Upload
leo-yogapranata
View
21
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
law
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Charles A. Beard, seorang historikus politik yang terkenal dengan bukunya
berjudul Administration pada tahun 1937 berkata bahwa tidak ada satu hal untuk abad
modern sekarang ini yang lebih penting dari administrasi. Kelangsungan hidup
pemerintahan yang beradab dan kecenderungan kelangsungan hidup dari peradaban itu
sendiri akan sangat tergantung atas kemampuan kita untuk membina dan
mengembangkan suatu filsafat administrasi yang mampu memecahkan masalah-
masalah masyarakat modern.1
Selain itu, James Burham seorang sarjana Amerika lainnya pernah pula
mengatakan bahwa revolusi politik dan sosial akan timbul dan diselesaikan, akan tetapi
akan ada revolusi pada abad modern ini yang tidak akan menimbulkan suatu kelas
terpenting dalam suatu masyarakat yaitu managerial class.2 Analisa tersebut
menimbulkan suatu kesimpulan bahwa tegak rubuhnya suatu negara, maju mundurnya
peradaban manusia serta timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di dunia akan tergantung
pada baik buruknya administrasi yang dimiliki. Faktor di atas memperlihatkan bahwa
pembinaan dan pengembangan administrasi akan menciptakan perubahan dan kemajuan
bangsa dengan pondasi faktor lingkungan (eco-logical factor) pada masing-masing
karakter bangsanya.
Berkaitan dengan fungsi administrasi pemerintahan, maka upaya mewujudkan
system pemerintahan yang demokratis, bersih dan berwibawa menjadi prioritas utama
1 Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi , PT. Gunung Agung, Jakarta 1996 hlm. 12 Ibid
bagi rakyat dan pemerintahan Indonesia pada era reformasi dewasa ini. Reformasi
birokrasi dalam bentuk pelayan-an publik sebagai salah satu tuntutan reformasi telah
menjadi awal timbulnya kesadaran akan mekanisme pelayanan publik dan menjadi
tonggak kesadaran pemerintah untuk menata sistem pemerintahannya.
Semangat reformasi yang mewarnai pendayagunaan aparatur Negara diarahkan
untuk mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan
keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan
pembangunan guna menghadapi tantangan globalisasi. Upaya untuk mewujudkannya
adalah dengan mempraktikkan prinsip-prinsip good governance (tata pemerintahan yang
baik).3
Sekurang-kurangnya terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi pemikiran
bahwa birokrasi publik dapat mendorong bangan praktik good governance, meliputi:
1. Perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh semua stakeholder, yaitu
pemerintah, warga pengguna dan para pelaku pasar. Dalam hal ini pemerintah
berkepentingan dengan legitimasi, karena semakin membaiknya pelayanan, maka
akan memperkecil biaya birokrasi yang pada gilirannya dapat memperbaiki
kesejahteraan warga pengguna dan efisiensi mekanisme pasar;
2. Pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance dalam melakukan
interaksi yang sangat intensif. Melalui penyelenggaraan pelayanan publik,
pemerintah, warga sipil dan para pelaku pasar berinteraksi secara intensif sehingga
apabila pemerintah dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik, maka manfaatnya
dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dan pelaku pasar. Hal ini penting
dilakukan agar stakeholder semakin percaya bahwa pemerintah telah serius
3 Bappenas, Tingkat Pemahaman Aparatur Pemerintah Terhadap Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta 2002 hlm. 2.
melakukan perubahan. Adanya kepercayaan (trust) merupakan prasyarat yang
sangat penting untuk mendukung praktik good governance;
3. Nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance dapat
diterjemahkan secara sederhana melalui pelayanan publik. Para pelaksana kegiatan
dapat mengembangkan sistem pelayanan publik yang efisien dan berkeadilan,
transparan, akuntabel serta partisipatif dan keberhasilan melaksanakan kegiatan
tersebut akan menularkan ke ranah yang lain sehingga good governance secara
bertahap dapat dilembagakan di dalam setiap kegiatan pemerintahan.4
Ketiga alasan tersebut mengindikasikan bahwa birokrasi dalam bentuk pelayanan
public akan mengarah pada pembentukan ”good governance” dan hal ini akan dapat
menjadi kenyataan dan berjalan dengan baik dengan adanya komitmen dan keterlibatan
semua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat. Karenanya, good governance yang
efektif memer-lukan adanya alignment (koordinasi) yang baik dan integritas,
profesional serta etos kerja dan moral yang tinggi. Hal tersebut memberikan makna
bahwa sektor administrasi negara selalu berkaitan dengan pembinaan sumber daya
manusia dalam pemerintahan dan karenanya akan timbul perubahan paradigma dalam
pelayanan publik yang secara otomatis menciptakan perubahan dan
penyesuaianpenyesuaian dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewajibannya. Pola pikir
pengembangan sumber daya manusia tersebut memiliki arti sebagai perubahan
paradigma dalam system pemerintahan untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas
umum pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna dan
4 Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 2008 hlm. 4-5.
