Upload
ester-sibarani
View
37
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
NNN
Citation preview
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Jantung Rematik
2.1.1. Definisi
Menurut WHO tahun 2001, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat jantung
akibat karditis rematik. Menurut Afif. A (2008), PJR adalah penyakit jantung sebagai
akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai dengan
terjadinya cacat katup jantung.
Definisi lain juga mengatakan bahwa PJR adalah hasil dari DR, yang
merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus
beta hemolyticus grup A pada saluran nafas bagian atas (Underwood J.C.E, 2000).
Dari sebuah jurnal mengatakan bahawa DR dan atau PJR eksaserbasi akut
adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi streptococcus beta hemolyticus
grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau
lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan
eritema marginatum (Meador R.J. et al, 2009).
2.1.2. Epidemiologi PJR
Angka kesakitan Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) di Amerika Serikat
pada tahun 1996, dilaporkan hamper mencapai 60 juta penderita, dimana 1,8 juta di
antaranya menderita PJR. (Ulfah A., 2000) Statistik rumah sakit di Negara
berkembang pada tahun 1992 menunjukkan sekitar 10%-35% dari penderita penyakit
jantung yang masuk ke rumah sakit adalah penderita DR dan PJR (Afif A., 2008)
Insidens PJR tertinggi dilaporkan terjadi pada suku Samoan di Kepulauan
Hawaii sebesar 206 penderita per 100.000 penduduk pada periode tahun 1980-1984.
(Boestan I.N., 2007) Prevalens PJR di Ethiopia (Addis Ababa) tahun 1999 adalah 6,4
per 100.000 penduduk pada kelompok usia 5-15 tahun (Asdie A.H., 2000) Dari
klasifikasi PJR, yakni stenosis mitral, ditemukan perempuan lebih sering terkena
Universitas Sumatera Utara
daripada laki-laki dengan perbandingan 7:1 (Chandrasoma P, 2006).
DR Akut dan PJR diduga hasil dari respon autoimun, namun patogenesis yang
pasti masih belum jelas. Walaupun PJR adalah penyebab utama kematian 100 tahun
yang lalu pada orang berusia 5-20 tahun di Amerika Serikat, insiden penyakit ini
telah menurun di negara maju, dan tingkat kematian telah menurun menjadi hanya di
atas 0% sejak tahun 1960-an. Di seluruh dunia, PJR masih merupakan masalah
kesehatan yang utama. PJR Kronis diperkirakan terjadi pada 5-30 juta anak-anak dan
orang dewasa muda; 90.000 orang meninggal karena penyakit ini setiap tahun. Angka
kematian dari penyakit ini masih 1%-10%. Sebuah sumber daya yang komprehensif
mengenai diagnosis dan pengobatan disediakan oleh WHO (Thomas K Chin, 2008).
Dilaporkan di beberapa tempat di Amerika Serikat pada pertengahan dan
akhir tahun 1980-an telah terjadi peningkatan insidens DR, demikian juga pada
populasi aborigin di Australia dan New Zealand dilaporkan peningkatan penyakit ini.
Tidak semua penderita infeksi saluran nafas yang disebabkan infeksi Streptokokus
Beta Hemolitik grup A menderita DR. Sekitar 3% dari penderita infeksi saluran nafas
atas terhadap Streptokokus Beta Hemolitik grup A di barak militer pada masa
epidemi yang menderita DR dan hanya 0,4% didapati pada anak yang tidak diobati
setelah epidemi infeksi Streptokokus Beta Hemolitik grup A pada populasi
masyarakat sipil (Chakko S. et al, 2001).
