Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
141
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERBATASAN WILAYAH ANTARA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN TIMOR LESTE
Oleh :
Rimbawanto, Doddy Kridasaksana, Ariyono
Fakultas Hukum Universitas Semarang
[email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini dapat mengetahui perlindungan hukum
terhadap perbatasan wilayah antara Negara Republik Indonesia dengan Timor Leste dan
kendala dan upaya mengatasi masalah perbatasan wilayah antara Negara Republik Indonesia
dengan Timor Leste.
Penelitian ini menggunakan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti atau mempelajari masalah dilihat dari segi aturan hukumnya, meneliti
bahan pustaka atau data sekunder
Hasil penelitian ini menunjukkan secara umum berdasarkan hasil inventarisir
peraturan perundang-undangan, pengakuan masyarakat adat di Indonesia tidak dalam posisi
untuk mengakui keberadaan masyarakat adat, melainkan untuk membatasi keberadaan
masyarakat adat.
Kata kunci : Perlindungan Hukum, Perbatasan Wilayah, Timor Leste
ABSTRACT
The objectives to be achieved from this research can be legal protection of the
territorial border between the Republic of Indonesia and Timor Leste and the constraints and
efforts to overcome the border issues between the Republic of Indonesia and Timor Leste.
This study uses yuridis normative, namely legal research conducted by researching
or studying the problem seen in terms of the rule of law, researching library materials or
secondary data
The results of this study show Generally based on the results of inventory of
legislation, the recognition of indigenous peoples in Indonesia is not in a position to
recognize the existence of indigenous peoples, but rather to limit the existence of indigenous
peoples.
brought to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
provided by Universitas Semarang Jurusan: SIJALU - Sistem Informasi Jurnal Ilmiah USM
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
142
Keywords: Legal Border, Area Protection, East Timor
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian
Perbatasan Indonesia dapat dilihat dari sebelah utara Indonesia berbatasan
dengan Malaysia yang berupa daratan di Pulau Kalimantan, tepatnya di Kalimantan Barat
dan Timur. Selain batas darat, juga berbatasan laut dengan negara Singapura, Malaysia,
Filipina. Sebelah timur, berbatasan darat dan laut dengan Papua Nugini di Pulau Irian
Jaya. Sebelah selatan berbatasan darat dengan Timor Leste di Nusa Tenggara Timur dan
berbatasan laut dengan Australia di Samudra Hindia, dan sebelah barat berbatasan
dengan Samudra Hindia. Menurut konsepsi Hukum Internasional, perbatasan darat
Indonesia pasca kemerdekaan tahun 1945 adalah mencakup seluruh wilayah bekas
jajahan Belanda sebagai negara pertama yang berkuasa di nusantara. Berdasar Article 2
poin (a) dan (b) Vienna Convention on Succession of States in respect of Treaties
(Konvensi Wina tentang Suksesi Negara terhadap Perjanjian), disebutkan bahwa status
Belanda yang digantikan oleh Indonesia disebut Predescessor State. Sementara Indonesia
sebagai negara yang menggantikannya disebut Successor State.
Pemerintah Hindia Belanda menetapkan batas dengan Inggris untuk segmen
batas darat di Kalimantan dan Papua. Sedangkan Hindia Belanda menetapkan batas darat
dengan Portugis di Pulau Timor. Hal ini di dasarkan pada prinsip Uti Possidetis Juris
dalam Hukum Internasional (suatu negara mewarisi wilayah penjajahnya)1
, maka
Indonesia dengan negara tetangga hanya perlu menegaskan kembali atau merekonstruksi
batas yang telah ditetapkan tersebut. Namun demikian, penegasan kembali atau
demarkasi tidak lah semudah yang diperkirakan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sehingga judul yang dipilih dalam
penelitian ini adalah: “Perlindungan Hukum Terhadap Perbatasan Wilayah Antara
Negara Republik Indonesia Dengan Timor Leste”.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berpijak dari latar belakang penelitian sebagaimana telah diuraikan di atas,
pokok permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap perbatasan wilayah antara Negara
1 Saru Arifin, Hukum Perbatasan Darat Negara (Semarang: Sinar Grafika, 2014), halaman
65.