dalam rangka upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik material
maupun spiritual.5
B. Perumusan Masalah
Filosofi dari perdagangan bebas (free trade) dalam konteks globalisasi adalah no
barrier. Hal inilah yang manjadi dasar berkembangnya aspek norma hukum yang
fleksibel guna menjawab tantangan globalisasi. Perkembangan tersebut kemudian
membawa pada perubahan paradigma dalam pemerintahan yang dapat menunjang
aktivitas perdagangan bebas yang berdampak pada keberlangsungan ekonomi suatu
negara. Inilah yang menjadi dasar munculnya pembahasan tentang reformasi birokrasi
publik. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan masalah berupa
”Bagaimanakah Perwujudan Good Governance melalui Format Reformasi Birokrasi
Publik dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara ? ”
5 Warsito Utomo, Administrasi Publik Baru Indonesia; Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik, Pustaka Pelajar, Yogayakarta 2006, hlm.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Administrasi Negara
Istilah Administrasi berasal dari bahasa Latin yaitu Administrare, yang artinya
adalah setiap penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis
dengan maksud mendapatkan sesuatu ikhtisar keterangan itu dalam keseluruhan dan
dalam hubungannya satu dengan yang lain. Namun tidak semua himpunan catatan yang
lepas dapat dijadikan administrasi.. Sehingga dengan demikian Ilmu Administrasi dapat
diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari proses, kegiatan dan dinamika kerjasama
manusia.
Istilah Hukum Administrasi Negara (yang dengan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No. 0198/LI/1972 tentang Pedoman Mengenai Kurikulum
Minimal Fakultas Hukum Negeri maupun Swasta di Indonesia, dalam pasal 5 disebut
Hukum Tata Pemerintahan) berasal dari bahasa Belanda Administratiefrecht,
Administrative Law (Inggris), Droit Administratief (Perancis), atau Verwaltungsrecht
(Jerman). Dalam Keputusan Dirjen Dikti Depdikbud No. 30/DJ/Kep/1983 tentang
Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Bidang Hukum disebut dengan istilah
Hukum Administrasi Negara Indonesia, sedangkan dalam Keputusan Dirjen Dikti No.
02/DJ/Kep/1991, mata kuliah ini dinamakan Asas-Asas Hukum Administrasi Negara.
Dalam rapat dosen Fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia pada bulan Maret 1973 di
Cibulan, diputuskan bahwa sebaiknya istilah yang dipakai adalah “Hukum Administrasi
Negara”, dengan tidak menutup kemungkinan penggunaan istilah lain seperti Hukum
Tata Usaha Negara, Hukum Tata Pemerintahan atau lainnya. Alasan penggunaan istilah
Hukum Administrasi Negara ini adalah bahwa Hukum Administrasi Negara merupakan
istilah yang luas pengertiannya sehingga membuka kemungkinan ke arah
pengembangan yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan negara Republik
Indonesia ke depan. Dan berdasarkan Kurikulum Program Sarjana Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan Dirjen Dikti Depdiknas tahun 2000, mata kuliah ini disebut
Hukum Administrasi Negara dengan bobot 2 SKS.
Hukum Administrasi Negara sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan
hukum; dan oleh karena hukum itu sukar dirumuskan dalam suatu definisi yang tepat,
maka demikian pula halnya dengan Hukum Administrasi Negara juga sukar diadakan
suatu perumusan yang sesuai dan tepat. Mengenai Hukum Administrasi Negara para
sarjana hukum di negeri Belanda selalu berpegang pada paham Thorbecke, beliau
dikenal sebagai Bapak Sistematik Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara. Adapun salah satu muridnya adalah Oppenheim, yang juga memiliki murid Mr.
