Upload
adhelia-kusuma-wardhani
View
32
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pediatri
Citation preview
LAPORAN KASUS
ILMU KESEHATAN ANAK
I. IDENTITAS
A. Identitas Pasien
Nama : By. Ny. SS
TTL : Jakarta, 4 Januari 2013
Usia : 2 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Masjid Al Jadid RT. 08 RW. 009, Kel. Baru Kec. Pasar
Rebo, Jakarta Timur
Masuk RS : 4 Januari 2013
No. CM : 2013-454744
B. Identitas Orang Tua
Ayah Ibu
Nama : Tn. Makbub Ekhsan Ny. Siti Saadah
Usia : 42 tahun 33 tahun
Agama : Islam Islam
Pendidikan : SMP SMP
Pekerjaan : Wiraswasta Ibu rumah tangga
II. Anamnesa
alloanamnesa dilakukan pada tanggal 6 Januari 2013 dengan orangtua pasien)
1. Keluhan Utama : tidak langsung menangis saat lahir
2. Keluhan tambahan : kejang saat usia 2 hari
III. Riwayat Penyakit
a) Riwayat penyakit sekarang
1
Pasien lahir pada tanggal 4 Januari 2013 pukul 22.00 melalui cara persalinan spontan
dengan ekstraksi vakum atas indikasi partus tak maju dan posterm oleh dokter spesialis
obsgyn RSUD Pasar Rebo dari Ibu G2P1A0 dengan usia kehamilan >42 minggu
Sebelum ke RSUD Pasar Rebo Ibu pasien sempat datang ke puskesmas Kramat Jati
karena mulai merasa mules-mules dan sempat keluar lendir bercampur darah. Menurut ibu
pasien saat diperiksa dipuskesmas sudah pembukaan 8, namun setelah 7 jam pembukaan tidak
maju dan akhirnya dilakukan pemecahan ketuban. Ketuban berwarna hijau lumpur dan
berbau. Karena tidak ada kemajuan, ibu pasien dirujuk ke RSUD Pasar Rebo.
Saat lahir pasien tidak langsung menangis, dengan APGAR score 1/1, Berat Badan
Lahir 3300 gr, Panjang Badan 50 cm, Lingkar Kepala 35 cm. Pasien tampak kebiruan, setelah
30 menit dilakukan resusitasi, pasien dibawa ke ruang perinatologi dengan inkubator
transport.
Saat di ruang perina bayi tampak biru, dengan napas cuping hidung dan retraksi
dinding dada maka dilakukan bagging. Setelah 2 hari perawatan di ruang perinatologi, pasien
kejang.
b) Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada anggota keluarg ayang memiliki riwayat penyakit yang sama dengan
pasien. Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Kakak pasien memiliki riwayat
kelahiran yang normal.
c) Riwayat kehamilan
Pre Natal : Ante Natal Care dilakukan di puskesmas rutin setiap bulan. Selama
hamil ibu pasien tidak pernah mengeluh akan kehamilannya dan tidak mengonsumsi obat-
obatan kecuali obat yang diberikan bidan/dokter saat kontrol. Namun ibu pasien mengaku
sempat bengkak pada kakinya, tapi dibiarkan saja dan hilang dengan sendirinya. Sempat
melakukan USG di dokter spesialis kandungan. Hari Pertama Haid Terakhir tanggal 6 Maret
2012.
Natal : lahir saat usia kandungan >42minggu dengan penolong dokter spesialis
obsgyn melaui persalinan spontan dengan ekstraksi vakum atas indikasi posterm dan partus
tak maju, ketuban hijau lumpur, lahir tidak langsung menangis. BBL : 3300gr, PB: 50cm, LK:
35cm. APGAR Score 1/1.
2
Post natal : dilakukan perawatan di ruang perinatologi level3 RSUD Pasar Rebo dengan
keadaan asfiksia berat.
d) Riwayat Keluarga Berencana Orang tua : KB suntik 3 bulan
e) Sosial ekonomi dan lingkungan
Sosial Ekonomi:
Pasien tinggal bersama 4 orang anggota keluarga lainnya. Penghasilan ayah tidak
tentu, namun berkisar ± Rp 1.500.000, - perbulan.
Lingkungan:
Rumah berada di pemukiman padat penduduk dan tidak terletak di pinggir jalan
besar. Rumah dengan dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Dapur rumah dengan gas
untuk memasak. Sumber air berasal dari sumur. Ventilasi dan sanitasi cukup.
IV. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 6 Januari 2013 di ruang perinatologi RSUD Pasar Rebo
A. Status Generalis
Keadaan umum : sakit berat
Kesadaran : E1M1V1
Tanda vital : HR : 106x/menit
RR : 65x/menit
Suhu : 35,8oC
Kepala : Normocephale
Rambut : Hitam
Muka : tidak ada kelainan bentuk, muka oval.
