6,3-6,9 persen sepanjang 2009-2014 diperkirakan baru mencapai Rp 2.019

    triliun. Ironisnya, kemampuan APBN/APBD untuk belanja infrastruktur hanya berkisar 15

    persen. Kemampuan belanja infrastruktur APBN yang minim ini antara lain disebabkan

    pembayaran cicilan utang periode 2009 sebesar Rp 92,242 triliun. Cicilan ini terus

    membengkak disebabkan volume utang yang juga terus membengkak, ditambah deficit

    APBN 2010 sebesar Rp 77,1 triliun.

    Soal lain adalah birokrasi yang tidak efisien, misalnya mekanisme pengurusan izin

    usaha yang kerap berbelit dan memakan waktu lama. Kondisi tak hanya berdampak

    psikis, yakni melemahkan etos dan spirit berusaha masyarakat kita, namun juga

    membuat gerah para investor untuk menanamkan berinvestasi di Indonesia. Berikutnya,

    akses kredit yang terbatas, terutama bagi usaha-usaha mikro dan kecil. Padahal, jenis

    usaha inilah yang paling banyak menampung tenaga kerja. Diperkirakan 80-90 persen

    angkatan kerja ada menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Faktor teknis lainnya

    adalah tingkat suku bunga kredit yang masih tinggi. Berbeda dengan Indonesia, bunga

    pinjaman yang diterapkan pemerintah Cina dalam rangka menggairahkan usaha rakyat

    hanya dipatok pemerintah antara 4-6 persen per tahun, sedangkan di Indonesia suku

    bunga kredit masih bertengger di angka 14-16 persen. Dengan suku bunga pinjaman

    sebesar itu, bisa dipastikan iklim usaha di Indonesia akan terus melesu.

    Berikutnya, terkait sumberdaya angkatan kerja dan tenaga kerja yang mayoritas

    (60 persennya) masih berpendidikan level SD ke bawah. Kondisi itu tentu sangat

    mempengaruhi kualitas kerja dan tingkat produktivitas tenaga kerja kita. Soal lain yang

    juga tak kalah penting adalah terkait penegakan dan kepastian hukum. Di tengah

    komitmen pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, memberantas korupsi,

    dan mereformasi birokrasi agar belaku sebagai abdi negara dan pelayan rakyat, yang

    mencuat ke permukaan justru beragam ironi, mulai dari kasus Century Gate yang

    merugikan uang negara sebesar 6,7 triliun, perampokan pajak perusahaan yang

    dilakukan Gayus Cs di Kantor Dirjen Pajak (dengan total kerugian negara mencapai Rp 28

  • Halaman 22 dari 46

    miliar), hingga tindak pidana manipulasi pajak 350 perusahaan yang dilakukan oknum

    Kanwil Pajak Surabaya yang merugikan keuangan negara sebasar Rp 300 miliar.

    Faktual, korupsi dan penggerogotan uang negara masih terus berlangsung intens

    di negeri ini. Sinyalemen Daniel Lev tentang birokrasi pencuri (cleptocracy) yang terus

    menguat di Indonesia pasca reformasi memang benar adanya. Aktor-aktor parasitis

    semacam Mafia kasus, mafia peradilan, broker jabatan, dan sejenisnya dipastikan masih

    eksis dan terus mengintip celah hukum yang bisa dipakai untuk menguras uang negara;

    tentu dengan kiat dan modus korupsi yang lebih canggih. Law enforcement yang lemah

    adalah titik masuk dari mewabahnya beragam kasus korupsi dan penyimpangan

    keuangan negara. Jangan salahkan jika komunitas ekonomi dan bisnis internasional

    memberi stempel Indonesia sebagai negeri sejuta transaksi, dimana hukum dan

    keadilan tak lebih dari komoditas yang bisa diperjualbelikan.