C. Van Vollenhoven. Thorbecke menulis buku yang berjudul Aantekeningen op de
Grondwet (Catatan atas undang-undang dasar) yang pada pokoknya isi buku ini
mengkritik kebijaksanaan Raja Belanda Willem I, Thorbecke adalah orang yang
pertama kali mengadakan organisasi pemerintahan atau mengadakan sistem
pemerintahan di Belanda, dimana pada saat itu Raja Willem I memerintah menurut
kehendaknya sendiri pemerintahan di Den Haag, membentuk dan mengubah
kementerian-kementerian menurut orang-orang dalam pemerintahan.
Oppenheim memberikan suatu definisi Hukum Administrasi Negara adalah
sebagai suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi
maupun yang rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenang yang telah
diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara. Hukum Administrasi Negara menurut
Oppenheim adalah sebagai peraturan-peraturan tentang negara dan alat-alat
perlengkapannya dilihat dalam geraknya (hukum negara dalam keadaan bergerak atau
staat in beweging). Sedangkan murid Oppenheim yaitu Van Vollenhoven membagi
Hukum Administrasi Negara menjadi 4 yaitu sebagai berikut:
1) Hukum Peraturan Perundangan (regelaarsrecht/the law of the legislative process)
2) Hukum Tata Pemerintahan (bestuurssrecht/ the law of government)
3) Hukum Kepolisian (politierecht/ the law of the administration of security)
4) Hukum Acara Peradilan (justitierecht/ the law of the administration of justice),
yang terdiri dari:
a. Peradilan Ketatanegaraan
b. Peradilan Perdata
c. Peradilan Pidana
d. Peradilan Administrasi
Utrecht (1985) dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Negara
mengatakan bahwa Hukum Administrasi Negara ialah himpunan peraturan –peraturan
tertentu yang menjadi sebab, maka negara berfungsi. Dengan kata lain Hukum
Administrasi Negara merupakan sekumpulan peraturan yang memberi wewenang
kepada administrasi negara untuk mengatur masyarakat. Sementara itu pakar hukum
Indonesia seperti Prof. Dr. Prajudi Atmosudirjo, S.H, berpendirian bahwa tidak ada
perbedaan yuridis prinsipal antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata
Negara. Perbedaannya menurut Prajudi hanyalah terletak pada titik berat dari
pembahasannya. Dalam mempelajari Hukum Tata Negara kita membuka fokus terhadap
konstitusi negara sebagai keseluruhan, sedangkan dalam membahas Hukum
Administrasi Negara lebih menitikberatkan perhatian secara khas kepada administrasi
negara saja. Administrasi merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam konstitusi
negara di samping legislatif, yudikatif, dan eksaminasi. Dapat dikatakan bahwa
hubungan antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara adalah mirip
dengan hubungan antara hukum dagang terhadap hukum perdata, dimana hukum
dagang merupakan pengkhususan atau spesialisasi dari hukum perikatan di dalam
hukum perdata. Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu pengkhususan atau
spesialisasi dari Hukum Tata Negara yakni bagian hukum mengenai administrasi
negara.6
Berdasarkan definisi Hukum Administrasi Negara menurut Prajudi
Atmosudirdjo (1994), maka dapatlah disimpulkan bahwa Hukum Administrasi Negara
adalah hukum mengenai seluk-beluk administrasi negara (hukum administrasi negara
heteronom) dan hukum operasional hasil ciptaan administrasi negara sendiri (hukum
administrasi negara otonom) di dalam rangka memperlancar penyelenggaraan dari
segala apa yang dikehendaki dan menjadi keputusan pemerintah di dalam rangka
penunaian tugas-tugasnya.
Hukum administrasi negara merupakan bagian operasional dan pengkhususan
teknis dari hukum tata negara, atau hukum konstitusi negara atau hukum politik negara.
Hukum administrasi negara sebagai hukum operasional negara di dalam menghadapi
masyarakat serta penyelesaian pada kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat tersebut.
Hukum Administrasi Negara diartikan juga sebagai sekumpulan peraturan yang
mengatur hubungan antara administrasi Negara dengan warga masyarakat, dimana
administrasi Negara diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukumnya sebagai
implementasi dari policy suatu pemerintahan.