Mata : simetris, sklera tidak icterus, conjungtiva anemis.
Bibir : sianosis (+) Mukosa : kering(-)
THT : sulit dinilai
Leher : tidak teraba pembesran KGB
Thoraks
3
Paru-paru
Inspeksi : bentuk simetris, pergerakan simetris, retraksi (+)
Palpasi : sulit dinilai
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis teraba pada linea mid clavicula sinistra
Auskultasi : irama regular, murmur (-),gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Lipat paha dan genitalia : Anus (+), tidak tampak kelainan pada alat genitalia
Ekstremitas : akral dingin (-), sianosis (+)
Tonus : hipotonus
Kulit : sianosis
V. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium hematologi 5 januari 2013
Hemoglobin : 14,3 g/dl (normal : 12,7-18,7)
Hematokrit : 46% (normal : 42-62)
Leukosit : 24.840 ul (normal : 5.000-19.500)
Trombosit : 257.000 ul (normal : 217.000-497.000)
Gula Darah Sewaktu : 139 mg/dl (normal : <200 mg/dl)
2. Pemeriksaan Analisa Gas Darah-Elektrolit
pH : 7,06 (normal : 7,2-7,41)
pCO2 : 64 mmHg (normal : 33-44)
pO2 : 81 mmHg (normal : 71-104)
Hct : 39% (normal : 37-48%)
HCO3 : 18,1mmol/L (normal : 18,6-22,6)
HCO3 std : 14,9 mmol/L
4
tCO2 : 20,1 (normal : 19-24)
BE ecf : -12,2
BE (B) : -12,6 (normal : -10 - -2)
Saturasi O2 : 89 (normal : 40-90)
3. Pemeriksaan Rontgen Thoraks
VI. Resume
Pasien laki-laki lahir pada tanggal 4 Januari 2013 melalui persalinan spontan dengan ekstraksi
vakum dari ibu dengan usia 33 tahun G2P1A0 pada usia kehamilan ±43minggu. Lahir dengan ketuban
hijau lumpur, tidak langsung menangis dan tampak biru. Nilai APGAR 1/1. Berat Badan Lahir
3300gr. Pada usia 2 hari pasien mengalami kejang.
Pemeriksaan fisik didapatkan, keadaan umum : sakit berat, kesadaran : terdapat penurunan
kesadaran hingga soporokoma, tanda vital : peningkatan frekuensi napas, terdapat retraksi dan tampak
sianosis.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan leukosit 24.840 ul, penuruan pH
7,06, peningkatan pCO2 64 mmHg dan penurunan HCO3 18,1mmol/L.
Pasien didiagnosis asfiksia berat e.c sindrom aspirasi mekonium dengan komplikasi
Ensefalopati Hipoksik Iskemik. Pasien dirawat di RSUD Pasar Rebo selama 4 hari dan akhirnya
meninggal dunia pada tanggal 8 Januari 2013.
5
VII. Diagnosa Kerja
Asfiksia neonatorum berat e.c sindrom aspirasi mekonium
VIII. Penatalaksanaan selama perawatan
Pemasangan CPAP, PEEP 5 / FIO2 40%
Loading RL 40cc
IVFD D5 (48) + Ca Gluconase (2)
Injeksi Ranitidin 3x6mg
Injeksi Kalmetason 3x0,5 mg
Soclaf 2x125mg
Loading NaCl 35cc
Stesolid 2,5 mg
Phental 2x7,5gr
IX. Prognosis
Ad vitam : Ad Malam
Ad fungtionam : Ad Malam
Ad Sanactionam : Ad Malam
X. Follow Up
Pemeriksaan Tanggal
6 Januari 2013 7 Januari 2013 8 Januari 2013
S Keluhan Sesak napas
Kejang 1x
Sesak napas Sesak napas
Diuresis -
O KU
Kesadaran
Tanda vital
PF
Sakit berat
Soporokoma
HR : 106x/menit
RR : 65x/menit
Suhu : 35,8oC
Retraksi +
Sianosis
Sakit berat
Soporokoma
HR : 145x/menit
RR : 64x/menit
Suhu : 36,80C
Retraksi +
Sianosis +
Sakit berat
Soporokoma
HR : 98x/menit
RR : -
Suhu : 36,50C
Sianosis +
A Diagnosis Asfiksia berat e.c aspirasi
mekonium
Asfiksia berat e.c aspirasi
mekonium perburukan
ensefalopati hipoksik
iskemik
Asfiksia berat e.c
aspirasi mekonium
perburukan
meninggal dunia
6
P Terapi Phental 2x7,5mg
Loading RL 35cc
IVFD D10 (47) + Ca
Gluconase (2) + KCL (1)
10cc/jam
Soclaf 2x125mg
Ranitidin 3x6
Kalmetason 2x0,5
Alostil 2x35mg
Phental 2x5mg
Loading RL 35cc
IVFD D10 (47) + Ca
Gluconase (2) + KCL (1)
10cc/jam
Soclaf 2x125mg
Ranitidin 3x6
Kalmetason 2x0,5
Alostil 2x35mg
Phental 2x5mg
Loading RL 35cc
IVFD D10 (47) + Ca
Gluconase (2) + KCL
(1)
10cc/jam
Soclaf 2x125mg
Ranitidin 3x6
Kalmetason 2x0,5
XI. Pembahasan Kasus
Diagnosis asfiksia neonatorum berat ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa
pasien tidak langsung menangis saat lahir atau kegagalan bernapas secara spontan dan teratur
setelah lahir, bayi tampak hipotoni, kulit tampak pucat kebiruan, ketuban berwarna hijau
lumpur yang menandakan ketuban bercampur dengan mekonium yang dapat menyebabkan
sindrom aspirasi mekonium. Pada usia 2 hari pasien sempat kejang, dan hal ini menimbulkan
kecurigaan terhadap adanya ensefalopati hipoksik iskemik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sakit berat dengan tingkat
kesadaran soporokoma serta terjadi peningkatan frekuensi napas. Pasien tampak sianosis,
terdapat retraksi dinding dada dan hipotoni.
