Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Preparasi Protein Kedelai Ftalat Suksinat sebagai Matriks pada Tablet Enterik Asetosal
Novia Ayu Fajarningrum, Effionora Anwar, dan Juheini Amin
Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Sediaan enterik merupakan sediaan yang dapat melewati lambung kemudian obat akan hancur dan diabsorpsi di usus. Penelitian ini bertujuan untuk memodifikasi protein kedelai dengan ftalatasi kemudian suksinilasi dan memformulasikan sediaan tablet matriks enterik menggunakan protein kedelai ftalat suksinat (PKFtS) dimana asetosal digunakan sebagai model obat. Konsentrat protein kedelai (PK) diftalatasi dengan anhidrida ftalat dengan perbandingan 1:2 (PKFt), kemudian disuksinilasi dengan anhidrida suksinat dengan perbandingan 1:2,5 (PKFtS) pada pH 8,0-8,5. PKFtS diformulasikan sebagai eksipien matriks tablet enterik dimana dibuat 3 formulasi PKFtS (F1), PKFtS:HPMCP (Hidroksi Propil Metil Selulosa Ftalat) (F2), dan HPMCP (F3) sebagai pembanding. Tablet enterik yang dihasilkan dievaluasi dan dilihat pelepasan obatnya. Hasil penelitian menunjukkan F1 memiliki kemampuan mengembang 154,79 ± 1,69% dalam HCl pH 1,2 dan sebesar 242,16 ± 3,55% dalam dapar fosfat pH 6,8. Pengujian kadar dari F1, F2 dan F3 berturut-turut adalah 101,66 ± 1,63%, 101,44 ± 1,84%, dan 97,91 ± 1,49%. Pelepasan asetosal dari tablet matriks enterik F1, F2, dan F3 terdisolusi sebanyak 22,62 ± 2,44%, 16,65 ± 1,39% dan 1,10 ± 0,15% pada HCl pH 1,2 dan 60,78 ± 2,39%, 44,21 ± 2,22% dan 19,88 ± 1,49% pada dapar fosfat pH 6,8. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa PKFtS yang dibuat pada penelitian ini belum dapat digunakan sebagai matriks tunggal pada sediaan lepas tunda.
Preparation of Soybean Protein Phthalate Succinate as Matrix for Enteric Tablet Containing Acetylsalicylic Acid
Abstract
Enteric solid dosage forms are intended to pass through the stomach intact to disintegrate and release their drug content fot absorption along the intestines. The aim of this study was to modified soybean protein with phthalated then succinylated and to formulate matrix enteric dosage form using soybean protein phthalate succinate (SPPS) with acetylsalicylic acid as model drug. Soybean protein (SP) was phthalated using phthalic anhydride 1:2 (SPP), then succinylated using succinic anhydride 1:2,5 (SPPS) in pH 8,0-8,5. SPPS were formulated as matrix in enteric tablet, there 3 formulations SPPS (F1), SPPS:HPMCP (Hydroxy Propyl Methyl Celullose Phthalate) (F2), and HPMCP (F3) as comparator. Enteric dosage forms were evaluated and the drug release profile were studied. Result of study showed that F1 had swelling index 154,79 ± 1,69% in medium HCl pH 1,2 and 242,16 ± 3,55% in medium buffer phosphate pH 6,8. Assay of F1, F2, and F3 were 101,66 ± 1,63%, 101,44 ± 1,84%, and 97,97 ± 1,49%. Drug release profil of acetylsalicylic acid from matrix enteric tablet F1, F2 and F3 were dissoluted with 22,62 ± 2,44%, 16,65 ± 1,39% and 1,10 ± 0,15% in medium HCl pH 1,2 then 60,78 ± 2,39%, 44,21 ± 2,22% and 19,88 ± 1,49% in medium buffer phosphate pH 6,8. Based on the research result, it can be concluded that SPPS that made in this study hasn’t yet applicated as matrix in delay release.
Keywords: enteric; matrix; phthalate; soybean protein; succinylation
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Pendahuluan
Sediaan enterik merupakan sediaan yang mengandung bahan atau polimer yang tidak
larut atau tidak hancur di lambung, tetapi dapat larut atau hancur di usus. Pelepasan obat dapat
ditunda sampai obat melewati lambung dan kemudian obat akan hancur serta diabsorpsi di
usus. Sediaan ini dibuat untuk obat-obat yang dapat rusak atau inaktif karena cairan lambung,
atau dapat mengiritasi mukosa lambung, atau apabila melintasi lambung akan menambah
absorpsi obat di usus halus (Ansel, 2008). Polimer enterik dapat ditambahkan ke dalam sistem
matriks untuk penggunaan pada sediaan lepas tunda (Dulin, 2010). Polimer enterik
merupakan polimer yang sensitif terhadap pH usus (±7) sehingga pada pH tersebut, matriks
akan mengembang dan melepaskan zat aktifnya.
Suatu matriks adalah suatu pembawa inert dimana suatu obat tercampur secara merata.
Pada umumnya, obat ada dalam persentase kecil, sehingga matriks dapat memberikan
perlindungan yang lebih besar terhadap air dan obat berdifusi keluar secara lambat (Shargel &
Andrew, 2005). Pengaruh polimer enterik dalam pelepasan obat bergantung pada kondisi pH
lingkungan, kebasaan obat, serta kemampuan pengambilan air, dan permeabilitas matriks
(Dulin,2010).
Indonesia merupakan negara kaya akan sumber daya alam khususnya dibidang
pertanian dan komoditi pangan. Beberapa tahun terakhir, sedang berkembang pesat
penggunaan protein dari komoditi pangan untuk tujuan farmasi (Caillard & Subirade, 2012).
Satu diantara tanaman dengan kandungan tinggi protein adalah tanaman kedelai yang sering
dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Pada umumnya, kedelai digunakan untuk diambil
minyaknya, dan residu dari pengolahan minyak mengandung protein yang tinggi, sehingga
protein tersebut akan dimanfaatkan sebagai eksipien dalam sediaan farmasi.
Protein memiliki beberapa keterbatasan fungsional, maka untuk meningkatkan daya
guna protein dapat dilakukan modifikasi kimia (Feeney & Whittaker, 1985). Peningkatan
muatan negatif dari protein yang disebabkan oleh penambahan gugus karboksilat dapat
mengakibatkan perubahan dalam konformasi dan sifat fungsional protein (Howell, 1996).
