Upload
fanan-aghsoni
View
1.560
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
IDENTIFIKASI JENIS MANGROVE DI PANTAI TELUK LOMBOK
DESA SANGKIMAH KEC.SANGATTA SELATAN
RAHMAN06.10450.0.0211
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTANSEKOLAH TINGGI ILMU PERTANIAN
KUTAI TIMUR2010
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh
di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi
oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana
terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air
melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia,
terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Di
Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda
yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di
pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara
Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap
lahan.
Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya
sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap
sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup
terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.
Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia;
menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan
Samudera Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui,
termasuk jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk, 1999).
Taman Nasional Kutai (TNK) merupakan kawasan konservasi yang
memiliki hutan mangrove seluas ± 5.440,70 ha, yaitu 1—2 km dari tepi pantai ke
2
arah daratan yang didominasi oleh jenis Rhizophora dan Bruguiera. Namun,
luasan hutan mangrove ini terus mengalami penyusutan akibat berbagai tekanan,
terutama penebangan liar dan konversi hutan mangrove yang tidak terkendali
menjadi areal tambak. Kondisi ini diperparah oleh desakan penduduk dalam
memenuhi keperluan hidup, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
STIPER sebagai satu-satunya perguruan tinggi ilmu pertanian di Kutai
Timur belum memiliki banyak refrensi mengenai jenis-jenis mangrove yang ada
di Kutai Timur pada umumnya dan terkhusus Teluk Lombok yang menjadi
Tempat Penelitian sebagian Mahasiswa. Hal ini yang mendorong saya untuk
melakukan identifikasi jenis mangrove yang tumbuh di Pantai Teluk
Lombok .Semoga dengan adanya penelitian tentang jenis mangrove di Teluk
Lombok ini bisa menjadi kontribusi bagi seluruh elemen masyarakat terutama
STIPER dan instansi terkait.
B. Tujuan dan Manfaat
a. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah;
1. Diharapkan dengan penelitian ini kita dapat mengetahui jumlah dan
jenis mangrove yang ada di Pantai Teluk Lombok
2. Dapat Mengetahui karakteristik Masing-masing jenis mangrove.
3. Mengetahui struktur penyusun zonasi ekosistem mangrove yang ada di
Teluk Lombok
b. Manfaat
1. Mengetahui Jumlah jenis mangrove yang ada di Pantai Teluk Lombok
2. Mengetahui Struktur penyusun zonasi ekosistem mangrove di Pantai
Teluk Lombok
3. Mengetahui karakteristik ekosistem mangrove di pantai teluk lombok
4. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar dan rujukan
bagi pihak terkait, baik bidang akademisi maupun pemerintah
3
setempat untuk pengembangan dan pengelolaan habitat mangrove
maupun ekosistem yang ada pada lingkungan hutan mangrove.
C. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memperjelas ruang lingkup penelitian, maka penelitian ini hanya
mengidentifikasi jenis penyusun ekosistem dan zonasi hutan mangrove yang ada
di Pantai Teluk Lombok
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hutan Mangrove
Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di
sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove
merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air
laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt)
dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang
memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya
sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan
mangrove dan keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut (FAO, 1994).
Di Indonesia, mangrove telah dikenal sebagai hutan pasang surut dan hutan
mangrove, atau hutan istilah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan
mangrove, yaitu Rhizophora spp. bakau. Akan tetapi, istilah bakau sebenarnya
hanya merupakan nama dari
Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-
pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera
tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops,
Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan
Conocarpus (Bengen, 2000).
Nybakken (1992) menjelaskan bahwa hutan bakau merupakan sebutan
umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu veriasi komunitas pantai
topic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-
5
semak yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dalam perairan yang asin atau
payau.
Hutan mangrove oleh Sukarjo (1996) didefinisikan sebagai suatu
kelompok tumbuhan yang terdiri dari berbagai macam jenis dan suku yang
berbeda tetapi mempunyai kemampuan adaptasi morfologi dan fisiologi yang
sama terhadap likungan pesisir yang ekstrim. Berbagai macam bentuk adaptasi
morfologi dari tumbuhan mangrove antara lain dapat dilihat dari tipe perakaran
jenis Rhizophora, jenis Sonneratia, Avicennia yang mempunyai pneumatofora dan
jenis Bruguiera yang memiliki akar lutut. Disamping tipe perakaran tumbuh
mangrove, adaptasi morfologi juga dapat dilihat pada biji tumbuhan yang
berkecambah ketika masih menempel pada pohon.Kondisi ini memudahakan dan
membantu biji untuk berkembang biak pada saat biji jatuh dan menancap pada
substrat.
Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di
sepanjang pantai ataupun muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut. Acapkali ia disebut juga hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, dan
hutan bakau (Nontji, 1987).
Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan
sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama dipantai
yang terlindung laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap
garam.Sedangkan ekosistem mengrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas
organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya
didalam suatu habitat mangrove.
B. Karakteristik dan Zonasi Hutan Mangrove
Flora mangrove umumnya dilapangan tumbuh membentuk zonasi mulai
dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan.Zonasi di hutan mangrove
6
mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi
lingkungan.Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi,
zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada
kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan
yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :
a) Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air
(water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut
dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakkan.
b) Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah,
tingginya muka air dan drainase.
c) Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap
kadar garam.
d) Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakkan dari spesies
intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.
e) Pasokan dan air tawar.
Menurut Bengen (2000), karakteristik habitat hutan mangrove yaitu :
1. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung dan berpasir.
2. Daerahnya tergenang air secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya
tergenang saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi
hutan mangrove.
3. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
4. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air
bersalinitas payau (2-22%0).
