14
Nama : Lisa Liem NIM : 11-2013-092 1. Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala: a. Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+) b. Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL c. Edema d. Dapat disertai hiperkolesterolemia Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun.Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik antara lain lupus eritematosus sistemik (LES),purpura Henoch Schonlein, dan lain lain. Pada konsensus ini hanya akan dibicarakan SN idiopatik. Definisi/batasan : Beberapa definisi/batasan yang dipakai pada SN adalah: 1. Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3

PR Lisa Liem

Embed Size (px)

DESCRIPTION

DR

Citation preview

Page 1: PR Lisa Liem

Nama : Lisa Liem

NIM : 11-2013-092

1. Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala:

a. Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin

sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)

b. Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL

c. Edema

d. Dapat disertai hiperkolesterolemia

Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris

adalah 2-4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang insidensnya

lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun.Perbandingan anak laki-

laki dan perempuan 2:1.

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder

mengikuti penyakit sistemik antara lain lupus eritematosus sistemik (LES),purpura

Henoch Schonlein, dan lain lain. Pada konsensus ini hanya akan dibicarakan SN

idiopatik.

Definisi/batasan :

Beberapa definisi/batasan yang dipakai pada SN adalah:

1. Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3

hari berturut-turut dalam 1 minggu

2. Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari

berturut-turut dalam 1 minggu

3. Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama

setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun

pengamatan

4. Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama

setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun

5. Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau

dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2

Page 2: PR Lisa Liem

kali berturut-turut

6. Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis

penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

Gambaran klinik

Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih

berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum. Kadang-kadang

disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai

sakit perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis. Pada

pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar

perut, dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International study of kidney

diseases in children), pada SNKM ditemukan 22% dengan hematuria

mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar

kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.

Pemeriksaan penunjang

pada urinalisi ditemukan proteinuria massif (≥2+), rasio albumin kreatinin urin

> 2 dan dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan

hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL), hiperkolesterolemia (> 200 mg/dl) dan laju endap

darah yang meningkat. Kadar ureum dan kreatinin normal kecuali ada penurunan

fungsi ginjal .

Pengobatan :

Pengobatan dengan prednisone diberikan dosis awal 60mg/m2/hari atau 2

mg/kgBB/hari ( maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi 3, selama 4 minggu,

dilanjutkan dengan 2/3 dosis awal ( 40 mg/m2/ hari, maksimum 60 mg/hari) dosis

tunggal pagi selang sehari ( dosis alternating) selama 4-8 minggu. Bila terjadi relaps,

maka diberikan prednisone 60 mg/m2/hari sampai terjadi remisi ( maksimal 4

minggu), dilanjutkan 2/3 dosis awal ( 40 mg/m2/hari) secara alternating selama 4

minggu. Pada SN resisten steroidatau toksik steroid, diberikan obat imunosupresan

lain seperti siklofosfamid peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal

dibawah pengawasan dokter nefrologi anak.

Page 3: PR Lisa Liem

Suportif :

Bila ada edem anasarka diperlukan tirah baring . selain Pemberian kortikosteroid atau

imunosupresan, diperlukan pengobatan suportif lainnya, seperti pemberian diet protein

normal ( 1,5-2 g/kgbb/hari), diet rendah garam (1,2 g/hari) dan diuretic. Diuretic furosemide

1-2 mg/kgbb/hari, bila diperlukan kombinasi dengan spironolakton ( antagonis aldesteron,

hemat kalium) 2-3 mg/kgbb/hari bila ada edem anasarka atau edem yang menganggu aktivits.

Jika ada hipertensi ditambahkan obat antihipertensi.Pemberian albumin 20-25% dosis 1

g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstitial dan diakhiri dengan

pemberian furosemide intravena 1-2 mg/kgbb dilakukan atas indikasiseperti edem refrakter,

syok atau kadar albumin ≤ 1 gram/dL. Terapi psikologi dapat diberikan kepada pasien dan

keluarg karena penyakit ini berulang atau merupakan penyakit kronik.

Dosis pemberian albumin :

Kadar albumin serum 1-2 g/dL ; diberikan 0,5 g/kgbb/hari ; kadar albumin< 1g /dL diberikan

1 g/kgbb/hari.

2. Asma bronkial

PENGERTIAN

Asma bronkial merupakan penyakit saluran pernapasan obstruktif yangditandai

inflamasi saluran dan spasme akut otot polos bronkiolus. Kondisi inimenyebabkan produksi

mukus yang berlebihan dan menumpuk, penyumbatan aliran udara, dan penurunan ventilasi alveolus

(Corwin, 2009).

