Upload
dinhkhue
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Albertus Guntur Prabawanto
NIM : 069114046
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Albertus Guntur Prabawanto
NIM : 069114046
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
Hadapi, Jalani, dan Jangan Pernah Menyesali
Carpe Diem!
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
Untuk Semesta dan Jiwa-jiwa pemberani;
Dalam nama-Nya;
Kita bangkit dan tetap berkarya;
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung;
Bencana bukanlah akhir dari kebidupan ini, namun awal dari kehidupan baru;
Alfa dan Omega!!!
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010
Albertus Guntur Prabawanto
ABSTRAK
Bencana alam adalah sesuatu yang di luar kendali manusia. Setelah bencana terjadi,
manusia harus memilih untuk bangkit atau justru semakin terpuruk. Salah satu bencana alam yang
berdampak luas di Yogyakarta adalah erupsi gunung Merapi pada tahun 2010. Masyarakat sekitar
kehilangan harta benda, alam tempat tinggalnya, bahkan saudara. Pengalaman kehilangan dan
suasana traumatis yang terjadi ketika itu menuntut individu untuk bangkit pengalaman pahit
selama bencana dan sesudah bencana terjadi. Penelitian ini berusaha mengetahui resiliensi pada
penyintas erupsi Merapi 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah naratif. Pengumpulan
data dilakukan lewat wawancara semi terstruktur dengan subyek dua orang. Pemilihan subyek
dilakukan lewat dasar pengalaman selama erupsi. Subyek adalah wanita yang mana dalam
masyarakat Jawa menjadi subordinat dalam budaya patriarki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai-nilai kearifan lokal yang berpengaruh terhadap resiliensi wanita penyintas erupsi Merapi
2010 adalah nilai kebersamaan, nilai perjuangan, nilai ketaqwaan, dan nilai kepasrahan. Selain itu,
ditemukan adanya kecenderungan yang terarah pada Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) akibat
kejadian traumatis selama erupsi Merapi.
Kata kunci: Resiliensi, Erupsi Merapi 2010, Wanita Jawa, Kearifan Lokal, Posttraumatic Stress
Disorder
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
WOMEN RESILIENCE WHO SURVIVE ON
MERAPI ERUPTION 2010
Albertus Guntur Prabawanto
ABSTRACT
Natural disasters are something beyond human control. After a disaster occurred, people
must choose to rise or even worse off. One of the natural disasters that have broad impact in
Yogyakarta is Mount Merapi eruption in 2010. Communities around have loss of property, natural
place of residence, even brothers. An experience of losing and traumatic atmosphere that occurs,
require the individual to rise up from bitter experience during the disaster and after the disaster
occurred. This study sought to know the resilience of the victims of Merapi eruption 2010. The research method used is narrative. The data was collected through semi-structured interviews with
two subjects. Selection of subjects is based on the experience during eruption. Subjects were
women which in Java community became a subordinate in patriarchal culture. The results showed
that the values of local wisdom that affect the resilience of women victims of Merapi eruption in
2010 is the value of unity, the value of struggle, the value of devotion, and the value of surrender.
Else, there was found that directional tend to be Posttraumatic Syndrome Disorder (PTSD) due to
traumatic events during the eruption.
Key words: Resilience, Merapi Eruption 2010, Java’s Women, Local Wisdom, Posttraumatic Syndrome Disorder
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Tugas akhir ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tugas akhir yang
berbentuk skripsi ini dibuat atas kepedulian penulis terhadap kesehatan mental
pada survivors erupsi Merapi 2010, khususnya wanita.
Terdorong keinginan untuk melihat bagaimana resiliensi survivors wanita
erupsi Merapi 2010. Penelitian ini memberi perhatian kepada kaum wanitadan
memberikan tambahan pengetahuan dalam psikologi kesehatan guna bersama-
sama mengembangkan suatu proses trauma healing berbasis Kearifan Lokal.
Akhirnya peneliti memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada
semua pihak yang membantu berjalannya penelitian ini dan proses penulisannya.
Terima kasih penulis haturkan kepada :
1. Prof. Dr. A. Supratikya selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar
dan telaten membimbing saya dalam penulisan ini.
2. FX. Suwondo, Mardinah, Ch dan Sekar Ayu Ning Tyas yang selalu
mengingatkan untuk segera menyelesaikan kuliah.
3. Keluarga Besar Praptowiharjo yang selalu memberi dukungan untuk
menyelesaikan kuliah.
4. Veronika Dwi Laksmi yang crewetin saya untuk menyelesaikan
tulisan ini.
5. Sahabat Sanggar Anak Akar, teristimewa Ibe Karyanto yang tak henti-
hentinya mengingatkan untuk menulis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
6. Teman-teman Sekertariat Bersama Keistimewaan Yogyakarta,
terkhusus Widhihasto yang selalu menyindir dan memotivasi dalam
pengerjaan tulisan ini.
7. Teman-teman TRC dan SAR DIY yang memfasilitasi saya dalam
pengambilan data.
8. Komunitas Sarikraman, terutama Nazarius Sudaryono yang selalu
mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan kuliah.
9. Komunitas Al-Qodir, pimpinan Kyai Masrur yang memfasilitasi saya
untuk wawancara.
10. Teman-teman PT. Ayodya Bumi Lestari yang sudah memberi
kesempatan untuk ―libur‖ guna menyelesaikan tulisan ini.
11. Ucil 08 dan Timo yang menemani saya ngeprint.
12. Teman-teman Ex Seminari yang menemani saya minum bir dikala
penat.
13. Teman-teman Psi 06 yang bersama berjuang.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa pikiran selalu bergerak lebih cepat
dari tulisan yang menjadi jejaknya. Sehingga dapat dirasakan bahwa tulisan ini
selalu tidak sempurna jika dipikirkan lebih dalam lagi. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun tentunya akan sangat membantu untuk kepatutan karya
tulis ini. Terima Kasih.
Yogyakarta, 24 Juni 2013
Albertus Guntur Prabawanto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……............................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING............................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ………............................................................ iii
HALAMAN MOTTO.……..........……………….......................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN.. ….………….…......................................... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA. .................................. vi
ABSTRAK...................................................................................................... vii
ABSTRACT...................................................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…................ ix
KATA PENGANTAR..................................................................................... x
DAFTAR ISI................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL........................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvii
BAB I. PENGANTAR…............................................................................ 1
A. Latar Belakang …………........................................................ 1
B. Rumusan Masalah. .................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian..................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian................................................................... 9
1. Manfaat Teoritis................................................................ 9
2. Manfaat Praktis................................................................. 9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
BAB II. LANDASAN TEORI...................................................................... 10
A. Kajian Kepustakaan Tentang Erupsi Merapi 2010.................. 10
B. Resiliensi dalam Konteks Erupsi Merapi 2010
dan PTSD….............................................................................. 17
C. Kearifan Lokal Jawa Sebagai Modal Sosial
Meningkatkan Resiliensi.......................................................... 26
D. Wanita Jawa............................................................................. 30
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN….................................................. 33
A. Metode Naratif......................................................................... 33
B. Subyek Penelitian..................................................................... 35
C. Fokus Penelitian....................................................................... 36
D. Metode Pengumpulan Data..................................................... 37
1. Wawancara........................................................................ 37
2. Daftar Pertanyaan............................................................. 38
E. Metode Analisis Thematic Narrative....................................... 38
1. Pengumpulan Data............................................................. 39
2. Pengkodean (coding).......................................................... 39
3. Interpretasi dan Pembahasan.............................................. 40
BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISIS DATA,
DAN PEMBAHASAN................................................................... 41
A. Pelaksanaan Penelitian............................................................. 41
B. Analisis Data............................................................................ 44
1. Sebelum Erupsi (Beginning).............................................. 44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
2. Ketika Erupsi (Middle)...................................................... 46
3. Setelah Erupsi (End).......................................................... 48
C. Pembahasan.............................................................................. 55
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................... 69
A. Kesimpulan............................................................................... 69
B. Saran......................................................................................... 72
1. Bagi Keluarga dan Masyarakat......................................... 72
2. Bagi LSM dan Pemerintah................................................ 73
3. Bagi Peneliti dengan Subyek Survivors............................. 74
DAFTAR PUSTAKA…................................................................................... 75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Data Korban Jiwa dan Pengungsi Erupsi Gunung Merapi 2010
di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah........................... 12
Tabel 2. Jumlah Rumah Rusak Berat Akibat Erupsi
Gunung Merapi 2010…………………...................................... 15
Tabel 3. Nilai-nilai yang Berkembang di Kabupaten Sleman.................... 29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Grafik Fluktuasi Total Pengungsi Bencana Gunung Merapi....... 13
Gambar 2. Sebaran Dampak Bencana Erupsi Merapi 2010.......................... 14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Coding Wawancara Ibu Pur....................................................... 78
Lampiran 2. Kategorisasi Tema Ibu Pur......................................................... 87
Lampiran 3. Coding Wawancara Ibu Mur...................................................... 90
Lampiran 4. Kategorisasi Tema Ibu Mur........................................................ 98
Lampiran 5. Persamaan dan Perbedaan Pengalaman antara Ibu Pur
dengan Ibu Mur........................................................................... 101
Lampiran 6. Pembagian Tema secara Kronologis...........................................103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Belum hilang ‗trauma‘ Gempa 27 Mei 2006, bumi Yogyakarta
kembali dilanda bencana. Pada tahun 2010 terjadi bencana alam erupsi
Merapi. Gunung Merapi sendiri merupakan gunung api teraktif di dunia.
Dikatakan teraktif karena Gunung Merapi memiliki periode waktu erupsi
yang relatif singkat yaitu setiap 2-5 tahun sekali. Namun demikian, erupsi
yang terjadi pada tahun 2010 ini tercatat sebagai peristiwa erupsi Merapi
terbesar dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.
Erupsi Merapi 2010 mengakibatkan 386 jiwa korban meninggal dunia;
termasuk Mbah Maridjan (Juru Kunci Merapi). 227 jiwa meninggal di
Provinsi D.I Yogyakarta dan di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 109 jiwa
(Pusdalops, 2011). Selain korban jiwa, erupsi Merapi 2010 juga merusak
ratusan rumah (BNPB dan BAPPENAS, 2011), ribuan hektar sawah dan
kebun gagal panen serta ratusan hewan ternak mati.
Pada umumnya setiap bencana alam memiliki dampak yang sama,
yaitu menimbulkan kerusakan secara fisik, memakan korban jiwa,
menyisakan trauma, dan perubahan pola hidup pada korban selamat
(survivors) atau penyintas. Secara umum, trauma psikologis disebabkan oleh
suatu tekanan yang luar biasa sehingga si penyintas merasa menderita dan
tidak berdaya menghadapi situasi tersebut. Seperti pada kejadian erupsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Merapi 2010, para penyintas biasanya merasa tidak berdaya yang luar biasa
karena merasa tidak mampu menolong dirinya sendiri, menolong orang lain
(anak, saudara, suami, istri, orang tua) ataupun menyelamatkan harta
bendanya yang berharga sehingga mereka merasa ―menderita‖ yang sangat
kuat. Perasaan ―menderita‖ yang sangat kuat inilah yang menjadi indikasi
adanya trauma psikologis pada orang yang mengalaminya. Apabila keadaan
tersebut tidak teratasi dengan baik maka akan mengakibatkan munculnya
beberapa gangguan psikologis.
Faktor alam atau yang biasa disebut sebagai bencana (disaster) adalah
faktor yang dikategorikan sebagai penyebab tekanan yang luar biasa. Tekanan
luar biasa yang dimaksud bukan hanya sekadar peristiwa yang tidak
menguntungkan namun tekanan luar biasa dari peristiwa traumatis
disebabkan oleh adanya ancaman yang serius terhadap hidup atau integritas
diri (tubuh), atau bisa juga karena adanya pengalaman berhadapan langsung
dengan ancaman kehilangan dan kematian. Peristiwa-peristiwa traumatis
tersebut menghampiri manusia pada intensitas ekstrim sehingga menimbulkan
perasaan tidak berdaya dan terancam, akhirnya memunculkan perasaan takut
yang luar biasa (Sulastri, 2007). Dalam bahasa klinis, reaksi yang muncul
setelah peristiwa traumatis itu memiliki istilah Posttraumatic Stress Disorder
(PTSD) atau ‗stres pascatrauma‘ (Parkinson dalam Dewi, 2010).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi kehilangan secara
signifikan terkait dengan stres pascatrauma (Gist & Lubin, 1999). Trauma
mengacu pada pengalaman-pengalaman yang mengagetkan dan menyakitkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
yang melebihi situasi stres yang dialami manusia sehari-hari dalam kondisi
wajar (Sidabutar, Dharmawan, Poerwandari, & Nurhaya, 2003). Bencana
yang sifatnya tiba-tiba dan di luar kemampuan seseorang untuk
menghadapinya membuat pengalaman menjadi bersifat traumatis. Stres
pascatrauma adalah reaksi yang menyusul peristiwa traumatis. Terkadang
digunakan istilah stres pascabencana untuk merujuk pada stres pascatrauma
yang disebabkan oleh bencana. Menurut Parkinson (dalam Dewi, 2010), stres
pascatrauma sebenarnya adalah reaksi wajar seseorang setelah mengalami
peristiwa yang abnormal.
Pengalaman langsung terhadap tekanan yang luar biasa atau peristiwa
trauma tersebut akan mempengaruhi diri seseorang yang mengalaminya pada:
fungsi tubuh (fisiologis), emosi, kognisi bahkan juga dapat merubah karakter
atau kepribadian. Keadaan tersebut juga banyak dialami oleh penyintas dari
peristiwa erupsi Merapi 2010 yang lalu, ada cukup banyak yang pengalami
gangguan stres pascatrauma. Hal ini terjadi mungkin karena mereka melihat
sendiri kematian yang tidak wajar, kehilangan orang yang mereka cintai, dan
kehilangan semua harta bendanya. Peristiwa traumatis biasanya akan
memblokir sistem normal yang pada umumnya membuat orang memiliki
kendali minimal terhadap dirinya sendiri, memiliki hubungan dengan dunia di
sekitarnya dan memiliki arti (Williams & Poijula, 2002).
Reaksi psikologis setiap individu dalam menghadapi peristiwa
traumatis sangat bervariasi dan tergantung pada banyak faktor antara lain
karakteristik individu, lingkungan, pengalaman traumatis sebelumnya dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
apakah individu tersebut mengalami langsung atau tidak langsung peristiwa
tersebut. Karakteristik individu yang berpengaruh antara lain umur atau tahap
perkembangan, kemampuan kognitif, temperamen, status sosial dan
pengalaman trauma sebelumnya (Williams & Poijula, 2002).
Dalam setiap peristiwa bencana alam, anak dan wanita digolongkan
sebagai kelompok rentan. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa
anak sebagai mahluk yang tidak berdaya dan pasif. Begitu pula dengan
wanita, wanita juga digolongkan dalam kelompok rentan karena disadari atau
tidak kita hidup dalam budaya patriarki. Dalam masyarakat Jawa golongan
petani dan pedagang, wanita memiliki peran ganda. Selain berperan mengurus
rumah tangga (domestik), wanita juga berperan dalam mencari nafkah
(Handayani & Novianto, 2008). Berkaitan dengan peran ganda dan
penempatan wanita dalam budaya Jawa yang patriarkis, penelitian dengan
subjek wanita Jawa akan menjadi hal yang menarik.
Dalam perkembangan ilmu psikologi dewasa ini, banyak temuan
penelitian yang memberikan cara pandang baru dalam memahami peranan
dan kehidupan wanita. Banyak penelitian memperlihatkan betapa besar
peranan wanita sebagai entitas yang kuat, berdaya, dan memiliki jiwa yang
mandiri (Komnas Perempuan [KP], 2007), meskipun mereka berhadapan
dengan situasi kekerasan atau peristiwa traumatis lainnya. Dalam banyak
penelitian ditemukan pula bahwa kebanyakan wanita mampu bertahan
(survive) dari situasi sulit tanpa kesulitan yang berarti. Wanita-wanita ini
mungkin merasakan pula pengalaman yang tidak menyenangkan, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
membutuhkan energi yang besar untuk mengatasi kesulitan-kesulitan mereka,
namun mereka dapat bertahan. Keadaan seperti itu juga dapat kita temui
dalam masyarakat Jawa. Banyak ditemukan wanita Jawa justru dapat
bertindak lebih taktis dan lebih rasional dalam situasi yang penuh tekanan
terutama secara sosial (Handayani & Novianto, 2008). Mereka memiliki
kemampuan untuk melentur dan tidak hancur ketika situasi sulit menekan
hidup mereka (KP, 2007). Hal tersebut juga dapat kita temukan pada
peristiwa Erupsi Merapi 2010 silam.
Dalam bahasa konseptual, kemampuan untuk melentur dan tidak
hancur ketika situasi sulit disebut resiliensi. Ada banyak definisi mengenai
resiliensi, akan tetapi kebanyakan ahli mendefinisikan resiliensi sebagai
kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik setelah peristiwa
sulit (Bautista, Auretita, Myra dalam Dewi, 2010; Grotberg, 1995). Padanan
resiliensi yang umum dipakai di Indonesia adalah lentur. Dalam ilmu
psikologis daya lentur dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk
bangkit dan menjadi lebih baik setelah melewati kondisi sulit. Setelah
melewati peristiwa traumatis, hidup seseorang tidak akan pernah sama lagi
(Alexander dalam Dewi, 2010), mereka tidak mudah patah karena tekanan
dan dapat menyesuaikan dengan keadaan. Menyesuaikan dengan keadaan
adalah juga menyesuaikan diri terhadap peristiwa traumatis, yang menjadi
bagian dari dirinya tanpa membuatnya merasa terganggu disaat mengingat
ataupun menceritakannya atau sering disebut pulih (Sidabutar dkk., 2003).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Setiap individu pada dasarnya memiliki dorongan untuk memenuhi
kebutuhan psikologisnya; untuk menjadi bagian dan selalu terhubung dengan
orang lain, memiliki perasaan mampu, aman dan memiliki makna (Bernard,
2004). Kebutuhan-kebutuhan ini membentuk kekuatan dalam diri manusia
dan meningkatkan resiliensi. Dengan begitu, resiliensi lebih menunjuk atribut
personal, namun lingkungan memiliki peran penting. Ada interaksi faktor
individu dan lingkungan yang mempengaruhi perkembangannya (Turner
dalam Sulastri, 2007). Faktor lingkungan yang mempengaruhi resiliensi
meliputi karakteristik budaya kelompok, keluarga, spiritualitas, dan
masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Sulastri (2007) mengenai
penyintas gempa bumi Yogyakarta 2006 menyimpulkan adanya hubungan
antara penyintas (survivors) dengan dunia sekitarnya atau kearifan lokal
(Sulastri, 2007).
Kearifan lokal yang dimaksud penulis dalam tulisan ini adalah
kearifan lokal masyarakat Jawa yang bertempat tinggal di seputar lereng
Gunung Merapi. Definisi kearifan lokal dalam penelitian ini adalah sistem
sosial yang dijalankan oleh masyarakat pada suatu tempat dalam kehidupan
mereka sehari-hari dan memiliki ciri khas tertentu. Untuk selanjutnya
kekhasan ini menonjol ketika dilihat oleh orang lain (Handayani & Novianto,
2008). Masyarakat Jawa dalam tulisan ini adalah masyarakat yang bahasa
ibunya adalah bahasa Jawa, yaitu bahasa yang dijumpai di pulau Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Orang Jawa yang masih menghidupi dan menjalankan nilai-nilai luhur
nenek moyangnya juga biasa dianggap masyarakat Jawa Kejawen. Orang
Jawa Kejawen tersebut memiliki kepercayaan bahwa manusia adalah jagad
cilik dan alam serta isinya adalah jagad gede. Orang Jawa Kejawen
mempunyai pandangan hidup bahwa pokok-pokok kehidupan sudah ada yang
mengaturnya. Oleh karena itu, Masyarakat Jawa Kejawen memiliki sikap
hidup bahwa selalu bersikap sabar dalam menanggung kesulitan-kesulitan
dalam hidupnya. Selain itu, Masyarakat Jawa Kejawen memiliki kepercayaan
terhadap bimbingan adikodrati dan bantuan dari nenek moyang atau Tuhan
dalam menghadapi suatu masalah termasuk dalam menghadapi suatu bencana
alam: erupsi Merapi.
Kearifan lokal inilah yang menjadi modal sosial yang meningkatkan
resiliensi pada diri wanita penyintas (suvivors) dalam menghadapi suatu
kesulitan-kesulitan pada peristiwa erupsi Merapi 2010 silam.
Berkaitan dengan kearifan lokal yang menjadi modal resiliensi dan
keberadaan wanita Jawa dalam strata sosial, maka penelitian mengenai
resiliensi wanita Jawa yang menjadi penyintas erupsi Merapi akan menjadi
hal yang menarik. Melalui kajian naratif, penulis akan mencoba mencatat
narasi mengenai peristiwa erupsi Merapi 2010 yang terekam pada ingatan
korban selamat (survivors) atau penyintas. Dalam upaya lebih lanjut, penulis
hendak melihat dan mengkaji tentang kearifan lokal serta pengaruhnya
terhadap resiliensi pada wanita penyintas. Oleh karena itu, untuk menggali
makna-makna yang muncul pada peristiwa tersebut maka penulis akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
melakukan wawancara dengan subyek. Selain itu, penulis akan menggunakan
bantuan dari berbagai literatur yang berkaitan dengan tema-tema yang muncul
dari hasil wawancara.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian naratif. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis
tematik yang dengan fleksibilitasnya akan memberikan kesempatan pada
keseluruhan tema ataupun sub-tema untuk saling dikaitkan dalam
penyempurnaan analisis (Braun, 2006). Penulis berharap bahwa hasil dari
penulisan ini akan bisa memberikan sumbangan dalam menemukan sistem
penanganan bencana yang baik dari sisi psikologis dan sesuai dengan kearifan
lokal yang berkembang dalam masyarakat korban. Hal tersebut juga dapat
kita temukan pada peristiwa Erupsi Merapi 2010 silam.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah kultur Jawa (kearifan lokal Jawa) yang dikembangkan
melalui pola interaksi sebagai modal sosial berpengaruh pada wanita Jawa
penyintas pada peristiwa erupsi Merapi 2010 sehingga lebih resilien?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk melihat peran kearifan lokal
Jawa dalam meningkatkan resiliensi para penyintas terutama Wanita pada
Erupsi Merapi 2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penulisan ini bisa memberikan sumbangan teoritis dalam
bidang psikologi, khususnya psikologi sosial mengenai resiliensi dan
kearifan lokal dalam kajian naratif.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber informasi
bagi masyarakat luas, sehingga masyarakat lebih bijaksana dan selalu
siap siaga dalam menghadapi bencana.
b. Bagi LSM dan Pemerintah
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber informasi
penanggulangan bencana yang baik sehingga bisa menekan jatuhnya
korban jiwa dan harta benda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Kepustakaan Tentang Erupsi Merapi 2010
Secara etimologis, bencana adalah gangguan yang menyebabkan dan
menimbulkan kesusakan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan
marabahaya. Kata bencana dalam bahasa Inggris sepadan dengan kata
disaster identik dengan sesuatu dan situasi yang negatif.Disaster berasal dari
Bahasa Yunani, disatro, dis berarti jelek dan astro yang berarti peristiwa
jatuhnya bintang-bintang ke bumi (BAPPENAS & BNPB, 2011).
Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non-alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (BAPPENAS &
BNPB, 2011).
Dampak umum bencana baik alam dan non-alam dari bencana
meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan
kehidupan dan hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari-
hari, kehilangan keluarga, gangguan dalam pelayanan umum, kerusakan
infrastruktur secara nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
penurunan ekonomi nasional, dampak sosiologis dan psikologis setelah
bencana terjadi.
Pada penelitian ini, penulis akan memfokuskan diri pada bencana
alam yaitu: Erupsi Merapi 2010. Definisi bencana alam dalam penelitian ini
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor (BAPPENAS &
BNPB, 2011).
Gunung Merapi merupakan bagian dari rangkaian 129 gunung berapi
aktif dari ring of fire yang memanjang dari kepulauan Sumatra, Jawa, hingga
Indonesia bagian timur dan memiliki ekosistem yang unik. Sebagai suatu
kawasan yang memiliki keunikan ekosistem maka kawasan Gunung Merapi
ditunjuk menjadi Taman Nasional pada tahun 2004 melalui Keputusan
Menteri Kehutanan SK Nomor 134/Menhut-II/2004 tanggal 04 Mei 2004.
Selain itu, Gunung Merapi adalah salah satu gunung teraktif di dunia
sehingga banyak peneliti gunung berapi dari berbagai Negara menjadikan
Gunung Merapi sebagai obyek penelitian mereka. Gunung Merapi termasuk
dalam tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter di atas permukaan laut.
Secara geografis terletak pada posisi 7° 32.5¹ Lintang Selatan dan 110° 26.5¹
Bujur Timur. Secara administratif Gunung Merapi terletak di perbatasan
antara Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Propinsi Jawa Tengah terbagi atas tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Boyolali
di sisi utara, Kabupaten Klaten di sisi Timur, dan Kabupaten Magelang di sisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Barat. Sedangkan untuk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu:
Kabupaten Sleman di sisi Selatan (BNPB dan BAPPENAS, 2011).
Pada tanggal 20 September 2010, status kegiatan Gunung Merapi
ditingkatkan dari Normal menjadi Waspada, dan selanjutnya ditingkatkan
kembali menjadi Siaga (Level III) pada 21 Oktober 2010. Sejak 25 Oktober
2010, pukul 06.00 WIB, status kegiatan Gunung Merapi ditingkatkan dari
―Siaga ― (Level III) menjadi ―Awas‖ (Level IV), dan pada 26 Oktober 2010
Gunung Merapi mengalami erupsi pertama dan berlanjut dengan erupsi
lanjutan sampai awal November 2010 (BNPB dan BAPPENAS, 2011).
Erupsi Merapi 2010 ini merupakan bencana terbesar dibandingkan
dengan bencana erupsi pada tahun 1994, 1997, 1998, 2001, dan 2006.
Berdasarkan data pusdalops BNPB pada tanggal 12 Desember 2010 data
korban erupsi Merapi yang meninggal dunia sebanyak 386 jiwa. Selain itu,
bencana tersebut mengakibatkan 15.366 jiwa mengungsi di titik-titik
pengungsian yang tersebar seluruh wilayah di D.I Yogyakarta dan Jawa
Tengah bahkan ada yang sampai mengungsi sampai luar kota (BNPB dan
BAPPENAS, 2011).
Tabel 1.
Data Korban Jiwa dan Pengungsi Erupsi Gunung Merapi 2010
di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah
LOKASI MENINGGAL PENGUNGSI1
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 277 12.839
Provinsi Jawa Tengah 109 2.527
Total DIY dan Jawa Tengah 386 15.366
1 Data yang tercatat di pusdalops akan tetapi pada kenyataan dilapangan ada kurang lebih 320.090
jiwa pengungsi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Gambar 1.
Grafik Fluktuasi Total Pengungsi Bencana Gunung Merapi
Sumber: BAPPENAS & BNPB, 2011
Selain menimbulkan korban jiwa dan luka-luka, bencana erupsi ini
juga membawa dampak kerusakan dan kerugian yang terjadi di 4 (empat)
kabupaten disekitarnya yaitu: Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten dan
Kabupaten Boyolali di Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Gambar 2.
Sebaran Dampak Bencana Erupsi Merapi 2010
Sumber: BAPPENAS & BNPB, 2011
Berdasarkan data dari tim analisa gabungan BNPB, BAPPENAS, Pemda
DIY dan Pemda Jawa Tengah pada bulan Januari 2011 teridentifikasi bahwa
kerusakan rumah mencapai 2.856 unit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Tabel 2.
Jumlah Rumah Rusak Berat Akibat Erupsi Gunung Merapi 2010
Provinsi Kabupaten Jumlah
Jawa Tengah
Klaten 165
Magelang 9
Boyolali -
Total Jawa Tengah 174
D. I. Yogyakarta Sleman 2.682
TOTAL 2.856
Sumber: BAPPENAS & BNPB, 2011
Dari data di atas, kita mengetahui bersama bahwa Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta terkena dampak terparah pada erupsi Merapi 2010.
Dampak kerusakan terparah tersebut berada di Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman dimana sebagian besar dari total keseluruhan korban jiwa
227 jiwa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berasal dari Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten Sleman. Selain merenggut ratusan korban jiwa, di
Kecamatan Cangkringan ada 2.856 unit rumah rusak parah dan ribuan rumah
yang lain rusak sedang hingga ringan serta ribuan hektar lahan pertanian dan
pemukiman terkena keganasan awan panas. Berdasarkan data yang diperoleh
tersebut maka dalam penelitian ini, penulis memilih Kecamatan Cangkringan
sebagai tempat penelitian dan secara spesifik memilih daerah Kinahrejo
dusun dimana Mbah Maridjan ―Juru Kunci Merapi‖ hidup dan meninggal
dunia dalam erupsi Merapi 2010 tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Dampak dari erupsi Merapi 2010 sangatlah besar. Erupsi Merapi 2010
mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik maupun non fisik. Kerusakan
dan kerugian fisik antara lain: rumah, ladang, pemukiman dan banyaknya
korban jiwa. Kerusakan dan kerugian non fisik antara lain: rasa kehilangan,
menderita yang luar bisa dan perubahan pola hidup para penyintas. Lebih dari
itu semua, dampak bencana alam (disaster) akan mengakibatkan perasaan
tidak berdaya dan terancam yang luar biasa pada penyintas, akhirnya
memunculkan perasaan takut yang luar biasa (Sulastri, 2007) atau ‗stres
pascatrauma‘ yang dalam istilah klinis disebut sebagai Posttraumatic Stress
Disorder yang disingkat PTSD (Parkinson dalam Dewi, 2010). Apabila hal
tersebut tidak ditangani dengan baik maka akan memunculkan gangguan
psikologis pada penyintas, keadaan tersebut pada umumnya terjadi disetiap
bencana alam.
Akan tetapi, setiap individu mengalami reaksi yang berbeda-beda
dalam merespon dampak bencana. Faktor-faktornya adalah: (1) tingkat
intensitas kehilangan, semakin banyak kehilangan, akan menimbulkan reaksi
yang lebih hebat, (2) kemampuan individu secara umum untuk menghadapi
situasi emosional, dan (3) peristiwa lain yang menimbulkan stres mengikuti
peristiwa traumatik yang baru dialaminya (American Psychiatri Association
[APA], 2000).
Data menunjukkan bahwa ada peningkatan prosentase yang cukup
signifikan dari penyintas yang mengalami ganguan psikologis pasca bencana
erupsi Merapi 2010.Akan tetapi, sebagian besar penyintas erupsi Merapi 2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
tetap mampu bangkit dan berubah menjadi lebih baik (resiliensi) pasca
bencana alam itu.
B. Resiliensi dalam Konteks Erupsi Merapi 2010 dan PTSD
Ada banyak definisi mengenai resiliensi, banyak ahli berpendapat
bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menghadapi, mengatasi,
memperkuat diri, dan tetap melakukan perubahan setelah peristiwa sulit
dialami (Grotberg, 1995). Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk
menghadapi penderitaan. Persamaan kata resiliensi dalam bahasa Indonesia
adalah daya lentur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartiakan
sebagai tidak mudah patah dan dapat dengan mudah menyesuaikan diri
dengan keadaan. ―Daya Lentur‖ sepertinya lebih pas dengan definisi resiliensi
di atas, yaitu kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik
setelah melewati kondisi yang sulit. Lebih dari itu, resiliensi digunakan untuk
menyatakan kapabilitas individual untuk bertahan atau survive dan mampu
beradaptasi dalam keadaan stres dan mengalami penderitaan pada peristiwa
traumatis.
Resiliensi adalah seperangkat pikiran yang memungkinkan untuk
mencari pengalaman baru dan memandang kehidupan sebagai sebuah
kemajuan. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan
produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma serta bisa menyesuaikan
diri dengan keadaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Karakter individu yang memiliki resiliensi seperti terdapat dalam
beberapa poin berikut ini (www.APAHelpCenter.org/resilience):
a. Memiliki sikap optimis yaitu terdapat harapan akan masa depan;
b. Individu memiliki keyakinan diri bahwa mereka memiliki kemampuan
untuk mengatur secara efektif atau menyelesaikan tugas secara mandiri;
c. Individu juga percaya bahwa mereka tetap memiliki kendali yang baik
terhadap lingkungan, terutama pasca kejadian trauma;
d. Individu memiliki pemahaman yang baik bahwa setiap pengalaman hidup
memiliki alasan tertentu, dan mereka masih memiliki sumber personal
dan sosial untuk memenuhi tuntutan hidup tersebut;
Serta individu yang bersangkutan biasanya aktif, percaya bahwa
mereka memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidup mereka, terutama
pasca kejadian traumatis. Menurut Alexander (dalam Dewi, 2010), setelah
melewati peristiwa traumatis, hidup seseorang tidak akan pernah sama lagi.
Dengan kata lain, individu yang resiliensinya baik akan bisa menyesuaikan
diri dengan keadaan. Menyesuaikan diri dengan keadaan adalah juga
menyesuaikan diri tanpa membuatnya merasa terganggu kembali terhadap
peristiwa traumatis yang menjadi bagian dari dirinya.
Reaksi psikologis individu terhadap peristiwa traumatis bervariasi dan
tergantung pada banyak faktor seperti karakteristik individu, sistem dukung
yang ada dan pengalaman traumatis yang langsung dialami atau tidak pada
peristiwa traumatis tersebut (Webb dalam Dewi, 2010). Hal tersebut juga
sangat berpengaruh pada resiliensi seseorang dalam menghadapi peristiwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
traumatis. Narasi reseliensi pada peristiwa erupsi Merapi 2010 silam
terealisasi dengan terbuktinya masyarakat korban erupsi bangkit dari
keterpurukannya.
Peristiwa traumatis pada umumnya berpotensi menimbulkan stres.
Dalam fase yang lebih akut, stres ini akan memunculkan gangguan stres
pascatrauma atau PTSD. Tanda-tanda PDSD meliputi ketakutan,
ketidakberdayaan, dan rasa dihantui. Lebih lanjut, gejala gangguan ini antara
lain: (a). mengalami kembali peristiwa traumatis, misalnya melalui mimpi
buruk atau terbayang kembali peristiwa tersebut; (b). menghindari stimulus
yang berkaitan dengan peristiwa traumatis, tidak dapat merespons, atau
berkurangnya responsivitas terhadap lingkungan sekitar; dan (c).
meningkatnya ketergugahan, seperti sulit tidur atau tidur tidak nyenyak,
mudah jengkel atau marah, kesulitan berkonsentrasi, dan menampilkan
respons keterkejutan (APA, 2000).
Pada penelitian ini, penyintas wanita dikatakan bebas dari PTSD
ketika terbebas dari gejala-gejala PTSD. Deskripsi gejala-gejala PTSD
berikut ini diadaptasi dari DSM IV (APA, 2000):
a. Seseorang telah mengalami peristiwa traumatik dimana kedua hal berikut
ini muncul:
Penderita atau korban mengalami, menyaksikan atau dikonforontasi
dengan sebuah peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang melibatkan
pengalaman kematian atau ancaman kematian, cedera yang serius, atau
ancaman terhadap integritas fisiknya atau orang lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Respons penderita atau korban terhadap peristiwa tersebut melibatkan
ketakutan yang intens, perasaan tidak berdaya, perasaan horror, atau
persepsi anda terhadap peristiwa yang menyebabkan emosi-emosi
tersebut
b. Seseorang mengalami kembali peristiwa dengan satu atau beberapa cara
berikut ini:
Penderita atau korban mengalami rekoleksi peristiwa yang
mengganggu, intrusif dan sering muncul yang meliputi bayangan,
pikiran dan persepsi
Penderita atau korban mengalami mimpi yang mengganggu dan
berulang atas peristiwa yang terjadi
Penderita atau korban bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa
traumatis tersebut terjadi berulang ulang dan penderita atau korban
mungkin mengalami perasaan dimana ia mengalami kembali peristiwa
tersebut melalui halusinasi, ilusi dan kilas balik aktif
Penderita atau korban mengalami gangguan psikologis atau reaksi
tubuh yang intens ketika terekspos pada tanda-tanda eksternal maupun
internal yang menandakan atau menyerupai peristiwa traumatis tersebut
(misalnya: penglihatan, bau, suara, tanggal), hal-hal ini disebut triggers
(Pemicu)
c. Seseorang tetap menghindari hal-hal atau peristiwa (pemicu) yang
diasosiasikan dengan trauma dan mebekukan respon dengan tiga atau
lebih cara berikut ini:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Penderita atau korban melakukan berbagai macam cara untuk
menghindari munculnya pikiran, perasaan atau percakapan yang terkait
dengan trauma tersebut atau menghindari aktivitas, tempat, atau orang-
orang yang dapat menyebabkan anda mengingat trauma tersebut
Penderita atau korban tidak dapat menngingat aspek penting yang
terjadi pada peristiwa tersebut
Minat dan partisipasi dalam aktivitas menjadi jauh berkurang
Penderita atau korban merasa terasing dari orang lain
Kemampuan penderita atau korban untuk merasakan emosi dan jumlah
emosi yang dirasakan menjadi terbatas (misalnya: ia tidak dapat
merasakan perasaan mencintai)
Penderita atau korban mengalami perasaan dimana pandangan terhadap
masa depan menjadi terbatas. Penderita atau korban tidak dapat melihat
jauh ke masa depan (misalnya: ia tidak memiliki pengharapan untuk
memiliki karir, pernikahan, anak-anak, atau usia yang normal)
d. Seseorang juga memiliki gejala persisten berupa rangasangan fisik yang
meningkat yang tidak ada muncul sebelum terjadinya trauma seperti yang
diindikasikan oleh dua atau lebih hal berikut ini:
Sulit tidur atau sulit untuk tetap tidur
Mudah tersinggung atau kemarahan yang meluap
Sulit berkonsentrasi
Waspada yang berlebihan
Respons kaget yang berlebihan (penderita atau korban mudah kaget)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
e. Gejala tersebut berlangsung lebih dari sebulan
f. Karena gejala ini, penderita atau korban mengalami stres dan gangguan
dan fungsi sosial, kerja dan area yang penting lainnya.
PTSD dianggap akut jika gejala-gejala tersebut telah berlangsung
kurang dari tiga bulan dan dianggap kronis jika gejala telah berlangsung
selama tiga bulan atau lebih. PTSD dianggap sebagai serangan yang tertunda
jika gejala mulai muncul setidaknya setelah enam bulan setelah terjadinya
peristiwa traumatis tersebut. Jika seseorang hanya memiliki beberapa gejala-
gejala yang tersebut di atas maka ia baru bisa disebut sebagai penderita PTSD
parsial.
Dalam sebuah jurnal psikologi dikatakan bahwa perbedaan dari orang
yang hanya mengalami tekanan untuk sementara dalam bagian kehidupannya
dengan orang yang mengalami PTSD, secara mendasar dan sederhana
dikatakan bahwa orang tidak mengalami PTSD apabila orang tersebut mampu
untuk memulai mengelola hidupnya kembali ―berdampingan‖ dengan trauma
yang mereka alami. Jadi, pada orang yang mengalami PTSD terdapat proses
mengumpulkan kembali memori (recollection) yang mengganggu secara terus
menerus (persistent) pasca terjadinya peristiwa traumatis. Persistent
recollection terhadap kejadian-kejadian traumatis yang dialami dan dilakukan
dengan sadar (bukan diluar kendali) tersebut biasanya akan mendorong
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
gangguan secara biologis dan psikologis, yang merupakan bagian dari PTSD
(Sulastri, 2007).
Komponen lain yang membuat sebuah peristiwa traumatis dapat
menjadi gangguan adalah penilaian subyektif dari penyintas terhadap
seberapa parah mereka merasa tertekan, terancam atau merasa tidak berdaya
oleh adanya pengalaman tersebut. Jadi, meskipun fakta adanya pengalaman
yang tidak biasa (extraordinary atau unusual) bisa disebut sebagai inti dari
munculnya PTSD, namun arti (meaning) yang dilekatkan penyintas terhadap
peristiwa tersebut juga bisa menjadi bagian paling mendasar dari gangguan
yang dialami (Herman, 1992). Proses interpretasi seseorang terhadap arti dari
peristiwa traumatis biasanya akan terus terjadi terhadap trauma yang pernah
dialami, walaupun peristiwa itu sendiri telah berhenti.
Gejala khas dari PTSD dimulai dari fase, di mana bayangan-bayangan
kejadian traumatis seperti terulang kembali (flashback) atau bayangan
kejadian tersebut muncul kembali dalam mimpi, terjadi dengan latar belakang
yang menetap berupa kondisi perasaan ―beku‖ (daze) dan penumpukan emosi
(emotional numbness), menjauhi orang lain, tidak responsive terhadap
lingkungan, tidak mampu merasakan perasaan senang (anhedonia), serta
menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya
(avoidance). Selain itu, juga muncul ketakutan dan penghindaran dari hal-hal
yang meningkatkan kembali pada trauma yang pernah dialami.Walaupun
jarang, kadang-kadang terjadi bisa terjadi reaksi yang dramatis
(hyperarousal), seperti mendadak ketakutan, panik atau agresif, yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
dimunculkan oleh stimulus yang mendadak mengingatkannya kembali pada
trauma yang pernah dialaminya serta memunculkan reaksi asli terhadap
trauma itu. Hyperarousal seperti ini pada dasarnya jarang terjadi, namun
simptom hyperarousal menjadi salah satu simptom kuat adanya gangguan
PTSD. Munculnya PTSD harus didahului dengan dengan adanya traumatis,
dengan masa laten (belum menampakkan secara nyata simtom-simtom PTSD,
namun sudah mulai menjangkiti) yang berkisar antara beberapa minggu
hingga beberapa bulan, jarang melampaui 6 bulan.
PTSD tidak terbatas pada salah satu jenis peristiwa traumatis tak
terkecuali peristiwa traumatis yang diakibatkan karena faktor alam (disaster).
Disaster dikategorikan sebagai penyebab tekanan yang luar biasa.Tekanan
luar biasa yang dimaksud adalah peristiwa traumatis yang menyebabkan
adanya ancaman serius terhadap hidup atau integritas diri (tubuh), atau
pengalaman berhadapan langsung dengan kematian dan kehilangan. Dalam
beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi kehilangan secara signifikan
terkait dengan stres pascatrauma (Gist & Lubin, 1999). Pengalaman-
pengalaman yang mengagetkan dan menyakitkan dimana pengalaman itu
melebihi situasi stres yang dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari
dalam kondisi wajar maka itu bisa dikatakan sebagai pengalaman traumatik
(Sidabutar dkk., 2003). Terkadang digunakan istilah stres pascabencana untuk
merujuk pada stres pascatrauma yang disebabkan oleh bencana.
Pada peristiwa erupsi Merapi 2010 yang lalu ada cukup banyak
penyintas mengalami PTSD, hal itu mungkin terjadi karena mereka melihat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
sendiri kematian yang tidak wajar, kehilangan orang yang mereka cintai, dan
kehilangan semua harta bendanya. Situasi traumatis seperti itu akan
memblokir sistem normal sehingga membuat orang tidak bisa mengendalikan
dirinya sendiri, dan lingkungannya serta arti (Williams & Poijula, 2002).
Dalam pengalaman penulis, gejala-gejala PTSD pada penyintas pada
erupsi Merapi 2010 silam nampak secara kuat. Respons keterkejutan
cenderung bertahan lebih lama dibandingkan gejala lainnya. Penyintas
biasanya menampilakan respons berlari, wajah pucat atau keterkejutan yang
lainnya apabila mendengar atau melihat stimulus yang mirip atau ada
hubungannya dengan peristiwa traumatis, misalnya: berlari bila mendengar
suara gemuruh atau pucat ketika melihat api.
Pada kasus erupsi Merapi, wanita memiliki kemampuan resiliensi
yang lebih baik daripada laki-laki. Oleh karena itu, penulis mengambil wanita
sebagai subyek dalam penelitian ini.Wanita memiliki karakteristik personal
yang menonjol seperti kreativitas, dan kompetensi sosial (Kelly dalam
Handayani & Novianto, 2007).Wanita juga memiliki kemampuan berempati,
kemampuan untuk melihat makna dari suatu kejadian, sikap realistis melihat
situasi diri dan lingkungannya sebagai ciri dari individu-individu yang lentur.