Kartawinata dan Waluyo (1987), menyatakan bahwa faktor utama yang
menyebabkan adanya zonasi pada hutan mangrove adalah sifat-sifat tanah,
disamping faktor salinitas, frekuensi serta tingkat penggenangan dan ketahanan
suatu jenis terhadap ombak dan arus, sehingga variasi zonasi ini memanjang dari
daratan sampai kepantai. Pola umum zonasi yang sering ditemui dari arah laut
7
kedarat, pertama adalah jalur Avicennia sp yang sering berkelompok dengan
Sonneratia sp, kemudian jalur Rhizophora sp, Bruguiera sp dan terakhir Nypa
sp.Dalam hal asosiasi di hutan mangrove di Indonesia, asosiasi antara Bruguiera
sp, dan Rhizophora sp, sering ditemukan, terutama dizona terdalam. Dari segi
keanekaragaman jenis, zona transisi (perlindungan antara hutana mangrove dan
hutan rawa) merupakan zona dengan jenis yang beragam yang terdiri atas jenis-
jenis mangrove yang khas dan tidak khas habitat mangrove. Secara umum, sesuai
dengan kondisi habitat local, tipe komunitas (berdasarkan jenis pohon dominan)
mangrove di Indonesia berbeda suatu tempat ke tempat lain dengan variasi
ketebalan dari beberapa puluh meter sampai beberapa kilometer dari garis pantai.
Karakteristik hutan mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti
floristik, iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorphologi, hidrologi dan
drainase. Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan
sebagai berikut (Bengen, 2000):
Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap
hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi
genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Menerima pasokan
air tawar yang cukup dari darat. Terlindung dari gelombang besar dan arus
pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (hingga
38 permil).
C. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis,
seperti Indonesia. Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan
sumberdaya di sebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang
terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung darat dan laut.
Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah
darat atau ke arah laut melalui mangrove. Hutan mangrove memiliki fungsi
8
ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi ummat manusia. (Abdurrani
dkk, 2000)
Secara ekologis, Menurut. (Abdurrani dkk, 2000) hutan mangrove
berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran
(nursery grounds) berbagai jenis ikan dan, udang, kerang-kerangan dan spesies
lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa
lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur
hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut di depannya.
Lebih jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis
burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan
mengrove menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah
(genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan.
Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan mangrove
juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami,
angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya.
D. Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama, yaitu hasil
hutan, perikanan estuarin dan pantai, serta wisata alam. Secara ekonomi,
hutan mangrove dapat dimanfaatkan kayunya secara lestari untuk bahan
bangunan, arang (charcoal) dan bahan baku kertas. Hutan mangrove juga
merupakan pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya.
Struktur Vegetasi Hutan Mangrove
Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12
genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda
dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2000).
Selanjutnya, menurut Bengen (2000) bahwa vegetasi hutan mangrove di
Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, namun demikian hanya
terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling
tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati 9
penting/dominan yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizophoraceae
(Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia),
Avicenniaceae (Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus).
Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas mangrove,
terutama jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Xylocarpus dan
Acrostichum (Soerianegara,1993). Selain itu juga ditemukan jenis-jenis
Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Nybakken, 1986; Soerianegara,
1993). Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan
keragaman struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan
dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan
mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai
penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya sebagai
penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan. Selain
itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi
hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan
dan pertumbuhan dari banyak organisme epifit (Nybakken.1986).
Secara umum komunitas hutan, termasuk hutan mangrove memiliki
karakteristik fisiognomi yaitu dinamakan sesuai dengan jenis yang dominan
berada di suatu kawasan. Misalnya di suatu kawasan hutan mangrove yang
dominan adalah jenis Rhizophora sp maka hutan tersebut dinamakan hutan
mangrove Rhizophora.
Secara lebih luas dalam mendefinisikan hutan mangrove sebaiknya
memperhatikan keberadaan lingkungannya termasuk sumberdaya yang ada.
Berkaitan dengan hal tersebut maka Saenger et al. 1983 mendefinisikan
sumberdaya mangrove sebagai :
1. Exclusive mangrove, yaitu satu atau lebih jenis pohon atau semak belukar
yang hanya tumbuh di habitat mangrove
2. Non exclusive mangrove, yaitu setiap jenis tumbuhan yang tumbuh di
habitat mangrove, dan keberadaannya tidak terbatas pada habitat
mangrove saja
10
3. Biota, yaitu semua jenis biota yang berasosiasi dengan habitat mangrove
4. Proses (abrasi, sedimentasi), yaitu setiap proses yang berperan penting
dalam menjaga atau memelihara keberadaan ekosistem mangrove.
Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggi
Jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Jumlah jenis mangrove di
Indonesia mencapai 89 yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis
perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987). Dari 35 jenis
pohon tersebut, yang umum dijumpai di pesisir pantai adalah Avicennia
sp,Sonneratia sp, Rizophora sp, Bruguiera sp, Xylocarpus sp, Ceriops sp, dan
Excocaria sp.
(Abdurrani dkk, 2000) Membagi bentuk vegetasi dan komunitas mangrove
terdiri dari 3 zone mangrove berdasarkan distribusi, karakteristik biologi, kadar
garam dan intensitas penggenangan lahan yaitu:
Vegetasi Inti
Jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah zona intertidal yang
mampu bertahan terhadap pengaruh salinitas (garam), yang disebut tumbuhan
halophyta. Kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus yang
memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang dalam substrat/lahan mangrove
seperti kemampuan berkembang biak, toleransi terhadap kadar garam tinggi,
kemampuan bertahan terhadap perendaman oleh pasang surut, memiliki
pneumatophore atau akar napas, bersifat sukulentis dan kelenjar yang
mengeluarkan garam. Lima jenis mangrove paling utama adalah Rhizophora
mangle. L., R. harrisonii leechman (Rhizoporaceae), Pelliciera rhizophorae triana
dan Planchon (pelliceriaceae), Avicennia germinans L ( Avicenniaceae) dan
Laguncularia racemosa L. gaertn. (Combretaceae).