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
143
Republik Indonesia dengan Timor Leste?
2. Bagaimanakah kendala dan upaya mengatasi masalah perbatasan wilayah antara
Negara Republik Indonesia dengan Timor Leste?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan pokok permasalahan di atas, maka penulis menetapkan
tujuan penelitian sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap perbatasan wilayah antara Negara
Republik Indonesia dengan Timor Leste.
b. Untuk mengetahui kendala dan upaya mengatasi masalah perbatasan wilayah antara
Negara Republik Indonesia dengan Timor Leste.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang hendak diberikan dengan dilakukannya penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk
melahirkan konsep ilmiah, yang diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan Hukum Internasional, khususnya yang menyangkut tentang
bidang pertahanan dan keamanan negara diwilayah perbatasan negara lain
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan
bahan pemikiran dan kajian bagi kepentingan perbaikan peraturan di bidang
pertahanan dan keamanan negara, khususnya yang mengatur tentang wilayah
perbatasan.
D. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
1. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum
Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlindungan
hukum merupakan suatu upaya untuk melindungi kepentingan dan hak setiap subjek
hukum, dengan memberikan kewenangan padanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut. Hak yang dimaksud di sini adalah suatu kekuatan hukum,
yakni hukum dalam pengertian subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang
diberikan oleh tatanan hukum. Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
144
pemilik hak memiliki kekuatan untuk mempertahankan haknya dari
gangguan/ancaman dari pihak manapun juga. Apabila pihak lain melanggar hak
tersebut, maka akan menimbulkan tuntutan hukum dari si pemilik hak, yang diajukan
ke hadapan aparat penegak hukum. 2
2. Tinjauan tentang Wilayah Perbatasan
a. Pengertian Wilayah
Pasal 1 Konvensi Motevideo 1933 mengenai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban negara, mengatur bahwa salah satu unsur negara adalah wilayah.3 Wilayah
adalah suatu ruang dimana orang yang menjadi warga negara atau penduduk negara
yang bersangkutan hidup serta menjalankan segala aktivitasnya. Wilayah merupakan
unsur mutlak yang harus dipenuhi untuk menyatakan entitas sebagai negara karena
dengan wilayah, suatu negara dapat menggunakan kedaulatannya dalam hal
penerapan aturan maupun sanksi.
Konsep wilayah negara memberikan prinsip non-intervensi dalam
persoalan yang mencakup yurisdiksi domestik dan prinsip untuk menghormati
integritas wilayah negara lain.4 Dalam sejarah kehidupan umat manusia maupun
negara-negara, seringkali terjadi konflik-konflik yang bersumberkan pada masalah
wilayah. Konflik ini bisa disebabkan oleh karena keinginan untuk melakukan
ekspansi wilayah maupun ketidakjelasan batas-batas wilayah antarnegara, tetapi
dengan semakin meningkatnya penghormatan atas kedaulatan teritorial negara-
negara, terutama setelah Perang Dunia II (PDII), usaha untuk melakukan ekspansi
wilayah menjadi berkurang bahkan boleh dikatakan sudah tidak ada.
b. Konsepsi tentang Wilayah Perbatasan Negara
Batas wilayah Negara Republik Indonesia (NKRI) belakangan ini menjadi
isu yang sangat sensitif, baik di kalangan eksekutif, legislatif, aparatur pertahanan,
maupun masyarakat umum, termasuk kalangan elite politik (pusat dan daerah).
Dalam memahami wilayah perbatasan negara secara utuh, tentunya juga diperlukan
pemahaman yang memadai mengenai apa yang dimaksud dengan perbatasan negara.
c. Persoalan-persoalan Terkait Wilayah Perbatasan Negara
Persoalan-persoalan terkait wilayah perbatasan negara, merupakan suatu
2 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Terjemahan Raisul
Muttaqien (Bandung: Nusa Media, 2006), halaman 152. 3 Ibid., halaman 177.
