Upload
doannga
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
REAKTIVASI R175H-p53 OLEH ADDUCT MQ-SISTEIN : STUDI
SIMULASI DINAMIKA MOLEKULER
Disusun Oleh :
AGUSTINA MUKHAROMAH
M0307026
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagian
persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Kimia
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul
REAKTIVASI R175H-p53 OLEH ADDUCT MQ-SISTEIN : STUDI SIMULASI
DINAMIKA MOLEKULER
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga belum
pernah ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 8 Januari 2013
AGUSTINA MUKHAROMAH
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
REAKTIVASI R175H-p53 OLEH ADDUCT MQ-SISTEIN :
STUDI SIMULASI DINAMIKA MOLEKULER
AGUSTINA MUKHAROMAH
Jurusan Kimia. Fakultas MIPA. Universitas Sebelas Maret.
ABSTRAK
Mutasi R175H pada p53 (R175H-p53) berkontribusi dalam perubahan konformasi protein p53. Perubahan tersebut mengakibatkan hilangnya fungsi p53 sebagai penekan tumor. Adduct Methylene Quinuclidinone-Cysteine (MQ-Sistein) diyakini dapat mereaktivasi R175H-p53. Restorasi konformasi R175H-p53 menyerupai wild type-p53 diperlukan untuk reaktivasi. Terdapat tujuh residu sistein pada domain inti p53 yang dapat dipilih untuk membentuk adduct tersebut. Laju pembentukan adduct bergantung pada lingkungannya. Sistein pada lokasi yang berbeda pada domain inti memberikan pengaruh interaksi yang berbeda, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan perubahan konformasi. Perubahan-perubahan tersebut dapat ditandai oleh perubahan pada konformasi backbone protein. Simulasi dinamika molekuler dari R175H-p53 yang mengandung satu adduct MQ-Sistein pada dua lokasi yang berbeda telah dilakukan untuk membedakan mekanisme restorasi konformasi mutan p53. Trajectory-trajectory hasil simulasi selama 100 ns menunjukkan peningkatan kestabilan dengan pembentukan adduct. Daerah DNA-binding distabilkan dengan terbentuknya helix pada loop 2. Adduct MQ-Sistein pada residu nomor 124 memberikan perubahan konformasi pada loop 2 dan 3 (L2 dan L3). Disisi lain, residu nomor 275 mengubah daerah L1, L2 dan L3. Oleh sebab itu, kami dapat menduga bahwa adduct MQ-Sistein menginduksi modifikasi lokal sehingga konformasi parsial R175H-p53 menyerupai wild type. Kata kunci : reaktivasi, R175H-p53, adduct MQ-Sistein, dinamika molekuler
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
R175H-p53 REACTIVATION BY MQ-CYSTEINE ADDUCT : A STUDY OF MOLECULAR DYNAMICS SIMULATION
AGUSTINA MUKHAROMAH
Department of Chemistry. Faculty of Mathematics and Natural Sciences.
Sebelas Maret University.
ABSTRACT R175H mutation of p53 (R175H-p53) contributes to conformational alterations in the p53 protein. The alterations result in the loss of p53 function as a tumor suppressor. Methylene quinuclidine-cysteine (MQ-cysteine) adduct is believed to able to reactivate the R175H-p53. Restoration of R175H-p53 conformational behavior resemble wild type p53 is needed for reactivation. There are seven cysteine residues in p53 core domain, which are eligible to form this adduct. The rate of the adduct formation were depending on its environment. Cysteine on different site of core domain provides different interaction effect, it allows different conformational alterations. The alterations may indicated by the alterations of protein backbone conformations. Molecular dynamics simulations of R175H-p53 containing MQ-Cysteine adduct in two different sites have been performed in order to determine the restoration mechanism of mutant p53. The simulations results of 100 ns trajectories show an increasing stability due to adduct formation. DNA binding region was stabilized as a helix formed on loop 2. MQ-Cysteine adduct on residue no. 124 introduced conformational alterations on loop 2 and 3 (L2 and L3). On the other hand residue no. 275 altered L1, L2 and L3. Thus we can surmise that MQ-Cysteine adduct induced local modification that resemble R175H-p53 partial conformational behavior of wild type. Keywords : reactivation, R175H-p53, MQ-Cysteine adduct, molecular dynamics
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTTO
Dan Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberimu Pendengaran, Penglihatan dan Hati agar kamu
bersyukur
(Q.S. An Nahl : 78)
Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi manusia lainnya
(HR. Tirmidzi)
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan teruntuk:
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya
bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sebagai salah satu persyaratan
dalam memperoleh gelar sarjana sains Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta. Keberkahan dan karunia-
Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis menyadari bahwa segala
sesuatu memiliki hikmah dan menjadi indah pada waktunya.
