Upload
alfian-faisal
View
140
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PKM
Citation preview
PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
PRODUKSI PEPTON DARI IKAN PETEK (Leiognathus equulus)SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN MIKROBA
BIDANG KEGIATAN:
PKM Penelitian
Diusulkan oleh:
Saptari Joan Tatra C34090001 Angkatan 2009
Saraswati C34090004 Angkatan 2009
Nurrokhmatunnisa’ C34090062 Angkatan 2009
Nur Aziezah Hapsari C34090067 Angkatan 2009
Virjean Pricillia C34090081 Angakatan 2009
Yulian Nur Hanifa C34090082 Angkatan 2009
Ragil Pratiwi G34080033 Angkatan 2008
Cheanty Lebang MM G34080123 Angkatan 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Kegiatan : Produksi Pepton dari Ikan Petek
(Leiognathus equulus) sebagai Media
Pertumbuhan Mikroba
2. Bidang Kegiatan : PKM Penelitian (PKMP)
3. Bidang Ilmu : Teknologi dan Rekayasa
4. Ketua Pelaksana Kegiatan
a. Nama lengkap
b. NRP
c. Departemen
d. Institusi
:
:
:
:
Saptari Joan Tatra
C34090001
Teknologi Hasil Perairan
Institut Pertanian Bogor
5. Anggota Pelaksana Kegiatan : 8 Orang
6. Dosen Pendamping
a. Nama Lengkap
b. NIP
c. Alamat Rumah dan No. HP
:
:
:
Dra. Pipih Suptijah, MBA
19531001 198503 2 001Griya Melati A5 No.10 Bogor/ 08128711070
7. Biaya Kegiatan Total
DIKTI
Sumber Lain
:
:
:
Rp 8.855.000,00
Rp 8.855.000,00
-
8. Jangka Waktu Pelaksanaan : 3 Bulan
Ketua Departemen THP Ketua Pelaksana Kegiatan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, Ms. Mphil Saptari Joan Tatra NIP. 19580511 198505 1 002 NIM. C34090001
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Dosen PendampingKemahasiswaan
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS Dra. Pipih Suptijah, MBANIP. 19581228 198503 1 003 NIP. 19531001 198503 2 001
A. JUDUL PROGRAM
Produksi Pepton dari Ikan Petek (Lelognathus equulus) sebagai Media
Pertumbuhan Mikroba.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keaneragaman hayatinya,
terutama kekayaan yang terkandung di laut. Kekayaan alam tersebut sangat
melimpah dan dapat memberikan manfaat bagi manusia. Salah satu pemanfaatan
sumber daya hayati tersebut adalah penggunaan ikan-ikan hasil tangkap
sampingan sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk yang meiliki nilai jual
tinggi baik di pasaran regional maupun internasional.
Hasil tangkap sampingan dapat digolongkan menjadi beberapa macam yaitu
hasil samping pemanfaatan sumber daya ikan rucah (by catch) dan multispesies,
hasil samping saat panen raya yang mengakibakan sebagian ikan yang tertangkap
tidak dapat ditangani dengan baik, sisa produk ikutan dalam industri pengolahan
ikan dan limbah industri pengolahan ikan. Hasil samping yang mayoritas berupa
ikan rucah (by catch) akhirnya dibuang ke laut lagi karena tidak menguntungkan
bagi nelayan. Hasil samping ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi
produk bernilai ekonomis tinggi dengan memperhatikan proses produksi yang
baik. Salah satu pemanfaatannya adalah dengan mengolah hasil samping tersebut
menjadi produk berupa pepton, minyak ikan, dan tepung ikan, misalnya pada
ikan petek yang merupakan jenis ikan rucah, dapat digunakan sebagai bahan baku
tepung ikan, pakan ternak, ataupun pupuk. Selain itu, ikan petek memiliki
kandungan gizi yang baik terutama protein.
Produk dari minyak ikan dan tepung ikan selama ini sudah dikembangkan
akan tetapi tidak memiliki nilai jual yang tinggi, sehingga dibutuhkan suatu jenis
produk dengan bahan baku ikan yang memiliki nilai jual yang tinggi seperti
pepton ikan. Pepton dalam bioteknologi biasanya digunakan untuk media
pertumbuhan mikroba, karena merupakan salah satu sumber nitrogen bagi
mikroorganisme. Menurut Dufossë et al. (2001) pepton ikan adalah produk
turunan atau derivat dari hidrolisis protein yang larut dalam air dan tidak
mengalami proses koagulasi pada air panas. Kebutuhan pepton dalam bidang
bioteknologi sangat tinggi. Selama ini kebutuhan pepton di Indonesia dipenuhi
melalui impor dan harga yang sangat mahal. Menurut Biro Pusat Statistik (1998)
impor pepton dan turunannya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun
1997, pepton dan turunannya sebesar 1.602.415 kg dengan nilai sebesar US
$3.362.761. Sedangkan dari bulan Januari sampai bulan Agustus 1998 impor
pepton Indonesia sebesar 862.123 kg dengan nilai sebesar US $ 3.759.272. Pepton
dalam bioteknologi biasanya digunakan untuk media pertumbuhan mikroba,
karena merupakan salah satu sumber nitrogen bagi mikroorganisme.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada beberapa ikan rucah dari
ikan gulamah (Argyrosomus sp.) (Praptono 2006) dan ikan selar (Caranx
leptolepis) (Saputra 2008) menunjukkan bahwa hasil samping perikanan tangkap
dapat menghasilkan pepton yang dapat dikembangkan lebih luas dalam bidang
bioteknologi. Hal ini yang melatarbelakangi penelitian lebih lanjut untuk
mendapatkaan pepton dari jenis ikan rucah lainnya, salah satunya adalah ikan
petek sebagai media pertumbuhan mikroba.
C. PERUMUSAN MASALAH
a. Pemanfaatan hasil tangkap sampingan dari jenis ikan rucah.
b. Ikan rucah dari ikan petek yang berpotensi sebagai penghasil pepton.
c. Pepton yang dapat digunakan sebagai media pertumbuhan mikroba dengan
kualitas yang baik dan murah.
d. Perbandingan kualitas pepton dari ikan petek dengan gulamah dan ikan
selar.
D. TUJUAN
Tujuan dari pengembangan produksi pepton dari hasil tangkap sampingan
yang diterapkan pada ikan petek sebagai media pertumbuhan mikroba dan
membandingkan kualitas pepton yang dihasilkan oleh ikan petek antara ikan
gulamah dan ikan selar sehingga dapat meningkatkan kemajuan di bidang
bioteknologi.
