61
PERFORASI GASTROINTESTINAL PENDAHULUAN Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut ( keadaan ini dikenal dengan istilah peritonitis). Perforasi lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang disebabkan karena kebocoran asam lambung kedlam rongga perut. Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus kegawatan bedah. Pada anak-anak cedera yang mengenai usus halus akibat dari trauma tumpul perut sangat jarang dengan insidensinya 1-7 %. Sejak 30 tahun yang lalu perforasi pada ulkus peptikum merupakn penyebab yang tersering. Perforasi ulkus duodenum insidensinya 2-3 kali lebih banyak daripada perforasi ulkus gaster. Hampir 1/3 dari perforasi lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung. Sekitar 10-15 % penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi perforasi bebas. Pada pasien yang lebih tua appendicitis acuta mempunyai angka kematian sebanyak 35 % dan angka kesakitan 50 %. Faktor-faktor utama yang berperan terhadap angka kesakitan dan kematian pada pasien-pasien tersebut adalah kondisi medis yang berat yang menyertai appedndicitis tersebut. Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma arteri mesenterika superior, trauma. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Fungsi lambung. terdiri dari: 1) Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik lambung dan getah lambung. 2) Getah cerna lambung yang dihasilkan;

Perforasi Gastrointestinal Dan Nyeri Abdomen Akut

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Perforasi Gastrointestinal Dan Nyeri Abdomen Akut

Citation preview

PERFORASI GASTROINTESTINAL PENDAHULUAN

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut ( keadaan ini dikenal dengan istilah peritonitis). Perforasi lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang disebabkan karena kebocoran asam lambung kedlam rongga perut. Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus kegawatan bedah.

Pada anak-anak cedera yang mengenai usus halus akibat dari trauma tumpul perut sangat jarang dengan insidensinya 1-7 %. Sejak 30 tahun yang lalu perforasi pada ulkus peptikum merupakn penyebab yang tersering. Perforasi ulkus duodenum insidensinya 2-3 kali lebih banyak daripada perforasi ulkus gaster. Hampir 1/3 dari perforasi lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung. Sekitar 10-15 % penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi perforasi bebas. Pada pasien yang lebih tua appendicitis acuta mempunyai angka kematian sebanyak 35 % dan angka kesakitan 50 %. Faktor-faktor utama yang berperan terhadap angka kesakitan dan kematian pada pasien-pasien tersebut adalah kondisi medis yang berat yang menyertai appedndicitis tersebut.

Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma arteri mesenterika superior, trauma.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Fungsi lambung. terdiri dari:

1) Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik lambung dan getah lambung.

2) Getah cerna lambung yang dihasilkan;

ð Pepsin fungsinya, memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan pepton).

ð Asam garam (HCl) fungsinya; Mengasamkan makanan, sebagai anti septik dan desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga menjadi pepsin.

ð Renin fungsinya, sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).

ð Lapisan lambung. Jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam lemak yang merangsang sekresi getah lambung.

Sekresi getah lambung mulai terjadi pada awal orang makan. bila melihat makanan dan mencium bau makanan maka sekresi lambung akan terangsang. Rasa makanan merangsang sekresi lambung karena kerja saraf sehingga menimbulkan rangsangan kimiawi yang nienyebabkan dinding lambung melepaskan hormon yang disebut sekresi getah lambung. Getah

lambung dihalangi oleh sistem saraf simpatis yang dapat terjadi pada waktu gangguan emosi seperti marah dan rasa takut.

USUS HALUS / INTESTINUM MINOR

Intestinum minor adalah bagian dari Sistem Pencernaan Makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada seikum panjangnya sekitar 6 m, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil pencernaan yang terdiri dari:

Lapisan usus halus; mukosa (sebelah dalam). Lapisan melingkar ( M. sirkuler), lapisan otot memanjang (M. longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar)

Duodenum. Disebut juga usus 12 jari, panjangnya sekitar 25cm berbentuk sepatu kuda melengkung kekiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas. Dan bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir yang membukit disebut Papila vateri. Pada papila vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pankreas (duktus wirsungi / duktus pankreatikus)

Empedu dibuat di hati, untuk dikeluarkan ke duodenum melalui duktus koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak dengan bantuan lipase. Pankreas juga menghasilkan amylase, yang berfungsi mencerna hidrat arang menjadi disakarida, dan tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi asam amino atau albumin dan polipeptika.

Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar, yang disebut kelenjar-kelenjar brunner, berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.

Jejunum dan Ileum, mempunyai panjang sekitar 6 m. Dua per lima bagian atas adalah jejunum dengan panjang sekitar 2-3 m, dan ileum dengan panjang sekitar 4-5 m. Lekukan jejunum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium.

Akar mesenterium memungkinkan keluar masuknya cabang-cabang arteri dan vena mesentrika superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara 2 lapisan peritoneum yang membentuk mesenterium. Sambungan antara jejunum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas.

Ujung bawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium ileoselkalis. Orifisium ini diperkuat oleh spinter ileoselkalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis atau valvula baukini, berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolom assendens tidak masuk kembali kedalam ileum.

Mukosa usus halus. Permukaan epitel yang sangat luas melalui lipatan mukosa dan mikrovili memudahkan pencernaan dan absorpsi, lipatan ini dibentuk oleh mukosa dan sub mukosa yang dapat memperbesar permukaan usus.

Pada penampang melintang vili dilapisi oleh epitel dan kripta yang menghasilkan bermacam-macam hormon jaringan dan enzim yang memegang peranan aktif dalam pencernaan..

Absorpsi. Absorpsi makanan yang sudah dicernakan seluruhnya berlangsung di dalam usus halus melalui 2 (dua) saluran yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan saluran limfe di sebelah dalam permukaan vili usus.

Sebuàh vilus berisi lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan otot yang di ikat bersama oleh jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium.

Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair dan lemak yang diabsorbsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan.

RINGKASAN ABSORPSI

Sumber makanan

Hasil akhir cernaan Organ absorpsi

Protein

Lemak

Hidrat karbon

Asam amino

Gliserin dan asam lemak.

Monosakharida:

ð Glukosa

ð Leavulosa

ð Galaktosa

Dari epithelium masuk ke pembuluh darah dan aliran darah.

Dari epithelium vili masuk ke lacteal dan aliran limfe.

Dari epithelium vili dan dinding pembuluh darah masuk aliran darah.

Fungsi usus halus, terdiri dari;

1) Menerima zat-zat rnakanan yang sudab dicerna untuk diserap melalui kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe.

2) Menyerap protein dalam bentuk asam amino.

3) Karbohidrat diserap dalam bentuk emulsi, lemak.

Di dalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yang menyempurnakan makanan;

1) Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik.

2) Eripsin, menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino.

a. Laktase mengubah laktase menjadi monosakarida.

b. Maltosa mengubah maitosa menjadi monosakarida.

c. Sukrosa mengubah sukrosa menjadi monosakarida.

USUS BESAR / INTESTINUM MAYOR.

Panjangnya ±. l½ m,lebarnya 5 - 6cm.

Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke luar;

1) Selaput lendir.

2) Lapisan otot melingkar.

3) Laplsan otot memanjang.

4) Jaringan ikat.

Fungsi usus besar, terdiri dari:

1) Menyerap air dan makanan.

2) Tempat tinggal baktert koli.

3) Tempat feses.

Caecum. Di bawah caecum terdapat appendiks Vermiformis yang berbentuk seperti cacing sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritonium mudah bergerak walaupun tidak mempunyai mesentenium dan dapat diraba melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup.

Kolon Asendens Panjangnya 13 cm, terletak di bawah abdomen sebelah kanan membujur ke atas dan ileum ke bawah hati. Di bawah hati membengkok ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatika, dilanjutkan sebagai kolon tranaversum.

Appendiks (usus buntu). Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari akhir seikum mempunyai pintu keluar yang sempit tapi masih memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi usus. Appendiks tergantung menyilang pada linea terminalis masuk ke dalam rongga pelvis minor terletak horizontal dl belakang seikum. Sebagai suatu organ pertahanan terhadap infeksi kadang appendiks bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa menimbulkan perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen.

II. Etiology· Cedera tembus yang mengenai dada bagian bawah atau perut (contoh: trauma

tertusuk pisau)· Trauma tumpul perut yang mengenai lambung. Lebih sering ditemukan pada

anak-anak dibandingkan orang dewasa.· Obat aspirin, NSAID, steroid. Sering ditemukan pada orang dewasa· Kondisi yang mempredisposisi : ulkus peptikum, appendicitis akuta,

divertikulosis akut, dan divertikulum Meckel yang terinflamasi.· Appendicitis akut: kondisi ini masih menjadi salah satu penyebab umum

perforasi usus pada pasien yang lebih tua dan berhubungan dengan hasil akhir yang buruk.

· Luka usus yang berhubungan dengan endoscopic : luka dapat terjadi oleh ERCP dan colonoscopy.

· Pungsi usus sebagai suatu komplikasi laparoscopic: faktor yang mungkin mempredisposisikan pasien ini adalah obesitas, kehamilan, inflamasi usus akut dan kronik dan obstruksi usus.

· Infeksi bakteri: infeksi bakteri ( demam typoid) mempunyai komplikasi menjadi perforasi usus pada sekitar 5 % pasien. Komplikasi perforasi pada pasien ini sering tidak terduga terjadi pada saat kondisi pasien mulai membaik.