Dalam menyusun skripsi ini penulis menemui berbagai hambatan dan
permasalahan yang beragam. Namun, atas bimbingan, kritikan, saran, dan dorongan
semangat yang bermanfaat dari berbagai pihak, semua hambatan dan permasalahan
tersebut dapat penulis atasi dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis, yaitu
sebagai berikut.
1. Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc., Ph.D., selaku dekan Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dr. Eddy Heraldy, M.Si., selaku ketua Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Dr. rer. nat. Fajar R. Wibowo, M.Si., selaku dosen pembimbing I, yang dengan
penuh kesabaran membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini, memberikan
banyak kesempatan, pengalaman dan inspirasi bagi penulis.
4. Prof. Drs. Sentot Budi Rahardjo, Ph.D., selaku pembimbing akademis yang
memberikan bimbingannya selama perkuliahan.
5. Edi Pramono, M.Si., selaku ketua laboratorium Kimia Dasar yang telah
memberikan akses bagi penulis melakukan penelitian di laboratorium Kimia
Dasar bagian Komputasi Kimia.
6. Bapak Ibu dosen dan seluruh staff jurusan Kimia yang telah memberikan fasilitas
dan pelayanan yang baik bagi penulis.
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7. Ucapan terimakasih yang tak terhingga sepanjang masa teruntuk Bunda dan
ulis, kasih sayang,
dukungan moral, spiritual dan dalam segala hal.
8. Kakak-kakakku tersayang yang memberikan semangat untuk melangkah.
9. Teman- dan sahabat-sahabat HIMAMIA, terimakasih atas
kebersamaan dan kerja samanya.
10. Computational Chemistry Community, terimakasih atas persaudaraan yang tak
tergantikan dan semua pihak yang telah membantu penulis.
Semoga keikhlasannya diberikan tempat tersendiri oleh Allah SWT sebagai
amal baik. Penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi yang penulis
lakukan masih jauh dari sempurna sehingga membutuhkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca. Namun, lepas dari semua itu, semoga para pembaca
mendapatkan manfaat setelah membaca skripsi ini.
Surakarta , Januari 2013
Penulis
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ iii
HALAMAN ABSTRAK ..................................................................................... iv
HALAMAN ABSTRACT .................................................................................. v
HALAMAN MOTTO ......................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................ 3
1. Identifikasi Masalah ........................................................................ 3
2. Batasan Masalah ............................................................................ 4
3. Rumusan Masalah .......................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 5
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................. 6
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 6
1. Kanker ............................................................................................ 6
2. Protein p53 ...................................................................................... 7
3. Struktur Protein .............................................................................. 8
4. Mutan R175H-p53 .......................................................................... 10
5. Reaktivasi p53 Termutasi ............................................................... 11
6. Pemodelan Molekuler ..................................................................... 12
7. Simulasi Dinamika Molekuler ........................................................ 13
a) Antechamber 15
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b) Parmchk 16
c) LEaP 16
d) Sander 16
e) Ptraj 16
(1)RMSD (Root Mean Square Deviation) ............................... 16
(2)B-factor ............................................................................... 17
(3)Entropi ................................................................................ 17
(4)Clustering Trajectory .......................................................... 18
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 18
C. Hipotesis .............................................................................................. 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 21
A. Metode Penelitian ................................................................................ 21
B. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 21
C. Alat dan Bahan yang Dibutuhkan ....................................................... 21
1. Alat ................................................................................................. 21
2. Bahan ............................................................................................. 21
D. Prosedur Penelitian ............................................................................ 21
1. Parameterisasi Adduct MQ-Sistein ................................................ 21
2. Pemilihan Makromolekul .............................................................. 22
3. Penentuan Koordinat Awal Sistem ................................................. 22
4. Minimisasi dan Penyeimbangan (Equilibrasi) Sistem .................... 22
5. Simulasi Sistem .............................................................................. 23
E. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ............................................. 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 24
A. Parameterisasi Adduct MQ-Sistein ................................................ 24
B. Pemilihan Posisi Sistein Target pada Makromolekul .................... 26
C. Reaktivasi R175H-p53 oleh Adduct MQ-Sistein ........................... 27
1. Stabilisasi R175H-p53 oleh Adduct MQ-Sistein ........................... 28
2. Perubahan Konformasi Parsial R175H-p53 oleh Adduct MQ-
Sistein ............................................................................................. 37
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a)Perbedaan Konformasi Wild type-p53 dengan R175H-p53...... 38
b)Perubahan Konformasi R175H-p53 oleh Adduct pada Residu
Sistein-124 ................................................................................ 45