    Lebih lanjut persoalan lainnya adalah perlunya perbaikan hubungan koordinasi

    antar departemen dan antar pemerintah pusat dan daerah. Tidak kooperatifnya

    pemerintah daerah membuktikan tidak berfungsinya line of command. Ini terkait

    langsung dengan persoalan perijinan, dan persoalan pembebasan tanah yang selama ini

    menjadi kendala terbesar pembangunan infrastuktur. Tidak jelasnya sistem tata ruang di

    banyak daerah, apakah tanah tersebut termasuk hutan lindung, hutan tanaman industri,

    hutan kelapa sawit atau lainnya telah dimanfaatkan oleh oknum aparat hukum untuk

    mengambil keuntungan dari pengusaha yang berinvestasi, kesimpangsiuran yang

    menyebabkan ekonomi biaya tinggi itu harus diatasi.

    Pemerintah juga harus segera menyelesaikan persoalan undang-undang,

    peraturan yang saling bertentangan dan tumpang tindih (overlapping). Ini dapat dimulai

    dari UU dan aturan-aturan yang paling perlu, seperti UU Ketenagakerjaan dan UU

    Perpajakan. Pemerintah perlu mengoreksi kembali aturan jumlah pemberian pesangon,

    ini penting agar pengusaha tidak ragu untuk mengerjakan usaha yang sifatnya labor

    intensive . Disamping itu pembangunan harus menyentuh seluruh lapisan masyarakat .

    Indonesia perlu menciptakan pembangunan yang melibatkan rakyat banyak, labor

    intensive, sehingga pembangunan dapat dinikmati masyarakat luas. Peraturan

    perpajakan harus dibuat sedetail mungkin, sehingga tidak ada lagi gray area dalam UU

    Perpajakan. Pemberlakuan amnesti pajak, sebagaimana dilaksanakan di Afrika Selatan,

    Italia dan negara-negara Eropa lainnya, dibutuhkan untuk menghapus kekhawatiran

    wajib pajak dari tuntutan pajak masa lalu.

    Persoalan lainnya yang tidak kalah menarik adalah mentalitas pengusaha juga

    harus berubah. Sangat diperlukan pengusaha yang berhati nasionalis, tidak banyak

    mengeluh, more action, talk less. Lagi pula, pengusaha jangan hanya memikirkan

    keuntungan pribadi. Keuntungan yang diperoleh harus dikembalikan ke institusi melalui

    investasi. Mindset keuntungan tidak salah, tapi harus juga memikirkan kelangsungan

    hidup institusi. Pabrik, misalnya, sungguh sangat baik jika keuntungan diinvestasikan

    dengan membeli mesin berteknologi tinggi, hemat energi, dan ramah lingkungan. Bukan

  • Halaman 23 dari 46

    meningkatkan derajat pribadi, tetapi derajat institusi, supaya lebih baik di mata

    masyarakat dan pemerintah. Ibarat punya anak, pasti kita perlu berpikir jauh ke depan

    supaya generasi selanjutnya bisa hidup terus dan lebih baik dari generasi sebelumnya.

    Selanjutnya problem yang perlu diwaspadai adalah pelepasan ketergantungan.

    Sebagaimana diketahui bahwa nilai strategis Indonesia dalam konteks ekonomi

    belakangan mencuat. Ketahanan usaha sektor informal Indonesia yang masih kuat

    menjadikan negara ini tidak rentan terhadap potensi krisis finansial berskala global

    sehingga pasarnya masih mampu menyerap produk-produk industri. Yang terpenting,

    berbagai pemberitaan internasional belakangan turut memersepsikan Indonesia sebagai

    negara dengan potensi pasar menggiurkan.

    Dalam keadaan seperti ini, jika kapasitas negara tidak segera berlari mengejar

    persepsi internasional yang berkembang, ketergantungan terhadap negara lain akan

    membayangi prospek ekonomi kita. Keohane dan Nye (1989) berpendapat dalam teori

    interdependensi bahwa negara yang bergantung lebih kepada pihak lainnya akan

    semakin rentan mempertahankan independensinya. Pada akhirnya negara hanya

    mengikuti yang dikehendaki mitra-(dagang)-nya (Kroll, 1993). Jika defisit ini diteruskan,

    China berpotensi mengontrol pengambilan kebijakan di Indonesia. Kekhawatiran ini terus

    menguat karena beberapa alasan.

