Upload
phungphuc
View
217
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Perang Gerilya Politik
Wacana Baru Membentuk Negara Islam
“Mendirikan sebuah negara sebelum terpenuhinya sarana dan
prasarana sering kali mengaborsi hasil amal jihad.”
(Usamah bin Ladin)
Salah seorang pengamat, peneliti, dan pemikir gerakan jihad, Abdullah
bin Muhammad, meluncurkan sebuah wacana baru mengenai langkah
politik bagi gerakan jihad untuk mendirikan sebuah negara pada
Maret 2015 lalu. Wacana baru tersebut ia istilahkan dengan Perang
Gerilya Politik.
DAFTAR ISI
Perang Gerilya Politik 1
Memahami Konflik Libya 19
____________________________
Tentang Kami
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari
Lembaga Kajian SYAMINA (LKS). LKS merupakan
sebuah lembaga kajian independen yang bekerja
dalam rangka membantu masyarakat untuk
mencegah segala bentuk kezaliman.
Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh
pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh
semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit
sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari
sekian banyak media yang mengajak segenap
elemen umat untuk bekerja mencegah
kezaliman.
Media ini berusaha untuk menjadi corong
kebenaran yang ditujukan kepada segenap
lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas
dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya
mengemukakan gagasan ilmiah dan menitik-
beratkan pada metode analisis dengan uraian
yang lugas dan tujuan yang legal.
Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh
masing-masing penulis. Untuk komentar atau
pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan
e-mail ke: [email protected].
Seluruh laporan kami bisa diunduh di website:
www.syamina.org
2
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Istilah tersebut dipinjam dari dunia militer untuk
dipakai dalam bidang politik dengan maksud yang
sama, yaitu untuk melawan kekuatan musuh yang
lebih besar dalam ranah politik. Ide ini muncul
terutama disebabkan kegagalan gerakan jihad yang
unggul di bidang militer dalam mendirikan negara
Islam sebagaimana yang mereka cita-citakan.
Inti usulan Abdullah bin Muhammad1
Selain itu, juga akan memudahkan musuh untuk
melakukan pengepungan terhadap gerakan jihad,
menguras ekonomi mereka, merampas dengan
paksa kekuasaan mereka secara politik, serta
kesempatan untuk memperburuk citra dan
membunuh karakter mereka melalui media.
Sehingga dengan demikian, keruntuhan negara
yang didirikan gerakan jihad dan penolakan
penduduknya kepada mereka, hanya masalah
waktu. Bahkan negara tersebut akan gagal dengan
bagi gerakan
jihad adalah untuk tidak mengandalkan kekuatan
kelompoknya saja dalam menguasai dan
memerintah sebuah wilayah atau dalam sebuah
negara, namun melalui payung legalitas yang bisa
diterima (saqf syar’i maqbul) oleh mayoritas
penduduk di suatu wilayah atau suatu negara.
Menurutnya, jika payung legalitas tersebut tidak
dimiliki gerakan jihad, maka hal itu akan
memberikan kesempatan bagi musuh untuk
berhadapan langsung dengan negara Islam yang
baru tersebut melalui hegemoni rezim
internasional.
1 Yang bersangkutan adalah pemilik akun Twitter
@Strateeeegy yang memiliki pengikut sekitar 248 ribu (per 24/6/2015).
sendirinya meski tanpa turun tangan langsung
militer rezim penguasa dunia.
Menarik untuk diperhatikan adalah bahwa jika
seandainya berdirinya negara yang dicita-citakan
jihadis ini mampu tegak dengan kokoh, seiring
dengan mandulnya peran lembaga-lembaga
internasional, seperti PBB, untuk menyelesaikan
berbagai konflik skala internasional, terutama Arab
Spring, akankah hal itu sebagai pertanda akan
runtuhnya hegemoni Tatanan Dunia Baru (New
World Order).
Karena hegemoni tersebut kenyataannya hanya
menguntungkan dan berpihak pada Barat, tetapi
antipati dan tidak berpihak kepada umat Islam
yang berjumlah lebih dari satu miliar. Kemudian di
atas puing-puing reruntuhan tersebut tegak berdiri
Tatanan Dunia Baru yang lebih baru yang
berdasarkan prinsip Islam. Dan jika tatanan baru
dunia yang berdasarkan prinsip Islam tersebut
berhasil menghegemoni dunia, maka barangkali
inilah fase tegaknya Khilafah ‘ala Manhaj An-
Nubuwwah sebagaimana yang telah dikabarkan
Muhammad Rasulullah saw.
Tulisan ini mencoba untuk memaparkan maksud
dari Perang Gerilya Politik perspektif Abdullah bin
Muhammad. Mencoba menggali motif
dimunculkannya wacana tersebut. Juga berusaha
menampilkan diskusi para ulama dan cendekiawan
Islam terhadap ide Perang gerilya Politik tersebut.
3
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Perang Gerilya Politik
Abdullah bin Muhammad tidak secara tegas
mendefisinisikan Perang Gerilya Politik yang ia
maksud dalam artikelnya hurub al-‘ishabat as-
siyasiyyah. Namun, dari penjelasannya dalam
artikel tersebut dapat disimpulkan bahwa yang ia
maksudkan dengan Perang Gerilya Politik adalah
kemampuan untuk bertahan dalam arena poltik
regional di suatu wilayah dalam menghadapi
serangan politik yang diatur oleh tatanan
internasional yang dipimpin AS.
Abdullah bin Muhammad menulis, “… sebagaimana
dalam perang militer kita melakukan gerilya, maka
dalam hal politik pun kita juga harus melakukan
perang gerilya sehingga memungkinkan kita untuk
kuat secara politik di hadapan hukum
internasional”2. Dengan adanya perlawanan politik
gerilya tersebut, diharapkan hal itu mampu
meredam gejolak perlawanan politik dari dalam
dan juga menutup pintu masuknya pihak-pihak
luar, serta menghindari konfrontasi langsung
dengan Barat. Dan salah satu bentuk dari perang
politik tersebut adalah terjadinya perang militer.
Hal inilah, menurut ‘Ala Asy-Syarif, yang belum
begitu dipahami oleh sebagian besar para
komandan pergerakan jihad.3
Lebih jauh, Abdullah bin Muhammad menjelaskan
bahwa dalam militer, terkonsentrasinya jihadis
2 Abdullah bin Muhammad, Hurub al-‘Ishabat as-Siyasiyyah, diakses di www.justpaste.it/jvxj 3 Ala’ Asy-Syarif, I’adah Taujih Maqal: Hurub Al-‘Ishabat As-Siyasiyyah, diakses di https://www.dropbox.com/s/yzcwrvxkoeag75n/
pada satu titik membuat Barat memiliki
kesempatan untuk menghajar jihadis dengan telak.
Begitu juga dengan keberadaan jihadis saat
menguasai sebuah negara. Hal itu akan
memberikan peluang bagi Barat untuk
meruntuhkan negara yang didirikan jihadis dengan
berbagai macam cara.
Oleh karena itu, seyogianya jihadis harus menjauh
dari penguasaan tunggal terhadap negara-negara
yang mampu dikuasai. Sebagai gantinya, hendaklah
jihadis mengadakan persekutuan di dalam bingkai
kerakyatan yang bernaung di bawah payung
legalitas (saqf syar’i) yang diterima. Disamping itu,
mereka juga harus fokus untuk mengembangkan
kemampuan militer negara agar memiliki jaminan
bahwa tidak adanya elemen-elemen negara yang
masih loyal kepada Barat.3F
4
Menurut Abdullah bin Muhammad, faktor penting
bagi kesuksesan sebuah negara adalah memiliki
daya tahan politik, ekonomi, dan militer. Faktor-
faktor tersebut belum semuanya dimiliki dengan
mapan oleh jihadis. Oleh karena itu, jihadis harus
berkoalisi dengan gerakan-gerakan Islam di bawah
satu payung legalitas (saqf syar’i) yang disepakati.
Pada poin inilah para jihadis gagal melewatinya
dikarenakan sempitnya pemahaman politik syar’i
mereka.4F
5
Abdullah bin Muhammad menilai bahwa masalah
pergerakan-pergerakan jihad bukan terletak pada
kemampuan melawan rezim internasional karena
4 Abdullah bin Muhammad, Hurub al-‘Ishabat as-Siyasiyyah, diakses di www.justpaste.it/jvxj 5 Ibid.
4
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Al-Qaidah melalui perang gerilya mampu
melakukan hal itu. Akan tetapi, masalahnya adalah
ketidakmampuan mereka dalam menghadirkan
sebuah metode dan sarana untuk mendirikan
negara Islam di bawah hukum internasional.
Sebagaimana melakukan perang terbuka melawan
musuh yang jauh lebih unggul militernya seperti AS
adalah upaya bunuh diri dan strategi perang gerilya
adalah cara yang cocok untuk memberikan
balasan. Begitu juga dengan kajian politik yang
menghasilkan rekomendasi yang sama bahwa,
menghadapi Barat dengan politik terbuka
(mendeklarasikan sebuah negara) sama saja
dengan bunuh diri secara politik.
Barat dengan kekuasaannya terhadap hukum
internasional mampu menggagalkan atau
melemahkan dan menundukkan berbagai
keberhasilan yang diraih jihadis dalam menerapkan
hukum (deklarasi negara). Sehingga Barat dengan
usahanya mampu membuat kegaduhan politik,
tersebarnya penyakit, kemiskinan, dan kemarahan
rakyat sampai akhirnya mereka mendapatkan
momen terbaik untuk mencabut kekuasaan jihadis
sampai ke akar-akarnya dengan kekuatan militer,
sebagaimana yang mereka lakukan di Afghanistan
dan Irak.6
Munculnya jihadis secara terbuka di suatu wilayah
setelah mereka berhasil menguasai dan
mengontrolnya dengan mendeklarasikan sebuah
negara tanpa adanya payung legalitas yang
didiukung penuh oleh rakyat adalah sebuah
6 Ibid.
kesalahan dalam pandangan Abdullah bin
Muhammad. Ia menjelaskan bahwa strategi
terbaru Amerika ialah tidak mencegah munculnya
jihadis secara terang-terangan (deklarasi negara
atau berkuasa di tempat tertentu).
Akan tetapi, AS akan menunggu, jika kemunculan
jihadis secara terang-terangan ini parsial (tidak
memiliki legitimasi politik) maka dengan kondisi ini
AS akan sangat mudah untuk menghancurkan
mereka dengan biaya yang relatif murah. Hal ini
didasarkan pada pendalaman mereka terhadap
cara berpikir jihadis. Mereka paham betul bahwa
tujuan jihadis adalah menerapkan hukum Islam
sehingga mereka membiarkan jihadis menerapkan
hukum Islam. Kemudian barulah mereka mulai
menyerang secara terprogram dengan tujuan
terbatas dan waktu yang panjang.
Mereka menyerang setiap pekan, entah itu kamp,
sekolah, tempat penyimpanan makanan, dan hal
ini berlangsung terus dengan jeda waktu yang
teratur. Kemudian barulah diiringi dengan
serangan darat dari pasukan setempat yang
bersekutu dengan mereka agar musuh mereka
(jihadis) tahu bahwa upaya penegakan hukum
Islam apapun yang dilakukan oleh jihadis cepat
atau lambat akan mereka hancurkan.
