7
Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005 Wacana  JURNAL  JURNAL  JURNAL  JURNAL  JURNAL Dinamika Periurban Aspiratif, Berkeadilan Sosial, Keselarasan Alam - Komunitas Periurban sebagai perha tian k ualitas hidup VOLUME I - MEI 2005 Perpustakaan Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota - ITI JEJAK (Jaringan Belajar Antar Komunitas)  Jurnal Dinamika Periurban merupakan kerjasama antara Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, ITI dengan organisasi nirlaba JEJAK (Jaringan Belajar antar Komunitas) yang bergerak pada tingkat komunitas dengan berazaskan pertemanan dan keadilan sosial, JEJAK sendiri berusaha untuk melakukan penelitian sosial dan ekonomi masyarakat, membantu masyarakat dalam mengatasi permasalahanny a dengan cara memfasilitasi.  Jurnal ini ditujukan bagi segala lapisan masyarakat (pemerintah, swasta, masyarakat umum, pendidikan ting gi, LSM, dll.) dengan fokus pada permasalahan di sekitar wilayah pinggiran kota (periurban). Redaksi terbuka terhadap segala masukan baik dalam bentuk kritik, saran-saran, maupun sumbangan tulisan. Tim Redaksi Penanggung Jawab Ketua Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Indonesia Koesparmadi Adiyanti Buchholz Ibnu Fazar Budi H. Nugroho Muhlisin Redaksi Jurnal Dinamika Periurban  Jurusan Perencanaan Wilayah Kota Institut Teknologi Indonesia Kampus ITI Gedung F Lantai II  Jl. Raya P uspiptek Serpong Tangerang - Banten Telp. 021-7561114 , Ext 131/134/135 Fax. 021-7565382 Email : [email protected] contact person : Ibnu Fazar, budi H. Nugroho, Muhlisin Bank Mandiri Kantor Cabang Tangerang Serpong, Atas Nama muhlisin, Ir or budi haryo nugroho , No. Rek. 101 00 04145031 Alamat Redaksi Profil

Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 1/7

Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005Wacana

 JURNAL JURNAL JURNAL JURNAL JURNALDinamika Periu

Aspiratif, Berkeadilan Sosial, Keselarasan Alam - Komunitas

Periurban

sebagai perhat ian k ual i tas h id

VOLUME I - MEI 2005

Perpus takaan Jurusan Perencanaan Wi layah dan Kot a JEJAK (Jar ingan Be la ja r Antar Komuni tas )

  Jurnal Dinamika Periurban merupakan kerjasama antara Jurusan PerencanaanWilayah dan Kota, ITI dengan organisasi nirlaba JEJAK (Jaringan Belajar antarKomunitas) yang bergerak pada tingkat komunitas dengan berazaskan pertemanandan keadilan sosial, JEJAK sendiri berusaha untuk melakukan penelitian sosial

dan ekonomi masyarakat, membantu masyarakat dalam mengatasipermasalahannya dengan cara memfasilitasi.

 Jurnal ini ditujukan bagi segala lapisan masyarakat (pemerintah, swasta, masyarakatumum, pendidikan tinggi, LSM, dll.) dengan fokus pada permasalahan di sekitarwilayah pinggiran kota (periurban). Redaksi terbuka terhadap segala masukanbaik dalam bentuk kritik, saran-saran, maupun sumbangan tulisan.

Tim Redaksi

Penanggung JawabKetua Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota

Institut Teknologi Indonesia

KoesparmadiAdiyanti Buchholz

Ibnu FazarBudi H. Nugroho

Muhlisin

Redaksi Jurnal Dinamika Periurban Jurusan Perencanaan Wilayah Kota

Institut Teknologi IndonesiaKampus ITI Gedung F Lantai II

 Jl. Raya Puspiptek SerpongTangerang - Banten

Telp. 021-7561114 , Ext 131/134/135Fax. 021-7565382Email : [email protected]

contact person : Ibnu Fazar, budi H. Nugroho, MuhlisinBank Mandiri Kantor Cabang Tangerang Serpong, Atas Nama

muhlisin, Ir or budi haryo nugroho , No. Rek. 101 00 04145031

Alamat Redaksi

Profil

Page 2: Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 2/7

Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005

Membicarakan masalah perkotaan perlu membatasi diri tanpa harus melupakan keutuhan. Hal te

diperlukan supaya mudah berujung pada suatu agenda perubahan. Demikian niat dimunculk

 jurnal peri-urban ini.

