Upload
ivanalia-soli-deo
View
4
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kedokteran masyarakat
Citation preview
Program Puskesmas dalam Menangani Kasus Demam Berdarah Dengue
Ivanalia Soli Deo 102012359C2
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Koresponden: [email protected]
Pendahuluan
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
merupakan salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan kematiaan dalam
waktu singkat dan sering menimbulkan wabah. Penyakit ini pertamakali ditemukan di
Filipina pada tahun 1953 dan selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia
sendiri, penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dengan
jumlah penderita 58 orang dengan kematiaan 24 orang (41,3%). Sejak saat itu
penyakit DHF menyebar ke seluruh tanah air Indonesia dan mencapai puncaknya
pada tahun 1988 dengan insidens rate mencapai 13,45% per 100.000 penduduk.
Bukan hanya di Indonesia, DHF juga telah menunjukan peningkatan yang
dramatis di seluruh dunia dengan jumlah kasus sekitar 50-100 juta kasus per
tahunnya. Melihat hal ini, maka WHO mengembangkan strategi global untuk
pengendalian vektor DHF diantaranya dengan tindkan pengendalian nyamuk yang
selektif terpadu dengan pastisipasi masarakat dan kerja sama antarsektor, surveilans
penyakit aktif yang didasarkan pada sistem informasi kesehatan yang kuat, persiapan
kedaruratan, pelatihan dan penguatan kemampuan, serta riset pada pengendaian
vektor.
Pada PBL kali ini didapati informasi berdasarkan evaluasi program
pemberantasan DHF berikisar 50/1000 penduduk dengan tingkat CFR 4%, rata-rata
penderita datang terlambat sehingga terlambat juga dirujuk ke rumah sakit.
Berdasarkan pantau jentik, didapatkan dari Angka Bebas Jentik (ABJ) adalah 60%.
Kepala Puskesmas akan melakukan revitalisasi program pemberantasan penyakit
DHF dan ingin didapatkan insiden yang serendah-rendahnya dan CFR 0%.
1
Pembahasan
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
DHF adalah penyakit yang bisa menyerang hampir seluruh kalangan usia
dengan gejala utama berupa demam, nyeri otot dan sendi yang biasanya makin
memburuh setelah hari kedua. Kriteria klinis DHF menurut WHO 1986 adalah:
demam akut yang tetap tinggi selama 2-7 hari kemudian turun secara lisis, demam
disertai gejala tidak spesifik (anoreksia; malaise; nyeri pada punggung-tulang-
persendian-kepala), manifestasi perdarahan positif (uji turniket; petekie; purpura;
ekimosis; epitaksis; perdarahan gusi; hematemesis dan melena), pembesaran hati
tanpa nyeri tekan dan ikterus, dengan atau tanpa renjatan, dan kenaikan nilai
Ht/hemokonsentrasi sedikitnya 20%.1
Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Insiden DHF di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100,000 penduduk (1989
hingga 1995). Sejak saat itu penyakit DHF menyebar ke seluruh tanah air Indonesia
dan mencapai puncaknya pada tahun 1988 dengan insidens rate mencapai 13,45% per
100.000 penduduk. Siklus epidemi di daerah perkotaan di Indonesia terjadi dalam
jangka waktu 3-5 tahun dan menyebar ke daerah pedesaan2
Kejadian luar biasa (KLB) yang terbesar terjadi pada tahun 1998 dilaporkan
dari 16 propinsi dengan insidens rate (IR) nya 35,19 per 100.000 penduduk dengan
angka fatalitas kasus (CFR) 2,0%. Insidens adalah kasus baru yang timbul dalam
suatu periode tertentu. Insidens menggambarkan adanya perubahan status kesehatan
dari sehat ke sakit. Insidens rate adalah jumlah kasus baru dalam periode tertentu per
jumlah pendeuduk pada pertengahan periode yang sama dikalikan dengan 1000.3
Kemunculan kembali epidemi DHF di Indonesia dikarenakan pertumbuhan
populasi manusia yang meningkat, urbanisasi yang tidak terkendali, menajemen
sampah dan penyediaan air yang tidak adekuat, kurang efektifnya pengendalian
nyamuk, dan memburuknya infrastruktus dibidang kesehatan masyrakat. Penularan
infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti
dan A. albopictus).4
2
Tabel 1. Jumlah Kasus dan Kematian akibat DHF yang Dilaporkan di
Indonesia4
Tahun Kasus Kematian CFR (%)
1991 21.120 578 2,74
1992 17.620 509 2,89
1993 17.418 418 2,40
1994 18.783 471 2,51
1995 35.102 885 2,52
1996 44.650 1.192 2,67
1997 30.730 681 2,22
Timbulnya suatu penyakit dapat diterangkan melalui konsep segitiga
epidemiologik, yaitu adanya agen (agent), host dan lingkungan (environment). Agen
penyebab penyakit DHF berupa virus dengue dari Genus Flavivirus (Arbovirus Grup
B) salah satu Genus Familia Togaviradae. Dikenal ada empat serotipe virus dengue
yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Virus dengue ini memiliki masa inkubasi yang
tidak terlalu lama yaitu antara 3-7 hari, virus akan terdapat di dalam tubuh manusia.