4 Malcolm N. Shaw, International Law (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
halaman 330.
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
145
kenyataan yang harus disadari bahwa Indonesia harus senantiasa waspada dalam
menjaga wilayah perbatasan. Kemungkinan masuknya pengaruh asing negatif
(ideologi dan sosial budaya) serta kemungkinan terjadinya kegiatan kejahatan lintas
negara (trans nasional crimes), pembalakan liar (illegal logging), pemancingan ilegal
(illegal fishing), perdagangan manusia (woman and child trades/trafficking), imigran
ilegal (illegal immigrants), penyelundupan manusia (people smuggling), peredaran
narkotika, pintu masuk teroris, perompakan, dan konflik sosial budaya yang
berpotensi mengancam stabilitas nasional harus dapat diantisipasi dan mendapatkan
perhatian dari pemerintah.
Konsepsi Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Pengelolaan dan pengamanan wilayah perbatasan negara terkait erat dengan konsepsi
dasar yang kita anut tentang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketika
NKRI dimaknai sebagai satu entitas yang memiliki kedaulatan, penduduk dan wilayah, maka
segala bentuk tafsir atau persepsi terhadap ancaman yang dihadapi tidak akan lepas dari
tanggungjawab negara melindungi elemen-elemen tersebut secara tidak terpisah. Negara
tidak dapat mengabaikan atau mengutamakan salah satu dari elemen kedaulatan, penduduk
dan wilayah dalam kebijakan dan aktivitas terkait pengelolaan dan pengamanan wilayah
perbatasan RI. Aktivitas pengelolaan dan pengamanan wilayah perbatasan merupakan upaya
perlindungan eksistensi negara yang ditandai dengan terlindunginya kedaulatan, penduduk
dan wilayah dari pelbagai jenis ancaman. Konsepsi ini adalah bagian dari satu pemahaman
totalitas mengenai konsep ‘keamanan nasional’ yang intinya adalah “kemampuan negara
melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti (core values), dimana pencapaiannya
merupakan sebuah proses terus-menerus, dengan menggunakan segala elemen power dan
resources yang ada serta melingkupi semua aspek kehidupan.5
E. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Jenis/tipe penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti atau mempelajari masalah dilihat dari segi
aturan hukumnya, meneliti bahan pustaka atau data sekunder.6 Menurut Mukti Fajar dan
Yulianto Achmad, penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan
5 Rizal Sukma, “Keamanan Nasional: Ancaman dan Eskalasi” FGD Pro Patria, 23 September
2003. 6 Soejono dan H. Abdurahman, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2003),
halaman 56.
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
146
hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah
mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan,
perjanjian serta doktrin (ajaran) 7.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis. Deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis
dan menyeluruh mengenai segala hal yang berkaitan dengan perlindungan hukum
terhadap perbatasan wilayah antara Negara Republik Indonesia dengan Timor Leste.
3. Metode Pengumpulan Data
Sebelum menentukan metode pengumpulan data dalam suatu proses penelitian,
maka haruslah terlebih dahulu mengetahui jenis data yang digunakan dalam proses
penelitian tersebut. Mengingat penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif, maka jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder adalah
data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber
dari data-data yang sudah terdokumentasikan dalam bentuk bahan-bahan hukum.8 Data
sekunder di bidang hukum (dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya) dapat
dibedakan menjadi:
1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari norma dasar seperti
pembukaan UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
objek penelitian.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer.
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa
Indonesia. 9
Data sekunder sebagaimana dimaksud di atas diperoleh dengan cara sebagai
berikut:
7 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan 1, 2010), halaman 34. 8 Ibid., halaman 119.
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), halaman 141-169.
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
147
1. Studi kepustakaan (library research)
Studi kepustakaan (library research) adalah teknik pengumpulan data dengan
mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan,
dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.10
2. Studi dokumentasi
Studi dokumentasi yang dilaksanakan merupakan upaya memperoleh bahan-bahan
langsung berupa dokumentasi dari instansi pemerintah yang berwenang dalam upaya
perlindungan hukum terhadap perbatasan wilayah antara Negara Republik Indonesia
dengan Timor Leste.
4. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis-kualitatif yaitu cara menganalisis data dengan mendeskripsikan dan menganalisis
materi isi dan keabsahan data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan dan studi
dokumentasi, sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai perlindungan hukum
terhadap perbatasan wilayah antara Negara Republik Indonesia dengan Timor Leste.
F. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Perlindungan Hukum Terhadap Perbatasan Wilayah Antara Negara Republik
Indonesia Dengan Timor Leste
Pemerintah Indonesia akhirnya mengambil keputusan untuk memberikan referendum
atas nasib timor leste, dan akhirnya dari hasil referendum tersebut rakyat timor-timur
berkendak untuk memisahkan diri dari Indonesia. Timor-leste dulunya adalah wilayah
jajahan dari portugis, namun pada tahun sekitar 1975an Indonesia menginvasi Timor Leste
dan akhirnya menjadi wilayah negara Indonesia. Berbagai macam gugatan dunia
internasional mengenai keabsahan invasi ABRI (TNI Kalo sekarang) terhadap timor leste
dipertanyakan, pelanggaran HAM berat dan ringan menjadi suatu polemic di masyarakat
internasional menjelang akhir tahun 1990-an atau tepatnya tahun-tahun menjelang 2000.
Yang pada saat itu Indonesia juga mengalami krisis politik dan ekonomi yang luar biasa pada
tahun 1998 yang terkenal dengan sebutan reformasi. 11
10
Moch Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), halaman 111. 11
https://palingseru.com/10059/20-may-2002-timor-leste-merdeka-dari-indonesia diakses pada
20/11/2017
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
148
Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Jose Ramos Horta untuk meminta dukungan
internasional guna menekan pemerintah Indonesia. Akhirnya pada tanggal 30 Agustus 1999
pemerintah Indonesia dibawah presiden Habibie mengadakan referendum untuk Timor Leste
dan akhirnya Timor Leste ingin memisahkan diri Indonesia. Namun Timor-Timor resmi
merdeka dari Indonesia 20 Mei 2002 dan berganti nama menjadi Republic Rakyat
Demokratik Timor Leste setelah bergabung menjadi anggota PBB. 12
Persoalan kemerdekaan Timor Leste tentunya menjadi cabuk tersendiri bagi
pemerintah Indonesia yang tidak mampu menjaga wilayah kedaulatan dan malah memilih
opsi untuk memerdekaan Timor Leste. Persoalan disintegrasi Timor Leste dari Indonesia
tidak selesai sampai disitu saja, masalah pelik yang sering muncul yakni masalah perbatasan.
Ada beberapa wilayah perbatasan antara Indonesia – Timor Leste yang masih belum
disepakati dan masih menjadi klaim antar dua negara tersebut. Pemerintah Indonesia dan
Timor Leste masih mempersoalkan masalah perbatasan antara kedua negara di atas lahan
seluas 1.211,7 hektare yang terdapat di dua titik batas yang belum terselesaikan. Dua titik
batas yang masih dipersoalkan antara kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten
Kupang, yang berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069 hektare
dan Batas lainnya yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, Desa Oben, Kabupaten
Timor Tengah Utara (TTU), yang juga berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste,
seluas 142,7 ha. Memang pada tahun 2005 pemerintah Indonesia dan Timor Leste bertemu di
Bali untuk membahas masalah tapal batas kedua negara. Namun seiring berkembang isu
politik dan ekonomiantar kedua negara, wilayah perbatasan tersebut masih menyisakan
persoalan.
2. Kendala Dan Upaya Mengatasi Masalah Perbatasan Wilayah Antara Negara
Republik Indonesia Dengan Timor Leste
2.a Masalah Perbatasan Wilayah Antara Negara Republik Indonesia Dengan Timor
Leste
Timor Leste merupakan bagian dari wilayah Indonesia setelah pemerintah Indonesia
menginvasikan wilayah tersebut. Namun karena adanya berbagai macam gugatan dunia
internasional mengenai keabsahan invasi ABRI (sekarang TNI) terhadap Timor Leste
dipertanyakan, pelanggaran HAM berat dan ringan menjadi suatu polemic di masyarakat
internasional menjelang akhir tahun 1990-an atau tepatnya tahun-tahun menjelang 2000.