Wanita cenderung memiliki kemampuan untuk membangun hubungan
positif dengan orang lain atau ―keterampilan sosial‖. Dalam kasus ini, penulis
menemukan bahwa ketika bencana terjadi para ibu masih bisa memikirkan
dan mengurusi anak serta anggota keluarga yang lain. Wanita memiliki
kemampuan untuk mencari berbagai alternatif dalam berbagai masalah atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
―keterampilan memecahkan masalah‖, misalnya: ketika para laki-laki masih
bingung karena lahan pertanian mereka hilang atau belum bisa ditanami, para
wanita mencari alternatif untuk mendapatkan rejeki dengan membuka warung
atau menjual kebutuhan para wisatawan disekitar rumah mereka yang hancur.
Wanita mempunyai kemampuan untuk percaya pada kemampuan diri dan
mandiri atau ―kemandirian‖. Para wanita yang kehilangan suami atau
pasangan hidupnya karena menjadi korban keganasan erupsi Merapi tetap
mampu mengurusi anak dengan melakukan aktivitas ekonomi, misalnya:
memecah batu, menjadi buruh pada proyek-proyek, bertani, berdagang dan
pemandu wisata.
C. Kearifan Lokal Jawa Sebagai Modal Sosial Meningkatkan Resiliensi
Sejarah mencatat, pengalaman masyarakat Yogyakarta dalam
menghadapi bencana alam yang pernah terjadi terbukti lebih cepat bangkit
melakukan pembenahan pasca bencana alam (gempa bumi 2006). Dalam
tulisan ini, penulis membahasakan hal tersebut bahwa masyarakat Yogyakarta
cenderung resilien. Faktor penting yang perlu kita gali adalah dukungan nilai-
nilai filosofis yang terkandung dalam kearifan lokal yang berkembang dalam
masyarakat Yogyakarta. Salah satu landasan filosofi yang berkembang dalam
masyarakat Yogyakarta adalah ―Memayu Hayuning Bawana‖ (menghiasi
dunia). Narasi Memayu Hayuning Bawana tersebut terealisasi dalam
Hamemasuh Memalaning Bumi. Dalam arti bebas Memalaning Bumi dapat
kita tafsirkan sebagai bencana alam (erupsi Merapi).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Falsafah lain yang dipegang dan dihidupi oleh masyarakat Jawa
adalah Hangengasah Mingising Budi yang dapat kita artikan sebagai upaya
yang tidak berhenti untuk mempertajam budi manusia sehingga dari waktu ke
waktu dapat menyinergikan kehidupan manusia dengan alam, manusia
dengan manusia yang lain dan manusia dengan Tuhan-nya sehingga dapat
mencapai keharmonisan di dunia ini (Mulder, 2007). Hal ini menunjukkan
bahwa orang Jawa mengedepankan sikap kehati-hatian, harmoni dan
melestarikan alam. Narasi Hangengasah Mingising Budi terealisasikan antara
lain dengan kegiatan labuhan, merti dusun, dan slametan yang sudah menjadi
tradisi masyarakat lereng gunung Merapi. Slametan berasal dari kata Slamet
yang berarti selamat.Dengan demikian Slametan bertujuan untuk menjaga
keselamatan dan ketentraman masyarakat dan menetralisir kekuatan-kekuatan
yang berbahaya.
Selain dua falsafah besar tersebut di atas, masyarakat Jawa juga
mengenal istilah sepi ing pamrih rame ing gawe (tidak mementingkan diri
sendiri, giat bekerja). Ini adalah ungkapan pokok bagi gaya hidup masyarakat
Jawa Kejawen yang mengedepankan perilaku dan sikap sabar, nrimo, eling-
waspada, andhap asor dan prasaja (Mulder, 2007). Pada peristiwa traumatis
erupsi Merapi 2010, solidaritas sosial orang jawa tersebut terlihat secara
nyata. Masyarakat bergerak dengan cepat, banyak relawan yang berasal dari
masyarakat sendiri yang bahu membahu membantu masyarakat korban erupsi
Merapi 2010 dengan mengadakan penggalangan bantuan yang kemudian
didistribusikan langsung kepada penyintas. Hal tersebut menunjukkan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
komunitas lokal mempunyai kecerdasan lokal dan lebih cepat tanggap
dibanding pemerintah.
Masyarakat Jawa juga mengenal petungan Jawa (penanggalan Jawa)
yang berfungsi untuk menyelaraskan kejadian-kejadian di bumi dengan
kondisi-kondisi adiduniawi yang ternarasikan dalam kepercayaan jagad cilik;
jagad gede. Masyarakat Jawa mempunyai pandangan hidup bahwa pokok-
pokok kehidupan sudah ada yang mengaturnya. Oleh karena itu, masyarakat
Jawa memiliki sikap hidup bahwa selalu bersikap sabar dalam menanggung
kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Masyarakat Jawa juga memiliki
kepercayaan terhadap bimbingan adikodrati, bantuan nenek moyang atau
Tuhan (mitos) dalam menghadapi suatu masalah termasuk dalam menghadapi
erupsi Merapi 2010. Narasi dari kearifan lokal tersebut adalah masyarakat
lereng gunung Merapi bisa ―niteni‖ (membaca) tanda-tanda alam yang
terkadang tidak bisa dirasionalkan dengan menggunakan ilmu pengatahuan.
Hal tersebut adalah bagian dari ilmu pengetahuan lokal (local knowledge)
yang perlu kita cari dan kembangkan supaya ada peningkatan kapasitas
masyarakat dalam menghadapi bencana atau dengan kata lain masyarakat
lebih ―waspodo‖ (bila terjadi bencana sewaktu-waktu).
Lebih khusus lagi, kita dapat mengartikan bahwa kearifan lokal
merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi
dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Berdasarkan dari penelitian
dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman 2009 ada beberapa nilai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
yang berkembang dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku masyarakat
Sleman adalah sebagai berikut:
Tabel 3.
Nilai-nilai yang Berkembang di Kabupaten Sleman
No. Nilai Makna
1. Nilai Kedermawanan Nilai untuk berbagi dan memberi
kepada sesama sebagai bentuk
solidaritas terdapat dalam ungkapan
lebih baik tangan di atas daripada tangan
di bawah.
2. Nilai Kebersamaan Nilai untuk melakukan besama-sama
sebagai bentuk kerukunan dalam
bermasyarakat.
3. Nilai Keteladanan Memberikan contoh yang baik kepada
masyarakat untuk melakukan perbuatan
yang baik.
4. Nilai Kepasrahan Nilai untuk selalu percaya akan keadilan
dan kekuasaan Tuhan atas semua yang
terjadi dalam kehidupan.
5. Nilai Perjuangan Nilai untuk selalu memperjuangkan hak,
kemakmuran dan kesejahteraan.
6. Nilai Kepemimpinan Ada contoh yang baik dalam setiap
tindakan dan memberikan keteladanan.
7. Nilai Ketaqwaan Nilai untuk selalu menyerahkan kepada
Tuhan setelah melakukan segala upaya.
8. Nilai Kegotongroyongan Nilai untuk melakukan kegiatan secara
bersama.
9. Nilai Kesetiaan Nilai untuk berpegang teguh pada
komitmen.
10. Nilai Pengorbanan Bahwa setiap pengorbanan yang tulus
demi kesejahteraan dan keselamatan
rakyat tidak sia-sia.
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman, 2009
Basis kearifan lokal menjadi modal sosial untuk melakukan inovasi
dalam penanggulangan bencana berbasis komunitas. Strategi ini sebagai
alternatif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam penanggulangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
bencana yang ada disekelilingnya. Bahkan dalam penanggulangan bencana
berbasis kearifan lokal yang bisa mengapresiasi keberagaman dan
keharmonisan masyarakat tersebut akan bisa meningkatkan resiliensi
penyintas, khususnya wanita sebagai kelompok rentan dalam setiap bencana.
D. Wanita Jawa
Secara etimologis, kata ―wanita‖ berasal dari kata wani (berani) dan
ditata (diatur). Secara harafiah dapat diartikan bahwa seorang wanita adalah
sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat
Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaaan yang tertata
sehingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang berani ditata. Hal yang
senada juga diungkapkan oleh ahli filsafat UGM Damarjadi Supadjar bahwa
kata ―wanita‖ berasal dari kata wani (berani) dan tapa (menderita). Artinya,
wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain
(Handayani & Novianto, 2008).
Dalam kebudayaan Jawa ada istilah bahwa wanita itu hanya sebagai
―konco wingking‖ sekaligus sebagai sigaraning nyawa (belahan jiwa atau
separo dari jiwa). Narasi dari kata ―sigaraning nyawa‖ tersirat bahwa posisi
yang sejajar dan lebih egaliter daripada konco wingking. Karena suami dan
istri adalah dua yang telah menjadi satu maka masing-masing adalah separo
dari satu entitas (Handayani & Novianto, 2007).
Namun demikian, kebudayaan patriarki selaku memposisikan wanita
sebagai subordinat dan perannya hanya berada disektor domestik. Dominasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
kebudayaan patriarki tersebut dapat kita temukan pada setiap kebudayaan tak
terkecuali kebudayaan Jawa. Namun demikian, ikatan dan konsepsi nilai
tersebut berlaku sebagai kondisi ―sakprayoganipun‖ (seyogianya) atau ideal
bagi budaya Jawa. Sakprayoganipun ini berarti bahwa segala tindakan
dilakukan dengan ndelog kahanan (lihat-lihat situasinya) sehingga
―memberlakukannya‖ pun gumantung kahanan (tergantung keadaan).
Kultur Jawa telah membentuk karakter psikologis masyarakat yang
memiliki kecerdasan emosional. Kecenderungan gerak diri orang Jawa dari
dunia lahir ke dunia batin telah membentuk karakter psikologis masyarakat
Jawa yang akan selalu peka dan memiliki kesadaran diri (mampu
menempatkan diri secara tepat dalam posisi sosial), dimana kesadaran diri
menjadi inti kecerdasan emosional. Kecenderungan dari gerak sosial dan
kultur Jawa tersebut telah membentuk karakter wanita Jawa yang memiliki
rasa empati, kesadaran diri tinggi dan peka). Selain itu, ciri karakter yang
menonjol pada wanita Jawa, yaitu: sabar, sumeleh dan sumarah (Handayani
& Novianto, 2007). Karakter-karakter yang dimiliki oleh wanita Jawa
tersebut adalah modal dasar bagi seseorang yang resilien.
Dalam setiap bencana alam wanita selalu digolongkan menjadi
kelompok rentan. Hal ini tentu saja akibat dari pengaruh budaya patriarki.Di
mana wanita dianggap sebagai makhluk yang tak berdaya dan pasif termasuk
dalam budaya Jawa. Namun dalam perkembangan ilmu psikologi dewasa ini,
banyak temuan penelitian yang memberikan cara pandang baru dalam
memahami peranan dan kehidupan wanita. Banyak penelitian yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
FUNDAMENTALISM
E
Kecemasan terhadap
NONBEING
Proses
BEING-SOMETHING
menunjukkan bahwa betapa besar peranan wanita sebagai entitas yang kuat,
berdaya, dan memiliki jiwa mandiri (KP, 2007), meskipun mereka
berhadapan dengan situasi kekerasan atau peristiwa bencana alam. Wanita-
wanita ini mungkin merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan, dan
membutuhkan energi yang besar namun mereka tetap bertahan. Keadaan
seperti itu juga dapat kita temukan pada wanita-wanita penyintas erupsi
Merapi 2010 silam. Para wanita Jawa justru dapat bertindak lebih taktis dan
lebih rasional dalam situasi yang penuh tekanan terutama secara sosial
(Handayani & Novianto, 2008). Berita baiknya, menurut KP (2007), wanita
memiliki kemampuan untuk melentur dan tidak hancur ketika situasi sulit
menekan hidup mereka atau resilien.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Naratif
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran kearifan lokal Jawa dalam
meningkatkan resiliensi para penyintas wanita pada erupsi Merapi 2010.
Guna melihat peran kearifan lokal dalam erupsi Merapi 2010, maka
penghadiran pengalaman personal penyintas wanita perlu diketahui.
Berdasarkan tujuan tersebut maka tipe studi naratif pada penelitian ini adalah
personal experience story (Lyons & Coyle, 2007). Personal experience story
memungkinkan untuk menggambarkan pengalaman tertentu di satu fase
kehidupan, di mana dalam penelitian ini adalah erupsi Merapi 2010.
Sebuah penelitian naratif dalam metode kualitatif memiliki dimensi
sosial yang terdiri dari narasi-narasi kelompok atau masyarakat yang bercerita
tentang diri, sejarah, dan aspirasi yang dimiliki oleh kelompok atau
masyarakat. Oleh karena itu, narasi sosial mampu menjelaskan sejarah suatu
kelompok atau masyarakat yang membedakannya dengan kelompok-
kelompok atau masyarakat-masyarakat lain. Supaya tidak tumpang tindih
dengan narasi personal maka individu yang menjadi subyek penelitian dapat
mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari kelompok atau masyarakat. Selain
itu dalam melakukan analisa terhadap narasi personal yang telah diperoleh,
penulis akan mempertimbangkan narasi sosial yang lebih luas (Smith, 2009).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Menurut Smith (2009), ada dua langkah besar dalam penelitian
dengan pendekatan psikologi naratif. Pertama adalah mengumpulkan narasi.
Adapun pengumpulan ini dilakukan lewat wawancara kisah kehidupan yang
berisi mengenai pengalaman sehari-hari (dalam penelitian ini berarti
pengalaman ketika erupsi). Selain itu, pembuatan jurnal pribadi seseorang,
pengumpulan foto, bahkan pembuatan video dapat membantu dalam
memperoleh data naratif seseorang.
Kedua adalah menganalisis narasi. Ada dua fase dalam analisis narasi.
Yang pertama adalah fase deskriptif. Proses analisis pada fase deskriptif ini
dapat dibantu dengan membaginya ke dalam sekuensi, misalnya; awal,
tengah, dan akhir. Analisis ini dilakukan dengan cara menyoroti isu penting
dalam teks dan mengidentifikasi keterkaitan naratif antar bagian. Selain itu,
sub-alur dalam narasi juga perlu untuk ditemukan kemudian dibuat ringkasan
agar dapat mengembangkan kerangka coding lewat gagasan atau isu utama
dalam cerita. Kerangka coding ini dibuat dengan tujuan menangkap makna
menyeluruh dari narasi dan isu khusus yang ada dalam narasi. Fase kedua
adalah fase interpretatif. Fase interpretatif berusaha untuk mengaitkan narasi
dengan literatur teoritis yang lebih luas sebagai pedomannya.
Guna mencapai tujuan penelitian, studi naratif yang dilakukan dalam
penelitian ini meliputi langkah sebagai berikut (untuk detail akan dijelaskan
pada bagian E):
a. Membuat daftar pertanyaan yang mengungkap pengalaman sebelum,
selama, dan sesudah erupsi Merapi 2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
b. Memastikan subyek dan mengumpulkan data.
c. Menganalisa kisah subyek dan menceritakannya kembali lewat sebuah
story line.
d. Menganalisa peran kearifan lokal terhadap resiliensi subyek.
B. Subyek Penelitian
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berawal dari asumsi
mengenai realitas atau fenomena sosial yang khas dan kompleks memiliki
tujuan untuk mendiskripsikan fenomena tersebut secara utuh (Bungin, 2008).
Oleh karena itu, untuk memenuhi tujuan dasar penelitian kualitatif tersebut
maka dalam penelitian ini penulis akan menggunakan dua orang subyek
penelitian yang dengan sengaja dipilih karena sebagai penyintas atau pelaku
dan memiliki ingatan tentang peristiwa erupsi Merapi 2010 (Bungin, 2008).
Pemilihan ketiga subyek penelitian tersebut juga didasari dengan adanya
kecenderungan bahwa cara seseorang untuk mengingat masalalunya
bergantung dari hubungannya dengan komunitas (Pennebaker & Banastik,
1997) tidak hanya dalam arti kualitas hubungan namun juga peranan dalam
komunitas juga menentukan adanya keterkaitan dari model tersebut.
Peneliti memilih subyek dengan berbagai macam karakteristik yang
berdasarkan pada kelas sosial dan kelas ekonomi; abangan dan santri (Geertz,
1960). Subyek pertama adalah Ibu Pur. Ibu Pur merupakan wanita yang
berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas, hidup di lingkungan pondok
pesantren yang posisinya masuk pada kawasan bahaya (kurang dari 5 Km dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
puncak Merapi) pada saat terjadi erupsi tidak mengungsi dan rumahnya
menjadi tempat pengungsian warga sekitar. Subyek kedua adalah Ibu Mur.
Ibu Mur berasal dari kelas ekonomi menengah, yakni menantu almarhum
Mbah Maridjan (Juru Kunci Merapi) yang menjadi korban dari erupsi Merapi
2010. Berdasarkan pada penggolongan yang dilakukan Geertz (1960), maka
subyek pertama yang cenderung lekat dengan agama digolongkan sebagai
santri, sedangkan subyek kedua yang cenderung lekat dengan adat lokal
adalah golongan abangan. Kedua karakteristik yang berbeda diharapkan dapat
menghasilkan data yang memperlihatkan variasi sekaligus dinamika untuk
saling memperkuat data.
Subyek yang termasuk dalam kategori ‗korban langsung‘(penyintas)
merupakan sampel yang akan memberikan informasi langsung, faktual dan
apa adanya berdasarkan pada pengalaman pribadi (Bungin, 2008). Dalam
kasus ini subjek pertama adalah korban tidak langsung dan korban kedua
adalah korban langsung. Dengan perbedaan ini diharapkan diperoleh sebaran
data dari dua perspektif yang berbeda.
C. Fokus Penelitian
Penelitian ini akan berfokus pada resiliensi penyintas, khususnya:
wanita pada peristiwa erupsi Merapi 2010. Dengan mengetahui detail dari
narasi, perasaan, dan sudut pandang subyek mengenai peristiwa erupsi
Merapi 2010, penulis akan dapat mengetahui bagaimana kearifan lokal
berperan pada subyek untuk merekonstruksi atau memaknai ulang peristiwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
tersebut dan menempatkan makna-makna baru yang khas sehingga bisa
bangkit dan menjalani kehidupannya dengan normal kembali (resiliens) serta
bebas dari PTSD.
D. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini akan dilakukan secara intensig dengan mengolah
temuan yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan dengan
menggunakan berbagai macam sarana. Dalam penelitian kualitatif disebutkan
bahwa sarana pengumpulan data dalam prosedur kualitatif meliputi:
pengamatan, wawancara, namun bisa juga mencakup dokumen, buku, kaset
video, dan data sensus (Strauss & Corbin, 2003). Selain itu, keutamaan dari
penelitian kualitatif adalah dengan mengumpulkan data yang bersifat meluas
serta dari berbagai sumber (Creswell, 1998) dengan tetap berfokus pada
pengalaman penyintas mengenai erupsi Merapi 2010. Guna memenuhi
prosedur penelitian kualitatif tersebut di atas maka dalam pengumpulan data
diawali dengan pengumgumpulan dan pengolahan terhadap penelitian
sebelumnya tentang resiliensi dan budaya Jawa, serta berita dari media
tentang erupsi Merapi. Guna memperoleh data langsung dari subyek,
digunakan wawancara. Berikut adalah uraian mengenai wawancara;
1. Wawancara
Wawancara merupakan sumber utama bagi penelitian naratif
(Smith,2009). Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode
wawancara semi-terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
empiris yang telah disusun sebelum wawancara dilakukan. Namun tidak
menutup kemungkinan adanya perluasan pertanyaan pada saat wawancara.
Maksud dan tujuan penulis adalah untuk memperoleh kesaksian
(testimoni) dari subyek-subyek penelitian mengenai erupsi Merapi 2010.
Kepentingan dari kesaksian (testimoni) adalah memberikan ruang bagi
penyintas untuk menceritakan peristiwa yang dilihat ataupun dialami
secara bebas dan alami melalui cerita (Creswell,1998). Nilai kesaksian
(testimoni) tidak terletak pada kemampuannya untuk digunakan sebagai
alat klarifikasi atau penyelidikan namun lebih sebagai mediasi truth-
telling.
2. Daftar Pertanyaan
a. Tolong Anda ceritakan mengenai peristiwa erupsi Merapi 2010?
b. Apakah saat ini Anda masih sering teringat peristiwa tersebut?
c. Apakah ada kepercayaan atau keyakinan atau persepsi masyarakat
(kearifan lokal) yang berkembang di dusun ini mengenai Gunung
Merapi?
d. Bagaimana pikiran dan perasaan Anda sekarang terhadap kejadian itu?
e. Apa dan bagaimana harapan Anda ke depan dalam menjalani hidup ini?
E. Metode Analisis Thematic Narrative
Analisis thematic narrative adalah sebuah pendekatan dalam
mengolah data narasi dalam bentuk transkrip wawancara dengan melibatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
penciptaan dan penerapan kode pada data. Analisis tematik sendiri harus
dilihat sebagai metode dasar dalam sebuah analisis kualitatif. Identifikasi dan
memberi tema adalah salah satu keterampilan umum yang harus dimiliki
dalam berbagai macam penelitian kualitatif (Braun, 2006).
Karakteristik analisis tematik adalah fleksibilitas, dimana fleksibilitas
tersebut dapat berguna atau berpotensi untuk memberikan laporan yang kaya
dan rinci dari sebuah data yang kompleks (Braun, 2006). Tema dalam analisis
ini dapat menangkap sesuatu yang penting di dalam data yang berkaitan
dengan pertanyaan penelitian dan mewakili beberapa tingkat respon atau
makna yang berlainan.
1. Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah berupa data narasi
dan deskripsi yang berasal dari transkrip wawancara semi tersetrukur.
Langkah pertama yang akan dilakukan peneliti adalah membaca narasi
yang telah ditranskrip tersebut dengan cermat kemudian baru melakukan
pengelompokan data.