Dalam masa tersebut penderita merupakan sumber penular penyakit DHF.2
Host adalah manusia yang peka terhadap infeksi virus dengue. Beberapa
faktor yang mempengaruhi manusia antara lain adalah umur, jenis kelamin, nutrisi,
populasi, dan mobilitas penduduk. Semua golongan umur dapat terserang virus
dengue, meskipun baru berumur beberapa hari setelah lahir. Saat pertama kali terjadi
epdemi dengue di Gorontalo kebanyakan anakanak berumur 1-5 tahun. Di Indonesia,
Filipina dan Malaysia pada awal tahun terjadi epidemi DHF penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue tersebut menyerang terutama pada anak-anak berumur
antara 5-9 tahun, dan selama tahun 1968-1973 kurang lebih 95% kasus DHF
menyerang anak-anak di bawah 15 tahun.2
Sejauh ini tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan DHF
dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin (gender). Di Philippines dilaporkan bahwa
rasio antar jenis kelamin adalah 1:1. Di Thailand tidak ditemukan perbedaan
kerentanan terhadap serangan DHF antara laki-laki dan perempuan, meskipun
ditemukan angka kematian yang lebih tinggi pada anak perempuan namun perbedaan
angka tersebut tidak signifikan. Singapura menyatakan bahwa insiden DHF pada anak
3
laki-laki lebih besar dari pada anak perempuan. Teori nutrisi mempengaruhi derajat
berat ringan penyakit dan ada hubungannya dengan teori imunologi, bahwa pada gizi
yang baik mempengaruhi peningkatan antibodi dan karena ada reaksi antigen dan
antibodi yang cukup baik, maka terjadi infeksi virus dengue yang berat.2
Kepadatan penduduk yang tinggi akan mempermudah terjadinya infeksi virus
dengue, karena daerah yang berpenduduk padat akan meningkatkan jumlah insiden
kasus DHF tersebut. Mobilitas penduduk memegang peranan penting pada transmisi
penularan infeksi virus dengue. Salah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran
epidemi dari Queensland ke New South Wales pada tahun 1942 adalah perpindahan
personil militer dan angkatan udara, karena jalur transportasi yang dilewati
merupakan jalul penyebaran virus dengue.2
Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit dengue adalah letak
geografis dan musim. Penyakit akibat infeksi virus dengue ditemukan tersebar luas di
berbagai negara terutama di negara tropik dan subtropik yang terletakantara 30º
Lintang Utara dan 40º Lintang Selatan seperti Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Caribbean dengan tingkat kejadian sekitar 50-100 juta kasus setiap tahunnya.2
Negara dengan 4 musim, epidemi DHF berlangsung pada musim panas,
meskipun ditemukan kasus DHF sporadis pada musim dingin. Di Asia Tenggara
epidemi DHF terjadi pada musim hujan, seperti di Indonesia, Thailand, Malaysia dan
Philippines epidemi DHF terjadi beberapa minggu setelah musim hujan. Periode
epidemi yang terutama berlangsung selama musim hujan dan erat kaitannya dengan
kelembaban pada musim hujan. Hal tersebut menyebabkan peningkatan aktivitas
vektor dalam menggigit karena didukung oleh lingkungan yang baik untuk masa
inkubasi.2
Vektor5
Vektor dari DHF adaah nyamuk Aedes aegypti ataupun spesies Aedes
(Stegomyia) lainnya. Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan
dengan ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar
yang hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian-bagian badannya terutama pada
kakinya dan dikenal dari bentuk morfologinya yang khas sebagai nyamuk yang
mempunyai gambaran lyre yang putih pada punggungnya. Telurnya mempunyai
dinding yang bergaris-garis dan membentuk bangunan menyerupai gambaran kain
kasa. Larva A. aegyptu mempunyai pelana terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral.