Gugus karboksilat yang menggantikan gugus NH2 pada protein dapat terionisasi menjadi ion
karboksil yang menyebabkan terjadinya kelarutan pada suasana basa (Champage, 2008) dan
dapat menurunkan kelarutan di suasana asam (Caillard, Petit, & Subirade, 2009). Satu
diantara cara untuk meningkatkan gugus karboksilat pada protein adalah dengan reaksi asilasi
menggunakan asam anhidrida seperti anhidrida suksinat dan anhidrida ftalat. Untuk
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
meningkatkan ketersediaan polimer enterik, maka akan dilakukan modifikasi kimia terhadap
protein kedelai ftalat suksinat.
Sediaan enterik telah banyak dibuat untuk berbagai tujuan, antara lain untuk
melindungi lambung dari obat yang dapat mengiritasi mukosa lambung. Asetosal merupakan
esterifikasi dari gugus hidroksil fenol pada asam salisilat yang memiliki aksi sebagai
antipiretik, antiinflamasi dan untuk menghambat agregasi platelet yang paling sering
digunakan, namun memiliki efek samping yakni dapat mengiritasi mukosa lambung
(Offermanns & Rosenthal, 2008).
Pada penelitian ini akan dikembangkan suatu eksipien yakni konsentrat protein kedelai
yang disubstitusi gugus ftalat dan suksinat. Protein kedelai ftalat suksinat ini digunakan
sebagai matriks pada tablet enterik yang diharapkan dapat menahan pelepasan obat di
lambung kurang dari 10%, sebagai model zat aktif digunakan asetosal sehingga dapat
melindungi lambung dari efek samping penggunaannya.
Tinjauan Teoritis
Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat
dengan bahan tambahan farmasetika yang sesuai (Ansel, 2008). Menurut Farmakope
Indonesia edisi IV, tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa
bahan pengisi.
Sediaan tablet enterik dapat diartikan pengembangan farmasetika yang didesain untuk
melewati lambung dan hancur di usus halus (Dulin, 2010). Beberapa pertimbangan dapat
dijadikan alasan untuk menggunakan sediaan enterik, antara lain untuk menghindari iritasi
mukosa lambung atau esophagus dari suatu obat, contohnya obat asetosal dan bifosfonat;
untuk melindungi obat dari kerusakan akibat asam lambung atau enzim, contohnya obat
duloxetine dan proton pump inhibitor; untuk menargetkan obat pada tempat spesifik untuk
efek lokal, mendapatkan konsentrasi yang tinggi atau sistem absorpsi, contohnya pengobatan
spesifik pada kolon seperti asam 5-asetilsalisilat untuk colitis, absorpsi di kolon dari peptide
dan protein; dan untuk pelepasan ditunda untuk penundaan atau efek double-pulse, contohnya
valsartan dan hidrokortison untuk kronoterapi (Dulin, 2010). Penggunaan material untuk
sediaan enterik melindungi pelepasan obat di lambung karena merupakan polimer yang
bersifat asam dimana akan stabil atau tidak larut di pH asam, dan akan terlarut dengan cepat
di usus halus (Yihong, Yisheng, Geoff, Lirong, & Porter, 2009).
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Beberapa polimer enterik dapat ditambahkan ke dalam sistem matriks untuk
digunakan pada sediaan lepas tunda. Sediaan dengan pelepasan ditunda mengontrol pelepasan
obat dengan swelling secara perlahan dan akan hancur, atau digesti dengan bantuan enzim di
dalam usus halus. Material sediaan enterik adalah polimer yang memiliki gugus asam
karboksilat dimana konsentrasi dan distribusi pada gugus asam di polimer akan menentukan
mekanismenya di pH gastrointestinal (Dulin, 2010). Polimer enterik dapat diformulasikan
dengan menggunakan cara kempa langsung atau granulasi basah untuk dijadikan matriks.
Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat menggunakan polimer enterik adalah pH
lingkungan, kebasaan dari obat dan uptake air dan juga permeabilitas matriks. Persiapan
formulasi untuk pengempaan berdasarkan perbandingan antara polimer dan obat. Apabila
perbandingan antara obat dan polimer tinggi, maka digunakan granulasi basah (Hong &
Kinam, 2011).
Glycine max L. Merill atau kedelai merupakan tanaman dengan family Leguminosae
dan subfamily Papilionoidae. Kedelai merupakan tanaman yang memiliki konsentrasi protein
yang tinggi (Ying, 2006). Protein yang terkandung di dalam keledai sekitar 38-42%.
Kandungan protein dipengaruhi beberapa faktor, antara lain varietas kedelai dan kondisi
pertumbuhannya (McMann, 2000). Terdapat beberapa produk dari biji kedelai, seperti tepung
kedelai, konsentrat protein kedelai dan isolat protein kedelai.
Dalam pengaplikasiannya, protein memiliki keterbatasan sifat fungsional sehingga
untuk meningkatkan keterbatasan fungsional dapat dilakukan modifikasi kimia pada protein
(Feeney, 1977; Feneey & Whittaker, 1985).Satu diantara modifikasi kimia yang paling sering
digunakan adalah asilasi dari residu asam amino dengan asam anhidrida (Howell, 1996).
Untuk meningkatkan muatan negatif dari protein, maka dapat dilakukan penambahan gugus
karboksil yang dapat mengubah konformasi dan sifat fungsional (Howell, 1996). Untuk
memperluas sifat fungsional maka dapat dilakukan modifikasi protein dengan mengubah agen
pengasilasi.
Anhidrida ftalat dapat bereaksi dengan lisin dengan reaksi asilasi. ɛ-lisin merupakan
asam amino yang memiliki reaktivitas tinggi (Howell, 1996). Anhidrida ftalat juga dapat
membentuk reaksi esterifikasi antara gugus hidroksil dengan asam karboksilat (Jarowenko,
1989).
Reaksi suksinilasi dilakukan penambahan anhidrida suksinat terhadap protein kedelai,
sehingga gugus yang bermuatan positif pada asam amino lisin digantikan oleh gugus
karboksil yang bermuatan negatif (Caillard, Petit, & Subirade, 2009). ɛ-N-lisin tersuksinilasi
lebih stabil dibandingkan O-suksinilasi pada tirosin karena mudah terdekomposisi, sedangkan
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
O-suksinilasi pada serin dan treonin dapat terdeasilasi kembali dengan adanya hidroksilamin.
Gugus fenolik hidroksil dari tirosin kurang reaktif karena pK yang tinggi. Gugus imidazol
dari histidin dan gugus thiol dari sistein jarang terasilasi karena hasil reaksi dapat terhidrolisis
dalam medium berair (aqueous). Sedangkan gugus alkoholik hidroksil dari serin dan treonin
tidak mudah diasilasi di dalam larutan aqueous karena memiliki nukleofil yang lebih lemah
(Hettiarachchy, Sato, Marshall, & Kannan, 2012).