2. Pengkodean (coding)
Coding (koding) mengacu pada penciptaan kategori dalam
kaitannya dengan data. Dalam penelitian kualitatif, model analisis yang
digunakan adalah analisis induktif, dimana peneliti akan membuat
kategori-kategori, tema-tema, dan pola-pola tertentu yang bersumber dari
data (Denzin & Lincoln, 1997). Dengan kata lain, di sini peneliti akan
melakukan pengelompokan contoh-contoh dari fakta yang ada di dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
istilah umum yang dapat memungkinkan data-data tersebut dimasukkan
sebagai jenis yang sama.
Pendekatan induktif yang digunakan dalam analisis data bertujuan
untuk (1) menyingkat data yang luas dan beragam teks yang masih kasar
ke dalam format ringkasan yang singkat, (2) membangun jaringan yang
jelas antara tujuan penelitian dan ringkasan hasil temuan yang berasal dari
data yang masih kasar, dan (3) mengembangkan teori tentang model atau
struktur yang mendasari penelitian atau proses yang menjelaskan data
mentah (Thomas, 2003).
3. Interpretasi dan Pembahasan
Setelah fase deskripsi, penulis masuk pada fase interpretatif dimana
penulis akan mengkaitkan narasi dengan kerangka teoritis (Smith, 2009)
dan menuliskan analisis penelitiannya ke dalam bentuk narasi. Penulis
lebih tertarik untuk menyebutnya sebagai analisis dan bukan ‘hasil’ karena
analisis dalam penelitian kualitatif merupakan suatu rangkaian penafsiran
yang terbuka terhadap pertanyaan (Parker, 2008).
Peneliti akan memasukkan pengalaman personal ke dalam narasi
kesimpulan tanpa mengubah alur dan inti dari analisis penelitian
(Creswell, 1998), serta mencantumkan berbagai referensi dan beberapa
perspektif baru sehingga memungkinkan untuk mengembangkan sebuah
penelitian kualitatif (Parker, 2008).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
BAB IV
PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISIS DATA,
DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan dari awal Januari 2013-Juni 2013. Pencarian
subjek lewat syarat-syarat yang memenuhi kriteria dilakukan pada bulan
Februari 2013. Adapun kriteria yang dicari adalah survivors wanita yang
selamat dari erupsi Merapi, sudah menikah dan memiliki anak, etnis Jawa,
serta berdomisili kurang dari 7 Km di sekitar Merapi. Subyek adalah mereka
yang telah menikah dan memiliki anak dengan asumsi bahwa ada beban
sekaligus tanggung jawab khusus terhadap anak (sesuai pembagian peran
dalam keluarga Jawa bahwa Ibu bertugas mengasuh anak). Subyek yang
berdomisili kurang dari 7 Km di sekitar Merapi diasumsikan terkena dampak
erupsi secara langsung sekaligus mengalami pengalamn erupsi Merapi 2010.
Wawancara pertama dilakukan bersama Ibu Pur yang merupakan istri
seorang tokoh agama di Cangkringan yang menjadi korban namun tidak
mengungsi karena rumahnya yang relatif jauh dari ancaman awan panas (bukan
berarti tidak mungkin terkena). Wawancara dilakukan pada tanggal 15 Juni
2013. Dari hasil wawancara maka diperoleh beberapa catatan dan impresi yang
diperoleh oleh interviewer.
Wawancara dilakukan di rumah Ibu Pur. Setelah sholat isak, wawancara
dilakukan. Subyek adalah seorang istri dari tokoh agama. Kedekatannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
dengan agama ini membuat jawaban subyek cenderung bernuansa agama. Latar
belakang pendidikan yang berupa sekolah agama juga semakin meperkuat
kecenderungan ini.
Selama pengalaman erupsi Merapi 2010, subyek tidak mengalami
kehilangan yang berarti dalam keluarga, baik secara fisik maupun sosial. Tidak
ada gejala kesedihan yang mendalam. Namun, ditemukan ketakutan selama
bencana gunung meletus. Ketakutan ini diatasi dengan mempercayakan segala
sesuatu kepada suaminya. Dia meyakini bahwa suaminya merupakan orang
yang bisa dipercaya. Selain itu, ketakutan juga dijustifikasikan dengan ke-
Mahakuasaan Allah. Dengan adanya Allah, subyek cenderung menjadi fatalis.
Baginya, semua sudah digariskan Allah.
Dengan memasrahkan (tawakal) semuanya pada Allah, subjek dapat
menerima keadaan dan hidup seperti biasa lagi. Resiliensi psikologisnya
disokong dengan keyakinan terhadap figur Allah yang Maha Kuasa dan Maha
―Sak Karepe Dewe‖. Subyek juga mengungkapkan bahwa jika suatu saat
bencana itu menimpa dia kembali, itu tidak masalah. ―Semua yang menentukan
Allah.‖, katanya.
Wawancara selanjutnya dilakukan pada tanggal 17 Juni 2013 bersama
Ibu Mursani. Ibu Mursani adalah menantu dari almarhum Mbah Maridjan. Kini
dia tinggal di sebuah dusun relokasi. Dusun Kinahrejo yang menjadi kelahiran
sekaligus membesarkannya hilang dan hancur ditelan lahar dan awan panas.
Dari hasil wawancara maka diperoleh beberapa catatan dan impresi yang
diperoleh oleh interviewer.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Wawancara dilakukan di rumah Ibu Mursani. Setelah mengobrol sekitar
20 menit, wawancara dilakukan. Dari hasil proses berbincang tersingkap
bahwa tidak ada yang tersisa dari desanya, kecuali kenangan pahit lagi
kerinduan manis yang masih sering mendatangi ingatannya.
Ada banyak kehilangan yag terjadi selama erupsi 2010. Kehilangan
yang dia rasakan cenderung bersifat psikologis, misalnya saja kehilangan Mbah
Maridjan sebagai sosok yang biasanya berada dan hidup bersama. Kemudian
dia merasa kehilangan home (bukan house; yang dipahami sebagai sekadar
bangunan). Rasa kehilangan home ini mengantar subyek untuk menciptakan
nostalgia dengan tidur di Kinahrejo di waktu tertentu.
Subyek cukup gamblang dalam menceritakan pengalaman selama
erupsi Merapi 2010. Nuansa penyampaian cerita berkaitan dengan hal-hal yang
dirasanya belum terselesaikan (sirine) dan mengenai kerinduan terhadap masa
lalu (tidur di Kinahrejo). Subyek sering menanyakan kalimat tanya yang
sifatnya afirmatif seperti ―Iya to? ―, yang dirasakan interviewer sebagai sebuah
kehendak untuk benar-benar bercerita secara utuh agar tidak terjadi salah
tangkap informasi. Penyampaian yang gamblang dan suasana nostalgia yang
muncul semakin membantu jalannya wawancara. Atau dengan kata lain,
suasana bercerita yang nyaman semakin tercipta.
Meskipun demikian, penyusunan kalimat tanya oleh interviewer
terkadang sukar dipahami artisipan. Namun hal ini tidak menjadi masalah
berarti selama berlangsungnya wawancara. Dalam beberapa bagian subyek
juga mengalami kesulitan bercerita. Misalnya saja ketika diminta tolong untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
menguraikan rasa sakit ketika mendengar sirine. Dalam bagian sakit ini,
subyek mengalami kesulitan mentransfer pengalaman rasa sakit secara
emosional ke dalam bahasa yang lebih operasional. Meskipun demikian, sebisa
mungkin interviewer tetap menghindari kalimat-kalimat yang cenderung
memaksa subjek untuk melakukan operasionalisasi. Hal ini dilakukan guna
membangun komunikasi yang didasari keterbukaan atau penyingkapan diri.
B. Analisis Data
Tipe penelitian ini adalah Personal Experience Story, di mana
pengalaman yang diambil adalah pengalaman resiliensi wanita yang menjadi
penyintas erupsi Merapi 2010. Guna menunjukkan pengalaman subyek
berkaitan dnegan erupsi 2010, proses penceritaan kembali akan digunakan
kerangka waktu yang secara kronologis akan dinarasikan lewat (1) sebelum
erupsi (beginning), (2) ketika erupsi (middle), dan (3) setelah erupsi (end). Dari
ketiga dimensi waktu tersebut akan diuraikan mengenai interaksi (personal-
sosial) yang diharapkan dapat menggambarkan proses resiliensi subyek.
Setelah dilakukan sintesis antara pengalaman Ibu Pur dengan Ibu Mur
maka diperoleh tema-tema yang secara kronologis dibagi dalam 3 dimensi
waktu. Berikut adalah penguraian tema yang diperoleh:
1. Sebelum Erupsi (Beginning)
a. Manusia sebagai pembaca tanda
Tema manusia sebagai pembaca tanda tampak saat pra-erupsi.
Kedua subjek merasakan bahwa Merapi akan erupsi. Ibu Pur menduga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
namun tidak tahu jika erupsi akan besar. Sedangkan Ibu Mur yang lebih
sering bersebtuhan dengan pengalaman erupsi telah menduga bahwa
erupsi cukup besar sehingga memutuskan untuk mengungsi.
Itu tidak tahu, saya di rumah juga tidak. Nggak ada tanda,
nggak ada…Tapi kejadian yang besar yang Jumat. Yang
Jumat itu ada tanda-tanda. Rumah ini kan gempa. Itu dari
siang itu udah gempa, terus langit gelap, terus ada abu
sedikit. Tapi siangnya itu juga ngaji di masjid. Itu siangnya
panas ya. (Ibu Pur)
Waktu itu kan saya mikirnya erupsi Merapi itu biasa-biasa
aja. Soalnya tahun 2006 saya nggak pergi malahan, saya
lihat di rumah. Di Masjid itu. Nggak pergi. Saya kira 2010
kemarin kan di atas sudah merah. Jadi saya harus pergi.
(Ibu Mur)
b. Cara hidup berdasarkan kearifan lokal
Ada perbedaan antara kedua subjek dalam memandang Merapi.
Cara hidup Ibu Pur berkaitan erat dengan agama dan masa kecilnya tidak
akrab dengan Merapi, sedangkan Ibu Mur cenderung lebih akrab dengan
Merapi sejak kecil sehingga nilai lokalitas masih menempel dalam diri
Ibu Mur. Hal ini kemudian berimplikasi pada cara pandang yang berbeda
terhadap gunung Merapi.
Nek di dalam agama, Merapi itu juga termasuk ciptaan
Allah.Terus Merapi itu kan juga berguna. Kalau nggak
meletus kan juga nggak ada pasir, nggak bisa tumbuh
tanaman-tanaman di sekitarnya nggak bisa tumbuh subur.
Itu juga manfaat bagi manusia. Dan Merapi itu sebagai
paku. Bumi kalau nggak ada pakunya, ya nggak tenang,
ngombang-ambing. Dulu kan ceritanya, diciptakan pertama
kali sebelum ada gunung-gunung kan seperti di atas air.
Jadi, terombang-ambing gitu, tapi setelah ada gunung
barulah bumi itu tenang. Bisa ditempati manusia. Gunung
itu pokoke manfaat ya Mas. (Ibu Pur)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Merapi itu ya seperti sahabat. Kalau saya ya memang
harus ikut menjaga lingkungannya, penanaman-
penanaman, penghijauan. (Ibu Mur)
Kedekatan dan keakrabannya dengan Merapi ini kemudian
membuat Ibu Mur menjadi lebih maklum dengan guguran lava dan
suara perut Merapi yang bagi orang lain, seperti misalnya Ibu Pur,
sebagai suatu hal yang menakutkan. Selain itu keakraban dengan
Merapi bisa juga mengantar Ibu Mur untuk naik justru ketika
Merapi erupsi yang kemudian akan mengantar kita pada tema
ketika erupsi terjadi.
2. Ketika Erupsi (Middle)
a. Rasa penasaran terhadap peristiwa
Ada hal yang begitu mencolok pada Ibu Mur ketika erupsi terjadi.
Jika orang lain akan lari ketika erupsi dan guguran lava terjadi. Lain
halnya dengan Ibu Mur yang justru ingin melihat keadaan di atas,
karenanya dia memutuskan untuk menuju lereng Merapi untuk melihat
peristiwa alam yang sudah ramah terhadap pengalamannya. Meskipun
demikian, dia tidak diperbolehkan naik karena keadaan erupsi yang
cukup parah dibandingkan biasanya.
Saya di pengungsian, saya larinya malah lucu, itu kan
malam Jumat ya. Kamis pagi kan anak saya sekolah di
Pakem itu, pengen sekolah, ya udahlah. Saya anterin terus
saya titipkan anak saya di Wekas itu, malah Merapi malem
itu kan meletus to itu saya malah naik. Sampai di Jetan itu
sudah nggak boleh naik. (Ibu Pur)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
b. Masa depan yang tak terjamah
Berbeda dengan pengalaman Ibu Mur, dalam pengalaman Ibu Pur
muncul tema mengenai masa depan yang tak terjamah. Masa depan yang
tak terjamah ini muncul sebagai wujud ketakutan akan kematian yang dia
rasakan. Keadaan ketika bencana sangat mencekam dan ketika itu Ibu
Pur tidak mengungsi sehingga kekuatan erupsi Merapi yang tidak seperti
biasanya ini menciptakan keadaan yang benar-benar chaos pada dirinya.
Wong itu nggak tahu kok itu akan meletus besar itu nggak tahu.
Tapi orang Utara sana udah pada ngungsi. Kan sini tempat
ngungsi. Jadi saya nggak ngeh, nggak paham itu nanti akan
meletus gitu. Nggak persiapan blas yang ngungsi itu. Mobil sini
aja dibawa ke Kopeng. Dan hampir aja kena lahar panas itu. Itu
lari, mobilnya lari. Paling let 30 meter itu. Kena itu lahar panas.
(Ibu Pur)
c. Suami sebagai otoritas
Tema suami sebagai otoritas ini hanya muncul pada pengalaman
Ibu Pur. Ketika erupsi terjadi, suami menjadi pengambil keputusan dalam
hidup Ibu Pur. Ibu Pur mempercayakan segala sesuatu kepada suaminya
yang dia percaya memiliki ―kelebihan‖ seperti orang suci.
Terus saya, itu di rumah, saya tidur. Malah saya tu
ngantuk-ngantuknya jam 11 itu. Terus rumahnya goyang-
goyang gini to, terus Pak Masrur itu “Ma, ini ada gempa,
gempa beneran, kita di masjid aja. Nanti kalau mati di
masjid aja.” Terus anak saya tak bangunin semua. Ke
masjid semua. (Ibu Pur)
Kalau saya ndherek Pak Masrur. Perkiraan Pak Masrur
kan udah, ini udah selesai. Meletusnya yang paling besar
ya cuma ini. Ini udah selesai kok ngungsi, apa gunanya. Ya
di rumah aja. Daripada mengungsi wong di sini banyak
orang gila. Kalau dibawa ke pengungsian kan malah
merepotkan. Iya to? Alasannya apa ya, ya cuma itu. Sini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
kan punya anak-anak kecil, orang gila. Terus perkiraan itu
lho, ngapain ngungsi, wong udah meletus. (Ibu Pur)
Saya bagaimana? Kalau saya tipenya orang manut suami,
jadi gimana suami gitu aja. Kalau sendiri mungkin ya
melarikan diri. Kalau nggak ya mungkin di masjid. Karena
saya ki tipenya ki, suami bilang nggak ya nggak. Suami
bilang iya; ya. Jadi alurnya nggak bisa sendiri. (Ibu Pur)
3. Setelah Erupsi (End)
a. Pengalaman kehilangan
Pengalaman kehilangan hanya dirasakan oleh Ibu Mur. Erupsi
Merapi menyebabkan kejatuhan perekonomian keluarga maupun
masyarakat sekitar, desanya hilang, keluarganya meninggal. Pengalaman
ini dipandang Ibu Mur sebagai sebuah proses pembelajaran dalam hidup.
Ya kadang-kadang. Kadang-kadang di saat tertentu ya Mas
ya. Misalnya ada acara prosesi Labuhan atau apa. Waktu
yang pertama saya pulang pas, saya juga abdi dalem,
dandan pake kebaya. Saya pulang untuk yang pertama,
waktu itu dianter itu saya hanya bisa nangis. Teringat
semua-muanya. Merasa kehilangan, bayang-bayang simbah
itu ada. (Ibu Mur)
Kita sabar, ikhlas, Insya Allah. Sabar, iman, dan ikhlas.
Sabar menghadapi musibah, iman sama yang di atas. Ikhlas
menjalankan perintahNya. Kita bersosial; ikhlas. Seperti
juga saya menghadapi musibah Merapi, ya kita harus bisa
menerima dengan kesabaran. Dan kita harus merelakan,
mengikhlaskan apa yang diberikan Allah kayak kemarin
mungkin suatu itu sudah diambil. (Ibu Mur)
Saya naik pertama kali tu pas di rumah Pak Bagyo, yang
batas terbakar itu lho. Sampai atas mencari tilas rumah ya
bingung Mas. Nek ra bingung ya ampuh. Tapi yo ra nangis.
Malah heran. Ini beneran atau nggak. (Ibu Mur)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
b. Mengatasi keadaan diri
Selama dan setelah suatu hal terjadi, maka manusia melakukan
suatu hal yang sifatnya responsif. Jika ada masalah maka akan ada
penyelesaian masalah. Begitu juga dalam bencana erupsi yang dialami
Ibu Pur dan Ibu Mur. Ibu Pur dan Ibu Mur memiliki cara mengatasi
keadaan yang cukup berbeda karena level akibat bencana Ibu Mur juga
lebih tinggi dibandingkan dengan Ibu Pur. Namun, beberapa cara
mengatasi efek erupsi memiliki kesamaan, yakni mengatasi kecemasan
dengan berdoa.
Rasanya ki pokoke ki udah siap-siap. Suara gemuruh itu semakin
ke sini. Kan kita tu udah, yo wis nggak bisa….pokoke cuma di
masjid. Pokoke baca sholawat, baca istighfar. Gitu kan. (Ibu Pur)
Kalau saya kan Islam ya, yang jelas ya dengan berdoa. (Ibu Mur)
Selain dengan berdoa, keduanya juga sama-sama menyelamatkan
diri, meskipun pada Ibu Pur hanya sebatas rencana saja. Jika tidak
menyelamatkan diri maka nyawa Ibu Mur akan terancam, sedangkan
pada Ibu Pur yang rumahnya relatif jauh akan tetap baik-baik saja.
Namun insting untuk menyelamatkan diri dari ketakutan ini muncul pada
keduanya.
Kalau mau melarikan diri, Pak Masrur ya nggak boleh. Wong
suruh di Masjid aja. Itu pokoke di masjid kumpul semua, satu
orang desa sini. Itu kan nggak pada mengungsi. (Ibu Pur)
Ya kita harus menyelamatkan keluarga. Kita harus menyingkir
dulu. Apa ada orang yang bisa menahan awan panas. Nggak ada.
Alat apa yang bisa. Kalau kita harus ada keterangan dari BPPTK
Merapi baru ada gawe ya kita jangan wani-wani. Kita harus
menyingkit dulu. Sumingkir ya kita berdoa agar kita selamat. (Ibu
Mur)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Berbeda dengan Ibu Pur, Ibu Mur mengalami pengalaman
kejatuhan secara ekonomi. Harta bendanya tidak ada yang tersisa.
Desanya hilang. Selain itu sosok yang menjadi panutan di keluarga,
Mbah Maridjan, juga meninggal dalam peristiwa erupsi. Ibu Mur
mencoba untuk mengikhlaskan semua yang telah hilang akibat dari
erupsi Merapi.
Lha butuh duit je. Padahal ya panas-panas ngentang-
ngentang. Pas naik kok lihat banyak orang, panas-panas
gini ya butuhlah. Saya naik motor itu ya jualan air sama
kaset-kaset ternyata ya habis. (Ibu Mur)
Ya wanita-wanita, itu kan ya ngojek, supir Jeep. (Ibu Mur)
Simbah to. Simbah itu memang sudah meninggal ya, tapi
kadang merasa simbah itu masih gitu lho Mas. Kalau
semua itu, harta benda ya udah diikhlaskan. Sudah kembali
ke yang punya. (Ibu Mur)
Ya sedikit-sedikit memang harus belajar mengikhlaskan.
Percaya nggak percaya ya saya itu harus percaya bahwa
simbah itu udah nggak ada. (Ibu Mur)
Harus bangkit-lah. Pelan-pelan, dengan waktu kan orang
itu bisa to diisi dengan kegiatan-kegiatan. (Ibu Mur)
Lha saya belum jualan, orang lain malah sudah duluan. Ya
gak papa, pada bangkit. Daripada cuma nglesot di
pengungsian. (Ibu Mur)
c. Kerinduan pada masa lalu
Akibat pengalaman kehilangan, Ibu Mur merasa bahwa dia
merindukan pengalaman terhadap suasana rumah. Sesekali dia datang ke
Kinahrejo untuk melepas rasa rindunya dan bernostalgia dengan tanah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
kehidupannya. Meskipun tinggal satu lokasi bersama orang se-desanya,
namun kerinduan akan tanah kelahirannya tidak bisa terobati.
Bukan hunian, cuma pengen tidur di sana ya tidur. Saya
kan rasanya belum pulang ke sana Mas, rasa pengen
pulang ke sana ya masih to. Kalau ke sana pulang itu saya.
Siang saya jualan di sana. (Ibu Mur)
Ke sana tu pulang, rasanya bisa tidur pulas. (Ibu Mur)
Pikirannya, kalau dulu kan mikirnya orang ngungsi kok
nggak pulang-pulang. Ini kan sekarang sudah ada rumah,
kalau di shelter itu kapan iki le arep mulih. Pikirannya kan
seperti itu. (Ibu Mur)
Iya masih kangen, dari kecil saya, kalau saya sendiri ya
kangen. Tapi mungkin ada ibu-ibu yang blas, trauma.
Kalau saya nggak. Kemarin Labuhan kan malah wayangan
di sana kan. (Ibu Mur)
d. Allah sebagai segala sumber
Sebagai pemeluk suatu agama, baik Ibu Pur maupun Ibu Mur
menyangkutkan dan mengandalkan Allah sebagai penopang kelemahan
dan kegoyahan. Ketika dikembalikan kepada Allah semua menjadi lebih
ringan. Namun, dalam pengalaman Ibu Pur, nuansa pengalaman dengan
Allah sangat kental. Segala sesuatu didasarkan pada Allah. Tidak heran
jika kemudian Ibu Pur memandang Allah sebagai sosok yang begitu
terkesan Maha dan kita harus takut dan menyembah padaNya. Ibu Mur
sendiri memandang Allah sebatas personifikasi manusia ideal yang
membantu mengatasi kesukaran.