    Pertama, China belum menganggap perjanjian perdagangan bebas yang ia jalin

    selama ini sebagai satu hal yang serius. China masih berkonsentrasi mengakselerasi

    pertumbuhan industri lokal, pemetaan industri strategis domestik, serta mengamankan

    pasokan energinya (energy security). Lain halnya dengan Jepang atau Korea Selatan yang

    menjalin perdagangan bebasnya dengan negara-negara maju, perjanjian perdagangan

    bebas terbesar China baru dijalin dengan ASEAN. China juga membangun perdagangan

    bebas hanya pada sektor-sektor ringan, seperti pertukaran barang dan jasa. Negeri Tirai

    Bambu itu belum berpikir untuk masuk ke ranah investasi, kompetisi, proyek pengadaan,

    hak kekayaan intelektual, lingkungan, dan perburuhan (M.Wan, 2011: 32). Belakangan

    para pengamat domestik China tengah mendesak pemerintahnya agar lebih serius

    menggarap lahan perdagangan bebas ini.

    Kedua, China serius mendongkrak bantuan pembangunan infrastruktur di

    Indonesia. Setelah Jembatan Suramadu, Pemerintah China meminjamkan 800 juta dollar

    AS untuk empat proyek pembangunan jalan, dua di antaranya jalan tol Cileunyi-

    Sumedang-Dawuhan (Cisundawuh) dan Medan-Kualanamu; serta dua lainnya dibiayai

    oleh Bank Exim China, yakni Jembatan Tayan, Kalimantan Barat, dan Jembatan Teluk

    Kendari, Sulawesi Tenggara. Diplomasi infrastruktur memang belakangan diperkenalkan

    Chinayang tidak hanya di Indonesia, melainkan di hampir semua negara mitra bisnisnya.

    Metode ini merupakan cara baru yang belum pernah dilakukan negara Asia Timur mana

    pun. Beberapa proyek lain di ASEAN adalah pengelolaan Greater Mekong River dan

    Tumen River Project, serta rencana pembangunan jalur kereta cepat Bangkok-Vientiane-

    China selatan.

  • Halaman 24 dari 46

    Ketiga, China disebut-sebut sebagai The Nation of Wal-Mart oleh Shenkar

    (2005). Kemampuan produksinya yang tinggi menggiurkan pedagang (retailer) karena

    harganya bersaing di pasar asing. Inilah alasan mengapa belum ada satu pun negara maju

    yang menyepakati perdagangan bebas dengan China (kecuali Selandia Baru). Australia,

    misalnya, masih alot bernegosiasi dengan China sejak 2005. Lebih lanjut analisis problem

    kontekstual ini dapat dirangkum secara sederhana dalam tabel berikut :

    Tabel 5. Analisis Problem Kontekstual Terhadap Keberadaan ACFTA

    No. Problem Temuan Dampak

    1. Ekonomi biaya tinggi (high cost)

    berwujud dalam retribusi, uang

    keamanan, uang sumbangan, biaya

    pengawalan barang, uang jago, dan

    beragam bentuk biaya siluman

    lainnya.

    Pemerintah Kurang Serius dan implikasinya pada

    tingginya biaya produksi

    2. Infrastruktur yang tidak memadai Keterbatasan biaya, dampak akhirnya adaah harga

    barang tidak dapat bersaing

    3. Birokrasi yang tidak efisien Etos dan spirit berusaha masyarakat yang lemah,

    dan kegerahan investor dalam menanamkan modal

    4. Sumberdaya angkatan kerja dan

    tenaga kerja yang rendah

    Kualitas tenaga kerja tidak dapat bersaing

    5. Penegakan dan kepastian hukum Sentimen negatif dan banyaknya kerugian negara

    6. Hubungan koordinasi antar

    departemen dan antar pemerintah

    pusat dan daerah

    Ekonomi biaya tinggi, kesimpangsiuran informasi

    dan tidak berkembangnya pembangunan

    infrastruktur.

