Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI
AGEN PUPUK HAYATI BERBASIS LIMBAH PADAT
INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN
KHOIRUNNISA LISTIANI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M / 1441 H
POTENSI Pseudomonas fluorescens SEBAGAI
AGEN PUPUK HAYATI BERBASIS LIMBAH PADAT
INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
KHOIRUNNISA LISTIANI
11140950000038
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M / 1441 H
iv
ABSTRAK
Khoirunnisa Listiani. Potensi Pseudomonas fluorescens sebagai Agen Pupuk
Hayati Berbasis Limbah Padat Industri Agar-Agar dan Tepung Ikan.
Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020. Dibimbing oleh Jamal
Basmal dan Nani Radiastuti.
Pseudomonas fluorescens merupakan agen potensial pada pupuk hayati.
Pengolahan rumput laut menjadi agar-agar dalam skala industri menghasilkan
limbah padat yang melimpah. Tepung ikan dihasilkan dari berbagai ikan yang
kurang ekonomis. Keduanya dapat dimanfatkan sebagai substrat bagi P.
fluorescens. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis potensi P. fluorescens
sebagai agen pupuk hayati berbasis limbah industri agar (LIA) dan tepung ikan
(TI). Analisis potensi P. fluorescens dilakukan dengan pengamatan zona bening
dan perubahan warna. Analisis konsentrasi LIA, TI dan waktu inkubasi optimum
bagi P. fluorescens dilakukan secara eksperimental. Analisis potensi P.
fluorescens menunjukkan hasil positif memiliki kemampuan mendegradasi
selulosa, pelarut P dan K, serta penghasil auksin. Analisis konsentrasi LIA, TI dan
waktu inkubasi optimum bagi P. fluorescens menunjukkan bahwa bakteri ini
mampu tumbuh dengan baik pada pH 5. Konsentrasi LIA,TI, dan waktu inkubasi
optimum bagi pertumbuhan P.fluorescens adalah 3% dan 0.3% pada hari ke-3
(media L3T3), dengan kepadatan populasi [10,820 log10] CFU /mL dan aktivitas
selulase 1,45 U /mL. Konsentrasi LIA,TI, dan waktu inkubasi optimum produksi
auksin oleh P.fluorescens adalah 2% dan 0.1% (media L2T1) pada hari ke-3,
dengan konsentrasi auksin 4,60 ppm. Hasil analisis menunjukkan bahwa P.
fluorescens berpotensi sebagai agen pupuk hayati berbasis LIA dan TI dengan
konsentrasi optimum pada L3T3 hari ke-3.
Kata kunci: LIA; Pseudomonas fluorescens; pupuk hayati; tepung ikan
v
ABSTRACT
Khoirunnisa Listiani. Potency of Pseudomonas fluorescens as Biofertilizer
Agent Based of Solid Waste of Agar Processing Industry and Fish Powder.
Undergraduete Thesis. Departement of Biology. Faculty of Science and
Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020.
Advised by Jamal Basmal and Nani Radiastuti.
Pseudomonas fluorescens is potencial agent for biofertilizer. Seaweed processing
into agar on industrial scale produced abundant amount of solid waste. Fish
powder is produced by fish that has less economic value. Both of them could
beneficial as substrate for P. fluorescens. The aim of this research was to analyze
potency of P. fluorescens as biofertilizer agent based on solid waste of agar (LIA)
and fish powder (TI). Potention analysis of P. fluorescens was done by halozone
and colour changes observation. Optimum concentration of LIA, TI, and
incubation time was analyzed experimentally. Potention analysis of P. fluorescens
showed positive result at cellulose degradation, P and K solubilization, and auxin
production. Optimum concentration of LIA, TI, and incubation time analysis of
P. fluorescens growth showed that this microorganism could grow well at pH 5.
Optimum concentration of LIA, TI, and incubation time analysis of P.
fluorescens growth is 3% and 0.3% at day 3 (L3T3 medium), with population
density [10,820 log10] CFU /mL and cellulase activity 1,45 U /mL. Optimum
concentration of LIA, TI, and incubation time analysis of auxin production by P.
fluorescens is 2% and 0.1% at day 3 (L2T1 media), with auxin concentration 4,60
ppm. Analysis result showed that P. fluorescens is potencial as biofertilizer agent
based on LIA and TI as optimum concentration L3T3 day 3.
Keywords: biofertilizer; fish powder; LIA; Pseudomonas fluorescens
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT berkat rahmat,
hidayah dan karunia-Nya yang dicurahkan tiada hentinya dalam setiap doa dan
harapan yang dipanjatkan. Sholawat serta salam penulis panjatkan kepada
Rasulullah SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
―Potensi Pseudomonas fluorescens sebagai Agen Pupuk Hayati Berbasis
Limbah Padat Industri Agar-Agar dan Tepung Ikan‖.
Penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak atas segala
bimbingan dan bantuan yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini, antara
lain kepada:
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
2. Dr. Priyanti, M.Si selaku ketua program studi Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
3. Ir. Jamal Basmal, M.Sc, dan Dr. Nani Radiastuti, M.Si selaku pembimbing I
dan pembimbing II yang telah membimbing penulis dalam bekerja di
laboratorium dan penyusunan skripsi.
4. Dr. Dasumiati, M.Si dan Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si selaku penguji I
dan penguji II seminar yang telah memberikan kritik dan saran dalam proses
penyusunan skripsi.
5. Dr. Priyanti, M.Si dan Narti Fitriana, M.Si selaku penguji I dan penguji II
sidang munaqosyah yang telah memberikan kritik dan saran dalam proses
penyempurnaan skripsi.
6. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan
(BBRP2BKP), yang telah memberikan kesempatan dan dukungan materi
selama pelaksanaan penelitian.
7. Seluruh dosen Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi atas
ilmu dan bimbingan yang diberikan dengan baik selama proses perkuliahan
kepada penulis.
8. Nurrahmi Dewi Fajarningsih, S.Si, M. Biotech, Yusma Yennie, S.Pi, M.Si,
dan Rinta Kusumawati, S.Si, MT, selaku kepala Laboratorium Bioteknologi,
vii
Laboratorium Mikrobiologi, dan Laboratorium Kimia BBRP2BKP yang
telah memberikan izin dan bantuan untuk penulis selama pelaksanaan
penelitian.
9. Dr. Ifah Munifah, M.Si, Gintung Patantis, S. Kel, Rizki, Benget, Tomi,
Maya, Wahyu, Anggi, Helena Malik, A.Md, Ukis Shofahudin, A,Md,
Sujarwo dan Hana selaku pembimbing lapangan serta staff laboratorium
BBRP2BKP yang telah membimbing dan membantu penulis selama
pelaksanaan penelitian.
10. Seluruh pihak yang berperan secara langsung maupun tidak langsung, atas
dukungan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis, yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Semoga skripsi ini dapat dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat memiliki
kontribusi terhadap ilmu pengetahuan.
Jakarta, Januari 2020
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ..................................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... ii 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... ii 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... iv 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... iv 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... iv 1.5 Kerangka Berpikir Penelitian .................................................................... v
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5 2.1 Pseudomonas fluorescens ......................................................................... 5 2.2 Limbah Padat Industri Pengolahan Agar-Agar ......................................... 8 2.3 Tepung Ikan .............................................................................................. 9 2.4 Pupuk Hayati (Biofertilizer) .................................................................... 10 2.5 Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Hayati ............................................ 14
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 15 3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................. 15 3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................ 15 3.3 Rancangan Penelitian .............................................................................. 15 3.4 Cara Kerja ............................................................................................... 16 3.5 Analisis Data ........................................................................................... 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 26 4.1 Kemampuan Selulolitik Pseudomonas fluorescens ................................ 26 4.2 Kemampuan Pelarut Fosfat (P) Pseudomonas fluorescens .................... 27 4.3 Kemampuan Pelarut Kalium (K) Pseudomonas fluorescens .................. 28 4.4 Kemampuan Produksi Auksin Pseudomonas fluorescens ...................... 29 4.5 Pertumbuhan dan Aktivitas Pseudomonas fluorescens sebagai
Agen Pupuk Hayati .................................................................................. 30
BAB V PENUTUP .................................................................................................. 47 5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 47 5.2 Saran ....................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 48 LAMPIRAN ............................................................................................................ 58
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Berpikir ................................................................................... v Gambar 2. Isolat Pseudomonas fluorescens dengan perbesaran 1000 X .................. 5 Gambar 3. Hasil uji kemampuan selulolitik isolat Pseudomonas fluorescens pada
media CMC 1% ..................................................................................... 26
Gambar 4. Hasil uji aktivitas pelarutan P isolat Pseudomonas fluorescens pada media Pikovskaya .................................................................................. 27
Gambar 5. Hasil uji aktivitas pelarutan kalium isolat Pseudomonas fluorescens
pada media Aleksandrov ....................................................................... 28 Gambar 6. Hasil uji kualitatif produksi auksin isolat Pseudomonas fluorescens .... 29 Gambar 7. Nilai pH ................................................................................................. 33 Gambar 8. Kepadatan populasi ................................................................................ 36 Gambar 9. Aktivitas selulase ................................................................................... 40 Gambar 10. Produksi auksin .................................................................................... 44
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Hayati Tunggal .................................14 Tabel 2. Hasil analisis varian (ANOVA) derajat keasaman (pH) ...........................31 Tabel 3. Hasil analisis varians (ANOVA) kepadatan populasi .............................. 35 Tabel 4. Hasil analisis varians (ANOVA) aktivitas selulase .................................. 38 Tabel 5. Hasil analisis varians (ANOVA) produksi auksin .................................... 42
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Rancangan Percobaan ........................................................................ 58 Lampiran 2. Diagram Alur Penelitian .................................................................... 59 Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian ..................................................................... 60 Lampiran 4. Metode Pembuatan Media Uji ........................................................... 62 Lampiran 5. Metode Pembuatan Reagen Uji .......................................................... 63 Lampiran 6. Kurva Standar Glukosa ...................................................................... 64 Lampiran 7. Kurva Standar Auksin ........................................................................ 64 Lampiran 8. Analisis Kemampuan Isolat Pseudomonas fluorescens ..................... 65 Lampiran 9. Hasil Analisis Statistik Derajat Keasaman (pH) kultur Pseudomonas
fluorescens .......................................................................................... 66 Lampiran 10. Hasil Analisis Statistik Kepadatan Populasi Pseudomonas
fluorescens .......................................................................................... 71 Lampiran 11. Hasil Analisis Statistik Aktivitas Selulase Pseudomonas
fluorescens .......................................................................................... 74 Lampiran 12. Hasil Analisis Statistik Produksi Auksin Pseudomonas
fluorescens .......................................................................................... 79
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pupuk hayati adalah produk biologi aktif yang terdiri atas mikroba yang
dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah.
Formula pupuk hayati adalah komposisi mikroba/mikrofauna dan bahan pembawa
penyusun pupuk hayati (Permentan, 2011). Pupuk hayati sering disebut sebagai
pupuk mikroba. Mikroba memiliki peran yang penting dalam meningkatkan
produktivitas tanaman dan menyuburkan tanah, yaitu dengan menstimulasi
pertumbuhan dan melindungi tanaman dari patogen (Jumadi et al., 2015).
Salah satu mikroba potensial untuk pembuatan pupuk hayati adalah
Pseudomonas fluorescens. Mikroba ini termasuk ke dalam bakteri endofitik.
Mikroba ini menunjukkan kemampuan yang baik dalam membentuk koloni pada
tanaman dan kapabilitas dalam menstimulasi pertumbuhannya (Oteino et al.,
2015). Kapabilitas yang dapat mesntimulasi pertumbuhan tanaman diantaranya
adalah pelarut fosfat (Vandana et al, 2017), aktivitas selulolitik, penghasil auksin
(Soesanto et al., 2011) dan sebagai agen biokontrol (Panpatte, Jhala, Shelat &
Vyas, 2016).
Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang
dimanfaatkan untuk pengolahan agar dalam skala industri. Pengolahan tersebut
menghasilkan jumlah limbah padat yang melimpah dan masih mengandung
selulosa sebanyak 20,17% (Sari & Assadad, 2013). Perusahaan pengolahan
rumput laut membutuhkan area yang luas untuk membuang limbahnya. Limbah
padat membutuhkan waktu yang lama untuk terdegradasi secara alami, sehingga
dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan bau yang tidak sedap (Afif, 2011).
Tepung ikan merupakan salah satu produk pengawetan ikan dalam bentuk
ikan yang digiling menjadi tepung. Tepung ikan berasal dari berbagai ikan yang
kurang ekonomis (Liliasari, 2016). Hasil ikan tersebut hampir mencapai ± 50%
dari total ikan secara keseluruhan dan masih memiliki kandungan protein yang
tinggi (Abbey, Glover-Amengor, Atikpo, Atter, & Toppe, 2016). Tepung ikan
1
2
mengandung pula berbagai asam amino esensial yang berperan penting dalam
proses metabolik mikroba (Ghaly, Ramakhrisnan, Brooks, Budge & Dave, 2013).
Penggunaan P. fluorescens sebagai agen pupuk hayati pada penelitian ini
didasarkan pada studi yang dilakukan Singh, Saini & Kahlon (2016) yang
menyatakan bahwa mikroba ini memiliki fleksibilitas metabolisme yang tinggi,
sehingga mampu memanfaatkan selulosa sebagai sumber karbonnya. Penggunaan
limbah padat industri agar-agar pada penelitian ini didasarkan pada ketersediaan
limbah padat yang melimpah dan masih mengandung selulosa. Penggunaan
tepung ikan pada penelitian ini didasarkan pada banyaknya ikan yang bernilai
kurang ekonomis yang tertangkap ketika penangkapan selektif oleh nelayan dan
masih mengandung protein.Oleh karena itu, limbah padat industri agar dan tepung
ikan tersebut masih dapat dimanfaatkan. Salah satunya untuk pembuatan pupuk
hayati. Limbah padat industri agar berperan sebagai penyedia karbon, sedangkan
tepung ikan berperan sebagai penyedia nitrogen bagi P. fluorescens.
Studi sebelumnya terkait pemanfaatan limbah industri agar dan tepung
ikan sebagai pupuk telah dilakukan oleh beberapa peneliti. López-Mosquera et al.
(2011) memanfaatkan limbah ikan dan rumput laut untuk dijadikan pupuk
kompos. Sundari, Maruf & Dewi (2014) menambahkan tepung ikan dan EM4
pada pupuk organik cair rumput laut Gracilaria sp. Pemanfaatan limbah padat
industri agar dan tepung ikan sebagai substrat bagi P. fluorescens untuk dijadikan
pupuk hayati belum pernah dilakukan. Studi sebelumnya telah dilakukan dengan
menggunakan sumber selulosa lain sebagai substrat. Serbuk gergaji digunakan
Agarwal, Saxena & Chandrawat (2014) sebagai substrat bagi P. aeruginosa. Serat
pepaya dan bonggol jagung sebagai substrat bagi P. aeruginosa digunakan oleh
Ire & Berebon (2016). Aranganathan & Rajasree (2016), memanfaatkan limbah
ikan untuk dijadikan pupuk cair dengan penambahan Bacillus subtilis.
Berdasarkan berbagai data tersebut, penelitian ini dilakukan sebagai
penelitian pendahuluan terhadap analisis kemampuan P. fluorescens sebagai agen
pupuk hayati berbasis limbah padat industri agar-agar dan tepung ikan. Penelitian
akan berfokus pada potensi P. fluorescens dalam merombak selulosa, melarutkan
fosfat dan kalium, dan menghasilkan auksin. Penelitian diharapkan dapat
menyediakan informasi awal terkait potensi P. fluorescens yang mengacu pada
3
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Tahun 2011 serta formulasi konsentrasi
limbah padat industri agar-agar, tepung ikan dan waktu inkubasi yang optimum
untuk pembuatan pupuk hayati.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini dilaksanakan dengan rumusan masalah sebagai berikut.
1) Apakah P. fluorescens memiliki potensi sebagai agen pupuk hayati berbasis
limbah padat industri agar-agar dan tepung ikan?
2) Manakah formulasi konsentrasi limbah padat industri agar-agar dan tepung
ikan serta waktu inkubasi optimum bagi aktivitas P. fluorescens sebagai agen
pupuk hayati?
1.3 Hipotesis
Penelitian ini dilaksanakan dengan hipotesis sebagai berikut.
1) Pseudomonas fluorescens memiliki potensi sebagai agen pupuk hayati
berbasis limbah padat industri agar-agar dan tepung ikan sesuai dengan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Tahun 2011.
2) Formulasi konsentrasi limbah padat industri agar-agar dan tepung ikan serta
tepung ikan optimum bagi aktivitas P. fluorescens sebagai agen pupuk hayati
dapat memenuhi standar Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Tahun 2011.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut.
1) Menganalisis potensi P. fluorescens sebagai agen pupuk hayati berbasis
limbah padat industri agar-agar dan tepung ikan.
2) Menganalisis formulasi konsentrasi limbah padat industri agar agar dan
tepung ikan serta waktu inkubasi optimum bagi aktivitas P. fluorescens
sebagai agen pupuk hayati.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut.
1) Bagi peneliti: sebagai sumber informasi awal mengenai potensi P. fluorescens
yang merupakan agen pupuk hayati berbasis limbah padat industri agar-agar
dan tepung ikan.
4
2) Bagi industri: sebagai upaya alternatif dalam mengurangi penumpukan
limbah padat industri pengolahan agar-agar dan perikanan.
3) Bagi masyarakat: sebagai upaya dalam mengurangi pencemaran lingkungan
dan solusi dalam mengurangi penggunaan pupuk kimia.
1.6 Kerangka Berpikir Penelitian
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian potensi Pseudomonas fluorescens sebagai
agen pupuk hayati berbasis limbah padat industri agar-agar dan tepung
ikan
Pupuk Hayati
(Biofertilizer)
Terdiri dari
Agen pupuk hayati
(mikroba)
Bahan Pembawa
(Substrat)
Limbah padat industri
pengolaan agar-agar yang
melimpah dan masih
mengandung selulosa
Pseudomonas fluorescens
Limbah padat
perikanan yang masih
mengandung protein
Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 70
Tahun 2011 Sumber
Karbon (C) Sumber
Nitrogen (N)
Formulasi optimum pupuk hayati
Analisis potensi
berdasarkan
Industri:
Mengurangi
penumpukan limbah
Masyarakat:
Mengurangi pencemaran
lingkungan dan
penggunaan pupuk kimia.
Peneliti:
Informasi
awal
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pseudomonas fluorescens
Pseudomonas fluorescens merupakan mikroba yang termasuk ke dalam
genus Pseudomonas. Karakteristik fisik mikroba ini diantaranya berbentuk basil
koloni kecil, berwarna putih, dan konveks (Scales, Dickson, Lipuma & Huffnagle,
2014). Mikroba ini juga termasuk gram negatif, yaitu mikroba dengan membran
bilayer yang dibatasi oleh periplasma. Dinding sel merupakan membran terluar
(Outer Membrane) yang terdiri dari selapis polimer peptidoglikan. Polimer ini
berfungsi melindungi sel dari lisis (Miller & Salama, 2018).
Gambar 2. Isolat Pseudomonas fluorescens dengan perbesaran 1000 X. Isolat
berbentuk basil dan berwarna merah, menunjukkan isolat termasuk
bakteri gram negatif
Pseudomonas fluorescens termasuk mikroba mesofilik, dengan temperatur
tumbuh optimalnya berkisar antara 25-32°C. Mikroba ini termasuk pula dalam
mikroba neutrofil, karena mampu tumbuh pada pH sekitar 4-8. Mikroba ini dapat
ditumbuhkan menggunakan media sederhana dengan satu sumber karbon dan
inkubasi aerobik selama 24-48 jam pada suhu 27-32°C. Ketika dalam kondisi
yang tidak menguntungkan, mikroba mampu memasuki fase viable-but-not-
culturable (VBNC). Pada fase tersebut, mikroba kehilangan kemampuannya
untuk melakukan metabolisme akibat berkurangnya ketersedian nutrien pada
kultur. Selanjutnya, mikroba akan mempertahankan integritas membran selnya
6
dan memproduksi protein hingga nutrien atau kondisi kultur sesuai dengan
kebutuhan mikroba. Selanjutnya, mikroba akan memulihkan proses
metabolismenya kembali, ketika kondisi kultur sesuai dengan kebutuhannya
(Scales et al., 2010).
Pseudomonas fluorescens termasuk mikroba yang mudah membentuk
biofilm. Kemudahan tersebut melibatkan quorum sensing, yang merupakan
bentuk komunikasi sel-sel mikroba melalui persinyalan. Fenomena ini terjadi
ketika setiap sel dalam populasi mikroba melepaskan feromon atau autoinduser
sebagai sinyal yang dapat ditangkap oleh sel-sel sekitarnya. Autoinduser akan
menjadi regulator dalam mengendalikan kepadatan populasi ketika konsentrasinya
meningkat, sejalan dengan banyaknya jumlah sel dalam suatu populasi mikroba
(Moat et al., 2002).
Pseudomonas fluorescens termasuk mikroba kemoorganotrof. Mikroba ini
mampu memperoleh energi dengan melakukan oksidasi bahan kimia dan
menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon dan energi utamanya.
mikroba ini memiliki fleksibilitas metabolisme tinggi, yaitu mampu menggunakan
beragam bahan kimia sebagai sumber energinya, seperti beragam gula dan
senyawa xenobiotik kompleks (toluena, benzena). Mikroba ini mampu memproleh
fleksibilitas tambahan melalui plasmid (Singh et al., 2016).
Jenis gula yang dapat digunakan P. fluorescens sebagai sumber karbon
diantaranya glukosa, glukonat, gliserol, gliserat, fruktosa dan manitol. Gula
tersebut digunakan dalam metabolisme karbohidrat. Proses ini dapat merubah
glukosa menjadi gliseraldehid-3-fosfat dan dioksidasi lebih lanjut menjadi piruvat.
Jalur perifer intermediet mampu memasuki jalur metabolik ini untuk memperoleh
energi dan sintesis blok pembangun untuk sel. Kemampuan tersebut membantu
bakteri ini beradaptasi ketika dalam kondisi miskin nutrisi (Singh et al., 2016).
