49
PRODUKSI BIOMASSA DAN SILASE BEBERAPA GENOTIPE SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) YANG DITANAM SECARA TUMPANGSARI DENGAN UBIKAYU PADA DUA LOKASI BERBEDA (Skripsi) Oleh JECA HARESTA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

PRODUKSI BIOMASSA DAN SILASE BEBERAPA GENOTIPE …digilib.unila.ac.id/25869/3/3. SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf · Jeca Haresta menghasilkan silase yang lebih tinggi dibanding genotipe

Embed Size (px)

Citation preview

PRODUKSI BIOMASSA DAN SILASE BEBERAPA GENOTIPE SORGUM

(Sorghum bicolor (L.) Moench) YANG DITANAM SECARA

TUMPANGSARI DENGAN UBIKAYU PADA DUA LOKASI BERBEDA

(Skripsi)

Oleh

JECA HARESTA

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2017

ABSTRAK

PRODUKSI BIOMASSA DAN SILASE BEBERAPA GENOTIPE SORGUM

(Sorghum bicolor (L.) Moench) YANG DITANAM SECARA

TUMPANGSARI DENGAN UBIKAYU PADA DUA LOKASI BERBEDA

OLEH

JECA HARESTA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sistem tanam, genotipe dan

interaksinya terhadap produksi biomassa dan silase tanaman sorgum pada dua

lokasi yang berbeda. Ada lima genotipe yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu P/F 5-193 C, P/I WHP, UPCA, Numbu, dan Super 2. Sistem tanam yang

digunakan adalah sistem tanam monokultur dan tumpangsari. Perlakuan disusun

dengan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dengan tiga

ulangan. Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi mulai Februari sampai Agustus

2016. Lokasi lahan sub-optimum di Kebun Percobaan Balai Besar Teknologi Pati

(BBTP) Sulusuban, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung dan lokasi

lahan optimum di Kebun Warga Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi

Lampung. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan produksi

biomassa dan silase tanaman sorgum baik yang ditanam secara monokultur

maupun tumpangsari di kedua lokasi. Genotipe P/F 5-193 C dan Super 2

menghasilkan biomassa lebih tinggi dibanding genotipe yang lain baik pada saat

vegetatif maksimum dan maupun fase masak susu. Kedua genotipe di atas juga

Jeca Haresta

menghasilkan silase yang lebih tinggi dibanding genotipe yang lain pada fase

vegetatif maksimum. Hal ini konsisten terlihat di dua lokasi. Genotipe

P/F 5-193 C yang di tanam secara monokultur mampu memproduksi silase lebih

tinggi pada fase masak susu di lahan sub-optimum.

Kata kunci: biomassa, genotipe, silase, sistem tanam, sorgum.

PRODUKSI BIOMASSA DAN SILASE BEBERAPA GENOTIPE SORGUM

(Sorghum bicolor (L.) Moench) YANG DITANAM SECARA

TUMPANGSARI DENGAN UBIKAYU PADA DUA LOKASI BERBEDA

Oleh

JECA HARESTA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mancapai Gelar

SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2017

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Bakhu, Kec. Batu Ketulis, Kab. Lampung Barat pada

tanggal 15 November 1995, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, dari

pasangan Bapak Djauhari dan Ibu Zuarni.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 1 Bakhu Kec. Batu

Ketulis, Kab. Lampung Barat dan lulus pada tahun 2006, kemudian penulis

melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Belalau

Lampung Barat dan lulus pada tahun 2009, selanjutnya pendidikan Sekolah

Menengah Atas ditempuh oleh penulis di SMAN 1 Belalau Lampung Barat dan

lulus pada tahun 2012.

Pada tahun 2012, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi

Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Selama menjadi mahasiswa, penulis

pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Produksi Tanaman Pangan tahun

ajaran 2014/2015, Produksi Tanaman Hortikultura tahun ajaran 2015/2016,

Metodelogi Penelitian tahun ajaran 2015/2016 dan Dasar-Dasar Budidaya

Tanaman tahun ajaran 2016/1017.

Pada tahun 2015 penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di Kebun Percobaan

Taman Bogo Lampung Timur dengan judul “Teknik Budidaya Tanaman Padi

Gogo (Oryza sativa L.) pada Lahan Kering Masam di Kebun Percobaan Taman

Bogo Kabupaten Lampung Timur”. Pada tahun 2015 penulis melaksanakan

Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Universitas Lampung di Desa Rejosari,

Kecamatan Penawar Tama, Kabupaten Tulang Bawang.

Alhamdulillahirabbilalamin

Dengan penuh rasa syukur dan bangga,

ku persembahkan karya ini kepada :

Kedua orangtuaku

“Bapak Djauhari dan Ibu Zuarni” untuk cinta, kasih sayang, dukungan serta doa yang tiada

henti diberikan kepada penulis hingga saat ini.

Dan untuk Almamater tercinta

“Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik

pelindung”

(QS. Ali Imran: 173)

Dengan kedisiplinan diri, banyak hal yang mungkin dilakukan

(Theodore Roosevelt)

”Dengan kesungguhan serta berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan akan

membawa kita pada kesuksesan”

(Anonim)

SANWACANA

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

melaksanaan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Ir. Muhammad Syamsoel Hadi, M.Sc. selaku pembimbing utama yang

telah membimbing, memberikan waktu, saran, bantuan dan motivasi kepada

penulis selama melaksanakan penelitian hingga menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Kamal, M.Sc. selaku pembimbing kedua atas

bimbingan, bantuan, saran dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama

melaksanakan penelitian hingga menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Bapak Ir. Sunyoto, M.Agr. selaku dosen penguji yang telah memberikan

saran, nasehat dan bantuan kepada penulis.

4. Bapak Ir. Agus M. Hariri, M.S. selaku Pembimbing Akademik yang telah

memberikan dukungan kepada penulis.

5. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si. selaku Ketua Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc. selaku Ketua Bidang Budidaya

Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

7. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si. selaku Dekan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

8. Kedua orangtuaku Bapak Djauhari dan Ibu Zuarni atas doa, kasih sayang,

semangat, dukungan, nasehat, kesabaran serta material yang diberikan

kepadaku.

9. Kepada saudaraku Zulman Haridan, S.T., Zobi Harika, S.E., Ayu Eka

Wulandari, S.P., Rica Novia Sari, keponakanku Abin, Zhafira, dan Azam atas

doa, dukungan, dan semangat yang diberikan hingga saat ini.

10. Teman seperjuangan penelitian Iin Aria Suryana, S.P., Destia Novita Sari,

S.P., dan Anggi Tyasrini, S.P. atas kerjasama, dukungan dan bantuannya.

11. Teman-temanku Hindun, Flora, Kharisa, Ketty, Eriza, Hairani, Endah, Tanti,

Irma, Isma, dan Nia atas bantuan dan dukungannya.

12. Teman-teman Agroteknologi angkatan 2012 kelas B, terimakasih atas

kebersamaan selama ini.