    7. Peraturan yang saling bertentangan

    dan tumpang tindih (overlapping)

    Kekhawatiran investor, dan ekonomi biaya tinggi

    8. Mentalitas Pengusaha kurang

    nasionalis

    Kerugian negara, dan ketimpangan kemakmuran

    9. Adanya ketergantungan Intervensi kepentingan terhadap kebijakan

    pemerintah dan menimbulkan kerugian pada

    negara dan masyarakat

    Sumber : data diolah, 2010

    D. Dialektika Sistem Ekonomi : Kerangka Pijakan Hadapi ACFTA

    I am convinced there is only one way to eliminate these grave evils, namely

    through the establishment of a socialist economy, accompanied by an

    educational system which would be oriented toward social goals

    (Saya yakin bahwa ada satu jalan, singkirkan kejahatan (kapitalisme) ini, untuk

    itu usahakanlah membentuk sistem sosial, disertai dengan system pendidikan

    yang berorientasi pada tujuan sosial) (Albert Einstein, 1949)31

    Paparan Albert Einstein (1949) seolah mengingatkan kita akan bahaya kapitalisme

    yang melanda dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Mungkinkah kita membangun

    31 Albert Einstein, 1949, Why Socialism? Electronic Copy Available At http://www.zionism-

    israel.com/Albert_Einstein/Albert_Einstein_Why_Socialism.htm

  • Halaman 25 dari 46

    fondasi ekonomi nasional yang kokoh sebagaimana yang ditempuh Cina? Atau kita punya

    jalan (skenario) lain?. Sebagai bangsa yang pernah hidup terjajah dalamk system

    kapitalisme kolonial, kita pernah punya gagasan ekonomi sosialis model Indonesia,

    dengan prinsip ekonomi berdikari yang pernah ditawarkan Bung Karno. Sementara

    Bung Hatta juga pernah menawarkan ide koperasi yang dianggapnya lebih sesuai dengan

    ciri khas ekonomi masyarakat Indonesia. Secara konseptual, kedua ide the founding

    fathers itu lebih mengarah ke prinsip populisme ketimbang sosialisme atau nasionalisme

    ekonomi sebagaimana semangat yang pernah diuangkapkan oleh Albert Einstein

    tersebut.

    Telaah secara historis menunjukkan bahwa, terdapat sejumlah alternatif

    mekanisme ekonomi di luar sistem kapitalisme-neoliberal yang kini telah dianggap gagal

    oleh banyak pihak. Pertama, adalah sistem sosialisme. Ide dasar sistem ini menempatkan

    proses produksi dan pemasaran hasil produksi di bawah kontrol kelas pekerja. Dengan

    demikian, kelas pekerja tidak hanya menjual tenaganya, tapi juga menguasai dan

    mengontrol hasil kerjanya. Saat ini, sistem ekonomi sosialis masih beroperasi secara

    terorganisir di Kuba. Tetapi secara umum, pascaruntuhnya Uni Soviet, sistem ekonomi

    sosialis telah dianggap sebagai moda ekonomi masa lalu.

    Kedua, sistem ekonomi nasionalistik. Kendati tidak secara tegas menolak

    kapitalisme, secara ideologis system ini berwatak anti modal asing. Sekelompok

    akademisi menyebut system ini sebagai etatisme, istilah lain dari kapitalisme negara.

    Blue print system ini adalah pembangunan ekonomi nasional wajib dibimbing, dikawal,

    dan difasilitasi negara agar tidak terjungkir ke dalam persaingan pasar bebas. Kendati

    tidak seluruhnya, model ini sepertinya juga menginspirasi gaya pembangunan ekonomi

    Cina saat ini. Namun, di mata para pembela sistem pasar (neoliberal), model ini

    dipandang sebagai handycap kemajuan ekonomi karena campur tangan negara yang luas

    dan deep dalam kehidupan ekonomi. Rigiditas ekonomiyang menjadi konsekuensi

    model nasionalisme ekonomidianggap sebagai biang keladi krisis ekonomi yang pernah

    melanda Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara pada medio

    1990-an lalu. Campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi menjadi penyebab dari

    suburnya korupsi, pungli, perilaku disinsentif, dan berbagai bentuk moral-hazard lainnya.

    Korea Selatan masa kediktatoran militer, Taiwan masa Chiang Khai Shek, dan Iran di

    bawah rejim Mullah adalah prototipe sistem ekonomi bercorak nasionalistik. Dalam

    batasan yang lebih ketat, model ekonomi Soviet dan Cina saat ini bisa dimasukkan dalam

    kategori ini.

