Click here to load reader
Upload
miftah-el-azhary
View
401
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS TENTANG PASAR UANG (MONEY MARKET)
DAN JUAL-BELI MATA UANG (AL-SHARF)
MAKALAH
Diajukan Untuk Menyelesaikan Perkuliahan
Mata Kuliah Hukum Perbankan Syariah
Oleh:
MIFTAQURROHMAN, S.H.I NIM. 2121 1 2020
Dosen Pengampu:
PROF. DR. H. ISMAIL NAWAWI, MPA. M.Si
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO 2013
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem finansial merupakan hal penting bagi efisiensi alokasi sumber daya dalam
ekonomi modern. Efisiensi diharapkan melaksanakan beberapa fungsi termasuk fungsi
fital memfasilitasi intermediasi finansial secara efisien melalui pasar finansial dan
institusi finansial seperti Bank.1
Dalam sistem keuangan, pasar uang (money market) merupakan bagian dari
financial market. Secara konseptual pasar uang adalah suatu kelompok pasar di mana
instrument kredit jangka pendek yang umumnya berkualitas tinggi diperjual-belikan.
Jangka waktu uang biasanya jatuh tempo dalam waktu satu tahun atau kurang.2
Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali
diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun
antar mata uang berlainan jenis (valas). Dan bahwa dalam 'urf tija>ri> (tradisi perdagangan)
transaksi jual-beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya
dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. Maka dari
itu dalam pembahasan ini perlu mendapatkan kejelasan.
Dalam pandangan Islam, uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan sebagai
komoditas atau barang dagangan. Maka motif permintaan terhadap uang adalah untuk
memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi
atau trading. Islam tidak mengenal permintaan uang untuk motif spekulasi (money
demand for speculation). Dalam pandangan Islam uang adalah flow concept, karenanya
harus selalu berputar dalam perekonomian, sebab semakin cepat uang itu berputar dalam
perekonomian, akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan akan semakin
baik perekonomian.3
1 Ismail Nawawi, Ekonomi Moneter Perspektif Islam: Kompilasi Tematik Teori dan Pengantar Praktik
Dalam Bisnis (Surabaya: VIVPRESS, 2011), 134. 2 Ibid. Lihat juga Ismail Nawawi, Perbankan Syari’ah: Issu-Issu Manajemen Fiqh Mu’amalah
Pengkayaan Teori Menuju Praktek (Surabaya: VIVPRESS, 2011), 652. 3 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), 185;
Hasan Ahmad, Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami, Terj. Saifurrahman Barito
dan Zulfakar Ali (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 14; Ismail Nawawi, Perbankan Syari’ah, 658.
3
Dari paparan singkat di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas tentang
Pasar Uang (money market) dan jual-beli mata uang (al-sharf) terutama dengan prinsip
Syariah perspektif teori dasar menuju praktiknya dewasa ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka pokok permasalahannya dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah teori dan praktik Pasar Uang (money market) serta kesesuaian
aplikasinya terhadap prinsip-prinsip Syari’ah dewasa ini?
2. Bagaimanakah teori dan praktik Penukaran mata uang (al-sharf) serta
kesesuaian aplikasinya terhadap prinsip-prinsip Syari’ah dewasa ini?
4
BAB II
PASAR UANG (MONEY MARKET) DAN
JUAL-BELI MATA UANG (AL-SHARF)
A. Pasar Uang (Money Market).
1. Teori Dan Konsep Tentang Pasar Uang.
Pasar Uang (money market) adalah mekanisme untuk memperdagangkan dana
jangka pendek, yaitu dana berjangka waktu kurang dari satu tahun.4 Sedangkan Pasar
Uang Syariah adalah mekanisme yang memungkinkan lembaga keuangan syariah untuk
menggunakan instrumen pasar dengan mekanisme yang sesuai dengan prinsip syariah
baik untuk mengatasi persoalan kekurangan likuiditas maupun kelebihan likuiditas.5
Kegiatan di pasar uang ini terjadi karena ada dua pihak; pihak pertama yang kekurangan
dana yang sifatnya jangka pendek, pihak kedua memiliki kelebihan dana dalam waktu
jangka pendek juga. Mereka dipertemukan di pertemukan dalam pasar uang, sehingga
unit yang kekurangan memperoleh dana yang dibutuhkan, sedangkan unit yang kelebihan
memperoleh penghasilan atas uang yang berlebih tersebut.6
Pengertian pasar uang dalam teori ekonomi bukanlah suatu tempat secara fisik
orang berjualan dan menjajakan barang dagangannya. Pasar diartikan secara lebih luas
dalam pengertian sehari-hari, yaitu pertemuan antara permintaan dan penawaran.
