Upload
tiwi-sitompul
View
282
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS IKGA BLOK 17
COMPLICATED FRACTURE CROWN PADA GIGI
DESIDUI DAN PERMANEN MUDA
DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5
YOSEPHA Y E LUBIS (110600106)
SHINTA AMELDIA IMAWAN
(110600107)
FELIX HARTANTO ONNGKO
(110600108)
RIKHA SAGALA (110600109)
CUT NIRZA AMANDA (110600110)
ADINDA MUNAWARAH DIN (110600111)
M. FATURRAHMAN (110600112)
SUCI SYLVANA HARAHAP ( 110600113)
KEYKE ALDILA DARYA (110600114)
TUIRMA SITOMPUL (110600115)
METHA LEGINA (110600116)
ELIZABETH LILIANTI(110600117)
RIZKY AYU ARRISTA(110600118)
ADE HARTICHA P (110600119)
PENDAHULUAN
Pengertian trauma secara umum adalah luka atau jejas baik fisik maupun psikis.
Trauma dengan kata lain disebut injury atau wound, dapat diartikan sebagai kerusakan atau
luka yang biasanya disebabkan oleh tindakan-tindakan fisik dengan terputusnya kontinuitas
normal suatu struktur. Trauma juga diartikan sebagai suatu kejadian tidak terduga atau suatu
penyebab sakit, karena kontak yang keras dengan suatu benda. Definisi lain menyebutkan
bahwa trauma gigi adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras gigi dan atau periodontal
karena sebab mekanis.1
Trauma dental yang terjadi pada anak-anak adalah masalah dental yang cukup serius.
Tingginya tingkat kekerasan, kecelakaan lalu lintas dan aktifitas olahraga yang merupakan
penyumbang terbesar dalam trauma dental. Trauma gigi anterior dapat terjadi secara langsung
dan tidak langsung, trauma gigi secara langsung terjadi ketika benda keras langsung
mengenai gigi, sedangkan trauma gigi secara tidak langsung terjadi ketika benturan yang
mengenai dagu menyebabkan gigi rahang bawah membentur gigi rahang atas dengan
kekuatan atau tekanan besar dan tiba-tiba.3
Trauma dental ini nantinya akan mempengaruhi penampilan estetis, psikologis si anak
dan tentunya fungsi fisiologis dari gigi itu sendiri yang pada akhirnya menuntun anak dan
orang tuanya datang ke dokter gigi. Pada makalah ini akan membahas tentang perawatan
complicated crown fracture gigi sulung yang dialami anak yang sebagian besar diakibatkan
trauma, baik sengaja atau tidak sengaja.
ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
Berbagai macam kondisi yang mengakibatkan terjadinya trauma pada gigi dan
terutama gigi anterior terbagi atas dua jenis,yaitu kecelakaan yang tidak disengaja dan
kecelakaan yang di sengaja. Jenis kecelakaan yang tidak disengaja adalah seperti terjatuh,
kecelakaan lalu lintas yang dewasa ini banyak terjadi di jalan raya, kecelakaan saat
berolahraga, saat bermain, penggunaan gigi yang tidak tepat,menggigit terlalu keras,bencana
alam,perkelahian dan kesulitan dari keterbatasan fisik. Sedangkan kecelakaan yang disengaja
adalah seperti tindakan kriminalitas, child abuse atau physical abuse dan latrogenic
procedure.
Selain faktor-faktor di atas ada beberapa faktor predisposisi terjadinya trauma gigi
terutama pada gigi anterior yaitu posisi dan keadaan gigi tertentu misalnya kelainan
dentofasial seperti maloklusi kelas I tipe 2, kelas II divisi 1 atau yang mengalami overjet
lebih dari 3 mm, keadaan yang memperlemah gigi seperti hipoplasia email, kelompok anak
penderita cerebral palsy, dan anak dengan kebiasaan mengisap ibu jari yang menyebabkan
gigi anterior protrusive, bibir yang inadekuat, lubang gigi yang tidak dirawat,deprivasi
material,lingkungan yang terlalu ramai,obesitas dan anak yang sering di bully.1
KLASIFIKASI TRAUMA GIGI
Klasifikasi trauma pada gigi anterior perlu kita ketahui agar mempermudah penegakan suatu
diagnosa. Ada berbagai macam klasifikasi trauma gigi yang telah dikemukakan termasuk
diantaranya Eliis (1961), Bennet (1963), Ellis and Davey (1970), Hargreaves and Craig
(1970), WHO (International classification of diseases to dentistry and stomatology ICD-DA
(1978), dan modifikasinya yang dijelaskan Andreasen, dan Hithersay and Morile (1982)2.
Namun yang banyak digunakan dalam klinik adalah klasifikasi menurut Ellis and Davey dan
menurut WHO modifikasinya oleh Andreasen3.
1. Klasifikasi menurut Ellis and Davey (1970)4,5
Kelas 1: fraktur mahkota sederhana yang tidak melibatkan atau sedikit
melibatkan dentin
Kelas 2: fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan dentin tetapi
belum terbukanya pulpa
Kelas 3: fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan dentin dengan
pulpa yang telah terbuka
Kelas 4 : trauma pada gigi yang menyebabkan gigi non vital dengan atau tanpa
hilangnya struktur mahkota gigi
Kelas 5: hilangnya gigi
Kelas 6: fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota gigi
Kelas 7: perubahan posisi gigi dengan fraktur mahkota atau akar
Kelas 8: fraktur mahkota yang mahkotanya sudah tidak berbentuk lagi
(enmass)
Kelas 9: trauma yang mengenai gigi sulung
2. Klasifikasi menurut World Health Organization dan modifikasi Andreasen3,4,5,6
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO) dalam
Application of International Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology
antara lain:
a. Cedera jaringan keras dan pulpa6
Mahkota yang retak (infark email) N 502.50: Fraktur tidak sempurna
(retak) dari email tanpa kehilangan substansi gigi
Fraktur email (fraktur mahkota sederhana) N 502.50: Fraktur dengan
kehilangan substansi gigi hanya di email saja
Fraktur email-dentin (sederhana) N 502.51: Fraktur dengan kehilangan
substansi gigi yang terbatas di email dan dentin tetapi tidak mengenai
pulpa
Fraktur mahkota kompleks N 502.52: Fraktur yang mengenail email dan
dentin, serta membuat pulpa terbuka
Fraktur mahkota-akar, sederhana N 502.54: Fraktur yang mengenai email,
dentin dan sementum tetapi pulpa tidak terbuka
Fraktur mahkota-akar kompleks N502.54: Fraktur yang mengenai email,
dentin dan sementum serta pulpa terbuka
Fraktur akar N 502.53: Fraktur yang mengenai dentin, sementum dan
pulpa. Fraktur akar dapat diklasifikasikan lebih lanjut sesuai pergeseran
struktur koronal.