Pseudomonas fluorescens akan melakukan metabolisme melalui jalur
perifer intermediet ketika berada dalam kondisi miskin nutrien. Pada kondisi ini,
mikroba cenderung akan memanfaatkan apapun yang tersedia di lingkungan
tertentu, seperi asam amino, asam lemak, bahkan senyawa xenobiotik. Proses ini
berkontribusi dalam produksi metabolit seperti antibiotik, biosurfaktan dan
7
siderofor. Metabolit ini menjadi salah satu strategi pertahanan mikroba,
khususnya dalam pengambilan sumber energi yang tidak tersedia secara biologis
(Singh et al., 2016).
Pseudomonas fluorescens tergolong mikroba aerob obligat, namun mampu
menggunakan nitrat sebagai akseptor elektron terakhir (selain O2), ketika respirasi
seluler. Hal tersebut terbukti dengan tergolongnya mikroba ini dalam kelompok
oksidase positif. Mikroba tersebut mampu menghasilkan enzim sitokrom C
oksidase yang berperan dalam transpor elektron. Mikroba ini tergolong pula
katalase positif, yaitu mikroba yang mampu menghasilkan enzim katalase sebagai
bentuk pertahanan dengan detoksifikasi H2O2 (Scales et al., 2010).
Pseudomonas fluorescens termasuk ke dalam kelompok endofitik, yaitu
bakteri yang dapat berkoloni di bagian interior tanaman, seperti akar, batang, atau
biji. Mikroba ini dapat memasuki sel melalui celah interseluler atau sistem
vaskular tanpa menimbulkan bahaya bagi tanaman. Mikroba ini memiliki prospek
yang menjanjikan sebagai agen biokontrol dan Plant Growth-Promoting
Rhizobacteria (PGPR) karena kelimpahan populasinya pada tanah secara alami
dan sistem perakaran tanaman, serta menggunakan eksudat tanaman sebagai
nutriennya (Panpatte et al., 2016).
Pseudomonas fluorescens diketahui berperan penting dalam motilitas dan
fototropi akar, sintesis antibiotik, dan produksi enzim hidrolitik. Mikroba ini
berperan pula dalam menghasilkan beragam metabolit sekunder, seperti 2,4-
diacetylphloroglucinol (DAPG, Phl), lipopeptida, phenazines, pyrrolnitrine,
pyochelin, dan hidrogen sianida. Selain itu, mikroba ini berperan dalam pelarut
fosfat dan produksi fitohormon (Panpatte et al., 2016).
Pseudomonas fluorescens mampu memanfaatkan selulosa yang
terkandung dalam limbah sampah dedaunan di sekitar tanah, yang dikenal dengan
proses dekomposisi. Mikroba ini dapat berperan pula sebagai agen biokontrol
dengan mendegradasi selulosa yang terkandung dalam dinding sel mikroba
patogen. Selulase yang dihasilkan mikroba ini mampu memutus rantai glikosidik
selulosa dinding sel menjadi glukosa (Wilson, 2011). Mikroba ini dapat pula
mendegradasi kitin yang terkandung dalam dinding sel fungi patogen. Kitinase
8
yang dihasikan mikroba ini dapat memutus ikatan glikosidik kitin secara langsung
dan menyebabkan sel fungi menjadi lisis (Mubarik et al., 2010).
2.2 Limbah Padat Industri Pengolahan Agar-Agar
Rumput laut Indonesia dikenal dengan kualitasnya yang baik dan banyak
diminati oleh industri karena mengandung sumber karagenan, agar-agar, dan
alginat yang cukup tinggi (Lestari, Sudarmin & Harjono, 2017). Rumput laut
mengandung karbohidrat, protein, lemak, serat, selulosa (fraksi 2-23%),
hemiselulosa, lignin, vitamin, bromin dan iodin (Nabti et al., 2016). Jenis rumput
laut yang paling umum diproduksi dalam skala industri adalah rumput laut merah.
Beberapa jenis tersebut berasal dari genus Kappapychus alvarezii, Euchema spp.,
Laminaria japonica, Gracilaria spp, Undaria pinnatifida, Porphyra spp,
Sargassum fusiforme, dan Spirulina spp. (FAO, 2016).
Agar merupakan produk utama yang dihasilkan dari rumput laut terutama
dari kelas Rhodopycea, seperti Gracilaria, Sargassum dan Gellidium (Suparmi &
Sahri, 2009). Agar-agar merupakan polisakarida galaktan yang terbentuk dari
subunit D-galaktosa dan 3,6-anhidro-L-galaktopiranosa. Agar dapat didegradasi
menjadi asam levulinat, asam format, dan 5-hidroksimetilfurfural (Jeong et al,
2015). Agar-agar terdiri dari beberapa komponen, diantaranya agarosa dan
agaropektin (Stiger-Povreau et al., 2016).
Industri agar dilaporkan menghasilkan limbah sebesar 65–75%, yang masih
memiliki selulosa sebesar 19,7% (Kim et al., 2008). Selulosa merupakan polimer
utama yang merupakan senyawa dominan dalam pengolahan bahan berserat
(Lestari et al., 2017). Limbah pengolahan rumput laut terdiri dari dua fase, yaitu
fase cair dan fase padat. Fase cair berasal dari pencucian dan presipitasi ekstraksi
rumput laut, sedangkan fase padat berasal dari pemisahan ekstrak rumput laut dari
padatannya. Komposisi utama fase padat adalah selulosa, sedangkan komponen
lainnya adalah mineral-mineral.
Studi yang dilakukan oleh Basmal et al. (2020) menjelaskan bahwa limbah
padat industri pengolahan agar-agar mengandung berbagai nutrien dan hormon
yang bermanfaat bagi tumbuhan. Mikronutrien yang terkandung pada limbah
diantaranya Cu (4.80 ppm), Fe (0.24 ppm), Zn (8.42 ppm), Mn (57.58 ppm), dan
9
B (32.32 ppm). Makronutrien yang terkandung pada limbah diantaranya N
(0.20%), P (0.12%), K (0.17%), C-organik (10.96%), Na (0.66%), Ca (0.61%),
Mg (0.09%),dan rasio C/N sebesar 54:7. Hormon pertumbuhan yang terkandung
pada limbah diantaranya auksin (191 ppm), giberelin (509.5 ppm), sitokinin-
kinetin (244.5 ppm) dan sitokinin-zeatin (70.5 ppm).
Selain nutrien dan hormon, pada limbah ini ditemukan pula celite, yang
merupakan mineral yang berperan dalam proses penyaringan pada industri
pengolahan agar-agar. Celite dapat berperan pula sebagai penyaring pada bahan
pemutih, bahan isolasi panas dan bunyi, bahan pengisi, bahan gosok untuk logam,
bahan bangunan ringan, dan adsorben. Celite juga memiliki kemampuan daya
serap yang tinggi dan digunakan sebagai pembawa larutan sulfida untuk pupuk
buatan (Genisa et al., 2015). Celite yang sudah menjadi limbah industri dikenal
dengan istilah post-filtered diatomaceous earth (Anders & Alwaeli, 2015).
Celite dapat berperan pula sebagai insektisida, dengan melakukan
peyerapan lipid epikutikular dan asam lemak, sehingga menyebabkan kekeringan
pada arthropoda. Celite dapat menjadi alternatif yang baik untuk dijadikan kontrol
alami pada hama yang menyerang biji-bijian, khususnya gandum (Shah & Khan,
2014). Menurut studi yang dilakukan Kavallieratos et al. (2010) dan Yang et al.
(2010), celite memiliki efektivitas yang tinggi untuk melawan hama jenis
Rhyzopertha dominica, Sitophilus oryzae, Tribolium confusum dan T. castaneum.
2.3 Tepung Ikan
Perkembangan industri perikanan dan meningkatnya pemanfaatan ikan
oleh rumah tangga yang pesat di Indonesia menghasilkan limbah yang berlimpah.
Limbah tersebut berupa bagian ikan seperti kepala, ekor sirip, tulang dan jeroan.
Limbah tersebut masih dapat dimanfaatkan karena masih mengandung protein 36-
57%; serat kasar 0,05- 2,38%; kadar air 24-63%; kadar abu 5-17%; kadar Ca 0,9-
5%, serta kadar P 1-1,9% (Zahroh et al., 2018).
Tepung ikan dapat pula diperoleh dari penggilingan bagian ikan yang tidak
dimanfaatkan. Tepung ikan dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan
suplemen, sumber pakan bagi hewan ternak, sebagai umpan untuk menangkap
kepiting dan lobster (Tacon & Metian, 2009). Menurut Abbey et al., 2006),
10
limbah ikan tersebut masih mengandung total protein dan zat besi yang tinggi,
masing-masing sebesar 218,06 g dan 61,86 g. Selain itu, limbah ikan juga
mengandung kalsium, seng (Zn), dan mangan (Mn).
Tepung ikan juga mengandung asam amino esensial yang berperan
penting dalam proses metabolik, salah satunya adalah L-triptofan. L-triptofan
merupakan asam amino esensial yang menjadi prekursor utama dalam biosintesis
auksin. Konsentrasi L-triptofan yang terkandung dalam tepung ikan berada pada
kisaran 0,2-6,5 g (Ghaly et al., 2013; Mohanty et al., 2014). Asam amino lain
yang dapat menjadi alternatif lain dalam produksi auksin adalah fenialanin, tirosin
dan histidin yang merupakan golongan asam amino aromatik (Ljung, 2013;
Spaepen & Vanderleyden, 2011).
Beberapa jenis ikan yang umumnya dijadikan tepung ikan diantaranya
Upeneus moluccensis (Basmal & Hermana, 2016). Selain itu, Rastrelliger
brachisoma, Terapon jarbua, Liza macrolepis, dan Siganus javus (FAO, 2016;
Ramalingam et al., 2014;). Jenis ikan tersebut merupakan hasil sampingan dari
penangkapan selektif yang dinilai tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Jenis
ikan ini termasuk beberapa jenis Crustacea dan ikan bersirip (Carnivorous
Finfish) (Tacon & Metian, 2009).
2.4 Pupuk Hayati (Biofertilizer)
Pupuk merupakan gabungan unsur hara makro dan mikro yang diberikan
kepada tanaman untuk memperbaiki kualitas tanah. Berdasarkan bahan bakunya,
pupuk dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni pupuk kimia dan pupuk organik.
Pupuk kimia merupakan pupuk yang dibuat secara kimia dan menggunakan bahan
kimia. Pupuk organik merupakan pupuk yang dibuat dari limbah organik yang
telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat maupun cair, dan diperkaya
oleh mineral maupun mikroba (Basmal, 2010).
Pupuk organik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pupuk kompos dan
pupuk hayati. Perbedaan keduanya terletak pada formulasi yang terkandung pada
pupuk. Pupuk kompos dibuat dengan formulasi yang terdiri dari bahan-bahan
organik dan mineral. Pupuk hayati dibuat dengan formulasi yang terdiri dari
mikroba dan bahan pembawa (Permentan, 2011).
11
Pupuk hayati merupakan inokulan dengan bahan aktif mikroba hidup yang
berfungsi untuk menambat hara tertentu dan memfasilitasi ketersediaan unsur hara
bagi tanaman melalui simbiosis maupun non simbiosis. Simbiosis berlangsung
dengan tanaman tertentu. Non simbiosis berlangsung melalui penyerapan hara dan
hasil perombakan bahan organik (Rahmawati, 2016). Karakteristik pupuk hayati
diketahui dari kemampuan inokulan mikroba dalam menyediakan nutrien bagi
akar tanaman, diantaranya sebagai berikut.
1. Perombak Selulosa
Selulosa adalah senyawa organik dengan rumus molekul (C6H10O5)n dan
homopolisakarida yang terdiri dari ˃10.000 rantai linier unit β (14) D-glukosa
(Siddhanta et al., 2009). Selulosa bersifat tidak memiliki rasa, tidak berbau,
hidrofobik, dan tidak larut dalam air. Selulosa memiliki potensi sebagai bahan
dasar dalam pembuatan pupuk organik. Limbah industri pengolahan rumput laut
merupakan salah satu biomassa selulosik telah dikembangkan sebagai sumber
gula yang difermentasi menjadi etanol (Munifah, 2013).
Selulosa dapat didegradasi oleh beberapa jenis mikroba, yang dikenal
dengan istilah mikroba selulolitik. Mikroba tersebut diantaranya Acidothermus
cellulolyticus, Bacillus pumilis, P. fluorescens, Aspergillus, Fusarium,
Penicillium, dan Trichoderma (Kuhad, 2011). Mikroba tersebut berpotensi untuk
konversi biomasa tumbuhan dan alga menjadi fuel dan komponen kimia lainnya.
Proses konversi tersebut memerlukan enzim, yang dikenal dengan enzim selulase.
Enzim tersebut dapat dihasilkan oleh berbagai mikroba selulolitik (Munifah,
2013).
Selulase mendegradasi selulosa menjadi gula yang dapat larut atau enzim
yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi oligosakarida dengan memutus ikatan
glikosidik β -1,4 pada selulosa, selodekstrin, selobiosa. Enzim ini berfungsi pula
dalam proses penguraian serat sayuran, pemecahan pentosa dan hemiselulosa
menjadi pentosa dan fraksi hemiselulosa yang mudah larut dalam air. Selain itu,
untuk menghidrolisis kertas bekas dan limbah sampah. Aktivitas enzim ini
diinduksi oleh beberapa sumber karbon, diantaranya selulosa, soporosa, selobiosa
dan laktosa (Munifah, 2013).
12
2. Pelarut Fosfat (P)
Fosfat (P) merupakan salah satu unsur makro esensial yang secara alami
terdapat dalam bentuk organik dan inorganik. Jumlah P di dalam tanah umumnya
tinggi, yaitu sekitar 400-1200 mg/kg tanah. Hampir 95% P yang tersedia di alam
merupakan P inorganik yang tidak dapat langsung digunakan tanaman. Stabilitas
P di alam disebabkan karena P memiliki reaktivitas tinggi terhadap Al3+
, Ca2+
, dan
Fe3+
, sehingga keduanya dapat membentuk senyawa yang sulit terlarut (Pande,
Pandey, Mehra, Singh & Kaushik, 2017).
Adanya P organik dan P inorganik di tanah berhubungan dengan siklus P
yang terlibat dalam sistem tanaman-tanah. Siklus ini terjadi ketika hujan dan
perubahan cuaca memicu batuan melepaskan ion P dan mineral yang dapat
membentuk senyawa. Kemudian senyawa tersebut terdistribusi di tanah dan
perairan. Tanaman memanfaatkan P inorganik dari tanah, kemudian dikonsumsi
hewan. P akan membentuk molekul organik di dalam tanaman dan hewan, seperti
DNA. Ketika tanaman atau hewan mati, P organik akan kembali ke tanah. P yang
berada di tanah dapat mengalir melalui perairan maupun tergabung menjadi
sedimen atau batuan (Smith et al., 2015).
Mikroba memainkan peran penting dalam siklus P dan ketersediaan P bagi
tanaman. Mikroba dapat mencegah kehilangan ion P yang berikatan dengan
mineral dengan cara melarutkan ion P yang penting bagi tanaman. Kehilangan
tersebut terjadi karena proses pelapukan, erosi, dan limpasan permukaan tanah
yang terjadi selama siklus P berlangsung. Proses kehilangan tersebut terjadi
melalui aliran permukaan dan bawah tanah selama siklus P berlangsung
(Fernandez et al., 2012). Beberapa jenis mikroba yang dapat melarutkan fosfat
adalah Pseudomonas, Bacillus, Aspergillus, Penicillium, dan Streptomyces
(Husen, Simanungkalit & Saraswati, 2007).
Tanaman dapat memanfaatkan P ketika P dalam bentuk anion ortofosfat,
seperti bentuk HPO42-
dan HPO41-
dari larutan tanah. P dibutuhkan tanaman dalam
pembentukan bunga dan buah, pertumbuhan akar, pemasakan biji dan
pembentukan klorofil. P juga berasosiasi dengan regulasi biosintesis
13
makromolekul, transformasi energi, dan respirasi (Babu et al., 2017; Pande et al.,
2017).
3. Pelarut Kalium (K)
Kalium (K) merupakan salah satu makronutrien esensial untuk pertumbuhan
dan perkembangan tanaman. K tersedia di tanah dalam bentuk mineral, larutan, K
yang dapat ditukar dan K yang tidak dapat ditukar. Sebanyak 90-98% kalium
tersebut tidak dapat langsung diserap tumbuhan (Etesami et al., 2017).
Konsentrasi K terlarut umumnya sangat rendah, dengan proporsi K terbesar pada
tanah terkandung pada batuan dan mineral (Mursyida et al., 2015).
Konsentrasi K terlarut dapat ditingkatkan dengan bantuan mikroorganisme
pelarut K. Mikroorganisme tersebut dapat merubah K sulit terlarut menjadi K
yang mudah dilarutkan tanaman. Mekanisme yang umumnya dilakukan seperti
asidolisis, pengkelatan, pergantian reaksi, kompleksolisis, dan produksi asam
organik. Beberapa jenis mikroorganisme yang dapat melarutkan K diantaranya
Bacillus circulans, Acidithiobacillus ferrooxidans, Pseudomonas sp, Aspergillus
spp. dan Aspergillus terreus (Jabin & Ismail, 2016).
4. Produksi Auksin
Auksin merupakan senyawa berupa asam dengan turunannya. Auksin alami
yang umumnya ditemui adalah indole acetic acid (IAA) (Husen et al., 2007).
Auksin mampu menginduksi pemanjangan batang pada wilayah sub-apikal dan
menginduksi pertumbuhan bagian tanaman. Produksi auksin diinisiasi oleh L-
triptofan. L-triptofan merupakan asam amino esensial yang dibutuhkan tumbuhan
dan mikroorganisme untuk biosintesis IAA (Aziz, Nawaz, Nazir, Anjum, Yaqub,
Ahmad & Khan, 2015; Friedman, 2018).
Mikroorganisme tanah mampu memproduksi auksin untuk meningkatkan
produktivitas tanaman. Mikroorganisme tanah yang telah dilaporkan dapat
menghasilkan auksin dalam jumlah rendah diantaranya Azospirillum,
Pseudomonas, dan Xantomonas (Duca et al., 2018). Ada 5 jalur bakteri dalam
memproduksi IAA dengan prekursor L-triptofan. Jalur tersebut diantaranya jalur
IAM (Indole-3-Acetamide), IPA (Indole-3-Pyruvate), TAM/TRM (Indole-3-
14
Tryptamine), TSO (Tryptophan Side-Chain Oxidation) dan IAN (Indole-3-
Acetonitrile) (Spaepen & Vanderleyden, 2011).
Pada P. fluorescens, biosintesis dilakukan melalui jalur indol-3-asetaldehid,
atau dikenal pula dengan istilah jalur reaksi oksidase sampingan L-triptofan.
Sebelum memasuki jalur indol-3-asetaldehid, L-triptofan ditransaminasi menjadi
IPyA (inorganik pirofosfatase) oleh amino transferase. Kemudian IPyA
mengalami dekarboksilasi menjadi IAAld (indol-3-asetaldehid) yang dikatalis
oleh IPDC (indol-3-piruvat dekarboksilase). Selanjutnya IAAld mengalami
dehidrogenasi yang dikatalis oleh IAAld dehidrogenase dan menghasilkan IAA
(Spaepen & Vanderleyden, 2011).
2.5 Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Hayati
Menurut Peraturan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 tahun 2011,
pupuk hayati yang menggunakan bakteri tunggal harus memenuhi persyaratan
teknis sebagai berikut.
Tabel 1. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Hayati Tunggal untuk Bakteri Hidup
Bebas dan Bakteri Endofitik (Permentan, 2011)
Parameter
Standar Mutu Menurut Jenis
Bahan Pembawa Metode
Tepung/ Granul/ Cair Pengujian
Serbuk Pelet
1. Jumlah Bakteri ≥ 107 cfu/g ≥ 10
7 cfu/g ≥ 10
7 cfu/ml TPC**)
2. Fungsional :
a. Pelarut P & K Positif Positif Positif Media Pikovskaya
b. Penghasil >0,0 >0,0 >0,0 Spektrofotometri
Fitohormon atau HPLC
c. Perombak bahan Positif Positif Positif Media agar CMC/
organik (dekomposer) Avicel/Guaicol/
Indulin
3. Patogenisitas Negatif Infeksi ke daun
Tembakau
4. Kontaminan:
E. coli
Salmonella sp < 10
3 MPN/g atau MPN/ml
MPN-durham dan
uji lanjut pada
media diferensial
5. Kadar Air (%)**) ≤ 35 ADBB
6. pH 5,0 – 8,0 pH H2O, pH meter *) TPC dilakukan pada media spesifik untuk mikroba tersebut, TPC = Total Plate Count
**) Kadar air atas dasar berat basah
MPN = Most Probable Number
15
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2018 hingga September 2019 di
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan
(BBRP2BKP), Slipi, Jakarta Pusat.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang diperlukan diantaranya kertas pH indikator, vorteks, timbangan
analitik, laminar air flow (ESCO Fume Hood), shaking incubator, autoklaf
(Hirayama HVA 85), colony counter, thermoblock, mikropipet 1-1000 µL,
mikroskop cahaya (Olympus), microsentrifuge, microplate 96-well flat bottom,
dan spektrofotometer UV-Vis (Spectronic® 20 Genesys TM).
Bahan yang diperlukan diantaranya biakan isolat P. fluorescens murni yang
diperoleh dari koleksi kultur Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, limbah padat
industri agar-agar (LIA) dari PT Agarindo Bogatama Tangerang, tepung ikan
rucah koleksi BBRP2BKP, akuades, media Nutrien Agar (NA) (Oxoid), Nutrien
Broth (NB) (Oxoid), Mandels & Reese, Pikovskaya, Aleksandrov, Plate Count
Agar (PCA), parafilm, pewarna Gram, kongo merah, natrium klorida 0,9%,
pereaksi dinitrosalisilat (DNS), pereaksi Salkowski, L-triptofan (Lift Mode),
auksin (Sigma) dan glukosa.