6 Prajudi Atmosudirdjo Hukum Administrasi Negara, Gralia Indonesia, Jakarta ,1994.
Contoh, policy pemerintah Indonesia adalah mengatur tata ruang di setiap kota
dan daerah di seluruh Indonesia dalam rangka penataan lingkungan hidup.
Implementasinya adalah dengan mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang
lingkungan hidup. Undang-undang ini menghendaki bahwa setiap pembangunan harus
mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang. Pelaksanaannya adalah bahwa disetiap
daerah ada pejabat administrasi Negara yang berwenang memberi/menolak izin
bangunan yang diajukan masyarakat melalui Keputusan Administrasi Negara yang
berupa izin mendirikan bangunan.
B. Lapangan Pekerjaan Administrasi Negara
Sebelum abad ke 17 adalah sukar untuk menentukan mana lapangan administrasi
Negara dan mana termasuk lapangan membuat undang-undang dan lapangan
kehakiman, karena pada waktu itu belum dikenal “pemisahan kekuasaan”, pada waktu
itu kekuasaan Negara dipusatkan pada tangan raja kemudian pada birokrasi-birokrasi
kerajaan. Tapi setelah abad ke 17 timbulah aliran baru yang menghendaki agar
kekuasaan negara dipisahkan dari kekuasaan raja dan diserahkan kepada tiga badan
kenegaraan yang masing-masing mempunyai lapangan pekerjaan sendiri-sendiri
terpisah yang satu dari yang lainnya seperti yang telah dikemukakan oleh John Locke
dan Montesquieu.
Sejak itu baru kita mengetahui apakah yang menjadi lapangan administrasi
negara itu. Maka yang menjadi lapangan administrasi negara berdasarkan teori Trias
Politica John Locke maupun Monesquieu adalah lapangan eksekutif yaitu lapangan
yang melaksanakan undang-undang. Bahkan oleh John Locke tugas kehakiman
dimasukkan ke dalam lapangan eksekutif karena mengadili itu termasuk melaksanakan
undang-undang. Sejak adanya teori “pemisahan kekuasaan” ini lapangan administrasi
negara mengalami perkembangan yang pesat.
Tetapi ajaran Trias Politica ini hanya dapat diterapkan secara murni di negara-
negara seperti yang digambarkan oleh Immanuel Kant dan Fichte yaitu di negara-negara
hukum dalam arti sempit atau seperti yang disebut Utrech “Negara Hukum Klasik”
(klasieke rechtsstaat), tetapi tidak dapat diterapkan kedalam system pemerintahan dari
suatu negara hukum modern (moderneechsstaat), karena lapangan pekerjaan
administrasi negara pada Negara hukum modern adalah lebih luas dari pada dalam
negara hukum klasik.
Prajudi Atmosudirdjo (1994: 61) mengemukakan bahwa untuk keperluan studi
ilmiah, maka ruang lingkup atau lapangan hukum administrasi negara meliputi:7
1) Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum daripada administrasi Negara
2) Hukum tentang organisasi dari administrasi Negara
3) Hukum tentang aktivitas-aktivitas dari Administrasi Negara, terutama yang bersifat
yuridis
4) Hukum tentang sarana-sarana dari Administrasi Negara, terutama mengenai
Kepegawaian Negara dan Keuangan Negara
5) Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah atau Wilayah
6) Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara
Sementara Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Victor M. Situmorang
menggambarkan suatu skema mengenai Hukum Administrasi Negara di dalam kerangka
hukum seluruhnya, yang dikenal dengan sebutan “residu theori”, yaitu sebagai berikut:8
7 Ibid hlm 618 Victor M. Situmorang, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1987. Hlm 23
1) Staatsrecht (materieel)/Hukum Tata Negara (materiel), meliputi:
a. Bestuur (pemerintahan)
b. Rechtspraak (peradilan)
c. Politie (kepolisian)
d. Regeling (perundang-undangan)
2) Burgerlijkerecht (materieel)/Hukum Perdata (materiel)
3) Strafrecht (materiel)/Hukum Pidana (materiel)
4) Administratiefrecht (materiel) dan formell)/Hukum Administrasi Negara (materiel
dan formeel), meliputi:
a. Bestuursrecht (hukum pemerintahan)
b. Justitierecht (hukum peradilan) yang meliputi:
1. Staatsrechterlijeke rechtspleging (formeel staatsrecht/Peradilan Tata Negara)
2. Administrative rechtspleging (formeel administratiefrecht/Peradilan