Metode seperti ini memberikan tekanan psikologis
yang besar. Bisa saja jihadis menarik diri, seperti
yang dilakukan Al-Qaidah, atau bisa saja jihadis
berusaha bertahan, yang menjadikan mereka
5
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
sasaran serangan, sebagaimana yang terjadi pada
Jamaah Daulah Islamiyah di Irak.7
Biaya memerangi jihadis tidak besar seperti dulu.
Cukup operasional drone, usaha intelijen, dan
sedikit nafas yang panjang (kesabaran). Akan
tetapi, hal seperti ini tidak berlaku bagi tempat-
tempat yang jihadis tidak muncul secara terang-
terangan seperti Waziristan. Hal ini akan berefek
kuat di tempat yang jihadis muncul resmi di sana
seperti Yaman. Dan hal ini mungkin saja terjadi di
Syam jika jihadis melepaskan diri dari revolusi
Hal inilah yang berhasil ditangkap dan dipahami
oleh jihadis di Abyan, Yaman dan di Azwad, Mali.
Setelah terjadi revolusi dan chaos di sana yang
membuat jihadis Yaman dan Mali mengumumkan
penguasaan mereka terhadap Abyan dan Azwad.
Mereka lalu mempraktikkan hukum Islam di sana.
Kemudian begitu cepatnya mereka menarik diri
setelah mereka mengetahui bahwa muncul ke
permukaan tanpa adanya payung dukungan rakyat
dan politik adalah sebuah kesalahan.
Hal ini berdasarkan pengalaman mereka bahwa
pasca mundurnya militer AS, jihadis naik ke
permukaan dengan mengumumkan penguasaan
mereka terhadap daerah tersebut. Kemudian AS
melancarkan serangan drone dan pasukan khusus.
Target serangan pun berganti, yang sebelumnya AS
sekarang berganti jihadis. Dan begitulah juga yang
dilakukan AS pada wilayah yang memiliki kesamaan
kondisi politik seperti itu.
7 Abdullah bin Muhammad, Ta’liq Muhimm Haula Maqal Hurub Al-‘Ishabat As-Siyasiyyah, diakses dari www.justpaste.it/jwqs
bersama rakyat yang menjadi payung pelindung
bagi arena jihad.8
Ijtihad yang mereka lakukan ini memberikan
mereka kesempatan untuk menjadi elemen
Model Aplikasi Perang Gerilya Politik
Model aplikasi Perang Gerilya Politik yang dianggap
cukup berhasil oleh Abdullah bin Muhammad
adalah eksperimen jihadis di Libya. Menurutnya,
sejarah panjang mereka dalam memerangi rezim
Qadzafi selama 30 tahun, peran aktif mereka
dalam revolusi dan serangan terhadap Tripoli serta
keberhasilan mereka dalam menguasai sebagian
besar wilayah ibukota, ditambah keberhasilan
mereka menaklukkan batalion-batalion dan markas
militer musuh tidak membuat mereka tergesa-gesa
dalam mendeklarasikan sebuah negara.
Namun, mereka justru membuat persekutuan
bersama dengan kekuatan-kekuatan revolusi Islam
lainnya dan mereka memperlihatkan kefleksibelan
mereka dalam berinteraksi dengan pihak di luar
mereka. Kemudian mereka berijtihad dengan
memperbolehkan masuk dalam tatanan
demokrasi, tentunya setelah mereka
mengumumkan secara resmi bahwa syariat adalah
satu-satunya sumber hukum (payung syar’i). Dari
sana, sempurnalah sebuah negara Islam melalui
amandemen yang menjamin penerapan syariat
yang akan diterapkan secara bertahap kepada
masyarakat.
8 Ibid.
6
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
penting dalam sebuah tatanan nagara baru.
Sehingga negara baru ini tidak digunakan untuk
melawan mereka, jihadis (karena mereka menjadi
elemen penting dalam negara tersebut). Dan inilah
yang diusahakan oleh Barat akan tetapi mereka
tidak berhasil, sehingga mereka harus
menggunakan Haftar untuk mengeliminasi islamis
setelah Barat gagal menyingkirkan islamis dengan
cara politik melalui agen mereka Mahmud Jibril.
Keberhasilan islamis menguasai Tripoli dan Misrata
melalui jalur parlemen dan keberhasilan mereka
menguasai perangkat negara yang penting seperti
intelijen, tentara, garda keamanan, penjara-
penjara, serta pasukan tank, menjadikan mereka
pihak yang sulit dikalahkan. Bahkan kaum islamis
telah menyusun rencana dalam melawan makar-
makar Barat dan revolusi yang menentang mereka.
Hal ini bisa terjadi karena takdir Allah sehingga
mereka menggunakan strategi gerilya politik yang
dengan itu mereka tidak memberikan kesempatan
kepada Barat untuk menjadikan perangkat negara
melawan islamis.
Terjadilah keseimbangan politik (antara islamis dan
sekuler) sehingga mau tidak mau Barat
memberikan lampu hijau kepada Mesir, Saudi dan
Uni Emirat Arab untuk membuat revolusi
tandingan di bawah slogan perang terhadap
terorisme. Namun, perkembangan kemampuan
militer jihadis Libya membuat musuh-musuh
kesulitan mengalahkan mereka secara militer
setelah sebelumnya musuh juga gagal
menyingkirkan mereka secara politik. Ijtihad politik
syar’i yang dihadirkan oleh Jama’ah Libiyyah
Muqatilah memberikan daya tahan politik, militer
dan ekonomi yang membantu para islamis untuk
tetap berdiri kokoh melawan strategi-strategi
Barat.
Dari sanalah kelihatan jelas bahwa meruntuhkan
rezim Qadafi kemudian menjatuhkan revolusi
sekuler akan melepaskan Libya dari hegemoni
Barat sehingga terciptalah sebuah keadaan yang
representatif untuk berdirinya Negara Islam.
Keberhasilan para islamis mempertahankan
eksistensi mereka sebagai kekuatan politik dan
militer berhasil menciptakan sebuah suasana yang
kondusif untuk menegakkan Negara Islam dan juga
dikarenakan keberhasilan mereka menutup
peluang Barat untuk menyingkirkan mereka dari
hati rakyat secara politik dan juga dikarenakan
keberhasilan mereka menutup kesempatan Barat
menyingkirkan mereka agar mereka tidak menjadi
elemen penting negara.
Kesadaran politik di kalangan para jihadis Libya
inilah yang menjadikan Barat tidak bisa berbuat
apa-apa melawan mereka. Barat terbiasa
merampas kemenangan yang dihasilkan para
jihadis di tempat-tempat konflik dengan cara
membiarkan daerah konflik dan dalam beberapa
waktu kemudian mereka membuat kegaduhan
dalam negeri, embargo dan pembunuhan agar
rakyat berada dalam kesempitan dan merasa di
pinggirkan. Kemudian Barat mulai mencitrakan
buruk penerapan hudud yang merupakan impian
gerakan-gerakan jihad lewat media.
7
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Setelah itu semua, sebelum perang berakhir,
sebelum tamkin (eksis menguasai sebuah wilayah)
maka media Barat memberitakan bahwa rakyat
sipil menentang segala tindak terorisme yang
bengis. Dengan demikian, Barat berhasil
mengkondisikan rakyat setempat dan dunia
internasional agar mereka menerima intervensi
militer yang akan dilakukan Barat. Barat mulai
menggunakan perangkat negara setempat untuk
menetapkan bahwa apa yang dilakukan oleh
gerakan jihad adalah sebuah tindak kriminal
melalui PBB, akhirnya suatu gerakan jihad
dimasukkan ke dalam daftar organisasi teroris.
Kemudian mulailah pembekuan aset setiap pihak
yang membantu gerakan tersebut dan
mengkriminalkannya, mereka (para jihadis)
dipersempit geraknya, kemudian keluarlah
keputusan PBB untuk melancarkan serangan
militer dalam rangka membasmi mereka.
Dibentuklah koalisi militer untuk melawan jihadis.
Inilah cerita yang terus berulang terjadi pada
gerakan jihad. Namun, kesadaran politik yang
dimiliki oleh Jama’ah Libiyyah Muqatilah membuat
Barat tidak mampu melakukan hal yang serupa
kepada mereka.
Oleh karena itu, sekarang Barat tidak bisa
mencemarkan nama baik jihadis Libia melalui
media, sebagaimana mereka juga tidak bisa
mengeluarkan keputusan PBB melawan jihadis
Libia yang memungkinkan mereka membuat koalisi
militer. Inilah faedah dari Perang Gerilya Politik.
Perang Gerilya Politik membuat Barat tidak
berhasil menguasai sarana kekuasaan politik
(media, intelijen, tentara, dll) sebagaimana yang
Barat lakukan pasca-PD II. Sehingga hal itu
memaksa Barat untuk mengambil pilihan lain yang
bisa jihadis lawan secara politik, sebagaimana
jihadis mampu melawan mereka dalam perang
gerilya militer yang membuat Barat tidak bisa
menggunakan kemajuan teknologi nuklir mereka,
tidak bisa menggunakan kapal-kapal induk dan
tidak bisa menggunakan rudal balistik. Akhirnya
mereka akan mengambil pilihan serangan darat
yang bisa kita hadapi.9
Maka kemudian hadirlah strategi Usamah bin Ladin
untuk mewujudkan kondisi yang memungkinkan
jihadis untuk mengerahkan kekuatan mereka agar
Ide Perang Gerilya Politik
Menurut pengakuan Abdullah bin Muhammad,
pada dasarnya Perang Gerilya Politik hadir untuk
menanggulangi permasalahan yang sama
sebagaimana yang disarankan oleh Usamah Bin
Ladin terkait operasi mengetuk kepala ular sebagai
penganti dari strategi perang yang berkepanjangan
melawan rezim penguasa yang terus berlangsung
selama periode 70an, 80an, dan 90an di Suriah, Al
Jazair dan Mesir, yang tidak menghasilkan apa-apa.
Karena pada saat itu gerakan-gerakan jihad
berkeyakinan untuk menyerang musuh terdekat.
Saat itu mereka tidak memahami hakikat hukum
internasional kecuali setelah itu.
9 Abdullah bin Muhammad, Hurub al-‘Ishabat as-Siyasiyyah, diakses di www.justpaste.it/jvxj
8
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
menghasilkan efek yang berlipat ganda, dan pada
saat bersamaan tidak memberi kesempatan
kepada musuh untuk menghancurkan mereka
dengan sekali perang. Kondisi ini (pasca-Perang
WTC) memperpanjang nafas jihadis karena mereka
tidak lagi berhadapan dengan satu negara, akan
tetapi jihadis dihadapkan pada koalisi internasional
selama satu setengah dekade. Perkembangan
dalam strategi saat itu merupakan produk Al-
Qaidah, bukan produk pihak lain.10
Sarana yang digunakan Barat tidak hanya kekuatan
militer, tetapi juga lembaga-lembaga PBB, media,
kekuatan ekonomi dan intelijen untuk melemahkan
negara yang melawan mereka dan mampu
membuat negara lain mendukung Barat. Di
samping itu, Barat juga akan senantiasa membuat
keadaan di negara lawan berada dalam kekacauan
internal dan senantiasa dalam krisis yang
berkepanjangan. Pada kondisi seperti ini,
Ide perang gerilya politik itu sendiri disebabkan
realitas perubahan drastis tatanan dunia sekarang
ini tentang konsep dan perspektif mendirikan dan
mendeklarasikan sebuah negara. Abdullah bin
Muhammad menulis bahwa, bentuk dan tanggung
jawab baru yang dimiliki pemerintah setiap negara
disertai dengan aturan-aturan dunia yang dikuasai
oleh Barat pasca kemenangan mereka dalam PD II
membuat mereka menemukan sarana baru untuk
menjatuhkan dan melemahkan negara-negara yang
melawan Barat.
