Upload
dennys-bercia
View
100
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Proposal Tempe
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan kerja sangatlah penting, karena kesehatan kerja berkaitan erat dengan
keefisiensian kerja seorang karyawan. Tingkat produktivitas seorang karyawan akan rendah
jika kesehatannya terganggu akibat lingkungan kerja yang buruk. Sebaliknya, seorang
karyawan yang bekerja di lingkungan kerja yang bersih, sehat dan tenang akan mampu
mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Selain produktivitas, kualitas atau mutu
produk juga akan mengalami peningkatan. Gangguan-gangguan terhadap kesehatan kerja
yang jika tidak ditanggulangi sesegera mungkin akan menyebabkan timbulnya penyakit yang
secara umum dapat digolongkan menjadi dua yaitu penyakit umum dan penyakit akibat kerja.
Bekerja dengan tubuh dan lingkungan yang sehat, aman serta nyaman merupakan hal
yang diinginkan oleh semua pekerja. Lingkungan fisik tempat kerja dan lingkungan
organisasi merupakan hal yang sangat penting dalam mempengaruhi sosial, mental dan fisik
dalam kehidupan pekerja. Kesehatan suatu lingkungan tempat kerja dapat memberikan
pengaruh yang positif terhadap kesehatan pekerja, seperti peningkatan moral pekerja,
penurunan absensi dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya tempat kerja yang kurang sehat
atau tidak sehat (sering terpapar zat berbahaya yang mempengaruhi kesehatan) dapat
meningkatkan angka kesakitan dan kecelakaan, rendahnya kualitas kesehatan pekerja,
meningkatnya biaya kesehatan dan banyak lagi dampak negatif lainnya.
Tempe merupakan makanan yang digemari masyarakat, baik masyarakat kalangan
bawah hingga atas. Keberadaannya sudah lama diakui sebagai makanan yang sehat, bergizi
dan harganya murah. Hampir seluruh kota di Indonesia dijumpai industri tahu dan tempe.
umumnya industri tahu dan tempe termasuk ke dalam industri kecil yang dikelola oleh rakyat
dan beberapa di antaranya masuk dalam wadah Koperasi Pengusaha Tahu dan Tempe
(KOPTI).
Proses pembuatan tempe masih sangat tradisional dan banyak memakai tenaga
manusia. Bahan baku utama yang digunakan adalah kedelai (Glycine spp). Konsumsi kedelai
Indonesia pada Tahun 1995 telah mencapai 2.287.317 Ton (Sri Utami, 1997). Sarwono
1
(1989) menyatakan bahwa lebih dari separuh konsumsi kedelai Indonesia dipergunakan untuk
diolah menjadi tempe dan tahu.
Industri rumah tangga merupakan industri kecil yang bergerak di sektor informal yang
menjadi dasar industrialisasi di Indonesia. Industri ini tersebar di berbagai sentra usaha kecil
di Jakarta, salah satunya adalah sentra industri tempe yang berada di RT 05, 06, 07, dan 08
RW 02 kelurahan pasarminggu. Pekerja di industri pembuatan tempe masih tergolong belum
mendapatkan pelayanan kesehatan kerja ataupun jaminan atas kesehatan seperti yang
diharapkan, apabila terjadi penyakit akibat kerja.
Higiene perseorangan dapat juga disebut dengan kebersihan diri yang merupakan
usaha dari individu dengan cara mengendalikan kondisi lingkungan terhadap kesehatan,
upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh faktor lingkungan yang merugikan
serta membuat kondisi lingkungan sedemikian sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan
Penelitian yang dilakukan oleh Louise Ferdinandus didapatkan prevalensi DAK sebesar 35 %
pada pekerja industri tempe di cipulir dengan jenis kelainan kulit terbanyak adalah kalus,
mikosis (tinea pedis, onikomikosis), dermatitis kontak, miliaria dan paronikia serta lokasi
kelainan terutama di tangan dan kaki.1
Adapun penyebab dari terjadinya dermatosis antara lain agen fisik : kelembaban, agen
kimia : asam, basa, pelarut lemak, agen biologi : mikroorganisme (mikroba, fungi), parasit
kulit dan produk-produknya juga menyebabkan penyakit kulit.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka perlu dilakukan pengkajian mengenai berbagai
faktor yang berhubungan berhubungan dengan kejadian dermatosis pada pekerja sektor
informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RT 05, 06, 07, dan 08 RW 02 Kelurahan
Pasarminggu 2.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah, faktor-faktor apa
yang berhubungan dengan kejadian dermatosis pada pekerja sektor informal industri rumah
tangga pembuatan tempe di RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan
08.
2
1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui berbagai faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatosis pada
pekerja sektor informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RW 02 Kelurahan Pasar
minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan pemakaian APD pada pekerja sektor informal industri rumah tangga
pembuatan tempe di RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08
b. Mendeskripsikan higiene perorangan pada pekerja sektor informal industri rumah tangga
pembuatan tempe di RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
c. Mendeskripsikan masa kerja pada pekerja sektor informal industri rumah tangga
pembuatan tempe di RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
d. Mendeskripsikan dermatosis pada pekerja sektor informal industri rumah tangga
pembuatan tempe di RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
e. Mendeskripsikan bagian pekerjaan pada pekerja sektor informal industri rumah tangga
pembuatan tempe di RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
f. Mendeskripsikan pengetahuan pada pekerja sektor informal industri rumah tangga
pembuatan tempe di RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
g. Mendeskripsikan jam kerja pada pekerja sektor informal industri rumah tangga pembuatan
tempe di RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
h. Mendeskripsikan tingkat pendidikan pada pekerja sektor informal industri rumah tangga
pembuatan tempe di RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
i. Mendeskripsikan usia pada pekerja sektor informal industri rumah tangga pembuatan
tempe di di RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
j. Mendeskripsikan jenis kelamin pada pekerja sektor informal industri rumah tangga
pembuatan tempe di RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
3
k. Menganalisis hubungan antara pemakaian APD dengan kejadian dermatosis pada pekerja
sektor informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar minggu 2,
yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
l. Menganalisis hubungan antara higiene perorangan dengan kejadian dermatosis pada
pekerja sektor informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar
minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
m. Menganalisis hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatosis pada pekerja sektor
informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu
di RT 05, 06, 07, dan 08.
n. Menganalisis hubungan antara jam kerja dengan kejadian dermatosis pada pekerja sektor
informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu
di RT 05, 06, 07, dan 08.
o. Menganalisis hubungan antara bagian pekerjaan dengan kejadian dermatosis pada pekerja
sektor informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar minggu 2,
yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
p. Menganalisis hubungan antara pengetahuan dengan kejadian dermatosis pada pekerja
sektor informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar minggu 2,
yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
q. Menganalisis hubungan antara usia dengan kejadian dermatosis pada pekerja sektor
informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu
di RT 05, 06, 07, dan 08.
r. Menganalisis hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian dermatosis pada pekerja
sektor informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar minggu 2,
yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
s. Menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian dermatosis pada pekerja
sektor informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar minggu 2,
yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
4
1.4 Hipotesis
Berdasarkan variabel yang diteliti maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut
1. ada hubungan antara dermatosis dengan umur, jenis kelamin, higiene perorangan,
pengetahuan, jam kerja, masa kerja, tingkat pendidikan, dan bagian pekerjaan pada
pekerja industri tempe.
