Pilih Mana - Sawit Atau Karbon

  • Upload
    xvader

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pilih Mana - Sawit Atau Karbon

Citation preview

Pilih Mana? Sawit atau Karbon?Oleh: Teguh Setiawan

Rubrik Teraju, Republika. Rabu, 26 Desember 2012. Halaman 29.Bisnis kelapa sawit relatf telah memberikan kemakmuran dan menmbulkan musibah bagi lingkungan. Bisnis karbon baru sekadar impian.Lewat flm dokumenter sepanjang lima menit 58 detik berjudul Oil Palm, A Gift from God to Indonesian Welfare, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Jakarta memperlihatkan kepada dunia--karena menggunakan narasi dalam bahasa Inggris--betapa kelapa sawit adalah berkah bagi penduduk desa dan memberi masa depan bagi generasi esok.

Film dimulai dengan gambar hamparan tanah terlantar. Pekebun mengubah tanah itu menjadi karpet hijau kelapa sawit. Pekerja, pria dan wanita, tersenyum ketika sebuah bus sekolah warna kuning melintas di depan mereka. Sekolah untuk anak-anak pekerja kebun sedemikian mewah, lengkap dengan fasilitas modern berupa laboratorium.

Di Youtube, film menimbulkan perdebatan menarik. Sebagian menyebut kelapa sawit sebagai green gold. Lainnya mengatakan, Live long and prosper my country through palm oil. Di atas kedua komentar itu, seorang gadis Kalimantan menulis, You are wrong. Its not a gift from God. Palm oil is a hell that leading Borneo to the distraction (mungkin maksudnya destruction--Red). I hate this. Its destroy my land, land of Borneo. You cant say that its a green action. Its a distraction.Fakta di atas memperlihatkan perdebatan apakah kelapa sawit anugerah atau musibah tidak hanya terjadi antara pebisnis palm oil dan aktivis lingkungan, tapi juga di masyarakat. Tidak ada informasi masyarakat mana yang mendukung ekspansi dan peningkatan produksi kelapa sawit. Yang pasti, masyarakat adat yang menjadi korban ekspansi perkebunan kelapa sawit--tanaman yang dipopulerkan Alvide de Cada Mosto di Afrika Barat pertengahan abad ke-15--menyebut sawit adalah musibah.

Dalam Diskusi Akhir Tahun 2012 bertajuk Antara Politik Pelestarian Hutan dan Bisnis Sawit, yang diselenggarakan Yayasan Perspektif Baru dan Kemitraan pada 20 Desember 2012 di Balai Kartini, giliran pebisnis karbon yang beradu argumentasi dengan kelompok pekebun kelapa sawit.Pebisnis karbon menggunakan isu pelestarian hutan dan berupaya menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan untuk menahan pelepasan karbon dan mendapatkan kompensasi dari negara-negara maju. Pebisnis kelapa sawit menolak tudingan sebagai penyebab kerusakan lingkungan dan menyebutkan perdagangan minyak nabati sebagai bisnis riil.

Sawit di Indonesia

Empat batang kalapa sawit dibawa dari Mauritius--salah satu koloni Prancis di Afrika--dan Amsterdam untuk ditanam di Kebun Raya Bogor pada 1848. Jan Jacob Rochussen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, tidak tertarik mengembangkan tanaman ini dan menjadikannya komoditas andalan selain tebu dan kopi.Enam dekade kemudian, Adrian Hallet--orang Belgia yang mempelajari budidaya kelapa sawit di Afrika--mulai mengusahakan tanaman ini secara komersial. K Schadt melanjutkannya dengan membuka perkebunan kelapa sawit pertama di Sumatra Timur dan Aceh.

Pada 1919 atau delapan tahun setelah komersialisasi kelapa sawit yang diperkenalkan Hallet, Hindia Belanda mampu mengekspor 576 ton sawit mentah ke Eropa. Pada 1923, Hindia Belanda mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton.Kurang dari satu dekade sejak ekspor pertama minyak inti sawit, Hindia Belanda menggeser dominasi negara-negara Afrika di pasar minyak sawit dunia. Pada 1940, Hindia Belanda mempu mengekspor 250 ribu ton minyak sawit.

Akibat pendudukan Jepang dan perang mempertahankan kemerdekaan, produksi kelapa sawit Indonesia anjlok luar biasa. Pada 1948-1949, misalnya, Indonesia hanya bisa mengekspor 56 ribu ton minyak sawit ke Eropa.Pada Orde Baru, ketika melihat kelapa sawit sebagai komoditas unggulan dari sektor nonmigas, dimulailah pembukaan lahan perkebunan baru secara besar-besaran. Pada 1980, luas lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 294 ribu hektar dengan produksi CPO 721.172 ton.