3.3 Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 faktor perlakuan. Faktor pertama adalah konsentrasi LIA yang terdiri
atas 3 taraf, yaitu 1%, 2% dan 3%. Faktor kedua adalah konsentrasi tepung ikan
yang terdiri dari 3 taraf, yaitu 0,1%, 0,2% dan 0,3%. Faktor ketiga adalah waktu
inkubasi yang terdiri dari 6 taraf, yaitu hari ke-1, hari ke-3, hari ke-5, hari ke-7,
hari ke-9 dan hari ke-11. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali
dan sub ulangan sebanyak 3 kali. Rancangan penelitian dapat dilihat pada
lampiran 1.
16
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Peremajaan Isolat Pseudomonas fluorescens
Peremajaan isolat P. fluorescens dilakukan dengan menumbuhkan isolat
pada media NB 100 mL yang diinkubasi pada shaker selama 24 jam, kemudian 1
µL isolat diinokulasikan pada media NA dan diinkubasi selama 24 jam pada
inkubator suhu ruang. Setelah itu, isolat dari media NA yang telah diinkubasi
diambil 1 ose dan diinokulasikan pada media NA untuk mendapatkan koloni
tunggal P. fluorescens. Metode pembuatan media NB dan NA dapat dilihat pada
lampiran 4.
3.4.2 Analisis Kemampuan Pseudomonas fluorescens sebagai Agen Pupuk Hayati
3.4.2.1 Kemampuan Selulolitik
Analisis aktivitas selulolitik dilakukan dengan metode pewarnaan dengan
kongo merah 0,1% yang berperan sebagai indikator degradasi selulosa. Media
yang digunakan adalah media Mandels & Reese. Metode pembuatan media
tersebut dapat dilihat pada lampiran 4. Koloni tunggal dari isolat murni diambil
sebanyak satu ujung ose, kemudian ditotol pada permukaan media padat 1% CMC
pada cawan. Isolat diinkubasi pada suhu ruang selama 6 hari. Selanjutnya, kultur
ditambahkan kongo merah 0,1% selama 15-30 menit kemudian dibilas dengan 1
M NaCl sebanyak 2-3 kali selama 10 menit. Adanya aktivitas selulolitik
ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening pada media. Zona bening yang
terbentuk menunjukkan daerah yang selulosanya sudah terdegradasi. Daerah yang
terwarnai pada media agar menunjukkan selulosa yang tidak terdegradasi oleh
isolat. (Mandels & Reese, 1957; Teather & Wood, 1982).
3.4.2.2 Kemampuan Pelarut Fosfat (P)
Analisis kemampuan pelarutan P dilakukan menggunakan media padat
Pikovskaya dengan sumber P CaHPO4. 2H2O, untuk mengetahui kemampuan
isolat dalam melarutkan fosfat. Metode pembuatan media tersebut dapat dilihat
pada lampiran 4. Koloni tunggal isolat murni sebanyak satu ujung ose ditotol pada
permukaan media Pikovsykaya. Isolat diinkubasi selama 3-6 hari. Zona bening
yang terbentuk menunjukkan aktivitas isolat dalam melarutan P (Gupta et al.,
1994).
17
3.4.2.3 Kemampuan Pelarut Kalium (K)
Analisis kemampuan pelarutan K dilakukan menggunakan media padat
Aleksandrov dengan sumber K yang digunakan adalah KCl, untuk mengetahui
kemampuan isolat dalam melarutkan K. Metode pembuatan media tersebut dapat
dilihat pada lampiran 4. Koloni tunggal isolat murni sebanyak satu ujung ose
ditotol pada permukaan media Aleksandrov. Isolat diinkubasi selama 3-6 hari.
Zona bening yang terbentuk menunjukkan aktivitas isolat dalam melarutan K
(Shanware et al., 2014).
3.4.2.4 Kemampuan Produksi Auksin
Kemampuan mikroba dalam menghasilkan IAA dianalisis secara kualitatif
menggunakan media NB dengan penambahan L-triptofan 0,1%. Media
diinokulasikan dengan 1 µL isolat murni yang diperoleh dari kultur cair isolat
yang berumur 24 jam. Kemudian, kultur diinkubasi selama 72 jam pada suhu
30°C di tempat gelap. Inokulan diambil sebanyak 1 mL untuk disentrifugasi
dengan kecepatan 10000 rpm pada suhu 4ºC selama 10 menit. Supernatan masing-
masing 75 µL dihomogenkan dengan 150 µL pereaksi Salkowski, lalu diinkubasi
di ruang gelap selama 25-30 menit. Perubahan warna suspensi menjadi merah
mawar menunjukkan adanya produksi auksin (Gordon & Weber, 1951). Metode
pembuatan pereaksi Salkowski dapat dilihat pada lampiran 5.
3.4.3 Analisis Pertumbuhan dan Aktivitas Pseudomonas fluorescens sebagai
Agen Pupuk Hayati
Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk menganalisis kemampuan
tumbuh dan aktivitas P. fluorescens sebagai agen pupuk hayati. Analisis ini
dilakukan dengan melakukan modifikasi media Mandels & Reese (1957) terhadap
jenis sumber karbon dan sumber nitrogen. Sumber karbon yang digunakan pada
penelitian ini adalah LIA, dengan variasi konsentrasi 1%, 2% dan 3%. Sumber
nitrogen yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung ikan, dengan variasi
konsentrasi 0,1%, 0,2% dan 0,3%. L-triptofan ditambahkan pula pada media,
berperan sebagai prekursor dalam produksi auksin.
Media Mandels dan Reese yang telah dimodifikasi dibuat dengan
penambahan berbagai bahan berikut; 45 mL akuades, LIA 1%, tepung ikan 0,1%,
18
KH2PO4 0,03 g, MgSO4 0,015 g, NaCl 0,03 g, FeSO4 0,3 mg, MnSO4 0,3 mg,
NH4NO3 9 mg, glukosa 0,03 g, CaCl2 1,2 mg ke dalam erlenmeyer. Kemudian
dilakukan sterilisasi. Selanjutnya, media yang sudah steril ditambahkan dengan 5
mL L-triptofan 0,1% dan 5 mL isolat murni P. fluorescens. Terakhir, media
dikocok perlahan agar homogen. Pembuatan media untuk konsentrasi LIA 2% dan
3% serta tepung ikan 0,2% dan 0,3% dilakukan dengan tahapan yang sama.
Analisis diawali dengan menyegarkan isolat murni P. fluorescens pada
media NB 50 mL selama ±24 jam menggunakan shaking incubator. Kemudian
isolat dengan umur ±24 jam diinokulasi ke dalam setiap media perlakuan
sebanyak 10% dari total volume media, yaitu 5 mL isolat dalam 50 mL setiap
media perlakuan. Setelah itu, media dibungkus dengan plastik hitam untuk
menghindari media dari kontak langsung terhadap cahaya. Selanjutnya, media
diinkubasi dalam shaking incubator pada suhu 35⁰ C dengan kecepatan medium.
Analisis sampel pada setiap media perlakuan dilakukan pada hari ke
1,3,5,7,9 dan 11 terhadap beberapa parameter, diantaranya derajat keasaman (pH),
kepadatan populasi P. fluorescens, aktivitas enzim selulase dan kadar glukosa,
serta produksi IAA. Analisis dilakukan secara aseptis dengan pengambilan 3 mL
dari setiap media perlakuan dan ±50 µL untuk pengukuran pH. Sebanyak 1 mL
digunakan untuk analisis kepadatan populasi P. fluorescens dengan pengenceran
ber-seri. Kemudian dihitung dengan metode Total Plate Count (TPC) pada media
PCA. Sebanyak 2 mL sisanya disentrifugasi pada suhu 4⁰ C selama 10 menit
dengan kecepatan 10.000 rpm. Supernatan yang diperoleh digunakan untuk
analisis aktivitas selulase dan produksi auksin. Cara kerja yang dilakukan untuk
analisis setiap parameter sebagai berikut.
3.4.3.1 Derajat Keasaman (pH)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH indikator. Sampel
diambil dari setiap media ±50 µL, kemudian diteteskan pada pH indikator, lalu
dilihat perubahan warna pada pH indikator.
3.4.3.2 Kepadatan Populasi
Kepadatan populasi isolat P. fluorescens diukur dengan metode Total
Plate Count (TPC) untuk memperkirakan jumlah sel bakteri setiap 48 jam selama
19
12 hari masa inkubasi. Perhitungan dengan metode TPC dilakukan dengan
pengambilan 1 ml inokulum mikroba untuk diencerkan dalam 9 mL NaCl
fisiologis (0,9%) steril, yang disebut dengan pengenceran ke 10-1
. Kemudian hasil
pengenceran tersebut dimasukkan ke dalam 9 ml NaCl fisiologis (0,9%) steril,
yang disebut dengan pengenceran ke 10-2
. Pengenceran dilakukan hingga 10-7
dengan cara yang sama. Setelah itu, dilakukan pencawanan 3 pengenceran
terakhir (10-5
, 10
-6, 10
-7) dengan tujuan untuk menghitung jumlah koloni bakteri
dengan menggunakan metode sebar pada media PCA dan diinkubasi selama 24
jam pada suhu 37°C. selanjutnya, koloni yang tumbuh diamati dan dihitung
menggunakan colony counter. Jumlah koloni yang memenuhi persyaratan
perhitungan mikroorganisme adalah 30-300 koloni. Persamaan yang digunakan
untuk menghitung kepadatan populasi isolat P.fluorescens adalah sebagai berikut
(Chasanah et al., 2013).
epadatan Sel ( m umlah koloni
1
Keterangan:
CFU /mL: Colony Forming Unit per millilitre (satuan internasional penghitungan
kepadatan sel bakteri
F1: Faktor seri pengenceran
FP: Faktor pengenceran pertama
3.4.3.3 Aktivitas Enzim Selulase dan Kadar Glukosa
Sebelum melakukan pengukuran aktivitas enzim selulase dilakukan
pembuatan kurva standar glukosa dengan interval konsentrasi 100, 200, 300, 400,
500, 600, 700, 800, 900, dan 1000 mM. Masing-masing konsentrasi diambil 1 mL
dan ditambahkan dalam 1 mL pereaksi DNS (Lampiran 5), kemudian
dihomogenkan, lalu dipanaskan menggunakan thermoblock dengan suhu 95ºC
selama 15 menit, selanjutnya didinginkan dan diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 540 nm. Kurva standar yang
terbentuk dapat dilihat pada lampiran 6.
Pengamatan aktivitas enzim selulase dilakukan dengan metode Miller
(1959) yang telah dimodifikasi. Inokulan diambil sebanyak sebanyak 1 mL untuk
disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm pada suhu 4ºC selama 10 menit.
Kemudian, supernatan yang diperoleh diambil sebanyak 100 µL dan dilarutkan
20
dalam 100 µL CMC 1%, dikocok kuat dengan vorteks, dan diinkubasi selama 30
menit pada suhu 30°C dan ditambahkan dengan 200 µL DNS. Penghentian reaksi
enzim dilakukan dengan pemanasan pada thermoblock pada suhu 100°C selama
15 menit, kemudian didinginkan. Selanjutnya, larutan diukur absorbansinya
dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 540 nm.
Perlakuan kontrol dan blanko dilakukan secara bersamaan dengan
prosedur yang sama. Enzim pada kontrol yang akan direaksikan dengan sampel
telah diinaktivasi dengan pemanasan pada thermoblock selama 15 menit. Enzim
pada blanko, dilakukan penggantian antara larutan enzim dengan akuades untuk
direaksikan dengan sampel. Aktivitas enzim diukur pada setiap pengambilan
sampel yang dilakukan, sehingga dapat diketahui waktu yang tepat untuk
memproduksi enzim selulase.
Aktivitas selulase dinyatakan dalam satuan U/mL. Satu unit diasumsikan
sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk memecah 1 µmoL selulosa menjadi
gula pereduksi per menit pada kondisi pengujian. Kadar glukosa yang dihasilkan
diukur absorbansinya pada panjang gelombang 575 nm.
Absorbansi= ((As-Ab)-(Ak-Ab))
Nilai absorbansi yang diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan yang
diperoleh dari kurva standar glukosa. Selanjutnya, aktivitas selulase dihitung
berdasarkan rumus berikut.
Aktivitas selulase(U ⁄mL)=
Keterangan:
As: Absorbansi sampel
Ab: Absorbansi blanko
Ak: Absorbansi kontrol
V: volume enzim (0,1 mL)
t: waktu inkubasi (30 menit)
BM: Bobot Molekul glukosa (180 Dalton).
3.4.3.4 Produksi Auksin
Sebelum melakukan pengukuran produksi auksin dilakukan pembuatan
kurva standar auksin dengan interval konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90,
dan 100 ppm. Masing-masing konsentrasi diambil 1 mL dan ditambahkan dalam 1
kadar glukosa (mg/L) x1000Vxtx BM glukosa
21
mL reagen Salkowski, kemudian dihomogenkan, lalu diinkubasi dalam ruang
gelap selama 25-30 menit, selanjutnya diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 535 nm. Kurva standar yang
terbentuk dapat dilihat pada lampiran 7.
Pengukuran produksi auksin dilakukan dengan mengambil inokulan
sebanyak 1 mL untuk disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm pada suhu 4ºC
selama 10 menit. Supernatan masing-masing 75 µL dihomogenkan dengan 150
µL reagen Salkowski, lalu diinkubasi di ruang gelap selama 25-30 menit.
Suspensi kemudian diukur nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer
UV-Vis pada panjang gelombang 535 nm (Gordon &Weber, 1951).
3.5 Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik. Analisis deskriptif
dilakukan dengan pengamatan pembentukan zona bening pada kemampuan
selulolitik, pelarut P, dan pelarut K. Analisis kemampuan isolat dalam
menghasilkan auksin dilakukan dengan mengamati perubahan warna yang terjadi
pada supernatan setelah diberi pereaksi dan diinkubasi selama ±30 menit.
Analisis statistik dilakukan pada parameter nilai pH, kepadatan populasi,
aktivitas selulase dan produksi auksin. Tujuan dilakukannya analisis adalah
mengetahui konsentrasi LIA dan tepung ikan serta waktu inkubasi optimum bagi
bakteri terhadap keempat parameter tersebut. Analisis statistik dilakukan
menggunakan SPSS 20 (Statistical Package for the Social Science). Analisis yang
digunakan adalah Two-Way ANOVA (Analisis Variat Dua Arah) dengan tingkat
kepercayaan 95% (α 0,05).
Nilai signifikansi ditentukan dengan taraf 5%. Signifikansi dengan nilai
<0,05 menunjukkan bahwa H0 diterima. Signifikansi dengan nilai >0,05
menunjukkan bahwa H0 ditolak. Nilai signifikansi ditentukan untuk mengetahui
pengaruh nyata dari ketiga faktor perlakuan (variabel bebas) terhadap variabel
terikatnya. Apabila terdapat perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan, akan
dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5% untuk
mengetahui perbedaan pengaruh setiap perlakuan.
22
Pengambilan keputusan apakah terdapat pengaruh variasi perlakuan dan
waktu inkubasi terhadap nilai pH, jumlah koloni bakteri, aktivitas selulase, dan
konsentrasi auksin dilakukan dengan menguji H0 dan H1 sebagai berikut.
Derajat Keasaman (pH)
Konsentrasi LIA
H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap nilai pH
H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap nilai pH
Konsentrasi Tepung Ikan
H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap nilai pH
H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap nilai pH
Waktu Inkubasi
H0: Ada pengaruh waktu inkubasi terhadap nilai pH
H1: Tidak ada pengaruh waktu inkubasi terhadap nilai pH
Interaksi LIA dan Tepung Ikan
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang
mempengaruhi nilai pH
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan
yang mempengaruhi nilai pH
Interaksi LIA dan Waktu Inkubasi
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi
yang mempengaruhi nilai pH
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu
inkubasi yang mempengaruhi nilai pH
Interaksi Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu
inkubasi yang mempengaruhi nilai pH
H1: Tidak erdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan
waktu inkubasi yang mempengaruhi nilai pH
Interaksi antara LIA, Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan
waktu inkubasi yang mempengaruhi nilai pH
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan
waktu inkubasi yang mempengaruhi nilai pH
23
Kepadatan Populasi Pseudomonas fluorescens
Konsentrasi LIA
H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap kepadatan populasi
P. fluorescens
H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap kepadatan populasi
P. fluorescens
Konsentrasi Tepung Ikan
H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap kepadatan populasi
P. fluorescens
H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap kepadatan
populasi P. fluorescens
Waktu Inkubasi
H0: Ada pengaruh waktu inkubasi terhadap kepadatan populasi P. fluorescens
H1: Tidak ada pengaruh waktu inkubasi terhadap kepadatan populasi
P.fluorescens
Interaksi LIA dan Tepung Ikan
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang
mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan
yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens
Interaksi LIA dan Waktu Inkubasi
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi
yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu
inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens
Interaksi Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu
inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan
waktu inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens
Interaksi antara LIA, Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan
waktu inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan
waktu inkubasi yang mempengaruhi kepadatan populasi P. fluorescens
24
Aktivitas Selulase
Konsentrasi LIA
H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap aktivitas selulase
H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap aktivitas selulase
Konsentrasi Tepung Ikan
H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap aktivitas selulase
H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap aktivitas selulase
Waktu Inkubasi
H0: Ada pengaruh waktu inkubasi terhadap aktivitas selulase
H1: Tidak ada pengaruh waktu inkubasi terhadap aktivitas selulase
Interaksi LIA dan Tepung Ikan
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang
mempengaruhi aktivitas selulase
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan
yang mempengaruhi aktivitas selulase
Interaksi LIA dan Waktu Inkubasi
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi
yang mempengaruhi aktivitas selulase
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu
inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase
Interaksi Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu
inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan
waktu inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase
Interaksi antara LIA, Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan
waktu inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan
waktu inkubasi yang mempengaruhi aktivitas selulase
Produksi Auksin (IAA)
Konsentrasi LIA
H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap produksi auksin
H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi LIA terhadap produksi auksin
25
Konsentrasi Tepung Ikan
H0: Ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap produksi auksin
H1: Tidak ada pengaruh variasi konsentrasi tepung ikan terhadap produksi auksin
Waktu Inkubasi
H0: Ada pengaruh waktu inkubasi terhadap produksi auksin
H1: Tidak ada pengaruh waktu inkubasi terhadap produksi auksin
Interaksi LIA dan Tepung Ikan
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan yang
mempengaruhi produksi auksin
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan
yang mempengaruhi produksi auksin
Interaksi LIA dan Waktu Inkubasi
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu inkubasi
yang mempengaruhi produksi auksin
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA dan waktu
inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin
Interaksi Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan waktu
inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi tepung ikan dan
waktu inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin
Interaksi antara LIA, Tepung Ikan dan Waktu Inkubasi
H0: Terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan
waktu inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin
H1: Tidak terdapat faktor interaksi antara variasi konsentrasi LIA, tepung ikan dan
waktu inkubasi yang mempengaruhi produksi auksin
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kemampuan Selulolitik Pseudomonas fluorescens
Selulosa adalah kandungan terbanyak dari limbah industri agar-agar yang
akan dimanfaatkan sebagai substrat untuk pupuk hayati, yaitu mencapai 19,7-
20,17%. Aktivitas selulolitik P. fluorescens perlu dianalisis untuk mengetahui
apakah isolat tersebut mampu menghidrolisis selulosa yang terkandung pada
limbah industri agar, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon bagi
isolat dalam produk pupuk hayati untuk menghasilkan zat pemacu tumbuh dan
sebagai agen biokontrol.
Gambar 3. Hasil uji kemampuan selulolitik isolat Pseudomonas fluorescens pada
media CMC 1% yang dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali
dalam 1 cawan petri; A) Koloni bakteri; B) Bagian yang tidak terwarnai
yang menunjukkan selulosa telah terdergradasi ; a) Pengulangan 1;
b) Pengulangan 2; c) Pengulangan 3; C) Bagian yang terwarnai
menunjukkan selulosa yang tidak terdegradasi
Hasil pengujian kemampuan selulolitik dinyatakan positif. Hasil ini
memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk hayati pada Tabel 1, yaitu positif
sebagai perombak bahan organik. Hasil ini ditandai dengan bagian yang tidak
terwarnai kongo merah (zona bening) di sekitar koloni yang dapat diamati pada
gambar 3. Bagian tersebut menunjukkan bahwa P. fluorescens memiliki
kemampuan dalam mendegradasi CMC dengan cara menghasilkan enzim
A B
a
b
c
C
27
selulase. Enzim ini akan berikatan dengan molekul CMC dan memutus rantainya
dan menjadi glukosa.
Hasil tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan Wilson (2011), yang
menjelaskan bahwa enzim selulase memiliki sisi aktif yang terbuka. Bagian
tersebut dapat berikatan dengan molekul selulosa secara acak pada titik yang
dapat diakses pada sepanjang rantai selulosa. Ikatan ini akan membentuk beberapa
potongan, kemudian terpisah dengan rantai. Hal tersebut menyebabkan penurunan
viskositas CMC dan terhidrolisisnya CMC menjadi glukosa.
4.2 Kemampuan Pelarut Fosfat (P) Pseudomonas fluorescens
Hasil pengujian kemampuan pelarutan P dinyatakan positif. Hasil ini
memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk hayati pada Tabel 1, yaitu positif
sebagai pelarut P. Hasil ini ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar
koloni yang dapat diamati pada gambar 4. Bagian tersebut menunjukkan bahwa P.
fluorescens memiliki kemampuan dalam melarutkan CaHPO4 sebagai sumber P
tidak terlarut pada media. Aktivitas tersebut dilakukan isolat dengan melarutkan
kompleks Ca-P dan melepaskan PO43+
(fosfat) yang dapat dimanfaatkan oleh
tumbuhan.
