Upload
minipredator
View
22
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
da
Citation preview
PRESENTASI KASUS
DERMATITIS ATOPIK
Disusun Oleh :
Yessy Dwi Oktavia
G4A014053
Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHANPRESENTASI KASUS
“DERMATITIS ATOPIK”
Disusun oleh:Yessy Dwi Oktavia G4A014053
Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Margono Soekarjo
Purwokerto.
Purwokerto, Agustus 2015Pembimbing:
dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK
2
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat
rahmat dan anugerah-Nya sehingga presentasi kasus dengan judul “Dermatitis
Atopik” ini dapat diselesaikan.
Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK selaku dosen pembimbing.
2. Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin di RS. Margono Soekarjo.
3. Rekan-rekan Co-Assisten Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin atas
semangat dan dorongan serta bantuannya.
Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di
dalam maupun di luar lingkungan RS. Margono Soekarjo.
Purwokerto, Agustus 2015
Penyusun
3
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I LAPORAN KASUS............................................................................... 5
A. Identitas Pasien................................................................................... 5
B. Anamnesis.......................................................................................... 5
C. Pemeriksaan Fisik............................................................................... 6
D. Resume............................................................................................... 8
E. Diagnosis Banding.............................................................................. 8
F. Diagnosis Kerja.................................................................................. 8
G. Pemeriksaan penunjang...................................................................... 8
H. Terapi.................................................................................................. 8
I. Prognosis............................................................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 10
A. Definisi............................................................................................... 10
B. Epidemiologi...................................................................................... 10
C. Etiopatogenesis................................................................................... 12
E. Gejala Klinis....................................................................................... 18
F. Diagnosis............................................................................................ 21
G. Diagnosis Banding.............................................................................. 22
H. Pemeriksaan Penunjang...................................................................... 24
H. Gambaran Hisptopatologis................................................................. 25
H. Penatalaksanaan.................................................................................. 25
I. Prognosis............................................................................................ 31
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 37
4
I. LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : An. A
Usia : 7 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Rajawana 2/5 Purbalingga
No. Rekam Medik: 00049716
Tanggal Periksa : 25 Juli 2015
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : gatal-gatal pada kedua tangan
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Onset : 1 tahun yang lalu.
Lokasi : kedua tangan
Kronologis : Pasien mengeluhkan gatal-gatal disertai kemerahan di
kedua tangan. Terdapat bintik-bintik pada sekeliling
daerah yang gatal dan kemerahan. Apabila digaruk, akan
mengeluarkan cairan dan selanjutnya mengering. Pada
awalnya gatal dan kemerahan berukuran kecil. Oleh
karena pasien merasa gatal sekali, semakin lama, pasien
semakin sering menggaruk hingga daerah gatalnya
menjadi luka.
Kualitas :Pasien merasa gatal sekali sehingga mengganggu aktivitas
pasien.
Kuantitas : Keluhan gatal dirasakan hilang timbul sepanjang hari
Faktor memperberat: Ketika sedang berkeringat
Faktor memperingan: Konsumsi obat dan diberi salep
Gejala penyerta : Keluhan gatal disertai dengan rasa nyeri dan panas.
Pasien menyangkal adanya bengkak pada daerah tangan
5
dan kaku . Pasien menyangkal adanya riwayat kontak
dengan bahan atau benda tertentu sebelumnya dan pasien
juga menyangkal adanya sisik yang menebal pada daerah
kulit yang gatal.
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Keluhan gatal yang sama saat kecil : diakui
Asma : disangkal
Kencing manis / gula : disangkal
Riwayat alergi : diakui (seafood)
Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Keluhan yang sama dengan pasien : disangkal
Asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya, dan 1 kakak perempuan. Pasien
merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Dalam kesehariannya, pasien
merupakan murid sekolah dasar. Ia mempunyai hobbi bermain bola.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum / kesadaran : sedang / komposmentis
Tanda vital : N = 88x/menit; RR = 20x/mnt S = 36,4oC
Berat Badan = 29 kg; Tinggi Badan = 127 cm
Status Generalis
Kepala : bentuk mesochepal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Hidung : napas cuping hidung (-/-), discharge (-/-)
Telinga : simetris, discharge (-/-)
Mulut : bibir sianosis (-), faring hiperemis (-)
Thoraks : bentuk normal, simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Cor/Pulmo: dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
6
Status Lokalis (Dermatologis)
Gambar 1. Kondisi kulit di ekstrimitas superior sinistra
Gambar 2. Kondisi kulit di ekstrimitas superior dekstra
Regio ekstrimitas superior dekstra et sinistra
Efloresensi: plak hiperpigmentasi berbatas tegas, penyebaran simetris di regio
ekstremitas superior.
7
D. RESUME
Pasien anak laki-laki berusia 7 tahun datang ke poli kulit-kelamin RSMS
dengan keluhan gatal di kedua tangan teruatama dibagian lengan sejak setahun
yang lalu. Pasien mengaku keluhan yang dideritanya ini sering hilang timbul
dan dirasakan sepanjang hari sehingga menggangu aktivitasnya. Gatal
bertambah berat saat berkeringat. Gatal berkurang setelah minum obat dan
mengolesi salep pada bagian yang gatal. Keluhan gatal disertai dengan rasa
nyeri dan panas. Pasien memiliki keluhan gatal yang sama pada kedua lutdada
dan punggung saat berusia 5 tahun. Pada pemeriksaan status dermatologis,
didapatkan plak hiperpigmentasi berbatas tegas, penyebaran simetris di regio
ekstremitas superior.
E. DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis Atopik
F. DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis kontak alergika
G. PEMERIKSAAN ANJURAN
1. Darah tepi : untuk mengetahui adanya eosinofilia
2. Dermatografisme : putih
3. Percobaan asetilkolin
4. Uji tesk kulit dan provokasi
H. PENATALAKSANAAN
1. Non farmakologis
a. Menghindari aktivitas yang menimbulkan banyak keringat
b. Menghindari suhu yang terlalu panas atau dingin dan kondisi dengan
kelembaban yang tinggi.
c. Menghindari bahan-bahan yang bersifat iritan
8
d. Menganjurkan untuk menggunakan pelembab kulit untuk mengatasi
kulit kering
e. Memberitahukan untuk tidak menggaruk luka atau daerah kulit yang
gatal karena akan menimbulkan tempat infeksi baru.
