12
125 POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy Prianto¹, Mardiyono² ¹Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Merdeka Malang ²Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang Corresponding author: Budhy Prianto, Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Merdeka Malang, Jl. Terusan Raya Dieng No. 62-64, Malang 65145, Email: [email protected] Abstrak Pada masyarakat dengan kultur patriarki pada umumnya, sekalipun kaum perempuan ibu rumah tangga memiliki pekerjaan yang mampu menopang, bahkan menjadi tiyang utama ekonomi rumah tanggayang umumnya dikenal sebagai peran produktiftetap saja mereka dituntut untuk melakukan peran-peran domestik dan reproduktif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang peran dan tanggungjawab perempuan di rumah tangga perempuan buruh perusahaan rokok berkenaan dengan peran produktif, peran reproduktif, dan peran pengambilan keputusan keluarga, serta peran publik. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, perolehan data penelitian ini ditekankan pada hasil wawancara mendalam (depth-interview) dengan perempuan buruh dari beberapa perusahaan rokok di Kota Malang yang ditentukan secara purposive. Lebih karena obyek penelitiannya menyangkut peran perempuan, maka analisis menggunakan metode HARVARD atau metode Gender Framework Analysis-GFA. Temuan penelitian menunjukkan, bahwa di satu sisi para perempuan buruh perusahaan rokok memiliki peran kuat di sektor produktif, dalam arti bahwa mereka tidak sekedar menjadi penopang, tetapi bahkan menjadi tiyang utama penyangga ekonomi rumah tangga. Namun pada sisi lain, para perempuan buruh perusahaan rokok itu juga memiliki peran kuat di sektor domestik, sektor reproduktif, serta sektor peran pengambilan keputusan (family decision making role). Peran perempuan buruh hanya terlihat lemah di sektor publik. Kata kunci: perempuan buruh, peran domestik, peran produktif, peran reproduktif, peran publik A. Latar Belakang Yang terjadi secara umum di masyarakat yang memiliki budaya patriarki yang kental, sekalipun kaum perempuan ibu rumah tangga memiliki pekerjaan yang dapat menghasilkan uang dan dapat membantu atau bahkan justru menentukan ekonomi rumah tangga, tetap saja mereka dituntut untuk melakukan peran-peran reproduktif dan peran domestik. Fenomena seperti itu dapat dijumpai pula di kalangan rumah tangga perempuan buruh perusahaan rokok di Kota Malang. Secara tidak langsung fenomena itu menunjukkan, bahwa dalam sehari penuh para perempuan buruh perusahaan rokok berada di tempat kerja. Dengan begitu pada pagi dan siang hari mereka hampir tidak memiliki waktu lagi untuk tugas-tugas mengurus anak maupun suami, yang mana tugas-tugas tersebut sesuai dengan kultur patriarki selama ini diakui semata-mata merupakan SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

125

POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA

MALANG:

DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN

PUBLIK

Budhy Prianto¹, Mardiyono²

¹Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Merdeka Malang

²Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang

Corresponding author: Budhy Prianto, Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Merdeka Malang, Jl. Terusan Raya Dieng No. 62-64, Malang 65145, Email:

[email protected]

Abstrak

Pada masyarakat dengan kultur patriarki pada umumnya, sekalipun kaum perempuan ibu rumah tangga memiliki pekerjaan yang mampu menopang, bahkan menjadi tiyang utama ekonomi rumah tangga–yang umumnya dikenal sebagai peran produktif–tetap saja mereka dituntut untuk melakukan peran-peran domestik dan reproduktif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang peran dan tanggungjawab perempuan di rumah tangga perempuan buruh perusahaan rokok berkenaan dengan peran produktif, peran reproduktif, dan peran pengambilan keputusan keluarga, serta peran publik. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, perolehan data penelitian ini ditekankan pada hasil wawancara mendalam (depth-interview) dengan perempuan buruh dari beberapa perusahaan rokok di Kota Malang yang ditentukan secara purposive. Lebih karena obyek penelitiannya menyangkut peran perempuan, maka analisis menggunakan metode HARVARD atau metode Gender Framework Analysis-GFA. Temuan penelitian menunjukkan, bahwa di satu sisi para perempuan buruh perusahaan rokok memiliki peran kuat di sektor produktif, dalam arti bahwa mereka tidak sekedar menjadi penopang, tetapi bahkan menjadi tiyang utama penyangga ekonomi rumah tangga. Namun pada sisi lain, para perempuan buruh perusahaan rokok itu juga memiliki peran kuat di sektor domestik, sektor reproduktif, serta sektor peran pengambilan keputusan (family decision making role). Peran perempuan buruh hanya terlihat lemah di sektor publik.

Kata kunci: perempuan buruh, peran domestik, peran produktif, peran reproduktif, peran

publik

A. Latar Belakang

Yang terjadi secara umum di masyarakat yang memiliki budaya patriarki yang kental, sekalipun kaum perempuan ibu rumah tangga memiliki pekerjaan yang dapat menghasilkan uang dan dapat membantu atau bahkan justru menentukan ekonomi rumah tangga, tetap saja mereka dituntut untuk melakukan peran-peran reproduktif dan peran domestik. Fenomena seperti itu dapat dijumpai pula di kalangan rumah tangga perempuan buruh perusahaan rokok di Kota Malang. Secara tidak langsung fenomena itu menunjukkan, bahwa dalam sehari penuh para perempuan buruh perusahaan rokok berada di tempat kerja. Dengan begitu pada pagi dan siang hari mereka hampir tidak memiliki waktu lagi untuk tugas-tugas mengurus anak maupun suami, yang mana tugas-tugas tersebut sesuai dengan kultur patriarki selama ini diakui semata-mata merupakan

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

Page 2: POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

126

tugas perempuan sebagai istri maupun ibu rumah tangga. Kajian tentang peran perempuan di pedesaan Indonesia pada umumnya menurut Saliem