Asam asetilsalisilat dan aspirin merupakan nama lain dari asetosal yang merupakan
derivat asam salisilat dimana esterifikasi dari gugus fenolik hidroksil dari asam salisilat
dengan asam asetat memberikan khasiat antipiretik dan antiinflamasi, dan juga dapat
menghambat agregasi platelet (dengan menghambat sintesis tromboksan-A2) (Offermanns &
Rosenthal, 2008). Efek samping asetosal adalah pendarahan pada pencernaan, tukak pada
saluran pencernaan termasuk perforasi lambung, iritasi mukosa lambung dan ulcer, mual,
muntah, dan telinga berdengung (Reynolds, 1982; Offermanns & Rosenthal, 2008).
Metode Penelitian Bahan Kacang kedelai varietas Grobogan yang diperoleh dari Balitro, Indonesia. Anhidrida
suksinat diperoleh dari Abblis Chemicals LLC, USA. Anhidrida ftalat diperoleh dari Merck,
Jerman. Asetosal diperoleh dari Novacvi, Perancis. Metode Pembuatan Konsentrat Protein Kedelai
Pembuatan konsentrat diawali dengan membuat tepung kedelai, dengan cara
memisahkan kulitnya, lalu biji kedelai dikeringkan dalam oven pada suhu 40-45°C, dan
dihancurkan serta diayak dengan pengayak 80 mesh. Dilanjutkan pemisahan minyak dengan
pelarut heksana. Perbandingan tepung kedelai dengan heksana adalah 1:3, dan pengadukan
dilakukan selama 5 jam dengan 5 siklus. Endapan yang diperoleh dikeringkan dalam oven
pada suhu 40-45°C. Untuk pemisahan komponen lain seperti oligosakarida dan gram
dilakukan dengan pelarut etanol 70%, hingga hasil cucian negatif dengan pereaksi Molisch.
Endapan protein yang diperoleh diambil dan dikeringkan kembali dalam oven pada suhu 40-
45°C (L’hocine, et al, 2006, Acton 2013).
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Penetapan Kadar Minyak Konsentrat Protein Kedelai Penetapan kadar minyak dilakukan dengan metode soxhlet, menggunakan ±10 gram
sampel dan 300 ml heksana teknis, dilakukan pada suhu 60°C selama dua jam setelah tetesan
pertama dari pendingin balik. Setelah proses ekstraksi selesai, pelarut diuapkan menggunakan
evaporator vakum. Kadar minyak dihitung dengan persamaan:
% Minyak = 100SM× (1)
Keterangan:
M adalah berat minyak yang diperoleh (gram)
S adalah berat sampel yang digunakan (gram) (Minzangi, Kaaya, Kansiime, Tabuti, &
Samvura, 2011). Ftalatasi konsentrat protein kedelai
Protein kedelai didispersikan dalam aquadest dengan konsentrasi 5 %. Anhidrida ftalat
digunakan dengan perbandingan 2:1 terhadap protein kedelai. Larutan anhidrida ftalat
diteteskan secara perlahan, dan pH dijaga antara 8,0-8,5 dengan penambahan larutan NaOH
5N. Setelah pH stabil, protein kedelai diendapkan dengan penambahan HCl 5N hingga pH
4,0-4,5. Endapan dicuci dengan etanol 96% hingga tidak terdeteksi ftalat pada bilasan terakhir
(diidentifikasi dengan tidak adanya serapan secara spektrofotometri UV-Vis). Endapan
protein dinetralkan, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 40-45°C dan diayak dengan
pengayak 60 mesh (Billmers & Tessler, 1994; Caillard, Petit, & Subirade, 2009). Suksinilasi Konsentrat Protein Kedelai
Protein kedelai ftalat didispersikan dalam aquadest dengan konsentrasi 5 %. Larutan
anhidrida suksinat diteteskan secara perlahan, dan pH dijaga antara 8,0-8,5 dengan
penambahan larutan NaOH 5N. Setelah pH stabil, protein kedelai diendapkan dengan
penambahan HCl 5N hingga pH 4,0-4,5. Asam suksinat yang masih tersisa dicuci dengan
etanol 96% hingga hasil negatif dengan pereaksi FeCl3. Endapan protein dinetralkan, lalu
dikeringkan dalam oven pada suhu 40-45°C dan diayak dengan pengayak 60 mesh
(Mirmoghtadaie, Kadivar, & Shahedi, 2009). Anhidrida suksinat yang digunakan sebanyak
2,5:1 terhadap protein kedelai.
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Derajat Suksinilasi
Derajat suksinilasi dilakukan dengan metode TNBS (trinitrobenzen sulfonat).
Sebanyak 1 ml larutan TNBS 0,1% ditambahkan ke dalam 20 ml larutan protein (0,25% b/v),
lalu dipanaskan pada 60°C selama 2 jam, dan didinginkan hingga suhu kamar. Selanjutnya
ditambahkan 1 ml natrium dodesil sulfat 10% dan 0,5 ml HCl 1 M. Serapan diukur pada
panjang gelombang 335 nm (Lawal, 2001; Caillard, Petit, & Subirade, 2009). Perhitungan
derajat suksinilasi:
% Suksinilasi = 100LysCLysRLysC
×−
(2) Keterangan:
LysC adalah serapan larutan protein kedelai sebagai blanko
LysR adalah serapan larutan protein kedelai setelah dimodifikasi lebih daripada
blanko Analisis Gugus Fungsi
Analisis dilakukan dengan spektrofotometri IR, dimana sebanyak 2 mg sampel digerus
homogen bersama 98 mg KBr yang telah dikeringkan. Pemeriksaan dilakukan pada panjang
gelombang 400 sampai 4000 cm-1.
Indeks Mengembang Sampel ditimbang sebanyak 500 mg dan dimasukkan ke dalam gelas ukur. Medium
yang digunakan adalah medium asam berupa HCl pH 1,2 dan medium basa berupa dapar
fosfat pH 6,8. Medium dimasukkan masing-masing sebanyak 10 mL. Indeks mengembang
diukur berdasarkan peningkatan volume serbuk. Sampel kemudian dilihat volumenya pada
menit ke-0, 15, 30, 45, 60, dan 120.kemudian dihitung dengan rumus:
% Pengembangan = 100V
)V(V
1
12 ×−
(3) V2 adalah volume sampel yang telah mengembang
V1 adalah volume sampel pada menit ke-0 (Daramola & Osanyinlusi, 2006; Na,
Yuhua, & Junhui, 2007, telah diolah kembali).