Diagnosis juga didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium berupa adanya keadaan
hiperkarbia yang ditandai dengan meningkatnya pCO2 hingga 64mmHg serta keadaan
asidosis yag ditandai dengan penurunan pH yaitu 7,06 dan HCO3 18,1mmol/L.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Asfiksia Neonatorum
A. Definisi
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi baru lahi tidak dapat
bernapas secara spontan, teratur dan adekuat. Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi
multi organ, kejang, ensefalopati hipoksik iskemik dan asidosis metabolik. Beberapa sumber
mendefinisikan asfiksia neonatorum sebagai berikut :
Ikatan Dokter Anak Indonesia
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.
WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir.
ACOG (the American College of Obstetricians and Gynecologists) dan AAP (American
Academy of Pediatrics)
Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut:
Nilai Apgar menit kelima 0-3
Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)
Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)
Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular,
gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).
B. Etiologi dan Faktor Resiko
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan dan
melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada pertukaran
plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan
pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia.
Hampir sebagian besar asfiksia pada bayi baru lahir merupakan kelanjutan asfiksia janin,
karena itu penilaian janin selama kehamilan dan persalinan memegang peranan penting untuk
keselamatan bayi atau kelangsungan hidup yang sempurna tanpa gejala sisa.
Asfiksia neonatorum dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1) Faktor neonatus
8
Lanjutan asfiksia intra partum; aspirasi cairan amnion, darah, meconium, dan
muntahan; imaturitas paru; kelainan jantung bawaan pada paru; anemia padafetus;
retardasi pertumbuhan intra uterin; kehamilan lewat waktu; infeksi fetus.
2) Faktor ibu
Hipoksia ibu karena anemia berat, penyakit paru kronis; menurunnya aliran darah
dari ibu ke fetus pada hipotensi karena perdarahan, preeklampsia, eklampsia,
diabetes melitus, obat anastesi yang berlebihan pada ibu.
3) Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta
misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
9
Faktor risiko
antepartum
Faktor risiko
intrapartum
Faktor risiko janin
Primipara
Penyakit pada ibu:
Demam saat kehamilan
Hipertensi dalam
kehamilan
Anemia
Diabetes mellitus
Penyakit hati dan ginjal
Penyakit kolagen dan
pembuluh darah
Perdarahan antepartum
Riwayat kematian
neonatus sebelumnya
Penggunaan sedasi,
anelgesi atau anestesi
Malpresentasi
Partus lama
Persalinan yang sulit dan
traumatik
Mekonium dalam
ketuban
Ketuban pecah dini
Induksi Oksitosin
Prolaps tali pusat
Prematuritas
BBLR
Pertumbuhan janin
terhambat
Kelainan kongenital
C. Patofisiologi
Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk
mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam
keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari
jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga
darah dialirkan melaui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus
kemudian masuk ke aorta.
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama
oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan
berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam
pembuluh darah di sekitar alveoli. Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga
menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik.
Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. Keadaan relaksasi
tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri
pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat
sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun.
Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan
darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri, kemudian
dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan
oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen
meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit.
10
Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan
mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-
parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan
mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang
utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh
darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.
Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi
Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah lahir.
Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama persalinan, biasanya akan
menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat
berupa deselerasi frekuensi jantung janin. Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih
banyak berkaitan dengan jalan nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan
atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke
dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan
menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik).
Selain itu kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru
akan mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran
darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan.
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-parunya
yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial di paru sehingga
oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika
keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan
dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen.
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ
seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap
stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran
darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun demikian jika
kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan
kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran
darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan
oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan
organ tubuh lain, atau kematian.