2. Farmakologis
a. Loratadine tablet
b. Amitriptilin tablet
c. Asam salisilat salep
d. Desoksimethason
I. PROGNOSIS
1. Ad vitam : Ad bonam
2. Ad fungsionam : Ad bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi yang khas,
bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi) terutama mengenai
bayi dan anak, dapat pula pada dewasa. Penyakit ini biasanya disertai dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum serta adanya riwayat rinitis alergika dan
atau asma pada keluarga maupun penderita.
Menurut definisi Rajka (2007) dermatitis atopik adalah suatu inflamasi
yang spesifik pada kompartemen dermo-epidermal, terjadi pada kulit atopik
yang bereaksi abnormal dengan manifestasi klinis timbulnya gatal dan lesi kulit
inflamasi bersifat eczematous. Istilah dermatitis banyak digunakan oleh para
dermatologist yang berorientasi pada sumber ilmu dari Amerika, digunakan
untuk mengganti kata “eksema” yang banyak dipakai di benua Eropa. Kata
eksema sendiri telah lama dikenal sejak dahulu yaitu pada zaman sebelum
masehi, berasal dari bahasa Yunani “ekzein” yang berarti mendidih atau
berbuih. Istilah eksema ini barangkali digunakan untuk menggambarkan
penyakit kulit yang beragam ujud kelainan kulitnya, seperti air mendidih.
Dermatitis atopik dibagi 2 tipe yaitu :
1. Tipe 1 : murni
Yaitu dermatitis atopik yang tidak disertai keterlibatan saluran napas, ada 2
tipe yaitu :
a. Intrinsik : tidak terdeteksi adanya sensitasi IgE spesifik dan tidak terdapat
peningkatan IgE total serum.
b. Ekstrinsik : terbukti dengan adanya sensitasi terhadap alergen hirup dan
alergen makanan pada uji kulit dan pada serum.
2. Tipe 2 : bentuk campuran
Yaitu dermatitis atopik yang disertai gejala saluran napas dan terdapat
sensitasi IgE. Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-
3% dan pada anak < 5 tahun sebesar 3,1%, sedangkan prevalensi DA pada
10
anak meningkat 5-10% pada 20-30 tahun terakhir. Sangat mungkin
peningkatan prevalensi ini berasal dari faktor lingkungan, seperti bahan
kimia industri, makanan olahan, atau benda asing lainnya. Ada dugaan
bahwa peningkatan ini juga disebabkan perbaikan prosedur diagnosis dan
pengumpulan data.
B. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis atopik merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di
seluruh dunia dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada
orang dewasa 1-3% (Williams et al, 1999 dalam Leung, et al., 2007; Schultz
dan Hanifin, 2002 dalam Leung dan Bieber, 2003). Dermatitis atopik lebih
sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1.5:1
(Kuster, et al., 1990 dalam Abramovits, 2005). Dermatitis atopik sering
dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onset dermatitis atopic). Empat
puluh lima persen kasus dermatitis atopik pada anak pertama kali muncul
dalam usia 6 bulan pertama, 60% muncul pada usia satu tahun pertama dan
85% kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun. Lebih dari 50%
anak-anak yang terkena dermatitis atopik pada 2 tahun pertama tidak memiliki
tanda-tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi jauh lebih peka selama masa
dermatitis atopik (Illi et al., 2004 dalam Bieber, 2008).
Penyebab dari peningkatan prevalensi dermatitis atopik belum
sepenuhnya dimengerti. Riwayat keluarga yang positif mempunyai peran yang
penting dalam kerentanan terhadap dermatitis atopik, namun faktor genetik saja
tidak dapat menjelaskan peningkatan prevalensi yang demikian besar. Dari
hasil observasi yang dilakukan pada negara-negara yang memiliki ethnis grup
yang sama didapatkan bahwa faktor lingkungan berhubungan dengan
peningkatan risiko dermatitis atopik (Flohr, et al., 2005 dalam Gondokaryono,
2009; Tay, 2002 dalam Leung, et al., 2007). Prevalensi dermatitis atopik lebih
rendah di daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan yang
dihubungkan dengan “hygiene hypothesis”, yang mendalilkan bahwa ketiadaan
pemaparan terhadap agen infeksi pada masa anak-anak yang dini
11
meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergi (Williams dan Flohr, 2006
dalam Bieber, 2008; Zutavern, et al., 2005 dalam Bieber, 2008).
C. ETIOPATOGENESIS
Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas
akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi
kulit yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan psikis. Faktor
eksogen pada DA, antara lain adalah trauma fisik-kimia-panas, bahan iritan,
allergen debu, tungau debu rumah, makanan (susu sapi, telur), infeksi mikroba,
perubahan iklim (peningkatan suhu dan kelembaban), serta hygiene
lingkungan. Faktor endogen lebih berperan sebagai faktor predisposisi
sedangkan faktor eksogen cenderung menjadi faktor pencetus (Boediardja,
2006).
1. Faktor Endogen
a. Sawar kulit
Penderita DA pada umumnya memiliki kulit yang relatif kering
baik di daerah lesi maupun non lesi, dengan mekanisme yang kompleks
dan terkait erat dengan kerusakan sawar kulit. Hilangnya ceramide di
kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di ruang
ekstraselular stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan
fungsi sawar kulit. Variasi pH kulit dapat menyebabkan kelainan
metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar kulit mengakibatkan
peningkatan transepidermal water loss (TEWL) 2-5 kali normal, kulit
akan makin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi
allergen, iritasi, bakteri dan virus.