Administrasi Negara)
3. Burgerlijeke rechtspleging/Hukum Acara Perdata
4. Strafrechtspleging/Hukum Acara Pidana
5) Politierecht (Hukum Kepolisian)
6) Regelaarsrecht (Hukum Proses Perundang-Undangan)
Lebih lanjut Victor M. Situmorang menyebutkan ada beberapa teori dari
lapangan administrasi negara, yang tentunya sangat tergantung pada perkembangan dari
suatu sistem pemerintahan yang dianut oleh negara yang bersangkutan, dan ini sangat
menentukan lapangan atau kekuasaan Hukum Administrasi Negara antara lain :9
1. Teori Ekapraja (Ekatantra)
9 Ibid Hlm 27-37
Teori ini ada dalam negara yang berbentuk sistem pemerintahan monarki absolut,
dimana seluruh kekuasaan negara berada di tangan satu orang yaitu raja. Raja dalam
sistem pemerintahan yang monarki absolut memiliki kekuasaan untuk membuat
peraturan (legislatif), menjalankan (eksekutif) dan mempertahankan dalam arti
mengawasi (yudikatif). Dalam negara yang berbentuk monarki absolut ini hukum
administrasi negara berbentuk instruksi-instruksi yang harus dilaksanakan oleh
aparat negara (sistem pemerintahan yang sentralisasi dan konsentrasi). Lapangan
pekerjaan administrasi negara atau hukum administrasi negara hanya terbatas pada
mempertahankan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh
raja, dalam arti alat administrasi negara hanya merupakan “machtsapparat” (alat
kekuatan) belaka. Oleh sebab itu dalam negara yang demikian terdapat hanya satu
macam kekuasaan saja yakni kekuasaan raja, sehingga pemerintahannya sering
disebut pemerintahan Eka Praja).
2. Teori Dwipraja (Dwitantra)
Hans Kelsen membagi seluruh kekuasaan negara menjadi dua bidang yaitu: 1) Legis
Latio, yang meliputi “Law Creating Function”, dan 2) Legis Executio, yang meliputi:
a. Legislative power
b. Judicial power
Legis Executio ini bersifat luas, yakni melaksanakan “The Constitution” beserta
seluruh undang-undang yang ditetapkan oleh kekuasaan legislatif, maka mencakup
selain kekuasaan administratif juga seluruh judicial power. Lebih lanjut Hans Kelsen
kemudian membagi kekuasaan administratif tersebut menjadi dua bidang yang lebih
lanjut disebut sebagai Dichotomy atau Dwipraja atau Dwitantra, yaitu: 1) Political
Function (Government), dan 2) Administrative Function (Verwaltung atau Bestuur).
3. Teori Tripraja (Trias Politica)
John Locke dalam bukunya “Two Treatises on Civil Government”, membagi tiga
kekuasaan dalam negara yang berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain, yaitu:
1) Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan perundangan
2) Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundang-
undangan, termasuk didalamnya juga kekuasaan pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan perundangan, yaitu kekuasaan pengadilan (yudikatif).
3) Kekuasaan federatif, yaitu kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk
menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat
aliansi dan sebagainya atau misalnya kekuasaan untuk mengadakan hubungan
antara alat-alat negara baik intern maupun ekstern.
4. Teori Catur Praja
Berdasarkan teori residu dari Van Vollenhoven dalam bukunya “Omtrek Van Het
Administratief Recht”, membagi kekuasaan/fungsi pemerintah menjadi empat yang
dikenal dengan teori catur praja yaitu:
1) Fungsi memerintah (bestuur)
Dalam negara yang modern fungsi bestuur yaitu mempunyai tugas yang sangat
luas, tidak hanya terbatas pada pelaksanan undang-undang saja. Pemerintah
banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi,
sosial budaya maupun politik.
2) Fungsi polisi (politie)
Merupakan fungsi untuk melaksanakan pengawasan secara preventif yakni
memaksa penduduk suatu wilayah untuk mentaati ketertiban hukum serta
mengadakan penjagaan sebelumnya (preventif), agar tata tertib dalam
masyarakat tersebut tetap terpelihara.
3) Fungsi mengadili (justitie)
Adalah fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini
melaksanakan yang konkret, supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan
berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya.