    Ketiga, sistem ekonomi berwatak populis. Dalam sistem ini, pemerintah yang

    berkuasa memberi prioritas pada sektor usaha kecil dan menengah dalam negeri. Tetapi,

    berbeda dengan sistem nasionalistik, sistem ekonomi populistik juga memberi ruang

    yang relatif luas bagi serikat pekerja dan serikat tani untuk terlibat dalam pengelolaan

    ekonomi negara. Argentina di masa Peronisme adalah prototype sistem ini. Saat ini,

    sistem ekonomi Kuba di bawah Castro, Venezuela di bawah Chavez atau Bolivia di bawah

  • Halaman 26 dari 46

    Moralesdengan spirit ekonomi sosialis-Bolivariannya (ALBA) yang menjadi alternatif

    sistem kerjasama regional negara-negara di kawasan Latin Amerika untuk menentang

    sistem perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA)ditengarai banyak pengamat, tengah

    berjalan menuju ke arah sistem ekonomi ini.

    Keempat, sistem ekonomi negara kesejahteraan (welfare state). Asumsi yang

    mendasari model ini adalah, pasar kapitalisdengan logika maksimasi profitnyatidak

    mungkin bisa menjawab kebutuhan yang berbau sosial, seperti pendidikan dan

    kesehatan gratis atau jaminan sosial bagi rakyat miskin. Sementara negara dianggap

    sebagai institusi yang wajib menyejahterakan dan melayani publik. Negeri-negeri di

    kawasan Skandinavia (seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia) adalah prototipe negara

    yang hingga kini masih konsisten menerapkan model welfare state.

    Beragam pendekatan sistem ekonomi tersebut , maka dalam konteks ACFTA,

    penelahaan pendekatan sistem ekonomi yang reliable perlu mengutip pendapat Karl

    Polanji (1944)32. Filosof ini mengatakan,membiarkan mekanisme pasar menjadi satu-

    satunya penguasa nasib manusia dan lingkungan alam, akan berakhir pada penderitaan

    dan kehancuran masyarakat itu. Karl Polanyi (1886-1964) dalam buku klasik dan

    ternamanya, The Great Transformation (1944), berbicara tentang bagaimana karakter

    pasar secara kualitatif berubah sekitar 1500-1600-an di Eropa. Menurut Polanyi

    kelangsungan hidup manusia tidak sepenuhnya tergantung pada pasar. Polanyi

    beranggapan bahwa ekonomi bukanlah ranah kegiatan yang terpisah. Hal ini demikian

    berbeda dengan yang terjadi sekarang, dahulu tidak ada konsep tentang ekonomi yang

    berfungsi menurut hukum-hukumnya sendiri tanpa ada kaitan dengan masyarakat atau

    keinginan manusia. Pedagang tidak mengendalikan negara. Pada saat itu ada pasar,

    tetapi kegiatan dan wilayahnya termaktub dalam hubungan-hubungan komunal,

    kekerabatan, keagamaan dan politis. Transformasi besar-besaran yang merupakan

    judul buku Polanyi adalah proses komodifikasi tiga hal pada awal era modern Eropa, yaitu

    tanah, buruh dan waktu, yang sebelumnya tak pernah terjadi. Polanyi, yang sampai taraf

    tertentu mengikuti pemikiran Karl Marx pada abad ke-19, berpendapat bahwa

    kapitalisme bukanlah suatu sistem ekonomi di mana pasar menjadi lebih bebas atau di

    mana para pedagang dibebaskan dari pembatasan yang diterapkan kekuasaan feodal.

    Yang mendefinisikan kapitalisme adalah penggusuran orang dari tanah mereka secara

    besar-besaran. Begitu orang tak memiliki tanah, seperti yang terjadi di Inggris sejak abad

    ke-16, mereka harus bergantung pada pasar untuk bertahan hidup.

    Lebih lanjut, apabila mengamati hubungan sosial kepemilikan, maka tentu akan

    muncul pemahaman bahwa pasar di bawah kapitalisme berkaitan dengan desakan, yaitu,

    desakan untuk berpartisipasi dalam pasar. Mereka yang tak bermilik hanya punya pilihan

    terbatas antara bekerja atau kelaparan. Sekarang mayoritas orang di negeri-negeri

    kapitalis maju seperti di Amerika Serikat tidak memiliki modal; mereka hidup dari

    32 Polanyi, Karl, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time (first published

    1944; reprint, Boston: Beacon Press, 1957).