Apabila permintaan dan penawaran bertemu di pasar maka akan terjadi transaksi. Dalam
transaksi ini dicapai kesepakatan mengenai dua hal, yaitu harga dan volume dari apa
yang ditransaksikan.7
4 Andri Soemitro, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, cet. II (Jakarta: Kencana, 2010), 201.
5 Ibid., 203.
6 Harga dalam pasar uang biasanya dinayatakan dalam suatu prosentase yang mewakili pendapatan
(return) berkaitan dengan penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu. Pelaku dalam pasar uang umumnya
disebut peminjam (borrowers) dan pemberi pinjaman (lenders). Peminjam adalah individu yang membeli hak
penggunaan dana untuk jangka waktu yang ditentukan sebelumnya. Sedangkan pemberi pinjaman adalah
individu yang menjual hak penggunaan dana untuk jangka waktu tersebut. Harga yang diterima oleh pemberi
pinjaman untuk melepaskan hak penggunaan dana itu disebut tingkat bunga (interest rate). Misalnya, di dalam
pinjaman sebesar Rp. 100,-, apabila pemberi pinjaman menerima Rp. 120,- pada akhir tahun, kelebihan sebesar
Rp. 20,- yang diterima tersebut dinyatakan dalam persentase, yaitu 20% tingkat bunga pertahun. Ismail
Nawawi, Ekonomi Moneter Perspektif Islam, 136-137. 7 Andri Soemitro, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, 201-202.
5
Untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank-bank Islam memerlukan akses ke
pasar uang. Jika bank memiliki kelebihan likuiditas ia dapat menggunakan instrumen
pasar uang untuk menginvestasikan dananya, dan apabila kekurangan likuiditas ia dapat
menerbitkan instrumen yang dapat dijual untuk mendapatkan dana tunai. Namun dalam
hal ini, terdapat perbedaan mendasar anatra Pasar Uang Syariah dan Bank Konvensional:
Pertama, pada mekanisme penerbitan. Pada pasar uang konvensional instrumen yang
diterbitkan adalah instrumen utang yang dijual dengan diskon dan didasarkan atas
perhitungan bunga; sedangkan pasar uang syariah lebih kompleks dan mendekati
mekanisme pasar modal, yaitu transaksi keuangan di pasar uang syariah dilandasi oleh
akad mudharabah, musyarakah, qardh, wadi’ah, dan al-sharf, tergantung pada
kesepakatan pihak yang terkait dan kebutuhan masing-masing.
Kedua, pada sifat instrumen itu sendiri. Instrumen yang dijual di pasar konvensional
adalah surat berharga yang mewakili uang di mana unit yang satu memiliki kewajiban
kepada unit yang lain. Sedangkan penciptaan instrumen keuangan syariah harus di
dukung oleh aktiva, proyek aktiva atau transaksi jual beli yang melatarbelakanginya
(underlying transaction). Peranti keuangan syariah harus dibentuk melalui sekuritisasi
aktiva/proyek aktiva yang merupakan bukti penyertaan, baik dalam bentuk penyertaan
musyarakah (management share) yang meliputi modal tetap, dengan hak mengelola,
mengawasi dan hak suara dalam pengambilan keputusan. Atau dalam bentuk penyertaan
mudharabah (participation share) yang mewakili modal kerja, dengan hak atas modal
dan keuntungan dari modal tersebut tanpa adanya hak suara.8
B. Perbedaan antara Pasar uang dan Pasar Modal.
Pasar uang dan pasar modal memiliki persamaan, yaitu sebagai sarana bagi
investor dalam melakukan investasi di samping sebagai sarana mobilisasi dana bagi
pihak yang membutuhkan dana. Namun, pasar uang memiliki karakteristik tertentu yang
membedakannya dengan pasar modal, baik dari segi jangka waktu instrumen
diperjualbelikan, tempat penjualannya, serta tujuan para penjual dan pembelinya.
Perbedaan tersebut bisa dilihat pada tabel berikut:9
8 Ibid., 203.
9 Ibid., 205-206. Lihat juga Ismail Nawawi, Ekonomi Moneter Perspektif Islam, 134-135.
6
Aspek Pasar uang Pasar Modal
1. Instrumen yang diperjualbelikan
Surat-surat berharga jangka pendek (tidak lebih dari satu tahun)
Pasar likuiditas primer
Suart-surat berharga jangka panjang
Dana yang bersifat permanen atau semi permanen.
2. Pasar tempat pelaksanaan transaksi
Bersifat Abstrak (dilakukan secara OTC, Over The Counter. Para dealer bekerja di dealing room bank masing-masing dan bertransksi melalui berbagai jaringan komunikasi canggih seperti RMDS, Reuters Monitor Dealing System, broker voice mail, telex, faksimile.)