2. ada hubungan antara dermatosis dengan alat pelindung diri pada industri tempe.
3. ada hubungan antara dermatosis dengan air sisa/limbah industri tempe.
4. Pekerja yang bekerja di bagian pencucian, perebusan, dan perendaman mempunyai
risiko yang lebih besar untuk menderita DAK dibandingkan dengan pekerja di bagian
lain.
1.5 Manfaat Penelitian
Bagi peneliti untuk menambah pengalaman belajar serta wawasan tentang ilmu
kedokteran komunitas.
Manfaat bagi masyarakat sebagai masukan bagi pemilik industri tempe mengenai
penyakit dermatosis yang timbul akibat kerja pada pekerja sektor informal industri rumah
tangga pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
Manfaat bagi instalasi kesehatan bagi puskesmas kecamatan pasarminggu untuk
mengetahui adanya hubungan antara kejadian dermatosis dengan pelaksanaan keselamatan
kesejatan kerja.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada factor keselamatan dan kesehatan kerja,
yaitu: pekerja, alat, dan bahan yang berhubungan dengan dermatosis akibat kerja pada
pekerja sektor informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar
minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08.
\
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Kulit Akibat Kerja
Kulit terdiri atas dua unsur dasar yaitu epidermis dan dermis. Epidermis luar
bertindak sebagai pelindung dan tidak bisa basah, sedangkan dermis memberikan kekuatan
pada kulit yang sebagian besar karena kandungan kolagennya. Kemampuan epidermis untuk
menahan air, merupakan masalah potensial karena permukaan yang berlemak memudahkan
penyerapan bahan yang mudah larut, dan ini merupakan jalan masuk banyak bahan-bahan
kimia organik. Penyakit kulit dapat ditandai oleh lesi yang timbul dan tersebar, bercak
kemerahan yang membentuk gambaran geografik berbatas tegas di daerah yang terkena
serangan dari luar, dan iritasi tegas terbatas yang merupakan sisa wilayah cedera. Penyakit
kulit akibat kerja atau yang didapat sewaktu melakukan pekerjaan, banyak penyebabnya
antara lain agen sebagai penyebab penyakit kulit tersebut antara lain berupa agen-agen fisik,
kimia maupun biologis.Dermatosis menurut Joko Suyono bahwa kelainan kulit yang timbul
akibat kontak dengan bahan-bahan yang berhubungan dengan pekerjaan, lingkungan dan
tempat kerja.2,3
2.2 Jenis-jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja3
a. Dermatitis kontak iritan primer, adalah dermatosis akibat kerja yang paling sering
ditemukan. Bentuknya mirip dengan kebanyakan dermatosis yang lain dan penyebabnya
tidak mudah dikenali.
b. Dermatitis kontak alergi, baik akut maupun kronis, mempunyai ciri-ciri klinis yang sama
dengan ekzema bukan akibat kerja.
c. Akne (jerawat) akibat kerja. Mirip dengan jerawat pada umumnya, tetapi terutama
menyerang bagian yang kontak dengan agen.
d. Dermatosis solaris akut. Penyakit kulit yang dianggap sebagai penyakit kulit akibat kerja,
yang sangat dipermudah oleh zat-zat fotodinamik yang digunakan dalam pekerjaan tersebut.
6
2.3 Dermatosis Akibat Kerja3,4
Dermatosis akibat kerja adalah segala kelainan kulit yang timbul pada waktu bekerja
atau disebabkan oleh pekerjaan, istilah dermatosis lebih tepat dari pada dermatitis, sebab
kelainan kulit akibat kerja tidak usah selalu suatu peradangan, melainkan juga tumor atau
alergi. Presentasi dermatosis akibat kerja dari seluruh penyakit-penyakit akibat kerja sekitar
50%-60%, maka dari itu penyakit tersebut pelu mendapatkan perhatian yang cukup. Adapun
ciri dari dermatosis itu sendiri adalah kulit mengelupas, berwarna kemerah-merahan disertai
rasa gatal pada kulit.
2.4 Agen Penyebab Dermatosis Akibat Kerja3,4
Agen-agen penyebab dermatosis antara lain adalah :
1. Agen fisik. Antara lain tekanan atau gesekan, kondisi cuaca (angin hujan, cuaca beku,
matahari), panas, radiasi (ultraviolet, ionisasi), dan serat-serat mineral.
2. Agen-agen kimia. Terbagi menjadi empat kategori :
(a) Iritan primer : Asam, basa, pelarut lemak, deterjen, garamgaram logam (arsen, air raksa)
(b) Sensitizer : Logam dan garam-garamnya (kromium, nikel, kobalt), senyawa-senyawa
yang berasal dari anilin (p-feniloendiamin, pewarna azo) derivat nitro aromatik
(trinitrotoluen), resin (khususnya monomer dan aditif seperti epoksiresin, formaldehid, vinil,
akrilik, akselerator, platicizer), bahan-bahan kimia karet (vulcanizer seperti dimetil tiuram
disulfida, antioksidan), obat-obatan dan antibiotik (misalnya prokain, fenotiazin, klorotiazid,
penisilin dan tetrasiklin), kosmetik, terpentin, tanam-tanaman (misalnya primula dan
chrysanthemum).
(c) Agen-agen aknegenik : Naftalen dan bifenil klor, minyak mineral.
(d) Photosensitizer : Antrasen, pitch, devirat asam aminobenzoat, hidrokarbon aromatik klor,
pewarna akridin.
3. Agen biologis. Mikroorganisme (mikroba, fungi), parasit kulit dan produkproduknya juga
menyebabkan penyakit kulit. Dari seluruh penyebab-penyebab ini bahan kimialah yang
paling penting, oleh karena bahan-bahan itulah yang banyak digunakan oleh industriindustri.
Ada dua cara bahan kimia ini menimbulkan dermatosis, yaitu dengan jalan perangsangan atau
pemekaan kulit (sensitisasi), bahan-bahan yang menyebabkan iritasi disebut perangsang
7
primer sedangkan penyebab sensitisasi disebut pemeka. Perangsang primer mengadakan
rangsangan kepada kulit, dengan jalan melarutkan lemak kulit, dengan mengambil air dari
lapisan kulit dengan oksidasi atau reduksi sehingga kesetimbangan kulit terganggu dan
timbullah dermatosis.