Sejak saat itu, perkebunan kelapa sawit berkembang di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan terakhir di Papua. Hiingga akhir 2011, luas lahan kelapa sawit mencapai 7,5 juta hektar dengan jumlah produksi 24 juta ton dan daya serap tenaga kerja empat juta.

Hingga pertengahan 2012, menurut press release Yayasan Perspektif Baru dan Kemitraan, luas lahan kelapa sawit bertambah lagi menjadi 8,2 juta hektar. Tetapi, kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yakin luas lahan kelapa sawit Indonesia jauh lebih besar karena perluasan areal dilakukan dengan pengalihan fungsi lahan kawasan hutan.

Info Sawit, seperti dikutip Jefri Gideon Saragih dari Sawit Watch, menulis bisnis kelapa sawit menghasilkan keuntungan 9,11 juta dolar AS dan pajak ekspor Rp 14 triliun sampai akhir 2011. Menyusul telah digunakannya CPO sebagai campuran bahan bakar (biodiesel) pesawat, Oil World memperkirakan permintaan minyak nabati ini akan sedemikian tinggi dalam beberapa tahun kedepan.

Gapki memperkirakan, dengan perluasan lahan perkebunan 400 ribu hektar per-tahun, Indonesia akan menghasilkan 40 juta ton CPO per-tahun pada 2020. Dari jumlah itu, 20 juta ton diekspor ke berbagai negara, yaitu India, Cina, dan Eropa.Pertanyaannya, apakah jika ekspor CPO terus naik dan Indonesia sukses mempertahankan statusnya sebagai produsen terbesar akan terjadi pengentasan kemiskinan? Jawabannya sederhana, Indonesia tidak mempunyai pengalaman seperti itu. Tingginya penghasilan dari industri perkebunan tidak pernah bisa mengurangi kemiskinan.

Dipersalahkan

Industri perkebunan lahir dari rahim kolonialisme. Di Afrika, industri perkebunan karet di Kongo melahirkan penindasan paling keji dalam sejarah kolonialisme di Benua Hitam. Di Indonesia, industri perkebunan-terutama budidaya tebu dan kopi pada era tanam paksa-menimbulkan kelaparan luar biasa, akibat menipisnya lahan tanaman pangan.

Setelah keluarganya Agrarische Wet 1870 dan Pemerintah Hindia Belanda meliberalisasi Pulau Jawa, penetrasii modal swasta ke sektor perkebunan menyebabkan petani kehilagan tanah dan harus hidup sebagai buruh tani di lahan yang telah dikelola secara turun-menurun. Orde Lama memperbaiki keadaann ini dengan mengeluarkan UUPA tahun 1960.

Dalam UUPA tahun 1960 terdapat pernyataan tanah berfungsi social yang menjadi dasar landreform. Tanah-tanah para tuan dirampas dan dibagikan kepada masyarakat penggarap dan para buruhnya. Tetapi, landreform tidak benar-benar berhasil.Orde Baru merevisi UUPA 1960 dengan memasukkan pernyataan tanah berfungsi untuk pembangunan. Aplikasi dari pernyataan ini adalah dengan mengambil tanah-tanah para tuan dengan alasan pembangunan. Berikutnya, ketika Orde Baru dipaksa kreatif meningkatkan volume ekspor nonmigas, pemerintah mengeluarkan konsesi pembukaan kawasan hutan dan pemanfaatan tanah terlantar untuk perkebunan.Pada era Soeharto, persoalan konflik tanah antara pekebun dan masyarakat relatif tidak mengemuka. Setelah Soeharto jatuh, konflik tanah antara pekebun dan masyarakat adat mengemuka. Masyarakat adat di lahan konsesi perkebunan kerap harus menyingkir, dengan hanya sebagian kecil yang mendapat kompensasi.Konflik lainnya menurut Jefri Gideon Saragih, kerap terjadi antara pekebun dan petani plasma. Penyerahan kebun sawit ke petani sering tidak sesuai janji. Kualitas kebun plasma cenderung buruk dan dengan luas tidak sesuai kesepakatan Pemberi plasma secara sepihak menentukan harga tandan buah segar (TBS).Jefri Gideon mengakui, sawit mampu menyerap lima juta tenaga kerja. Tetapi, 65 persen buruh perkebunan sawit berstatus buruh harian lepas dengan upah antara Rp 24.500 sampai Rp 32.500, dengan maksimal kerja 15 hari per-bulan.Ekspansi tiada henti sejak 1980 membuat industri CPO kerap dituding sebagai penyebab kerusakan lingkungan dan berkontribusi terhadap pemanasan global. Tudingan bahwa pembukaan lahan baru ekspansi dengan mengonversi kawasan hutan dan lahan gambut mungkin tidak terlalu keliru.Basoeki Karyaatmadja, direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan, mengatakan, Saat saya menjadi penerima surat di Kemenhut, saya hampir selalu menerima surat permohonan pengalihan kawasan hutan menjadi perkebunan. Menurut Basoeki, ini memperlihatkan terdapat kecenderungan pengusaha lebih suka mengincar kawasan hutan untuk ekspansi.