· Penyakit inflamasi usus : perforasi usus dapat muncul pada paien dengan colitis ulceratif akut, dan perforasi ileum terminal dapat muncul pada pasien dengan Crohn’s disease.

· Perforasi sekunder dari iskemik usus (colitis iskemik) dapat timbul.· Perforasi usus dapat terjadi karena keganasan didalam perut atau limphoma

· Radiotherapi dari keganasan cervik dan keganasan intra abdominal lainnya dapat berhubungan dengan komplikasi lanjut, termasuk obstruksi usus dan perforasi usus.

· Benda asing ( tusuk gigi) dapat menyebabkan perforasi oesophagus, gaster, atau usus kecil dengan infeksi intra abdomen, peritonitis, dan sepsis.

III. PatofisologiSecara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan mikroorganisme lainnya karena keasaman yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster yang normal dan tidak berada pada resiko kontaminasi bakteri yang mengikuti perforasi gaster. Bagaimana pun juga mereka yang memiliki maslah gaster sebelumnya berada pada resiko kontaminasi peritoneal pada perforasi gaster. Kebocoran asam lambung kedalam rongga peritoneum sering menimbulkan peritonitis kimia. Bila kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mengenai rongga peritoneum, peritonitis kimia akan diperparah oleh perkembangan yang bertahap dari peritonitis bakterial. Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut.Mikrobiologi dari usus kecil berubah dari proksimal samapi ke distalnya. Beberapa bakteri menempati bagian proksimal dari usus kecil dimana, pada bagian distal dari usus kecil (jejunum dan ileum) ditempati oleh bakteri aerob (E.Coli) dan anaerob ( Bacteriodes fragilis (lebih banyak)). Kecenderungan infeksi intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi usus bagian distal.Adanaya bakteri di rongga peritoneal merangsang masuknya sel-sel inflamasi akut. Omentum dan organ-oragan viceral cenderung melokalisir proses peradangan, mengahasilkan phlegmon ( biasa terjadi pada perforasi kolon). Hypoksia yang diakibatkannya didaerah itu memfasilisasi tumbuhnya bakteri anaerob dan menggangu aktifitas bakterisidal dari granulosit, yang mana mengarah pada peningkatan aktifitas fagosit daripada granulosit, degradasi sel-sel, dan pengentalan cairan sehingga membentuk abscess, efek osmotik, dan pergeseran cairan yang lebih banyak ke lokasi abscess, dan diikuti pembesaran abscess pada perut. Jika tidak ditangani terjadi bakteriemia, sepsis, multiple organ failure dan shock.

IV. Gejala klinikNyeri perut hebat yang makin meningkat dengan adanya pergerakan diertai nausea, vomitus, pada keadaan lanjut disertai demam dan mengigil.

V. Pemeriksaan fisik· Pemeriksaan pada area perut: periksa apakah ada tanda-tanda eksternal seperti luka,

abrasi, dan atau ekimosis. Amati pasien: lihat pola pernafasan dan pergerakan perut saat bernafas, periksa adanya distensi dan perubahan warna kulit abdomen. Pada perforasi ulkus peptikum pasien tidak mau bergerak, biasanya dengan posisi flexi pada lutut, dan abdomen seperti papan.

· Palapasi dengan halus, perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila ditemukan tachycardi, febris, dan nyeri tekan seluruh abdomen mengindikasikan suatu peritonitis. rasa kembung dan konsistens sperti adonan roti mengindikasikan perdarahan intra abdominal.

· Nyeri perkusi mengindikasikan adanya peradangan peritoneum· Pada auskultasi : bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan suatu peritonitis

difusa.

· Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis : pemeriksaan ini dapat membantu menilai kondisi seperti appendicitis acuta, abscess tuba ovarian yang ruptur dan divertikulitis acuta yang perforasi.

VI. Diferential diagnosis· Penyakit ulkus peptikum· Gastritis· Pancreatitis acuta· Cholecystitis, colik bilier· Endometriosis· GEA· Torsi ovarium· PID· Salpingitis acuta· Penyakit divertikel· Appendicitis acuta· Divertikulum Meckel’s· Demam typoid· Colitis iskemik· Crohn’s disease· Inflamatory bowel disease· Colitis· contipation

VII. PenatalaksanaanPenatalaksaan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomy explorasi dan penutupan perforasi dengan pencucian pada rongga peritoneum (evacuasi medis). Terapi konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang non toxic dan secara klinis keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan intravena, antibiotik, aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya

BAB IIIKESIMPULAN

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut ( keadaan ini dikenal dengan istilah peritonitis).

Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma arteri mesenterika superior, trauma.

Penatalaksaan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomy explorasi dan penutupan perforasi dengan pencucian pada rongga peritoneum (evacuasi medis). Terapi konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang non toxic dan secara klinis keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan intravena, antibiotik, aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya

nyeri abdomen akut

BABA I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Nyeri perut adalah nyeri yang dirasakan di antara dada dan region inguinalis. Nyeri perut bukanlah suatu diagnosis, tapi merupakan gejala dari suatu penyakit. Nyeri akut abdomen didefinisikan sebagai serangan nyeri perut berat dan persisten, yang terjadi tiba-tiba serta membutuhkan tindakan bedah untuk mengatasi penyebabnya. Appley mendefinisikan sakit perut berulang sebagai serangan sakit perut yang berlangsung minimal 3 kali selama paling sedikit 3 bulan dalam kurun waktu 1 tahun terakhir dan mengganggu aktivitas sehari-hari (Markum, 1999).

Dari penelitian terdahulu hanya 7% kasus yang disebabkan oleh kelainan organik yang akan menimbulkan sakit perut (Apley, 1959), hal ini meningkat terhadap berbagai kondisi seperti konstipasi, abdominal, gastritis, ulkus peptikum dihubungkan dengan Helycobacter pylori dan irritable bowel syndrome. Penyebab intra-abdominal dapat diklasifikasikan lagi menurut penyebab dari dalam saluran cerna, ginjal, dan lain-lain (Tabel 1). Penyebab sakit perut berulang yang terbesar adalah faktor psikofisiologi (Boediarso, 2009). Kelainan organik sebagai diagnosis banding penyebab sakit perut berulang telah banyak dilaporkan, tetapi hanya ditemukan pada 5-15,6% kasus. Pada garis besarnya kelainan organik sebagai penyebab sakit perut berulang dapat dibagi menurut penyebab intra-abdominal dan extra-abdominal. Penyebab intra-abdominal dapat diklasifikasikan lagi menurut penyebab dari dalam saluran cerna, ginjal, dan lain-lain (Tabel 1). Pada tabel 2 dapat pula dilihat kelainan organik sebagai penyebab sakit perut. Penyebab sakit perut berulang yang terbesar adalah faktor psikofisiologi.

1.2.TUJUAN

1.2.1. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang mekanisme terjadinya nyeri abdomen mendadak, type nyeri, pemeriksaan yang dibutuhkan untuk diagnostic, penatalaksanaan bedah dan non bedah, serta epidemiologi dan pencegahannya.

1.2.2. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK)

Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa dapat :

1. Menjelaskan patomekanisme timbulnya nyeri abdomen

1.1.Anatomi dan histology saluran cerna, organ visera, dan dinding abdomen.

1.2.Persyarafan saluran cerna, organ visera, dan dinding abdomen.

1.3.Patofisiologi nyeri dan penjalarannya.

1.4.Hal-hal yang adapt menyertai timbulnya nyeri pada abdomen.

2. Menjelaskan type nyeri abdomen akut

2.1.Nyeri visceral, penyebab dan cirri-cirinya.

2.2.Nyeri somatic, penyebab dan cirri-cirinya.

3. Menjelaskan cara diagnostic pada nyeri abdomen

3.1.Hal-hal yang perlu digali pada anamnesis keluhan dan riwayat penderita.

3.2.Diagnostic fisik yang diperlukan untuk nyeri abdomen akut.

3.3.Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk nyeri abdomen akut.

3.4.Pemeriksaan radiologis yang dilakukan untuk nyeri abdomen akut.

4. Menjelaskan penatalaksanaan nyeri abdomen akut

4.1.Penatalaksanaan bedah dan non bedah yang bersifat life saving.

4.2.Penatalaksanaan bedah dan non bedah yang bersifat elektif.

5. Menjelaskan epidemiologi dan pencegahan terjadinya nyeri abdomen akut

5.1.Epidemiologi nyeri abdomen akut.

5.2.Pencegahan nyeri abdomen akut.

1.2.3. SKENARIO

Pasien wanita 18 tahun dating ke dokter dengan nyeri perut hebat yang timbul mendadak disertai perut agak membesar dan muntah-muntah. Sakit perut bertambah saat batuk. Beberapa hari sebelumnya penderita demam, disertai rasa mules, dan buang air besar yang agak mencret. Penderita adalah mahasiswi yang kost disekitar kampus salah satu perguruan tinggi di Jakarta dan sudah sering minum obat maag karena nyeri ulu hati.