Bandar Lampung, Februari 2017

Penulis

Jeca Haresta

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ............................................................................................... i

DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xi

I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ......................................................... 1

1.2 Tujuan ........................................................................................... 4

1.3 Kerangka Pemikiran...................................................................... 4

1.4 Hipotesis ....................................................................................... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 7

2.1 Sorgum .......................................................................................... 7

2.2 Biomassa Sorgum ......................................................................... 9

2.3 Silase Sorgum ............................................................................... 10

2.4 Genotipe Sorgum .......................................................................... 11

2.5 Sistem Tanam Tumpangsari ......................................................... 12

2.6 Ubikayu ......................................................................................... 13

III. BAHAN DAN METODE .................................................................... 14

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 14

3.2 Bahan dan Alat .............................................................................. 14

3.3 Metode Penelitian ......................................................................... 15

3.4 Pelaksanaan Penelitian .................................................................. 15

3.4.1 Pengambilan Sampel Tanah ................................................ 15

3.4.2 Pengolahan Tanah............................................................... 16

3.4.3 Penanaman .......................................................................... 16

3.4.4 Penyulaman ......................................................................... 16

3.4.5 Penjarangan ........................................................................ 17

ii

Halaman

3.4.6 Pemupukan .......................................................................... 17

3.4.7 Pemeliharaan ...................................................................... 17

3.4.8 Pemanenan .......................................................................... 18

3.4.9 Pembuatan Silase ................................................................ 18

3.5 Variabel Pengamatan .................................................................... 18

3.5.1 Komponen Pertumbuhan ..................................................... 18

3.5.2 Komponen Hasil .................................................................. 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 21

4.1 Hasil Penelitian ............................................................................. 21

4.1.1 Komponen Pertumbuhan ..................................................... 23

4.1.2 Biomassa Fase Vegetatif Maksimum ................................... 25

4.1.3 Bobot Silase pada Fase Vegetatif Maksimum ..................... 30

4.1.4 Biomassa Fase Masak Susu................................................. 33

4.1.5 Bobot Silase pada Fase Masak Susu ................................... 36

4.2 Pembahasan................................................................................... 37

V. KESIMPULAN .................................................................................... 42

5.1 Kesimpulan ................................................................................... 42

5.2 Saran ............................................................................................. 42

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 43

LAMPIRAN ................................................................................................ 47

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh sistem tanam dan beberapa

genotipe sorgum serta interaksinya terhadap produksi biomassa dan

silase sorgum. ....................................................................................... 22

2. Pengaruh genotipe sorgum terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, dan

kehijauan daun (lokasi sub-optimum dan lokasi optimum). ................ 23

3. Pengaruh genotipe sorgum terhadap bobot segar tajuk, bobot segar

batang, bobot segar daun, bobot kering tajuk, bobot kering batang, dan

bobot kering daun fase vegetatif maksimum (lokasi sub-optimum dan

lokasi optimum). .................................................................................. 26

4. Pengaruh genotipe sorgum terhadap bobot segar bahan silase, bobot

segar silase, dan bobot kering silase fase vegetatif maksimum (lokasi

sub-optimum dan lokasi optimum). ..................................................... 30

5. Pengaruh genotipe sorgum terhadap bobot segar tajuk, bobot segar

batang, bobot segar daun, bobot kering tajuk, dan bobot kering daun

fase masak susu (lokasi sub-optimum dan lokasi optimum)................ 34

6. Rata-rata tinggi (cm) tanaman sorgum umur 2 MST pada lahan

sub-optimum. ....................................................................................... 48

7. Analisis ragam tinggi tanaman sorgum umur 2 MST pada lahan

sub-optimum. ....................................................................................... 48

8. Analisis ragam tinggi tanaman sorgum umur 2 MST pada lahan

sub-optimum. ....................................................................................... 49

9. Analisis ragam tinggi tanaman sorgum umur 4 MST pada lahan

sub-optimum. ....................................................................................... 49

10. Rata-rata tinggi (cm) tanaman sorgum umur 4 MST pada lahan

optimum. .............................................................................................. 50

iv

Tabel Halaman

11. Analisis ragam tinggi tanaman sorgum umur 4 MST pada lahan

optimum. .............................................................................................. 50

12. Rata-rata tinggi (cm) tanaman sorgum umur 6 MST pada lahan

sub-optimum. ....................................................................................... 51

13. Analisis ragam tinggi tanaman sorgum umur 6 MST pada lahan

sub-optimum. ....................................................................................... 51

14. Rata-rata tinggi (cm) tanaman sorgum umur 6 MST pada lahan

optimum. .............................................................................................. 52

15. Analisis ragam tinggi tanaman sorgum umur 6 MST pada lahan

optimum. .............................................................................................. 52

16. Rata-rata tinggi (cm) tanaman sorgum vegetatif maksimum pada

lahan sub-optimum. .............................................................................. 53

17. Analisis ragam tinggi tanaman sorgum vegetatif maksimum pada

lahan sub-optimum. .............................................................................. 53

18. Rata-rata tinggi (cm) tanaman sorgum vegetatif maksimum pada

lahan optimum. .................................................................................... 54

19. Analisis ragam tinggi tanaman sorgum vegetatif maksimum pada

lahan optimum. .................................................................................... 54

20. Rata-rata jumlah daun (helai) tanaman sorgum umur 2 MST pada

lahan sub-optimum. .............................................................................. 55

21. Analisis ragam jumlah daun tanaman sorgum umur 2 MST pada

lahan sub-optimum. .............................................................................. 55

22. Rata-rata jumlah daun (helai) tanaman sorgum umur 4 MST pada

lahan sub-optimum. .............................................................................. 56

23. Analisis ragam jumlah daun tanaman sorgum umur 4 MST pada

lahan sub-optimum. .............................................................................. 56

24. Rata-rata jumlah daun (helai) tanaman sorgum umur 4 MST pada

lahan optimum. .................................................................................... 57

25. Analisis ragam jumlah daun tanaman sorgum umur 4 MST pada

lahan optimum. .................................................................................... 57

v

Tabel Halaman

26. Rata-rata jumlah daun (helai) tanaman sorgum umur 6 MST pada

lahan sub-optimum. .............................................................................. 58

27. Analisis ragam jumlah daun tanaman sorgum umur 6 MST pada

lahan sub-optimum. .............................................................................. 58

28. Rata-rata jumlah daun (helai) tanaman sorgum umur 6 MST pada

lahan optimum. .................................................................................... 59

29. Analisis ragam jumlah daun tanaman sorgum umur 6 MST pada

lahan optimum. .................................................................................... 59

30. Rata-rata jumlah daun (helai) tanaman sorgum vegetatif maksimum

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 60

31. Analisis ragam jumlah daun tanaman sorgum vegetatif maksimum

pada lahan sub-optimum ...................................................................... 60

32. Rata-rata jumlah daun (helai) tanaman sorgum vegetatif maksimum

pada lahan optimum. ............................................................................ 61

33. Analisis ragam jumlah daun tanaman sorgum vegetatif maksimum

pada lahan optimum. ............................................................................ 61

34. Rata-rata kehijauan daun (unit) tanaman sorgum pada lahan

sub-optimum. ....................................................................................... 62

35. Analisis ragam kehijauan daun tanaman sorgum pada lahan

sub-optimum. ....................................................................................... 62

36. Rata-rata kehijauan daun (unit) tanaman sorgum pada lahan

optimum. .............................................................................................. 63

37. Analisis ragam kehijauan daun tanaman sorgum pada lahan

optimum. .............................................................................................. 63

38. Rata-rata diameter batang (mm) tanaman sorgum pada lahan

sub-optimum. ....................................................................................... 64

39. Analisis ragam diameter batang tanaman sorgum pada lahan

sub-optimum. ....................................................................................... 64

40. Rata-rata diameter batang (mm) tanaman sorgum pada lahan

optimum. .............................................................................................. 65

vi

Tabel Halaman

41. Analisis ragam diameter batang tanaman sorgum pada lahan

optimum. .............................................................................................. 65

42. Rata-rata bobot segar tajuk (gram) tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 66

43. Analisis ragam bobot segar tajuk tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 66

44. Rata-rata bobot segar tajuk (gram) tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 67

45. Analisis ragam bobot segar tajuk tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 67

46. Rata-rata bobot segar batang (gram) tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 68

47. Analisis ragam bobot segar batang tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 68

48. Rata-rata bobot segar batang (gram) tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 69

49. Analisis ragam bobot segar batang tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 69

50. Rata-rata bobot segar daun (gram) tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 70

51. Analisis ragam bobot segar daun tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 70

52. Rata-rata bobot segar daun (gram) tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 71

53. Analisis ragam bobot segar daun tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 71

54. Rata-rata bobot kering tajuk (gram) tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 72

55. Analisis ragam bobot kering tajuk tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 72

vii

Tabel Halaman

56. Rata-rata bobot kering tajuk (gram) tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 73

57. Analisis ragam bobot kering tajuk tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 73

58. Rata-rata bobot kering batang (gram) tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 74

59. Analisis ragam bobot kering batang tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 74

60. Rata-rata bobot kering batang (gram) tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 75

61. Analisis ragam bobot kering batang tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 75

62. Rata-rata bobot kering daun (gram) tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 76

63. Analisis ragam bobot kering daun tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 76

64. Rata-rata bobot kering daun (gram) tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 77

65. Analisis ragam bobot kering daun tanaman sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 77

66. Rata-rata bobot segar tajuk (gram) tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 78

67. Analisis ragam bobot segar tajuk tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 78

68. Rata-rata bobot segar tajuk (gram) tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ............................................................................ 79