Vegetasi marginal
11
Jenis ini biasanya dihubungkan dengan mangrove yang berada di darat, di
rawa musiman, pantai dan/atau habitat mangrove marginal. Meskipun demikian
vegetasi ini tetap tergolong mangrove. Jenis Conocarpus erecta (combretaceae)
tidak ditemukan di dalam vegetasi mangrove biasa. Mora oleifera (triana), Duke
(leguminosae) jumlahnya berlimpah-limpah di selatan pantai pasifik, terutama di
semenanjung de osa, dimana mangrove ini berkembang dalam rawa musiman
salin (25 promil). Jenis yang lain adalah Annona glabra L. (Annonaceae),
Pterocarpus officinalis jacq. (Leguminosae), Hibiscus tiliaceus L. dan Pavonia
spicata killip (Malvaceae). Jenis pakis-pakisan seperti Acrostichum aureum L.
(Polipodiaceae) adalah yang sangat luas penyebarannya di dalam zone air payau
dan merupakan suatu ancaman terhadap semaian bibit untuk regenerasi.
Vegetasi fakultatif marginal
Carapa guianensis (Meliaceae) tumbuh berkembang di daerah dengan
kadar garam sekitar 10 promil. Jenis lain adalah Elaeis oleifera dan Raphia
taedigera. Di daerah zone inter-terrestrial dimana pengaruh iklim khatulistiwa
semakin terasa banyak ditumbuhi oleh Melaleuca leucadendron rawa ( e.g. selatan
Vietnam). Jenis ini banyak digunakan untuk pembangunan oleh manusia. Lugo
dan Snedaker (1974) mengidentifkasi dan menggolongkan mangrove menurut
enam jenis kelompok (komunitas) berdasar pada bentuk hutan, proses geologi dan
hidrologi. Masing-Masing jenis memiliki karakteristik satuan lingkungan seperti
jenis lahan dan kedalaman, kisaran kadar garam tanah/lahan, dan frekuensi
penggenangan. Masing-masing kelompok mempunyai karakteristik yang sama
dalam hal produksi primer, dekomposisi serasah dan ekspor karbon dengan
perbedaan dalam tingkat daur ulang nutrien, dan komponen penyusun kelompok.
D. Fauna Hutan Mangrove
Fauna yang hidup di ekosistem mangrove, terdiri dari berbagai
kelompok, yaitu: mangrove avifauna, mangrove mammalia, mollusca,
crustacea, dan fish fauna (Tomascik et al., 1997). Komunitas fauna hutan
12
mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok: (1) Kelompok
fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon
mangrove, terdiri atas insekta, ular primata dan burung. Kelompok ini
tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan
mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar
jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat
mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut. (2)
Kelompok fauna perairan/akuatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu: yang
hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang ; yang
menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun
lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata
lainnya.
Hubungan Saling Bergantung Antara Berbagai Komponen Ekosistem
Hutan Mangrove
Ekosistem merupakan satu atau serangkaian komunitas beserta
lingkungan fisik dan kimianya yang hidup bersama-sama dan saling
mempengaruhi (Nybakken, 1988). Tumbuhan mangrove mengkonversi
cahaya matahari dan zat hara (nutrien) menjadi jaringan tumbuhan (bahan
organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan
sumbe makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang
hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya,
komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove bukanlah
tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan
mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya). Sebagian serasah
mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien)
terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae
ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis;
sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan,
13
udang dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan memakan dalam
berbagai kategori da tingkatan biota membentuk suatu rantai makanan
(Gambar 1).
Menurut Sughandhy (1993), hutan mangrove memiliki sesuatu ekosistem
peralihan darat dan laut yang merupakan mata rantai yang sangat penting dalam
pemeliharaan keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, tempat berlindung
dan memijah berbagai jenis udang, ikan dan berbagai biota laut, juga sebagai
habitat satwa butung, primate, reptilian insekta dan lain-lainnya.Sehingga secara
ekologi dan ekonomis dapat dimanfaatkan untuk kesejahtraan manusia.Mangrove
sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di sebagian besar,
walaupun tidak semua wilayah Indonesia.Fungsi mangrove yang terpenting bagi
daerah pantai adalah menjadi penyambung darat dan laut.Tumbuhan, hewan, dan
benda-benda lainnyadan nutrisi tumbuhan ditransfer kearah darat atau kearah laut
melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang
merugikan dan perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi
biota laut (pantai)dan biota darat. Jika mangrove tidak ada, maka produksi laut
dan pantai akan berkurang secara nyata.
Odum dan Heald (1972), menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan
suatu ekosistem yang unik, dengan berbagai macam fungsi, seperti fungsi fisik,
biologi, ekonomi, dan ekologi.Secara fisik hutan mangrove berfungsi menjaga
14
garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari tebing sungai, mencegah
terjadinya erosi laut, peredam ombak dan sebagai perangkap zat-zat pencemar dan
limbah, serta mencegah intrusi garam (salt intrution).Secara biologi hutan
mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), tempat
memijah (spawning ground) dan tempat mencari makan untukberbagai organisme
seperti udang, ikan dan kepiting. Secara ekonomi hutan mangrove memiliki fungsi
sebagai daerah tambak yang banyak mengandung zat hara, tempat membuat
garam, sebagai tempat rekreasi dan penghasil bahan baku industry.
Daerah hutan mangrove dapat dihuni bermacam-macam fauna.Hewan-
hewan darat termaksud serangga, kera pemakan daun-daunan yang suka hidup di
bawah naungan pohon-pohonan, ular dan golongan melata lainnya.Hewan laut
diwakili oleh golongan epifauna yang beraneka ragam dimana hidupnya
menempel pada batang-batang pohon dan golongan infauna yang tinggal di
dalamlapisan tanah atau lumpur.Kayau dari pohon mangrove itu sendiri adalah
suatu hasil produksi yang berharga (Hatabrata dan Evans, 1984).