11
Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda
klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain;
depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi
jantung) karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah
karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah
yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu (pernapasan cepat)
karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam
darah.
Mekanisme yang terjadi pada bayi baru lahir mengalami gangguan di dalam
kandungan atau pada masa perinatal
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama
yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal pernapasan
yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer.
Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan menimbulkan
pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan
melakukan beberapa usaha bernapas megap-megap dan kemudian terjadi apnu sekunder,
rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan
pernapasan harus diberikan untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen.
Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer. Tekanan
darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder sebagaimana diperlihatkan
dalam gambar di bawah ini (kecuali jika terjadi kehilangan darah pada saat memasuki periode
hipotensi). Bayi dapat berada pada fase antara apnu primer dan apnu dan seringkali keadaan
yang membahayakan ini dimulai sebelum atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit
untuk menilai berapa lama bayi telah berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan
fisik tidak dapat membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon pernapasan
yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan yang
membahayakan itu.
12
Gambar 1. Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apnu
Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu adalah apnu
primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan apnu sekunder. Sebagai
gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam keadaan apnu sekunder, semakin lama
pula dia bereaksi untuk dapat memulai pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi
yang adekuat, hampir sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi
yang sangat cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung.
Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak
memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang membahayakan ini
seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah jatuh pada keadaan kritis. Pada
keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan obat-obatan mungkin diperlukan untuk
resusitasi.
D. Manifestasi dan gejala klinis
Secara klinis, bayi baru lahir yang mengalami asfiksia menunjukkan gejala:
Pernapasan terganggu (distress pernapasan)
Bradikardia
Reflex lemah
Tonus otot menurun
Warna kulit biru atau pucat
E. Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya asfiksia
neonatorum, baik faktor neonatus, faktor ibu, dan faktor plasenta. Anamnesis yang
kuat dan menunjukkan tanda-tanda asfiksia neonatus ini dapat membantu
menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan fisik
Penegakkan diagnosis asfiksia dapat ditegakkan dengan melakukan penilaian
APGAR score.
13
Nilai APGAR diperhatikan pada menit ke-1 dan menit ke-5. bila nilai APGAR 5
menit masih kurang dari 7, penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7.
Nilai APGAR berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan
menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30
detik setelah lahir bila bayi tidak menangis.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium: hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada
darah tali pusat jika:
PaO2 < 50 mm H2O
PaCO2 > 55 mm H2
pH < 7,30
F. Penatalaksanaan
Prinsip tatalaksana bayi baru lahir yang mengalami asfiksia meliputi :
1. Segera dilakukan sesudah bayi lahir
2. Intervensi harus cepat, tepat, jangan sampai terlambat (jangan menunggu hasil
penilaian APGAR menit1)
3. Pada dasarnya pada setiap bayi baru lahir kita harus melakukan penilaian terhadap 5
hal, yaitu : apakah air ketuban tanpa mekonium? Apakah bayi bernapas atau
menangis? Apakah tonus baik? Apakah warna kulit merah muda? Apakah bayi cukup
bulan? Bila semua jawaban “ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam
prosedur perwatan rutin dan tisak dipisahkan dari ibunya. Bayi dekringkan,
14
diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga
suhu. Bila terdapat jawaban “tidak” dari salah satu pertanyaan di diatas maka bayi
memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan:
a. Langkah awal dalam stabilisasi
Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan di bawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam
keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan
eksplorasi seluruh tubuh.
Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan menjadi hipotermi dan harus
mendapat perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan merekomendasikan
pemberian teknik penghangatan tambahan seperti penggunaan plastik
pembungkus dan meletakkan bayi dibawah pemancar panas pada bayi kurang
bulan dan BBLR.
b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya. Bayi diletakkan
terlentang dengan sedikit tengadah dalam posisi menghidu agar posisi farings,
larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya
udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan
sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.
c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekonium saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi. Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi
adalah dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu
(intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari beberapa senter
menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang bermakna dalam
mencegah aspirasi mekonium. Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas
adalah bergantung pada keaktifan bayi dan ada atau tidaknya mekonium. Bila
terdapat mekonium dalam caitan amnion dan bayi tidak bugar 9bayi mengalami
depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari
100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan
untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi
langkah-langkah pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea,
kemudian dengan selang penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring
dan trakea sampai glotis. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun
bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa
mekoneum.
d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang
benar. Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan
15
akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila
setelah posisi yang benar, penghisapan sekret dan pengeringan bayi bekum
bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan denga menepuk atau
menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas
bayi. Bayi yng berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua
rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder, rangsangan apapun
tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepuk
an pada telapak kaki atau gosokan pada punggung, jangan membuang waktu yang
berharga dengan terus menerus melakukan rangsang taktil.
e. Ventilasi tekanan positif
f. Kompresisi dada
g. Pemberian obat-obatan (epinefrin atau volume expander) keputusan untuk
melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan penilaian
3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung, dan warna kulit).