Meletus memang pekerjaannya gunung. Bukan berarti itu…
Ya itu termasuk memperlihatkan kekuasaaan Allah juga,
karena itu manusia kan nggak tahu seperti meletusnya
gunung itu kapan, hanya tanda-tandanya aja yang tahu,
meletusnya nggak tahu. (Ibu Pur)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Ya saya itu, nek bekase lho, saya kan punya dasar bahwa
Allah itu berkuasa dan kiamat itu akan terjadi. Lha saya itu
percaya kalau itu kiamat kecil dan nanti pasti terjadi. (Ibu
Pur)
Semakin yakin bahwa Allah itu benar-benar kuasa, apa ya,
saya baca dalam kitab saya, kan bacanya saya di kitab Al-
Quran misalnya ada tanda-tanda itu udah persis. Sebelas-
dua belas gitu. Ya udah. Perjalanan gunung Merapi
meletus, orang-orang pada lari, itu kan udah ada dalam
Quran. Jadi ya saya itu cuma itu. (Ibu Pur)
Ya semakin kuat, kepasrahannya semakin..kepada Yang
Maha Kuasa itu semakin takut. Jadi dikatakan dalam
Quran, “Orang-orang yang takut dengan Allah itu
dikatakan semakin tinggi derajatnya.” Karena Allah itu
benar-benar kuasa sekali. KekuasaanNya itu melebihi yang
di langit dan di bumi. (Ibu Pur)
Ya iya to, namanya gunung berapi. Merapi memang punya
kriteria sendiri. Yang jelas kan ya harus dikuatkan dengan
keimanan, orang kan juga punya kepercayaan. Manusia itu
kan nggak ada apa-apanya. Semua itukan ujian. Insya
Allah, ujian itu kan kayak masnya. Ada lulus nggaknya.
(Ibu Mur)
Kita sabar, ikhlas, Insya Allah. Sabar, iman, dan ikhlas.
Sabar menghadapi musibah, iman sama yang di atas. Ikhlas
menjalankan perintahNya. Kita bersosial; ikhlas. Seperti
juga saya menghadapi musibah Merapi, ya kita harus bisa
menerima dengan kesabaran. Dan kita harus merelakan,
mengikhlaskan apa yang diberikan Allah kayak kemarin
mungkin suatu itu sudah diambil. (Ibu Mur)
Sama keimanan. Saat itu ya mungkin kalau orang itu
keimanannya ya labil ya nganu. Misalnya berdoa, ternyata
ya masih. Walaupun namanya bencana, walaupun tidak
digunung, kalau Allah menghendaki ya gitu. (Ibu Mur)
e. Pengalaman traumatis
Kedua subjek mengalami pengalaman traumatis. Namun, bobot dari
masing-masing pengalaman traumatis akan berbeda sesuai dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
tingkat pengalaman kehilangan. Ibu Pur yang cenderung lebih aman
dibandingkan Ibu Mur juga mengalami pengalaman traumatis yang
hampir serupa dengan Ibu Mur.
Ya saya kan nggak melihat, nek Pak Masrur kan mungkin
masih teringat. Saya kan nggak melihat, jadi nggak tahu,
jadi di perasaan nggak ada. Cuma itu, terasa getaran-
getarannya itu, terus ketakutan-ketakutannya suara-suara
itu. (Ibu Pur)
[Kalau ingat jaman dahulu apakah masih merasa takut]
Iya, ya tetep. (Ibu Pur)
Lain dengan Ibu Mur yang justru merasa biasa ketika mendengar
suara-suara dari perut Merapi. Ibu Mur merasa sudah biasa mendengar
suara tersebut sejak dulu. Ibu Mur mengalami pengalaman traumatis
dengan suara sirine. Dia mengaku merasa kesal, kaget, marah, dan sakit
ketika mendengar suara sirine. Suara sirine mengingatkan pada segala
pengalaman pahit ketika erupsi Merapi 2010.
Kalau saya yang paling pokok ya sirine itu. Kalau kaitan
dengan Merapi ya kalau ada suara gludak-gluduk,
luncuran kecil-kecil itu ya dari dulu kan memang sering.
Sebelum erupsi itu kan sering, hal biasa gitu lho. (Ibu Mur)
Langsung merasa ngeri. Kaget. Kalau ada orang coba-coba
membunyikan sirine pasti saya malah sering marah saya.
Nggak pas lagi. (Ibu Mur)
Terus apa ya, bunyi sirene itu lho Mas. Sirene mobil
ambulan itu lho yang sampai sekarang tidak hilang. Saya tu
kalau dengar suara apa itu, ya sirene di ambulan atau HT,
rasanya tu di sini tu sakit itu lho. Teringat yang dulu itu
sampai sekarang itu. Itu sulit dihilangkan. Kayak trauma
kalau ada suara itu. Kalau ada suara itu sakit rasanya. (Ibu
Mur)
Kan sirene di atas cuma ngak-ngek gitu. Tapi nggak tahu,
awal mulanya di Barek kan semalam cuma ada sirene itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
terus. Sampai sekarang sulit saya untuk..rasanya itu masih
sakit kalau denger suara itu. Kalau denger suara itu
rasanya ya kayak “Ngungsi! Ngungsi!” (Ibu Mur)
Dapat dipahami bahwa dengan level bencana yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Ibu Pur, Ibu Mur mengalami pengalaman traumatis
yang juga berlebih. Selain itu, berkaitan dengan suara aktivitas magma di
Merapi dapat dipahami bahwa keakraban dengan Merapi menjadi faktor
yang membedakan pengalaman traumatis satu sama lain di mana Ibu Pur
merasa takut dengan suara itu, sedangkan Ibu Mur justru sudah resisten.
f. Keyakinan akan nasib
Keyakinan akan nasib ini muncul pada Ibu Pur saja. Asal-muasal
keyakinan ini bersumber pada keberadaan suami Ibu Pur. Oleh karena itu
keyakinan akan nasib di sini juga berkelindan dengan adanya dependensi
terhadap otoritas luar. Dalam hal ini adalah terhadap suami Ibu Pur.
Namun, dependensi di sini dipandang positif dalam nilai-nilai religius.
Iya, ngrasa cemas, takut. Ya namanya manusia. Pak
Masrur aja juga tapi dia mengira itu meletusnya ke sana,
seandainya ke sini, dia yo lari. Bukan kita itu nggak
persiapan terus cuma pasrah itu ya nggak. Itu kan dilihat
dulu, dari jauh to. Kalau mau lari ya bisa ke arah sana
misalnya. Ternyata laharnya di sana, di Gendol. Nggak
mungkin ke arah sini. (Ibu Pur)
Gitu terus habis itu disuruh ngungsi yo nggak mau, wong
itu udah meletus yang paling besar itu. Tapi kan beritanya
masih gencar itu, nanti beritanya masih akan meletus besar
lagi itu. Mau sigar to itu. (Ibu Pur)
Terus prinsip dalam kitab saya, wanita itu yang baik itu
yang tongat sama suami. Ya udah itu, ya cuma manut sama
Allah gitu. Wanita yang bagus itu…ya manut aja.
Perjalanan saya cuma itu, sama ilmu agama. (Ibu Pur)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
g. Memandang sekitar sebagai sesuatu yang mutualistis
Pandangan terhadap sekitar yang mutualistis ini muncul pada
kedua subjek. Namun pada Ibu Pur pandangan ini bercampur-aduk
dengan kepatuhan terhadap suami. Sedangkan pada Ibu Mur, pandangan
ini membuatnya semakin hidup dan merasa berkewajiban untuk
bekerjasama satu sama lain. Pada tema ini, pandangan mutualistis lebih
mengarah pada Ibu Mur yang juga masih berkaitan dengan cara
mengatasi keadaan.
Karena sekarang ilmunya sudah ada BPPTK. Kadang
kalau Merapi bergejolak ya kadang diSMS, kadang saya
SMS. (Ibu Mur)
Merapi itu ya seperti sahabat. Kalau saya ya memang
harus ikut menjaga lingkungannya, penanaman-
penanaman, penghijauan. (Ibu Mur)
Kan tidak sendirian. Kita tidak sendirian. (Ibu Mur)
Anak-anak kan juga trauma, harus membesarkan hatinya,
iya to? Seperti itu kan..iya anak-anak. Kasih dukungan.
Ternyata cukup banyak orang kasih dukungan, support.
Niliki itu, jenguk. Walaupun saya itu ngungsinya mandiri
to. (Ibu Mur)
Kadang kan juga butuh teman. Di sana kan juga guyonan
karo kancane. (Ibu Mur)
C. Pembahasan
Ibu Pur, subyek pertama, tinggal di sebuah rumah yang sekaligus
menjadi sebuah pesantren di kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY. Jarak
tempat tinggal yang relatif dekat dengan gunung Merapi ini memungkinkan
jika suatu saat Merapi erupsi maka dampaknya sampai di kediaman Ibu Pur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Namun, sebelum erupsi, biasanya muncul tanda-tanda terlebih dahulu. Oleh
karena itu, ketika Merapi erupsi pada tanggal ada tanggal 26 Oktober 2010 Ibu
Pur tidak begitu cemas. Baginya erupsi pada tanggal tersebut tidak terlalu
membahayakan Ibu Pur beserta para tetangganya. Menurut Ibu Pur ―Merapi
mau meletus, tanda-tandanya belum lengkap.‖
Erupsi tanggal tanggal 26 Oktober 2010 ini bukanlah puncak. Secara
gradual aktivitas Merapi semakin meningkat. Mulailah Ibu Pur mengamati
perubahan berkaitan dengan Merapi. Pada tanggal 4 November 2010, Ibu Pur
menggambarkan bahwa ―siang itu udah gempa, terus langit gelap, terus ada
abu sedikit.‖ Bagi Ibu Pur, ini adalah tanda-tanda Merapi akan erupsi kembali.
Dan benar, pada tanggal 5 November 2010 dinihari, Merapi kemudian
menunjukkan kekuatannya. Ibu Pur ―merasa seperti mau meninggal‖.
Ditambah lagi dengan ―suara halilintar yang tidak biasa‖ membuat suasana
Merapi malam itu semakin muram.
Kekuatan erupsi Merapi yang tidak seperti biasa ini bagi Ibu Pur benar-
benar tidak terduga. Meskipun Ibu Pur tahu bahwa Merapi akan erupsi, namun
―akan meletus besar itu nggak tahu‖. Kekuatan erupsi Merapi yang tidak
seperti biasanya ini menciptakan keadaan yang benar-benar chaos pada dirinya.
Tidak heran apabila dia merasa seperti akan mati.
Keadaan yang begitu seram lagi muram yang membuat Ibu Pur goyah.
Kegoyahan ini mendorong Ibu Pur untuk mencari pegangan. Dalam
kesehariannya, Ibu Pur selalu berpegang pada suaminya. Begitu juga kali ini.
Sebagai tipe orang yang ―manut suami‖, Ibu Pur mempercayakan segala
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
sesuatu kepada suaminya. Ibu Pur merasa aman ketika bersama suaminya.
Seakan-akan suami menjadi perwujudan Allah secara fisik.
Selain berpegang pada suaminya, Ibu Pur juga mengatasi keadaannya
lewat berdoa. Ibu Pur terus sholawat dan istighfar. Baginya berdoa dapat
mengatasi kecemasan terhadap keadaan. Selain itu, berdoa juga merupakan
perwujudan kepasrahan manusia terhadap Allah.
Allah sendiri digambarkan oleh Ibu Pur sebagai Yang Maha ―Sak
Karepe Dewe‖. Allah adalah Dia yang berkuasa atas setiap nasib manusia.
Dengan kehendakNya semua bisa terjadi, kata-kataNya adalah kebenaran.
Suatu saat, seperti kata Allah yang berkuasa itu, kiamat akan terjadi dan ketika
itu pula orang-orang akan seperti gabah diinteri. Setiap orang tidak peduli
dengan anaknya dan hanya lari menyelamatkan diri.
Kedekatan kehidupan Ibu Pur dengan agama membuat Ibu Pur
memasrahkan segala sesuatu dalam kehendak Allah. Semua kehendak adalah
kehendak Allah, seharusnya manusia mendekatkan dan takut kepada Allah.
Begitu juga Merapi, ia adalah ciptaan Allah yang bermanfaat. Dengan
demikian, erupsi yang mengerikan ini pun juga kehendak Allah. Kekuasaan
Allah atas erupsi yang begitu dahsyat ini semakin membuat Ibu Pur berpasrah
dan yakin bahwa Allah begitu Maha Kuasa.
Meskipun Ibu Pur telah berpasrah pada suami dan Allah, namun bukan
berarti Ibu Pur tidak mengalami pengalaman traumatis. Suara mengerikan yang
terdengar ―gludak-gluduk‖ di perut bumi dan halilintar yang tak kunjung
habisnya membuat Ibu Pur merasa ngeri. Ibu Pur tidak melihat maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
bersentuhan langsung dengan uap maupun lahar Merapi, oleh karena itu
ketakutan traumatis yang muncul adalah berkaitan dengan suara. Meskipun
hanya sekadar membayangkan suasana saat erupsi dulu, Ibu Pur tetap merasa
takut dengan keadaan tersebut; takut akan kuasa Allah yang begitu besar.
Meskipun kecemasan dan ketakutan terus menghantui, namun baginya,
suami adalah orang yang dapat dipercaya. Keputusannya untuk tidak
mengungsi sesuai amanat suaminya berbuah pada keselamatannya.
Keselamatan dirinya ini membuktikan bahwa keyakinan terhadap suaminya
yang menetukan nasibnya tidaklah salah.
Sedangkan pada subyek kedua, Ibu Mur, menggambarkan dirinya
seolah menjadi seorang pembaca tanda. Ibu Mur tinggal di Kinahrejo, sebuah
dusun yang hilang ditelan material dan awan panas Merapi. Kehidupannya
sangat dekat dengan Merapi dan erupsi. Sebagai orang yang telah biasa
mengalami erupsi Merapi, Ibu Mur memprediksi bahwa erupsi 2010 tidak
seperti biasanya. Lelehan lava merah bara di puncak Merapi memutuskan Ibu
Mur untuk mengungsi dari Kinahrejo ke lokasi yang lebih aman.
Sebagai penduduk Kinahrejo yang secara geografis sangat dekat dengan
Merapi, Ibu Mur hidup berdasarkan pada kearifan lokal. Kearifan lokal yang
dimaksud adalah berupa kepercayaan terhadap mitos Merapi. Mitos berupa
adanya mahkluk ―tak terlihat‖ yang mendiami Merapi masih kuat menempel
pada dirinya. Selain itu, hal-hal tabu seperti ―merapi tidak boleh dikatakan
njeblug, mbledos atau ada wedus gembel, tapi Merapi dalam proses
membangun‖ juga masih melekat dalam dirinya. Kearifan lokal dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
keakrabannya dengan Merapi ini membuatnya memiliki pandangan bahwa
Merapi adalah sahabat.
Personifikasi Merapi sebagai sahabat adalah wujud bahwa Ibu Mur dan
sekitarnya berhubungan secara mutualistis. Ibu Mur merasa berkewajiban
menjaga Merapi. Meskipun kadang-kadang ketika Merapi punya gawe dia
sekeluarga harus menyingkir.
Namun, rasa penasaran terhadap erupsi 2010 mengantar Ibu Mur untuk
melihat keberlangsungan proses erupsi. Proses ―menikmati‖ erupsi ini telah
menjadi kebiasaannya sejak dulu. Tapi karena pertimbangan level erupsi yang
cenderung destruktif ini Ibu Mur dilarang untuk naik ke atas melihat erupsi
berlangsung meskipun kala itu Ibu Mur ingin menikmati seperti biasanya.
Tidak dinyana erupsi Merapi 2010 ini merupakan sejarah yang merubah
kehidupan Ibu Mur, baik secara psikis maupun spiritual. Berbagai pengalaman
kehilangan terjadi. Ibu Mur memang kehilangan harta bendanya, namun dia
lebih merasa kehilangan Mbah Maridjan yang telah dia anggap sebagai
anutannya. Ibu Mur merasa bayang-bayang Mbah Maridjan masih ada di
sekitarnya. Guna mengatasi rasa kehilangan tersebut, Ibu Mur berdoa.
Selain lewat berdoa, Ibu Mur juga terus belajar mengikhlaskan
kepergian Mbah Maridjan. Ibu Mur memahami bahwa banyak orang yang
mengalami rasa kehilangan dan nasib yang sama. Bahkan untuk belajar
mengikhlaskan Ibu Mur mensyukuri keadaan dirinya, baginya ―ada sesuatu
atau orang yang lebih susah dari kita.‖
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Selain kehilangan Mbah Maridjan, Ibu Mur juga merasakan kehilangan
harta benda, suasana rumah. Rasa kehilangan Mbah Maridjan dan suasana
rumah inilah yang mendominasi kehidupan psikisnya. Rasa rindu akan suasana
rumah dan sosok Mbah Maridjan. Meskipun demikian dia terus belajar untuk
―mengikhlaskan apa yang diberikan Allah‖.
Tidak hanya sebatas pengatasan masalah secara psikis secara personal,
Ibu Mur juga berusaha menguatkan kondisi psikis anaknya yang menurun
akibat trauma. Tidak terkecuali, orang-orang di sekitarnya juga dia beri
pertolongan. Dia senang melihat dia dan orang di sekitarnya bangkit. Baginya
pekerjaan sebagai tukang ojek, berdagang, kegiatan-kegiatan, dan Kelompok
Usaha Bersama menjadi sarana kebangkitan secara ekonomi maupun psikis.
Apapun usahanya, asal itu membantu dan berguna bagi orang lain dan diri
sendiri, coba dia upayakan.
Meskipun Ibu Mur selalu berusaha bangkit, namun rasa kehilangan
yang muncul menyebabkan Ibu Mur mengalami kerinduan pada masa lalu.
Rasa rindu yang muncul diarahkan kepada suasana dusun dan rumahnya dulu
dan Mbah Maridjan. Ibu Mur bisa tidur lebih pulas di Kinahrejo yang hancur
dibandingkan dengan rumah relokasinya. Semua kenangan masa kecil dan
nostalgia berkelindan ketika di Kinahrejo. Sampai saat ini dia merasa belum
pulang ke rumah, ― pikirannya ngungsi kok nggak pulang-pulang.‖
Bagi Ibu Mur, kehilangan yang Ibu Mur alami merupakan bagian dari
latihan hidup. Ada tiga nilai yang disodorkannya; ―Sabar, iman, dan ikhlas.
Sabar menghadapi musibah, iman sama yang di atas. Ikhlas menjalankan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
perintahNya. Kita bersosial; ikhlas. Seperti juga saya menghadapi musibah
Merapi, ya kita harus bisa menerima dengan kesabaran. Dan kita harus
merelakan, mengikhlaskan apa yang diberikan Allah kayak kemarin mungkin
sesuatu itu sudah diambil.‖
Akhirnya semua akan kembali ke Allah. Bencana sendiri juga kehendak
Allah. ―Manusia itu nggak ada apa-apanya‖, agar manusia dapat menghadapi
ujian maka harus dikuatkan dengan keimanan. Keimanan sendiri terarah pada
Allah.
Kepergian Mbah Maridjan, hilangnya rumah, suara sirine saat erupsi,
guguran lava, dan suara perut Merapi terus menghantui pikiran Ibu Mur.
Berbagai peristiwa yang tiba-tiba muncul dalam pikiran Ibu Mur ini bahkan
berpengaruh kuat pada perasaannya dan mewujud dalam pengalaman
traumatis. Pengalaman traumatis yang paling mebekas baginya adalah suara
sirine. Sampai saat ini, ketika Ibu Mur mendengar suara sirine, pikiran dan
perasaannya terasa ngeri, kaget, arah, kesal lagi sakit. Bahkan tidak segan dia
marah ketika ada yang iseng membunyikan suara sirine, baginya ―nggak pas
lagi‖.
Dalam rasa kehilangan, Ibu Mur menemukan semangat bangkit dari
orang di sekitarnya. ―Kadang kan juga butuh teman. Di sana kan juga guyonan
karo kancane.― mengajarkan pada kita bahwa relasi sosial bersifat mutualistis,
bukan hanya demi kepentingan pribadi. Bagi Ibu Mur yang bisa dilakukan
setelah erupsi adalah saling membantu. Bukan hal mengejutkan ketika Ibu Mur
juga mempersonifikasikan Merapi sebagai seorang sahabat. Selain itu Ibu Mur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
juga mejalin sebuah relasi mutualistis dengan BPPTK di mana keduanya saling
memberi kabar mengenai keadaan Merapi guna mencegah kejadian yang tidak
diinginkan berkaitan dengan Merapi.
Setelah menggambarkan story line kedua subyek, maka selanjutnya
adalah pendeskripsian resiliensi dan berbagai kearifan lokal yang berperan
pada penyintas wanita pada erupsi Merapi 2010. Pemahaman mengenai
resiliensi akan di-review singkat guna memberikan batas kajian masalah. Dari
hasil sintesis beberapa kajian mengenai resiliensi (Grotberg, 1995; Connor dan
Davidson, 2003; Xianon dan Zhang, 2007), resiliensi didefinisikan sebagai
kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik setelah melewati
kondisi yang sulit.
Sesuai dengan definisi resiliensi di atas, maka syarat untuk bangkit dan
berubah menjadi lebih baik adalah kondisi yang sulit. Kondisi yang sulit
sendiri dalam penelitian ini adalah bencana erupsi Merapi yang dialami
subyek. Kondisi sulit kedua subyek ditunjukkan dengan ketakutan yang
traumatis terhadap bencana dan pengalaman kehilangan. Kondisi kedua ini
lebih dialami oleh Ibu Mur.
Salah satu yang menjadi modal resiliensi adalah kearifan lokal. Dalam
penelitian ini ada berbagai nilai yang muncul. Pertama adalah nilai
kebersamaan muncul dalam kondisi senasib sepenanggungan. Misalnya saja
ketika Ibu Mur yang menjadi penyintas sekaligus subyek berada dalam
pengungsian. Dia membutuhkan teman sekadar untuk guyonan. Dengan
ngguyu bersama dia merasa tidak sendiri. Atau juga muncul dalam tema Ibu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Pur yang menganut nilai kebersamaan dengan suaminya. Ibu Pur semakin
merasa kuat jika sedang bersama suaminya. Bahkan dia menyampaikan tidak
tahu jika tidak ada suaminya.