10 Abdullah bin Muhammad, Ta’liq Muhimm Haula Maqal Hurub Al-‘ishabat As-Siyasiyyah, diakses dari www.justpaste.it/jwqs
perlawanan dan ketangguhan negara yang
berlawanan dengan Barat tergantung pada
kemampuan mereka dalam mengatasi krisis-krisis
yang ditimbulkan oleh Barat.
Kita melihat negara-negara komunis di Eropa Timur
runtuh tanpa adanya satu pun peluru yang
ditembakkan, akan tetapi lebih disebabkan oleh
tekanan rakyat sebagai buah dari kegagalan
ekonomi dan perang media yang dilakukan
Amerika. Adapun negara-negara lain seperti Kuba,
Iran, Korea Utara dan Sudan, mereka berhasil
mengamankan negara mereka dari keguncangan
keamanan dan ekonomi sehingga membuat
mereka berhasil bertahan dari embargo yang
dilakukan oleh negara regional dan internasional.
Adapun negara-negara lainnya seperti negara-
negara yang didirikan jihadis di Afganistan,
Chechnya, dan Somalia dengan mudah
dihancurkan karena karena tidak memiliki daya
tahan militer dan politik yang kuat.11
Dalam menjelaskan perubahan drastis tatanan
internasional tersebut, Abdullah bin Muhammad
menyebutkan bahwa sebelum AS memasuki
kancah PD, dewan penasihat khusus (US State
Departement—edt) telah menyelesaikan sebuah
laporan yang panjang terkait tujuan perang yang
wajib AS berlakukan bagi negara sekutunya pasca
perang. Dewan penasihat merekomendasikan
berdirinya PBB untuk menentukan pihak-pihak
mana yang diterima dan ditolak dalam setiap
kejadian. Dewan juga merekomendasikan
11 Abdullah bin Muhammad, Hurub al-‘Ishabat as-Siyasiyyah, diakses di www.justpaste.it/jvxj
9
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
berdirinya Dewan Keamanan sebagai alat monopoli
perang yang sah. Juga, Bank Dunia dan IMF untuk
mengendalikan perekonomian dunia.
Inilah lembaga-lembaga yang menjamin kekuasaan
Barat atas dunia. Maka tidak ada sebuah negara
baru yang berdiri kecuali telah mendapat
persetujuan dari PBB agar diterima oleh negara lain
sehingga bisa membuka kedutaan di negara lain
dan diakui kedaulatannya oleh negara lain. Jika ada
sebuah negara yang menyerang negara lain maka
Dewan Keamanan PBB akan mengeluarkan izin
bagi dunia internasional untuk menghukum negara
tersebut secara militer. Sebagaimana yang terjadi
di Irak saat menyerang Kuwait, Perang Kosovo, dan
perang-perang lainnya.
Negara manapun yang berusaha meraih nuklir atau
membantu terorisme maka akan diembargo secara
ekonomi hingga nantinya tunduk kepada Bank
Dunia seperti yang terjadi pada Iran dan Korea
Utara. Pada kondisi tertentu mata uang mereka
bisa saja dieliminasi nilainya oleh IMF.12
Bersamaan dengan runtuhnya Uni Soviet pada
akhir dekade ‘80-an maka berakhir pula Perang
Dingin I sehingga jadilah AS sebagai satu-satunya
negara adidaya di dunia yang menjadikan AS
memiliki 700 peleton pasukan militer di seluruh
wilayah dunia. Akan tetapi, hal itu tidak
berlangsung lama. Amerika terkuras energinya
dalam perang melawan Al-Qaidah di Afghanistan
dan Irak dekade yang lalu. Perang ini mampu
12 Ibid.
menggetarkan kewibawaan politik dan militer
Amerika.
Kekalahan Amerika ini menjadi sebab utama krisis
moneter yang menimpanya. Hal ini berbarengan
dengan meningkatnya perekonomian Cina dan
Rusia yang mulai menggeliat. Fenomena ini seolah
mengembalikan keseimbangan kekuatan dunia
yang dengannya berakhirlah dominasi Amerika
yang hanya mampu bertahan selama 20 tahun.
Rusia kembali menggunakan hak vetonya melawan
berbagai kebijakan AS di Dewan Keamanan.
Padahal, dalam rentang waktu 20 tahun yang
lalu—pasca runtuhnya Uni Soviet—ketika masih
lemah, Rusia sama sekali tidak mampu melawan
kehendak AS. Namun, sekarang Angkatan Laut
Rusia sudah kembali mengarungi berbagai
samudera.
Rusia kembali bersikap laksana kekuatan
superpower seperti sebelumnya yang menjadikan
Rusia semakin menjalin kekuatan dengan sekutu-
sekutunya seperti Iran, Suriah, Ukraina, dan Serbia.
Keadaan ini menandakan bahwa secara resmi
dunia telah memasuki Perang Dingin II.
Perkembangan sains yang pesat pada abad lalu
membuat fungsi dan tugas negara-negara berubah,
baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dahulu
negara hanya bertanggung jawab menjaga
keamanan rakyatnya, keamanan negara,
memutuskan sengketa, dan mengambil pajak.
Adapun hari ini negara bertanggung jawab atas
semua hal. Bisa kita lihat bagaimana tingginya
10
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
tingkat pengangguran di negara-negara Eropa
dibebankan kepada negara. Kondisi ini tentunya
berbeda di antara negara-negara Eropa tergantung
perkembangan sain dan tabiat hukum yang berlaku
di negara yang bersangkutan. Poinnya adalah tugas
pemerintah berbeda antara dulu dan sekarang
dikarenakan perubahan yang terjadi pada
kebutuhan-kebutuhan rakyat. Makanan, obat-
obatan, senjata, listrik, bahan bangunan, dan
bahan bakar merupakan komoditi pokok yang
untuk mendapatkannya harus menjalin
kesepakatan dengan negara-negara lainnya.
Kesepakatan-kesepakatan ini tergantung kepada
kemampuan suatu pemerintahan dalam mengatur
kesepakatan tersebut agar tidak bertentangan
dengan kepentingan negara-negara besar yang
menguasai Bank Dunia, IMF dan WTO (World Trade
Organization). Ketersediaan kekayaan alam seperti
minyak dan barang tambang pada sebuah negara
bukanlah jaminan suatu negara menjadi makmur
dan pemerintahnya sukses. Karena dominasi
negara-negara Barat terhadap hukum internasional
membuat mereka mampu membuat negara yang
kaya akan hasil alam menjadi miskin dan terus
berada dalam permasalahan ekonomi dan politik,
sebagaimana yang mereka lakukan kepada Sudan.
Sudan memiliki sumber minyak, dialiri Sungai Nil,
berada di sepanjang laut, memiliki lahan-lahan
pertanian, dan berbagai kekayaan lainnya yang
mampu membuat Sudan lebih maju. Namun,
karena diperintah oleh kubu islamis akhirnya Barat
memberikan sanksi ekonomi kepada Sudan.
Dengan alasan Sudan menampung Usamah bin
Ladin dan Aiman Azh-Zhawahiri mensponsori
perang saudara dan mendukung pemisahan Sudan
Selatan. Oleh karena itu, sampai saat ini Sudan
masih berada dalam krisis.
Hal yang sama juga terjadi pada Irak, Kuba, Iran,
dan Korea Utara. Pada setiap negara tersebut,
Barat senantiasa menghalangi kesuksesan mereka
agar Barat bisa menundukkan negara-negara
tersebut. Dan perlawanan yang dilakukan oleh
negara-negara tadi berbeda sesuai dengan kondisi
politik internasional. Saat dunia masih dikuasai dua
negara adidaya, negara-negara tadi mampu
bertahan dengan baik. Akan tetapi, setelah AS
mendominasi, keadaan negara-negara tadi menjadi
semakin sulit. Maka kita bisa saksikan bagaimana
Goerge W. Bush dengan pongahnya berkata,
“Bersama kami atau bersama teroris” dan dengan
seenaknya dia melancarkan perang tanpa
persetujuan Dewan Keamanan PBB karena dia tahu
tidak akan ada negara yang mampu menentang
kebijakan mereka.
Pasca runtuhnya dominasi AS dan kembalinya
keseimbangan kekuatan dunia dan penolakan
pemerintah AS untuk turun perang lagi pasca
terkurasnya energi mereka melawan Al Qaida,
serta ditambah efek krisis moneter yang menimpa
AS membuat mereka tidak mampu bergerak
(perang) sendirian. Dengan begitu kestabilan
negara-negara yang menjadi musuh AS meningkat.
Tentunya peningkatan ini sesuai keadaan masing-
masing.
11
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Diskusi Perang Gerilya Politik: Kritik dan Apresiasi
Ide Perang Gerilya Politik yang disampaikan
Abdullah bin Muhammad dengan bahasa yang jelas
dan gamblang tersebut menjadikannya sebagai
bahan diskusi dan perdebatan antara banyak
pemikir, terkhusus ulama jihadis.
a. Tanggapan dan Kritik Abu Qatadah Al-
Filishthini (Ideolog Jihadi Terkemuka)
Abu Qatadah Al-Filishthini misalnya. Hanya
berselang satu hari setelah diutarakannya wacana
tersebut oleh Abdullah bin Muhammad, ia
langsung memberikan tanggapan dan kritik yang
lumayan panjang atas ide Perang Gerilya Politik
tersebut. Umumnya, Abu Qatadah sependapat
dengan Abdullah bin Muhammad mengenai
adanya perubahan drastis politik tatanan dunia
mengenai pendirian dan pendeklarasian negara
modern. Di mana sebuah negara tidak mungkin
bisa terlepas dari tatanan dan hukum tersebut.
Abu Qatadah juga sepakat bahwa perang
merupakan bagian dari politik dan tidak
semestinya gerakan jihad hanya terfokus pada
perlawanan militer tanpa pernah memperhatikan
perlawanan politik. Namun, pemikir jihadi tersebut
tidak sependapat dengan Abdullah bin Muhammad
bahwa para komandan gerakan jihad dewasa ini
mengabaikan peran politik tersebut. Menurutnya,
anggapan bahwa sikap gerakan jihad dewasa ini
terhadap politik tidak jauh berbeda dengan sikap
gerakan jihad terdahulu adalah sebuah kekeliruan.
Gerakan jihad Al-Qaidah pasca-Perang Afghanistan,
misalnya, telah berusaha dengan segenap daya dan
upaya yang mereka miliki untuk sampai pada
tujuan mereka, yang salah satunya adalah dengan
mengadakan aliansi dengan Taliban.13
Kritik utama Abu Qatadah terhadap wacana
Abdullah bin Muhammad terletak pada aspek
aplikasi dari teori Perang Gerilya Politik, bukan
pada tataran konsep dan teorinya. Untuk itu, poin
pertama berkaitan landasan teori (ta’shil) yang
disebutkan oleh Abu Qatadah untuk wacana dan
ide apa pun adalah kemungkinan wacana atau ide
tersebut untuk diaplikasikan, bukan sekadar
wacana dan ide yang muluk dan indah, namun
tidak mungkin diaplikasikan di lapangan. Atas dasar
ini, Abu Qatadah menilai bahwa mendirikan
sebuah negara—meski dengan mendeklarasikan
secara resmi bahwa syariat Islam sebagai satu-satu
sumber hukum melalui jalan demokrasi (partai dan
pemilu)—merupakan sesuatu yang hampir
mustahil untuk terealisasi. Ini karena demokrasi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem hegemoni tatanan internasional, yang ia
istilahkan dengan Manzhumah Hukm Al-Jahiliyyah
Al-Kulli (tatanan hukum jahiliyyah yang
universal).