b. Cedera pada jaringan periodontal6
Konkusio N 503.20 yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi
yang menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa
adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi.
Subluksasi N503.20 yaitu kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi
gigi akibat trauma pada jaringan pendukung gigi.
Luksasi ekstrusif (avulsi sebagian) N 503.20 yaitu pergeseran gigi
sebagian keluar dari soket
Luksasi lateral N 503.20 yaitu pelepasan sebagian gigi ke luar dari
soketnya disertai kerusakan atau fraktur pada soket alveolarnya tersebut
Luksasi intrusive (dislokasi sentral) N 503.21 yaitu pergerakan gigi ke
dalam tulang alveolar, dimana dapat menyebabkan kerusakan atau fraktur
soket alveolar. Luksasi intrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih
pendek.
Avulsi (eksartikulasi) N 503.22 yaitu pergeseran menyeluruh dari gigi
keluar dari soket
c. Cedera tulang pendukung6
Comminution soket alveolar atas bawah N 502.40: Remuk dan terjadi
kompresi soket alveolar. Kondisi ini ditemukan bersama luksasi intrusif
dan lateral
Comminution soket alveolar bawah N 502.60: Remuk dan terjadi kompresi
soket alveolar. Kondisi ini ditemukan bersama luksasi intrusive dan lateral
Fraktur dinding soket alveolar atas N 502.40: Fraktur terbatas pada
dinding soket fasial atau oral
Fraktur dinding soket bawah N 502.60: Fraktur terbatas pada dinding soket
fasial atau oral
Fraktur prosesus alveolar maksila N 502.40: Fraktur prosesus alveolar
yang mungkin mengenai atau tidak mengenai soket alveolar
Fraktur prosesus alveolar mandibular N 502.42: Fraktur prosesus alveolar
yang mungkin mengenai atau tidak mengenai soket alveolar
Fraktur maksila N 502.42: Fraktur mengenai maksila
Fraktur mandibula N 502.61: Fraktur mengenai mandibula
Klasifikasi WHO yang dimodifikasi oleh Andreasen terdiri dari 19 groups dan termasuk
didalamnya trauma pada gigi, jaringan pendukung, gingival dan mukosa mulut3,5,6
a. Trauma pada jaringan keras gigi dan pulpa3
Infract mahkota (retaknya mahkota)
Fraktur mahkota
Fraktur mahkota sederhana
o Fraktur enamel
o Fraktur enamel dan dentin tanpa pulpa yang terbuka
Fraktur mahkota kompleks
o Fraktur enamel dan dentin dengan pulpa yang terbuka
b. Trauma pada jaringan keras gigi, pulpa dan sampai ke processus alveolar3
Fraktur mahkota-akar
Fraktur enamel dan dentin
Fraktur akar
Fraktur akar mencapai dentin tanpa pulpa yang terbuka
Fraktur alveolar akibat trauma
Fraktur tulang alveolar di maksila
Fraktur tulang alveolar di mandibula
c. Trauma pada jaringan pendukung gigi3,5
o Concussion (shock) yaitu suatu injuri tanpa lepasnya tau perubahan posisi gigi
yang abnormal dengan rasa sakit saat diperkusi
o Subluxation (loosening) yaitu suatu injuri pada struktur pendukung gigi
dengan kegoyahan abnormal tetapi tanpa pemindahan gigi
o Intrusion (central luxation) yaitu pemindahan gigi pada arah lain daripada ke
aksial, diikuti oleh fraktur soket alveolar
o Extrusion (peripheral luxation) yaitu pergerakan sebagian gigi ke luar soket
o Lateral luxation yaitu
o Total luxation (exarticulation) yaitu pergerakan seluruh gigi ke luar dari soket.
d. Kerusakan pada jaringan lunak rongga mulut4
Laserasi, yaitu suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang disebakan oleh
benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka dapat berupa
diskontinuitas epital dan subepitel.
Contussio, yaitu luka memar yang disebabkan pukulan benda tumpul dan
menyebabkan perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai robeknya
daerah mukosa.
Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan kerana
gesekan atau goresan suatu benda sehingga terdapat permukaan yang
bedarah atau lecet
DIAGNOSIS DAN CARA PEMERIKSAAN
1. Anamnesa
Anamnesa yang dilakukan meliputi riwayat penyakit dan riwayat dental. Pada riwayat
kesehatan umum pasien, hal-hal yang perlu kita ketahui adalah identitas pasien secara
lengkap. Selain itu, hal lain yang perlu kita ketahui adalah riwayat penyakit pasien. Riwayat
penyakit pasien akan mempengaruhi perawatan. Penyakit-penyakit yang harus diperhatikan
pada pasien trauma adalah penyakit jantung bawaan, rheumatic fever, dan immunosuppresion
yang parah. Penyakit-penyakit tersebut merupakan kontraindikasi dari perawatan endodontik
jangka panjang dan jika perawatan ini harus tetap dilakukan maka harus disertai dengan
pemberian antibiotik profilaksis. Keadaan lain adalah bleeding disorder yang berpengaruh
jika terdapat luka robek, avulsi, atau pada keadaan jika diperlukan ekstraksi gigi yang
mengalami trauma. Selain itu, tanyakan juga mengenai alergi yang mungkin diderita anak
terhadap obat-obatan tertentu, ataupun makanan.15
Riwayat dental pasien dapat diperoleh melalui pertanyaan yang berisi when, where,
dan how. When digunakan untuk menanyakan waktu kejadian. Interval waktu antara cedera
dengan perawatan mempengaruhi prognosis dari gigi tersebut. Where digunakan untuk
menanyakan lokasi cedera. Jika pasien cedera di luar rumah yang kotor maka dapat
dipertimbangkan pemberian profilasksis antitetanus. How digunakan untuk memastikan
trauma yang diperoleh pasien berasal dari kecelakaan atau karena sebab lain. Kemudian hal
lain yang harus diperhatikan pula yaitu gigi/fragmen gigi yang hilang. Jika gigi tidak
diketahui keberadaannya dan diketahui pasien mengalami kehilangan ingatan maka foto
thorax diperlukan jika diduga gigi tertelan. Adanya concussion, sakit kepala, muntah dan lupa
ingatan harus kita pertimbangkan adanya cedera kepala yang melibatkan otak dan harus
segera dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. Adanya riwayat trauma
sebelumnya dapat mempengaruhi tes sensitifitas pulpa dan rencana terapi. Sebagai
contohnya, jika pasien ditanyakan mengenai nyeri spontan dan hasilnya positif maka
mungkin terjadi inflamasi pulpa akibat fraktur mahkota atau cedera jaringan periodontal.16
2. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis secara umum terdiri dari pemeriksaan ekstra oral dan intra oral.
A. Pemeriksaan ekstra oral
Pada kasus complicated crown fracture, mungkin didapat laserasi atau perdarahan
pada daerah bibir atau hidung yang ditemukan pada pemeriksaan ekstra oral. 15
B. Pemeriksaan intra oral
Pada pemeriksaan intra oral untuk kasus complicated crown fracture, biasanya
dilakukan pemeriksaan secara visual, tes perkusi, tes mobiliti, dan tes sensitibilitas.
Pemeriksaan visual
Pada pemeriksaan visual didapat hasil terdapat kehilangan struktur enamel dan dentin dengan
jaringan pulpa yang terekspos. 15
Tes perkusi
Pada pemeriksaan perkusi didapat hasil tidak terdapat rasa sakit atau negatif. Jika terdapat
rasa sakit, dilakukan obswervasi lebih lanjut untuk mengevaluasi adanya luksasi atau fraktur
pada akar. 15
Tes mobiliti
Pada tes mobiliti, didapat hasil yang menunjukkan tidak terdapatnya mobiliti yang parah,
kondisi gigi mengalami mobilitas yang normal.15
Tes sensitibilitas
Pada pemeriksaan sensitibilitas, didapat hasil positif. Tes ini penting dalam menilai risiko
komplikasi penyembuhan masa depan. Kurangnya respon pada pemeriksaan awal
menunjukkan peningkatan risiko nekrosis pulpa kemudian. Pada anak, tes ini kurang dapat
diandalkan karena anak cenderung memberikan jawaban yang tidak konsisten.16
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan penunjang, umumnya dilakukan pemeriksaan radiografi untuk
memastikan diagnosis sementara. Direkomendasikan teknik radiografi periapikal, oklusal,
dan eksposur eksentrik. Teknik-teknik tersebut dianjurkan untuk menyingkirkan adanya
perpindahan (displacement) atau adanya kemungkinan terjadinya luksasi atau fraktur akar.
Pada keadaan tertentu, dapat juga dilakukan radiografi bibir atau pada pipi yang mengalami
laserasi untuk mencari fragmen gigi atau bahan asing lainnya.16
Gambar 1. Complicated crown fracture
PENATALAKSANAAN DAN PERAWATAN
A. Perawatan Complicated Crown Fracture Pada Gigi Sulung
Pada awal perkembangan gigi tetap, benih gigi insisivus permanen terletak pada
palatal dan sangat dekat dengan apeks gigi insisivus sulung. Oleh karena itu bila terjadi
trauma pada gigi sulung maka dokter gigi harus benar benar mempertimbangkan
kemungkinan terjadi kerusakan pada gigi tetap di bawahnya.7
Perawatan yang dilakukan pada complicated crown fracture, yaitu fraktur yang
melibatkan email dan dentin dengan disertai terlibatnya kamar pulpa, dilakukan perawatan
segera dan diusahakan dapat mempertahankan vitalitas pulpa. Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam perawatan fraktur mengenai pulpa, yakni besarnya pulpa yang terbuka,
vitalitas pulpa, lamanya pulpa terbuka, derajat pembentukan akar dan kemungkinan mahkota
untuk dapat direstorasi. Alternatif perawatan yang dapat dilakukan, yaitu pulpotomi, parsial
pulpotomi dan pulpektomi.7,8 Adapun prosedur perawatan yang dilakukan:
1. Lakukan radiografi dan simpan filmnya sebagai acuan pemeriksaan kedepannya.
2. Jika ukuran dari pulpa yang terbuka adalah pin point dan pasien dilihat sesegera
mungkin setelah kecelakaan, lakukan capping pulpa dengan kalsium hidroksida dan
tempatkan restorasi estetik komposit.
3. Jika pulpa yang terbuka besar, lakukan pulpotomi formokresol dan tempatkan
restorasi estetik komposit.
4. Jadwalkan pemeriksaan secara berperiode setiap interval 6 bulan. Jika gigi menjadi
nekrotik, ekstraksi atau terapi endodontik akan diperlukan.