  • Halaman 27 dari 46

    pekerjaan yang berupah jam-jaman. Mereka tidak hidup dari perolehan keuntungan

    saham, bunga, atau pembagian keuntungan perusahaan. Sejarah kapitalisme sebenarnya

    adalah sejarah penggusuran orang dari tanahnya dan penciptaan pasar tenaga kerja yang

    terus-menerus berkembang meluas.

    Mereka yang mendukung perkembangan kapitalisme dan pasar bebas di

    Indonesia harus mengamati dengan serius negara-negara berkembang. Hal ini

    sebagaimana terjadi di Amerika Serikat, konsekuensi tak terhindarkan dari

    perkembangan kapitalisme adalah pesatnya pertumbuhan kelas orang-orang bermilik

    (propertied class). Konsentrasi kekayaan di Amerika Serikat dewasa ini luar biasa

    besarnya, yang mana di satu sisi ada surplus penduduk yang masif dan tidak mendapat

    bagian apa-apa dari pasar bebas. Sedangkan di sisi lain, hidup segelintir milyuner.

    Pemerintah Amerika Serikat banyak mengerahkan pendapatan pajak mereka untuk

    mendisiplinkan surplus manusia yang tidak bermilik ini dengan kekuatan polisi. Lebih

    dari 1 juta orang Amerika berada di penjara jumlah total narapidana terbesar dan

    perkapita tertinggi di seluruh dunia.

    Lebih lanjut dari sekian banyak pemikir-pemikir yang mengunggulkan pasar

    bebas, memuja filsuf Skotlandia Adam Smith (1723-90), yang menulis buku The Wealth

    of Nations (1776),33 sebagai pemikir tentang pasar bebas. Buku teks standar ilmu

    ekonomi ini disebut neoklasik karena berisi pembaruan ide-ide Adam Smith yang

    bersama David Ricardo (1772-1823), dianggap sebagai ekonom klasik. Pembaharuan ini

    dilakukan dengan menghilangkan pendapat Smith dan Ricardo mengenai teori kerja

    tentang nilai (labor theory of value), yaitu teori tentang nilai komoditi yang ditentukan

    oleh jumlah waktu kerja yang termaktub di dalamnya. Pikiran-pikiran ekonomi

    marginalist yang muncul pada paruh akhir abad ke-19, diwakili oleh ekonom-ekonom

    seperti W.S. Jevons (1835-82) dan Alfred Marshall (1842-1924), menyatakan bahwa nilai

    komoditi pada dasarnya ditentukan oleh persediaan dan permintaan. Dan itulah ajaran

    utama yang bisa diperoleh dari ilmu ekonomi standar dewasa ini.

    Adam Smith sebenarnya bukanlah penjelmaan awal ekonom IMF di masa kini.

    Apabila kita baca karyanya, kita akan melihat bahwa Smith masih tetap mengharapkan

    negara mendukung kesejahteraan publik dan tidak begitu saja menghilang, seperti yang

    diinginkan IMF. Ia bahkan berpikir bahwa pedagang, kaum yang hidupnya dari

    keuntungan, akan menciptakan anarki apabila mereka mengendalikan negara karena

    mereka terutama dimotivasi oleh kepentingan mereka pribadi dan bukannya

    kepentingan umum. Ia mengkhawatirkan munculnya anarki pasar, dan kesewenang-

    wenangan pedagang menjadi prinsip-prinsip pemandu kehidupan sosial. Smith

    33 Adam Smith, 1776, Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, in Two Volume,

    Volume I, Hartford Printed for Oliver D Cooke 1811, Peter B Gleason & Co. Printers, Pricenton University

    Library. Electronic copy available at http://books.google.co.id/books/download/An_

    inquiry_into_the_nature_and_causes_of.pdf?id=QItKAAAAYAAJ&output=pdf&hl=id&capid=AFLRE708yC

    moNTfl3FhnqeI3PP1411pX9e8bMbFeV1zjm_tocq325llkA0OLoZ5xPn9iSe-Kn2_TpBpfxw2DzBmmtKn