1.2.5. PERTANYAAN

1. Aapa etiologi nyeri abdomen akut?2. Bagaimana mekanisme nyeri abdomen akut?3. Apa yang membuat nyeri abdomen bertambah saat batuk?4. Bagaimana patomekanisme gejala yang menyertai (mules,demam, mencret)?5. Apa ada hubungan antara konsumsi obat maag dengan semua gejala pada scenario?6. Mengapa nyeri perut disertai perut agak membesar dan muntah-muntah?7. Bagaimana mekanisme kerja obat maag?8. Bagaimana tindakan awal untuk mengatasi kasus nyeri abdomen akut?9. Bagaiman cara mendiagnosis gejala yang menyebabkan nyeri abdomen akut?10. Apa saja type/jenis nyeri abdomen akut?11. Bagaimana cirri-ciri jenis nyeri abdomen akut?12. Asupan gizi apa yang harus diberikan untuk penderita nyeri abdomen akut?13. Apa saja factor resiko yang menyebabkan nyeri abdomen akut?14. Apakan nyeri abdomen akut termasuk masalah kesehatan masyarakat atau tidak?15. Bagaimana mekanisme terjadinya muntah?16. Bagaimana tindakan promotif adn preventif agar tidak terjadinya nyeri abdomen akut?

17. Apakah ada hubungan antara lokasi nyeri abdomen akut dengan organ-organ pada system penceranaan?

BAB IIPEMBAHASAN

2.1.PATOMEKANISME NYERI ABDOMEN AKUT

Rasa sakit perut, baik mendadak maupun berulang, biasanya selalu bersumber pada:

1. Visera perut

2. Organ lain di luar perut

3. Lesi pada susunan saraf spinal

4. Gangguan metabolic

5. Psikosomatik

Rasa sakit perut somatik berasal dari suatu proses penyakit yang menyebar keseluruh peritonium dan melibatkan visera mensentrium yang berisi banyak ujung saraf somatik , yang lebih dapat meneruskan rasa sakit nya dan lebih dapat melokalisasi rasa sakit daripada saraf otonom. Telah diketahui pula bahwa gangguan pada visera pada mulanya akan menyebabkan rasa sakit visera, tetapi kemudian akan diikuti oleh rasa sakit somatik pula, setelah peritoneum terlibat. Rasa sakit somatik yang dalam akan disertai oleh tegangan otot dan rasa mual yang merupakan gejala khas peritonitis. Refleks rasa sakit perut dapat pula timbul karena adanya rangsangan pada nervus frenikus, misalnya pada pneumonia. Rasa sakit yang berasal dari usus halus akan timbul didaerah perut bagian atas dan epigastrium, sedangkan rasa sakit dari usus besar akan timbul dibagian bawah perut.

Reseptor rasa sakit di dalam traktus digestivus terletak pada saraf yang tidak bermielin yang berasal dari sistim saraf otonom pada mukosa usus. Jaras saraf ini disebut sebagai serabut saraf C yang dapat meneruskan rasa sakit lebih menyebar dan lebih lama dari rasa sakit yang dihantarkan dari kulit oleh serabut saraf A.

Reseptor nyeri pada perut terbatas di submukosa, lapisan muskularis dan serosa dari organ di abdomen. Serabut C ini akan bersamaan dengan saraf simpatis menuju ke ganglia pre dan paravertebra dan memasuki akar dorsa ganglia. Impuls aferen akan melewati medula spinalis pada traktus spinotalamikus lateralis menuju ke talamus, kemudian ke konteks serebri. Impuls aferen dari visera biasanya dimulai oleh regangan atau akibat penurunan ambang nyeri pada jaringan yang meradang. Nyeri ini khas bersifat tumpul, pegal, dan berbatas tak jelas serta sulit dilokalisasi. Impuls nyeri dari visera abdomen atas (lambung, duodenum, pankreas, hati, dan sistem empedu) mencapai medula spinalis pada segmen thorakalis 6,7,8 serta dirasakan didaerah epigastrium. Impuls nyeri yang timbul dari segmen usus yang meluas dari ligamentum Treitz sampai fleksura hepatika memasuki segmen Th 9 dan 10, dirasakan di sekitar umbilikus.

Dari kolon distalis, ureter, kandung kemih, dan traktus genitalia perempuan, impuls nyeri mencapai segmen Th 11 dan 12 serta segmen lumbalis pertama. Nyeri dirasakan pada daerah supra publik dan kadang-kadang menjalar ke labium atau skrotum. Jika proses penyakit meluas

ke peritorium maka impuls nyeri dihantarkan oleh serabut aferen somatis ke radiks spinals segmentalis.

Nyeri yang disebabkan oleh kelainan metabolik seperti pada keracunan timah dan porfirin belum jelas patofisiologi dan patogenesisnya. Patofisiologi sakit perut berulang yang fungsional (tidak berhubungan dengan kelainan organik) masih sulit dimengerti. Diperkirakan ada hubungan antara sakit perut berulang fungsional dengan penurunan ambang rangsang nyeri. Berbagai faktor psikologik dan fisiologik dapat berperan sebagai mediator dari sakit perut berulang fungsional.

Telah diketahui ada hubungan yang kuat antara sakit perut berulang fungsional dengan tipe kepribadian tertentu, yaitu sering cemas/gelisah, dan selalu ingin sempurna. Pada anggota keluarga lainnya juga sering ditemukan kelainan psikosomatik seperti migraine dan kolon iritabel.

Patogenesis sakit perut fungsional belum diketahui secara pasti. Motilitas saluran cerna dan hipersensitivitas visera diduga sangat berperan terhadap kejadian nyeri perut non-organik pada anak. Gangguan motilitas terlihat pada anak yang dilakukan pemeriksaan manometri. Pada pemeriksaan manometri terlihat peningkatan intensitas kontraksi otot pada usus halus dan usus besar, serta waktu singgah di dalam usus yang lambat (delayed intestinal transit time).

Konsep keterlibatan hipersensitivitas visera didapat dari penelitian yang memperlihatkan perubahaan ambang reseptor pada dinding saluran cerna, perubahan modulasi dalam mengkonduksi impuls sensorik, dan perubahan ambang kesadaran di susunan saraf pusat pada pasien dengan irritable bowel syndrome. Peranan inflamasi dan imunomodulasi dalam patogenesis sakit perut fungsional, perlu dipertimbangkan dengan ditemukannya proses inflamasi nonspesifik pada biopsi jaringan saluran cerna. Mekanisme timbulnya sakit perut organik, ialah :

1. Gangguan vaskuler. Emboli atau trombosis, ruptur, oklusi akibat torsi atau penekanan seperti pada kista ovarium terpuntir dan jepitan usus pada invaginasi.

2. Peradangan. Peradangan organ di dalam rongga peritonium menimbulkan rasa sakit bila proses peradangan telah mengenal peritoneum parietalis. Mekanisme perjalaran nyeri sama seperti peradangan pada umumnya yang disalurkan melalui persyarafan somatic.

3. Gangguan pasase. Nyeri bisa ditimbulkan oleh adanya gangguan pasase atau obtruksi organ yang berbentuk pembuluh, baik yang terdapat di dalam rongga peritoneal atau pun retroperitoneal. Bila pasase dalam saluran-saluran tersebut terganggu akan timbul rasa sakit akibat tekanan intra lumen yang meninggi di bagian proksimal sumbatan. Sakit dirasakan hilang timbul atau terus menerus dengan puncak nyeri yang hebat (kolik).

4. Penarikan dan peregangan peritoneum viseralis. Penarikan dan peregangan pada peritoneum viseral dapat merangsang terjadinya nyeri yang bersifat tumpul (dull pain).

Dalam prakteknya, keempat mekanisme timbulnya sakit perut jarang ditemukan sendiri-sendiri, tapi umumnya merupakan proses campuran (Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC).

2.2.TYPE NYERI ABDOMEN AKUT

Akut Abdomen adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya nyeri perut dan umumnya memerlukan tindakan bedah segera.

Ada 2 jenis nyeri pada akut abdomen yaitu :

1. Nyeri parietal : Nyeri yang berasal dari adanya rangsangan peritoneum parietal yang dipersarafi oleh saraf somatik. Jenis nyeri ini mudah dilokalisasi.

2. Nyeri viseral : Nyeri yang berasal dari adanya rangsangan peritoneum viseral yang dipersarafi oleh saraf otonom. Jenis nyeri ini sulit dilokalisasi dan lokasi nyeri dapat diprediksi dari asal embriologisnya.

Ada pula jenis nyeri yang lain seperti Nyeri Referal yang merupakan penjalaran nyeri tempat lain yang terasa di abdomen.

ETIOLOGI

Berikut ini disajikan persentase dari penyebab Nyeri Abdomen akut :

1. Nyeri abdomen nonspesifik 30-45%

2. Apendisitis akuta 20-25%

3. Colic bilier dan cholesistitis akut 7-8%

4. Colic ginjal/ureter 7%

5. Obstruksi usus 5%

6. Ulkus peptikum komplikasi 4%

7. Retensi urin akut 4%

8. Pankreatitis akuta 3%

9. Trauma 3%

10. Penyakit Medik 3%

11. Diverticulosis akuta 2%

12. Penyakit Ginekologik 2%

13. Penyakit Vaskuler 2%

(Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC)

2.3.CARA DIAGNOSTIK PADA NYERI ABDOMEN

2.3.1. Anamnesis

Usia. Sakit perut berulang biasanya terjadi pada usia 5 - 14 tahun. Jenis kelamin. Perempuan lebih sering mengalami sakit perut berulang dibandingkan laki-laki (5:3).