Direct Pulp Capping
Terbukanya pulpa gigi sulung secara langsung dapat disebabkan oleh dental karies,
dari trauma dengan fraktur mahkota atau akibat mekanik selama preparasi. Pada prosedur
direct pulp capping, dengan pemberian bahan medikamen seperti calcium hidroxide pada
daerah pulpa untuk membantu proses penyembuhan dan merangsang terbentuknya dentin
reparatif. Perawatan direct pulp capping pada gigi sulung hanya dapat digunakan dalam
keadaan terbukanya pulpa kecil (pin point) dengan diameter kurang dari 1 mm atau seujung
jarum dengan kondisi gigi asimptomatik, tidak ada karies dalam dan dilakukannya isolasi
rubber dam untuk mencegah kontaminasi saliva.9,10
Namun, direct pulp capping ternyata kurang berhasil pada gigi sulung, sehingga
direct pulp capping tidak diindikasikan pada gigi sulung karena pulpa sering terkontaminasi
sebelum dilakukannya perawatan yang dapat menyebabkan pulpa terinfeksi dan terjadi
peradangan. Walaupun direct pulp capping tidak diindikasikan untuk gigi sulung, direct pulp
capping juga dapat diindikasikan pada gigi permanen muda pembentukan akar dan apeks
yang belum sempurna.9,10,11
Pulpotomi
Pulpotomi merupakan perawatan yang hanya mengambil jaringan pulpa terinfeksi
pada kamar pulpa, dan mempertahankan jaringan pulpa vital dalam saluran akar sehingga
perkembangan akar dapat terus berlangsung khususnya pada gigi pemanen muda. Jika pulpa
dibagian akar mati, apeks akar akan tetap terbuka, dan ini akan menimbulkan masalah dalam
perawatan endodontik. Oleh karena itu, pulpotomi khususnya ditujukan untuk gigi geligi
yang immature dimana pembentukan akar belum sempurna. Pada gigi yang immature,
perkembangan akar akan terus berlanjut apabila pulpa dalam saluran akar dipertahankan tetap
sehat.8,10,11
Pulpotomi juga diindikasikan pada gigi sulung vital dengan terbukanya pulpa.
Perawatan pulpotomi ini merupakan pilihan perawatan dengan keadaan tidak adanya tanda-
tanda sebagai berikut: 1. Sakit yang spontan, 2. Pembengkakan, 3. Sakit saat diperkusi, 4.
Mobilitas yang abnormal, 5. Fistula, 6. Drainase sulkular, 7. Resorpsi internal, 8. Kalsifikasi
pulpa, 9. Resorpsi akar eksternal yang patologis, 10. Periapikal radiolusen, 11. Inter-radikular
radiolusen, atau 12. Pendarahan pulpa yang banyak 10
Pulpotomi parsial
Perawatan ini ditujukan untuk menghilangkan jaringan pulpa yang mengalami
inflamasi. Umumnya amputasi dilakukan kira-kira 2 mm di bawah daerah terekspos.8
Pengambilan daerah tersebut sangat minimal karena jaringan pulpa mempunyai vaskularisasi
yang baik, dan dapat memberikan reaksi pertahanan terhadap kontaminasi bakteri. Indikasi
perawatan ini adalah untuk gigi yang akarnya sudah terbentuk lengkap ataupun belum dengan
gambaran adanya warna pulpa merah terang. Teknik ini lebih konservatif daripada teknik
pulpotomi standar, yang tidak hanya pada jumlah pulpa yang dibuang, tetapi juga pada
jumlah struktur gigi yang dirusak.8,11
Pulpektomi
Pulpektomi adalah perawatan yang dilakukan dengan cara pengangkatan pulpa secara
keseluruhan dari kamar pulpa dan saluran akar. Perawatan ini diindikasikan bila pulpa
mengalami degenerasi atau vitalitas pulpa diragukan dan dapat dilakukan apabila akar telah
tertutup sempurna namun mengalami fraktur melalui pulpa.8,10 Jika pulpa gigi sulung
tereksposur dan terinfeksi tetapi jaringan radikularnya masih vital, bila tidak dilakukan
perawatan dengan segera, pulpa yang mengalami degenerasi tersebut akan menjadi nekrosis
pulpa.10
B. Perawatan Complicated Crown Fracture Pada Gigi Permanen Muda
Selain pada gigi sulung, trauma gigi pada anak usia 10 tahun sering terjadi yaitu pada
masa gigi immature, gigi permanen muda yang perkembangan akarnya masih berlanjut. Hal
ini sering terjadi dikarenakan pada usia tersebut anak sedang aktif bermain, berolahraga,
berlari dan bersepeda.8 Pada gigi permanen muda, perawatan yang direkomendasikan pada
pembukaan pulpa dapat dilakukan pulpotomi. Pulpotomi pada gigi permanen yang masih
muda saat terbuka dikarenakan luka traumatik pada gigi muda yang apikalnya belum
sempurna pertumbuhannya.12
Prosedur perawatan:12
1. Lakukan penelitian dengan pemeriksaan oral untuk menentukan tingkat dari luka
termasuk gigi manapun yang goyang.
2. Lakukan radiografi dari area yang terlibat untuk menentukan tingkatan luka
3. Jalan masuk diperoleh dengan bur tapered fissure.
4. Pulpa di amputasi pada batas sementoenamel dengan eskavator yang tajam.
5. Cotton pellet digunakan untuk mengontrol pendarahan.
6. Aplikasikan lapisan dari kalsium hidroksida (kira kira 1 hingga 2 mm tebalnya)
diletakan pada pulpa yang diamputasi diikuti dengan basis dan restorasi sementara.
Stainless steel crown dengan jendela labial estetik dapat juga ditempatkan.