14
Poin kritik Abu Qatadah berikutnya adalah
mengenai eksperimen jihadi Libya yang dijadikan
sebagai model aplikasi teori Abdullah bin
Muhammad. Bagi Abu Qatadah, sebelum
13 Baca Abu Qatadah Al-Filishthini, Ta’qib Asy-Syaikh Abi Qatadah ‘ala Maqal Hurub Al-‘Ishabat As-Siyasiyyah, dapat diakses di www.justpaste.it/jvw0 14 Ibid.
12
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
terjadinya Arab Springs, penyebab utama
kegagalan gerakan jihad terdahulu dalam
membentuk sebuah negara bukanlah karena
komandan jihad mengabaikan aspek politik, namun
lebih kepada rapat dan tidak adanya celah dari
tatanan hukum internasional yang bisa
dimanfaatkan oleh gerakan jihad.
Berbeda ketika kondisi pasca Arab Springs di mana
terbuka lobang yang besar yang bisa dimanfaatkan
gerakan jihad untuk memainkan peran politiknya.
Oleh sebab itu, Abu Qatadah masih
mempertanyakan dan meragukan mengenai
keberhasilan Perang Gerilya Politik Jama’ah
Libiyyah Muqatilah yang dijadikan model oleh
Abdullah bin Muhammad.
Pertanyaan Abu Qatadah adalah, “Apa standar
keberhasilan Jama’ah Libiyyah Muqatilah?” Ia
menyimpulkan bahwa standar keberhasilan
mereka menurut Abdullah bin Muhammad adalah
keberhasilan mereka dalam membangun koalisi di
bawah naungan atau payung legalitas yang bisa
diterima syariat (at-tahaluf tahta saqfi syar’iyyin
maqbul). Sebagaimana diketahui bahwa kaolisi
berarti bersekutu, yaitu adanya sekutu dari pihak
lain selain gerakan jihad. Lantas siapa pihak lain
tersebut?
Abu Qatadah menjelaskan bahwa pasca mulainya
revolusi demi revolusi dan masuknya para jihadis
ke dalam jihad yang lebih luas (jihad bersama
rakyat) dan tidak lagi melakukan jihad terbatas,
beliau terus berpikir akan pertanyaan yang sulit
untuk ditemukan jawabannya. Pertanyaan tersebut
ialah bagaimana jihadis bisa bersinergi dengan
jama’ah islamis (non jihadi) yang lain, yaitu
Ikhwanul Muslimin, karena mereka yang paling
besar.
Apabila dikatakan, “Jika salafi jihadi pernah
mengalah dengan kesalafian mereka dan
bergabung dengan Taliban yang notabene Hanafi,
Deobandiyah, dan Maturidi untuk mewujudkan
tujuan jihad, maka kenapa tidak mengalah dengan
hal yang tingkat prinsipnya lebih rendah dari hal di
atas dengan berkoalisi dengan Ikhwanul Muslimin
(IM)?” Jawabannya adalah karena IM bukanlah
gerakan jihad. Di Yaman yang mana para Jihadis
bisa bergabung bersama kabilah-kabilah (rakyat)
tanpa adanya embel-embel apapun kecuali embel-
embel Ahlus Sunnah, sementara IM tidak andil
sedikitpun (dalam jihad Yaman).
Jika ada pernyataan bahwa “Inilah contoh koalisi
dengan IM yang berhasil di Libya”. Hal itu dapat
dibantah bahwa tokoh-tokoh mazhab Malikiyah
telah berkoalisi dengan Khawarij melawan Syi’ah
Ubaidiyah. Khawarij pasca kejadian tersebut malah
membunuh Ahlu Sunnah.
Marilah kita lihat sejauh mana para politikus
mampu bertahan bergandengan tangan dengan
jihadis yang tujuannya adalah memukul kepala ular
kekufuran dan ingin menegakkan hukum yang
hanya miliki Allah. Dari sanalah, Abu Qatadah
lantas berkesimpulan bahwa sejauh kajian yang
dilakukannya, beliau melihat hal terbesar yang
paling merusak pergerakan Islam (pergerakan
13
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Islam, bukan hanya gerakan jihad) adalah berkoalisi
dengan pihak-pihak jahiliah.
Abu Qatadah juga menilai, pendapat bahwa koalisi
mampu mencegah campur tangan asing,
merupakan analisa yang tidak sempurna. Kita lihat
bagaimana Mesir ikut campur tangan dengan
begitu jelas. Maka koalisi tidak mencegah campur
tangan pihak luar. Justru keputusan Mahkamah
Konstitusi membuat mereka bingung lebih dari
kebingungan mereka terhadap koalisi itu sendiri.
Tidak adanya dukungan rakyat juga memiliki
peranan yang sangat besar dalam menghancurkan
gerakan Islam. Atas dasar tersebut, Abu Qatadah
berkesimpulan bahwa contoh yang diberikan
Abdullah bin Muhammad tidaklah cocok.15
Solusi yang disarankan Abu Qatadah untuk
mendirikan negara sebagaimana yang dicita-
citakan jihadis adalah melalui aktivitas jihad
dengan pemahamannya yang benar (jihad
merupakan bagian dari langkah politik, hanya
sarana bukan tujuan) sesuai dengan syariat. Hanya
cara itulah yang bisa mengantarkan jihadis pada
tujuan mereka yaitu untuk meruntuhkan
lingkaran kekafiran dan kejahiliahan. Sehingga
aspek apa pun itu, baik politik, harta, serta
persatuan dan dukungan rakyat, merupakan
elemen untuk memperkuat tujuan tersebut.
16
15 Ibid. 16 Ibid.
b. Tanggapan dan Kritik Sami Al-Uridi
(Penanggungjawab Umum Dewan Syariah
Jabhah Nushrah)
Kritikan terhadap wacana Perang Gerilya Politik
juga disampaikan oleh Dr. Sami Al-Uridi yang
merupakan penanggung jawab umum Dewan
Syariah Jabhah Nushrah. Sebagaimana Abu
Qatadah, Al-Uridi tidak mengkritik kerangka
konsep dan teori Perang Gerilya Politik, namun
lebih kepada aplikasi riil Perang Gerilya Politik. Al-
Uridi menilai bahwa bentuk aplikasi Perang Gerilya
Politik yang dijadikan model oleh Abdullah bin
Muhammad (ijtihad masuk dalam sistem
demokrasi dengan tetap membangun kekuatan
militer) lebih dekat kepada sekedar berlindung
(tatarrus) pada saat berkecamuknya perang politik
dibanding Perang Gerilya Politik itu sendiri.
Secara politik, menurut Al-Uridi, hari ini –
berdasarkan realita kondisi kontemporer-
merupakan fase memunculkan benih-benih
pemikiran yang lurus (al-fikr as-salim) beriringan
dengan aktivitas pergerakan yang juga lurus (‘amal
haraki salim), yang tentunya di bawah pengawasan
para ahli ilmu dan ahli berpengalaman yang jujur.
Fase hari ini bukanlah fase berlindung (tatarrus)
dan bersembunyi (ikhtifa`). Ini berarti bahwa hari
ini merupakan fase pergulatan pemikiran dan fisik,
juga fase pergulatan pemikiran dan pergerakan.
Umat belum pernah melewati fase yang lebih
membutuhkan penjelasan, ketegasan, dan
keterusterangan, baik secara pemikiran dan
pergerakan, seperti pada fase hari ini.
14
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Untuk itu, Al-Uridi menegaskan bahwa yang kita
butuhkan hari ini adalah menyatakan dengan
argumentatif akan kejujuran dan kebenaran
dakwah kita, dengan bahasa yang paling lugas dan
jelas, dan dengan potret dan identitasnya yang asli
(ideologi, visi, misi, dan cita-cita), tanpa
meninggalkan satu pun ketidakjelasan. Namun cara
menjelaskan hal itu harus menyertakan kaidah-
kaidah dan pijakan-pijakan yang mampu
mengantisipasi terjadinya penyimpangan dan
penyelewengan di kemudian hari.17
Pada hemat Al-Uridi, ide penting yang seyogianya
dijelaskan secara gamblang, baik dengan bahasa
saran atau pun pendekatan teori, adalah
Hakimiyyah Asy-Syari’ah (syariat sebagai satu-
satunya sumber hukum), atau penegakan negara,
atau perbedaan antara manhaj pemegang
kebenaran dan orang yang sesat, atau persoalan
iman dan takfir, persoalan menyelesaikan
persengketaan, dan persoalan membangun koalisi,
juga membuat piagam dan perjanjian. Terkhusus
berkaitan dengan Hakimiyyah Asy-Syari’ah
tersebut, Al-Uridi menekankan akan urgennya
menjadikan hal itu persyaratan dalam setiap
langkah dan di setiap fase. Bahkan Al-Uridi
menyebutkan bahwa jelasnya persoalan ini dalam
setiap fase dan langkah merupakan metode Al-
Qur`an dan As-Sunnah.
18
Adapun mengenai usulan Abdullah bin Muhammad
untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu sebagai
17 Berkaitan dengan tanggapan dan kriti Dr. Sami Al-‘Aridi ini dapat diakses di www.justpaste.it/jxc9 18 Ibid.
bagian dari strategi Perang Gerilya Politik, Al-‘Aridi
merasa keberatan atas usulan itu. Karena
menurutnya, bagi jihadis terkhusus Al-Qaidah,
persoalan ikut berpartisipasi dalam pemilu yang
berada di bawah payung demokrasi dan
perundangan-undangan kontemporer merupakan
suatu yang sudah final. Yaitu, tidak masyru’nya
jalan tersebut, selain juga telah terbukti gagal
bertahan ketika berhadapan dengan serangan
politik dan militer pihak lawan, sebagaimana yang
diterangkan oleh Usamah bin Laden dalam banyak
kesempatan.19
Untuk menemukan metode yang paling solutif
dalam membangun negara, Al-‘Aridi mengusulkan
bahwa sangat diperlukan adanya pembahasan
kolektif dan juga bukti aktivitas kolektif nyata yang
berdasarkan landasan teori yang mapan. Di mana
hal itu dilakukan oleh kumpulan-kumpulan para
ahli ilmu dan para ahli berpengalaman yang jujur,
tentunya setelah mereka melakukan musyawarah
dan studi mendalam untuk menentukan solusi
syar’i yang paling tepat.
20
c. Tanggapan dan Kritik Thariq Abdul Halim
(Pengamat Pergerakan Jihad)
Tokoh lain yang juga menanggapi dan memberikan
kritikannya pada wacana Perang Gerilya Politik
adalah Dr. Thariq Abdul Halim salah seorang
pengamat pergerakan jihad yang terpandang dan
berhubungan dengan tokoh-tokoh jihad
19 Ibid. 20 Ibid.
15
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
internasional. Dalam membangun landasan
kritiknya, Thariq Abdul Halim mengingatkan
bahwa, bagi seorang pengamat terhadap wacana
dan ide apa pun semestinya mengetahui realita
secara benar dan sempurna, juga secara mendetail
dan tidak secara global atas persoalan tertentu.
