25
Prodi Sastra Indonesia FIB, Universitas Udayana

Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Prodi Sastra Indonesia FIB, Universitas Udayana

Page 2: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Nuansa BahasaCitra SastraPendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

Editor:I Wayan PastikaMaria Matildis BandaI Made Madia

Pustaka Larasanbekerja sama denganProgram Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana2019

Page 3: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

ii

Nuansa Bahasa Citra SastraPendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan SastraCopyright © 2019 Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Editor:I Wayan PastikaMaria Matildis BandaI Made Madia

Tata LetakSlamat Trisila

Rancang SampulNova Rabet

IlustratorRabet M.S.(www.rumarabet.com)

PenerbitPustaka LarasanJalan Tunggul Ametung IIIA No. 11BDenpsar, Bali 80116Pos-el: [email protected]: 0817353433

Bekerja sama dengan

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

Cetakan pertama: 2019

ISBN 978-602-5401-47-3

Page 4: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

iii

DAFTAR ISI

Laporan Ketua Panitia ~ viSambutan Kordinator Program Studi Sastra Indonesia ~ ixPengantar Editor ~ xiDaftar Nama Dosen Purnabhakti ~ xx

I Wayan Pastika Kekhasan Sejumlah Bunyi Bahasa-Bahasa Nusantara: Fonetis dan Fonologis ~ 1

Anak Agung Putu PutraKarakteristik Ruas Asal Bahasa Sumba dalam Ciri Pembeda ~ 17

I Made MadiaBeberapa Fenomena Fonologis pada Tataran Sintaksis di dalam Bahasa Bali ~ 41

I Wayan Simpen Unsur Suprasegmental dalam Kakawin ~ 53

Made Sri Satyawati Struktur Argumen Bahasa Bima ~ 59

I Wayan TeguhTinjauan Singkat Subkategorisasi Kata Keterangan dalam Bahasa Indonesia ~ 69

Ni Putu N. WidarsiniKosakata “Layar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Awal ~ 81

I Nyoman SuparwaDinamika Sapaan dalam Bahasa Melayu Bali ~ 89

Page 5: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

iv

Ni Wayan Arnati, I Wayan Cika, I Wayan Teguh, dan Ni Putu Widarsini

Penggunaan Bentuk-Bentuk Penolakan Bahasa Balidalam Berkomunikasi Masyarakat Etnis BaliAsal Denpasar dan Badung ~ 99

I Gusti Ngurah Ketut PutrayasaAwal Mula Timbulnya Bahasa: Kajian Linguistik Historis ~ 112

Ni Made Dhanawaty dan Ida Bagus Putra YadnyaSumbangan Dialektologi Bagi Kajian Daya Hidupdan Derajat Keterancambahayaan Bahasa ~ 127

I Ketut Darma LaksanaMenumbuhkan Sikap Bahasa Generasi Muda Pada Era Milenia Melalui Model Pembelajaran Kelas Doktrina ~ 141

I Nyoman Darma PutraLiterary Tourism: Kajian Sastra dengan Pendekatan Pariwisata ~ 161

Maria Matildis Banda dan Nyoman Weda KusumaMakna Su’i Uwi dalam Perayaan Misa Inkulturasi Reba Ngadha Flores ~ 181

Maria Matildis BandaCatatan tentang Rabet Runtuhnya Jerman TimurNovel Karya Martin Jankowski Karya Sastra bagi Pencerahan Kebudayaan Dunia ~ 191

Sri JumadiahNilai Pendidikan dalam Antologi Puisi Sendja Djiwa Pak Budi ~ 209

Darma
Highlight
Page 6: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

161

LITERARY TOURISM: KAJIAN SASTRA DENGAN PENDEKATAN PARIWISATA1

I Nyoman Darma PutraProgram Studi Sastra IndonesiaFakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

AbstrakBanyak karya sastra yang mendapat inspirasi atau mengangkat tema kepariwisataan, dan sebaliknya banyak daya tarik pariwisata yang popularitasnya berutang budi pada karya sastra. Akan tetapi, kajian atas kontribusi sastra dalam pengembangan atau promosi pariwisata, dan kontribusi pariwisata dalam inspirasi penciptaan karya sastra belum merupakan hal lumrah. Sementara kajian pariwisata berbasis sastra sudah bermunculan sejak tahun awal 2000-an, kajian sastra dengan meminjam pendekatan pariwisata belum berbenih. Tulisan ini menawarkan kajian sastra baru dengan menggunakan pendekatan pariwisata yang dilabel dengan literary tourism atau pariwisata sastra. Nama ini mengikuti pola penamaan sosiologi sastra. Pendekatan pariwisata sastra ini setidaknya dapat menjangkau empat topik utama, yaitu analisis tema atau wacana keparwisataan dalam karya sastra, kajian atas aktivitas sastra terkait kepariwisataan, kajian wisata sastra ke rumah sastrawan atau tempat lain bernilai sastra (literary places), serta alihwahana sastra sebagai promosi wisata. Sambutan kritis dan kreatif sangat diharapkan untuk membuat pendekatan ini lebih solid.

1 Makalah untuk Seminar Nasional “Bahasa, Sastra dan Budaya dalam Pengembangan Pariwisata” yang diselenggarakan Program Studi Sastra Inggris dan D3 Bahasa Inggris, FIB, Universitas Diponegoro, Semarang, 30 November 2017. Terima kasih untuk panitia, khususnya Dr. Agus Subiyanto, M.A., yang telah mengundang penulis untuk menyajikan makalah ini, namun tidak terwujud karena erupsi Gunung Agung. Artikel ini juga pernah disajikan sebagai materi kuliah tamu di Prodi Sastra Inggris, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 16 November 2018. Terima kasih pula untuk rekan Drs. I Made Sujaya,M,.Hum., yang sempat membaca dan memberikan komentar atas draf awal makalah ini. Email: [email protected]

Page 7: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Nuansa Bahasa Citra Sastra

162

Kata kunci: kajian sastra, kajian pariwisata, kajian pariwisata sastra, humaniora

Literary tourism occurs when authors or their literature become so popular that people are drawn to either those locations associated with the author (e.g. birthplace, home, graveside) or those featured within their writings

(Busby & Klug, 2001 dalam Hoppen, Brown, dan Fyall, 2014).