Gambar 4. Hasil uji aktivitas pelarutan P isolat Pseudomonas fluorescens pada
media Pikovskaya yang dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3
kali dalam 1 cawan petri; A) Koloni bakteri; B) Zona bening yang
terbentuk; a) Pengulangan 1; b) Pengulangan 2; c) Pengulangan 3
A
B
a
b
c
28
Hasil tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan Singh et al. (2016),
bakteri pelarut P mampu melarutkan P dengan memproduksi beberapa asam
organik dan melakukan asidifikasi. Asam organik yang banyak diproduksi P.
fluorescens selama proses pelarutan adalah asam glukonat dan sedikit asam
ketoglukonat, oksalat, malat, laktat, suksinat, format dan sitrat (Vyas & Gulati,
2009). Asam-asam tersebut merupakan hasil dari metabolisme bakteri melalui
jalur oksidasi langsung yang terjadi pada bagian terluar membran sitoplasma
(Pande et al., 2017).
4.3 Kemampuan Pelarut Kalium (K) Pseudomonas fluorescens
Hasil pengujian kemampuan pelarutan K dinyatakan positif. Hasil ini
memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk hayati pada Tabel 1, yaitu positif
sebagai pelarut K. Hasil ini ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar
koloni yang dapat diamati pada gambar 5. Bagian tersebut menunjukkan bahwa P.
fluorescens memiliki kemampuan dalam melarutkan KCl sebagai sumber K tidak
terlarut pada media. Aktivitas tersebut dapat dilakukan isolat dengan
memproduksi asam organik yang kemudian akan dilepaskan secara langsung pada
sumber K, sehingga terjadi pemisahan kompleks KCl menjadi K+
dan Cl-.
Gambar 5. Hasil uji aktivitas pelarutan kalium isolat Pseudomonas fluorescens
pada media Aleksandrov yang dilakukan dengan pengulangan
sebanyak 3 kali dalam 1 cawan petri; A) Koloni bakteri; B) Zona
bening yang terbentuk; a) Pengulangan 1; b) Pengulangan 2;
c) Pengulangan 3
A
B a
b c
29
Hasil tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan Masood & Bano (2016),
yang menjelaskan bahwa K dapat dilarutkan dengan menggunakan asam organik.
Proses pelarutan tersebut dinamakan asidolisis. Proses ini terjadi ketika mineral
yang tersedia di tanah membentuk kompleks dengan bakteri menggunakan
polisakarida ekstraselular. Akibatnya terjadi pemutusan rantai mineral dan
pelarutan K yang dipicu oleh penurunan pH yang disebabkan oleh asam organik
yang dieskresikan oleh bakteri. Menurut Meena et al. (2014), asam organik yang
dominan diproduksi bakteri dengan genus Pseudomonas adalah asam tartat,
oksalat, sitrat, asetat, laktat dan malat.
4.4 Kemampuan Produksi Auksin Pseudomonas fluorescens
Hasil pengujian kemampuan produksi IAA dinyatakan positif. Hasil ini
ditunjukkan dengan berubahnya warna suspensi menjadi merah muda atau merah
setelah diberi reagen Salkowski yang dapat diamati pada gambar 6. Perubahan
warna tersebut disebabkan karena adanya reaksi yang terjadi antara IAA yang
dihasilkan P. fluorescens dengan pereaksi Salkowski. Rahman, Sitepu, Tang &
Hashidoko. (2010) menjelaskan bahwa IAA akan berikatan dengan FeCl3 dan
HClO4 membentuk kompleks Fe3+
(tris-indol-3-aceto iron (III)). Kompleks
tersebut akan menimbulkan merah mawar setelah suspensi ditetesi pereaksi
Salkowski.
Gambar 6. Hasil uji kualitatif produksi auksin isolat Pseudomonas fluorescens
yang menunjukkan perubahan warna setelah pemberian pereaksi
Salkowski pada microplate; A) Merah muda; B) Merah
Menurut Rahman et al. (2014), reaksi tersebut merupakan indikator
kapabilitas P. fluorescens dalam melakukan metabolisme L-triptofan menjadi
IAA maupun IAA agonis. IAA tersebut dapat merangsang percabangan akar dan
A B
30
perkembangan akar lateral. P. fluorescens dapat menginisiasi proses tersebut
dengan membentuk koloni di sekitar rizosfer dan akar. Selanjutnya, bakteri ini
menghasilkan TRP transaminase yang mengkatalis deaminasi oksidatif pada TRP
menjadi IPyA.
4.5 Pertumbuhan dan Aktivitas Pseudomonas fluorescens sebagai Agen
Pupuk Hayati
LIA yang mengandung selulosa pada media perlakuan berperan sebagai
sumber karbon, sedangkan tepung ikan berperan sebagai sumber nitrogen bagi P.
fluorescens. Sumber karbon dan nitrogen merupakan sumber nutrisi esensial bagi
pertumbuhan bakteri. Sumber karbon dan nitrogen berkontribusi dalam
keseluruhan efisiensi proses biosintesis yang terjadi selama waktu inkubasi
tertentu (Bharuca et al., 2013).
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi LIA,
tepung ikan dan waktu inkubasi terhadap aktivitas P. fluorescens. Aktivitas
tersebut meliputi perubahan pH, kepadatan populasi, aktivitas selulase dan
produksi auksin. Selanjutnya, dilakukan penentuan komposisi optimum yang
memiliki potensi untuk digunakan dalam memproduksi pupuk hayati. Acuan yang
digunakan dalam penentuan komposisi terbaik adalah Peraturan Menteri Pertanian
No.70 Tahun 2011.
4.5.1 Derajat Keasaman (pH) kultur Pseudomonas fluorescens
Analisis statistik menyatakan bahwa konsentrasi LIA mempengaruhi nilai
pH, dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (Tabel 2). Hasil analisis DMRT yang
menunjukkan signifikansi dari konsentrasi LIA terhadap nilai pH dapat dilihat
pada lampiran 9. Banyaknya konsentrasi LIA menunjukkan banyaknya energi
yang tersedia bagi bakteri untuk melaksanakan proses metaboliknya. Proses ini
akan menghasilkan berbagai metabolit sekunder, asam-asam organik, serta gas
CO2 dan H2CO3. Selama proses metabolik terjadi, maka pH media akan
mengalami perubahan akibat dari adanya perombakan bahan organik dan
dihasilkannya berbagai metabolit sekunder, asam-asam organik dan gas.
31
Analisis statistik menyatakan bahwa waktu inkubasi mempengaruhi nilai
pH, dengan nilai signifikansi sebesar 0,003 (Tabel 2). Hasil analisis DMRT yang
menunjukkan signifikansi dari waktu inkubasi terhadap nilai pH dapat dilihat pada
lampiran 9. Nilai pH cenderung asam pada awal waktu inkubasi karena bakteri
masih aktif melaksanakan proses metabolik. Namun, pH akan cenderung basa
seiring dengan lamanya waktu inkubasi. Hal ini disebabkan karena semakin
berkurangnya aktivitas metabolik yang dilakukan oleh bakteri. Ketika bakteri
memasuki fase stationer, enzim cenderung terdenaturasi karena sudah tidak
banyak nutrien yang dapat dirombak.
Tabel 2. Hasil analisis varian (ANOVA) derajat keasaman (pH) kultur
Pseudomonas fluorescens
Sumber Varians Jumlah
Kuadrat Db Varians Fhitung Sig.
Model Terkoreksi 100.630a
53 1.899 3.038 .000
Intercept 3757.120 1 3757.120 6011.393 .000
LIA 47.907 2 23.954 38.326 .000
TI 1.199 2 .600 .959 .390
Inkubasi 12.630 5 2.526 4.041 .003
LIA * TI 10.440 4 2.610 4.176 .005
LIA * Inkubasi 18.676 10 1.868 2.988 .005
TI * Inkubasi 2.218 10 .222 .355 .960
LIA * TI *
Inkubasi 7.560 20 .378 .605 .892
Error 33.750 54 .625
Total 3891.500 108
Total Terkoreksi 134.380 107
a; R Kuadrat=0,749 (R-Kuadrat yang disesuaikan=0, 502)
Analisis statistik menyatakan bahwa interaksi antara konsentrasi LIA dan
tepung ikan mempengaruhi nilai pH, dengan nilai signifikansi sebesar 0,005
(Tabel 2). Hasil analisis DMRT yang menunjukkan signifikansi dari interaksi
antara konsentrasi LIA dan tepung ikan terhadap nilai pH dapat dilihat pada
lampiran 9. Kombinasi antara variasi konsentrasi LIA dan tepung ikan
menunjukkan banyaknya nutrien yang tersedia pada media. Bakteri cenderung
lebih cepat memanfaatkan nutrien dengan kombinasi variasi konsentrasi yang
lebih tinggi. Hal tersebut terjadi karena kelimpahan nutrien akan membuat bakteri
mampu meningkatkan kepadatannya dengan baik. Peningkatan kepadatan
32
populasi bakteri membuat proses perombakan nutrien lebih cepat dan lebih
banyak. Oleh karena itu, pH media cenderung lebih asam daripada media dengan
konsentrasi awal yang lebih sedikit.
Analisis statistik menyatakan bahwa interaksi antara konsentrasi LIA dan
waktu inkubasi mempengaruhi nilai pH, dengan nilai signifikansi sebesar 0,005
(Tabel 2). Hasil analisis DMRT yang menunjukkan signifikansi dari interaksi
konsentrasi LIA dan waktu inkubasi terhadap nilai pH dapat dilihat pada lampiran
9. Konsentrasi LIA yang tersedia pada awal waktu inkubasi akan dimanfaatkan
secara optimal, karena viabilitas bakteri yang masih baik. Hal tersebut akan
membuat pH cenderung asam. Konsentrasi LIA akan semakin berkurang seiring
dengan lamanya waktu inkubasi. Hal tersebut akan membuat nilai pH cenderung
basa ketika berbagai metabolit sekunder yang dihasilkan bakteri, khususnya enzim
dinyatakan tidak dibutuhkan dalam jumlah yang banyak karena sudah
berkurangnya nutrien yang dapat dirombak bakteri.
Analisis statistik menyatakan bahwa tepung ikan, interaksi antara
konsentrasi tepung ikan dan waktu inkubasi, dan interaksi antara konsentrasi LIA,
tepung ikan dan waktu inkubasi tidak mempengaruhi nilai pH. Nilai signifikansi
interaksi tersebut >0,05 (Tabel 2). Secara keseluruhan, kisaran pH yang terukur
pada kombinasi konsentrasi tepung ikan dengan konsentrasi LIA yang sama tidak
menunjukkan perbedaan secara signifikan seiring dengan lamanya waktu inkubasi
(Gambar 7). Berdasarkan analisis sebelumnya, LIA dan waktu inkubasi yang
memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai pH.
Derajat keasaman (pH) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
bakteri dalam memproduksi berbagai metabolit, seperti enzim dan berbagai
senyawa asam organik (Munifah, 2017; Pande et al., 2017). pH merupakan faktor
kritis pada proses metabolisme, karena fungsi biologis protein bergantung pada
pH. Termodinamika dan kinetika reaksi kimia yang melibatkan proton sebagai
metabolit dipengaruhi pula oleh pH. Perubahan pH mampu mempengaruhi
kekuatan motif proton yang merupakan sumber utama potensial elektrokimia
untuk sintesis ATP (Sánchez-Clemente et al., 2018).
33
Nilai pH pada setiap media perlakuan mengalami fluktuasi, berkisar antara
4,5-7,75 (Gambar 7). Nilai pH tertinggi adalah 7,75, yaitu pada media L2T2 hari
ke- 9 dan 11, L2T3 hari ke- 11, dan L2T3 hari ke- 11. Nilai terendah adalah 4,5,
yaitu pada media L1T2 pada hari ke- 7 dan 9, serta pada media L1T3 hari ke- 7.
Berdasarkan hal tersebut, konsentrasi LIA 1%, tepung ikan 0,2%, waktu inkubasi
hari ke- 7 dan 9 hari menjadi puncak aktivitas metabolisme isolat, sedangkan pada
konsentrasi LIA 2% dan tepung ikan 0,3% pada hari ke- 9 dan 11 menjadi
aktivitas metabolisme terendah. Secara keseluruhan, pH media perlakuan dari hari
ke- 1 hingga hari ke- 11 waktu inkubasi cenderung meningkat.
Gambar 7. Nilai pH Pseudomonas fluorescens pada setiap media perlakuan yang
diukur pada hari ke- 1, 3, 5, 7, 9 dan 11 selama 12 hari waktu inkubasi.
Kisaran nilai pH yang terukur adalah 4,5-7,75
Perubahan pH yang terjadi pada media perlakuan disebabkan oleh adanya
proses metabolisme yang dilaksanakan oleh bakteri. Apabila bakteri sedang
melaksanakan metabolisme, pH media akan berubah menjadi asam, sehingga
media mengalami penurunan pH hingga 3,5. Studi yang dilakukan Jumirah et al.
(2018) menjelaskan bahwa penurunan tersebut disebabkan oleh aktivitas
perombakan karbohidrat, protein dan lemak menjadi asam-asam organik serta
dihasilkannya gas CO2 dan asam H2CO3 yang melepaskan banyak ion H+.
Peningkatan pH disebabkan oleh adanya peningkatan ion amonium (NH4+
)
yang dilepaskan akibat proses perombakan, khususnya saat metabolisme protein
4
4,5
5
5,5
6
6,5
7
7,5
8
1 3 5 7 9 11
pH
Waktu Inkubasi (Hari)
L1T1
L1T2
L1T3
L2T1
L2T2
L2T3
L3T1
L3T2
L3T3
34
dan asam amino. Studi yang dilakukan Singh et al. (2013) menjelaskan bahwa ion
amonium yang dilepaskan dapat menyebabkan denaturasi enzim dan hilangnya
aktivitas enzim. Proses tersebut melepaskan ion yang bersifat negatif. Hal inilah
yang membuat pH cenderung basa.
Studi yang dilakukan Robinson (2015) menjelaskan bahwa perubahan pH
melibatkan proses pelepasan ion H+
dan OH-.
Proses ini terjadi di bagian situs
aktif enzim dan permukaan substrat yang bekerja terhadap enzim secara spesifik.
Proses ionisasi ini dapat menurunkan dan meningkatkan pH dengan adanya
pengikatan antara enzim dan substrat. Semakin banyak konsentrasi substrat yang
tersedia, maka akan semakin banyak pula substrat yang terikat dengan enzim pada
proses metabolisme bakteri.
4.5.2 Kepadatan Populasi Pseudomonas fluorescens
Analisis statistik menyatakan bahwa konsentrasi LIA, tepung ikan, dan
waktu inkubasi serta interaksinya tidak mempengaruhi nilai kepadatan populasi,
dengan signifikansi >0,05 (Tabel 3). Hal tersebut dapat terjadi karena P.
fluorescens memiliki fleksibilitas metabolisme yang tinggi, yaitu mampu
memanfaatkan beragam bahan sebagai sumber energinya. Faktor inilah yang
menyebabkan P. fluorescens memiliki sedikit kriteria dalam proses
pertumbuhannya. Selain itu, bakteri ini juga menyenangi kondisi lingkungan
aerobik dengan aerasi yang baik.
Novik et al. (2015) menjelaskan bahwa bakteri dengan genus
Pseudomonas dapat menggunakan berbagai macam bahan organik sebagai media
tumbuhnya. P. fluorescens dapat tumbuh dengan baik pada media yang terdiri dari
jerami, sekam padi, dan kulit gandum. Ketiganya mengandung selulosa dan
nitrogen. Pada penelitian ini, digunakan dua jenis bahan organik yaitu LIA dan
tepung ikan. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa P.
fluorescens mampu memanfaatkan kedua limbah tersebut menjadi sumber
nutriennya, khususnya sebagai sumber karbon dan sumber nitrogen.
35
Tabel 3. Hasil analisis varians (ANOVA) kepadatan populasi Pseudomonas
fluorescens
Sumber Varians Jumlah
Kuadrat Db Varians Fhitung Sig.
Model
Terkoreksi 522.537
a 53 9.859 .529 .989
Intercept 4875.266 1 4875.266 261.362 .000
LIA 33.606 2 16.803 .901 .412
TI 29.810 2 14.905 .799 .455
Inkubasi 36.108 5 7.222 .387 .855
LIA * TI 34.966 4 8.741 .469 .758
LIA * Inkubasi 148.142 10 14.814 .794 .634
TI * Inkubasi 94.625 10 9.463 .507 .878
LIA * TI *
Inkubasi 145.280 20 7.264 .389 .989
Error 1007.278 54 18.653
Total 6405.081 108
Total Terkoreksi 1529.815 107
a; R Kuadrat=0,342 (R-Kuadrat yang disesuaikan=-0, 305)
Studi yang dilakukan Goncalves et al. (2017) menyatakan bahwa P.
fluorescens menyenangi kondisi yang aerobik untuk tumbuh. Kepadatan populasi
P. fluorescens dapat terukur hingga lebih besar dari 107
CFU/ml dalam kondisi
tersebut. Kondisi aerobik dapat dipertahankan dengan melakukan penggoyangan
kultur selama inkubasi. Penggoyangan kultur juga dapat menjamin ketersediaan
nutrien dan proses aerasi, sehingga bakteri dapat menambah atau cenderung
mempertahankan jumlah kepadatannya selama waktu inkubasi tertentu.
Faktor lain yang menyebabkan P. fluorescens dapat mempertahankan
jumlahnya selama 12 hari masa inkubasi adalah ketersedian garam inorganik pada
media perlakuan. Anion dan kation yang terkandung dalam garam inorganik
digunakan P. fluorescens untuk menghasilkan enzim-enzim tertentu. Nacsa-
Farkas et al. (2016) menjelaskan bahwa garam inorganik dapat memperbaiki
viabilitas dan tingkat pemulihan bakteri. Viabilitas P. fluorescens dapat mencapai
3 bulan dengan adanya garam inorganik tersebut.
36
Gambar 8. Kepadatan populasi Pseudomonas fluorescens (Log sel) pada setiap
media perlakuan yang diukur pada hari ke- 1, 3, 5, 7, 9 dan 11 selama
waktu inkubasi. Kisaran kepadatan populasi yang terukur adalah [7-
10,820 log10] CFU/mL
Kepadatan populasi koloni isolat pada setiap media perlakuan mengalami
fluktuasi, dengan kisaran [7-10,820 log10] CFU/mL (Gambar 8). Kepadatan
populasi tertinggi adalah [10,820 log10] CFU/mL, yaitu pada media L3T3 hari ke-
3. Nilai terendah adalah [7 log10] CFU/mL, yaitu pada media L1T2 hari ke- 5.
Berdasarkan hal tersebut, pada konsentrasi LIA 3% dan tepung ikan 0,3% pada
waktu inkubasi hari ke- 3 isolat berada pada jumlah populasi paling banyak,
sedangkan pada konsentrasi LIA 1% dan tepung ikan 0,2% hari ke- 5, isolat P.
fluorescens berada pada jumlah populasi paling sedikit.
Kepadatan populasi isolat bakteri yang terukur pada jangka waktu tertentu
dapat menggambarkan tahapan atau fase pertumbuhan isolat bakteri sejak awal
hingga tidak menunjukkan adanya aktivitas pada suatu media (Jannah, 2016).
Fase pertumbuhan tersebut diantaranya fase lag (fase adaptasi), fase
eksponensial/logaritmik (fase perbanyakan jumlah bakteri), fase stationer (fase
jumlah sel hidup seimbang dengan sel mati), dan fase kematian (Sugiarti et al.,
2013; Rolfe et al., 2012).
6,500
7,500
8,500
9,500
10,500
11,500
1 3 5 7 9 11
Lo
g
Sel
Waktu Inkubasi (Hari)
L1T1
L1T2
L1T3
L2T1
L2T2
L2T3
L3T1
L3T2
L3T3
37
Fase pertumbuhan yang terbentuk pada penelitian ini dapat diamati pada
Gambar 8. Secara keseluruhan, P. fluorescens mengalami fase lag pada hari ke 1
untuk setiap media. Fase eksponensial (puncak pertumbuhan) dicapai pada hari ke
3 (L1T1, L3T2, dan L3T3), hari ke 5 (L1T2, L2T1, L2T2, L2T3, dan L3T1), dan
hari ke-7 (L1T3). Selanjutnya, untuk hari ke 9-11 bakteri pada setiap media
cenderung berada pada jumlah konstan atau mengalami penurunan, dapat
dikatakan pula memasuki fase kematian.
Berdasarkan pada gambar 8, media terbaik untuk pertumbuhan isolat adalah
media dengan jumlah populasi bakteri terbanyak, yaitu media L3T3, dengan
konsentrasi LIA 3% dan konsentrasi tepung ikan 3%. Fase lag terjadi pada hari
ke- 1, kemudian pada hari ke- 3 isolat mengalami puncak fase eksponensial.
Kepadatan populasi bakteri mengalami penurunan pada hari ke- 5, yang
merupakan awal dari fase stationer. Selanjutnya, pada hari ke-7 hingga 9
kepadatan populasi bakteri mengalami penurunan dan cenderung konstan dengan
jumlah penurunan yang sangat sedikit pada hari ke- 11.
4.5.3 Aktivitas Selulase Pseudomonas fluorescens
Pengukuran aktivitas enzim selulase pada dilakukan untuk menganalisis
aktivitas enzim selulase P. fluorescens pada inokulan selama waktu inkubasi.
Enzim ini digunakan isolat untuk mendegradasi selulosa yang terkandung pada
inokulan. Selulosa perlu didegradasi oleh bakteri untuk dapat dimanfaatkan
sebagai sumber karbon bagi bakteri tersebut. LIA merupakan sumber selulosa
yang digunakan pada penelitian ini.
Analisis statistik menyatakan bahwa konsentrasi LIA mempengaruhi
aktivitas selulase, dengan signifikansi sebesar 0,000 (Tabel 4). Hal ini
menunjukkan bahwa ketersediaan LIA dalam jumlah tertentu mampu
mempengaruhi aktivitas bakteri dalam memproduksi enzim selulase. Aktivitas
enzim ini berkaitan dengan banyaknya enzim yang dapat berikatan dengan
selulosa sebagai substratnya. Proses tersebut akan menyebabkan selulosa
terdegradasi menjadi bentuk yang lebih sederhana untuk dapat dimanfaatkan
bakteri sebagai sumber nutrisinya untuk melakukan pertumbuhan. Hasil analisis
38
DMRT yang menunjukkan signifikansi konsentrasi LIA terhadap aktivitas
selulase dapat dilihat pada lampiran 11.