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Daya Larut
Sampel didispersikan 2% b/v dalam medium. Pelarut yang digunakan yaitu medium
asam berupa HCl pH 1,2 dan medium basa berupa dapar fosfat pH 6,8. Sampel dilarutkan
selama 30 menit dengan pengadukan kontinyu. Larutan disentrifugasi pada 3700 rpm selama
20 menit. Supernatan jernih yang terbentuk diambil lalu dikeringkan di oven 105°C. Setelah
kering, timbang beratnya sampai didapat berat konstan (Daramola & Osanyinlusi, 2006),
kemudian kelarutan dihitung dengan rumus:
Perbandingan Daya Larut = supernatan Volume
kering supernatanBerat (4)
Pembuatan sediaan tablet enterik Asetosal Metode yang digunakan adalah dengan granulasi basah. Xanthan gum sebagai
pengikat dibuat menjadi larutan dengan menggunakan aqudes dan alkohol dengan
perbandingan 1:5. Seluruh bahan-bahan dicampurkan sampai homogen, kemudian
ditambahkan sedikit demi sedikit larutan xanthan gum dan diaduk hingga terbentuk massa
yang bisa dikepal dengan tangan. Massa yang terbentuk diayak dengan ayakan 8 mesh,
kemudian dikeringkan selama 2-3 jam di dalam oven hingga kadar air mencapai 2,5-5%.
Massa granul yang sudah dikeringkan diayak dengan ayakan 16 mesh. Talk dimasukkan ke
dalam massa granul tersebut dan diaduk hingga terbentuk massa homogen, selanjutnya massa
granul dicetak menjadi tablet dan kemudian dilakukan evaluasi. Tablet matriks enterik
asetosal dibuat dengan formula seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Formula tablet matriks enterik asetosal
Bahan F1 F2 F3 Asetosal 100 100 100 PKFtS 579 (82,71%) 289,5 (41,35%) - HPMCP - 289,5 (41,35%) 579 (82,71%) Xantan gum (1,5%) 10,5 10,5 10,5 Talk (1,5%) 10,5 10,5 10,5 Total (mg) 700 700 700
Penampilan Fisik
Ciri-ciri fisik yang perlu diperhatikan antara lain bentuk, warna, tekstur dan bentuk
permukaan tablet, serta ada atau tidaknya bau dan kerusakan pada tablet tersebut.
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Keseragaman Ukuran
Uji keseragaman ukuran dilakukan terhadap 20 tablet dengan mengukur diameter dan
ketebalan tablet dengan menggunakan jangka sorong. Tablet memenuhi persyaratan
keseragaman ukuran apabila diameter tablet tidak lebih dari 3 kali dan tidak kurang dari 1 ⅓
tebal tablet
Keragaman Bobot
Uji keragaman bobot dilakukan dengan menyiapkan tidak kurang dari 30 satuan tablet,
kemudian ditimbang seksama sepuluh tablet satu per satu dan hitung bobot rata-rata. Harga
simpangan baku relatif dihitung. Keseragaman bobot terletak dalam rentang 85,0%-115,0%
dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatif kurang dari atau sama dengan 6,0%.
Jika 1 satuan sediaan terletak di luar rentang 85,0%-115,0% dari yang tertera pada etiket, dan
tidak ada satuan terletak diatara rentang 75,0%-125,0% dari yang tertera pada etiket, atau jika
simpangan baku relatif lebih besar dari 6,0% atau jika kedua kondisi tidak terpenuhi,
dilakukan uji 20 satuan tambahan. Persyaratan dipenuhi jika tidak lebih dari 1 satuan dari 30
tablet terletak di luar rentang 85,0%-115,0% dari yang tertera pada etiket dan tidak ada satuan
di luar rentang 75,0%-125,0% dari yang tertera pada etiket, dan simpangan baku relatif dari
30 satuan sediaan tidak lebih dari 7,8%.
Kekerasan Tablet
Masing-masing 10 tablet dari tiap batch diukur kekerasannya dengan menggunakan
alat hardness tester. Satuan kekerasan yang digunakan adalah kP. Keregasan tablet
Sebanyak 20 tablet dibersihkan dari debu dan ditimbang (W1), dimasukkan 20 tablet
tersebut ke dalam alat dan jalankan alat dengan kecepatan 25 rpm selama 4 menit (100 kali
putaran). Tablet dikeluarkan kemudian bersihkan dari debu dan ditimbang kembali (W2).
Selisih berat sebelum dan sesudah perlakuan dihitung.
(5) Daya Mengembang Tablet
Tablet masing-masing ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan petri. Masukkan 10
mL HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,8. Indeks mengembang diukur berdasarkan
Keregasan = W! −W! W! ×100%
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
peningkatan bobot tablet pada menit ke 120 pada medium HCl pH 1,2 dan pada menit ke 0,
15, 30, dan 45 pada medium dapar fosfat pH 6,8, kemudian dihitung dengan rumus:
% Pengembangan = %100W
)W-(W
1
12 × (6)
Keterangan:
W2 adalah berat tablet yang telah mengembang
W1 adalah berat tablet awal (Daramola & Osanyinlusi, 2006; Na, Yuhua, &
Junhui, 2007, telah diolah kembali). Uji kadar obat
Sebanyak 20 tablet digerus halus, lalu ditimbang serbuk tablet setara dengan 100 mg
asetosal. Serbuk dimasukkan ke dalam labu ukur 100,0 mL dan dilarutkan dengan pelarut
yakni medium dapar fosfat pH 6,8 dan kemudian disaring. Filtrat dipipet sebanyak 10,0 mL
dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100,0 mL kemudian dicukupkan volumenya dengan
dapar fosfat pH 6,8 dan larutan tersebut diencerkan kembali sehingga mencapai konsentasi
diantara rentang kurva kalibrasi. Serapannya diukur pada panjang gelombang 265 nm. Uji pelepasan obat in vitro
Uji ini dilakukan menggunakan metode B dengan apparatus 1 yakni disolusi keranjang
di dalam dua medium. Uji disolusi mula-mula dilakukan pada medium HCl pH 1,2.
Dimasukkan 900 mL HCl pH 1,2 ke dalam tabung, kemudian medium dibiarkan hingga
mencapai suhu 37o ± 0,5oC dengan kecepatan pengadukan 100 rpm. Tablet dimasukkan ke
dalam alat, kemudian alat dijalankan selama 2 jam. Medium diambil 10 mL larutan pada
menit ke 120 kemudian larutan yang diambil diganti dengan medium HCl pH 1,2. Setelah dua
jam, dilakukan perlakuan pada medium dapar fosfat pH 6,8.
Uji pada medium dapar fosfat pH 6,8 dilakukan dengan cara memindahkan tablet
tersebut ke dalam medium dapar fosfat pH 6,8 sebanyak 900 mL dengan suhu 37o ± 0,5o C
dengan kecepatan pengadukan 100 rpm. Alat kemudian dijalankan selama 45 menit. Medium
diambil 10 mL dalam interval waktu 5, 10, 15, 30 dan 45 menit kemudian larutan yang
diambil diganti dengan medium dapar fosfat pH 6,8. Sampling yang dilakukan pada masing-
masing waktu pada medium asam dan dapar diukur serapannya menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 280 untuk asetosal pada tahap asam dan
265 untuk asam salisilat pada tahap dapar.