1. Riwayat sakit perut.

a. Lokalisasi. Sakit yang disebabkan gangguan saluran pencernaan bagian atas biasanya dirasakan di daerah epigastrium. Gangguan di ileum distal dan appendiks dirasakan di daerah perut kanan bawah. Rasa sakit yang disebabkan oleh infeksi usus ataupun gangguan psikis lokalisasinya sukar ditentukan.

b. Sifat dan faktor yang menambah / mengurangi rasa sakit. Sakit yang berasal dari spasme otot polos usus, traktus urinarius, traktus biliaris, biasanya berupa kolik yang sukar ditentukan lokalisasinya dengan tepat dan tidak dipengaruhi oleh adanya batuk atau penekanan abdomen. Sakit yang berasal dari iritasi peritoneum akan terasa menetap di tempat iritasi dan menghebat bila penderita batuk atau ditekan perutnya.

c. Waktu timbul : berhubungan dengan makan atau tidak.

d. Lama sakit perut.

e. Frekuensi.

f. Gejala yang mengiringi

g. Pola defekasi

h. Pola kencing

i. Siklus Haid

j. Akibat sakit perut pada anak

a) Terdapatkah kemunduran kesehatan pada anak tersebut

b) Bagaimana nafsu makan anak

c) Gejala / gangguan traktus respiratorius-

d) Gangguan musculoskeletal

2. Aspek psikososial

a. Pola hidup dan kebiasaan pola tidur, aktivitas sehari-hari, makanan, penggunaan toilet

b. Lingkungan: tetangga, sekolah, perkawinan orang tua, keadaan rumah, persaingan sesama saudara kandung, beban keuangan, disiplin yang terlalu kaku

c. Temperamen, pola respon yang dipelajari: bagaimana anak mengatasi stress di masa lampau, gampang bergaul, kaku, perfeksionis, obsesif, depresi kronik, sulit diatur

3. Trauma. Trauma tumpul dapat menyebabkan hematoma subserosal ataupun pancreatitis

4. Penyakit yang pernah diderita dalam keluarga. Adakah di antara keluarga yang menderita kista fibrosis, pankreatisis, ulkus peptikum, kolon irritable. Adakah faktor stress dalam keluarga. Pada anamnesis yang teliti kita sudah dapat mengetahui apakah penyebab sakit perut berulang itu kelainan organik atau bukan (Tabel 7)

Tabel 7. Tanda peringatan sakit perut berulang yang disebabkan kelainan organik

Nyeri terlokalisir, jauh dari garis tengah

Nyeri menjalar (punggung, bahu, ektremitas bawah)

Membangunkan anak pada malam hari

Timbul tiba-tiba

Muntah

Gangguan motilitas (diare, obstripusi, inkontinensia)

Pendarahan saluran cerna

Dysuria

Gangguan tumbuh kembang

Gejala sistemik : panas, arthalgia, ruam kulit

Riwayat keluarga : ulkus peptikum, H pylori, intoleransi laktosa, IBD

Usia kurang dari 4 tahun atau lebih 15 tahun

Manifestasi akut abdomen dapat berupa : nyeri perut, mual, muntah dan obstipasi. Manifestasi akut abdomen merupakan hasil dari proses peritonitis ataupun adanya gangguan passase pada organ berongga ( contohnya: usus, ureter). Nyeri yang diakibatkan adanya gangguan passase pada organ berongga bersifat kolik/ intermiten, sedangkan nyeri akibat peritonitis bersifat terus-menerus (Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC)

2.3.2. Pemeriksaan Fisik

Bila nyeri disebabkan karena proses peritonitis, maka tanda peritonitis akan timbul seperti :

a) Takikardia, takipneu, hipotensi, febris (karena syok hipovolemik dan syok septic)

b) Distensi abdomen

c) Bising usus tidak ada

d) Nyeri tekan abdomen dan defans muscular

e) Nyeri ketok abdomen, meteorismus

f) Digital Rectal Examination : rectum dilatasi

Bila nyeri disebabkan karena proses ileus obstruktif, maka tanda ileus obstruktif akan timbul seperti :

a) Takikardia, takipneu, hipotensi (karena syok hipovolemik)

b) Distensi abdomen

c) Bising usus meningkat / metallic sound

d) Meteorismus

e) Digital Rectal Examination : rectum kolpas

(Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC)

2.3.3. Pemeriksaan Penunjang

1. Darah rutin, Hemostasis, golongan darah untuk persiapan operasi

2. Foto Polos Abdomen 3 posisi

3. USG Abdomen

4. Elektrolit dan keseimbangan asam basa

5. Lab lainnya untuk menentukan etiologi :Amilase, Pregnancy test, Urinalisa, Fungsi ginjal, Fungsi liver.

(Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC)

2.4. PENATALAKSANAAN NYERI ABDOMEN AKUT

Pertama kali yang harus diperhatikan dalam menghadapi nyeri perut pada anak adalah memilah apakah kelainan fungsional ( kelainan organik ) atau psikogenik ( psikosomatik ) yang mendasari keluhan tersebut. Pemeriksaan penunjang tidak menjadi urutan pertama pada nyeri perut tanpa alarm symptoms. Meskipun belum disepakati oleh semua negara tetapi sebagian besar sudah menyetujui penggunaan Kriteria Rome untuk diagnosis nyeri perut fungsional. Tata laksana dimulai dengan melakukan wawancara dengan anak dan orangtuanya secara bersama-sama. Interaksi orang tua dan anak selama wawancara merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Penggunaan buku harian oleh orangtua dan anak untuk mencatat jenis makanan, derajat nyeri (skor), pola defekasi dan keluhan spesifik lainnya.

Dengan pemantauan tersebut diharapkan mereka akan lebih memberikan perhatian terhadap keluhan yang dirasakan. Anak diajak ikut serta mengevaluasi penyakitnya dengan menuliskan apa yang dirasakan. Beberapa data perlu diketahui seperti prestasi belajar, stres emosi di keluarga maupun di sekolah, aktivitas sosial, dan perkembangan aktivitas dalam beberapa bulan terakhir. Pemeriksaan fisis harus dilakukan secara menyeluruh dan cermat.

Pemeriksaan colok dubur diperlukan pada kasus yang dicurigai adanya kelainan pada usus daerah sigmoid, rektum, dan anus, seperti fisura, fistel, atau kelainan lainnya.3 Seringkali sulit untuk memilah melakukan pendekatan psikogenik atau organik, maka sesuai dengan data epidemiologi kejadian nyeri perut pada anak, umur 4 tahun dipakai sebagai batas umur untuk memilah melakukan pendekatan diagnostik, dimana anak di bawah 4 tahun lebih dihubungkan dengan kelainan organik, pemeriksaan penunjang tetap dilakukan walaupun sebagian besar kasus nyeri perut pada anak tidak memperlihatkan kelainan organik. Pada keadaan tersebut, alarm symptoms atau signal sign dapat digunakan sebagai dasar pendekatan tata laksana.

Beberapa kelainan nyeri perut non-organik memerlukan medikamentosa sebagai terapi suportif, walaupun sejauh ini penelitian kontrol mengenai terapi dispepsia fungsional pada anak masih terbatas. Obat dan makanan yang dianggap dapat menimbulkan keluhan sebaiknya dihentikan. Agonis reseptor H2, Pompa Proton Inhibitor banyak diberikan pada dyspepsia, prokinetik dapat diberikan pada dispepsia tipe dismotilitas. Faktor psikologis sebagai pencetus keluhan perlu diketahui.

Apabila faktor stres psikologis sangat menonjol, maka diperlukan kerjasama antara dokter dan keluarga dalam menyusun strategi mengurangi faktor stres tersebut. Penjelasan kepada anak dan orangtua tentang penyakitnya sangat diperlukan, meskipun keluhan yang dirasakan sangat mengganggu, anak perlu tahu bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang serius. Pencatatan harian tentang keluhan yang diderita sangat membantu dalam proses penyembuhan. Obat-obat anti-depresi seperti imipramin atau amitriptilin digunakan pada orang dewasa, sedangkan pada anak belum ada laporan studi kontrol. Siproheptadine efektif pada beberapa kasus dengan sakit kepala migren dan muntah. Pada kasus dengan konstipasi sangat dianjurkan pemberian diet tinggi serat (diet yang direkomendasikan : umur dalam tahun + 5 gr), dan penggunaan minuman yang mengandung bikarbonat harus dihentikan.

Pengobatan diberikan sesuai etiologi. Pada sakit berulang fungsional pengobatan ditujukan kepada penderita dan keluarga bukan hanya mengobati gejala. Tujuan pengobatan ialah memberikan rasa aman serta edukasi kepada penderita dan keluarga sehingga kehidupan keluarga menjadi normal kembali dan dapat mengatasi rasa sakit sehingga dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari dengan baik (seperti terlihat pada tabel 9). Penting untuk menentukan apakah nyeri perut membutuhkan suatu tindakan bedah atau tidak, perlu dipikirkan pada keadaan sakit mendadak, kolik, tempatnya tertentu, jauh dari umbilikus, bertambah nyeri dengan aktivitas, muntah yang berwarna hijau atau feses. Pada keadaan ini maka anak harus dirawat di rumah sakit. Untuk nyeri psikogenik kadang-kadang diperlukan pula konsultasi ke psikolog dan atau psikiater anak. Pemberian obat seperti antispasmodik, antikolinergik, antikonvulsan dan anti-depresan tidak bermanfaat (William, 2007, Farmacia Obsteri, Jakarta : EGC)

2.5. MEKANISME ANTAR GEJALA

2.5.1. Muntah

Muntah adalah pengeluaran isi lambung dengan kekuatan secara aktif akibat adanya kontraksi abdomen, pilorus, elevasi kardia, disertai relaksasi sfingter esofagus bagian bawah dan dilatasi esofagus. Muntah merupakan respon somatik refleks yang terkoordinir secara sempurna oleh karena bermacam-macam rangsangan, melibatkan aktifitas otot pernapasan, otot abdomen dan otot diafragma.