E. LUARAN YANG DIHARAPKAN
a. Meningkatkan nilai ekonomis dari hasil tangkap sampingan.
b. Mengoptimalkan penggunaan hasil tangkap sampingan sebagai bahan baku
pepton.
c. Memberikan alternatif sumber pepton sebagai media pertumbuhan mikroba
yang murah dan memiliki kualitas yang baik.
d. Menghasilkan produk dengan nilai guna yang lebih dengan membandingkan
kualitas pepton dari ikan petek dengan ikan gulamah dan ikan selar.
F. KEGUNAAN
a. Bagi Perguruan Tinggi
Pengembangan sumber pepton dari hasil tangkap sampingan akan memicu
jiwa kreatif dan inovatif mahasiswa dalam menciptakan sebuah produk bahan
baku media pertumbuhan mikroba yang bermanfaat di bidang bioteknologi.
Kondisi ini dapat menumbuhkan iklim kompetitif di kalangan mahasiswa untuk
bersaing melalui pengembangan intelektualitas dan kreatifitas, sehingga secara
tidak langsung dapat meningkatkan kualitas perguruan tinggi.
Program ini merupakan perwujudan dari Tridharma Perguruan Tinggi.
Dengan program ini pula akan meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya dalam penerapan di bidang bioteknologi yang dapat
dikembangkan lebih lanjut.
b. Bagi Mahasiswa
Pelaksanaan program ini akan merangsang mahasiswa berpikir positif,
kreatif, inovatif dan dinamis. Pelaksanaan program ini menuntut mahasiswa
untuk dapat bekerja dalam tim yang akan menumbuhkan kesolidan dan kekuatan
tim.
Program ini akan menambah wawasan dan pengalaman mahasiswa dalam
berkarya dalam menerapkan teknologi sederhana yang berhasil guna, selain dapat
menumbuhkan sikap kepedulian mahasiswa terhadap tuntutan peneliti dalam
bidang bioteknologi.
c. Bagi Masyarakat
Adanya pemanfaatan hasil tangkap sampingan ini diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan khususnya para nelayan. Produk pepton yang
dihasilkan memiliki harga yang murah dengan bahan baku yang mudah
diperoleh.. Selain itu, dengan adanya program ini, masyarakat pesisir diharapkan
dapat peduli terhadap pengolahan hasil tangkap sampingan untuk mendapatkan
produk yang lebih bermanfaat dan bernilai ekonomi tinggi.
G. TINJAUAN PUSTAKA
1. Ikan Pepetek
Ikan pepetek merupakan salah satu jenis ikan air laut. Ikan pepetek
merupakan ikan yang euryhaline sehingga bisa hidup di air payau dan laut.
Menurut Nelson (1994), ikan pepetek diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Perciformes
Famili : Leiognathidae
Genus : Leiognathus
Spesies : Leiognathus equulus
Gambar 1 Ikan pepetek (Leiognathus equulus)Sumber: Sarjono (1995)
Ikan pepetek mempunyai bagian dorsal memanjang dan tergolong pada
keluarga Leiognathidae yang masih berkerabat dengan keluarga Carangidae.
Jenis ini merupakan jenis ikan yang kecil. Panjang tubuhnya tidak lebih dari 15
cm, badannya tinggi dan bentuknya pipih. Daging dari jenis ini tidak begitu
banyak (Djuhanda 1981).
Daerah penyebaran ikan pepetek terdapat di seluruh perairan Indonesia
terutama Laut Jawa, Selat Malaka, sepanjang perairan Kalimantan, Sulawesi
Selatan, Laut Arafuru, ke utara sampai Teluk Bengal, Teluk Siam, sepanjang Laut
Cina Selatan, Pasifik Barat, Laut Merah, Afrika bagian timur, perairan utara
Australia, dan Philipina. Pada umumnya ikan ini hidup pada dasar perairan yang
berlumpur, terutama di daerah muara-muara sungai (Sarjono 1995).
Ikan ini umumnya dikonsumsi dengan diolah terlebih dahulu menjadi ikan
asin. Karena dagingnya tidak terlalu banyak, masyarakat biasa mengonsumsinya
dengan digoreng kering lalu dikonsumis bersama tulangnya karena tulangnya
menjadi renyah (Bahar 2004). Ikan pepetek memiliki 176 kkal energi, 32 g
protein, dan 4,4 g lemak dalam 100 g berat ikan (Irianto dan Soesilo 2010).
2. Protein ikan dan Asam Amino
Protein merupakan senyawa yang mengandung berbagai asam amino
membentuk rantai panjang dengan ikatan peptida. Senyawa protein merupakan
konstituen pengisi jaringan otot ikan yang paling penting. Ikan mengandung
protein 18-22% per 100 gram daging ikan yang dapat dimakan (Peterson dan
Johnson 1987). Protein ikan menurut jenisnya dapat digolongkan menjadi tiga
jenis yaitu protein sarkoplasma, miofibril, dan stroma. Komposisi protein ikan
tersebut berbeda menurut jenis dan spesiesnya (Fennema 1976).
Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging ikan
dan bersifat dalam larut garam (Hall dan Ahmad 1992). Kadar protein miofibril
pada otot ikan berkisar antara 75% sampai 85% dari total protein otot ikan
(Govindan 1985). Protein miofibril pada otot ikan mengandung miosin, aktin,
aktomiosin, dan tropomiosin. Miosin merupakan komponen miofibril yang
mampu mnegalami denaturasi dan agregasi. Proses denaturasi akan menghasilkan
molekul-molekul gel dari miosin dengan sifat elastis yang akan tergabung akibat
adanya proses agregasi (Wong 1989).
Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut dalam air dan secara
normal ditemukan di dalam plasma sel, yaitu protein tersebut berperan sebagai
enzim yang diperlukan untuk proses metabolisme anaerob sel otot. Kandungan
protein sarkoplasma lebih banyak pada ikan pelagis dibanding dengan ikan
demersal. Bagian otot gelap spesies ikan tertentu mengandung sedikit protein
sarkoplasma daripada otot putihnya (Suzuki dalam Shahidi dan Botta 1994).
Protein stroma merupakan protein yang membentuk jaringan ikat. Komponen
penyusun protein ini adalah kolagen dan elastin. Protein ikan menurut sifat
kelarutannya dapat digolongkan menjadi tiga kelas yaitu protein mioplastik,
protein miofibril dan protein miostroma (Okuzumi dan Fujii 2000). Protein
mioplastik pada otot ikan berkisar antara sepersepuluh sampai seperlima dari total
protein otot ikan.
