54
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas kecamatan Koja tahun 2013 ditemukan bahwa ISPA di Puskesmas Kecamatan Koja menempati urutan nomor 1 dari 10 penyakit terbanyak di daerah tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pemukiman penduduk sangat berdekatan dengan pabrik kosmetik, makanan, textile, serta banyak yang letaknya berhadapan dengan jalan raya sehingga tingginya polusi udara daerah tersebut yang merupakan salah satu penyebab gangguan saluran pernapasan. Penyakit ISPA adalah merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tersering pada anak-anak di negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan laporan WHO tahun 2003 didapatkan bahwa dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun terdapat 4 juta (26,67%) kematian yang diakibatkan oleh penyakit ISPA setiap tahunnya. Sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi (khusus bayi muda). 3 ISPA juga merupakan satu dari 3 penyakit penyebab kematian bayi selain komplikasi perinatal, dan diare (Depkes, 1995). ISPA hingga saat ini masih mencatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak dinegara berkembang. Episode penyakit batuk pilek di Indonesia diperkirakan terjadi tiga sampai enam kali pertahun. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana pelayanan kesehatan yaitu sebanyak 40-60 % kunjungan

Proposal Edit

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas kecamatan Koja tahun 2013 ditemukan

bahwa ISPA di Puskesmas Kecamatan Koja menempati urutan nomor 1 dari 10 penyakit

terbanyak di daerah tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pemukiman penduduk

sangat berdekatan dengan pabrik kosmetik, makanan, textile, serta banyak yang letaknya

berhadapan dengan jalan raya sehingga tingginya polusi udara daerah tersebut yang merupakan

salah satu penyebab gangguan saluran pernapasan.

Penyakit ISPA adalah merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tersering pada

anak-anak di negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan laporan WHO tahun 2003

didapatkan bahwa dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun terdapat 4

juta (26,67%) kematian yang diakibatkan oleh penyakit ISPA setiap tahunnya. Sebanyak dua

pertiga kematian tersebut adalah bayi (khusus bayi muda). 3

ISPA juga merupakan satu dari 3 penyakit penyebab kematian bayi selain komplikasi

perinatal, dan diare (Depkes, 1995). ISPA hingga saat ini masih mencatat sebagai masalah

kesehatan utama pada anak dinegara berkembang. Episode penyakit batuk pilek di Indonesia

diperkirakan terjadi tiga sampai enam kali pertahun. ISPA merupakan salah satu penyebab utama

kunjungan pasien di sarana pelayanan kesehatan yaitu sebanyak 40-60 % kunjungan berobat di

Puskesmas dan 15-30 % kunjungan berobat dirawat jalan dan rawat inap di rumah sakit (Depkes

RI, 2009).

Data yang diperoleh dari profil kesehatan DKI Jakarta tahun 2007 ditemukan kejadian

ISPA/Pneumonia di Jakarta timur dengan jumlah penderita 3004, 488 diantaranya adalah balita

namun yang ditangani hanya 419 balita (86%). (Profil Kesehatan DKI Jakarta, 2007).

Lebih dari dua dasawarsa ini penyakit ISPA selalu menduduki peringkat pertama dari 10

penyakit terbanyak di Indonesia. Salah satu penyebab terjadinya ISPA adalah rendahnya kualitas

udara baik didalam maupun diluar rumah baik secara biologis fisik maupun kimia (Kementrian

Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007).

ISPA merupakan salah satu penyebab dari tiga penyakit yang sering melanda di Jakarta,

cuaca yang tidak menentu seperti kadang hujan, panas yang menyebabkan suhu lingkungan tidak

stabil (Dinkes DKI, 2012). Data yang diperoleh dari Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta utara

ISPA menjadi urutan pertama dalam 10 penyakit tertinggi yang kebanyakan diderita oleh balita

yang berusia 1-4 tahun yaitu sebanyak 7.797 (33,7%) anak pada tahun 2011. (Laporan tahunan

Puskesmas kecamatan Koja,2011)

Dinegara maju diperkirakan angka kematian pertahun karena pencemaran udara dalam ruang

rumah sebesar 67% dipedesaan dan 23% diperkotaan, sedangkan dinegara berkembang angka

kematian terkait pencemaran udara dalam ruang rumah daerah perkotaan sebesar 9 % dan

didaerah pedesaan sebesar 1 % dari total kematian (WHO, 2000).

Ada banyak factor yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA baik secara langsung

maupun tidak langsung. Sutrisna (1993) faktor resiko yang menyebabkan ISPA pada balita

adalah sosio-ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan orang tua), status gizi, tingkat

pengetahuan ibu dan faktor lingkungan (kualitas udara). Depkes (2002) menyebutkan bahwa

faktor penyebab ISPA pada balita adalah Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), status gizi buruk,

imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik (Daulay, 1992).

Anak berumur dibawah 2 tahun mempunyai risiko terserang Infeksi Saluran Pernapasan Akut

(ISPA) lebih besar dari pada anak diatas 2 tahun sampai 5 tahun, keadaan ini karena pada anak di

bawah umur 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya relatif sempit

(Rizandi, 2006).

Berdasarkan penelitian tahun 2010 yang dilakukan oleh Nuryanto diperoleh hasil bahwa

Proporsi balita yang menderita ISPA sebanyak 56%, Faktor yang berhubungan dengan penyakit

ISPA pada balita adalah status gizi balita, status imunisasi, kepadatan tempat tinggal, keadaan

ventilasi rumah, status merokok orang tua, tingkat pendidikan orang tua, tingkat pengetahuan

ibu, dan sosial ekonomi keluarga kemudian pada peneliti lain tahun 2007 oleh bagian peneliti

USU didapatkan hasil Proporsi balita yang menderita ISPA terbesar pada balita yang berumur 2-

59bulan yaitu sebesar 80%, berjenis kelamin perempuan sebesar 85,3%, status gizi tidak baik

sebesar 89,1%, berat badan lahir rendah (<2.500 gram) sebesar 92,9%, balita yang tidak ASI

eksklusif sebesar 84,2%, dan balita yang imunisasinya tidak lengkap sebesar 90,3%.

Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas

cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat

minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila segera tidak diobati. Usia Balita adalah

kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka

morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di Negara berkembang (Imran,

1990).

Dari uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Puskesmas tersebut,

dikarenakan keadaan lingkungan disekitar Puskesmas tersebut yang masyarakatnya sangat rentan

mengalami penyakit pernapasan, karena daerah tersebut berdekatan dengan sumber polutan,

sehingga peneliti memilih judul mengenai “Faktor-faktor yang berhubungan dengan Riwayat

Infeksi saluran pernapasan akut(ISPA) pada balita (12-59 bulan) di Puskesmas Kecamatan Koja

Jakarta Utara Tahun 2012”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut :

Apakah ada hubungan antara factor lingkungan, karakteristik individu balita dan

karakterisktik individu ibu dengan riwayat ISPA pada (12-59 bulan) di Puskesmas Kecamatan

Koja Tahun 2013 khususnya yang berkunjung ke poli MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit).