69. Analisis ragam bobot segar tajuk tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ............................................................................ 79

70. Rata-rata bobot segar batang (gram) tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 80

viii

Tabel Halaman

71. Analisis ragam bobot segar batang tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 80

72. Rata-rata bobot segar batang (gram) tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ............................................................................ 81

73. Analisis ragam bobot segar batang tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ............................................................................ 81

74. Rata-rata bobot segar daun (gram) tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 82

75. Analisis ragam bobot segar daun tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 82

76. Rata-rata bobot segar daun (gram) tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ............................................................................ 83

77. Analisis ragam bobot segar daun tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ............................................................................ 83

78. Rata-rata bobot kering tajuk (gram) tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 84

79. Analisis ragam bobot kering tajuk tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 84

80. Rata-rata bobot kering tajuk (gram) tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ............................................................................ 85

81. Analisis ragam bobot kering tajuk tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ............................................................................ 85

82. Rata-rata bobot kering batang (gram) tanaman sorgum fase masak

susu pada lahan sub-optimum. ............................................................. 86

83. Analisis ragam bobot kering batang tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 86

84. Rata-rata bobot kering batang (gram) tanaman sorgum fase masak

susu pada lahan optimum. .................................................................... 87

85. Analisis ragam bobot kering batang tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ............................................................................ 87

ix

Tabel Halaman

86. Rata-rata bobot kering daun (gram) tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 88

87. Analisis ragam bobot kering daun tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 88

88. Rata-rata bobot kering daun (gram) tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ............................................................................ 89

89. Analisis ragam bobot kering daun tanaman sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ............................................................................ 89

90. Rata-rata bobot segar bahan silase (gram) sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 90

91. Analisis ragam bobot segar bahan silase sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan sub-optimum. .................................................. 90

92. Rata-rata bobot segar bahan silase (gram) sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 91

93. Analisis ragam bobot segar bahan silase sorgum fase vegetatif

maksimum pada lahan optimum. ......................................................... 91

94. Rata-rata bobot segar silase (gram) sorgum fase vegetatif maksimum

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 92

95. Analisis ragam bobot segar silase sorgum fase vegetatif maksimum

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 92

96. Rata-rata bobot segar silase (gram) sorgum fase vegetatif maksimum

pada lahan optimum. ............................................................................ 93

97. Analisis ragam bobot segar silase sorgum fase vegetatif maksimum

pada lahan optimum. ............................................................................ 93

98. Rata-rata bobot kering silase sorgum (gram) fase vegetatif maksimum

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 94

99. Analisis ragam bobot kering silase sorgum fase vegetatif maksimum

pada lahan sub-optimum. ..................................................................... 94

100. Rata-rata bobot kering silase sorgum (gram) fase vegetatif maksimum

pada lahan optimum. ........................................................................... 95

x

Tabel Halaman

101. Analisis ragam bobot kering silase sorgum fase vegetatif maksimum

pada lahan optimum. ........................................................................... 95

102. Rata-rata bobot segar bahan silase (gram) sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. .................................................................... 96

103. Analisis ragam bobot segar bahan silase sorgum fase masak susu

pada lahan sub-optimum. .................................................................... 96

104. Rata-rata bobot segar bahan silase (gram) sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ........................................................................... 97

105. Analisis ragam bobot segar bahan silase sorgum fase masak susu

pada lahan optimum. ........................................................................... 97

106. Rata-rata bobot segar silase (gram) sorgum fase masak susu pada

lahan sub-optimum. ............................................................................. 98

107. Analisis ragam bobot segar silase sorgum fase masak susu pada lahan

sub-optimum. ...................................................................................... 98

108. Rata-rata bobot segar silase (gram) sorgum fase masak susu pada

lahan optimum. ................................................................................... 99

109. Analisis ragam bobot segar silase sorgum fase masak susu pada

lahan optimum. ................................................................................... 99

110. Rata-rata bobot kering silase sorgum (gram) fase masak susu pada

lahan sub-optimum. ............................................................................. 100

111. Analisis ragam bobot kering silase sorgum fase masak susu pada

lahan sub-optimum. ............................................................................. 100

112. Rata-rata bobot kering silase sorgum (gram) fase masak susu pada

lahan optimum. ................................................................................... 101

113. Analisis ragam bobot kering silase sorgum fase masak susu pada

lahan optimum. ................................................................................... 101

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tingkat kehijauan daun beberapa genotipe sorgum yang ditanam

secara tumpangsari dengan ubikayu di lahan sub-optimum. ............... 24

2. Bobot segar daun beberapa genotipe sorgum yang ditanam secara

tumpangsari dengan ubikayu di lahan sub-optimum. .......................... 27

3. Bobot kering daun beberapa genotipe sorgum yang ditanam secara

tumpangsari dengan ubikayu di lahan sub-optimum. .......................... 29

4. Bobot segar bahan silase beberapa genotipe sorgum yang ditanam

secara tumpangsari dengan ubikayu di lahan optimum. ...................... 31

5. Bobot segar silase beberapa genotipe sorgum yang ditanam secara

tumpangsari dengan ubikayu di lahan optimum. ................................. 32

6. Bobot kering silase beberapa genotipe sorgum yang ditanam secara

tumpangsari dengan ubikayu di lahan sub-optimum. .......................... 36

7. Denah Penanaman Sorgum .................................................................. 102

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan salah satu tanaman semusim

yang dibudidayakan di lahan kering. Sorgum termasuk Family Graminae dan

mampu tumbuh pada tanah yang bervariasi, tahan terhadap hama dan penyakit,

serta tahan kekeringan dan genangan air (Yusmin, 1998). Menurut Mudjisihono

dan Suprapto (1987), tanaman sorgum mempunyai daya adaptasi pertumbuhan

yang baik sehingga mempunyai ketahanan untuk tumbuh lebih baik dibanding

tanaman serealia lainnya dan dapat dipanen beberapa kali (dikepras). Keunikan

dari hasil tanaman sorgum ini selain biji yang dapat digunakan untuk pangan

adalah menghasilkan biomassa dan hijauan yang dapat dimanfaatkan sebagai

silase untuk pakan ternak. Di Indonesia sorgum belum menjadi tanaman penting

untuk dikembangkan dan bukan menjadi tanaman utama, sedangkan potensi

sorgum cukup besar.

Biomassa dapat dikatakan sebagai jumlah total bobot kering semua bagian

tumbuhan hidup. Produksi biomassa yang diperoleh dari tanaman sorgum cukup

tinggi dan dapat digunakan sebagai alternatif pakan ternak. Produktivitas

biomassa sorgum lebih tinggi dibanding jagung atau tebu (Hoeman, 2007). Hal

tersebut karena tanaman sorgum memiliki gen pengendali kehijauan daun sampai

2

masak fisiologi (Borrel et al., 2006). Produktivitas rata-rata batang sorgum

berkisar antara 30-50 t/ha dan daun 20-40 t/ha (Efendi et al., 2013). Pemanfaatan

biomassa sorgum sebagai pakan alternatif merupakan cara yang efektif karena

tuntutan kebutuhan pakan yang semakin meningkat, sementara di lain pihak

ketersediaan terbatas dan sering terbentur antara kepentingan pangan dan pakan.

Potensi sorgum sebagai pakan adalah pemanfaatan batang dan daun yang

digunakan untuk ternak ruminansia (Rismunandar, 2006).