Protein merupakan sumber makanan yang sangat penting bagi tubuh
karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh sekaligus sebagai zat
pembangun dan zat pengatur. Protein juga digunakan sebagai sumber nutrien
dalam pertumbuhan bakteri. Hal ini karena protein mengandung sumber C, H, O,
N, S, dan P yang merupakan elemen penting dalam kebutuhan nutrisi
pertumbuhan bakteri (Todar 2005). Molekul protein akan mengendap karena
terdenaturasi, namun denaturasi belum tentu menyebabkan koagulasi bisa saja
hanya menyebabkan flokuasi yaitu protein mengendap lalu kembali pada keadaan
semula (Syacherie et al. 1995 dalam Rachman 2003). Protein akan mengalami
kondisi isoelektrik ketika muatan gugus amino dan karbonil saling mentralkan
yang mnyebakan molekul-molekul protein bermuatan netral.
Asam amino merupakan senyawa penyusun protein yang membentuk sel
tubuh manusia dan hewan. Asam amino dibagi dalam dua kelompok utama yaitu
asam amino esensial dan asam amino non esensial. Asam amino esensial tidak
dapat diproduksi diproduksi oleh tubuh sehingga harus disuplai lewat maknaan,
sedangkan asam amino non esensial dapat diproduksi di dalam tubuh. Berbagai
jenis asam amino menyatu dalam ikatan peptida untuk menghasilkan protein.
Beberapa fungsi asam amino esensial dan non esensial yang dibutuhkan oleh
manusia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Beberapa fungsi asam amino esensial dan non esensial
Asam Amino Fungsi1. Esensial
Histidin Prekusor histamin, penting untuk pertumbuhan fisik dan mental sempurna serta menanggulangi penyakit rematik.
Isoleusin Pertumbuhan bayi dan keseimbangan nitrogen bagi orang dewasa.
Leusin Merangsang pembentukan insulin yang berlebihan oleh pankreas.
Lisin Untuk crosslinking protein dalam biosintesis karnitin dan menyembuhkan penyakit herpes kelamin.
Metionin Produksi sulfur, menjaga kenormalan metabolisme, sebgai antioksidan dan merangsang serotinin sehingga dapat menghilangkan kantuk.
Arginin Terlibat dalam sintesis urea di hati dan memperlancar peredaran darah.
Phenilalanin Untuk prekusor tirosin, katekolamin dan melanin.Treonin Menyumbangkan nitrogen.Triptofan Prekursor nikotinamin dan produksi serotinin pada otak.Valin Pada penyakit anemia, menggantikan posisi asam
glutamat dalam hemoglobin.2. Non esensial
Alanin Prekursor glukogenik, pembawa N dari jaringan ke permukaan untuk ekskresi N.
Aspartat Biosintesis urea, prekursor glukogenik, dan prekursor pirimidin.
Sistein Sebagai prekursor taurin (misalnya proses kunjugasi asam empedu).
Glutamat Produksi antara-dalam reaksi interkonversi asam amino, prekursor prolin, ornitin, arginin, poliamin, neurotransmiter α-amino butirat (GABA), sumber NH3.
Glisin Prekursor dalam proses biosintesis purin dan neurotransmiter.
Serin Komponen fosfolipid, prekursor sfingolipid, prekursor etanolamin dan kholin.
Tirosin Prekursor katekolamin dan melanin.Prolin Pembentukan kolagen dan penyerapan zat-zat gizi bagi
tubuh.Glutamin Donor kelompok amino yntuk berbagai reaksi non asam
amino pembawa N.Sumber: Lender (1992)
Asam amino dalam protein tersedia dengan jumlah dan proporsi yang
diperlukan untuk memenuhi persyaratan minimun seseorang, dapat menghasilkan
energi untuk bekerja optimum walaupun pemasukannya rendah.
3. Pepton
Dufosse et al. (2001) menyatakan pepton ikan adalah suatu produk
turunan atau derivat dari hidrolisat protein yang larut dalam air dan tidak
mengalami proses koagulasi pada air panas. Pepton ikan ini merupakan produk
yang sangat memiliki nilai ekonomis penting pada industri perikanan, karena
memiliki harga pasar yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan produk
sampingan lainnya seperti silase ikan dan tepung ikan.
Hidrolisat protein ikan dibuat dengan mencerna ikan menggunakan enzim
proteolitik, seperti papain, ficin, tripsin, pankreatin, pronase atau enzim yang
diisolasi dari mikroorganisme proteolitik pada temperatur dan pH optimum yang
dibutuhkan oleh enzim. Hidrolisat disentrifuse untuk menghilangkan sisik dan
tulang lalu dikeringkan untuk membuat bubuk protein. Peptida pada hidrolisat
ikan memiliki peran fungsional. Aktivitas biopeptida tergantung pada bahan
mentah dan kondisi hidrolisis (Venugopal 2006).
Enzim proteolitik ditapis untuk menghidrolisis protein ikan. Pancreaten,
papain, dan pepsin cocok untuk proses ini. Studi mengenai pencernaan protein
menyatakan bahwa penggunaan papain pada pH 7,0 memberikan kelarutan
maksimum pada beberapa jam pertama. Suhu 40 °C lebih dianjurkan untuk dapat
memperoleh peptida yang lebih panjang pada saat pencernaan protein. Hidrolisat
protein dari ikan berlemak memberikan produk dengan kandungan lemak yang
signifikan. Bubuk yang berasal dari ikan berlemak rendah, umumnya memiliki
kandungan protein sebesar 92%, lemak sebesar 1,7%, dan abu sebesar 6,4%.
Proses pembuatan hidrolisat protein ikan dari hasil tangkapan samping, dengan
perlakuan enzim papain pada suhu hidrolisat sebesar 55 °C selama 2 jam
menghasilkan bubuk hidrolisat protein dengan kandungan protein sebanyak 90%
(Venugopal 2006).
Satu dari beberapa penggunaan potensial enzim untuk modifikasi dan
peningkatan protein adalah dengan mengontrol proses hidrolisis. Berbagai produk
dengan nilai jual tinggi dapat dihasilkan dari ikan berlemak tinggi dan ika
berlemak rendah. Produk dari ikan berlemak rendah umumnya disebut konsentrat
‘tipe A’ yang mengandung paling sedikit 67,5% protein kasar (basis kering), dan
tidak mengandung lebih dari 0,75% lemak. Produk tipe ini biasanya tidak
berwarna, tawar, dan tidak berbau. Konsentrat yang dihasilkan dari ikan berlemak
tinggi menghasilkan produk ‘tipe B’ dengan kandungan lemak lebih dari 10% dan
masih memiliki aroma ikan yang jelas (Shahidi dan Botta 1994).
4. Protease Papain
Protease merupakan enzim proteolitik yang bekerja memecah protein
menjadi asam amino dan polipeptida. Protease bekerja mengkatalis reaksi
pemutusan ikatan protein, sehingga reaksi dapat berjalan dengan cepat. Katalisator
adalah zat yang mempercepat reaksi kimia. Katalis mengalami perubahan secara
fisik selama reaksi tetapi tetap kembali ke kedudukan semula setelah reaksi
berakhir. Enzim adalah katalisator protein untuk reaksi kimia dalam sistem
biologis ( Rodwell et al. 1985). Protease merupakan enzim yang berperan dalam
reaksi yang melibatkan pemecahan/pembentukan protein. Enzim ini dalam
mekanisme kerjanya membutuhkan air dan tergolong dalam kelas hidrolase.