(1995:20)dapat dikelompokkan dalam dua peran besar, yakni peran tradisi dan peran transisi. Peran tradisi atau sering disebut peran domestik mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu dan pengatur (pengelola) rumah tangga.Sementara peran transisi meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. Dalam menjalankan peran tradisi perempuan berperan dalam mendampingi, melayani, bahkan mengabdi kepada suami; mengatur, menyiapkan, dan menyajikan kebutuhan pangan dan gizi serta kesehatan seluruh anggota rumah tangga; mendidik anak serta mengelola kebersihan dan kenyamanan rumah tinggal mereka. Peran tradisi perempuan tersebut muncul sebagai produk sosial masyarakat, artinya keragaman seberapa besar seorang perempuan menjalankan tradisi tersebut (relatif dibanding laki-laki) dalam suatu rumah tangga bervariasi menurut tempat, waktu, budaya dan adat dimana masyarakat tersebut berada (Sayogyo, 1987). Sementara itu pada peran transisi, perempuan sebagai tenaga kerja turut aktif dalam kegiatan ekonomi (mencari nafkah) di berbagai jenis kegiatan sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan pekerjaan yang tersedia bagi mereka. Kemudian sebagai anggota masyarakat dan manusia pembangunan yang kemudian dikenal dengan istilah peran publik (lihat misalnya, Asfar, 1996:5) perempuan terlibat pula dalam kegiatan partai politik, lembaga swadaya masyarakat, pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK), Badan Perwakilan Desa (BPD), koperasi, pos pelayanan terpadu (posyandu), Paguyuban Keluarga Berencana, kelompok pengajian, dan berbagai kegiatan sosial lainnya.

Hanya saja seringkali dapat ditemukan di berbagai komunitas, perempuan justru mengalami subordinasi dan proses marginalisasi karena harus melaksanakan peran rangkap tiga (triple roles). Bornstein dalam salah satu penelitiannya sebagaimana dikutip Suyanto dan Hendrarso (1996:89) menunjukkan bagaimana perempuan keluarga miskin acapkali harus menderita karena ―perjuangan rangkap tiga‖ (triple struggles) yang menimpanya, yakni:

(1) sebagai warga negara terbelakang. (2) sebagai warga yang tinggal di daerah sangat miskin. (3) sebagai perempuan yang hidup di tengah dominasi masyarakat laki-laki. Berangkat dari fenomena itu, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

pelaksanaan peran-peran produktif, domestik, reproduktif, dan peran pengambilan keputusan keluarga, serta peran publik perempuan buruh perusahaan rokok di Kota Malang.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dirancang sebagai studi kasus yang berperspektif perempuan. Obyek penelitian ini berkenaan dengan peran produktif, peran reproduktif, peran pengambilan keputusan dalam rumah tangga, serta peran publik perempuan buruh perusahaan rokok. Karena itu informan penelitian ini adalah para perempuan buruh perusahaan rokok yang ditentukan secara purposive dari lima perusahaan rokok yang terdiri dari satu perusahaan besar PT HMS, dan empat perusahaan rokok (PR) kecil, yakni PR GL, PR SB, PR PM, PR DW. Sebagai sebuah penelitian berperspektif perempuan, maka analisis data menggunakan metode HARVARD atau yang sering juga disebut sebagai Gender Framework Analysis ─ GFA.

C. Hasil dan Pembahasan

Informan penelitian ini seluruhnya adalah perempuan buruh perusahaan rokok, yang bekerja di lima perusahaan rokok. Satu perusahan merupakan perusahaan rokok besar, yakni PT HMS, dan empat perusahaan yang tergolong sebagai perusahaan rokok (PR) kecil, yakni PR GL, PR SB, PR PM, dan PR DW. Buruh di PT HMS berstatus pekerja tetap dengan upah setara

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

Page 3: POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

127

dengan upah minimum kota (UMK) Kota Malang serta jaminan sosial yang memadai. Buruh di empat PR kecil semua berstatus pekerja lepas, dalam pengertian mereka bekerja dengan sistem borongan lepas yang hanya diupah berdasar hasil kerja.Upah itupun besarannya jauh di bawah UMK Kota Malang. Sampai dengan penelitian ini dilakukan buruh di perusahaan rokok kecil ini tidak memperoleh perlindungan jaminan sosial sama sekali.Usia informan berkisar antara 26 sampai 55 tahun, dan semuanya telah berkeluarga. Pada umumnya mereka sudah relatif lama menekuni pekerjaan sebagai buruh di perusahaan rokok, setidaknya masa kerja mereka berada pada kisaran 8 dan 37 tahun. Rentang usia dan masa kerja yang begitu panjang bisa jadi disebabkan oleh sifat pekerjaan yang tidak menuntut keterampilan dan keahlian khusus. Aktivitas pekerjaan juga tidak terlalu berat, sehingga memungkinkan untuk dilakukan oleh perempuan yang usianya relatif tidak muda lagi. Fenomena ini sejalan dengan temuan penelitian Ratna Saptari sebagaimana disampaikannya dalam Diskusi Bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM (Viva.co.id, 3 Februari 2016|18:04 WIB) yang menyebutkan bahwa konsumsi rokok yang tinggi di Indonesia mencapai ratusan juta dolar Amerika Serikat mampu menghidupi ratusan ribu buruh pabrik rokok yang tersebar di seluruh tanah air. Pabrik rokok jugalah yang mampu menampung tenaga kerja low-skilled yang sebagian besar para buruh tersebut adalah perempuan. Karenanya, tidak mengherankan ketika data menunjukkan bahwa para buruh rokok perempuan ini rata-rata hanya berpendidikan tingkat sekolah dasar. Darmik, usia 55 tahun dengan masa kerja 37 tahun mengatakan:

―Sejak belum menikah saya sudah bekerja di PT HMS. Beberapa teman saya juga sama dengan saya. Saya

kerasan bekerja di sini selain tidak punya keterampilan, pekerjaan di sini juga tidak sulit bagi kami. Apalagi, rata-rata dari kami ini hanya berpendidikan sekolah dasar‖ (Wawancara tanggal 7 Mei 2016).

Pengalaman dan pengakuan dari buruh di PT HMS tersebut menyiratkan suatu fenomena bahwa mereka berada pada ―zona nyaman‖ bekerja di perusahaan rokok besar dengan upah dan

perlindungan jaminan sosial yang memadai. Kenyamanan itu telah membuat kehidupan rumah tangga mereka tenteram dan makmur.