Waktu untuk setiap langkah adalah 30 detik, lalu nilai kembali dan putuskan untuk
melanjutkan langkah berikutnya.
h. Penilaian
Penilaian dilakukan setekah 30 detik untuk menentukan perlu tidaknya resusitasi
lanjutan. Tanda cital yang perlu dinilai adalah sebagai berikut :
Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi dan
dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang taktil. Pernapasan yang
megap-megap adalah pernapasan yang tidak efektif dan memerlukan
intervensi lanjutan.
Frekuensi jantung
Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan bunyi jantung
dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian dikalikan 10 sehingga
akan dapat diketahui frekuensi antung permenit.
Warna kulit bayi
Seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh. Setelah
frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada sianosis sentral
yang menandakan hipoksemia. Warna kulit bayi yang berubah dari biru
menjadi kemerahan adalah pertanda yang paling cepat akan adanya
pernapasan dan sirkulasi yang adekuat. Sianosis akral tanpa sianosis sentral
belum tentu menandakan kadar oksigen rendah sehingga tidak perlu
diberikan terapi oksigen. Hanya sianois sentral yang memerlukan intervensi.
16
i. Terapi medikamentosa
Epinefrin
Indikasi : denyut jantung <60x/menit setelah 30detik dilakukan ventilasi
adekuat dan kompresi dada, asistolik.
Dosis :0,1-0,3 ml/kgbb dalam larutan 1 : 10.000 (0,01-0,03 ml/kgbb)
Cara pemberian : IV tau endotrakeal, dapat diulang setiap 3-5 menit bila
perlu.
Volume ekspander
Indikasi : bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemi
dan tidak ada respon dengan resusitasi, hipovolemi kemungkinan akibat
adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai dengan adanya pucat, perfusi
buruk, naadi lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang
adekuat.
Jenis cairan : larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, ringer laktat)
17
Dosis : dosis awal 10ml/kgbb
Bikarbonat
Indikasi : asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan
resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik penggunaa
bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemi harus disertai
dengan pemeriksaan analisa gas daraah dan kimiawi.
Dosis : 1-2mEq /kgbb atau 2 ml/kgbb atau 1ml/kgbb (8,4%) diencerkan
dengan aquades atau dextrose 5% sama banyak diberikan secara intravena
dengan kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping : pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari
bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak.
Antibiotika
G. Komplikasi
Penyulit terpenting pada asfiksia neonatorum adalah:
Perdarahan dan edema otak
Hipoksik Iskemik Ensefalopati (HIE)
GGA
Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut dan dapat pula
terlihat beberapa waktu setelah hipoksia berlangsung. Pada keadaan hipoksia akut akan terjadi
redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan
mendapatkan aliran yang lebih banyak dibandingkan organ lain seperti kulit, jaringan
muskuloskeletal serta organ-organ rongga abdomen dan rongga toraks lainnya seperti hati,
ginjal, dan traktus gastrointestinal. Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena penurunan
resistensi vaskular pembuluh dara otak dan jantung serta meningkatnya resistensi vaskular di
perifer. Perubahan ini dapat menetap sampai hari ke-3 neonatus. Perubahan resistensi
vaskular inilah yang dianggap menjadi penyebab utama redistribusi curah jantung pada
penderita, hipoksia dan iskemia neonatus.
Faktor lain yang dianggap turut pula mengatur redistribusi vaskular antaralain
timbulnya rangsangan vasodilatasi serebral akibat hipoksia yang disertai akumulasi
karbondioksida, meningkatnya aktivitas saraf simpatis dan adanya aktivitas kemoreseptor
yang diikuti pelepasan vasopresin.redistribusi aliran darah pada penderita hipoksia tidak
hanya terlihat pada aliran sistemik tetapi uga terjadi saat darah mencapai suatu organ tertentu.
Hal ini dapat terlihat pada aliran darah otak uang ditemukan lebih banyak mengalir ke batang
otak dan berkurang ke serebrum, pleksus khoroidalis, dan linea alba. Pada hipoksia yang
berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan energi bagi metabolisme tubuh
18
menyebabkan terjadinya proses glikolisis anaerobik. Produk sampingan proses tersebut (asam
laktat dan piruvat) menimbulkan peningkatan asam organik tubuh yang berakibat
menurunnya pH darah sehingga teradilah asidosis metabolik. Perunahan sirkulasi dan
metabolisme ini secara bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik sementara
ataupun menetap.