Protease digolongkan menjadi peptidase (eksopeptidase) dan proteinase
(endopeptidase). Istilah peptidase ditujukan untuk protease pemecah peptida,
sedangkan proteinase ditujukan untuk protease pemecah protein (Suhartono
1989).
Papain merupakan salah satu enzim pemecah protein dari tanaman pepaya
yang relatif mudah diperoleh. Apabila dibandingkan dengan enzim proteolitik
lainnya, papain relatif tahan terhadap panas. Untuk aktivitasnya, enzim papain
memerlukan suhu optimum 60-75 °C dan pH optimum 4,5-7. Penggunaan papain
sampai saat ini masih terbatas pada beberapa industri terutama industri makanan.
Di Indonesia, papain banyak digunakan sebagai pengempuk daging dan penjernih
pada industri bir (Suhartono 1989).
Protease dapat digolongkan menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsi dan
karakteristiknya dan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kelas enzim protease
Kelas protease ContohSerin protease Tripsin, kimotripsin, elastase,
subtilins, proteinaseAspartik protease Pepsin, Renin, Microbial aspartic
proteaseSistein protease Papain,fisin, bromelinMetalloprotease Kolagenase, Themiosin
Sumber: Walsh (2002)
Papain adalah enzim yang telah digunakan secara komersial dalanm
industri pangan. Enzim yang digunakan secara komersial dalam industri pangan
harus memiliki sifat-sifat, yaitu biaya produksi enzim harus lebih kecil dari pada
nilai tambah produk yang dihasilkan, enzim harus cukup aktif secara optimum
pada kisaran pH, temperatur, dan konsentrasi substrat yang umum diperlukan
dalam industri pangan , enzim haru s aman (Muchtadi et al. 1992).
Papain juga banyak dipakai pada proses hidrolisis protein menggantikan
proses-proses kimiawi. Industri pepton dan asam amino banyak memanfaatkan
enzim ini. Papain juga digunakan sebagai bahan penghancur sisa limbah industri
pengalengan ikan menjadi bubur ikan atau konsentrat protein hewani. Bubur ikan
atau konsentrat protein ini digunakan sebagai bahan pakan ternak lemak, ikan,
atau diolah menjadi kecap. Papain juga dapat digunakan pada proses pengolahan
bungkil kacang-kacangan mendaki konsentrat protein nabati (Muhidin 2000).
5. Hidrolisis Protein
Asam amino merupakan monomer yang menyusun polimer-polimer pada
prtein. Asam amino dapat mengalami proses hidrilisis yang menghasilkan
hidrolisat protein. Hidrolisat protein didefinisikan sebagai protein yang
mengalami degradasi hidrolitik dengan asam atau basa kuat dengan hasil akhir
berupa campuran beberapa hasil. Fungsi hidrolisat protein dapat sebagai penyedap
atau sebagai intermedia tes untuk isolasi dan memperoleh asam amino secara
individu atau dapat pula untuk pengobatan yaitu sebagai diet untuk penderita
pencernaan. Ikatan peptida yang membangun rantai polipeptida dalam protein
dapat diputus (dihidrolisis) menggunakan asam, basa atau enzim pemecahan
ikatan peptida dalam kondisi asam atau basa kuat merupakan proses hidrolisis
kimia dan pemecahan ikatan peptida menggunakan enzim merupakan proses
hidrolisis biokimia reaksi hidrolisis peptida akan menghasilkan produk reaksi
yang berupa satu molekul dengan gugus karboksil dan molekul lainnya memiliki
gugus amina (Juniarso et al. 2007).
Pada umumnya asam amino diperoleh sebagai hasil hidrolisis protein, baik
menggunakan enzim maupun asam. Dengan cara ini diperoleh campuran
bermacam-macam asam amino dan untuk menentukan jenis asam amino maupun
kuantitas masing-masing asam amino perlu diadakan pemisahan antar asam amino
tersebut. Ada beberapa metode analisis asam amino, misalnya metode gravimetri,
kalorimetri, mikrobiologi, kromatografi, dan elektroforesis. Salah satu metode
yang banyak memperoleh pengembangan adalah metode kromatografi. Macam-
macam kromatografi adalah kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, dan
kromatografi penukar ion (Poedjiadi 1994).
6. Pertumbuhan Bakteri
Pertumbuhan adalah penambahan secara teratur semua komponen sel
suatu jasad. Pembelahan sel adalah hasil dari pembelahan sel. Pada jasad bersel
tunggal (uniseluler), pembelahan atau perbanyakan sel merupakan pertambahan
jumlah individu. Misalnya pembelahan sel pada bakteri akan menghasilkan
pertambahan jumlah sel bakteri itu sendiri. Pada jasad bersel banyak
(multiseluler), pembelahan sel tidak menghasilkan pertambahan jumlah
individunya, tetapi hanya merupakan pembentukan jaringan atau bertambah besar
jasadnya. Dalam membahas pertumbuhan mikrobia harus dibedakan antara
pertumbuhan masing-masing individu sel dan pertumbuhan kelompok sel atau
pertumbuhan populasi (Pelczar dan Chan 2008).
Suatu bakteri yang dimasukkan ke dalam medium baru yang sesuai akan
tumbuh memperbanyak diri. Jika pada waktu-waktu tertentu jumlah bakteri
dihitung dan dibuat grafik hubungan antara jumlah bakteri dengan waktu maka
akan diperoleh suatu grafik atau kurva pertumbuhan. Pertumbuhan populasi
mikrobia dibedakan menjadi dua yaitu biakan sistem tertutup (batch culture) dan
biakan sistem terbuka (continous culture) (Fardiaz 1992).
Pada biakan sistem tertutup, pengamatan jumlah sel dalam waktu yang
cukup lama akan memberikan gambaran berdasarkan kurva pertumbuhan bahwa
terdapat fase-fase pertumbuhan. Fase pertumbuhan dimulai pada fase permulaan,
fase pertumbuhan yang dipercepat, fase pertumbuhan logaritma (eksponensial),
fase pertumbuhan yang mulai dihambat, fase stasioner maksimum, fase kematian
dipercepat, dan fase kematian logaritma (Volk dan Wheeler 1988).
Pada fase permulaan, bakteri baru menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang baru, sehingga sel belum membelah diri. Sel mikroba mulai membelah diri
pada fase pertumbuhan yang dipercepat, tetapi waktu generasinya masih panjang.