Khususnya dalam membicarakan perubahan di sekitar perkotaan akan bersinggungan de

perencanaan tata-ruang (suatu istilah yang umum dipakai dimasyarakat Indonesia). Penciptaa

pengembangan 'titik-titik pertumbuhan' sebagai suatu pendekatan memunculkan berbagai perta

teoritis maupun praksis tentang keberhasilan pembangunan kota karena yang terjadi

mengesampingkan aspek keselarasan dengan alam dan keadilan sosial masyarakat. Ketika 'titi

tumbuh diciptakan dan dikembangkan, sampai sejauh mana dianggap 'managable' dan

menyejahterakan semua pihak? Perlulah kiranya kita turun ke lapangan untuk mulai mencarpendekatan lain yang lebih tepat.

Wilayah pinggiran adalah suatu kenyataan yang tidak masuk dalam logika perubahan di atas

dasarnya upaya perubahan yang sedang berlangsung merupakan transaksi dengan kondisi fis

kondisi nyata lainnya yang bersifat 'pinggiran'. Koreksi pada strategi 'titik tumbuh' kem

memunculkan perhatian pada pendekatan 'koridor'. Titik tumbuh dan koridor mengantarkan

upaya penguasaan lahan berlebihan untuk suatu perubahan yang disengaja (perencanaan, tata-r

Ujungnya kemudian bisa diterka bahwa strategi yang dijalankan sebetulnya tidak mempunyai k

yang jelas tentang visi suatu kawasan yang nyaman huni kecuali hanya suatu logika pengu

ruang. Adakah pendekatan yang lain yang secara konsisten mengupayakan eksistensi ma

siapapun dia? Agresifitas perkembangan kota telah menyentuh pada ruang kehidupan ma

manusia yang tiba-tiba dibuat lemah karena secara sosial-ekonomis posisinya memang tidak

posisi layak dalam medan kapitalisme.

Edit

Untuk sementara kita dapat kumpulkan kosa kata untuk mewakili sifat 'pinggiran' ini memperkuat keabsahan membicarakan wilayah pinggiran kota, yaitu seperti misalnya 'hinte

'wilayah eksploitasi', kawasan agraris, kota satelit, dsb. Penelusuran di lapangan atas kosa kata

kata tersebut selalu disertai cerita yang tidak memperkuat budaya hidup bersama. Suatu ken

bila membayangkan bentuk perubahan yang harus 'dijalankan' di wilayah pinggiran kota

menafikan perubahan yang kapitalistik. Suatu yang tidak mudah untuk merumuskan alternatif.

itu jurnal ini kemudian akan selalu mempunyai struktur yang diawali dengan temuan di lap

(reportase), kemudian dikembangkan dalam refleksi, ditanggapi dalam format suatu perubahan

disengaja (tentu akan banyak bersifat hipotesa) dan akhirnya hal-hal yang bersifat 'feedback' dipe

untuk pengembangan pikiran dan kreatifitas.

Harapannya, segala sesuatu yang terungkap semoga bermanfaat bagi dunia pendidikan dan

nyata (baik dari sisi kebijakan maupun peningkatan kesejahteraan warga masyarakat). Untu

menjabarkan niat tsb, mungkin tidak berlebihan bila kemunculan jurnal ini diprakarsa

Perpustakaan Jurusan PWK-ITI (yang dianggap cukup mempunyai informasi daerah pinggira

forum belajar antar komunitas JEJAK - 'Jaringan Belajar Antar Komunitas' (mewakili warga dan pihak yang mengalami perubahan di daerah pinggiran). Tentunya segala sesuatu akan s

dipengaruhi pengalaman JABODETABEK (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi), tetapi

perkembangannya akan dicari format yang tepat supaya bermanfaat pula untuk wilayah lain d

nesia.

1

Hipotesa

 Jadi, seharusnya dalam kerangka pemberdayaan ‘civil society’, selama penguatan dan prakarsa

ditingkat komunitas atau desa belum terwujud dengan baik, kecamatan mempunyai potensi dalam

penyelesaian masalah. Atau mungkin dalam fungsi lain tetapi ma sih dalam konteks yang sama (dalam

kerangka penanganan masalah) adalah bagaimana kecamatan dapat menjadi fasilitator untuk

terwujudnya penguatan tingkat ‘grassroots’? Data karakter kawasan dan data permasalahan dikuasai

oleh kecamatan terlepas dari identitas komunitas, artinya substansi akan merupakan perhatian

utamanya. Kecamatan ternyata bukan sekedar unit administratif atau batas-batas hukum.