Selanjutnya adalah nilai perjuangan. Nilai perjuangan dalam peristiwa
ini diwujudkan dalam bentuk perjuangan dari kejatuhan, perjuangan untuk
bangkit secara personal, ekonomi, maupun sosial. Keadaan ekonomi yang
memburuk dan rasa kehilangan dialami oleh Ibu Mur. Melihat kondisinya
tersebut, Ibu Mur tidak lalu menyerah. Justru Ibu Mur melihat hal tersebut
sebagai sebuah tantangan yang membuatnya semakin hidup, semakin belajar
sabar, semakin beriman, dan semakin belajar ikhlas. Demikian halnya dengan
Ibu Pur. Dia semakin yakin akan Tuhan dan kekuatanNya. Bahwa manusia
bukan apa-apa dan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa. Nilai perjuangan ini
membawa Ibu Pur maupun Ibu Mur menjadi lebih optimis mengatasi keadaan
diri yang kemudian juga berkaitan erat dengan pengalaman hidup (dalam
erupsi) yang memiliki arti tersendiri bahwa bencana dan kesulitan hidup
menantang keimanan seseorang. Kondisi keimanan ini kemudian berkaitan erat
dengan nilai ketaqwaan dan kepasrahan.
Nilai ketaqwaan dan nilai kepasrahan sendiri berkaitan erat dengan
hubungan dengan Tuhan. Tentu saja dalam hal ini Tuhan yang dipercaya
masyarakat Jawa sebagai pembimbing adikodrati dalam menghadapi suatu
masalah (Mulder, 2007). Kedua subyek mengembalikan segala sesuatu kepada
Tuhan, namun bukan berarti kemudian dependen kepada Tuhan. Nilai
perjuangan menjadi pengejawantahan bahwa adanya Tuhan bukan menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
sebuah wujud dependensi yang merusak kepribadian kedua subyek. Dengan
adanya sosok Tuhan, manusia menjadi tidak jumawa dan menjadi sosok yang
andhap asor. Seperti dirasakan Ibu Mur bahwa manusia itu bukan apa-apa dan
disambung Ibu Pur bahwa semua tergantung pada kehendak Tuhan.
Disampaikan lebih lanjut oleh Ibu Pur ―namun bukan berarti kita lalu pasrah‖.
Artinya, ada suatu kekuatan untuk tetap berdaya meskipun kesan fatalistik
muncul dalam hubungan dengan Tuhan.
Sisi ketuhanan menjadi nuansa kental dalam kehidupan kedua subyek,
baik keseharian maupun saat bencana. Dan sosok Tuhan sendiri menjadi
sebuah daya magis untuk bangkit. Sesuai pemahaman bahwa orang yang
resilien memiliki kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik
setelah melewati kondisi yang sulit, maka Tuhan dalam hal ini menjadi sebuah
modal sosial dalam proses resiliensi wanita yang menjadi penyintas erupsi,
terkhusus Ibu Pur dan Ibu Mur. Lewat berdoa kepada Tuhan mereka menjadi
merasa aman dan kecemasan reda. Lewat Tuhan pula Ibu Mur bisa
mengikhlaskan segala sesuatu yang hilang dari kehidupan sebelum erupsi.
Nilai-nilai tersebut juga terekam dalam filosofi Memayu Hayuning
Bawana, memang tidak terverbalisasi, tapi tidak lalu dengan mudah kita
mengesampingkannya. Ketidaksadaran kolektif yang turun mentradisi di tanah
Merapi menjadi sarana terhidupinya filosofi ini. Misalnya saja ketika Ibu Mur
menyampaikan bahwa Merapi adalah sahabat. Kalimat singkat yang bernas ini
merangkum segala filosofi yang ada di tanah Jawa dan terkhusus dalam
kehidupan kejawen. Dalam konsep Merapi sebagai sahabat ini, terangkum pula
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
filosofi Hangengasah Mingising Budi yang dikaitkan dengan harmonisasi
antara jagad cilik dengan jagad gede. Atau secara lebih eksplisit mencapai
keharmonisan antara diri dengan alam di mana alam adalah perwujudan
kekuatan Tuhan.
Lebih jauh lagi, konsep-konsep filosofis ini tenyata membantu
seseorang menjadi resilien. Meskipun Merapi telah membuat Ibu Mur rugi
secara material maupun psikologis, tidak lalu Ibu Mur membenci Merapi.
Kecenderungan orang yang dirugikan oleh sesuatu maka akan merasa marah,
kemudian rasa marah ini akan mengantar pada emosi benci terhadap sesuatu
tersebut (Stets, 2006). Namun kecenderungan tersebut tidak terjadi dalam diri
Ibu Mur. Dia tetap menganggap Merapi sebagai sahabat di mana dia
bertanggungjawab untuk melestarikan lingkungannya. Dengan menganggap
Merapi sebagai sahabat, sebagai personifikasi orang yang dekat, maka rasa
ikhlas atas kerugian yang diderita akibat Merapi akan cenderung dimunculkan.
Resiliensi juga didukung oleh nilai-nilai yang dipegang baik oleh Ibu
Pur maupun Ibu Mur. Kepasrahan dan keimanan dikonversi menjadi sebuah
rasa sabar, sumeleh, dan sumarah yang memang sudah menjadi ciri karakter
yang menonjol pada wanita Jawa (Handayani & Novianto, 2007). Dari
beberapa hal di atas maka daya resiliensi Ibu Pur dan Ibu Mur berasal dari dua
hal, yakni Tuhan (mewakili kepasrahan dan keimanan) dan nilai lokal berupa
kesabaran, keikhlasan, keharmonisan, kebersamaan, serta perjuangan. Dengan
demikian, hasil penelitian ini juga mendukung tesis Sulastri (2007) bahwa ada
hubungan antara penyintas dengan dunia sekitarnya atau kearifan lokal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Hubungan yang terjadi dalam penelitian ini secara khusus hubungan antara
resiliensi yang disokong oleh kearifan lokal.
Penelusuran lebih lanjut memperlihatkan bahwa berbekal daya resilien
maka kecenderungan seseorang untuk mengalami rasa sakit termasuk dalam
hal ini trauma semakin kecil (Oulette, 1998). Hal tersebut dikarenakan daya
resilien seseorang membuatnya mampu mengatasi tantangan dan dapat
memberi kontrol atas dirinya di mana kemudian orang tersebut menjadi tahan
terhadap keadaan sakit. Salah satu bentuk trauma atau rasa sakit seseorang
adalah PTSD. Daya resilien wanita penyintas erupsi Merapi menjadi bekal
tersendiri dalam mengantisipasi dan melewati gangguan traumatis ini.
Dari data yang diperoleh, ada pengalaman traumatis berbeda dari kedua
subyek. Pengalaman traumatis yang berbeda ini menjadi implikasi wajar bahwa
kedua subyek memiliki latar belakang historis, geografis, dan pengalaman
kehilangan yang berbeda satu sama lain.
Pada subyek pertama, Ibu Pur, pengalaman traumatis yang dirasakan
hingga saat sini berupa suara aktivitas perut bumi. Pengalaman traumatis ini
berkaitan dengan erupsi 2010 yang hanya dia dengar saja, tidak dia lihat.
Kejadian traumatis yang dirasakan Ibu Pur tersebut tidak terlalu merubah
kehidupan Ibu Pur. Ibu Pur akan merasakan ketakutan jika mendengar suara
aktivitas magma, namun tidak kemudian emosinya labil. Ibu Pur masih baik-
baik saja meskipun teringat akan kejadian kala itu. Keadaan baik-baik saja ini
dapat diamati ketika mengajak Ibu Pur bercerita tentang Merapi. Tidak lalu Ibu
Pur menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
(avoidance). Ibu Pur justru bercerita mengenai erupsi Merapi dengan sangat
lancar. Jika Ibu Pur mengalami PTSD, maka akan muncul kecenderungan
menghindari pembicaraan mengenai erupsi 2010.
Lain lagi dengan pengalaman Ibu Mur. Menurut APA (2006) individu
yang mengalami tingkat kehilangan lebih akan lebih mudah terkena PTSD.
Namun, semua itu kemudian juga dipengaruhi oleh cara individu menghadapi
situasi emosional. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa sosok Tuhan membuat
para subyek cenderung lebih resilien, begitu pula dalam menanggulangi situasi
emosional dan PTSD. Dengan adanya sosok Tuhan, maka penerimaan akan
keadaan lebih meningkat dan coping yang terjadi cenderung konstruktif. Hal
ini mengindikasikan bahwa keberadaan Tuhan meningkatkan kesehatan mental
seseorang. Lewat Tuhan, kata Silberman (dalam Emmons & Paloutzian, 2003),
arti hidup dapat tercapai dan emotional well-being akan cenderung adaptif.
Ada beberapa simptom tertentu bagi para penderita PTSD. Misalnya
keterlepasan atau terasingkan dari orang lain akibat mati rasa atau kehidupan
emosional tidak berjalan (Getzfeld, 2006). Atau justru individu menjadi sangat
emosional (hyperarousal). Kecenderungan untuk menjadi sangat emosional
terjadi pada Ibu Mur ketika mendengar suara sirine yang menyebabkan dia
kesal dan marah. Namun, belum bisa dikatakan bahwa hal tersebut
menunjukkan PTSD yang akut maupun kronis. Ibu Mur tidak menghindari
penceritaan mengenai sirine, justru fokus ceritanya adalah tentang sirine yang
membuatnya merasa ngeri. Bisa jadi memang bercerita menjadi sebuah cara
mengatasi PTSD bagi para survivors. Meminjam kata-kata Ibu Mur, yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
bernuansa nilai kebersamaan, bahwa ―Kadang kan juga butuh teman. Di sana
kan juga guyonan karo kancane.‖
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Ibu Pur adalah ibu rumah tangga berusia 36 tahun. Ibu Pur adalah istri
dari tokoh agama terkemuka. Kedekatannya dengan agama ini mengantar
hidupnya pada filosofi hidup yang dikenakannya berbasis agama. Ketika erupsi
Merapi 2010, Ibu Pur tidak mengungsi ke manapun. Ibu Pur mematuhi perintah
suaminya untuk tetap berlindung di rumah. Jika lahar maupun awan panas
sampai di desanya, Ibu Pur akan berlindung dan lebih baik mati bersama di
masjid bersama suaminya. Kepatuhan dengan suami ini juga berbasis pada
kitab suci. Ibu Pur menganggap Merapi sebagai ciptaan Tuhan yang memang
kerja―nya‖ meletus dan menyuburkan tanah. Tuhan dipandang sebagai Maha
―Sak Karepe Dewe‖. Kita senantiasa manut pada kehendakNya. Ibu Pur merasa
tidak ada ketakutan yang berarti kecuali saat erupsi. Menurut Ibu Pur jika suatu
saat terjadi erupsi lagi, Ibu Pur menyerahkan semuanya kepada suaminya dan
kepada Tuhan. Oleh karena itu pengalaman erupsi Merapi 2010 bagi Ibu Pur
merupakan wujud ―kepasrahan terhadap Tuhan‖ yang dikarakterisasikan lewat
(a) bencana, (b) Tuhan itu Maha, (c) mendekatkan dan takut kepada Tuhan.
Jika Ibu Pur menjadi wanita dengan peran yang cenderung pasif dalam
urusan ekonomi, maka Ibu Mur lain. Ibu Mur, yang berusia 45 tahun, bekerja
sebagai tukang ojek sekaligus berdagang di Kinahrejo. Ibu Mur adalah
menantu dari Mbah Maridjan. Sekitar 2 bulan Ibu Mur mengungsi secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
nomad. Ibu Mur merasa kehilangan banyak hal, yang paling membekas adalah
kehilangan Mbah Maridjan. Sampai sekarang dia merasa ―percaya nggak
percaya ya saya itu harus percaya bahwa simbah itu udah nggak ada.‖ Selain
kehilangan, Ibu Mur mengalami trauma dengan suara sirine. Efeknya, ketika
Ibu Mur mendengar suara sirine, Ibu Mur merasa sakit dan pikirannya kesal,
bukan takut. Pengalaman mendengar suara sirine ketika erupsi 2010 masih
terbawa ketika ada trigger (suara ambulan). Sampai saat ini, Ibu Mur
menghadapi erupsi Merapi dengan 3 nilai utama; sabar, iman, dan ikhlas. Ibu
Mur mencoba untuk terus ―sabar menghadapi musibah, iman sama yang di atas.
Ikhlas menjalankan perintahNya.‖ Ketika teringat akan pengalaman erupsi
2010, Ibu Mur kemudian berdoa. Baginya, segala bencana yang terjadi adalah
kehendak Allah, ―Manusia itu kan nggak ada apa-apanya.‖ Meskipun demikian
Ibu Mur tetap menganggap Merapi sebagai sahabat. Ibu Mur merasa harus ikut
menjaga lingkungan Merapi meskipun erupsi 2010 mengambil banyak hal di
sekitarnya. Termasuk suasana home. Setelah ditempatkan di desa relokasi, Ibu
Mur masih sering menuju Kinahrejo untuk tidur. Ibu Mur merasa belum benar-
benar pulang ke rumah. Oleh karena itu pengalaman erupsi Merapi 2010 bagi
Ibu Mur merupakan pengejawantahan ―rasa kehilangan‖ yang
dikarakterisasikan lewat (a) kesal terhadap sirine (ada bahaya), (b) kehilangan
Mbah Maridjan, (c) kehilangan ―rumah‖.
Dari kedua cerita subyek yang muncul, diperoleh data bahwa kedua
subyek mengatasi kejadian traumatis lewat tatanan nilai yang telah tersedia
secara kolektif. Nilai-nilai yang cenderung muncul dari para survivors untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
mengatasi keadaan adalah nilai kebersamaan, nilai perjuangan, kesabaran,
keikhlasan, keharmonisan nilai ketaqwaan, dan nilai kepasrahan. Lewat nilai-
nilai ini kecenderungan mengatasi masalah menjadi adaptif. Subyek menjadi
lebih resilien. Misalnya saja nilai kebersamaan membuat individu untuk tidak
menghindari individu lain sehingga tidak terjadi sense of detachment terhadap
individu lain yang menjadi simptom PTSD. Dengan tingkat resilien yang lebih
tinggi maka masa depan bukan lagi semata-mata determinisme dari masa lalu.
Dari keempat nilai tersebut, nilai ketaqwaan dan kepasrahan cenderung
mendominasi. Orientasi intrinsik dalam hubungan dengan Tuhan menjadi
sebuah proses pemahaman bahwa kita perlu untuk menjadi andhap asor.
Ketaqwaan dan kepasrahan tidak lalu membuat mereka tidak berdaya, dengan
taqwa dan pasrah justru para survivors menjadi lebih berdaya. Kedua nilai ini
membantu individu untuk menerima kenyataan dan kemudian mengikhlaskan
apa yang telah hilang akibat bencana. Kepasrahan juga memunculkan
kesabaran dalam diri individu.
Nilai ketaqwaan dan kepasrahan juga berkelindan mewujud dalam
keimanan. Kedua subyek mengklaim bahwa dengan adanya bencana justru
terjadi sebuah paradoksal. Bencana justru meningkatkan keimanan terhadap
Tuhan. Tidak heran jika kemudian orientasi kehidupan kedua subyek bukan
pada masa lalu, melainkan hari ini dan masa depan. Semua kejadian pahit
maupun manis adalah sebuah kehendak Tuhan yang menjadi ujian kelulusan
individu. Dan atas itu individu yang berpasrah, sabar, juga berjuang akan dapat
lulus dalam ujian tersebut. Oleh karena itu, resiliensi dengan subyek wanita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Jawa penyintas erupsi Merapi 2010 merupakan resiliensi yang didominasi oleh
nilai-nilai lokal yang terarah pada ketuhanan.
Selain nilai-nilai tersebut, ada beberapa simptom PTSD yang terjadi.
Misalnya saja ketakutan terhadap suara aktivitas magma dan ketakutan akan
suara sirine. Kedua kejadian traumatis ini tergantung pada latar belakang
subyek. Pada ketakutan akan aktivitas magma hanya terjadi pada Ibu Pur, pada
Ibu Mur tidak karena baginya suara aktivitas magma adalah hal yang biasa.
Dengan demikian ada perbedaan kejadian traumatis sesuai dengan latar
belakang historis maupun kultural terhadap kejadian traumatis.
Pengalaman traumatis yang cenderung eksesif adalah yang dialami oleh
Ibu Mur. Jarak tempat tinggal yang relatif dekat dengan kejadian yang lalu
menyebakan pengalaman kehilangan yang berlebih menjadi pemicu munculnya
pengalaman traumatis. Tidak menutup kemungkinan apabila kecemasan yang
terjadi akibat kejadian traumatis ini terus bertumpuk, suatu saat akan meluap
secara eksplosif—melebihi Merapi.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian mengenai resiliensi wanita penyintas
erupsi Merapi 2010, ada tiga saran yang dapat diberikan:
1. Bagi Keluarga dan Masyarakat
a. Pada ranah keluarga dan masyarakat, nilai kebersamaan menjadi satu
hal penting menanggulangi kebuntuan emosional yang berujung pada
PTSD. Dukungan secara sosial membuat seseorang merasa tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
sendiri. Suasana harmonis antar anggota keluarga maupun masyarakat
dapat menciptakan atmosfer positif misalnya saja dalam penelitian ini
munculnya nilai perjuangan yang didasari perasaan senasib (resiliensi
komunal).
b. Lokalitas dan nilainya memiliki peran yang kuat dalam resiliensi
individual. Misalnya saja cara pandang Ibu Mur terhadap Merapi yang
dipersonifikasi sebagai sahabat dan dia bertanggungjawab
melestarikan lingkungan Merapi. Sekiranya mitos lokal tersebut
membuat daya resiliensi seseorang semakin meningkat, sebaiknya
tetap dilestarikan.
2. Bagi LSM dan Pemerintah
a. Meningkatkan perhatian dalam kesehatan mental masyarakat.
Kecemasan yang eksesif terhadap sirine seperti yang dialami Ibu Mur
perlu mendapatkan pemecahan yang serius. DSM-IV-TR
menunjukkan adanya klasifikasi mengenai PTSD dengan onset yang
tertunda. Jika kejadian traumatis seperti yang dialami Ibu Mur terus
bertumpuk, maka suatu saat akan terjadi blooming gangguan pasca
traumatis.
b. Implikasi pada bagian 2.a. adalah bahwa diperlukannya tenaga ahli
dalam bidang kesehatan mental yang secara rutin memantau dan
mengatasi permasalahan berkaitan dengan kehidupan mental para
survivors.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
3. Bagi Peneliti dengan Subjek Survivors
a. Metode pengambilan data lewat psikodrama akan lebih menggali
kehidupan subjek lebih mendalam. Bagi peneliti, wawancara saja
tidak mencukupi untuk memperoleh detail emosional pengalaman
yang sifatnya traumatis. Lewat penjiwaan peran dalam psikodrama,
observasi dapat dilakukan. Selain itu, mengacu pada kecenderungan
penderita PTSD bahwa mereka mengalami kembali kejadian
traumatis, maka psikodrama atau membuat representasi mengenai
bencana dapat membantu subyek untuk meluapkan emosi yang
direpresi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatri Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of
mental disorders (ed. ke-4 Text Revised). Washington DC:Author.
American Psychology Association. (2013). Resilience. (Diunduh 23 April 2013
dari http://www.APAHelpCenter.org/resilience)
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Smith, E.E., & Bem, D.J. Pengantar psikologi
(ed.ke-11) (Widjaja Kusuma, Terj.). Batam: Interaksara.
BAPPENAS & BNPB. (2011). Rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi:
Wilayah pascabencana erupsi gunung Merapi di provinsi D.I. Yogyakarta
dan Jawa Tengah tahun 2011-2013. Jakarta: Author.
Braun, V. & Clarke, V. (2006). Qualitative research in psychology: Using
thematic analysis in Psychology. New York: Edward Arnold, Ltd.
Bernard, B. (2004). Resiliency: What we have learned. San Fransisco: West Ed.
Bungin, B. (2008). Analisis data penelitian kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers.
Creswell, J.W. (1998). Qualitative inquiry and research design: Choosing among
five tradition. California: Sage Publications, Inc.
Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (2009). Handbook of qualitative research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dewi, C., Lianawati, E., & Poerwandari, K. (2010). Psikologi untuk transformasi
sosial. Jakarta: Yayasan Pulih.
Dewi, C. (2010). Psikologi dalam fase kedaruratan bencana. Dalam C. Dewi, E.
Lianawati, & K. Poerwandari, Psikologi untuk transformasi sosial (hal. 133-
151). Jakarta: Yayasan Pulih.
Dewi, C. (2010). Rentan sekaligus lentur: Anak menghadapi peristiwa traumatis.
Dalam C. Dewi, E. Lianawati, & K. Poerwandari, Psikologi untuk
transformasi sosial (hal. 29-46). Jakarta: Yayasan Pulih.
Emmons, R. A., & Paloutzian, R. (2003). Psychology of religion. Annual Review
of Psychology, 54, 377–402.
Geertz, C. (1960). The religion of Java. Chicago: The University of Chicago.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Getzfelt, A.R. (2006). Essentials of abnormal psychology. New Jersey: John
Wiley & Sons, Inc.
Gist, R. & Lubin, B. (1999). Response to disaster psychosocial, community and
ecological approaches. Philadelphia: Taylor and Francis.
Grotberg, E.H. (1995). A guide to promoting resilience in children: Strengthening
the human spirit. The Bernard Van Leer Foundation.
Handayani, C.S. & Ardhiyanto, N. (2008). Kuasa wanita Jawa. Yogyakarta: Lkis.
Komnas Perempuan. (2007). Perempuan penguungsi: Bertahan dan berjuang
dalam keterbatasan. Jakarta: Author.
Kerlinger, M. (1964). Asas-asas penelitian behavioral (Gadjah Mada University
Press, Terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lianawati, E. (2010). Memahami peristiwa traumatis dan dampaknya terhadap
korban. Dalam C. Dewi, E. Lianawati, & K. Poerwandari, Psikologi untuk
transformasi sosial (hal. 47-71). Jakarta: Yayasan Pulih.