Fase permulaan sampai fase pertumbuhan dipercepat sering disebut lag phase.
Kecepatan sel membelah diri paling cepat terdapat pada fase pertumbuhan
logaritma atau pertumbuhan eksponensial, dengan waktu generasi pendek dan
konstan. Selama fase logaritma, metabolisme sel paling aktif, sintesis bahan sel
sangat cepat dengan jumlah konstan sampai nutrien habis atau terjadinya
penimbunan hasil metabolisme yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan.
Selanjutnya pada fase pertumbuhan yang mulai terhambat, kecepatan pembelahan
sel berkurang dan jumlah sel yang mati mulai bertambah. Pada fase stasioner
maksimum jumlah sel yang mati semakin meningkat sampai terjadi jumlah sel
hidup hasil pembelahan sama dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah sel
hidup konstan, seolah-olah tidak terjadi pertumbuhan (pertumbuhan nol). Pada
fase kematian yang dipercepat kecepatan kematian sel terus meningkat sedang
kecepatan pembelahan sel nol, sampai pada fase kematian logaritma maka
kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga jumlah sel hidup menurun
dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian penurunan jumlah sel hidup
tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu sel mikroba akan tetap
bertahan sangat lama dalam medium tersebut (Pelczar dan Chan 2008).
Gambar 2 Grafik pertumbuhan mikroba dalam biakan sistem tertutup
(batch culture).
Pada biakan sistem terbuka dalam kemostat, sel dapat dipertahankan terus
menerus pada fase pertumbuhan eksponensial atau fase pertumbuhan logaritma.
Continuous culture mempunyai ciri ukuran populasi dan kecepatan pertumbuhan
dapat diatur pada nilai konstan menggunakan khemostat. Untuk mengatur proses
di dalam khemostat, diatur kecepatan aliran medium dan kadar substrat (nutrien
pembatas). Sebagai nutrien pembatas dapat menggunakan sumber C (karbon),
sumber N atau faktor tumbuh (Volk dan Wheeler 1988).
Pada sistem terbuka ini, ada aliran keluar untuk mempertahankan volume
biakan dalam khemostat sehingga tetap konstan (misal V ml). Jika aliran masuk
ke dalam tabung biakan adalah W ml/jam, maka kecepatan pengenceran kultur
adalah D = W/V per jam. D disebut sebagai kecepatan pengenceran (dilution rate).
Populasi sel dalam tabung biakan dipengaruhi oleh peningkatan populasi sebagai
hasil pertumbuhan dan pengenceran kadar sel sebagai akibat penambahan medium
baru dan pelimpahan aliran keluar tabung biakan. Kecepatan pertumbuhannya
dirumuskan sebagai berikut:
dX/dt = μ X – DX = (μ - D) X.
Pada keadaan mantap (steady state), maka μ = D, sehingga dX/dt = 0.
Dengan sistem terbuka ini sel seolah-olah dibuat dalam keadaan setengah
kelaparan, dengan nutrien pembatas. Kadar nutrien yang rendah menyebabkan
kecepatan pertumbuhan berbanding lurus dengan kadar nutrien atau substrat
tersebut, sehingga kecepatan pertumbuhan adalah sebagai fungsi konsentrasi
nutrien, dengan persamaan:
μ = μmax S / (Ks + S)
Keterangan:
μmax : kecepatan pertumbuhan pada keadaan nutrien berlebihan
S : konstanta nutrien
Ks : konstanta pada konsentrasi nutrien saat μ = ½ μmax.
H. METODE PELAKSANAAN
1. Alat dan Bahan
Bahan baku utama yang digunakan dalam pengolahan pepton ini adalah ikan
pepetek (Leiognathus equulus), dan enzim papain. Bahan untuk uji pertumbuhan
bakteri adalah yeast extract, NaCl, Nutrient broth, Nutrient agar, alkohol dan
biakan bakteri (Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus). Bahan untuk
analisis lain yaitu kjeltab, H2S04 pekat, Akuades, NaOH 40 %, H3BO4 4% yang
mengandung indikator (BCgMM), HCl (total nitrogen, protein, dan nilai
NTT/NTB); dan heksana (kadar lemak).
Alat-alat yang digunakan dalam pengolahan pepton antara lain pisau,
talenan, baskom, timbangan, oven, bejana (untuk menghidrolisis), nilon berukuran
200, 300, 375 mesh, shaker bath, pengaduk, termometer, erlenmeyer, toples kaca,
hot plate (untuk inaktivasi enzim), lemari es (untuk penyimpanan dingin), spray
dryer. Alat untuk uji pertumbuhan bakteri antara lain inkubator, bunsen,
spektrofotometer, pipet volumetrik, erlenmeyer, jarum ose, tabung reaksi, dan
autoklaf. Alat lain yang digunakan adalah destilator, labu ukur, destruktor, labu
kjedhal (uji total nitrogen, protein, dan nilai NTT/NTB, soxhlet, kertas saring
bebas lemak, kapas, dan tanur (uji kadar lemak).
2. Metode Penelitian
Analisis proksimat ikan selar dilakukan di awal penelitian untuk mengetahui
komposisi kimia ikan selar. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, tahap
pertama merupakan penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui waktu
hidrolisis optimum bagi pepton ikan selar kuning dengan menggunakan perlakuan
waktu hidrolisis (4, 6, 8, dan 10 jam). Tahap kedua merupakan penelitian utama
bertujuan untuk menentukan pepton terbaik dengan memberi perlakuan
penyaringan menggunakan nilon mesh (200, 300, dan 375 mesh) dan lama
penyimpanan dingin (1, 2, dan 3 hari) dengan melakukan uji kimia, fisika, sensori,
dan mikrobiologi. Selanjutnya adalah membandingkan hasil penelitian utama
pembuatan pepton ikan pepetek dengan pepton ikan selar yang diteliti oleh
Wijayanti (2009) serta pepton ikan gulamah.
Kemampuan enzim papain dalam menghidrolisis daging ikan dapat diketahui
dengan melakukan uji kandungan total nitrogen terlarut (NTT), kemudian
dibandingkan dengan total nitrogen bahan (NTB), sehingga diperoleh nilai
nitrogen total terlarut/nitrogen total bahan NTT/NTB). Nilai kecepatan hidrolisis
dipengaruhi oleh konsentrasi enzim, suhu, dan waktu hidrolisis. Penelitian Saputra
(2008) yang menggunakan bahan baku ikan selar kuning diperoleh hasil bahwa
konsentrasi enzim optimum adalah 0,2 %, suhu hidrolisis optimum adalah 60°C,
sedangkan pada penentuan waktu hidrolisis diketahui bahwa nilai NTT/NTB yang
dihasilkan terus meningkat dengan semakin lamanya waktu hidrolisis, sehingga
pada penelitian tahap pertama ini dilakukan penentuan waktu hidrolisis dengan
waktu yang lebih lama untuk mengetahui waktu hidrolisis yang paling optimum.