7. Lakukan evaluasi dalam jangka 2-3 bulan terbentuk jembatan dentin .
8. Jika keadaan membaik dan perkembangan apeks telah sempurna, lakukan pemberian
restorasi permanen dengan komposit untuk mengembalikan tampilan estetik dari gigi.
TINDAKAN PENCEGAHAN DAN KONTROL PERAWATAN
Tindakan pencegahan pada gigi desidui yang mengalami complicated fracture crown
Trauma adalah luka atau jejas baik fisik maupun psikis yang disebabkan oleh tindakan
tindakan fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur. Trauma gigi anterior
sering terjadi pada anak-anak yang cenderung lebih aktif daripada orang dewasa dan
koordinasi serta penilaiaannya tentang keadaan belum cukup baik sehingga sering terjatuh
ketika fase belajar berjalan, berlari, bermain dan berolahraga. Fraktur dental ini sering
ditemui pada anak berumur 1-3 tahun, pada anak usia sekolah atau pada anak anak yang
mengalami retardasi mental. Kerusakan yang terjadi dapat mengganggu fungsi berbicara,
pengunyahan, estetika, dan pertumbuhan gigi yang akan erupsi. 13,14
Pada anak anak yang sedang dalam masa pertumbuhan dan mempunyai gerakan aktif,
untuk mencegah terjadinya fraktur akibat trauma dapat digunakan alat pelindung mulut
(mouthguard). Alat ini hanya digunakan ketika si anak sedang melakukan aktifitas yang
berisiko terjadinya trauma dental. Selain itu pengelolaan tingkah laku dari orang tua terhadap
anaknya juga faktor penting dalam tindakan pencegahan. 13
Kontrol perawatan pada gigi desidui yang mengalami complicated fracture crown
Tindak lanjut untuk menentukan keberhasilan pengobatan didasarkan pada evaluasi
klinis dan radiografi. Dari beberapa laporan kasus yang dilaporkan pada periode yang
berbeda (6-25 bulan), tidak ada sensitivitas gigi atau sakit telah didaftarkan, juga, tidak ada
gejala atau cacat radiografi yang hadir. Pemeriksaan klinis dan radiografi tidak menunjukkan
patologi periodontal atau periapikal, dan restorasi yang fungsional dan estetis. Selama follow
up yang dievaluasi vitalitas pulpa. Potensi pulpa untuk memulihkan vitalitasnya tergantung
pada beberapa faktor seperti keadaan jaringan pulpa sebelum trauma, peradangan
sebelumnya, infeksi berhubungan dengan karies, dan pengobatan yang dilakukan.14
Tindakan pencegahan dan kontrol perawatan pada gigi permanen muda yang mengalami
complicated fracture crown
Imunisasi Tetanus. Salah satu tindakan pencegahan yang dapat dilakukan pada anak
yang mengalami trauma yaitu melakukan imunisasi tetanus. Pencegahan tetanus dilakukan
dengan membersihkan luka sebaik-baiknya, menghilangkan benda asing, dan eksisi jaringan
nekrotik. Dokter gigi bertanggungjawab untuk memutuskan apakah pencegahan tetanus
diperlukan bagi pasien anak-anak yang mengalami avulsi gigi, kerusakan jaringan lunak yang
parah, luka karena objek yang terkontaminasi tanah atau luka berlubang. Riwayat imunisasi
sebaiknya didapatkan dari orang tua penderita. Pada umumnya anak-anak telah mendapatkan
proteksi yang memadai dari imunisasi aktif berupa serangkaian injeksi tetanus toksoid.
Apabila imunisasi aktif belum didapatkan, maka dokter gigi sebaiknya segera menghubungi
dokter keluarga untuk perlindungan ini. Imunisasi dengan antitoksin tetanus dapat diberikan,
tetapi imunisasi pasif ini bukan tanpa bahaya karena dapat menimbulkan anafilaktik syok.
Pemberian antibiotik diperlukan hanya sebagai profilaksis bila terdapat luka pada jaringan
lunak sekitar. Apabila luka telah dibersihkan dengan benar maka pemberian antibiotik harus
dipertimbangkan kembali.7
Laporan Kasus Gigi Desidui
Seorang bayi laki-laki sehat berumur 14 bulan diperiksa diklinik darurat Departemen
Pediatric Dentistry, di Hadassah Faculty of Dental Medicine di Jerusalem. Orangtuanya
melaporkan anak itu jatuh dirumah sehari sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa tidak ada
trauma sebelumnya pada gigi. Pemeriksaan klinis didapat gigi yang telah erupsi hanyalah
insisivus maksila dan mandibula. Pada gigi kedua insisivus sentral maksila terdapat fraktur
enamel dan dentin dengan pulpa terbuka pada insisivus kanan. Pada gigi tidak dijumpai
karies, tidak mobiliti dan tidak terjadi perubahan warna. Sensitivitas perkusi tidak dapat
ditentukan (karena kurangnya koperatif anak). Pada jaringan lunak tidak ditemukan luka.17
Pemeriksaan radiografi periapikal menunjukkan keempat gigi insisivus maksila
dengan kamar pulpa yang besar, belum lengkapnya pembentukan akar, dinding dentin yang
tipis, dan apeks yang terbuka. Benih gigi permanen berada pada tahap awal kalsifikasi
koronal.17
Tata Laksana Kasus
Sejak bayi tersebut di NPO selama beberapa jam, diputuskan untuk tidak menunda
perawatan giginya. Setelah persetujuan orangtuanya bayi diberikan premedikasi dengan 2 mg
Midazolam (0.2 mg/kg berat badan) yang diberikan melalui lubang hidung. Setelah 10 menit
pemberian obat, bayi dibaringkan diatas Papoose Board, dan diberikan inhalasi Nitrogen
Oxide (2L:2L) dan dilanjutkan dengan prosedur dental. Selama prosedur perawatan gigi,
tanda vital dari bayi tersebut diperhatikan. Anestesi local diberikan secara infiltrasi dengan
Lidocaine 2% ditambah ephinephrine dengan perbandingan 1:100.000. Gigi diisolasi dengan
rubber dam lalu dilakukan pulpotomi parsial pada gigi insisivus sentralis kanan maksila. Bur
tungsten #330 digunakan untuk memperoleh akses ke kamar pulpa sementara pembersihan
pulpa yang telah diamputasi dengan saline steril dilakukan untuk proses homeostatis tanpa
adanya formasi bekuan darah. Pasta Ca(OH)2 digunakan sebagai dressing lalu ditutup dengan
IRM. Gigi insisivus sentralis kiri diberi lining dengan Dycal. Kedua gigi direstorasi dengan
Vitrebond dan Durafill. Setelah itu orang tua diberi instruksi post-operasi dan instruksi untuk
menjaga oral hygiene. Orang tua dianjurkan untuk datang kembali bersama anak tersebut
setelah 6 minggu apabila tidak terdapat simptom.17
Kunjungan berikutnya, 6 minggu kemudian dilakukan pemeriksaan. Hasil
pemeriksaan klinik menunjukkan gigi yang mengalami trauma tidak goyang, tidak terdapat
perubahan warna, dan tidak sensitif terhadap perkusi. Jaringan lunak yang mengelilingi gigi
tersebut normal. Radiografi periapikal tidak menunjukkan adanya perkembangan penutupan
pada akar, tetapi terdapat pembentukan dentinal bridge.17
Setelah 21 minggu perawatan, gigi insisivus sentral tidak sensitif terhadap perkusi,
tidak terdapat diskolorisasi, dan tidak goyang. Jaringan lunak disekitar gigi normal. Pada
radiografi periapikal terlihat jembatan dentin dan perkembangan pembentukan akar.