I. Pendahuluan

Kontribusi sastra dalam memajukan pariwisata Indonesia, langsung maupun tidak langsung, sudah terjadi sejak lama dan terus semakin nyata dalam satu setengah dekade terakhir ini. Sumbangan sastra dalam

pengembangan kepariwisataan Indonesia, misalnya, tampak lewat pelaksanaan festival sastra, terbitnya karya sastra yang membuat sebuah daerah menjadi terkenal sebagai destinasi wisata, filmisasi karya sastra yang secara tidak langsung mempromosikan daerah yang menjadi latar cerita, serta penggalian mitos atau cerita rakyat sebagai penciptaan branding sebuah destinasi wisata.

Ada beberapa contoh untuk tiap-tiap fakta sastra yang berkontribusi dalam memajukan pariwisata. Untuk festival sastra, contohnya, yaitu Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang dilaksanakan setiap tahun tanpa absen sejak 2004 di Ubud, sedangkan untuk karya sastra yang membuat latar cerita dan lokasi syuting menjadi terkenal contohnya adalah novel Laskar Pelangi (2005) yang tahun 2008 difilmkan dengan judul sama. Sejalan dengan ini, novel Elizabeth Gilbert Eat Pray Love (2006) dan filmnya yang beredar 2010 telah membuat pariwisata Ubud khususnya dan Bali pada umumnya mendapat promosi yang luar biasa, untuk mengembalikan citra yang sempat terpuruk akibat serangan teroris yang beruntun 2002 dan 2005 (Hitchcock dan Putra 2007).

Cerita rakyat Putri Mandalika adalah contoh mitos yang dijadikan sebagai branding pariwisata Lombok. Judul cerita rakyat ini dijadikan nama kawasan wisata, yaitu The Mandalika Resort, yang sedang dibangun pemerintah di Lombok, sebanding dengan nama Nusa Dua Resort mewah di Bali. Banyak destinasi wisata di Indonesia yang menjadikan mitos sebagai bagian dari

Page 8: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

163

daya tarik, seperti Putri Naga di Komodo, Legenda Tanjung Lesung di Banten, dan mitos Raja Ampat di Papua.

Selain contoh fenomenal di atas, masih ada berbagai ilustrasi yang menunjukkan kontribusi sastra dalam pengembangan industri kepariwisataan di Indonesia. Misalnya, penggunaan epos Ramayana atau Mahabarata untuk lakon seni pertunjukan. Di Bali, misalnya, pertunjukan Tari Kecak menggunakan fragmen Ramayana. Sementara itu, pertunjukan Tari Barong yang banyak disaksikan wisatawan di Bali mengadopsi cerita Calon Arang. Perkembangan pariwisata ikut mempopulerkan karya sastra ini kepada wisatawan, namun pada saat yang sama karya sastra ini memberikan kontribusi penting dalam dinamika industri kepariwisataan.

Ada cukup banyak karya sastra klasik dan modern dan peristiwa sastra yang fenomenal yang memberikan sumbangan pada perkembangan kepariwisataan Indonesia, tetapi kajian terhadap fenomena ini hampir tidak ada. Keadaannya kontras sekali dengan suburnya kajian sastra berbasis berbagai disiplin seperti sosiologi sastra, antropologi sastra, ekokritik sastra, atau feminisme.

Bertolak dari belum lumrahnya kajian sastra kaitannya dengan pariwisata di Indonesia, maka tulisan ini menawarkan gagasan kajian sastra dengan menggunakan pendekatan pariwisata. Kombinasi ini diharapkan dapat hadir sebagai kajian baru sehingga dapat memperkaya kajian-kajian sastra yang dibantu ilmu lain, seperti sejarah sastra, sosiologi sastra, antropologi sastra, maupun ekologi sastra. Penamaan kajian sastra dengan pendekatan pariwisata ini disebutkan dengan istilah literary tourism atau ‘pariwisata sastra’, serupa dengan ‘sosiologi sastra’ atau ‘antropologi sastra’.

Dalam kombinasi antara kajian sastra dengan kajian pariwisata, penting disampaikan karakter kajian masing-masing. Kajian sastra selama ini bersifat kritis, terutama setelah kajian sastra mendapat bantuan teori-teori kritis, seperti poststrukturalisme, postmodernisme, dekonstruksi, feminisme, dan postkolonial. Selain itu, banyak karya sastra yang ditulis dengan semangat kritis yang menimbulkan kesan oposisi dengan aktivitas dan industri pariwisata. Sebaliknya, kajian pariwisata

Page 9: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Nuansa Bahasa Citra Sastra

164

condong bersifat positivistik, seperti bisa dilihat dalam analisis tentang strategi pengembangan destinasi pariwisata, kepuasan konsumen (wisatawan), angka kunjungan yang meningkat, devisa pariwisata, pariwisata berbasis masyarakat, pariwisata warisan budaya, dan pariwisata berkelanjutan. Dalam kombinasi antara kajian sastra dengan kajian pariwisata, prasangka negatif dan bias positif, perlu dipadukan sehingga kajian pariwisata sastra dapat memberikan analisis yang objektif. Faktanya, banyak juga karya sastra yang secara positif memotret pariwisata, dan dalam dunia pariwisata mulai muncul kajian dark tourism (pariwisata hitam, tragedi, bencana).

Kombinasi ini mengadopsi kajian-kajian wisata sastra yang muncul di Eropa dan Asia, baik untuk kajian wisata atas sastra (literary tourism) maupun kajian sastra atas buku wisata (travel book). Herbert (1996; 2001) mengkaji wisata sastra di Inggris dan Prancis, Melton (2002) mengkaji karya-karya buku wisata pengarang Amerika Mark Twain (1835-1910); Hoppen, Brown, Fyall (2014) mengkaji sastra sebagai bahan untuk promosi dan branding wisata; serta Yu and Xu (2016) yang menulis fungsi puisi Cina kuna dalam pariwisata Cina dewasa ini.