Bakteri pada pasien dermatitis atopik mensekresi ceramidase yang
menyebabkan metabolisme ceramide menjadi sphingosine dan asam
lemak, selanjutnya semakin mengurangi ceramide di stratum korneum,
sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo, 2009). Selain itu,
faktor luar (eksogen) yang dapat memperberat keringnya kulit adalah
suhu panas, kelembaban yang tinggi, serta keringat berlebih. Demikian
12
pula penggunaan sabun yang bersifat lebih alkalis dapat mengakibatkan
gangguan sawar kulit. Gangguan sawar kulit tersebut meningkatkan rasa
gatal, terjadilah garukan berulang (siklus gatal-garuk-gatal) yang
menyebabkan kerusakan sawar kulit. Dengan demikian penetrasi alergen,
iritasi, dan infeksi menjadi lebih mudah.
b. Genetik
D.A. adalah penyakit dalam keluarga di mana pengaruh maternal
sangat besar. Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan
penyakit alergi, tetapi yang paling menarik adalah peran kromosom 5 q31
– 33 karena mengandung gen penyandi IL-3, IL-4, IL-13 dan GM – CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) yang diproduksi
oleh sel Th2. Pada ekspresi D.A., ekspresi gen IL-4 juga memainkan
peranan penting. Predisposisi DA dipengaruhi perbedaan genetik aktifitas
transkripsi gen IL-4. Dilaporkan adanya keterkaitan antara polimorfisme
spesifik gen kimase sel mas dengan D.A. tetapi tidak dengan asma
bronchial ataupun rinitis alergika. Serine protease yang diproduksi sel
mas kulit mempunyai efek terhadap organ spesifik dan berkontribusi
pada resiko genetik D.A.
c. Respon imun pada kulit
Salah satu faktor yang berperan pada D.A. adalah faktor
imunologik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal dapat berlangsung
respon imun yang melibatkan sel Langerhans (SL) epidermis, limfosit,
eosinofil dan sel mas. Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup,
alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen) terpajan ke kulit
individu dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan
mengalami proses : ditangkap IgE yang ada pada permukaan sel mas atau
IgE yang ada di membran SL epidermis. Bila antigen ditangkap IgE sel
mas (melalui reseptor FcεRI), IgE akan mengadakan cross linking
dengan FcεRI, menyebabkan degranulasi sel mas dan akan keluar
histamin dan faktor kemotaktik lainnya. Reaksi ini disebut reaksi
hipersensitif tipe cepat (immediate type hypersensitivity).
13
Pada pemeriksaan histopatologi akan nampak sebukan sel
eosinofil. Selanjutnya antigen juga ditangkap IgE, sel Langerhans
(melalui reseptor FcεRI, FcεRII dan IgE-binding protein), kemudian
diproses untuk selanjutnya dengan bekerjasama dengan MHC II akan
dipresentasikan ke nodus limfa perifer (sel Tnaive) yang mengakibatkan
reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit, akan terjadi diferensiasi
sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan perkembangan sel T ke
arah TH1 atau TH2. Sel TH1 akan mengeluarkan sitokin IFN-γ, TNF, IL-
2 dan IL-17, sedangkan sel TH2 memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13.
Meskipun infiltrasi fase akut D.A. didominasi oleh sel TH2 namun
kemudian sel TH1 ikut berpartisipasi. Jejas yang terjadi mirip dengan
respons alergi tipe IV tetapi dengan perantara IgE sehingga respons ini
disebut IgE mediated-delayed type hypersensitivity. Pada pemeriksaan
histopatologi nampak sebukan sel netrofil. Selain dengan SL dan sel mas,
IgE juga berafinitas tinggi dengan FcεRI yang terdapat pada sel basofil
dan terjadi pengeluaran histamin secara spontan oleh sel basofil. Garukan
kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF α dan sitokin pro inflamasi
epidermis lainnya yang akan mempercepat timbulnya peradangan kulit
DA.
Kadang-kadang terjadi aktivasi penyakit tanpa rangsangan dari
luar sehingga timbul dugaan adanya autoimunitas pada DA. Pada lesi
kronik terjadi perubahan pola sitokin. IFN-γ yang merupakan sitokin
TH1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-5 dan IL-13
masih tetap tinggi. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia
epidermis. IFN dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk
berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis.
Perkembangan sel T menjadi sel TH2 dipacu oleh IL-10 dan
prostaglandin (P6) E2. IL-4 dan IL-13 akan menginduksi peningkatan
kadar IgE yang diproduksi oleh sel B.
14
Gambar 3. Patogenesis imunologik dermatitis atopik
d. Respon sistemik
Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut :
1) Sintesis IgE meningkat.
2) IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat
3) Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat.
4) Respons hipersensitivitas lambat terganggu
5) Eosinofilia
6) Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat
7) Sekresi IFN-γ oleh sel TH1 menurun
8) Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
9) Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai
peningkatan IL-13 dan PGE2
e. Hipersensitivitas
Berbagai hasil penelitian terdahulu membuktikan adanya
peningkatan kadar IgE dalam serum dan IgE di permukaan sel
Langerhans epidermis. Data statistik menunjukkan peningkatan IgE pada
85% pasien DA dan proliferasi sel mast. Pada fase akut terjadi
peningkatan IL-4, IL-5, IL-13 yang diproduksi sel Th2, baik di kulit
maupun dalam sirkulasi, penurunan IFN-γ, dan peningkatan IL-4.
Produksi IFN-γ juga dihambat oleh prostaglandin (PG) E2 mengaktivasi
Th1, sehingga terjadi peningkatan produksi IFN-γ, sedangkan IL-5 dan
15
IL-13 tetap tinggi. Pasien DA bereaksi positif terhadap berbagai alergen,
misalnya terhadap alergen makanan 40-96% DA bereaksi positif (pada
food challenge test) (Boediardja, 2006).
f. Faktor psikis
Berdasarkan laporan orangtua, antara 22-80% penderita DA menyatakan
lesi DA bertambah buruk akibat stress emosi (Boediardja, 2006).
2. Faktor eksogen
a. Iritan
Kulit penderita DA ternyata lebih rentan terhadap bahan iritan, antara
lain sabun alkalis, bahan kimia yang terkandung pada berbagai obat
gosok untuk bayi dan anak, sinar matahari, dan pakaian wol (Boediardja,
2006).
b. Alergen
Penderita DA mudah mengalami alergi terutama terhadap beberapa
alergen, antara lain:
1) Alergen hirup, yaitu debu rumah dan tungau debu rumah. Hal tersebut
dibuktikan dengan peningkatan kadar IgE RAST (IgE spesifik)
(Boediardja, 2006).
2) Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1
tahun (mungkin karena sawar usus belum bekerja sempurna).