c)Perubahan Konformasi R175H-p53 oleh Adduct pada Residu
Sistein-275 ................................................................................ 51
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 58
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 59
LAMPIRAN ........................................................................................................ 66
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Siklus perkembangan sel ............................................................... 7
Gambar 2. Empat tingkatan struktur protein ................................................... 9
Gambar 3. Struktur domain inti p53 ................................................................ 11
Gambar 4. Struktur adduct MQ-NAC dan adduct MQ-Sistein ....................... 12
Gambar 5. Tahapan pembentukan struktur adduct MQ-Sistein dari adduct MQ-
NAC ............................................................................................... 24
Gambar 6. Struktur adduct MQ-Sistein teroptimasi dengan keterangan kode
atom, tipe atom, dan muatan adduct MQ-Sistein yang diperoleh
dengan RESP ................................................................................. 25
Gambar 7. Hasil pemilihan lokasi sistein target pada mutan R175H .............. 26
Gambar 8. Grafik perbedaan RMSD sebagai fungsi waktu ............................ 28
Gambar 9. Grafik perbedaan B-factor semua atom sebagai fungsi nomor residu
dan grafik perbedaan B-factor atom backbone sebagai fungsi nomor
residu .............................................................................................. 30
Gambar 10. Grafik fluktuasi residu 113-123, 173-188, dan 237-250 ............... 32
Gambar 11. Resonansi elektronik ikatan peptida .............................................. 33
Gambar 12. Grafik perbedaan order parameter vektor NH sebagai fungsi nomor
residu .............................................................................................. 34
Gambar 13. Grafik order parameter sebagai fungsi residu pada range residu 113-
124, 172-190, dan 234-250 . ........................................................... 35
Gambar 14. Konformasi p53 antara wild type-p53 (pada dua populasi dominan
yang berdekatan) dengan R175H-p53 ........................................... 39
Gambar 15. Perbedaan jarak antar residu-residu daerah L1 wild type-p53 dengan
R175H-p53 ..................................................................................... 41
Gambar 16. Perbedaan jarak antar residu-residu daerah L2 wild type-p53 dengan
R175H-p53 ..................................................................................... 42
Gambar 17. Perbedaan jarak antar residu-residu daerah L3 wild type-p53 dengan
R175H-p53 ..................................................................................... 44
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 18. Perbedaan konformasi p53 antara wild type-p53 (sistem 3) pada
populasi dominan pertama dan populasi dominan ke-2 dengan
sistem 1 dan sistem 4 ..................................................................... 46
Gambar 19. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 1 pada daerah L1 ................................................................. 47
Gambar 20. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 1 pada daerah L2 ................................................................. 48
Gambar 21. Interaksi ikatan hidrogen antara Ser-183 dengan Glu-180 pada
sistem 1 .......................................................................................... 49
Gambar 22. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 1 pada daerah L3 ................................................................. 50
Gambar 23. Perbedaan konformasi p53 antara wild type-p53 (sistem 3) pada
populasi dominan pertama dan populasi dominan ke-2 dengan
sistem 2 dan sistem 4 ..................................................................... 52
Gambar 24. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 2 pada daerah L1 ................................................................. 53
Gambar 25. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 2 pada daerah L2 ................................................................. 54
Gambar 26. Interaksi ikatan hidrogen antara residu Hie-178 dengan Arg-181 dan
Hin-179 dengan Ser-183 pada sistem 2 ......................................... 55
Gambar 27. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 2 pada daerah L3 ................................................................. 56
xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram alir parameterisasi adduct MQ-Sistein ............................ 66
Lampiran 2. Diagram alir pemilihan makromolekul ............................................ 67
Lampiran 3. Diagram alir proses simulasi .......................................................... 68
Lampiran 4. Diagram alir analisis visualisasi konformasi ................................. 69
Lampiran 5. File prep adduct MQ-Sistein .......................................................... 70
Lampiran 6. Populasi 10 klaster dari empat sistem protein ............................... 71
xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh rusaknya
mekanisme pengaturan dasar prilaku sel, khususnya mekanisme pertumbuhan dan
diferensiasi sel yang diatur oleh gen, sehingga faktor genetik diduga kuat sebagai
pencetus utama terjadinya kanker (Maliya, 2004). Proses pengendalian untuk
menekan pertumbuhan kanker secara umum dilakukan dengan beberapa cara
antara lain: pencegahan terhadap agen penyebab kanker, peningkatan pertahanan
terhadap kanker, modifikasi gaya hidup dan pencegahan dengan bahan kimia
(Murray, 1998).
Pengendalian pertumbuhan sel tidak terlepas dari adanya gen penekan
tumor (tumor suppressor gen), salah satunya adalah p53. Deteksi DNA yang
mengalami kerusakan diatur oleh tumor suppressor p53. Jika terjadi kerusakan
DNA, maka signal p53 menghentikan pembelahan seluler dan memberikan waktu
bagi sel untuk memperbaikinya (Livingston et al., 1992; Kern et al., 1997).