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan riwayat Infeksi Saluran Pernapasan

Akut (ISPA) pada Balita (12-59 bulan) di Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta Utara Tahun

2013. khususnya yang berkunjung ke poli MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit).

2. Tujuan Khusus

i. Diketahuinya gambaran variabel ISPA, Karakteristik individu (jenis kelamin, umur,

status imunisasi, status suplementasi vitamin A, status ASI Ekslusif dan berat badan

lahir) dan faktor lingkungan (proses pengolahan sampah rumah tangga, ventilasi udara,

kebiasaan keluarga merokok dalam rumah dan penggunaan obat nyamuk) di Puskesmas

Kecamatan Koja Jakarta Utara Tahun 2013.

ii. Diketahuinya hubungan antara karakteristik individu (jenis kelamin, umur, status

imunisasi, stastus suplementasi vitamin A, dan berat badan lahir), karakteristik

ibu(pendidikan, pengetahuan, dan pekerjaan ) dan faktor lingkungan (proses pengolahan

sampah rumah tangga, ventilasi udara, kebiasaan keluarga merokok dalam rumah dan

penggunaan obat nyamuk), dengan Riwayat ISPA pada Balita (12-59) bulan ) di

Puskesmas Kecamatan Koja Tahun 2013.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :

1. Bagi Masyarakat

Dari hasil penelitian ini, masyarakat dapat mengetahui faktor mana yang paling

dominan risikonya terhadap gejala ISPA, juga faktor-faktor lain yang berhubungan

dengannya. Dengan demikian, penulis berharap kesadaran masyarakat akan muncul

sehingga mau dan mampu secara aktif ikut serta dalam upaya pencegahan ISPA, seperti

kesadaran kebersihan akan lingkungan dengan cara melakukan gotong royong secara

rutin, bagi perokok untuk tidak merokok ditempat umum, dan bagi ibu-ibu yang memiliki

balita sebaiknya rutin mengikuti posyandu dan pemberian suplementasi kapsul vitamin A

dan Imunisasi sebagai upaya pencegahan, agar anaknya dapat terpantau oleh tenaga

kesehatan secara efektif.

2. Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut

dalam menemukan faktor-faktor lain yang berhibungan dengan kejadian ISPA pada balita

terutama untuk melakukan penelitian dengan desain penelitian yang lainnya, dengan

demikian diharapkan dapat segera ditemukan faktor-faktor yang paling dominan dalam

mengakibatkan timbulnya ISPA pada balita di Puskesmas kecamatan Koja

3. Bagi Ahli kesehatan Masyarakat

Mendapatkan masukan dan informasi tentang pengembangan ilmu pengetahuan

secara umum serta pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita.

4. Puskesmas Kecamatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para tenaga

kesehatan khususnya tenaga kesehatan pada Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan di bidang kesehatan khususnya penanganan

pada pasien dengan ISPA ringan agar tidak berlanjut kepada ISPA yang lebih berat.

5. Dinas Kesehatan Jakarta

Pemerintah daerah dapat menjadikan penelitian ini sebagai salah satu sumber kajian

dalam menyusun program penanggulangan ISPA pada balita dan program-program lain

yang mendukung keberhasilan program tersebut.

Pemerintah juga dapat menjadikan hasil penelitian ini untuk melihat potensi social

dengan bentuk kerjasama yang baik merupakan salah satu trategi untuk menjadikan

masyarakat sehat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Definisi Infeksi Saluran Pernapasan Akut ( ISPA )

Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini diadaptasi

dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA

meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai

berikut:

i. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan

berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

ii. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ

adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara

anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah

(termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan

ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract).

iii. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari

diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang

dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

2. Etiologi Infeksi Saluran Pernapasan Akut ( ISPA )

Etiologi ISPA ada lebih dari 200 jenis bakteri, virus, riketsia. Bakteri

penyebabnya antara lain dari genus Streptococus, Stafilococus, Pneumococus,

Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebabnya antara lain glongan

Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-

lain. Virus golongan ini merupakan virus yang yang menyebar di udara bebas yang akan

masuk dan menempel pada saluran pernapasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung

sehingga menyebabkan ISPA (Depkes RI 2002).

Perjalanan alamiah penyakit ISPA dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama

yaitu tahap prepatogenesis dimana pada tahap ini kondisi dan agen sebagai penyebab

ISPA sudah ada namun belum menunjukan reaksi apapun, kemudian tahap inkubasi

dimana agen merusak epitel dan mukosa tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi

dan daya tahan tubuh rendah. Tahap dini penyakit ini dimana munculnya gejala seperti

demam dan batuk.

Tahap terakhir adalah tahap lanjut penyakit yang dibagi menjadi tahap sembuh

sempurna dengan atelektasis (pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat

penyumbatan saluran udara akibat pernapasan yang sangat dangkal) menjadi kronis dan

meninggal akibat pneumonia (imran, 1990). Secara umum perjalanan penyakit ISPA

yaitu agen penyakit bakteri dan virus di udara bebas akan masuk dan menempel pada

saluran pernapasan bagian atas (tenggorokan dan hidung) kemudian terjadi peradangan

yang disertai dengan pembengkakan pada jaringan tertentu sehingga berwarna

kemerahan.

Infeksi dapat menyebar ke paru-paru dan menyebabkan sesak atau pernapasan

terhambat, oksigen yang dihirup berkurang, anak menjadi kejang, bahkan bila tindakan

tidak segera ditolong bisa menyebabkan kematian (Depkes RI 2002).

3. Klasifikasi ISPA

Kebanyakan anak yang mengalami batuk atau kesulitan bernapas dapat dinilai

adanya pneumonia. Tanda-tanda yang digunakan untuk menentukan adanya pneumonia

dan untuk menentukan berat atau ringannya pneumonia. Akan tetapi, anak yang

mempunyai tanda klinis yang pasti adanya penyakit sangat berat (yaitu stridor saat

tenang, kurang gizi berat, rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit untuk bangun, atau

kejang) memerlukan penanganan khusus (WHO 2002).

Menurut Depkes RI (2004) Klasifikasi ISPA yaitu :

i. ISPA berat di tandai oleh adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada

waktu inspirasi.

ii. ISPA sedang bila frekuensi pernapasan menjadi cepat.

Umur kurang dari 1 tahun : 50 kali permenit atau lebih

Umur 1 sampai 4 tahun : 40 kali permenit atau lebih.

iii. ISPA ringan di tandai dengan batuk pilek tanpa napas cepat, tanpa tarikan dinding

dada bagian bawah ke dalam. Khusus untuk bayi di bawah 2 bulan hanya dikenal

ISPA berat dan ISPA ringan (tidak dikenal klasifikasi ISPA sedang). Batasan berat

untuk bayi kurang dari 2 bulan ialah bila frekuensai napas cepat (60 kali permenit

atau lebih) atau adanya tarikan dinding dada yang kuat.