Namun fenomena berbeda terlihat di kalangan buruh perusahaan-perusahaan rokok kecil. Dengan status pekerja lepas, dan bekerja dengan sistem borongan, serta upah yang didasarkan pada hasil kerja, kehidupan mereka dirasakan berada di luar ―zona nyaman‖. Kondisi itu dirasakan para buruh bukan semata-mata disebabkan oleh upah yang kecil dan tidak adanya perlindungan jaminan sosial. Lebih dari itu status pekerja lepas dengan sistem boronganlah yang paling membuat mereka tidak tenang dan tidak nyaman. Status pekerja seperti ini sangat tergantung kepada kondisi perusahaan. Selama perusahaan tempat bekerja kondisi stabil, mereka akan dapat bekerja. Namun, ketika kondisi perusahaan sedang surut, atau bahkan tutup, itu merupakan malapetaka bagi mereka. Kalau mereka masih dipekerjakan dengan pengurangan jam kerja–yang praktis upah juga berkurang–itu masih lumayan. Hal terjelek adalah kalau sampai terjadi pengurangan tenaga kerja, atau bahkan sampai perusahaan tutup. Maka kondisi itu akan memaksa para buruh untuk menganggur, atau berusaha mencari pindahan di perusahaan rokok lain. Penuturan Ana, 28 tahun, yang sudah bekerja di PR PM selama 4 tahun dapat menggambarkan kondisi itu.

―Saya sudah bekerja di PR PM selama 4 tahun. Sebelumnya saya bekerja di PR lain selama 7 tahun, karena perusahaan bangkrut lalu saya dapat pindahan di PR PM ini. Sebagai pelinting, sehari saya biasa menghasilkan antara 2500 – 3000 batang rokok, tergantung hari itu saya dapat jatah berapa dari mandor saya. Dengan sistem borongan, upah untuk setiap 1000 batang Rp 10.000,-. Jadi dalam satu minggu saya paling banyak dapat upah Rp 180.000,-, dan satu bulan Rp 720.000,-. Jatah lintingan sejumlah itu biasa kami kerjakan selama 11 jam, yakni mulai jam 05.30 sampai dengan jam 16.00 dengan dikurangi jeda sekitar 30 menit untuk istirahat makan siang dan shalat dzuhur‖ (Wawancara

tanggal 1 Juni 2016). Sebagian informan penelitian yang bekerja di PT HMS berstatus sebagai pekerja tetap

dan sebagian yang lain, yang bekerja di PR GL, PR SB, PR PM, dan PR DW hanya berstatus sebagai pekerja lepas. Namun meski status berbeda, sistem pengupahan mereka sama, yakni

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

Page 4: POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

128

upah yang mereka terima dibayarkan secara mingguan. Besaran upah yang diterima juga bervariasi. Semua perempuan buruh di PT HMS yang menjadi informan penelitian sudah berstatus pekerja tetap, sedang untuk buruhdi empat PR lain yang berstatus sebagai karyawan lepas. Upah seorang pekerja tetap di PT HMS untuk masa kerja 13 tahun paling rendah sebesar Rp 450.000,- (empat ratus lima puluh ribu rupiah) dengan jam kerja 7 jam per hari. Apabila seorang pekerja bekerja penuh dalam satu minggu, dia berhak menerima bonus Rp 50.000,00. Dengan demikian, seorang buruh dengan masa kerja seperti itu setiap hari Sabtu bisa membawa pulang upah sebesar Rp 500.000,-. Dalam satu bulan seorang pekerja sedikitnya bisa menerima upah sebesar Rp 2.000.000,00. Jumlah itu sudah setara dengan UMK kota Malang yang besarnya Rp 2.099.000,- sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 68 tahun 2015 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2016 tertanggal 20 November 2015. Selain upah per bulan para buruh di PT HMS juga mendapatkan tunjangan hari raya (THR) paling rendah sebesar Rp 2.000.000,00. Jaminan sosial juga mereka peroleh, yakni berupa jaminan kesehatan dari BPJS Kesehatan, dan jaminan kecelakaan kerja dan jaminan pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan.

Sementara itu buruh di empat perusahaan lain, yakni PR GL, PR SB, PR PM, dan PR DW yang hanya berstatus kontrak besaran upah dan jaminan sosial yang diterima jauh di bawah upah dan jaminan sosial yang diterima oleh pekerja di PT HMS. Di PT GL seorang buruh yang memiliki masa kerja kontrak 13 tahun hanya menerima upah Rp 30.000,00 perhari dengan jam kerja 7 jam. Seorang buruh bernama panggilan Anik, mengatakan:

‖Kalau bekerja penuh 7 jam dari pagi sampai sore saya maksimal bisa memperoleh upah 30 ribu rupiah. Tapi kalau hanya bekerja setengah hari, saya hanya diupah sepuluh ribu rupiah. Jadi kalau bekerja penuh satu bulan saya paling banter dapat upah 900.000 rupiah‖ (Wawancara tanggal 21 Mei 2016).

Buruh di PT SB agak lebih baik dari pekerja di PT GL. Dengan masa kerja 8 tahun seorang buruh di PT SB maksimal dapat menerima upah sebesar Rp 1.200.000,00 dengan jam kerja mulai pukul 08.00 – 15.00 WIB. Hal ini sebagaimana diakui oleh seorang buruh bernama Indah:

―Sampai masa kerja saya yang sudah berjalan delapan tahun, saya memperoleh upah kurang lebih sebesar 1.200.000,00 rupiah per bulan‖ (Wawancara tanggal 24 Mei 2016).

Buruh di empat perusahaan rokok (PR) kecil selain menerima upah yang masih berada di jauh di bawah UMK Kota Malang, mereka juga tidak memperoleh jaminan sosial, baik jaminan kesehatan maupun jaminan kecelakaan kerja dan jaminan pensiun. Dalam hal THR pun juga sangat tergantung kondisi perusahaan, dalam artian tidak selalu setiap menjelang Idul Fitri para pekerja dapat menerima THR. Bagi buruh di PT HMS penghasilan dan jaminan sosial yang diterima selama ini dianggap sudah memadai untuk menghidupi keluarga sesuai standar kehidupan mereka. Itu dirasakan bahkan sejak awal mereka bekerja.

Gender Framework Analysis yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada International Labour Organization SEAPAT (1998) yang merumuskan, bahwa peran gender mencakup tiga peran yang sering diistilahkan dengan ―triple role”, dimana perempuan diposisikan pada peran reproduktif, produktif, dan aktifitas manajemen komunitas, sementara laki-laki terutama diposisikan pada peran produktif dan aktifitas-aktifitas politik.

