28
Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha dalam Hukum Perlindungan Konsumen Nama: Sylvia Diansari/ 05120100003 Dian Kartika/ 05120100004 Cindy Felia Tedja/ 05120100005 Cesaria Oktaviana/ 05120100011 Masyitha Shalatine/ 05120100016 Adean Halim/ 05120099029

Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dalam makalah ini terdapat definisi dari Pelaku Usaha, bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha, pengertian macam-macam Liability, dan jenis tanggung jawab dari Pelaku Usaha terhadap kerugian yang dialami konsumen

Citation preview

Page 1: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha

dalam Hukum Perlindungan Konsumen

Nama:

Sylvia Diansari/ 05120100003

Dian Kartika/ 05120100004

Cindy Felia Tedja/ 05120100005

Cesaria Oktaviana/ 05120100011

Masyitha Shalatine/ 05120100016

Adean Halim/ 05120099029

FAKULTAS HUKUM 2010

UPH SURABAYA

Page 2: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan

perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa

yang dapat dikonsumsi. Kemajuan globalisasi dan perdagangan bebas didukung

kemajuan teknologi telekomunikasi semakin memperluas ruang gerak arus dan

transaksi barang dan/atau jasa. Akibatnya, barang dan/atau jasa yang ditawarkan

bervariasi, baik produksi dalam negeri maupun produksi luar negeri. Kondisi ini

memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa

sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.

Keadaan ini juga memberikan permasalahan bagi konsumen, sebab konsumen

dijadikan obyek aktivitas bisnis pelaku usaha untuk mencapai keuntungan yang

sebesar-besarnya dengan mengesampingkan hak-hak konsumen. Oleh sebab itu,

diperlukan suatu regulasi untuk melindungi konsumen, yaitu Undang-Undang

Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut

dengan UUPK). Selain mengatur mengenai hak dan kewajiban sebagai konsumen

dan pelaku usaha, serta perbuatan-perbuatan yang dilarang dan/atau boleh

dilakukan oleh pelaku usaha. UUPK juga mencantumkan tanggung jawab pelaku

usaha atas segala kerugian dari konsumen akibat menggunakan barang/jasa yang

dihasilkan oleh pelaku usaha.

Konsumen selaku pihak yang dilindungi dalam UUPK harus mengenal dan

mengetahui siapa saja orang-orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas

kerugian yang dialami oleh konsumen. Dengan latar belakang ini, maka dibuatlah

makalah dengan judul Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha Dalam Hukum

Perlindungan Konsumen.

Page 3: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah pengertian dari Pelaku Usaha dan kepada siapa konsumen dapat

menuntut ganti rugi?

2. Apakah bentuk-bentuk tanggung jawab Pelaku Usaha?

3. Apakah Pengertian dari Product Liability?

4. Apakah tanggung jawab Pelaku Usaha atas kerugian yang dialami oleh

konsumen?

Page 4: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

Bab II

Pembahasan

2.1 Pengertian Pelaku Usaha dan Pihak yang Bertanggung Jawab Atas

Kerugian Konsumen.

Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 UUPK adalah setiap perseorangan atau badan

usaha baik yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri

maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

berbagai bidang ekonomi.

Penjelasan dari Pasal 1 angka 3 UUPK pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian

ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor,

dan lain-lain.

Pengertian perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara

tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba, baik

yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk

badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam

wilayah Negara Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan)

Pengertian korporasi adalah sebuah badan usaha yang berbentuk badan hukum

maupun yang bukan berbentik badan hukum

Pengertian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) adalah persekutuan yang berbadan

hukum yang didirikan dan dimiiki oleh negara (UU No.9 Tahun 1969 jo. UU No.19

Tahun 2003 tentang BUMN)

Pengertian Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan

hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.

Page 5: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

Pengertian Importir adalah orang atau serikat dagang (perusahaan) yang memasukkan

barang-barang dari luar negeri.

Pengertian Pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai

pekerjaanya sehari-hari

Pengertian distributor adalah orang atau lembaga yang melakukan distribusi

(penyalur) atau konsumen antara (pedagang yang membeli atau mendapatkan produk

barang dagangan dari tangan pertama atau produsen secara langsung)

Tujuan diketahuinya macam-macam Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

adalah untuk mengetahui urutan Pelaku Usaha manakah yang digugat oleh konsumen

apabila ia merasa dirugikan, yaitu:

1) Pelaku Usaha pembuat produk tersebut, apabila berdomisili di dalam negeri

dan tempatnya diketahui oleh konsumen.