Bengen (2004), menyatakan fungsi dan manfaat hutan mangrove sebagai
berikut :
Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan
lumpur dan perangkap sedimen.
Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan pohon mangrove.
Daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) dan
daerah pemijah (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang dan berbagai
jenis biota laut lainnya.
Penghasil kayu untuk bahan kontruksi, kayu bakar, bahan baku arang dan
bahan baku kertas (pulp).
Pemasok larva ikan, udang an biota laut lainnya.
Sebagai tempat pariwisata.
Sebagai tempat nutrient yang menyediakan plasma nurfah bagi perairan.
Sebagai kawasan pengembangan budidaya beberapa biota laut, seperti
kepiting bakau.
15
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang
memiliki banyak manfaat, baik aspek ekologi maupun aspek sosial ekonomi.
Peranan penting ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari
banyaknya makhluk hidup, baik yang hidup diperairan, di atas lahan maupun
tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem
tersebut. Menurut Liyanage (2004), nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung
dari ekosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat
langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat
erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut,
menurunkan tingkat polusi (pencemaran) produksi bahan organik sebagai sumber
makanan, sebagai wilayah/daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk
berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting dalam
ekowisata di banyak negara. Hong & San (1993), menambahkan pada
kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan
penghalang alami dari badai, taufan, pasang surut yang tidak menentu dan
bencana alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove juga telah
berkontribusi secara signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat
disekitarnya.
Melana et al. (2000) menambahkan bahwa terdapat 6 fungsi ekosistem
mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:
(1) Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting,
dan mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir.
(2) Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai, yang
berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan
pesisir.
(3) Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah
pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan
topan.
(4) Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon
dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak
dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan.
16
(5) Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk
pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.
(6) Mangrove merupakan sumber bahan baku kayu dan atap dari nipah
untuk bahan bangunan, kayu api dan bahan bakar, serta tambak untuk
budidaya perikanan. Benih mangrove dapat dipanen dan dijual. Ikan,
udang-udangan dan kerang juga dapat dipanen dari ekosistem
mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial juga tergantung dari
mangrove untuk perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu
mangrove juga sumber bahan tanin, alkohol dan obat-obatan.
Nilai keseluruhan ekosistem mangrove berkisar US$500 sampai
US$1.550 per hektar pertahun, nilai minimum terjadi ketika ekosistem
mangrove dikonversi menjadi peruntukan yang lain.
Selain itu, ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat
alami bagi fauna yang menurut Chapman (1977) dalam Kusmana (1995) terdiri 5
(lima) habitat, yakni:
(1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan
serangga.
(2) Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara
batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik
untuk serangga (terutama nyamuk).
(3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang.
(4) Lobang permanent dan semi permanent di dalam tanah sebagai habitat
kepiting dan katak.
(5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.
Lebih lanjut Sugiarto & Ekayanto (1996), menambahkan bahwa secara
fisik hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung.Sistem perakaran
yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus dan ombak,
sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan
17
(abrasi).Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta
penghalang angin.
Ekosistem mangrove sebagai jalur hijau berfungsi sebagai penyaring
berbagai jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk
ke ekosistem ini (Abdullah, 1988). Peranan hutan mangrove yang paling menonjol
dan tidak tergantikan oleh ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata
rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dan daratan,
kemampuannya untuk menstimulir dan meminimasi terjadinya pencemaran logam
berat dengan menangkap dan menyerap logam berat tersebut.
Fungsi penting lainnya dari ekosistem mangrove adalah manfaat sosial
ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan
produksi dari berbagai jenis hutan dan hasil ikutan lainnya.Dahuri et al. (2004)
mengidentifikasikan kurang lebih 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi
kepentingan manusia, baik produk langsung maupun tidak langsung yang
sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat.Manfaat langsung, seperti:
bahan baku bangunan, alat tangkap, pupuk pertanian, bahan baku kertas,
makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil. Sedangkan produk tidak langsung
berupa tempat rekreasi dan sebagainya.
Fungsi biologis hutan mangrove adalah sebagai sumber kesuburan
perairan, tempat perkembangbiakan dan pegasuhan berbagai biota laut, tempat
bersarangnya burung-burung (khususnya burung air), habitat berbagai satwa liar
dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali, 2001).
Menurut Macnae (1968) dalam Kusmana (1995), secara umum, fauna
hutan mangrove terdiri atas fauna teresterial dan fauna laut. Fauna teresterial
misalnya kera ekor panjang, biawak, berbagai jenis burung, dan lain-lain.
Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan
Mollusca umumnya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae
didominasi oleh Brachyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna laut tersebut
merupakan komponen utama fauna hutan mangrove.
18
E. Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan suatu upaya untuk
memelihara, melindungi dan merehabilitasi sehingga pemanfaatan terhadap
ekosistem ini dapat berkelanjutan. Menurut Aksornkoae (1993), pengelolaan
mangrove yang baik sangat penting untuk saat ini dan tujuan dari pengelolaan ini
antara lain harus:
1. Mengolah hutan mangrove untuk kepentingan produksi seperti kayu-
kayuan,kayu api, arang, untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun
ekspor.
2. Mengolah hutan mangrove untuk kepentingan tidak langsung seperti daerah
pemijahan dan mencari makan beberapa organisme darat dan laut, pelindung
badai, pencegah banjir dan erosi tanah.
3. Mengolah hutan mangrove sebagai satu kesatuan yang terpadu dari berbagai
ekosistem pantai, bukan sebagai ekosistem yang terisolasi.
Namun demikian, pada hakekatnya, dalam kerangka pengelolaan dan
pelestarian mangrove, terdapat tiga konsep yang dapat diterapkan. Ketiga konsep
tersebut adalah perlindungan hutan mangrove, pemanfaatan hutan mangrove dan
rehabilitasi hutan mangrove. Ketiga konsep ini memberikan legitimasi dan
pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan
agar dapat tetap lestari dan pemanfataannya dapat berkelanjutan.