12 https://www.tempo.co/read/news/2014/06/25/078587955/RI-Timor-Leste-Saling-Klaim-
Lahan-di-Perbatasan diakses pada 20/11/2017
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
149
Yang pada saat itu Indonesia juga mengalami krisis politik dan ekonomi yang luar biasa pada
tahun 1998 yang terkenal dengan sebutan reformasi. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Jose
Ramos Horta untuk meminta dukungan internasional guna menekan pemerintah Indonesia.
Akhirnya pada tanggal 30 agustus 1999 pemerintah Indonesia dibawah presiden Habibie
mengadakan referendum untuk Timor Leste dan akhirnya Timor Leste ingin memisahkan diri
dari Indonesia.
Kemerdekaan Timor Leste membuktikan bahwa pemerintah Indonesia tidak dapat
menjaga wilayah kedaulatannya. Kemerdekaan yang diberikan itu juga tidak menyelesaikan
masalah-masalah yang di hadapi Indonesia malah timbul persoalan-persoalan baru. Masalah
perbatasan menjadi hal yang lumrah untuk diperdebatkan mengingat kedua negara tersebut
hanya berbatasan dengan tapal batas. Hingga sekarang pemerintah Indonesia dan Timor Leste
masih mempersoalkan masalah perbatasan antara kedua negara di atas lahan seluas 1.211,7
hektare yang terdapat di dua titik batas yang belum terselesaikan. Dua titik batas yang masih
dipersoalkan antara kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang
berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069 hektare dan Batas lainnya
yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, Desa Oben, Kabupaten Timor Tengah Utara
(TTU), yang juga berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, seluas 142,7 ha. Wilayah
perbatasan ini sering menimbulkan konflik antara warga perbatasan yang banyak memakan
korban jiwa, memang pada tahun 2005 pemerintah Indonesia dan Timor Leste bertemu di
Bali untuk membahas masalah tapal batas kedua negara. Namun seiring berkembang isu
politik dan ekonomi antar kedua negara, wilayah perbatasan tersebut masih menyisakan
persoalan.
2.b Penyebab Terjadinya Sengketa antara Indonesia – Timor Leste
1. Pembangunan jalan di dekat perbatasan13
Pada Oktober 2013, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan
di dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara,
jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona
bebas sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota kesepakataan kedua negara pada tahun 2005,
zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun Timor Leste.
Selain itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang pilar
13
Ganewati Wuryandari, “Merajut Hubungan RI-Timor Leste dengan Perjanjian Perbatasan”, dalam
https://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-internasional/633-merajut-hubungan-ri-timor-leste-
dengan-perjanjian-perbatasan.html, diunduh pada 19/11/2017
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
150
perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia, serta
merusak sembilan kuburan orang-orang tua warga Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten
Timor Tengah Utara. Pembangunan jalan baru tersebut kemudian memicu terjadinya konflik
antara warga Nelu, Indonesia dengan warga Leolbatan, Timor Leste pada Senin, 14 Oktober
2013.
2. Pembangunan di wilayah zona netral/telah melebihi batas wiayah.
Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Satu tahun sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timur Tengah Utara-Oecussi. Pada
31 Juli 2012, warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah
Utara, NTT, terlibat bentrok dengan warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Bentrokan
ini dipicu oleh pembangunan Kantor Pelayanan Bea Cukai, Imigrasi, dan Karantina (CIQ)
Timor Leste di zona netral yang masih disengketakan, bahkan dituduh telah melewati batas
dan masuk ke wilayah Indonesia sejauh 20 m. Tanaman dan pepohonan di tanah tersebut
dibabat habis oleh pihak Timor Leste.