Pembahasan difokuskan pada sejumlah fenomena di mana karya sastra, sastrawan, festival sastra, dan cerita rakyat di Indonesia memberikan sumbangan nyata dalam perkembangan kepariwisataan. Selain melihat bagaimana karya sastra, sastrawan, dan peristiwa kesusastraan mempromosikan daerah sebagai atraksi atau tujuan wisata, pembahasan juga mengungkapkan bagaimana sastra menyampaikan kritik-kritik atas pembangunan pariwisata yang tujuannya jelas untuk membuat pembangunan kepariwisataan dapat memberikan manfaat positif kepada masyarakat.

II. Pembahasan2.1 Inspirasi dari Kajian Pariwisata Berbasis Sastra

Kajian pariwisata berbasis sastra yang dilaksanakan para peneliti di bidang pariwisata atau sastra yang dipublikasikan di jurnal-jurnal pariwisata bisa diklasifikasikan menjadi dua. Klasifikasi itu dijelaskan secara singkat berikut ini.

Pertama, kajian atas aktivitas wisata yang menjadikan

Page 10: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

165

sastra dalam berbagai dimensinya sebagai daya tarik pariwisata. Batasan wisata sastra yang dikutip sebagai intro tulisan ini menjelaskan bahwa ‘wisata sastra’ terjadi ketika ‘para sastrawan atau karya-karyanya menjadi demikian populer terbukti dari orang-orang tertarik apakah mengunjungi lokasi yang berkaitan dengan sastrawan itu (seperti tempat kelahirannya, rumah, dan kuburannya) atau tertarik pada hal-hal yang dilukiskan dalam karyanya’ (Busby & Klug, 2001 dalam Hoppen, Anne, Lorraine Brown, Alan Fyall. 2014). Spirit positivistik sangat terasa dominan dalam pendekatan seperti ini.

Kedua, kajian atas karya dan aktivitas sastra yang berkaitan dengan kegiatan kepariwisataan yang dilakukan dengan meminjam pariwisata sebagai ilmu bantu. Hal ini misalnya dilakukan atas cerita-cerita travelogue, puisi bertema pariwisata, sastra atau mitos yang dijadikan alat promosi pariwisata atau branding seperti kasus cerita rakyat Putri Mandalika yang menjadi nama resort di Lombok dan juga menjadi inti dari festival atau ritual Putri Nyale yang menjadi daya tarik wisata.

Kajian sastra bersifat multidisipliner dalam pengertian penggunaan teori-teori dari rumpun ilmu humaniora, seperti linguistik, sosiologi, politik, sejarah, dan antropologi. Belakangan kajian sastra juga menggunakan teori-teori kritis, seperti postkolonial, postmodernisme, dekonstruksi, wacana, new historicism, feminisme, dan ekologi sastra.

Dengan adanya ilmu bantu dan teori dari bidang ilmu lain, kajian sastra menjadi lebih kaya dari studi-studi struktural, formal, intrinsik, dan estetik yang berfokus pada teks. Teori dan pendekatan baru dalam kajian sastra tidak saja memberikan perspektif baru dalam analisis sastra, tetapi juga menunjukkan bahwa karya sastra dan studi sastra tidak terlepas dari fakta dan wacana sosial lainnya. Artinya, karya sastra bisa dipahami dengan lebih kontekstual dan intertekstual dengan menggunakan teori lain sekaligus bisa memberikan pemahaman alternatif atas fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Banyak karya sastra dan kajian atasnya mengungkapkan mengenai dinamika sosial seperti masalah kesetaraan gender atau citra wanita (Hellwig 1994), spirit nasionalisme (Sindhunata [ed] 1999), spirit pascakolonial (Foulcher dan Day [ed] 2002), persepsi masyarakat

Page 11: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Nuansa Bahasa Citra Sastra

166

tentang modernitas dan identitas (Putra 2011), kedudukan kiai dalam masyarakat (Salam 2016). Dengan pendekatan baru, kajian sastra bukan saja menjadi lebih menarik dan produktif, tetapi juga menegaskan bahwa sastra bukanlah sesuatu yang eksklusif. Dengan pendekatan baru, ‘prasangka negatif’ dan ‘prasangka positif’ yang menjadi ciri dari kedua kajian bisa dipadukan untuk melahirkan pendekatan yang lebih objektif.

Kajian sastra dengan pendekatan pariwisata hadir terlambat di Indonesia. Keterlambatan ini tampaknya tidak bisa dipisahkan dengan keterlambatan kehadiran pariwisata sebagai ilmu. Pendidikan pariwisata sudah berkembang di Indonesia mulai akhir 1950-an di Bandung, tetapi umumnya bersifat vokasi, pendidikan diploma, untuk skill. Kehadiran pariwisata sebagai ilmu baru diakui tahun 2008, ditandai dengan pengakuan status jenjang pendidikan diploma IV pariwisata menjadi S-1 dan program studi ilmu kepariwisataan (PSIK) menjadi Fakultas Pariwisata. PSIK di Universitas Udayana sudah ada sejak 1995, namun dalam perjalanannya hanya diakui sebagai diploma, baru tahun 2008 diakui pemerintah dengan didirikannya fakultas pariwisata dan lulusannya setingkat S-1. Sejak itu, kajian pariwisata mulai menggeliat, namun karena areanya demikian luas, meliputi manajemen, pemasaran, pariwisata budaya, ekowisata, hospitality, transportasi, film tourism, pendidikan, dark tourism, maka kajian sastra wisata belum tersentuh.