Potensi sorgum sebagai hijauan untuk pakan ternak merupakan salah satu solusi

alternatif sebagai sumber pakan. Biomassa yang diperoleh dari tanaman sorgum

cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan. Ketersediaan

pakan sangat tergantung pada musim. Pada musim hujan ketersediaannya cukup

melimpah sedangkan pada musim kemarau hijauan sulit diperoleh. Dalam hal ini,

diperlukan adanya solusi pengawetan hijauan untuk pakan ternak yaitu dapat

dilakukan dengan pembuatan silase. Silase adalah awetan hijauan yang dibuat

melalui proses fermentasi secara anaerob dan dapat digunakan sebagai pakan

ternak ruminansia (Sumarsih et al., 2001).

Dalam pengembangan potensi sorgum untuk produksi biomassa dan bahan baku

pembuatan silase memerlukan pemilihan genotipe sorgum yang memiliki

pertumbuhan yang baik dan produksi yang tinggi. Penampilan yang diperlihatkan

oleh suatu tanaman disebut fenotipe yang merupakan hasil ekspresi dari

penampilan genotipe tanaman pada suatu lingkungan tertentu dan interaksinya

(Falconer, 1989). Interaksi antara genotipe dan lingkungan memerlukan

pengkajian agar tidak menjadi kendala dalam kegiatan seleksi dan pemilihan

varietas unggul untuk digunakan dalam pengujian lapang. Genotipe yang

3

memperlihatkan penampilan fenotipik yang baik dalam kaitannya dengan

produksi biomassa adalah tanaman yang tinggi dan diameter batang besar

(Pabendon et al., 2012).

Sorgum mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia, namun kendala

lahan tanam menjadi permasalahan yang harus diperhatikan. Permasalahan yang

terjadi adalah adanya penurunan luas lahan tanam dan kompetisi penggunaan

lahan dengan komoditi lain. Data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan tahun

(1990), menunjukkan luas tanam sorgum di Indonesia di atas 18.000 ha. Tahun

2011 luas tanam sorgum menurun menjadi 7.695 ha (Direktorat Jenderal Tanaman

Pangan, 2012). Salah satu cara mengatasi permasalahan adalah dengan cara

sistem tanam tumpangsari.

Potensi lahan atau ruang kosong antar tanaman ubikayu dapat dimanfaatkan

sebagai lahan pertanaman sorgum. Luas lahan ubi kayu di Lampung adalah

301.684 ha (Badan Pusat Statistik, 2013) dan lahan kosong antar tanaman tersebut

tidak termanfaatkan. Ketersediaan lahan yang semakin berkurang dan juga

sorgum belum menjadi tanaman budidaya utama, maka pemanfaatan ruang

kosong antar tanaman ubikayu tersebut dapat dijadikan solusi. Tumpangsari

dengan ubikayu dapat dilakukan pada saat awal masa pertumbuhan ubikayu

sehingga kanopi belum saling menutupi.

Berdasarkan uraian di atas dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Apakah sistem tanam dapat berpengaruh terhadap produksi biomassa dan

silase tanaman sorgum pada dua lokasi yang berbeda?

4

2. Apakah genotipe dapat berpengaruh terhadap produksi biomassa dan silase

tanaman sorgum pada dua lokasi yang berbeda?

3. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara sistem tanam dan genotipe terhadap

produksi biomassa dan silase tanaman sorgum pada dua lokasi yang berbeda?

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh sistem tanam terhadap produksi biomassa dan silase

tanaman sorgum pada dua lokasi yang berbeda.

2. Mengetahui pengaruh beberapa genotipe sorgum terhadap produksi biomassa

dan silase tanaman sorgum pada dua lokasi yang berbeda.

3. Mengetahui pengaruh interaksi sistem tanam dan genotipe terhadap produksi

biomassa dan silase tanaman sorgum pada dua lokasi yang berbeda.

1.3 Kerangka Pemikiran

Penurunan luas lahan akibat alih fungsi lahan dan persaingan dengan komoditas

tanaman lain menjadi masalah pengembangan tanaman sorgum. Menurut data

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2012), tahun 2011 luas lahan tanam sorgum

menurun menjadi 7.695 ha. Luas lahan tersebut tergolong sangat rendah jika

dibandingkan dengan luas lahan untuk tanaman semusim lainnya sehingga sulit

untuk mengembangkan potensi tanaman sorgum. Solusi yang dapat dilakukan

selain melakukan perluasan lahan adalah dengan mengatur pola tanam.

Pola tanam adalah urutan tanam pada sebidang lahan dalam kurun waktu satu

tahun dengan tujuan untuk memanfaatkan sumber daya secara

5

optimal (Djulin et al., 2003). Pola tanam secara umum yaitu terdiri dari

monokultur dan polikultur. Monokultur yaitu menanam satu jenis tanaman dalam

sebidang lahan, sedangkan polikultur adalah menanam dua atau lebih tanaman

dalam sebidang lahan. Salah satu contoh pola tanam polikultur adalah tumpang

sari, yaitu penanaman dua tanaman atau lebih secara bersamaan atau dengan satu

interval waktu yang singkat, pada sebidang lahan yang sama (Jumin, 2008).

Dalam hal ini, untuk pemanfaatan lahan untuk budidaya sorgum juga dapat

dilakukan dengan cara tumpangsari dengan tanaman lainnya. Tumpangsari dapat

dilakukan dengan tanaman ubikayu dikarenakan lahan tanaman ubikayu sangat

luas terutama di Lampung. Tumpangsari ini dilakukan dengan memanfaatkan

jarak antar tanaman ubikayu pada saat masa awal tanam dan vegetatif sehingga

kanopi belum saling menutupi.

Genotipe adalah susunan lengkap genetik suatu makhluk hidup yang hasil

ekspresinya disebut fenotipe (Suryo, 2001). Genotipe setiap makhluk hidup

memiliki karakter berbeda-beda sehingga menjadi faktor yang memutuskan

karakteristik eksternal yang bisa diamati. Setiap genotipe sorgum yang digunakan

memiliki karakteristik dan interaksi dengan lingkungan yang berbeda. Perbedaan

tersebut diamati untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing genotipe dan

interaksinya dengan lingkungan.

Manfaat sorgum sebagai pakan ternak dengan menggunakan biji dan limbah

sorgum (batang dan daun segar) sudah umum dilakukan. Tumpang tindih antara

kebutuhan biji sebagai pangan menyebabkan penggunaannya mulai dialihkan

dengan pemanfaatan limbah sorgum saja. Varietas dengan produksi biomassa

6

tertinggi memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai tanaman pakan

ternak. Potensi batang dan daun sorgum pada kondisi optimum mencapai

30-45 t/ha/tahun (Efendi dan Pabendon, 2010), sehingga cukup baik untuk

dikembangkan sebagai pakan ternak. Nutrisi batang dan daun sorgum tidak kalah

dibanding jerami jagung dan pucuk tebu (Sirappa, 2003).

Salah satu kendala hijauan pakan di Indonesia adalah ketersediaan hijauan yang

tidak kontinyu sepanjang tahun. Ketersediaan hijauan sorgum yang melimpah

pada saat musim hujan memerlukan solusi pengawetan agar pemanfaatannya

dapat optimal. Pembuatan silase merupakan salah satu solusi untuk pengawetan

hijauan sebagai bahan pakan melalui proses fermentasi (Sumarsih dan Bambang,

2002). Pembuatan silase dapat menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan pakan

ternak pada saat musim kemarau karena pada musim kemarau ketersediaan

hijauan untuk pakan sulit diperoleh.

1.4 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan maka peneliti

mengajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Sistem tanam monokultur dan tumpangsari dapat mempengaruhi produksi

biomassa dan silase pada tanaman sorgum pada dua lokasi yang berbeda.

2. Genotipe yang berbeda dapat mempengaruhi produksi biomassa dan silase

pada tanaman sorgum pada dua lokasi yang berbeda.

3. Adanya pengaruh interaksi antara sistem tanam dengan genotipe yang berbeda

terhadap produksi biomassa dan silase pada tanaman sorgum pada dua lokasi

yang berbeda.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sorgum

Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) adalah salah satu jenis tanaman serealia

dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri.