4. Cara Penularan ISPA

Penularan bibit penyakit ISPA dapat terjadi dari penderita ISPA dan carrier yang

disebut juga reservoir bibit penyakit yang ditularkan kepada orang lain melalui kontak

langsung atau melalui benda-benda yang telah tercemar bibit penyakit termasuk udara.

Penularan melalui udara di maksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa

kontak dengan penderita maupun dengan benda yang terkontaminasi dan tidak jarang

penyakit yang sebagian ilmu besar penularannya adalah karena menghisap udara yang

mengandung penyebab atau mikroorganisme tempat kuman berada (reservoir) (Depkes

RI, 2000). ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, cipratan bersin, udara

pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran

pernapasannya. (Depkes RI 2000).

5. Masalah ISPA di Indonesia

Di Indonesia, kasus ISPA menempati urutan pertama dalam jumlah pasien rawat

inap dan rawat jalan terbanyak. Hal ini menunjukkan angka kesakitan akibat ISPA masih

tinggi. Angka kematian balita akibat pneumonia juga masih tinggi, yaitu lebih kurang 5

per 1000 balita. Pemerintah telah merencanakan untuk menurunkan hingga 3 per 1000

balita pada 2010. Akan tetapi, keberhasilan bergantung pada banyaknya faktor risiko,

terutama yang berhubungan dengan strategi baku penatalaksanaan kasus, imunisasi, dan

modifikasi factor resiko.

Secara nasional angka cakupan penemuan penderita pneumonia pada balita

hingga saat ini masih belum mencapai target seperti tampak pada grafik berikut ini (ditjen

PPPL, kemenkes RI 2011) :

Rata-rata cakupan penemuan ISPA (Pneumonia) pada balita tahun 2010 sebesar

23% yang berarti masih jauh dari target tahun 2010 yaitu sebesar 60% (Kemenkes RI,

2011)

6. Penanggulangan dan Pencegahan ISPA

Menurut Depkes RI (2002) pencegahan penyakit ISPA ialah suatu upaya kita untuk mencegah

terjadinya suatu penyakit ISPA diantaranya adalah :

a. Pencegahan ISPA

1. Pencegahan terhadap dropflet infection

- Batuk memakai sapu tangan atau tissue

- Hawa kamar harus cukup segar

- Bila perlu perawatan memakai masker

- Berludah jangan sembarang

2. Pencegahan terhadap infectie melalui debu

- Usahakan lingkungan rumah jangan terlalu banyak debu

- Bila akan memberihkan debu dilantai, hendaknya disiram dulu (dipercik

dengan air) supaya debu tidak melayang

- Alat – alat tenu harus tetap bersih

- Alat – alat tidur, kasur, bantal – bantal harus sering dijemur

b. Penanggulangan ISPA:

Penanggulangan ISPA yaitu:

- Pemberian anti piretik seperti paracetamol, untuk menurunkan suhu tubuh

- Pemberian anti biotik untuk membunuh kuman seperti: benzil penisilin,

kotrimokasol, klorampenicol, gentamisin, streptomisin dan klikasilin.

- Pemeberian obat batuk atau pelega tenggorokan

- Penanganan cairan dengan seksama

- Pemeberian ASI adalah yang terbaik

- Membersihkan hidung dengan menggunakan sapu tangan/tissue yang bersih

(depkes RI. 2010)

7. Derajat Kesehatan

Derajat kesehatan suatu masyarakat dipengaruhi oleh beberapa komponen,

komponen tersebut harus baik agar derajat kesehatan masyarakat juga baik. H.L Blum

membagi empat komponen herediter, pelayan kesehatan , gaya hidup dan lingkungan.

H.L Blum menjabarkan teori tersebut melalui bagan berikut :

Bagan derajat kesehatan (H.L Blum)

Keempat komponen tersebut disamping berpengaruh langsung terhadap kesehehatan juga

saling mempengaruhi satu dengan yang lainya. Statusnmya kesehatan akan tercapai secara

optimal pula, salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu atau tidak optimal

maka status kesehatan akan tergeser kearah dibawah optimal.

8. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan ISPA

Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor

individu anak, serta faktor perilaku (Depkes RI 2007).

Derajat Kesehatan

Keturuna

Lingkungan

Perilaku

PelayananKesehatan

A. Faktor lingkungan

1. Pencemaran udara dalam rumah

a. Kebiasaan meroko keluarga didalam rumah

Dampak roko tidak hanya mngancam siperokok tetapi juga orang

disekitarnya atau perokok pasif (detik health. 2011). Berdasarkan laporan

Badan Lingkungan Hidup Amerika (EPA/ Envirotmental Protection

Agency) mencatat tidak kurang dari 300 ribu anak berusia 1 – 5 tahun

menderita infeksi saluran pernafasan karena turut menghisap asap rokok

yang dihembuskan orang disekitarnya terutama ayah dan ibunya (Ramli,

2011)

Populasi yang sangat rentan terhadap asap roko adalah anak – anak,

karena merea menghirup udara lebih sering dari pada orang dewasa.

Oragan anak kecil masih lemah sehingga rentan terhadap gangguan dan

masalah dapat berkembang sehingga jika terkena dampak buruk maka

perkembangann organ tidak sesuai dengan semestinya (depkes RI, 2008)

b. Penggunaan obat nyamuk

Obat nyamuk mengandung bahan aktif yang termasuk bahan organofosfat.

Bahan aktif ini adalah dichlocovynil dimethil phosfat (DDVP), prospoxur

(karbamat), dan diethylotuamide, yang merupakan jenis insektisida

pembunuh serangga.

Resiko terbesar terdapat pada obat nyamuk bakar karena secara langsung

mengeluarkan asap yang dapat terhirup. Sementara obat nyamuk semprot

berbentuk cair memiliki konsentrasi yang berbeda karena cairan yang

dikeluarkan akan diuabah menjadi gas. Artinya, dosis lebih kecil.

Sementara obat nyamuk elektrik lebih kecil lagi karena bekerja dengan

cara mengeluarkan asap , tetapi dengan daya elektrik.

Dengan demikian makin kecil dosis bahan zat aktif, makin kecil pua bayu

yang ditimbulkan. Sekaligus, makin minim pula kemumgkinan

mangganggu kseshatan manusia yang ada disekitarnyta, ada beberapa cara

yang aman untuk penggunaan oabat nyamuk bakar, anatara lain

1. Ruangan harus ada ventilasi sehingga sirkulasi udara cukup

2. Diletakkan dibawah tempat tidur karena targetnya adalah nyamuk

bukan manusia

3. Diletakan searagh dengan aliran udara segingga tidak mnggagu

pernafasan

4. Letakkan obat nyamuk bakar dengan arak paling dekat 1,5 meter dari

manusia

5. Bila memilikoi gangguan asma, maka sebaiknya gunakan obat nyamuk

bakar pada sire hari sebelum masuk kamar. Dan keluarkan ketika akan

tidur sehingga tidak mengganggu pernafasan

Gangguan pada organ tubuh bisa rejadi jika pemakaian obat nyamuyk

tidak terkontrol seghingga dipakai dalam dosis yang berlebihan (Ditjen

Pengendalian Bersumber nBinatan( Dit P2B2), 2011)

c. Proses pengolahan sampah rumah tangga

Dalam jangka waktu yang pendek, kelihatanya pembakaran sampah di

pekarangan rumah setiap hari lebih praktis dan lebih hemat dari pada

harus menjalankan proses daur ulang yang panjang. Tapi dalam jangka

waktu yang panjang, cara – cara seperti ini sebenarnya lebih meerugikan

individu yang besangkutan, komunitas, dan lingkungan secara

keseleruhan.