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Hasil Penelitian dan Pembahasan Penetapan Kadar Minyak Konsentrat Protein Kedelai Konsentrat protein kedelai yang telah dibuat memiliki kandungan minyak 1,52%. Derajat Suksinilasi
Metode trinitrobenzen sulfonat (TNBS) merupakan metode yang paling umum
digunakan untuk penetapan derajat substitusi protein. TNBS bereaksi dengan amin primer
pada reaksi substitusi nukleofilik aromatis menjadi gugus amino trinitrofenil terlabel
(Grotzky, Manaka, Fornera, Willeke, & Walde, 2010). Prinsip metode ini adalah reaksi yang
terjadi antara trinitrobenzen sulfonat dengan gugus amin dari asam amino lisin yang tidak
bereaksi dengan gugus karboksilat dari anhidrida ftalat maupun anhidrida suksinat selama
proses sintesis, sehingga lisin bebas tersebut akan berikatan dengan trinitrobenzen sulfonat
dan akan memberi serapan pada saat diukur secara spektrofotometri UV.
Penambahan natrium dodesil sulfat dalam pengujian untuk meningkatkan kelarutan
dari trinitrofenil yang terlabel, selain itu penambahan HCl 1 N dimaksudkan untuk
menghentikan reaksi (Grotzky, Manaka, Fornera, Willeke, & Walde, 2010).
Eksipien PKFt yang diftalatasi dengan anhidrida ftalat dengan perbandingan 2:1
memiliki derajat substitusi sebesar 11,59 ± 0,49%. Hal ini menunjukkan bahwa pada PKFt
hanya 11,59% gugus amin dari asam amino lisin pada konsentrat protein kedelai yang
tersubstitusi oleh gugus karboksilat dari anhidrida ftalat. Hasil ini dipengaruhi oleh faktor-
faktor seperti rintangan sterik. Rintangan sterik adalah kemampuan suatu gugus karena
ukurannya yang menghalangi akses untuk bereaksi dengan suatu sisi molekul (Bahl, 2010).
Ftalat anhidrida memiliki ukuran molekul yang besar karena terdapat gugus aromatis.
Rintangan sterik ini dapat menghambat laju reaksi nukleofilik, sehingga prosedur dengan
tahapan substitusi nukleofilik harus dievaluasi dari permasalahan steriknya (Sunberg, 2013).
Eksipien PKFtS yang disuksinilasi dengan anhidrida suksinat dengan perbandingan
2,5:1 memiliki derajat substitusi 68,85 ± 0,37% terhadap protein kedelai ftalat, sehingga
terdapat 68,85% gugus amin dari asam amino lisin pada protein kedelai ftalat yang
tersubstitusi oleh gugus karboksilat dari anhidrida suksinat. Analisis Gugus Fungsi
Perbedaan spektrum inframerah pada PK, PKFt, dan PKFtS terdapat pada bilangan
gelombang gugus –NH2 yakni 3745,11 dan 3667,08 cm-1 seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Bilangan gelombang tersebut menunjukkan adanya perbedaan intensitas yang menunjukkan
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
5007501000125015001750200025003000350040001/cm
60
65
70
75
80
85
90
95
100
%T
Linear Baselinecorrection 1Linear Baselinecorrection
Linear Baselinecorrection 1
PK 1
gugus NH2 memiliki dua spektrum yang terlihat perbedaannya antara PK, PKFt, dan PKFtS.
Semakin banyak gugus ftalat dan suksinat yang tersubstitusi maka semakin sedikit gugus –
NH2 yang terdapat dalam konsentrat protein kedelai.
Gambar 1. Spektrum inframerah ( ) PK, ( ) PKFt, dan ( ) PKFtS
Pada bilangan gelombang 3745,11 dan 3667,08 cm-1 terlihat bahwa PK memiliki
spektrum dengan perbedaan puncak spektrum gugus –NH2 yang sangat jauh, sementara PKFt
memiliki perbedaan puncak spektrum gugus –NH2 yang lebih dekat dibandingkan PK.
Sementara itu, PKFtS memiliki perbedaan puncak spektrum gugus –NH2 yang lebih dekat
dibandingkan dengan PK dan PKFt. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa gugus
amin dari asam amino lisin telah tersubstitusi dengan adanya reaksi terhadap anhidrida ftalat
dan anhidrida suksinat. Indeks Mengembang Dalam waktu 120 menit, serbuk PK, PKFt, dan PKFtS mengembang dengan cepat
dalam medium HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,8. Pada Gambar 2. menunjukkan daya
mengembang pada suasana asam. PK mengembang sebesar 160,90 ± 0,62%, sedangkan PKFt
mengembang sebesar 179,58 ± 0,58%, dan PKFtS mengembang sebesar 113,80 ± 0,67%.
PKFt memiliki daya mengembang yang lebih tinggi daripada PK, akan tetapi PKFtS memiliki
daya mengembang yang lebih rendah dibandingkan PK. PKFtS memiliki daya mengembang
yang lebih kecil disebabkan oleh reaksi suksinilasi yang membuat gugus amin dari asam
amino lisin pada konsentrat protein kedelai tersubstitusi oleh anhidrida suksinat sehingga
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
menyebabkan penurunan protonasi gugus amin dari NH2 menjadi NH3+. Hal ini menyebabkan
kemampuan absorpsi menurun pada medium asam. Akan tetapi PKFt memiliki daya
mengembang yang lebih besar dibanding PK, Hal ini disebabkan reaksi yang tidak sempurna
pada saat substitusi ftalat menggunakan ftalat anhidrida.
Gambar 2. Grafik daya mengembang dari ( ♦ ) PK, ( ■ ) PKFt, dan ( ▲ ) PKFtS pada medium HCl pH 1,2
Gambar 3. menunjukkan daya mengembang pada dapar fosfat pH 6,8 . PK memiliki
daya mengembang sebesar 100,71 ± 1,01%, PKFt memiliki daya mengembang sebesar
200,00 ± 0,00%, dan PKFtS memiliki daya mengembang sebesar 200,71 ± 1,01%. Pada PKFt
dan PKFtS memiliki daya mengembang yang lebih tinggi, hal ini disebabkan karena adanya
gugus hidrofilik seperti gugus karboksilat (-COOH) dari anhidrida ftalat dan anhidrida
suksinat sehingga gugus karboksilat akan terionisasi menjadi ion karboksilat (-COO-).