2.c Penyelesaian Konflik
Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao, melakukan kunjungan resmi dan
menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan diskusi terkait sengketa
batas. Berdasarkan perjanjian perbatasan darat 2012, kedua negara telah menyepakati 907
koordinat titik-titik batas darat atau sekitar 96% dari panjang total garis batas. Garis batas
darat tersebut ada di sektor Timur (Kabupaten Belu) yang berbatasan langsung dengan
Distrik Covalima dan Distrik Bobonaro sepanjang 149,1 km dan di sektor Barat (Kabupaten
Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara) yang berbatasan langsung dengan wilayah
enclave Oecussi sepanjang 119,7 km. 14
Dalam upaya diplomasi untuk menyelesaikan sisa segmen yang belum disepakati,
hambatan yang perlu diantisipasi adalah perbedaan pola pendekatan penyelesaian yang
digunakan oleh masing-masing pihak. Pihak Timor Leste dengan dipandu oleh ahli
perbatasan UNTEA menekankan bahwa penyelesaian perbatasan hanya mengacu kepada
traktat antara Belanda-Portugis Tahun 1904 dan sama sekali tidak berkenan memperhatikan
dinamika adat-istiadat yang berkembang di wilayah tersebut. Sementara itu, pihak Indonesia
mengusulkan agar pendapat masyarakat adat ikut dipertimbangkan.
14
Paul K. Huth, “Territory: Why are Territorial Disputes Between States A Central Cause of
International Conflict?”, dalam John A. Vasquez, (Ed.), What Do We Know About War?, (Maryland:
Rowman and Litttlefield Publisher, 2000). Hal 57-60
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
151
G. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Sengketa antara Indonesia dan Timor Leste terjadi karena perebutan batas wilayah
yang hingga sekarang belum ada penyelesaiannya. Penyebab sengketa tersebut
karena Timor Leste berulang-ulang kali melanggar kesepakatan yang telah disepakati
tentang batas wilayah tersebut. Hingga sekarang telah dilakukan berbagai upaya
untuk meredam persoalan ini agar tidak ada lagi bentrok yang hingga menimbulkan
korban jiwa seperti pertemuan antara Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao
dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan diskusi terkait sengketa
batas pada tahun 2012. Upaya diplomatik juga telah dilakukan dan pada tahun 2016
ini sedang berlangsung joint field survey (survei lapangan bersama) yang dilakukan
otoritas Indonesia dengan Timor Leste. Pertemuan bilateral antara Indonesia dan
Timor Leste memang perlu dilakukan guna membahas konflik yang terjadi agar tidak
meluas. Pertemuan antara Xanana Goesmau dan SBY pada tahun 2012 yang lalu
mengenai kesepakatan perbatasan masih belum selesai dan final. Harus ada
pertemuan lanjutan untuk membahas masalah tersebut, mengingat sengketa
perbatasan ini apabila tidak ditangani secara serius maka akibatnya akan besar dan
menggangu hubungan antar kedua negara. Namun langkah berupa pertemuan
tersebut harus dibarengi dengan penyelesaian konflik di akar rumput. Baik pihak
Indonesia dan Timor Leste harus bisa memberikan pemahaman mengenai batas-batas
wilayah negara masing-masing. Sehingga masyarakat di wilayah perbatasan faham
betul mengenai tapal batas. Yang tidak kalah penting khususnya bagi pemerintahan
Indonesia yakni pendekatan Democratic Peace, berupa pembangunan sumber daya
manusia, ekonomi kesejahterahan dan tentunya pendidikan. Selama urusan ekonomi
(kesejahterahan) masih menjadi motif utama dalam isu sengketa perbatasan maka
akan cukup sulit apabila konflik tersebut mampu diatasi. Pendekatan militer juga
masih perlu digunakan, untuk mengamankan wilayah perbatasan, setidaknya
pemerintah Indonesia telah membangun penambahan pos pantau perbatasan di
beberapa titik perbatasan yang bersebarangan di Timor Leste. Secara umum
berdasarkan hasil inventarisir peraturan perundang-undangan, pengakuan masyarakat
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
152
adat di Indonesia tidak dalam posisi untuk mengakui keberadaan masyarakat adat,
melainkan untuk membatasi keberadaan masyarakat adat. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai kriteria legal formal yang tidak memperhatikan dinamika kenyataan
masyarakat adat sebagai sebuah komunitas yang berinteraksi dengan komunitas lain.