Berkaitan dengan perlindungan ekosistem mangrove dengan penentuan
kawasan konservasi seperti diuraikan diatas, perlu dilakukan suatu zonasi
terhadap ekosistem mangrove dengan tujuan pengaturan berbagai bentuk
kepentingan terhadap ekosistem ini. Menurut Aksornkoae (1993), zonasi
mangrove merupakan salah satu langkah pertama untuk pengawasan dan
pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Menurut persetujuan
internasional terhadap zonasi mangrove, terdapat 3 zona utama yaitu:
19
a. Zona Pemeliharaan (Preservation zone), merupakan zona yang kaya
akan hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang
menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak biota laut. Zona ini
juga melindungi daerah pantai dari angin, badai dan erosi tanah.
b. Zona Perlindungan (Conservation zone), merupakan zona dengan hutan
mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari
pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut regenerasi.
Pada zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh
masyarakat lokal.
c. Zona Pengembangan (Development zone), merupakan zona dengan
penutupan mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan
dibutuhkan penghutanan kembali atau pengelolaan untuk kepentingan
lain.
1.) Pemanfaatan Hutan Mangrove
Dari segi pemanfaatan, Inoue et al. (1999), menyatakan mangrove sebagai
suatu ekosistem pada umumnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan tidak
langsung, antara lain yaitu arang, kayu bakar, bahan bangunan, chip, tannin,
nipah, obat-obatan, bahan makanan, perikanan (penangkapan ikan, tambak)
pertanian, perkebunan, dan pariwisata. Menurut Kusmana et al. (2005), secara
garis besar ada tiga bentuk pemanfaatan hutan mangrove yang berkelanjutan yang
dapat dilakukan oleh masyarakat:
(1) Tambak
a. Tambak Tumpangsari
Tambak tumpangsari ini merupakan unit tambak yang didalamnya
mengkombinasikan sebagian lahan untuk pemeliharaan
kepiting/ikan dan sebagian lahan untuk penanaman mangrove.
b. Model Tambak Terbuka
Model tambak yang dimaksud merupakan kolam pemeliharaan
ikan yang sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya (kolam
tanpa tanaman mangrove). Untuk memperbaiki lingkungan
20
tambak, tanaman mangrove dapat ditanam di sepanjang saluran
primer dan sekunder pinggir sungai maupun sepanjang pantai.
(2) Hutan Rakyat
Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove
yang dapat dikelola secara berkelanjutan yang mana hasil utamanya
berupa kayu bakar atau arang atau serpih kayu (chips).
(3) Budidaya mangrove untuk mendapatkan hasil selain kayu
Bentuk pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan
ikutan (hasil hutan bukan kayu), misalnya madu, tanin, pakan ternak,
dan lain-lain.
(4) Bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan untuk
mendapatkan berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk
memperoleh pakan ternak, ikan/kepiting, madu, dan kayu bakar/arang.
2) Rehabilitasi Hutan Mangrove
Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan
dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih
stabil.Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem
atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya.Namun demikian,
rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove
atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang
memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman pada level
ekosistem.Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosistem
mangrove sering kali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (2 atau 3
jenis). Hal ini menyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi
ekologi ekosistem mangrove tersebut karena sifatnya yang homogen
dibandingkan dengan yang alami (heterogen dan banyak spesies), yang
merupakan biodiversitas dalam kaitannya dengan kekayaan genetik (Macintosh et
al. 2002).
21
Menurut Khazali (2002), pelestarian hutan mangrove merupakan usaha
yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat
membutuhkan sifat akomodatif dari segenap pihak yang berada disekitar kawasan.
Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana
keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya
mangrove diberikan porsi yang lebih besar. Untuk mencapai kepada keinginan
pemberian porsi yang besar kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan
mangrove yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, menurut Sembiring &
Husbaini(1999) harus diringi dengan upaya pembangunan kesadaran dan persepsi
pentingnya arti dan peran hutan mangrove itu sendiri. Pandangan masyarakat
yang selama hanya melihat kepentingan mangrove dari sudut ekonomi, secara
berangsur-angsur harus digiring ke arah kepentingan bio-ekologis.
Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan diharapkan dapat
mempertahankan produktivitas ekosistem mangrove dan kawasan sekitarnya, agar
kelestarian hasil dapat diperoleh.Menurut Watson dan Arief (1992), ada tiga
alasan utama mengapa kegiatan konservasi (perlindungan) dan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan tersebut mendapat perhatian baru-baru ini.Pertama,
manusia pada hakekatnya merupakan penyebab kerusakan-kerusakan yang terjadi
di lingkungan laut.Kedua, belum membudayanya usaha melindungi wilayah
perairan di lingkungan daratan.Ketiga, sebagian wilayah laut dan lautan terletak di
luar batas yuridis negara, atau wilayah teritorial perairan mereka.Lautan sering
dianggap sebagai sumberdaya umum yang berpotensi menimbulkan konflik
eksploitasi.
F. Struktur Vegetasi dan Daur Hidup Mangrove
Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang terdiri atas 12
generasi tumbuhan bebunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Lagunkularis, Aegiceras, Aegictilis, Snaeda dan
Conocarpus) yang termaksud kedalam delapan family. Vegetasi hutan mangrove 22
di Indonesia memiliki keanekaragaman yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat
sebanyak 202 jenis yang terdiri dari atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis
liana, 44 jenis epifit dan satu jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang
lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak didalam
hutan mangrove terdapat satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang
termaksud kedalam empat family yaitu Rhizophoraceae (Rhizophora sp,
Bruguiera sp dan Ceriops sp), Sonneratiaceae (Sonneratia sp), Avicenniaceae
(Avicennia sp) dan Meliaceae (Xylocarpus sp)(Bengen, 2004).