Bentuk-bentuk tulisan travelogue atau travel writing, travel book yang sudah lumrah dalam khazanah sastra Barat, seperti terlihat dari karya-karya Mark Twain dari akhir abad ke-19, juga terdapat dalam khazanah sastra daerah dan nasional di Indonesia, hanya saja belum digali dengan pendekatan baru, sastra wisata. Contoh tulisan yang potensial dikaji dengan sastra wisata seperti naskah puisi berbahasa Sunda dari abad ke-16 yang berisi kisah perjalanan pendeta Hindu Bujangga Manik dari Jawa Barat ke Jawa Timur dan Bali (Teeuw 1987).

Dalam karya sastra Indonesia, banyak puisi travelogue karena melukiskan perjalanan atau keindahan alam, seperti sajak pendek “Muhamad Rukman Kartawinata di Bali” (1957) karya Ajip Rosidi yang melukiskan tokoh sajaknya menjadi wisatawan di Bali, atau sajak pamflet W.S. Rendra berjudul “Sajak Pulau

Page 12: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

167

Bali” (1977) yang dengan estetika puitik dengan tajam mengkritik gejala komodifikasi adat dan budaya Bali untuk pariwisata.

Pola pendekatan sastra wisata dapat mengadopsi model-model kajian yang sudah ada selama ini, yakni yang memberikan perhatian karya sastra, sastrawan, dan peristiwa sastra. Dalam tulisannya “Ancient poetry in contemporary Chinese tourism” (2016), Yu dan Xu menunjukkan bagaimana puisi klasik Cina digunakan sebagai daya tarik wisata. Penelitian dilakukan di destinasi wisata Three Gorges, salah satu dari lima destinasi utama di Cina selain Great Wall, the Forbidden City, Xian, dan Guilin. Three Gorges (Tiga Ngarai) terletak di daerah Yangtze River dan merupakan daerah wisata yang banyak dikunjungi wisatawan.

Yu dan Xu menerapkan dua metode dalam penelitiannya, yaitu observasi dan kajian dokumen. Dalam observasi, mereka ikut dalam tur sebagai wisatawan sehingga bisa mengamati item-item yang berkaitan dengan sastra yang dijadikan daya tarik wisata, sementara dalam metode kepustakaan, mereka mengamati penggunaan karya sastra khususnya kutipan-kutipan puisi dalam buku panduan wisata atau bahan promosi lainnya termasuk buku Lonely Planet. Dari analisis atas lima buku panduan wisata, Yu dan Xu menemukan 216 kutipan puisi Cina kuna yang digunakan untuk menjelaskan tempat atau daya tarik wisata kawasan Three Gorges khususnya Fengjie dan di Yellow Crane Tower, Wuhan (Yu dan Xu 2016:397).

Melalui metode observasi, Yu dan Xu menemukan tiga bentuk daya tarik wisata yang dinikmati wisatawan di dua destinasi wisata, yaitu Fengjie (dikenal sebagai the city of poetry) dan di Yellow Crane Tower, Wuhan. Ketiga hal tersebut adalah (1) puisi Cina kuna yang dicetak dalam lempeng logam, yang digantung atau tertempel di tembok; (2) lukisan mural para penyair; (3) suvenir kaligrafi puisi Cina. Pariwisata yang menawarkan warisan budaya puisi, bisa dikategorikan ke dalam pariwisata warisan budaya atau juga pariwisata budaya. Di Cina, puisi merupakan jenis karya sastra yang tua umurnya dan merupakan jenis sastra yang sangat dihormati di Cina. Yu dan Xu menyimpulkan bahwa sastra pariwisata itu:

[It] contributes to the understanding of the cultural nature of the Chinese gaze as a poetic gaze and adds to the knowledge about literary tourism in

Page 13: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Nuansa Bahasa Citra Sastra

168

China (2016:402).

Kutipan tersebut menegaskan bahwa bagi wisatawan, daya tarik wisata sastra tidak saja memberikan mereka tontonan atau objek tatapan, tetapi juga pengetahuan tentang sastra Cina, keindahan dan kebijakan yang terkandung dalam puisi kuna Cina yang dipajang. Puisi yang dikutip dan dipajang kebanyakan yang berhubungan dengan lukisan mengenai alam dan lingkungan dengan aneka suasana dan dimensinya.

Sementara itu, Herbert dalam dua tulisannya masing-masing berjudul “Artistic and literary places in France as tourist attractions” (1996) dan “Literary Places, Tourism and The Heritage Experience” (2001) menunjukkan tempat-tempat sastra yang berkaitan dengan sastrawan dan seniman lainnya termasuk pelukis sebagai daya tarik wisata. Dalam tulisan pertama dia meneliti daya tarik wisata tempat kediaman sastrawan dan dua pelukis, yaitu Marcel Proust, Gaugin, dan Vincent van Gogh di Prancis. Rumah yang pernah ditempati seniman tersebut sudah ditata menjadi museum dengan koleksi karya, peninggalan, dan momento sang sastrawan atau pelukis. Dalam kajiannya, Herbert tidak saja menguraikan daya tarik dalam museum-museum kecil itu, tetapi juga tipe turis yang berkunjung, yaitu yang generalis (tanpa memiliki pengetahuan khusus tentang objek yang dikunjungi) dan yang pilgrimis (memiliki minat dan pengetahuan khusus tentang objek yang dikunjungi).

Dalam kajiannya yang kedua, yang difokuskan pada rumah dua sastrawan di Inggris, yaitu Jane Austen House di Chawton dan Dylan Thomas di Laugharne, Herbert juga menggunakan kategori turis generalis dan turis pilgrimis dalam konteks wisata warisan budaya dan mendalami pengalaman wisatawan saat berkunjung ke tempat-tempat tersebut. Sama dengan kategori turis yang berkunjung ke daya tarik wisata warisan budaya pada umumnya, mereka yang berkunjung ke daya tarik wisata rumah sastrawan adalah ‘service class’, yaitu orang-orang profesional, pengusaha, kelas menengah ke atas, lawan dari kelompok pekerja (buruh) atau kelas menengah ke bawah.