2) Apabila produksi yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar

negeri, maka konsumen dapat menggugat importirnya. (Pasal 21 ayat 1 dan 2

UUPK)

3) Apabila produsen/importir tak diketahui domisilinya, maka yang digugat

adalah penjual (kepada siapa konsumen membeli barang tersebut).

2.2 Bentuk-Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain :

a) Contractual liability,

yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha

atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa

yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikannya. Dalam hal terdapat

hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha dengan konsumen

mengenai kesepakatan pada program investasi melalui internet, maka tanggung jawab

pelaku usaha di sini didasarkan pada contractual liability (pertanggung jawaban

Page 6: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

kontraktual). Berkaitan dengan contoh kasus pada program investasi BCA-

Bersama.com, bentuk tanggung jawabnya adalah melalui contractual liability.

b) Product liability,

yaitu tanggung jawab perdata terhadap produk secara langsung dari pelaku usaha atas

kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan.

Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum

(tortius liability). Unsur-unsur dalam tortius liability antara lain adalah unsur

perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian dan hubungan kasualitas antara

perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul. Jadi , Product liability

Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract) antara pelaku

usaha dengan konsumen, tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada product

liability atau pertanggungjawaban produk. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 19

Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan pelaku usaha

bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau

kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau

diperdagangkan.

c) Professional liability,

Dalam hal terdapat perjanjian (privity contract) antara pelaku usaha dengan

konsumen, dimana prestasi pelaku usaha dalam hal ini sebagai pemberi jasa tidak

terukur sehingga merupakan perjanjian ikhtiar yang didasarkan pada iktikad baik,

tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban profesional ini

menggunakan tanggung jawab langsung (strict liability) dari pelaku usaha atas

kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan atau menggunakan jasa yang

diberikanya. Sebaliknya ketika hubungan perjanjian (privity of contract) tersebut

merupakan prestasi yang terukur sehingga merupakan perjanjian hasil, tanggung

jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban profesional yang

menggunakan tanggung jawab perdata atas perjanjian/kontrak (contractual liability)

dari pelaku usaha sebagai pengelola program investasi apabila timbul kerugian yang

dialami konsumen sebagai akibat memanfaatkan atau menggunakan jasa yang

Page 7: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

diberikan.

d) Criminal liability,

yaitu pertanggungjawaban pidana dari pelaku usaha sebagai hubungan antara pelaku

usaha dengan negara. Dalam hal pembuktian, yang dipakai adalah pembuktian

terbalik seperti yang diatur dalam Pasal 22 Undang- Undang Perlindungan

Konsumen, yang menyatakan bahwa pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur

kesalahan dalam kasus pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen, yaitu kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian

yang dialami konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, tanpa

menutup kemungkinan dalam melakukan pembuktian. Jadi , kedudukan tanggung

jawab perlu diperhatikan, karena mempersoalkan kepentingan konsumen harus

disertai pula analisis mengenai siapa yang semestinya dibebani tanggung jawab dan

sampai batas mana pertanggung jawaban itu dibebankan kepadanya. Tanggung jawab

atas suatu barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan atau industri, dalam

pengertian yuridis lazim disebut sebagai product liability.

Prinsip Tanggung Jawab

Secara umum prinsip tanggung jawab dibedakan menjadi 5, yaitu:

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault)

Kalau yang digugat tidak terbukti maka yang tergugat bebas, harus dapat

dibuktikan oleh yang mendalilkan kesalahan tergugat. Pada pasal 1365 BW yang

berbunyi “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

seorang lain. Mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu

mengganti kerugian tersebut.” Dalam pasal ini terdapat unsur-unsur sebagai

berikut:

a) Adanya perbuatan

b) Adanya unsur kesalahan

c) Adanya kerugian yang diderita

d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian

Page 8: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

2. Prinsip praduga selalu bertanggung jawab/pembuktian terbalik (presumption of

liability)

Tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai dia dapat membuktikan

bahwa dia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada si tergugat.

3. Prinsip praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability)

Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas

dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

Sebagai contoh pada hukum pengangkutan pada bagasi atau kabin tangan,

yang didalam pengawasan konsumen sendiri.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

Biasanya prinsip ini diterapkan karena beberapa hal, diantaranya:

a) Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya

kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks;

b) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada

gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah

komponen biaya tertentu pada harga produknya;

c) Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.