2.6 Pencegahan Dermatosis Akibat Kerja3,4
Pencegahan dermatosis akibat kerja dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :
1. Penilaian bahan-bahan yang akan digunakan di perusahaan.
2. Mengganti bahan-bahan yang berbahaya dengan yang tidak berbahaya.
3. Pendidikan.
4. Hygine personal dan perusahaan.
5. Alat Pelindung Diri (APD).
6. Pemeriksaan pra kerja.
Adapun upaya penanggulangan secara umum untuk mencegah penyakit kulit akibat kerja
antara lain sebagai berikut :
1. Bilamana mungkin alergen kuat sensitizer dan karsilogen hendaknya diganti dengan zat-zat
yang kurang berbahaya.
2. Kontak kulit dengan agen penyebab hendaknya di batasi dengan pengendalian teknologi.
3. Eliminasi kontak kulit dengan bahan penyebab.
4. Pakaian pelindung (apron, sarung tangan, topeng wajah).
5. Penyediaan fasilitas dasar untuk kebersihan diri, hendaknya di sediakan APD dan
penggunaannya diharuskan untuk digunakan selama jam kerja.
2.7 Diagnosa Dermatosis Akibat Kerja2,3,4
Menegakkan suatu diagnosa penyakit akibat kerja tidaklah mudah, keadaan
dermatosis sangatlah banyak, untuk itu haruslah diikuti cara diagnosa penyakit-penyakit
akibat kerja pada umumnya. Haruslah tenang, kapan dermatosis itu mulai, selanjutnya perlu
pengetahuan tentang lingkungan kerja si penderita, apakah benar penyakit tersebut berada
8
dalam lingkungan. Bila ada, bagaimana keterangannya tentang cara penyebab itu
menimbulkan penyakit tersebut, apakah secara infeksi, apakah perangsangan primer, ataukah
pemekaan. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan memperhatikan penyebab-penyebab yang
ada dalam lingkungan kerja dan dengan uji laboratorium, ataupun klinis. Sangat penting
diketahui ialah “patch test” yang dapat memastikan adanya bahan yang bekerja sebagai
pemeka terhadap si pekerja. Satu cara uji sederhana, apakah dermatosis itu akibat kerja atau
tidak, ialah memberi cuti beberapa hari kepada penderita, apabila penyakit itu bersumber
kepada pekerjaan, biasanya dengan cuti demikian dermatosis menjadi berkurang, bahkan
mungkin menjadi baik sama sekali.
2.8 Umur dan jenis Kelamin Pekerja1
Kerentanan jaringan berubah sesuai dengan umur. Kepekaan terhadap iritan
meningkat pada anak-anak dan menurun pada orang yang lebih tua. Di dalam tubuh terus
terjadi perubahan fisiologis dan kimiawi, terjadi proses penuaan dari jaringan tubuh termasuk
jaringan kulit.Penelitian oleh Fregert dan laporan New house (1992) menunjukkan bahwa
prevalensi DAK menurun pada pekerja yang berusia sangat muda dan meningkat pada
pekerja berusia 55 tahun keatas. Coenraads, dkk (1985) menemukan bahwa risiko terjadinya
DAK meningkat sejalan dengan bertambahnya umur.
Dari segi fisik, biologik dan sosiokultural terdapat perbedaan antara pekerja laki-laki
dan perempuan. Dermatitis kontak lebih banyak/sering ditemukan pada perempuan daripada
laki-laki, hal ini mungkin disebabkan perbedaan lingkungan kerja dan pekerjaan perempuan
yang khas dan bersifat gender seperti mencuci, kosmetik (Hjorth, 1987). Meningkatnya
kejadian dermatitis kontak iritan mungkin dihubungkan dengan seringnya terpajan terhadap
iritan dan suasana kerja yang basah sehingga frekuensi terjadinya DAK berbeda pada
pekerjaan tertentu antara laki-laki dan perempuan.
2.9 Keselamatan dan kesehatan kerja2
Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta
prakteknya yang bertujuan, agar pekerja/masyarakat pekerja beserta memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya, baik fisik, atau mental, maupun sosial, dengan usaha-
usaha preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit/gangguan - gangguan kesehatan yang
diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit
umum.
9
Hiperkes pada dasarnya merupakan penggabungan dua disiplin ilmu yang berbeda
yaitu medis dan teknis yang menjadi satu kesatuan sehingga mem`punyai tujuan yang sama
yaitu menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif.
2.10 Alat Pelindung Diri (APD)2
Bila pengendalian pada sumber atau selama transmisi tidak mungkin dilakukan maka
diperlukan perlindungan tambahan, dengan menyediakan pelindung perorangan yang disebut
alat pelindung diri (APD). Jenis-jenis alat pelindung diri (APD) Antara lain adalah :
1. Pelindung mata dan muka (kaca mata biasa, kaca mata pelindung, tameng muka).
Perlindungan ini diberikan untuk menjaga terhadap dampak pertikelpartikel kecil yang
terlempar dengan kecepatan rendah, dampak partikelpartikel berat dengan kecepatan tinggi,
percikan cairan panas atau korosif, kontak mata dengan gas atau uap iritan, dan berkas radiasi
elektromagnetik dengan berbagai panjang gelombang, termasuk sinar laser.
2. Pelindung kulit dan tubuh (pakaian atau baju pelindung, sarung tangan, sepatu boot)
Pelindung ini meliputi perlindungan kaki, tangan, dan tubuh terhadap kerusakan akibat bahan
korosif dan yang menimbulkan dermatosis, penyerapan ke dalam tubuh melalui kulit, panas
radian, dingin, radiasi pengion dan bukan pengion, kerusakan fisik.
2.11 Masa Kerja dan Jam Kerja3
Lamanya seseorang bekerja sehari secara baik pada umumnya 6-8 jam dan sisanya
untuk istirahat atau kehidupan dalam keluarga dan masyarakat. Memperpanjang waktu kerja
lebih dari itu biasanya diserta penurunan efisiensi timbulnya kelelahan penyakit dan
kelelahan. Dari penelitian-penelitian yang sebelumnya menunjukkan bahwa pengurangan jam
kerja dari 8¾ ke jam 8 disertai meningkatnya efisiensi hasil per waktu dengan kenaikan
produktivitas 3 sampai 10%. Absensi meningkat dengan cepat jika jam kerja melebihi 63,2
seminggu untuk pria dan melebihi 57,3 untuk wanita. Jumlah jam kerja tersebut dalam
seminggu yang memungkinkan seorang tenaga kerja dapat bekerja dengan baik adalah 40
jam. Lebih dari ini telah diuraikan menunjukan hal-hal yang merugikan. Pengaruh masa kerja
terhadap penyakit kulit yang dialami oleh para pekerja industri tahu bila tidak diimbangi
dengan kebersihan individu pekerja akan berdampak buruk terhadap kulit pekerja itu
dikarenakan adanya kontak langsung dengan bahan kimia (asam cuka) dan air sisa (buangan)
pembuatan tempe dalam jangka waktu relatif lama. Makin lama pekerja bekerja maka makin
besar peluang terjadinya dermatosis.