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober1 November
2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000
penduduk di negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang
dan di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000. Diperkirakan sekitar
2000-332.000 yang meninggal diseluruh dunia karena penyakit tersebut. Angka
disabilitas pertahun (The disability-adjusted life years (DALYs)1 lost) akibat PJR
diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 di negara maju hingga 173,4 per 100.000 di
negara berkembang yang secara ekonomis sangat merugikan. Data insidens DR yang
dapat dipercaya sangat sedikit sekali. Pada beberapa negara data yang diperoleh
hanya berupa data lokal yang terdapat pada anak sekolah. Insidens per tahunnya
Universitas Sumatera Utara
cenderung menurun dinegara maju, tetapi di negara berkembang tercatat berkisar
antara 1 di Amerika Tengah 150 per 100.000 di China. Sayangnya dalam laporan
WHO yang diterbitkan tahun 2004 data mengenai DR dan PJR Indonesia tidak
dinyatakan (Afif. A, 2008 & WHO, 2004).
Pada tahun 2001 di Asia Tenggara, angka kematian akibat PJR sebesar 7,6 per
100.000 penduduk. Di Utara India pada tahun 1992-1993, prevalens PJR sebesar 1,9-
4,8 per 1.000 anak sekolah (dengan umur 5-15 tahun). Sedangkan Nepal (1997) dan
Sri Lanka (1998) masing-masing sebesar 1,2 per 1.000 anak sekolah dan 6 per 1.000
anak sekolah (WHO, 2001).
2.2. Faktor Risiko
Faktor risiko yang berpengaruh pada timbulnya PJR dibagi menjadi faktor intrinsik
dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik, antara lain :
2.2.1 Demam Rematik (DR)
Definisi DR
Menurut WHO, definisi DR adalah sindrom klinis sebagai salah satu akibat infeksi
kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A, yang ditandai oleh satu atau lebih
manisfestasi mayor (karditis, poliartritis, korea, nodul subkutan, dan eritema
marginatum) dan mempunyai ciri khas untuk kambuh kembali (Afif, A dkk.)
Pendapat lain memberikan definisi DR atau PJR sebagai suatu sindroma
klinik penyakit akibat infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A pada
tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala
mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema
marginatum (Meador R.J. et al, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Etiologi DR
Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptokokus
Beta Hemolitik grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit
mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman Streptokokus
Beta Hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas
antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini
lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi
hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR dan PJR.
Hubungan kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A sebagai penyebab DR
terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari
lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang
membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai hubungan dengan infeksi
Streptococcus beta hemolitycus grup A, terutama serotipe M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan
24 (Afif. A, 2008).
Sekurang-kurangnya sepertiga penderita menolak adanya riwayat infeksi
saluran nafas karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada kultur apus
tenggorokan terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A sering negatif pada saat
serangan DR. Tetapi respons antibodi terhadap produk ekstraseluler streptokokus
dapat ditunjukkan pada hampir semua kasus DR dan serangan akut DR sangat
berhubungan dengan besarnya respon antibodi. Diperkirakan banyak anak yang
mengalami episode faringitis setiap tahunnya dan 15%-20% disebabkan oleh
Streptokokus grup A dan 80% lainnya disebabkan infeksi virus. Insidens infeksi
Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan bervariasi di antara
berbagai negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi didapati pada
anak usia 5 -15 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa faktor predisposisi lain yang berperan pada penyakit ini adalah
keadaan sosio ekonomi yang rendah, penduduk yang padat, golongan etnik tertentu,
faktor genetik, golongan HLA tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca
lembab dan perubahan suhu yang mendadak (Park M.K., 1996).
Patogenesis
Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokkus Beta Hemolitik grup A dengan
terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respon autoimun
terhadap infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan. Respons
manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan
genetic host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme
patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran antigen
histokompatibilitas mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibodi yang
berkembang segera setelah infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor risiko
yang potensial dalam patogenesis penyakit ini.
Beberapa penelitian berpendapat bahawa DR yang mengakibatkan PJR terjadi
akibat sesitisasi dari antigen Streptococcus beta hemolitycus grup A di faring.
Streptococcus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, berdiameter 0,5-1 mikron
dan mempunyai karakteristik dapat membentuk pasangan atau rantai selama
pertumbuhannya. Streptococcus beta hemolitycus grup A ini terdiri dari dua jenis,
yaitu hemolitik dan non hemolitik. Yang menginfeksi manusia pada umumnya jenis
hemolitik.
Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptolisin O
(ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua jenis tes
yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A.
DR merupakan manifestasi yang timbul akibat kepekaan tubuh yang
berlebihan (hipersentivitas) terhadap beberapa produk yang dihasilkan oleh
Streptococcus beta hemolitycus grup A. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang
adanya reaksi silang antibody terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A
Universitas Sumatera Utara
dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen Streptococcus
beta hemolitycus grup A. Hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun.
Dalam keadaan normal,sistem imun dapat membedakan antigen tubuh sendiri
dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self antigen, tetapi
pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi autoimun. Reaksi
autoimun adalah reaksi sistem imun terhadap antigen sel jaringan sendiri. Antigen
tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut autoantibodi.
Reaksi autoantigen dan autoantibodi yang menimbulkan kerusakan jaringan
dan gejala-gejala klinis disebut penyakit autoimun, sedangkan bila tidak disertai
gejala klinis disebut fenomena autoimun. Oleh karena itu pada umumnya para ahli
sependapat bahwa DR termasuk dalam penyakit autoimun.
2.2.2 Manifestasi Klinis
DR Akut terdiri dari sejumlah manifestasi klinis, di antaranya artritis, korea, nodulus
subkutan, dan eritema marginatum. Berbagai manifestasi ini cenderung terjadi
bersama-sama dan dapat dipandang sebagai sindrom, yaitu manifestasi ini terjadi
pada pasien yang sama, pada saat yang sama atau dalam urutan yang berdekatan.
Manifestasi klinis ini dapat dibagi menjadi manifestasi mayor dan manifestasi
minor, yaitu :
Manifestasi Klinis Mayor
Manifestasi mayor terdiri dari artritis, karditis, korea, eritema marginatum,
dan nodul subkutan. Artritis adalah gejala mayor yang sering ditemukan pada DR
Akut. Munculnya tiba-tiba dengan nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti
dengan reaksi radang.
Biasanya mengenai sendi-sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, siku, dan
pergelangan tangan. Sendi yang terkena menunjukkan gejala-gejala radang seperti
bengkak, merah, panas sekitar sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi sendi.
Universitas Sumatera Utara
Kelainan pada tiap sendi akan menghilang sendiri tanpa pengobatan dalam
beberapa hari sampai 1 minggu dan seluruh gejala sendi biasanya hilang dalam waktu
5 minggu, tanpa gejala sisa apapun.
Karditis merupakan proses peradangan aktif yang mengenai endokarditis,
miokarditis, dan perikardium. Dapat salah satu saja, seperti endokarditis, miokarditis,
dan perikarditis. Endokarditis dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
pada daun katup yang menyebabkan terdengarnya bising yang berubah-ubah. Ini
menandakan bahwa kelainan yang ditimbulkan pada katup belum menetap.
Miokarditis ditandai oleh adanya pembesaran jantung dan tanda-tanda gagal jantung.
Sedangkan perikarditis adalah nyeri pada perikardial. Bila mengenai ketiga lapisan
sekaligus disebut pankarditis.
Karditis ditemukan sekitar 50% pasien DR Akut. Gejala dini karditis adalah
rasa lelah, pucat, tidak berghairah, dan anak tampak sakit meskipun belum ada gejala-
gejala spesifik. Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada DR Akut, dan
dapat menyebabkan kematian selama stadium akut penyakit. Diagnosis klinis karditis
yang pasti dapat dilakukan jika satu atau lebih tanda berikut ini dapat ditemukan,
seperti adanya perubahan sifat bunyi jantung organik, ukuran jantung yang bertambah
besar, terdapat tanda perikarditis, dan adanya tanda gagal jantung kongestif.