Protein p53 akan menginduksi terjadinya apoptosis (bunuh diri sel terprogram)
ketika terjadi kegagalan pada proses perbaikan kerusakan DNA dan kerusakan sel
yang lain sebelum terjadinya replikasi (Alberts et al., 2002; Almog dan Rotter,,
1997). Sebagian besar perubahan genetik dalam tumor yang terjadi lebih dari 50%
kanker manusia disebabkan karena hilangnya fungsi p53 akibat protein yang
membawa mutasi p53 (Bykov et al., 2002a; Bykov et al., 2002b; Joerger et al.,
2006; Hollstein et al., 1991). Mutasi p53 terjadi sebagian besar pada domain inti
protein terutama daerah DNA-binding (Joerger dan Fersht, 2007; Olivier et al.,
2002; Hamroun et al hot spots
dengan kanker manusia yaitu R175H, G245S, R248Q, R249S, R273H, dan
R282W (Joerger dan Fersht, 2007; Friedler et al., 2002; Olivier et al., 2002;
Hainaut dan Hollstein, 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Mutan p53 yang terletak pada domain inti dengan mutasi R175H (mutasi
arginin menjadi histidin) mengakibatkan ketidakstabilan struktur p53 dalam
berinteraksi dengan DNA (Joerger dan Fersht, 2007; Cho et al., 1994). Stabilisasi
pada daerah domain inti menggunakan desain obat yang spesifik merupakan salah
satu cara terapi kanker yang dapat merestorasi fungsi p53 (Fahraeus et al., 1999;
Wiman, 1998; Harris, 1996). Fungsi p53 dapat dikembalikan dengan mengatur
konformasi mutan p53 sehingga menyerupai wild type-p53 (Bykov et al., 2005).
Modifikasi yang terdapat pada residu sistein mutan p53 diperkiran mampu
mengembalikan konformasi dan fungsi mutan p53 mendekati wild type-p53
sehingga dapat menginduksi apoptosis dalam sel yang mengekspresikan mutan
p53 (Wiman, 2010; Lambert, 2009). Modifikasi pada p53 melalui pembentukan
adduct dari satu atau beberapa residu sistein diperkirakan mampu mengembalikan
konformasi p53 mendekati wild type-p53 (Shen et al., 2001; Zache et al., 2008;
Shen, J., 2010). Terdapat 10 residu sistein yang terletak pada domain inti p53
(Lambert et al., 2009). Beberapa diantaranya diketahui memiliki reaktivitas
tertinggi dalam pembentukan adduct, yaitu pada nomor 124, 141, 135, 182, dan
277, sedangkan yang memiliki reaktivitas terendah terletak pada nomor 176 dan
275 (Joerger et al., 2010).
Lambert (2009) menyatakan bahwa salah satu produk dekomposisi
PRIMA-1 (p53 reactivation and induction of massive apoptosis-1) yaitu MQ
(Methylene Quinuclidinone) memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan sel
tumor manusia yang membawa mutan p53. MQ memiliki gugus aktif berupa
ikatan rangkap yang mempunyai kecenderungan untuk membentuk adduct dengan
gugus tiol sistein melalui reaksi addisi. Lambert (2009) telah menggunakan N-
Asetil sistein (NAC) sebagai model untuk menunjukkan pembentukan adduct
melalui terbentuknya ikatan kovalen dengan gugus tiol sistein dalam NAC lebih
mungkin terjadi melalui MQ. Selain itu, pembentukan ikatan kovalen pada adduct
MQ-NAC lebih mudah terbentuk melalui addisi nukleofilik pada ikatan rangkap
MQ dibandingkan dengan adduct PRIMA-NAC (Nurmalitasari, 2012).
Identifikasi perubahan tiol sistein sebagai mekanisme untuk reaktivasi
mutan p53 akan memfasilitasi desain senyawa mutan p53 selektif yang lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
potensial dan akhirnya pengembangan obat yang benar untuk penanganan kanker
(Lambert et al., 2009). Penggunaan adduct MQ-Sistein diperkirakan mampu
mengembalikan konformasi mutan p53 mendekati wild type-p53, sehingga
identifikasi terhadap molekul kecil yang mampu mereaktivasi mutan p53 seperti
adduct MQ-Sistein membuka peluang untuk mengembangkan obat antikanker
yang lebih efisien.
B. Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Mutan R175H-p53 kehilangan fungsi penekan tumor akibat perubahan
konformasi. Modifikasi pada p53 melalui pembentukan adduct dari satu atau
beberapa residu sistein diperkirakan dapat mereaktivasi fungsi p53 dengan cara
mengembalikan konformasi p53 mendekati wild type-p53.