10
2.12 Higiene Perorangan5
Higiene perorangan disebut juga kebersihan diri yang memiliki pengertian yaitu suatu
pengetahuan tentang usaha kesehatan perorangan untuk dapat memelihara kesehatan diri
sendiri, memperbaiki, mempertinggi nilai kesehatan dan mencegah timbulnya penyakit.
Menurut Labensky mendefinisikan sanitasi sebagai penciptaan atau pemeliharaan kondisi
yang mampu mencegah terjadinya kontaminasi makanan atau terjadinya penyakit yang
diakibatkan oleh makanan. Higiene perorangan adalah ilmu yang berhubungan dengan
masalah kesehatan dan berbagai usaha untuk mempertahankan atau untuk memperbaiki
kesehatan.
Berkaitan dengan upaya ini higiene perorangan yang terlibat dalam pengolahan
makanan perlu diperhatikan untuk menjamin keamanan makanan. Di Amerika Serikat, 25%
dari semua penyebaran penyakit melalui makanan disebabkan pengolahan makanan yang
terinfeksi dan sanitasi perorangan yang buruk. Suatu sikap yang baik terhadap kebersihan
perseorangan saat bekerja belum otomatis terwujud dalam suatu perbuatan diperlukan faktor
pendukung, antara lain adalah fasilitas kesehatan.
Higiene mencakup juga masalah perawatan kesehatan diri, termasuk ketepatan sikap
tubuh, dalam pengertian tersebut juga terkandung makna perlunya perlindungan bagi pekerja
yang terlibat dalam proses pengolahan takanan agar terhindar dari sakit, baik yang
disebabkan oleh penyakit pada umumnya, penyakit akibat kecelakaan ataupun penyakit
akibat prosedur kerja yang tidak memadai. Adapun usaha untuk menjaga kebersihan dan
kesehatan tubuh antara lain sebagai berikut :
1. Pencucian Tangan
Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri dan virus patogen
dari tubuh, faeces, atau sumber lain ke makanan, oleh karena itu pencucian tangan merupakan
hal pokok yang harus dilakukan oleh pekerja yang terlibat dalam penanganan makanan.
Langkah-langkah pencucian tangan yang memadai untuk menjamin kebersihan adalah
sebagai berikut :
a. Membasahi tangan dengan air mengalir dan menggunakan sabun.
b. Menggosok tangan secara menyeluruh selama sekurang-kurangnya 20 detik, pada bagian-
bagian meliputi punggung tangan, telapak tangan, sela-sela jari, dan bagian di bawah kuku.
11
c. Menggunakan sikat kuku untuk membersihkan sekeliling dan bagian di bawah kuku.
d. Pembilasan dengan air yang mengalir.
e. Pengeringan tangan dengan handuk kertas (tissue) atau dengan alat pengering.
f. Menggunakan alas kertas (tissue) untuk mematikan tombol atau kran air dan membuka
pintu ruangan.
2. Kebersihan dan Kesehatan Diri Syarat utama pengolah makanan adalah memiliki
kesehatan yang baik, ada beberapa kebiasaan yang perlu dikembangkan oleh pengolah
makanan, untuk menjamin keamanan makanan yang diolahnya, beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut :
a. Berpakaian dan Berdandan
Pakaian pengolah dan penyaji makanan harus selalu bersih, apabila tidak ada
ketentuan khusus untuk penggunaan seragam, maka pakaian sebaiknya tidak bermotif dan
berwarna terang.
b. Rambut
Rambut pekerja harus selalu dicuci secara periodik. Selama mengolah atau
menyajikan makanan harus dijaga agar rambut tidak terjatuh ke dalam makanan.
c. Kondisi Sakit
Pekerja yang sedang flu, demam, atau diare sebaiknya tidak dilibatkan terlebih dahulu
dalam memproses pengolahan makanan, sampai gejalagejala tersebut hilang. Pekerja yang
memiliki luka pada tubuhnya harus menutup luka tersebut dengan pelindung yang kedap air.
Faktor-faktor Yang Berkaitan Dengan Higiene Perorangan:
a. Pengendalian Penyakit
Pengendalian penyakit meliputi kebersihan tubuh, pemeriksaan kesehatan,
peningkatan gizi dan kesadaran akan arti pentingnya sanitasi perorangan.
b. Kebersihan Selama Bekerja
12
Kebersihan selama bekerja penting untuk menghindari dan mencegah terjadinya
penyebaran sumber-sumber penyakit.
c. Pendidikan dan Penyuluhan
Pendidikan dan penyuluhan tentang kebersihan dan kesehatan kerja kepada karyawan
tidak saja dapat meningkatkan efisiensi produktivitas tenaga kerja, tetapi juga memberikan
dampak yang baik yaitu dihasilkannya produk-produk yang bermutu baik, bersih dan
memenuhi persyaratan.
2.12 Proses pengolahan tempe6
Industri Pembuatan Tempe Sesuai dengan perkembangan zaman kondisi lingkungan
untuk usaha pengolahan tempe perlu beberapa pertimbangan untuk menjaga kelangsungan
produksi, keamanan, dan kebersihan, adapun proses yang dilakukan dalam pembuatan tempe
pertama-tama dilakukan sebagai berikut :
1. Kedelai dimasak, setelah masak kedelai direndam 1 malam hingga lunak dan terasa
berlendir, kemudian kedelai dicuci hingga bersih.
2. Kedelai dipecah dengan mesin pemecah, hingga kedelai terbelah dua dan kulit kedelai
terpisah.
3. Kulit kedelai dipisahkan dengan cara hasil pemecahan kedelai dimasukkan ke dalam
air, sehingga kulit kedelai mengambang dan dapat dipisahkan.
4. Kedelai kupas dicuci kembali hingga bersih, kemudian peragian dengan cara kedelai
dicampurkan ragi yang telah dilarutkan dan didiamkan selama lebih kurang 10 menit.
5. Kedelai yang telah mengandung ragi ditiriskan hingga hampir kering, kemudian
dibungkus dengan daun pisang. Setelah fermentasi selama 2 hari diperoleh tempe.
13
Kerangka Teori
14
BAB III
15
Pekerja
Umur
Jenis kelamin
hygiene perorangan
tingkat pendidikan
pengetahuan
masa kerja
jam kerja
bagian kerja
Bahan
Air sisa buangan
Riwayat penyakit kulit
Riwayat alergi
Alat
APD (alat pelindung diri)
Dermatosis akibat kerja (DAK)
Lingkungan kerja
Panas
Basah
asam
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
3.2 Variabel dan Definisi Operasional
16
Bahan
Air sisa buangan
Pekerja
Umur
Jenis kelamin
hygiene perorangan
tingkat pendidikan
pengetahuan
masa kerja
jam kerja
bagian kerja
Dermatosis akibat kerja
Alat
APD (Alat pelindung diri)
Variabel Definisi operasional Cara ukur
dan alat ukur
Hasil ukur Skala
Variabel
dependent
Dermatosis
akibat kerja
Kelainan kulit akibat bekerja di industri tempe. Dengan gambaran klinis berupa dermatitis kontak, dermatomikosis, infeksi kulit, miliaria, callus dengan penyebab utama adalah pajanan di tempat kerja. Diagnosis berdasarkan kelainan kulit diatas.