Asma terjadi pada individu tertentu yang berespon secara agresif terhadap berbagai

jenis iritan di jalan napas. Faktor risiko untuk salah satu jenis gangguan hiper responsif ini

adalah riwayat asama atau alergi dalam keluarga, yangmengisyaratkan adanya kecenderungan

genetik. Pajanan yang berulang atau terus-menerus terhadap beberapa rangsangan iritan,

kemugkinan pada masa penting perkembangan, juga dapat meningkatkan risiko penyakit ini.

Infeksi pernapasan atas berulang juga dapat memicu asma awitan dewasa, seperti yang dapat

terjadi akibat pajanan okupasional terhadap debu di lingkungan kerja (Corwin, 2009).

Page 4: PR Lisa Liem

 ETIOLOGI

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan

Asma bronkhial.

1. Faktor predisposisi

Genetik

Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara

penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga

dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah

terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu

hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

2.  Faktor presipitasi

a.   Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

1).  Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan

ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi

2).  Ingestan, yang masuk melalui mulut

ex: makanan dan obat-obatan

3).  Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit

ex: perhiasan, logam dan jam tangan

b.   Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang

mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang

serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga.

Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

c.   Stress

Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa

memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus

segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat

untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala

asmanya belum bisa diobati.

Page 5: PR Lisa Liem

d.   Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan

dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri

tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

e.   Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau

aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma

karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

 PATOFISIOLOGI

Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan

sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-

benda asing di udara.

Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut :

seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E

abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan

antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat

pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil.

Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat,

alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini

akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi

lambat (yang merupakan leukotrient), factor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek

gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding

bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme

otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat

meningkat.

Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi dari pada selama

inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar

bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah

akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.

Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi

sekali-kali melakukan ekspirasi.  Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional

Page 6: PR Lisa Liem

dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran

mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1.   Pemeriksaan radiologi

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan

menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan

peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat

komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:

a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.

b. Bila terdapat komplikasi empisema/ chronic obbstructive pulmonary disease(COPD),

maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.

c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru

d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.

e.  Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka

dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.

2. Pemeriksaan laboratorium

a.  Analisa gas darah pada umumnya normal  akan tetapi  dapat pula terjadi

hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.

b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT (serum glutamic oxalacetic

transaminase) dan LDH (L-lactate Dehydrogenase).

c.       Hiponatremia dan kadar  leukosit kadang-kadang  di atas 15.000/mm3 dimana

menandakan terdapatnya suatu infeksi.

3. tes fungsi paru yaitu spirometri untuk mengetahui obstruksi pada paru.

Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat

dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.

Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol

(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih

dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari

20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga

penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan

tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

Page 7: PR Lisa Liem

DIAGNOSA ASMA BRONCHIAL

Diagnosis asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala yang klasik seperti sesak

nafas, batuk dan mengi. Adanya riwayat asma sebelumnya, riwayat penyakit alergik seperti

rinitis alergik, dan keluarga yang menderita penyakit alergik, dapat memperkuat dugaan

penyakit asma. Penemuan pada pemerikasaan fisik penderita asma tergantung dari derajat

obstruksi jalan nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, takikardi, pernapasan

cepat sampai sianosis, dari keluhan diatas dapat dijumpai pada penderita “ASMA

BRONCHIAL”.

TERAPI DAN TINDAKAN

  Terapi

a.      ASMA AKUT

1)      Bila ada sesak berikan :

Aminofilin 200 mg  3 X 3-5 mg/kg BB, selama sesaknya masih ada.

2)      Salbutamol merupakan bronkodilator yang sangat poten bekerja cepat dengan efek samping

minimal.

Salbutamol : 3 X 0,05-0,1 mg/kg BB

3)      Bila ada batuk berikan ekspectoran,

Glicseril guaiakolat (GG) dosis : 3X sehari

4)      Bila ada tanda infeksi (demam) berikan antibiotika,

amoxilin 500 mg dengan dosis 3 X  sehari

b.      ASMA BERAT

Bila ada sesak yang berat

Adrenalin 0,3 mg-0,5 mg SK, dapat diulang 15-30 menit kemudian, atau Aminofilin bolus 5-

6 mg/kg BB IV pelan-pelan.

1)      untuk menghilangkan atau mengurangi peradangan. Dexametason 5 mg IV.

2)      Bila ada respon berikan Oksigen : 2-4 lt/menit.