Modifkasi sistein dapat dilakukan dengan pembentukan adduct melalui
terbentuknya ikatan kovalen antara gugus tiol sistein dalam N-Asetil Sistein
(NAC) dengan MQ. Pembentukan adduct MQ-NAC dapat dijadikan sebagai
analogi pembentukan adduct antara MQ dengan residu sistein pada p53 sehingga
membentuk adduct MQ-Sistein. Lokasi residu sitein pada p53 dapat terletak pada
suatu lekukan (cavity) yang dalam ataupun landai, ditengah-tengah makromolekul
yang jauh dari permukaan (surface area), maupun dipermukaan makromolekul.
Beberapa residu sistein diketahui memiliki reaktivitas tercepat dalam
pembentukan adduct yaitu terletak pada residu nomor 124, 141, 135, 182 dan 277,
sedangkan residu sistein yang memiliki reaktivitas paling lambat dalam
pembentukan adduct terletak pada residu nomor 176 dan 275. Banyak sistein p53
yang diketahui berpotensi dapat membentuk adduct, namun adduct mana yang
memiliki probabilitas terbesar dalam mereaktivasi p53 belum terungkap. Lokasi
sitein dan kecepatan pembentukan adduct yang berbeda diduga memberikan
perbedaan pengaruh interaksi yang memungkinkan terjadinya perbedaan
perubahan konformasi p53, sehingga pemilihan residu sistein menjadi penting
untuk dilakukan.
Modifikasi sistein melalui pembentukan adduct dapat dilakukan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
pengujian secara in vitro, in vivo, maupun in silico. Pemodelan in silico melalui
eksperimen dengan menggunakan komputer memungkinkan untuk menghitung
sifat molekul yang kompleks dan hasil perhitungan tersebut berkorelasi dengan
eksperimen. Untuk dapat menghasilkan dinamika konformasi seperti real sistem,
maka perlu dilakukan pengaturan terhadap jumlah partikel (N), temperatur (T),
tekanan (P), volume (V), dan energi (E) pada sistem tersebut. Hasil pengaturan
tersebut berupa suatu ensambel yang merupakan koleksi dari keadaan sistem yang
mungkin memiliki keadaan mikroskopis berbeda namun memiliki keadaan
makroskopis sama. Beberapa ensambel yang sering digunakan dalam dinamika
molekuler adalah ensambel mikrokanonikal, ensambel kanonikal, ensambel
isobarik-isotermal, dan ensambel grand kanonikal. Penggunaan ensambel yang
tepat diperlukan untuk efektivitas hasil simulasi agar lebih sesuai dengan metode
eksperimen.
2. Batasan Masalah
1. Pemilihan residu sistein target berdasarkan pada lokasi sistein yang memiliki
probabilitas terbentuknya adduct dan kecepatan pembentukan adduct.
2. Ensambel untuk mengkondisikan molekul sistem yang dipakai adalah
ensambel isobarik-isotermal.
3. Rumusan Masalah
1. Apakah modifikasi adduct dari satu residu sistein dapat mereaktivasi R175H-
p53?
2. Bagaimanakah adduct MQ-Sistein dapat mereaktivasi R175H-p53?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui apakah modifikasi adduct dari satu residu sistein dapat
mereaktivasi R175H-p53.
2. Mengetahui bagaimana adduct MQ-Sistein dapat mereaktivasi R175H-p53.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
D. Manfaat Penelitian
Dengan membandingkan dinamika reaktivasi p53 termutasi di residu
sistein R175H oleh adduct MQ-Sistein pada posisi dan kecepatan pembentukan
adduct yang berbeda, maka secara umum dapat diketahui selektivitas adduct MQ-
Sistein dalam mereaktivasi p53 termutasi R175H. Hal ini juga diharapkan mampu
memberikan kontribusi dalam pengambangan ilmu kesehatan, terutama dibidang
pengobatan kanker.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kanker
Kanker merupakan penyakit sel yang berasal dari sel normal dalam tubuh
yang mengalami transformasi menjadi ganas. Proses keganasan ini di karenakan
terjadinya mutasi spontan atau induksi karsinogen (Franks dan Teich, 1998;
Maliya, 2004). Transformasi tersebut mengakibatkan rusaknya mekanisme
pengaturan dasar prilaku sel, khususnya mekanisme pertumbuhan dan diferensiasi
sel yang diatur oleh gen, sehingga faktor genetik diduga kuat sebagai pencetus
utama terjadinya kanker (Maliya, 2004). Akumulasi perubahan genetik pada sel
kanker berakibat terhadap regulasi siklus sel (Dharmayanti, 2003). Pembelahan,
proliferasi dan diferensiasi sel dikontrol secara ketat dalam kondisi normal, serta
terdapat keseimbangan antara proliferasi sel dengan kematian sel yang diregulasi
melalui siklus sel dengan cellular checkpoint (Hartwell dan Kastan, 1994).