Kandungan gizi tanaman sorgum cukup tinggi dan beragam meliputi karbohidrat,

lemak, kalsium, besi, dan fosfor (Dicko et al., 2006). Sorgum mempunyai potensi

cukup besar untuk dikembangkan karena memiliki daya adaptasi yang cukup luas.

Sorgum dapat ditanam pada jenis tanah yang beragam, dari tanah yang subur

sampai tanah yang kurang subur sehingga pengembangan sorgum dapat dilakukan

pada lahan-lahan yang kurang produktif. Tanaman sorgum mempunyai beberapa

keunggulan, diantaranya relatif tahan terhadap serangan hama dan penyakit, dapat

dibudidayakan dan memiliki produksi yang cukup tinggi di berbagai jenis tanah,

tahan genagan, serta tahan akan kekeringan (Yusmin, 1998). Tanaman sorgum

mempunyai sistem fotosintesis C4 yang memungkinkan fiksasi CO2 paling efisien

karena pada penyinaran tinggi dan suhu panas mampu berfotosintesis lebih cepat.

Tanaman sorgum mempunyai sistem perakaran serabut yang hanya terdiri atas

akar lateral. Ruang tempat tumbuh akar lateral mencapai kedalaman 1,3-1,8 m

dengan panjang mencapai 10,8 m. Sistem perakaran sorgum terdiri dari akar

primer, akar sekunder, akar tunjang, dan akar udara (Rismunandar, 2006). Akar

8

primer adalah akar yang pertama muncul pada proses perkecambahan benih

yang berkembang dari radikula, berfungsi sebagai alat transportasi air dan nutrisi

bagi kecambah. Akar sekunder berkembang di ruas pertama pada mesokotil di

bawah tanah yang berkembang secara ekstensif dan berfungsi menyerap air dan

unsur hara. Akar tunjang berkembang dari primordial buku yang berada kurang

dari 1 m dan berfungsi seperti jangkar bagi tanaman. Akar udara adalah akar

yang tumbuh di permukaan tanah (du Plessis, 2008).

Batang tanaman sorgum tidak memiliki kambium dan merupakan rangkaian dari

ruas dan buku. Bentuk batang tanaman sorgum silinder dengan dengan diameter

0,5-5,0 cm. Sorgum memiliki tinggi rata-rata 2,6-4,0 m bergantung pada jumlah

daun dan ukuran ruas batang. Permukaan ruas batang diselimuti oleh lapisan lilin

yang berfungsi mengurangi transpirasi sehingga sorgum toleran terhadap

kekeringan. Daun tanaman sorgum berbentuk pita dengan struktur terdiri atas

helai dan tangkai daun. Posisi daun terdistribusi secara berlawanan sepanjang

batang dengan pangkal daun menempel pada ruas batang. Freeman (1970)

menyebutkan bahwa tanaman sorgum juga mempunyai daun bendera yang

muncul paling akhir bersamaan dengan inisisasi malai.

Bunga sorgum secara utuh terdiri atas tangkai malai, malai, rangkaian bunga, dan

bunga. Tangkai malai merupakan ruas paling ujung yang menopang malai dan

paling panjang. Malai pada sorgum tersusun atas tandan primer, sekunder, dan

tersier dengan panjang berkisar antara 4-50 cm dan lebar 2-20 cm. Rangkaian

bunga merupakan kumpulan beberapa bunga yang terdapat pada cabang sekunder.

Bunga adalah bunga tunggal yang tersusun dalam rangkaian bunga dan terdapat

9

1.500-4.000 bunga dalam satiap malai (Hunter dan Anderson, 1997). Biji sorgum

berbentuk bulat dengan ukuran 4,0 x 2,5 x 3,5 mm. Biji sorgum terdiri atas tiga

bagian yaitu lapisan luar, embrio, dan endosperm. Biji sorgum tertutup sekam

dengan warna coklat muda, krem atau putih, bergantung pada varietas

(Mudjisihono dan Suprapto, 1987).

2.2 Biomassa Sorgum

Biomassa adalah bahan organik yang berasal dari tumbuhan atau hewan, dapat

berupa hasil produksi, sisa metabolisme atau limbah. Biomassa sorgum dapat

diperoleh dari batang, daun, akar, dan biji. Menurut Gardner et al., (1991),

biomassa merupakan cerminan hasil fotosintesis, yaitu energi matahari yang telah

diubah menjadi energi kimia oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis sehingga

energi dapat digunakan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi serta

menghasilkan biomassa. Biomassa adalah salah satu sumber daya hayati yang

dapat dirubah menjadi sumber energi yang dapat diperbaharui dan dapat berubah

menjadi bahan bakar cair, listrik, dan panas melalui berbagai proses (Bassam,

2004).

Produksi biomassa tergantung dari cahaya matahari yang diterima, pengambilan

karbondioksida dan air dalam tumbuhan serta perbedaan faktor genetik tumbuhan

(Harjadi, 1996). Indikator pengukuran biomassa yang diperoleh dari tumbuhan

yaitu dengan bobot brangkasan basah dan bobot brangkasan kering tumbuhan.

Bobot brangkasan basah merupakan cerminan dari tingkat serapan air dan unsur

hara untuk proses metabolisme tumbuhan (Dwidjoseputro, 1994). Bobot

brangkasan kering adalah cerminan dari tingkat penyerapan energi hasil

10

fotosintesis yang digunakan tumbuhan sehingga menghasilkan biomassa. Hasil

dari bobot brangkasan menjadi indikator bahwa fotosintesis berjalan dengan baik.

2.3 Silase Sorgum

Silase adalah salah satu cara pengawetan hijauan sebagai pakan melalui proses

fermentasi mikrobial oleh bakteri yang berlangsung di dalam tempat yang disebut

silo (McDonald et al., 2002). Tujuan pembuatan silase adalah meningkatkan nilai

gizi pakan, mengawetkan pakan, dan mencegah agar tidak banyak nilai gizi yang

hilang. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas silase adalah dengan

menggunakan zat aditif pada proses ensilase yang dapat menstimulasi fermentasi

bakteri asam laktat (Bureenook et al., 2006).

Kualitas silase dapat dilihat dari kualitas fisik silase yang dihasilkan. Kualitas

fisik meliputi warna, bau, tekstur, keberadaan jamur, dan suhu. Silase tanaman

sorgum berkualitas baik menunjukkan aroma asam dan wangi fermentasi

(Abdelhadi et al., 2005). Warna pada silase menggambarkan hasil fermentasi

selama proses ensilase, yaitu berwarna hampir sama dengan bahan sebelum

ensilase (Saun dan Heinrichs, 2008). Kualitas kimiawi silase meliputi nilai pH,

bahan kering, dan nilai fleigh. Nilai fleigh merupakan perhitungan yang

digunakan untuk mengukur kualitas silase berdasarkan nilai kandungan bahan

kering dan pH silase.

Keberhasilan dalam pembuatan silase juga ditentukan oleh kondisi hijauan yang

akan digunakan. Kondisi hijauan sangat penting untuk menentukan tercapainya

kondisi optimum silase. Menurut Susetyo et al. (1961) dalam Sumarsih dan

11

Bambang (2002), penambahan bahan aditif, pemotongan dan pelayuan bahan

silase serta keadaaan lingkungan yaitu ada tidaknya oksigen dalam silo

merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas silase. Umur tanaman, kandungan

bahan kering dan nutrisi tanaman juga mempengaruhi kualitas silase. Bahan

silase sebaiknya dipanen pada saat fase vegetatif atau awal generatif. Pada

kondisi optimum, pertumbuhan bakteri yang diinginkan akan menghasilkan

perubahan yang efisien pada gula tanaman sehingga silase yang dihasilkan

berkualitas baik (Sapienza dan Bolsen, 1993).