Korea merupakan gangguan sistim saraf pusat yang ditandai oleh gerakan
tiba-tiba, tanpa tujuan, dan tidak teratur, seringkali disertai kelemahan otot dan emosi
yang tidak stabil. Gerakan tanpa disedari akan ditemukan pada wajah dan anggota-
anggota gerak tubuh. Gerakan ini akan menghilang pada saat tidur. Korea biasanya
muncul setelah periode laten yang panjang, yaitu 2-6 bulan setelah infeksi
Streptokokkus dan pada waktu seluruh manifestasi DR lainnya mereda. Korea ini
merupakan satu-satunya manifestasi klinis yang memilih jenis kelamin, yakni dua
kali lebih sering pada anak perempuan dibandingkan pada laki-laki.
Eritema marginatum merupakan manifestasi DR pada kulit, berupa bercak-
bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya berbatas
tegas, berbentuk bulat atau bergelombang, tidak nyeri, dan tidak gatal. Tempatnya
Universitas Sumatera Utara
dapat berpindah-pindah, di kulit dada dan bagian dalam lengan atas atau paha, tetapi
tidak pernah terdapat di kulit muka. Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5%
dari penderita DR dan merupakan manifestasi klinis yang paling sukar didiagnosis.
Nodul subkutan merupakan manifestasi mayor DR yang terletak dibawah
kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan, berukuran antara 3-10mm. Kulit
diatasnya dapat bergerak bebas. Biasanya terdapat di bagian ekstensor persendian
terutama sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan kaki. Nodul ini timbul selama 6-10
minggu setelah serangan DR Akut.
Manifestasi Klinis Minor
Manifestasi klinis minor merupakan manifestasi yang kurang spesifik tetapi
diperlukan untuk memperkuat diagnosis DR. Manifestasi klinis minor ini meliputi
demam, atralgia, nyeri perut, dan epistaksis.
Demam hampir selalu ada pada poliartritis rematik. Suhunya jarang melebihi
39C dan biasanya kembali normal dalam waktu 2 atau 3 minggu, walau tanpa
pengobatan. Atralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi, seperti nyeri,
merah, hangat, yang terjadi selama beberapa hari atau minggu. Rasa sakit akan
bertambah bila penderita melakukan latihan fisik. Gejala lain adalah nyeri perut dan
epistaksis, nyeri perut membuat penderita kelihatan pucat dan epistaksis berulang
merupakan tanda subklinis dari DR.
Para ahli lain ada menyatakan manifestasi klinis yang serupa yaitu umumnya
dimulai dengan demam remiten yang tidak melebihi 39C atau arthritis yang timbul
setelah 2-3 minggu setelah infeksi. Demam dapat berlangsung berkali-kali dengan
tanda umum berupa malaise, astenia, dan penurunan berat badan. Sakit persendian
dapat berupa atralgia, yaitu nyeri persendian dengan tanda-tanda panas, merah,
bengkak atau nyeri tekan, dan keterbatasan gerak. Artritis pada DR dapat mengenai
beberapa sendi secara bergantian. Manifestasi lain berupa pankarditis (endokarditis,
miokarditis, dan perikarditis), nodul subkutan, eritema marginatum, korea, dan nyeri
abdomen (Mansjoer A. dkk., 2000).
Universitas Sumatera Utara
Langkah pertama dalam mendiagnosis PJR adalah menetapkan bahwa anak
anda baru-baru ini mengalami infeksi streptokokus. Dokter mungkin melakukan tes
hapusan tenggorokan, tes darah, atau keduanya untuk memeriksa adanya antibodi
Streptokokus. Namun, ada kemungkinan bahwa tanda-tanda infeksi strep mungkin
hilang pada saat anda membawa anak anda ke dokter. Dalam hal ini, dokter akan
memerlukan anda untuk mencoba mengingat apakah anak anda baru-baru ini
mengalami sakit tenggorokan atau gejala lain dari infeksi streptokokus.
Seterusnya dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dan memeriksa anak
anda untuk tanda-tanda demam rematik, termasuk nyeri sendi dan peradangan.