Penelitian tahap pertama bertujuan menentukan waktu hidrolisis optimum
pada pembuatan pepton, diberikan perlakuan waktu hidrolisis selama 4, 6, 8, dan
10 jam. Proses pembuatan pepton diawali dengan pencucian dan penyiangan ikan
dengan memisahkan bagian kepala dan jeroan, kemudian badan ikan yang terdiri
dari daging dan tulang melalui proses pengecilan ukuran menggunakan pisau.
Ikan yang telah dicacah ditambahkan akuades dengan perbandingan 2:1 (2 bagian
air dicampur dengan 1 bagian ikan). Campuran ikan dan akuades dimasukkan ke
dalam bejana kemudian diaduk sampai tercampur rata (homogen).
Campuran ikan dan akuades kemudian ditambahkan enzim papain sebanyak
0,2 % dari volume keseluruhan ikan dan akuades. Larutan kemudian diaduk
selama 15 menit, lalu erlenmeyer dimasukkan dalam shaker bath dengan suhu
60°C selama 4, 6, 8, dan 10 jam. Inaktivasi enzim perlu dilakukan setelah proses
hidrolisis selesai, hal ini bertujuan untuk menghentikan aktivitas enzim pada saat
proses hidrolisis. Inaktivasi enzim dilakukan dengan memberikan perlakuan
panas, yaitu mengatur suhunya sampai 85°C selama 15 menit. Sampel yang
dihasilkan kemudian disaring dengan nilon mesh berukuran 200 mesh. Hasil
penyaringan selanjutnya disimpan pada suhu 4 °C selama 24 jam. Hal ini
bertujuan untuk memisahkan lemak dengan air agar pepton yang dihasilkan
bermutu baik dan memiliki daya simpan yang lama. Pemisahan lemak dilakukan
dengan cara mengambil lemak yang mengapung di atas cairan secara hati-hati.
Setiap sampel yang telah dilakukan proses pembuangan lemak, untuk selanjutnya
dilakukan uji total nitrogen terlarut. Kandungan nitrogen terlarut kemudian
dibandingkan dengan total nitrogen yang terkandung dalam bahan sehingga
dihasilkan nilai NTT/NTB.
Penelitian tahap kedua merupakan penelitian utama yang bertujuan untuk
menentukan pepton terbaik dengan perlakuan penyaringan menggunakan nilon
mesh (200, 300, dan 375 mesh) dan lama penyimpanan dingin (1, 2, dan 3 hari).
Perlakuan penyaringan dan lama penyimpanan digunakan sebagai pengganti
proses sentrifugasi dalam pembuatan pepton, tujuan sentrifugasi adalah untuk
memisahkan filtrat dan padatan (dalam penelitian digantikan dengan perlakuan
penyaringan), selain itu sentrifugasi juga bertujuan untuk memisahkan partikel-
partikel yang memiliki bobot molekul yang berbeda sehingga lemak dan peptida
yang tercampur di dalm filtrat dapat dipisahkan (digantikan dengan perlakuan
lama penyimpanan).
Proses penyaringan dilakukan setelah proses inaktivasi enzim selesai. Hasil
hidrolisis disaring menggunakan nilon mesh dan ditampung dalam bejana
sehingga padatan berupa tulang dan daging tidak ikut tercampur dengan filtrat.
Filtrat hasil penyaringan diberi perlakuan penyimpanan pada suhu 4°C selama 1
hari kemudian endapan lemak pada permukaan filtrat dipisahkan dengan
menggunakan sendok, selanjutnya penyimpanan dilakukan kembali selama 24
jam dan dilakukan pemisahan lemak kembali. Filtrat yang telah disimpan selama
1 hari, 2 hari, dan 3 hari kemudian dikeringkan menggunakan pengering semprot
(spray dryer) sehingga produk akhir pepton berbentuk bubuk. Pengujian kualitas
pepton dilakukan dengan melakukan uji kimia (NTT/NTB dan kadar lemak),
fisika (derajat putih, rendemen), sensori (uji perbandingan pasangan), dan
mikrobiologi (optical density). Analisis ragam dilakukan untuk menentukan
pepton terbaik dari semua perlakuan.
3. Prosedur Analisis
3.1 Analisis Proksimat
Analisis proksimat yang dilakukan terhadap daging ikan pepetek meliputi uji
kadar air dan uji kadar abu dengan metode oven, uji kadar lemak menggunakan
metode sokhlet dan uji kadar protein menggunakan metode kjeldahl.
1) Analisis Kadar Air
Penentuan kadar air didasarkan berat contoh sebelum dan sesudah
dikeringkan. Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama 30 menit pada
suhu 105 oC, lalu didinginkan di dalam desikator selama 15 menit kemudian
ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam cawan lalu
dikeringkan di dalam oven pada suhu 100-102 oC selama 6 jam dan kemudian
cawan didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan selanjutnya ditimbang
kembali. Kadar air ditentukan dengan rumus:
(%) Kadar air = B−CB−A
x 100%
Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan dengan daging ikan (gram)
C = Berat cawan dengan daging ikan setelah
dikeringkan (gram).
2) Analisis Kadar abu
Cawan dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan
suhu 105 oC, lalu didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang. Sampel
sebanyak 1-2 gram ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan dan kemudian
dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap lagi dan selanjutnya
dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC). Cawan didinginkan di dalam
desikator lalu ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus:
Kadar abu (%) = berat abu
berat sampel x 100 %
3) Analisis Kadar protein
Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar
(crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis
protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.
a) Tahap destruksi
Daging lintah ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam
tabung kjeltec. Satu butir selenium dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan
ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke
dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi
dilakukan sampai larutan menjadi bening.
b) Tahap destilasi
Destilasi terdiri dari 2 tahap, yaitu persiapan dan sampel. Tahap persiapan
dilakukan dengan membuka kran air kemudian dilakukan pengecekan alkali dan
air dalam tanki, tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakkan pada
tempatnya. Tombol power pada kjeltec sistem ditekan lalu dilanjutkan dengan
menekan tombol steam dan tungku beberapa lama sampai air di dalam tabung
mendidih. Steam dimatikan, tabung kjeltec dan erlenmeyer dikeluarkan dari alat
kjeltec sistem.
Tahap sampel dilakukan dengan meletakkan tabung yang berisi daging lintah
laut yang sudah didestruksi ke dalam kjeltec sistem berserta erlenmeyer yang
diberi asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer
yang berisi asam borat mencapai 200 ml.
c) Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan pada
erlenmeyer berubah warna menjadi pink.