Lyons, E. & Coyle, A. (2007). Analysing qualitative data in psychology. London:
Sage Publication.
Marvin, S. & Costanzo, P.R. (1995). Teori-teori psikologi sosial (SarlitoWirawan,
Terj.). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mulder, N. (2007). Di Jawa: Petualangan seorang antropolog (Sofia Mansoor,
Terj.). Yogyakarta: Kanisius.
Oulette, S.C. (1998). The value and limitations of stress model in HIV/AIDS.
Dalam B.P. Dohrenwend (Ed.), Adversity, Stress, and Psychopathology (hal.
142-160). New York: Oxford University Press.
Parker, I. (2008). Psikologi kualitatif (Victorius Didik Suryo Hartoko, Terj.).
Yogyakarta: Andi.
Pennebaker, J.W. & Bannasik, B.L. (1997). On the creation and maintenance of
collective memories: History as social psychology. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates Inc. Publisher.
Putra, A.P. (2011). Penataan ruang berbasis mitigasi bencana kabupaten
Kepulauan Mentawai. Jurnal Penanggulangan Bencana, 2(1), 11-20.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Sidabutar, S.I.E., Dharmawan, L.I., Poerwandari, K., & Nurhaya, N. (2003)
Pemulihan psikososial berbasis komunitas: Pengalaman kerja di Indonesia.
Jakarta: Kontras & Yayasan Pulih.
Smith, A. J. (2009). Dasar-dasar psikologi kualitatif: Pedoman praktis metode
penelitian (Budi Santosa, Trans). Jakarta: Nusamedia.
Stets, J.E. (2005). Emotions and sentiments. Dalam J. Delamater (Ed.), Handbook
of Social Psychology (hal. 309-338). New York: Springer.
Stockdale, J.J. (2010). Eksotisme Jawa (Anik, Terj.). Yogyakarta: Progresif Book.
Strauss, A. & Corbin, J. (2003). Dasar-dasar penelitian kualitatif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sulastri. (2007). Kearifan lokal Jawa dan resiliensi terhadap trauma psikologis
pada korban selamat bencana gempa bumi di Bantul, Yogyakarta.
Thomas, D.R. (2003). Qualitative data analysis: Using a general inductive
approach. Auckland: University of Auckland.
Williams, M.B. & Poijula, S. 2002. The PTSD workbook. California: New
Harbinger Publications, Inc.
Sleman, Kab. (2011). Gambaran umum kondisi daerah. (Diunduh 23 April 2013
dari http://www.slemankab.go.id/wp-content/file/rpjmd2011/BAB_II
GambaranUmumKondisiDaerah_b.pdf)
Zamroni, M.I. (2011). Islam dan kearifan lokal dalam penanggulangan bencana di
Jawa. Jurnal Penanggulangan Bencana, 2(1), 1-10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
LAMPIRAN 1
Coding Wawancara Ibu Pur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Coding Wawancara Ibu Pur
Verbatim Label Deskriptif Label Analitis
Nek di dalam agama, Merapi itu juga termasuk ciptaan Allah.Terus
Merapi itu kan juga berguna. Kalau nggak meletus kan juga nggak ada
pasir, nggak bisa tumbuh tanaman-tanaman di sekitarnya nggak bisa
tumbuh subur. Itu juga manfaat bagi manusia. Dan Merapi itu sebagai
paku. Bumi kalau nggak ada pakunya, ya nggak tenang, ngombang-
ambing. Dulu kan ceritanya, diciptakan pertama kali sebelum ada
gunung-gunung kan seperti di atas air. Jadi, terombang-ambing gitu,
tapi setelah ada gunung barulah bumi itu tenang. Bisa ditempati
manusia. Gunung itu pokoke manfaat ya Mas.
Merapi adalah ciptaan Allah yang
berguna dan bermanfaat sebagai
sebuah paku bumi agar bumi tenang.
Allah menciptakan sesuatu yang bernilai
guna.
Itu memang pekerjaannya gunung to. Meletus memang pekerjaannya
gunung. Bukan berarti itu… Ya itu termasuk memperlihatkan
kekuasaaan Allah juga, karena itu manusia kan nggak tahu seperti
meletusnya gunung itu kapan, hanya tanda-tandanya aja yang tahu,
meletusnya nggak tahu. Ya seperti hari kiamat. Hari kiamat itu kan
disebutkan, tapi seperti meletusnya bumi ini kan nggak tahu. Itu tanda-
tandanya, seperti gunung itu juga memperlihatkan kekuasaan Allah
bahwa Allah itu sekejap saja bisa mengeluarkan, meletuskan gunung.
Itu kan juga kalau dalam pelajaran perjalanan magma to, kalau nggak
meletus ya bahaya. Dan itu, letusan itu termasuk buat pupuk. Pupuk
bagi tanaman, juga bermanfaat bagi manusia.
Meletus adalah pekerjaan gunung
yang memperlihatkan kekuasaan
Allah seperti hari kiamat.
Kuasa Allah tidak terjangkau manusia.
Pas itu, kejadian pertama kali saya nggak ngeh, nggak ngeh itu nggak
mendengar berita-berita; Merapi mau meletus, tanda-tandanya belum
Pada kejadian pertama tidak
mengikuti karena tanda-tandanya
Tertarik pada sesuatu yang tanda-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lengkap. Tahunya cuma mau meletus gitu aja. Pas pertama kali Mbah
Maridjan meninggal itu lho. Lha itu nggak ada berita. Saya kejadian
yang kedua yang paling besar itu, itu tau. Maksude mengikuti.
Bagaimana Merapi meletus itu mengikuti.
belum lengkap, sedangkan kejadian
kedua mengikuti.
tandanya meyakinkan.
Itu tidak tahu, saya di rumah juga tidak. Nggak ada tanda, nggak
ada…Tapi kejadian yang besar yang Jumat. Yang Jumat itu ada tanda-
tanda. Rumah ini kan gempa. Itu dari siang itu udah gempa, terus
langit gelap, terus ada abu sedikit. Tapi siangnya itu juga ngaji di
masjid. Itu siangnya panas ya.
Kejadian kedua sudah ada tanda-
tanda seperti gempa, langit gelap, dan
abu sedikit.
Ada tanda dalam suatu bencana.
Terus saya, itu di rumah, saya tidur. Malah saya tu ngantuk-
ngantuknya jam 11 itu. Terus rumahnya goyang-goyang gini to, terus
Pak Masrur itu ―Ma, ini ada gempa, gempa beneran, kita di masjid aja.
Nanti kalau mati di masjid aja.‖ Terus anak saya tak bangunin semua.
Ke masjid semua.
Mematuhi perintah suami dengan
membangunkan anak-anak.
Suami dipercaya sebagai otoritas yang
patut dipatuhi.
Terus itu di Utara pokonya terdengar kaya suara molen gitu lho. Tapi
santer sekali seperti mau ke sini. Saya di masjid itu sudah mbayangin.
Aduh, ini rasanya orang mau meninggal rasanya seperti ini. Setelah
ada suara gluduk-gluduk ini kan ada suara halilintar. Tapi halilintar ini
kan tidak seperti biasa. Keras sekali.
Merasa seperti mau meninggal
ditambah dengan suara halilintar
yang tidak biasa.
Memahami bahwa sesuatu yang lebih
dari biasanya adalah tanda yang tidak
baik.
Rasanya ki pokoke ki udah siap-siap. Suara gemuruh itu semakin ke
sini. Kan kita tu udah, yo wis nggak bisa….pokoke cuma di masjid.
Pokoke baca sholawat, baca istighfar. Gitu kan. Terus anak-anak ada
yang muntah ada yang nangis, karena bau belerang. Kan belerangnya
Pasrah dan tinggal di masjid sambil
membaca sholawat dan istighfar.
Berdoa sebagai wujud kepasrahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keluar dari siang. Ya udah itu, setelah ada suara halilintar kan Pak
Masrur ke atas masjid. Ya saya, pikir saya Pak Masrur sudah disambar
halilintar di atas. Di atas masjid kan lihat gunungnya meletus gimana.
Terus Pak Masrur kan naik ke atas lihat. Lihat perjalanan gunung
Merapi meletus itu. Terus halilintar pertama kali, gunung itu meledak.
Jretttt! Tapi saya cuma di bawah sini, Pak Masrur yang ke atas.
Ya cuma itu, cara orang Islam ya Mas, tawakal sama Allah. Cuma
pasrah. Kalau mau melarikan diri, Pak Masrur ya nggak boleh. Wong
suruh di Masjid aja. Itu pokoke di masjid kumpul semua, satu orang
desa sini. Itu kan nggak pada mengungsi.
Tawakal sama Allah karena mau
melarikan diri tidak boleh sama
suami.
Kepasrahan terhadap figur otoritas.
Wong itu nggak tahu kok itu akan meletus besar itu nggak tahu. Tapi
orang Utara sana udah pada ngungsi. Kan sini tempat ngungsi. Jadi
saya nggak ngeh, nggak paham itu nanti akan meletus gitu. Nggak
persiapan blas yang ngungsi itu. Mobil sini aja dibawa ke Kopeng.
Dan hampir aja kena lahar panas itu. Itu lari, mobilnya lari. Paling let
30 meter itu. Kena itu lahar panas.
Tidak tahu kalau Merapi akan
meletus besar.
Ketidaktahuan akan masa depan.
Suasananya pokoke hening. Ya kaya nek orang Islam itu baca ya
bacaan sholawat. Jadi membaca sholawat terus. Tapi ada cerita
katanya laharnya mau ke sini tapi balik ke sana.
Dalam suasana hening membaca
sholawat terus.
Mengatasi kecemasan dengan berdoa.
Terus sini tu untungnya ada hujan. Kalau meletusnya itu nggak ada
hujan sini ya kena wedus gembel. Kena uapnya dari gunung Merapi.
Merasa beruntung karena wedus
gembel terhalang hujan.
Perasaan aman dari bencana
Iya, ngrasa cemas, takut. Ya namanya manusia. Pak Masrur aja juga
tapi dia mengira itu meletusnya ke sana, seandainya ke sini, dia yo
Merasa cemas dan takut layaknya
manusia biasa namun tidak pasrah
Takut dan cemas bukan berarti pasrah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lari. Bukan kita itu nggak persiapan terus cuma pasrah itu ya nggak.
Itu kan dilihat dulu, dari jauh to. Kalau mau lari ya bisa ke arah sana
misalnya. Ternyata laharnya di sana, di Gendol. Nggak mungkin ke
arah sini.
begitu saja.
Gitu terus habis itu disuruh ngungsi yo nggak mau, wong itu udah
meletus yang paling besar itu. Tapi kan beritanya masih gencar itu,
nanti beritanya masih akan meletus besar lagi itu. Mau sigar to itu.
Disuruh ngungsi nggak mau karena
sudah meletus yang paling besar.
Keyakinan akan masa depan seturut
logika.
Kalau orang desa sini semuanya mengungsi. Tapi saya di rumah.
Orang sini mengungsi sampai satu bulan. Kalau saya sekeluarga
nggak. Anak-anak pondok yang di sini diambil sama orang tuanya.
Orang desa sini semua mengungsi,
kecuali keluarganya.
Membuktikan keyakinan.
Kalau saya ndherek Pak Masrur. Perkiraan Pak Masrur kan udah, ini
udah selesai. Meletusnya yang paling besar ya cuma ini. Ini udah
selesai kok ngungsi, apa gunanya. Ya di rumah aja. Daripada
mengungsi wong di sini banyak orang gila. Kalau dibawa ke
pengungsian kan malah merepotkan. Iya to? Alasannya apa ya, ya
cuma itu. Sini kan punya anak-anak kecil, orang gila. Terus perkiraan
itu lho, ngapain ngungsi, wong udah meletus.
Mengikuti suami karena punya anak
kecil dan orang gila yang kalau
dibawa ke pengungsian malah
merepotkan.
Mematuhi figur otoritas.
Ya saya kan nggak melihat, nek Pak Masrur kan mungkin masih
teringat. Saya kan nggak melihat, jadi nggak tahu, jadi di perasaan
nggak ada. Cuma itu, terasa getaran-getarannya itu, terus ketakutan-
ketakutannya suara-suara itu.
Karena tidak melihat proses meletus
secara langsung, ketakutan-ketakutan
terarah pada suara.
Ketakutan traumatis lebih pada suara.
[Kalau ingat jaman dahulu apakah masih merasa takut] Iya, ya tetep. Kalau ingat jaman dulu masih tetep Ketakutan traumatis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
merasa takut.
Ya saya itu, nek bekase lho, saya kan punya dasar bahwa Allah itu
berkuasa dan kiamat itu akan terjadi. Lha saya itu percaya kalau itu
kiamat kecil dan nanti pasti terjadi. Membekasnya itu cuma, ―Oo nanti
kiamat itu terjadi dan seperti ini lho rasanya.‖ Dalam cerita orang itu
kiamat seperti apa ya, kiamat itu ya kayak, nek bahasa Jawa kayak
gabah diinteri. Gabah diinteri itu seperti padi digini-ginikan. Jadi
orang sudah tidak peduli sama anak, tidak peduli sama dirinya sendiri.
Pokoknya lari menyelamatkan diri. Kalau orang sana, tapi kalau saya
kan di masjid saya. Ming pikiran saya ke orang yang deket gunung
sana. Dia pengennya lari menyelamatkan diri. Kalau saya di rumah
aja. Wong nanti nggak bayangan seperti itu.
Allah itu berkuasa dan kiamat akan
terjadi, ketika kiamat terjadi orang-
orang akan seperti gabah diinteri
sehingga tidak peduli sama anak dan
hanya lari menyelamatkan diri.
Kuasa Allah menyebabkan manusia
kalang kabut.
Saya bagaimana? Kalau saya tipenya orang manut suami, jadi gimana
suami gitu aja. Kalau sendiri mungkin ya melarikan diri. Kalau nggak
ya mungkin di masjid. Karena saya ki tipenya ki, suami bilang nggak
ya nggak. Suami bilang iya; ya. Jadi alurnya nggak bisa sendiri.
Tipe orang yang manut suami jadi
nggak bisa sendiri.
Kepatuhan terhadap otoritas
menyebabkan dependensi.
Karena sudah merasa aman sama Pak Masrur. Walaupun saya harus
mati sama Pak Masrur itu rela gitu lho, umpamanya sampai begitu.
Merasa aman dan rela mati bersama
suami.
Merasa aman asal ada otoritas yang
lebih superior.
Tapi nggak ada niatan terus pasrah seperti orang bunuh diri ya nggak.
Cuma itu kan udah diomongi sama Pak Masrur nggak usah lari, wong
ke sana. Anu, apa, laharnya ke sana. Nggak mungkin mau ke sini,
wong jauh. Ke aliran Gendol kan jauh sekali ke sini. Ya udah, manut
gitu aja. Ya intinya siap.
Tidak punya niatan untuk bunuh diri,
namun tetap siap jika suatu saat
terjadi lagi.
Kesiapan terhadap masa depan tanpa
harus menyerah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Saya tu pelajaran alam itu nggak begitu mendalam. Misale dalam
pelajaran sekolah gitu lho. Soalnya saya itu dulu dari Aliyah. Jadi ilmu
agama. Jadi nggak begitu mengikuti ilmu luar. Jadi saya itu bacanya
cuma ilmu agama tok.
Pelajaran alam tidak begitu
mendalam, lebih mendalam yang
agama.
Kedekatan dengan agama.
Jadi saya bacanya ya cuma tanda-tanda. Jadi tambah keimanan saya,
jadi tambah kepercayaan saya, jadi tambah tawakalnya kepada Yang
Maha Kuasa itu tadi.
Dengan erupsi 2010, ada peningkatan
dalam keimanan, kepercayaan, dan
tawakal terhadap Yang Maha Esa.
Bencana membuat rasa iman dan pasrah
terhadap Tuhan semakin meningkat.
He‘e. Semakin yakin bahwa Allah itu benar-benar kuasa, apa ya, saya
baca dalam kitab saya, kan bacanya saya di kitab Al-Quran misalnya
ada tanda-tanda itu udah persis. Sebelas-dua belas gitu. Ya udah.
Perjalanan gunung Merapi meletus, orang-orang pada lari, itu kan
udah ada dalam Quran. Jadi ya saya itu cuma itu.
Perjalanan gunung Merapi meletus,
orang-orang pada lari, itu kan udah
ada dalam Quran.
Kesesuaian isi kitab dengan peristiwa
bencana.
Ya semakin kuat, kepasrahannya semakin..kepada Yang Maha Kuasa
itu semakin takut. Jadi dikatakan dalam Quran, ―Orang-orang yang
takut dengan Allah itu dikatakan semakin tinggi derajatnya.‖ Karena
Allah itu benar-benar kuasa sekali. KekuasaanNya itu melebihi yang
di langit dan di bumi. Lha itu yang sudah meletus itu gunung
aja…Misale pelajaran tsunami, pelajaran gunung meletus gitu aja. Ya
berarti kalau Allah itu menginginkan sesuatu, ya kan Allah itu Maha
―Sak Karepe Dewe‖. Karena Dia kan yang memiliki. Mau membuat
orang mati, orang senang…apa saja sak karepe dewe. Tinggal
perjuangan manusia bagaimana mendekatkan dan takutnya kepada
Allah itu gimana. Kalau dalam cerita kitab saya kan; dulu manusia itu
enak. Kan menciptakan manusia itu, Nabi Adam, itu kan larangannya
Dengan adanya erupsi 2010 maka
mengingatkan bahwa Manusia
seharusnya mendekatkan dan takut
kepada Allah yang Maha ―Sak
Karepe Dewe‖.
Semua kehendak adalah kehendak
Allah, seharusnya manusia mendekatkan
dan takut kepada Allah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
satu. Perintahnya, jangan manut sama iblis. Di dalam surga itu jangan
makan buah khuldi. ―Kalau kamu makan itu, makanya nanti kau
mendapatkan azab yang menyakitkan.‖ Lha kalau dulu Nabi Adam di
surga, kan di sana belum ada neraka, surga tok istilahe. Kan juga Allah
sebelum itu berkata mau membuat wakilnya di dunia. Jadi betul-betul
menceritakan bahwa Allah itu seperti ini. Jadi betul-betul manusia
yang disuruh. Allah itu seperti itu, sifat-sifatnya, itu diserahkan kepada
kita. Lha terus Nabi Adam kan ternyata terbujuk oleh iblis, terus
makan khuldi itu. Akhirnya, Allah berkata: ―Karena kamu melanggar
perintahku, maka kamu berdua bersama istri kamu, harus turun ke
bumi merasakan siksa Aku. Lha siapa nanti siapa di bumi anak-
turunmu yang Aku beri kitab. Aku beri petunjuk, Aku beri peraturan.
Pokoke siapa yang manut peraturanKu, nanti dia akan kembali lagi ke
surga seperti kamu. Nanti kalau dia melanggar, Saya menyediakan
neraka. Karena itu, di dunia itu, dia kafir nggak mau percaya sama
Aku lagi. Dia terus nggak manut sama perintahKu, dia terus tak
masukkan dalam neraka itu. Di situ dia disiksa terus, tapi kalau dia
menjalankan perintahKu dan menjauhi larangan-laranganKu yang
Kutunjukkan dalam kitab-kitabKu maka dia akan Kukembalikan ke
surga. Kamu sudah tau to di surga.‖ Jadi perjalanan-perjalanan seperti
itu saya taunya cuma dalam agama itu. Tapi kalau dalam pelajaran
nggak tahu. Nggak begitu menelaah tentang gunung.
Tapi kalau dinalar-nalar, membaca ayatnya Gusti Allah terus keluar,
―Oo ini ada gunung, ada langit, ada bumi, ada manusia terus keluar.
Itu semua terbukti semua itu, udah jelas.‖
Ayatnya Gusti Allah terbukti semua
dalam kehidupan.
Kesesuaian isi kitab dengan kehidupan
nyata.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Karena dari dulu, saya itu yang di-nut Pak Masrur. Jadi dia yang
membacakan Quran kan otomatis yang mengajari dia, yang me-
wulang kan dia. Masak nggak manut sama dia. Apa istilahe dia kalau
dia membaca alam ini, itu selamat ya udah. Ya kan orang-orang
seperti itu, orang-orang Sufi, biasanya bisa berkomunikasi dengan
orang-orang suci. Misale ada pemberitahuan, tidak sampai sini. Orang-
orang gaib, misale seperti khodam, namanya malaikat
memberitahukan misalnya tidak sampai sini. Saya keyakinannya di
situ. Wong juga ada dalam kitab saya. Caranya anu, orang yang suci,
Sufi itu, udah ada tanda-tanda tersendiri dari Gusti Allah. Jadi saya
terlalu yakin sama Pak Masrur.
Dari dulu yang dianut adalah suami
karena keyakinan terhadap suami
yang bisa berkomunikasi dengan
orang suci yang disebutkan dalam
kitab suci.
Suami adalah otoritas yang patut
dipercaya karena kelebihannya.
Terus prinsip dalam kitab saya, wanita itu yang baik itu yang tongat
sama suami. Ya udah itu, ya cuma manut sama Allah gitu. Wanita
yang bagus itu…ya manut aja. Perjalanan saya cuma itu, sama ilmu
agama.
Kepatuhan terhadap Allah bahwa
wanita yang baik itu yang tongat
kepada suami.
Mematuhi perintah Allah.
Kalau ada Pak Masrur ya manut dengan Pak Masrur. Dalam keadaan
nanti nggak tahu. Yo nggak tahu to. Apakah nanti mau melarikan diri.
Wong saya itu berkeyakinan semua yang menentukan Allah, saya
bergerak, tidur ya semua nanti Allah yang menentukan. Jadi nggak
tahu apa yang terjadi di depan. Kalau tahu ya…ampuh.
Kalau ada suami ya manut dengan
suami, namun semua yang
menentukan adalah Allah.
Suami sebagai perwujudan Allah secara
fisik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
LAMPIRAN 2
Kategorisasi Tema Ibu Pur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Kategorisasi/ Tema (Analytical Category) Ibu Pur
Label Analitis Tema
Allah menciptakan sesuatu yang bernilai
guna.
Allah sebagai segala sumber.