Sehingga kriteria-kriteria seperti adanya bentuk paguyuban dan masih hidupnya
hukum adat sukar dipenuhi oleh komunitas masyarakat adat. Untuk beberapa negara
yang berbatasan dengan Indonesia ternyata mempunyai instrument hukum
perlindungan terhadap masyarakat adat yang lebih tegas. Hak-hak masyarakat adat,
khususnya yang disebut dengan ancestral domain maupun native customary land
rights telah dilindungi oleh negara secara kuat, sehingga masyarakat adat mempunyai
legal standing yang kuat ketika ingin melakukan komplain melalui jalur hukum.
b. Salah satu penyebab terjadi konflik perbatasan adalah, kelemahan dari salah satu
pihak sehingga memberikan peluang bagi suatu pihak untuk bertindak melakukan
pelanggaran perbatasan tersebut artinya suatu negara dengan sistem kontrol lemah
membuka peluang bagi negara untuk dapat melanggar kesepakatan terhadap batas –
batas negara, seperti lemahnya kesadaran kedula belah negara terhadap batas – batas
teritorialnya, dan juga lemahnya kontrol yang dilakukan masing – masing negara.
Perundingan tentang batas negara yang belum selesai – selesai karena tidak
ditentukan batas waktu penyelesaiannya. Akibatnya sampai pada pemerintahan yang
baru berganti pula lah peraturannya sehingga masalah perbatasan terus terkatung –
katung selama berahun – tahun. Negara tidak memberi perhatian atau mengabaikan
daerahnya juga menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik perbatasan.
Kurangnya ketegasan atas berbagai provokasi yang mengganggu kedaulatan suatu
negara, misal wilayah perbatasan. Penempatan TNI di pulau – pulau terluar belum
dilakukan. Kurangnya sarana dan prasarana untuk menjaga keutuhan wilayah
Republik Indonesia. Belum selesainya penamaan seluruh pulau kecil dan penempatan
simbol – simbol kepemilikan dan kedaulatan di pulau – pulau terluar. Masih
lemahnya aspek kelembagaan, personil, dan regulasi pengelolaan administrasi
perbatasan. Serta belum optimal penaatan potensi kelautan dan perikanan serta
pengelolaannya secara lestari.
c. Upaya-upaya dari pemerintah di daerah untuk melakukan pengakuan melalui
Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Daerah Khusus(Perdasus untuk Papua).
Namun dalam kenyataannya, pembuatanPerda/Perdasus ini lebih kental nuansa
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
153
kepentingan politik dari kelompoktertentu dalam komunitas masyarakat adat itu
sendiri, sehingga keberadaanPerda itu sendiri tidak dibuat dalam kerangka untuk
kepentingan kesejahteraanmasyarakat yang lebih luas.
2. Saran
1. Kasus penyelesaian konflik perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste di atas
menggambarkan bahwa langkah jangka pendek dan jangka panjang telah dilakukan,
baik melalui penempatan kekuatan TNI maupun melalui negosiasi bilateral yang
dikawal oleh Kementerian Luar Negeri kedua negara. Namun demikian, hal yang
perlu dilakukan adalah pelibatan unsur masyarakat dalam upaya penyelesaian
tersebut.
2. Dalam upaya diplomasi untuk menyelesaikan sisa segmen yang belum disepakati,
hambatan yang perlu diantisipasi adalah perbedaan pola pendekatan penyelesaian
yang digunakan oleh masing-masing pihak. Pihak Timor Leste dengan dipandu oleh
ahli perbatasan dari United Nations Temporary Executive Administration
(UNTEAD) menekankan bahwa penyelesaian perbatasan hanya mengacu kepada
traktat antara Belanda-Portugis tahun 1904 dan sama sekali tidak memperhitungkan
dinamika adat-istiadat yang berkembang di wilayah tersebut. Sementara itu, pihak
Indonesia mengusulkan agar pendapat masyarakat adat ikut dipertimbangkan
(Harmen Batubara, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku-buku
Arifin, Saru. Hukum Perbatasan Darat Negara. Semarang: Sinar Grafika, 2014.