Berkaitan dengan penanganan kemiskinan yang telah menjadi agenda global sudah seharusnya kitamemperhatikan kawasan pinggiran kota dengan seksama karena merupakan kawasan yang berpotensi

mengalami pemiskinan pada masyarakat tertentu. Komodifikas i telah dianggap sebagai proses

‘alamiah’ globalisasi; semua sah untuk dipertukarkan dengan uang. Dan ternyata pertukaran tersebut

tidak selalu menghasilkan kesejahteraan.

Adakah rencana khusus untuk ‘kota kecil’ atau ‘wilayah kecil’ setingkat kecamatan dalam rangka

penanganan kemiskinan? Sampai sejauh mana kita harus mengakui perubahan kearah ‘urbanize’

sebagai kesuksesan bila sekaligus mengandung ketidak berdayaan masyarakat?

Ruang adalah ruang hidup. Sudah saatnya pengertian ruang tidak dikonotasikan dengan batas

administratif tetapi pada batas-batas yang mempengaruhi keberlangsungan hidup manusia. Misalnya

unit alam sebagai landasan kehidupan (sebagai sumber daya, sebagai wadah dsb). Rencana tata ruang

dan kebijakan perlu mempunyai etos atau jiwa pada hal yang mendasar ini. Dapatkah rencana tata-

ruang menetapkan hal yang bersifat etis ini?

Kemampuan / kompetensi koordinasi adalah kunci penyeleaian masalah. Dibutuhkan ketepatan

merumuskan substansi yang harus dipertukarkan dan juga metode pertukaran itu sendiri. Kultur

semacam apa yang yang harus diciptakan untuk mengakui keberagaman dan hidup saling menunjang?

Kelengkapan data adalah penting. Bagaimana menciptakan monografi kecamatan sebagai suatu basis

data yang bermakna?

Akhirnya perlu kiranya dipertimbangkan adanya suatu perhatian khusus yang bersifat disipliner

pada persolaan ini. Adakah pembenaran ilmu ekonomi yang makin memperdaya kehidupan

masyarakat? Adakah peluang keadilan pada hukum yang tidak berlandaskan hukum positif? Dimana

letak karakter alam sebagai landasan hidup? Dst.

Daftar Pustaka:1. Penyusunan Agenda Wilayah Periferi; Kasus Desa Serpong, Kec. Serpong;

Untung Saputra (023980006); Laporan Kerja Praktek - Jurusan PWK ITI, 20022. Evaluasi Saluran Drainase Bintaro Sektor VI; Jaya Real Property; Nopember 20023. Studi Antisipatoris Wilayah Periferi; Kasus Desa Cisauk, Serpong,; Tim LAPAK; 2003

12

Page 3: Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 3/7

Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005

Daerah Periurban

oleh Muhlisin*

Di sekeliling pusat suatu kota terdapat wilayah dengan macam-macam tata guna lahan, terutama

untuk perumahan penduduk. Pertumbuhan kota keluar melahirkan wilayah pinggiran kota yang

disebut suburbia (periurban). Di negara-negara barat dalam abad ke-21 ini pertumbuhan suburbia

amat mencolok.

Whynne Hammond mengemukakan lima alasan tumbuhnya pinggiran kota, sebagai berikut :1. Peningkatan pelayanan transportasi kota. Tersedianya trem, bus kota dan kereta api di

bawah tanah ( khususnya di negeri barat dan juga di Jepang). Memudahkan orang bertempat

tinggal jauh dari tempat kerjanya. Apalagi setelah kendaraan bermotor mudah dimiliki,

terjadilah ‘suburban explosion’. Dimasa lampau perumahan penduduk terutama berderet

di sepanjang jalan raya atau rel kereta api, akan tetapi sekarang lahan-lahan kosong di

pinggiran kota yang semula pedesaan menjadi kawasan perumahan.

2. Pertumbuhan penduduk.Ramainya suburbia dengan manusia baru disebabkan oleh dua

hal, yaitu: berpindahnya sebagian penduduk dari bagian pusat kota ke bagian tepi-tepinya,

masuknya penduduk dari pedesaaan.