Bursa efek
3. Struktur Organisasi Tidak terorganisasi (unorganizet market) Terorganisasi (organizet market).
Diatur dan diawasi oleh otoritas pasar modal, Bapepam-LK.
4. Tujuan Para Penjual (Penerbit instrumen)
Memenuhi kebutuhan modal jangka pendek (exp. modal kerja).
Investasi dan atau ekspansi perusahaan.
5. Tujuan Para Pembeli (investor)
Mencari keuntungan. Mencari keuntungan dan penguasaan perusahaan.
Pertumbuhan dan perkembangan perdagangan internasional membutuhkan
pembiayaan jangka pendek dan jangka panjang. Modal jangka panjang dibutuhkan untuk
membiayai pembangunan pabrik baru, sistem transportasi dan sebagainya. Pembiayaan
jangka pendek dibutuhkan untuk membiayai ekspor dan impor barang serta kebutuhan
modal kerja lain.
C. Fungsi, Peserta dan Tujuan Pasar Uang.
Di antara fungsi Pasar uang yaitu:
Sebagai sarana pengendali moneter oleh penguasa moneter dalam
melaksanakan Operasi Pasar Terbuka (OPT).10
Sebagai sumber informasi bagi stakeholder.11
Sedangkan tujuan Pasar uang yaitu:
Bagi pihak yang membutuhkan dan mencari dana memiliki tujuan antara lain untuk:
1. Memenuhi kebutuhan jangka pendek, seperti membayar utang yang segera
akan jatuh tempo.
2. Memenuhi kebutuhan likuiditas, disebabkan kekurangan uang kas.
3. Memenuhi kebutuhan modal kerja, yaitu membayar biaya-biaya, upah
karyawan, gaji, pembelian bahan dan kebutuhan modal kerja lainnya.
10
Kontraksi Moneter adalah pengurangan likuiditas bank melalui kegiatan OMS. Sedangkan Ekspansi
Moneter adalah penambahan likuiditas bank melalui kegiatan OMS. Lihat Ibid., 206-207. Lihat juga Ismail
Nawawi, Perbankan Syari’ah, 654. 11
Ibid., 207-208.
7
4. Sedang mengalami kalah kliring, hal ini terjadi di lembaga kliring dan harus
segera dibayar.
Bagi pihak yang menanamkan dananya (investor) memiliki tujuan antara lain untuk:
1. Memperoleh penghasilan dengan tingkat suku bunga tertentu bagi lembaga
keuangan konvensional, sedangkan bagi lembaga keuangan syariah tergantung
dari akad yang digunakan.
2. Bermaksud membantu pihak yang benar-benar mengalami kesulitan
keuangan.
3. Spekulasi, dengan harapan akan memperoleh keuntungan besar dalam waktu
yang relatif singkat dan dalam kondisi ekonomi tertentu (motif ini tidak
diakui oleh Islam).12
Instrumen Pasar Uang Konvensional
Adapun jenis-jenis instrumen pasar uang yang ditawarkan dalam pasar uang
dengan sistem konvensioanl di Indonesia antara lain: Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
Pasar Uang Antarbank (PUAB), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), Sertifikat
Deposito, Commercial Paper, Repurchase Agreement, Banker’s Acceptance, Promes dan
wesel.13
Instrumen Pasar Uang Syari’ah
Pelaksanaan Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disebut OMS adalah
pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter
melalui kegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan penyediaan standing facilities
berdasarkan prinsip syariah. Adapun jenis-jenis instrumen pasar uang yang ditawarkan
dalam pasar uang dengan sistem syariah di Indonesia antara lain:
1. Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) adalah surat berharga berdasarkan
prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia.14
2. Repurchase Agrement (Repo) SBIS
12
Ibid., 208. 13
Lihat Lihat Soemitro, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, 216. 14
Adapun fitur SBIS yaitu ditujukan sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka dalam rangka
pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip Syariah. SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
menngunakan akad Ju’alah. Sedangkan mekanisme SBIS diterbitkan melalui mekanisme lelang. Pihak yang
dapat mengikuti lelang SBIS adalah Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan pialang yang
bertindak untuk dan atas nama BUS dan UUS. Lihat Soemitro, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, 217;
lihat juga Ismail Nawawi, Perbankan Syari’ah, 674.