Menurut Bengen (2004), jenis mangrove tertentu, seperti bakau
(Rhizohora sp) dan tancang (Bruguiera sp) memiliki daur hidup yang khusus,
yaitu diawali dari bnih yang ketika masih pada tumbuhan induk berkecambah dan
mulai tumbuh didalam semaian tanpa istirahat. Selama waktu itu, semaian
memanjang dan distribusi beratnya berubah, sehingga menjadi lebih berat pada
bagian terluar dan akhirnya lepas.Selanjutnya semaian itu jatuh dari pohon induk,
masuk keperairan dan mengapung dipermukaan air.Semaian ini kemuadian
terbawa oleh aliran air keperairan pantai yang cukup dangkal, dimana ujung
akarnyadapat mencapai dasar perairan, untuk selanjutnya akarnya dipancangkan
dan secara bertahap tumbuh menjadi pohon.
G. Kelayakan Pertumbuhan Mangrove
Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang datar, biasanya di tempat yang
tak ada muara sungainya hutan mangrove terdapat agak tipis, namunpada tempat
yang mempunyai muara sungai yang agak besar dan delta yang aliran airnya
banyak mengandung lumpur dan pasir, mangrove biasanya tumbuh
meluas.Mangrove tidak tumbuh di pantai yang terjal dan berombak besar dengan
arus pasang surut yang kuat karena hal ini tidak memungkinkan terjadinya
pengendapan lumpur dan pasir sebagai substrat yang diperlukan untuk
pertumbuhan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove antara lain :
23
a. Substart
Hutan mangrove hampir selalu tumbuh secara alami pada pantai
berlumpur yang terlindung, lumpur halus, sering kali cukup cair dan kurang padat,
merupakan media yang baik untuk perkembangan tumbuhan mangrove. Namun
demikian, tipe sedimen lain seperti pasir, gembut, dan bahkan hamparan karang
juga dapat dimanfaatkan oleh berbagai jenis tumbuhan pioneer (Budiman dan
Suharjono, 1992).
Berdasarkan berbagai penelitian seperti yang dilaporkan oleh Barkey
(1990), dapat disimpulkan berbagai hubungan antara komposisi vegetasi dengan
karakteristik lahan/tanah bakau :
1. Jenis pionir Avicennia sp, umumnya berkembang pada tanah bertekstur halus,
relative kaya akan bahan organic, salinitas tinggi. Dominasi dari jenis ini pada
umumnya terjadi pada delta sungai-sungai besar, dengan tingkat sedimentasi
tinggi dan berkadar lumpur halus yang tinggi juga.
2. Jenis Rhizophora apiculata berkembang pada tanah-tanah yang relatif lebih
kasar dibandingkan dengan Avicennia sp, tetapi secara umum masih dapat
digolongkan pada tanah bertekstur halus. Kadar bahan organik pada tanah
dibawah tegakkan Rhizophora apiculata adalah yang paling tinggi, salinitas
tanahnya sedang.
3. Jenis Bruguiera gymnorhiza pada umumnya berkembang pada tanah-tanah
bertekstur agak halus sampai sedang, dengan kadar bahan organik relatif
rendah, salinitas sedang.
4. Jenis Sonneratia alba, merupakan jenis pionir yang berkembang pada tanah-
tanah pasir dipinggir laut, dimana substartnya sangat stabil. Tanah dibawah
tegakan Sonneratia alba relative tidak mengandung bahan organik yang
dicirikan dengan warna tanah yang cerah. Rendahnya kadar bahan organik
disebabkan oleh intensifnya proses pencucian melalui pergerakan pasang surut
air laut, salinitas tanah tinggi.
24
Selanjutnya Bengen (2000), menyatakan bahwa bakau (Rhizophora sp)
dapat tumbuh dengan baik pada substart (tanah) yang berlumpur dan dapat
mentoleransi tanah lumpur berpasir, dipantai yang agak berombak dengan
frekuensi genangan 20-40 kali/bulan. Bakau merah (Rhizophora stylosa) dapat
ditanam pada lokasi bersubstart tanah (pasir berkoral). Api-api (Avicennia sp)
lebih cocok ditanam pada substart (tanah) pasir berlumpur terutama dibagian
depan pantai, dengan frekuensi genangan 30-40 kali/bulan, Bogem/Prapat
(Sonneratia sp) dapat tumbuh dengan baik dilokasi bersubstrat lumpur atau
lumpur berpasir dari pinggir pantai kearah darat, dengan frekuensi genangan 30-
40 kali/bulan, Tancang (Bruguiera gymnorrhiza) dapat tumbuh dengan baik pada
substrat (tanah) yang lebih keras yang terletak kearah darat garis pantai dengan
frekuensi genangan 30-40 kali/bulan.
Macnae dalam Anonim (2003), menyatakan bahwa Avicennia marina
merupakan jenis yang dapat tumbuh di berbagai tanah, dari lumpur sampai pasir
berbatu dan sebagai tumbuhan pionir yang tumbuh di daerah berpasir.Setelah
tumbuh baik, sistem perakarannya mampu menangkap lumpur yang kemudian
memberikan kamungkinan untuk jenis-jenis lain tumbuhan.
Pengaruh sifat tanah terhadap mangrove antara lain ditunjukkan oleh sebaran
genus Rhizophora. Di daerah-daerah dengan tanah berlumpur dalam, Rhizophora
mucronata merupakan vegetasi yang dominan, sedangkan daerah-daerah yang
berlumpur dangkal dominan oleh Rhizophora apiculata.Bila tanah banyak
mengandung pasir atau karang maka Rhizophora stylosa mendominasi
(Hardjowingeno, 1986).
b. Salinitas
Salinitas pada pasang surut sangat bervariasi dari waktu kewaktu.Variasi
salinitas secara umum merupakan hasil interaksi antara tinggi dan frekuensi
pasang, masukan air tawar (sungai dan hujan), besar penguapan.Tumbuhan
mangrove memerlukan ketersediaan garam untuk hidup baik dimana masing-
masing jenis memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas.Pengaru
25
penggenangan dan salinitas terhadap komposisi jenis dan tumbuhan mangrove
dikemukakan oleh Soegiarto (1986), yang membedakan 6 daerah sebagai berikut :
Kelas 1. Kisaran salinitas 10-30%o, tanah tergenang satu atau dua kali sehari
sekurang-kurangnya 20 hari setiap bulan, jenis Avicennia sp atau
Sonneratia sp pada tanah baru dan lembut atau Rhizophora sp pada
tanah bertekstur kasar membentuk daerah luar.