Selain itu, seorang pengamat juga harus
memperhatikan maqashid (tujuan-tujuan) Syariat.
Wacana dan ide yang diusulkannya tidak sebatas
hanya pada legalitas dari wacana dan ide tersebut,
namun juga berdasarkan efek dan akibat yang akan
ditimbulkan dari ide tersebut.21
Berkaitan persoalan mendeklarasikan negara,
menurut Thariq Abdul Halim, secara syar’i
hukumnya tidaklah wajib. Bahkan ia berpendapat
bahwa mendeklarasikan negara sebelum
memenuhi seluruh persyaratannya tidak akan
menghasilkan suatu kebaikan.
22
Pertama, hal itu tertolak secara syar’i dan realita.
Menurutnya, adanya niat awal untuk masuk ke
dalam parlemen merupakan suatu yang tidak sah
(diperbolehkan) kecuali demi merealisasikan
tujuan (untuk membangun negara Islam) dan
memiliki kemampuan untuk menjamin
diberlakukannya syariat. Diberlakukannya syariat
Adapun mengenai masuknya perwakilan dari
gerakan-gerakan jihad ke dalam sistem demokrasi
demi membangun payung legalitas gerakan jihad
mereka, menurut penilaian Thariq Abdul Halim:
21 Thariq Abdul Halim, Harb Al-‘Ishabat fi Majal As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, http://tariqabdelhaleem.net/new/Artical-72859 [diakses pada 30/04/2015] 22 Ibid.
yang dimaksud bukan sekedar penerapan hudud
(pidana Islam), namun memberlakukan syariat
sebagaimana yang tercantum dalam teks-teks
syar’i dan juga yang ditetapkan oleh kaidah-kaidah
syariat baku.
Kedua, asumsi bahwa bahwa politik dan perang
memungkinkan untuk berjalan beriringan
merupakan kesalahpahaman terbesar dari usulan
Perang Gerilya Politik. Ini karena aktivitas politik
akan seketika berhenti tatkala peluru pertama
meletus, demikian juga bahwa letusan-letusan
peluru tersebut akan seketika berhenti manakala
diatur meja perundingan politik. Hal ini merupakan
filosofis yang dipegang oleh Barat tanpa terkecuali.
Untuk itulah, mereka rela berkorban untuk tidak
melakukan perundingan dengan kelompok yang
mereka cap sebagai teroris, yaitu kelompok yang
mengacungkan senjata pada mereka, meski
kelompok tersebut ikut terlibat di parlemen.23
Selain itu, Thariq Abdul Halim juga menyangsikan
keberhasilan Jama’ah Libiyyah Muqatilah dalam
melakukan Perang Gerilya Politik. Ia berpandangan
bahwa terjadinya chaos di Libya hari ini
menjadikannya sebagai negara yang gagal. Ini
disebabkan tidak adanya pasukan militer yang riil
di sana. Atau dapat dikatakan juga bahwa
kumpulan dari Konferensi Nasional telah berhasil
menginfiltran pasukan militer tersebut. Lebih dari
itu, menurut penilaiannya, Barat bahkan langsung
sukses menggagalkan proyek mereka melalui
23 Ibid.
16
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
milisi-milisi Haftar dan juga melalui parlemen
Libya.24
Tharib Abdul Halim yakin bahwa menggalang
dukungan dari umat merupakan salah satu metode
dalam menghadapi rezim-rezim. Yaitu dengan
mengikutsertakan umat dalam menghadapi
mereka. Karena umatlah bahan bakar sebenarnya
kekuatan politik tersebut.
25
d. Tanggapan dan Apresiasi Abu Muhammad
Ash-Shadiq (Penanggungjawab Umum
Dewan Syariah Ahrar Asy-Syam)
Sebagai lazimnya sebuah wacana dan ide baru,
selain adanya berbagai kritik, Perang Gerilya Politik
juga menuai apresiasi dari beberapa ulama jihadis.
Abu Muhammad Ash-Shadiq yang merupakan
penanggung jawab umum Dewan Syariah Ahrar
Asy-Syam memuji wacana Abdullah bin
Muhammad tersebut sebagai isyarat penting akan
perlunya bagi gerakan jihad untuk terbiasa dalam
menghadapi berbagai perubahan kondisi dan
peluang dengan melalui macam cara dan strategi
dalam mengantisipasi dan melakukan manuver
atas perubahan tersebut.
Abu Muhammad Ash-Shadiq mengingatkan para
komandan dan aktivis gerakan jihad untuk tidak
lemah dalam siyasah syar’iyyah. Menurutnya,
dasar utama siyasah tersebut adalah tidak adanya
penyimpangan terhadap syariat untuk
24 Ibid. 25 Ibid.
mewujudkan Maqashidusy Syari’ah dan
mengamalkan hal-hal yang didiamkan (tidak
disebutkan hukumnya secara tegas) oleh syariat
demi tercapainya tujuan. Ia berpendapat bahwa
siyasah syar’iyyah termasuk di dalamnya segala
sesuatu yang mubah yang dilakukan rakyat
walaupun syariat tidak menyebutnya secara
langsung. Tentunya selama hal tersebut dekat ke
maslahat dan jauh dari mafsadat.
Atas dasar ini, ia menilai bahwa orang yang tidak
mengindahkan fiqih muwazanah (menimbang
antara maslahat dan mafsadat) maka ia akan
menyelisihi syariat tanpa ia sadari. Selain sudah
pasti ia akan mengalami kegagalan, kemudian
secara tidak langsung ia menghalangi orang lain
dari jalan Allah, sementara dia berkeyakinan
bahwa dia telah berbuat baik.26
Sayangnya, Abu Muhammad Ash-Shadiq tidak
mengomentari mengenai bentuk aplikasi dari
Perang Gerilya Politik yang dijadikan sebagai model
oleh Abdullah bin Muhammad, yaitu berupa ijtihad
masuk dalam sistem demokrasi dengan tetap
membangun kekuatan militer. Terkhusus terkait
sejauh mana keberhasilan dan efek eksperimen
Jama’ah Libiyyah Muqatilah dalam Perang Gerilya
Politik mereka. Ini mengingat bahwa krisis Libya
termasuk persoalan yang menjadi perhatian
internasional. Selain itu, ia belum menyebutkan
kaidah mengenai dengan siapa saja gerakan jihad
memungkinkan untuk melakukan koalisi demi
mewujudkan tujuan mereka.
26 Untuk lebih mendalami tanggapan Abu Muhammad Ash-Shadiq, silakan akses www.justpaste.it/ShounIstratijia
17
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
e. Tanggapan dan Apresiasi Abu Mariya Al-
Qahthani (Mantan Dewan Syariat Jabhah
Nushrah)
Tanggapan dan apresiasi yang juga tak kalah
penting adalah apa yang disampaikan oleh Abu
Mariya Al-Qahthani. Sosok yang dianggap sebagai
orang kedua Jabhah Nushrah tersebut menilai
bahwa pada dasarnya artikel Perang Gerilya Politik
tidak memerlukan tambahan komentar-komentar
konseptual atau pun kritik-kritik yang dikaitkan
dengan partai atau gerakan tertentu, namun yang
dibutuhkan adalah dukungan landasan teori syar’i
atas ide dan pendekatan tersebut, dan ditambah
dengan batasan-batasan dari kaidah-kaidah syar’i
setelah menjelaskan hukum syar’i dari ide
tersebut.
Menurutnya, secara substansi, ide Perang Gerilya
Politik yang dikemukakan oleh Abdullah bin
Muhammad hampir mirip dengan pendekatan Abu
Qatadah Al-Filishthini. Untuk itulah, agar nilai
artikel tersebut bertambah, ia menyarankan
kepada Abdullah bin Muhammad untuk
memberikan batasan-batasan ide Perang Gerilya
Politik tersebut sesuai dengan apa yang ditetapkan
oleh syariat.27
Dari pemaparan wacana dan ide Perang Gerilya
Politik beserta tanggapan, komentar, kritik dan
apresiasi atasnya, perlu kembali ditegaskan di sini
bahwa, Abdullah bin Muhammad tidak sedang
27 Tanggapan Abu Mariya Al-Qahthani ini dapat diakses pada alamat www.justpaste.it/jzi2
menyarankan gerakan-gerakan jihad untuk
meninggalkan sifat jihadi mereka lalu berpaling
pada politik praktis, yaitu ikut berpartisipasi dalam
pemilu. Ikut serta dalam pemilu tersebut
menurutinya adalah sebagai bentuk strategi
tambahan -bukan pokok- bagi jihadis setelah
mereka mampu memiliki kemapanan militer dan
mampu memenangkan hati dan pikiran umat
Islam. Sehingga dengan demikian jihadis memiliki
kemampuan bertahan yang lebih besar, yaitu
militer, dukungan umat, dan legalitas politik untuk
menentukan arah kebijakan negara yang baru
terbentuk.
Namun, sebagaimana lazimnya sebuah wacana
dan ide baru, sebelum diterapkan, wacana dan ide
tersebut harus dimatangkan terlebih dahulu, yang
dilakukan oleh para ulama, ahli ilmu, ahli
berpengalaman, dan komandan lapangan yang
jujur. Demikian itu adalah untuk meninjau sejauh
mana wacana dan ide tersebut selaras dengan
syariat (dilakukan oleh ulama yang jujur),
memungkinkan untuk diaplikasikan (dilakukan oleh
komandan lapangan yang jujur), dan juga pengaruh
positif atau negatif akibat diaplikasikannya wacana
dan ide tersebut (dilakukan oleh ahli
berpengalaman yang jujur). Paling tidak, adanya
wacana dan ide Perang Gerilya Politik ini
diharapkan mampu menggerakkan ulama, ahli
berpengalaman, dan komandan lapangan untuk
bisa duduk bersama guna membahas dan
mendalaminya, serta membuahkan sebuah solusi
paling tepat.
18
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Kesimpulan
Wacana dan ide konsep Perang Gerilya Politik
merupakan usaha untuk mengembalikan prosedur
standar untuk menghadapi kekuatan tatanan
hukum internasional. Selain juga untuk
mengembalikan dan memberikan kesadaran pada
aliran jihadi untuk memanfaatkan ruang-ruang dan
celah-celah politik di wilayah yang di sana mereka
unggul dalam aspek militer dengan strategi perang
gerilya mereka. Wacana dan ide itu hadir setelah
adanya usaha Barat menyerang secara gerilya
melalui drone di wilayah-wilayah yang dikuasai
oleh jihadis setelah mereka mengumumkan
berdirinya sebuah negara, sehingga menimbulkan
banyak korban dari mereka. Meski perlu
dimatangkan terlebih dahulu, tak dipungkiri
bahwa, konsep Perang Gerilya Politik telah
memberikan tambahan pembendaharaan dan
strategi alternatif bagi tatanan pemikiran, strategi,
dan poltik bagi gerakan-gerakan jihad. Jadi, jika
konsep tersebut bisa dimatangkan kemudian
ditetapkan dan diaplikasikan dalam setiap proses
pembuatan keputusan gerakan jihad, maka akan
terwujudlah keharmonisan dan sinergi aktifitas
jihad di dunia yang tampak pada kedinamisan baru
dalam perubahan dan manuver mereka. Namun
untuk menuju ke arah itu diperlukan suatu proses.