Tabel 4. Hasil analisis varians (ANOVA) aktivitas selulase Pseudomonas
fluorescens
Sumber Varians Jumlah
Kuadrat Db Varians Fhitung Sig.
Model
Terkoreksi 6.449
a 53 .122 12.253 .000
Intercept 12.504 1 12.504 1259.042 .000
LIA .946 2 .473 47.649 .000
TI .014 2 .007 .686 .508
Inkubasi 2.593 5 .519 52.224 .000
LIA * TI .012 4 .003 .311 .869
LIA * Inkubasi 2.506 10 .251 25.233 .000
TI * Inkubasi .078 10 .008 .783 .645
LIA * TI *
Inkubasi .300 20 .015 1.511 .116
Error .536 54 .010
Total 19.490 108
Total Terkoreksi 6.986 107
a; R Kuadrat=0,923 (R-Kuadrat yang disesuaikan=-0,848)
Studi yang dilakukan Munifah (2017) menjelaskan bahwa aktivitas
selulase dipengaruhi oleh konsentrasi substrat. Semakin banyak substrat yang
tersedia, maka semakin banyak pula substrat yang dapat didegradasi oleh selulase
yang dihasilkan oleh bakteri. Sebaliknya, ketika substrat mulai berkurang
ketersediaannya, maka akan berkurang pula selulase yang dihasilkan oleh bakteri.
Berkurangnya aktivitas enzim berkaitan pula dengan berkurangnya viabilitas
bakteri.
Analisis statistik menyatakan bahwa waktu inkubasi mempengaruhi
aktivitas selulase, dengan signifikansi sebesar 0,000 (Tabel 4). Hasil analisis
DMRT yang menunjukkan signifikansi waktu inkubasi terhadap aktivitas selulase
dapat dilihat pada lampiran 11. Waktu inkubasi berkaitan dengan viabilitas bakteri
pada media. Ketika viabilitas bakteri dalam kondisi optimal, maka bakteri dapat
menghasilkan enzim selulase dengan baik. Viabilitas bakteri optimal dicapai pada
waktu inkubasi 48-72 jam. Namun, semakin lama waktu inkubasi, viabilitas
bakteri akan berkurang seiring dengan berkurangnya nutrien yang tersedia pada
39
media. Hal tersebut menyebabkan ketidakmampuan bakteri dalam menghasilkan
enzim selulase dengan baik.
Analisis statistik menyatakan bahwa interaksi antara konsentrasi LIA dan
waktu inkubasi mempengaruhi aktivitas selulase, dengan signifikansi sebesar
0,000 (Tabel 4). Hasil analisis DMRT yang menunjukkan signifikansi interaksi
konsentrasi LIA dan waktu inkubasi terhadap aktivitas selulase dapat dilihat pada
lampiran 11. Enzim selulase akan lebih banyak dihasilkan di awal waktu inkubasi
ketika konsentrasi LIA masih berlimpah. Namun, enzim selulase akan dihasilkan
sedikit ketika konsentrasi LIA semakin berkurang. Ketersediaan LIA yang
berkurang seiring lamanya waktu inkubasi disebabkan karena di awal waktu
inkubasi, selulosa pada LIA sudah didegradasi oleh selulase dan dimanfaatkan
mikroba sebagai sumber karbonnya.
Analisis statistik menyatakan bahwa tepung ikan, interaksi antara LIA dan
tepung ikan, interaksi antara tepung ikan dan waktu inkubasi serta interaksi antara
konsentrasi LIA, tepung ikan dan waktu inkubasi tidak mempengaruhi aktivitas
selulase. Keempatnya memiliki nilai signifikansi >0,05 (Tabel 4). Hal tersebut
terjadi karena tepung ikan bukan merupakan faktor utama yang dapat
meningkatkan maupun menurunkan aktivitas selulase bakteri. Enzim bekerja pada
substrat yang spesifik, sehingga konsentrasi tepung ikan tidak mempengaruhi
aktivitas selulase bakteri.
Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Astriani (2017)
dan Avellaneda-Torres et al. (2013) yang menyatakan bahwa aktivitas enzim
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis bakteri, waktu inkubasi,
interaksi bakteri dengan jenis substrat dan interaksi substrat dengan waktu. Begitu
pula penelitian yang dilakukan oleh Munifah (2017) yang menyatakan bahwa
enzim dapat bekerja dengan baik ketika perbandingan antara konsentrasi substrat
dan enzim dalam kondisi seimbang.
40
Gambar 9. Aktivitas selulase Pseudomonas fluorescens (U/mL) pada setiap media
perlakuan yang diukur pada hari ke- 1, 3, 5, 7, 9 dan 11 selama 12 hari
waktu inkubasi. Kisaran aktivitas selulase yang terukur adalah 0-1,45
U /mL
Aktivitas selulase isolat pada setiap media perlakuan mengalami fluktuasi,
dengan kisaran 0-1,45 U /mL (Gambar 9). Aktivitas tertinggi terjadi pada media
L3T3 hari ke- 3. Aktivitas terendah terjadi pada media L2T1 hari ke- 1.
Berdasarkan hal tersebut, pada konsentrasi LIA 3% dan tepung ikan 0,3% hari ke
3 menjadi puncak aktivitas selulase isolat, sedangkan pada konsentrasi LIA 2%
dan tepung ikan 0,1% hari ke- 1 isolat mengalami aktivitas terendah. Berdasarkan
hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa aktivitas selulase terbaik terjadi pada
media L3T3 pada waktu inkubasi hari ke-3 dan keseluruhan hasil pengukurannya
memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk hayati, yaitu mampu menghasilkan
enzim selulase dengan konsentrasi yang terukur pada spektrofotometer >0,0
U/mL.
Secara keseluruhan, hampir seluruh media perlakuan memilliki puncak
aktivitas selulase pada hari ke- 3. Setelah hari ke- 3, aktivitas enzim selulase
cenderung konstan. Hasil tersebut sesuai dengan jumlah kepadatan populasi P.
fluorescens yang cenderung banyak ketika mencapai hari ke-3, yaitu fase puncak
eksponensial mikroba. Berdasarkan studi yang dilakukan Lema (2008), fase
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
1 3 5 7 9 11
Ak
tiv
ita
s S
elu
lase
(U
/mL
)
Waktu Inkubasi (Hari)
L1T1
L1T2
L1T3
L2T1
L2T2
L2T3
L3T1
L3T2
L3T3
41
eksponensial hingga fase stationer menjadi fase optimum bagi bakteri untuk
memproduksi enzim selulase.
Peningkatan dan penurunan aktivitas selulase dipengaruhi oleh konsentrasi
substrat. Peningkatan aktivitas enzim disebabkan oleh banyaknya jumlah sel
bakteri yang tumbuh dan menghasilkan enzim selulase akibat melimpahnya
selulosa yang tersedia pada media. Selulosa yang berikatan dengan enzim akan
lebih banyak dan lebih cepat terjadi pada konsentrasi substrat tertinggi.
Berdasarkan studi yang dilakukan Robinson (2015), banyaknya enzim yang
dihasilkan mampu mengaktifkan efek alosterik positif enzim, yaitu bagian enzim
yang memiliki aktivitas katalitik tinggi.
Penurunan aktivitas enzim disebabkan oleh berkurangnya selulosa bagi
bakteri untuk menginduksi biosintesis selulase, sehingga terjadi efek feed back
inhibition. Studi yang dilakukan Lema (2008) menjelaskan bahwa efek tersebut
terjadi karena produk akhir dari kerja enzim akan memberikan efek alosterik
negatif pada lintasan metabolisme. Penyebab efek ini terjadi adalah adanya area
atau bagian enzim yang memiliki aktivitas katalitik rendah.
Berdasarkan pada gambar 13, periode fermentasi meningkat saat inkubasi
mencapai hari ke- 3. Selanjutnya, periode fermentasi mengalami penurunan ketika
mencapai hari ke- 5, untuk hari ke- 7, 9, dan 11 aktivitas cenderung konstan untuk
setiap media. Studi yang dilakukan El-Nahrawy et al. (2017) menjelaskan bahwa
aktivitas enzim akan meningkat pula seiring dengan meningkatnya periode
fermentasi media. Namun akan mengalami penurunan ketika periode fermentasi
media mengalami penurunan.
4.5.4 Produksi Auksin Pseudomonas fluorescens
Analisis statistik menyatakan bahwa konsentrasi LIA mempengaruhi
produksi auksin, dengan signifikansi sebesar 0,017 (Tabel 5). Hasil analisis
DMRT yang menunjukkan signifikansi konsentrasi LIA terhadap produksi auksin
dapat dilihat pada lampiran 12. LIA sebagai sumber karbon berperan dalam
penyediaan energi untuk bakteri. Energi dibutuhkan bakteri, khususnya untuk
proses metabolik yang menghasilkan produk metabolik. Salah satu produk
tersebut adalah auksin yang merupakan zat pemacu tumbuh bagi tanaman.
42
Banyaknya konsentrasi LIA yang terkandung pada media menunjukkan
banyaknya sumber energi yang dapat dimanfaatkan bakteri untuk menghasilkan
auksin.
Analisis statistik menyatakan bahwa konsentrasi tepung ikan
mempengaruhi produksi auksin, dengan signifikansi sebesar 0,000 (Tabel 5).
Hasil analisis DMRT yang menunjukkan signifikansi konsentrasi tepung ikan
terhadap produksi auksin dapat dilihat pada lampiran 12. Salah satu hal yang
dibutuhkan bakteri untuk memproduksi auksin adalah asam amino. Hal itu dapat
diperoleh dengan adanya sumber nitrogen, dalam penelitian ini adalah tepung
ikan. Banyaknya konsentrasi tepung ikan yang terkandung pada media
menunjukkan banyaknya asam amino yang dapat dimanfaatkan bakteri untuk
memproduksi auksin.
Tabel 5. Hasil analisis varians (ANOVA) produksi auksin Pseudomonas
fluorescens
Sumber Varians Jumlah
Kuadrat Db Varians Fhitung Sig.
Model
Terkoreksi 64.190
a 53 1.211 7.260 .000
Intercept 565.894 1 565.894 3392.372 .000
LIA 1.477 2 .739 4.428 .017
TI 5.658 2 2.829 16.959 .000
Inkubasi 15.886 5 3.177 19.046 .000
LIA * TI 7.211 4 1.803 10.806 .000
LIA * Inkubasi 29.922 10 2.992 17.937 .000
TI * Inkubasi 1.178 10 .118 .706 .714
LIA * TI
*Inkubasi 2.859 20 .143 .857 .638
Error 9.008 54 .167
Total 639.092 108
Total Terkoreksi 73.198 107
a; R Kuadrat=0,877 (R-Kuadrat yang disesuaikan=-0, 756)
Analisis statistik menyatakan bahwa waktu inkubasi mempengaruhi
produksi auksin, dengan signifikansi sebesar 0,000 (Tabel 5). Hasil analisis
DMRT yang menunjukkan signifikansi waktu inkubasi terhadap produksi auksin
43
dapat dilihat pada lampiran 12. Waktu inkubasi berkaitan dengan viabilitas bakteri
pada media dalam menghasilkan auksin. Bakteri dapat menghasilkan auksin
dalam jumlah besar pada awal waktu inkubasi, ketika nutrien yang tersedia masih
banyak. Produksi auksin yang optimal juga dapat diperoleh pada pertengahan
waktu inkubasi, ketika pertumbuhan bakteri memasuki fase stationer dengan
kondisi media asam. Hal tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan Jumadi et
al. (2015), Sukmadewi et al. (2015), dan Larosa et al. (2013) yang menyatakan
bahwa fase eksponensial akhir hingga fase stationer awal merupakan fase
optimum bagi bakteri untuk memproduksi auksin.
Analisis statistik menyatakan bahwa interaksi antara konsentrasi LIA dan
tepung ikan mempengaruhi produksi auksin, dengan signifikansi sebesar 0,000
(Tabel 5). Kedua bahan bekerja secara sinergis dalam memproduksi auksin,
Bakteri membutuhkan LIA sebagai sumber karbon untuk mempertahankan
maupun meningkatkan viabilitasnya dengan menambah kepadatan populasinya.
Ketika viabilitasnya optimal, bakteri dapat mengubah tepung ikan menjadi asam
amino untuk produksi auksin. Hasil analisis DMRT yang menunjukkan
signifikansi interaksi konsentrasi LIA dan tepung ikan terhadap produksi auksin
dapat dilihat pada lampiran 12.
Analisis statistik menyatakan bahwa interaksi antara konsentrasi LIA dan
waktu inkubasi mempengaruhi produksi auksin, dengan signifikansi sebesar
0,000 (Tabel 5). Hasil analisis DMRT yang menunjukkan signifikansi interaksi
konsentrasi LIA dan waktu inkubasi terhadap produksi auksin dapat dilihat pada
lampiran 12. Konsentrasi LIA sebagai sumber karbon akan berkurang seiring
lamanya waktu inkubasi. Hal tersebut dapat menstimulasi produksi auksin ketika
bakteri mencapai fase stationernya. Konsentrasi awal LIA yang tinggi dapat pula
menyebabkan lonjakan produksi auksin pada waktu inkubasi hari pertama. Kedua
hal tesebut dapat terjadi dengan syarat kondisi media asam.
Analisis statistik menyatakan bahwa interaksi antara tepung ikan dan
waktu inkubasi serta interaksi antara konsentrasi LIA, tepung ikan dan waktu
inkubasi tidak mempengaruhi produksi auksin, dengan signifikansi >0,05 (Tabel
5). Hal tersebut dapat terjadi karena karakteristik P. fluorescens yang memiliki
44
fleksibilitas metabolisme. Tepung ikan merupakan sumber nitrogen utama pada
media ini, namun ada sumber nitrogen lain yang ditambahkan pada media, yaitu
NH4NO3. Bahan tersebut dapat digunakan ketika jumlah tepung ikan berkurang
seiring waktu. Selanjutnya, keberadaan L-triptofan pada media yang merupakan
asam amino dan berperan sebagai prekursor dalam produksi auksin.
Hal tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan Lasmini & Soetarto
(2014), produksi auksin distimulasi dengan penambahan L-triptofan pada media.
L-triptofan menstimulasi produksi auksin dengan cara melakukan aktivasi
terhadap gen yang dapat menghasilkan beberapa enzim yang terlibat dalam proses
sintesis auksin. Enzim tersebut diantaranya amino transferase, indol-3-piruvat
dekarboksilase, dan indol-3-asetaldehid dehidrogenase. Enzim-enzim ini dapat
dihasilkan apabila media mengandung sumber karbon dan nitrogen yang cukup
untuk bakteri melakukan pertumbuhan.
Gambar 10. Produksi auksin Pseudomonas fluorescens (ppm) pada setiap media
perlakuan yang diukur pada hari ke- 1, 3, 5, 7, 9 dan 11 selama 12
hari waktu inkubasi. Kisaran konsentrasi auksin yang terukur adalah
1,27-4,60 ppm
Produksi auksin isolat pada setiap media perlakuan mengalami fluktuasi,
dengan kisaran 1,27-4,6 ppm (Gambar 10). Produksi tertinggi terjadi pada media
L2T1 hari ke- 3. Produksi terendah terjadi pada media L3T2 hari ke- 9.
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
1 3 5 7 9 11
Pro
du
ksi
Au
ksi
n (
pp
m)
Waktu Inkubasi (Hari)
L1T1
L1T2
L1T3
L2T1
L2T2
L2T3
L3T1
L3T2
L3T3
45
Berdasarkan hal tersebut, pada konsentrasi LIA 2% dan tepung ikan 1% hari ke- 3
menjadi puncak produksi auksin isolat, sedangkan pada konsentrasi LIA 3% dan
tepung ikan 2% hari ke- 9 menjadi produksi auksin terendah isolat. Secara
keseluruhan, produksi auksin dari hari ke- 1 hingga hari ke- 11 waktu inkubasi
cenderung menurun.
Konsentrasi auksin yang dihasilkan bakteri dipengaruhi oleh konsentrasi
substrat pada media. Proses yang terjadi sama dengan yang terjadi pada aktivitas
selulase, yaitu terjadinya efek alosterik positif saat enzim mengkatalis substrat
dalam jumlah yang banyak dan terjadinya efek alosterik negatif ketika substrat
yang tersedia sudah berkurang. Pada kasus ini, substrat yang berperan penting
dalam produksi auksin adalah jumlah asam amino pada tepung ikan yang dapat
dikatalis amino transferase untuk menghasilkan auksin.
Faktor lain yang mempengaruhi produksi auksin adalah keasaman pH dan
ketersediaan karbon. Produksi auksin cenderung meningkat ketika ketersediaan
karbon sedikit, ketika pertumbuhan mikroorganisme mulai menurun dan kondisi
pH asam, yaitu pada fase eksponensial akhir dan fase stationer awal. Produksi
auksin dapat meningkat drastis saat fase eksponensial karena penambahan L-
triptofan eksogen. Bedasarkan studi yang dilakukan Spaepen & Vanderleyden
(2011), ketersediaan L-triptofan yang melimpah akan menginisiasi efek alosterik
positif, dengan padatnya populasi yang tumbuh maka auksin yang diproduksi
akan lebih banyak.
Waktu inkubasi terbaik untuk produksi auksin berdasarkan pada hasil
penelitian adalah hari ke- 3, yaitu pada media L2T1, dengan auksin sebesar 4,6
ppm. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Aziz et al. (2015), Dasri et
al. (2014), dan Sukmadewi et al. (2015) bahwa waktu terbaik bagi bakteri untuk
menghasilkan auksin dalam jumlah maksimum adalah 72 jam, yaitu 3 hari. Pada
periode waktu tersebut, bakteri dapat dikatakan mampu mengkatalis asam amino
menjadi auksin dalam jumlah yang banyak.
46
Produksi auksin yang tinggi juga terjadi pada waktu inkubasi hari ke- 1,
yaitu pada media L3T1, L3T2, dan L3T3. Tingginya produksi disebabkan oleh
ketersediaan L-triptofan dan sumber karbon yang banyak, sehingga bakteri
tumbuh lebih banyak dan dapat mengkatalis asam amino lebih cepat pula. Secara
keseluruhan, auksin yang dihasilkan oleh isolat selama 11 hari waktu inkubasi
memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk hayati (Tabel 1), yaitu mampu
memproduksi auksin dengan konsentrasi yang terukur pada spektrofotometer >0,0
ppm.
47
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Isolat Pseudomonas fluorescens berpotensi sebagai agen pupuk hayati
berbasis LIA dan tepung ikan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70
Tahun 2011. Isolat P. fluorescens memiliki kemampuan mendegradasi selulosa,
pelarut P dan K, serta penghasil auksin. Isolat P. fluorescens mampu tumbuh
dengan baik pada pH 5. Konsentrasi LIA,TI, dan waktu inkubasi optimum bagi
pertumbuhan dan aktivitas selulase P.fluorescens adalah 3% dan 0,3% (media
L3T3) pada hari ke-3. Konsentrasi LIA,TI, dan waktu inkubasi optimum produksi
auksin oleh P.fluorescens adalah 2% dan 0,1% (media L2T1) pada hari ke-3.
Konsentrasi LIA, TI, dan waktu inkubasi optimum bagi P. fluorescens untuk
pupuk hayati adalah 3% dan 0,3%. Penentuan konsentrasi dan waktu inkubasi
optimum berdasarkan jumlah kepadatan populasi P. fluorescens tertinggi.
5.2 Saran
Penelitian terkait potensi isolat P. fluorescens dengan substrat LIA dan
tepung ikan perlu dilakukan uji lebih lanjut, mengenai pengaruh konsentrasi
substrat terhadap pertumbuhan tanaman ketika diaplikasikan terhadap tanaman
tertentu, untuk penentuan konsentrasi LIA dan tepung ikan yang optimum pada
skala lapangan.
48
DAFTAR PUSTAKA
Abbey, L., Glover-Amengor, M., Atikpo, M. O., Atter, A., & Toppe, J. (2017).
Nutrient content of fish powder from low value fish and fish byproducts.
Food Science & Nutrition, 5(3), 374–379.
Afif, A.K. 2011. Pemanfaatan limbah padat proses pengolahan agar PT Agarindo
Bogatama sebagai media tanam hortikultura. (Skripsi). Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Agarwal, T., Saxena, M. K., & Chandrawat, M. P. S. (2014). Production and
optimization of cellulase enzyme by Pseudomonas aeruginosa MTCC 4643
using sawdust as a substrate. International Journal of Scientific and
Research Publications, 4(1), 4–6.
Anand AAP, Vennison SJ, Sankar SG, Prabhu DIG, Vasan PT, Raghuraman T,
Geoffrey CJ & Vendan SE. (2010). Isolation and characterization of bacteria
from the gut of Bombyx mori that degrade cellulose, xylan, pectin and starch
and their impact on digestion. Journal of Insect Science, 10 (107), 1-20.
Anders, D., & Alwaeli, M. (2015). Application of post-filtered diatomaceous
earth. Environment Protection Engineering, 41(3), 159–172.
Aranganathan, & Rajasree, R. (2016). Bioconversion of marine trash fish (MTF)
to organic liquid fertilizer for effective solid waste management and it
efficacy on tomato growth. Management of Environmental Quality: An
International Journal, 27(1), 93–103.
Astriani, M. (2017). Skrining bakteri selulolitik asal tanah kebun pisang (Musa
paradisiaca). Jurnal Biota, 3(1), 6–10.
Avellaneda-Torrez, Pulido, C. P. G., & Rojas, E. T. (2014). Assessment of cellu-
lolytic microorganisms in soils of Nevados Park, Colombia. Brazilian
Journal of Microbiology, 45(4), 1211–1220.
Aziz, K., Nawaz, M., Nazir, J., Anjum, A. A., Yaqub, T., Ahmad, M. U. D., &
Khan, M. (2015). Isolation, characterization and effect of auxin producing
bacteria on growth of Triticum aestivum. Journal of Animal and Plant
Sciences, 25(4), 1003–1007.
Babu, S. V., Triveni, S., Reddy, R. S., & Sathyanarayana, J. (2017). Influence of
application of different formulations of phosphate solubilizing biofertilizers
on soil enzymes in maize crop. International Journal of Current
Microbiology and Applied Sciences, 6(12), 3771–3778.