Pada bayi kurang bulan, proses hipoksia yang terjadi akan lebih berat dibandingkan
dengan bayi cukup bulan akibat kurang optimalnya faktor redistribusi aliran darah terutama
aliran darah otak, sehingga risiko terjadinya gangguan hipoksik iskemik dan perdarahan
periventrikular lebih tinggi. Demikian pula disfungsi jantung akibat proses hipoksik iskemik
ini sering berakhir dengan oayah jantung. Karena itu tidaklah mengherankan apabila pada
hipoksia berat, angka kematian bayi kurang bulan,, terutama bayi berat lahir sangat rendah
yang mengalami hipoksia berat mencapai 43-58%.
Disfungsi multi organ pada hipoksia/iskemia
Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh tersebut sangat
bervariasitergantung pada beratnya hipoksia, selang waktu antara pemeriksaan keadaan
hipoksiaakut terjadi, masa gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal, serta faktor
lingkungan penderita termasuk faktor sosial ekonomi. Beberapa penelitian melaporkan, organ
yang paling sering mengalami gangguan adalah susunan saraf pusat. Pada asfiksia
neonatus,gangguan fungsi susunan saraf pusat hampir selalu disertai dengan gangguan
fungsi beberapa organ lain (multiorgan failure). Kelainan susunan saraf pusat yang tidak
disertai gangguan fungsi organ lain, hampir pasti penyebabnya bukan asfiksia perinatal.
Sistem susunan saraf pusat
Pada keadaan hipoksia aliran darah ke otak dan jantung lebih dipertahankan daripada
ke organ tubuh lainnya, namun terjadi perubahan hemodinamik di otak dan penurunan
oksigenasi sel otak tertentu yang selanjutnya mengakibatkan kerusakan sel otak. Penelitian
menyebutkan 8-17% bayi penderita serebral palsi disertai dengan riwayat perinatal hipoksiia.
Salh satu gangguan akibat hipoksia otak yang paling sering ditemukan pada masa perinatal
adalah ensefalopati hipoksik iskemik (EHI). Pada bayi cukup bulan keadaan ini timbul saat
terjainya hipoksia akut, sedangkan pada bayi kurang bulan kelainan lebih sering timbul
sekunder pasca hipoksia dan iskemia akut. Manifestai gambaran klinik bervariasi tergantung
pada lokasi bagian otak yang terkena proses hipoksia dan iskemiknya. Pada saat timbulnya
hipoksia akut atau saat pemulihan pasca hipoksia terjadi dua proses yang saling berkaitan
sebagai penyebab perdarahan per/intraventrikular.
19
Pada proses pertama, hipoksia akut yang terjadi menimbulkan vasodilatasi serebral
dan peninggian aliran darah serebral. Keadaan tersebut menimbulkan peninggian tekanan
darah arterial yang bersifat sementara dan proses ini ditemukan pula padasirkulasi kapiler
di daerah matriks germinal yang mengakibatkan perdarahan.Selanjutnya keadaan
iskemia dapat pula terjadi akibat perdarahan ataupun renjatan pasca perdarahan yang akan
memperberat keadaan penderita. Pada proses kedua, perdarahan dapat terjadi pada fase
pemulihan pasca hipoksia akibat adanya prosesreperfusi dan hipotensi sehingga menimbulkan
iskemia di daerah mikrosirkulasi periventrikular yang berakhir dengan perdarahan. Proses
yang mana yang lebih berperan dalam terjadinya perdarahan tersebut belum dapat ditetapkan
secara pasti,tetapi gangguan sirkulasi yang terjadi pada kedua proses tersebut telah disepakati
mempunyai peran yang menentukan dalam perdarahan tersebut.
Sistem pernapasan
Penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi penderita asfiksia neonatus masih belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori mengemukakan bahwa hal ini merupakan akibat langsung hipoksia dan iskemianya atau dapat pula terjadi karena adanya disfungsi ventrikel kiri, gangguan koagulasi, terjadinya radikal bebas oksigen atapun penggunaan ventilasi mekanik dan timbulnya aspirasi mekonium.
Sistem kardiovaskular
Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi miokardium yang berakhir dengan payah jantung. Disfungsi miokardium terjadi karena menurunnya perfusi yang disertai dengan kerusakan sel miokard tertama di daerah subendokardial dan otot polos papilaris kedua bilik jantung. Pada penelitian terhadap 72 penderita asfiksia hanya 29% bayi yang menderita kelainan jantung. Kelainan yang ditemukan bersifat ringan berupa bising jantung akibat insufisiensi katup atrioventrikuler dan kelainan ekokardiografi khas yang menunjukkan iskemia miokarium. Kelainan jantung lain yang mungkin ditemukan pada penderita sfiksia berat antaralain gangguan konduksi jantung, aritmia,blok atrioventrikuler dan fixed heart rate.