Konfirmasi alergi dibuktikan dengan uji kulit soft allergen fast test
(SAFT) atau double blind placebo food challenge test (DBPFCT)
(Boediardja, 2006).
3) Infeksi: Infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90% lesi
DA dan hanya pada 5% populasi normal. Hal tersebut mempengaruhi
derajat keparahan dermatitis atopik, pada kulit yang mengalami
inflamasi ditemukan 107 unit koloni setiap sentimeter persegi. Salah
satu cara S.aureus menyebabkan eksaserbasi atau mempertahankan
inflamasi ialah dengan mensekresi sejumlah toksin (Staphylococcal
enterotoin A,B,C,D - SEA-SEB-SEC-SED) yang berperan sebagai
16
superantigen, menyebabkan rangsangan pada sel T dan makrofag.
Superantigen S.aureus yang disekresi permukaan kulit dapat
berpenetrasi di daerah inflamasi Langerhans untuk memproduksi IL-1,
TNF dan IL-12. Semua mekanisme tersebut meningkatkan inflamasi
pada DA dengan kemungkinan peningkatan kolonisasi S.aureus.
Demikian pula jenis toksin atau protein S.aureus yang lain dapat
mengindusi inflamasi kulit melalui sekresi TNF-α oleh keratinosit
atau efek sitotoksik langsung pada keratinosit (Soebaryo, 2009).
c. Lingkungan
Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada
kekambuhan DA, misalnya asap rokok, polusi udara (nitrogen dioksida,
sufur dioksida), walaupun secara pasti belum terbukti. Suhu yang panas,
kelembaban, dan keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan
kekambuhan DA. Di negara 4 musim, musim dingin memperberat lesi
DA, mungkin karena penggunaan heater (pemanas ruangan). Pada
beberapa kasus DA terjadi eksaserbasi akibat reaksi fotosensitivitas
terhadap sinar UVA dan UVB (Boediardja, 2006).
D. GEJALA KLINIS
Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, pucat, kadar lipid
epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari
tangan teraba dingin. dermatitis atopik cenderung tipe astenik, dengan
intelegensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif atau
merasa tertekan. Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus, dapathilang
timbul sepanjang hari, tetapi umumnya akan menghebat pada malam hari.
Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam
kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi
dan krusta. dermatitis atopik dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu sebagai berikut:
1. D.A. infantil (usia 2 bulan – 2 tahun)
D.A. paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya
setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-
17
vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, dan akhirnya
terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain, yaitu scalp, leher,
pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi
ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk setelah berumur 2
bulan. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga menyebabkan
anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis.
Pada umumnya lesi D.A. infantile eksudatif, banyak eksudat, erosi,
krusta, dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata, bahkan
walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis
dan residif. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian
besar penderita akan sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga
sebelumnya, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu,
penderita tidak lagi mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang
sebelumnya menyebabkan kambuh penyakitnya.
2. D.A. pada anak (usia 2 – 10 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri. Lesi
lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi dan
sedikit skuama. Letak kelainan di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan
bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka. Rasa gatal
menyebabkan penderita sering menggaruk. Dapat terjadi erosi, likenifikasi,
mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal
dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran
setan “siklus gatal-garuk”. Rangsangan garuk sering di luar kendali.
Penerita sensitive terhadap wol, bulu kucing dan anjing, juga bulu ayam,
burung dan sejenisnya. D.A. berat yang melebihi 50% permukaan tubuh
dapat memperlambat pertumbuhan.
3. D.A. pada remaja dan dewasa
Lesi kulit D.A. pada bentuk ini dapat berupa plak papular-eritematosa
dan berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada D.A. remaja
lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi, dan sekitar
mata. Pada D.A. dewasa, distribusi lesi kurang khas, sering mengenai
18
tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di
bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, putting susu atau scalp. Kadang erupsi
meluas, dan paling paraj di lipatan mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak
menimbul, papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi
dengan sedikit skuama, dan sering terjadi ekskoriasi dan eksudasi karena
garukan. Lambat laun dapat terjadi hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal terutama pada malam hari waktu istirahat. Pada orang
dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stress.
Mungkin karena strs dapat menurunkan ambang rasa gatal. Penderita atopic
memang sulit mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila
mengadakan latihan fisik. Pada umumnya D.A. remaja atau dewasa
berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik setelah usia
30 tahun, jarang sampai usia pertengahan. Hanya sebagian kecil yang terus
berlangsung sampai tua. Kulit penderita D.A. yang telah sembuh mudah
gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh bahan iritan eksogen.
Gambar 4. Gambaran gelaja klinis pada bayi, anak, dan dewasa
Stigmata pada dermatitis atopik atau beberapa gambaran klinis dan stigmata
yang terjadi pada DA, yaitu:
19
1. ‘White dermatographism’ Goresan pada kulit penderita DA akan
menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan
vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-
15 menit berikutnya.
2. Reaksi vaskular paradoksal Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu
pada penderita DA. Apabila ekstremitas penderita DA mendapat pajanan
hawa dingin, akan terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan
pemanasan dibandingkan dengan orang normal.
3. Lipatan telapak tangan Terdapat pertambahan mencolok lipatan pada
telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan tanda khas untuk
DA.
4. Garis Morgan atau Dennie Terdapat lipatan ekstra di kulit bawah mata.
5. Sindrom ‘buffed-nail’ Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk
akibat rasa sangal gatal.
6. ‘Allergic shiner’ Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena
gosokan dan garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat
perangsangan melanosit dan peningkatan timbunan melanin.
7. Hiperpigmentasi Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus
menerus.
8. Kulit kering Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah,
dan berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris.
Jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan
pembentukan sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada
musim panas.
9. ‘Delayed blanch’ Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal
menghasilkan keluarnya keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan
terjadi eritema ringan dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh
vasokonstriksi atau peningkatan permeabilitas kapiler.
10. Keringat berlebihan Penderita DA cenderung berkeringat banyak
sehingga pruritus bertambah.
20
11. Gatal dan garukan berlebihan Penyuntikan bahan pemacu rasa
gatal (tripsin) pada orang normal menimbulkan gatal selama 5-10 menit,
sedangkan pada penderita DA gatal dapat bertahan selama 45 menit.