Peran produktif buruh perempuan perusahaan rokok

Pada konteks ini peran produktif dimaknai sebagai yang bersangkutan dengan kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa yang diperdagangkan untuk memperoleh keuntungan yang dibayar dengan secara tunai ataupun secara barter. Mengenai peran produktif informan penelitian ini yang hendak dideskripsikan dan dianalisis menyangkut aspek-aspek: pekerjaan suami dalam 6 (enam) bulan terakhir; perbandingan antara penghasilan informan dengan penghasilan suami dalam satu bulan; peranan penghasilan informan dalam ekonomi rumah tangga; dan ada tidaknya pekerjaan sampingan yang dimiliki oleh para informan.

Data yang diperoleh berkaitan dengan pekerjaan suami pada 6 (enam) bulan terakhir

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

Page 5: POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

129

memberikan gambaran yang bervariasi. Para suami dari informanburuh di perusahaan rokok PT HMS sebagian ada yang memiliki pekerjaan tetap, sebagian ada yang bekerja serabutan, bahkan terdapat pula suami buruh yang sejak awal menikah tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Karena itu tidak sedikit dari buruh di PT HMS yang justru menjadi tiang penyangga rumah tangga, dalam pengertian penghasilan yang mereka peroleh merupakan satu-satunya sumber tumpuan ekonomi rumah tangga. Hal ini karena sejak awal menikah suami mereka tidak memiliki pekerjaan tetap, bahkan terdapat juga suami informan yang sejak awal menikah sama sekali tidak memiliki pekerjaan. Aktivitas suami hanya sekedar antar dan jemput istri ketika berangkat dan pulang bekerja dengan mengendarai sepeda motor hasil upah dari pekerjaan istri. Darmik, buruh berusia 55 tahun yang sudah bekerja selama 37 tahun mengakui bahwa sejak awal menikah suaminya tidak memiliki pekerjaan, hanya dia yang bekerja.

―Sejak awal menikah suami saya tidak bekerja. Aktivitasnya ya hanya antar jemput saya

waktu berangkat dan pulang kerja. Dulunya ya naik sepeda onthel, tapi belakangan pakai sepeda motor. Selebihnya, suami saya ya hanya di rumah saja. Tunggu rumah sambil membantu merawat anak-anak waktu masih kecil dan ngurusi rumah‖ (Wawancara 7 Mei 2016).

Marfuah, 50 tahun, dengan masa kerja 33 tahun menyatakan sejak awal sampai sekarang suaminya hanya berkerja serabutan.

―Pekerjaan suami saya itu tidak tentu, serabutan. Tergantung dari teman-temannya yang mengajak. Kadang diajak temannya beberapa minggu bekerja di bangunan, kadang diajak temannya yang lain untuk ikut truk mengirim hasil pertanian ke luar kota. Jadi penghasilannya tidak bisa dipastikan‖ (Wawancara tanggal 11 Mei 2016).

Fenomena yang menarik dialami oleh informan perempuan buruh di empat perusahaan rokok kecil. Para buruh ini mengaku bahwa para suami mereka juga bekerja, sebagian ada yang sebagai pekerja tetap di perusahaan dan lembaga swasta, dan ada sebagian lain yang bekerja serabutan meskipun dengan penghasilan yang pas-pasan. Karena itu penghasilan yang diperoleh para informan sebagai buruh di perusahaan rokok dirasakan sangat menunjang penghasilan suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Wiwik, seorang buruh di PR SB memberikan pengakuan yang bisa jadi dapat mewakili teman-teman sekelompoknya:

―Saya memiliki seorang anak usia 6 tahun yang masih sekolah di TK. Sampai saat ini suami saya bekerja di perusahaan swasta dengan penghasilan yang tidak jauh berbeda dengan yang saya peroleh setiap bulan. Dengan saya bekerja, setidaknya sampai saat ini kami masih mampu untuk memberikan jaminan kelanjutan sekolah anak‖

(Wawancara tanggal 26 Mei 2016) . Sriatun, 31 tahun yang sudah bekerja di PT GL selama 7 tahun juga mengemukakan hal

yang kurang lebih sama dengan pernyataan Wiwik: ―Suami saya itu sebagai pekerja tetap di sebuah perusahaan swasta, sekalipun penghasilannya per bulan

tidak lebih dari satu juta rupiah‖ (Wawancara 30 Mei 2016). Data yang diperoleh dari para informan penelitian juga menunjukkan bahwa mereka tidak

memiliki pekerjaan sampingan selain bekerja di perusahaan rokok. Untuk mememuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga sepenuhnya digantungkan pada upah yang diterima dari perusahaan rokok, ditambah dengan penghasilan dari para suami yang bekerja. Alasan yang dikemukakan tidak memiliki pekerjaan sampingan agak seragam, yakni selain karena merasa tidak memiliki keterampilan lain juga karena tidak punya waktu untuk memiliki aktivitas ekonomi lain. Kepada peneliti, Asmaul, 46 tahun, masa kerja 30 tahun di PT HMS memberikan gambaran:

―Saya dan beberapa teman itu sampai dapat bertahan bekerja lebih dari 30 tahun di PT HMS, karena memang tidak memiliki keterampilan lain. Jadi terus terang, kami ya tidak punya pikiran untuk memiliki usaha sampingan selain sebagai buruh pabrik rokok‖ (Wawancara tanggal 15 Mei 2016).

Khusnul, 48 tahun, juga pekerja di PT HMS yang sudah memiliki masa kerja 30 tahun kepada peneliti memberikan pengakuan yang kurang lebih sama dengan Asmaul:

―Saya berangkat kerja pukul 7 pagi dan pulang kerja sampai rumah pukul 4 sore. Sampai rumah ya

sudah lelah meskipun masih menyempatkan untuk melaksanakan pekerjaan rumah. Karena itu sudah tidak ada pikiran untuk menciptakan waktu untuk berusaha sampingan. Setalah pulang kerja, waktu sudah habis untuk urusan rumah tangga‖ (Wawancara tanggal 18 Mei 2016)