Gambar 3. Grafik daya mengembang dari ( ♦ ) PK, ( ■ ) PKFt, dan ( ▲ ) PKFtS pada medium dapar fosfat pH 6,8
Daya Larut Hasil pengujian terlihat pada Tabel 2. PK, PKFt, dan PKFtS memiliki daya larut yang
tidak berbeda secara signifikan di medium asam maupun di medium basa, namun terlihat
0
50
100
150
200
0 50 100 150DayaM
engemba
ng(%
)
Waktu(menit)
PK
PKFt
PKFtS
0
50
100
150
200
250
0 50 100 150DayaM
engemba
ng(%
)
Waktu(menit)
PK
PKFt
PKFtS
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
bahwa PKFt dan PKFtS memiliki daya larut yang lebih besar di medium asam dan basa, hal
ini menunjukkan dengan bertambahnya substitusi ftalat dan suksinat maka daya larut di asam
dan di basa semakin meningkat. Seiring bertambahnya substitusi seharusnya akan
menurunkan gugus amin bebas di rantai polimer protein sehingga akan menyebabkan
penurunan protonasi gugus amin dari dari NH2 menjadi NH3+ pada medium asam dan akan
menurunkan kelarutan. Seiring bertambahnya substitusi pula, maka akan meningkatkan gugus
karboksilat yang menggantikan gugus amin sehingga gugus karboksilat akan terionisasi dari
COOH menjadi ion karboksilat –COO- pada medium basa. Hasil yang diperoleh dari
pengamatan pada medium asam berbeda dengan teori yang ada. Hal ini mungkin disebabkan
karena masih terdapat gugus -NH2 yang ada setelah disubstitusi. Selain itu juga karena protein
kedelai memiliki banyak komponen, sedangkan dari sekian banyak komponen yang dilakukan
modifikasi hanyalah asam amino lisin saja, sehingga komponen asam amino lain masih
memiliki karakteristiknya masing-masing dan mungkin mempengaruhi karakterisasi PK,
PKFt, dan PKFtS secara keseluruhan.
Tabel 2. Daya larut PK, PKFt dan PKFtS dalam medium HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,8
Sampel Daya Larut (mg/100 mL) Medium pH 1,2 Medium pH 6,8
PK 5,17 ± 0,06 10,04 ± 0,04 PKFt 6,67 ± 0,08 10,13 ± 0,01
PKFtS 7,19 ± 0,05 10,34 ± 0,02 Penampilan fisik Penampilan fisik ketiga formula tablet yaitu berbentuk bulat pipih dengan satu garis
tengah, tidak berbau dan juga tidak berasa. Perbedaan berada pada warna tablet, dimana F1
berwarna kecoklatan karena mengandung PKFtS yang merupakan serbuk berwarna coklat, F2
berwarna kecoklatan dengan bintik putih dimana warna coklat berasal dari PKFtS dan bintik
putih berasal dari granul HPMCP yang sudah tidak dapat diperkecil ukuran partikelnya, dan
F3 berwarna putih karena merupakan pembanding yang mengandung HPMCP. Keseragaman Ukuran Keseragaman ukuran yang dihasilkan dari pengukuran secara acak 20 tablet
menunjukkan bahwa seluruh formula telah memenuhi syarat Farmakope Indonesia edisi III.
F1 memiliki diameter rata-rata 2,77 kali tebal tablet, F2 memiliki diameter rata-rata 2,71 kali
tebal tablet, dan F3 memiliki diameter rata-rata 2,56 kali tebal tablet.
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Tabel 3. Hasil evaluasi umum tablet matriks enterik F1, F2, dan F3
Parameter F1 F2 F3 Diameter (cm) 1,30 ± 0,00 1,30 ± 0,00 1,30 ± 0,00
Tebal (cm) 0,46 ± 0,01 0,47 ± 0,01 0,50 ± 0,01 Keragaman bobot (mg) 716,89 ± 1,78 716,77 ± 1,10 709,05 ± 1,98
Kekerasan (kP) 9,43 ± 0,32 9,29 ± 0,40 8,36 ± 0,30 Keregasan (%) 0,22 ± 0,02 0,22 ± 0,00 0,64 ± 0,00
Penetapan Kadar (%) 101,66 ± 1,63 101,44 ± 1,84 97,91 ± 1,49
Keragaman bobot
Tablet memenuhi keragaman bobot apabila jumlah zat aktif dalam masing-masing
sediaan terletak diantara 85-115% dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatif
kurang dari atau sama dengan 6,0% (Departemen Kesehatan RI, 1995). Dari hasi evaluasi
keragaman bobot, dapat disimpulkan bahwa ketiga formulasi memiliki keragaman bobot yang
memenuhi persyaratan. Kekerasan tablet
Kekerasan tablet dipengaruhi oleh besarnya tekanan yang diberikan saat pengempaan
dan juga bentuk partikel massa tablet. Kekerasan tablet yang dihasilkan dari pengujian
terhadap 10 tablet dari ketiga formula berkisar antara 8-10 kP. Kekerasan F1 dan F2 tidak
terdapat perbedaan berarti, tetapi F3 memiliki kekerasan yang lebih rendah. Hal tersebut
sesuai dengan indeks kompresibilitas F3 yang lebih rendah dibandingkan dengan F1 dan F2.
Kekerasan tablet juga berengaruh terhadap pelepasan obat, semakin tinggi kekerasan tablet
maka tablet akan lebih sulit untuk pecah dan semakin lambat melepas zat aktifnya Keregasan tablet
Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut United State Pharmacopoeia 30,
uji keregasan tablet kehilangan bobot tidak boleh lebih dari 1%. Hasil evaluasi menunjukkan
bahwa ketiga formula memenuhi syarat dimana kehilangan bobot yang diperoleh tidak lebih
dari 1%. Hal tersebut juga berpengaruh dari pengikat yang digunakan, yakni xanthan gum
yang dapat meningkatkan kekerasan tablet melalui porositas dan ukuran pori kapiler yang
berkurang (Sinha & Kumria, 2002).