4) Fungsi mengatur (regelaar)
Yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan atau memperoleh seluruh
hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil dari fungsi pengaturan ini
tidaklah undang-undang dalam arti formil (yang dibuat oleh presiden dan DPR),
melainkan undang-undang dalam arti material yaitu setiap peraturan dan
ketetapan yang dibuat oleh pemerintah mempunyai daya ikat terhadap semua
atau sebagian penduduk wilayah dari suatu negara.
5. Teori Panca Praja
Dr. JR. Stellinga dalam bukunya yang berjudul “Grondtreken Van Het Nederlands
Administratiegerecht”, membagi fungsi pemerintahan menjadi lima fungsi yaitu: 1)
Fungsi perundang-undangan (wetgeving), 2) Fungsi pemerintahan (Bestuur), 3)
Fungsi Kepolisian (Politie), 4) Fungsi Peradilan (Rechtspraak), 5) Fungsi
Kewarganegaraan (Burgers). Lemaire juga membagi fungsi pemerintahan menjadi
lima, yaitu: 1) Bestuurszorg (kekuasaan menyelenggarakan kesejahteraan umum), 2)
Bestuur (kekuasaan pemerintahan dalam arti sempit), 3) politie (Kekuasaan polisi),
4) Justitie (kekuasaan mengadili), dan 5) reglaar (kekuasaan mengatur).
6. Teori Sad Praja
Teori Sad Praja ini dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, bahwa kekuasaan
pemerintahan dibagi menjadi 6 kekuasaan, yaitu:
1) kekuasaan pemerintah
2) kekuasaan perundangan
3) kekuasaan pengadilan
4) kekuasaan keuangan
5) kekuasaan hubungan luar negeri
6) kekuasaan pertahanan dan keamanan umum
BAB III
PEMBAHASAN
Konsep global administrative governance melalui penerapan good governance
merupakan isu yang digulirkan oleh UNDP (United Nation Development Program) dan
World Bank sejak tahun 1997 sebagai syarat dalam penyaluran dana guna
menyelesaikan permasalahan krisis moneter di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk
mempermudah jalur birokrasi publik dalam pemerintahan dan secara tidak langsung
sebaga upaya mempermudah akses masuknya perdagangan bebas melalui birokratisasi
yang sederhana.
Good governance yang dimaksud merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan
negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service yang disebut
governance (pemerintahan, kepemerintahan), sedangkan praktik terbaiknya disebut
”good governance” (tata pemerintahan yang baik). World Bank mendefi-nisikan
governance sebagai ”the way state power is used in managing economic and social
resources for development and society” Sementara UNDP mendefinisikannya sebagai
”the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation’s
affair at all levels”.
Berdasarkan definisi terakhir, maka governance mempunyai tiga kaki (three
legs), yaitu :
1. Economic governance meliputi proses pembuatan keputusan (decisions making
processses) yang memfasilitasi terhadap equity, poverty dan quality to live;
2. Political governance adalah proses keputuan untuk formulasi kebijakan;
3. Administrative governance adalah implementasi proses kebijakan.10
Ketiga elemen di atas merupakan suatu proses kegiatan yang saling me-
lengkapi. Namun menurut konsep Weber, konsep birokrasi hanyalah merupakan sebuah
mesin yang disiapkan untuk menjalankan dan mewujudkan tujuantujuan negara yang
masuk dalam ranah administrative governance. Dengan demikian, setiap pekerja atau
pejabat dalam pelayanan public pemerintah merupakan pemicu dan penggerak dari
sebuah mesin yang tidak mempunyai kepentingan pribadi (each individual civil servant
is a cog in the machine with no personalities interest).
Dalam kaitan ini, maka setiap pejabat pemerintah tidak mempunyai tanggung
jawab publik, kecuali pada bidang tugas dan tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya. Pemikiran seperti ini menjadikan pelayanan publik pemerintah bertindak
sebagai kekuatan yang netral dari pengaruh kepentingan kelas atau kelompok tertentu.