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

Page 6: POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

130

Ratna Saptari dalam diskusi di PSKK UGM (Viva.co.id, 3 Februari 2016|18.04 WIB) menyatakan bahwa kebanyakan perempuan yang bekerja sebagai buruh dalam industri rokok adalah perempuan yang menjadi sumber penghasilan utama bagi keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh sebagaimana dideskripsikan di atas memperkuat temuan penelitian Ratna Saptari. Secara ringkas bagaimana peran produktif perempuan buruh perusahaan rokok pada umumnya dapat dikemukakan sebagai berikut. Sejumlah informan menyebutkan bahwa suami mereka memiliki pekerjaan tetap, dan sebagian lagi bekerja secara tidak menentu atau bekerja serabutan. Namun terdapat juga sebagian suami informan yang tidak memiliki pekerjaan, bahkan sejak awal pernikahan. Data seperti ini juga sekaligus memberi makna, bahwa secara ekonomi rumah tangga, penghasilan informan dari bekerja di perusahaan rokok tidaklah sekedar sebagai penunjang, bahkan dalam kasus suami yang tidak memiliki pekerjaan, penghasilan informan merupakan tiang penyangga ekonomi rumah tangga.Sayangnya, walaupun perempuan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tetap saja dianggap sekedar pencari nafkah tambahan. Hal ini disebabkan adanya anggapan yang sudah melekat dalam masyarakat patriarki bahwa perempuan bukan pencari nafkah utama dalam keluarganya dan penghasilan kerja perempuan dianggap sebagai tambahan penghasilan suami (Indrayanti, 2003; Vermonte, 2016).

Peran domestik/reproduktif perempuan buruh perusahaan rokok

Peran reproduktif umumnya dihubungkan dengan peran demi keberlangsungan hidup manusia. Peran reproduktif ini hampir selalu menjadi tanggungjawab perempuan dewasa dan anak perempuan. Namun, seringkali peran sepenting ini belum dipandang sebagai pekerjaan oleh masyarakat, khususnya oleh komunitas laki-laki. Termasuk dalam peran reproduktif adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang diperlukan sebagai jaminan pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja, selain juga pemeliharaan angkatan kerja dan angkatan kerja masa depan. Pada penelitian ini peran-peran reproduktif yang dideskripsikan meliputi: siapa yang mengurus anak-anak yang belum dewasa dalam hal keperluan kebersihan, makan, dan pakaian, serta urusan sekolah ketika informan (ibu) bekerja; siapa yang menyiapkan keperluan makan/minum bagi keluarga ketika informan (ibu) bekerja; siapa yang mengurus kebersihan dan kenyamanan rumah tinggal; siapa yang paling berperan dalam mengurus dan memperhatikan gizi dan kesehatan keluarga; siapa yang paling berperan dalam mendidik (memberi nasehat, pengarahan, bahkan memarahi) anak-anak; sikap informan terhadap kemauan suami; waktu luang khusus informan untuk menyiapkan makan dan minum bagi suami; waktu luang khusus informan untuk mengurus dan menyiapkan pakaian suami; apakah informan juga mengurus kebutuhan suami, misalnya rokok atau uang saku.

Peran perempuan buruh perusahaan rokok dalam mengurus rumah tangga

Sebagai perempuan yang bekerja di perusahaan atau pabrik rokok, informan dituntut untuk berangkat pagi-pagi agar dapat sampai di tempat kerja tepat waktu. Karena itu apabila informan memiliki anak yang masih usia sekolah, khususnya yang masih duduk di sekolah dasar kiranya patut ditanyakan siapa yang mengurus segala keperluannya pada pagi hari, misalnya urusan mandi, pakaian, makan pagi, uang saku, perlengkapan sekolah dan lain-lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dalam wawancara dan diskusi kelompok terfokus, semua informan memberikan jawaban bahwa merekalah yang mengurus semua itu. Aktivitas mengurus anak tersebut dilakukan sebelum berangkat bekerja. Darmik, usia 55 tahun, buruh di PT HMS, misalnya, memberikan jawaban:

―Dulu waktu anak-anak masih sekolah saya harus bangun subuh. Memasak untuk keperluan makan pagi dan siang, dan untuk mempersiapkan keperluan sekolah anak-anak. Untuk keperluan makan malam saya siapkan sesudah pulang kerja. Belakangan, meskipun anak-anak saya sudah berkeluarga saya malah ganti mengurus cucu-cucu yang masih sekolah di taman kanak-kanak dan sekolah dasar, karena keluarga anak saya masih kumpul satu rumah dengan saya‖ (Wawancara 7 Mei 2016).

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

Page 7: POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

131

Demikian juga pengakuan dari Wiwik, perempuan muda dengan usia 26 tahun, buruh di PR SB yang memiliki anak usia 6 tahun dan masih duduk di bangku taman kanak-kanak:

―Saya harus bangun pagi-pagi memasak untuk sarapan keluarga dan untuk mempersiapkan keperluan anak saya untuk berangkat sekolah. Kemudian sambil saya berangkat bekerja sekaliyan mengantar anak ke sekolah. Sedangkan pulang sekolahnya, suaminya saya yang menjemput‖ (Wawancara 26 Mei 2016).

Dalam hal pengurusan sehari-hari kebersihan dan kenyamanan rumah tinggal para informan yang sudah memiliki anak dewasa menyatakan bahwa merekalah yang bertanggungjawab dan mengerjakannya dengan kadang-kadang saja dibantu oleh anak-anak. Asmaul, yang memiliki satu anak perempuan yang duduk di bangku SMK dan satu laki-laki, yang duduk di bangku SMP mengemukakan:

―Sehari-hari yang mengurus kebersihan rumah ya saya. Hanya kadang-kadang saja anak-anak itu membantu, kalau kebetulan sedang tidak banyak kegiatan sekolahnya‖ (Wawancara tanggal 15 Mei 2016)

Bagi informan penelitian yang belum memiliki anak dewasa, aktivitas mengurus kebersihan dan kenyamanan rumah tinggal sepenuhya dilakukan sendiri. Hanya sesekali saja dibantu suami. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari pernyataan Indah, usia 25 tahun, buruh di PR SB, yang memiliki anak usia 4 tahun:

―Untuk mengurus kebersihan dan kenyamanan rumah biasanya saya lakukan sendiri, karena

kebetulan rumah pemberian orang tua saya tidak terlalu besar. Hanya sesekali kalau ada barang-barang berat yang harus diangkat atau dipindah tempat saya minta bantuan suami‖ (Wawancara tanggal 24 Mei 2016).