Basak BB, & Biswas DR (2016) Potentiality of Indian rock phosphate as liming
material in acid soil. Geoderma, 263, 104–109.
49
Basmal, J., Hermana, I., & Sardino. (2016). Utilization of solid waste powder
from agar extraction for plant fertilizer material. Jurnal Pascapanen dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, 11(2), 195–211.
Basmal, J., Munifah, I., Rimmer, M., & Paul, N. (2020). Identification and
characterization of solid waste from Gracilaria sp. extraction. IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science, 1(404), 1–10.
Bhardwaj, D., Ansari, M. W., Sahoo, R. K., & Tuteja, N. (2014). Biofertilizers
function as key player in sustainable agriculture by improving soil fertility,
plant tolerance and crop productivity. Microbial Cell Factories, 13(1), 1–10.
Bharucha, U., Patel, K., & Trivedi, U. B. (2013). Optimization of indole acetic
acid production by Pseudomonas putida UB1 and its effect as plant growth-
promoting rhizobacteria on mustard (Brassica nigra). Agricultural Research,
2(3), 215–221.
Chandra, S., Askari, K., & Kumari, M. (2018). Optimization of indole acetic acid
production by isolated bacteria from Stevia rebaudiana rhizosphere and its
effects on plant growth. Journal of Genetic Engineering and Biotechnology,
16(2), 581–586.
Chasanah, E., Dini, I. R., & Mubarik, N. R. (2013). Karakterisasi enzim selulase
PMP 0126Y dari limbah pengolahan agar. Jurnal Pascapanen dan
Bioteknologi Kelautan Dan Perikanan, 8(2), 103–113.
Dasri, K., Kaewharn, J., Kanso, S., & Sangchanjiradet, S. (2014). Optimization of
indole-3-acetic acid (IAA) production by rhizobacteria isolated from
epiphytic orchids. KKU Research Journal, 19(6), 268–275.
Duca, D. R., Rose, D. R., & Glick, B. R. (2018). Indole acetic acid overproduction
transformants of the rhizobacterium Pseudomonas sp. UW4. Antonie van
Leeuwenhoek, International Journal of General and Molecular
Microbiology.
El-Nahrawy, S., Metwally, M., El-Kodoos, Ri. Y. A., Belai, E.-S. B., Shabana, S.
A., & El-Refai, I. M. (2018). Optimization of culture conditions for
production of cellulase by Aspergillus tubingensis KY615746. BioResources,
1(14), 177–189.
Etesami, H., Emami, S., & Alikhani, H. A. (2017). Potassium solubilizing bacteria
(KSB): Mechanisms, promotion of plant growth, and future prospects – a
review. Journal of Soil Science and Plant Nutrition, 17(4), 897–911.
50
FAO. (2016). The State of World Fisheries and Aquaculture: Contributing to
Food Securitiy and Nutritional for All. Rome: Food and Agriculture
Organization of The United Nations.
Fernández, L., Agaras, B., Zalba, P., Wall, L. G., & Valverde, C. (2012).
Pseudomonas spp. isolates with high phosphate-mobilizing potential and root
colonization properties from agricultural bulk soils under no-till
management. Biology and Fertility of Soils, 48(7), 763–773.
Friedman, M. (2018). Analysis, nutrition, and health benefits of tryptophan.
International Journal of Tryptophan Research, 11, 1–12.
Genisa, R. M. U., Agus, R., & Hatta, M. (2015). Pengaruh konsentrasi celite
(diatom) terhadap hasil isolasi DNA bakteri Escherichia coli. Maspari
Journal, 7(2), 85–90.
Ghaly, A., Ramakrishnan, V., Brooks, M., Budge, S., & Dave, D. (2013). Fish
processing wastes as a potential source of proteins, amino acids and oils: A
critical review. Journal of Microbial & Biochemical Technology, 5(4), 107–
129.
Glick, B. R. (2013). Bacteria with ACC deaminase can promote plant growth and
help to feed the world. Microbiological Research, 169(1), 30–39.
Goncalves, L. D. dos A., Piccoli, R. H., Peres, A. de P., & Saude, A. V. (2017).
Predictive modeling of Pseudomonas fluorescens growth under different
temperature and pH values. Brazilian Journal of Microbiology, 8(48), 352–
358.
Gordon, S. A., & Weber, R. P. (1951). Colorimetric estimation of indoleacetic
acid. Plant Physiology, 26(1), 192–195.
Gupta, R., Singal, R., Shankar, A., Kuhad, R. C., & Saxena, R. K. (1994). A
modified plate assay for screening phosphate solubilizing microorganism.
Journal of General and Applied Microbiology, 40(3), 255–260.
Gupta, P., Samant, K., & Sahu, A. (2012). Isolation of cellulose-degrading
bacteria and determination of their cellulolytic potential. International
Journal of Microbiology, 2012, 1–5.
Hartanti. (2010). Isolasi dan seleksi bakteri selulolitik termofilik dari kawah air
panas Gunung Pancar, Bogor, (Skripsi), Institut Pertanian Bogor.
Husen, E., Simanungkalit, R. D. M., & Saraswati, R. (2007). Buku Biologi Tanah.
Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
51
Ire, F. S., & Berebon, D. P. (2016). Production and characterization of crude 1,4
β-endoglucanase by Pseudomonas aeruginosa using corn (Zea mays)
cobs and pawpaw (Carica papaya) fibres as substrates. Journal of
Advances in Biology & Biotechnology, 8(4), 1–16.
Jabin, P. P. N., & Ismail, S. (2017). Solubilization of insoluble potassium by
different microbial isolates in vitro condition. International Journal of
Current Microbiology and Applied Sciences, 6(10), 3600–3607.
Jannah, R. (2016). Pengaruh aplikasi bakteri Bacillus cereus dan Pseudomonas
aeruginosa terhadap produktivitas tanaman padi yang terinfeksi penyakit
blas sebagai referensi mata kuliah mikrobiologi. (Skripsi). Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh.
Jeong, G. T., Ra, C. H., Hong, Y. K., Kim, J. K., Kong, I. S., Kim, S. K., & Park,
D. H. (2015). Conversion of red-algae Gracilaria verrucosa to sugars,
levulinic acid and 5-hydroxymethylfurfural. Bioprocess and Biosystems
Engineering, 38(2), 207–217.
Jumadi, O., Liawati, & Hartono. (2015). Produksi zat pengatur tumbuh IAA
(Indole Acetic Acid) dan kemampuan pelarutan fosfat pada isolat bakteri
penambat nitrogen asal Kabupaten Takalar. Jurnal Bionature, 16(1), 43 49.
Jumirah, Jati, A. W. N., & Yulianti, L. I. M. (2018). Kualitas pupuk cair organik
dengan kombinasi limbah ampas jamu dan limbah ikan. Biota, 3(2), 53–61.
Kavallieratos, N. G., Athanassiou, C. G., Vayias, B. J., Kotzamanidis, S., &
Synodis, S. D. (2010). Efficacy and adherence ratio of diatomaceous earth
and spinosad in three wheat varieties against three stored-product insect
pests. Journal of Stored Products Research, 46(2), 73–80.
Kholida, F. T., & Zulaika, E. (2015). Potensi Azotobacter sebagai penghasil
hormon IAA (Indole-3-Acetic Acid). Jurnal Sains dan Seni ITS, 4(1), 2009–
2011.
Kim GS, Myung KS, Kim YJ, Oh KK, Kim JS, Ryu HJ, & Kim KH. (2008).
Method of Producing Biofuel Using Sea Algae. Seoul (KR): World
Intelectual Property Organization.
Kuhad RC, Gupta R, Singh A. (2011). Microbial cellulases and their industrial
applications. Enzyme Research, 1-10.
Larosa, S. F., Kusdiyantini, E., Raharjo, B., & Sarjiya, A. (2013). Kemampuan
isolat bakteri penghasil Indole Acetic Acid (IAA) dari tanah gambut
Sampit Kalimantan Tengah. Jurnal Biologi, 2(3), 41–54.
52
Lasmini, T., & Soetarto, E. S. (2014). Khamir penghasil Indole-3-Acetic Acid dari
rhizosfer anggrek tanah Pecteilis susannae (L.) Rafin. Biogenesis, 2(1), 56–
62.
Lema, A. T. H. (2008). Viabilitas isolat-isolat bakteri selulolitik pada bahan
pembawa gambut. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor
Lestari, M. D., Sudarmin, & Harjono. (2017). Optimasi ekstraksi selulosa dari
limbah pengolahan agar (Gracilaria verrucosa) sebagai prekursor bioetanol.
Indonesian Journal of Chemical Science, 6(3), 209–214.
Liliasari, G. A. A. (2016). Degradasi bahan organik limbah cair tepung ikan
dengan penambahan variasi konsentrasi bioaktivator dan variasi lama
fermentasi. (Skripsi), Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahin,
Malang.
Ljung, K. (2013). Auxin metabolism and homeostasis during plant development.
Development (Cambridge), 140(5), 943–950.
López-Mosquera, M. E., Fernández-Lema, E., Villares, R., Corral, R., Alonso, B.,
& Blanco, C. (2011). Composting fish waste and seaweed to produce a
fertilizer for use in organic agriculture. Procedia Environmental Sciences, 9,
113–117.
Mandels, M., & Reese, E. T. (1957). Induction of cellulase in Trichoderma viride
as influenced by carbon sources and metals. Journal of Bacteriology, 73(2),
269–278.
Masood, S., & Bano, A. (2016). Mechanism of potassium solubilization in the
agricultural soils by the help of soil microorganism. Potassium Solubilizing
Microorganisms for Sustainable Agriculture, 1(10), 137–146.
Meena, V. S., Maurya, B. R., & Verma, J. P. (2014). Does a rhizospheric
microorganism enhance K+ availability in agricultural soils?.
Microbiological Research, 169(5–6), 337–347.
Miller, G. L. (1959). Use of dinitrosalicylic acid reagent for determination of
reducing sugar. Analytical Chemistry, 31(3), 426–428.
Miller, S. I., & Salama, N. R. (2018). The gram-negative bacterial periplasm: Size
matters. PLoS Biology, 16(1), 1–7.
Moat, A. G., Foster, J. W., & Spector, M. P. (2002). Microbial Physiology. 4th
edition. 664–665. New York: Wiley-Liss Inc.
53
Mohanty, B., Mahanty, A., Ganguly, S., Sankar, T. V., Chakraborty, K.,
Rangasamy, A., & Sharma, A. P. (2014). Amino acid composition of 27 food
fishes and their importance in clinical nutrition. Journal of Amino Acids, 1–7.
Mubarik, N. R., Mahagiani, I., Anindyaputri, A., Santoso, S., & Rusmana, I.
(2010). Chitinolytic bacteria isolated from chili rhizosphere: Chitinase
characterization and its application as biocontrol for whitefly (Bemisia tabaci
genn.). American Journal of Agricultural and Biological Science, 5(4), 430–
435.
Munifah, I. (2013). Produksi dan karakterisasi enzim selulase dari limbah
pengolahan rumput laut. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, 16, 221-227.
Munifah, I. (2017). Bakteri penghasil selulase dan potensinya sebagai
pendegradasi limbah padat industri agar-agar. (Disertasi). Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Mursyida E, Mubarik NR, Tjahjoleksono A. (2015). Selection and identification
of phosphate-potasium solubilizing bacteria from the area around the
limestone mining in Cirebon quarry. Research Journal of Microbiology.
10(6):270-279.
Nabti, Elhafid, Anton Hartmann, B. Jha. (2016). Impact of seaweeds on
agricultural crop production as biofertilizer. International Journal of
Environmental Sciences and Technology.
Nacsa-Farkas, E., Kerekes, E. B., Hargitai, F., Vágvölgyi, C., & Szegedi, E.
(2016). Culture media supplemented with inorganic salts improve the growth
and viability of several bacterial strains. Acta Biologica Szegediensis, 60(2),
151–156.
Nandimath, A. P., Kharat, K. R., Gupta, S. G., & Kharat, A. S. (2016).
Optimization of cellulase production for Bacillus sp. and Pseudomonas sp.
soil isolates. African Journal of Microbiology Research, 10(13), 410–419.
Novik, Galina., Savich, Victoria., & Kiseleva, Elena. (2015). An insight into
beneficial Pseudomonas bacteria. Microbiology in Agriculture and Human
Health, 1(5). 73-105.
Oteino, N., Lally, R. D., Kiwanuka, S., Lloyd, A., Ryan, D., Germaine, K. J., &
Dowling, D. N. (2015). Plant growth promotion induced by phosphate
solubilizing endophytic Pseudomonas isolates. Frontiers in Microbiology,
6(745), 1–9.
54
Pande, A., Pandey, P., Mehra, S., Singh, M., & Kaushik, S. (2017). Phenotypic
and genotypic characterization of phosphate solubilizing bacteria and their
efficiency on the growth of maize. Journal of Genetic Engineering and
Biotechnology, 15(2), 379–391.
Panpatte, Deepak G., Yogeshvari K. Jhala, Harsha N. Shelat &Rajababu V. Vyas.
(2016). Pseudomonas fluorescens:A promising biocontrol agents and
PGPR for sustainable agriculture. Microbial Inoculants in Sustainable
Agricultural Productivity, 257-270.
Papenfus, H. B., Kulkarni, M. G., Stirk, W. A., Finnie, J. F., & Van Staden, J.
(2013). Effect of a commercial seaweed extract (Kelpak®) and polyamines
on nutrient-deprived (N, P and K) okra seedlings. Scientia Horticulturae,
151, 142–146.
Permentan. (2011). Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Peraturan Menteri
Pertanian Republik Indonesia/SR.140/10/2011 Tentang Pupuk Organik,
Pupuk Hayati Dan Pembenah Tanah. Permentan, 16.
Rahmadani, A. H., & Susanti, E. (2013). Kajian potensi limbah pertanian sebagai
sumber karbon pada produksi avicelase dan CMCase dari Bacillus circulans.
Valensi, 3(2), 82–87.
Rahman, A., Sitepu, I.R., Tang, S.Y., & Hashidoko, Y. (2010). Salkowski’s
reagent test as a primary screening index for functionalities of rhizobacteria
isolated from wild dipterocarp saplings growing naturally on medium-
strongly acidic tropical peat soil. Bioscience, Biotechnology, Biochemical,
74(11), 1-7
Ramalingam, V., Thirunavukkarasu, N., Chandy, N., & Rajaram, R. (2014).
Proximate composition of trash fishes and their utilization as organic
amendment for plant growth. Journal Marine Biological Association of
India, 56(2), 10–15.
Rahmawati, Lisa Maulida. (2016). Pengaruh produk biofertilizer rumput laut
(Ascophyllum nodosum) komersial terhadap perubahan kualitas air pada
sistem akuaponik. (Skripsi). Universitas Airlangga, Surabaya.
Robinson, P. K. (2015). Enzymes: principles and biotechnological applications.
Essays in Biochemistry, 59, 1–41.
Rolfe, M. D., Rice, C. J., Lucchini, S., Pin, C., Thompson, A., Cameron, A. D. S.,
& Hinton, J. C. D. (2012). Lag phase is a distinct growth phase that prepares
bacteria for exponential growth and involves transient metal accumulation.
Journal of Bacteriology, 194(3), 686–701.
55
Sari, R. N., & Assadad, L. (2013). Optimasi waktu proses hidrolisis dan
fermentasi dalam produksi bioetanol dari limbah pengolahan agar
(Gracilaria sp.) industri. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Perikanan,
8(2), 133–141.
Sánchez-clemente, R., Igeño, M. I., Población, A. G., Guijo, M. I., Merchán, F., &
Blasco, R. (2018). Study of pH changes in media during bacterial growth of
several environmental strains. Proceedings, 2(1297), 1–5.
Scales, B. S., Dickson, R. P., Lipuma, J. J., & Huffnagle, G. B. (2014).
Microbiology, genomics, and clinical significance of the Pseudomonas
fluorescens species complex, an unappreciated colonizer of humans. Clinical
Microbiology Reviews, 27(4), 927–948.
Shah, M. A., & Khan, A. A. (2014). Use of diatomaceous earth for the
management of stored-product pests. International Journal of Pest
Management, 60(2), 100–113.
Shanware, A. S., Kalkar, S. A., & Trivedi, M. M. (2014). Potassium solublisers:
occurrence, mechanism and their role as competent biofertilizers.
International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences, 3(9),
622–629.
Siddhanta AK, Prasad K, Meena R, Presad G, Mehta GK, Chhtabar MU. (2009).
Profiling of cellulose content in Indian seaweed species. Bioresearch of
Technology, 100(24), 669-673.
Singh, P. B., Saini, H. S., & Kahlon, R. S. (2016). Pseudomonas: The versatile
and adaptive metabolic network. Pseudomonas: Molecular and Applied
Biology, 1(3), 81-126.
Singh, M., Dotaniya, M. L., Mishra, A., Dotaniya, C. K., Regar, K. L., & Lata, M.
(2016). Role of biofertilizers in conservation agriculture. Conservation
Agriculture, 1(4), 113–134.
Singh, A. K., Masih, H., Nidhi, P., Kumar, Y., Peter, J. K., & Mishra, S. K.
(2013). Production of biofertilizer from agrowaste by using thermotolerant
phosphate solubilising bacteria. International Journal of Bioinformatics and
Biological Science, 1(2), 129–133.
Smith, P., Cotrufo, M. F., Rumpel, C., Paustian, K., Kuikman, P. J., Elliott, J. A.,
Scholes, M. C. (2015). Biogeochemical cycles and biodiversity as key
drivers of ecosystem services provided by soils. Soil, 1(2), 665–685.
Soesanto, L., Mugiastuti, E., & Rahayuniati, R. F. (2011). Morphological and
Physiological features of Pseudomonas fluorescens P60, 1–11.
56
Spaepen, S., & Vanderleyden, J. (2011). Auxin and plant-microbe interactions.
Cold Spring Harbor Perspectives in Biology, 3(4), 1–13.
Stiger-Pouvreau VS, Bourgougnon N, & Deslandes E. (2016). Carbohydrates
from seaweeds. Book: Seaweed in Health and Disease Prevention. Elsevier
Inc.
Sugiarti, S., Sakti, S. P., & Juswono, U. P. (2013). Pemanfaatan Pseudomonas
putida dan Pseudomonas fluorescens sebagai biosensor untuk mengukur
kadar BOD 5 dalam air. Natural B, 2(2), 134–139.
Sukmadewi, D. K. T., Suharjono, & Antonius, S. (2015). Uji potensi bakteri
penghasil hormon IAA (Indole Acetic Acid) dari tanah rhizosfer cengkeh
(Syzigium aromaticum L .). Jurnal Biotropika, 3(2), 1–5.
Sundari, I., Maruf, W. F., & Dewi, E. N. (2014). Pengaruh penggunaan
bioakivator EM4 dan penambahan tepung ikan terhadap spesifikasi pupuk
organik cair rumput laut Gracilaria sp. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi
Hasil Perikanan, 3(3), 88–94.
Suparmi, & Sahri, A. (2009). Mengenal potensi rumput laut : Kajian pemanfaatan
sumber daya rumput laut dari aspek industri dan kesehatan. Sultan Agung,
XLIV(118), 95–116.
Tacon, A. G. J., & Metian, M. (2009). Fishing for Aquaculture : Non-food use of
small pelagic forage fish — A global perspective. Review in Fisheries
Science, 17(3), 37–41.
Teather, R. M., & Wood, P. J. (1982). Use of Congo red-polysaccharide
interactions in enumeration and characterization of cellulolytic bacteria
from the bovine rumen. Applied and Environmental Microbiology, 43(4),
777–780.
Vandana, U. K., Chopra, A., Bhattacharjee, S., & Mazumder, P.B. (2017).
Microbial biofertilizer: A potential tool for sustainable agriculture.
Microorganism for Green Revolution, Microorganism for Sustainabiity,
6(2), 25–52.
Vyas, P., & Gulati, A. (2009). Organic acid production in vitro and plant growth
promotion in maize under controlled environment by phosphate solubilizing
fluorescent Pseudomonas. BMC Microbiology, 9(174), 1–15.
Wilson, D. B. (2011). Microbial diversity of cellulose hydrolysis. Current
Opinion in Microbiology, 14(3), 259–263.
57
Yang, F. L., Liang, G. W., Xu, Y. J., Lu, Y. Y., & Zeng, L. (2010). Diatomaceous
earth enhances the toxicity of garlic, Allium sativum, essential oil against
stored-product pests. Journal of Stored Products Research, 46(2), 118-123.
Zahroh, F., Setyawati, S. M., & Kusrinah. (2018). Perbandingan variasi
konsentrasi pupuk organik cair dari limbah ikan terhadap pertumbuhan
tanaman cabai merah (Capsicum annum L.). Al-Hayat: Journal of Biology
and Applied Biology, 1(1), 50–57.