2.4 Genotipe Sorgum

Genotipe adalah susunan genetik dalam bentuk data seperti DNA atau RNA yang

berkenaan dengan sifat-sifat tertentu. Genotipe adalah satu set alel yang

menentukan ekspresi karakteristik atau fenotipe. Fenotipe merupakan hasil

ekspresi dari interaksi antara genotipe dengan lingkungan. Setiap genotipe

mempunyai interaksi dengan lingkungan yang berbeda-beda, sehingga fenotipe

setiap genotipe juga berbeda. Pengaruh dari lingkungan terhadap penampilan

fenotipe suatu genotipe yaitu akan bervariasi dari satu lokasi dengan lokasi

lainnya (Crowder, 1997).

Genotipe dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan interaksi dengan

lingkungan, yaitu kemampuan adaptasi pada lingkungan yang luas dan

kemampuan adaptasi pada lingkungan yang sempit. Kemampuan adaptasi pada

lingkungan yang luas artinya penampilan fenotipe baik pada lingkungan yang

beragam, sebaliknya kemampuan adaptasi pada lingkungan yang sempit yaitu

12

penampilan fenotipe baik pada suatu lingkungan dan buruk pada lingkungan

lainnya (Soemartono dan Nasrullah, 1988).

2.5 Sistem Tanam Tumpangsari

Sistem tanam tumpangsari adalah salah satu usaha pemanfaatan lahan secara

optimal untuk meningkatkan hasil. Pada sistem tanam ini terdapat dua atau lebih

tanaman yang berbeda dan dibudidayakan pada sebidang lahan yang sama (Jumin,

2008). Kombinasi tanaman yang akan ditumpangsarikan harus dipilih dengan

baik untuk mengurangi resiko persaingan antar tanaman. Persaingan tersebut

berupa unsur hara, cahaya matahari, air, dan ruang tumbuh. Kompetisi di atas dan

di dalam tanah saling mempengaruhi satu sama lain. Tanaman yang ternaungi

akan mempunyai sistem perakaran lebih lemah bila dibandingkan dengan tanaman

yang mendapat cahaya penuh.

Menurut Gomez dan Gomez (1983) dalam Permanasari dan Kastono (2012),

pemilihan tanaman dalam sistem tanam tumpangsari dipilih berdasarkan pada

perbedaan karakter morfologi dan fisiologi antara lain kedalaman dan distribusi

sistem perkaran, bentuk tajuk, lintasan fotosintesis, pola serapan unsur hara

sehingga diperoleh sauatu karakteristik pertumbuhan, perkembangan dan hasil

tumpangsari yang bersifat sinergis. Kombinasi yang memberikan hasil baik pada

tumpangsari adalah jenis-jenis tanaman yang mempunyai kanopi daun yang

berbeda (Rukmana dan Oesman, 2005) atau jenis tanaman yang umurnya berbeda

(Warsana, 2009).

13

Menurut Bahar (1987), penerapan sistem tanam tumpangsari memiliki

keuntungan diantaranya meminimalisir resiko kegagalan panen, meningkatkan

produksi dan efisiensi tenaga kerja, meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, air,

dan sinar matahari, serta menekan pertumbuhan gulma.

2.6 Ubikayu

Ubikayu merupakan jenis tanaman perdu dan salah satu sumber karbohidrat yang

berasal dari umbi. Ubikayu menjadi bahan makanan pokok ketiga setelah padi

dan jagung (Prihandana et al., 2007). Batang tanaman ubikayu beruas-ruas,

berkayu dengan ketinggian mencapai lebih dari 3 m. Warna batang bervariasi

yaitu berwarna hijau pada saat tanaman muda dan pada saat tanaman tua berwarna

keputih-putihan, kelabu, atau hijau kelabu. Susunan daun ubikayu berurat,

menjari dengan cangap 5-9 helai. Bunga tanaman ubikayu berumah satu dan

merupakan jenis tanaman yang menyerbuk silang. Umbi yang terbentuk

merupakan akar yang menggelembung dan berfungsi sebagai tempat penampung

cadangan makanan. Bentuk umbi bulat memanjang, terdiri atas kulit luar tipis,

kulit dalam agak tebal, dan daging berwarna putih (Rukmana, 1997).

Tanaman ubikayu dapat tumbuh pada curah hujan rendah (< 500 mm) ataupun

tinggi (5000 mm). Tanaman ubikayu menghendaki suhu antara 18o-35

oC dan

kelembaban udara optimal antara 60-65%. Sinar matahari yang dibutuhkan bagi

tanaman ubikayu sekitar 10 jam/hari. Ketinggian tempat yang baik dan ideal

adalah 10-700 m dpl. Ubikayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tetapi

memerlukan struktur tanah yang gembur untuk pembentukan dan perkembangan

umbi dengan pH tanah yang sesuai berkisar antara 4,5-8,0 (Suprapti, 2005).

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi yaitu lahan sub-optimum dan lahan

optimum. Waktu penelitian dilaksanakan mulai Februari sampai Agustus 2016.

Lokasi lahan sub-optimum terletak di Kebun Percobaan Balai Besar Teknologi

Pati (BBTP) Sulusuban, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Lahan

sub-optimum memiliki N-total 0,14%, K-dd 0,31 me/100g, P-tersedia 2,20 ppm

dan pH 4,13. Tekstur tanah di lahan sub-optimum terdiri dari fraksi pasir 30,26%,

debu 19,11%, dan liat 50,63% yang merupakan jenis tanah liat. Lokasi lahan

optimum terletak di Kebun Warga Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi

Lampung. Lahan optimum memiliki N-total 0,11%, K-dd 0,32 me/100g, P-

tersedia 2,86 ppm dan pH 5,38. Tekstur tanah di lahan optimum terdiri dari fraksi

pasir 28,61%, debu 36,06%, dan liat 35,33% yang merupakan jenis tanah lempung

berliat.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima genotipe sorgum, ubikayu

varietas Kasetsart (UJ5), serta pupuk anorganik yaitu Urea, TSP, dan KCl. Bahan

yang digunakan dalam pembuatan silase adalah molases dan dedak halus. Alat

yang digunakan yaitu traktor, meteran, timbangan, kantong plastik, oven, gunting,

15

SPAD 500 (Konica Minolta), alat pres manual, jangka sorong, cangkul, golok,

gunting rumput, pisau, kamera, label sampel, dan alat tulis.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split

Plot Design) dengan tiga ulangan. Petak utama adalah sistem tanam (s) yaitu

Monokultur (s1) dan Tumpangsari (s2). Anak petak adalah genotipe sorgum (g)

yang terdiri dari P/F 5-193 C (g1), P/I WHP (g2), UPCA (g3), Numbu (g4), dan

Super 2 (g5). Petak percobaan yang digunakan pada penelitian ini berukuran

7,5 m x 12 m dan jarak tanam sorgum yang digunakan pada penelitian ini adalah

20 cm x 80 cm, serta jarak tanam ubikayu adalah 60 cm x 80 cm.

Homogenitas ragam diuji dengan uji Bartlet dan aditivitas data dengan uji Tukey.

Bila kedua asumsi terpenuhi maka dilakukan analisis ragam. Jika terdapat

perbedaan antarperlakuan maka dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji

beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5% dengan program MiniTab (Versi 17).

Keterangan tata letak satuan percobaan pada kegiatan penelitian ini terlampir pada

Denah penanaman sorgum (Gambar 7).

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pengambilan Sampel Tanah

Sampel tanah diambil secara komposit dari beberapa titik pada lahan yang akan

digunakan untuk budidaya tanaman sorgum. Pengambilan sampel tanah

dilakukan untuk mengetahui kandungan unsur hara N, P, K, tekstur,dan pH dalam

16

tanah. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian

Universitas Lampung.

3.4.2 Pengolahan Tanah

Lahan dibersihkan dari sisa-sisa tanaman dan gulma. Pengolahan tanah dilakukan

dengan menggunakan hand traktor. Pengolahan dilakukan 2 kali yaitu

pembajakan dan penggaruan. Lahan yang sudah diolah kemudian diploting

menjadi 6 plot dengan luasan perplot adalah 7,5 m x 12 m.

3.4.3 Penanaman

Penanaman sorgum dilakukan secara manual dengan cara tugal sedalam 3-5 cm.