Pembahasan
Berdasarkan kasus diatas, dapat dilihat seorang bayi laki-laki usia 18 bulan terjatuh di
rumah dan mengalami fraktur enamel dan dentin yang mengenai pulpa pada kedua insisivus
sentralis rahang atas dan bawah. Gigi tersebut bebas karies, tidak goyang dan tidak berubah
warna. Berdasarkan pemeriksaan klinis, sensitivitas gigi tidak dapat ditentukan karena anak
tidak dapat kooperatif. dijumpai keadaan jaringan lunak baik. pada pemeriksaan penunjang
radiografi periapikal, dijumpai empat insisivus rahang atas memiliki kamar pulpa yang besar,
akar belum sempurna terbentuk dan dinding dentin tipis dan apikal gigi terbuka.17
Penyebab trauma complicated crown fracture pada gigi anak usia ini biasanya
dikarenakan anak yang sedang dalam proses belajar berjalan dan berlari, sehingga insidennya
meningkat. Hal ini diakibatkan oleh aktivitas yang tinggi dan kurangnya koordinasi anggota
tubuh menyebabkan anak sering jatuh. Selain itu juga bisa karena kekerasan yang dilakukan
orang tua atau kerabat dekat pada anak tersebut.17
Pemilihan perawatannya bisa pulpotomi ataupun pulpotomi parsial, tergantung pada
keadaan frakturnya. Formokresol bisa menjadi pilihan bahan medikamen, akan tetapi bahan
ini tidak dapat menutup apeks dari gigi desidui yang akarnya belum menutup sempurna.
Sedangkan kalsium hidroksida dapat menyebabkan resorpsi internal pada gigi desidui yang
mengalami inflamasi. Akan tetapi penggunaan kalsium hidroksida masih dianggap lebih baik.
Tingkat keberhasilan untuk parsial pulpotomi adalah sebesar 97%. Dan koronal pulpotomi
sebesar 75%.17
Laporan Kasus Gigi Permanen Muda I
Seorang anak laki-laki, usia 10 tahun, tinggi badan 133 cm dan berat badan 29 kg,
datang ke klinik Kedokteran Gigi Anak FKG UI pada tanggal 2 Juli 2003, dengan keluhan
gigi depan atas sakit dan ngilu bila makan makanan manis dan minuman dingin. 1 minggu
yang lalu sebelum penderita jatuh dilantai saat berlari didalam rumah dan gigi depan atas
patah sebagian. Keadaan umum anak baik, dapat berkomunikasi, tidak dalam perawatan
dokter, anak dalam keadaan sehat, tidak mempunyai kebiasaan buruk.8
Pemeriksaan ekstra oral muka simetris, tidak ada pembengkakan kelenjar getah
bening, submandibular dan submentalis. Pada pemeriksaan intra oral, tidak ada kelainan
jaringan lunak. Gigi 21 mengalami fraktur mahkota dengan pulpa terbuka. Pada perabaaan
dengan kapas menimbulkan rasa ngilu. Tidak terdapat nyeri tekan dan kegoyangan pada gigi
tersebut.Pemeriksaan karies dijumpai 75,85 KMP non vital dengan gambaran radiografis
resorbsi akar sudah mencapai seperiga servikal, benih gigi tetap 35,45 sudah menembus
tulang dan pertumbuhan gigi tetap sudah mencapai sepertiga servikal. Gigi 54 karies dentin,
55, 13, 23 karies email. Gambaran radiografik gigi 21: menampakkan mahkota fraktur
sepertiga tengah, sudah mencapai pulpa, dan adanya radiolusensi di daerah apical karena
apeks gigi belum tertutup sempurna.8
Tata Laksana Kasus
Diagnosa 21 complicated crown fracture yaitufraktur ini melibatkan email dan dentin
dengan disertai terlibatnya kamar pulpa., vital (menurut klasifikasi ELLIS, fraktur kelas III
dan menurut WHO pada golongan jaringan keras dan pulpa yaitu complicated crown
fracture). Rencana perawatan adalah DHE, 21 pulpotomi dengan Ca(OH)2 – dengan restorasi
komposit. Perawatan gigi lain sesuai dengan indikasi dan topical aplikasi dengan larutan flour
dan pro orthodonti.8
Pada kunjungan pertama,dilakukan pemeriksaan lengkap, DHE, gigi 21 pulpotomi
dengan Ca(OH)2 dan di semen dengan semen ionomer kaca. Seminggu kemudian dilakukan
kontrol, tidak ada keluhan dan secara klinis tidak ditemukan adanya kelainan. Pada minggu
keempat dilakukan kontrol secara klinis dan radiografis. Secara klinis tak ada keluhan dan
kelainan. Dan hasil pemeriksaan radiografi menunjukkan terbentuknya dentin sekunder.