Perhitungan kadar protein pada daging lintah laut :
% Nitrogen = (ml HCl sampel – ml HCl blanko) x0,1 N HCl x 14 x100 %
mg daginglintah laut
% Kadar Protein = % Nitrogen x faktor konversi
4) Analisis Kadar lemak
Daging ikan seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan
dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu
lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan
tabung sokhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung
soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat
destilasi sokhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas
listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga
semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di
ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu
lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C, setelah
itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).
Perhitungan kadar lemak pada daging lintah:
% Kadar Lemak = W 3– W 2
W 1 x 100%
Keterangan : W1 = Berat sampel lintah (gram)
W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
5) Analisis Kadar karbohidrat
Kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan
dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak sehingga
kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangan. Hal ini karena karbohidrat
sangat berpengaruh kepada zat gizi lainnya. Kadar karbohidrat dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
Karbohidrat (%): 100 % - (% abu+ % air+ % lemak+% protein)
Rendemen Pepton Ikan Pepetek
Rendemen pepton ikan selar dihitung dari ikan selar basah yang melalui proses
penyaringan dan lama penyimpanan kemudian dikeringkan sehingga menjadi
bubuk.
Rendemen (%) = A/ B x 100%
Keterangan : A = berat pepton setelah dikeringkan ; B = berat ikan utuh
3.2 Analisis Derajat putih (Kett Whiteness Electric Laboratory 1981 diacu
dalam Tababaka 2004)
Sampel berupa tepung dimasukkan ke dalam cawan whiteness meter hingga
padat dan penuh. Kemudian cawan berisi sampel beserta cawan berisi standar
(dapat berupa white plate atau serbuk BaSO4) dimasukkan ke dalam sistem Kett
Whiteness Meter. Derajat putih diukur dengan membandingkan warna sampel
dengan warna kontrol. Nilai ini ditunjukkan oleh jarum penunjuk pada monitor.
3.3 Rendemen pepton ikan selar
Rendemen pepton ikan selar dihitung dari ikan selar basah yang melalui
proses penyaringan dan lama penyimpanan kemudian dikeringkan sehingga
menjadi bubuk.
Rendemen (%) : A/B x 100 %
Keterangan : A = berat pepton setelah dikeringkan (g) ; B = berat ikan utuh (g)
3.4 Uji sensori (Rahayu 2001)
Uji perbandingan pasangan adalah suatu uji skalar dengan menyajikan dua
sampel secara bersamaan atau berurutan. Pada uji perbandingan pasangan
ditanyakan kelebihan sampel yang satu dengan yang lainnya, kelebihan yang
dimaksud dapat berarti sampel yang diujikan lebih baik atau lebih buruk dan
seberapa jauh tingkat kelebihan tersebut, dalam hal ini pepton yang dihasilkan
pada penelitian dibandingkan dengan pepton ikan selar hasil penelitian Wijayanti
(2009).
3.5 Uji pertumbuhan mikroorganisme (modifikasi Poernomo 1997)
Pengujian kemampuan pepton sebagai sumber nitrogen dalam medium
pertumbuhan mikroorganisme dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis
mikroorganisme dengan karakteristik yang berbeda. Mikroorganisme yang
digunakan berasal dari isolat murni yang mewakili bakteri Gram postif dan Gram
negatif yaitu Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Bakteri sebelum
digunakan dilakukan penyegaran dulu pada media nutrient agar selama 24 jam,
kemudian dipindahkan ke nutrient broth selama 24 jam, sebelum bakteri
dipindahkan ke media pepton, nutrient broth diukur nilai absorbansinya sampai
0,6, apabila nilai absorbansinya telah mencapai lebih dari 0,6 maka bakteri telah
siap dipindahkan pada media pepton (Chateris et al. 2001). Medium pertumbuhan
dibuat dengan melarutkan ekstrak pepton sebanyak 1 g ditambahkan air hingga
100 ml sehingga konsentrasi protein dalam media diasumsikan sebanyak 1 %
(b/v). Bubuk pepton komersial digunakan sebagai media pembanding dalam
menguji kemampuan daya dukung pepton ikan pepetek. Masing-masing media
ditambahkan yeast extract sebanyak 0,50% dan NaCl 1%. Setelah itu medium
yang telah diatur pH-nya dengan menggunakan HCl atau NaOH terlebih dahulu
kemudian disterilisasi (untuk bakteri pH 7,00 ± 0,01). Inokulasi kultur mikroba
murni dilakukan dengan mengambil 1 ml kultur murni dan dimasukkan ke dalam
9 ml media yang telah diberi pepton, kemudian kultur yang telah dimasukkan ke
dalam media diinkubasi dalam suhu 37°C selama 24 jam. Pengamatan OD
(Optical Density) dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 600 nm dilakukan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan bakteri
setiap 2 jam sekali.