Kelas 2. Kisaran salinitas antara 10-30%0, tanah tergenang selama 10-19
hari tiap bulan, jenis Bruguiera sp. Tumbuh dengan baik,
membentuk daerah pertengahan.
Kelas 3. Kisaran salintas antara 10-30%0, tanah tergenang selama 9 hari atau
kurang setiap bulan, jenis Xylocarpus sp dan Heriteria sp tumbuh
disini membentuk daerah ketiga.
Kelas 4. Kisaran salinitas antara 10-30%0, tanah tergenang selama beberapa
hari saja dalam satu tahun, jenis Bruguiera sp dan Lumnilzera sp
tumbuh dengan baik disini.
Kelas 5 dan 6. Salinitas 0%0, tanah sangat sedikit dipengaruhi oleh pasang surut
air laut dan dipengaruhi oleh permukaan air hanya selama dalam
musim basah. Daerahmerupakan transisi/peralihan dengan daerah
payau dibelakang hutan mangrove.Pada daerah ini tumbuh jenis
Cerbera sp dan Oncosperma sp.
Macnae (1968) dalam Anonim (2003), menyatakan bahwa jenis-jenis
Bruguiera sp umumnya ditemui tumbuh pada daerah dengan salinitas di bawah
25%0.Bruguiera parviflora dapat tumbuh secara maksimum pada daerah dengan
salinitas sekitar 20%0.Bruguiera sexangula tumbuh baik dengan salinitas 10%0
atau kurang.Sedang Bruguiera gymnorhiza pada salinitas 10-20%0.
Avicennia merupakan jenis mangrove yang memiliki kemampuan untuk
mentoleransi terhadap kisaran salinitas yang luas, dibanding dengan marga lain.
Macnae (1968) dalam Pramudji (2001), mengemukakan bahwa Avicennia marina
memiliki kemampuan untuk tumbuh dengan baik pada kisaran hampir tawar
sampai dengan 90%0.Pada salinitas ekstrim ini, pohon tumbuh kerdil dan
26
kemampuan menghasilkan buah hilang. Hal ini menyatakan bahwa cara
memperpendek jarak antara akar dan daun ini diperlukan mengingat salinitas yang
tinggi akan mengakibatkan transpirasi terhambat.
c. Pasang Surut Air Laut
Pasang surut menetukan zonasi komunitas flora dan fauna
mangrove.Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas
pada areal mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik,
dan menurun selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang
merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove,
terutama distribusi horizontal.Pada areal yang selalu tergenang hanya R.
mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera sp dan Xylocarpus sp jarang
mendominasi daerah yang sering tergenang. Pasang surut juga berpengaruh
terhadap perpindahan massa air tawar dengan air laut, dan oleh karenanya
mempengaruhi distribusi vertikal organisme mengrove. (Macnae (1966) dalam
Anonim, 2003)
Durasi pasang juga memiliki efek yang mirip pada distribusi spesies,
struktur vegetatif dan fungsi ekosistem mengrove.Hutan mangrove yang tumbuh
didaerah pasang diurnal memiliki struktur dan kesuburan yang berbeda dari hutan
mangrove yang tumbuh didaerah semi-diurnal, dan berbeda juga dengan hutan
mangrove yang tumbuh didaerah pasang campuran.
Rentang pasang surut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi,
khususnya sistem akar dari mangrove.Didaerah mangrove dengan rentang pasang
yang lebar, akar tunjang dari Rhizophora sp, tumbuh lebih tinggi sedangkan
didaerah yang rentangnya sempit memiliki akar yang lebih rendah.Aegialites
rotundifolia dan Sonneratia sp menunjukkan perilaku yang perakaran yang
mirip.Pneumatoforanya yang besar sangat baik (kuat dan panjang) di atas
permukaan tanah di zona peralihan pasang lebih luas dan lebih kecil untuk daerah
dengan rentang pasang yang sempit.
27
Peranan pasang surut terhadap perkembangan hutan mangrove telah
banyak dibahas para ahli. Beberapa peranannya, baik langsung(antara lain :
gerakan air, tinggii, frekuensi genangan) maupun tidak langsung (antara lain :
salinitas, sedimentasi, erosi)telah diakui peranannya terhadap perkembangan
hutan mangrove sendiri maupun perairan pantai disekitarnya. Gerakan air pasang
surut laut diketahui berperan terhadap kehidupan pohon dewasa (Dahuri dkk,
1996).
Menurut Rahardjo (1986), pasang surut adalah fenomena fisika laut yang
berupa gerak naik turunnya permukaan laut sebagai akibat dari gayatarik benda-
benda angkasa, terutama bulan dan matahari terhadap masa air dibumi. Selain itu
pasang surut disuatu tempat dipengaruhi pula oleh rotasi bumi serta posisi
geografisnya.
Pasang surut adalah proses naik turunnya paras laut (sea level) secara
berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa,
terutama matahari dan bulan, terhadap massa air dibumi. Meskipun massa bulan
jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena jaraknya jauh lebih dekat, maka
pengaruh gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar daripada pengaruh gaya tarik
matahari. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah 2,2 kali lebih
besar daripada gaya tarik matahari. Fenomena ini memberikan kekhasan
karakteristik pada kawasan pesisir dan lautan, sehingga menyabakan kondisi fisik
perairan yang berbeda-beda (Dauhari dkk, 1996).