Lama tidaknya proses tersebut tergantung sejauh
mana gerakan jihad mampu mensinergikan antara
Sunnah Syar’iyyah dan Sunnah Kauniyyah menjadi
kerangka dalam seluruh pemikiran dan aktifitas
mereka.
Rasulullah telah menjanjikan akan kembalinya fase
Khilafah ‘ala Manhaj An-Nubuwwah bagi umatnya,
setelah ia hilang tergantikan oleh fase-fase lain. Hal
itu merupakan fase di mana akan kembalinya Islam
sebagai sistem yang menghegemoni dunia
sebagaimana yang terjadi pada era Khulafa`
Rasyidin. Sebagaimana diketahui bahwa Khilafah
‘ala Manhaj An-Nubuwwah pertama merupakan
hasil dari kesepakatan dan persatuan umat Islam
pada saat itu yang berdasarkan prinsip-prinsip
Islam yang baku. Lantas, apakah dengan adanya
wacana dan ide Perang Gerilya Politik merupakan
di antara proses untuk lahirnya wacana dan ide
baru yang mampu mempersatukan umat Islam
tanpa terkecuali? Wallahu A’lam. (Ali Sadikin)
19
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Memahami Konflik Libya
Ansharusy Syariah sebagai Pemain Kunci
Konflik Libya—yang diistilahkan oleh beberapa
media sebagai perang saudara (civil war)—
adalah konflik bersenjata yang sedang
berlangsung antara kubu islamis Libya dan
lawan-lawan politik mereka dari kubu sekuler
sejak 2014. Dari sisi politik, golongan penerus
rezim Qadzafi bisa dibedakan menjadi dua
kelompok utama: golongan nasionalis yang
ingin menjadikan Libya sebagai negara sekuler
dan golongan islamis yang ingin mengubah
negara menjadi negara yang berbasis Syariah.
Kedua golongan ini masing-masingnya juga
bisa dibedakan lagi menjadi golongan sentralis
(yang menginginkan agar pemerintah pusat
memiliki kontrol kuat ke daerah) dan golongan
federalis (yang menginginkan otonomi luas di
daerah).
Faktor politik bukanlah faktor satu-satunya yang
menyebabkan perpecahan antargolongan di Libya.
Faktor sentimen kesukuan dan kedaerahan juga
menjadi penyebab lain dari perpecahan di mana
ketika terjadi sengketa dan konflik, maka pihak-
pihak yang terlibat di dalamnya cenderung
menempatkan kepentingan suku dan daerahnya
sendiri sebagai prioritas. Dikombinasikan dengan
begitu bebasnya peredaran senjata di Libya dan
masih lemahnya penegakan hukum dan
pemerintahan sipil yang efektif di Libya pasca
perang penggulingan Qadzafi (2011). Libya pun
menjadi negara yang dipenuhi oleh kelompok
bersenjata sehingga situasi keamanan di sana
menjadi tidak menentu.
Tahun 2012, Libya sempat berhasil menyusun
pemerintahan usai digelarnya pemilu parlemen
pada bulan Juli di tahun yang sama. Parlemen hasil
pemilu tersebut oleh media-media asing dikenal
dengan nama Kongres Nasional Umum (GNC;
General National Congress) dan keanggotaannya
didominasi oleh golongan Islamis. Namun, selama
GNC berkuasa, muncul rasa tidak puas dari kubu
militer Libya karena GNC dituduh lebih memilih
untuk mempersenjatai kelompok-kelompok milisi
Islamis daripada memperbarui alutsista dan
meningkatkan kesejahteraan tentara. Rasa tidak
suka terhadap gaya pemerintahan GNC juga
muncul dari golongan sekuler karena GNC
mencoba menerapkan syariat Islam ke seantero
Libya.
20
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Masa kerja GNC seharusnya berakhir pada tanggal
7 Februari 2014. Namun, dengan alasan GNC
belum berhasil merumuskan UUD/konstitusi baru
Libya akibat konflik antargolongan di parlemen,
GNC pun mengajukan perpanjangan masa tugas.
Gagasan ini pun menuai aksi protes dari golongan
non-Islamis, termasuk Khalifah Haftar selaku salah
satu mantan petinggi militer Libya. Kubu militer
pun menganggap lawan politiknya gagal
mempertahankan otoritas mereka sebelum
mandat berakhir. Pada tanggal 14 Februari 2014,
Jenderal Khalifah Haftar memerintahkan
pembubaran GNC dan pembentukan komite
pemerintahan sementara untuk mengawasi
pemilihan umum yang baru. GNC menolak perintah
ini.
Konflik dimulai dua bulan kemudian, pada tanggal
16 Mei, ketika tentara yang setia kepada Jenderal
Haftar melancarkan serangan darat dan udara
besar-besaran (dengan nama kode Operasi
Martabat; Operation Dignity; 'Amaliyyah Al-
Karamah) terhadap kubu Islamis di Benghazi.
Haftar dan pendukungnya menjelaskan bahwa
Operasi Martabat adalah "pembenaran menuju
jalan revolusi" dan "perang terhadap terorisme".
Dua hari kemudian, pasukan Haftar berupaya
untuk membubarkan GNC di Tripoli supaya pemilu
yang baru bisa segera digelar. Tindakan ini oleh
kubu Islamis GNC dianggap sebagai upaya kudeta.
Ekskalasi konflik menghalangi upaya kelompok
islamis di GNC yang sejak awal menolak pemilu
baru. Pada tanggal 25 Juni 2014 terselenggara
pemilu yang bertujuan untuk mengangkat Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai pengganti GNC. Karena
pemaksaan agenda dan dominasi kubu sekuler,
kelompok islamis pun dipinggirkan dalam pemilu
tersebut kubu sekuler berhasil keluar sebagai
pemenang.
Namun, perlu diperhatikan bahwa pemilu tersebut
hanya diikuti oleh kurang dari 20% rakyat Libya
sebagai akibat dari kacaunya situasi keamanan dan
menurunnya antusiasme rakyat untuk
berpartisipasi. Lepas dari hal tersebut, pemilu
tetap disahkan secara sepihak serta para
pemenang diangkat menjadi anggota parlemen
yang baru sebulan sesudahnya. Parlemen inilah
yang diakui negara-negara Barat sebagai
pemerintahan sah Libya dan parlemen ini juga
mendapat dukungan dari kubu Haftar dan
pengikutnya.
Dibentuknya parlemen Libya yang baru tidak
disambut dengan baik oleh semua pihak. Kubu
Islamis di GNC menganggap pemilu yang menjadi
dasar pembentukan parlemen terbaru tidak sah
karena pemilu tersebut harusnya tidak digelar jika
pasukan pendukung Haftar tidak membubarkan
GNC secara paksa. Maka, golongan Islamis pun
membentuk parlemen tandingan dengan nama
New General National Congress (NGNC).
Untuk menggulingkan paksa parlemen baru Libya
lewat jalur militer, NGNC lalu menggelar operasi
militer tandingan dengan nama sandi Operasi Fajar
(Operation Dawn) pada 13 Juli 2014, di mana
kelompok-kelompok milisi islamis yang sehaluan
dengan NGNC menjadi ujung tombaknya. Konflik
21
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
semakin memuncak setelah pasukan islamis
melancarkan operasi yang berupaya menguasai
Bandara Internasional Tripoli. Gagal
mempertahankan bandara, mereka
menghancurkan sejumlah pesawat di landasan dan
membuatnya tidak bisa dioperasikan.
Sementara itu di Benghazi (kota terbesar di Libya
timur), operasi militer yang dilakukan pasukan
Haftar dimaknai sebagai perang melawan agama
oleh kelompok islamis. Maka, kelompok-kelompok
Islamis di Benghazi pun membentuk organisasi
koalisi baru yang bernama "Shura Council of
Benghazi Revolutionaries" (SCBR; Dewan Syura
Revolusioner Benghazi) pada bulan Juni 2014.
Dewan ini mendorong pembentukan pemerintahan
islami di Benghazi. Salah satu kelompok penyusun
SCBR adalah kelompok Ansharusy Syariah, di mana
kelompok tersebut tidak mengakui GNC karena
Ansharusy Syariah menolak paham demokrasi.
Kelompok inilah yang dituduh Amerika Serikat (AS)
sebagai jaringan Al-Qaidah dan terlibat dalam
serangan Benghazi 2012.
Perang Libya 2014–2015 banyak mengambil
tempat di pantai utara Libya karena di sanalah
kota-kota penting dan kilang minyak Libya
terkonsentrasi. Berikut ini peta yang
menggambarkan persebaran pengaruh dan kontrol
dari masing-masing pihak yang bertikai, menurut
tiga kategori kubu utama:
- kubu nasionalis sekuler;
- kubu Islamis pendukung parlemen NGNC;
- kubu Islamis lain yang mencakup Ansharusy
Syariah dan sekutunya.28
Sekilas rincian dari kubu-kubu yang bertikai adalah
sebagai berikut:
A. Pemerintah Sekuler Libya dan Para
Pendukungnya
Kubu ini menginginkan Libya menjadi negara
dengan sistem pemerintahan sekuler & memiliki
parlemennya sendiri di mana parlemennya baru
terbentuk pada bulan Agustus 2014 lalu. Sekarang
parlemen nasionalis bermarkas di Tobruk, timur
Libya, karena ibukota Tripoli dikuasai oleh kubu
islamis.
1. Libyan National Armed Forces (LNA) atau
Tentara Nasional Libya, baik dari elemen
angkatan darat, laut, dan udara. Sebagian
elemennya adalah mantan tentara yang
masih loyal kepada Qadzafi. Menurut data
bulan Oktober 2013, kekuatan angkatan 28 “Daftar Kelompok Bersenjata dalam Perang Libya 2014”, http://www.re-tawon.com/2014/11/daftar-kelompok-bersenjata-dalam-perang.html
22
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
bersenjata sempat mencapai 35.000
personel, tetapi kini diperkirakan hanya
mencapai 20.000 personel dengan
pengalaman tempur rendah. Sisanya
diperkirakan memihak rival dari kubu
islamis. Selaku KSAD adalah Kolonel
Abdurrazzaq Nadhuri, sedangkan KSAU
adalah Jenderal Shaqr Al-Jarusyi. Pasukan
ini mendapat dukungan penuh dari kubu
Khalifah Haftar. Mereka menjadi motor
utama Operasi Martabat.
2. The Petroleum Facilities Guard (PFG) atau
Pasukan Penjaga Instalasi Minyak Libya.
Sesuai namanya, pasukan ini melindungi
instalasi minyak yang dimiliki Libya.
Kekuatan tempur yang dimiliki 18.000–
21.000 orang, di mana 2.000 dari mereka
adalah militer terlatih. Pemimpin PFG
wilayah Timur adalah Kolonel Idris Abu
Khamada, yang juga bersekutu dengan
Pasukan Cyrenaica. Pasukan ini selain
memainkan peran sebagai penjaga instalasi
minyak Libya, juga mengatur ekspor impor
minyak ke luar Libya, di samping menghalau
para Islamis yang ingin merebut ladang
minyak.
3. Cyrenaica Self-Defence Force (CSDF) atau
Pasukan Bela Diri Cyrenaica di timur Libya.