Didasarkan pada pembagian di atas, maka birokrasi publik sebagai bagian dari Hukum
Administrasi Negara merupakan aspek penting dalam pelaksanaan fungsi pelayanan
publik guna menciptakan good governance. Sehubungan dengan agenda reformasi
nasional, keberhasilan pembangunan aparatur negara dalam rangka mewujudkan tata
pemerintahan yang baik dalam era reformasi dewasa ini, paling tidak dapat dilihat dari
seberapa jauh keberhasilan pencapaian tujuan reformasi sebagaimana tercantum dalam
Bab III TAP MPR No.VIII/MPR/ 1998 yang mencakup :
1. Mengatasi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat- singkatnya terutama untuk
menghasilkan stabilitas moneter yang tanggap terhadap pengaruh global dan
pemulihan aktivitas usaha nasional;
10 Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Prenada Media Group, Yogyakarta 2008 hlm. 21
2. mewujudkan kedaulatan rakyat dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara melalui perluasan dan peningkatan partisipasi politik
rakyat secara tertib untuk menciptakan stabilitas nasional;
3. menegakan hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan berkeadilan, hak azasi
manusia menuju terciptanya ketertiban umum dan perbaikan sikap mental;
4. meletakan dasar-dasar kerangka dan agenda reformasi pembangunan, agama dan
sosial budaya dalam usaha mewujudkan masyarakat madani.
Sedangkan, agenda reformasi pemerintahan dalam rangka mewujudkan tata
pemerintahan yang baik perlu diarahkan kepada:
1. Perubahan sistem politik ke arah system politik yang demokratis, partisipatif dan
egalitarian;
2. Reformasi dalam sistem pelayanan public militer (TNI) dimana kekuatan militer ini
harus menjadi kekuatan yang professional dan independen, bukan menjadi alat
politik partai atau kekuasaan pemerintah yang mendudukannya sebagai keuatan
pertahanan negara;
3. Reformasi dalam bidang administrasi publik perlu diarahkan pada peningkatan.
Profesionalisme pelayanan publik pemerintah dalam rangka meningkatkan
pengabdian umum, pengayoman, dan pelayanan publik;
4. Reformasi pemerintahan yang juga penting adalah perubahan dari pola sentralisasi
ke desentralisasi, bukan dalam rangka separatism atau federalisme;
5. Agenda aksi reformasi lainnya yang juga strategis adalah menciptakan
pemerintahan yang bersih (clean government) yang terdiri dari tiga pokok agenda,
yaitu :
a. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dari praktik-praktik Korupsi, Kolusi,
Kroniisme dan Nepotisme (KKKN);
b. Disiplin penerimaan dan penggunaan uang/ dana rakyat, agar tidak lagi
mengutamakan pola deficit funding dan mengapuskan adanya dana publik non-
budgeter;
c. Penguatan system pengawasan dan akuntabilitas publik aparatur negara.
Berdasarkan hal di atas, maka prinsip dasar yang melandasi perbedaan antara
konsepsi tata pemerintahan (governance) dengan pola pemerintahan yang tradisonal
adalah terletak pada adanya tuntutan yang demikian kuat agar peranan pemerintah
dikurangi dan peranan masyarakat ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya.
Perspektif good governance tersebut meng-implikasikan adanya pengurangan peran dari
pemerintah, namun hal ini tidak serta merta meninggalkan peran pemerintah begitu saja.
Terdapat 6 (enam) prinsip yang menyatakan terdapatnya peran pemerintah yang
signifikan dalam proses governing.
1. Dalam kolaborasi yang dibangun, negara (pemerintah) tetap bermain sebagai figur
kunci namun tidak mendominasi, dan memiliki kapasitas mengkoordinasi (bukan
memobilitasi) aktor-aktor institusi semi dan non pemrintah untuk mencapai tujuan-
tujuan publik;
2. Kekuasaan yang dimiliki negara harus di transformasikan, dari yang semula
dipahami sebagai ”kekuasaan atas” menjadi ”kekuasaan untuk” menyelenggarakan
kepentingan, memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan masalah publik;
3. Negara, NGO, swasta dan masyarakat local merupakan aktor-aktor yang memiliki
posisi dan peran yang saling menyeimbangkan (untuk tidak menyebut setara);
4. Negara harus mendesain ulang struktur dan kultur oraganisasinya agar siap dan
mampu menjadi katalisator bagi institusi lainnyauntuk menjalin sebuah kemitraan
yang kokoh, otonom dan dinamis;
5. Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam proses kebijakan mulai dari
formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan serta penyelenggaraan layanan
publik;
6. Negara harus mampu meningkatkan kualitas responsivitas, adaptasi dan akuntabilitas
publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan kebutuhan, dan
penyelesaian masalah publik.