1. Nausea (mual)

Merupakan sensasi psikis akibat rangsangan pada organ viseral, labirinth dan emosi. Tidak selalu berlanjut dengan retching dan ekspulsi. Keadaan ini ditandai dengan keinginan untuk muntah yang dirasakan di tenggorokan atau perut, seringkali disertai dengan gejala hipersalivasi, pucat, berkeringat, takikardia dan anoreksia. Selama periode nausea, terjadi penurunan tonus kurvatura mayor, korpus dan fundus. Antrum dan duodenum berkontraksi berulang-ulang, sedangkan bulbus duodeni relaksasi sehingga terjadi refluks cairan duodenum ke dalam lambung. Pada fase nausea ini belum terjadi peristaltik aktif. Muntah yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial dan obstruksi saluran gastrointestinal tidak didahului oleh fase nausea.

2. Retching

Retching dapat terjadi tanpa diikuti muntah. Pada fase retching, terjadi kekejangan dan terhentinya pernafasan yang berulang-ulang, sementara glotis tertutup. Otot pernapasan dan diafragma berkontraksi menyebabkan tekanan intratorakal menjadi negatif. Pada waktu yang bersamaan terjadi kontraksi otot abdomen dan lambung, fundus dilatasi sedangkan antrum dan pilorus berkontraksi. Sfingter esofagus bawah membuka, tetapi sfingter esofagus atas masih menutup menyebabkan chyme masuk ke dalam esofagus. Pada akhir fase retching terjadi relaksasi otot dinding perut dan lambung sehingga chyme yang tadinya sudah masuk ke dalam esofagus kembali ke lambung. Fase ini dapat berlangsung beberapa siklus.

3. Ekspulsi

Apabila retching mencapai puncaknya dan didukung oleh kontraksi otot abdomen dan diafragma, akan berlanjut menjadi muntah, jika tekanan tersebut dapat mengatasi mekanisme anti refluks dari LES (lower esophageal sphincter).

Pada fase ekspulsi ini pilorus dan antrum berkontraksi sedangkan fundus dan esofagus relaksasi serta mulut terbuka. Pada fase ini juga terjadi perubahan tekanan intratorakal dan intraabdominal serta kontraksi dari diafragma. Pada episode ekspulsi tunggal terjadi tekanan negatif intratorakal dan tekanan positif intraabdominal, dan dalam waktu bersamaan terjadi kontraksi yang cepat dari diafragma yang menekan fundus sehingga terjadi refluks isi lambung ke dalam esofagus. Bila ekspulsi sudah terjadi, tekanan intratorakal kembali positif dan diafragma kembali ke posisi normal.

2.5.2. Perut Agak Membesar

Distensi abdominal merupakan proses peningkatan tekanan abdominal yang menghasilkan peningkatan tekanan dalam perut dan menekan dinding perut. Distensi dapat terjadi ringan ataupun berat tergantung dari tekanan yang dihasilakan. Distensi abdominal dapat terjadi local atau menyeluruh dan dapat secara bertahap atau secara tiba-tiba. Distensi abdominal akut mungkin merupakan tanda dari peritonitis atau tanda akut obtruksi pada perut.

Distensi abdominal mungkin dihasilkan dari lemak, flatus, fetus (hamil atau masa intra abdominal, kehamilan ektopik) atau cairan. Cairan dan gas normal berada dalam GIT tetapi tidak dalam ruangan peritoneal. Jika cairan atau gas tidak dapat keluar secara bebas distensi abdominal dapat terjadi. Dalam ruangan peritoneal, distensi dapat menyebabkan pendarahan akut, akumulasi dari cariran asites atau udara dari perforasi dari organ dalam perut.

Terminologi abdomen akut telah banyak diketahui namun sulit untuk didefinisikan secara tepat. Tetapi sebagai acuan, akut abdomen adalah suatu kelainan nontraumatik yang timbul mendadak dengan gejala utama didaerah abdomen dan memerlukan tindakan bedah segera. Istilah gawat abdomen atau gawat perut menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap kelambatan akan menimbulkan penyulit yang berakibat meningkatnya morbiditas dan mortalitas.

Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pengetahuan mengenai anatomi dan faal perut beserta isinya sangat menentukan dalam menyingkirkan satu demi satu

sekian banyak kemungkinan penyebab nyeri perut akut. Banyak kondisi yang dapat menimbulkan abdomen akut. Secara garis besar, keadaan tersebut dapat dikelompokkan dalam lima hal, yaitu :

1. proses peradangan bakterial – kimiawi;

2. obstruksi mekanis : seperti pada volvulus, hernia, atau perlengketan;

3. neoplasma/tumor : karsinoma, polipus, atau kehamilan ektopik;

4. kelainan vaskuler : emboli, tromboemboli, perforasi, dan fibrosis;

5. kelainan kongenital.

2.5.3. Batuk

Batuk adalah suatu gejala gangguan atau kelainan saluran napas. Keadaan ini merupakan suatu cara pertahanan tubuh untuk mengeluarkan lendir dan benda asing dari saluran napas. Batuk terjadi akibat rangsangan oleh zat-zat tadi. Walaupun batuk suatu mekanisme pertahanan tubuh, tetapi bila ini berlangsung lama dan terus menerus maka hal ini sangat mengganggu penderita. Penderita sering datang berobat atau mencari pertolongan dokter akibat gejala batuk ini. Berbagai faktor dan keadaan dapat menimbulkan batuk, faktor tersebut bisa berasal dari luar maupun dari dalam tubuh. Inhalasi zat tertentu, polusi udara dan penutupan oleh lendir adalah beberapa keadaan yang dapat menimbulkan batuk. Batuk lebih mudah timbul pada orang yang mempunyai kelainan saluran napas, seperti radang tenggorok, asma bronkial dan infeksi paru. Pengobatan batuk dapat bersifat etiologis maupun simptomatis. Pengobatan yang paling baik adalah secara etiologik tetapi pada keadaan tertentu ini tidak dapat dilakukan. Untuk itu mungkin pengobatan simptomatis perlu diberikan.

Rangsang pada reseptor batuk dialirkan ke pusat batuk ke medula, dari medula dikirim jawaban ke otot-otot dinding dada dan laring sehingga timbul batuk. Refleks batuk sangat penting untuk menjaga keutuhan saluran napas dengan mengeluarkan benda asing atau sekret bronkopulmoner. Ada 4 fase mekanisme batuk, yaitu Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :

Fase iritasi

Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.

Fase inspirasi

Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta

memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial.

Fase kompresi

Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks meninggi sampai 300 cmH2O agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka . Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.

Fase ekspirasi/ ekspulsi

Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.

Penyebab Batuk

Batuk secara garis besarnya dapat disebabkan oleh rangsang sebagai berikut:

Rangsang inflamasi seperti edema mukosa dengan secret trakeobronkial yang banyak. Rangsang mekanik seperti benda asing pada saluran nafas seperti benda asing dalam saluran nafas, post nasal drip, retensi sekret bronkopulmoner. Rangsang suhu seperti asap rokok (merupakan oksidan), udara panas/ dingin, inhalasi gas.Rangsang psikogenik.

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi (literatur lain membagi fase batuk menjadi 4 fase yaitu fase iritasi, inspirasi, kompresi, dan ekspulsi). Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu.

Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah.

.

Gambar 1

Skema diagram menggambarkan aliran dan perubahan tekanan subglotis selama, fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi batuk

Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50 100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di pihak lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis.

Gambar 2. Fase Batuk

Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam waktu 3050 detik setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang menetap. Kecepatan udara yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan pada fase ini dapat dijumpai pengurangan diameter trakea sampai 80% (Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC).

2.6. MEKANISME KERJA ANTASIDA

Dalam keadaan normal, isi lambung mempunyai sifat yang sangat asam. Sifat ini mempunyai potensi untuk merusak dinding lambung. Untungnya, dinding lambung dilindungi oleh lapisan yang mencegah asam lambung berkontak langsung dengannya. Pada beberapa keadaan, lapisan pelindung tersebut dapat mengalami kerusakan.

Beberapa diantaranya adalah penggunaan pereda nyeri NSAID (non steroid anti inflammatory drugs seperti ibuprofen, asam mefenamat, piroksikam) dalam jangka waktu lama, infeksi bakteri Helicobacter pylori, dan ditambah pola makan yang tidak sehat dan tidak teratur (Wartamedika, 2009). Antasida, yang merupakan kombinasi aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida, bekerja menetralkan asam lambung dan menginaktifkan pepsin, sehingga rasa nyeri ulu hati akibat iritasi oleh asam lambung dan pepsin berkurang. Di samping itu, efek laksatif dari magnesium hidroksida akan mengurangi gelembung-gelembung gas, yakni efek konstipasi dari aluminium hidroksida, dalam saluran cerna yang menyebabkan rasa kembung berkurang (Cari obat, 2009).

Saat diminum, obat akan segera bereaksi dengan asam yang ada di lambung, sehingga terbentuk senyawa yang relatif netral.