Polusi yang kelihatannya sedikit ini lama – lama akan menjadi bukit.

Polusi ini perlahan – lahan akan membuat sebagian orang seharusnya

hodup sehat menjadi sakit, antara alain sakit gangguan pernafasan (asma,

paru – paru dll)

Pembakaran samah rumah tangga pada kondisi pembakaran dan suhu yang

rendah dapat menimbulkan gas racun dioksin dan furan. Dioksin bersifat

ada terus menerus atau persistent dan terakumulasi secara biologi

(bioacumulated), dab tersebar di dalam lingkungan dalam konsentrasi

yang rendah.

Tingkat konsentrasinya rendah, sampai parts per trilion ( satu per 10

pangkat 12), terakumulasi sepanjang kehidupan dan ada teus menerus,

walaupun tidak ada penambhan lagi kedalam lingkungan, hal ini dapat

meningkatkan resiko terkena kangker dan efek lainya terhadap binatan dan

manusia (suamiku, 2011)

2. Keadaan ventilasi udara dirumah

Terdapat vebntilasi yang baik seingga terjadi pertukaran udara dalam ruangan,

tersedia lubang udara yang cukup dan dibersihkan secara berkala. Ventilasi

mempunyai banyak fungsi, fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara

didalam ruangan tersebut tetap segar, fungsi kedua adalah untuk membebaskan

udara ruangan dari bakteri – bakteri terutama bakteri pathogen, karena disitu

selalu menjadi aliran udara yang terus menerus.

Fungsi lainya adalah menjaga agar ruangan tetap didalam kelembaban yang

optimun ukuran ventilasi udara yang memenuhi standar kesehatan adalah minimal

10% luas lantai ruang (Depkes RI, 2004)

B. Karakteristik Ibu

1. Pendidikan ibu

Menurut nonoatmodjo (2003) tingkat oendididkan sangat berpengaruh terhadap

pengetahuan khususnya dalam pembentukan perilaku, semakin tinggi tingkat

kecerdasan seseorang tentang suatu hal dan semakin matangf pertimbangan

seseorang untuk mengambil sebuah keputusan

Pendidikan merupakan upaya nyata untuk memfasilitasi individu dalam mencapai

kemandirian serta kematangan mentalnya sehingga dapat survive didala

kompentesni kehidupan atau usaha sadar dan terencana secara aktif untuk

mengembangkan diri (UU normor , 20 tahub 2003).

Penyerapan informasi yang beragam dan berbeda dipengaruhi oleh tingakt

pendidikan. Pendidikan akan berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan manusia

baik pikiran, perasaan maupun sikapnya, semakin tinggi tingkat pendidikan

semakin tinggi pula kemampuan dasar yang dimiliki seseorang, khususnya dalam

melakukan perawatan terhadap balitanya dan kondisi lingkungan ruamhnya

( tingkat pendidikan dapat mendasari sikap ibi dalam menyerap dan mengubah

sisten informasi)

2. Pengetahuan ibu

Pengetahuan merupakan suatu wawasan yang akan menyebabkan perubahan

seseorang dala bersikap dan bertindak dalam mengatasi permasalahan yang

timbul dalam kehidupan, pengetahuan yang baik dan benar akan membimbing

seseorang untuk merubah perilaku baru kearah yang lebih baik. Ibu dengan

pengetahuan rendah mempunyai resiko sebasar 4.9 kali untuk mnegatasi ISPA

tidak tepat ketika bayi dan balitanya sakit dibandingkan dengan ibu dengan

pengetahuan yang tepap (sutrisna, 1993)

3) status bekerja ibu

Ibu yang bekerja diluar rumah hanya mempercayakan pengasuhan anaknya

kepada pengasuh, dimana pengasuh tersebut kadang kurang memperhatikan

asupan makanan anaknya yang berdampak kepada kesehatan balita tersebut

sehingga balita tersebut mudah terserang penyakit, meskipun si ibu sudah

menyiapkan makanan yang sehat namun itu tidak menjamin anaknya akan

memakan makanan yang sudah disiapaan si ibu yang bekerja tersebut (Ayu, 2008)

Sedangkan pada ibu yang tidak bekerja lebih banyak menghabiskan waktu untuk

mengasuh anaknya, dengan demikian anaknya dapat terpantau dengan baik jika

ibu memiliki pengetahuan yang baik perihal mengasuh anak maka asupan makan

dan pola asuhnya akan baik yang berdampak baik bagi pertumbuhan dan

perkembangan anaknya (Ayu, 2008)

3) kepadatan hunian rumah

Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor

829/MENKES/SKVII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang

minimal menempati luas rumah 8m². dengan criteria tersebut diharapkan dapat

mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal

yang padat dapat meningkatkan factor polusi dalam rumah yang telah ada.

c. factor individu balita

1) umur

Sejumlah studi yang besar menunjukan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus

melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden

ISPA tertinggi pada umur 6-12 bulan (Elisabeth BH, 2003).

Anak umur 2 tahun mempunyai risiko terserang infeksi saluran pernapan akut lebih

besar daripada anak diatas 2 tahun sampai 5 tahun, keadaan ini karena pada anak

dibawah umur 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran saluran

pernapasannya relative sempit (Rizandi, 2006).

2) jenis kelamin

Berdasarkan pada Pedoman Kerja Jangka Menengah Nasional Penanggulangan

Pneumonia Balita Tahun 2005-2009, anak laki-laki memiliki risiko lebih tinggi

daripada anak perempuan untuk terkena ISPA.

Jenis kelamin dianggap dapat mempengaruhi tingkat keparahan suatu penyakit

ataupun kekbalan tubuh balita dalam menghadapi penyakit infeksi. Penelitian yang

telah dilakukan di Buenos Aires, Argentina menunjukan bahwa pemberian ASI lebih

memberikan perlindungan kepada bayi perempuan daripada bayi laki-laki dan

pemberian susu formula pada bayi perempuan dapat meningkatkan kejadian ISPA

pada bayi tersebut (Polack, 2008)

Penyakit ISPA dapat terjadi pada setiap orang dengan tidak memandang suku, ras,

agama, umur, jenis kelamin dan status social.