8
Repo SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada
BUS atau UUS dengan agunan SBIS (collateralized borrowing).15
3. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas sebagian
penyertaan terhadap aset SBSN dalam mata uang rupiah.16
4. Repurchase Agrement (Repo) SBSN
(Repo) SBSN adalah transaksi penjualan SBSN oleh Bank kepada Bank
Indonesia dengan janji pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka
waktu yang disepakati dalam rangka standing facilities Syariah.17
5. Instrumen Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS)
Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS) adalah kegiatan transaksi keuangan
jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah
maupun valuta asing. Instrumen PUAS adalah instrumen keuangan
berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau UUS
yang digunakan sebagai sarana transaksi di PUAS.18
6. Surat Berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Yang
dimaksud Surat Berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan
adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh badan
hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian
lembaga pemeringkat yang diakui BI sebagaimana diatur dalam ketentuan BI
15
Karakteristik Repo SBIS yaitu: (1) Hanya dapat diajukan kepada Bank Indonesia. (2) menggunakan
aqad qard yang diikuti rahn. (3) Berjangka waktu 1 (satu) hari kerja. (4) diberikan paling banyak sebesar nilai
SBIS yang diagunkan. (5) dibuka mulai pukul 17.00 WIB. Ibid., 219-220; 16
Mekanisme penatausahaan SBSN terdiri dari tiga kegiatan, yaitu: (1) Settelment SBSN di pasar
perdana. (2) Pembayaran imbalan dan atau nilai nominal SBSN. (3) Settelment SBSN di pasar sekunder. Ibid., 221.
17 Repo SBSN memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) menggunakan akad al-bai’ yang disertai
dengan al-wa’d (janji) oleh Bank kepada BI dalam dokumen terpisah untuk membeli kembali SBSN dalam
jangka waktu dan harga yang disepakati. (b) berjangka waktu paling lama 14 (empatbelas) hari kalender. (c)
terhadap penggunaan Repo SBSN dikenakan biaya repo SBSN dengan rate sebesar BI-Rate + margin 50
(limapuluh). Ibid., 225. 18
Pada dasarnya, PUAS dimaksudkan sebagai sarana investasi antarbank syariah sehingga bank
syariah tidak diperkenankan menanamkan dana pada bank konvensional untuk menghindari pemanfaatan dana
yang akan menghasilkan bunga. Peserta PUAS adalah bank syariah dan bank konvensional. Bank syariah dapat
dapat melakukan penanaman dana dan atau pengelolaan dana sedangkan bank konvensional hanya dapat
menanamkan dananya. Ibid., 227-229.
9
mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui BI, dan sewaktu-
waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai.19
Produk-produk tersebut dapat dibedakan menjadi Sertifikat Bank Wadi’ah
Indonesia (SWBI), Sertifikat Investasi Mudharabah AntarBank (IMA), Sertifikat
Bank Indonesia Syari’ah (SBIS), dan Al-Sharf.20
2. Analisis Pasar Uang dan Kesesuaianya Dengan Prinsip-Prinsip Syari’ah.
Untuk mengetahui apakah praktik Pasar Uang yang telah berjalan sudah
sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’ah atau belum, perlu kiranya disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan mekanismenya yang telah ditetapkan oleh DSN-MUI selaku
institusi yang paling berwenang mengatur dan mengawasi semua aktifitas
perekonomian Syari’ah di Indonesia. Ketentuan-ketentuan dimaksud sebagaimana
termaktub dalam fatwa nomor: 78/DSN-MUI/IX/2010 Tentang Mekanisme Dan
Instrumen Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah, yaitu:
Ketentuan Umum:
1. Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS) adalah kegiatan
transaksi keuangan jangka pendek antarpeserta pasar berdasarkan prinsip-
prinsip syariah.
2. Peserta PUAS dalam pasar primer adalah:
a. Bank syariah sebagai penerima dana dalam kapasitasnya sebagai penerbit
instrumen PUAS, atau pemilik dana, dan
b. Bank konvensional hanya sebagai pemilik dana.
3. Peserta PUAS dalam pasar sekunder adalah:
a. Bank syariah sebagai penjual atau pembeli instrumen PUAS.
b. Bank konvensional sebagai penjual atau pembeli instumen PUAS.
4. Sertifikat PUAS adalah instrumen bukti kepemilikan investasi yang ditran
saksikan dalam PUAS.
5. Pialang adalah perantara perdagangan sertifikat PUAS, yang mendapatkan
izin dari Bank Indonesia.
19
Ibid., 229. 20
Ismail Nawawi, Perbankan Syari’ah, 673-674.
10
Ketentuan Khusus:
1. Dalam pasar primer, penerbitan Sertifikat PUAS dapat dilakukan dengan
menggunakan akad:
a. Mudharabah, atau
b. Musyarakah
2. Bagi hasil Sertifikat PUAS yang diterbitkan berasal dari hasil aset yang
menjadi dasar penerbitan, baik aset yang memiliki imbal hasil tetap maupun
aset yang memiliki imbal hasil tidak tetap, sesuai dengan akad.