Setiap lubang tanam diisi 10 benih per lubang tanam. Jarak tanam sorgum yang

digunakan adalah 80 cm x 20 cm. Pada sistem tanam tumpangsari, sorgum

ditanam di antara barisan ubikayu. Penanaman ubikayu menggunakan stek

berukuran 25-30 cm. Ubikayu yang digunakan adalah varietas Kasetsart. Jarak

tanam ubikayu yang digunakan adalah 60 cm x 80 cm. Penanaman dilakukan

bersamaan baik pada sistem monokultur dan tumpangsari. Penanaman di lokasi

lahan sub-optimum yaitu pada tanggal 23 Februari 2016 dan di lokasi lahan

optimum yaitu pada tanggal 26 Maret 2016.

3.4.4 Penyulaman

Penyulaman bertujuan untuk mengganti benih yang tidak tumbuh dengan

menanam kembali benih sorgum. Penyulaman dilakukan paling lambat yaitu dua

minggu setelah waktu pertanaman.

17

3.4.5 Penjarangan

Penjarangan dilakukan pada saat 2 MST, yaitu dengan mengurangi jumlah

tanaman menjadi 2 tanaman per lubang tanam.

3.4.6 Pemupukan

Pemupukan dilakukan 2 kali yaitu 2 MST dan 7 MST menggunakan pupuk

anorganik Urea, TSP dan KCl. Dosis pupuk untuk tanaman sorgum adalah Urea

200 kg/ha, TSP 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Dosis pupuk untuk tanaman

ubikayu adalah Urea 200 kg/ha, TSP 100 kg/ha dan KCl 200 kg/ha. Pemupukan

diberikan per tanaman dengan cara ditugal. Pemupukan pertama pada 2 MST

yaitu

dosis pupuk Urea dan KCl serta seluruh dosis pupuk TSP. Pemupukan

kedua pada 7 MST yaitu

dosis pupuk Urea dan KCl.

3.4.7 Pemeliharaan

Pemeliharaan meliputi penyiraman, penyiangan gulma, dan pengendalian hama

dan penyakit tanaman. Penyiraman dilakukan untuk memberi ketersediaan air

dalam tanah agar tanaman tidak kekurangan air dan untuk membantu proses

fotosistesis dan masa pembuahan. Penyiangan dilakukan dengan cara manual

yaitu mencabut atau mengoret gulma yang tumbuh pada petak percobaan.

Pengendalian hama dan penyakit dilakukan jika terlihat gejala serangan pada

tanaman sorgum.

18

3.4.8 Pemanenan

Pengambilan sampel tanaman dilakukan dua kali yaitu pada saat fase vegetatif

maksimum (lokasi lahan sub-optimum 11-12 MST dan lokasi lahan optimum 9-11

MST) dan pada fase masak susu (lokasi lahan sub-optimum 13-16 MST dan

lokasi lahan optimum 11-13 MST).

3.4.9 Pembuatan Silase

Sampel tanaman sorgum dilayukan selama 2-3 jam kemudian dicacah dengan

ukuran 3-5 cm. Hasil cacahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam plastik

tebal berukuran 2 kg, dalam satu plastik berisi cacahan sorgum. Selanjutnya

dalam plastik tersebut diberi tambahan molases dan dedak halus yang dicampur

merata, ditekan hingga cukup padat sehingga kondisi anaerob dapat terjadi.

Cacahan sorgum tersebut kemudian disimpan pada suhu kamar selama 21 hari.

Bahan pembuatan silase sorgum diambil 2 kali yaitu pada saat fase vegetatif

maksimum dan fase masak susu. Bagian tanaman sorgum yang digunakan untuk

pembuatan silase pada fase vegetatif maksimum adalah batang dan daun,

sedangkan untuk fase masak susu bagian tanaman sorgum yang digunakan adalah

batang, daun, dan biji.

3.5 Variabel Pengamatan

3.5.1 Komponen Pertumbuhan

1. Tinggi tanaman

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan mulai 2 MST, yaitu setiap 2 minggu

sekali sampai munculnya daun bendera (lokasi lahan sub-optimum 11-12 MST

19

dan lokasi lahan optimum 9-11 MST). Tinggi tanaman diukur dari permukaan

tanah sampai dengan ujung daun tertinggi. Pengukuran dilakukan dengan

menggunakan mistar dalam satuan sentimeter.

2. Jumlah daun

Pengamatan jumlah daun dilakukan bersamaan dengan pengukuran tinggi

tanaman. Jumlah daun dihitung sejak muncul daun pertama sampai munculnya

daun bendera.

3. Diameter batang

Diameter batang diukur saat tanaman sudah masuk fase vegetatif maksimum

dengan satuan milimeter menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan

pada bagian tengah batang sorgum.

4. Kehijauan daun

Pengamatan kehijauan daun dilakukan bersamaan dengan pengukuran diameter

batang sorgum. Kehijauan daun diamati dengan menggunakan SPAD pada

daun ke tiga dari atas tanaman sorgum dengan tiga titik pengamatan, yaitu

bagian pangkal, tengah, dan ujung daun.

5. Bobot brangkasan segar per tanaman

Pengambilan sampel dilakukan 2 kali yaitu pada saat vegetatif maksimum dan

masak susu. Tanaman sorgum kemudian dipisah bagian batang dan daun lalu

ditimbang. Bobot brangkasan basah dinyatakan dalam satuan g/tanaman.

20

6. Bobot brangkasan kering per tanaman

Bobot brangkasan basah dikeringkan dalam oven selama 3x24 jam dengan

suhu 700C lalu ditimbang. Bobot brangkasan kering dinyatakan dalam satuan

g/tanaman.

3.5.2 Komponen Hasil

1. Kualitas Silase

Bahan pembuatan silase diambil dari tanaman sorgum ketika memasuki fase

vegetatif maksimum dan fase masak susu. Pemanenan silase sorgum

didasarkan pada ciri-ciri silase yang berkualitas baik, yaitu berwarna hijau

kekuningan, berbau harum, tekstur lembut dan bila dikepal tidak keluar air dan

bau. Pengamatan dilakukan terhadap bobot segar bahan silase sorgum (0 hari),

bobot segar silase (21 hari), dan bobot kering silase (dikeringkan pada udara

cerah dengan sinar matahari selama 6 jam.

V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat diambil

kesimpulan bahwa:

1. Tidak terdapat perbedaan produksi biomassa dan silase tanaman sorgum baik

yang ditanam secara monokultur maupun tumpangsari di kedua lokasi.

2. Genotipe P/F 5-193 C dan Super 2 menghasilkan biomassa lebih tinggi

dibanding genotipe yang lain baik pada saat vegetatif maksimum dan maupun

fase masak susu. Kedua genotipe di atas juga menghasilkan silase yang lebih

tinggi dibanding genotipe yang lain pada fase vegetatif maksimum. Hal ini

konsisten terlihat di dua lokasi.

3. Genotipe P/F 5-193 C yang di tanam secara monokultur mampu memproduksi

silase lebih tinggi pada fase masak susu di lokasi sub-optimum.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis memberikan saran agar pada

penelitian selanjutnya digunakan alat pencacah sorgum dan ruang simpan untuk

produksi silase.

DAFTAR PUSTAKA

Abdelhadi, L.O., F. J. Santini, and G.A. Gagliostro. 2005. Corn silage of high

moisture corn supplements for beef heifers grazing temperate pasture;

effects on performance ruminal fermentation and in situ pasture digestion.

Animal Feed Sci Technol. 118: 63-78.

Badan Pusat Statistika. 2013. Luas Lahan Ubikayu Di Lampung.

http://www.bps.go.id. Diakses pada Februari 2016.

Bahar, F. 1987. Makalah Pelatihan Teknis Proyek Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Nusa Tenggara. Badan Litbang Pertanian.

Bassam, N. E. 2004. Global Potential of Biomass for Transport Fuels. Institute

of Crop dan Grassland Science. Braunschweig. Germany.

Beti, Y. A., A. Ispandi, dan Sudaryono. 1990. Sorgum. Monograf Balittan

Malang No. 5. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Malang. 25 hlm.