Gizi dan kesehatan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan penting bagi seluruh anggota rumah tangga. Karena itu dalam keluarga perlu ada figur yang memiliki perhatian dan peran dalam mengurusnya. Ketika persoalan ini diajukan kepada para informan penelitian, hampir semua informan menyatakan bahwa mereka sendirilah yang paling memiliki perhatian dan peran dalam mengurus gizi dan kesehatan keluarga. Waktu yang digunakan untuk mengerjakannya juga memiliki pola yang sama, yakni pada pagi hari untuk menyiapkan makan pagi dan siang, sedangkan sore hari setelah pulang dari bekerja menyiapkan makanan untuk makan malam. Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan jawaban yang menyolok antara partisipan yang berusia lanjut dengan partisipan yang berusia muda. Marfuah, usia 50 tahun yang saat ini tinggal dengan suami dan satu anak laki-laki yang baru saja lulus SMK tetapi belum bekerja, mengaku:

―Meskipun penghasilan kami pas-pasan, tetapi saya berusaha untuk menyiapkan makanan keluarga dengan memperhatikan kandungan gizinya. Karena saya pikir, dengan cara seperti itu otomatis dapat menjaga kesehatan keluarga, dan dengan keluarga yang sehat, itu sudah dapat menekan pengeluaran keluarga. Jadi bisa lebih hemat‖

(Wawancara 11 Mei 2016). Anik, usia 32 tahun buruh di PR GL dengan masa kerja 13 tahun mengungkapkan hal

yang kurang lebih sama dengan Marfuah, sebagaimana disampaikan kepada peneliti: ―Saya terus terang tidak tahu banyak tentang gizi. Apalagi penghasilan saya dan suami kan kecil. Jadi

saya dalam menyiapkan makanan keluarga tidak pernah yang aneh-aneh, yang penting ada sayur, lauk tahu, tempe, kerupuk. Kadang-kadang saja beli ikan, atau telur. Namun waktu memasak saya berusaha alami saja, tidak menggunakan bumbu masak yang beli jadi. Itu menurut saya sudah sehat‖ (Wawancara tanggal 21 Mei 2016).

Pendidikan anak di keluarga merupakan aktifitas domestik yang sangat penting dan menentukan bagi pembentukan karakter dan perilaku anak. Karena itu orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam hal pendidikan anak ini. Ketika kepada para informan penelitian ditanyakan siapa diantara anggota keluarga yang paling berperan dalam mendidik anak–yang dalam hal ini meliputi memberi nasehat, pengarahan, bahkan juga memarahi apabila anak berbuat salah–, sekalipun mayoritas menjawab informan sendiri, namun ada pula yang menjawab suami. Dari data yang diperoleh terdapat kecenderungan bagi informan yang suaminya tidak bekerja dan bekerja serabutan, urusan mendidik anak diserahkan sepenuhnya kepada informan Kecenderungan ini setidaknya dapat dilihat dari pernyataan yang dikemukakan oleh Darmik, usia 55 tahun:

―Sejak anak pertama masih kecil sampai semua anak menjelang dewasa yang selalu ngomeli anak-anak ya saya, Pak. Suami saya itu tidak pernah mau mengurusi hal-hal seperti itu‖ (Wawancara tanggal 7 Mei 2016).

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

Page 8: POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

132

Pernyataan Anik, usia 32 tahun, yang suaminya bekerja serabutan, meskipun terdapat sedikit perbedaan penekanan juga mengarah pada kecenderungan yang sama dengan yang dikemukakan Darmik, sebagaimana dikemukakannya:

―Sebenarnya berat juga beban bagi saya. Sudah seharian bekerja, di rumah mengurus pekerjaan rumahan, tapi juga masih harus mengurus anak-anak. Tapi bagaimana lagi, suami menyerahkan semuanya kepada saya..... Apalagi, anak-anak juga lebih menurut kepada saya daripada ke suami‖ (Wawancara tanggal 21 Mei 2016).

Kecenderungan yang sebaliknya terjadi diantara informan yang suaminya memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Dengan berbagai alasannya masing-masing, urusan mendidik anak di keluarga menjadi tanggungjawab suami. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah terjadi di keluarga Siama, 51 tahun, sebagaimana disampaikan Siama kepada peneliti:

―Anak-anak itu kalau dengan saya terlalu manja, tetapi kalau dengan bapaknya mereka segan. Jadi, selama ini ya bapaknya yang tutur-tutur, memberi pengarahan, dan memarahi kalau anak-anak melakukan hal yang dianggap kurang patut‖ (Wawancara tanggal 13 Mei 2016).

Kuatnya peran perempuan buruh perusahaan rokok dalam peran domestik seperti ditemukan di atas memperkuat hasil survey Litbang Kompas menjelang Hari Ibu 2015 terhadap 1.640 pelajar menengah atas di 12 kota besar yang selain menempatkan ibu sebagai tokoh penting bagi kehidupan mereka juga ibu sebagai tempat curhat, dan memandang ibu sebagai pahlawan (Vermonte, 2016).

Relasi suami – isteri dalam rumah tangga perempuan buruh perusahaan rokok

Aspek yang tidak kalah penting dalam hal peran domestik/reproduktif adalah yang terkait dengan relasi suami–isteri di dalam rumah tangga. Aspek relasi yang perlu dideskripsikan diantaranya mencakup pandangan dan sikap suami terhadap istri yang bekerja; sebaliknya juga pandangan dan sikap isteri terhadap suami yang tidak bekerja atau suami yang bekerja namun penghasilannya lebih kecil dibanding isteri; dan pemberian perhatian khusus isteri terhadap suami.Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sebagian suami dari informan penelitian perempuan buruh yang bekerja di PT HMS tidak memiliki pekerjaan atau menganggur, dan sebagian lagi bekerja serabutan ala kadarnya dengan penghasilan yang masih jauh di bawah penghasilan informan. Bagaimana relasi suami isteri yang terjadi di rumah tangga informan yang seperti ini, dapat digambarkan dari pernyataan Darmik:

―Saya menikah setelah tiga tahun bekerja di PT HMS. Sejak awal saya tahu persis suami saya tidak bekerja.

Bagi saya tidak masalah, dan orang tua saya juga tidak mempersoalkannya. Selama perjalanan pernikahan sampai saat ini, relasi kami baik-baik saja. Dari yang saya tangkap dan rasakan, suami tidak merasa minder dengan saya, dan saya pun juga tidak memiliki perasaan bahwa saya lebih dari dia. Bagi saya, semuanya ya berjalan wajar-wajar saja selayaknya relasi suami isteri di keluarga-keluarga yang lain. (Wawancara tanggal 7 Mei 2016).