I. JADWAL KEGIATAN PROGRAM
Penelitian ini akan dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan
pada Tabel 3 , seperti dibawah ini :
Tabel 3 Rencana Jadwal Kegiatan Penelitian
URAIANBulan I Bulan II Bulan III
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 41. Persiapan fasilitas &
Peralatan
1. Pembuatan pepton ikan
2. Penghitungan rendemen
3. Analisis proksimat 4. Uji Derajat Putih, Uji
Sensori, dan Uji Pertumbuhan Mikroba
5. Pengumpulan hasil penelitian
6. Evaluasi kerja
7. Pembuatan laporan
J. RANCANGAN BIAYADaftar Rancangan biaya yang akan digunakan untuk menyediakan bahan
penelitian ini tercantum pada Tabel 4 berikut iniTabel 4 Biaya Bahan
No. Uraian Jumlah1. Ikan Pepetek Rp 30.0002. Akuades Rp 250.0003. Campuran selen Rp 150.0004. H2SO4 Rp 100.000 5. NaOH Rp 150.0006. HCl Rp 100.0007. Pelarut heksan Rp 100.0008. NaCl Rp 80.0009. Ethanol Rp 120.00010. Air Rp 35.00011. Nutrient Agar Rp 300.00012. H3BO3 Rp 195.00013. HCl Rp 195.00014. Enzim papain Rp 500.000
Total Rp 2.305.000Alat-alat yang digunakan dalam pengolahan pepton antara lain pisau,
talenan, baskom, timbangan, oven, bejana (untuk menghidrolisis), nilon berukuran
200, 300, 375 mesh, shaker bath, pengaduk, termometer, erlenmeyer, toples kaca,
hot plate (untuk inaktivasi enzim), lemari es (untuk penyimpanan dingin), spray
dryer. Alat untuk uji pertumbuhan bakteri antara lain inkubator, bunsen,
spektrofotometer, pipet volumetrik, erlenmeyer, jarum ose, tabung reaksi, dan
autoklaf. Alat lain yang digunakan adalah destilator, labu ukur, destruktor, labu
kjedhal (uji total nitrogen, protein, dan nilai NTT/NTB, soxhlet, kertas saring
bebas lemak, kapas, dan tanur (uji kadar lemak). Adapun rancangan biaya untuk
mempersiapkan alat penelitian tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5 Biaya Peralatan
N0 Uraian harga satuan jumlah biaya
1Penyewaan laboratorium 10 kali Rp. 150.000 Rp 1.500.000
2 Penyewaan alat- alat laboratorium - pisau 10 kali Rp. 5.000 Rp 50.000 - timbangan analitik 10 kali Rp. 50.000 Rp 500.000 - cawan porselen 10 kali Rp. 50.000 Rp 500.000
- jarum ose 10 kali Rp. 10.000 Rp 100.000 - termometer 2 kali Rp. 30.000 Rp 60.000 - desikator 2 kali Rp. 50.000 Rp 100.000 - tabung reaksi 10 kali Rp. 50.000 Rp 500.000 - gelas Erlenmeyer 10 kali Rp. 30.000 Rp 300.000 - tabung kjeldahl 2 kali Rp. 85.000 Rp 170.000 - tabung sokhlet 2 kali Rp. 75.000 Rp 150.000 - pemanas 2 kali Rp. 50.000 Rp 100.000 - destilator 2 kali Rp. 60.000 Rp 120.000
- Autoklaf 2 kali Rp.150.000 Rp 300.000 - buret 2 kali Rp. 70.000 Rp 140.000 - tanur 2 kali Rp. 50.000 Rp 100.000 - shaker bath 2 kali Rp. 50.000 Rp 100.000 - homogenizer 2 kali Rp. 50.000 Rp 100.000
- alat ekstraksi soxhlet
2 kali Rp. 40.000 Rp 80.000
- penangas air 2 kali Rp. 30.000 Rp 60.000 - kompor listrik 2 kali Rp. 30.000 Rp 60.000 - evaporator 2 kali Rp. 50.000 Rp 100.000 - labu takar 2 kali Rp. 25.000 Rp 50.000 - mortar 2 kali Rp. 35.000 Rp 70.000 - hot plate 2 kali Rp. 50.000 Rp 100.000 - inkubator 2 kali Rp. 50.000 Rp 100.000
- pipet volumetrik 10 kali Rp. 5.000 Rp 50.000
- Nilon berukuran 200,300, dan 750 mesh 2 kali Rp. 100.000 Rp 200.000
- oven 2 kali Rp. 20.000 Rp 40.000- spray Dryer 1 kali Rp. 100.000 Rp 100.000- spektrofotometer 1 kali Rp. 200.000 Rp 200.000
Total biaya Rp 6.100.000
Tabel 6 Biaya Lain-lain
No Produk Jumlah SatuanHarga satuan
(Rp)Total harga
(Rp)
1 Transportasi 200.000
2 Dokumentasi 100.000
3 Biaya Komunikasi 100.000
4 Laporan Penelitian 50.000
Total 450.000
Biaya Total = Biaya Peralatan + Biaya Bahan + Biaya lain - lain
= Rp 6.100.000 + Rp 2.305.000 + Rp 450.000 = Rp 8.855.000
K. DAFTAR PUSTAKA
Anglemier AF, Montegomery MW. 1976. Amino acid, peptides and protein. Di dalam: Fennema OR, editor. Principle of Food Science Part 1. New York: Marcel Dekker, Inc.
Bahar Burhan. 2004. Panduan Praktis Memilih dan Menangani Produk Perikanan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
[BPS]. 1998. Statistika Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik.
Djuhanda. 1981. Dunia Ikan. Bandung: Armico.
Dufosse L, Broise DDL, Guerard F. 2001. Evaluation of Nitrogenous Substrates Such as Peptones from Fish: A New Methode on Gompertz Modeling of Microbial Growth. J Microbiology. 42: 32-39.
Fardiaz. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: Gramedia.
Fennema OR. 1976. Principle of Food Science. New York: Deker Inc.
Govindan TK. 1995. Fish Processing Technology. New Delhi: Oxford and IBH PublisingCo. PVT, Lad.
Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and minced fish product. Di dalam:Hall GM, editor. Fish Processing Technology. New York: Blackie Academic and Professional.
Irianti HE, Soesilo Indroyono. 2010. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Juniarso ET, Safari A, Pamungkas RA. 2007. Pemanfaatan Limbah Ikan menjadi Ekstrak Kasar Protease dari Isi Perut Ikan Lemuru (Sardinella Sp.) untuk
Proses Deproteinisasi Limbah Udang secara Enzimatik menjadi Kitosan. Jember: Universitas Jember.
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Enzim dalam Industri Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor.
Muhidin D. 2000. Agroindustri Papain dan Pektin. Jakarta: Penebar Swadaya.
Nelson J.S. 1994. Fishes of the World. Third edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Okumi M dan Fujii T. 2000. Nutritionaland Functional of Properties on Squid and Cuttlefish. Tokyo: National Cooperation of Squid Processor.
Pelczar MJ, Chan. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI-Press.
Peterson MS, Jhonson AH. 1978. Encyclopedia of Food Science. Connection: AVI Publishing Company.
Poedjiadi A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia.
Poernomo A. 1997. The Utilization of Cowtail Ray Viscery. [PhD Thesis] Sidney: The University of New South Wales.
Praptono B. 2006. Produksi pepton ikan gulamah (Argyrosomus sp.) sebagai sumber nitrogen media pertumbuhan [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: Fakultas Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rodwell VW, Peter AM, Daryl KR, David MV. 1985. Biokimia (Harper’s Review of Biochemistry). Edisi ke-20. Darmawan I, penerjemah. Jakarta: EGC. Penerbit Buku Kedokteran. Terjemahan dari: Harper’s Review of Biochemistry.
Sarjono S. 1995. Hukum Dagang Laut bagi Indonesia. Jakarta: Simplex.
Shahidi F, Botta JR. 1994. Seafood Chemistry, Processing Tecnology and Quality. London: Blackie Academic & Professional.
Saputra D. 2008. Pembuatan pepton ikan selar ( Caranx leptolepis) hasil tangkap sampingan (HTS) pada kondisi post rigor dan busuk. [skripsi]. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.
Tababaka T. 2004. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.) sebagai bahan tambahan kerupuk [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Venugopal V. 2006. Seafood Processing. New York: CRC Press.
Volk W, Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Walsh G. 2002. Protein Biochemistry and Biotecnology. New York: John Wiley and Sons.
Wijayanti A. 2009. Kajian Penyaringan dan Lama Penyimpanan dalam Pembuatan Fish-Peptone dari Ikan Selar Kuning (Caranx leptolepis) [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.