E. DIAGNOSIS
Kriteria minimal untuk menegakkan diagnosa DA meliputi pruritus
dan kecenderungan dermatitis untuk menjadi kronik atau kronik residif dengan
gambaran morfologi dan distribusi yang khas. Dermatitis atopik dikenal
sebagai gatal yang menimbulkan kelainan kulit, bukan kelainan kulit yang
menimbulkan gatal. Tetapi belum ada kesepakatan pendapat mengenai hal ini,
karena pada pengamatan, lesi di muka dan punggung bukan diakibatkan oleh
garukan, selain itu dermatitis juga terjadi pada bayi yang belum mempunyai
mekanisme gatal-garuk.
Kriteria diagnosis dermatitis atopik:
1. Kriteria mayor ( > 3)
a. Pruritus
b. Morfologi dan distribusi khas :
1) Dewasa : likenifikasi fleksura
2) Bayi dan anak : lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor
3) Dermatitis bersifat kronik residif
4) Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
2. Kriteria minor ( > 3)
a. Xerosis
b. Iktiosis/pertambahan garis di palmar/keatosis pilaris
c. Reaktivasi pada uji kulit tipe cepat
d. Peningkatan kadar IgE
e. Kecenderungan mendapat infeksi kulit/kelainan imunitas selular
f. Dermatitis pada areola mammae
g. Keilitis
h. Konjungtivitis berulang
i. Lipatan Dennie-Morgan daerah infraorbita
21
j. Keratokonus
k. Katarak subskapular anterior
l. Hiperpigmentasi daerah orbita
m. Kepucatan/eritema daerah muka
n. Pitiriasis alba
o. Lipatan leher anterior
p. Gatal bila berkeringat
q. Intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solven
r. Gambaran perifolikular lebih nyata
s. Intoleransi makanan
t. Perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan emosi
u. White dermographism/ delayed blanch
F. DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis Kontak Alergi
2. Dermatophytosisataur dermatophytids
3. Sindrom defesiensi imun
4. Sindrom Wiskott-Aldrich
5. Sindrom Hyper-IgE
6. Penyakit Neoplastik
7. Langerhans’ cell histiocytosis
8. Penyakit Hodgkin
9. Dermatitis Numularis
10. Skabies
11. Dermatitis Seboroik
Skabies pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak
mengenai telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan
papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada telapak
tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota keluarga.
Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari scraping vesicle.
22
Skabies memberi respons yang baik terhadap pengobatan dengan γ-benzen
heksaklorida.
Dermatitis seboroik infantil. Penyakit ini dibedakan dari DA dengan:
(1) pruritus ringan, (2) onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik,
batas jelas, merah terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan
lengan. Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis
atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik akan
menjadi DA 5-13 tahun kemudian.
Dermatitis kontak. Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi
eksema kronik pada kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis
kontak karena sepatu.
Penyakit Gambaran klinis
Seboroik dermatitis Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada
Psoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nail
Neurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada
Contact dermatitis Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga
tidak ada
Skabies Papul, sela jari, positif ditemukan tungau
Sistemik Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak sesuai
dengan penyakit
Dermatitis herpetiforme Vesikel berkelompok di daerah lipata
Dermatofita Plak dengan sentral healing, KOH negatif
Immmunodefisiensi
disorder
Riwayat infeksi berulang4
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Telah dilaporkan pelbagai hasil laboratorium penderita DA, walaupun
demikian sulit untuk menghubungkan hasil laboratorium ini dengan defek yang
ada.
1. Imunoglobulin
23
IgG, IgM, IgA dan IgD biasanya normal atau sedikit meningkat pada
penderita DA. Tujuh persen penderita DA mempunyai kadar IgA serum
yang rendah, dan defisiensi IgA transien banyak dilaporkan pada usia 3-6
bulan. Kadar IgE meningkat pada 80-90% penderita DA dan lebih tinggi
lagi bila sel asma dan rinitis alergika. Tinggi rendahnya kadar IgE ini erat
hubungannya dengan berat ringannya penyakit, dan tinggi rendahnya kadar
IgE tidak mengalami fluktuasi baik pada saat eksaserbasi, remisi, atau yang
sedang mendapat pengobatan prednison atau azatioprin. Kadar IgE ini akan
menjadi normal 6-12 bulan setelah terjadi remisi.
2. Leukosit
a. Limfosit
Jumlah limfosit absolut penderita alergi dalam batas normal, baik pada
asma, rinitis alergilk, maupun pada. DA Walaupun demikian pada
beberapa penderita DA berat dapat disertai menurunnya jumlah sel T dan
meningkatnya sel B.
b. Eosinofil
Kadar eosinofil pada penderita DA sering meningkat. Peningkatan ini
seiring dengan meningkatnya IgE, tetapi tidak seiring dengan beratnya
penyakit.
c. Leukosit polimorfonuklear (PMN)
Dari hasil uji nitro blue tetrazolium (NBT) ternyata jumlah PMN
biasanya dalam batas normal.
d. Komplemen
Pada penderita DA kadar komplemen biasanya normal atau sedikit
meningkat.
3. Bakteriologi
Kulit penderita DA aktif biasanya mengandung bakteri patogen, seperti
Staphylococcus aureus. walaupun tanpa gejala klinis infeksi.
4. Uji kulit dan provokasi
Diagnosis DA ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis. Untuk
mencari penyebab timbulnya DA harus disertai anamnesis yang teliti dan
24
bila perlu dengan uji kulit serta uji eliminasi dan provokasi. Korelasi uji
kulit hanya baik hasilnya bila penyebabnya alergen hirup. Untuk makanan
dianjurkan dengan uji eliminasi dan provokasi. Reaksi pustula terhadap 5%
nikel sulfat yang diberikan dengan uji tempel dianggap karakteristik untuk
DA oleh beberapa pengamat. Patogenesis reaksi pustula nikel fosfat ini
belum diketahui walaupun data menunjukkan reaksi iritan primer.
H. GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Gambaran histopatologi D.A. tidak spesifik. Lesi akut ditandai
dengan dengan spongiosis, eksositosis limfosit T, jumlah SL meningkat.