Prinsip ini bisa digunakan untuk menjerat pelaku usaha (produsen barang) yang

memasarkan produknya yang merugikan konsumen (product liability).

Product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal:

a) Melanggar jaminan, misalnya khasiat tidak sesuai janji;

b) Ada unsur kelalaian (negligence), misalnya lalai memenuhi standar

pembuatan obat yang baik;

c) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability)

5. Prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)

Contoh dari prinsip ini adalah dalam hal cuci cetak film, bila film yang dicuci itu

hilang maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali

lipat dari harga aslinya.

Page 9: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Transaksi

Tanggung jawab pelaku usaha dalam hal transaksi dalam hukum perlindungan

konsumen ada 3 macam, yaitu:

Tanggung jawab atas informasi

Tanggung jawab atas informasi ini meliputi tanggung jawab informasi atas iklan

di internet (webvertizing), bisa juga tanggung jawab atas informasi atas kontrak

elektronik, dan juga atas upaya penyelesaian sengketa konsumen secara patut

Tanggung jawab atas produk

Tanggung jawab atas produk disini yaitu pelaku usaha bertanggung jawab untuk

memberikan ganti rugi. Ganti rugi yang bisa dikenakan terhadap pelaku usaha

misalnya, kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang yang dihasilkannya atau diperdagangkannya

Tanggung jawab atas keamanan

Tyang dimaksud dengan tanggung jawab atas keamanan pelaku usaha wajib

untuk menjaga keamanan konsumen pada saat konsumen melakukan transaksi,

khususnya pada jaringan transaksi yang dilakukan secara elektronis. Pada

transaksi ini harus mempunyai kemampuan untuk menjamin keamanan dan

kehandalan arus informasi. Perlu diperhatikan untuk pihak merchat perlu

menyediakan jaringan sistem yang cukup memadai untuk mengontrol keamanan

transaksi.

2.3 Pengertian Product Liability

Tanggung jawab produk atau biasa disebut product liability adalah salah satu

lembaga hukum yang mencakup seluruh wilayah secara internasional yang perlu

diperhatikan dalam revisi maupun pembentukan hukum ekonomi nasional. Melalui

adanya lembaga hukum ini, segala kegiatan perekonomian yang menghasilkan

keuntungan tidak boleh mengandung unsur kecurangan semata-mata untuk

menguntungkan dia sendiri karna ada hukum ekonomi nasional yang secara tegas

Page 10: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

mengatur. Secara historis, product liability lahir karena ketidak seimbangan tanggung

jawab antara produsen dan konsumen.

Menurut Johanes Gunawan, Tujuan utama dunia hukum memperkenalkan product

liability adalah:

a. memberi perlindungan kepada konsumen

b. agar terdapat pembebanan risiko yang adil antara produsen dan konsumen

Ciri-ciri product liability:

1. yang dapat dikategorikan sebagai produsen. (pengertian produsen ada pada pasal 1

angka 3 UU No. 8 tahun 1999)

2. yang dapat dikategorikan sebagai konsumen (pengertian konsumen ada pada pasal

1 angka 2 UU No. 8 tahun 1999)

3. yang dapat dikategorikan sebagai produk (pengertian produk ada pada pasal 1

angka 4 UU No. 8 tahun 1999)

4. yang dapat dikategorikan sebagai kerugian

5. yang dapat dikategorikan bilamana mengandung kerusakan apabila suatu produk

tidak memenuhi keamanan dari harapan seseorang dengan mempertimbangkan semua

aspek.

Dalam prinsip product liability berlaku sistem tanggung jawab mutlak. Hal ini berarti

prinsip tanggung jawab di mana kesalahan tidak dianggap sebagai faktor yang

menetukan. Dalam tanggung jawab mutlak tidak harus ada hubungan antara subyek

yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Jika konsumen yang merasa dirugikan

atas produk yang dihasilkan suatu produsen atau pelaku usaha, maka itu menjadi

dasar untuk bisa menggugat produsen yang bersangkutan tanpa harus membuktikan

kesalahan pelaku usaha atau produsennya. Pelaku usaha dan atau produsen bisa

terlepas dari tanggung jawab itu jika dia bisa membuktikan bahwa kesalahan itu

merupakan kesalahan konsumen atau setidaknya bukan kesalahannya; sebaliknya ia

akan dikenai tanggung jawab jika tidak bisa mampu membuktikan tuntutan konsumen

itu. UUPK mengatur hal ini dalam pasal 19 ayat 5, pasal 27 dan pasal 28.