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan 1, 2010.
Hamzah, Bachtiar dkk. Hukum Internasional. Medan: USU Press, 1997.
Kelsen, Hans. Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Terjemahan
Raisul Muttaqien. Bandung: Nusa Media, 2006.
Madu, Ludiro dkk. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Manan, Abdul. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Prenede Media, 2006.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
154
Mauna, Boer. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global. (Bandung: Alumni, 2000).
Muchsin. Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia. Surakarta:
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,
2003.
Nazir, Moch. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008.
N. Shaw, Malcolm. International Law. Cambridge: Cambridge University Press,
1997.
Parthiana, I Wayan. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, 2003.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Penerbit Sumur, 2006.
b. Peraturan Perundang-undangan
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta, 1945.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Jakarta, 2002.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Jakarta, 2004.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Jakarta, 2008.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Jakarta, 2010.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 97 Tahun 2015 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara
Tahun 2015-2019. Jakarta, 2015.
c. Laporan Penelitian
Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara. “Kajian
Manajemen Wilayah Perbatasan Negara”. Laporan Akhir, Lembaga
Administrasi Negara, Jakarta, 2004.
Shidarta. “Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Ke-Indonesia-an”.
Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katholik
Parahiyangan, Bandung, 2004.
HUMANI Volume 7 No. 2 Mei 2017 Halaman 141-155 P-ISSN: 1411-3066 E-ISSN: 2580-8516
155
d. Jurnal
Tirtosudarmo, Riswanto. “Tentang Perbatasan dan Studi Perbatasan Sebuah
Pengantar”. Jurnal Antropologi Indonesia 67, Jakarta, 2002.
e. Paper
A. Prajuli, Wendy dan Mufti Makaarim A., “Kebijakan Umum Keamanan Nasional”.
Jakarta: Policy Paper IDSPS, 2008.
Makaarim A., Mufti. “Pengelolaan Dan Pengamanan Wilayah Perbatasan Negara”.
Jakarta: Policy Paper, Institute For Defense Security And Peace Studies
(IDSPS), 2009.
Sukma, Rizal. “Keamanan Nasional: Ancaman dan Eskalasi”. FGD Pro Patria, 23
September 2003.
f. Website
Hasanah, Hetty. “Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen
atas Kendaraan Bermotor dengan Fidusia”. Online. 4 Februari 2004,
(http//jurnal.unikom.ac.id, diakses 2 April 2017).
Laitinen, Kari. Reflecting the Security Border in the Post-Cold War Context. Online.
(http://www.gmu.edu, diakses tanggal 4 April 2017).
Setiawan, Yasin. Pengertian Kedaulatan Menurut UUD 1945. Online, (http://www
siaksoft.com, diakses tanggal 10 April 2017).
https://palingseru.com/10059/20-may-2002-timor-leste-merdeka-dari-indonesia
diakses pada 20/01/2015
https://www.tempo.co/read/news/2014/06/25/078587955/RI-Timor-Leste-Saling-
Klaim-Lahan-di-Perbatasan diakses pada 20/01/2015
https://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-internasional/899-konflik-komunal-di-
perbatasan-indonesia-timor-leste-dan-upaya-penyelesaiannya.html diakses
pada 20/01/2015
Tempo, 18 Oktober 2013 dalamhttps://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-
internasional/899-konflik-komunal-di-perbatasan-indonesia-timor-leste-
dan-upaya-penyelesaiannya.html diakses pada 20/01/2015
Sindo , 31 juli 2012 ; Tempo, 2 agustus 2012; dan Kompas, 6 agustus 2012 dalam
dalamhttps://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-internasional/899-
konflik-komunal-di-perbatasan-indonesia-timor-leste-dan-upaya-
penyelesaiannya.html diakses pada 20/01/2015