Dengan relasi seperti itu, ketika kepada para informanburuh di PT HMS dimintai penegasan mengenai sikap suami terhadap informan yang bekerja, jawaban informan cenderung seragam. Menurut mereka para suami bukan saja mendukung mereka bekerja, tetapi bahkan justru para suami berharap mereka untuk terus bekerja demi tetap tegaknya tiyang penyangga ekonomi rumah tangga. Asmaul, usia 46, misalnya dengan tegas menyatakan:

―Saya itu seperti beberapa teman lain. Saya menikah setelah empat tahun bekerja di PT HMS. Calon

suami tidak bekerja sampai sekarang. Ya, mungkin saja calon suami mau memacari saya justru karena saya sudah bekerja. Jadi ya otomatis dia mendukung saya untuk terus bekerja, apalagi suami saya sampai saat ini pun juga tidak memiliki pekerjaan‖ (Wawancara 15 Mei 2016).

Pada perempuan buruh yang bekerja selain di PT HMS, dimana dari sisi penghasilan berada agak jauh di bawah penghasilan pekerja di PT HMS, namun para suami mereka bekerja, relasi suami – isteri yang terjadi tidak jauh berbeda dengan yang yang terjadi pada rumah tangga perempuan pekerja di PT HMS. Informan secara psikologis tidak merasa ada kesenjangan relasi dengan suami mereka. Bahkan menurut pengakuan mereka, justru karena keduanya bekerja meskipun dengan penghasilan yang berbeda, relasi mereka terasa lebih nyaman, karena mereka berdua merasa setara. Pengakuan Wiwik, buruh PR SB memperlihatkan fenomena tersebut:

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

Page 9: POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

133

―Saya dan suami sama-sama bekerja, sekalipun penghasilan saya sedikit lebih besar dari suami. Tetapi saya merasakan tidak ada masalah dengan relasi kami. Kami saling mengerti dan saling mengisi. Dalam banyak pengambilan keputusan di rumah tangga, saya mencoba untuk selalu bicarakan dengan suami, sekalipun toh pada akhirnya suami akan menyerahkan keputusan akhir itu kepada saya. Karena itu, kami berdua bersepakat sedapat mungkin untuk terus bekerja.‖ (Wawancara tanggal 26 Mei 2016).

Pada sub bab tentang peran perempuan dalam pengambilan keputusan rumah tangga ini persoalan yang akan dideskripsikan berkaitan dengan bagaimana peran dan keterlibatan informan dalam pengambilan keputusan di rumah tangga. Deskripsi dirasa sangat perlu mengingat para informan–sebagaimana telah dideskripsikan di atas–memiliki peran domestik dan reproduktif yang relatif besar. Terkait dengan peran ini hampir semua informan penelitian mengajukan kepada peneliti jawaban yang kurang lebih sama. Sekalipun berbeda lokasi dan waktu jawaban Siama dan Aniek memiliki substansi yang sama sebagai berikut:

―Memang, ada hal-hal yang suami berusaha untuk ―tahu diri‖, misalnya dalam hal pengambilan keputusan

yang berkaitan dengan biaya sekolah anak, perbaikan rumah, penggunaan uang bonus atau tabungan saya untuk kepeluan-keperluan penting dan darurat. Dalam hal-hal tersebut, suami menyerahkan sepenuhnya kepada saya‖ (Siama, wawancara pada 13Mei, dan Aniek, wawancara tanggal 21 Mei 2016)

Data demikian menunjukkan bahwa sekalipun perempuan buruh memiliki peran produktif yang kuat, mereka tatap berusaha untuk melaksanakan peran domestik selayaknya ibu rumah tangga umumnya. Bahkan, pelaksanaan peran tersebut tidak berpengaruh sekalipun para suami mereka sama sekali tidak memiliki pekerjaan. Fenomena ini menguatkan temuan penelitian Kusdiartini (2002:123) tentang perempuan pedagang tradisional di Semarang. Temuan penelitian Kusdiartini menunjukkan adanya sikap ―nrimo‖ pedagang perempuan dikodratkan sebagai perempuan. Perempuan pedagang tetap tidak ingin menonjolkan diri atau mengklaim bahwa aktivitasnya sebagai pedagang adalah utama (pokok), melainkan sekedar hanya mendukung kegiatan suami, walaupun tidak tertutup kemungkinan penghasilan yang mereka peroleh jauh lebih besar dari apa yang didapat oleh suami mereka. Tampaknya fenomena seperti ini tidak terlepas dari masih kuatnya budaya patriarki yang berkembang di masyarakat (lihat juga Hubeis, 1990:154-159). Temuan penelitian ini juga menguatkan pendapat Goode (1983:53) bahwa menguatnya kultur patriarki justru tampak lebih kuat pada masyarakat strata rendah disbanding pada masyarakat berstrata lebih tinggi. Lebih jauh dari itu, fenomena ini menunjukkan masih terus berlangsungnya kekerasan sosial yang berupa domestifikasi, dimana perempuan ditempatkan sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pengurusan rumah tangga. Mereka tetap saja dituntut untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak walaupun mereka juga bekerja mencari nafkah atau menjalankan peran produktif (Muthmainnah, 2010; Prianto dan Utaminingsih, 2003; lihat juga, Indahsari, 2004).

Peran publik/politik perempuan buruh perusahaan rokok

Peran publik atau peran politik pada dasarnya merupakan suatu kebutuhan dari para ibu rumah tangga–dalam hal ini para perempuan buruh perusahaan rokok–untuk mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan masyarakat di lingkungannya, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pentingnya peran publik ini menurut Vermonte (2016) adalah bahwa ruang publik senantiasa menyediakan segala macam pilihan bagi perempuan yang aktif di dalamnya untuk bekerja dan naik kelas. Dalam pengertian yang lebih luas peran ini lebih mengarah pada proses bersosialisasi dari para ibu rumah tangga. Namun data yang diperoleh di lapangan menunjukkan, bahwa peran publik perempuan buruh perusahaan rokok dapat dikatakan rendah. Keterlibatan mereka di ruang publik hanya sebatas hadir di kegiatan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di tingkat Rukun Tetangga (RT) dan mengikuti kegiatan pengajian. Pengakuan yang dikemukakan Siama dapat menggambarkan fenomena itu.