Siklus sel merupakan proses replikasi sel yang melalui beberapa fase yaitu
fase G1 (gap 1), S (sintesa), G2 (gap 2), M (mitosis), dan diselingi fase istirahat
yaitu G0 (gap 0) (Rang et al., 2003; Enten dan Monson, 2005; MacDonald dan
Ford, 1997; De Vita, Helman dan Rosenberg, 1997). Checkpoint terjadi di antara
fase G1 dan fase S pada siklus sel, berlangsung kira-kira dua hingga tiga jam
sebelum DNA disintesa dalam fase S. Lintasan yang teraktifkan sebagai respon
kerusakan DNA merupakan sinyal bagi inaktivasi checkpoint, sehingga siklus sel
berhenti di fase G1. Apabila terjadi kerusakan DNA, siklus sel berhenti di fase G1
dan di fase G2. Pemberhentian di fase G1 berfungsi untuk mencegah DNA yang
rusak direplikasi dan pemberhentian di G2 memungkinkan sel untuk menghindari
pemisahan kromosom yang rusak. Setelah perbaikan DNA selesai, pembelahan
sel akan memasuki fase berikutnya. Ketidakmampuan kontrol checkpoint
menyebabkan inisiasi fase S atau M tetap berlangsung meskipun ada kerusakan
seluler dan ketidakstabilan genetik (De Vita, Helman dan Rosenberg, 1997).
6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Proses checkpoint yang berlangsung dalam siklus perkembangan sel ditunjukkan
pada gambar 1.
Gambar 1. Siklus perkembangan sel. Proses checkpoint berlangsung selama fase G1 dan G2 (Ismono dan anggono, 2009).
2. Protein p53
Protein p53 berperan sebagai tumor-suppressor yang disandi oleh gen p53.
p53 merupakan faktor transkripsi dengan fungsi utama sebagai pengatur siklus sel
dan sering mengalami mutasi pada berbagai kasus tumor pada manusia (Leffel,
2000). Protein p53 selain berpengaruh terhadap kontrol siklus sel, juga berperan
pada perbaikan kerusakan DNA dan sintesis DNA, diferensiasi sel, serta apoptosis
(Benjamin dan Ananthaswamy, 2007). Protein p53 mengikat DNA dalam bentuk
yang spesifik untuk menjalankan fungsinya, sehingga memungkinkan p53
mengaktifkan transkripsi gen sasaran.
Kadar protein p53 wild type pada sel normal relatif sangat sedikit, bersifat
labil dan mempunyai waktu paruh pendek. Protein p53 wild type berperan
menghambat proliferasi sel, transkripsi sel, reparasi DNA, dan apoptosis.
Sebaliknya protein p53 mutant type (tipe mutan) berperan menghambat protein
p53 wild type sehingga proliferasi sel kehilangan hambatannya (Brock, 1993).
Protein p53 terdiri dari 3 mayor domain yaitu: N-terminal transaktivation,
DNA binding domain yang terletak dalam bagian tengah molekul, dan C-
oligomerization domain (Hollstein et al., 1991). Protein p53 secara spesifik terikat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
pada daerah DNA binding sequence (Kern et al.,1997) dan kebanyakan mutasi
terletak pada daerah DNA-binding tersebut (Joerger dan Fersht, 2007; Olivier et
al., 2002; Hamroun et al., 2006), sehingga secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi interaksi p53 dengan DNA.
Pusat DNA binding domain merupakan domain inti yang berinteraksi
dengan DNA dan berawal dari residu 102 sampai residu 292. Domain inti p53
adalah bagian yang sangat dipertahankan. Substitusi pada domain inti akan
meningkatkan 98% mutasi perubahan (transforming mutation) pada p53, dan 40%
dari jumlah tersebut melibatkan hanya enam titik atau hot spot di dekat
permukaan ikatan DNA (Wong et al., 1999). Enam hot-spots mutasi yang sering
terkait dengan kanker manusia tersebut yaitu R175H, G245S, R248Q, R249S,
R273H, dan R282W (Joerger dan Fersht, 2007; Friedler et al., 2002; Olivier et al.,
2002; Hainaut dan Hollstein, 2000). Mutasi ini dapat dibedakan menjadi 2 kelas,
yaitu kontak dan struktural mutan. Kontak mutan terjadi pada residu yang kontak
langsung dengan DNA yaitu Arg-248 dan Arg-273. Mutasi pada dua residu
tersebut mengakibatkan lepaskan p53 dari ikatan DNA. Struktural mutan terjadi
pada residu yang menjaga stabilitas struktur dari domain inti yaitu Arg-175, Gly-
245, Arg-249, dan Arg-282 yang dapat merusak struktur permukaan p53 yang
binding dengan DNA (Joerger dan Fersht, 2007; Peng et al., 2003; Cho et al.,
1994).