Daya mengembang tablet
Daya mengembang tablet medium asam pH 1,2 terlihat pada Tabel 4. F3 memiliki
daya mengembang yang paling kecil, sedangkan F1 dan F2 memiliki daya mengembang yang
sangat besar, hal ini dipengaruhi oleh kandungan PKFtS di dalam sediaan dimana F1 terdapat
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
82,71% PKFtS dan F2 terkandung 41,35% PKFtS. Karakterisasi daya mengembang PKFtS
yang besar di asam karena PKFtS tidak tersubstitusi dengan sempurna sehingga masih
terdapat gugus -NH2 yang akan terprotonasi menjadi NH3+ sehingga menyebabkan
kemampuan absorbsi pada suasana asam. Selain itu, dengan adanya HPMCP pada formula 3
juga menahan daya mengembang di asam karena HPMCP merupakan polimer sensitif pH
yakni pH >5,5 (Rajesh, Bharat & Sangeeta, 2012). Tabel 4. Daya mengembang tablet F1, F2 dan F3 dalam medium HCl pH 1,2 selama 120 menit
Waktu (menit) F1 F2 F3 120 154,79 ± 1,69 88,06 ± 2,26 17,14 ± 2,64
Gambar 4. menunjukkan daya mengembang tablet pada medium basa. Daya
mengembang yang paling besar pada medium basa ditunjukkan oleh F1 sebesar 242,16 ±
3,55%, dan kemudian F2 sebesar 189,84 ± 4,08%, dan F3 memiliki daya mengembang yang
paling kecil yakni 79,48 ± 7,67%. Daya mengembang PKFtS dan HPMCP pada suasana basa
disebabkan karena adanya gugus hidrofilik yakni gugus karboksilat (-COOH) sehingga gugus
karboksilat tersebut akan terionisasi menjadi ion karboksilat (-COO-) dan akan meningkatkan
kemampuan absrobsi pada suasana basa. Pada F1 dan F2 memiliki daya mengembang yang
sangat tinggi, hal tersebut disebabkan karena adanya PKFtS pada F1 dan F2 yang memiliki
daya mengembang yang tinggi di suasana basa. Jika dibandingkan dengan F3 yang
mengandung HPMCP yang merupakan eksipien enterik, PKFtS memiliki daya mengembang
yang lebih tinggi, hal ini mungkin disebabkan HPMCP pada umumnya digunakan sebagai
eksipien penyalut dengan rentang konsentrasi 5-10%, (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).
Gambar 4. Grafik daya mengembang tablet F1 ( ♦ ), F2 ( ■ ), dan F3 ( ▲ ) dalam medium dapar fosfat pH 6,8 selama 45 menit
050100150200250300
0 15 30 45DayaM
engemba
ng(%
)
Waktu(menit)
F1
F2
F3
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Uji kadar obat
Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 3. Penetapan kadar zat aktif tablet dilakukan
untuk menentukan apakah zat aktif berada pada rentang yang ditentukan atau tidak dan untuk
memastikan di dalam setiap sediaan terkandung dosis yang tepat sehingga efekstif dalam
memberikan efek terapi dan tidak berlebihan sehingga tidak menimbulkan efek toksik. Data
uji kadar obat terdapat pada Lampiran 28. Berdasarkan hasil penetapan kadar, kadar zat aktif
berada pada rentang 95,0-105,0% sehingga memenuhi persyaratan kandungan obat tunggal
pada sediaan farmasi. Uji pelepasan obat in vitro
Profil pelepasan obat asetosal dari matriks tablet pada medium asam pH 1,2 terlihat
pada Tabel 5. Pelepasan obat tablet F1 pada 120 menit adalah 22,62 ± 2,44%, F2 sebesar
16,65 ± 1,39% dan pada F3 1,10 ± 0,15% sebagai pembanding. Persyaratan sediaan enterik
yakni pelepasan obat di lambung kurang dari 10% (Departemen Kesehatan RI, 1995).
Pelepasan obat asetosal di suasana asam menunjukkan bahwa hanya F3 yang memenuhi
persyaratan tablet enterik. Hal ini menunjukkan bahwa PKFtS tidak mampu menahan
pelepasan obat di asam dikarenakan substitusi yang tidak sempurna dan juga higroskopisitas.
Jika dilihat dari kekerasan tablet, F1 dan F2 memiliki kekerasan yang lebih tinggi
dibandingkan F3, akan tetapi kekerasan tersebut tidak mampu menahan pelepasan obat karena
adanya absorbsi medium yang tinggi dari PKFtS.
Tabel 5. Jumlah zat aktif terdisolusi pada medium HCl pH 1,2
Waktu (menit) F1 F2 F3 120 22,62 ± 2,44 16,65 ± 1,39 1,10 ± 0,15
Profil pelepasan obat asetosal dari matriks tablet pada pH 6,8 terlihat pada Gambat 5.
Jumlah kumulatif obat yang dilepaskan dalam formula 1 sampai 3 berturut-turut selama 45
menit di basa yaitu 60,78 ± 2,39%, 44,21 ± 2,22%, dan 19,88 ± 1,49%. F1 menunjukkan
pelepasan obat tertinggi dibandingkan dengan F2 dan F3. Jumlah zat aktif yang terdisolusi
pada F1 dan F2 paling tinggi berada pada menit ke 15, kemudian pada menit ke 30 dan 45
menurun. Hasil ini juga sesuai dengan hasil uji daya mengembang tablet pada medium basa,
dimana daya mengembang tablet F1 lebih besar dibanding F2 dan F3, selain itu hasil uji daya
mengembang F1 dan F2 menunjukkan bahwa pada menit ke 15 memiliki peningkatan indeks
mengembang yang paling signifikan, dan pada menit 30 dan 45 tidak mengembang dengan
signifikan. Sementara itu, F3 menunjukkan profil disolusi yang terus meningkat dari menit ke
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
5 sampai menit ke 45. Hal ini disebabkan karena konsentrasi HPMCP yang tinggi sehingga
HPMCP lepas sedikit demi sedikit pada medium basa dan membutuhkan waktu yang lama
agar zat aktif terdisolusi berada pada persentase yang tinggi. HPMCP merupakan eksipien
enterik yang umumya digunakan sebagai penyalut. HPMCP sangat baik menahan pelepasan
obat di asam, akan tetapi karena konsentrasi HPMCP yang digunakan sebagai matriks sangat
tinggi maka HPMCP akan melepaskan obat sedikit demi sedikit di suasana basa. Faktor lain
yang menyebabkan jumlah zat aktif terlarut pada F3 sedikit adalah kadar zat aktif pada F3
yakni 97,91 ± 1,49% sehingga lebih kecil dibandingkan F1 dan F2.