Namun insiden ISPA pada anak balita berdasarkan jenis kelamin disebutkan bahwa

insiden ISPA pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan (Anom, 2006)

3) berat badan lahir

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada

msa balita. Bayi dengan berat badna lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian

yang lebih besar dibandingkan dnegan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-

bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat kekbalan tubuh kurang sempurna

sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran

pernapsan lainnya (Depkes, 2002).

4) status gizi

Status gizi menjadi indicator ketiga dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status

gizi yang baik dpat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk

mencapai kematangan yang optimal. Gizi yang cukup juga dapat memperbaiki

ketahanan tubuh sehingga diahrapkan tubuh akan bebas dari segala penyakit. Status

gizi ini dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah

kesehatan. Pemantauan status gizi dapat digunakan sebagai bentuk antisipasi dalam

merencanakan perbaikan status kesehatan anak (Aziz, 2002)

5) vitamin A

Vitamin A sebagai slah satu factor yang dapat menurunkan kejadian ISPA, vitamin A

mengatur system kekebalan tubuh (imunitas).

System kekbalan membantu mencegah atau melawan infeksi dengan cara membuat

sel darah putih yang dapat mengahancurkan berbagai bakteri dan virus berbahaya.

Vitamin A dapat membantu limfosit (salah satu tipe sel arah putih) untuk berfungsi

lebih efektif dalam melawan infkesi (Astawan.M, 2003)

Pemberian suplementasi vitamin A pada anak balita sangat berperan untuk masa

pertumbuhan, daya tahan tubuh dan kesehatan terutama pad apenglihatan. Vitamin A

esensial untuk kesehatan dan kelangsungan hidup karena dapat meningkatkan daya

tahan tubuh terhadap infeksi.

Kekurangan Vitamin A (KVA) dapat menyebabkan fungsi kekbalan tubuh menurun,

sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan sel yang menutupi trakea dan paru-paru

mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan lender, sehingga mudah dimasuki

mikroorganisme atau virus, dan menybabkan infeksi saluran pernapasan.

Berbagai penelitian menunjukan bahwa suplai vitamin A dapat menurunkan 23%

angka kematian akibat ISPA. Perbedaan kematian antara anak yang kekurangan

dengan anak yang tidak kekurangan vitamin A kurang lebih sebesar 30% (Almatseir,

2006

6) status imunisasi

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan

alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematia ISPA

berasal dari jensi ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, makan peningkatan cakupan imunisasi

akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA.

Untuk mengurangi factor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi

lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita

ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.

Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak

an pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian

pneumonia balita dapat dicegah dengan imunisasi (DPT) 6% kematian pneumonia

dapat dicegah (Wahab,2000).

Jenis, manfaat dan jadwal imunisasi dasar pada balita (Rezeki dkk, 2011) antara lain:

A. BCG

Vaksin BCG diberikan sebelum berumur 3 bulan, namun untuk mencapaui cakupan

yang lebih luas, Kementrian Kesehatan mengajukan vaksin BCG pada umur antara 0-

12 bulan. Vaksin BCG disuntuka didaerah lengan kana atas sesuai anjuram WHO,

karena lebih mudah dilakukan. Vaksinasi BCG dapat mencegah tuberculosis berat di

otak, paru dan organ tubuh lain.

B. Hepatitis B

Vaksin hepatitis B (Hep B) pertama kali diberikan setelah lahir, karena vaksi n Hep B

merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai

penularan dari ibu kepada bayinya segera setelah lahir. Hep B 2 diberikan setelah satu

bulan setelah imunisasi Hep B 1 yaitu pada saat bayi berumur 1 bulan. Imunisasi Hep

B 3 diberikan pada umur 3-6 bulan. Vaksin Hep B dapat mencegah radang hati dan

kangker virus hepatitis B.

C. Polio

Terdapat 2 jenis vaksin polio yang berisi virus polio-1,2 dan 3.

- OVP (oral polio vaccine), berisi vaksin hidup dilemahkan, diteteskan dimulut

- IPV (inactivated polio vaccine), berisi vaksin in-aktif, disuntikkan.

Polio-0 diberikan pada saat bayi lahir sesuai pedoman Kemenkes sebagai tambahan

untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Mengingat OPV berisi virus polio

hidup maka diberikan pada saat bayi meninggalkan rumah sakit/rumah tidak

mecemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat ditularkan melalui tinja.

Untuk imunisasi dasar (polio-2,3,4) dinerikan pada umur 2,4 dan 6 bulan, interval

antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu. Vaksin polio dapat mencegah

kelumpuhan akibat virus polio.

A. DPT

Imunisasi DPT diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DPT tidak boleh diberikan

sebelum umur 6 minggu) dengan jarak 4-8 minggu. DPT-1 diberikan pada umur 2 bulan,

DPT -2 umur 4 bulan dan DPT-3 pada umur 6 bulan. Vaksin DPT dapat mencegah

penyakit difteri, pertusis dan tetanus.

B. Campak

Vaksin campak disuntikkan pada umur 9 bulan. Dari hasil studi Badan Penelitian

dan Pengembangan dan Dirjen PPM & PL Kementrian Kesehatan di 4 provinsi, 18,6%-

32,6% anak sekolah mempunyai kadar campak dibawah batas perlindungan, sehingga

dijumpai kasus campak pada usia sekolah. Vaksin campak dapat mencegah penyakit

campak berat yang dapat menyerang paru, otak dan pencernaan.

7) ASI Ekslusif

ASI Ekslusif adalah pemberian ASI saja pada bayi sampai usia 6 bulan tanpa

tambahan cairan apapun atau makanan lainnya (WHO,2009). Menurut Depkes RI 2005,

ASI Ekslusif adalah pemberian hanya ASI saja tanpa makanan dan minuman lain. ASI

Ekslusif dianjurkan sampai 6 bulan pertama kehidupan (Depkes RI,2005)

ASI adalah cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar payudara ibu melalui proses

menyusui , ASI merupakan makanan yang disiapkan untuk bayi mulai masa kehamilan

payudara sudah mengalami perubahan untuk memproduksi ASI. Makanan-makanan yang

diramu menggunakan teknologi modern tidak bisa menandingi keunggulan ASI karena

ASI mempunyai gizi yang tinggi dibandingkan dengan makanan buatan manusia ataupun

susu yang bersal dari hewan sapi, kambing atau kerbau.

ASI Ekslusiif diberikan kepada bayi dengan alsan Karenna didalam ASI

mengandung banyak manfaat dan kelebihan, antara lain menurunkan resiko penyakit

infeksi misalnya diare, ISPA, infeksi telinga. Disamping itu ASI juga bisa mencegah

penyakit non infeksi misalnya alergi, obesitas, kurang gizi, asma dan eksem. ASI juga

dapat meningkatkan kecerdasan anak (Utami, 2000)

2) Faktor perilaku

Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi

dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA dikeluarga baik yang dilakukan

oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari

masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan yang

lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu ataupun beberapa anggota

keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota

keluarga lainnya.