Dokter juga akan mendengarkan jantung anak anda untuk memeriksa irama abnormal
atau murmur yang mungkin menandakan bahwa jantung telah tegang. Selain itu, ada
beberapa tes yang dapat digunakan untuk memeriksa jantung dan menilai kerusakan,
termasuk :
* Chest X-ray, untuk memeriksa ukuran jantung dan untuk melihat apakah
ada kelebihan cairan di jantung atau paru-paru
* Ekokardiogram, sebuah tes non-invasif yang menggunakan gelombang
suara untuk menciptakan sebuah gambar bergerak dari jantung dan terpaparnya
ukuran dan bentuk
2.2.3 Diagnosis
Sebuah diagnosis PJR dibuat setelah konfirmasi adanya DR. Menurut kriteria Jones
(direvisi tahun 1992) menyediakan pedoman untuk diagnosis demam rematik (AHA,
1992).
Universitas Sumatera Utara
Kriteria Jones menuntut keberadaan 2 mayor atau 1 mayor dan 2 kriteria
minor untuk diagnosis demam rematik.
o Kriteria diagnostik mayor termasuk karditis, poliarthritis, khorea, nodul
subkutan dan eritema marginatum.
o Kriteria diagnostik minor termasuk demam, arthralgia, panjang interval PR
pada EKG, peningkatan reaktan fase akut (peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit
[ESR]), kehadiran protein C-reaktif, dan leukositosis.
2.2.4 Faktor Ekstrinsik
Faktor DR tersebut juga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya faktor
genetik, umur, dan jenis kelamin.
Faktor genetik mempunyai hubungan dengan kejadian DR yaitu dengan
terdapatnya beberapa orang dalam satu keluarga yang menderita penyakit ini, serta
fakta bahawa DR lebih sering mengenai saudara kembar monozigotik oleh reaksi
dizigotik. (Afif A dkk., 1988) Selain itu, PJR termasuk ke dalam penyakit yang
dihasilkan oleh Streptococcus beta hemolitycus grup A. (Tobing , T.C.L, 1998)
Konsep genetika ini diperkuat oleh penemuan yang mempergunakan teknologi yang
canggih, yaitu bahawa penderita DR ditemukan antigen HLA (Human Leucocyte
Antygen) tertentu (Afif A. dkk., 1988).
Umur merupakan faktor predisposisi terpenting tentang timbulnya DR.
Penyakit ini sering mengenai anak berumur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar
umur 8 tahun. Distribusi ini sesuai dengan insidens infeksi streptokokkus pada anak
usia sekolah. Prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 per 100.000 penduduk usia
5-15 tahun. (Suprihati, dkk, 2006) DR lebih sering didapatkan pada anak perempuan
daripada laki-laki. Begitu juga dengan kelainan katup sebagai gejala sisa PJR juga
menunjukkan perbedaan jenis kelamin (Afif A, dkk., 2008).
Universitas Sumatera Utara
Faktor ekstrinsik, antara lain disebabkan :
Keadaan Sosial Ekonomi yang Buruk
Tingkat sosial ekonomi merupakan faktor penting dalam terjadinya DR. Golongan
masyarakat masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah
dengan manifestasinya, seperti ketidaktahuan, perumahan dan lingkungan yang
buruk, tempat tinggal yang berdesakan, dan pelayanan kesehatan yang kurang baik,
merupakan golongan yang paling rawan. Pengalaman di negara-negara yang sudah
maju menunjukkan bahwa angka kejadian DR akan menurun seiring dengan
perbaikan tingkat sosial ekonomi masyarakat negara tersebut. (Brooks, G.F, dkk,
2001) Menurut penelitian Mbeza, masyarakat yang hidup dengan tingkat sosial
ekonomi rendah memiliki risiko 2,68 kali menderita DR (RR=2,68). (Mbeza, B.L,
2007)
Iklim dan Geografi
Penyakit DR ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi daerah tropis
juga mempunyai insidens yang tinggi. Di daerah yang letaknya tingi mempunyai
insidens DR lebih tinggi daripada di dataran rendah. Perubahan cuaca yang mendadak
sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga
insidens DR juga meningkat. (Sudoyo, A, 2006) Pada musin hujan kemungkinan
terjadinya PJR 3,24 kali (RR=3,24). (Mbeza, B.L, 2007)
2.3. Pencegahan
2.3.1. Pencegahan Primordial
Tahap pencegahan ini bertujuan memelihara kesehatan setiap orang yang sehat
supaya tetap sehat dan terhindar dari segala macam penyakit termasuk penyakit
jantung. Untuk mengembangkan tubuh maupun jiwa serta memelihara kesehatan dan
kekuatan, maka diperlukan bimbingan dan latihan supaya dapat mempergunakan
tubuh dan jiwa dengan baik untuk melangsungkan hidupnya sehari-hari.