Gambar 5. Profil pelepasan asetosal dari tablet enterik F1 ( ♦ ), F2 ( ■ ), dan F3 ( ▲ )
dalam medium basa pH 6,8 selama 45 menit Kesimpulan
Eksipien konsentrat protein kedelai (PK) telah dimodifikasi melalui reaksi ftalatasi
dan suksinilasi menjadi konsentrat protein kedelai ftalat suksinat (PKFtS) pada suasana pH
8,0-8,5 dengan derajat substitusi 72,46 ± 0,29%. Kelarutan PKFtS pada medium pH 1,2
adalah 7,19 ± 0,05 mg/100 mL dan pada medium dapar fosfat pH 6,8 sebesar 10,34 ± 0,02
mg/100 mL. Daya mengembang PKFtS pada medium pH 1,2 adalah 113,80 ± 0,67% dan
pada medium dapar fosfat pH 6,8 sebesar 200,71 ±1,01%. Tablet matriks enterik F1, F2, dan
F3 mempunyai laju disolusi pada pH 1,2 sebesar 22,62 ± 2,44%, 16,65 ± 1,39%, dan 1,10 ±
0,15% sehingga modifikasi dengan menggunakan anhidrida ftalat dan anhidrida suksinat dari
protein kedelai (PKFtS) yang dibuat pada penelitian ini belum dapat digunakan sebagai
matriks tunggal pada sediaan lepas tunda. Saran
Disarankan untuk dilakukan koproses antara PKFtS dengan eksipien lain untuk dapat
meningkatkan karakteristik eksipien dalam menahan pelepasan obat di medium asam dan
-20
0
20
40
60
80
0 5 10 15 30 45
JumlahZatA
k8f
Terdisolusi(%)
Waktu(menit)
F1
F2
F3
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
dapat melepaskan obat dengan baik di medium basa. Disarankan pula perlu dilakukan
pembuatan formulasi yang lebih komperensif sehingga dapat menghasilkan tablet dimana zat
aktif dapat ditahan pelepasannya di dalam suasana asam dan dapat terdisolusi di suasana basa. Daftar Referensi Acton, Q. A. (2013). Dietary Protein - Advances in Research and Application. Atlanta:
Scholarly Editions. Ansel, H. C. (2008). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (4 ed.). Jakarta: UI-Press. Billmers, R. L. & Tessler, M. M. (1994). Method of preparing intermediate ds starch esters in
aqueous solution. US Patent, 2112079. Caillard, R. & Subirade, M. (2012). Protein based tablets as reversible gelling system for
delayed release application. International Journal of Pharmaceutics, 130-136.Caillard, R., Petit A., & Subirade, M. (2009). Design and evaluation of succinylated soy
protein tablet as delayed drug delivery system. International Journal of Biological Macromolecules, 414-420.
Champagne, L. M. (2008). The Synthesis of Water Soluble N-Acyl Chitosan Derivates for Characterization as Antibacterial Agent. B. S. Xavier University of Lousiana.
Daramola, B. & Osanyinlusi, S. A. (2006). Investigation on modification of cassava starch using active components of Ginger Roots (Zingiber officinale Roscoe). African Journal of Biotechnology, 5(10), 917-920.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Famakope Indonesia edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dulin, W. (2010). Oral Controlled Release Formulation Design and Drug Delivery Theory to Practice. (H. P. Wen, Ed.) Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons.
Feeney, R. E. & Whittaker, J. R. (1985). Chemical and Enzymatic Modification of Plant Protein. New Protein Foods, 5, 221-228.
Feeney, R. E. (1977). Chemical Modification of Food Protein. In Food Protein: Improvement Through Chemical and Enzymatic Modification, Advance in Chemistry Series 160. Washington DC: ACS Press.
Grotzky, A., Yuichi, M., Fornera, S., Willeke, M., & Waide, P. (2010). Quantification of a-polylysine: a comparison of four UV/Vis spectrophotometric methods. Royal Society of Chemistry, 2, 1448-1455.
Hettiarachchy, N. S., Sato, K., Marshall, M. R., & Kannan, A. (2012). Food Protein and Peptides Chemistry, Functionality, Interaction, and Commercialization. United States of America: CRC Press.
Hong, W. & Kinam, P. (2011). Oral Controlled Release Formulation Design and Drug Delivery Theory to Practice. Singapore: John Wiley & Sons.
Howell, R. W. (1996). Chemical and Enzymatic Modification. In Food Proteins: Properties and Characterization. New York: VCH Publisher.
Jarowenko, K. (1989). Acetylated Starch and Miscellaneous Organic Ester. Di dalam Modified Starches: Properties and Uses. (O. B. Wurzburg, Ed.) Florida: CRC Press.
Lawal, O. S. (2005). Functionality of native and succinylated Lablab Bean (Lablab purpureus) protein concentrate. Food Hydrocolloids, 19, 61-72.
L'hocine, L., Boye, J. L., & Arcand, Y. (2006). Composition and functional properties of soy protein isolates prepared using alternative defatting and extraction procedures. Journal of Food Science, 71(3), 137-145.
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
McMann, M. C. (2000). Soy Protein: What You Need to Know. New York: Penguin Putnam. Minzangi, K., Kaaya, A. N., Kansiime, F., Tabuti, J. R. S., & Samvura, B. (2011). Oil content
and physicochemical characteristics of some wild oilseed plants from Kivu Eastern Democratic Republic of Congo. Africans Journal of Biotechnology, 10(2), 189-195.
Mirmoghtadaie, L., Kadivar, M., & Shahedi, M. (2009). Effect of succinylation and deamidation on functional properties of oat protein isolate. Food Chemistry, 114, 127-131.
Na, C., Yuhua, F., & Junhui, He. (2007). Preparation and physical properties of soy protein isolate and gelatin composite films. Food Hydrocolloids, 21, 1153-1162.
Offermanns, S. & Rosenthal, W. (2008). Encyclopedia of Molecular Pharmacology (2 ed., Vol. 1). New York: Springer Science & Bussiness Media.
Rajesh, A., Bharat, C. & Sangeeta, A. (2012). Oral colon targeted drug delivery system: a review on current and novel perspectives. Journal of Pharmaceutical and Scientific Innovation , 6-12.
Reynolds, E. F. (Ed.). (1982). Martindale The Extra Pharmacopoeia (28 ed.). London: The Pharmaceutical Press.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., & Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients (6 ed.). United States of America: Pharmaceutical Press and American Pharmacist Association.
Shargel, L. & Andrew, B. C. Yu. (2005). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan (2 ed.). Surabaya: Airlangga University Press.
Sinha, V. R., & Kumria, R. (2002). Binder for colon specific drug delivery: an in vitro evaluation. International Journal of Pharmaceutocs, 249, 23-31.
The United States Pharmacopeial Convention. (2007). The United States Pharmacopeia 30th Edition and National Formulary 25 th Edition. Rockville (MD): The United States Pharmacopeial Convention.
Yihong, Q., Yisheng C., Geoff, G., Lirong L., & Porter, W. (2009). Developing Solid Oral Dosage Form Pharmaceutical Theory and Practice (1 ed.). San Diego: Academic Press, Elsevier.
Ying, W. (2006). Adhesive Peformance of Soy Protein Isolate Enhanced by Chemical Modificaton and Physical Treatment. Manhattan: Kansas State University.
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015