3. Meningkatnya taraf hidup masyarakat. Bertambahnya kemakmuran secara pribadi

memungkinkan orang untuk mendapatkan perumahan lebih baik, entah dengan menyewa

atau memiliki sendiri. Bersama dengan mengecilnya jumlah anggota keluarga, ikut

mengurangi kepadatan penduduk dan juga memencarkannya dengan mudah.

4. Gerakan pendirian bangunan pada masyarakat. Pemerintah membantu mereka yang inginmemiliki rumah sendiri melalui pemberian kredit lewat jasa suatu bank yang ditunjuk.

5. Dorongan dari hakikat manusia sendiri. Suburbia pernah dijuluki " collective attempt at

private living" akan tetapi kebenarannya hanya berlaku di negara-negara tertentu, misalnya

di Inggris, Amerika serikat, dan wilayah-wilayah lain dimana pengaruh Inggris pernah kuat.

Hal itu disebabkan barangkali karena bangsa anglo-saxon, melebihi bangsa lain dalam hal

ingin bertempat tinggal di rumah-rumah yang longgar dikelilingi oleh halaman atau kebun

luas. Dikebanyakan negara Eropa sebaliknya seperti di Perancis, juga di Australia, gaya

hidup di kawasan suburban belum berkembang benar dan orang cenderung tinggal di

gedung-gedung flat yang tinggi dan menjadi apartemen untuk ditempati sendirian atau

bersama keluarga.

Apakah ciri-ciri yang khas dari suburbia ? yang paling mudah dilihat adalah : makin jauh lokasinya

dari pusat kota, makin baru perubahannya dan makin kurang padat penghuninya.

Istilah suburbia dan fringe dalam geografi sosial dipakai bersama-sama sejak tahun 1950 sebagai

sinonim (dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai: daerah pinggiran). Karena perkembangan

kota dan pedesaan selanjutnya dapat menghasilkan proses yaitu, kota mencaplok pedesaan, dan

orang desa berurbanisasi secara fisik (mengkota) maka muncullah antara kota dan desa (rural-ur-

ban fringe), yang hakikatnya merupakan bagian kota maupun bagian desa.

Wacana

* Peneliti - Laboratorium Pengembangan Komunitas (LAPAK)-PWK ITI2

Belajar dari Entitas Kecamatan

Oleh: Koesparmadi*

Memang ini suatu pengalaman yang sangat khusus yaitu tentang tata-ruang, tentang pe

maupun tentang penyelesaian masalah di sekitar Serpong, Pamulang, Cisauk, Pondok Ar

Kabupaten Tangerang) yang sangat dipengaruhi oleh Jakarta. Ciri khas permasalahan di

adalah:

- kawasan pinggir kota cenderung mempunyai keterbatasan infrastruktur dan fasilitas ssifatnya yang jauh dari pusat pertumbuhan atau kota

- kawasan pinggir kota mempunyai kesenjangan pada dirinya (hampir pada semua a

terdapat kawasan ‘lama’ dan kawasan ‘baru’

- kawasan pinggir kota kental dengan jenis permasalahan yang bersifat lintas batas ad

Tiga ciri khas permasalahan tersebut diatas selalu disertai dengan cerita ‘peminggiran’ (m

terhadap suatu pihak; terutama terhadap pihak yang tidak mempunyai sumber daya uang

bertani sudah tidak ekonomis lagi, perubahan penggunaan lahan menjadi non-pertania

menyengsarakan, peluang kerja yang sulit digapai dsb. Terdapat cerita kemiskinan dan

golongan masyarakat tertentu yang bersanding dengan cerita pembangunan kawasan baru

hyperstore dsj; cerminan total semangat globalisasi).

Barangkali di tempat lain terdapat hal yang serupa dengan hal-hal tersebut sehingga kita

menimbang-nimbang untuk menyiasati segalanya berdasarkan suatu pola.Yang menarik dalam menghadapi permasalahan diatas adalah posisi lembaga kecamatan

merupakan bagian struktural kepemerintahan yang berada diatas kelurahan dan dibawah

Pada prakteknya lembaga yang mewakili kewenangan kepe merintahan ini dituntut untuk

data dasar yang tepat untuk pengambilan keputusan ditingkat atasnya sekaligus diharap

fasilitator penyelesaian lintas batas pada tingkat yang paling kongkrit di lapangan. Ketika p

komunitas yang identitasnya terkotakkan pada administrasi kampung/desa terdapat m

membutuhkan campur tangan pemerintah atau terdapat masalah yang bersifat lintas batas a

penyelesaiannya ada pada kewenangan kecamatan (pada lembaga yang lebih ting

kelurahan/desa). Kasus banjir di lingkungan permukiman yang makin sering muncul

hujan menunjukkan hal ini.