Selanjutnya dilakukan restorasi resin komposit. Dilakukan kontrol 1 minggu dan hasilnya
tumpatan masih baik. Kontrol setelah 1 bulan menunjukkan tumpatan juga masih baik, dan
reaksi positif atas rasa dingin. Kontrolsetelah 6 bulan memperlihatkan tumpatanmasih baik,
serta vitalitas gigi positif. Pemeriksaaan radiografi tidak tampak ada kelainan dan apeks
tertutup sempurna. Pasien dianjurkan untuk datang kembali setelah 1 tahun, dan 2 tahun,
bertujuan mengontrol keadaan giginya. Bila ada keluhan yang timbul dianjurkan segera
datang untuk pemeriksaan dan perawatan lebih lanjut.8
Pembahasan
Trauma gigi tetap insisif sentral atas pada anak usia 10 tahun sering terjadi. Hal ini
dikarenakan pada usia tersebut anak sedang aktif bermain, berolahraga, berlari dan bersepeda.
Dan didukung juga oleh keadaan gigi pasien yang protusif anterior. Pada kasus ini trauma
terjadi saat anak sedang jatuh di dalam rumah.8
Alternatif perawatan yang dipilih pada kasus ini adalah pulpotomi. Keuntungan
pemilihan perawatan pulpotomi adalah pengambilan jaringan pulpa terinfeksi seluruhnya
pada kamar pulpa dan dapat mempertahankan pulpa vital dalam saluran akar. Kasus ini
menunjukkan pembentukkan akar yang masih belum sempurna, dengan mempertahankan
pulpa dalam saluran akar tetap sehat, maka perkembangan akar akan terus
berlanjut.Sedangkan parsial pulpotomi tidak dilakukan karena pada perawatan ini hanya
mengambil bagian tanduk pulpa secara minimal.Pada pasien ini, pulpa sudah terbuka luas
selama satu minggu, kontaminasi bakteri diperkirakan sudah meluas hingga kamar pulpa.
Sehingga perawatan parsial pulpotomi tidak dilakukan.8
Pasien datang dan dilakukan pulpotomi dengan kalsium hidroksida setelah 1 minggu
mengalami trauma. Berbeda dengan pulpotomi yang biasa dilakukan pada gigi dengan pulpa
terbuka tidak lebih dari 72 jam. Hal ini tidaklah menjadi masalah, karena berdasarkan
penelitian yang dilakukan Lucia Blanco, Stephen Cohen ukuran pulpa yang terbuka serta
waktu antara terjadinya trauma dengan perawatan dansempurnanya pembentukan akar
merupakan salah satu hal yang tidak terlalu penting untuk dapat mencapai perawatan
pulpotomi yang optimal.8
Selanjutnya dipilih bahan kalsium hidroksida yang berbentuk campuran pasta base
dan katalis. Mengingat daerah pulpa pada saluran akar kini sudah terlindungi oleh bahan
kalsium hidroksida, selanjutnya dipilih bahan semen ionomer kaca sebagai pendukung bahan
pelindung. Semen ionomer kaca dipilih karenabahan ini mampu melepaskan flour
danmemiliki koefesian termal ekspansi yang samadengan jaringan gigi. Namun bahan ini
jugamemiliki beberapa kekurangan yaitu dari segi estetis.8
Setelah dilakukan pulpotomi dengan kalsium hidroksida, diketahui bahwa sudah
terbentuk dentin sekunder pada minggu keempat. Menurut Ellis dan Davey pembentukkan
dentin sekunder setelah 6-8 minggu perawatan. Namun keberhasilan kasus ini sesuai dengan
penelitian Lucia Blanco dan Stephen Cohen, bahwa pada dasarnya formasi awal dari dentin
sekunder sudah terbentuk 7 hari setelah perawatan.8
Pada kontrol 6 bulan apeks telah tertutup sempurna sehingga gambaran
radiolusenmenghilang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan mempertahankan pulpa
tetap vital, maka perkembangan akar terus berlanjut. Kemudian diberikan restorasi resin
komposit sebagai temporary permanent restoration. Bahan ini digunakan sampai menunggu
pasien usia dewasa sehingga baru dapat dilakukan restorasi permanen.8
Keberhasilan perawatan pulpotomi dengan kalsium hidroksida tergantung dari
pemilihan kasus yang tepat dan prosedur perawatan yang benar. Pada kasus ini perawatan
dilakukan setelah trauma terjadi selama seminggu. Pada minggu keempat setelah perawatan,
hasil pemeriksaan radiografi menunjukkan terbentuknya dentin sekunder. Dan 6 bulan setelah
perawatan pemeriksaan radiografi menunjukkan apeks tertutup sempurna. Kontrol secara
periodik masih perlu dilakukan untuk melihat keadaan pulpa gigi tersebut.8
Laporan Kasus Gigi Permanen Muda II
Anak anak berumur 11 tahun, laki-laki, dibawa ke klinik dengan fraktur mahkota
kompleks pada gigi insisivus sentralis dan lateral pada maksila, datang ke klinik 4 jam setelah
trauma. Berdasarkan riwayat medis, pasien memiliki penyakit sistemik tapi tidak berpengaruh
terhadap perawatan. Pemeriksaan ekstra oral, tidak ditemukan trauma pada jaringan lunak
(mukosa). Pemeriksaan klinis intra oral menunjukkan adanya complicated fracture crown
pada insisivus sentralis kiri maksila, dengan ulserasi dan pulpa yang terekspos, dan adanya
keterlibatan dentin. Pada insisisvus lateral pulpa tidak terekspos. Dari kedua gigi,
pemeriksaan radiografi periapikal menunjukkan adanya perkembangan akar yang sudah
komplit, apeks tertutup dan tidak ada injuri pada periapikal, tidak ada kerusakan tulang
alveolar.