4
Nyamuk betina meletakkan telurnya di atas permukaan air dalam keadaan
menempel pada dinding tempat perindukannya. Seekor nyamuk betina dapat
meletakkan rata-rata sebanyak 100 butir telur tiap kali berterlur. Setelah kira-kira 2
hari telur menetas menjadi larva lalu mengadakan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali,
tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai
menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari.
Tempat perindukan utama A. aegypti adalah tempat-tempat berisi air bersih
yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak
500m dari rumah. Tempat perindukan tersebut berupa tempat perindukan buatan
manusia (seperti tempayan/gentong tempat penyimpanan air minum, bak mandi,
jambangan pot bunga, kaleng, botol, drum, ban mobil yang berisi air hujan), juga
berupa tempat perindukan alamiah (seperti kelopak daun tanaman, tempurung kelapa,
tonggak bamboo dan lubang pohon yang berisi air hujan).
Nyamuk dewasa betina mengisap darah manusia pada siang hari yang
dilakukan baik di dalam rumah ataupun di luar rumah. Pengisapan darah dilakukan
dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (8.00-
10.00) dan sebelum matahari terbenam (15.00-17.00). Tempat istirahat A. aegypti
berupa semak-semak atau tanaman rendah termasuk rerumputan yang terdapat di
halaman/kebun/perkarangan rumah, juga berupa benda-benda yang tergantung di
dalam rumah seperti pakaian, sarung, kopiah dan lain-lain.
Vektor potensial DHF selain yang telah disebut di atas adalah A.
albopictus.Spesies ini sepintas tampak seperti A. aegypti, yaitu mempunyai warna
dasar hitam dengan bintik-bintik utih pada bagian-bagian badannya, tetapi pada
mesonotumnya terdapat gambaran menyerupai garis tebal putih yang berjalan vertical.
Walaupun kadang-kadang larva A. albopictus ditemukan hidup bersama dalam satu
tempat perindukan dengan larva A. aegypti tetapi larva nyamuk ini lebih menyukai
tempat-tempat perindukan alamiah. Perilaku nyamuk dewasa A. albopictus boleh
dikatakan sama dengan perilaku nyamuk dewasa A. aegypti meskipun nyamuk ini
lebih suka beristirahat di luar rumah.
5
Mekanisme Penularan DHF5
Penularan penyakit DHF memiliki tiga faktor yang memegang peranan pada
penularan infeksi virus, yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Seseorang yang di
dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penular DHF. Virus
dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila
penderita DHF digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap
masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan
tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk, termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira-
kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk
menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan berada dalam
tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, nyamuk Aedes aegypti yang telah
menghisap virus dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi
karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit), sebelumnya menghisap darah akan
mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis), agar darah yang dihisap tidak
membeku. Bersamaan air liur tersebut virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke
orang lain
Penularan DHF dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk
penularnya. Tempat yang potensial untuk terjadi penularan DHF antara lain di
wilayah yang banyak kasus DHF (rawan/endemis), tempat-tempat umum yang
menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah
(seperti sekolah, RS/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, hotel,
pertokoan, pasar, restoran, tempat ibadah, dll), dan pemukiman baru di pinggir kota.
Puskesmas6
Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) adalah suatu kesatuan organisasi
kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat
yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara
menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk
kegiatan pokok. Puskesmas juga dapat didefinisikan sebagai unit pelaksana teknis
dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertangungjawab menyelenggarakan
pembangunanan kesehatan di suatu wilayah kerja. Dengan kata lain, puskesmas
mempunyai wewenang dan tanggunjawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat
dalam wilayah kerjanya. Pelayanan kesehatan puskesmas bertujuan untuk
6
menyehatkan masyarakat dengan meliputi lima perkara dasar yaitu promotif,
preventif, protektif, kuratif dan rehabilitatif.