Dermis : edema, bersebukan sel radang terutama limfosit T, makrofag, sel mas
jumlahnya masih dalam batas normal, tetapi dalam keadaan degranulasi. Lesi
kronis D.A. menunjukkan hyperkeratosis dan akantosis. Dermis bersebukan sel
radang, terutama makrofag dan eosinofil.
I. PENATALAKSANAAN
a. Non farmakologis
Dermatitis atopik umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat
dikontrol. Sebagian penderita mengalami perbaikan sesuai dengan
bertambahnya usia. Langkah yang penting adalah menjalin hubungan baik
dengan orang tua penderita, menjelaskan mengenai penyakit tersebut secara
rinci, termasuk perjalanan penyakit, dampak psikologis, prognosis, dan
prinip penatalaksanaan. Langkah pertama dalam penatalaksanaan penderita
DA adalah menghindari atau sedikitnya mengurangi faktor penyebab,
misalnya eliminasi makanan, faktor inhalan, atau faktor pencetus sel.
Walaupun masih kontroversial ternyata bayi yang memperoleh air susu ibu
lebih jarang menderita DA dibandingkan bayi yang memperoleh pengganti
air susu ibu.
Penghindaran faktor alergen pada bayi berumur kurang dari l tahun
akan mengurangi beratnya gejala. DA. Maka dianjurkan agar bayi dengan
riwayat keluarga alergi memperoleh hanya ASI sediIkitnya 3 bulan, bila
25
mungkin 6 bulan pertama dan ibu yang menyusui dianjurkan untuk tidak
makan telur, kacang tanah, terigu, dan susu sapi. Susu sapi diduga
merupakan alergen kuat pada bayi dan anak, maka bagi mereka yang jelas
alergi terhadap susu dapat dipergunakanbangkan untuk menggantinya
dengan susu kedelai, walaupun kemungkinan alergi terhadap susu kedelai
masih ada. Sebanyak 60% penderita DA di bawah usia 2 tahun memberikan
reaksi positif pada uji kulit terhadap telur, susu, ayam, dan gandum. Reaksi
positif ini akan menghilang dengan bertambahnya usia. Walaupun pada uji
kulit positif terhadap antigen makanan tersebut di atas, belum tentu
mencerminkan gejala klinisnya. Demikian pula hasil uji provokasi, sehingga
membatasi makanan anak tidak selalu berhasil untuk mengatasi
penyakitnya.
Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi Sabun dan baju
yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian
juga keringat dapat juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga
harus dihindari. Eliminasi alergen makanan, binatang dan debu rumah.
Secara konvensional pengobatan DA kronik pada prinsipnya adalah sebagai
berikut (Menurut Boguniewicz & Leung 1996 ) :
a. Menghindari bahan iritan
b. Mengeliminasi allergen yang telah terbukti
c. Menghilangkan pengeringan kulit ( hidrasi )
d. Pemberian pelembab kulit (moisturizing )
e. Kortikosteroid topical
f. Pemberian antibiotic
g. Pemberian antihistamin
h. Mengurangi stress dan
i. Memberikan edukasi pada penderita maupun keluarganya
b. Farmakologis
Membutuhkan terapi yang integral dan sistemik, meliputi hidrasi
kulit, terapi topikal, identifikasi dan eliminasi faktor penyebab dan pencetus
dan bila perlu terapi sistemik.Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua
26
kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa berupa perawatan
kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu,
identifikasi dan eliminasi faktor-faktor pencetus kekambuhan.
a. Perawatan Kulit ( Hidrasi )
Merupakan terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat
adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan
menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi selama
15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak
menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun
dengan moisturizers disarankan Setelah mandi memberihkan sisa air
dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik
setelah mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik. Pada pasien kronik
diberikan 3-4 kali sehari dengan water-in-oil moisturizers sediaan asam
laktat.
b. Pengobatan topikal
Untuk mengatasi kekeringan kulit dan peradangan. Mengatasi
kekeringan kulit atau memelihara hidrasi kulit dapat dilakukan dengan
mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi. Meskipun mandi dikatakan
dapat memperburuk kekeringan kulit, namun berguna untuk mencegah
terjadi infeksi sekunder. Jangan menggunakan sabun yang bersifat alkalis
dan sebaliknya pakailah sabun atau pembersih yang mempunyai pH 7,0.
Pemberian pelembab kulit penting untuk menjaga hidrasi antara lain
dengan dasar lanolin, krim air dalam minyak, atau urea 10% dalam krim.
Untuk mengatasi peradangan dapat diberikan krim kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat sebaiknya berhati-hati
dan tidak digunakan di daerah muka. Apabila dermatitis telah teratasi
maka secepatnya pengobatan dialihkan pada penggunaan kortikosteroid
golongan lemah atau krim pelembab. Untuk daerah muka sebaiknya
digunakan krim hidrokortison 1%.
c. Kortikosteroids topikal
27
Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus,
dan efek vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan pada penggunaan
kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut
untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep
untuk kulit lembab bisa menyebabkan folikulitis; bentuk krim
toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang
berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah;
efek samping yang harus diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi,
steroid acne dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi
dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi
pemakaian diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah;
bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan terapi difokuskan pada
hidrasi.
d. Antihistamin digunakan untuk mengurangi rasa gatal dapat diberikan
antihistamin (H1) seperti difenhidramin atau terfenadin, atau antihistamin
nonklasik lain. Kombinasi antihistamin H1 dengan H2 dapat menolong
pada kasus tertentu. Pada bayi usia muda, pemberian sedasi dengan
kloralhidrat dapat pula menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium
kromoglikat untuk menstabilkan dinding sel mast dapat memberikan
hasil yang memuaskan pada 50% penderita.
e. Penggunaan kortikosteroid oral sangat terbatas, hanya pada kasus sangat
berat dan diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-1,0
mg/kgBB/hari dalam waktu 4 hari.Merupakan terapi standar, tetapi
belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal
pada DA bisa tak terkait dengan histamin. Tars Mempunyai efek anti-
inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal
pada manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah
folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis kontak
f. Antibiotik sistemik Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi DA yang luas dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang
dianjurkan adalah eritromisin, sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang
28
ampisilin Infeksi di curigai bila ada krusta yang luas, folikulits, pioderma
dan furunkulosis. S. aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab
tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin
atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila
alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan perhatian
pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan
metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin..