Cara ukur:
anamnesa
dan
pemeriksaan
fisik
Alat ukur: -
1. Sakit
2. Tidak sakit
Nominal
Variabel
independent
Masa kerja Lamanya pekerja telah bekerja di
inustri tempe saat penelitian
maupun sebelumnya.
Dikategorikan berdasarkan
lamanya waktu yang
memungkinkan munculnya DAK
Cara ukur:
wawancara
Alat ukur:
kuesioner
1. > 5 tahun
2. <= tahun
Nominal
Higiene
perorangan
Kebiasaan pekerja untuk cuci
tangan dan kaki dengan air bersih
serta mengganti pakaian setelah
selesai bekerja.
Penilaian:
- Baik bila selalu mencuci
tangan dan kaki serta
mengganti pakaian setelah
bekerja
- kurang bila kadang-kadang
atau tidak pernah
Cara ukur:
wawancara
Alat ukur:
kuesioner
1. Kurang
2. Baik
Nominal
Umur Umur pekerja dalam tahun
menurut ulang tahun terakhir pada
Cara ukur: 1. > 40 tahun Nominal
17
waktu dilakukan pengumpulan data
penelitian.
Dikategorikan berdasarkan umur
dimana risiko terjadinya DAK
meningkat.
wawancara
Alat ukur:
kuesioner
2. <=40 tahun
Bagian kerja Tempat dimana pekerja paling
lama melaksanakan pekerjaannya
setiap hari.
Dikategorikan berdasarkan ada
atau tidaknya hazard di bagian
kerja tersebut.
Cara ukur:
Wawancara
Alat ukur:
Kuesioner
1. Pencucian,
perebusan,
dan
perendaman
2. Bukan
pencucian,
perebusan,
dan
perendaman
Nominal
Air sisa
buangan
Seluruh buangan cair yang berasal
dari proses seluruh kegiatan yang
meliputi limbah domestik cair yakni
buangan kamar mandi, dapur,
limbah industri tempe.
- Terpajan bila pekerja selalu
terpajan air sisa/limbah
- Tidak terpajan bila pekerja
kadang-kadang atau tidak
pernah
Cara ukur:
wawancara
Alat ukur:
kuesioner
1. Terpajan
2. Tidak
terpajan
Nominal
APD Alat yang digunakan untuk
menjaga keselamatan dan
kesehatan pekerja, seperti sarung
Cara ukur:
wawancara
1. Kurang
baik
Nominal
18
tangan dan sepatu.
- Baik bila pekerja selalu
pakai, jenis sesuai dengan
kebutuhan, saat
pengamatan pekerja
memakai APD
- Kurang baik bila pekerja
kadang-kadang pakai/ tidak
pakai, jenis tidak sesuai, dan
tidak memakai APD saat
pengamatan
Alat ukur:
kuesioner
2. Baik
Jenis kelamin Sifat kelamin dari pekerja Cara ukur:
wawancara
Alat ukur:
kuesioner
1. Laki-laki
2. perempuan
Nominal
Tingkat
Pendidikan
Jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah ditempuh dan berijazah
- rendah bila belum pernah sekolah, SD tidak tamat/tamat
- sedang bila SMP tidak tamat/tamat, SMA tidak tamat
- tinggi bila SMA tamat, kuliah tidak tamat/tamat
Cara ukur:
wawancara
Alat ukur:
kuesioner
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
Ordinal
Jam kerja Waktu kerja (dari mulai sampai
selesai) dalam satu hari tidak
termasuk waktu istirahat.
Dikategorikan berdasarkan rata-
rata jam kerja perhari, yaitu:
- Lebih dari 8 jam perhari
- Kurang dari sama dengan 8
jam perhari
Cara ukur:
wawancara
Alat ukur:
kuesioner
1. > 8 jam
2. <= 8 jam
Nominal
Pengetahuan Segala sesuatu yg diketahui;
kepandaian: atau segala sesuatu yg
diketahui pekerja berkaitan dengan
Cara ukur:
Wawancara
1. Kurang
2. Baik
Nominal
19
DAK dan pekerjaannya.
- Baik bila mengerti tentang
pekerjaannya dan DAK
atau penyakit akibat kerja
- Kurang bila tidak mengerti
tentang hubungan DAK dan
pekerjaannya
Alat ukur:
Kuesioner
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
20
4.1 Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan desain “Cross
sectional”.
4.2 Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05,
06, 07, dan 08, Jakarta Selatan karena Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti memiliki
kerjasama dengan Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu dan saat ini peneliti sedang sedang
ditugaskan ditempat tersebut. Penelitian dilakukan pada tanggal 25 Februari 2013 – 20
Maret 2013.
4.3 Subyek penelitian
1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah 75 orang pekerja sektor informal industri rumah tangga
pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08,
Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Tahun 2013.
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah seluruh pekerja sektor informal industri rumah tangga
pembuatan tempe di RW02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08,
Kecamatan Pasar Minggu.
Adapun kriteria inklusi dari sampel dalam penelitian ini sebagai berikut:
a) Seluruh pekerja sektor informal industri rumah tangga pembuatan tempe di RW02
Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08, Kecamatan Pasar Minggu,
Jakarta Selatan.
b) Bersedia menjadi responden
c) Responden yang komunikatif
Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
21
a) Seluruh warga RW 02 Kelurahan Pasar minggu 2, yaitu di RT 05, 06, 07, dan 08,
Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang bukan pekerja industri rumah tangga
tempe.
b) Tidak bersedia untuk menjadi responden
c) Responden yang tidak komunikatif
4.4 Teknik sampling
Sampel diambil dengan menggunakan metode judgmental sampling atau purposive
sampling. Peneliti memilih responden berdasarkan pada pertimbangan subjektif dan
praktis,bahwa responden tersebut dapat memberikan informasi yang memadai untuk
menjawab pertanyaan penelitian.
Proses pengambilan sampel dengan teknik ini dilakukan berdasarkan tingkat wilayah
secara bertahap. Tahap pertama dengan menentukan wilayahnya yaitu Kelurahan Pasar
Minggu II Kecamatan Pasar Minggu.
Jumlah sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebanyak 75 responden.