Peran aktif keluarga masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena

penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau

keluarga. Hal ini perlu medapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini

sering meyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar

dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika

anaknya sakit.

Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini pneumonia dan

kapan mencari pertolongan dan rujukan pada system pelayanan kesehatan agar penyakit

anak balitanya tidak menjadi lebih berat. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan

jelas bahwa peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA

sangatlah penting, sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang

kurang/baik akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi

bertambah berat (Imran, 1990)

9) Balita

Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun (anak usia

dibawah lima tahun) (WHO 2000). Masa balita merupakan periode penting dalam proses

tumbuh kembang manusia, pertumbuhan dan perkembangan di masa itu menjadi penentu

keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya (Aziz, 2009).

10. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah suatu manajemen untuk balita sakit yang

datang di pelayanan kesehatan, dilaksanakan secara terpadu, baik mengenai beberapa

klasifikasi penyakit, status gizi, staus imunisasi maupun penanganan balita sakit tersebeut

dan konseling yang diberikan.

MTBS merupakan manajemen anak sakit untuk 2 kelompok usia yaitu kelompok

usia 7 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun. Protocol MTBS

dikemas dalam satu buku bagan. Bagan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah

petugas kesehatan mengikuti setiap langkah untuk memeriksa balita sakit. Petugas

kesehatan akan mudah mengikuti langkah-langkah yang ada dalam bagan tersebut. Setiap

langkah dengan maksud tertentu tertulis dalam bagan tersebut dengan bentuk tanda

khusus dalam kotak, baris dengan warna dasar tertentu dan tulisan dengan huruf cetak

biasa dan cetak teb.

Upaya pemerintah dalam menekan angka kematian akibat pneumonia diantaranya

melalui penemuan kasus pneumonia balita sedini mungkin di pelayanan kesehatan dasar,

penatalaksanaan dan rujukan. Adanya keterpaduan dengan lintas program melalui

pendekatan MTBS di puskesmas serta penyediaan obat dan peralatan puskesmas

perawatan dan di daerah terpencil (Depkes RI, 2007)

Faktor Penunjang Karakteristik individu balita:Umur Jenis KelaminBerat badan lahirStatus imunisasiStatus giziASI EkslusifVitamin A Karakteristik keluarga balita:status bekerja ibupendidikan ibuSosio ekonomiPengetahuan ibu Perilaku :Praktik penanggulangan ISPA Etiologi :Parasit BakteriVirus

Faktor PenguatFaktor pelayanan kesehatan :

UKM

ISPA pada anak usia 0-5 tahun

Faktor PemungkinLingkungan :

Ventilasi rumahPencemaran udara dalam

rumahKepadatan hunian

B. Kerangka Teori

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di adopsi

dari teori factor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan H.L Blum 1981 dan faktor-faktor

yang mempengaruhi ISPA Depkes RI, 2007

Gambar.3

Kerangka Teori

C. Kerangka Konsep

Gambar.4

Kerangka Konsep

Variabel DependentVariabel Independent

Faktor lingkungan :

Pencemaran udara dalam rumah

- Kebiasaan merokok keluarga di dalam rumah

- Penggunaan obat nyamuk

- Proses pengolahan sampah rumah tangga

Keadaaan ventilasi udara dirumah

Karakteristik individu balita :

Umur Jenis Kelamin Berat badan lahir Suplementasi vitamin A Status imunisasi ASI ekslkusif

Karakteristik ibu balita :

Pendidikan ibu Pengetahuan ibu Status bekerja ibu

RIWAYAT ISPA PADA BALITA

D. Hipotesis

Hipotesis ini menyatukan bahwa adanya suatu hubungan, pengaruh dan perbedaan antara

dua atau lebih variable (Nursalam, 2009)

1. Ada hubungan factor lingkungan pencemaran udara dalam rumah (kebiasaan

merokok keluarga dalam rumah, penggunaan obat nyamuk, dan proses

pengolahan sampah rumah tangga) dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Kecamatan Koja pada Tahun 2012.

2. Ada hubungan ventilasi udara dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas

Kecamatan Koja pada Tahun 2012.

3. Ada hubungan karakteristik individu balita (umur, jenis kelamin, berat badan

lahir, suplementasi vitamin A, ASI Eksklusif dan status imunisasi) dengan

kejadian ISPA pada balita di Puskesma Kecamatan Koja pada Tahun 2012.

4. Ada hubungan karakteristik orang tua (ibu) (pendidikan, pengetahuan, dan

pekerjaan) dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Kecamatan Koja pada

Tahun 2012.

BAB III

Metedologi penelitian

A. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta Utara pada tahun

2013. Penelitian ini membahas bagaimana faktor-faktor yang berhubungan dengan

Riwayat infeksi saluran pernapasan akut pada balita (12-59) di Puskesmas Kecamatan

Koja. Penelitian ini menggunakan studi kuantitatif dengan pengumpulan data primer dan

data sekunder.

B. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah cross ssectional yang mempelajari kejadian ISPA pada

balita denga karakteristik balita (umur, jenis kelamin, berat badan lahir, suplementasi

kapsul vitamin A, dan status imunisasi), karakteristik orang tua (ibu) (pendidikan,

pengetahuan dan pekerjaan) dan faktor lingkungan : pencemaran udara dalam rumah

(kebiasaan merokok keluarga dalam rumah, penggunaan obat nyamuk dan proses

pengolahan sampah rumah tangga) dan ventilasi udara. Dengan teknik sampling

Accidental sampling dimana penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja

yang kebetulan/Accidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila

dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data.

C. Kriteria Penelitian

Criteria penelitian dalam penelitian ini yaoitu sebagai berikut:

5. kriteria inklusi

kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap

anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel (nonoatmodjo, 2010) yaitu

sebagai berikut:

a. Balita usia 12-59 bulan yang berkunjung ke poli MTBS puskesmas

kecamatan koja

b. Bersedia menjadi responden dan dapat memahami bahasa

indonesia

c. Balita yang mempunyai riwayat kejadian ISPA dalam kurun waktu

kurang dari 2 minggu

6. Kriteria ekslusi

kriteria eksklusi adalah yang sudah masuk kriteria inklusi namun dikeluarkan lagi

sehingga lingkupnya di perkecil lagi agar tidak menimbulkan bias (nonoamodjo,

2010) yaitu sebagai berikut:

a. Balita yang memiliki riwayat penyakit gangguan saluran

pernafasan sejak lahir

b. Balita yang memiliki penyakit kronis

c. Balita yang menderita ispa lebih dari 2 minggu

D. Variable dan Definisi Operasional Variable

1. Variable

Berdasarkan pada kerangka konsep penelitian maka penulis mengelompokkan

variable menjadi dua bagian, yaitu:

a. Variable mempengaruhi (independent)

Variable independent dalam penelitian ini adalah karakterristik anak: jenis

kelamin, umur, berat badan lahir, status suplementasi vitamin A, status

imunisasi.