Menjadikan rumah sastrawan, pelukis, atau seniman

Page 14: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

169

besar lainnya sebagai daya tarik wisata warisan budaya banyak dapat ditemukan di berbagai kota di Eropa. Di Rusia, kediaman sastrawan Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky, dijadikan Memorial Museum yang menarik wisatawan (Arcana 2016), begitu juga halnya dengan rumah Beethoven di Bonn, Jerman. Kalau di rumah Dostoyevsky dipajang foto dan buku novelnya sebagai daya tarik utama, di rumah Beethoven dipajang piano tua yang pernah dipakainya menciptakan musik (pengalaman kunjungan penulis, 2015). Wisatawan yang berkunjung ke sana mendapat pengalaman langsung merasakan suasana tempat yang memberikan inspirasi kepada maestro untuk berkarya. Keduanya menjadi daya tarik wisata, berarti keduanya memberikan kontribusi langsung dalam pengembangan pariwisata di kota tersebut.

Laporan Kompas tentang rumah Dostoyevsky sebagai daya tarik wisata.

Selain pengarang dan kediamannya, karya sastra, festival sastra juga dapat menjadi medium yang dapat berkontribusi pada suatu daerah untuk mengembangkan pariwisatanya. Tahun 2004, UNESCO mengambil inisiatif untuk membentuk UNESCO Creative Cities Network (UCCN) untuk enam bidang, yaitu kota Crafts & Folk Art, Design, Film, Gastronomy, Literature, Music and

Page 15: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Nuansa Bahasa Citra Sastra

170

Media Arts. Sampai tahun 2017, sudah ada 180 kota kreatif dari 72 negara. Dari Indonesia, terdaftar dua kota dalam UCCN, yaitu Bandung sebagai kota design dan Pekalongan sebagai kota Crafts & Folk Art.

Data UNESCO tahun 2016 mencatat sudah ada 20 kota di dunia yang menyandang Kota Sastra, antara lain Iowa, Baghdad, Barcelona, dan Melbourne. Kota-kota ini ditetapkan sebagai kota sastra karena memiliki kelebihan dalam berbagai hal yang berkaitan dengan sastra, pengarang, buku, perpustakaan, dan juga kegiatan sastra. Melbourne, misalnya, setiap tahun melaksanakan Melbourne Writers Festival, yang dipromosikan sepanjang tahun melalui lamannya. Kota-kota sastra ini mengadakan kegiatan sastra secara reguler dan bekerja sama dengan kota jaringannya yang secara langsung atau tidak langsung memberikan kontribusi untuk kepariwisataan.

Ubud yang sukses melaksanakan writers festival setiap tahun tanpa jeda dan berhasil mengundang penulis-penulis ternama dunia. Mungkin kelak bisa didaftarkan sebagai Kota Sastra, sehingga bisa hadir sebagai representasi baru untuk kombinasi antara sastra dan pariwisata atau pariwisata dan sastra.

2.2 Aplikasi Pendekatan Pariwisata di IndonesiaDengan mengadopsi kajian pariwisata atas fenomena sastra

di Eropa dan Cina, pendekatan pariwisata sastra di Indonesia pun dapat dilakukan dalam empat area berikut ini. Pertama, mengkaji karya sastra yang bertema tentang kepariwisataan. Kedua, kajian atas tokoh-tokoh, aktivitas, dan tempat-tempat sastra yang memberikan kontribusi pada industri pariwisata.

Ketiga, kajian kegiatan wisata sastra, yaitu wisata yang menawarkan ikon atau daya tarik bersumber dari sastra atau sastrawan dengan segala dimensinya. Keempat, mengkaji karya sastra yang ditransformasi ke dalam bentuk lain seperti film yang kehadirannya memiliki dampak langsung maupun tidak terhadap industri kepariwisataan. Berikut disampaikan kajian untuk tiap-tiap topik kajian sebagai ilustrasi.

Page 16: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

171

2.2.1 Kajian Tematik atau Wacana Kepariwisataan Teks Sastra Kajian tematik dilakukan dengan memilih karya

sastra, seperti puisi, cerpen, novel, atau drama yang bertema kepariwisataan. Hal yang sama juga bisa dilakukan untuk cerita rakyat, seperti halnya mitologi Putri Mandalika di Lombok yang kini menjadi nama resort wisata baru di Lombok. Selain itu, cerita Putri Mandalika dengan tradisi Bau Nyale dipromosikan sebagai ritual untuk menarik wisatawan. Tarian Putri Mandalika diciptakan untuk memperkuat citra pariwisata budaya. Cerita rakyat Putri Mandalika merupakan contoh kuat hubungan resiprokal antara sastra dan pariwisata sehingga menarik dikaji dengan pendekatan kombinasi kajian sastra dan kajian pariwisata. Analisis wacana kepariwisataan dalam karya sastra juga bisa dilakukan untuk sejumlah karya sastra sejenis atau lintas-genre, sinkronis, atau diakronis. Fokusnya adalah bagaimana wacana kepariwisataan terungkap dalma karya-karya yang diteliti.

Dalam sastra Indonesia modern, ada beberapa puisi bertema pariwisata yang ditulis penyair Indonesia, seperti W.S. Rendra, Ajip Rosidi, dan Radar Panca Dahana. Karya-karya mereka bisa dikaji dalam satu kesatuan dengan, misalnya, melihat dampak pariwisata terhadap Bali seperti diartikulasikan dalam sajak-sajak tersebut. Tergantung dari penafsiran, kemungkinan citra Bali yang ditampilkan tidak tunggal, tetapi beragam.

Dalam “Sajak Pulau Bali”, yang termuat dalam antologi Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), Rendra dengan lantang mengkritik seni dan budaya Bali dieksploitasi untuk pariwisata. Sajak yang bertiti-mangsa tahun 1977 dibuka dengan bait yang menyatakan Bali dijadikan objek pariwisata seperti ini:

Sebab percaya akan keampuhan industridan yakin bisa memupuk modal nasionaldari kesenian dan keindahan alam,maka Bali menjadi obyek pariwisata

Dalam perkembangannya, pengelolaa Bali sebagai objek pariwisata mendorong munculnya proses komersialisasi untuk memenuhi selera wisatawan. Dalam pertengahan sajak yang cukup panjang, terdiri lebih dari 15 bait itu Rendra mengkritik:

Page 17: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Nuansa Bahasa Citra Sastra

172

Dan Bali,dengan segenap kesenian,kebudayaan, dan alamnya,harus bisa diringkaskan,untuk dibungkus dalam kertas kado,dan disuguhkan pada pelancong.