Pada fungsinya sebagai fasilitator tsb diatas wewenangnya yang sebatas hanya sebagai ad

seringkali menjadi ‘bemper’ penyelesaian masalah. Keterbatasan pada sumber daya (kdana, tenaga ahli dsb) tidak memungkinkan lembaga yang pada dasarnya sangat jelas melih

lapangan harus menghadapi birokrasi yang tidak disukai oleh para warga yang butuh

dianggap sebagai lembaga yang tidak dapat dijadikan jaminan penyelesaian masalah.

* Pengajar - Juru san PWK - ITI

Page 4: Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 4/7

Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005

Kutrz dan Eicher, menemukan enam definisi rural-urban fringe, sebagai berikut :

a. Kawasan dimana tata guna lahan rural dan urban saling bertemu dan mendesak, di p

kota modern.

b. Rural-urban fringe, meliputi semua suburbia, kota satelit dan teritorium lain yang ber

langsung di luar kota, dimana labor force-nya terlibat dibidang non-farming.

c. Suatu kawasan yang letaknya di luar perbatasan kota yang resmi, tetapi masih dalam

melaju (commuting distance).

d. Kawasan di luar kota yang penduduknya berkiblat ke kota (urban oriented residents)

e. Suatu kawasan pedesaan yang terbuka yang dihuni oleh orang-orang yang bekerja di

kota.f. Suatu daerah dimana bertemu mereka yang memerlukan kehidupan di kota dan di d

 Jika kita kembali ke tahun 1940-an, masalah rural-urban fringe masih sederhana. Wehrwein dan

secara mudah mengatakan bahwa rural-urban fringe secara geografis adalah suatu ‘no mans l

Suburbia atau dalam bahasa latinnya ‘suburbis’ (semula artinya di bawah tembok kota) h

sekarang secara spatial berlokasi di agricultural hinterland, tetapi pola tata guna lahannya

mengalami perubahan. Densitas penduduk terus saja meningkat dan harga tanah naik terus. A

secara ekologis suburbia adalah kawasan dimana terjadi invasi (menyerbu masuknya orang

Dapat disimpulkan bahwa suburbia dibangun tanpa rencana dalam situasi peralihan, tata guna

ditangani secara semrawut, meski status resminya rural tetapi nyatanya campuran rural-

Berbarengan dengan bertambahnya penduduk dan beranekaragamnya mata pencaharian, m

dominanlah penduduk suburbia yang non-agraris kerjanya dan menjadi pelaju (ulang-alik) kNamun ada suburbia yang tetap bereksistensi rural murni, sehingga oleh Spectorsky disebut

bia’, karena letaknya di luar kota atau di luar suburbia. Exurbia ini di kemudian hari juga bstrukturnya kearah urban dan lenyap pula ruralitasnya.

Apa makna definisi-definisi tersebut? Umumnya definisi tersebut digunakan untuk lankebijakan pembangunan pada kawasan-kawasan tertentu. Yang menjadi persoalan adalahpernah terdapat kondisi yang betul-betul sama / sesuai dengan definisi, dan setiap kawmempunyai karakter yang berbeda satu-sama lainnya. Setiap kawasan mempunyai kandungral atau urban yang sangat khas. Ketepatan kebijakan menjadi sukar dicapai. Untuk itu David Iadan Axel Drescher merumuskan tipologi periurban melalui ‘kontekstualisasi institusional’ (arti luas, bukan administratif). Antara urban dan rural membuahkan kawasan ‘periurban’ (PUdapat dilihat ujudnya berdasarkan proses waktu dan konfigurasi ruang. Terdapat 5 kategori: VPU, Diffuse PU, Chain PU, In-Place PU dan Absorbed PU (lihat gambar hal 4). Adapun sifat koinstitusionalnya seperti ditunjukkan pada tabel hal 5. Mereka menyarankan penggunaan titersebut secara dinamis, yaitu situasional dan kasuistik.Daftar Pustaka