1. Struktur Protein
Protein merupakan makromolekul yang paling melimpah di dalam sel dan
sangat bervariasi fungsinya. Dari sudut pandang kimia, protein adalah polimer
yang tersusun oleh 20 jenis residu asam amino (Pudjaatmaka, 1999) dan
semuanya memiliki struktur yang sama kecuali pada rantai sampingnya. Rantai
samping memberikan karakteristik tertentu pada suatu asam amino sehingga dapat
digunakan sebagai dasar dalam penggolongan asam amino (Nelson dan Cox,
2004; Berg, Tymoczko dan Stryer, 2002). Asam amino dapat bergabung dengan
asam amino lainnya melalui pembentukan ikatan amida atau ikatan peptida.
Ikatan tersebut terbentuk melalui ikatan kovalen antara gugus karboksil suatu
asam amino dengan gugus amino dari asam amino lainnya, yang diikuti oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
pelepasan atau eliminasi molekul air (H2O). Ikatan peptida ini menghubungkan
beberapa asam amino membentuk rangkaian polipeptida penyusun protein. Linus
Pauling dan Robert Corey (1930) dengan menggunakan difraksi sinar-X dari
kristalografi peptida menyatakan bahwa ikatan peptida bersifat rigid (kaku) dan
planar. Sifat rigid dan planar tersebut merupakan konsekuensi dari interaksi
resonansi amina atau kemampuan amida nitrogen untuk delokalisasi pasangan
elektron bebas (lone pair electron) ke karbonil (C=O) (Nelson dan Cox, 2004).
Struktur protein terdiri dari 4 tingkatan yaitu struktur primer, sekunder,
tersier dan kuaterner (Nelson dan Cox, 2004; Berg, Tymoczko dan Stryer, 2002).
Empat tingkatan struktur protein disajikan pada gambar 2. Struktur primer
merupakan struktur yang terbentuk dengan adanya ikatan peptida antara atom C
karbonil dengan atom N amino dari residu asam amino yang tersususn berurutan
membentuk rantai polipeptida (Berg, Tymoczko dan Stryer, 2002).
Gambar 2. Empat tingkatan struktur protein (Mandle, Jain dan Shirvastava, 2012).
Struktur sekunder merupakan struktur yang terbentuk dengan adanya
perubahan pada backbone polipeptida membentuk pola lipatan berulang (Nelson
dan Cox, 2004). Struktur sekunder protein terjadi karena ikatan hidrogen yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
terbentuk antara C karbonil dengan NH amino pada backbone polipeptidanya.
Ikatan hidrogen dalam satu rantai polipeptida memungkinkan terbentuknya
konformasi spiral yang disebut dengan srtuktur -helix. Namun bila ikatan
hidrogen tersebut terjadi antara dua rantai polipeptida maka akan membentuk
rantai paralel dengan bentuk berkelok-kelok yang disebut -sheet
(Berg, Tymoczko dan Stryer, 2002).
Struktur tersier protein terbentuk karena terjadi pelipatan (folding) rantai
-helix maupun -sheet. Kemantapan struktur tersier disebabkan oleh ikatan
disulfida serta ikatan non kovalen yang menunjang terjadinya pelipatan. Pelipatan
struktur sekunder terjadi akibat interaksi antar gugus alkil (rantai samping)
polipeptida yaitu interaksi hidrofobik, interaksi ionik, ikatan hidrogen antar
peptida, ikatan hidrogen rantai samping, ikatan elektrostatik serta ikatan van der
walls sehingga membentuk struktur tiga dimensi (Nelson dan Cox, 2004;
Pudjaatmaka, 1999). Sedangkan struktur kuaterner merupakan polipeptida yang
sudah mempunyai struktur tersier yang saling berinteraksi dan bergabung menjadi
satu multimer (Pudjaatmaka, 1999).
Aktivitas fungsional protein terjadi setelah rantai polipeptida yang baru
disintesis mengalami proses pelipatan (Gething dan Sambrook, 1992). Urutan
asam amino suatu polipeptida akan menentukan pelipatan konformasi tiga
dimensi apa yang akan diambil oleh protein tersebut (Mandle, Jain dan
Shirvastava, 2012). Substitusi residu pada protein seperti terjadinya mutasi
menimbulkan konsekuensi fungsional yang sangat kompleks (Blagosklonny,
2000; Sigal dan Rotter, 2000) tergantung pada jenis mutasi yang terjadi.