Berikutnya, UNDP (United nation Development Program), mengemukakan
bahwa karakteristik tata prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktik
good governance meliputi :
1. Partisipasi (participation) Setiap orang atau warga masyarakat memiliki hak suara
dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung, mau pun melalui
lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masingmasing.
2. Aturan Hukum (Rule of Law) Kerangka aturan hukum dan perundangundangan harus
berkeadilan, ditegakan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang Hak
Asazi Manusia.
3. Transparansi (Tranparency) Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan
aliran informasi.
4. Daya Tanggap (Responsivenes) Setiap institusi dan prosesnya harus di arahkan pada
upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder)
5. Berorientasi konsensus (Concencuss Orientation) Pemerintahan yang baik akan
bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai
konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak dan
jika dimungkinkan juga dapat diberlakukanterhadap berbagai kebijakan dan prosedur
yang akan ditetapkan pemerintah.
6. Berkeadilan (Equity) Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang
terbaik terhadap subyek hokum dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan
memelihara kualitas hidupnya.
7. Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency) Setiap proses kegiatan dan
kelembagaan di arahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai
dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-
sumber yang tersedia.
8. Akuntabilitas (Accountability) Para pengembil keputusan dalam organisasi sektor
publik, swasta dan masyarakat mempunyai pertanggungjawaban (akuntabilitas)
kepada publik (masyarakat umum) sebagaimana halnya kepada para pemilik
(stakeholder)
9. Visi strategis (Strategic Vision) Para pemimpin dan masyarakat memeiliki perspektif
yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan
pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk
pembangunan tersebut.11
Berdasarkan prinsip-prinsip yang di kemukakan di atas, maka good governance
memberikan pengaruh terhadap reformasi birokrasi publik dalam Hukum Administrasi
Negara. Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, hal tersebut kemudian
berdampak pada sistem kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia
aparatur yang ada di Indonesia.
11 Soedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah, Mandar Maju Bandung 2003 hlm 5-6
1. Pengaruh di bidang kelembagaan adalah menata ulang struktur organisasi dengan
prinsip rasional dan realistik (sesuai kebutuhan) dan perangkat kelembagaan yang
lebih efektif serta efisien yang berorientasi pada peningkatan pelayanan masyarakat.
Hal ini menuntut pula pada penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan yang
dapat mendukung terwujudnya pelayanan prima bagi masyarakat. Contoh peraturan
yang selaras dengan nuansa kelembagaan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
2. Di bidang ketatalaksanaan, pengaruhnya adalah penyempurnaan kualitas dan
transparansi pelayanan masyarakat terhadap perubahan-perubahan dan tuntutan-
tuntutan masyarakat, oleh karena itu diperlukan penyempurnaan sistem
ketatalaksanaan dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan
pembangunan. Contoh peraturan yang selaras dengan nuansa ketatalaksanaan adalah
Undang-undang tentang Pelayanan Publik
3. Bidang sumber daya manusia aparatur sebagai pilar utama penyelenggaraan
pemerintahan berpengaruh pada pengembangan sistem perencanaan Sumber Daya
Manusia aparatur pemerintah sesuai hasil penataan struktur dan perangkat
kelembagaan daerah. Konsekuensinya adalah pembentukan disiplin, etika dan moral
di tingkat pelaksana yaitu Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas kerja dan tuntutan terhadap perwujudan aparatur pemerintah yang
bebas Korupsi Kolusi. Nepotisme (KKN) dan lebih profesional. Contoh peraturan
yang selaras dengan nuansa sumber daya manusia aparatur adalah Undang-Undang
No.43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 2008
Bappenas, Tingkat Pemahaman Aparatur Pemerintah Terhadap Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta 2002
Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Prenada Media Group, Yogyakarta 2008
Prajudi Atmosudirdjo Hukum Administrasi Negara, Gralia Indonesia, Jakarta ,1994
Soedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah, Mandar Maju Bandung 2003
Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi , PT. Gunung Agung, Jakarta 1996
Victor M. Situmorang, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta
Warsito Utomo, Administrasi Publik Baru Indonesia; Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik, Pustaka Pelajar, Yogayakarta 2006