Jumlah sampel ini didapat dengan menggunakan rumus sebagai berikut (S.Sudigdo,
2008):
n = (Za)2 PQ
(d)2
Keterangan :
n = besarnya sampel
a = batas kemaknaan, yang digunakan adalah 0,05
Za = untuk a sebesar 0,05 dari tabel dua arah didapatkan nilai 1,96
P = proporsi penyakit kejadian dermatosis (35% dari penelitian Louis Ferdinandus tentang
DAK pada pekerja tempe di Cipulir, Jakarta Selatan)
Q = 1-P
d = Akurasi dari ketepatan pengukuran untuk p > 10% adalah 0,05
22
Proporsi yang digunakan berdasarkan angka proporsi kejadian dermatosis di
Kelurahan Pasar Minggu 2, Kecamatan Pasar minggu, Jakarta Selatan tahun 2013 sebesar
35%. berdasarkan rumus di atas didapatkan sampel:
n = (1,96) 2 x 0,35 x (1-0,35)
(0,05) 2
= 349,58 dibulatkan menjadi 349
n = 349 responden
Rumus Populasi finit:
n = Besar sample yang di butuhkan untuk populasi finit
No = Besar sample dari populasi infinit = 349 responden
N = Besar sample populasi finit (seluruh pekerja industri tempe di Kelurahan Pasar
Minggu 2)
n = 349 = 61,77
(1+349/75)
n = 61,77 dibulatkan menjadi 62
Sample akhir, N1 = n + n (10%)
N1 = 62 + 62 (0.1)
N1 = 68,2
Jadi besar sampel penelitian 68 sampel
23
4.5 Identifikasi variable penelitian
Variabel independent
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. higiene perorangan
4. tingkat pendidikan
5. pengetahuan
6. masa kerja
7. jam kerja
8. bagian kerja
9. air sisa buangan
10. alat pelindung diri
Variabel dependen
Dermatosis akibat kerja
4.6 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian ini diambil dengan menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan tertutup dan terbuka tentang variabel-variabel penelitian yang diberikan langsung kepada responden untuk diisi, dan melalui proses wawancara.
24
4.7 Cara Pengumpulan Data
4.7.1 Alur Pengumpulan Data
Gambar 4.8. Alur Pengumpulan Data
4.7.2 Pengumpulan Data Primer
Data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dan kuesioner pada responden yang
dilakukan di industri rumah tangga pembuatan tempe di RT 05, 06, 07, dan 08 RW 02
Kelurahan Pasarminggu 2.
25
Proposal disetujui
Saringan populasi
Mengumpulkan sampel
Peneliti melakukan wawancara dan kuesioner
Peneliti mengumpulkan data
Peneliti mengolah dan menganalisis data dalam bentuk
tabular, tekstular dan grafik dengan menggunakan Microsoft
Word dan SPSS 17,0
Penyajian data dalam bentuk presentasi
4.7.3 Pengumpulan Data Sekunder
Data yang diperoleh dari pencatatan kejadian Dermatosis yang didapatkan dari
laporan surveillance Puskesmas Kelurahan Pasar Minggu II.
4.7.4 Pengumpulan Data Tersier
Data diperoleh dari buku teks, jurnal, dan penelitian yang ada sebelumnya.
4.8 Rencana pengolahan dan analisis data
Data yang telah berhasil diperoleh diolah secara elektronik setelah melalui proses
penyuntingan, pemindahan data ke komputer dan tabulasi. Data yang terkumpul dari hasil
kuesioner diolah, dianalisis dan dimasukkan dalam program computer Microsoft office excel
2007 dan SPSS 17.0.
Adapun langkah-langkah pengolahan data dilakukan seperti tahap-tahap dibawah ini :
1. Entry
Pemasukan data (data entry) yaitu memasukkan data kedalam program computer
yaitu SPSS untuk kemudian dianalisa.
2. Coding
Pengkodean data (data coding) yaitu mengklasifikasikan data dan memberi kode
atau simbol tertentu, misal berupa angka untuk setiap jawaban.
3. Editing
Pengeditan data (editing) yaitu mengeluarkan data yang dianggap janggal, yaitu
dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan melihat kelogisannya.
Setelah dicek kembali untuk memastikan data tersebut telah bersih dari kesalahan,
maka data tersebut siap untuk dianalisa.
4. Cleaning
Memeriksa kelengkapan data, kelengkapan kuesioner, apakah semua pertanyaan
telah dijawab dengan lengkap dan benar.
Memeriksa kesinambungan data, dalam arti tidak ditemukannya data atau
keterangan antara satu dengan yang lainnya.
Memeriksa keseragaman data, apakah ukuran yang digunakan dalam
mengumpulkan data sudah seragam atau tidak.
4.9 Analisis Data
26
4.9.1 Analisis Univariat
Analisis menggunakan distribusi frekuensi data berdasarkan nilai rata-rata
(mean) terhadap variabel-variabel yang diteliti.
4.9.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat yang digunakan adalah uji statistik chi-square, untuk mencari
hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel dependen dengan variabel
independen yang mengacu pada nilai p-value <0,05.
4.10 Penyajian Data
Tekstural, hasil penelitian disajikan dalam bentuk kalimat.
Tabulasi, hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel.
Grafik, hasil penelitian disajikan dalam bentuk diagram pie dan diagram batang
4.11 Jadwal Kegiatan Penelitian
Tahapan KegiatanWaktu Dalam Minggu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A Perencanaan
1 Orientasi dan Identifikasi Masalah
2 Pemilihan Topik
3 Penelurusan kepustakaan
4 Pembuatan Proposal
5 Konsultasi dengan pembimbing
6 Pembuatan questionnaire
7 Presentasi Proposal
B Pelaksanaan
1 Ujicoba questionnaire
2 Pengumpulan data dan Survey
3 Pengolahan data
4 Analisis data
5 Konsultasi dengan Pembimbing
C Pelaporan Hasil
27
1 Penulisan laporan sementara
2 Diskusi
3 Presentasi hasil laporan sementara
4 Revisi
5
Presentasi Hasil akhir
(puskesmas dan trisakti)
6 Penulisan laporan akhir
Tabel 2. Jadwal kegiatan
4.12 Perkiraan Biaya Penelitian
Penggandaan Kuesioner Rp. 150.000,-
Transportasi Rp. 200.000,-
Kertas A4 Rp 20,000,-
Tinta Printer Rp. 220.000,-
Cenderamata Rp 100,000,-
Biaya tak terduga: Rp. 300.000,-
Rp. 980.000,-
BAB V
28
HASIL PENELITIAN
5.1 Hasil Univariat
Analisa univariat ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik dari masing-
masing variabel yang diteliti di Kelurahan Pasar Minggu dua, Kecamatan Pasar Minggu
Jakarta Selatan dengan responden yang berjumlah 70 perajin tempe.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi kejadian DAK dan karakteristik responden pada perajin tempe
5.1.1 Karakteristik Responden
29
Karakteristik Respondenjumlah Persentase
Kejadian dermatosis akibat kerja- Sakit - Tidak sakit
1456
2080
Usia- <=40 tahun- > 40 tahun
4426
62,937,1
Jenis kelamin- Laki-laki- Perempuan
4327
61,438,6
Tingkat pendidikan- Rendah- Sedang
3436
48,651,4
Masa kerja- > 5 tahun- <= 5 tahun
4228
6040
Lama kerja- > 8 jam perhari- <= 8 jam perhari
3238
45,754,3
Alat pelindung diri- Kurang baik- Baik
4228
6040
Air sisa buangan- Terpapar - Tidak terpapar
3931
55,744,3
Higiene perajin- Kurang - Baik
2545
35,764,3
Pengetahuan- Kurang - Baik
4327
61,438,6
Bagian kerja- Pencucian, perendaman, dan perebusan- Bukan pencucian, perendaman, dan perebusan
3436
48,651,4
5.1.1.1 Dermatosis Akibat Kerja (DAK) pada perajin tempe
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 perajin tempe, diperoleh data tentang tentang
Dermatosis Akibat Kerja (DAK) pada perajin tempe. DAK pada perajin tempe sebanyak 14
orang (20%) , tidak terkena DAK sebanyak 56 orang (80%)
5.1.1.2 Usia perajin tempe
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 perajin tempe, perajin tempe berusia kurang dari
sama dengan 40 tahun sebanyak 44 orang (62,9%), perajin dengan usia lebih dari 40 tahun
sebanyak 26 orang (37,1%).