Dari hasil pembiakan dan uji kepekaan terhadap Staphylococcus aureus
60% resisten terhadap penisilin, 20% terhadap eritromisin, 14% terhadap
tetrasiklin, dan tidak ada yang resisten terhadap sefalosporin Imunoterapi
dengan ekstrak inhalan umumnya tidak menolong untuk mengatasi DA
pada anak.
g. Kortikosteroid sistemik. Efek perbaikannya cepat, tetapi flare yang parah
sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila tetap harus diberikan,
tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan.
h. Thymopentin. Untuk dapat mengurangi gatal-gatal dan eritem digunakan
timopentin subkutan 10 mg/ dosis 1 kali/hari selama 6 minggu, atau 3
kali/minggu selama 12 minggu.
i. Tacrolimus. Digunakan takrolimus 0,1 % dan 0,03 % topikal dua kali
sehari. Obat ini umumnya menunjukan perbaikan pada luasnya lesi dan
rasa gatal pada minggu pertama pengobatan. Tacrolimus tidak
mempengaruhi fibroblasts sehingga tidak menyebabkan atropi kulit
Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan gradasi berat-
ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Langeland sebagaimana
tabel berikut :
Luasnya lesi kulit
a. fase anak/dewasa
1) < 9% luas tubuh = 1
2) 9-36% luas tubuh = 2
3) > 36 % luas tubuh = 3
29
b. fase infantil
1) < 18% luas tubuh = 1
2) 18-54% luas tubuh = 2
3) > 54% luas tubuh = 3
c. Perjalanan penyakit
1) remisi > 3 bulan/tahun = 1
2) remisi < 3 bulan/tahun = 2
3) Kambuhan = 3
d. Intensitas penyakit
1) gatal ringan, gangguan tidur= + 1
2) gatal sedang, gangguan tidur = + 2
3) gatal berat, gangguan tidur = + 3
Penilaian skor
a. 3-4 : ringan
b. 5-7 : sedang
c. 8-9 : berat
30
Alogaritma penatalaksanaan dermatitis atopik
Gambar 5. Alogaritma penatalaksanaan dermatitis atopik
B. PROGNOSIS
Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita D.A. Ada
kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang
kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun.
Penyembuhan spontan D.A. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi
31
Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakit
Termasuk penilaian efek psikologis, pengaruh kepada keluarga
Pelembab, edukasi
Remisi penyakit(tidak ada tanda dan
gejala)
Mengatasi prurits dan inflamasi akut
Kortikosteroid topikal atauPenghambat kalsineurin topikal
Pimekrolimus 2 kali sehari atau Takrolimus 2 kali sehari
Terapi ajuvan
Hindari faktor-faktor pencetus
Infeksi bakterial: antibiotik oral dan atau topikal
Infeks viral: terapi antiviral
Intervensi psikologis
antihistamin
Terapi pemeliharaanUntuk penyakit persisen dan atau sering kambuhPada tanda dini rekurensi gunakan penghambat
kalsineurin topikal untuk mencegah progresivitas penyakit Pimekrolimus mengurangi terjadinya flare
Penggunaan penghambat kalsineurin topikal jangka waktu lama untuk pemeliharaan
kortikosteroid topikal secara intermiten
Penyakit berat dan refrakterFototerapiKortiosteriid topikal potenSiklosporinMetotreksatKortiosteroid oralAzatioprinPsikoterapi
setelah usia 5 tahun sebesar 40-60%, teruatam kalau penyakitnya ringan.
Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa 84% D.A. anak berlangsung
sampai remaja. Ada pula laporan, D.A. pada anak yang diikuti sejak bayi
hingga remaja, 20% menghilang, dan 65% berkurang gejalanya. Lebih dari
separuh D.A remaja yang telah diobati kambuh setelah dewasa. Faktor yang
berhubungan dengan prognosis kurang baik pada D.A. yaitu :
1. D.A. luas pada anak
1. Menderita rhinitis alergika dan asma bronchial
2. Riwayat D.A. pada orang tua atau saudara kandung
3. Awitan (onset) D.A. pada usia muda
4. Anak tunggal
5. Kadar IgE serum sangat tinggi
32
III. PEMBAHASAN
A. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Penyakit kulit yang terdapat pada pasien dalam kasus adalah
dermatitis atopik. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik status dermatologis
yang mendukung ke arah diagnosis kerja dermatitis atopik adalah sebagai
berikut :
Hasil anamnesis :
1. Keluhan utama gatal yang dirasakan di kedua tangan. Hal ini sesuai
predileksi dari D.A. pada anak-anak.
2. Keluhan mulai dirasakan sejak sekitar 1 tahun yang lalu. Dapat dikatakan
bahwa keluhan ini berlangsung kronis; sesuai dengan sifat D.A. yaitu
peradangan kulit yang berlangsung kronis dan residif.
3. Keluhan gatal diperberat dengan adanya keringat. Kedua hal tersebut
memang dapat memicu munculnya keluhan atau gejala D.A.
4. Pasien memiliki riwayat keluhan gatal yang sama di bagian dada dan
punggung saat berumur 5 tahun. Hal ini sesuai dengan salah satu kriteria
minor untuk diagnosis D.A. yatu awitan pada usia dini.
Hasil pemeriksaan fisik status dermatologis :
1. Lokasi : Ekstremitas superior dekstra et sinistra. Hal ini sesuai predileksi
dari D.A. pada anak-anak.
2. Efloresensi : plak hiperpigmentasi berbatas tegas, penyebaran simetris di
regio ekstremitas superior.
Berdasarkan kriteria diagnosis yang disusun oleh Hanifin dan Rajka, maka
diagnosis penyakit pada kasus ini dapat ditegakkan sebagai D.A , karena
memenuhi syarat yang ada, yaitu 2 kriteria mayor dan 3 kriteria minor.
Adapun kriteria mayor dan minor yang terdapat pada kasus ini ialah :
1. Kriteria mayor
a. Pruritus
b. Dermatitis kronis
33
2. Kriteria minor
a. Gatal bila berkeringat
b. Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan
c. Awitan pada usia dini
B. DIAGNOSIS BANDING
Berdasarakan tempat lesinya, diagnosis banding untuk penyakit dermatitis
atopik pada kasus ini adalah sebagai berikut :
1. Dermatitis kontak alergika
Dermatitis kontak alergi selalu disertai dengan keluhan gatal. Hal ini
sesuai dengan keluhan yang ada pada pasien ini. Penyakit dermatitis
kontak alergika biasanya didahului dengan adanya kontak terhadap
alergen, sementara pada kasus ini, pasien menyangkal adanya riwayat
kontak dengan bahan atau benda sebelumnya. Adapun efloresensi pada
dermatitis kontak alergika yaitu eritema numular-plakat, papul dan vesikel
yang berkelompok dan disertai dengan erosi numular-plakat
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah tepi untuk menemukan eosinofilia, pemeriksaan
dermatografisme putih dan percobaan asetilkolin dapat dilakukan untuk
memperkuat diagnosis kerja D.A. Untuk mencari penyebab timbulnya DA
harus disertai anamnesis yang teliti dan bila perlu dengan uji kulit serta uji
eliminasi dan provokasi
D. PENATALAKSANAAN
1. Non Farmakologis
a. Menjalin hubungan baik dengan orang tua penderita, menjelaskan
mengenai penyakit tersebut secara rinci, termasuk perjalanan penyakit,
dampak psikologis, prognosis, dan prinip penatalaksanaan.
34
b. mengihndari faktor-faktor predisposisi atau yang dapat mempengaruhi
timbulnya penyakit atau kekambuhan atau memperberat dari keluhan
dan gejala yang ada.
c. Menghilangkan pengeringan kulit
d. Pemberian pelembab kulit
2. Farmakologis
a. Loratadine tablet; 2 x 5 mg per hari
Loratadine adalah antihistamin kerja panjang yang mempunyai
selektivitas tinggi terhadap reseptor histamin-H1 perifer dan afinitas
yang rendah terhadap reseptor-H1 di susunan saraf pusat, sehingga
tidak menimbulkan efek sedasi atau antikolinergik gatal dan terbakar
pada mata. Selain itu loratadine juga mengobati gejala-gejala seperti
urtikaria kronik dan gangguan alergi pada kulit lainnya.Pada kasus ini
digunakan untuk mengatasi keluhan gatal yang dirasakan oleh pasien.
b. Amitriptilin tablet; 1 x 10 mg per hari.
Amitriptilin merupakan antidepresi trisiklik. Amitriptilin bekerja
dengan menghambat pengambilan kembali neurotransmiter di otak.
Amitriptilin mempunyai 2 gugus metil, termasuk amin tersier sehingga
lebih responsif terhadap depresi akibat kekurangan serotonin. Senyawa
ini juga mempunyai aktivitas sedatif dan antikolinergik yang cukup
kuat. Pada pemberian oral, amitriptilin diaborpsi dengan baik, kurang
lebih 90% berkaitan dengan protein plasma dan tersebar luas dalam
jaringan dan susunan syraf pusat. Metabolisme di hati berlangsung
lambat dan waktu paruh 10,3-25,3 jam, kemudian diekskresi bersama
urin. Pada kasus ini, amitriptilin digunakan untuk efek sedasi dan
diberikan 1 x 1 tablet (sediaan 25 mg) sehari, diminum pada malam hari
supaya pasien bisa tidur dengan nyaman, tidak terganggu lagi dengan
keluhan gatal yang ada.
c. Asam salisilat 1 gram
Asam salisilat diabsorpsi melalui kulit dan didistribusikan dalam
ruang ekstraseluler dan kadar plasma maksimum tercapai 6-12 jam
35
setelah pemakaian. Karena 50-80% dari salisilat terikat pada abumin,
maka peningkatan kadar serum salisilat bebas ditemukan pada pasien
dengan hipoalbuminemia. Metabolit dalam urine dari asam salisilat
yang diberikan secara topikal meliputi salicyluric acid dan glukuronida-
glukoronida phenolic dan acyl dari asam salisilat; dan hanya 6% dari
keseluruhan dari asam salisilat yang diekskresi dalam bentuk tidak
berubah. Kira-kira 95% dari dosis tunggal salisilat diekskresi di dalam
urine dalam waktu 24 jam setelah diabsorpsi.
d. Desoksimethason
Obat ini merupakan glukokortikoid sintetik dengan aktivitas
imunosupresan dan anti-inflamasi. Sebagai imunosupresan,
Desoksimethason bekerja dengan menurunkan respon imun tubuh
terhadap stimulasi rangsangan. Aktivitas anti-inflamasi
Desoksimethason dengan jalan menekan atau mencegah respon jaringan
terhadap proses inflamasi dan menghambat akumulasi sel yang
mengalami inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada tempat
inflamasi. Desoksimethason merupakan obat golongan kortikostseroid.
Obat ini di berikan 2 kali sehari.
E. PROGNOSIS
Seperti yang diketahui bahwa penyakit D.A. memiliki salah sifat
yang sama yaitu perkembangan atau perjalanan penyakit yang cenderung
kronis dan residif, sehingga untuk prognosis ad sanationam adalah dubia ad
bonam. Selama pasien dapat menghindari hal-hal yang menjadi faktor
predisposisi dari penyakit ini, maka munculnya kekambuhan keluhan atau
gejala dapat diminimalisasi.
36
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta : FKUI.
Kariosentono, Harijono. 2006. Dermatitis atopik ( Eksema ) Dari gejala klinis,
Reaksi atopik, Peran eosinofil, Tungau debu rumah, Sitokin sampai
kortikosteroid pada penatalaksanaannya. UNS Press, Solo.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Edisi 3. Jakarta : FKUI.
McFadden JP, Basketter DA. 2000. Contact allergy, irritancy and 'danger'.
Contact Dermatitis.;42(3):123-7
Morris, Adrian. 2009. Atopic Dermatitis and Eczema Treatment. Available from
URL : http://www.allergy-clinic.co.uk/skin-allergy/infantile-eczema/.
Diakses pada tanggal 29 Juli 2015.
Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta :
EGC.
37