2HCl(aq) + Mg(OH)2(s)→ MgCl2(aq) + H2O(l) + CO2(g)

Asam + Basa → netral + sendawa

3HCl(aq) + Al(OH)3(aq)→ AlCl3(aq) + 3H2O(l)

Asam + Basa → netral

Magnesuim oksida lebih efektif mengikat asam karena tidak diserap sehingga tidak menyebabkan alkalosis. Magnesium trisilikat adalah antasida non- sistemik, yang bekerja lebih lambat dan di dalam lambung akan melepaskan silisium oksida yang akan melapisi selaput lendir lambung dengan lapisan pelindung.

Dengan demikian, iritasi lambung akan segera berhenti dan keluhan nyeri juga akan hilang. Gas karbondioksida yang dihasilkan dari reaksi tersebut dapat menyebabkan tekanan gas di dalam lambung meningkat, sehingga dikeluarkan dengan bersendawa. Umumnya obat antasida yangring dipilih adalah jenis yang sukar larut, sehingga reaksinya lambat dan dapat bertahan lama, misalnya aluminium hidroksi (BPPOM, 2008).

Dosis

Dewasa : 1– 2 tablet, 3– 4 kali sehari Anak 6– 12 tahun : ½ - 1 tablet, 3– 4 kali sehari Diminum 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan dan menjelang tidur, sebaiknya tablet dikunyah dulu.

Efek Samping Antasida

Antasida biasanya terdiri dari kombinasi antara aluminium hidroksida dan magnesium hidroksidayang bekerja menetralkan asamlambung dan menginaktifkan pepsin, sehingga rasa nyeri ulu hati akibat iritasi oleh asam lambung dan pepsin berkurang. Efek samping dari antasida jarang dan hamper tidak pernah ditemui karena dampak negatif dari kedua senyawa tersebut saling menghilangkan.Namun pada beberapa orang akan terjadi efek samping berupa mual, muntah, diare, dan konstipasi. Rasa mual dan muntah disebabkan karena adanya penolakan dari dalam tubuh seseorang terhadap suatu kandungan dari antasida sehingga orang yang meminum antasida akan merasa tidak enak.

Sedangkan konstipasi merupakan efek samping yang ditimbulkan oleh aluminium hidroksida. Konstipasi adalah kondisi di mana feses memiliki konsistensi keras dan sulit dikeluarkan. Biasanya buang air besardisertai dengan rasa sakit dan menjadi lebih jarang. Kasus ini sering terjadi pada anak-anak, tetapi orang dewasa juga bisa mengalaminya. Menurut DokterNurul Itqiyah (2007), apabila keadaan ini terjadi secara terus menerus, maka bisa menimbulkan gejala berikut: Sakit perut, turun atau hilangnya nafsu makan, mual atau muntah, turunnya berat badan.

Jika anak mengalami konstipasi yang cukup berat, dapat mengalami kehilangan kemampuan merasakan kebutuhan ke toilet untuk buang air besar sehingga menyebabkan anak buang air besar di celananya. Hal ini disebutencopresis atau fecal incontinence. Mengedan untuk mengeluarkan feses yang keras dapat menyebabkan. robekan kecil pada lapisan mukosa anus (anal fissure) dan perdarahan.

Konstipasi meningkatkan risiko infeksi saluran kemih. Meskipun aluminium hidroksida mempunyai efek konstipasi, namun efek ini bisa dikurangi dengan adanya efek laksatifdari magnesium hidroksida. Laksatif merupakan kebalikan dari konstipasi, yaitu suatu keadaan dimana feses terlalu banyak mengandung air sehingga feses memiliki konsentrasi cair dan sangat mudah dikeluarkan. Keadaan seperti ini basa disebut dengan diare. Apabila terjadi secara terus-menerus, maka seseoarang akan mengalami kehilangan cairan yang banyak. Namun komposisi yang setimbang dalam suatu antasida, akan mengurangi bahkan menghilangkan efek samping dari antasida tersebut.

Yang perlu diperhatikan adalah antasida yang mengandung magnesium hidroksida ini harus diberikan dalam dosis kecil pada penderita gangguan ginjal. Bahkan penderita tersebut tidak boleh mengkonsumsinya apabila kerusakan ginjalnya sudah parah. Hal ini disebabkan magnesium hidroksida dapat mengakibatkan hipermagnesia, yaitu kelebihan magnesium dalam darah, karena magnesium hidroksida dapat diserap sebagian kecil ke dalam darah.

Bagi penderita gangguan ginjal yang mengalami sakit maag sebaiknya berkonsultasi dengan dokter sehingga dokter akan memberi obat maag dari golongan lain seperti Proton Pump Inhibitor (PPI) (Indonesia, 2008) (Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC dan Guyton, Arthur C., dan John E. Hall. 2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed. 11. Jakarta: EGC)

2.7. DIAGNOSIS BANDING

A. APENDISITIS

1. Anatomi

Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih. Secara anatomi appendix sering disebut juga dengan appendix vermiformis atau umbai cacing. Appendix terletak di bagian kanan bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara appendix berada di sebelah postero-medial secum.Dari topografi anatomi, letak pangkal appendix berada pada titik Mc.Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.

Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai mesenterium. Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan appendix pada struktur lain pada abdomen. Kedudukan ini memungkinkan appendix dapat bergerak. Selanjutnya ukuran appendix dapat lebih panjang daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan appendix yang panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke pelvis (antara organ-organ pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendix bergerak ke belakang colon yang disebut appendix retrocolic

Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X. Karena itu nyeri viseral pada appendicitis bermula disekitar umbilicus.Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang dari a.ileocolica, cabang dari a. mesenterica superior

2. Fisiologi

Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada patogenesis appendicitis. Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam bumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patofisiologi appendiks.

Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat

efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh.

3. Definisi Appendicitis

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10-30 tahun

4. Etiologi Gastritis

a. Peranan Lingkungan

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.

Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian apendisitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras.

b. Peranan Obstruksi

Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat Frekuensi obstruksi meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%

Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.

Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamuba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko terjadinya perforasi.

Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya apendisitis adalah adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks , lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa

peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietale Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi .

c. Peranan Flora Bakterial

Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis .

5. Patofisiologi Appendicitis

Apendiks vermiformis pada manusia biasanya dihubungkan dengan “organ sisa yang tidak diketahui fungsinya”. Pada beberapa jenis mamalia ukuran apendiks sangat besar seukuran sekum itu sendiri, yang ikut berfungsi dalam proses digesti dan absorbsi dalam sistem gastrointestinal Pada percobaan stimulasi dengan rangsangan, apendiks cenderung menekuk ke sisi antimesenterial. Hal ini mengindikasikan serabut muskuler pada sisi mesenterial berkembang lebih lemah.

Secara anatomi pembuluh arteri masuk melalui sisi muskuler yang lemah ini. Kontraksi muskulus longitudinal akan diikuti oleh kontraksi muskulus sirkuler secara sinergis, lambat, dan berakhir beberapa menit. Gerakan aktif dapat dilihat pada bagian pangkal apendiks dan semakain ke distal gerakan semakin berkurang. Pada keadaan inflamasi, kontraksi muskuli apendiks akan terganggu

Pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15 – 25 cmH2O dan meningkat menjadi 30 – 50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal tekanan panda lumen sekum antara 3 – 4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan yang berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk sekum. Mukosa normal apendiks dapat mensekresi cairan 1 ml dalam 24 jam. Apendiks juga berperan sebagai sistem immun pada sistem gastrointestinal (GUT). Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues (GALD) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Pemikiran bahwa apendiks adalah bagian dari sistem GALD yang mensekresi globulin kurang banyak berkembang.

Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi efek pada sistem immunologi Meskipun kelainan pada apendisitis akut disebabkan oleh infeksi bakteri, faktor yang memicu terjadinya infeksi masih belum diketahui secara jelas. Pada apendisitis akut umumnya bakteri yang berkembang pada lumen apendiks adalah Bacteroides fragilis dan Escherichea colli. Kedua bakteri ini adalah flora normal usus. Bakteri ini menginvasi mukusa, submukosa, dan muskularis, yang menyebabkan udem, hiperemis dan kongesti local vaskuler, dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadang-kadang terjadi trombosis pada vasa dengan nekrosis dan perforasi

Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi terjadinya apendisitis akut diantaranya: obstruksi lumen apendiks, Obstruksi bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat Percobaan pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa total obstruksi pada pangkal lumen apendiks dapat menyebabkan apendisitis. Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu: akumulasi cairan intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi sirkulasi vena, stasis sirkulasi dan kongesti dinding apendiks, efusi, obstruksi arteri dan hipoksia, serta terjadinya infeksi anaerob. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan dalam 60 – 70 persen kasus. Enam puluh persen obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain. Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi Obstruksi pada bagian distal kolon akan meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks akan terhambat keluar. Arnbjornsson melaporkan prevalensi kanker kolorektal pada usia lebih dari 40 tahun, ditemukan setelah 30 bulan sebelumnya dilakukan apendektomi, lebih besar dibandingkan jumlah kasus pada usia yang sama. Dia percaya bahwa kanker kolorektal ini sudah ada sebelum dilakukan apendektomi dan menduga kanker inilah yang meningkatkan tekanan intrasekal yang menyebabkan apendisitis.

Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis dapat menyebabkan erosi membrane mukosa apendiks dan perdarahan. Pada kasus infiltrasi bakteri, dapat menyebabkan apendisitis akut dan abses Pada awalnya Entamoeba histolytica berkembang di kripte glandula intestinal. Selama infasi pada lapisan mukosa, parasit ini memproduksi ensim yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus. Keadaan berikutnya adalah bakteri yang menginvasi dan berkembang pada ulkus, dan memprovokasi proses inflamasi yang dimulai dengan infiltrasi sel radang akut.

Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sekum, yang dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan berkembangbiaknya bakteri. Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses menjadi memadat , lebih lengket dan berbentuk makin membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam kolon yang lama Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek waktu transit feses dalam kolon, tetapi dapat juga mengubah kandungan bakteri.

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum. Hambatan aliran dalam muara apendiks berperan besar dalam patogenesis apendisitis. Jaringan limfoid pertamakali terlihat di submukosa apendiks sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah jaringan limfoid meningkat selama pubertas, dan menetap dalam waktu 10 tahun berikutnya, kemudian mulai menurun dengan pertambahan umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan termasuk apendiks adalah Ig A.

Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung infeksi. Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh, sebab jaringan limfoid disini kecil jika dibandingkan jumlah di saluran pencernaan dan seluruh tubuh.

Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina muskularis dan lamina serosa . Proses awal ini terjadi dalam waktu 12 – 24 jam pertama. Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga mucus yang terbentuk secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminer meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman di dalam lumen apendiks cepat. Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan udem. Kondisi yang kurang baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks, maka terjadilah keadaan yang disebut apendisitis fokal , atau apendisitis simple . Obstruksi yang berkelanjutan menyebabkan tekanan intraluminer semakin tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Sirkulasi venular akan mengalami gangguan lebih dahulu daripada arterial.

Keadaan ini akan menyebabkan udem bertambah berat, terjadi iskemi, dan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding apendiks, terjadilah keadaan yang disebut apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut tekanan intraluminer akan semakin tinggi, udem menjadi lebih hebat, terjadi gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadinya gangren pada dinding apendiks terutama pada daerah antemesenterial yang relatif miskin vaskularisasi. Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk ellipsoid. Keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Apabila tekanan intraluminer semakin meningkat, akan terjadi perforasi pada daerah yang gangrene tersebut. Material intraluminer yang infeksius akan tercurah ke dalam rongga peritoneum dan terjadilah peritonitis lokal maupun general tergantung keadaan umum penderita dan fungsi pertahanan omentum.Apabila fungsi omentum baik, tempat yang mengalami perforasi akan ditutup oleh omentum, terjadilah infitrat periapendikular .

Apabila kemudian terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks,terjadilah keadaan yang disebut abses periapendikular. Apabila omentum belum berfungsi baik, material infeksius dari lumen apendiks tersebut akan menyebar di sekitar apendiks dan terjadi peritonitis lokal. Selanjutnya apabila keadaan umum tubuh cukup baik, proses akan terlokalisir , tetapi apabila keadaan umumnya kurang baik maka akan terjadi peritonitis general.

Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut sehingga dapat terjadi keadaan keadaan seperti apendisitis rekurens, apendisitis khronis, atau yang lain. Apendisitis rekurens adalah suatu apendisitis yang secara klinis memberikan serangan yang berulang, durante operasi pada apendiks terdapat peradangan dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda peradangan akut. Sedangkan apendisitis khronis digambarkan sebagai apendisitis yang secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, pendapatan durante operasi maupun pemeriksaan histopatologis menunjukkan tanda inflamasi khronis, dan serangan menghilang setelah dilakukan apendektomi. Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante operasi, dimana apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan perlekatan yang banyak. Dan kadang-kadang terdapat pita-pita bekas peradangan dari apendiks keorgan lain atau ke peritoneum. Apendiks dapat tertekuk, terputar atau terjadi kinking, kadang-kadang terdapat stenosis partial atau ada bagian yang mengalami distensi dan berisi mucus (mukokel). Atau bahkan dapat

terjadi fragmentasi dari apendiks yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh pita-pita jaringan parut. Gambaran ini merupakan “gross pathology” dari suatu apendisitis khronika .

6. Manifestasi Klinis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut:

a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.

b. Bila apendiks terletak di rongga pelvi

a) Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).

b) Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

c) Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.

Pada anak-anak

· Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.

· Pada orang tua berusia lanjut. Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

· Pada wanita : Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan

trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

7. Diagnosis

a. Penegakan Diagnosis

Pemeriksaan Fisik

Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.

Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).

Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.

Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.

b. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.

Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.

Berdasarkan keadaan klinis, harusnya diperlihatkan secara rutin yaitu.

Analisa urin. Test ini bertujuan untuk meniadakan batu ureter dan untuk evaluasi kemungkinan dari infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.

Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase ini membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu dan pancreas jika nyeri dilukiskan pada perut bagian tengah bahkan kuadrant kanan atas.

Serum B-HCG untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.

Kebanyakan kasus apendisitis akut didiagnosa tanpa memperlihatkan kelainan radiologi. Foto polos bisa memperlihatkan densitas jaringan lunak dalam kuadran kanan bawah, bayangan psoas kanan abnormal, gas dalam lumen apendiks dan ileus lebih menonjol. Foto pada keadaan berbaring bermanfaat dalam mengevaluasi keadaan-keadaan patologi yang meniru apendisitis akut. Contohnya udara bebas intraperitoneum yang mendokumentasi perforasi berongga seperti duodenum atau kolon. Kelainan berupa radioopaq, benda asing serta batas udara cairan di dalam usus yang menunjukkan obstruksi usus. Sejumlah laporan tentang manfaat enema barium telah jelas mencakup beberapa komplikasi. Pemeriksaan enema barium jelas tidak diperlukan dalam kebanyakan kasus apendisitis akut dan mungkin harus dicadangkan bagi kasus yang lebih rumit, terutama yang dengan resiko operasinya berlebihan.

8. Diagnosis Banding

a. Gastroenteritis

Pada terjadi mual, muntah, diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan terbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukosit kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut. laboratorium biasanya normal karena hitung normal

b. Limfadenitis Mesenterika.

Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis ditandai dengan sakit perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan, perut samar terutama kanan

c. Demam Dengue.

Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, hematokrit yang meningkat

d. Infeksi Panggul.

Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada gadis dapat dilakukan colok vagina jika perlu untuk diagnosis banding. Rasa nyeri pada colok vagina jika uterus diayunkan.

e. Gangguan Genitalia Wanita

Folikel ovarium yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah¬ pada pertengahan siklus menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu dalam 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari, pada anamnesis nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu.

f. Kehamilan Ektopik

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu Ruptur tuba, abortus kehamilan di luar rahim disertai pendarahan maka akan timbul nyeri mendadak difus di

pelvis dan bisa terjadi syok hipovolemik. Nyeri dan penonjolan rongga Douglas didapatkan pada pemeriksaan vaginal dan didapatkan pada kuldosintesis

g. Divertikulosis Meckel

Gambaran klinisnya hampir serupa dengan apendisitis akut. Pembedaan sebelum operasi hanya teoritis dan tidak perlu, sejak diverticulosis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada apendisitis akut dan diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama

h. Batu Ureter

Jika diperkirakan mengendap dekat apendiks, ini menyerupai apendisitis retrocecal. Nyeri menjalar ke labia, scrotum, atau penis, hematuria dan / atau demam atau leukosotosis membantu. Pielography biasanya untuk mengkofirmasi diagnose

9. Komplikasi

Acute appendicitis dengan komplikasi

Merupakan appendicitis yang berbahaya, karena appendix menjadi lingkaran tertutup yang berisi “fecal material”, yang telah mengalami dekomposisi. Perbahan setelah terjadinya sumbatan lumen appendix tergantung daripada isi sumbatan. Bila lumen appendix kosong, appendix hanya mengalami distensi yang berisi cairan mucus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab, biasanya merupakan flora normal lumen usus berupa aerob (gram + dan atau gram – ) dan anaerob.

Pada saat appendix mengalami obstruksi, terjadi penumpukan sekresi mucus, yang akan mengakibatkan proliferasi bakteri, sehingga terjadi penekanan pada moukosa appendix, dikuti dengan masuknya bakteri ke dalam jaringan yang lebih dalam lagi. Sehingga timbulah proses inflamasi dinding appendix, yang diikuti dengan proses trombosis pembuluh darah setempat. Karena arteri appendix merupakan end arteri sehingga menyebabkan daerah distal kekurangan darah, terbentuklah gangrene yang segera diikuti dengan proses nekrosis dinding appendix.

Dikesempatan lain bakteri mengadakan multiplikasi dan invesi melalui erosi mukosa, karena tekanan isi lumen, yang berakibat perforasi dinding, sehingga timbul peritonitis. Proses obstruksi appendix ini merupakan kasus terbanyak untuk appendicitis. Dua per tiga kasus gangrene appendix, fecalith selalu didapatkan

Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensir dengan proses pembentukan dinding oleh karingan sekitar, misal omentum dan jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat atau (mass), atau proses pultulasi yang mengakibatkan abses periappendix.

10. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan terapi bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi yang tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum

pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi.

b. Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.

Cairan intravena ; cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan.

Antibiotik : pemberian antibiotik intravena diberikan untuk antisipasi bakteri patogen , antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke 3 cephalosporins, ampicillin

sulbaktam, dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotik postops harus di ubah berdasarkan kulture dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit.

Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitist perforasi

Terapi bedah meliputi apendiktomi dan laparoskopik apendiktomi. Apendiktomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks. Mencakup Mc Burney insisi. Dilakukan diseksi melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat suatu muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup

11. Prognosis

Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada atau emboli paru orangtua. Kematian biasanya berasal dari sepsis aspirasi; prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic yang lebih baik.

Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah sepsis. Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari jahitan kantong. Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan hernia.

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada.

B. PERITONITIS

1. DEFINISI

Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam rongga perut. Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri. Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium. Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).

b. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.

c. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura. Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale dan mesenterium dorsale. Mesenterium ventrale yang terdapat pada sebelah kaudal pars superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium ventrale yang masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi ventrikulus disebut mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu perkambangan dan pertumbuhan, ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada suatu tempat berhubungan dengan umbilicus dan saccus vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus.

Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok dan terjadi jirat-jirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270 ° dengan aksis ductus omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada dinding ventral dan dinding dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan bersama mesenterium dorsale mendekati peritonium parietale. Karena jirat usus berputar, bagian usus disebelah oral (kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal) berpindah ke kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale. Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale mendekati peritoneum dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung lagi, dan terletak sekarang dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietale, disebut terletak intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei, dengan demikian: Duodenum terletak retroperitoneal; Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium; Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal; Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut mesocolon transversum;

Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal karena pada permulaan merupakan suatu tonjolan dinding usus dan tidak mempunyai alat pengantung; Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat

penggantung mesenterium, lipatan peritoneum akibat adanya arteria yang menuju ke ujung processus vermiformis. Ia sebenarnya lanjutan dari cecum. Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada peritoneum parietale tidak sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di antara usus (yang diliputi oleh peritoneum viscerale) dan peritoneum parietale atau diantara mesenterium dan peritoneum parietale yang dibatasi lipatan-lipatan. Lipatan-lipatan dapat juga terjadfi karena di dalamnya berjalan pembuluh darah. Dengan demikian di flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis superior yang membatasi recessus duodenalis superior dan plica duodenalis inferior yang membatasi resesus duodenalis inferior.

Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum terdapat recessus intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan mesosigmoideum. Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris. Peritoneum yang menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga terjadi bangunan yang disebut appendices epiploicae. Ventriculus memutar terhadap sumbu longitudinal, sehingga curvatura mayor di sebelah kiri dan curvatura minor di sebelah kanan. Kemudian ventriculus memutar terhadap sumbu sagital, sehingga cardia berpindah ke kiri dan pilorus ke kanan. Kerena ventriculus berputar, sebagian mesogastrium dorsale mendekati peritoneum perietale dan tumbuh melekat. Dengan demikian tempat perlekatan mesogastrium dorsale merupakan suatu lengkung dari kiri kranial ke kanan kaudal. Bagian yang terkaudal mendekati perlekatan mesocolon transversum yang berjalan trasversal. Dibagian kaudal juga terjadi perlekatan mesogastrium dorsale dengan mesocolon transversum dan disebut sebagai omentum majus. Kantong yang dibentuk olehnya disebut bursa omentalis. Mesogastrium ventrale melekat pada peritoneum parietale dinding ventral perut dan pada diaphragma. Di dalam mesogastrium ventrale hepar terbentuk dan berkembang. Hepar berkembang ke kaudal sampai tepi batas mesogastrium yang disebut omentum minus atau ligamentum hepatogastricum dengan tepi bebasnya di sebelah kaudal disebut ligamentum hepatoduodenale. Ligamentum falciforme melekat pada batas antara lobus dexter dan lobus sinister. Omentum minus melekat pada fosa sagittalis sinistra bagian dorsokranial dan mengelilingi portae hepatis. Ligamentum teres hepatis yaitu sisa vena umbilikalis sinistra, terbentang dari umbilicus ke hepar di dalam tepi bebas ligamentum falciforme hepatis, masuk di dalam fossa sagittalis sinistra hepatis dan berakhir pada ramus sinistra vena portae.

Di dalam tepi bebas omentum minus atau ligamentum hepatoduodenale terdapat: Vena portae; Arteria hepatica propria; Ductus choledochus; Serabut-serabut saraf otonom; Pembuluh-pembuluh lympha. Di sebelah kiri berjalan a. hepatica propria di sebelah dorsal kedua bangunan ini ditengah-tengah berjalan v. portae. Ductus choledocus dibentuk oleh oleh ductus cysticus dan ductus hepaticus communis, berjalan melalui ligamentum tersebut ke kaudomedial, menyilangi disebelah dorsal pars superior duodeni sampai di dalam sulcus diantara pars descendens duodeni dan caput pancreatis bermuara di papillae duodeni major. Di dalam mesenterium dan duodenum (mesoduodenum) dan mesogastrium dorsale terjadi dan tumbuh pankreas. Karena mesoduodenum dan sebagian mesogastrium dorsale tumbuh melekat dengan peritoneum parietale, caput dan corpus pancreatis letaknya menjadi retroperitoneal, tetapi cauda pancreatis masih tetap didalam omentum majus. Didalam omentum majus disebelah ventral cauda pancreatis lien terbentuk dan berkembang kearah kiri sehingga ia ditutupi sebagian besar oleh lembaran kiri omentum majus. Omentum majus dibagi dua oleh lien menjadi ligamentum precholienale, bagian antara lien dan peritoneum parietale yang menutupi diaphragma, ligamentum gastrolienale bagian antara lien dan ventriculus. Karena lien tumbuh terutama ke kiri, lembaran kanan kedua ligamentumtidak sampai melekat pada lien, sedangkan lembaran kiri mulai melekat pada lien dikelilingi hilus. Karena perubahan letak

ventriculus terjadilah bursa omentalis. Lubang masuk kedalam bursa omentalis disebut foramen epiploicum (Winslowi) dibatasi:

a. Dibagian cranial oleh processus caudatusDibagian ventral oleh lig.hepatoduodenale.

b. Dibagian kaudal oleh pars superior duodeni

c. Dibagian dorsal oleh peritoneum parietale yang menutupi vena cava inferior.

Bursa omentalis sendiri dibatasi:

d. Dibagian cranial oleh lobus caudatus hepatis

e. Dibagian ventral oleh omentum minus dan ventriculus

f. Dibagian kaudal oleh mesocolontransversum serta colon transversum

g. Dibagian dorsal oleh peritoneum parietale yang menutupi caput dan corpus pancreatic

Dibagian kiri oleh omentum majus dengan cauda pancreatic dan lien Omentum majus yang melekat pada colon tansversum ke kaudal menutupi usus dari sebelah vental sebagai suatu tirai untuk kemudian melipat ke arah cranial dan melekat pada curvatura major ventriculi. Kedua lembaran dari lipatan itu dibagian kaudal tumbuh melekat. Bagian yang tidak tumbuh merupakan lanjutan bursae omentalis yang disebut recessus inferior bursae omentalis. Bagian bursae omentalis terkranial disebut recessus superior bursae omentalis. Dataran peritoneum yang dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum mengeluiarkan sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat intra peritoneal satu terhadap yang lain. Kadang-kadang , pemuntaran ventriculus dan jirat usus berlangsung ke arah yang lain. Akibatnya alat-alat yang seharusnya disebelah kanan terletak disebelah kiri atau sebaliknya. Keadaan demikian disebut situs inversus. Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia muskularis.5

Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri. Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri. Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. Molekul-molekul yang lebih besar dibersihkan kedalam mesotelium diafragma dan limfatik melalui stomata kecil.5

Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum).

2. ANATOMI

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial (facies skarpa), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.

Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.

Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertical tanpa menimbulkan gangguan perdarahan. Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n. lumbalis I.6

3. ETIOLOGI

Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.

a. Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.

b. Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk, tepung).

4. PATOFISOLOGI

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. 10

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.1

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang

mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.7

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.

5. KLASIFIKASI

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Peritonitis bakterial primer

Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Spesifik : misalnya Tuberculosis

2. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis

Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.

Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)

Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:

a. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.

b. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.

c. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendicitis.

d. Peritonitis tersier, misalnya:

· Peritonitis yang disebabkan oleh jamur

· Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.

Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.

· Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:

Aseptik/steril peritonitis

Granulomatous peritonitis

Hiperlipidemik peritonitis

Talkum peritonitis

6. MANIFESTASI KLINIS

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.1

Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.

Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.

7. DIAGNOSIS

Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.

a. Gambaran klinis

Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.

Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis granulomatosa

menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah.

b. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

c. Pemeriksaan X-Ray

Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi.

8. GAMBARAN RADIOLOGIS

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :

a. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP ).

b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP.

c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:

1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance),

2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang – panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.

3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan step ladder appearance.

Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial, air fluid level, dan herring bone appearance.5

Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:

a. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang – kadang susah membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau intestinum crassum.

b. Air fluid level

c. Herring bone appearance

d. Bedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid level ada yang pendek – pendek (usus halus) dan panjang – panjang (kolon) karena diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik. Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi). Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah :

1. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.

2. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunair shadow).

3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen. Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.

9. TERAPI

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.

Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.

Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya,

kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.

Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.

Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.

10. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dll.

11. KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :

a. Komplikasi dini

Septikemia dan syok septik

Syok hipovolemik

Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi system

Abses residual intraperitoneal

Portal Pyemia (misal abses hepar)

b. Komplikasi lanjut

Adhesi

Obstruksi intestinal rekuren

12. PROGNOSIS

Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.