Puskesmas berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di
wilayah kerjanya dengan mendirikan pondok bersalin, Posyandu, Posantren dan lain-
lain. Selain itu juga berfungsi sebagai pusat pemberdayaan masyarakat dengan
membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkat
kemampuan untuk hidup sehat. Terakhir, puskesmas berfungsi sebagai pusat
pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah
kerjanya dengan mewujudkan program-program kesehatan yang mana antara lain
adalah program pemberantasan DHF.
Proses dalam melaksanakan fungsi dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
merangsang masyarakat termasuk swasta melaksanakan kegiatan dalam rangka
menolong dirinya sendiri, memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang
bagaimana mengali dan menggunakan sumber daya yang ada secara efektif dan
efisien, memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan rujukan
medis maupun rujukan kesehatan masyarakat dengan penentuan bantuan tersebut
tidak menimbulkan ketergantungan, memberikan pelayanan kesehatan langsung
kepada masyarakat, dan bekerjasama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam
melaksanakan program puskesmas.
Program puskesmas atau upaya kesehatan dibagi menjadi dua kelompok yaitu
upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan. Upaya kesehatan wajib
meliputi: upaya promosi kesehatan, upaya kesehatan lingkungan, upaya kesehatan ibu
dan anak serta KB, upaya perbaikan gizi masyarakat, upaya pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular (antaranya adalah DHF), upaya pengobatan.
Kegiatan upaya kesehatan pengembangan dilaksanakan bila upaya kesehatan wajib
telah terlaksana secara optimal (target cakupan dan mutu terpenuhi).
Pemilihan kegiatan kesehatan pengembangan oleh Puskesmas dilakukan
bersama-sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan
masukan dari Badan penyantun Pelayanan (BPP). Upaya kesehatan pengembangan
Puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang
ditemukan di masyarakat serta yang disesuaikan dengan kemampuan Puskesmas.
Upaya kesehatan pengembangan dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok yang telah
ada, yakni: upaya kesehatan sekolah. upaya kesehatan olahraga, upaya perawatan
kesehatan masyarakat, upaya kesehatan kerja, upaya kesehatan gigi dan mulut, upaya
7
kesehatan jiwa, upaya kesehatan mata, upaya kesehatan usia lanjut, upaya pembinaan
pengobatan tradisional, upaya kesehatan Matra (tentera, kelautan, jemaan haji, dll),
serta upaya pelayanan kesehatan daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK).
Pelayanan Kesehatan Puskesmas terkait kasus DHF
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, DHF merupakan kasus yang sangat
sering terjadi di Indonesia dengan angka CFR yang masih cukup tinggi. Selain itu,
pasien yang menderita DHF datang dalam kondisi yang sudah buruk sebab sifat
manifestasi klinis DHF yang lebih sering bersifat asimptomatik atau tidak jelas
gejalanya. Pasien tanpa gejala atau masyarakat yang sehat sering mengabaikan
promosi kesehatan mengenai DHF atau malah tidak pernah tahu mengenaninya
sehingga menjadikan angka prevalensi dan CFR tetap tinggi.6
Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan bisa menyebabkan kematian
terutama pada anak, dan sering menimbulkan angka kejadian luar biasa (KLB) atau
wabah. Kerjadian luar biasa adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan
atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermaksa secara
epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu. Kriteria
KLB antara lain: timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/tidak
dikenal di suatu daerah, adanya peningkatan kejadian kesakitan/kematian yang dua
kali atau lebih dibandingkan sebelumnya, dan adanya meningkatan kesakitan terus
menerus selama 3 kurun waktu (jam, hari, minggu). Sementara wabah adalah suatu
peningkatan kejadian kesakitan/kematian yang telah meluas secara cepat baik jumlah
maupun luas daerah terjangkit.6
Berdasarkan fakta tersebut, pihak puskesmas akan melakukan revitalisasi bisa
dengan cara 5 dasar pelayanan puskesmas (promotif, preventif, protektif, kuratif dan
rehabilitatif). Berikut adalah penjabaran dari ke-5 dasar pelayanan puskesmas yang
terkait dengan DHF.
1. Promosi6
Dalam upaya promosi, puskesmas memastikan setiap keluarga di wilayah
kerjanya menerima promosi kesehatan mengenai pemberantasan DHF. Kegiatan yang
biasanya dilakukan antara lain adalah penyuluhan mengennai DHF dan kampanye
3M. Penyuluhan ditujuan untuk memberikan informasi mengenai apa itu DHF dan
apasaja gejala yang dirasakan jika seseorang menderita penyakit ini. Dengan begitu
diharapkan masyarakat dapat segera memeriksakan diri jika merasa memiliki gejala
8
terkait dan juga mengetahui hal-hal yang dapat dilakukan untuk terhindar dari
penyakit tersebut.