Sistem urogenitalia
Pada sistem urogenital, hipoksia bayi dapat menimbulkan gangguan perfusi dan dilusi ginjal serta kelainan filtrasi glomerulus. Aliran darah yang kurang menyebabkan nekrosis tubulus dan perdarahan medula. Dalam penelitian terhadap 30 penderita asfiksia neonatus Jayashree,dkk (1991) menemukan disfungsi ginjal pada 43% bayi dengan gejala oligouria serta urea darah >40mg/dl dan kadar kreatinin darah >1mg%.
Sistem gastrointestinal
20
Kelainan saluran cerna terjadi karena radikal bebas oksigen yang terbentuk pada penderita hipoksia beserta faktor lain seperti gangguan koagulasi dan hipotensi, menimbulkan kerusakan epitel dinding usus. Gangguan fungsi yang terjadi dapat berupa kelainan ringan yang bersifat sementara seperti muntah berulang, gangguan toleransi makanan atau adanya darah dalam residu lambung sampai kelainan perforasi saluran cerna.
Sistem audiovisual
Gangguan pada fungsi penglihatan dan pendengaran dapat terjadi secara langsung karena proses hipoksia dan iskemia, ataupun tidak langsung akibat hipoksia iskemi susunan saraf pusat atau jaras-jaras yang terkair yang meinmbulkan kerusakan pada pusat penglihatan dna pendengaran.
Sindrom Aspirasi Mekonium (SAM)
A. Definisi
Sindrom Aspirasi Mekonium adalah sindrom atau kumpulan berbagai gejala klinis
dan radiologis akibat janin atau neonatus menghirup atau mengaspirasi mekonium.
Sindrom aspirasi mekonium dapat terjadi sebelum, selama, dan setelah proses
persalinan. Mekonium yang terhirup dapat menutup sebagian atau seluruh jalan napas
neonatus. Udara dapat melewati mekonium yang terperangkap dalam jalan napas neonatus
saat inspirasi. Mekonium dapat juga terperangkap dalam jalan napas neonatus saat ekspirasi
sehingga mengiritasi jalan napas dan menyebabkan kesulitan bernapas. Tingkat keparahan
SAM tergantung dari jumlah mekonium yang terhirup, ditambah dengan kondisi lain seperti
infeksi intrauterin atau lewat bulan (usia kehamilan lebih dari 42 minggu). Secara umum,
semakin banyak mekonium yang terhirup, semakin berat kondisi klinis neonatus.
Pengeluaran mekonium ke dalam air ketuban pada umumnya merupakan akibat dari
keadaan hipoksia intra uterin dan atau gawat janin. Mekonium di dalam air ketuban dapat
21
juga secara sederhana menunjukkan maturasi fungsi saluran cerna janin. Insidensi pasase
mekonium jarang terjadi sebelum usia gestasi 34 minggu dan akan meningkatkan sampai usia
kehamilan 37 minggu dan lebih meningkat lagi sesudah 37 minggu.
B. Derajat, penyebab dan faktor resiko SAM
Kriteria derajat berat SAM dibedakan menjadi, SAM ringan apabila bayi memerlukan
O2 kurang 40% pada umur kurang 48 jam, SAM sedang apabila memerlukan lebih 40% pada
umur lebih 48 jam tanpa kebocoran udara, dan SAM berat apabila memerlukan ventilator
mekanik untuk lebih 48 jam dan sering dihubungkan dengan hipertensi pulmonal persisten.
Penyebab aspirasi mekonium mungkin terjadi intrauterin atau segera sesudah lahir.
Hipoksia janin kronik dan asidosis dapat mengakibatkan gasping janin yang mempunyai
konsekuensi aspirasi mekonium intrauterin.
Aspirasi mekonium terjadi apabila janin mengalami stress selama proses persalinan
berlangsung. Bayi seringkali merupakan bayi postmatur (<40 minggu)
Faktor resiko terjadinya SAM
Kehamilan post matur
Pre-eklampsi
Ibu dengan diabetes melitus
Ibu dengan hipertensi
Persalinan sulit atau lama
Gawat janin
Hipoksia intra uterin
C. Mekanisme terjadinya SAM
Mekonium diduga sangat toksik bagi paru karena berbagai macam cara. Sulit
menentukan mekanisme mana yang paling dominan dalam suatu saat. Mekanisme terjadinya
SAM diduga melalui mekanisme, obstruksi mekanik saluran napas, pneumonitis kimiawi,
vasokonstriksi pembuluh darah vena, dan surfaktan yang inaktif.
Obstruksi mekanik
Mekonium yang kental dan liat dapat menyebabkan obstruksi mekanik total atau
parsial. Pada saat bayi mulai bernapas, mekonium bergerak dari saluran napas sentral ke
perifer. Partikel mekonium yang terhirup ke dalam saluran napas bagian distal menyebabkan
obstruksi dan atelektasis sehingga terjadi area yang tidak terjadi ventilasi dan perfusi
menyebabkan hipoksemia. Obstruksi parsial menghasilkan dampak katup–bola atau ball-
valve effect yaitu udara yang dihirup dapat memasuki alveoli tetapi tidak dapat keluar dari
22
alveoli. Hal ini akan mengakibatkan air trapping di alveoli dengan gangguan ventilasi dan
perfusi yang dapat mengakibatkan sindrom kebocoran udara dan hiperekspansi. Risiko
terjadinya pneumotoraks sekitar 15%-33%.