Page 8: PR Lisa Liem

2. Status asmatikus

Definisi

Status asmaikus adalah serangan asma akut  yang sangat parah, berkepanjangan, dan

tidak merespon terapi biasa secara memadai. Hal ini disebabkan oleh penyempitan

saluran napas akibat bronkospasme yang sedang berlangsung, edema, dan penyumbatan

lendir. Kondisi ini bisa diikuti hipoksia, sianosis, dan sinkop yang bisa berakhir fatal.

Gejala

A. Asma akut berat yang potensial mengancam jiwa :

1. Bising mengik dan sesak napas

2. Frekuensi napas >2x/menit

3. Denyut nadi >110x/menit

4. Arus puncak ekspirasi (APE) , < 50%nilai prediksi atau nilai eriggi yang pernah

dicapai ≤ 120 liter/menit

5. Penurunan tekanan darah sistolik pada waktu inspirasi, pulsus paradoksus, >

10mmHg.

B.Serangan asma berat yang sudah mengancam jiwa :

1. Suara napas lemah (silent cest)

2. Sianosis

3. Bradikardi atau hipotensi

4. Kelelahan, bingung gelisah dan kesadaran menurun

5. APE < 33% dari nilai terbaik.

Penatalaksanaan

1.      Oksigen

Selalu diberikan, baik dengan kanula hidung atau sungkup unuk mencegah dan mengatasi

hipoksemia.

2.      Bronkodilator:

a.       Inhalasi agonis β2 dosis tinggi

Diberikan salbutamol 2,5-5 mg atau terbutalin 2,5-5 mg secara nebulisasi, dapat diulang

setiap 20 menit dalam 1 jam.

b.      Injeksi agonis β2 atau simpatomimetik lainnya, salbutamol, terbutalin atau orsiprenalin

dapat diberikan 0,5-1 ml subkutan diulang setelah 30 menit.

c.       Aminofilin injeksi

Diberikan dengan dosis 5-6 mg/kg berat badan diencerkan dalam larutan deksrose 5% sama

banyak secara i.v 10-15 menit.

d.      Antikolinergik

Page 9: PR Lisa Liem

Ipraropin bromid, atau kombinasi agonis β2 melalui inhalasi dengan nebulasi.

3.      Kortikosteroid

Kortikosteroid dosis tinggi. Steroid pilihan adalah yang bekerja cepat, hidrokortison 200mg

intravena atau metilprednison injeksi atau tablet 30-60 mg atau keduanya.

Setelah dilakukan pengobatan awal dengan bronkodilator dan steroid, terhadap

penderita dilakukan pemantauan mengenai klinis dan nilai APE setiap 15 menit, setelah 30

menit dilakukan evaluasi.

3. KID

Koagulasi intravascular difusa disebut juga konsumtif koagulopati fibrin merupakan

kelainan perdarahn, ditandai dengan aktivitas simultan system kougulasi dan

fibrinolysis. Deposit fibrin pada mikrovaskuler serta konsumsi trombosit dan

prokoagulan merupakan ciri khas KID. Manifestasi klinis antara lain adalah oozing

pada bekas tusukan jarum serta perdarahan mukosa, petekie dan ekimosis. Sebagai

penyakit yang mendasari sepsis merupakan penyebab tersering KID selain keganasan,

trauma, dan sindrom malignancy, dan kasabach-merritt. Pada pemeriksaan

laboratorium didapatkan waktu waktu pembekuan yang memanjang, pemanjangan PT

dan aPTT, trombositopenia, serta peningkatan produk degradasi fibrin ( FDP) dan D-

dimer.

Prinsip terapi KID adalah mengatasi penyakit yang mendasarinya, koreksi syok,

asidosis dan hipoksia yang biasa menyertai KID untuk mengembalikan hemostatis

normal, mencegah kehilangan trombosit dan faktor pembekuan lebih lanjut, serta

mencegah komplikasi karena perdarahan.

Transfuse trombosit diberikan untuk mempertahankan jumlah trombosit lebih dari

50.000/mm3, bersama-sama dengan tranfusi fresh frozen plasma untuk

mempertahankan PT dan aPTT kurang dari 1,5 kali control normal dan kadar

fibrinogen diatas 1,5 g/liter/ transfuse packed red cel /washed red cel bila Hb < 8 g/dl.

Kriopresipitat ( 50-100 mg/kgbb pada hipofibrinogenemia berat ( fibrinogen <1 g/L)

satu kantong kripresipitat mengandung 200 mg fibrinogen. Pemberian antikougulan

masih menjadi perdebatan. Dosis pada anak belum disepakati, namun secara umum

para peneliti sepakat meberikan dosis rendah 5-10 U/kgbb/jam dan lebih disukai

penggunaan low molecular weight heparin.