Karakteristik ibu: penididikan, penegetahuan, dan status bkerja ibu. Serta

karakteristik lingkungan: proses pengolhan sampah rumah tangga, ventilasi

udara, penggunaan obat nyamuk, dan kebiasaa meroko keluarga didalam

ruamh.

b. Variable dipengaruhi (dependent)

Variable dependent dalam penelitian ini adalah kejadian infeksi saluran

pernafasan akut (ispa) pada balita.

2. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional ini bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau

pengamatan terhadap variable – variable yang bersangkutan serta pengembangan

instrument (alat ukut) (nonoatmodjo, 2005). Untuk lebih memudahkan penulisan

dalam memahami penelitian ini, maka akan dijelaskan variable-variabel yang diteliti

dalam bentuk define operasional, kategori, skala ukur, dan cara ukur yang digunakan

No Variabel Definisi

Operasional

Alat ukur Cara

Ukur

Hasil ukur Skala

1 Riwayat ISPA pada balita

Balita pernah

mengalami infeksi

saluran pernapasan

akut yang

berlangsung sampai

14 hari ( saluran

pernapasan adalah

organ dari hidung

sampai gelembung

paru. Beserta organ-

organ disekitarnya :

sinus, ruang telinga

tengah dan selaput

paru), dengan gejala

batuk dan pilek

(Depkes RI, 2007)

Wawancara kuesioner 1. Ya, bila anak

mengalami ISPA

dalam 6 bulan

terakhir

2. Tidak, bila anak

tidak mengalami

ISPA dalam 6

bulan terakhir

Ordinal

2 Kebiasaan

merokok didalam

rumah

Terdapatnya

seseorang anggota

atau lebih yang

menghisap rokok

dalam rumah

(Depkes, 2002)

Wawancara Kuesione

r

1. Ada, bila ada

anggota

keluarga yang

merokok

didalam rumah

2. Tidak, Bila

tidak ada

anggota

keluarga yang

Ordinal

merokok

didalam rumah

3 Penggunaan obat

nyamuk

Jenis obat nyamuk

yang dipakai

didalam rumah yang

mengandung

senyawa kimia dan

parikular yang

dilepaskan keudara

ketika digunakan

(Depkes RI, 2002)

Wawancara Kuesione

r

1. Bakar

2. Non bakar

(semprot,

bodylotion,

elektrik/listrik)

3. Tidak pakai

Nominal

4 Proses

pengolahan

sampah rumah

tangga

Proses untuk

mengubah

karakteristik dan

komposisi sampah

yang dilakukan

anggota keluarga

untuk

menghilangkan dan

mengurangi sifat

bahaya atau sifat

racun (Gatut et al,

2007)

Wawancara Kuesione

r

1. Dibakar

2. Tidak dibakar

(dibuang

dilahan

kosong,

dibuang ke

kali/sungai,

ditimbun,

diangkut

prtugas

setempat,

diolah)

Ordinal

5 Keadaan ventilasi udara dirumah

Luas Penghawaan

atau ventilasi

alamiah yang

permanen minimal

10% dari luas lantai

(Myrnawati, 2004)

Wawancara Kuesione

r

1. Tidak

memeuhi

syarat

kesehatan

apabila luas

ventilasi

kurang dari

10% luas lantai

Ordinal

2. Memenuhi

syarat

kesehatan

apabila luas

ventilasi ≥10%

luas lantai

6 Umur Umur individu yang

terhitung mulai saat

dilahirkan sampai

berulang tahun

(Elisabeth BH

dalam Nursalam,

2003)

Wawancara Kuesione

r

1. ≤24 bulan

2. >24 bulan

Ordinal

7 Jenis kelamin Mengacu pada

status seks pada

balita seseorang,

terdiri dari tampilan

fisik yang

membedakan antara

laki-laki dan

perempuan

(Henderson,

Christine, 2006)

Wawancara Kuesione

r

1. Laki-laki

2. perempuan

Ordinal

8 Berat badan lahir Berat badan bayi

sesaat setelah lahir

(Depkes RI, 2002)

Wawancara Keusione

r

1. BBLR, jika

berat badan <

2500 gram

2. Normal, jika

berat badan

≥2500 gram

Ordinal

9 Suplementasi vitamin A

Pemberian vitamin

A kepada anak yang

Wawancara Kuesione

r

1. Tidak lengkap

2. lengkap

Ordinal

berusia 6-59 bulan

yang bertujuan

selain untuk

mencegah kebutaan

juga untuk

menanggulangi

kekurangan vitamin

A, yangdiberikan

pada bulan Februari

dan Agustus

(Depkes, 2006)

10 Status imunisasi Pemberian

imunisasi secara

lengkap kepada bayi

yaitu BCG 1kali,

DPT 3 kali, Polio 4

kali, Hepatitis B 3

kali, serta Campak 1

kali ( Depkes RI,

2002)

Wawancara Kuesione

r

1. Tidak lengkap

2. lengkap

Ordinal

11 ASI eksklusif Pemberian ASI saja

tanpa makanan dan

minuman tambahan

lain pada bayi

berumur 0-6 bulan

(WHO,2001)

Wawancara Kuesione

r

1. Tidak, bila

tidak sesuai

dengan definisi

ASI eksklusif

2. Ya, apabila

sesuai dengan

definisi ASI

eksklusif

Ordinal

12 Pendidikan ibu Jemjang

pendididkan

terakhir yang

Wawancara Kuesione

r

1. Rendah (tidak

sekolah, SD,

SLTP)

Ordinal

ditempuh oleh ibu,

terdiri atas

pendidikan dasar

(wajib belajar 9

tahun) dan

pendidikan tinggi

(UU No.20 tahun

2003 tentang system

pendidikan

nasional)

2. Tinggi (SLTA,

Perguruan

Tinggi)

13 Pengetahuan ibu Tingkat

pengetahuan ibu

yang

diklasifikasikan

berdasarkan

pengetahuan tentang

gejala, atau tanda

penyebab, cara

penularan, cara

pencegahan ISPA

(jurnal Kes-Mas

FKM UI, 2010)

Wawancara Kuesione

r

1. Kurang, jika

jawaban yang

benar <60%

2. Sedang, jika

jawaban yang

benar 60-80%

3. Baik, jika

jawaban yang

benar ≥80%

Ordinal

14 Status pekerjaan ibu

Kegiatan untuk

menambah mata

pencarian untuk

mencakup

perekonomian

keluarga. (Sarlito,

Sarwono, 1996)

Wawancara Kuesione

r

1. Bekerja

2. Tidak bekerja

Ordinal

E. Populasi dan Sample

1. Populasi Penelitian

Keseluruhan objek atau objek yang diteliti tersebut adalah populasi penelitian atau

universe (nonoatmojo, 2005). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pasien balita 12- 59 bulan yang dating berkunjung ke puskesmas ciracas

Jakarta timur khususnya poli MTBS November 2012

2. Sampel Penelitian

Sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap

mewakili seluruh populasi ini disebut “sampel peneliti” jumalag sampel.