5.1.1.3 Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 perajin tempe, perajin laki-laki sebanyak 43
orang (61,4%), perajin perempuan sebanyak 27 orang (38,6%)
5.1.1.4 Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 perajin tempe, perajin yang berpendidikan rendah
yaitu perajin yang tidak bersekolah, SD/tamat SD sebanyak 34 orang (48,6%), dan
berpendidikan sedang yaitu SMP/tamat SMP sebanyak 36 orang (51,4%).
5.1.1.5 Masa kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 perajin tempe, perajin yang masa kerja lebih dari
5 tahun sebanyak 42 orang (60%) , dan perajin yang masa kerja kurang dari sama dengan 5
tahun sebanyak 28 orang (40%).
5.1.1.6 Lama kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 perajin tempe, perajin yang lama kerja lebih dari
8 jam perhari sebanyak 32 orang (45,7%), dan perajin yang masa kerja kurang dari sama
dengan 8 jam perhari sebanyak 38 orang (54,3%).
5.1.1.7 Alat pelindung diri
30
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 perajin tempe, perajin yang tidak
memakai/memakai APD dengan kurang baik sebanyak 42 orang (60%), dan perajin yang
memakai APD dengan baik sebanyak 28 orang (40%).
5.1.1.8 Air sisa buangan/limbah
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 perajin tempe, perajin yang terpapar air sisa
buangan sebanyak 39 orang (55,7%) ,dan perajin yang tidak terpapar/ kadang-kadang
terpapar sebanyak 31 orang (44,3%).
5.1.1.9 Higiene perorangan
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 perajin tempe, perajin yang kurang higienenya
sebanyak 25 orang (35,7%) , dan perajin yang baik higienenya sebanyak 45 orang (64,3%).
5.1.1.10 Pengetahuan
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 perajin tempe, perajin yang pengetahuannya
kurang mengenai DAK serta risiko-risiko yang dapat timbul dari pekerjaannya sebanyak 43
orang (61,4%) , dan perajin yang baik sebanyak 27 orang (38,6%).
5.1.1.11 Bagian kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 perajin tempe, perajin yang bekerja di bagian
pencucian, perendaman, dan perebusan sebanyak 34 orang (48,6%) , dan perajin yang
bekerja di bagian lain sebanyak 36 orang (51,4%).
5.2 Analisis Bivariat
31
5.2.1 Hubungan Usia Perajin dengan Dermatosis Akibat Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 responden, diperoleh data tentang hubungan
antara usia perajin dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja. Adapun secara lengkap
deskripsi hubungan antara usia perajin dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja
distribusi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
TABEL 2
kejadian dermatosis TotalSakit tidak sakit
usia perajin
<=4010 (22,7%) 34 (77,3%) 44
> 404 (15,4%) 22 (84,6%) 26
Total 14 56 70
p = 0,458 0,451<OR<5,804
Hasil analisis dengan Chi-Square menunjukkan bahwa perajin dengan usia kurang
dari 40 tahun yang menderita dermatosis 10 orang atau 22,7%, dan perajin yang usia lebih
dari 40 tahun yang menderita dermatosis 4 orang atau 15,4%. Dengan nilai p = 0,458 maka
Ho diterima, berarti tidak ada hubungan antara usia perajin dengan kejadian dermatosis
akibat kerja.
32
5.2.2 Hubungan jenis kelamin dengan Dermatosis Akibat Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 responden, diperoleh data tentang hubungan
antara jenis kelamin perajin dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja. Adapun secara
lengkap deskripsi hubungan antara jenis kelamin perajin dengan angka kejadian Dermatosis
akibat kerja distribusi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
TABEL 3
kejadian dermatosis Total
Sakit tidak sakit
jenis kelaminlaki-laki 11 (25,6%) 32 (74,4%) 43
perempuan 3 (11,1%) 24 (88,9%) 27
Total 14 56 70
p = 0, 141 0, 690<OR<10,952
Hasil analisis dengan Chi-Square menunjukkan bahwa perajing dengan jenis kelamin
laki-laki yang menderita dermatosis 11 orang atau 25,6%, dan perajin dengan jenis kelamin
perempuan yang menderita dermatosis 3 orang atau 11,1%. Dengan nilai p = 0,141 maka Ho
diterima, berarti tidak ada hubungan jenis kelamin perajin dengan kejadian dermatosis akibat
kerja.
33
5.2.3 Hubungan tingkat pendidikan dengan Dermatosis Akibat Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 responden, diperoleh data tentang hubungan
antara tingkat pendidikan perajin dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja. Adapun
secara lengkap deskripsi hubungan antara tingkat pendidikan perajin dengan angka kejadian
Dermatosis akibat kerja distribusi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
TABEL 4
kejadian dermatosis Total
sakit tidak sakit
tingkat pendidikanrendah 13 (38,2%) 21 (61,8%) 34
sedang 1 (2,8%) 35 (97,2%) 36
Total 14 56 70
p = 0, 000 2,641<OR<177,762
Hasil analisis dengan Chi-Square menunjukkan bahwa perajin dengan tingkat
pendidikan rendah yang menderita dermatosis 13 orang atau 38,2%, dan perajin dengan
pendidikan sedang yang menderita dermatosis 1 orang atau 2,8%. Dengan nilai p = 0,000
maka Ho ditolak, berarti ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian dermatosis
akibat kerja.
34
5.2.4 Hubungan masa kerja dengan Dermatosis Akibat Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 responden, diperoleh data tentang hubungan
antara masa kerja dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja. Adapun secara lengkap
deskripsi hubungan antara masa kerja perajin dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja
distribusi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
TABEL 5
kejadian dermatosis Total
sakit tidak sakit
masa kerja>5 tahun 9 (21,4%) 33 (78,6%) 42
<=5 tahun 5 (17,9%) 23 (82,1%) 28
Total 14 56 70
p = 0, 714 0, 372<OR<4,232
Hasil analisis dengan Chi-Square menunjukkan bahwa perajin dengan masa kerja
lebih dari 5 tahun yang menderita dermatosis 9 orang atau 21,4%, dan perajin dengan masa
kerja kurang dari 5 tahun yang menderita dermatosis 5 orang atau 17,9%. Dengan nilai p =
0,714 maka Ho diterima, berarti tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian
dermatosis akibat kerja.