Kuasa Allah tidak terjangkau manusia. Allah sebagai segala sumber.
Tertarik pada sesuatu yang tanda-tandanya
meyakinkan.
Manusia sebagai pembaca tanda.
Ada tanda dalam suatu bencana. Manusia sebagai pembaca tanda.
Suami dipercaya sebagai otoritas yang patut
dipatuhi.
Suami sebagai otoritas.
Memahami bahwa sesuatu yang lebih dari
biasanya adalah tanda yang tidak baik.
Manusia sebagai pembaca tanda.
Berdoa sebagai wujud kepasrahan. Mengatasi keadaan diri.
Kepasrahan terhadap figur otoritas. Suami sebagai otoritas.
Ketidaktahuan akan masa depan. Masa depan yang tak terjamah.
Mengatasi kecemasan lewat doa. Mengatasi kecemasan lewat doa.
Perasaan aman dari bencana. Manusia sebagai pembaca tanda.
Takut dan cemas bukan berarti pasrah. Keyakinan akan nasib.
Keyakinan akan masa depan seturut logika. Keyakinan akan nasib.
Membuktikan keyakinan. Keyakinan akan nasib.
Mematuhi figur otoritas. Suami sebagai otoritas.
Ketakutan traumatis lebih pada suara. Pengalaman traumatis.
Ketakutan traumatis. Pengalaman traumatis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Kuasa Allah menyebabkan manusia kalang
kabut.
Allah sebagai segala sumber.
Kepatuhan terhadap otoritas menyebabkan
dependensi.
Suami sebagai otoritas.
Merasa aman asal ada otoritas yang lebih
superior.
Suami sebagai otoritas.
Kesiapan terhadap masa depan tanpa harus
menyerah.
Keyakinan akan nasib.
Kedekatan dengan agama. Allah sebagai segala sumber.
Bencana membuat rasa iman dan pasrah
terhadap Tuhan semakin meningkat.
Suami sebagai otoritas.
Kesesuaian isi kitab dengan peristiwa
bencana.
Allah sebagai segala sumber.
Semua kehendak adalah kehendak Allah,
seharusnya manusia mendekatkan dan takut
kepada Allah.
Allah sebagai segala sumber.
Kesesuaian isi kitab dengan kehidupan
nyata.
Allah sebagai segala sumber.
Suami adalah otoritas yang patut dipercaya
karena kelebihannya.
Suami sebagai otoritas.
Mematuhi perintah Allah. Allah sebagai segala sumber.
Suami sebagai perwujudan Allah secara
fisik.
Suami sebagai otoritas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
LAMPIRAN 3
Coding Wawancara Ibu Mur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Coding Wawancara Ibu Mur
Verbatim Label Deskriptif Label Analitis
Dari awal ya. Pertama tu saya tanggal 26 Oktober habis maghrib, saya
kan masih sama Mbah Maridjan di masjid, Mbah Maridjan nggak mau
saya ajak turun, dievakuasi dengan mobil APV yang kena itu. Sampai
di bawah, di balai desa, saya turun to waktu itu terus kembali naik.
Mau menjemput simbah tapi sudah keduluan dengan awan panas. Ada
korban, ada simbah, relawan terus wartawan. Terus sampai di bawah
saya langsung diajak ke Barek, ngungsi di Barek. Wah sudah, apa ya,
semalam itu kan di TV ada berita to itu. Kinahrejo sudah terbakar.
Nah, simbah gimana. Udah pikirannya waahhh… Terus apa ya, bunyi
sirene itu lho Mas. Sirene mobil ambulan itu lho yang sampai
sekarang tidak hilang. Saya tu kalau dengar suara apa itu, ya sirene di
ambulan atau HT, rasanya tu di sini tu sakit itu lho. Teringat yang dulu
itu sampai sekarang itu. Itu sulit dihilangkan. Kayak trauma kalau ada
suara itu. Kalau ada suara itu sakit rasanya.
Suara sirene sampai sekarang tidak
hilang, rasanya sakit kalau ingat yang
dulu.
Pengalaman pahit yang membuat sakit.
Kan sirene di atas cuma ngak-ngek gitu. Tapi nggak tahu, awal
mulanya di Barek kan semalam cuma ada sirene itu terus. Sampai
sekarang sulit saya untuk..rasanya itu masih sakit kalau denger suara
itu. Kalau denger suara itu rasanya ya kayak ―Ngungsi! Ngungsi!‖
Ingatnya seperti itu. Di Barek itu hanya 7 hari terus dipindah ke
Condongsari. Sama-sama di rumahnya Pak Agus Wiyarto yang punya
APV itu. Terus dari sana setelah 2 bulan saya pindah ke Karang Pakis,
ya sama di shelter.
Kalau dengar sirene seakan-akan ada
perintah ―Ngungsi! Ngungsi!‖.
Sirine merupakan wujud perintah secara
metaforis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Saya di pengungsian, saya larinya malah lucu, itu kan malam Jumat
ya. Kamis pagi kan anak saya sekolah di Pakem itu, pengen sekolah,
ya udahlah. Saya anterin terus saya titipkan anak saya di Wekas itu,
malah Merapi malem itu kan meletus to itu saya malah naik. Sampai
di Jetan itu sudah nggak boleh naik.
Merapi meletus tapi malah naik. Keinginan untuk melihat keadaan.
Kalau saya yang paling pokok ya sirine itu. Kalau kaitan dengan
Merapi ya kalau ada suara gludak-gluduk, luncuran kecil-kecil itu ya
dari dulu kan memang sering. Sebelum erupsi itu kan sering, hal biasa
gitu lho.
Ingat suara gluduk-gluduk dan
luncuran kecil namun itu sudah biasa.
Ada ingatan berkaitan kejadian.
Langsung merasa ngeri. Kaget. Kalau ada orang coba-coba
membunyikan sirine pasti saya malah sering marah saya. Nggak pas
lagi.
Kalau dengar sirine rasanya ngeri,
kaget, dan marah.
Suara sirine mengancam diri.
Simbah to. Simbah itu memang sudah meninggal ya, tapi kadang
merasa simbah itu masih gitu lho Mas. Kalau semua itu, harta benda
ya udah diikhlaskan. Sudah kembali ke yang punya.
Harta benda sudah diikhlaskan
namun kalau simbah kadang masih
dirasa ada.
Sosok simbah seakan-akan hanya hilang
secara fisik.
Ya sedikit-sedikit memang harus belajar mengikhlaskan. Percaya
nggak percaya ya saya itu harus percaya bahwa simbah itu udah nggak
ada.
Belajar mengikhlaskan lewat percaya
bahwa simbah sudah nggak ada lagi.
Menerima kenyataan bahwa simbah
telah tiada.
Kalau saya kan Islam ya, yang jelas ya dengan berdoa. Mengikhlaskan sesuatu dengan
berdoa.
Berdoa membantu proses menerima
kenyataan.
Ya kadang-kadang. Kadang-kadang di saat tertentu ya Mas ya.
Misalnya ada acara prosesi Labuhan atau apa. Waktu yang pertama
Ketika pulang yang pertama teringat
semuanya dan merasa kehilangan
Perasaan kehilangan terhadap simbah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
saya pulang pas, saya juga abdi dalem, dandan pake kebaya. Saya
pulang untuk yang pertama, waktu itu dianter itu saya hanya bisa
nangis. Teringat semua-muanya. Merasa kehilangan, bayang-bayang
simbah itu ada.
karena bayang-bayang simbah masih
ada.
Saya tu takut nggak, tapi sakit. Kalau sakit tu gimana ya, dengar itu
pikirannya kesal gitu lho. Di sini yang sakit. Pengen mbunteti kuping.
Pikirannya kesal pengen mbunteti
kuping.
Keinginan untuk mengatasi pengalaman
yang tidak mengenakkan.
Karena sekarang ilmunya sudah ada BPPTK. Kadang kalau Merapi
bergejolak ya kadang diSMS, kadang saya SMS.
Sekarang sudah ada pihak khusus
yang memberitahu mengenai Merapi.
Kemudahan dalam membuat keputusan
berkaitan dengan keadaan Merapi.
Merapi itu ya seperti sahabat. Kalau saya ya memang harus ikut
menjaga lingkungannya, penanaman-penanaman, penghijauan.
Merapi itu sahabat, saya harus ikut
menjaga lingkungannya.
Personifikasi Merapi sebagai sahabat.
Ya iya to, namanya gunung berapi. Merapi memang punya kriteria
sendiri. Yang jelas kan ya harus dikuatkan dengan keimanan, orang
kan juga punya kepercayaan. Manusia itu kan nggak ada apa-apanya.
Semua itukan ujian. Insya Allah, ujian itu kan kayak masnya. Ada
lulus nggaknya.
Manusia itu nggak ada apa-apanya,
agar dapat menghadapi ujian maka
harus dikuatkan dengan keimanan.
Keimanan akan membantu manusia.
Kita sabar, ikhlas, Insya Allah. Sabar, iman, dan ikhlas. Sabar
menghadapi musibah, iman sama yang di atas. Ikhlas menjalankan
perintahNya. Kita bersosial; ikhlas. Seperti juga saya menghadapi
musibah Merapi, ya kita harus bisa menerima dengan kesabaran. Dan
kita harus merelakan, mengikhlaskan apa yang diberikan Allah kayak
kemarin mungkin suatu itu sudah diambil.
Dengan sabar, iman, dan ikhlas maka
kita akan merelakan apa yang diambil
kembali oleh Allah.
Merelakan apa yang dikehendaki Allah.
Sama keimanan. Saat itu ya mungkin kalau orang itu keimanannya ya Namanya bencana ya Allah yang Allah-lah yang menghendaki sesuatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
labil ya nganu. Misalnya berdoa, ternyata ya masih. Walaupun
namanya bencana, walaupun tidak digunung, kalau Allah
menghendaki ya gitu.
menghendaki. terjadi.
Harus bangkit-lah. Pelan-pelan, dengan waktu kan orang itu bisa to
diisi dengan kegiatan-kegiatan.
Pelan-pelan harus bangkit lewat
kegiatan-kegiatan.
Bangkit untuk mengatasi keadaan.
Kan tidak sendirian. Kita tidak sendirian. Ada orang yang senasib. Perasaan sepenanggungan.
Kita memandangnya jangan ke atas. Ke bawah. Ternyata masih ada
orang di bawah kita. Bencana tidak hanya di sini. Jadi saya melihatnya
nggak ke atas, ada sesuatu atau orang yang lebih susah dari kita.
Meskipun nggak ada bencana, ada orang yang lebih susah dari kita.
Kita harus memandang ke bawah
bahwa banyak orang yang lebih
susah.
Merasa lebih beruntung.
Ya kita harus menyelamatkan keluarga. Kita harus menyingkir dulu.
Apa ada orang yang bisa menahan awan panas. Nggak ada. Alat apa
yang bisa. Kalau kita harus ada keterangan dari BPPTK Merapi baru
ada gawe ya kita jangan wani-wani. Kita harus menyingkit dulu.
Sumingkir ya kita berdoa agar kita selamat.
Kalau Merapi lagi ada gawe, kita
harus sumingkir untuk
menyelamatkan keluarga dan berdoa.
Mengatasi keadaan aktual.
Anak-anak kan juga trauma, harus membesarkan hatinya, iya to?
Seperti itu kan..iya anak-anak. Kasih dukungan. Ternyata cukup
banyak orang kasih dukungan, support. Niliki itu, jenguk. Walaupun
saya itu ngungsinya mandiri to.
Anak-anak trauma jadi kita harus
membesarkan hati lewat dukungan
Mendukung kehidupan sekitar.
Ya kita berbuat sesuatu-lah, apa yang kita bisa membantu. Bisa
membantu masak ya masak, sesuai yang bisa.
Kita harus berbuat sesuatu yang bisa
membantu.
Berarti bagi orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kadang kan juga butuh teman. Di sana kan juga guyonan karo
kancane.
Membutuhkan teman. Membutuhkan orang lain.
Waktu itu kan saya mikirnya erupsi Merapi itu biasa-biasa aja.
Soalnya tahun 2006 saya nggak pergi malahan, saya lihat di rumah. Di
Masjid itu. Nggak pergi. Saya kira 2010 kemarin kan di atas sudah
merah. Jadi saya harus pergi.
Di atas sudah merah jadi saya harus
pergi.
Membaca tanda-tanda.
Ya sirine, dan kadang-kadang kalau Merapi ada letusan kecil.
Guguran-guguran. Kadang-kadang sekarang saya juga tidur di atas.
Ingatan yang kuat mengenai letusan
dan guguran.
Ada ingatan berkaitan kejadian.
Bukan hunian, cuma pengen tidur di sana ya tidur. Saya kan rasanya
belum pulang ke sana Mas, rasa pengen pulang ke sana ya masih to.
Kalau ke sana pulang itu saya. Siang saya jualan di sana.
Ada rasa pengen pulang ke
Kinahrejo.
Rasa ingin kembali pada keadaan
terdahulu.
Iya, kalau Minggu gitu kadang-kadang. Di sana kan boleh. Kita sudah
nempati relokasi ya di relokasi.
Sudah disediakan tempat sendiri di
relokasi.
Sudah mendapat bagian sendiri.
Ke sana tu pulang, rasanya bisa tidur pulas. Kalau pulang tidurnya pulas. Nyaman pada keadaan terdahulu.
Pikirannya, kalau dulu kan mikirnya orang ngungsi kok nggak pulang-
pulang. Ini kan sekarang sudah ada rumah, kalau di shelter itu kapan
iki le arep mulih. Pikirannya kan seperti itu.
Pikirannya ngungsi kok nggak
pulang-pulang.
Keinginan untuk pulang ke rumah.
Iya masih kangen, dari kecil saya, kalau saya sendiri ya kangen. Tapi
mungkin ada ibu-ibu yang blas, trauma. Kalau saya nggak. Kemarin
Labuhan kan malah wayangan di sana kan.
Masih kangen dengan rumah yang
dulu.
Rasa rindu dengan rumah tetap ada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ya gimana ya, ya masih [percaya]. Soalnya kejadian aneh di atas itu
banyak Mas. Misalnya kejadian aneh di halaman Mbah Maridjan, di
Kali Opak. Kamu foto sendiri, nanti ada yang njejeri. Saya pernah itu,
Bu ini gambar apa ini Bu, kok ada yang ikut foto? Lha itu berarti ya
pengen ikut difoto. Ada mahkluk yang gelungan gitu, kebaya. Kalau
saya, asal tidak nganggu aja. Di gamelan juga ada, di atas.
Masih percaya dengan makhluk gaib
dan tidak mau menganggu.
Kepercayaan terhadap mitos.
Kalau Mbah Maridjan dulu pesennya tentang Merapi ya kalau
misalnya Merapi itu tidak boleh dikatakan kalau Merapi njeblug,
Merapi mbledos, wedus gembel. Itu tidak boleh. Biasanya Merapi lagi
mbangun. Kaya gitu.
Merapi tidak boleh dikatakan
njeblug, mbledos atau ada wedus
gembel, tapi Merapi dalam proses
membangun.
Ada hal tabu yang tidak boleh
disebutkan berkaitan dengan Merapi.
Saya naik pertama kali tu pas di rumah Pak Bagyo, yang batas
terbakar itu lho. Sampai atas mencari tilas rumah ya bingung Mas.
Nek ra bingung ya ampuh. Tapi yo ra nangis. Malah heran. Ini beneran
atau nggak.
Mencari tilas rumah tapi bingung dan
heran, beneran atau nggak.
Tidak percaya dengan kejadian.
Lha butuh duit je. Padahal ya panas-panas ngentang-ngentang. Pas
naik kok lihat banyak orang, panas-panas gini ya butuhlah. Saya naik
motor itu ya jualan air sama kaset-kaset ternyata ya habis.
Jualan air dan kaset karena butuh
duit.
Mengatasi keadaan ekonomi.
Lha saya belum jualan, orang lain malah sudah duluan. Ya gak papa,
pada bangkit. Daripada cuma nglesot di pegungsian.
Melihat orang lain bangkit lebih baik
daripada hanya sekadar nglesot saja.
Kebangkitan adalah sesuatu yang baik.
Ya wanita-wanita, itu kan ya ngojek, supir Jeep. Ibu-ibu melayani ojek dan jadi supir
Jeep.
Wanita mengerjakan pekerjaan yang
tidak biasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ini kalau saya mbuat jahe serbuk. Dipasarkan. Dari sekian banyak,
yang aktif ya cuma di sini. KUB, Kelompok Usaha Bersama, tapi
katanya hibah kok tiap bulan ngangsur juga. Yang nganter juga
seringnya saya. Soalnya yang lain pada sibuk juga. Besok kalau
angsurannya sudah selesai, uangnya dihibahkan beneran.
Pembuatan jahe serbuk yang aktif
cuma di desa subyek.
Rasa bangga terhadap diri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
LAMPIRAN 4
Kategorisasi Tema Ibu Mur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Kategorisasi/ Tema (Analytical Category) Ibu Mur
Label Analitis Tema
Pengalaman pahit yang membuat sakit. Pengalaman traumatis.
Sirine merupakan wujud perintah secara
metaforis.
Pengalaman traumatis.
Keinginan untuk melihat keadaan. Rasa penasaran terhadap
peristiwa.
Ada ingatan berkaitan kejadian. Pengalaman traumatis.
Suara sirine mengancam diri. Pengalaman traumatis.
Sosok simbah seakan-akan hanya hilang
secara fisik.
Pengalaman kehilangan.
Menerima kenyataan bahwa simbah telah
tiada.
Mengatasi keadaan diri.
Berdoa membantu proses menerima
kenyataan.
Mengatasi keadaan diri.
Perasaan kehilangan terhadap simbah. Pengalaman kehilangan.
Keinginan untuk mengatasi pengalaman
yang tidak mengenakkan.
Mengatasi keadaan diri.
Kemudahan dalam membuat keputusan
berkaitan dengan keadaan Merapi.
Memandang sekitar sebagai
sesuatu yang mutualistis.
Personifikasi Merapi sebagai sahabat. Memandang sekitar sebagai
sesuatu yang mutualistis.
Keimanan akan membantu manusia. Allah sebagai segala sumber.
Merelakan apa yang dikehendaki Allah. Allah sebagai segala sumber.
Allah-lah yang menghendaki sesuatu terjadi. Allah sebagai segala sumber.
Bangkit untuk mengatasi keadaan. Mengatasi keadaan diri.
Perasaan sepenanggungan. Mengatasi keadaan diri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Merasa lebih beruntung. Mengatasi keadaan diri.
Mengatasi keadaan aktual. Mengatasi keadaan diri.
Mendukung kehidupan sekitar. Memandang sekitar sebagai
sesuatu yang mutualistis.
Berarti bagi orang lain. Memandang sekitar sebagai
sesuatu yang mutualistis.
Membutuhkan orang lain. Memandang sekitar sebagai
sesuatu yang mutualistis.
Membaca tanda-tanda. Manusia sebagai pembaca tanda.
Ada ingatan berkaitan kejadian. Pengalaman traumatis.
Rasa ingin kembali pada keadaan terdahulu. Kerinduan pada masa lalu.
Sudah mendapat bagian sendiri. Memandang sekitar sebagai
sesuatu yang mutualistis.
Nyaman pada keadaan terdahulu. Kerinduan pada masa lalu
Keinginan untuk pulang ke rumah. Kerinduan pada masa lalu
Rasa rindu dengan rumah tetap ada. Kerinduan pada masa lalu
Kepercayaan terhadap mitos. Cara hidup berdasarkan kearifan
lokal.
Ada hal tabu yang tidak boleh disebutkan
berkaitan dengan Merapi.
Cara hidup berdasarkan kearifan
lokal.
Tidak percaya dengan kejadian. Mengatasi keadaan diri.
Mengatasi keadaan ekonomi. Mengatasi keadaan diri.
Kebangkitan adalah sesuatu yang baik. Mengatasi keadaan diri.
Wanita mengerjakan pekerjaan yang tidak
biasa.
Mengatasi keadaan diri.
Rasa bangga terhadap diri. Mengatasi keadaan diri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
LAMPIRAN 5
Persamaan dan Perbedaan Pengalaman
antara Ibu Pur dengan Ibu Mur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Persamaan dan Perbedaan Pengalaman antara Ibu Pur dengan Ibu Mur
Persamaan antara Ibu Pur dengan Ibu Mur Perbedaan antara Ibu Pur dengan Ibu Mur
1. Rasa takut akan ketiadaan akibat bencana.
2. Mengatasi rasa takut atau tidak nyaman dengan berdoa.
3. Pemahaman bahwa Tuhan adalah penyebab segala.
1. Ibu Pur tidak mengungsi karena percaya pada suami.
2. Rumah dan desa Ibu Mur habis terkena awan panas,
sedangkan rumah Ibu Pur relatif aman dari awan panas.
3. Ibu Pur mengembalikan segala pengalaman erupsi
kepada keyakinan agama lewat kitab suci.
4. Ibu Pur cenderung memandang Merapi sebagai ciptaan
Allah dan memiliki utilitas, sedangkan Ibu Mur
memandang Merapi sebagai sahabat.
5. Ibu Mur mengalami kehilangan sosok yang berarti.
6. Ibu Mur kehilangan kampung halamannya.
7. Ibu Mur mengalami pengalaman traumatis.
8. Ibu Mur berdagang dan menjadi tukang ojek untuk
mengembalikan perekonomian keluarga.
9. Ibu Mur menjadi koordinator dalam suatu Kelompok
Usaha Bersama di dusunnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
LAMPIRAN 6
Pembagian Tema secara Kronologis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Pembagian Tema secara Kronologis
Sebelum Erupsi
(Beginning)
Ketika Erupsi
(Middle)
Setelah Erupsi
(End)
4. Manusia sebagai
pembaca tanda.
5. Cara hidup
berdasarkan kearifan
lokal.
6. Memandang sekitar
sebagai sesuatu yang
mutualistis.
1. Rasa penasaran
terhadap peristiwa.
2. Masa depan yang
tak terjamah.
3. Suami sebagai
otoritas.
1. Mengatasi keadaan
diri.
2. Kerinduan pada masa
lalu.
3. Allah sebagai segala
sumber.
4. Pengalaman
kehilangan.
5. Pengalaman
traumatis.
6. Keyakinan akan
nasib.
7. Memandang sekitar
sebagai sesuatu yang
mutualistis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI