Upload
hathu
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT)
SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN
DI LAHAN GAMBUT DI PROVINSI RIAU
ADI DZIKRULLOH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
iii
RINGKASAN
ADI DZIKRULLOH. Pola Sebaran Titik Panas (Hotspot) sebagai Indikator
Kebakaran di Lahan Gambut di Provinsi Riau. Dibimbing oleh LAILAN
SYAUFINA dan ATI DWI NURHAYATI.
Provinsi Riau merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang mempunyai
tingkat kebakaran hutan dan lahan yang tinggi. Kondisi ini dapat dilihat dari
tingginya sebaran hotspot dan kejadian kebakaran hutan dan lahan setiap
tahunnya. Dengan demikian, penyediaan informasi yang memadai mengenai
sebaran potensi kebakaran hutan dan lahan melalui sebaran hotspot menjadi hal
yang terpenting dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan, khususnya untuk
lahan gambut di Provinsi Riau.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sebaran hotspot sebagai
indikator kebakaran di lahan gambut di Provinsi Riau. Identifikasi hotspot
bermanfaat memberikan informasi/gambaran fluktuasi sebaran hotspot di Provinsi
Riau. Sehingga, dapat digunakan dalam penentuan daerah rawan kebakaran yang
berguna dalam kegiatan manajemen kebakaran hutan di Provinsi Riau.
Hasil penelitian terbentuk sebuah pola sebaran hotspot dalam kurun waktu
tiga tahun (2009-2011). Jumlah hotspot yang ditemukan dalam tiga tahun adalah
12.987 hotspot. Pola sebaran hotspot tertinggi pada tahun 2009 sebanyak 7.734
hotspot, tahun 2010 terjadi penurunan jumlah hotspot menjadi 1.715 hotspot.
Namun jumlah hotspot kembali meningkat menjadi 3.538 hotpsot pada tahun
2011. Sebaran hotspot tertinggi setiap tahun dimulai pada bulan Mei hingga
Agustus.
Luasan lahan gambut di Provinsi Riau adalah 45% dari luas total provinsi.
Dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011), sejumlah 7.149 hotspot atau 55%
ditemukan di tanah bergambut, dan 5.838 hotspot atau 45% pada tanah selain
gambut. Penyebab tingginya hotspot di Provinsi Riau adalah tingginya praktek
alih guna dan fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit serta praktek
pembukaan lahan dengan pembakaran, selanjutnya faktor iklim yang mendukung
tingginya sebaran hotspot adalah panjangnya hari kering dan rendahnya curah
hujan di Provinsi Riau.
Kata kunci: hotspot, kebakaran hutan, lahan gambut
iv
SUMMARY
ADI DZIKRULLOH. Distribution Patterns of Hotspot as an Indicator of Fire on
Peatland in Riau Province. Supervised by LAILAN SYAUFINA and ATI DWI
NURHAYATI.
Riau Province is one of the regions in Indonesia with a high rate of fire on
forest and land. This condition can be seen from the high distribution of hotspots
and occurrences of land and forest fires every year. Thus, adequate information
about the potential distribution of land and forest fires based on the distribution of
hotspots is the most important in the prevention of land and forest fires,
particularly the fire on peatlands in Riau Province.
This study was aimed to identify hotspots as an indicator of fire distribution
on peatlands in Riau Province. This hotspot identification is useful for providing
information/description of the fluctuating distribution of hotspots in Riau
Province. It can be used to determine which area is prone to fire, and this is useful
in the management of forest fires in Riau province.
The study result is the form of a distribution pattern of hotspot in the period
of three years (2009-2011). The number of hotspots was found in the three years
to reach 12.987 hotspots. The highest distribution of hotspots was in 2009 with
7.734 hotspots. In 2010 the number of hotspots dropped to 1715 hotspots.
However, the figure increased again to 3.538 hotspots in 2011. The highest
distribution of hotspot every year began in May to August.
The area of peatland in Riau province is 45% of the total area of the
province. In the period of three years (2009-2011), 7.149 hotspots or 55% were
found on the peatland and 5838 hotspots or 45% on other types of land. The
causes of the high number of hotspots in Riau Province are the high frequency of
change in land use to oil palm plantations and the practice of land clearing by
burning, whereas the climatic factors that lead to the high distribution of hotspots
are the length of dry days and the low rainfall in Riau Province.
Keywords: hotspot, forest fires, and peatland
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Sebaran Titik
Panas (Hotspot) sebagai Indikator Kebakaran di Lahan Gambut di Provinsi Riau
adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing
dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau
lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2012
Adi Dzikrulloh
NIM E44070050
vi
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Pola Sebaran Titik Panas (Hotspot) sebagai Indikator
Kebakaran di Lahan Gambut di Provinsi Riau
Nama : Adi Dzikrulloh
NIM : E44070050
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
Ketua,
Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc
NIP. 19640613 198903 2 001
Anggota,
Ati Dwi Nurhayati, SHut., MSi
NIP. 19770622 200701 2 001
Mengetahui:
Ketua Departemen Silvikultur,
Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS
NIP. 19601024 198403 1 009
Tanggal Lulus:
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Pulorejo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 16
November 1988, sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari ayah K. Saiful
Bahri dan Ibu Siti Rahmah. Penulis menyelesaikan sekolah di SMA Negeri 1
Jombang tahun 2007.
Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor (IPB) tahun 2007 dan mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan tahun 2012.
Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam
Leuweng Sancang dan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang
Jawa Barat tahun 2009, Praktek Pembinaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan
Gunung Walat (HPGW) tahun 2010. Ketertarikannya dalam mendalami Small
Scale Forestry menjadikan penulis melakukan studi Praktek Kerja Profesi (PKP)
di Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) Kabupaten Kulon Progo, DIY
Yogyakarta.
Pada tahun 2008-2010 penulis dipercaya untuk menjadi Ketua Umum
Jombang Agristudent Community (JAC) dan Ketua Pelaksana Masa Pengenalan
Mahasiswa (MPF) dan Bina Corps Rimbawan (BCR) di Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor tahun 2010. Sejak tahun 2008 penulis aktif dalam sebuah
lembaga unit kerja dan Center of Excellence (CoE), FORCI Dev (Center for
Forestry Organization Capacity and Institution Development) yang berada di
lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Di FORCI Dev inilah
penulis belajar banyak tentang kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam,
khususnya sektor kehutanan.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul Pola Sebaran Titik Panas (Hotspot) sebagai Indikator
Kebakaran di Lahan Gambut di Provinsi Riau di bawah bimbingan Dr. Ir. Lailan
Syaufina, M.Sc. dan Ati Dwi Nurhayati, S.Hut., M.Si.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan mengucap asma Allah, Gusting Kang Maha
Murbeng, atas pemberian kesehatan dan ruang-Nya sehingga penulis mampu
berfikir dan bertindak untuk menuntaskan skripsi ini dengan judul “Pola Sebaran
Titik Panas (Hotspot) Sebagai Indikator Kebakaran Hutan di Lahan Gambut di
Provinsi Riau”. Skripsi ini penulis persembahkan kepada semua pihak yang
memperjuangkan pengelolaan sumberdaya hutan untuk keberlangsungan
lingkungan, keadilan sosial dan pengentasan kemiskinan.
Sebuah harapan dari karya tulis ini adalah dapat member manfaat seluas-
luasnya dan pembaca bersedia member masukan dan komentarnya untuk
perbaikan bagi penulis pada khususnya serta perkembangan ilmu pengetahuan
kehutanan. Penulis mengakhiri dengan sebuah kutipan yang mencerminkan
harapan akan perubahan positif.
Bernard (1941) dalam Kartodihardjo dan Jhamtani (2005) Anda melihat sesuatu
sebagaimana apa adanya dan anda bertanya mengapa. Tetapi saya bermimpi tentang
hal-hal yang tidak pernah ada dan saya bertanya mengapa tidak?
Bogor, Juni 2012
Adi Dzikrulloh Bahri
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah dengan mengucap asma Allah, Gusting Kang Maha
Murbeng, atas pemberian kesehatan dan ruang-Nya sehingga penulis mampu
berfikir dan bertindak untuk menuntaskan karya ilmiah ini. Terima kasih
disampaikan juga kepada:
1. Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan Ati Dwi Nurhayati, S.Hut., M.Si. sebagai
pembimbing I dan pembimbing II yang telah memberikan arahan dan
ilmunya dengan penuh kesabaran.
2. Ir. Dones Rinaldi, MScF. sebagai dosen penguji dan Dr. Erianto Indra Putra,
S.Hut, MSi. sebagai ketua sidang atas segala ilmu yang telah diberikan.
3. Kedua orang tua penulis (Abah K. Saiful Bahri dan Umi Siti Rahmah) serta
Mbak Amhilhum Ruwaida beserta Mas Hadi, Mas Anang Hudallah Bahri,
Mas Rikza Saifullah Bahri beserta Mbak Hadiyatul Fitriah, dan Yunda
tercinta Imas Rubaiyah atas ilmu dan dukungannya kepada penulis.
4. Keluarga Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang senantiasa
memberikan ruang ilmu kepada penulis.
5. Keluarga besar Departemen Silvikultur, khususnya teruntuk Dr. Erianto
Indra Putra, S.Hut., M.Si. dan Dadan Mulyana, S.Hut., M.Si. yang ikhlas
menjadi teman diskusi penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.
Sahabat-sahabat Silvikultur angkatan 44 khususnya Rizki Mohfar Laleur,
Dikdik Pasang Sodiikin, Hariadi Propantoko dan Izzudin yang seringkali
memberi wejangan kepada penulis.
6. Teman-teman di Fakultas Kehutanan IPB, khususnya Renato, Djayus,
Syamsi, Topik, Indra Prima, Hansen, Muhran, Lembong, Soni, Mas Agung,
Andrie R, Bayu P, Akrom, Yasser, Hilman, Dewi Kartika-Ika dan
Mas/Mbak serta Adek tingkat semua atas canda ria selama ini.
7. Teruntuk kawan Wira Ary Ardana dan Alex Yungan Harahap yang sering
kali meluangkan waktunya untuk mendiskusikan apapun dengan penulis.
8. Saudara-saudara penulis di Asrama Sylvalestari atas riungannya.
9. Kawan-kawan Futsal dan Sepakbola Fahutan atas segala ilmu yang telah
diberikan kepada penulis.
x
10. Saudara-saudara penulis Arifin Busi, Rusdi Indra S, Singgih MW, Bergas
CB, Rizki HS, Ari S, Anggiana GA dan Noval H. yang bersama-sama
menghidupkan “Langau Institute” dalam suasana keilmuan. Khususnya
untuk Anggiana dan Mas Handian yang selalu menyediakan ruang diskusi
kepada penulis.
11. Sahabat-sahabat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Institut
Pertanian Bogor, yang mengajarkan kesabaran dan keikhlasan dalam sebuah
pergerakan.
12. Kawan-kawan di FORCI Dev (Center for Forestry Organization Capacity
and Institution Development) atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk mencintai ilmu.
13. Setiap waktu dan tempat adalah ruang belajar, setiap orang adalah guru
penulis. Terimakasih untuk semuanya.
POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT)
SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN
DI LAHAN GAMBUT DI PROVINSI RIAU
ADI DZIKRULLOH
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ................................................................... 2
1.3 Manfaat Penelitian ................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 3
2.1 Kebakaran Hutan ................................................................... 3
2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan ........... 3
2.1.2 Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan
Lahan ............................................................................ 4
2.1.3 Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan .......................... 7
2.1.4 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan .................. 8
2.2 Titik Panas (Hotspot) ............................................................. 8
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................. 9
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................. 9
3.2 Bahan dan Alat ....................................................................... 9
3.3 Metode Penelitian .................................................................. 9
3.3.1 Pengumpulan Data ....................................................... 9
3.3.2 Pengolahan Data ........................................................... 9
3.4 Analisis Data .......................................................................... 10
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ................................ 11
4.1 Keadaan Geografis ................................................................. 11
4.2 Keadaan Iklim ........................................................................ 11
4.3 Topografi ............................................................................... 12
4.4 Kondisi Sosial dan Ekonomi.................................................. 13
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 15
5.1 Sebaran Hotspot Tahunan ...................................................... 15
5.1.1 Sebaran Hotspot Tahun 2009 ....................................... 17
xii
5.1.2 Sebaran Hotspot Tahun 2010 ....................................... 18
5.1.3 Sebaran Hotspot Tahun 2011 ....................................... 19
5.2 Sebaran Hotspot Bulanan ....................................................... 19
5.3 Sebaran Hotspot Pada Tipe lahan Gambut ............................ 22
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN..................................................... 25
6.1 Kesimpulan ............................................................................ 25
6.2 Saran ...................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 27
LAMPIRAN ................................................................................................ 30
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Peta Provinsi Riau (BPS Riau 2010) ...................................................... 11
2 Luas lahan gambut di Provinsi Riau (BBPPLP 2011) ........................... 12
3 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 di Provinsi Riau ............................... 15
4 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 tiap kabupaten di Provinsi Riau ....... 16
5 Sebaran hotspot bulanan pada tahun 2009 (a) 2010 (b) dan 2011 (c)
di Provinsi Riau ...................................................................................... 20
6 Persentase sebaran hotspot berdasarkan tipe tanah pada tahun
2009-2011 di Provinsi Riau .................................................................... 22
7 Sebaran hotspot berdasarkan jenis tanah di Provinsi Riau tahun
2009-2011 ............................................................................................... 22
8 Sebaran hotspot pada lahan gambut: (a) tahun 2009; (b) tahun 2010;
dan (c) tahun 2011 di Provinsi Riau ....................................................... 23
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 di Provinsi Riau ............................... 30
2 Sebaran bulan kering tahun 2009-2011 .................................................. 31
3 Curah hujan Provinsi Riau pada tahun 2009-2011 ................................. 31
4 Sebaran hotspot di lahan gambut dan non gambut tahun 2009-2011
di Provinsi Riau ...................................................................................... 31
5 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 .......................................................... 32
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan telah memberikan dampak negatif yang besar.
Kebakaran terbesar terjadi pada tahun 1982-1983 yang menyebabkan kerugian
US$ 9.04 miliar selanjutnya tahun 1997-1998 dengan kerugian US$ 6307 juta
(Tacconi 2003). Dengan demikian perlu adanya upaya untuk mengendalikan dan
mencegah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Hutan mempunyai peranan yang sangat luas baik dari aspek perlindungan
ekosistem, sosial ekonomi, dan budaya. Fungsi yang luas (multiple function) harus
mendapatkan perhatian yang serius. Perlindungan dari berbagai bahaya akan
sumberdaya hutan, dalam hal ini kebakaran hutan, menjadi penting untuk
dilakukan.
Perlindungan sumberdaya hutan terhadap kebakaran hutan dan lahan
dilakukan melalui dua instrumen, yaitu pembuatan kebijakan dan implementasi
kebijakan di lapangan. Dua hal tersebut saling berhubungan dan mempunyai
keterikatan yang kuat dalam keberhasilan pengendalian kebakaran hutan dan
lahan.
Anderson dan Bowen (2001) menyebutkan bahwa di Sumatera
teridentifikasi 7 kawasan utama rawan kebakaran. Kawasan tersebut adalah (i)
Sumatera Utara (perbatasan Riau), (ii) lahan basah Sungai Kampar di Riau, (iii)
lahan basah di pesisir Sumatera Barat (perbatasan Sumatera Utara), (iv) Sumatera
Barat (lahan basah dipesisir Bengkulu), (v) lahan basah Sungai Batanghari di
Jambi berbatasan dengan taman Nasional Berbak, (vi) rawa di pedalaman
Sumatera Selatan, dan (vii) lahan basah di pesisir Sumatera Selatan. Sebanyak
enam dari tujuh zona rawan kebakaran tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama
yaitu berada dalam lahan basah yang kaya gambut.
Upaya pencegahan menjadi prioritas utama dalam penanggulangan
kebakaran hutan khususnya untuk daerah-daerah berlahan gambut Provinsi Riau.
Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta ha (10,8%) dari luas
daratan Indonesia, dimana sekitar 7,2 juta ha (35%) terdapat di Pulau Sumatera.
Luas lahan gambut di Propinsi Riau adalah 3.867.413 ha (43,61%) dari luas
2
keseluruhan Provinsi Riau) (BBPPLP 2011). Dengan demikian, penyediaan
informasi yang memadai mengenai sebaran potensi kebakaran hutan dan lahan
melalui sebaran hotspot menjadi hal yang terpenting dalam pencegahan kebakaran
hutan dan lahan, khususnya untuk lahan gambut di Provinsi Riau.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengidentifikasi sebaran hotspot
sebagai indikator kebakaran di lahan gambut di Provinsi Riau.
1.3 Manfaat Penelitian
Identifikasi hotspot bermanfaat memberikan informasi/gambaran fluktuasi
sebaran hotspot di Provinsi Riau. Informasi tersebut dapat digunakan dalam
penentuan daerah rawan kebakaran yang berguna dalam kegiatan manajemen
kebakaran hutan di Provinsi Riau.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebakaran Hutan
2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan
oleh api dan terjadi secara luas tidak terkendali. Syaufina (2008) mengemukakan
bahwa kebakaran hutan adalah suatu kejadian di mana api melalap bahan bakar
bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan
tidak terkendali.
Vegetasi menjadi bahan bakar utama dalam terjadinya kebakaran hutan
dan lahan. Bahan bakar tersebut merupakan hasil fotosintesis vegetasi hutan.
Sehingga kebakaran hutan tidak lain adalah pelepasan panas secara cepat pada
vegetasi dengan kapasitas besar. Hubungan fotosintesis dan pembakaran vegetasi
adalah terjadinya reaksi kimia antara CO2 dan H2O yang dibantu oleh energi
cahaya. Hasil dari reaksi kimia tersebut adalah C6H12O6, O2, dan H2O.
Pembakaran adalah terjadinya reaksi kimia antara CO2 dan C6H12O6 dengan
adanya suhu penyalaan yang cukup sehingga menghasilkan CO2, H20 dan panas
(Syaufina 2008).
Reaksi kimia di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga komponen yang
penting dalam terjadinya proses pembakaran, yaitu; (i) bahan bakar yang ditun-
jukkan oleh senyawa glukosa (C6H12O6), (ii) oksigen (O2), dan (iii) panas.
DeBano et al. (1998) menyatakan bahwa ada tiga komponen penting yang
diperlukan agar terjadi proses pembakaran, yaitu; bahan bakar, panas, dan O2.
Ketiga komponen tersebut digambarkan dengan segitiga api (The fire triangle)
(Brown dan Davis 1979).
Kebakaran hutan dapat dikelompokan pada tiga tipe. Pengelompokkan
tersebut didasarkan kepada bahan bakar yang mendominasi kebakaran. Tiga tipe
kebakaran (Syaufina 2008), yaitu :
a. Kebakaran bawah (Ground Fire):
Kebakaran bawah yaitu situasi dimana api membakar bahan organik di
bawah permukaan serasah. Penjalaran api yang perlahan dan tidak dipengaruhi
4
oleh angin menyebabkan tipe kebakaran seperti ini sulit untuk dideteksi dan
dikontrol. Kebakaran bawah dicirikan dengan kebakaran lahan gambut.
b. Kebakaran permukaan (Surface fire)
Kebakaran permukaan yaitu situasi dimana api membakar serasah, tum-
buhan bawah, bekas limbah pembalakan dan bahan bakar lain yang terdapat di
lantai hutan. Kebakaran permukaan permukaan adalah tipe kebakaran yang umum
terjadi di tegakan hutan.
c. Kebakaran tajuk
Kebakaran tajuk yaitu situasi dimana api menjalar dari tajuk pohon satu ke
tajuk pohon yang lain yang saling berdekatan. Kebakaran tajuk sangat dipengaruhi
oleh kecepatan angin. Kebakaran tajuk sering terjadi di tegakan hutan konifer dan
api berasal dari kebakaran permukaan.
2.1.2 Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan
Adiningsih et al. (2011) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor penyebab
kebakaran hutan, yaitu aktivitas manusia dalam menggunakan api, iklim, dan
perubahan tata guna lahan. Berdasarkan ketiga faktor tersebut dapat dikatakan
bahwa kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh perilaku manusia dan kondisi
biofisik lokasi.
a. Aktivitas manusia
Menurut Armi (2001) kebakaran hutan dan lahan rawa yang terjadi akibat
pembukaan lahan kehutanan, perkebunan, pertanian, transmigrasi, Pertambangan
dan bidang pariwisata. Kesemuanya ini bersumber dari terbatasnya pengetahuan
masyarakat akan bahaya/dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran terhadap
perubahan ekosistem. Di samping itu penyebab lain adalah akibat kelalaian
manusia dalam pelaksanaan kegiatan usaha/pembangunan di tingkat lapangan
sehingga terjadi kebakaran baik hutan maupun areal rawa yang ada di Lampung
(Suyanto et al. 2003).
Penggunaan api oleh manusia dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu
untuk membersihkan lahan dan menjadi senjata konflik lahan. Pembersihan lahan
dengan cara pembakaran dianggap sebagai cara pembersihan lahan yang murah.
Pembersihan lahan diperlukan untuk kegiatan perladangan, perkebunan dan hutan
tanaman.
5
Masyarakat juga menggunakan api sebagai senjata dalam konflik lahan.
Peluso (1992) menyatakan bahwa masyarakat seringkali membakar hutan dan
infrastruktur dalam menunjukkan perlawanan terhadap ketidaksetujuan terhadap
penguasaan lahan atau sumberdaya hutan yang dilakukan oleh negara. Api
digunakan sebagai senjata perlawanan karena dianggap mudah dan dengan
membakar, sumberdaya lahan dapat lebih mudah untuk dikuasai kembali.
b. Faktor cuaca kebakaran hutan dan lahan
Cuaca mempunyai peranan penting dalam kebakaran hutan dan lahan.
Cuaca juga menentukan panjang dan parahnya musim kebakaran dan bahan bakar
di suatu daerah (Chandler et al. 1983). Musim kebakaran erat kaitannya dengan
panjang hari di suatu tempat yang berhubungan pada lama penyinaran matahari,
sehingga berdampak pada kelembaban di suatu daerah.
Musim kebakaran juga mempunyai peranan dalam menentukan kadar air
bahan bakar. Semakin tinggi kadar air bahan bakar, maka semakin rendah
kemudahan bahan bakar untuk terbakar. Sebaliknya semakin rendah kadar air
bahan bakar, maka semakin tinggi kemudahan bahan bakar untuk terbakar.
Kadar air dapat dijadikan indikator bahaya kebakaran hutan (Syaufina
2008). Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara
yang saling berhubungan sebagai berikut (Chandler et al. 1983): (i) iklim
menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, (ii) iklim menentukan jangka
waktu dan keparahan musim kebakaran, (iii) cuaca mengatur kadar air dan
kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar, (iv) cuaca mempengaruhi proses
penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan.
Cuaca terbentuk dari berbagai unsur-unsur pembentuknya, yaitu
kelembaban relatif, penguapan, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, dan
curah hujan. Sintesis dari perubahan nilai unsur-unsur cuaca dalam jangka waktu
yang panjang dan di suatu tempat itulah membentuk sebuah iklim.
1. Suhu udara
Suhu udara menjadi indikator penting dalam kebakaran hutan dan lahan.
Intensitas matahari akan mempengaruhi kandungan kadar air pada bahan bakar,
yang kemudian berpengaruh pada ketersediaan bahan bakar. Tingginya suhu
6
udara akan mempercepat pengeringan bahan bakar dan memudahkan kebakaran
terutama pada musim kemarau yang panjang.
Perbedaan suhu udara dalam satu hari dapat menentukan kecenderungan
terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pada siang hari suhu udara lebih
memungkinkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan dibandingkan dengan pagi
hari. Menurut Sahardjo (2003), pada pagi hari dengan suhu yang cukup rendah
sekitar 200C ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak
berkembang sehingga terkonsentrasi pada titik. Sementara siang hari dengan suhu
30–350C sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) membuat proses
pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi
berubah-ubah karena pengaruh angin.
2. Kelembaban udara
Kelembaban udara di dalam hutan mempengaruhi kadar air lingkungan,
yaitu baik pada bahan bakar vegetasi maupun lingkungan abiotik. Kelembaban
udara mempengaruhi kadar air bahan bakar, sehingga dapat berpengaruh pada
pengeringan dan terbakarnya bahan bakar. Fuller (1991) menyatakan bahwa
dalam hutan kelembaban udara akan sangat mempengaruhi mudah tidaknya bahan
bakar mengering dan terbakar, hal ini dikarenakan kelembaban (kadar air udara)
dapat menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. Semakin kecil
kadar air di udara (RH kecil) maka semakin mudah bahan bakar mengering dan
bahan bakar lebih mudah terbakar. Begitu juga sebaliknya, semakin tinggi kadar
air di udara (RH tinggi) maka semakin besar kandungan air pada bahan bakar,
akibatnya bahan bakar semakin basah dan sulit terbakar.
Terdapat perbedaan kelembaban udara pada siang hari dan pagi hari. Siang
hari kelembaban udara berkisar antara 80–85%, sebaliknya pada pagi hari
kelembaban relatif tinggi yaitu sekitar 90–95% (Susanty 2009). Kondisi ini
berpengaruh pada siang hari yang membuat proses kebakaran berlangsung cepat
karena kadar air bahan bakar cukup rendah.
3. Curah hujan
Curah hujan berpengaruh pada kelembaban regional hutan, khususnya
terhadap bahan bakar. Semakin tinggi curah hujan, maka kelembaban bahan bakar
7
semakin tinggi pula, dampaknya kadar air bahan tinggi dan potensi kebakaran
menjadi rendah.
Curah hujan dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh pada
permukaan tanah selama periode tertentu bila tidak terjadi penghilangan oleh
proses evaporasi, pengaliran dan peresapan, yang diukur dalam satuan tinggi.
Curah hujan adalah unsur iklim yang berpengaruh pada terjadinya kebakaran
hutan dan lahan, terutama sebagai pembentuk kelembaban dan penentu kadar air
pada bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar tinggi,
dan kadar air bahan bakarpun tinggi, sehingga menyulitkan terjadinya
pembakaran (Septicorini 2006).
4. Angin
Angin ialah udara yang bergerak secara horizontal dari suatu wilayah yang
bertekanan tinggi menuju wilayah yang bertekanan rendah (Arifin et al. 2001).
Angin muncul sebagai hasil dari pemanasan di permukaan bumi, sehingga terjadi
perbedaan tekanan udara. Menurut Chandler et al. (1983) angin merupakan salah
satu faktor penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan.
Angin berperan dalam membantu pengeringan bahan bakar. Air yang
berada di alam bahan bakar akan dibawa oleh angin ketika terjadi proses
penguapan. Dalam perilaku api angin berperan dalam menentukan kecepatan
perambatan api dari satu bahan bakar menuju ke bahan bakar yang lain.
2.1.3 Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan dan lahan mempunyai dampak positif maupun negatif.
Menurut Adinugroho et al. (2005), dampak kebakaran hutan dan lahan yaitu
adanya degradasi lingkungan, gangguan kesehatan dan masalah sosial-ekonomi.
Kebakaran yang terjadi dapat menimbulkan dampak yang sangat penting terhadap
kerusakan ekosistem seperti (Armi 2001): (i) menurunnya kesuburan tanah yang
menyebabkan tingkat produktifitas lahan menurun karena lapisan humus yang
hilang dan struktur tanah bagian atas (top-soil) mengalami perubahan sehingga
menyebabkan terganggunya kehidupan mikroorganisme dan tanaman yang
tumbuh diatasnya, (ii) berkurangnya/musnahnya flora dan fauna yang berada di
dalam maupun di atas lahan yang terbakar.
8
Kebakaran hutan dan lahan memberikan kerugian ekonomi yang besar.
Kerugian tersebut meliputi sumberdaya hutan itu sendiri dan manfaat hutan tidak
langsung. Tacconi (2003) mengklasifikasikan perhitungan kerugian akibat
kebakaran hutan dan lahan menjadi dua, yaitu biaya ekonomi akibat kebakaran,
dan biaya ekonomi akibat pencemaran.
2.1.4 Pengendalian Kebakaran Hutan
Pengendalian kebakaran hutan dapat dilakukan dengan penggunaan
teknologi remote sensing. Teknologi ini memberikan kemudahan dalam
memantau kebakaran secara cepat, tepat dan akurat serta memperkirakan kejadian
kebakaran dan pengaruhnya pada waktu mendatang. Informasi yang di dapat
dapat membantu dalam kegiatan peringatan dini (early warning system) dalam
pencegahan kebakaran hutan.
2.2 Titik Panas (Hotspot)
Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satus piksel yang memiliki
suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah atau lokasi sekitar yang tertangkap
oleh sensor satelit data digital. Kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diamati
dengan menggunakan teknik penginderaan jauh. Sensor yang paling luas dan
banyak digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan dalam jangka
panjang dan dalam area yang luas adalah Advance Very High Resolution
Radiometer (AVHRR) yang terpasang pada satelit orbit polar NOAA AVHRR.
Sensor AVHRR melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang (1 km).
Kisaran spektral yang dimiliki oleh NOAA AVHRR sangat luas yaitu dari visible
(ch 1 0.66 um), near infra red mempunyai dua manfaat dalam monitoring
kebakaran hutan dan lahan.
Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia data hotspot yaitu JICA
(Japan International Cooperation Agency), LAPAN (Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional) dan ASMC (ASEAN Specialized Meteorology Center).
Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold)
suhu terendah sehingga suatu hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai sebuah
hotspot (fire exist). Ambang batas (threshold) yang menjadi acuan adalah
(Hidayat et al. 2003): (i) LAPAN menggunakan threshold (suhu minimum)
9
sebesar 322oK, (ii) JICA menggabungkan ambang batas suhu maksimum 315
oK
pada siang hari dan 310oK pada malam, dan (iii) ASMC yang memakai threshold
sebesar 320oK pada siang hari dan 314
oK pada malam hari.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2012, diawali dengan tahap
pengumpulan data sampai dengan pengolahan dan penyusunan laporan. Penelitian
ini adalah analisis data sekunder dengan lokasi penelitian Provinsi Riau.
Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan
Lahan Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada
bulan April 2012.
3.2 Bahan dan Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah satu unit komputer yang
dilengkapi dengan software ArcView GIS Versi 3.2. dan MS. Office 2007. Data
yang digunakan sebagai bahan di dalam penelitian adalah data sekunder tentang
persebaran hotspot dari tahun 2009 hingga 2011 (PHKA Kemenhut) dan sebaran
lahan gambut tahun 2011 di Provinsi Riau (BBPPLP Kementan).
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Pengumpulan data
Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud
meliputi: (i) data sebaran hotspot di Provinsi Riau tahun 2009 hingga 2011, (ii)
peta sebaran lahan gambut Provinsi Riau tahun 2011, dan (iii) berbagai literatur
yang mendukung penelitian.
3.3.2 Pengolahan data
Pengolahan data terbagi menjadi dua, yaitu: 1) pengolahan data hotspot,
dan 2) pengolahan data sebaran lahan gambut dan tutupan lahan. Pengolahan data
hotspot dengan menggunakan perangkat software MS. Excel dengan mengguna-
kan add ins Descriptive Statistics. Pengolahan sebaran lahan gambut dengan
menggunakan software ArcView GIS Ver 3.2.
Langkah awal dalam pengolahan data yaitu pengklasifikasian data hotspot
menurut waktu (tahun dan bulan) serta sebaran menurut kabupaten. Selanjutnya
data hotspot digabungkan (overlay) pada peta sebaran lahan gambut.
10
3.4 Analisis Data
Data hasil pengukuran dianalisis menggunakan Microsoft Office Excel
dengan menggunakan add ins Descriptive Statistics. Analisis yang digunakan
dalam penelitian adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif berfungsi untuk
mendeskripsikan atau member gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data
sampel atau populasi sebagaimana adanya. Sugiyono (2010) menyebutkan analisis
deskriptif sebagai statistik deskriptif tanpa melakukan analisis dan membuat
kesimpulan yang berlaku untuk umum.
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan Geografis
Provinsi Riau terletak antara 01°05’00”LS–02°25’00”LU atau antara
100°00’00”BT–105°05’00”BT. Luas daerah lebih kurang 8.915.016 ha (89.150
km2) daratan dan perairan. Provinsi Riau terdiri dari 10 (sepuluh) kabupaten dan 2
(dua) kota, yaitu: Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan,
Siak, Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir, Kepulauan Meranti,
Pekanbaru, dan Dumai. Adapun batas-batas Provinsi Riau bila dilihat posisinya
dengan negara tetangga dan provinsi lainnya adalah: sebelah utara berbatasan
dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara, sebelah selatan berbatasan
dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat, sebelah timur berbatasan
dengan Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka, dan sebelah barat berbatasan
dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara (Gambar 1).
Gambar 1 Peta Provinsi Riau (BPS Riau 2010)
4.2 Keadaan Iklim
Daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar
antara 1000–3000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan
musim hujan. Daerah yang paling sering ditimpa hujan setiap tahun adalah Kota
12
Pekanbaru 193 hari, Kabupaten Indragiri Hulu 178 hari, Kabupaten Pelalawan
147 hari, Kabupaten Rokan Hulu 136 hari, dan Kabupaten Kampar dengan jumlah
hari hujan 110 hari. Jumlah Curah Hujan tertinggi pada tahun 2009 terjadi di
Kabupaten Kampar dengan curah hujan sebesar 3.349,0 mm, disusul Kota
Pekanbaru sebesar 3.214,4 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kota
Dumai sebesar 635,0 mm. Selanjutnya menurut catatan Stasiun Meteorologi
Simpang Tiga, suhu udara rata-rata di Kota Pekanbaru tahun 2009 menunjukkan
28oC dengan suhu maksimum 36
oC dan suhu minimum 21
oC (BPS Riau 2010).
4.3 Topografi
Secara umum topografi Provinsi Riau merupakan daerah dataran rendah
dan agak bergelombang dengan ketinggian pada beberapa kota yang terdapat di
Wilayah Provinsi Riau antara 2–91 m dpl. Kabupaten Bengkalis merupakan kota
yang paling rendah, yaitu berada 2 m dpl. Kebanyakan kota di Provinsi Riau
berada dibawah 10 mdpl, seperti Rengat, Tembilahan, Siak, Bengkalis, Bagan
Siapi-api dan Dumai.
Gambar 2 Luas lahan gambut di Provinsi Riau (BBPPLP 2011)
Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta ha (10,8%) dari
luas daratan Indonesia, dimana sekitar 7,2 juta ha (35%) terdapat di Pulau
Sumatera. Luas lahan gambut di Propinsi Riau adalah 3.867.413 ha (43,61%)
dari luas keseluruhan Provinsi Riau) (BBPPLP 2011) (Gambar 2). Sebagian besar
tanah daratan daerah Riau terdiri dari daratan yang terjadi dari formasi alluvium
ROK AN H ILIRROK AN H ILIR
ROK AN H U LUROK AN H U LU
KAMP ARKAMP AR
INDR AGIRI H ULUINDR AGIRI H ULU
INDR AGIRI H ILIRINDR AGIRI H ILIR
PELALAWANPELALAWAN
SIA KSIA K
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
KOTA DU MAIKOTA DU MAI
PEKA NBARUPEKA NBARU
100
100
101
101
102
102
103
103
104
104
-1
-1
0
0
1
1
2
2
N
EW
S
Skala 1:250.00020 0 20 40 Kilometers
Keterangan:
Lahan gambut
Lahan mineral
13
(endapan), di beberapa tempat terdapat selingan neogen, misalnya sepanjang
Sungai Kampar, Sungai Indragiri dan anaknya Sungai Cinaku di Kabupaten
Indragiri Hulu bagian selatan. Tetapi di daerah perbatasan sepanjang Bukit
Barisan sepenuhnya terdiri dari lapisan permikarbon, peleogen dan neogen dari
tanah podsolik yang berarti terdiri dari induk batuan endapan.
Keseluruhan daerah tersebut dapat dikatakan tanah tua sedangkan
selebihnya membentang ke utara sampai dengan daerah-daerah pantai, merupakan
kontruksi dari formasi jenis tanah alluvium (endapan) yang berasal dari zaman
Quarter sampai dengan zaman Recen, terlebih pada daerah bencah berawa-rawa
sepanjang daerah pantai utara. Provinsi Riau terdapat empat jenis tanah
(Zwieryeki dalam BPS Riau 2011), yakni : (i) jenis tanah organosol glei humus,
(ii) jenis tanah padsolik merah kuning dari alluvium, (iii) jenis tanah padsolik
merah kuning dari batuan endapan, (iv) jenis tanah podsolik merah kuning dari
batuan endapan dan batuan beku. Jenis-jenis tanah tersebut terutama didapati di
daerah-daerah sepanjang pantai sampai dengan pertengahan daratan yang
berformasi sebagai daratan muda tidak bergunung-gunung, bahkan beberapa
bagian terdiri dari tanah berawa-rawa.
4.4 Kondisi Sosial dan Ekonomi
Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) dilaksanakan pada bulan Mei 2010.
Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut hasil olah cepat SP 2010 tercatat sebesar
5.543.031 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki 2.854.989 jiwa dan
2.688.042 jiwa penduduk perempuan (BPS Riau 2011).
Angkatan kerja penduduk laki-laki jauh lebih banyak dibanding bukan
angkatan kerja. Sementara pada penduduk perempuan, bukan angkatan kerja
justru lebih banyak dibanding angkatan kerja, yang sebagian besar merupakan ibu
rumah tangga. Dari total angkatan kerja yang bekerja, ternyata sebagian besarnya
terserap di sektor pertanian (49,30%), diikuti oleh sektor perdagangan, rumah
makan, dan hotel serta jasa-jasa, masing-masing sebesar 17,58% dan 13,50%
(BPS Riau 2010).
Pada sektor pendidikan, tercatat tahun 2009/2010 Taman Kanak-kanak
berjumlah 1.406 sekolah, 54.742 murid dan 5.320 guru dengan rasio murid
terhadap guru 10,29% dan murid terhadap sekolah 38,93%. Selanjutnya, pada
14
tahun 2009/2010 Sekolah Dasar berjumlah 3.343, murid 647.434 dan guru
41.849, dengan rasio murid terhadap guru 15,47% dan ratio murid terhadap
sekolah 19,37%. Data statistik pendidikan menengah terbatas pada SLTP dan
SMU di lingkungan Dinas Pendidikan Nasional. Pada tahun 2009/2010 terdapat
845 SLTP umum, 348 SMU, dengan jumlah murid SLTP 216.321. Sedangkan
rasio murid terhadap guru SLTP 16,85%.
Menurut perencanaan Anggaran dan Belanja Negara, pemerintah
menganut prinsip anggaran berimbang dan dinamis. Jumlah anggaran menurut
kewenangannya tahun 2009 berjumlah 3.749,80 milyar rupiah, di mana bidang
administrasi umum pemerintah diberikan sebesar 1.480,28 milyar rupiah, disusul
bidang pekerjaan umum sebesar 751,73 milyar rupiah dan bidang pendidikan
sebesar 372,30 milyar rupiah. Penerimaan Provinsi Riau dari penerimaan pajak
bumi dan bangunan (PBB), BPHTB, pajak penghasilan, PPn dan PPn BM serta
pajak lainnya cukup tinggi, yaitu sebesar 8,21 triliun rupiah pada tahun 2009 (BPS
2011). Secara rinci penerimaan PBB sebesar 1,55 triliun rupiah, BPHTB sebesar
0,13 triliun rupiah, pajak penghasilan sebesar 4,27 triliun rupiah, PPn dan PPn
BM sebesar 2,21 triliun rupiah dan pajak lainnya 0,05 triliun rupiah.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Sebaran Hotspot Tahunan
Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan
tata guna lahan, jaringan jalan atau akses menuju hutan, tipe tutupan lahan dan
vegetasi, ketebalan gambut, dan tingkat kehijauan vegetasi (Adiningsih et al.
2005, Hadi 2005). Tipe tutupan lahan dan vegetasi mempengaruhi sebaran hotspot
di Provinsi Riau. Hadi (2006) dalam penelitiannya di Kabupaten Bengkalis,
menyatakan hutan alam rawa mempunyai potensi kebakaran hutan yang tinggi.
Adiningsih et al. (2005) menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di
Sumatera dicirikan oleh rendahnya respon para pemangku kepentingan terhadap
risiko biofisik kebakaran hutan dan lahan padahal risiko tersebut dapat diprediksi.
Kondisi ini dibuktikan dengan tingginya hotspot yang ditemukan oleh satelit di
seluruh wilayah Indonesia, khususnya tahun 2006-2010.
Gambar 3 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 di Provinsi Riau
Jumlah hotspot yang ditemukan dalam kurun waktu lima tahun adalah
171.493 hotspot, yaitu: 1) 57.856 hotspot pada tahun 2006; 2) 31.656 hotspot pada
tahun 2007; 3) 32.838 hotspot pada tahun 2008; 4) 39.528 hotspot pada tahun
2009; dan 5) 9.615 hotspot pada tahun 2010 (WWF 2011). Sementara berdasarkan
penyebarannya, jumlah hotspot terbesar terdapat di Provinsi Kalimantan Barat dan
Riau (LAPAN 2011a).
7734
1715
3538
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
2009 2010 2011
Jum
lah
Ho
tsp
ot
Tahun
16
Berdasarkan pantauan satelit NOAA-AVHR ditemukan 12.987 hotspot
dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011) di Provinsi Riau (Lampiran 1).
Sebaran hotspot tertinggi pada tahun 2009, yaitu 7.734 hotspot (Gambar 2). Pada
tahun 2010 terjadi penurunan hotspot yang signifikan, yaitu 1.715 hotspot.
Sementara pada tahun 2011 terjadi kenaikan jumlah sebaran hotspot, yaitu 3.538.
Gambar 4 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 tiap kabupaten di Provinsi Riau
Dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu 2009 – 2011, Kabupaten Rokan Hilir
merupakan daerah dengan jumlah sebaran hotspot tertinggi, yaitu 3.657 hotspot
(Gambar 3). Sebaran hotspot terendah terletak di Kota Dumai, yaitu 10 hotspot.
Rata-rata sebaran hotspot tahunan dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 adalah
4.329,67 hotspot.
Akar permasalahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau
90% oleh aktivitas manusia, dan hanya 10% disebabkan oleh alam (WWF 2010).
Aktivitas manusia yang menjadi penyebab utama adalah alih guna dan fungsi
lahan dan kawasan hutan, khususnya perkebunan dan lahan pertanian. Menurut
Dishutbun Riau (2009), kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau diakibatkan
oleh perilaku pembukaan lahan dengan cara pembakaran oleh pengusaha HTI dan
perkebunan sawit.
Berdasarkan hasil penelitian Jikalahari (2009) pada tahun 2002 hingga
2007 telah terjadi investasi besar-besaran pada usaha perkebunan kelapa sawit.
Pada tahun 2007 luasan perkebunan kelapa sawit adalah 2,157,091 ha. Pembukaan
lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit berpengaruh pada berkurangnya
17
luasan hutan di Provinsi Riau. Praktek usaha sawit juga menjadi salah satu faktor
terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pengusaha/petani kelapa sawit melakukan
pembakaran pada kegiatan pembukaan lahan (Jikalahari 2009).
Jikalahari (2009) menyebutkan, sekitar 1.570.700 ha izin hutan tanaman
industri berada pada kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, 1.060.000
ha hutan tanaman industri berada dalam kawasan lindung dan 510.700 ha pada
kawasan hutan produksi terbatas. Ketidaksesuaian perizinan ini terjadi karena
adanya program pembangunan Provinsi Riau yang hanya mengedepankan nilai
ekonomi semata.
Luas HTI tahun 2007 telah mencapai angka 1,935,607 ha. HTI di Provinsi
Riau bertujuan untuk memenuhi kapasitas produksi industri pulp dan kertas. Kelas
tanaman perusahaan berupa monokultur tanaman akasia. Kaitannya dalam
besarnya tingkat sebaran hotspot dan kerawanan kabakaran hutan adalah adanya
praktek pembukaan lahan dengan pembakaran di HTI di Provinsi Riau (Jikalahari
2009).
Faktor alam yang mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau
utamanya adalah iklim. Pada kurun waktu bulan Januari hingga Februari, unsur
iklim yang menonjol dalam mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi
Riau adalah arah angin dan curah hujan. Berdasarkan hasil laporan Bapedal
Provinsi Riau (2009), pada bulan Januari hingga Februari nilai curah hujan di
Provinsi Riau rendah. Hal ini dikarenakan awan yang mempunyai kandungan air
terbawa angin menuju daerah timur. Kondisi ini berakibat pada hari kering yang
cukup panjang di Provinsi Riau.
Pada beberapa kasus, sebaran dan jumlah hotspot yang ditemukan
berbanding terbalik dengan curah hujan di suatu daerah pada waktu tertentu. Pada
saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot berkurang. Sebaliknya
pada saat curah hujan rendah, jumlah hotspot yang ditemukan meningkat. Dapat
disimpulkan bahwa sebaran hotspot dipengaruhi oleh curah hujan di suatu daerah
dan pada waktu tertentu (Syaufina 2008).
5.1.1 Sebaran Hotspot Tahun 2009
Tahun 2009 merupakan periode jumlah sebaran hotspot tertinggi di
Provinsi Riau dalam kurun waktu tiga tahun, 2009-2011. Sebaran hotspot yang
18
tinggi mempunyai potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang tinggi pula.
Tingginya kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2009 terjadi karena adanya
sulutan sumber api yang dilakukan oleh aktivitas manusia baik sengaja ataupun
tidak disengaja (Jikalahari 2010). Kondisi alam hanya menjadi faktor pendukung
terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut. Disebutkan dalam laporan
Jikalahari (2009) bahwa selama periode Januari-Februari 2009 telah terjadi
kebakaran hutan 2.153 ha, yaitu 1.450 ha pada bulan Januari dan 702 ha pada
bulan Februari.
Sepanjang tahun 2009, jumlah hotspot yang ditemukan di Provinsi Riau
sebanyak 7.734 hotspot. Jumlah hotspot yang tinggi ini disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu (Jikalahari 2009): 1) adanya sulutan sumber api yang dilakukan oleh
aktivitas manusia baik sengaja ataupun tidak disengaja, dan 2) kondisi alam hanya
menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut.
5.1.2 Sebaran Hotspot Tahun 2010
Jumlah sebaran hotspot pada tahun 2010 turun dikarenakan terdapat
kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Riau (Pemprov Riau) melalui
Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Riau (BNPB 2009). Kebijakan yang
diterapkan adalah (BNPB 2009): 1) koordinasi antara Satlak PB, Satkorlak PB,
Manggala Agni Dinas Kehutanan, Kepolisian dan instansi/sektor dengan
menyiagakan petugas untuk memantau perkembangan kondisi hotspot yang dapat
menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di masing-masing
wilayahnya, dan 2) pemadaman hotspot di wilayah Provinsi Riau.
Berdasarkan areal konsesinya, pada tahun 2010 hotspot terdistribusi pada
perkebunan kelapa sawit (20%), konsesi hutan (39%), dan areal lainnya termasuk
lahan masyarakat (41%) (Jikalahari 2010). Sebaran hotspot di perkebunan kelapa
sawit disebabkan adanya aktivitas pembakaran yang dilakukan secara sengaja
(Jikalahari 2010).
Berdasarkan laporan WWF (2011) kebakaran hutan yang terjadi di
perkebunan kelapa sawit dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu; 1) kebakaran di
lahan peruntukan perkebunan kelapa sawit, dan 2) kebakaran di kawasan hutan
yang dikonversi baik secara legal atau illegal untuk menjadi lahan perkebunan
kelapa sawit. Kebakaran terjadi karena adanya pembakaran pada saat pembukaan
19
lahan. Pembakaran dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dan
masyarakat/petani kelapa sawit.
Kebakaran hutan di area konsesi hutan terjadi karena aktivitas HTI dalam
pembukaan lahan. Di Provinsi Riau terdapat 21 HTI. Pada tahun 2009-2010
diidentifikasi terdapat 10 perusahaan HTI telah melakukan pelanggaran terhadap
terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau (WWF 2010). Praktek
pembakaran dilakukan ketika perusahaan melakukan pembukaan lahan.
Kebakaran di lahan masyarakat terjadi akibat praktek penyiapan lahan perkebunan
kelapa sawit (Jikalahari 2011).
5.1.3 Sebaran Hotspot Tahun 2011
Pada tahun 2011 terjadi kenaikan sebaran hotspot menjadi 3.538 hotspot.
Kenaikan jumlah hotspot tahun 2011 karena adanya hari kering yang lebih
panjang dibandingkan dengan tahun 2010 (LAPAN 2012) (Lampiran 2). Syaufina
(2008) menyampaikan bahwa kekeringan berhubungan erat dengan kejadian
kebakaran hutan yang besar di beberapa tempat di bumi. Kekeringan
menyebabkan kadar air vegetasi turun. Selanjutnya, kekurangan kadar air yang
panjang dapat menyebabkan tanaman mati, kayu besar kehilangan kadar air dan
potensi kebakaran menjadi tinggi.
Jumlah sebaran hotspot yang tinggi berdampak pada tingginya tingkat
bahaya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Berdasarkan hasil penelitian
LAPAN (2012), di Provinsi Riau mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi dalam
pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya penanganan secara hukum terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan
di Provinsi Riau.
5.2 Sebaran Hotspot Bulanan
Berdasarkan Gambar 4a, sebaran hotspot tertinggi pada tahun 2009 terjadi
pada bulan Juli, yaitu sebanyak 2.395 hotspot. Sebaran terendah terjadi pada bulan
Desember, yaitu sebanyak 25 hotspot. Rata-rata sebaran hotspot bulanan tahun
2009 adalah sebanyak 644,5 hotspot. Sebaran hotspot terbanyak terjadi pada bulan
Mei hingga Agustus yang diakibatkan oleh dua faktor, yaitu 1) praktek
pembakaran dalam proses pembersihan lahan, baik di lahan pertanian masyarakat
maupun konsesi perkebunan, dan 2) faktor lingkungan sebagai pendukung dalam
20
tingginya hotspot dan kebakaran hutan di Provinsi Riau. Kebakaran hutan pada
terjadi karena praktek pembakaran di lahan hutan terlantar (eks HPH/HTI) untuk
dijadikan lahan garapan/perkebunan (WWF 2010). Faktor ini didukung oleh curah
hujan yang rendah pada bulan Mei hingga Agustus pada tahun 2009 di Provinsi
Riau (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran 3).
(a)
(b)
(c)
Gambar 5 Sebaran hotspot bulanan: (a) tahun 2009; (b) tahun 2010;
dan (c) tahun 2011 di Provinsi Riau
21
Berdasarkan sebaran hotspot bulanan pada tahun 2010 (Gambar 4b), dapat
dilihat bahwa pada bulan Januari jumlah hotspot yang berhasil ditangkap oleh
pantauan satelit sebanyak 93 hotspot. Jumlah sebaran hotspot mengalami
kenaikan pada bulan Februari, yaitu 145 hotspot. Jumlah hotspot pada bulan
Maret hingga bulan April cenderung menurun dari sebanyak 92 hotspot hingga 39
hotspot.
Pada bulan Mei tahun 2010 jumlah hotspot mengalami kenaikan sebanyak
146 hotspot dan kembali turun menjadi 98 hotspot pada bulan Juni dan 79 hotspot
pada bulan Juli. Kenaikan jumlah hotspot kembali terjadi, dari sebanyak 122
hotspot pada bulan Agustus, 182 hotspot pada bulan September hingga titik
maksimum sebanyak 554 hotspot pada bulan Oktober. Jumlah hotspot mengalami
penurunan pada bulan Desember, yaitu menjadi 53 hotspot.
Pada sekitar pertengahan Oktober 2010, terjadi perubahan suhu yang
ekstrem yang mencapai 35,6oC (suhu rata-rata 32–34
oC). Meskipun didominasi
oleh musim basah, ada beberapa hari tidak terjadi hujan. Pada situasi seperti itulah
kebakaran lahan dan hutan terjadi. Intensitas kebakaran ini semakin tinggi karena
dukungan suhu yang ekstrem (sangat panas) di siang hari.
Jumlah sebaran hotspot di Provinsi Riau kembali meningkat menjadi 3.538
hotspot di tahun 2011. Berdasarkan Gambar 4c, ditemukan 26 hotspot pada bulan
Januari. Pada bulan Februari sebaran hotspot mengalami peningkatan menjadi 250
hotspot dan mengalami penurunan kembali menjadi 123 hotspot pada bulan
Maret. Peningkatan jumlah hotspot diawali pada bulan April yaitu sebanyak 221
hotspot, diikuti bulan Mei menjadi 397 hotspot. Sebaran hotspot kembali naik
menjadi 383 hotspot pada bulan Juni. Selanjutnya, sebaran hotspot mencapai titik
maksimum menjadi 708 hotspot pada bulan Juli.
Tingginya peningkatan sebaran hotspot dipengaruhi oleh aktivitas
pembakaran dan didukung oleh kondisi alam. Pada bulan Maret hingga Agustus
2011, curah hujan di Provinsi Riau masuk dalam kategori rendah, yaitu 50–150
mm/bulan. Tingkat kekeringan pada bulan Maret hingga Agustus 2011 masuk
dalam kategori sedang hingga tinggi. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya bulan
kering yang panjang, sehingga tingkat kemudahan penyulutan api di Provinsi Riau
ekstrem (LAPAN 2011b, 2011c, 2011d, 2011e, 2011f ).
22
5.3 Sebaran Hotspot Tipe Tanah Gambut
Hotspot tersebar pada dua tipe tanah, yaitu tanah mineral dan tanah
gambut. Dalam kurun waktu tiga tahun, 2009-2011 terpantau 12.987 hotspot
(Lampiran 4). Sejumlah 7.149 hotspot ditemukan pada tanah bergambut atau 55%
sedangkan 5.838 atau 45% lainnya dijumpai pada tanah mineral (Gambar 5).
Gambar 6 Persentase sebaran hotspot berdasarkan tipe tanah pada tahun 2009-2011
di Provinsi Riau ( lahan gambut; lahan non gambut)
Syaufina (2008) menyebutkan bahwa gambut merupakan bahan bakar
yang baik dengan nilai kalor lebih besar daripada kayu yang dapat mencapai 27,7
KJ/g dengan kadar abu yang rendah (sekitar 13%). Tingginya sebaran hotspot di
lahan gambut didukung oleh karakteristik gambut itu sendiri.
Gambar 7 Sebaran hotspot berdasarkan jenis tanah di Provinsi Riau tahun 2009-2011
Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa distribusi hotspot pada gambut
paling banyak terdapat pada bulan Juli, yaitu sebanyak 1.925 hotspot. Sedangkan
pada bulan Desember sebaran hotspot mencapai titik minimum, yaitu sebanyak 56
hotspot. Hal ini disebabkan oleh panjangnya bulan kering yang terjadi. Dalam
kurun waktu tiga tahun (2009-2011), bulan kering terjadi pada bulan Mei hingga
Oktober. Panjangnya bulan kering berpengaruh terhadap jumlah sebaran hotspot
di lahan gambut. Dengan demikian, terdapat hubungan antara panjang bulan
kering dengan jumlah hotspot yang ditemukan di lahan gambut.
Tingginya sebaran hotspot di lahan gambut di Provinsi Riau diawali pada
tahun 2000 (Muslim dan Kurniawan 2008). Pada tahun 2000 investasi terhadap
perkebunan sawit meningkat secara signifikan di Provinsi Riau. Dengan
demikian, pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan perkebunan kelapa sawit
meningkat. Dengan kata lain, alih fungsi lahan gambut menjadi lahan perkebunan
berakibat pada meningkatnya sebaran hotspot yang diikuti dengan meningkatnya
potensi kebakaran lahan gambut.
(a) (b) (c)
Gambar 8 Sebaran hotspot pada lahan gambut: (a) tahun 2009; (b) tahun 2010; dan (c) tahun 2011
di Provinsi Riau ( lahan gambut, lahan mineral, titik panas (hotspot))
Kebakaran pada lahan gambut ini selalu berulang setiap tahun pada lokasi
yang sama (Gambar 7) (lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5), ini
menunjukkan bahwa pengelolaan lahan gambut memiliki resiko yang besar
terhadap kebakaran. Hal ini dikarenakan oleh pembuatan kanal-kanal sebagai
drainase untuk pengeringan lahan gambut tersebut. Dengan demikian, penurunan
muka air tanah pada kawasan bergambut berdampak pada kekeringan yang tinggi
dan mudah terbakar baik disengaja maupun tidak.
Tingginya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau dipacu dengan
adanya kebijakan pemerintah provinsi dalam membuka ruang investasi baik HTI
dan perkebunan kelapa sawit. Ruang investasi dibuka luas mulai pada tahun 2002.
Pada tahun 2007, luas HTI telah mencapai angka 1.935.607 ha, 58% berupa lahan
gambut (Jikalahari 2009). Perkebunan sawit tahun 2007 telah mencapai luasan
2.157.091 ha, 39% berupa lahan gambut (Jikalahari 2009).
###
###
###
#
# ######
#
######
## ####
#####
##
###########################
##########
#
###
############################### #### ################### ######### ######## ##########
##
#####
##
#
#####
####
#
## ##########
####
####
################
########################## #### #################################### ## ##### ####### ##############
#
#
###
###
###
###
##
#
## ####
#####
#
#
#
#
## ####################
####
#
############### ####### ############ #### ## ### ##### ################# #
#####
##
#
###
##
##
# ####
#
#
######
##
###
######
#
#
##
##
### ##############
##
###
###
###
##
###
#
#############
####
##########
##
##
#
#########
#
##
####
## #
###
####
####
#
########
########
##
#
#
#
#
####
## ######### ############################# #######
##
##
##
#
##
#
###
##
###
#####
###
#
#####
#####
######
############
#
#
#
##
######################### ####
###
##
#### ######################### ###########
################# ### #######################
#
####
###
#
##
#######################
##
#####
### ###############
# #########
##
######
#
##
#
###
######
##
#####
####
### #####
###
#####
#####
##
#
#
##
##
####
#
##
#
##
#
#
########
########
#
###
###
#####
##
###
#####
#
####
#
# ### #
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
## ##
#
# ##
#
#########
######
####
##########
#### ## ##
##########
###
##
## ###############
#########################
#######
#
####
##
###########
####
#
#
###
#
###
######################## ######## ### ### # ##### ### #### ########
####
###
## ###
#
#
###
# ## # #### #####################
###
##########
## ## #####################
#######
########## ######
#######
#######
###
##########
###
#
####
###
#
######
##
# ##
####
#### #####
####
#### ###### #####
#######
#
####
#
########
#
#
#
####
###
##
#
###
#
##
#
#
###
##
#
#
##
#####
#
#
# #########################
#
#
##
#
######## ######
## ##
###
### ####
## ####
####
# ##
#
####
#
####
#
##
#
##
#
####
######
#######
# #
########
#####
##
#
## ######## ######
###
#
#
#
##
#
######
##
#
#
#######
####
#
#
#
#
####
###
### ##
#
##
#####
###
##
####
###
#####
###
###
######
#
###
## ##
#
#
#
##
###
#
###
#
###
##
#
# #
#
##
###########
##
#
#
#########
####
####
##
#
####
######
#
#
##
#
#
#
## ####
#
#
### ###
##
##
#
#
#
#
#
#
##
###
###
##
#
#
# ##
###
##
#
#
#
#
# #
#
###
#
###
#
#
#
##
## #
##
#
## ##
#####
#
##
#
#
#
#
#
#
#
##
# #
#
##
#
###
###
##
##########
##
#
##
#####
#
###### ######### ##################################################### ###
# ########################### ###
####
###
##
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
#
##
##
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
###
#
#
#
#
#
####
#
##
#### ##
## ## # #
##
### ### ###
#
#
#
#
##
##
#
##
#
###
###
##
#
#
#
##
###
#
#
#
#
##
#
####### ##
#
##
#####
###
###
#### ### # ################ ####################### ## ########### #### ####### #### #######
##### ## ########## ###### ##
##
## #########
#
#
##
#
#
#
##
###
## ### ###############
##########
#
######
##
####
#
#
###
###
#########
#####
### ####################
####### ############# ############### ## # ##
####
###
###### ########################################################### ################ ########### ### ### ###### ########### ######## ####### ## ########
####### #######
##
#######
##
####
#############
####
#####
#########
## ###########
###############
#
###
##
##
##
#
##
###########
#################
##
################
##########
#############
###
#################################
#
#
#
#
#
##
####
###
#####
# ####
###
#
#####
###
##
##
####
#####
##
########
#######
#
#####
##
#####
#
##
##
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
#
##
# #
######
#
###
########################## ##### ### ######### ####
################
#
###########
### #### ####
######## ##########
###
#
#
####
###
#####
#### ######### ###
###
######
##
#
###
##
####
####
##
#####
#####
##
####
#####
########### #
##
##
##
# ##
###
#####################
#########
#####
#####
#
##
####
###
##
##
#
#
#
##
# #
#
#
#
##
#
# #
#
#
#
#
# #
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
#####
##############
##
#############
######
##
########
# #### ##
#######
##
####
##
#####
#########
#######
#
################
#
#
##############
###
#####
#### #
#######################
#########
###
##
#
#
#
# ## #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
##
##
##
# #
#
#
#
# ##
# ##
##
##
#
#
##
#
#
#
##
#
#
#
#
#
##
###
#
##
##
# #
# # #
#
# ##
#
#
#
##
##
###
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
## ##
##
#
# #
#
# ##
#
#
#
#
##
##
# ####
###
#
# #
#
# ##
#
#
#
##
#
##
#
#
##
#
#
# #
#
#
##
# # #
###
#####
##
#
###
#
#######
#
#####
#
### #
###
##
#
##
######
###
##
##
######
#####
#
#
##
#
#####
#
#
######
####
###
#
####
##
######
###### #####
#
#
#
##
##
#
###
#
#
####
####
##########
#########
##
##
####
##
#
#
#######
# ##
####
#
####
##
####
##
##
##
#
#
####### ##
#
#
###
#
####
##
####
####
##
#############################
######
####
###########
########### ################### #
##
##
##
##
#
##
#
#
#
#
## #
#
#
##
#
##
#
##
#
##
##
## ##
# # # ## # # ## ##
## ## ###
#
#
#
##
##
### #
##
#
# ##
#
# ####
#
#
##
#
#
##
#
#
#
##
#
## #
#
#
#
##
#
#
#
#
## #
# ##
#
###
#
#
##
#
#
#
###
## # #
#
# #
#
##
## #
# ## ## #
#
#
#
#
##
###
#
# ##
####
# #
#
# #
##
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
###
######
#####
#
#
#
#
# #
#
#
#######
###
#
##
### #### #######
#################
####
################################
#
#
#########################
#
############## ######## ################################# ####
##
#####
###
## #### ###### #
##
#
##
#
###
#### ## ##### ######## ## ###### ###
#
### ## #### ## ##
####
####
##
###
####
#
##
###########
##
########
##
##########################
#
##### ############################# ##
####
####################################################
#####
##
###
#
#
#
###
####
#####
#
###
#####
###
#
##
########
### ### ###############
##
############################
###
#
####
#
##
#
#
#
#
##
##
#
#
#
#
#
# ### #
## # #
## #
### #
### ###
##
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#######
###########
##
##
#### #
#####
#
#########
######
#
#
#
####
#
##
##
###
######
##########
############# ##### #################################### ########### ################## ############# ##################
# #### ##### ####### ######### #
######### ######## # ####### ##
###
#
# ######
##
#
#
#
#
##
#
##
########
#######
#
###
##
######### ########### ######### # ###### ##### ######
# ##### #
#
############### ##
####
#
###
####
######
##
########
## #############
##### ###
######### ####
#
#
##
##
#
#
#
#
####
##########
###
#
#### #####
#####
#
#######
######################################### #
#### #
#################### ########### ############## ##
#
####
####
#
#######
####
#######
##
###
#
##
######
################################### #############
## #
###
#
###
########
##
##########
##
##
##
#
#########
########
###############
###
######
##################################################################################### ################################ ############# ############### ####### ######### ###### ############# ###### ############ ##### ########## ### ####### ### ######## ## ###### #### ###### ####################################### ##############
### ##
###########
################################
#
##
##########
#
##
#
###
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
##
#
#
#########
####################
#####
#
##
#### #################
#
#
#
#
####
#
#
#
#
##
#
#
###
## ### #
# # ##
# #
#
# #
#
#
##
#
#
#
##
##
#
#
#
# #
#
#
#
###
# # ##
## ##
# # #
#
#
#
# #
###
######
##
##
#
##
###
##
###### ### ##
########### ##### ########
###
##
#
#
# #
####
#
###
#
###### #######
######### ###### ###########
##
#
##
#
#####
#
#
###
#
#
##
######
####
# ## #########
#
##
#
###
##
##
###
###
##
##
#####
### ###
############
####
#
###
############
####
##
#
#
#
##
#
#
#### ###
## #
#####
#
##
#
#
#
#
#
## #
#
###
###
# ####
#### # # #
# ## ##
#
#
#
#
##
#
#
#
##
###
###
#
###
# ##
##
##
#
#
# ##
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
###
#
#
#
##
##
#
#
#
##
###
#
## ## # ##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
# ## ##
#
#
##
##
## ### # ### # #
# # ## ####
#
#
#
#
##
#
#
# #
##
#
#
#
##
#######
#
#
###############
#################################
##################### ##########################
#####
####
##
#############
##
####### #########
###############
#
#############################
###
#
##
###
###
###
###########
##############
######
#################################
##
######
###
########
#######
######
################################ ########
##############
###
#########
#####
##
###################
#
######
#
######
###
#
##
############# #
#########
#
###
######## ###
#
################
#####
##
###
########
######
###
##
##
##
#
######## #
#########
#
##########
##########
#########
####
#
#
###
## ########
########
#
#
#
#
#
#
#
#
###
#
#
#
#
#
#
#
### #
# #
#
##
#
#
## #
## ##
#
##
##
#
##
#
#
#
##
#
#
#
#
#
##
#
##
##
#
#
#
## # ### ###
##### ## # ### ## ##
###
### # #
# ##
#
#
##
#
#
#
#
##
#
#
####
##
# #
##
#
#
#
#
##
# ### ##
#####
# #
# ##
#
#
#
##
##
#
##
##
#
#
#
#
###
#
###
#
#
## # ## ### #
# ##
## #
##
# ## #
## #
## ## ##
##
##
#
#
#
##
#
# ##
#
#
#
#
#
#
###
#
#
###
###
###########
#####
#####
#######
###
#
####
######
#
#
####
##
######
#
##
### ## #
####
#
##
##
###
#
##
# #
##
##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
## # #### #
#
###
#
#
#
#####
##
#
##
#
#
############ #######
#
##
#
#
#
#
#
#
##
##
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
##
# #
#
#
##
#
#
#
#
#
# ##
#
##
##
#
#
#
##
#
#
#
##
#
#
##
####
##
##
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# ## ###
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#### ## ##
# #### #
##
##
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
##
#
##
#
#
#
#
#
##
# ## ##
#
#
#
#
##
#
#
# ##
# #
#
#
#
#
## ##
#
#
#
#
###
#
#
##
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
##
#
#
# #
#
#
##
#
# #
##
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
### # #
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
###
#
#
#
#
####
#
####
#
#
#
##
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
###
###################################
#
###
##
#
######
###
########
###
####################
######
###
################
#####
#
########
#
#
#
#
#
##
####
##
#
##
###
##
##
#
#
#ROK AN H ILIRROK AN H ILIR
ROK AN H U LUROK AN H U LU
KAMP ARKAMP AR
INDR AGIRI H ULUINDR AGIRI H ULU
INDR AGIRI H ILIRINDR AGIRI H ILIR
PELALAWANPELALAWAN
SIA KSIA K
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
KOTA DU MAIKOTA DU MAI
PEKA NBARUPEKA NBARU
100
100
101
101
102
102
103
103
104
104
-1
-1
0
0
1
1
2
2
N
EW
S
Skala 1:250.00020 0 20 40 Kilometers
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
###
#
#
#
#
##
##
#
##
#
#
###
#
#
#
#
##
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
##
## #
#
##
#
#
# # ##
#
#
#
#
#
# #
# #
##
#
#
#
#
####
# ## # ### #
# #
#
##
#
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
## #
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
##
#
# #
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
####
#
#
#
#
#
###
### # ####
##
#
#
#
##
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
##
#
##
####
#
#
#
# #### #
#
#
#
#
##
##
#
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
##
## ####
#
# # #
#
# #
##
#
#
##
#####
##
## #
## #
## #
###
#####
###
####
# ##
#
#
##
#
#
#
##
# ##
###
#
#
#
##
####
#
##
##### ##
# ###
# ###
#
#
##
###
#
#
####
#
#
##
#
## # ##
###
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
## #
##
##
#
#
#
###
##
# #
#
#
#
#
##
##
#
##
#
#
##
##
##
###
##
#
#
#
#
#
###
#
#
##
#
##
#
#
##
#
#
#
#
##
###
#
#
#
##
##
#
#
#
##
# ##
#
##
#
#
###
##
#
#
#
#
#
## ###
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
## #
#
##
#
# ##
##
#
#
#
### #
##
##
####
#
#
##
#
##
##
###
#
##
####
##
#
#
#
#
###
### # ##
#
#
# ##
#
#
#
# ##
#
####
# #
##
##
#
#### # ##
# #
#
#
##
#
#
#
#
#
#
###
#
##
#
#
#
#
#
##
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
## #
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
###
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
##
#
#
#
#
#
#
## #
#
# #
#
##
##
#
## #
##
#
##
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
##
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
##
#
#
#
##
##
#
##
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
###
##
##
#
##
##
##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
##
# ##
#
#
#
#
#
#
#
#
# ##
#
#
## #
#
#
#
#
#
# #
#
##
#
#
##
#
#
## #
##
#
##
#
#
###
#
#
# #
#
#
#
##
#
# #
#####
#
#
#
##
#
##
#
##
#
#
# ##
##
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
###
###
#
#
#
#
###
#
#
#
#
#
##
# # ## #
##
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
##
#
##
#
# ###
#
#
## #
#
#
##
#
#
#####
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
####
##
#
#
#
#
#
#
#
##
###
#
#
#
#
##
##
#
#
### #
#
##
#
#
###
# #
# #
#
#
# ##
#
# ## #
##
#
#
#
#### #
#
##
##
#
# #
#
#
#
#
##
#
##
#
#
# ###
# # #
##
#
#
#
#
##
#
##
# ## ##
##
#
#
##
####
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
# #
#
# ##
##
##
###
#
#
#
#
##
#
#
#
#
###
#
#
#
# #
### #
#
#
#
# ##
# #
#
##
#
# #
#
###
##
#
### #
## #
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
##
# #
#
#
### #
#
### #
# ##
#
#
#
##
#
#
#
####
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
###
#
#
#
##
#
## #
###
# #
# ####
##
#
#
##
##
#
#
#
##
# #
#
#
## #
#
#
###
#
#
#
#
#
#
## #
#
#
#
#### #
#
# #
## #### ##
## ## ##
## # ###
# # ## # #
# ## ###
##
# ## #
#
#
#
#### #
### ##
#
##
#
#
##
## # ###### # # ### # #
####
# #
###
#
# ###
###
#
#
#
## ###
#
#
# #
#
####
#
#
#
###
#
### ## # ##
##
##
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
##
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
##
##
#
#
#
#
#
##
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# ##
## #
#
##
#
#
# ##
## #
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
### #
#
# ##
#
#
##
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
##
#
#
##
###### #
#
#
#
#
#
#
#
####
##
#
#
###
#
##
#
#
##
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
##
###
##
#
##
#
##
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
##
###
#
### #
##
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
#
#
#
ROK AN H ILIRROK AN H ILIR
ROK AN H U LUROK AN H U LU
KAMP ARKAMP AR
INDR AGIRI H ULUINDR AGIRI H ULU
INDR AGIRI H ILIRINDR AGIRI H ILIR
PELALAWANPELALAWAN
SIA KSIA K
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
KOTA DU MAIKOTA DU MAI
PEKA NBARUPEKA NBARU
100
100
101
101
102
102
103
103
104
104
-1
-1
0
0
1
1
2
2
N
EW
S
Skala 1:250.00020 0 20 40 Kilometers
#
#
#
# #
#
#
##
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
##
#
### #
#
###
##
###
## ## #
###
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
##
#
###
#
##
#
##
##
#
#
#
##
##
##
##
#
#
#
#
#
#
#
#
###
#
#
# ### ##
##
#
#
#
#
# ###
#
#
#
#
##
## #
#
# #
#
#
#
#
####
#
#
#
#
#
#
###
## #
##
##
#
#####
##
##
##
##
###
## ###
# ##
## #
# ##
# #
##
###
### ###
#
#
##
####
#
# ##
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
##
#
#
##
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
###
#
#
# ##
#
#
####
#
###
#
#
#
#
#
#
#
###
#
#
##
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
##
#
# ##
##
##
#
###
##
#
#
##
# ##
#
## ###
###
# ##
##
# #
###
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
##
#
#
#
##
#
#
##
## ##
###
###
# # ##
#
##
##
###
#
#
#
#
#
## ### ##
#
#
#
#
##
#
##
#
#
## #
#
#
##
##
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
####
#
# ##
##
##
## ### #
#
#
##
#
#####
# #
###
# ###
## #
# ### ### # #
###
##
## # #
#
# #
#
###
#
# #
#
##
###
##
####
##
#
#
###### ## #
#
#
#
##
#
#
###
#
####
#
#
#
# # ###
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
# #
#
##
#
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
##
##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
### ## ####
##
#
##
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
# #
#
#
##
####
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
##
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
# ##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
####
#
#
#
###
#
#
#
##
#
#
#
#
##
###
##
##
#
#### #
#
## ##
####
#
###
##
#
#
#
#
#
####
##
###
#
# ##
#
##
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
# ##
#
#
##
###
###
##
#
##
##
#
#
##
##
# # ##
### ##
#
#
##
#
#
#
# #
#
#
##
#
##
#
##
#
#
#
#
##
#
###
#
###
#
#
#
##
#
#
#
#
# #
#
#
#
##
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
##
##
###
#
#
##
#
#
#
#
#
##
#
##
#
#
#
#
#
#
###
#
#
##
#
#
##
##
#
#
### #
#
## #
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
## ###
##
#
#
#
#
#
# ###
#
#
##
#
#
##
#
#
###
##
#
#
#
##
#
#
#
##
####
#
#
#
#
# #
###
#
#
#
## #
#
#
##
##
#
#
###
##
###
#
#
#
#
##
#
# ###
##
#
#
###
# ##
##
## ##
# #
#
##
#
#
#
#
##
#
# #
#
#
###
##
#
#
###
# #
##
#
#
#
#
#
#
# ###
##
#
##
##
#
#
#
#
#
#
#
##
###
#
##
#
#
#
##
##
##
## # # ## ## ## #
#### ###
#
##
##
#
######
#### ###
#
##
###
#
#
#
#
###
##
#
#
#
##
##
#
###
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
###
#
#
###
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
###
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
# ##
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
##
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
#
#
#
##
#
##
# ###
#
#
##
#
## #
#
#
#
#
# #
###
#
#
##
#
#
#
# ##
#
###
#
##
#
# ##
##
#
#
##
#
# #
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
##
#
#
#
##
#
#
#
#
##
#
# ##
#
#
#
#
# #
#
##
##
#
#
#
##
#
#
##
## #
#
#
##
#
###
#
#
#
##
###
##
##
#
#
#
# ####
##
##
#
#
#
#
##
#
#
#
# #
#
#
##
#### #
#
#
#
#
###
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
##
#
##
#
##
#
#
#
#
#
##
##
#
#
#
##
##
#
#
#
#
#
#
#
##
##
##
#
#
##
###
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
#
#
#
#
###
#
##
## ##
#
#
##
#
##
#
#
##
##
#
#
##
#
#
#
#
#
###
## #
#
#
##
# #
#
#
#
#
#
##
#
#
# #
## ###
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
# ##
###
## ##
#
#
##
#
# #
### #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
###
#
#
#
### # #
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
##
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
##
###
##
##
#### ## #
#
#
##
#
####
#
#
#
##
#
#
## #
#
#
#
#
# #
#
###
#
## #
###
#####
##
##
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
##
##
#
#
####
#
#
##
#
#
#
#
##
#
#
##
##
#
##
###
#
#
#
# # #
## #
# ##
#
##
# # ##
#
#
###
#
### #
#
#
###
#
#
#
# ##
#
#
##
#
###
#
##
#
##
#
#
#
# ##
#
# #
## ##
##
#
##
# ##
##
# #
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
###
#
###
#
##
#
####
#
##
#
##
#
#
#
# #
##
#
#
## #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
##
## ##
# #
#
##
# #
##
# ####
#
# #
#######
#
#
#
#
#
#
#
##
##
##
###
#
#
###
#
#
## #
###
##
#
#
###
#
##
#
#
#
#
##
#
#
#
#
# #
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
###
### #
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
##
#
##
##
#
#
#
#
# #
#
##
#### # ###
#
#
###
#
#
#
## ## ## # ##
#
#
#
#
#
##
##
#
#
#
##
#
#
##
##
#
#
#
# ####
# ##
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
##
#
##
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
##
# #
##
##
#
##
#
#
#
#
#
##
# ##
#
###
#
# #
#
###
#
#
##### #
#
#
#
#
##
#
# ### #### # #
## ###
#
#
##
##
# #
## # #### ##
# ### # #
###
##
#
#
# #
#
##
## ## #
##
## ##
####
##
##
###
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
##
##
#
#
#
#
#
### ###### # #
#####
##### #
#
# # #
#
#
#
#
#
#
#
##
##
#### # #
###
#
# #
##
### #
#
##
#
#
#
##
#
#
# ##
#
##
##
##
#
###
#
#
#
### #
##
##
#
#
##
#
#
#
###
#
## # ### #
##
###
###
#
#
#
####
###
##
###
##
###
#
##
#
#
#
##
## #
#
#
# #
#
##
#
##
#
#
##
#
### #
##
#
##
##
### ##
##
# ### #
#
##
###
## ## ### #
###
#
#
## ## #
#
####
#
## #
#
#
#
#
##
#
#
##
## #
#
#
#
#
#
#
#
##
##
###
#
#
#
##
### #
#
##
# #
#
#
##
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
##
##
# #
#
#
#
### #
#
#
# #
#
#
#
##
#
#
#
##
#### #
## #### ### #
######
## # ###
#
## # # #
# ###
#
##
#
##
##
### ###
###
##
# ### #
##
# #
#
#
#
#
## ##
#
#
##
# #
##
#
#
#
#
##
#
#
#
##
#
#
#
##
#
#
###
##
#
# ###
#
#
##
#
###
### #
### ## #
##
##
### #
# #
##
#
##
###
#
#
#
#
#
## ##
# # ## #### # ###
#
#
###
###
#
### #
#
#
#
##
#
#
#
##
#
#
###
##
# #
##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
##
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
# ##
#
###
#
##
##
#
######
## ###
# ## ## # ##
# # # ##### ## #
##
#
##
#
#
# #
#
###
#######
#### #
#
# ## #
#
# ## ### #
## ##
##
#
#
##
#
##
#
#
#
##
#
##
#
##
#
# ##
#
##
##
#
#
# #
#
#
##
#
# #
# # ##
#
#
#
##
#
#
## #
##
#
#
#
#
#
#
##
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
##
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
##
##
###
##
#
#
#
#
##
##
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
##
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
##
#
##
#
#
#
# #
#
#
#
#
###
#
#
#
#
#
#
##
#
## #
#
#
#
### #
#
#
#
#
#
#
#
##
#
##
#
#
###
#
##
##
#
#
###
##
#
##
#
##
###
#
#
#
#
#
##
# #
#
#
#
#
#
##
##
###
##
#
#
#
##
##
##
##
#
# #
### ##
##
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
##
#
#
#
#
#
#
####
#
#
#
#
#
####
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
# ##
#
##
#
## ##
##
##
##
#
#
#
#
#
## #
#
# ##
##
# #
#
#
#
# #
#
###
#
##
#
###
#
##
###
#
#
#
#
##
##
##
####
#
#
#
#
# #
#
### #
##
# ##
##
##
## #
#
#
##
# ## ## #
##
#
##
#
##
#
####
#
#
#
###
#
#
#
#
#
##
#
###
### #
#
#
#
###
##
##
##
#
#
##
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
## #
#
##
#
#
##
## #
##
#
#
##
##
#
###
##
##
##
##
## ## #
# #
#
##
#
##
##
#
#
ROK AN H ILIRROK AN H ILIR
ROK AN H U LUROK AN H U LU
KAMP ARKAMP AR
INDR AGIRI H ULUINDR AGIRI H ULU
INDR AGIRI H ILIRINDR AGIRI H ILIR
PELALAWANPELALAWAN
SIA KSIA K
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
BENG KALISBENG KALIS
KOTA DU MAIKOTA DU MAI
PEKA NBARUPEKA NBARU
100
100
101
101
102
102
103
103
104
104
-1
-1
0
0
1
1
2
2
N
EW
S
Skala 1:250.00020 0 20 40 Kilometers
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
a. Dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011), ditemukan 12.987 hotspot di
Provinsi Riau. Jumlah hotspot tertinggi pada tahun 2009 sebanyak 7.734
hotspot dan terendah pada tahun 2010 sebanyak 1.715 hotspot. Rataan
sebaran hotspot pada tahun 2009-2011 adalah 4.329 hotspot.
b. Pada tahun 2009, sebaran hotspot tertinggi ditemukan pada bulan Juli
sebanyak 2395 hotspot, sedangkan jumlah hotspot terendah pada bulan
Desember, yaitu 25 hotspot. Pada tahun 2010, jumlah hotspot terbanyak
pada bulan Oktober yaitu 554 hotspot dan jumlah hotspot terendah pada
bulan Desember sebanyak 53 hotspot. Jumlah hotspot tertinggi pada tahun
2011 pada bulan Juli, yaitu sebanyak 852 hotspot dan pada bulan Januari
adalah jumlah hotspot terendah, yaitu sebanyak 26 hotspot
c. Sebaran hotspot pada tahun 2009-2011 terbanyak ditemukan di Kabupaten
Rokan Hilir (3657 hotspot) dan Kabupaten Bengkalis (2714 hotspot).
Sedangkan sebaran hotspot terendah ditemukan di Kota Dumai (10
hotspot) dan Pekanbaru (28 Hotspot).
d. Berdasarkan sebaran hotspot di berbagai tipe lahan pada tahun 2009-2011 ,
7.149 hotspot atau 55% ditemukan di lahan gambut, sedangkan 5.838
hotspot atau 45% dijumpai pada tanah mineral.
e. Faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau adalah
perilaku pembakaran baik disengaja ataupun tidak dan didukung oleh
kondisi alam. Pembakaran terhadap hutan baik di tanah bertipe gambut
atau non gambut dilatarbelakangi oleh pembukaan lahan untuk perkebunan
kelapa sawit dan HTI/HPH. Faktor alam yang mendukung kebakaran
hutan dan lahan di Provinsi Riau adalah panjangnya bulan kering, yang
pada umumnya dimulai pada bulan Mei hingga Agustus.
6.2 Saran
a. Para pihak yang terkait lebih meningkatkan kinerjanya dalam
pengendalian kebakaran hutan.
26
b. Penertiban terhadap praktek pemanfaatan sumberdaya lahan di Provinsi
Riau untuk perkebunan kelapa sawit.
c. Menindak pihak-pihak yang telah melakukan pelanggaran hukum terhadap
pembakaran hutan di Provinsi Riau, terutama di lahan gambut.
d. Meningkatkan sistem informasi terkait potensi hotspot dan kebakaran
hutan sebagai sistem pencegahan secara dini.
e. Meningkatkan sosialisasi dan pendampingan terhadap masyarakat/petani
terkait pembukaan lahan tanpa bakar.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih ES, Kartodihardjo H, Murdiyarso D. 2005. Analisis kebijakan dalam
pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan. Jurnal
Wacana Insist 20:113-132.
Adinugroho WC, Suryadiputra INN, Saharjo BH, Siboro L. 2005. Manual for the
Control of Fire in Peatlands and Peatland Forest. Bogor: Wetlands
International.
Anderson IP, Bowen MR. 2001. Fire Zones And The Threat To The Wetlands Of
Sumatera, Indonesia. Palembang: Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera
Selatan.
[Anonim]. 2012. Local weather: history for Pekanbaru, Indonesia in 2009-2011.
[terhubung berkala]. http://www.wunderground.com/history/airport/ WIBB/
2012/9/18/DailyHistory.html? [3 September 2012].
Arifin, Bahri S, Sulistiono R, Haryono D, Suminarti NE, Herlina N, Azizah N.
2010. Klimatologi Dasar. Malang: Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Brawijaya.
Armi E. 2001. Penyebab dan dampak kebakaran hutan dan lahan areal rawa di
Propinsi Lampung. Di dalam: Prosiding Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Aktivitas Sosial Ekonomi dalam Kaitannya Dengan Penyebab dan
Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Bandar Lampung, 11
Oktober 2001. Bogor: CIFOR. hlm 126-132.
[Bapedal Provinsi Riau] Badan Pengendalian Lingkungan Provinsi Riau. 2009.
Laporan Tahunan Bencana Provinsi Riau. Riau: Bapedal Provinsi Riau.
[BBPPLP] Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Jakarta:
Kementerian Pertanian.
[BNPB] Badan Nasioanl Penanggulangan Bencana. 2009. Laporan harian
PUSDALOPS BNPB. [terhubung berkala] http://www.bnpb.go.id/irw/
file/publikasi/163.pdf [16 Mei 2012].
[BPS Provinsi Riau] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2010. Riau dalam
Angka 2010. Pekanbaru: BPS Provinsi Riau.
[BPS Provinsi Riau] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2011. Riau dalam
Angka 2011. Pekanbaru: BPS Provinsi Riau.
Brown AA, Davis KP. 1973. Forest Fire Control and Use. New York, USA:
McGraw-Hill Book Company.
28
Chandler C, Cheney P, Thomas P, Trabaud L, Williams D. 1983. Fire in
Forestry: Forest Fire Behavior and Effects. New York, USA: John Wiley and
Sons, Inc.
DeBano LF, Neary DG, Ffollot PF. 1998. Fire’s Effect on Ecosystems. New York:
John Willey and Sons, Inc.
[Dishutbun Riau] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Riau. 2009. Laporan
Perkembangan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di
Provinsi Riau. Pekanbaru: Dishutbun Riau.
Fuller M. 1991. Forest Fire: An Introduction to Wildland Fire Behaviour,
Management, Fire Fighting and Prevention. New York: JohnWiley & Sons,
Inc.
Hadi M. 2006. Pemodelan spasial kerawanan kebakaran di lahan gambut: studi
kasus Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau [tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hidayat AD, Kushardono W, Asriningrum, Zubaedah A, Effendy I. 2003.
Laporan Verifikasi dan Validasi Metode Pemantauan Mitigasi Bencana
Kebakaran Hutan dan Kekeringan. Jakarta: LAPAN.
[Jikalahari] Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau. 2009. Fakta Kritis: Analisis
Tata Kelola Kehutanan di Provinsi Riau. Pekanbaru: Jikalihari.
Kartodihardjo H, Jhamtani H. 2006. Politik Lingkungan dan Kerusakan di
Indonesia. Jakarta: Aquinox Publishing.
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2010. Hasil
Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit
Penginderaan Jauh. Edisi Oktober 2010. Jakarta: LAPAN.
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2011a. Hasil
Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit
Penginderaan Jauh. Edisi Juni 2011. Jakarta: LAPAN.
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2011b. Hasil
Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit
Penginderaan Jauh. Edisi Maret 2011. Jakarta: LAPAN.
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2011c. Hasil
Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit
Penginderaan Jauh. Edisi April 2011. Jakarta: LAPAN.
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2011d. Hasil
Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit
Penginderaan Jauh. Edisi Mei 2011. Jakarta: LAPAN.
29
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2011e. Hasil
Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit
Penginderaan Jauh. Edisi Juli 2011. Jakarta: LAPAN.
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2011f. Hasil
Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit
Penginderaan Jauh. Edisi Agustus 2011. Jakarta: LAPAN.
[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2012. Hasil
Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit
Penginderaan Jauh. Edisi Januari 2012. Jakarta: LAPAN.
Muslim, Kurniawan S. 2008. Fakta Hutan Dan Kebakaran 2002-2007: Informasi
Atas Perubahan Hutan Gambut/Rawa Gambut Riau, Sumatra-Indonesia.
Pekanbaru: Jikalihari.
Peluso NL. 1996. Rich Forest People Poor. Toronto: Toronto University Press.
[PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2012.
Dokumen Sebaran Hotspot di Indonesia tahun 2000-2011. Jakarta: PHKA,
Kemenhut-RI.
Sahardjo BH. 2003. Sumber Api: Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran
Hutan. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Septicorini EP. 2006. Studi penentuan tingkat kerawanan kebakaran hutan di
Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor:
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian.
Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Susanty SC. 2009. Potensi kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango berdasarkan curah hujan dan sumber api [skripsi]. Bogor: Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Suyanto, Chokkalingam U, Wibowo P. 2003. Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut
di Sumatera: Masalah dan Solusi. Bogor: CIFOR.
Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Perilaku Api,
Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang: Bayu Media.
Tacconi L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya, dan
Implementasi Kebijakan. Bogor: CIFOR.
[WWF Indonesia] World Wildlife Fund Indonesia. 2010. Fire Bulletin in Year
2009. Buletin WWF Indonesia (5): 2-4. [terhubung berkala]. http://wwf.
cadownloads/fire_bulletin_special_edition_end_of_year_2010_28_jan_11.pdf
[21 Mei 2011].
30
[WWF Indonesia] World Wildlife Fund Indonesia. 2011. Fire Bulletin in Year
2010. Buletin WWF Indonesia (6): 2-5. [terhubung berkala]. http://wwf.
cadownloads/fire_bulletin_special_edition_end_of_year_2010_28_jan_11.pdf
[21 Mei 2011].
Lampiran 1 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 di Provinsi Riau
Kab./ Kota Tahun Hotspot pada bulan
Total Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sept Okt Nov Des
Bengkalis
2009 615 268 49 19 57 122 292 184 32 8 17 9 1672
2010 53 81 31 6 27 27 8 9 14 167 22 4 449
2011 6 71 33 27 83 65 149 120 17 16 2 4 593
Kota Dumai
2009 0 0 0 0 0 1 0 1 0 2 0 0 4
2010 0 0 0 0 0 1 0 1 0 2 0 0 4
2011 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2
Indragiri Hilir
2009 65 34 10 3 9 30 74 103 7 13 69 2 419
2010 9 14 13 1 14 7 8 0 2 24 3 8 103
2011 1 37 11 13 9 2 24 67 87 4 0 5 260
Indragiri Hulu
2009 10 14 5 13 34 77 231 308 60 20 45 0 817
2010 0 0 5 1 18 4 6 9 26 33 7 5 114
2011 3 26 12 18 19 18 61 79 93 9 7 3 348
Kampar
2009 0 5 4 1 64 48 64 17 6 10 6 0 225
2010 0 2 1 7 19 14 10 13 28 31 14 8 147
2011 0 10 5 22 31 15 84 44 13 19 7 3 253
Kuantan Singingi
2009 1 1 3 0 36 33 39 26 39 12 12 0 202
2010 0 1 0 2 12 5 5 5 7 19 7 3 66
2011 4 13 8 9 27 13 32 39 41 23 2 3 214
Pekanbaru
2009 0 0 11 0 1 1 0 1 0 0 0 0 14
2010 0 0 0 1 5 0 0 1 0 1 0 0 8
2011 0 0 0 1 5 0 0 1 0 1 0 0 8
Pelalawan
2009 177 42 15 9 184 258 283 210 20 23 1 9 1231
2010 19 10 14 5 34 13 17 18 21 48 18 10 227
2011 3 31 22 21 68 37 127 117 80 24 6 11 547
Rokan Hilir
2009 29 150 21 24 539 224 1198 170 43 12 7 2 2419
2010 7 27 18 12 5 11 19 30 62 165 26 5 387
2011 7 29 20 88 119 165 265 116 22 14 2 2 849
Kab./ Kota Tahun Hotspot pada bulan
Total Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sept Okt Nov Des
Rokan Hulu
2009 4 65 3 20 41 63 95 50 7 7 4 0 359
2010 0 1 0 1 7 10 5 28 15 43 9 6 125
2011 2 11 4 12 20 34 70 71 11 13 4 0 252
Siak
2009 41 47 13 0 4 35 118 95 8 5 1 3 370
2010 5 9 10 3 5 6 1 8 7 21 6 4 85
2011 0 21 8 6 21 33 39 55 21 4 1 5 214
TOTAL 1061 1021 349 345 1517 1373 3324 1996 789 793 305 114 12987
Sumber: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kemenhut-RI
Lampiran 2 Sebaran bulan kering tahun 2009-2011 (www.wunderground.com)
Tahun Bulan (hari)
Total Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sept Okt Nov Des
2009 19 21 4 12 23 20 17 18 15 15 14 4 182
2010 11 17 9 7 13 15 15 17 10 21 14 11 160
2011 7 13 11 8 20 18 23 24 15 8 10 11 168
RATAAN 12.33 17.00 8.00 9.00 18.67 17.67 18.33 19.67 13.33 14.67 12.67 8.67 170.00
Lampiran 3 Curah hujan Provinsi Riau pada tahun 2009-2011 (www.wunderground.com)
Tahun Curah hujan pada bulan (mm) TOTA
L Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sept Okt Nov Des
2009 5.13 2.15 9.81 8.64 3.23 3.54 0.99 4.73 5.62 8.30 7.10 13.99 73.23
2010 6.24 5.02 9.79 10.63 8.04 7.09 10.55 5.63 11.00 8.55 5.25 4.52 92.33
2011 6.24 2.49 3.83 8.21 2.40 0.97 0.84 35.11 4.82 5.62 1.24 - 71.79
RATAAN 5.87 3.22 7.81 9.16 4.56 3.87 4.13 15.16 7.15 7.49 4.53 6.17 79.12
Lanjutan Lampiran 1
(Januari) (Februari) (Maret)
(April) (Mei) (Juni)
Lampiran 5 Sebaran hotspot tahun 2009-2011
Tahun 2009
Legenda:
Titik panas (Hotspot)
Lahan gambut
Lahan mineral
(Oktober) (November) (Desember)
(Juli) (Agustus) (September)
Lanjutan lampiran 5 Sebaran hotspot tahun 2009-2011
Tahun 2009 Legenda:
Titik panas (Hotspot)
Lahan gambut
Lahan mineral
(Januari) (Februari) (Maret)
(April) (Mei) (Juni)
Lanjutan lampiran 5 Sebaran hotspot tahun 2009-2011
Tahun 2010
Legenda:
Titik panas (Hotspot)
Lahan gambut
Lahan mineral
(Oktober) (November) (Desember)
Lanjutan lampiran 5 Sebaran hotspot tahun 2009-2011
Tahun 2010
(Juli) (Agustus) (September)
Legenda:
Titik panas (Hotspot)
Lahan gambut
Lahan mineral
(Januari) (Februari) (Maret)
(April) (Mei) (Juni)
Lanjutan lampiran 5 Sebaran hotspot tahun 2009-2011
Tahun 2011 Legenda:
Titik panas (Hotspot)
Lahan gambut
Lahan mineral
(Juli) (Agustus) (September)
(Oktober) (November) (Desember)
Lanjutan lampiran 5 Sebaran hotspot tahun 2009-2011
Tahun 2011
Legenda:
Titik panas (Hotspot)
Lahan gambut
Lahan mineral