Arthur B. Gallion, Simon Eisner. 1992. Pengantar Perancangan Kota. Jakarta. Erlangga.N. Daldjoeni. 1992. Seluk Beluk Masyarakat Kota. Bandung. Alumni.N. Daldjoeni. 1992. Geografi Baru : Organisasi Keruangan Dalam Teori dan Praktek. Bandung. Alumni.Melville C. Branch. 1996. Perencanaan Kota Komprehensif. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.“Defining Periurban: Towards Guidelines for Understanding Rural-Urban Linkages and Their Connection to Institutiotexts”, Axel Dresher UN Food and Agriculture Organization, http://www.fao.org/DOCREP/003/X8050t02.htm#PRome, June 1999David Iaquinta with Jacques Du Guerny and Libor Stoukal “Linkages between Rural Population Ageing, IntergeneTransfers of Land and Agricultural Production: Are They Important?”, UN Food and Agriculture Organization, Rome, Sber 1999, http://www.fao.org/sd/wpdirect/wpan0039.htm

Wa

10 3

Resensi Buku

Penulis yang mempergunakan metode pengamatan terlibat ketika menyusun penelitiannya, sungguh

merupakan suatu cara ekplorasi yang amat mendalam yang menj adikan buku ini kuat akan informasi

yang akurat dan tajam. Seperti saat mengamati sekelompok pengojek, penulis mengatakan dia

meminjam motor pengojek dan mencoba mencari penumpang untuk mengetahui bagaimana rasanya

menjadi seorang pengemudi ojek. Kemudia n juga saat melihat bagaimana fungsi dan peranan faktor-

faktor dasar utama yang membentuk hubungan-hubungan sosial di kalangan penduduk desa,

misalnya tentang peran pemimpin formal maupun informal di desa, peran wanita dalam kegiatan

ekonomi di Desa Suralaya, status sosial orang-orang di desa dilihat dari berbagai sudut seperti jenispekerjaan, tingkat pendidikan, kualitas moral dan kekayaan. Penulis ikut kumpul dan bergaul da lam

keseharian semua aktor-aktor tersebut.

Sedangkan dalam konteks keislaman di komunitas Desa Suralaya penulis membahas Islam atas dua

aspeknya, yaitu : Islam sebagaimana diajarkan dan Islam sebagaimana yang dipraktikkan. Dalam

‘Islam sebagaimana diajarkan’ misalnya di bahas konsep kesalehan dalam persepsi orang-orang desa.

Sementara dalam ‘Islam sebagaimana dipraktikkan’ dilakukan analisis, diantaranya, ziarah kubur

dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi. Di sini terlihat bagaimana hubungan antara ajaran-

ajaran agama dengan tingkah laku ekonomi dan terjadilah ‘pertemuan’ antara apa yang disebut sebagai

‘yang ideal’ (ajaran agama) dengan realitas sosial (kegiatan ekonomi). Pada bagian akhir penulis

secara ringkas memandang dari perspektif teoritis, bahwa Islam membentuk etika yang sepadan

dengan ‘etika Protestan’ ( Teori Weber yang dinyatakan dalam The Protestant Ethic and The Spirit of 

Capitalism) dalam diri penduduk desa. Hubungan-hubungan erat antara Islam dengan perdagangan

(secara historis Islam tidak bisa dipisahkan dari perdagangan dan sebaliknya) juga tergambar dalam

kehidupan desa. Para penduduk desa, dengan perkataan lain memiliki semangat yang oleh Weber

disebut sebagai ‘semangat kapitalisme’. Namun dalam tataran praktis, semangat ini tidak bisa diterapkan

sepenuhnya akibat adanya kendala-kendala struktural di desa sendiri.

Page 5: Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 5/7

Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005Rese

Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi(Judul asli : PIETY AND ECONOMIC BEHAVIOR A STUDY OF THE INFORMAL SECTOR

SURALAYA, WEST JAVA)

Pengarang : Mohamad Sobary

Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta. 1999.

Dikutip dan disarikan oleh : Muhlisin

Buku Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi ini semula adalah tesis master dari penulisnya ke

menyelesaikan studinya dengan predikat distinction di Universitas Monash, Australia pada tahunbuku ini Mohamad Sobary menguraikan dan menganalisis pola kehidupan pedesaan setelah lenyapnya

berdasar pertanian karena digusur industrialisasi, dan munculnya kegiatan komersial sebagai alt

bertahan hidup. Agama, sebagai konsep yang dinamis, karena memiliki kemampuan membebas

mempunyai peranan penting dalam mewujudkan hubungan yang positif antara kesalehan dan tingkah

mereka di kawasan yang berlatar belakang budaya Betawi itu. Ada dua dimensi yang dibongkar ole

: dimensi realitas empiris masyarakat dan dimensi ajaran agama yang fungsional. Kedua dimensi itu

untuk dicari makna-maknanya.

Awal tulisan dimulai dengan membahas berbagai kebijakan pemerintah, terutama kebi

menyediakan perumahan bagi penghuni kota, yang ternyata dirancang terutama untuk

penduduk kota sendiri. Dalam hal ini, penduduk desa terpaksa digusur dari tanahnya. M

pernah memperoleh manfaat dari kebijakan ini. Akhirnya mengakibatkan pola kehidupan

berubah, terutama kegiatan perekonomian yang berdasar pertanian yang kemudian dig

munculnya kegiatan perdagangan, terutama pedagang kecil, pengemudi ojek, bengkel (

motor dan sepeda, dsb).

Desa Suralaya (bukan nama desa sebenarnya) yang menjadi lokasi penelitian terletak anta

industri : Jakarta dan Tangerang. Tekanan dari pertumbuhan industri dan populasi dari k

telah menimbulkan perubahan sosial dalam kehidupan desa ini, misalnya pemisahan

menajam telah berkembang antara penduduk desa sendiri dengan para pendatang

dirangsang terutama oleh pembangunan kompleks perumahan. Kesadaran kelas sema

sebagaimana terungkap dalam pernyataan : Saya hanya orang kampung, Anda orang komple

orang yang tidak berpendidikan, Anda orang berpendidikan dan Saya orang miskin tetapi Kamu

Cara klasifikasi diri yang merendah itu juga merupakan salah satu contoh dari perubahandisebabkan oleh tekanan perluasan daerah kota ke dalam kehidupan desa.

4

Wacana

PERIURBAN SYNTHESIS (TYPOLOGY)

 WITH INSTITUTIONAL CONTEXTS

T

I

M

E

R U R A L

R

U

R

A

L

VillagePeriurban

(Network

induced )

In-Place

Periurban

(traditional )

Chain

Periurban

(Reconstituted )

Diffuse

Periurban

( Amalgamated )

U

R

B

A

N

URBAN

Absorbed

Periurban

Residual )

MIGRATION

Paper Presented at the Tenth World Congress, International Rural Sociology Association,Rio de Janeiro, August 1, 2000. Portions of this work completed under the partnership of theUnited Nation Food and Agriculture Organization.

Page 6: Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 6/7

Page 7: Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup

http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 7/7

Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005

Desa Cibogo, desa periurban yang penuh potensidi Serpong 

Oleh Ibnu Fazar *

Profil Desa Cibogo

Desa Cibogo terletak di Kabupaten Tangerang, tepatnya di Kecamatan Cisauk, 15 km dari Kotamadya

Tangerang dan ± 40 km dari Jakarta serta berada di tepi Sungai Cisadane. Desa ini memiliki luas 411

ha dengan jumlah penduduk 8.055 jiwa (pada tahun 2001).

Desa ini terdiri dari 5 kampung yaitu:- Kampung Cibelut

- Kampung Kedokan

- Kampung Rancamoyan

- Kampung Bermis

- Eko Mandiri

Sejarah perkembangan Desa Cibogo

1. Sebelum tahun 1970-an sampai 1970-an

Desa Cibogo pada periode ini masih mengandalkan pertanian sebagai basis ekonominya;

terutama padi, singkong, buah-buahan, umbian. Sistem pertaniannya adalah tadah hujan dan

irigasi tradisional yang airnya mengalir dari kali-kali kecil. Pada periode ini telah mulai ada

penambangan batu kerikil di tepian Sungai Cisadane yang dikelola oleh koperasi desa. Populasi

penduduk relatif sedikit, yang didominasi oleh beberapa keluarga besar.

2. Tahun 1980-anPada periode ini mulai terjadi jual beli tanah oleh masyarakat Cibogo akibat adanya potensi

tambang pasir di Desa Cibogo tersebut. Pasir di desa ini termasuk pasir kualitas nomor 1

sehingga harganya cukup mahal. Pasir dieksploitasi dan dijual ke Jakarta. Pembangunan

fisik yang cepat di Jakarta berlangsung terus sampai saat ini.

Kondisi lingkungan mulai berubah. Banyak lahan berlubang akibat bekas galian pasir. Kualitas

tanah berubah karena tanah telah bercampur dengan pasir sehingga tidak dapat di tanami. Di

daerah Serpong sendiri telah terjadi pembangunankota baru Bumi Serpong Damai, dengan

luas pengembangan ± 6000 ha.

Populasi penduduk meningkat terus, bukan saja akibat pertambahan alamiah masyarakat

Cibogo tetapi juga berasal dari luar terutama masyarakat pindahan akibat pengembangan

kota baru Bumi Serpong Damai.

3. Tahun 1990-an sampai 2000-an

Penggalian pasir pada periode ini masih berlangsung, bahkan dengan alat-alat berat.

Ppenggalian sempat terhenti ketika krisis moneter melanda Indonesia (tahun 1998). Tahun

2000-an penggalian pasir mulai kembali. Banyak lahan-lahan produktif dijual untuk

dieksploitasi. Perpindahan penduduk dari pengembangan kota baru Bumi Serpong Damai

semakin banyak.

 Teropong

* Peneliti - Laboratorium Pengembangan Komunitas (LAPAK)-PWK ITI6

Akibat kegiatan eksploitasi pasir, Desa Cibogo telah mempunyai 5 lubang luas bekas g

(berhenti sejak tahun 2000). Untuk memperkirakan besarnya eksploitasi pasir di desa

digambarkan dengan contoh kasus suatu lokasi galian pasir dengan luas 1,2 ha yang digali

1994 hingga 1995. Tiap hari terjadi 30 rit truk yang berkapasitas 8 M3, maka dalam 1 tahu

kira-kira 80.000 m3 yang diangkut ke luar desa. Bila di Desa Cibogo terdapat 5 bekas ga

maka pasir yang telah dieksploitasi ke Jakarta + 400.000 m3/tahun.

Kampung dapat apa?

Pada Tahun 2000, LAPAK (Laboratorium Pengembangan Komunitas) Jurusan Perencanaa

Kota - ITI mencoba melakukan prakarsa bersama warga Desa Cibogo. Idenya adalah menggsosial-ekonomi-budaya dan fisik alam desa untuk mengatasi masalah yang ada. Segalanya

secara partisipatif, mulai dari perumusan masalah sampai dengan penyelesiannya. Kegiat

bersama-sama dengan para pemuda yang mengalami kesulitan mencari pekerjaan . Me

para pengangguran dalam pengertian sama sekali tidak melakukan kegiatan ‘pekerjaan’. Mer

seadanya sesuai kondisi yang ada di permukimannya atau menjadi pekerja lepas di perkota

ketidakpastian ini merupakan keprihatinan bersama diantara mereka dan LAPAK.

Program pertama; mengembangkan kerajinan tangan dengan bahan baku bambu (pohon bam

tumbuh di desa ini), hasilnya cukup memuaskan, produk kerajinan telah dapat dijual d

pameran (di Kampus, Perumahan BIP Pamulang) maupun pemesanan.

Program kedua; kertas daur ulang, kegiatan ini tidak berkembang karena bahan baku tid

dan tidak berasal dari desa tersebut, program ini merupakan pengalaman ‘horizontal exchan

komunitas kampung Sungai Bambu (Jakarta Utara).

Program ketiga; pemanfaatan danau bekas galian pasir untuk perikanan, pada bulan Des

telah selesai pembuatan kontruksi kolam apung dan menebar bibit sebanyak 80 kg ikan m

kemudian panen dengan hasil 125 kg ikan mas, ikan sebagian besar dibeli oleh ibu-ibu De

keuntungan bersih penjualan Rp 750.000,-

Pengalaman diatas memunculkan optimisme untuk mengatasi pengangguran dan sekaligus

permasalahan lainnya (ketahanan pangan, peningkatan ketrampilan dsb).

Desa Cibogo, daerah periurban berpotensi

Melihat kesuksesan program di Desa Cibogo yang mengandalkan potensi lokal (bambu, d

galian pasir, pemuda serta ibu-ibu) menandakan adanya potensi yang besar untuk peng

diri kawasan peri-urban. Dengan adanya potensi ini, warga terutama para pemuda berkehe

mengembangkan kegiatan-kegiatan lainnya seperti aqua cultur , produksi speaker aktif, pbatako, pembuatan minyak kelapa murni (VCO) dll dengan menggunakan penghasilan

yang ada (terutama kolam-apung ikan).

Upaya yang bersifat lokal seperti ini mungkin merupakan awal penguatan komunitas peri-u

menghadapi tekanan globalisasi saat ini.