3. Sertifikat PUAS dapat dialihkan kepemilikannya sebelum jatuh tempo.
4. Dalam pasar sekunder, transaksi yang dilakukan untuk pengalihan Sertifikat
PUAS dapat menggunakan akad jual beli (bai’) dengan harga yang
disepakati.
5. Penjual Sertifikat PUAS dapat berjanji (wa’d) untuk membeli kembali
Sertifikat tersebut pada harga yang disepakati di awal.
6. Dalam hal janji untuk membeli kembali tidak dipenuhi, penjual dapat
dikenakan sanksi.
7. Transaksi PUAS dapat dilakukan secara bilateral, melalui pialang, lelang (bai’
muzayadah), atau melalui mekanisme lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah.
8. Transaksi antara peserta PUAS dengan pialang menggunakan akad ju’alah.
9. Jika terjadi terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dapat dilakukan melalui mediasi, Badan Arbitrase Syariah atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Yang berjalan selama ini, transaksi dalam pasar uang syariah tidak ada masalah;
dalam artian tidak ada pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syari’ah. Seandainya ada, itu
hanya berkaitan dengan individu para pelaku, semisal risiko operasional, yang
disebabkan oleh human error atau fraud (penipuan), wanprestasi (ingkar janji), maupun
motivasi pribadi yang sulit dihindari, semisal spekulasi. Selama mekanisme, prosedural
maupun juklak-juknis pasar uang syari’ah dijalankan sesuai prinsip-prinsipnya,
sebagaimana yang difatwakan oleh DSN-MUI, maka status transasksi akan sah dan tetap
bernilai syar’i.
11
D. Jual-beli Mata uang (al-Sharf).
1. Teori, Konsep, dan Mekanisme Tentang Jual-beli Mata Uang (al-Sharf).
“Currency trading is the process of investing in world currencies. It involves
buying and selling currencies to take advantage of variations in exchange rates”
(Perdagangan mata uang adalah proses investasi di mata uang dunia. Yang
melibatkan usaha membeli dan menjual mata uang untuk mengambil keuntungan
dari variasi dalam nilai tukar).21 Dalam Islam jual beli mata uang dikenal dengan
istilah al-Sharf. Muhammad al-Adnani mendefinisikan al-Sharf dengan tukar
menukar uang. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa al-Sharf
berarti menjual uang dengan uang lainnya.22
Taqiyuddin an-Nabhani mendefinisikan al-Sharf dengan pemerolehan harta
dengan harta lain, dalam bentuk emas dan perak, yang sejenis dengan saling
menyamakan antara emas yang satu dengan emas yang lain, atau antara perak yang
satu dengan perak yang lain (atau berbeda sejenisnya) semisal emas dengan perak,
dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan jenis yang lain.
Kesimpulannya, bahwa al-sharf merupakan suatu perjanjian jual beli suatu valuta
dengan valuta lainnya, transaksi jual beli mata uang asing yang sejenis (single
currency; misalnya rupiah dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (multy
currency; misalnya rupiah dengan dolar atau sebaliknya).23
Syarat dalam transaksi sharf adalah24
:
1. Mata uang asing yang diperjualbelikan harus jenis mata uang yang berbeda.
Contohnya, penukaran mata uang dolar dengan mata uang rupiah, atau
sebaliknya. Apabila yang dipertukarkan adalah mata uang yang sama, harus
dalam jumlah atau kualitas yang sama. Jadi tidak diperbolehkan dalam prinsip
syariah untuk melakukan penukaran 10 lembar uang pecahan Rp. 1.000,00
dengan harga Rp. 110.000,00 misalnya. Yang boleh adalah penukaran 10
lembar uang pecahan Rp. 1.000,00 dengan harga Rp. 100.000,00 saja.
21
http://www.ehow.com
22
http://clotehkangtop.blogspot.com/2011/03/hukum-jual-beli-mata-uang.html, diakses 18 07 2013. 23
Ibid. 24
Irma Devita Purnamasari & Suswinarno, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah Dan Bijak Memahami Masalah Akad Syari’ah, Cet. I (Bandung: Kaifa, 2011), 141-142.
12
2. Dilakukan dalam bentuk transaksi Spot (tunai) dengan nilai tukar (kurs) yang
berlaku pada saat transaksi dilakukan.
Bank syariah bertindak sebagai pihak yang menerima penukaran maupun pihak yang
menukarkan uang dari atau kepada nasabah. Dari posisi sebagai penyedia dana
tersebut, bank syariah mendapatkan keuntungan dari selisih kurs dalam penukaran
mata uang yang berbeda. Sedangkan jika valuta yang dipertukarkan itu sama, maka
bank hanya menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyat dan pengatur distribusi
keuangan. Bank syari’ah tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dengan
penarikan lebih dari transaksi ini.
Risiko yang mungkin dihadapi oleh bank syariah dalam transaksi Sharf ini adalah:25
1. Risiko operasional, yang disebabkan oleh human error atau fraud (penipuan).
2. Risiko hukum, terkait dengan tindak pidana pencucian uang dengan
menggunakan vasilitas valas.
Dewan Syari’ah Nasional mengeluarkan fatwa Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002
Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf):
1. Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
b. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus
sama dan secara tunai (al-taqabudh).
d. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang
berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
2. Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing
a. Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas)
untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya
paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena
dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses
penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.
b. Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang
nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang
25
Ibid., 142.
13
akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah
haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan
(muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga
pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang
disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk
kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
c. Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan
harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas
yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung
unsur maisir (spekulasi).
d. Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka
membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah
unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu.
Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).26
2. Analisis Tentang Aplikasi & Realisasi Jual-beli Mata Uang (al-Sharf).
Fakta:
Yang terjadi di jalanan itu adalah sama dengan Jual Beli uang, bukan tukar menukar
uang. Dan jual beli uang tidak diperbolehkan. Uang tidak boleh dijual untuk memperoleh
uang. Begitu juga dengan tukar menukar emas. Jumlah, nilainya harus sama dan dibayar
kontan.
BI menyebut jasa penukaran uang dengan praktik pembelian uang baru. BI
memperingatkan agar masyarakat menghindari pembelian uang baru di pinggir jalan.
Pasalnya uang yang diberikan, tidak sesuai dengan jumlah yang ditukarkan. Selain itu,
dikhawatirkan ada uang palsu yang terselip atau sengaja diselipkan.
Solusi:
Kelebihan uang yang dari hasil penukaran itu dianggap sebagai hadiah.
Caranya, seseorang yang menukarkan uang mengeluarkan uang Rp. 100 ribu.
Kemudian si pemilik jasa penukaran uang memberikan uang Rp. 10 ribuan
dengan jumlah 10 lembar. Si Penukar uang memberikan kelebihannya berapapun
dengan dasar hadiah. Tapi apakah si pemilik jasa penukaran uang itu mau diberi
berapapun? Untuk solusi ini bisa menggunakan akad ju’alah.
26
Lihat juga Ismail Nawawi, Perbankan Syari’ah, 676-677.
14
Meminta kepada Bank yang menyediakan uang pecahan ini untuk membuka konter
sebanyak mungkin guna mempermudah masyarakat dalam memperoleh uang pecahan
tanpa menggunakan jasa para broker.
Penukaran uang dalam satu mata uang namun dengan nilai yang tidak sama adalah bagian
dari riba. Meskipun bentuk fisiknya beda, tapi nilainya teap sama. Maka uang pecahan
seratus ribu kalau mau ditukar dengan uang lima ribuan, nilainya harus sama. Tidak boleh
berbeda walau hanya satu rupiah pun. Sebab khusus dalam tukar menukar uang dalam
satu mata uang, tidak boleh ada perbedaan nilai. Adapun tukar menukar uang antara mata
uang yang berbeda, tidak termasuk hal yang diharamkan. Sebab keduanya adalah mata
uang yang berbeda. Nilai masing-masing bisa saling berbeda dan setiap hari selalu
berubah. Seolah-olah keduanya adalah dua komoditi yang berbeda, lalu punya nilai yang
juga fluktuatif. Karena itu boleh dipertukarkan antara satu dengan yang lainnya.
Dia mengimbau kepada masyarakat untuk tidak menggunakan jasa penukaran uang di
pinggir jalan. Masyarakat diminta menggunakan jasa perbankan yang menyediakan jasa
penukaran. Selain itu, kepada bank penyedia jasa penukaran uang pecahan juga diminta
untuk tidak mempersulit masyarakat yang ingin memiliki uang pecahan itu.
Perlu diketahui bahwa Ibn Rushd menuliskan Bidayat al-Mujtahid dengan
menganalisis berbagai pendapat para imam dari keempat madhhab utama. Dalam
formulasi sederhananya Ibn Rushd menggolongkan kemungkinan munculnya riba
dalam perdagangan di atas ke dalam dua jenis:
(1) Penundaan pembayaran (riba nasi’ah); dan
(2) Perbedaan nilai (riba tafadul).