58
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rancangan Percobaan
Faktor A Faktor B Faktor C
H1 H3 H5 H7 H9 H11
T1 L1T1H1 L1T1H3 L1T1H5 L1T1H7 L1T1H9 L1T1H11
L1 T2 L1T2H1 L1T2H3 L1T2H5 L1T2H7 L1T2H9 L1T2H11
T3 L1T3H1 L1T3H3 L1T3H5 L1T3H7 L1T3H9 L1T3H11
T1 L2T1H1 L2T1H3 L2T1H5 L2T1H7 L2T1H9 L2T1H11
L2 T2 L2T2H1 L2T2H3 L2T2H5 L2T2H7 L2T2H9 L2T2H11
T3 L2T3H1 L2T3H3 L2T3H5 L2T3H7 L2T3H9 L2T3H11
T1 L3T1H1 L3T1H3 L3T1H5 L3T1H7 L3T1H9 L3T1H11
L3 T2 L3T2H1 L3T2H3 L3T2H5 L3T2H7 L3T2H9 L3T2H11
T3 L3T3H1 L3T3H3 L3T3H5 L3T3H7 L3T3H9 L3T3H11
Desain tata letak percobaan (secara acak)
L1T1-U1-s1, s2 ,s3 L1T3-U2-s1, s2 ,s3 L1T2-U1-s1, s2 ,s3
L1T3-U1-s1, s2 ,s3 L1T2-U2-s1, s2 ,s3 L1T1-U2-s1, s2 ,s3
L2T2-U2-s1, s2 ,s3 L2T1-U1-s1, s2 ,s3 L2T3-U1-s1, s2 ,s3
L2T1-U2-s1, s2 ,s3 L2T3-U2-s1, s2 ,s3 L2T2-U1-s1, s2 ,s3
L3T3-U1-s1, s2 ,s3 L3T2-U2-s1, s2 ,s3 L3T1-U2-s1, s2 ,s3
L3T2-U1-s1, s2 ,s3 L3T1-U1-s1, s2 ,s3 L3T3-U2-s1, s2 ,s3
Keterangan:
L1 : LIA (Limbah Industri Agar) 1%
L2 : LIA 2%
L3 : LIA 3%
T1 : Tepung Ikan 0,1%
T2 : Tepung Ikan 0,2%
T3 : Tepung Ikan 0,3%
H1 : Hari ke-1
H3 : Hari ke-3
H5 : Hari ke-5
H7 : Hari ke-7
H9 : Hari ke-9
H11 : Hari ke-11
U : Ulangan
s : Sub ulangan
59
Lampiran 2. Diagram Alur Penelitian
Derajat
keasaman
(pH)
Kepadatan
populasi;
TPC (30-300 sel)
Analisis konsentrasi media perlakuan dan
waktu inkubasi optimum P.fluorescens
terhadap
Analisis kemampuan
P. fluorescens sebagai agen
pupuk hayati
Isolat P. fluorescens
Preparasi;
Peremajaan isolat, pewarnaan Gram, pembuatan
media, larutan pereaksi, dan kurva standar
Pengamatan zona bening;
Perombak selulosa,
pelarutan P dan K
Pengamatan perubahan
warna sampel;
Produksi auksin
Aktivitas selulase;
Spektrofotometri
(540 nm)
Produksi auksin;
Spektrofotometri
(530 nm)
Analisis statistik;
Two-Way Anova
(SPSS)
60
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian
Stok Gliserol Isolat. Biakan Agar Miring Isolat PF
(Pseudomonas fluorescens).
Biakan Cair Isolat PF Pengukuran pH
Limbah Industri Agar. Tepung Ikan.
61
Media Perlakuan Konsentrasi Limbah 1%.
Media Perlakuan Konsentrasi Limbah 2%. Media Perlakuan Konsentrasi Limbah 3%
Pembuatan Kurva Standar Auksin. Pembuatan Kurva Standar Glukosa.
Pengukuran Aktivitas Selulase. Pengukuran Produksi Auksin
62
Lampiran 4. Metode Pembuatan Media Uji
Media NA dan NB
Media yang digunakan untuk peremajaan dan pemurnian isolat bakteri
adalah media NA (Nutrient Agar). Media dibuat dengan melarutkan 28 g NA ke
dalam 1000 mL akuades, kemudian dilarutkan dan disterilisasi dengan autoklaf
dengan suhu 121°C.
Media NB (Nutrient Broth) dibuat dengan melarutkan 13 g NB ke dalam
1000 mL akuades, kemudian dilarutkan dan disterilisasi dengan autoklaf dengan
suhu 121°C.
Media Mandels & Reese
Media Mandels & Reese digunakan untuk konfirmasi potensi selulolitik
isolat bakteri. Pembuatan media ini dilakukan dengan melarutkan 1% CMC dalam
air panas hingga homogen. Kemudian dilarutkan dengan bahan lainnya yaitu 1
g/L KH2PO4; 0,5 g/L MgSO4.7H2O; 0,5 g/L NaCl; 0,01 g/L FeSO4.7H2O; 0,01
g/L MnSO4.7H2O; 0,3 g/L NH4NO3; 1 g/L Glukosa; 2 g/L Yeast Ekstrak; 0,04 g/L
CaCl2.2H2O, dan 15 g/L Agar. Selanjutnya media disterilisasi dengan autoklaf
dengan suhu 121°C.
Media Pikovskaya
Media Pikovskaya merupakan media selektif yang digunakan untuk
mengetahui kemampuan isolat bakteri dalam melarutkan fosfat. Pembuatan media
dilakukan dengan melarutkan 5 g CaHPO4, 10 g glukosa, 0,5 g (NH4)2SO4, 0,1 g
MgSO4.2H2O, MnSO4, FeSO4, 0,5 g Yeast ekstrak, dan 15 g Agar ke dalam 1000
mL akuades. Selanjutnya media disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 121°C.
Media Aleksandrov
Media Aleksandrov merupakan media selektif yang digunakan untuk
mengetahui kemampuan isolat bakteri dalam melarutkan potassium (kalium).
Pembuatan media dilakukan dengan melarutkan 5 g glukosa, 0,5 g MgSO4,
0,0006 g FeCl3, 0,1 g CaCO3, 2 g CaHPO4, 3 g KCl, 20 g agar ke dalam 1000 mL
air. Selanjutnya media disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 121°C.
63
Lampiran 5. Metode Pembuatan Reagen Uji
Larutan Garam Rochelle
Sebanyak 400 g garam Rochelle (kalium natrium tartrat tetrahidrat,
C4H4KNaO6) dilarutkan dalam 1000 mL akuades.
Pereaksi DNS
NaOH sebanyak 10 g dilarutkan dalam 200 mL akuades pada Erlenmeyer
1000 mL, kemudian ditambahkan 182 g Rochelle, 2 g Fenol, 0,5 g Na2S3O3, lalu
ditambahkan akuades hingga mencapai volume 1000 mL dan ditambahkan 10 g
DNS, diaduk perlahan hingga seluruh bahan homogen dan disimpan dalam botol
gelap pada suhu 4°C.
Larutan Bufer sodium sitrat (50 mM, pH 4.8)
Asam sitrat monohidrat sebanyak 21 g dilarutkan dalam 75 mL akuades,
kemudian ditambahkan dengan 5 g NaOH hingga mencapai pH 4.5. Larutan ini
merupakan larutan stok buffer sodium sitrat 1 M. Selanjutnya dilakukan
pengenceran sebanyak 19 kali untuk mendapatkan konsentrasi akhir 50 mM.
Larutan 1% CMC
Sebanyak 1 g CMC dilarutkan dalam 100 mL buffer sodium sitrat (50
mM, pH 4,8).
Pereaksi Salkowski
Sebanyak 8,12 g FeCl3 dilarutkan dengan akuades dalam erlenmeyer 100
mL dan cukupkan volume sampai 100 mL. Campurkan 1mL larutan FeCl3 dengan
50 mL HClO4 35% dalam botol gelap.
Larutan Stok IAA
Sebanyak 0,01 g IAA dilarutkan dengan 50 mL akuades dalam beaker
glass menggunakan magnetic stirer lalu cukupkan volume menjadi 100 mL.
64
Lampiran 6. Kurva Standar Glukosa
Lampiran 7. Kurva Standar Auksin
y = 0,2492x - 0,0455 R² = 0,9911
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Ab
sorb
ansi
pad
a 5
40
nm
Glukosa (mM)
y = 0,1859x - 0,1036 R² = 0,9972
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Ab
sorb
ansi
pad
a 5
35
nm
Konsentrasi Auksin (ppm)
65
Lampiran 8. Analisis Kemampuan Isolat Pseudomonas fluorescens
Kemampuan Selulolitik
No
Diameter (mm)
IS*
(B/A) Keterangan Koloni
(A)
Total
(B)
Zona
Bening
(C=B-A)
a. 6 14 8 1,33 +
b. 9 16 7 0,77 +
c. 8 14 6 0,75 +
Rata-Rata 0,95 mm Positif
*IS adalah indeks selulolitik
Kemampuan Pelarut Fosfat
No
Diameter (mm)
IPF*
(B/A) Keterangan Koloni
(A)
Total
(B)
Zona
Bening
(C=B-A)
a. 6 10 4 0,67 +
b. 5 8 3 0,60 +
c. 6 10 4 0,67 +
Rata-Rata 0,65 mm Positif
*IPF adalah indeks pelarutan fosfat
Kemampuan Pelarut Kalium
No
Diameter (mm)
IPK*
(B/A) Keterangan Koloni
(A)
Total
(B)
Zona
Bening
(C=B-A)
a. 8 10 2 0,25 +
b. 4 6 2 0,5 +
c. 8 10 2 0,25 +
Rata-Rata 0,33 mm Positif
*IPK adalah indeks pelarutan kalium
Lam
pir
an 9
. H
asil
Anal
isis
Sta
tist
ik D
eraj
at K
easa
man
(pH
) kult
ur
Pse
udo
monas
fluore
scen
s
Ko
nse
ntr
asi
LIA
K
onse
ntr
asi
Tep
un
g I
kan
W
aktu
In
kub
asi
Rer
ata
Sta
nd
ar D
evia
si
N
L1
T1
Har
i ke-
1
6.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
3
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
5
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
7
5.2
500
1.0
606
6
2
Har
i ke-
9
5.2
500
1.0
606
6
2
Har
i ke-
11
6
.00
00
1.4
142
1
2
To
tal
5.4
167
.76
376
12
T2
Har
i ke-
1
6.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
3
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
5
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
7
4.5
000
.00
000
2
Har
i ke-
9
4.5
000
.00
000
2
Har
i ke-
11
5
.00
00
.00
000
2
To
tal
5.0
000
.52
223
12
T3
Har
i ke-
1
6.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
3
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
5
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
7
4.5
000
.00
000
2
Har
i ke-
9
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
11
5
.00
00
.00
000
2
To
tal
5.0
833
.46
872
12
To
tal
Har
i ke-
1
6.0
000
.00
000
6
Har
i ke-
3
5.0
000
.00
000
6
Har
i ke-
5
5.0
000
.00
000
6
Har
i ke-
7
4.7
500
.61
237
6
Har
i ke-
9
4.9
167
.58
452
6
Har
i ke-
11
5
.33
33
.81
650
6
To
tal
5.1
667
.60
945
36
L2
T1
Har
i ke-
1
6.7
500
.35
355
2
Har
i ke-
3
5.5
000
.00
000
2
Har
i ke-
5
6.2
500
1.0
606
6
2
Har
i ke-
7
6.0
000
1.4
142
1
2
66
Har
i ke-
9
6.0
000
1.4
142
1
2
Har
i ke-
11
6
.25
00
1.0
606
6
2
To
tal
6.1
250
.85
613
12
T2
Har
i ke-
1
6.2
500
.35
355
2
Har
i ke-
3
6.5
000
.70
711
2
Har
i ke-
5
7.0
000
.70
711
2
Har
i ke-
7
7.2
500
.35
355
2
Har
i ke-
9
7.7
500
.35
355
2
Har
i ke-
11
7
.75
00
.35
355
2
To
tal
7.0
833
.70
173
12
T3
Har
i ke-
1
5.7
500
.35
355
2
Har
i ke-
3
7.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
5
7.5
000
.00
000
2
Har
i ke-
7
7.2
500
.35
355
2
Har
i ke-
9
7.5
000
.70
711
2
Har
i ke-
11
7
.75
00
.35
355
2
To
tal
7.1
250
.74
239
12
To
tal
Har
i ke-
1
6.2
500
.52
440
6
Har
i ke-
3
6.3
333
.75
277
6
Har
i ke-
5
6.9
167
.80
104
6
Har
i ke-
7
6.8
333
.93
095
6
Har
i ke-
9
7.0
833
1.1
143
0
6
Har
i ke-
11
7
.25
00
.93
541
6
To
tal
6.7
778
.88
192
36
T1
Har
i ke-
1
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
3
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
5
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
7
6.5
000
2.1
213
2
2
Har
i ke-
9
6.2
500
1.7
677
7
2
Har
i ke-
11
7
.25
00
.35
355
2
To
tal
5.8
333
1.2
492
4
12
T2
Har
i ke-
1
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
3
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
5
5.7
500
1.0
606
6
2
67
L3
Har
i ke-
7
6.5
000
2.1
213
2
2
Har
i ke-
9
6.2
500
1.7
677
7
2
Har
i ke-
11
7
.75
00
.35
355
2
To
tal
6.0
417
1.3
392
4
12
T3
Har
i ke-
1
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
3
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
5
5.0
000
.00
000
2
Har
i ke-
7
5.5
000
.70
711
2
Har
i ke-
9
5.5
000
.70
711
2
Har
i ke-
11
6
.25
00
1.7
677
7
2
To
tal
5.3
750
.77
239
12
To
tal
Har
i ke-
1
5.0
000
.00
000
6
Har
i ke-
3
5.0
000
.00
000
6
Har
i ke-
5
5.2
500
.61
237
6
Har
i ke-
7
6.1
667
1.4
719
6
6
Har
i ke-
9
6.0
000
1.2
247
4
6
Har
i ke-
11
7
.08
33
1.0
684
9
6
To
tal
5.7
500
1.1
495
3
36
To
tal
T1
Har
i ke-
1
5.9
167
.80
104
6
Har
i ke-
3
5.1
667
.25
820
6
Har
i ke-
5
5.4
167
.80
104
6
Har
i ke-
7
5.9
167
1.3
570
8
6
Har
i ke-
9
5.8
333
1.2
110
6
6
Har
i ke-
11
6
.50
00
1.0
000
0
6
To
tal
5.7
917
.99
553
36
T2
Har
i ke-
1
5.7
500
.61
237
6
Har
i ke-
3
5.5
000
.83
666
6
Har
i ke-
5
5.9
167
1.0
684
9
6
Har
i ke-
7
6.0
833
1.5
942
6
6
Har
i ke-
9
6.1
667
1.6
633
3
6
Har
i ke-
11
6
.83
33
1.4
375
9
6
To
tal
6.0
417
1.2
442
7
36
T3
Har
i ke-
1
5.5
833
.49
160
6
Har
i ke-
3
5.6
667
1.0
328
0
6
Har
i ke-
5
5.8
333
1.2
909
9
6
68
Har
i ke-
7
5.7
500
1.2
942
2
6
Har
i ke-
9
6.0
000
1.2
649
1
6
Har
i ke-
11
6
.33
33
1.4
719
6
6
To
tal
5.8
611
1.1
251
1
36
To
tal
Har
i ke-
1
5.7
500
.62
426
18
Har
i ke-
3
5.4
444
.76
483
18
Har
i ke-
5
5.7
222
1.0
321
6
18
Har
i ke-
7
5.9
167
1.3
421
9
18
Har
i ke-
9
6.0
000
1.3
173
1
18
Har
i ke-
11
6
.55
56
1.2
589
5
18
To
tal
5.8
981
1.1
206
6
10
8
Ha
sil
DM
RT
1.
LIA
Ko
nse
ntr
asi
LIA
N
S
ub
set
1
2
3
L1
3
6
5.1
667
L3
3
6
5.7
500
L2
3
6
6.7
778
Sig
. 1
.00
0
1.0
00
1.0
00
2.
Wak
tu I
nk
ub
asi
Wak
tu I
nk
ub
asi
N
Sub
set
1
2
Har
i ke-
3
18
5.4
444
Har
i ke-
5
18
5.7
222
Har
i ke-
1
18
5.7
500
Har
i ke-
7
18
5.9
167
Har
i ke-
9
18
6.0
000
Ha
ri k
e-1
1
18
6.5
556
Sig
. .0
64
1
.00
0
69
3.
Inte
raksi
LIA
dan
Tep
ung I
kan
(T
I)
Inte
raksi
LIA
X T
epun
g I
kan
N
S
ub
set
1
2
3
4
L1
T2
12
5.0
000
L1
T3
12
5.0
833
L3
T3
12
5.3
750
5.3
750
L1
T1
12
5.4
167
5.4
167
L3
T1
12
5.8
333
5
.83
33
L3
T2
12
6.0
417
6
.04
17
L2
T1
1
2
6.1
250
L2
T2
12
7.0
833
L2
T3
12
7.1
250
Sig
. .2
47
.06
3
.40
0
.89
8
4.