Jadi, tidak berlebihan jika kalangan LSM memperkirakan terjadi pengalihan kawsan hutan secara massif dan luas lahan perkebunan kelapa sawit saat ini diperkirakan lebih dari 8,2 juta hektar. Bersamaan dengan pembukaan lahan baru, Sawit Watch memperkirakan terjadi pemusnahan keanekaragaman hayati akibat pembakaran.Di Kalimantan, sebelum perkebunan kelapa sawit dating, orang utan adalah tuan rumah di hampir kawasan hutan di pulau itu. Setelah kelapa sawit tiba, orang utan menjadi hama, diburu, dan dibunuh. Kalimantan saat ini hanya memiliki 60 sampai 100 ekor gajah. Sumatra memiliki 2.500 sampai 2.800 ekor gajah. Tetapi, dalam tiga dekade ke depan, jika tidak ada upaya penghentian permanen ekspansi kelapa sawit, jumlah gajah di kedua pulau itu akan menyusut dan mungkin punah.Degradasi lingkungan akibat ekspansi kelapa sawit terlihat pada hilangnya enam sumber air masyarakat rusak permanen, 60 sungai dan anak sungai harus segera direhabilitasi, dan 45 sumber air utama dalam keadaan kritis.Aktivis Walhi yang berbicara dalam diskusi mengatakan, sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit melanggar ketentuan tidak boleh menanam 500 meter dari tepi danau dan 100 meter dari kedua tepi sungai. Akibatya, terjadi pencemaran sebagai akibat penggunaan pupuk dan kimia lainnya.

Bisnis KarbonSebelum 2005, serangan terhadap industri kelapa sawit sebagai perusak lingkungan mungkin tidak bernuansa bisnis. Setelah Protokol Kyoto yang melibatkan 169 negara yang mewajibkan negara industri mengurangi emisi gas rmah kaca sebesar 5,2 persen, ada bisnis miliaran dolar di balik tudingan gencar terhadap pelaku industri kelapa sawit.

Di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia, LSM menjadi pemain bisnis karbon. Mereka menekan pemerintah agar menghentikan laju konversi lahan hutan menjadi kawasan perkebunan dan melancarkan program penanaman kembali lahan gambut. Sasarannya menghentikan pelepasan gas rumah kaca untuk mendapatkan kompensasi dari negara berkembang yang tidak mau mengerem mesin ekonominya.

Banyak perusahaan Eropa dan AS menyediakan dana untuk membeli besaran pelepasan karbon yang bisa ditahan negara-negara berkembang. Di Indonesia, upaya ke arah itu telah dimulai dengan keluarnya Inpres nomor 10 tahun 2011 tentang Moratorium (Penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada Mei 2011.

Instruksi presiden ini menghentikan laju ekspansi perkebunan kelapa sawit. Pada saat yang sama, pebisnis karbon dari Eropa bekerja sama dengan sejumlah perusahaan dan LSM melancarkan proyek-proyek penting untuk menahan pelepasan karbon dari kawasan hutan di Indonesia. Perlu diketahui, Indonesia adalah emiter ketiga di dunia akibat pembukaan lahan gambut sejuta hektar yang mengakibatkan pelepasan karbon skala besar ke atmosfer.

Moratorium berusia dua tahun dan akan berakhir pada Mei 2013. Di sisi lain, Indonesia baru bisa menjual karbonnya setelah 2012.Yang terjadi saat ini adalah muncul konflik kepentingan. Pekebun kelapa sawit yang tergabung dalam Gapki tidak menghendaki moratorium dilanjutkan. Di sisi lain, pebisnis karbon-terutama para LSM dan mitra-mitra mereka-menghendaki moratorium diperpanjang dengan alasan pelestarian hutan.

Perpanjangan moratorium akan membuat Indonesia tidak mungkin meningkatkan hasil produksi CPO-nya dan meraup laba besar dari pasar dunia yang terus berkembang. Joko Supriyono, sekjen Gapki, mengatakan, moratorium dua tahun saja telah menyebabkan Indonesia kehilangan kesempatan meningkatkan produksi sekitar 1,5 juta ton dan menghilangkan kesempatan kerja ratusan ribu orang.

Kelapa sawit itu riil. Indonesia berpeluang menguasai pasar dunia, ujar Joko Supriyono. Bisnis karbon itu mimpi. Itu hanya ada di dunia maya.