Riba yang pertama, al-nasi’ah, merujuk pada selisih waktu; dan riba yang kedua,
tafadul atau al-fadl, merujuk pada selisih nilai. Dengan dua jenis sumber riba ini, Ibn
Rushd merumuskan adanya empat kemungkinan:
1. Hal-hal yang pada keduanya, baik penundaan maupun perbedaan, dilarang
adanya.
2. Hal-hal yang padanya dibolehkan ada perbedaan tetapi dilarang ada penundaan.
3.Hal-hal yang pada keduanya, baik penundaan maupun perbedaan, diperbolehkan
adanya.
4. Hal-hal (yang dipertukarkan) yang terdiri atas satu jenis (genus) yang sama
(semisal pertukaran uang, sewa-menyewa, dan utang-piutang).
Rumusan di atas menunjukkan bahwa istilah penundaan maupun perbedaan nilai
(penambahan) digunakan di dalam fikih untuk hal-hal baik yang bisa dibenarkan
15
maupun tidak, tergantung kepada jenis transaksi dan barang yang ditransaksikan. Ini
bermakna bahwa:
a) Dalam suatu transaksi yang mengandung unsur penundaan yang dilarang
timbul riba yang termasuk riba al nasi’ah.
b) Dalam transaksi yang mengandung unsur penambahan yang dilarang timbul
riba yang termasuk riba al-fadl.
c) Dalam suatu transaksi yang mengandung keduanya berarti timbul riba yang
merupakan riba al-nasi’ah dan riba al-fadl sekaligus.
Pengertian yang benar tentang jenis riba ini penting terutama dalam konteks
transaksi yang melibatkan jenis (genus) yang sama di atas. Berikut kita aplikasikan
pengertian ini dalam beberapa jenis transaksi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh
kongkrit diberikan untuk memperjelas pengertiannya. Transaksi utang-piutang
mengandung penundaan (selisih) waktu, tapi tidak ada unsur penambahan. Seseorang
meminjamkan uang Rp 1 juta rupiah, dan peminjam melunasinya, setelah tertunda
beberapa waktu lamanya, dalam jumlah yang sama, Rp 1 juta. Penundaan waktu
dalam utang-piutang ini dibenarkan dan hukumnya halal, tetapi penambahan atasnya
tidak dibenarkan dan hukumnya haram. Penambahan dalam utang-piutang adalah riba
al-fadl.
Transaksi pertukaran tidak melibatkan baik penundaan (selisih) waktu maupun
penambahan nilai. Seseorang memberikan sejumlah uang Rp. 1 juta kepada seseorang
yang lain. Tanpa ada selisih waktu, artinya pada saat uang diserahkan, dan tanpa
perbedaan nilai, tetap Rp 1 juta, seseorang lain menerimanya, sambil menyerahkan
uang yang sama Rp 1 juta. Selisih waktu dalam pertukaran dilarang dan hukumnya
haram; demikian juga penambahan di dalam pertukaran dilarang dan hukumnya
haram. Kalau penyerahannya (dari salah satu atau kedua belah pihak) ditunda maka
yang harus dilakukan adalah menjadikan transaksi tersebut secara jelas sebagai utang-
piutang. Utang-piutang tidak boleh disembunyikan sebagai pertukaran. Kalau hal ini
terjadi maka timbul riba, dalam hal ini riba al-nasi’ah.
Transaksi sewa-menyewa melibatkan kedua unsur, baik penundaan maupun
penambahan nilai. Seseorang yang menyewa rumah, misalnya Rp 10 juta untuk
setahun, akan mengambil hak pemilikan sementara (selama setahun) atas rumah
tersebut dan ketika mengembalikannya, setelah setahun kemudian, bersama dengan
16
penambahan nilai, berupa uang sewanya, Rp 10 juta. (Bahwa umumnya saat ini sewa
rumah dibayar di muka, adalah persoalan lain). Keduanya, penundaan waktu dan
penambahan nilai dalam transaksi ini dibolehkan, hukumnya halal. Tetapi, harus
dipahami, bahwa transaksi sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas benda-benda
tertentu saja (bangunan, kendaraan, binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-
benda lain yang fungible – habis terpakai dan tidak bisa dimanfaatkan bagian
perbagiannya, seperti makanan dan benda yang dipakai sebagai alat tukar, yakni uang.
Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah transaksi, dan menjadikannya sebagai
riba. Dalam hal ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl, karena menyewakan uang
serupa dengan menambahkan nilai pada utang-piutang.