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

Page 10: POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

134

―Saya dan umumnya teman-teman lain seusai kerja sampai di rumah sudah lelah. Itu pun masih harus mengurus pekerjaan-pekerjaan rumah dan mempersiapkan masakan untuk sore dan besok paginya. Jadi rasanya tidak ada waktu untuk melakukan kegiatan di luar rumah. Kegiatan PKK paling sebulan sekali. Pengajian kadang-kadang hadir. Kecuali kalau di pondok Singosari ada hajatan pengajian penting, kami biasanya hadir‖

Namun, pada umumnya yang terjadi adalah, tingkat peranan itu berbeda-beda yang terutama disebabkan oleh budaya dan kondisi lingkungan sekitar kaum perempuan, dimana mereka harus mengadakan berbagai pilihan yang mantap yang didasarkan pada kemampuan masing-masing.Di tempat kerja para informan juga tidak memiliki aktifitas publik. Hampir tidak ada aktivis organisasi buruh yang datang dari kalangan perempuan buruh ini. Menurut Indah, perempuan buruh dari PR SB, siapa yang aktif di organisasi buruh di tempatnya bekerja ditentukan oleh manajemen, umumnya mereka diambil dari buruh laki-laki. Seperti dikatakannya:

―Di organisasi buruh itu sifatnya perwakilan. Dan wakil itu dipilih oleh manajemen. Biasanya yang ditunjuk

adalah buruh laki-laki yang berasal dari bagian di luar produksi‖ Fenomena ini menunjukkan, bahwa seringkali perempuan tidak akan mampu berperan di

sektor publik manakala tidak mendapat dukungan dari lingkungan, termasuk lingkungan kerja. Dalam kaitannya dengan perempuan buruh perusahaan rokok ini kebijakan manajemen perusahaan sangat menentukan dalam memarginalkan perempuan buruh dalam memerankan peran publiknya (lihat juga, Tjandraningsih, 1999). Penelitian Ratna Saptari (Viva.co.id, 3 Februari 2016|18:04) juga memperjelas temuan penelitian ini bahwa perusahaan rokok lebih banyak mempekerjakan perempuan dibanding laki-laki, karena laki-laki lebih banyak terlibat di serikat buruh dan kerap melakukan aksi mogok kerja, sehingga dapat menghambat proses produksi.

D. Kesimpulan

Bahwa sebagian besar buruh perempuan perusahaan rokok yang menjadi partisipan penelitian merupakan tulang punggung keluarga. Sekalipun dominan dalam peran produktif, namun demikian para buruh tersebut juga memiliki peran domestik/reproduktif yang dominan di keluarga. Pada umumnya mereka juga tetap menghargai dan menghormati suami, terhadap suami yang tidak memiliki pekerjaan sekalipun. Hanya saja, secara de facto kultur patriarki masih kuat tertanam dalam masyarakat, baik di kalangan laki-laki maupun perempuan sendiri. Akibatnya, sekalipun perempuan buruh rokok itu memiliki peran produktif yang kuat, mereka belum memperoleh penghargaan masyarakat sebagaimana dituntut kerangka kerja gender–GFA. Selain perempuan buruh perusahaan rokok tetap (dituntut) melaksanakan peran domestik/reproduktif, peran produktif mereka juga tidak diimbangi oleh peran publik yang setara.

Daftar Pustaka

Asfar, 1996, Muhammad, 1996, Wanita dan Politik, Antara Karir dan Jabatan Suami, dalam Prisma, No. 5, Mei, Jakarta, LP3ES

Indah Sari, Dita, 2004, Hak-hak Sosial Ekonomi Buruh Perempuan: Realitas Kelabu di Tengah Setumpuk Konvensi,Kalyanamedia, Edisi I No. 4 Desember 2004, http://www.kalyanamitra.or.id/kelyanamedia/1/4/opini.htm

Indrayanti, Kadek, Wiwik, 2003, Pola Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh

Lembaga Lokal, dalam Jurnal Penelitian Edisi Ilmu-ilmu Sosial, Volume XIV, Nomor 1 International Labour Organization SEAPAT, 1998, Gender Learning & Information Module,

http://www.ilo.org/public/english/region/asro/mdtmanila/training/unit1 /groles.htm Muthmainnah, Yulianti, 2010, Memposisikan Perempuan dalam Hukum Perkawinan Indonesia

(www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&=article&id=578: memposisikan-perempuan-dalam-hukum-perkawinan-indonesia-suplemen-12ed31&catid=49:suplemen&Itemid=319

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

Page 11: POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

135

Prianto, Budhy, dan Utaminingsih, Alifiulahtin, 2005, Potret Perempuan Pekerja Kebun Apel Kajian Tentang ―Triple Role‖ dan ―Family Decission Making Role‖ Perempuan Pekerja Kebun Apel

di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, dalam Jurnal Penelitian, Volume XVII, Nomor 2

Sajogja, Pudjiwati, 1987, Peranan Wanita Dalam Keluarga Rumah Tangga dan Masyarakat Yang Lebih Luas di Pedesaan Jawa, Jakarta, Universitas Indonesia

Saliem, Handewi P, 1995, Potensi dan Partisipasi Wanita dalam Kegiatan Ekonomi Pedesaan, dalam Prisma, No. 6, Juni, Jakarta, LP3ES

Suyanto, Bagong dan Hendrarso, Emy Susanto, 1996, Pemberdayaan dan Kesetaraan Perempuan, dalam Prisma, No. 5, Mei, Jakarta, LP3ES.

Tjandraningsih, Indrasari, 1999, KrisisdanBuruhPabrik: Dampak dan Masalah ‗Jender‘, dalam

SMERU Monitoring the Social Crisis in Indonesia No. 06 / June-July 1999 Vermonte, Sinta F., 2016, Sumbangan Ibu Rumah Tangga, Kompas, Sabtu, 3 September Viva.co.id, 2016, Riset Temukan Sebab Pabrik Rokok Lebih Pilih Buruh Perempuan, #

Februari|18:04 WIB

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download

Page 12: POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA …€¦ · POTRET PEREMPUAN BURUH PERUSAHAAN ROKOK DI KOTA MALANG: DIANTARA PERAN DOMESTIK, PERAN PRODUKTIF DAN PERAN PUBLIK Budhy

136

SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN

http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download