    GiJO-bJo_HEPuQJ_dD83gJTDbgo0&captcha=alimag

  • Halaman 28 dari 46

    mendukung perkembangan kapitalisme, itu pasti ia menginginkan buruh menjadi lebih

    produktif melalui pembagian tenaga dan kemajuan teknologi yang lebih canggih. Tetapi

    ia ingin supaya pasar dikendalikan secara bijaksana oleh negarawan, sedemikian rupa

    sehingga pasar itu bisa melayani kepentingan sosial yang berguna bagi publik. Ia

    menyatakan bahwa bukunya merupakan latihan di bidang ekonomi politik, yaitu ilmu

    bagi negarawan atau pembuat undang-undang supaya mereka bisa meningkatkan

    kesejahteraan seluruh bangsa.

    Salah satu ajaran Smith yang perlu kita pertimbangkan benar dewasa ini adalah

    Usulan perundang-undangan atau aturan perdagangan baru apa pun yang datang dari

    tatanan ini (para majikan yang hidup dari keuntungan) harus selalu didengarkan dengan

    kewaspadaan luar biasa, dan tidak pernah boleh diberlakukan sebelum dikaji secara

    seksama dan mendalam, bukan hanya dengan perhatian yang paling teliti, tetapi juga

    dengan kecurigaan. Usulan itu datang dari kaum yang kepentingannya tidak pernah

    sepenuhnya sama dengan kepentingan publik, yang secara umum berkepentingan untuk

    menipu dan bahkan menindas publik. Smith mungkin akan terperanjat membaca karya

    Milton Friedman yang begitu polos berasumsi seakan-akan kepentingan kaum kapitalis

    berjalan selaras seimbang dengan kepentingan masyarakat luas.

    Umumnya dipercaya bahwa pada masa depresi mendunia di 1930-an pasar di

    bawah kapitalisme bersifat anarkis. Pasar bergerak mengikuti siklus liar ledakan dan

    kemerosotan perdagangan. Ketika begitu banyak orang bergantung pada pasar untuk

    bertahan hidup (menjual tenaga kerja mereka untuk upah dan membeli kebutuhan

    sehari-hari dengan upahnya) jenis fluktuasi tak terkendali serupa ini menyebabkan

    penderitaan sosial secara massal. Ekonomi terencana di Republik Sosialis Uni Soviet

    kemudian tampak sebagai pilihan yang sepenuhnya rasional dan praktis bagi banyak

    orang pintar karena kinerja kapitalisme yang kacau balau saat itu. Kapitalisme tampak tak

    bisa bertahan lama kecuali jika pasar dikendalikan oleh aturan-aturan negara. Itulah

    sebabnya karya ekonom John Maynard Keynes (1883-1946) menjadi penting. Tulisan-

    tulisannya menunjukkan bagaimana investasi dan pengeluaran negara bisa mencegah

    keliaran fluktuasi siklus perdagangan dan menjaga supaya kapitalisme bisa lancar

    bekerja. Keberhasilan pertumbuhan ekonomi paska PD II di Eropa barat, AS dan Jepang

    diraih oleh kaum elit ekonomi yang bekerja sejalan dengan ide-ide Keynes.

    Ide-ide dan praktek Keynesian ditinggalkan pada 1970-an dan 1980-an ketika para

    kapitalis menganggap bahwa anarki pasar itu hanyalah dongeng masa lalu. Gagasan

    Milton Friedman meraih pengaruh lebih besar. Di banyak negara maju, industri negara

    diswastakan dan tunjangan kesejahteraan bagi pengangguran dan kaum miskin dihapus.

    Negeri-negeri ini memulai peperangannya terhadap kaum miskin. Pertumbuhan pesat

    jumlah narapidana di AS beranjak pada awal 1980-an.

    Dalam logika standar para ekonom dewasa ini pilihan yang ada hanyalah antara

    pasar bebas dan ekonomi terencana, dan pilihan terakhir telah terbukti salah dengan

    runtuhnya Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Tapi sebenarnya ada lebih dari dua

  • Halaman 29 dari 46

    pilihan di atas. Bagi mereka yang selalu berbicara tentang pasar bebas, kita harus

    mengama