Page 11: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

2.4 Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Kerugian yang Dialami Oleh

Konsumen

Berdasarkan substansi pasal 19 diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha

meliputi :

1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan

2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran

3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

Pasal 19

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa

yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang

atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau

perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundangundangan

yang berlaku.

(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah

tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih

lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila

pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan

konsumen.

Secara garis besar ada 2 kategori tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami

oleh konsumen, yaitu :

Page 12: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

a. Tuntutan berdasarkan Wanprestasi

Berdasarkan wanprestasi.

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi

prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang

dirugikan. Tetapi ada kalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik

karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk.

Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan

kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang

telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun

bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:

1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka

dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur

dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Prestasi adalah sesuatu yang dapat dituntut. Jadi dalam suatu perjanjian suatu

pihak (biasanya kreditur/ berpiutang) menuntut prestasi pada pihak lainnya

(biasanya debitur/ berutang). Menurut Pasal 1234 KUHPer prestasi terbagi dalam

3 macam:

1. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu (prestasi ini terdapat dalam ps. 1237

KUHPer);

2. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu (prestasi jenis ini

terdapat dalam ps. 1239 KUHPer); dan

Page 13: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

3. Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat seuatu (prestasi jenis ini

terdapat dalam ps. 1239 KUHPer).

Apabila seseorang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian itu, maka

kewajiban pihak tersebut untuk melaksanakan atau mentaatinya.

Apabila seorang yang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian tersebut tidak

melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku,

maka disbut orang tersebut melakukan wanprestasi.

Apabila pihak debitur yang melakukan wanprestasi maka pihak kreditur yang

menuntut atau mengajukan gugatan. Ada tiga kemungkinan bentuk gugatan yang

mungkin diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat dari wanprestasi, yaitu:

a. Secara parate executie;

Dimana kreditur melakukan tuntutan sendiri secara langsung kepada debitur

tanpa melalui pengadilan. Dalam hal ini pihak yang bersangkutan bertindak

secara eigenrichting (menjadi hakim sendiri secara bersama-sama). Pada

prakteknya, parate executie berlaku pada perikatan yang ringan dan nilai

ekonomisnya kecil.

b. Secara arbitrage (arbitrase) atau perwasitan;

Karena kreditur merasakan dirugikan akibat wanprestasi pihak debitur, maka

antara kreditur dan debitur bersepakat untuk menyelesaikan persengketaan

masalah mereka itu kepada wasit (arbitrator). Apabila arbitrator telah

memutuskan sengketa itu, maka pihak kreditur atau debitur harus mentaati

setiap putusan, walaupun putusan itu menguntungkan atau emrugikan salah

satu pihak.

c. Secara rieele executie

Yaitu cara penyelesaian sengketa antara kreditur dan debitur melalui hakim di

pengadilan. Biasanya dalam sengketa masalah besar dan nilai ekonomisnya

tinggi atau antara pihak kreditur dan debitur tidak ada konsensus penyelesaian

Page 14: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

sengketa dengan cara parate executie, maka penyelesaian perkara ditempuh

dengan rileele executie di depan hakim di pengadilan.

b. Tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam ps. 1365 sampai

dengan ps.1380 KUHPer. Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan

kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti

kerugian (ps. 1365 KUHPer).

 Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan

dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan

undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati

dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan

karena perbuatan yang melawan hukum itu; antara lain kerugian-kerugian dan

perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung; kerugian itu disebabkan

karena kesalahan pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada

kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).

Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga

dalam tidak berbuat sesuatu. Dalam KHUPer ditentukan pula bahwa setiap orang

tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena

perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena

perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang

berada dibawah pengawasannya.

 Ditentukan antara lain, bahwa orang tua bertanggung jawab terhadap kerugian

yang ditimbulkan karena perbuatan-perbuatan anak-anaknya yang belum cukup

umur yang diam bersama mereka. Seorang majikan bertanggung jawab terhadap

kerugian yang ditimbulkan oleh orang bawahannya dalam melaksanakan

pekerjaan-pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka. Guru sekolah bertanggung

jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan-perbuatan murid

Page 15: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

selama dalam pengawasannya. Kerugian yang ditimbulkan dapat berupa kerugian

harta benda, tetapi dapat pula berupa berkurangnya kesehatan atau tenaga kerja.