Universitas Sumatera Utara
Cara tersebut adalah dengan menganut suatu cara hidup sehat yang mencakup
memakan makanan dan minuman yang menyehatkan, gerak badan sesuai dengan
pekerjaan sehari-hari dan berolahraga, usaha menghindari dan mencegah terjadinya
depresi, dan memelihara lingkungan hidup yang sehat.
2.3.2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer ini ditujun kepada penderita DR. Terjadinya DR seringkali
disertai pula dengan adanya PJR Akut sekaligus. Maka usaha pencegahan primer
terhadap PJR Akut sebaiknya dimulai terutama pada pasien anak-anak yang
menderita penyakit radang oleh streptococcus beta hemolyticus grup A pada
pemeriksaan THT (telinga,hidung dan tenggorokan), di antaranya dengan melakukan
pemeriksaan radang pada anak-anak yang menderita radang THT, yang biasanya
menyebabkan batuk, pilek, dan sering juga disertai panas badan.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui kuman apa yang meyebabkan radang
pada THT tersebut. Selain itu, dapat juga diberikan obat anti infeksi, termasuk
golongan sulfa untuk mencegah berlanjutnya radang dan untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya DR. Pengobatan antistreptokokkus dan anti rematik perlu
dilanjutkan sebagai usaha pencegahan primer terhadap terjadinya PJR Akut.
2.3.3. Pencegahan Sekunder
Pecegahan sekunder ini dilakukan untuk mencegah menetapnya infeksi streptococcus
beta hemolyticus grup A pada bekas pasien DR. Pencegahan tersebut dilakukan
dengan cara, diantaranya :
1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A
Pemusnahan kuman Streptococcus harus segera dilakukan setelah diagnosis
ditegakkan, yakni dengan pemberian penisilin dengan dosis 1,2 juta unit selama 10
hari. Pada penderita yang alergi pada penisilin, dapat diganti dengan eritromisin
dengan dosis maksimum 250mg yang diberikan selama 10 hari.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini harus tetap dilakukan meskipun biakan usap tenggorokan negative, kerana
kuman masih ada dalam jumlah sedikit di dalam jaringan faring dan tonsil.
2. Obat anti radang
Pengobatan anti radang cukup efektif dalam menekan manifestasi radang akut
demam rematik, seperti salasilat dan steroid. Kedua obat tersebut sangat efektif untuk
mengurangi gejala demam, kelainan sendi serta fase reaksi akut. Lebih khusus lagi,
salisilat digunakan untuk DR tanpa karditis dan steroid digunakan untuk memperbaiki
keadaan umum anak, nafsu makan cepat bertambah dan laju endapan darah cepat
menurun. Dosis dan lamanya pengobatan disesuaikan dengan beratnya penyakit.
3. Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada
sebagian besar kasus diberikan makanan dengan kalori dan protein yang
cukup. Selain itu diberikan juga makanan mudah cerna dan tidak
menimbulkan gas, dan serat untuk menghindari konstipasi. Bila kebutuhan
gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan berupa
vitamin atau suplemen gizi.
4. Tirah baring
Semua pasien DR Akut harus tirah baring di rumah sakit. Pasien harus
diperiksa tiap hari untuk pengobatan bila terdapat gagal jantung. Karditis
hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak awal serangan, sehingga
pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut.
2.3.4. Pencegahan Tertier
Pencegahan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi, di mana penderita
akan mengalami kelainan jantung pada PJR, seperti stenosis mitral, insufisiensi
mitral, stenosis aorta, dan insufisiensi aorta
Universitas Sumatera Utara