35
5.2.5 Hubungan lama kerja dengan Dermatosis Akibat Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 responden, diperoleh data tentang hubungan
antara lama kerja dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja. Adapun secara lengkap
deskripsi hubungan antara lama kerja perajin dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja
distribusi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
TABEL 6
kejadian dermatosis Total
sakit tidak sakit
lama kerja>8 jam 11 (34,4%) 21 (65,6%) 32
<=8 jam 3 (7,9%) 35 (92,1%) 38
Total 14 56 70
p = 0, 006 1,527<OR<24,450
Hasil analisis dengan Chi-Square menunjukkan bahwa perajin dengan lama kerja
lebih dari 8 jam yang menderita dermatosis 11 orang atau dan perajin dengan lama kerja
kurang dari 8 jam yang menderita dermatosis 3 orang atau dengan nilai p = 0,006 maka Ho
ditolak, berarti ada hubungan antara lama kerja dengan kejadian dermatosis akibat kerja.
36
5.2.6 Hubungan alat pelindung diri dengan Dermatosis Akibat Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 responden, diperoleh data tentang hubungan
antara penggunaan APD dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja. Adapun secara
lengkap deskripsi hubungan antara penggunaan APD dengan angka kejadian Dermatosis
akibat kerja distribusi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
TABEL 7
kejadian dermatosis Total
sakit tidak sakit
Alat pelindung diriKurang baik 9 (21,4%) 33 (78,6%) 42
Baik 5 (17,9%) 23 (82,1%) 28
Total 14 56 70
p = 0, 714 0, 372<OR<4,232
Hasil analisis dengan Chi-Square menunjukkan bahwa perajin yang tidak
menggunakan APD menderita dermatosis 9 orang atau 21,4% dan perajin yang menggunakan
APD yang menderita dermatosis 5 orang atau 17,9% Dengan nilai p = 0,714 maka Ho
diterima, berarti tidak ada hubungan antara lama kerja dengan kejadian dermatosis akibat
kerja.
37
5.2.7 Hubungan terpapar air limbah dengan Dermatosis Akibat Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 responden, diperoleh data tentang hubungan
antara terpapar air limbah dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja. Adapun secara
lengkap deskripsi hubungan antara terpapar air limbah perajin dengan angka kejadian
Dermatosis akibat kerja distribusi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
TABEL 8
kejadian dermatosis Total
sakit tidak sakit
air buanganterpapar 12 (30,8%) 27 (69,2%) 39
tidak terpapar 2 (6,4%) 29 (93,6%) 31
Total 14 56 70
p = 0.012 1,319<OR<31,478
Hasil analisis dengan Chi-Square menunjukkan bahwa perajin yang terpapar air
buangan menderita dermatosis 12 orang atau 30,8% dan perajin yang tidak terpapar air
buangan menderita dermatosis 2 orang atau 6,4% Dengan nilai p = 0,012 maka Ho ditolak,
berarti ada hubungan antara pekerja yang terpapar air buangan dengan kejadian dermatosis
akibat kerja.
38
5.2.8 Hubungan higiene dengan Dermatosis Akibat Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 responden, diperoleh data tentang hubungan
antara higiene dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja. Adapun secara lengkap
deskripsi hubungan antara hygine perajin dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja
distribusi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
TABEL 9
kejadian dermatosis Total
sakit tidak sakit
higiene perajin
kurang 3 (12%) 22 (88%) 25
baik 11 (24,4%) 34 (75,6%) 45
Total 14 56 70
p = 0, 212 0, 106<OR<1,683
Hasil analisis dengan Chi-Square menunjukkan bahwa perajin dengan higiene kurang
menderita dermatosis 3 orang atau 12% dan perajin dengan higiene baik menderita
dermatosis 11 orang atau 24,4% Dengan nilai p = 0,212 maka Ho diterima, berarti tidak ada
hubungan antara higiene dengan kejadian dermatosis akibat kerja.
39
5.2.9 Hubungan pengetahuan dengan Dermatosis Akibat Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 responden, diperoleh data tentang hubungan
antara pengetahuan dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja. Adapun secara lengkap
deskripsi hubungan antara pengetahuan perajin dengan angka kejadian Dermatosis akibat
kerja distribusi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
TABEL 10
kejadian dermatosis Total
sakit tidak sakit
Pengetahuan
kurang 10 (23,3%) 33 (76,7%) 43
baik 4 (14,8%) 23 (85,2%) 27
Total 14 56 70
p = 0, 390 0, 486<OR<6,241
Hasil analisis dengan Chi-Square menunjukkan bahwa perajin dengan pengetahuan
yang kurang menderita dermatosis 10 orang atau 23,3% dan perajin dengan pengetahuan baik
menderita dermatosis 4 orang atau 14,8% Dengan nilai p = 0,390 maka Ho diterima, berarti
tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian dermatosis akibat kerja.
40
5.2.10 Hubungan bagian kerja dengan Dermatosis Akibat Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 responden, diperoleh data tentang hubungan
antara bagian kerja dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja. Adapun secara lengkap
deskripsi hubungan antara bagian kerja perajin dengan angka kejadian Dermatosis akibat
kerja distribusi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
TABEL 11
kejadian dermatosis Total
sakit tidak sakit
bagian kerja
Pencucian, perendaman, dan
perebusan
11(32,3%) 23(67,7%) 34
Bukan pencucian,
perendaman, dan perebusan
3(8,3%) 33(91,7%) 36
Total 14 56 70
p = 0, 012 1,319<OR<20,978
Hasil analisis dengan Chi-Square menunjukkan bahwa perajin di bagian pencucian,
perendaman, dan perebusan menderita dermatosis 11 orang atau 32,3% dan perajin di bagian
lain menderita dermatosis 3 orang atau 8,3% Dengan nilai p = 0,012 maka Ho ditolak, berarti
ada hubungan antara bagian kerja di pencucian, perendaman, dan perebusan dengan kejadian
dermatosis akibat kerja.
41
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Hubungan Usia Pekerja dengan Kejadian Dermatosis Akibat Kerja
Berdasarkan hasil penelitian dari 70 responden, diperoleh data tentang hubungan
antara usia perajin dengan angka kejadian Dermatosis akibat kerja. Hasil penelitian kami
dengan Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara usia perajin dengan
kejadian dermatosis akibat kerja.
Hasil ini sesuai dengan penilitian yang dilakukan oleh Adilah Afifah 31 juli 2012
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja
pada karyawan binatu di ungaran timur dan ungaran barat kabupaten semarang.
42