Mereka memberikan loyalitasnya kepada
Jenderal Haftar dan ingin mendirikan
daerah otonomi federal di wilayah timur
Libya. Mereka memiliki dua divisi pasukan,
pasukan tempur dan pasukan penjaga
keamanan. Memiliki dewan transisi
pimpinan Ahmad Zubair As-Sanusi dan Biro
Politik pimpinan Ibrahim Jadhran, mantan
komandan PFG. Sedangkan pasukan
penjaga keamanannya dipimpin oleh
Kolonel Najib Al-Hassi. Berdasarkan data
bulan Oktober 2013, kekuatan CSDF
mencapai 17.500 personil.
4. Thunderbolt Special Force atau Pasukan
Khusus Ash-Sha’iqah. Merupakan unit
pasukan khusus yang berjumlah sekitar
3.000–5.000 personel yang dipimpin
Kolonel Wanis Boukhamda. Brigade ini
ditugaskan pemerintah Libya untuk
menjaga keamanan di Bengazhi pada era
GNC. Brigade ini terlibat pertempuran
dengan kelompok Ansharusy Syariah pada
akhir Juli 2014 dan gagal mempertahankan
wilayah Bengazhi.
5. Al-Zintan Revolutionaries' Military Council
(ZRMC) atau Brigade-Brigade Zintan.
Ideologi kelompok ini bercampur antara
nasionalisme dan kesukuan. Kelompok ini
terbagi menjadi tiga kekuatan tempur
utama:
a. Brigade Ash-Shawa’iq dengan kekuatan
mencapai 2.000 personil yang berseragam
sama dengan AD Libya dan dibekali dengan
senjata-senjata berat. Brigade ini berdiri
tahun 2011 dalam rangka memberi
perlindungan keamanan bagi para pejabat
pemerintah transisi dan lembaga di Tripoli.
23
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Pimpinannya adalah Isham Ath-Tharabulusi.
Sebagian besar elemennya berasal dari
suku Zintan yang berbasis di Tripoli.
b. Brigade Al-Qa’qa. Pasukan ini juga berdiri
di tahun 2011 dalam rangka menggulingkan
Qadzafi. Mereka mengklaim sebagai
brigade yang paling terorganisir dan terbaik
dengan sekitar 18.000 tentara. Brigade
pimpinan Utsman Mulayqitah ini
berideologi Nasionalis. Awalnya, dalam
konflik ini mereka berugas menjaga
keamanan pemerintah Libya. Namun,
dalam perjalanannya, mereka juga turut
bertempur melawan pasukan islamis,
termasuk dugaan penculikan para anggota
GNC.
c. Brigade Al-Madani. Brigade ini dipimpin
oleh Muhammad Ali Al-Madani di tengah-
tengah suasana konflik. Diperkirakan
kekuatannya sekitar 4.000 personil
sehingga membentuk total kekuatan
Brigade-Brigade Zintan hingga 24.000
pasukan.
6. Pihak Luar Negeri. Peran Mesir dan UEA
dalam konflik Libya tidak boleh diabaikan.
Saat pertempuran terjadi di Tripoli,
angkatan udara kedua negara tersebut
diduga kuat turut menyerang pejuang
islamis. Alasannya adalah dalam rangka
memerangi kelompok teroris di Libya.
B. Kelompok Islamis Pro NGNC dan Koalisinya
Kubu ini ingin mengubah Libya menjadi negara
Islam dan dianggap sebagai sayap militer tidak
resmi dari parlemen islamis NGNC yang sekarang
bermarkas di Tripoli. Selain dengan nama NGNC,
parlemen yang bersangkutan juga menyebut
dirinya dengan nama National Salvation
(Keselamatan Nasional).
1. LROR (The Libya Revolusioner Operation
Room). Kelompok ini menjadi backing bagi
pemerintah GNC yang berhasil digeser oleh
pemerintah Libya saat ini. Mereka berada di
bawah kendali Komandan Sya’ban Hadiyah
dan Adil Gharyani. Saat lengser, pemerintah
Libya menuding bahwa pasukan ini masuk
dalam daftar organisasi teroris. Pasukan ini
dibentuk dalam rangka menjaga ketertiban
dan keamanan wilayah Tripoli. Dalam
perjalanannya, mereka tidak hanya
beroperasi di Tripoli, namun meluas ke
daerah-daerah lain di Libya, termasuk
Bengazhi.
2. LSF (Libya Shield Force) atau Pasukan Perisai
Libya. Kelompok ini dianggap sebagai salah
satu yang terkuat di Libya. Pasukannya
terdiri dari 12.000 pejuang terlatih dan
1.200 kendaraan militer. Di samping itu,
kelompok ini juga aktif dalam misi sosial
dan dakwah. Mereka bekerja sama dengan
suku Misrata dalam Operasi Fajar untuk
menyerang Bandara Tripoli. Daerah operasi
kelompok ini meliputi Libya bagian barat,
tengah, dan timur. Libya Shield Force 1
(Pasukan Pertahanan Libya 1) adalah
24
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
cabang dari Libya Shield Force yang
tergabung dalam Majelis Syura
Revolusioner Benghazi (SCBR).
3. Brigade Misrata. Kelompok ini termasuk
yang terkuat di Libya berdasarkan jumlah
anggota dan stok persenjataannya. Pasukan
Misrata aslinya merupakan gabungan dari
236 kelompok milisi setempat yang
bermunculan saat perang sipil Libya masih
berlangsung. Menurut data bulan Oktober
2013, jumlah anggota Pasukan Misrata
adalah sekitar 40.000 personil. Bukan hanya
itu, Pasukan Misrata juga menyimpan stok
persenjataan yang terdiri dari 800 buah
tank, 2.000 buah kendaraan militer, dan
30.000 pucuk senjata api. Daerah operasi
Brigade Misrata terkonsentrasi di Libya
bagian tengah dan barat.
4. Pihak Luar Negeri seperti Qatar, Sudan, dan
Turki. Anggota pemerintah sekuler Libya,
salah satunya Ahmad Al-Hirati, menuding
Qatar telah mendukung kelompok-
kelompok militan Islam. Qatar dinilai
memanfaatkan dukungan ini untuk
menambah pundi-pundi ekonomi mereka
dengan dikirimnya minyak dan gas alam
dari Bandara Tripoli setelah berhasil
dikuasai.
C. Kelompok Jihadis
Kubu yang juga ingin menjadikan Libya sebagai
negara Islam. Kelompok paling dominan dalam
kubu ini adalah Ansharusy Syariah, di mana
kelompok yang bersangkutan menolak
demokrasi sehingga secara otomatis kelompok
tersebut tidak terlibat langsung dengan
keberadaan NGNC dan parlemen nasionalis
Libya. Namun, di kota Benghazi Ansharusy
Syariah bekerja sama kelompok-kelompok
Islamis lainnya tergabung dalam SCBR (Shura
Council of Benghazi Revolutionaries) sebagai
wadah perjuangan bersama.
1. Ansharusy Syariah Libya (ASL). Kelompok ini
bertujuan untuk menegakkan syariat Islam
di Libya. Pada mulanya dipimpin oleh
Muhammad Az-Zahawi dan setelah ia gugur
digantikan oleh Abu Khalid Al-Madani. Pada
2012, AS menuding kelompok ini
bertanggung jawab atas pengeboman
Kantor Konsulat AS di Bengazhi 2012 dan
menawaskan duta besarnya, Christopher
Stevens. Dari sinilah AS menempatkannya
termasuk dalam kelompok teroris yang
terkait Al-Qaidah. ASL memiliki pejuang
yang loyal dan berpengalaman sekitar 5.000
personil, sebagian dari mereka adalah
veteran Perang Afghanistan.
2. Brigade Syuhada 17 Februari. Kelompok ini
dianggap sebagai kelompok terkuat,
terbaik, dan terlengkap dari sisi
persenjataan di wilayah timur Libya.
Anggotanya berkisar 3.500 pejuang.
Namun, sumber lain menyatakan
jumlahnya mencapai 12.000 pejuang.
25
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
3. Brigade Rafallah Al-Sahati. Mereka adalah
pecahan dari Brigade Syuhada 17 Februari
yang dipimpin oleh Ismail Ash-Shallabi.
Berdasarkan data Oktober 2013, jumlah
pasukannya berkisar 1.000 orang dan
memiliki daerah operasi di Libya Timur dan
Kufra. Bersama dengan LSF dan Brigade 17,
pemerintah pusat Libya pada era GNC
sempat mengakui peran Pasukan Rafallah
sebagai penjaga keamanan resmi di wilayah
timur.
4. ISL (the Islamic State in Libya) atau Daulah
Islamiyah Wilayah Libya. Kelompok ini
merupakan pendukung ISIS yang sudah
mulai menampakkan eksistensinya, di
antaranya di Derna. Mereka memiliki
agenda sendiri dan menyatakan sumpah
setia kepada Abu Bakar Al-Baghdadi.
Mereka sudah mempersiapkan administrasi
semi-pemerintahan di daerah yang mereka
kontrol dan upaya penegakkan hudud.
Namun, kelompok ini terlibat dalam
sejumlah insiden berdarah. Di antaranya
pemenggalan warga Koptik yang memicu
respons serangan dari militer Mesir.
Kelompok ini juga terlibat konflik bersenjata
dengan Majelis Syura Mujahidin Derna
sehingga terusir dari sana (Juni 2015).
Di lapangan, kelompok islamis dan jihadis—
selain ISL—bekerja sama melawan kubu Haftar
di bawah naungan Majelis Syura Revolusi Libya.
Wadah ini merupakan aliansi gabungan dari
beberapa brigade yang terbentuk bulan Juni
2014 sebagai respons atas Operasi Martabat
yang dilancarkan kubu Haftar. Pada tanggal 14
Juli 2014, aliansi ini berhasil mengambil alih
Barrack 319, salah satu barak militer terbesar di
Libya Timur. Pada akhir Juli 2014, lima barak
militer di Bengazhi berhasil dikuasai, termasuk
markas Pasukan Khusus Ash-Sha’iqah. Secara
khusus, kemunculan dan kiprah ASL sebagai
pemain kunci dan representasi kelompok
jihadis akan diuraikan lebih lanjut.
Kemunculan Ansharusy Syariah Libya (ASL)
Selama dua tahun terakhir, perhatian global
banyak bergeser ke Suriah dan Irak dengan
munculnya Jabhatun Nushrah (JN) dan kembalinya
Daulah Islamiyah Irak dan Syam atau the Islamic
State of Iraq and Sham (ISIS). Namun, hampir
seribu mil ke barat, Ansharusy Syariah di Libya
(ASL) terus bekerja memfasilitasi sebuah embrio
daulah islamiyah masa depan sejak serangan
spektakuler di Konsulat Jenderal AS di Benghazi
pada 11 September 2012.
Awalnya, ASL meluncurkan program dakwah yang
sangat mengesankan, termasuk penyediaan
pelayanan sosial baik di dalam dan di luar Libya. Ini
telah memberikan dengan sebuah jalan untuk
dukungan lokal. Namun, karena kubu Jenderal
Khalifah Haftar mengumumkan Operasi Martabat
terhadap kelompok bersenjata islamis di Libya
timur sejak Mei 2014, aktivitas ASL menjadi lebih
difokuskan terutama pada aksi militer.