Spesies mangrove yang terdapat di suatu lokasi dapat berbentuk
monospesies (tunggal) atau spesies campuran yang paralel terhadap garis pantai.
Aspek-aspek yang menyebabkan terjadinya zonasi mangrove menjadi perdebatan
dan Santos et al (1997) menyatakan bahwa untuk meneliti zonasi mangrove dapat
dilakukan dengan menggunakan pola berdasarkan :
a. Suksesi Tumbuhan :
Pola zonasi spasial dihasilkan dari sekuens suksesi mangrove berdasarkan waktu
sampai mencapai klimaksnya
28
b. Perubahan Geomorfologi
Asumsi yang digunakan adalah perkembangan pola zonasi berdasarkan waktu dan
spasial yang dinamis sebagai akibat dari perubahan fisik dan lingkungan pada
zona mid littoral seperti perubahan ukuran, konfigurasi, topografi dan geologi.
c. Fisiologi-Ekologi
Masing-masing spesies memiliki kondisi lingkungan yang optimum dan terbatas
pada segmen tertentu untuk perubahan lingkungan yang terjadi.
d. Dinamika populasi
Zonasi merupakan respons terhadap perubahan faktor biotik seperti kompetisi
interspesifik, reproduksi tumbuhan, strategi kolonisasi.
Temperatur air dan udara serta banyaknya curah hujan menentukan jenis-
jenis mangrove yang terdapat di suatu lokasi. Macnae (1966) berpendapat bahwa
distribusi dan zonasi mangrove merupakan interaksi antara :
1. Frekuensi pasang surut yang menggenangi,
2. Kadar garam air lahan/tanah; dan,
3. Kadar air lahan (drainase).
Johnstone dan Frodin (1983) mengusulkan enam tipe yang menyebabkan
terjadinya zonasi yaitu:
kedalaman air
penggenangan - ombak
pengeringan
salinity/freshwater
mendominasi
substrat
Biota dan interaksi biotik
29
Beberapa atau semua di atas faktor sudah sering dikemukakan tetapi faktor
terakhir sering diabaikan. Pengetahuan tentang zonasi bermanfaat secara ekologis
dan manajemen silvikultur dimana kebutuhan tentang posisi hutan untuk memilih
habitat yang sesuai untuk jenis-jenis pohon tertentu dapat diketahui. Contohnya
adalah Rhizopora apiculata ditanam menuju ke zona darat untuk
pengembangannya secara marginal. Beberapa contoh zonasi diuraikan sebagai
berikut:
Macnae ( 1966), membagi zonasi mangrove sebagai berikut :
1. menuju ke darat
(a) zone Ceriops semak belukar
(b) zone Bruguiera hutan
(c) zone Rhizophora hutan
2. menuju ke laut
(a) Avicennia zone (b) Sonneratia zone
30
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober – November 2010, di
pantai teluk lombok Kecamatan Sangatta Selatan Kutai Timur
B. Alat dan bahan
Tabel Alat Dan Bahan
No Nama Alat dan Bahan Jumlah Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
Meteran
Camera
Alat Tulis
Tal i
Tumbuhan mangrove
Satu Buah
Satu Unit
Satu Set
50 Meter
Mengukur Areal Penelitian
Mengambil gambar Pada saat Pengambilan data di Lapangan
Mencatat Data-data yang diperlukan dalam penelitian
Membuat Petakan Penelitian
Objek Penelitian
C. Prosedur Penelitian
1. Persiapan 2. Pemilihan Stasiun3. Pengambilan Data
31
4. Pengolahan Data
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D. G. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor
Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut.
Pusat Kajian Bengkulu Utara, Bengkulu. 2004. Jakarta.
Begen DG. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam dan Pesisir dan Laut
serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan-IPB. Institut Pertanian Bogor.
Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional
Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002
Noor, Y. R., Khazali, M., Suryadiputra, I. N. N 1999. Penduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IF. Bogor
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa
Nybakkken JW. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa:
H. M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, S. Sukardjo.
PT Gramedia. Jakarta
Sukardjo, S. 1986. Natural regeneration status of commercial mangrove 32
species (Rhizophora mucronata and Bruguiera gymnorrhiza) in
mangrove forest of Tanjung Bugin, Banyuasin District, South Sumatera.
Forest Ecology and Mangrove
Tomlinson, 1986 , The Botany of Mangrove , New York : Cambridge University Press
33
Oleh H. Mohammad Eidman Et Al. Pene BENGEN, D. G. 2004. Mengenal dan Memelihara Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.
NONTJI, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta : 105 – 114.
Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL-IPB. Bogor.
Dahuri, R., dkk. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
English, S., C.Wilkinson and V.Baker (editors). 1994. Survey Manual For
Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville.
FAO. 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. FAO Forestry Paper
117, Rome.
Nybakken, J.W. Biologi Laut: Suatu Tinjauan Ekologis (Terjemahan).
Gramedia. Jakarta.
Tomascik, T., et al. 1997. The Ecology of Indonesian Seas. Volume VIII
Part Two. Periplus Edition. Canada.
Walter, H. 1971. Ecology of Tropical and Subtropical Vegetation. Van
Norstrand-Reinhold. NewYork.
Idris, I. 2001. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta. Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.
Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. Jakarta. LKIS.
34
Kusnadi. 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Jember. Pondok Edukasi & Pokja Pembaruan.
Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Bogor. Cidesindo.
Dahuri. R 2001, Pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan secara terpadu, Pradya
Paramita, Jakarta
G. Bengen Dietriech, 2004. Pengenalan Dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Penerbit PKSPL-IPB
Hutabarat dan Evan,1984. Pengantar Oseanografi, Penerbit Universitas Indonesia
Ismunarty. C, 2002. peelestarian dan pengelolaan sumber daya alam di pesisir tropis. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
35