Gerakan 3M adalah kegiatan yang dilakukan secara serentak oleh seluruh
masyarakat untuk memutuskan rantai kehidupan (daur hidup) nyamuk Aedes Aegypti,
penular penyakit DHF. Daur hidup nyamuk Aedes Aegypti terdiri dari: telur, jentik
dan kepompong. Telur, jentik dan kepompong hidup dalam air yang tidak beralaskan
tanah dan akan mati bila airnya dibuang ke dalam got atau tempat pembuangan air
lainnya. Agar telur, jentik dan larva tersebut tidak menjadi nyamuk, maka perlu
dilakukan 3M secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali. 3M terdiri dari
menguras, menutup, dan mengubur. Menguras tempat-tempat penampungan air
seperti tempayan, drum, bak mandi / bak wc dan lain-lain atau menaburkan bubuk
abate. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, agar nyamuk tidak dapat masuk
dan berkembang biak di dalamnya. Mengubur / menyingkirkan barang-barang bekas
yang dapat menampung air hujan seperti kaleng-kaleng bekas, plastik bekas dan lain-
lain
2. Preventif6
Langkah ini dilakukan atas 5 dasar preventif utama yaitu health promotion,
spesific protection, early diagnosis and prompt treatment, disability limitation dan
rehabilitation. Heatlh promotion sama seperti yang telah diterangkan di atas. Spesific
protection atau imunisasi supaya kebal terhadap DHF masih belum ada. Early
diagnosis and prompt treatment bisa dibantu dengan meningkatkan kesadaran
masyarakat melalui upaya penyuluhan. Disability limitation lebih cenderung
mengobati pasien DHF supaya tidak menjadi komplikasi. Rehabilitation untuk kasus
DHF berupa rujukan pasien puskesmas ke rumah sakit berdekatan.
Langkah prenvitif ini juga bisa berupa PSN (pemberantasan sarang nyamuk)
sebelum tiba musim hujan dengan melibatkan antisipasi masyarakat. Di sini juga bisa
diterapkan promosi 3M dengan melakukan gotong-royong membersihkan kawasan
perumahan dan pengelolaan sampah padat. Selain itu pengendalian biologi dapat
dilakukan, antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan
cupang) dan bakteri (Bt.H-14).
Pengasapan (dengan menggunakan malathion dan Vention), berguna untuk
mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu. Memberikan bubuk
abate (Temetphos) pada tempat-tempat penampungan air seperti pada gentong air, vas
9
bunga, kolam, dsb, juga menjadi salah satu upaya preventif. Cara yang paling efektif
dalam mencegah penyakit DHF adalanh dngan Mengkombinasikan cara-cara diatas,
yang disebut dengan ‘3M Plus’, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu, juga
melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida,
menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan
insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik
berkala, dan lain-lain sesuai dengan kondisi setempat.
3. Protektif6
Upaya potektif yang bisa dilakukan antaralain adalah dengan mengenakan lotion
antinyamuk atau obat nyamuk, memasang kelambu, dan banyak hal lainnya.
4. Kuratif 1
Kuratif adalah dengan mengobati pasien DHF. Penatalksaan yang tepat untuk
pasien DHF adalah dengan melakukan tirah baring dan pemberian makanan lunak.
Medikamentosa yang diberikan bersifat simtomatis. Untuk hiperpireksia dapat
diberikan kompres antipiretik golongan asetaminofen, eukinin, atau dipiron dan
jangan diberikan asetosal karena bahaya perdarahan.
5. Rehabilitatif6
Tindakan rehabilitatif adalah dengan merujuk pasien ke rumah sakit.
Manajemen Program DHF di Puskesmas6,7
1. Masukan (Input)
Masukan adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam system dan
terdiri dari untur tenaga (man), dana (money), sarana (material), dan metoda (method)
yang merupakan variable dalam melaksanakan evaluasi program pemberantasan
DHF. Tenaga terdiri dari dokter, koordinator P2M dan PKM, petugas laboratorium,
petugas administrasi, kader aktif, dan jumantik (Juru Pemantau jentik). Sementara itu
dana untuk pelaksanaan program dapat diperoleh dari APBD (anggran pendapatan
dan belanja daerah) ataupun swadaya masyrakat.