Pneumonitis Mekonium
Diduga mempunyai dampak toksik secara langsung yang diperantarai oleh proses
inflamasi. Dalam beberapa jam neutrofil dan makrofag telah berada di dalam alveoli, saluran
napas besar dan parenkim paru. Dari makrofag akan dikeluarkan sitokin seperti TNF α, TNF-
1b, dan interleukin-8 yang dapat langsung menyebabkan gangguan pada parenkim paru atau
menyebabkan kebocoran vaskular yang mengakibatkan pneumonitis toksik dengan
perdarahan paru dan edema. Mekonium mengandung berbagai zat seperti asam empedu yang
apabila dijumpai dalam air ketuban akan menyebabkan kerusakan langsung pembuluh darah
tali pusat dan kulit ketuban, serta mempunyai dampak langsung vasokonstriksi pada
pembuluh darah umbilical dan plasenta.
Vasokonstruksi pulmonal
Kejadian SAM berat dapat menyebabkan komplikasi hipertensi pulmonal persisten. Pelepasan
mediator vasoaktif seperti eikosanoids, endotelin-1, dan prostaglandin E2 (PGE2), sebagai
akibat adanya mekonium dalam air ketuban diduga mempunyai peran dalam terjadinya
hipertensi pulmonal persisten.
23
D. Diagnosis sindrom aspirasi mekonium
Sindrom aspirasi mekonium harus dipertimbangkan terjadi pada setiap bayi baru lahir
dengan AKK yang mengalami gejala gangguan napas atau distres respirasi. Gambaran
pemeriksaan radiologi klasik menunjukkan sebaran infiltrat difus dan asimetris. Berhubung
berbagai mekanisme yang menyebabkan SAM maka temuan gambaran radiologikpun
bervariasi. Seringkali dijumpai overaerasi yang dapat menyebabkan sindrom kebocoran udara
seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atau emfisema pulmonum intersisialis.
Terdapat hubungan antara derajat kelainan abnormalitas radiologik dan derajat
penyakit SAM dengan konsolidasi atau atelektasis yang merupakan faktor prognosis yang
kurang baik. Meskipun ada penelitian lain yang tidak mengkonfirmasi hubungan ini.Pasien
dengan gambaran radiologi klasik menunjukkan perbaikan lambat setelah beberapa hari
sampai beberapa minggu. Pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi diperlukan untuk
24
mengevaluasi hipertensi pulmonal dan berguna untuk bayi pada awal kehidupannya.Kejadian
Air Ketuban Keruh (AKK) merupakan tanda yang serius pada janin yang dihubungkan
dengan kenaikan morbiditas perinatal, maka monitor denyut janin merupakan indikator
penting. Dipertimbangkan keadaan kontroversial yang ada saat ini, berhubungan dengan
sebab pasase mekonium intra uterin. Di dalam rahim hipoksia mengakibatkan relaksasi otot
sfingter ani dipertimbangkan sebagai penyebab pasase mekonium. Sebaliknya lingkungan
intra uterin akan mempengaruhi kesejahteraan janin dan mengakibatkan AKK misalnya
infeksi intra uterin yang mengakibatkan korioamnionitis, perlu diingat AK merupakan media
kultur yang kurang baik untuk kuman. Air ketuban yang terinfeksi dan ditelan janin akan
memicu terjadinya defekasi dini oleh janin yang juga dapat diterangkan sebagai penyebab
AKK.
Diagnosa SAM ditegakkan berdasarkan keadaan berikut :
Sebelum lahir : terdapat bradikardia janin
Ketika lahir : cairan ketuban mengandung mekonium (warna kehijauan)
Bayi memiliki nilai APGAR yang rendah
25
DAFTAR PUSTAKA
IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004.h. 272-276.
Indonesia on line. Angka kematian bayi masih tinggi. Didapat dari: http://www.indonesiaontime.com/humaniora/kesehatan/19-kesehatan/4100--angka-kematian-bayi-masih-tinggi-.html.
Djaja S. Penyakit penyebab kematian bayi baru lahir (neonatal) dan sistem pelayanan kesehatan yang berkaitan di Indonesia. Didapat dari: http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2003-sarimawar-881-neonatal&q=survei.
Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. 2010. Jakarta: Pengurus Pusat IDAI
Corry S,dkk. 2000. Diagnosis Fisik pada Anak. Jakarta: Sagung Seto
www.idai.or.id
WHO Indonesia. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: Pedoman Bagi
Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO Indonesia
Buku Ajar Ilmu Penyakit Anak IDAI
26