 

Apabila tuntutan ganti kerugian berdasarkan pada wanprestasi, maka terlebih

dahulu tergugat (produsen dan konsumen) terikat perjanjian. Sehingga pihak ke 3

(bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut

ganti kerugian dengan alasan wan prestasi.

Tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak

perlu didahului dengan perjanjian atara perodusen dengan konsumen.

MEKANISME TUNTUTAN GANTI RUGI DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Di dalam dunia perdagangan tidak jarang kita mendengar adanya kelalaian atau tidak

adanya itikad baik pada pelaku usaha yang sering kali menimbulkan kerugian pada

konsumen. Namun karena keterbatasan pengetahuan, konsumen tidak tahu bagaimana

cara untuk menuntut kerugian yang mereka alami. Untuk itu, perlu dibuat mekanisme

tuntutan ganti rugi di dalam Hukum Perlindungan Konsumen guna membantu

mengatasi keterbatasan pengetahuan tersebut.

Mekanisme tuntutan ganti rugi

Konsumen dapat menuntut ganti berdasarkan perbuatan melawan hukum Pasal 1365

KUHPerdata. Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan

hukum harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1.      Perbuatan itu harus melawan hukum

Perbuatan melawan hukum tidak lagi hanya sekedar melanggar undang-undang,

melainkan perbuatan melawan hukum tersebut dapat berupa: Melanggar hak

orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan

dengan kesusilaan baik, berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya

diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.

2.      Ada Kerugian

Page 16: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

Kerugian yang timbul dari perbuatan orang lain, dalam hal ini pelaku usaha, baik

itu kerugian materiil maupun kerugian immateriil.

3.      Ada hubungan sebab akibat

Hubungan sebab akibat misalnya hubungan kerugian yang diterima konsumen

dengan tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha.

4.      Ada Kesalahan (schuld)

Adanya unsur kesalahan yang dapat dibuktikan.

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga

yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau

melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa

konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan

pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,

gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan

tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Pada dasarnya penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan

atau diluar pengadilan. Dalam UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam

Bab X pasal 45-48. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui

Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan

Konsumen atau lokasi-lokasi lain yang telah disetujui kedua belah pihak.

Suatu produk dapat disebut cacat karena beberapa sebab yaitu:

1. Kesalahan produk atau manufaktur

Cacat seperti ini adalah cacat yang sedemikian rupa sehingga dapat membahayakan

harta benda, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. Cacat demikian menjadikan

keadaan produk berada dibawah tingkat pengharapan konsumen.

Page 17: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

2. Cacat desain

Sebab apabila desain produk tidak dipenuhi sebagaimana mestinya maka

kemungkinan akan timbul kejadian yang merugikan konsumen.

3. Informasi yang tidak memadai

Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan

peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Tanggung jawab

atas cacat peringatan ini secara tegas dibebankan kepada produsen, tetapi dengan

syarat-syarat tertentu beban tanggung jawab juga bisa dibebankan kepada pelaku

usaha lainnya seperti importir produk, distributor atau pedagang pengecernya

Page 18: Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen

BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

UU Perlindungan Konsumen telah mengatur mengenai upaya hukum yang

dapat dilakukan oleh konsumen apabila ia dirugikan. Dalam hal ini, konsumen

juga harus memahami seluk beluk mengenai UUPK sebab Pelaku Usaha juga

mengambil celah-celah hukum yang terdapat dalam UUPK sehingga

seringkali gugatan yang dilakukan oleh konsumen terhadap Pelaku Usaha

tersebut gugur dan konsumen tetap dirugikan.

Melalui pembahasan ini Konsumen dapat mengetahui pihak manakah yang

harus digugatnya, dengan alasan atau dasar apakah konsumen dapat

menggugat konsumen, dan unsur-unsur apa sajakah yang dapat digunakan

untuk melakukan tuntutan ganti rugi. Dengan demikian, konsumen tetap dapat

memperjuangkan hak-haknya dalam menggunakan suatu barang/jasa yang

telah dibayarnya.

3.2 Saran

UUPK perlu dimusyawarahkan kepada masyarakat sehingga masyarakat juga

dapat mengetahui bahwa pemerintah berupaya untuk melindungi konsumen

dari itikad tidak baik pelaku usaha.