Sedangkan dalam jual-beli, yang melibatkan benda tidak sejenis, penundaan
dibolehkan, tetapi penambahan nilai dilarang. Pemesanan barang dengan pembayaran
uang muka, atau pembelian barang yang diserahkan kemudian, yang melibatkan
penundaan waktu dibolehkan, dan hukumnya halal. Tetapi jual-beli yang melibatkan
dua harga yang berbeda, misalnya Rp. 1 juta bila dibayar tunai, dan menjadi Rp. 1.5
juta bila dicicil atau dibayar beberapa waktu kemudian, diharamkan. Atau bila seorang
penjual memberikan penundaan pembayaran, dalam fikih disebut transaksi salam,
yang dibolehkan namun pada saat jatuh tempo ia menyatakan kepada pembeli ’Anda
boleh memperpanjang tempo tapi dengan tambahan harga’ atau, sebaliknya pada awal
transaksi, ’Anda boleh membayar lebih cepat dan saya akan berikan diskon (selisih
harga)’, transaksi ini menjadi haram hukumnya. Dalam hal ini masuk unsur riba, yaitu
riba al-fadl. Dalam fikih bentuk transaksi ini dikenal sebagai ’dua penjualan dalam
satu transaksi’.
Dengan dipahaminya pengertian riba menurut syariah sebagaimana
dirumuskan oleh para ulama di atas, posisi para pembaru akan dengan jelas dapat
dilihat ketika mereka meredefinisi pengertian riba dengan tujuan untuk
mengakomodasi system ekonomi modern (baca: kapitalisme) yang sepenuhnya
berdasarkan riba.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan tentang Pasar Uang Syariah di atas, maka penulis
dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pasar Uang Syariah adalah mekanisme yang memungkinkan lembaga keuangan
syariah untuk menggunakan instrumen pasar dengan mekanisme yang sesuai dengan
prinsip syariah baik untuk mengatasi persoalan kekurangan likuiditas maupun
kelebihan likuiditas.
2. Berdasarkan pengamatan, bahwa praktek Pasar Uang Syariah secara umum sudah
sesuai dengan mekanisme, prosedural dan prinsip-prinsip Syari’ah. Jika ada hal-hal
yang kurang sejalan, itu semisal terkait dengan individu para pelaku, semisal risiko
operasional, yang disebabkan oleh human error atau fraud (penipuan), wanprestasi
(ingkar janji), maupun motivasi pribadi yang sulit dihindari, semisal spekulasi.
3. Al-sharf merupakan suatu perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya,
transaksi jual beli mata uang asing yang sejenis (single currency; misalnya rupiah
dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (multy currency; misalnya rupiah dengan
dolar atau sebaliknya).
4. Berdasarkan pengamatan, bahwa akad sharf baik yang single currency maupun yang
multy currency masih sering terjadi pelanggaran syariah, artinya di dalam transaksi
tersebut masih terdapat unsur riba jenis fadhli, terutama transaksi sharf single
currency yang dilakukan di jalan-jalan dan bukan di Bank. Sedangkan untuk sharf
multy currency cukup aman, karena merupakan keniscayaan seumpama terdapat nilai
lebih, karena hal tersebut mengikuti nilai kursnya. Selisih nilai tukar di antara
keduanya bisa ditoleransi selama dalam batas yang wajar menurut standar kurs yang
berlaku saat itu.
B. Saran
Pengetahuan tentang Pasar Uang dengan prinsip Syariah, Jual-beli Mata Uang
(al-Sharf), baik secara teori, praktik, serta kesesuaian aplikasinya terhadap prinsip-
18
prinsip Syari’ah sangat dibutuhkan oleh para akademisi syariah, oleh karena itu
kajian tentang hal tersebut perlu ditindaklanjuti. Dan penulis sadar betul bahwa apa
yang ada dalam makalah ini jauh dari sempurna, maka kritik dan saran selalu kami
harapkan dari para pembaca. Terima kasih.
19
DAFTAR PUSTAKA
Nawawi, Ismail. Ekonomi Moneter Perspektif Islam: Kompilasi Tematik Teori dan Pengantar Praktik Dalam Bisnis. Surabaya: VIVPRESS, 2011.
Nawawi, Ismail. Perbankan Syari’ah: Issu-Issu Manajemen Fiqh Mu’amalah Pengkayaan Teori Menuju Praktek. Surabaya: VIVPRESS, 2011.
Soemitro, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Cet. II. Jakarta: Kencana, 2010.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani,
2001.
Ahmad, Hasan. Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami, Terj.
Saifurrahman Barito dan Zulfakar Ali. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Fatwa DSN-MUI NO: 37/DSN-MUI/X/2002 Tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan
Prinsip Syari’ah.
Fatwa DSN-MUI NO: 28/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
http://www.ehow.com
http://clotehkangtop.blogspot.com/2011/03/hukum-jual-beli-mata-uang.html
Purnamasari, Irma Devita & Suswinarno. Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah Dan Bijak Memahami Masalah Akad Syari’ah, Cet. I Bandung: Kaifa, 2011.