Perhitungan sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus uji beda dua

proporsi 9lameshoe, et. Al, 1997) sebagai berikut:

n={ z

1−α2√P0 (1−P0 )+z1−β √ Pa (1−Pa ) }2

(Pa−P0)

n = besar sample minimum

1−α2

= nilai distribusi normal baku ( tabel Z) pada α tertentu

z1−β= nilai distribusi normal baku ( tabel Z) pada β tertentu

¿95%=1.96)

P0= proporsi di populasi (0.75) (Ria,2011)

Pa= perkiraan proporsi di populasi (15%=0.60)

(Pa−P0)= perkiraan selisih proporsi yang diteliti dengan proporsi di populasi

n=¿ 122

Dengan menggunakan rumusan tersebut. Maka diperoleh sampel minimal sebesar

122 responden

(dapet dari mana 122....??? tolong dirinci perhitungannya)

(nanti kami cari lagi dokter)

F. Teknik Pengambilan Sample

Dalam pengambilan sampel penelitian ini digunakan cara atau teknik-teknik

tertentu, sehingga sampel tersebut sedapat mungkin mewakili populasinya. Cara ini

biasanya disebut Accidental sampling dimana penentuan sampel berdasarkan kebetulan,

yaitu siapa saja yang kebetulan/incidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan

sebagai sampel bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber

data.

Didalam penelitian survey tehnik sampling ini sangat penting dan perlu

diperhatikan masak-masak. Sebab teknik pengambilan sampel yang tidak baik akan

mempengaruhi validitas hasil penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2005).

Bagaimana cara menentukan sampel dengan metode apa ini harus jelas dan pati akan jadi

pertanyaan di presentasi proposal dan kalian harus tahu kalau yg kalian tampilkan diatas itu

teorinya tapi riilnya seperti apa?? jelaskan

G. Pengukuran dan Pegamatan variable Penelitian

1. Pembuatan kuesioner

Pembuatan kuesioner dilakukan oleh peneliti sendiri, kuesioner terdiri dari 14

variabel yang akan diamati dan diambil datanya, adapun variabel-variabel yang ada

yaitu : variabel Dependen yaitu kejadian ISPA pada balita dan variabel Independen

terdiri dari : karakteristik anak (jenis kelamin, umur, berat badan, lahir, vitamin A,

status imunisasi, status ASI) karakteristik ibu (pendidikan, pengetahuan, pekerjaan)

karakteristik lingkungan (kebiasaan membuang sampah, asap dapur, ventilasi udara,

kebiasaan merokok didalam rumah, penggunaan obat nyamuk)

2. Pengukuran variabel

Pengukuran dalam penelitian ini merupakan jenis pengukuran kuantitatif, yaitu

melakukan identifikasi besar kecilnya variasi niai. Jadi yang diukur adalah

variabilitas dari suatu ciri subjek penelitian, hingga data yang didapatkan berupa data

kontinu dari skala nominal, ordinal dan interval. Variabel yang diamati melalui

pertanyaan dituangkan kedalam instrumen pengukuran atau kuesioner.

Untuk memudahkan pengukuran dan analisis bivariat, maka penulis

mengkategorikan beberapa variabel Independen dan variabel Dependen, dengan

terlebih dahulu memberikan skor terhadap pertanyaan. Adapun variabel yang diberi

skor adalah variabel pengetahuan ibu, variabel tersebut merupakan variabel dari

pertanyaan komposit. Sedangkan variabel yang lainnya tidak perlu diberi skor nilai

karena sudah dapat langsung dikategorikan.

Pada variabel pengetahuan dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu kurang jika

jawaban yang benar kurang dari 60%, sedang jika jawaban yang benar 60-80% dan

baik jika jawaban benar lebih dari atau sama dengan 80% (khomsan dkk, 2004)

Buat dummy tabelnya untuk setiap variabel masukkan ke dalam lampiran

(kami masih belum mengerti tentang dummy dokter, maaf sebelumnya bisa di

beri contoh)

H. Uji Validitas dan Uji Reabilitas

Uji validitas dan reabilitas dilakukan ditempat yang berbeda dari tempat

penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober 2013.

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu benar-benar

mengukur apa yang ingin diukur (Notoatmodjo, 2005). Validitas pengukuran

berkaitan dengan tiga unsur (Pratiknya, 1986) yaitu :

a) Alat ukur

b) Metode ukur

c) Pengukur (peneliti)

Dari pengertian tersebut diketahui bahwa walaupun seorang peneliti telah

memilih alat dan metode yang baku atau valid, tetapi kalau pelaksanaan pengukuran

kurang tepat dan teliti maka hasilnyapun tidak akan valid (Pratiknya, 1986).

Pada penelitian ini penulis menggunakan validitas isi yaitu suatu alat ukur

pengukuran ditentukan sejauh mana isi alat tersebut mewakili semua aspek yang

dianggap sebagai aspek kerangka konsep.

Teknik kolerasi yang dipakai adalah teknik kolerasi “Product Moment” yang

rumusnya sebagai berikut (Notoatmodjo, 2005) :

R=N ( Σ XY )−(Σ X Σ Y )

√¿¿¿

Keputusan uji :

Bila r hitung lebih besar dari r tabel Ho ditolak, artinya variabel valid.

Bila r hitung lebih kecil dari r tabel Ho gagal ditolak, artinya variabel tidak valid

Setelah kuesioner pengetahuan divaliditaskan menurut definisi operasional

(pengertian ISPA, bagian saluran pernafasan yang terkena ISPA, gejala pada penyakit

ISPA, resiko yang menyebabkan anak terkena ISPA, penyebab terjadinya ISPA, cara

efektif mencegah ISPA, pencegahan penularan ISPA, gejala ISPA anak dibawah 2 bulan,

tindakan yang ibu lakukan ketika anak ISPA, yang harus dihindari ketika anak demam,

suhu tubuh anak ketika demam), kemudian diteliti melalui uji validitas, ternyata hanya

ada 4 pertanyaan yang valid, yaitu pertanyaan 1 (0.582), pertanyaan 2 (0.430), pertanyaan

5 (0.508) dan pertanyaan 10 (0.508), dimana r hitung lebih besar dari r tabel (0.3598).

Sementara untuk pertanyaan yang tidak valid, uji kuesioner hanya dilakukan satu

kali tetapi telah dilakukan beberapa modifikasi pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak

valid tanpa merbuah struktur variabel pada definisi operasional yang akan diteliti untuk

dijadikan kuesioner pada penelitian. Pengukuran yang valid adalah pengukuran yang

reliabel, tetapi sebaliknya pengukuran yang reliabel belum tentu valid, kalau ketepat

ukuran tidak terpenuhi (Pratiknya, 2000)

2. Uji Realibilitas

I. Pengumpulan Data

J. Pengolahan Data

K. Teknik Analisis Data