Pembahasan
Dari kasus diatas penatalaksanaan yang akan dilakukan adalah secara endodontik meliputi
proteksi pulpa dengan GIC, dan pada gigi insisivus lateral kiri dilakukan dengan rekonstruksi
dengan resin hybrid dan parsial pulpotomi.
Langkah penatalaksanaan untuk gigi insisivus lateralis
Pengisolasian gigi menggunakan rubber dam, kemudian dilakukan pemberian lokal
anastesi. Letakkan selapis demi selapis GIC untuk melindungi pulpa secara tidak langsung.
Kemudian gigi dietsa menggunakan orthophosporic acid 37 % selama 30 detik dan kemudian
dicuci di air mengalir dan dikeringkan kemudian bahan adhesive diaplikasikan sesuai dengan
petunjuk pabrik. Kemudian resin hybrid diaplikasikan secara incremental. Dan disinar selapis
demi selapis selama 40 detik.
Untuk parsial pulpotomi pada gigi insisivus sentralis menggunakan bur bulat tungsten
no. 330 untuk mengamputasi pulpa yang terekspos sedalam 2 mm. pada saat pengeburan
akan terjadi pendarahan dan akan berhenti sendirinya setelah 2 menit. Lalu letakkan bahan
dressing Ca(OH)2 , kemudian diatasnya diletakkan GIC dan dibiarkan selama 40 detik untuk
autopolimerisasi. Fragmen gigi diletakkan kembali dengan teknik modifikasi Simonsen.
Pemeriksaan klinis dan radiografi dilakukan setelah perawatan kemudian follow up setelah 1
minggu, 1 bulan dan 3 bulan post perawatan dengan tidak ada keluhan yang dirasakan.
Setelah 6 bulan, gigi masih vital tanpa kelainan patologis periodontal dan periapikal serta
restorasinya baik secara estetis dan fungsional.
DAFTAR PUSTAKA
1. McDonald, R.E., Avery, D.R. Dentistry for the child and adolescent. 7th ed. St Louis :
Mosby. 2004.
2. Parkin S F. Notes on Pediatric Dentisry. London:Butterworth-Heinemann,1991:125-
126. 3
3. International Medical College.Dental Trauma:Classification and Aetiology.2003.
http://www.med-college.hu/de/wiki/artikel.php?id=331&lan=2#0. (18 November
2013)
4. Rao A.Principles and Pratice of Pedodontics. New Delhi: Jaypee, 2008:310-316
5. Bastone E B, Freer T J, McNamara J R.Epidemiology of Dental Trauma: A review of
the literature.Australian Dental Jurnal 2000;45(1):2-9
6. Budiharja A S, Rahmat M.Trauma Oral & Maksilofacial.Jakarta:EGC,2010;67-70.
7. Riyanti E. Penatalaksanaan trauma gigi pada anak. 12 Juni 2010.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/penatalaksanaan_trauma_gigi_
pada_anak.pdf 13 November 2013
8. Fauziah E, Hendrarlin S. Perawatan Fraktur Kelas Tiga Ellis Pada Gigi Tetap Insisf
Sentral Atas. Indonesian Joural of Dentistry 2008; 15 (2): 169-174.
9. McTigue DJ. Introduction to dental trauma: managing traumatic injuries in the
primary dentition. In: Pinkham Ed. Pediatric Dentistry: Infancy Through
Adolescence. Canada: W. B Saunders Company, 1988: 180-181.
10. Belanger GK. Pulp Therapy for The Primary Dentition. In: Pinkham Ed. Pediatric
Dentistry: Infancy Through Adolescence. Canada: W. B Saunders Company, 1988:
260-263.
11. Andlaw RJ, Rock WP. Perawatan Gigi Anak (A Manual of Paedodontics). Ed.2. Agus
Djaya. Terjemahan. Jakarta: Widya Medika, 1992: 202-207.
12. Davis JM, Law DB, Lewis TM. An atlas of pedodontics. Second edition.
Philadelphia:W.B Saunders Company, 1981:398,425-426.
13. P. C. S. Filho, P. S. Quagliatto, P. C. Simamoto Jr., and C. J. Soares, “Dental trauma:
restorative procedures using composite resin and mouthguards for prevention,”
Journal of Contemporary Dental Practice, vol. 8, no. 6, pp. 89–95, 2007.
14. Ojeda-Gutierrez. F, Martinez-marquez. B, Arteaga-louis S, dkk “ Case Report :
Management and Followup of Complicated Crown Fractures in Young Patiens
Treated with Partial Pulpotomy” Case report in Dentistry, vol. 2013 (2013).
15. Flores MT. Traumatic injuries in the primary dentition. Review. Dent Traumatol
2002;18:287-298.
16. Malmgren B, Andreasen JO, Flores MT, Robertson A, DiAngelis AJ, Andersson
L, Cavalleri G, Cohenca N, Day P, Hicks ML, Malmgren O, Moule AJ, Onetto J,
Tsukiboshi M. International Association of Dental Traumatology guidelines for the
management of traumatic dental injuries: 3. Injuries in the primary dentition. Dent
Traumatol 2012; 28:174-82.
17. Ram D, Holan G. Partial pulpotomy in a traumatized primary incisor with pulp
exposure: case report. Pediatric Dentistry 1994; 16(1):46-48.