Inte
raksi
LIA
dan
Wak
tu I
nkub
asi
Inte
raksi
LIA
X I
nku
bas
i N
S
ub
set
1
2
3
4
5
6
7
L1
H7
6
4
.750
0
L1
H9
6
4
.916
7
L3
H1
6
5
.000
0
5.0
00
0
L1
H3
6
5
.000
0
5.0
00
0
L3
H3
6
5
.000
0
5.0
00
0
L1
H5
6
5
.000
0
5.0
00
0
L3
H5
6
5
.250
0
5.2
50
0
5.2
50
0
L1
H1
1
6
5.3
33
3
5.3
33
3
5.3
33
3
5.3
33
3
L1
H1
6
6
.000
0
6.0
00
0
6.0
00
0
6.0
00
0
L3
H9
6
6
.000
0
6.0
00
0
6.0
00
0
6.0
00
0
L3
H7
6
6
.166
7
6.1
66
7
6.1
66
7
6.1
66
7
L2
H1
6
6
.250
0
6.2
50
0
6.2
50
0
6.2
50
0
6.2
50
0
L2
H3
6
6
.333
3
6.3
33
3
6.3
33
3
6.3
33
3
L2
H7
6
6
.833
3
6.8
33
3
6.8
33
3
L2
H5
6
6
.916
7
6.9
16
7
6.9
16
7
L2
H9
6
7
.083
3
7.0
83
3
L3
H1
1
6
7.0
83
3
7.0
83
3
L2
H1
1
6
7.2
50
0
Sig
. .2
83
.06
5
.05
8
.05
8
.08
7
.08
7
.06
2
70
Lam
pir
an 1
0. H
asil
Anal
isis
Sta
tist
ik K
epad
atan
Popula
si P
seudom
onas
fluore
scen
s
Ko
nse
ntr
asi
LIA
K
onse
ntr
asi
Tep
un
g I
kan
W
aktu
In
kub
asi
Rer
ata
Sta
nd
ar D
evia
si
N
L1
T1
Har
i ke-
1
9.4
494
.0
39
26
2
Har
i ke-
3
5.0
000
7
.07
10
7
2
Har
i ke-
5
4.4
225
6
.25
44
3
2
Har
i ke-
7
3.7
157
5
.25
47
7
2
Har
i ke-
9
4.4
098
6
.23
63
6
2
Har
i ke-
11
9
.73
56
.1
88
92
2
To
tal
6.1
222
4
.56
92
4
12
T2
Har
i ke-
1
8.8
869
.6
79
40
2
Har
i ke-
3
4.7
841
6
.76
57
4
2
Har
i ke-
5
3.5
000
4
.94
97
5
2
Har
i ke-
7
4.8
779
6
.89
84
5
2
Har
i ke-
9
4.8
167
6
.81
18
9
2
Har
i ke-
11
9
.12
63
.7
11
46
2
To
tal
5.9
987
4
.49
47
0
12
T3
Har
i ke-
1
3.8
660
5
.46
73
5
2
Har
i ke-
3
4.1
505
5
.86
97
1
2
Har
i ke-
5
8.2
282
.6
89
88
2
Har
i ke-
7
8.8
883
.7
03
34
2
Har
i ke-
9
4.4
098
6
.23
63
6
2
Har
i ke-
11
4
.57
46
6
.46
94
7
2
To
tal
5.6
862
4
.22
72
4
12
To
tal
Har
i ke-
1
7.4
008
3
.69
20
2
6
Har
i ke-
3
4.6
449
5
.11
87
6
6
Har
i ke-
5
5.3
836
4
.22
42
2
6
Har
i ke-
7
5.8
273
4
.58
59
6
6
Har
i ke-
9
4.5
454
4
.98
81
3
6
Har
i ke-
11
7
.81
22
3
.85
26
1
6
To
tal
5.9
357
4
.30
83
3
36
L2
T
1
Har
i ke-
1
7.7
386
.3
69
73
2
Har
i ke-
3
8.0
971
.7
00
12
2
Har
i ke-
5
9.1
995
1
.15
61
3
2
71
Har
i ke-
7
3.7
157
5
.25
47
7
2
Har
i ke-
9
7.3
406
.0
55
99
2
Har
i ke-
11
8
.55
50
1
.14
09
4
2
To
tal
7.4
411
2
.49
29
3
12
T2
Har
i ke-
1
7.5
880
.1
56
87
2
Har
i ke-
3
8.5
611
.7
57
74
2
Har
i ke-
5
9.8
037
.2
12
86
2
Har
i ke-
7
4.3
314
6
.12
54
9
2
Har
i ke-
9
4.3
064
6
.09
01
6
2
Har
i ke-
11
8
.16
54
.7
24
36
2
To
tal
7.1
260
3
.41
58
4
12
T3
Har
i ke-
1
4.2
455
6
.00
40
4
2
Har
i ke-
3
8.5
313
.0
18
07
2
Har
i ke-
5
4.7
720
6
.74
86
8
2
Har
i ke-
7
8.3
188
1
.27
82
7
2
Har
i ke-
9
7.3
993
.2
38
83
2
Har
i ke-
11
8
.80
85
.1
56
27
2
To
tal
7.0
126
3
.34
98
7
12
To
tal
Har
i ke-
1
6.5
240
3
.21
89
3
6
Har
i ke-
3
8.3
965
.5
16
61
6
Har
i ke-
5
7.9
251
3
.92
72
6
6
Har
i ke-
7
5.4
553
4
.28
36
2
6
Har
i ke-
9
6.3
488
3
.15
17
5
6
Har
i ke-
11
8
.50
96
.6
73
88
6
To
tal
7.1
932
3
.03
00
0
36
L3
T1
Har
i ke-
1
4.2
386
5
.99
42
3
2
Har
i ke-
3
8.6
901
.3
01
21
2
Har
i ke-
5
5.2
526
7
.42
82
6
2
Har
i ke-
7
8.8
330
1
.37
14
0
2
Har
i ke-
9
9.3
375
.8
78
96
2
Har
i ke-
11
8
.30
74
.4
16
64
2
To
tal
7.4
432
3
.56
50
9
12
T2
Har
i ke-
1
4.7
955
6
.78
19
1
2
Har
i ke-
3
9.6
146
.2
30
26
2
72
Har
i ke-
5
8.1
712
.1
83
59
2
Har
i ke-
7
9.7
664
.3
88
93
2
Har
i ke-
9
9.1
353
.1
27
27
2
Har
i ke-
11
8
.86
16
1
.23
71
7
2
To
tal
8.3
908
2
.73
12
9
12
T3
Har
i ke-
1
4.5
800
6
.47
71
0
2
Har
i ke-
3
5.4
098
7
.65
05
7
2
Har
i ke-
5
4.0
485
5
.72
53
8
2
Har
i ke-
7
8.7
941
.5
60
31
2
Har
i ke-
9
4.4
515
6
.29
54
4
2
Har
i ke-
11
4
.20
33
5
.94
43
2
2
To
tal
5.2
479
4
.68
04
2
12
To
tal
Har
i ke-
1
4.5
380
4
.98
38
4
6
Har
i ke-
3
7.9
048
3
.95
48
9
6
Har
i ke-
5
5.8
241
4
.60
36
9
6
Har
i ke-
7
9.1
312
.8
43
55
6
Har
i ke-
9
7.6
415
3
.76
79
9
6
Har
i ke-
11
7
.12
41
3
.54
79
6
6
To
tal
7.0
273
3
.87
37
9
36
To
tal
T1
Har
i ke-
1
7.1
422
3
.58
57
7
6
Har
i ke-
3
7.2
624
3
.64
11
0
6
Har
i ke-
5
6.2
915
4
.93
33
9
6
Har
i ke-
7
5.4
215
4
.29
00
5
6
Har
i ke-
9
7.0
293
3
.58
44
5
6
Har
i ke-
11
8
.86
60
.8
76
48
6
To
tal
7.0
022
3
.59
27
2
36
T2
Har
i ke-
1
7.0
902
3
.57
67
0
6
Har
i ke-
3
7.6
533
3
.80
02
3
6
Har
i ke-
5
7.1
583
3
.67
13
5
6
Har
i ke-
7
6.3
252
4
.92
10
7
6
Har
i ke-
9
6.0
861
4
.72
56
9
6
Har
i ke-
11
8
.71
78
.8
42
24
6
To
tal
7.1
718
3
.65
28
0
36
T3
Har
i ke-
1
4.2
305
4
.65
62
6
6
Har
i ke-
3
6.0
305
4
.76
09
3
6
73
Har
i ke-
5
5.6
829
4
.44
43
1
6
Har
i ke-
7
8.6
671
.7
50
37
6
Har
i ke-
9
5.4
202
4
.25
05
1
6
Har
i ke-
11
5
.86
21
4
.54
74
1
6
To
tal
5.9
822
4
.07
51
3
36
To
tal
Har
i ke-
1
6.1
543
3
.98
50
6
18
Har
i ke-
3
6.9
821
3
.91
40
5
18
Har
i ke-
5
6.3
776
4
.16
17
5
18
Har
i ke-
7
6.8
046
3
.83
17
0
18
Har
i ke-
9
6.1
786
4
.01
52
7
18
Har
i ke-
11
7
.81
53
2
.92
23
6
18
To
tal
6.7
187
3
.78
11
8
10
8
Lam
pir
an 1
1. H
asil
Anal
isis
Sta
tist
ik A
kti
vit
as S
elula
se P
seudom
onas
fluore
scen
s
Ko
nse
ntr
asi
LIA
K
onse
ntr
asi
Tep
un
g I
kan
W
aktu
In
kub
asi
Rer
ata
Sta
nd
ar D
evia
si
N
L1
T1
Har
i ke-
1
.11
40
.0
42
43
2
Har
i ke-
3
.36
80
.2
54
56
2
Har
i ke-
5
.30
80
.0
26
87
2
Har
i ke-
7
.37
70
.1
15
97
2
Har
i ke-
9
.35
70
.0
11
31
2
Har
i ke-
11
.2
93
0
.00
283
2
To
tal
.30
28
.1
27
15
12
T2
Har
i ke-
1
.08
20
.0
48
08
2
Har
i ke-
3
.45
20
.2
68
70
2
Har
i ke-
5
.28
10
.0
25
46
2
Har
i ke-
7
.31
25
.1
90
21
2
Har
i ke-
9
.33
40
.0
89
10
2
Har
i ke-
11
.3
84
5
.12
092
2
To
tal
.30
77
.1
62
95
12
T3
Har
i ke-
1
.15
75
.0
24
75
2
Har
i ke-
3
.31
40
.0
80
61
2
Har
i ke-
5
.36
15
.0
21
92
2
Har
i ke-
7
.25
15
.0
53
03
2
74
Har
i ke-
9
.23
80
.0
02
83
2
Har
i ke-
11
.4
25
5
.06
435
2
To
tal
.29
13
.0
98
22
12
To
tal
Har
i ke-
1
.11
78
.0
45
76
6
Har
i ke-
3
.37
80
.1
80
47
6
Har
i ke-
5
.31
68
.0
41
39
6
Har
i ke-
7
.31
37
.1
16
79
6
Har
i ke-
9
.30
97
.0
69
30
6
Har
i ke-
11
.3
67
7
.08
623
6
To
tal
.30
06
.1
28
48
36
L2
T1
Har
i ke-
1
.00
00
.0
00
00
2
Har
i ke-
3
.35
50
.0
24
04
2
Har
i ke-
5
.26
65
.0
57
28
2
Har
i ke-
7
.27
60
.0
35
36
2
Har
i ke-
9
.27
85
.0
28
99
2
Har
i ke-
11
.2
57
5
.02
192
2
To
tal
.23
89
.1
18
95
12
T2
Har
i ke-
1
.00
00
.0
00
00
2
Har
i ke-
3
.31
65
.0
40
31
2
Har
i ke-
5
.31
05
.0
14
85
2
Har
i ke-
7
.38
85
.0
02
12
2
Har
i ke-
9
.31
30
.0
08
49
2
Har
i ke-
11
.2
36
0
.12
445
2
To
tal
.26
08
.1
36
14
12
T3
Har
i ke-
1
.03
90
.0
39
60
2
Har
i ke-
3
.28
55
.0
36
06
2
Har
i ke-
5
.31
00
.0
04
24
2
Har
i ke-
7
.33
65
.0
09
19
2
Har
i ke-
9
.32
65
.0
16
26
2
Har
i ke-
11
.2
17
0
.00
990
2
To
tal
.25
24
.1
09
08
12
To
tal
Har
i ke-
1
.01
30
.0
26
82
6
Har
i ke-
3
.31
90
.0
40
87
6
Har
i ke-
5
.29
57
.0
34
85
6
Har
i ke-
7
.33
37
.0
52
95
6
75
Har
i ke-
9
.30
60
.0
26
94
6
Har
i ke-
11
.2
36
8
.05
951
6
To
tal
.25
07
.1
18
72
36
L3
T1
Har
i ke-
1
.32
05
.0
02
12
2
Har
i ke-
3
.96
20
.0
18
38
2
Har
i ke-
5
.31
95
.0
27
58
2
Har
i ke-
7
.30
70
.0
45
25
2
Har
i ke-
9
.33
90
.0
16
97
2
Har
i ke-
11
.3
64
0
.03
960
2
To
tal
.43
53
.2
47
65
12
T2
Har
i ke-
1
.21
05
.0
28
99
2
Har
i ke-
3
1.3
305
.0
38
89
2
Har
i ke-
5
.38
65
.1
27
99
2
Har
i ke-
7
.37
35
.0
37
48
2
Har
i ke-
9
.33
00
.0
28
28
2
Har
i ke-
11
.3
13
0
.10
182
2
To
tal
.49
07
.4
00
32
12
T3
Har
i ke-
1
.18
20
.0
74
95
2
Har
i ke-
3
1.4
475
.4
81
54
2
Har
i ke-
5
.29
05
.0
47
38
2
Har
i ke-
7
.32
35
.0
33
23
2
Har
i ke-
9
.32
15
.0
24
75
2
Har
i ke-
11
.3
29
5
.04
455
2
To
tal
.48
24
.4
77
63
12
To
tal
Har
i ke-
1
.23
77
.0
74
64
6
Har
i ke-
3
1.2
467
.3
13
22
6
Har
i ke-
5
.33
22
.0
76
27
6
Har
i ke-
7
.33
47
.0
43
25
6
Har
i ke-
9
.33
02
.0
20
03
6
Har
i ke-
11
.3
35
5
.05
767
6
To
tal
.46
95
.3
76
77
36
T1
Har
i ke-
1
.14
48
.1
46
54
6
Har
i ke-
3
.56
17
.3
30
66
6
Har
i ke-
5
.29
80
.0
39
68
6
Har
i ke-
7
.32
00
.0
74
10
6
76
To
tal
Har
i ke-
9
.32
48
.0
40
05
6
Har
i ke-
11
.3
04
8
.05
257
6
To
tal
.32
57
.1
88
91
36
T2
Har
i ke-
1
.09
75
.0
98
17
6
Har
i ke-
3
.69
97
.5
07
45
6
Har
i ke-
5
.32
60
.0
76
29
6
Har
i ke-
7
.35
82
.0
93
88
6
Har
i ke-
9
.32
57
.0
43
14
6
Har
i ke-
11
.3
11
2
.11
184
6
To
tal
.35
30
.2
73
24
36
T3
Har
i ke-
1
.12
62
.0
78
98
6
Har
i ke-
3
.68
23
.6
31
97
6
Har
i ke-
5
.32
07
.0
40
31
6
Har
i ke-
7
.30
38
.0
49
77
6
Har
i ke-
9
.29
53
.0
46
41
6
Har
i ke-
11
.3
24
0
.09
979
6
To
tal
.34
21
.2
98
10
36
To
tal
Har
i ke-
1
.12
28
.1
06
71
18
Har
i ke-
3
.64
79
.4
78
91
18
Har
i ke-
5
.31
49
.0
53
00
18
Har
i ke-
7
.32
73
.0
74
06
18
Har
i ke-
9
.31
53
.0
43
17
18
Har
i ke-
11
.3
13
3
.08
653
18
To
tal
.34
03
.2
55
51
10
8
Ha
sil
DM
RT
1.
Ko
nse
ntr
asi
LIA K
onse
ntr
asi
LIA
N
S
ub
set
1
2
3
L2
3
6
.25
07
L1
3
6
.30
06
L3
3
6
.46
95
Sig
. 1
.00
0
1.0
00
1.0
00
77
2.
Wak
tu I
nk
ub
asi
Wak
tu I
nk
ub
asi
N
Sub
set
1
2
3
Ha
ri k
e-1
1
8
.12
28
Har
i ke-
11
1
8
.31
33
Har
i ke-
5
18
.31
49
Har
i ke-
9
18
.31
53
Har
i ke-
7
18
.32
73
Ha
ri k
e-3
1
8
.64
79
Sig
. 1
.00
0
.70
6
1.0
00
3.
Inte
raksi
LIA
dan
Wak
tu I
nkub
asi
Inte
raksi
LIA
X I
nk
ub
asi
N
Sub
set
1
2
3
4
5
L2
H1
6
.0
13
0
L1
H1
6
.1
17
8
.11
78
L2
H1
1
6
.23
68
.23
68
L3
H1
6
.2
37
7
.23
77
L2
H5
6
.2
95
7
.29
57
L2
H9
6
.3
06
0
.30
60
L1
H9
6
.3
09
7
.30
97
L1
H7
6
.3
13
7
.31
37
L1
H5
6
.3
16
8
.31
68
L2
H3
6
.3
19
0
.31
90
L3
H9
6
.3
30
2
.33
02
L3
H5
6
.3
32
2
.33
22
L2
H7
6
.3
33
7
.33
37
L3
H7
6
.3
34
7
.33
47
L3
H1
1
6
.33
55
.33
55
L1
H1
1
6
.36
77
.36
77
L1
H3
6
.3
78
0
L3
H3
6
1
.24
67
Sig
. .0
74
.05
3
.06
5
.24
3
1.0
00
78
Lam
pir
an 1
2. H
asil
Anal
isis
Sta
tist
ik P
roduksi
Auksi
n P
seudom
onas
fluore
scen
s
Ko
nse
ntr
asi
LIA
K
onse
ntr
asi
Tep
un
g I
kan
W
aktu
In
kub
asi
Rer
ata
Sta
nd
ar D
evia
si
N
L1
T1
Har
i ke-
1
2.3
381
.2
03
50
2
Har
i ke-
3
1.8
926
.1
57
98
2
Har
i ke-
5
2.2
682
.1
57
60
2
Har
i ke-
7
2.2
006
.0
36
77
2
Har
i ke-
9
3.2
611
.1
08
79
2
Har
i ke-
11
2
.34
30
.1
37
69
2
To
tal
2.3
839
.4
51
91
12
T2
Har
i ke-
1
2.2
948
.1
53
16
2
Har
i ke-
3
1.8
691
.1
64
32
2
Har
i ke-
5
2.2
829
.1
87
01
2
Har
i ke-
7
2.1
155
.2
49
02
2
Har
i ke-
9
3.3
580
.4
63
16
2
Har
i ke-
11
2
.44
83
.3
64
14
2
To
tal
2.3
947
.5
31
68
12
T3
Har
i ke-
1
2.0
472
.3
16
85
2
Har
i ke-
3
1.6
671
.2
89
46
2
Har
i ke-
5
2.0
575
.5
78
29
2
Har
i ke-
7
1.7
747
.3
42
97
2
Har
i ke-
9
2.8
457
.4
80
15
2
Har
i ke-
11
2
.00
20
.3
23
31
2
To
tal
2.0
657
.4
93
98
12
To
tal
Har
i ke-
1
2.2
267
.2
29
67
6
Har
i ke-
3
1.8
096
.1
98
60
6
Har
i ke-
5
2.2
028
.3
02
60
6
Har
i ke-
7
2.0
303
.2
77
20
6
Har
i ke-
9
3.1
549
.3
88
11
6
Har
i ke-
11
2
.26
44
.3
07
83
6
To
tal
2.2
815
.5
03
67
36
L2
T
1
Har
i ke-
1
3.0
044
.1
56
84
2
Har
i ke-
3
4.5
966
.0
53
25
2
Har
i ke-
5
2.6
563
.3
21
29
2
79
Har
i ke-
7
2.6
831
.6
43
97
2
Har
i ke-
9
2.4
951
.9
34
19
2
Har
i ke-
11
2
.32
88
.9
85
54
2
To
tal
2.9
607
.9
20
33
12
T2
Har
i ke-
1
2.3
535
.0
54
90
2
Har
i ke-
3
2.8
419
1
.36
51
5
2
Har
i ke-
5
1.4
622
.0
27
26
2
Har
i ke-
7
1.3
930
.0
42
35
2
Har
i ke-
9
1.3
293
.1
25
90
2
Har
i ke-
11
1
.33
79
.0
92
68
2
To
tal
1.7
863
.7
44
99
12
T3
Har
i ke-
1
2.3
130
.2
31
39
2
Har
i ke-
3
1.8
800
.3
96
22
2
Har
i ke-
5
1.3
315
.1
10
94
2
Har
i ke-
7
1.6
500
.4
72
17
2
Har
i ke-
9
1.5
307
.3
42
21
2
Har
i ke-
11
1
.50
86
.3
23
69
2
To
tal
1.7
023
.4
14
63
12
To
tal
Har
i ke-
1
2.5
570
.3
69
70
6
Har
i ke-
3
3.1
062
1
.38
65
6
6
Har
i ke-
5
1.8
166
.6
70
57
6
Har
i ke-
7
1.9
087
.7
07
73
6
Har
i ke-
9
1.7
850
.7
15
37
6
Har
i ke-
11
1
.72
51
.6
64
39
6
To
tal
2.1
498
.9
13
28
36
L3
T
1
Har
i ke-
1
4.4
253
.0
10
90
2
Har
i ke-
3
2.5
289
.0
00
13
2
Har
i ke-
5
2.3
826
.0
14
83
2
Har
i ke-
7
2.0
514
1
.01
09
0
2
Har
i ke-
9
2.0
038
.5
61
17
2
Har
i ke-
11
1
.49
17
.1
18
93
2
To
tal
2.4
806
1
.03
21
3
12
T2
Har
i ke-
1
4.3
002
.0
15
21
2
80
Har
i ke-
3
2.4
550
.0
12
30
2
Har
i ke-
5
2.4
106
.0
04
06
2
Har
i ke-
7
2.3
538
.5
13
50
2
Har
i ke-
9
1.2
684
.2
21
12
2
Har
i ke-
11
1
.27
86
.3
22
55
2
To
tal
2.3
444
1
.07
39
7
12
T3
Har
i ke-
1
4.1
548
.0
49
07
2
Har
i ke-
3
2.4
140
.0
30
18
2
Har
i ke-
5
2.3
557
.0
48
43
2
Har
i ke-
7
2.5
727
.1
88
92
2
Har
i ke-
9
1.9
694
.2
31
14
2
Har
i ke-
11
1
.43
00
.7
77
82
2
To
tal
2.4
828
.9
09
19
12
To
tal
Har
i ke-
1
4.2
934
.1
23
33
6
Har
i ke-
3
2.4
660
.0
54
06
6
Har
i ke-
5
2.3
830
.0
33
45
6
Har
i ke-
7
2.3
260
.5
64
87
6
Har
i ke-
9
1.7
472
.4
70
34
6
Har
i ke-
11
1
.40
01
.3
92
74
6
To
tal
2.4
359
.9
80
52
36
To
tal
T1
Har
i ke-
1
3.2
559
.9
60
47
6
Har
i ke-
3
3.0
060
1
.26
66
6
6
Har
i ke-
5
2.4
357
.2
39
74
6
Har
i ke-
7
2.3
117
.6
12
21
6
Har
i ke-
9
2.5
866
.7
49
06
6
Har
i ke-
11
2
.05
45
.6
25
28
6
To
tal
2.6
084
.8
54
76
36
T2
Har
i ke-
1
2.9
828
1
.02
33
6
6
Har
i ke-
3
2.3
887
.7
55
03
6
Har
i ke-
5
2.0
519
.4
68
05
6
Har
i ke-
7
1.9
541
.5
15
48
6
Har
i ke-
9
1.9
852
1
.08
96
2
6
Har
i ke-
11
1
.68
83
.6
29
53
6
To
tal
2.1
752
.8
39
03
36
T3
Har
i ke-
1
2.8
384
1
.04
17
6
6
81
Har
i ke-
3
1.9
870
.4
08
40
6
Har
i ke-
5
1.9
149
.5
40
23
6
Har
i ke-
7
1.9
991
.5
25
12
6
Har
i ke-
9
2.1
153
.6
62
45
6
Har
i ke-
11
1
.64
69
.4
89
65
6
To
tal
2.0
836
.7
03
65
36
To
tal
Har
i ke-
1
3.0
257
.9
64
51
18
Har
i ke-
3
2.4
606
.9
35
19
18
Har
i ke-
5
2.1
341
.4
67
56
18
Har
i ke-
7
2.0
883
.5
44
31
18
Har
i ke-
9
2.2
290
.8
44
97
18
Har
i ke-
11
1
.79
65
.5
81
03
18
To
tal
2.2
891
.8
27
10
10
8
Ha
sil
DM
RT
1.
Ko
nse
ntr
asi
LIA
Ko
nse
ntr
asi
LIA
N
S
ub
set
1
2
L2
3
6
2.1
498
L1
3
6
2.2
815
2
.28
15
L3
3
6
2.4
359
Sig
. .1
77
.1
14
2.
Ko
nse
ntr
asi
Tep
un
g I
kan Ko
nse
ntr
asi
Tep
un
g I
kan
N
S
ub
set
1
2
T3
36
2.0
836
T2
36
2.1
752
T1
3
6
2.6
084
Sig
. .3
46
1.0
00
82
3.
Wak
tu I
nk
ub
asi
Wak
tu I
nk
ub
asi
N
Sub
set
1
2
3
4
Ha
ri k
e-1
1
18
1.7
965
Har
i ke-
7
18
2.0
883
Har
i ke-
5
18
2.1
341
Ha
ri k
e-9
1
8
2.2
290
2.2
290
Ha
ri k
e-3
1
8
2.4
606
Ha
ri k
e-1
1
8
3.0
257
Sig
. 1
.00
0
.33
6
.09
5
1.0
00
4.
Inte
raksi
LIA
dan
Tep
ung I
kan
Inte
raksi
LIA
X T
epun
g I
kan
N
S
ub
set
1
2
3
4
5
L2
T3
1
2
1.7
023
L2
T2
1
2
1.7
863
1.7
863
L1
T3
1
2
2.0
657
2.0
657
L3
T2
12
2.3
444
2.3
444
L1
T1
12
2.3
839
2.3
839
L1
T2
12
2.3
947
2.3
947
L3
T1
12
2.4
806
L3
T3
12
2.4
828
L2
T1
1
2
2.9
607
Sig
. .6
16
.10
0
.07
6
.46
9
1.0
00
83
5.
Inte
raksi
LIA
dan
Wak
tu I
nkub
asi
Inte
raksi
LIA
X I
nk
ub
asi
N
Sub
set
1
2
3
4
5
6
7
L3
H1
1
6
1.4
001
L2
H1
1
6
1.7
251
1.7
251
L3
H9
6
1
.74
72
1.7
472
L2
H9
6
1
.78
50
1.7
850
1
.78
50
L1
H3
6
1
.80
96
1.8
096
1
.80
96
L2
H5
6
1
.81
66
1.8
166
1
.81
66
L2
H7
6
1
.90
87
1.9
087
1
.90
87
1.9
087
L1
H7
6
2
.03
03
2
.03
03
2.0
303
2
.03
03
L1
H5
6
2
.20
28
2
.20
28
2.2
028
2
.20
28
L1
H1
6
2
.22
67
2
.22
67
2.2
267
2
.22
67
L1
H1
1
6
2.2
644
2
.26
44
2.2
644
2
.26
44
L3
H7
6
2
.32
60
2.3
260
2
.32
60
L3
H5
6
2
.38
30
2
.38
30
L3
H3
6
2
.46
60
L2
H1
6
2
.55
70
L2
H3
6
3
.10
62
L1
H9
6
3
.15
49
L3
H1
6
4
.29
34
Sig
. .0
66
.05
8
.05
5
.08
7
.05
9
.83
7
1.0
00
84