Borrell, A., E.V. Osterom, G. Hammer, D. Jordan, and A. Douglas. 2006. The

Physiology of “Stay-Green” in Sorghum. Hermitage Research Station.

University of Quensland. Brisbande.

Bureenok, S., T. Namihira, S. Mizumachi, Y. Kawamoto, and T. Nakada. 2006.

The effect of epiphytic lactic acid bacteria with or without different

byproduct from defatted rice bran and green tea waste on napiergrass

(Pennisetum purpureum Shumach) silage fermentation. J Sci Food Agric.

86: 1073-1077.

Crowder, L. V. 1997. Genetika Tumbuhan (Terjemahan Lilik Kusdiarti). Gadjah

Mada University press. Yogyakarta. 499 hlm.

Dicko, M.H., H. Gruppen, A.S. Traore, W.J.H van Berkel, and A.G.J Voragen.

2006. Sorghum grain as human food in Africa: relevance of content of

starch and amylase activities. African Journal of Biotechnology 5 (5): 384-

395.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Luas Lahan Tanaman Sorgum.

http://tanamanpangan.pertanian.go.id. Diakses pada Februari 2016.

44

Djulin, A., N. Syafaat, dan F. Kasryno. 2003. Perkembangan Sistem Usahatani

Jagung. Ekonomi Jagung Indonesia. Indonesia Agency for Agricultural

Research and Development. Jakarta.

du Plessis, J. 2008. Sorghum production. Department of Agriculture. Republic

of South Africa. 20 p.

Dwidjoseputro, D. 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta. 223 hlm.

Efendi, R. dan M. Pabendon. 2010. Seleksi Genotipe Sorgum Manis untuk

Produksi Biomas dan Daya Ratun Tinggi. Perakitan Varietas Sorgum untuk

Bahan Bioetanol dan Bahan Pangan. Laporan Akhir Tahun Balai Penelitian

Tanaman Serealia.

Efendi, R., M. Aqil, dan M. Pabendon. 2013. Evaluasi Genotipe Sorgum Manis

(Sorghum bicolor (L.) Moench) Produksi Biomas dan Daya Ratun Tinggi.

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 33 (2): 116-125.

Falconer, D.S. 1989. Introduction to Quantitative Genetics. John Willey and

Sons Inc. New York. 340 p.

Freeman, J.E. 1970. Development and Structure of The Sorghum Plant and Its

Fruit. Dalam Sorghum Production and Utilization: Major Feed and Food

Crops in Agriculture and Food Series. Editor: Joseph S. Wall dan William

M. Ross. The Avi Publishing Company, Connecticut. Pp. 28-72.

Gardner. F. P., B. Pearce, dan R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya

(Terjemahan H. Susilo). Universitas Indonesia Press. Jakarta. 428 hlm.

Harjadi, S. S. 1996. Pengantar Agronomi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

197 hlm.

Haryati, S. 2008. Respon Pertumbuhan Jumlah dan Luas Daun Nilam

(Pogostemon cablin Binth) pada Tingkat Naungan yang Berbeda. Anatomi

Fisiologi. 16 (2): 20-26.

Hoeman, S. 2007. Peluang dan Potensi Pengembangan Sorgum Manis. Makalah

Workshop Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku

Bioetanol. Ditjen Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta. 10 hlm.

Hunter, E.L. and I.C. Anderson. 1997. Sweet sorghum. In J. Janick (Eds.)

Horticultural riviews. Vol. 21 Departement of Agronomy Iowa State

University. John willey & Sons.Inc. pp 73-104.

Jumin, H. B. 2008. Dasar-dasar Agronomi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

250 hlm.

45

Koten, B. B., R. D. Soetrisno., N. Ngadiyono, dan B. Suwignyo. 2012. Produksi

Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench Varietas Lokal Rote

sebagai Hijauan Pakan Ruminansia pada Umur Panen dan Dosis Pupuk

Urea. Buletin Peternakan 36 (3): 150-155.

McDonald, P., R.A. Edwards, J.F.D Greenhalgh, and C.A. Morgan. 2002.

Animal Nutrition. Prentice Hall. New Jersey. 708 p.

Mudjisihono, R. dan Suprapto. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum.

Penebar Swadaya. Jakarta. 91 hlm.

Pabendon, M.B., S, Mas’ud, R.S. Sarungallo, dan A. Nur. 2012. Penampilan

Fenotipik dan Stabilitas Sorgum Manis untuk Bahan Baku Bioetanol.

Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 30 (1): 60-69.

Permanasari, I. dan D. Kastono. 2012. Pertumbuhan Tumpangsari Jagung dan

Kedelai pada Perbedaan Waktu Tanam dan Pemangkasan Jagung. Jurnal

Agroteknologi 3(1): 13-20.

Prihandana, R., K. Noerwijan., P. G. Adinurani., D. Setyaningsih., S. Setiadi, dan

R. Handoko. 2007. Bioetanol Ubi Kayu, Bahan Baku Masa Depan.

AgroMedia. Jakarta. 228 hlm.

Rismunandar. 2006. Sorgum Tanaman Serba Guna. Sinar Baru. Bandung. 71

hlm.

Rukmana, R. 1997. Ubi Kayu, Budidaya dan Pascapanen. Kanisius.

Yogyakarta. 85 hlm.

Rukmana, R. dan Y.Y. Oesman. 2005. Usaha Tani Sorgum. Kanisius.

Yogyakarta. 40 hlm.

Sapienza, D.A. dan K.K Bolsen. 1993. Teknologi Silase (Penanaman,

Pembuatan, dan Pemberdayaan pada Ternak). Bogor. Institut Pertanian

Bogor. Terjemahan dari: Pioneer seeds.

Saun, R.J.V. dan A.A.J Heinrichs. 2008. Troubleshooting silage problem. Di

dalam: Proceedings of the Mid-Atlantic Conference. Pennsylvania. Penn

State’s College. hal 2-10.

Sirrapa, M.P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum Di Indonesia sebagai

Komoditas Alternatif untuk Pangan, Pakan, dan Industri. Jurnal Litbang

Pertanian 22 (4) : 133-139.

Soemartono dan Nasrullah. 1988. Genetika Kuantitatif. Universitas Gadjah

Mada. Yogyakarta. 171 hlm.

46

Sudaryani, T dan E. Sugiharti. 1989. Budidaya dan Penyulingan Tanaman

Nilam. Swadaya. Jakarta.

Sumarno, D., S. Damardjati, M. Syam, dan Hermanto. 2013. Sorgum: Inovasi

Teknologi dan Pengembangan. IAARD Press. Jakarta. 291 hlm.

Sumarsih, S., B. Iskandar, dan S. Mukodiningsih. 2001. Sifat Fisik Silase

Hijauan Sorgum pada Aras Pemberian Tetes dan Lama Pemeraman yang

Berbeda-beda. Laporan Penelitian. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak.

Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Sumarsih, S. dan B. Waluyo. 2002. Pengaruh Aras Pemberian Tetes dan Lama

Pemeraman yang Berbeda terhadap Protein Kasar dan Serat Kasar Silase

Hijauan Sorgum. Laporan Penelitian. Jurusan Nutrisi dan Makanan

Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Suprapti, L. 2005. Teknologi Pengolahan Pangan Tepung Tapioka, Pembuatan

dan Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta. 81 hlm.

Suryo. 2001. Genetika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 540 hlm.

Warsana. 2009. Introduksi Teknologi Tumpangsari Jagung dan Kacang Tanah.

Penyuluh Petanian BPTP. Jawa Tengah.

Yamamoto, A., T. Nakamura., J. J. Adu-Gyamti, dan M. Saigusa. 2002.

Relationship Between Chlorophyll Content in Leaves of Sorghum and

Pigeonpea Determined by Extraction Method and by Chlorophyll Meter

(SPAD-502). Journal of Plant Nutrition 25 (10) : 2295-2301.

Yusmin, H.D. 1998. Budidaya Sorgum Cocok untuk Daerah Kering. Kedaulatan

Rakyat. Yogyakarta.