Dalam proses komersialisasi itu, perusahaan pribumi terjepit, dikalahkan oleh pemodal besar. Ungkapan tersebut adalah kritikan keras Rendra atas pembangunan pariwisata Bali yang merugikan masyarakat kecil, sebaliknya menguntungkan pemodal besar.

Lebih dari komersialisasi yang memprihatinkan, Rendra juga mengungkapkan munculnya gejala desakralisasi atas kesucian. Ungkapan itu disampaikan Rendra di akhir sajak, sebagai penutup, dengan nada sinisme yang sangat menyentuh.

Di Bali :pantai, gunung, tempat tidur dan pura,telah dicemarkan

Rendra tidak sendirian merasa khawatir akan pengaruh pariwisata terhadap budaya Bali. Novel Tiba-tiba Malam (1977) karya Putu Wijaya, misalnya, yang ditulis pada era 1970-an sama dengan tahun penulisan sajak Rendra, juga mengkhawatirkan dampak negatif pariwisata terhadap budaya Bali. Kekhawatiran atas dampak pariwisata yang demikian negatif dalam sajak ini, juga muncul dalam kajian sosiologis yang dibuat pada era yang sama, 1970-an (Kayam 1981). Dalam tulisannya, sosiolog Umar Kayam menyampaikan bahwa industri pariwisata di Bali bersifat kompromis atas seni dan budaya. Misalnya, pentas tari yang normal, dipentaskan dalam durasi pendek untuk menyesuaikan dengan jadwal waktu tur wisatawan yang disusun dengan kondisi: dengan waktu sesingkat-singkatnya dan biaya seminimal mungkin wisatawan ingin melihat sebanyak-banyaknya. Uraian Kayam dan novel Putu Wijaya menunjukkan bahwa Rendra tidak sendiri merasa khawatir dalam memandang perkembangan pariwisata Bali lewat puisinya.

Apakah karya sastra seperti ini dapat dianggap memberikan

Page 18: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

173

kontribusi pada perkembangan pariwisata? Jawabannya ‘ya’, sepanjang pemikiran kritis itu dianggap sebagai kritik membangun untuk kebaikan bersama. Meskipun ungkapan negatif dan sinis, puisi Rendra secara dekonstruktif jelas memiliki keinginan agar pariwisata Bali berjalan baik, menguntungkan bisnis penduduk lokal, tidak kompromis atas komersialisasi dan sakralisasi kesucian.

2.2.2 Kajian atas Aktivitas SastraDi Indonesia terdapat sejumlah aktivitas atau festival

sastra atau seni budaya yang melibatkan sastra. Hal ini bisa dikaji dengan pendekatan kajian pariwisata sastra. Namun, yang paling fenomenal adalah Ubud Writers and Readers Festival, yang dilaksanakan setiap tahun mulai 2004. Belakangan juga muncul Borobudur Writers and Cultural Festival yang sedang diuji kontinyuitasnya, karena melaksanakan festival sastra memerlukan komitmen besar.

Ubud Writers Festival ini sengaja digelar untuk memulihkan citra dan keyakinan pasar pariwisata Ubud pada khususnya dan Bali pada umumnya yang sempat anjlok akibat serangan terorisme 2002 (dan 2005). Sampai tahun 2017, UWRF sudah berlangsung untuk ke-14 kali, reguler setiap tahun, kontribusinya tidak saja mengembalikan keyakinan pasar untuk memilih Ubud sebagai tempat berlibur, tetapi juga meningkatkan citra Ubud sebagai destinasi wisata dengan atribut baru yang bergengsi.

Writers Festival merupakan nama generik yang dipakai untuk festival serupa di berbagai kota di dunia, seperti di Mel-bourne, Byron Bay (Australia), Hongkong, dan Dublin. Aktivi-tas sastra atau festival sastra ini bisa dikaji dengan kombinasi pendekatan pariwisata dan sastra, dengan misalnya mengkaji dampak festival terhadap industri pariwisata (usaha akomoda-si, restoran), demografi peserta dan penonton festival, dan arti festival bagi pencitraan destinasi, dan makna festival kehidupan sastra negara tuan rumah dan secara internasional. Kajian atas festival tidak saja untuk mengetahui dinamika dan manfaatnya serta apresiasi untuk kelanjutannya, tetapi juga mendokumenta-sikannya sebagai bagian dari sejarah sastra (dan budaya).

Page 19: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Nuansa Bahasa Citra Sastra

174

2.2.3 Kajian Kegiatan Wisata ke ‘Literary Places’Kajian wisata sastra bisa dilakukan seperti model studi

Herbert (1996; 2002) di Inggris dan Prancis serta studi bersama Hoppen, Brown, dan Fyall (2014) di Cina. Dalam artikel Herbert diuraikan bagaimana rumah peninggalan sastrawan dan seniman lainnya diubah menjadi museum, sedangkan Hoppen, Brown, dan Fyall menguraikan kegiatan wisata para wisatawan di Three Gorges dengan mengunjungi ruang pamer puisi Cina kuna dan mural penyairnya. Atau, seperti mengunjungi rumah Dostoevsky di Rusia.