26
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Dalam banyak hal, ASL mengikuti model Ansharusy
Syariah di Tunisia (AST), melihat jangkauan dan
layanan sosial kampanye sebagai bagian penting
dari penggalangan dukungan. Juga, pembangunan
bukan hanya masyarakat Islam, tapi daulah
islamiyah (negara Islam), yang nantinya akan diatur
oleh Syariah (hukum Islam). Berbeda dengan
pemerintah Libya, yang sering korup, tidak
kompeten, atau ekstraktif, ASL bekerja untuk
meyakinkan penduduk setempat akan kompetensi
dan kebajikan sendiri. Ini membantunya
memenangkan dukungan publik yang lebih besar.
Selain jangkauan ASL di seluruh Libya—dari
Benghazi, Tripoli, Sirte, Ajdabiya, Derna, dan Teluk
Sidra—pada tingkat lokal yang lebih kecil lainnya
ASL juga beroperasi dan memiliki jaringan di luar
negeri. ASL juga telah mengirimkan bantuan dan
kerja sama untuk Suriah, Sudan, dan Gaza untuk
membantu dalam upaya bantuan kemanusiaan.
Aktivitas ini telah menambah lapisan baru bagi
pemaknaan jihad global dan bagaimana berbagai
kelompok mencoba untuk terlibat pada populasi
dan kegiatan di luar teritorial operasi mereka.
ASL telah menikmati sejumlah identitas sebagai
sebuah organisasi: Di satu sisi, ASL telah menjadi
organisasi amal, layanan keamanan, layanan
kesehatan, dan penyedia tarbiyah diniyah; di sisi
lain, juga merupakan milisi; sebuah organisasi jihad
dan potensi basis pelatihan bagi para pejuang
asing.
Pada dasarnya, ASL muncul ke permukaan sebagai
dampak dari Musim Semi Arab (Arab Spring), yang
secara spesifik merujuk pada negara-negara Afrika
Utara, yaitu Mesir, Libya, dan Tunisia. Kondisinya
adalah rezim sepenuhnya digulingkan dan ruang
publik terbuka. Negara-negara ini juga mewakili
sebuah awal baru dan laboratorium untuk
kampanye jihad baru, sebagai pengganti dari
eksperimen yang pernah dilakukan oleh Al-Qaidah
di Irak (AQI). Melalui payung Daulah Islamiyah
Irak/ISI (the Islamic State of Iraq), mereka
mengalami kegagalan dalam mengendalikan
wilayah dan melembagakan pemerintahan yang
stabil pada satu dekade terakhir, sampai kemudian
bertransformasi menjadi ISIS.
Strategi ASL: Memulai dengan Dakwah
Pembentukan ASL seiring dengan organisasi sejenis
di Tunisia (AST) dan Mesir (ASE) dipandang sebagai
pemaknaan logis dan implementasi gagasan Azh-
Zawahiri dan Al-Maqdisi. Pemimpin Al-Qaidah Dr.
Aiman Azh-Zawahiri berpikir bahwa lingkungan
baru seperti Libya memberikan kesempatan "untuk
27
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
dakwah dan menjelaskan ... Hanya Allah yang tahu
berapa lama mereka [pemerintah daerah dan
Barat] akan berlanjut, sehingga orang-orang Islam
dan jihad mengambil manfaat dari mereka dan
mengeksploitasi mereka."
Dalam pesan audio yang sama, Azh-Zhawahiri juga
menekankan keunggulan Syariah atas semua
sistem hukum lainnya. Ia juga mendukung
pembebasan negeri Islam, menentang normalisasi
hubungan dengan Israel, dan menggarisbawahi
pentingnya "membersihkan negeri" dari korupsi
keuangan dan sosial.29
Sementara, pada tahun 2004, ideolog jihad
terkemuka yang hidup hari ini, yaitu Abu
Muhammad Al-Maqdisi, menulis Waqafat ma’a
Tsamarat Al-Jihad (Renungan bersama Buah-Buah
Jihad) dalam upaya untuk mengarahkan gerakan
jihad jauh dari kesalahan. Buku ini dilatarbelakangi
oleh koreksinya terhadap saudara-saudara
seperjuanganya di AQI yang dipimpin oleh murid
sekaligus sahabatnya, Abu Mush’ab Az-Zarqawi.
30
Dalam buku tersebut, Al-Maqdisi meneliti
perbedaan antara apa yang disebutnya sebagai
qital an-nikayah (berjuang untuk menyakiti atau
merusak musuh) dan qital at-tamkin (berjuang
untuk mengkonsolidasikan kekuasaan seseorang).
Al-Maqdisi berpendapat bahwa mantan hanya
menyediakan jangka pendek kemenangan taktis
sedangkan yang terakhir menyediakan kerangka
kerja untuk mengkonsolidasikan negara Islam.
29 Aaron Y. Zelin, "Know Your Ansar al-Sharia," Foreign Policy, September 21, 2012. 30 Aaron Y. Zelin, "Maqdisi's disciples in Libya and Tunisia," Foreign Policy's Middle East Channel, November 14, 2012.
Implisit adalah penekanan Maqdisi tentang
pentingnya perencanaan, organisasi, tarbiyah, dan
dakwah.31
Pada puncak kampanye dakwahnya sebelum
meletus civil war, ASL mampu melakukan kontrol
Singkatnya, ASL adalah jamaah yang
memprioritaskan strategi dakwah dulu, bukan jihad
dulu. Konsekuensinya, salah satu pendekatan
utama—yang mana ASL mengalami kemajuan
pesat—adalah program pelayanan sosial. Tren
tersebut menunjukkan bahwa gerakan jihadi
melakukan pendekatan dengan menggalang
dukungan dan pengikut secara luas. Ini berbeda
dengan banyak organisasi perjuangan yang telah
terlibat dalam eksperimen jihad dalam kapasitas
lokal, regional, atau global selama 30 tahun
terakhir. Cara ini pun dipandang sebagai
pendekatan baru untuk mengonsolidasikan
“Negara Islam” pada masa depan.
Pendekatan dakwah yang disponsori ASL lebih
terkait dengan layanan sosial seperti pembagian
daging dan makanan untuk fakir-miskin dan selama
Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, terutama pada
musim panas dan musim gugur 2014. ASL juga
menyediakan layanan yang langsung bisa dirasakan
masyarakat seperti membuka klinik medis untuk
perempuan dan anak-anak, sebuah Islamic Center
khusus untuk wanita, sebuah ruang UGD, dan
sebuah ma’had yang bernama Markaz Al-Imam Al-
Bukhari li Al-‘Ulum Asy-Syar’iyyah. ASL juga
menjamin keamanan di RSU Al-Jala 'di Benghazi.
31 Dipublikasikan di situs Minbar At-Tauhid wa Al-Jihad, https://www.tawhed.ws/r?i=5yj8ssez
28
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
jaringan secara luas untuk pelayanan sosial baik di
dalam maupun luar Libya. Bahkan, itu terlibat
dalam kegiatan mulai dari kampanye anti-narkoba,
donor darah, dan distribusi makanan (termasuk
pemotongan hewan ketika liburan bagi fakir-
miskin), musabaqah Qur’ani untuk anak-anak,
proyek perumahan bagi kaum miskin, pembersihan
sekolah, pembuangan sampah, dan perbaikan
jembatan.
Pada awalnya, pendekatan “dakwah dan
pelayanan” di atas tampak sukses untuk prospek
ke depan bagi gerakan jihad. Ini terlihat dari
banyaknya individu yang bergabung dengan ASL
dan AST dalam jumlah yang belum pernah tercapai
sebelumnya. Namun, dalam kurun dua tahun
terakhir antara tahun 2012–2014, pendekatan
dakwah terbuka ini menghadapi tantangan baru
yang juga terbuka.
Di Mesir, misalnya, dalam waktu satu bulan sejak
Abdul Fattah As-Sisi melakukan kudeta di Mesir,
pada awal Juli 2013 semua anggota kunci dari
Ansharusy Syariah Mesir (ASE) telah ditangkap atau
dijerat dengan delik terorisme dan dikaitkan
dengan Anshar Bait Al-Maqdis (ABM), kelompok
jihadis di Sinai Utara, yang disebut-sebut terkait IS
dan berubah nama menjadi IS Wilayah Sinai.
Dampaknya, aktivis ASE banyak yang berhijrah ke
Suriah untuk berjihad melawan rezim Basyar Al-
Asad atau melakukan perlawanan bersenjata
dalam wadah jihad baru, yaitu Ajnad Mishr.
Sementara itu, kurang dari dua bulan kemudian,
pada akhir Agustus 2013, pemerintah Tunisia
melabeli AST sebagai organisasi teroris dan
melanjutkannya dengan operasi untuk
membongkar jaringan dan penangkapan
anggotanya secara luas. Akibatnya, beberapa
aktivis jihadis Tunisia berangkat ke Libya dan
bergabung dengan ASL, sementara yang lain pergi
ke Suriah dan ditengarai banyak yang bergabung
dengan ISIS.32
Sejak Haftar melancarkan perang terhadap ASL,
sebagian besar kegiatan dakwah reguler pun turut
terhenti. Itu tampak dari publikasi ASL jadi lebih
banyak yang berhubungan dengan pertempuran
dengan pasukan Haftar.
33
Prospek ASL ini sempat menurun drastis, yang
tampak melemah seiring dengan meninggalnya
pemimpinnya, Muhammad Az-Zahawi, yang
dikonfirmasi pada bulan Januari 2015. Kemudian
ada intensifikasi dari pendukung ISIS yang memiliki
agenda politik independen untuk memperluas
teritorial organisasinya sejak November 2014. Ini
Sementara ASL masih
melakukan kaderisasi anggota di kota-kota lain,
sebagian besar operasi militernya masih terfokus di
Benghazi. ASL memang tidak sampai kocar-kacir
seperti halnya ASE atau AST, tetapi kapasitas
pelayanannya memang menurun. Di sinilah ISIS
melihat peluang masuk dengan pembukaan
“cabang” pada musim gugur 2014.
Kesimpulan
32 Aaron Y. Zelin, "The Rise and Decline of Ansar al-Sharia," Hudson Institute, April 6, 2015. 33 Hingga tulisan ini diturunkan (24/6/2015), alamat resmi publikasi ASL adalah akun Twitter: @Ansarelshariaa
29
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
menjadi tantangan tersendiri bagi Abu Khalid Al-
Madani selaku pemimpin baru ASL..
Ada banyak pertanyaan terkait masa depan ASL.
Kelompok ini tetap menjadi kekuatan militer
penting di Benghazi dan Derna, tetapi akankah
mereka tetap mempertahankan independensi
mereka ataukah lambat laun melakukan merger
dengan kelompok lainnya? Setelah eliminasi IS di
Derna, akankah mereka berhadapan dengan IS di
wilayah Libya lainnya, sebagaimana yang terjadi
antara IS dan JN di Suriah? Selanjutnya, dapatkah
ASL memperluas operasi di luar kota-kota yang
menjadi basis terkuatnya?
Tampaknya terlalu dini untuk disimpulkan. Yang
jelas, kelompok jihadis telah sekian kali
menujukkan kemampuan survival dan adaptasi,
seperti halnya JN yang mampu berkoalisi dengan
kelompok-kelompok lokal lainnya dan bertahan
dari tantangan dari IS. Perkembangan selanjutnya
menarik untuk diikuti. (F. Irawan)