Sarana meliputi sarana medis dan non medis. Sarana medis diantaranya poliklinik
set (stetoskop, timbangan BB, termometer, tensimeter, senter), alat pemeriksaan
hematokrit, alat penyuluhan kesehatan masyarakat, formulir lapora Standart
10
Operasional dan KDRS (kasus DHF di Rumah Sakit), obat-obatan simptomats untuk
DHF, buku petunjuk program DHF, dan larvasida. Untuk non medis, sarana yang
dimaksud antara lain adalah gedung puksesmas, ruang tunggu, ruang administrasi,
ruang periksa, ruang tindakan, laboratorium, perlengkapan administrasi, dan formulir
laporan.
Terdapat metode untuk penemuan penderita tersangka DHF yaitu dengan melihat
dari jumlah suspec DHF yang datang ke puskesmas. Bila terdapat tanda-tanda
penyakit DHF, seperti mendadak panas tinggi 2-7 hari, tampak lemah dan lesu, suhu
badan antara 38OC sampai 40OC atau lebih, tampak bintik-bintik merah pada kulit dan
jika kulit direnggangkan bintik merah itu tidak hilang, kadang-kadang ada perdarahan
hidung, mungkin terjadi muntah darah atau BAB darah, tes Torniquet positif, maka
perlu dipikirkan kemungkinan DHF.
Metode untuk penyuluhan kesehatan dan penyuluhan masyarakat meliputi
penyuluhan perorangan (terhadap individu yang berobat melalui konseling) atau
peyuluhan kelompok dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, ataupun poster.
Untuk surveilan kasus DHF dapat digunakan metode Angka Bebas Jentik (ABJ) dan
pengamatan jentik berkala. Angka Bebas Jentik adalah presntasi rumah yang bebas
jentik dibandingkan dengan jumlah rumah yang diperiksa.
Sementara itu, metode yang dipakai untuk membasi vektor antara lain dengan
abatisasi (pemberian bubuk abate pada tempat penampungan air yang tidak bisa
dikuras), kegiatan 3M (perwujudannya dapat melalui Jumat bersih selama 30 menit
dan diawasi oleh kader), serta fogging focus.
2. Proses (Process)
Proses adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam system dan
terdiri dari unsur perencanaan (planning), organisasi (organization), pelaksanaan
(activities), dan pengawasan (controlling) yang merupakan variable dalam
melaksanakan evaluasi program DHF. Perencanaan diawali dengan adanya data
tertulis mengenai peemuan penderita tersangka DHF (dilihat dari jumlah pasien
suspect DHF yang datang ke puskesmas), rujukan penderita DHF (bila ada gejala-
gejala seperti yang telah dijelaskan sebelumnya), rencana penyuluhan kesehatan
(apakah akan diberikan secara individual atau kelompok), perencanaan terkait
denngan hasil suveilans ABJ.
11
Kemudian dibentuklah organisasi atau pengorganisasian secara tertulis untuk
diberi tugas yang jelas dalam melaksanakan tugasnya. Nantinya, organisasi inilah
yang akan melaksanakan program-program yang telah dirancang terkait dengan data-
data seputar kasus DHF. Pencatatat dan pelporan dilakukan setelahnya untuk menilai
apakah terjadi wabah atau tidak. Pengawasan dan pengendalian dapat dilakukan
dalam kurun waktu bulanan, triwulan, maupun tahunan.
3. Keluaran (Output)
Keluaran adalah kumpulan bagian atau elemen yang dihasilkan dari
berlangsungnya proses dalam system dari kegiatan pemberantasan DHF. Contoh
ditemukan penderita tersangka DHF (dilihat dari jumlah pasien suspect DHF yang
datang ke puskesmas) sebanyak 128 orang/tahun, dan telah dilakukan rujukan 100%
pada pasien yang memiliki gejala-gejala seperti telah disebutkan diatas. Untuk
penyuluhan diberikan melalui jalur-jalur informasi yang ada seperti PKK, kelompok
agama, guru, murid sekolah, pengelola tempat umum/instansi, kepada ibu-ibu
pengunjung posyandu, kepada penderita/keluarganya di puskesmas, kunjungan rumah
oleh kader/ petugas puskesmas, maupun melalui TV, radio, dan media masa lainnya.
Surveilans kasus DHF melalui hasil ABJ dilakukan dengan cara visual. Cara
visual adalah melihat atau memeriksa semua tempat atau bejana yang dapat menjadi
tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk
mengetahui ada tidaknya jentik. Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada
tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. Ukuran-
ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti adalah:
- House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau
pupa. HI = Jumlah Rumah Yang Terdapat Jentik x 100%
- Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau
pupa. CI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100%
- Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang
diperiksa. BI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100 rumah
Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu
jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang diperiksa (lihat
rumus dibawah)
12
ABJ dapat menjadi salah satu indicator keberhasilan program pemberantasan
vector penular DHF. Angka Bebas Jentik sebagai tolak ukur upaya pemberantasan
vector melalui gerakan PSN-3M menunjukan tingkat partisipasi masyarakat dalam
mencegah DHF. Rata-rata ABJ yang dibawah 95% menjelaskan bahwa partisipasi
masyarakat dalam mencegah DHF di lingkunagnnya masing-masing belum optimal.
Contoh pada kasus didapti angka ABJ hanya 60% yang menunujukan kurangnya
kesadaran dan kesiapan masyarakat terkait kasus DHF.
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil kegiatan yang
dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan endemis pada 100
rumah/bangunan yang dipilih secara acak (random sampling). Angka Bebas Jentik
dan House Indeks lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk disuatu
wilayah. Perlindungan perseorangan, yaitu memberikan anjuran untuk mencegah
gigitan nyamuk Aedes aegypti yaitu dengan meniadakan sarang nyamuknya di dalam
rumah. Yaitu dengan melakukan penyemprotan dengan obat anti serangga yang dapat
dibeli di took-toko seperti baygon, dll.
Abatisasi adalah menaburkan bubuk abate ke dalam penampung air untuk
membunuh larva dan nyamuk. Cara melakukan abatisasi: untuk 10 liter air cukup
dengan 1 gram bubuk abate. Bila tidak ada alat untuk menakar gunakan sendok
makan. Satu sendo makan peres ( diratakan atasnya) berisi 10 gram abate, selanjutnya
tinggal membagi atau menambah sesuai jumlah air.dalam takaran yang dianjurkan
seperti di atas, aman bagi manusia dan tidak akan menimbulkan keracunan.
Penaburan abate perlu di ulang selama 3 bulan. Fogging dengan malathion atau
fonitrothion. Melakukan pengasapan saja tidak cukup, karena penyemprotan hanya
mematikan nyamuk dewasa.
Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan melaksanakan penyuluhan 3M:
menguras tempat-tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali,
menutup rapat-rapat tempat penampungan air, menguburkan, mengumpulkan,
memanfaatkan atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan seperti kaleng bekas, plastic bekas dan lain-lain.
Selain itu ditambah dengan cara yang dikenal dengan istilah 3M Plus, seperti:
ganti air vas bunga, minuman burung dan tempat-tempat lain seminggu sekali,
perbaiki saluran dan talang air yang tidak lancer, tutup lubang-lubang pada potongan
bamboo, pohon dan lain-lain, misalnya dengan tanah, bersihkan/keringkan tempat-
tempat yang dapat menampung air seperti pelepah pisang atau tanaman lainnya
13
termasuk tempat-tempat lain yang dapat menampung air hujan di pekarangan, kebun,
pemakaman, rumah kosong, dan lain-lain. pemeliharaan ikan pemakan jentik nyamuk,
pasang kawat kasa di rumah, pencahayaan dan ventilasi memadai, jangan biarkan
menggantung pakian di rumah, tidur menggunakan kelambu, gunakan obat nyamuk
untuk mencegah gigtan nyamuk.
Sesuai dengan ketentuan/sistim pelaporan yang berlaku, pelaporan penderita
demam berdarah dengue menggunakan formulir: W 1/ laporan KLB (wabah), W 2/
laporan mingguan wabah, SP2TP (LB 1 / laporan bulanan data kesakitan, LB 2
/laporan bulanan data kematian). Sedangkan untuk pelaporan kegiatan menggunakan
formulir LB3 / Laporan bulanan kegiatan Puskesmas (SP2TP).
4. Dampak (Impact)
Dampak adalah akibat yang ditimbulkan oleh keluaran dalam pemberantasan
DHF. Akibat yang ditimbulkan oleh keluaran dalam pemberantasan DHF antara lain
berisifat langsung (apakah terjadi penurunan angka morbiditas dan mortalitas kasus
DHF) ataupun tidak langsung (apakah terjadi peningkatan derajat kesehatan
masyarakat).
5. Umpan Balik (Feed Back)
Kumpulan bagian atau elemen yang merupakan keluaran dari system dan
sekaligus sebagai masukan dalam program pemberantasan DHF
Evaluasi8
Evaluasi adalah penilaian operasional dilaksanakan dengan membandingkan
pencapaian target masing-masing kegiatan dengan yang direncanakan berdasarkan
pelaporan untuk kegiatan pemberantasan sebelum musim penularan. Peninjauan di
lapangan dilakukan untuk mengetahui kebenaran pelaksanaan kegiatan program.
Penilaian dampak dilakukan berdasarkan indikator HI dan tingkat pengetahuan serta
sikap masyarakat yang diperoleh melalui survei larva dan survei pengetahuan dan
sikap masyarakat yang dilaksanakan setiap tahun di wilayah yang endemis. Selain itu
dinilai Incidence Rate (IR) dan Case Fatality Rate (CFR) selama setahun yang
diperoleh dari pencatatan & pelaporan penderita yang dirawat di Puskesmas atau
rumah sakit.
14
CFR ini digunakan untuk mengukur keganasan atau fatalitas suatu penyakit
tertentu. Angka fatalitas kasus DBD (CFR) dapat dihitung dengan
Incident rate (IR) adalah perbandingan jumlah kasus DBD terhadap jumlah
penduduk per 10.000 penduduk. IR dihitung dengan rumus;
Indikator keberhasilan terdiri dari variable masukan, proses, keluaran, umpan
balik, lingkungan dan dampak. Digunakan sebagai pembanding atau target yang harus
dicapai dalam program pemberantasan DHF. Pencapaian kecamatan sehat 2010, yang
diukur dengan: lingkungan sehat, perilaku sehat, pelayanan kesehatan, dan status
kesehatan. Pencapaian program puskesmas, yang diukur: penggerak pembangunan
berwawasan kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan keluarga, serta pelayanan
kesehatan tingkat pertama.
Kesimpulan
Kasus DHF yang masih tinggi di Indonesia didukung oleh beberapa faktor,
seperti faktor angent, host, dan lingkungan. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan
masyarakat dalam upaya pemberantasan penyakit DHF juga menjadi salah satu faktor
penyebab tingginya angka CFR. Untuk itu, pemerintah melalui Puskesmas harus lebih
bekerja keras untuk menciptakan kondisi daerah DHF dengan cara terus
melaksanakan program-program Puskesmas terkait dengan DHF. Meningkatakan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat terkait DHF dengan berbagai cara seperti
penyuluhan dan poster-poster juga perlu dilakukan secara rutin. Indikator
keberhasilan dari program Puskesmas terkait DHF adalah tercapainya angka CFR 0%,
yaitu dengan memberantas DHF sampai ke tingkat angent dan vektornya.
Daftar Pustaka
1. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, dkk. Kapita selekta kedokteran. Ed 4. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014.
2. Widoyono. Demam berdarah dengue: penyakit tropis, epidemiologi, penularan,
pencegahan dan pemberantasan. Jakarta: Erlangga;2008.h.59.
15
3. Direktur Jenderal PPM PL Departemen Kesehatan. Kebijaksanaan program P2-
DBD dan situasi terkini DBD Indonesia. Departemen Kesehatan RI. 2004.
[Online] Diunduh dari http://www.bacaanonline.com/kebijaksanaan-program-p2-
dbd-dan-situasi-terkini-dbd-indonesia#. Diunduh pada 3 Juli 2015.
4. Word Health Organization. Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam
berdarah dengue: panduan lengkap. Jakarta: EGC; 2005.
5. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III.
Edisi 4. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
6. Trihono A. Pedoman management puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2002.
7. Tim Revisi Buku Pedoman Kerja Puskesmas. Kesehatan lingkungan pemukiman:
pedoman kerja puskesmas. Jilid 3. Jakarta: Departeman Kesehatan RI.
8. Effendi F, Makhfudli. Keperawatan kesehatan komunitas: teori dan praktik dalam
keperawatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika;2009.
16