Akhir bulan Februari 2018, saya berkesempatan berkunjung ke Dumfries, kota kecil di Skotlandia, UK. Dumfries adalah kota tempat penyair Robert Burns menghabiskan hidupnya sampai meninggal (5 Januari 1759 – 21 Juli 1796). Sebagai kenangan kepada sang penyair, Dumfries membuat patung dan dipasang di tengah kota. Di kota itu juga dibangun museum Robert Burns, rumahnya dijadikan heritage. Tanda-tanda lalu-lintas di kota Dumfries dilengkapi dengan penunjuk jalan ke tempat-tempat Robert Burns. Pendek kata, Dumfries diformat sebagai kota warisan penyair besar Robert Burns, penyair yang puisinya digubah menjadi lagu rakyat klasik berjudul “Auld Lang Syne”,

Patung dan petunjuk arah warisan sastrawan Robert Burns di Kota Dumfries, Skotlandia. (Foto Darma Putra Februari 2018)

Page 20: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

175

lazim dinyanyikan menyambut Tahun Baru. Robert Burns menjadikan ikon Dumfries. Nama besar sastrawan memang sangat potensial sebagai ikon pariwisata, daripada menciptakan ikon baru yang belum tentu berhasil.

Di Indonesia sejauh ini belum ada rumah sastrawan yang dijadikan museum. Kunjungan ke kuburan sastrawan juga bukan hal yang biasa. Orang yang berziarah ke kuburan Chairil Anwar atau kuburan W.S. Rendra, masih individual, insidental, bukan merupakan kegiatan wisata sastra sehingga belum pantas dikaji. Di Sumatera Barat, ada jembatan yang bernama Jembatan Siti Nurbaya (Endriani 2015), diambil dari tokoh roman karya Marah Rusli, dari tahun 1922. Sekitar 1 km arah utara jembatan, tepatnya di Gunung Padang, terdapat kuburan Siti Nurbaya. Kuburan ini sempat menjadi daya tarik wisata. Kalau hari Minggu, jumlah pengunjung sampai 50 orang, belakangan jumlah itu menurun sehingga muncul dorongan pada pemerintah untuk melakukan pengelolaan dan promosi yang lebih efektif (Kompas.com 2008).

Pengarang Bali Panji Tisna dari Singaraja, Bali Utara, berhasil mempopulerkan kawasan wisata pantai Lovina. Dia mulai tinggal di tempat itu awal tahun 1950-an, membangun pondok atau villa. Kini kawasan Lovina terkenal sebagai daerah wisata di Singaraja. Banyak hotel dan villa di sana, dan mendengar nama Lovina orang akan ingat sastrawan Bali yang terkenal akan karyanya Sukreni Gadis Bali (1936), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh George Quinn menjadi The Rape of Sukreni (1998). Latar belakang novel ini adalah daerah perkebunan kelapa yang letaknya tidak jauh dari Lovina. Sejauh ini, keluarga Panji Tisna di Singaraja masih menyimpan mesin ketik (kuna) dan buku-buku Panji Tisna di kediamannya di Puri Agung Singaraja. Jika ada pengunjung khusus datang, hal itu ditunjukkan, tetapi belum menjadi museum kecil sekali pun yang membuka diri untuk dikunjungi publik.

Fakta kuburan Siti Nurbaya sebagai daya tarik wisata dan jasa Panji Tisna dalam mengembangkan pariwisata di Lovina dapat dikaji lebih dalam sehingga merangsang pemerintah atau stakeholder pariwisata dan keluarga sastrawan secara kreatif untuk mengembangkan peninggalan sastrawan sebagai daya

Page 21: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Nuansa Bahasa Citra Sastra

176

tarik wisata. Jika ini terjadi tidak saja pariwisata berkembang, tetapi juga warisan budaya sastra juga bisa diselamatkan dan di-share terus lintas waktu dan generasi seperti yang dirasakan pengelola dan wisatawan yang berkunjung ke Fengjie di daerah Three Gorges yang diberikan julukan The City of Poetry .

2.2.4 Kajian Transformasi Karya Sastra dan Promosi PariwisataFakta fenomenal yang menarik diteliti adalah kontribusi no-

vel dan film Laskar Pelangi atas popularitas Belitung sebagai daerah tujuan wisata. Setelah novel ini difilmkan, yang menampilkan pemandangan pantai yang indah, Belitung menerima setidaknya dua dampak positif dalam konteks pariwisata, seperti dikatakan oleh I Gde Pitana, Deputi Pemasaran Luar Negeri Kementerian Pariwisata. Pertama, nama Belitung mulai masuk dalam peta pariwisata Indonesia. Kedua, jumlah kunjungan wisatawan domestik ke daerah itu meningkat (Liputan6.com). Yang juga penting adalah salah satu daerah di Belitung ditetapkan sebagai salah satu dari prioritas pembangunan pariwisata pemerintah

Papan promosi pariwisata Kota Padang, Sumatera Barat, yang menjadikan Siti Nurbaya dan cerita rakyat “Malin Kundang’ sebagi ikon wisata (Foto Darma

Putra).

Page 22: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

177

pusat dengan label “10 Bali Baru”. Wisata sastra ke tempat-tempat di atas adalah kontribusi

sastra. Namun, sementara ini, apresiasi atas peran sastra terhadap pembangunan pariwisata sebatas menjadi berita surat kabar atau media massa, saatnya juga menjadi kajian kritis dan mendalam dalam studi sastra.

Walau merupakan karya sastra Barat, kontribusi novel dan film Eat Pray Love dalam promosi pariwisata Bali pada umumnya dan Ubud pada khususnya perlu dicatat. Bayangkan, novel yang terbit 2006 itu, tahun 2010 sudah terjual tujuh juta buku (Times.com 2010). Jumlah ini pasti meningkat, ditambah lagi penjualan buku terjemahan Indonesianya Makan Doa Cinta (2006). Filmnya yang beredar 2010 juga ditonton jutaan orang di seluruh dunia dan menjadi promosi pariwisata Bali yang luar biasa. Kalau iklan pariwisata di CNN bisa membayar puluhan juta untuk 30 detik yang efektivitasnya belum terlalu jelas, sementara film Eat Pray Love adalah iklan gratis dengan penonton nyata.

Manfaat nyata juga diperoleh oleh healer Ketut Liyer, tokoh ‘utama’ bagian Bali dalam film itu, yang sejak film terkenal, banyak wisatawan berkunjung ke rumahnya untuk meramal nasib atau hanya ingin tahu tempat syuting dan sumber inspirasi novel/film. Dalam masa larisnya, Liyer membatasi pengunjung sehari 25 orang, dan mengutip ongkos membaca garis tangan sebesar U$25, kira-kira dia mendapat US$ 625/ per hari (dengan rate Rp 10,000, berarti Rp 6,2 juta per hari). Kontribusi sastra seperti ini patut diapresiasi sebagai kontribusi sastra pada pembangunan kepariwisataan.

Dari empat bentuk pendekatan analisis pariwisata sastra di atas, tentu saja tidak tertutup kemungkinan untuk mengkombinasikan satu sama lain, sepanjang jelas konteks antara sastra dan pariwisata. Atau, mungkin juga terbuka area analisis baru sesuai dengan data dan fakta sastra-pariwisata yang (akan) muncul.

III. SimpulanTulisan ringkas ini telah mencoba untuk menggagas kajian

sastra dengan meminjam pendekatan kepariwisataan dengan

Page 23: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Nuansa Bahasa Citra Sastra

178

menyebutkan sebagai pariwisata sastra (literary tourism). Seperti juga pendekatan lainnya, pendekatan pariwisata sastra ini pun memiliki bidang kajian yang berbeda dengan pendekatan lain. Kalau dalam sosiologi sastra kajian yang dilakukan menggunakan konsep atau teori-teori dari sosiologi, maka dalam pendekatan pariwisata sastra, kajian atas sastra dilakukan dengan meminjam pendekatan, konsep, teori dari kepariwisataan. Dalam uraian di atas sudah disajikan empat topik kajian, yaitu kajian tematik kepariwisataan, aktivitas sastra, wisata sastra ke literary places, dan alihwahana sastra sebagai promosi pariwisata. Tawaran kajian ini bisa diperluas dan juga diperdalam sehingga lebih kaya dan solid.

Meminjam pendekatan pariwisata dalam kajian sastra sastra dapat berjalan mulus karena dalam banyak hal, sastra dan pariwisata sebagai sama-sama ilmu humaniora, memiliki dan biasa menggunakan teori-teori budaya yang sama, seperti terlihat dalam studi Bourdieu (1984) mengenai kajian pengunjung museum sebagai objek wisata dengan teori cultural capital. Konsep cultural capital merupakan hal yang lumrah dalam kajian budaya di mana kajian sastra termasuk di dalamnya. Selain itu, kajian sastra selama ini sudah lazim meminjam ilmu atau pendekatan ilmu lain dalam payung ilmu humaniora.

Kehadiran pendekatan pariwisata sastra ini tidak saja akan memberikan thinking tool (alat berfikir/ alat analisis) yang objektif, tetapi juga memberikan cara-cara baru untuk menciptakan objek kajian baru yang selama ini belum begitu jelas ‘bentuk’ dan ‘peminat’-nya. Tawaran pendekatan baru ini diharapkan dapat mendorong lahirnya minat-minat baru yang bersemangat menganalisis sastra dengan kacamata baru sehingga dinamika kajian sastra semakin kreatif dan inovatif.

DAFTAR PUSTAKA

Arcana, Fajar. 2016. “Bertamu ke Rumah Dostoevsky”, Kompas, Minggu, 27 Juni 2016, p. 18.

Bourdieu, P. 1984. Distinction: a Social Critique of the Judgement of Taste. Routledge, London.

Page 24: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra

179

Endriani, Deni. 2015. “Making a Tourism Icon: The valorization of Siti nurbaya bridge in West Sumatera”, JUMPA 1 [2] : 43 – 56.

Foulcher, Keith and Tony Day (eds). 2002. Clearing a space: Postcolonial readings of modern Indonesian literature. Leiden: KILTV.

Hellwig, Tineke. 1994. In the Shadow of Change. Images of Women in Indonesian Literature. Berkeley, CA: Center for Southeast Asian Studies, Monograph No. 35, University of California.

Herbert, D.T. 1996. “Artistic and literary places in France as tourist attractions”, Tourism Management, Vol. 17, No. 2, pp. 77-85.

Herbert, David. 2001. “Literary Places, Tourism and The Heritage Experience” Annals of Tourism Research, Vol. 28, No. 2, pp. 312–333.

Hitchcock, Michael dan I Nyoman Darma Putra. 2007. Tourism, Development and Terrorism in Bali. Aldershot, UK: Ashgate.

Hoppen, Anne, Lorraine Brown, Alan Fyall. 2014. “Literary tourism: Opportunities and challenges for the marketing and branding of destinations?”, Journal of Destination Marketing & Management 3 (2014) 37–47.

Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Kompas.com. 2008. “Makam.Siti.Nurbaya.Sepi.Pengunjung” Link: http://nasional.kompas.com/read/2008/10/19/16231973/Makam.Siti.Nurbaya.Sepi.Pengunjung Diakses 28/11/2017.

Liputan6.com. 2017. “Wajah Baru Pariwisata Belitung Pasca-Novel Laskar Pelangi”, Link http://lifestyle.liputan6.com/read/3090004/wajah-baru-pariwisata-belitung-pasca-novel-laskar-pelangi Diakses: 28/11/2017

Melton, Jeffrey Alan. 2002. Mark Twain, Travel Books, and Tourism. Alabama: The University of Alabama Press.

Putra, I Nyoman Darma. 2011. A Literary Mirror: Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century. Leiden: KITLV.

Rendra, W.S. 1980. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.

Sindhunata. 1999. Menjadi generasi pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya. Yogyakarta: Kanisius.

Page 25: Prodi Sastra Indonesia - erepo.unud.ac.id

Nuansa Bahasa Citra Sastra

180

Time.com. 2010. “Bali’s Travel Boom: Eat, Pray, Love Tourism”, http://content.time.com/time/magazine/article/0,9171,2011931,00.html

Wijaya, Putu. 1977. Tiba-tiba Malam. Jakarta: Cypress.

Yu, Xiaojuan and Honggang Xu. 2016. “Ancient poetry in contemporary Chinese tourism”, Tourism Management 54 (2016) 393-403.