2. Mutan R175H-p53
Mutasi R175H terjadi dari residu arginin menjadi histidin dan merupakan
salah satu hot spots mutasi yang sering terkait dengan kanker manusia (Joerger
dan Fersht, 2007; Friedler et al., 2002; Olivier et al., 2002; Hainaut dan Hollstein,
2000). Mutasi yang berlokasi pada daerah -sandwich seperti R175H
mengakibatkan ketidakstabilan struktur sekunder p53 dalam berinteraksi dengan
DNA (Joerger et al., 2005a, 2005b; Cho et al., 1994). Ketidakstabilan struktur p53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
tersebut disebabkan karena rusaknya ikatan hidrogen antara residu-residu loop 2
dan loop 3 dengan DNA (Joerger et al., 2006) yang menyebabkan perubahan
konformasi p53, sehingga mengakibatkan hilangnya fungsi p53 (Bullock, Henckel
dan Fersht, 2000; Kato et al., 2003). Gambar 3 menunjukkan posisi mutan
R175H-p53 pada struktur domain inti p53.
Gambar 3. Struktur domain inti p53. Posisi mutan R175H-p53 ditunjukkan dengan garis oval untuk kejelasan gambar (Joerger dan Fersht, 2010).
Kanker yang mengandung p53 termutasi cenderung resisten terhadap
kemoterapi yang telah umum dilakukan dibandingkan dengan yang mengandung
wild type-p53 (Bykov et al., 2002a). Stabilisasi pada daerah domain inti
menggunakan desain obat yang spesifik merupakan salah satu cara terapi kanker
yang dapat merestorasi fungsi p53 (Fahraeus et al., 1999; Wiman, 1998; Harris,
1996). Fungsi p53 dapat dikembalikan dengan mengatur konformasi mutan p53
sehingga menyerupai wild type-p53 (Bykov et al., 2005).
3. Reaktivasi p53 Termutasi
Proses pengembalian fungsi p53 melalui pengembalian konformer domain
inti p53 termutasi dengan molekul kecil telah dilakukan (Bykov et al., 2002a,
2002b). Adanya modifikasi kovalen pada satu atau beberapa residu sistein mutan
p53 diperkirakan mampu mengembalikan konformasi dan fungsi p53 mendekati
wild type sehingga dapat menginduksi apoptosis dalam sel yang mengekspresikan
mutan p53 (Lambert et al., 2009; Wiman, 2010). Terdapat 10 residu sistein yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
terletak pada domain inti p53, namun belum diperoleh kesimpulan residu sistein
mana pada domain inti p53 yang dapat dimodifikasi oleh MQ dan produk
dekomposisi PRIMA-1 lainnya (Lambert et al., 2009). Analisis reaktivitas relatif
menggunakan spektrometri massa menemukan bahwa sistein yang memiliki
reaktivitas tertinggi dalam pembentukan adduct terletak pada nomor 124, 141,
135, 182, dan 277, sedangkan yang memiliki reaktivitas terendah terletak pada
nomor 176 dan 275 (Joerger et al., 2010). Modifikasi kovalen dari domain inti
p53 secara in vitro oleh MQ dan produk dekomposisi lain telah ditentukan
menggunakan MS. Percobaan presipitasi imun menggunakan radioaktif
mengindikasikan bahwa modifikasi kovalen mutan p53 oleh MQ dan atau produk
degradasi lain dari PRIMA-1 terjadi pada sel hidup (Bykov et al., 2002a).
Modifikasi pada p53 melalui pembentukan adduct dari satu atau beberapa
residu sistein diperkirakan mampu mengembalikan konformasi p53 mendekati
wild type (Shen et al., 2001; Zache et al., 2008; Shen, J., 2010). Lambert (2009)
telah menggunakan N-Acetyl Cysteine (NAC) sebagai model dalam pembentukan
adduct dengan MQ sehingga membentuk adduct MQ-NAC. MQ mempunyai
gugus aktif berupa ikatan rangkap yang cenderung berpartisipasi dalam reaksi
adisi nukleofilik (Lambert et al., 2009). Pembentukan adduct MQ-NAC dapat
dijadikan sebagai analogi pembentukan adduct antara MQ dengan residu sistein
pada p53 membentuk adduct MQ-Sistein. Struktur adduct MQ-NAC dan adduct
MQ-Sistein disajikan pada gambar 4.
Gambar 4. Struktur adduct MQ-NAC (kiri) dan adduct MQ-Sistein (kanan).
4. Pemodelan Molekuler
Pemodelan molekuler merupakan suatu teknik untuk merancang dan
menampilkan struktur dan sifat-sifat molekul tertentu yang dilakukan dengan
persamaan matematis menggunakan teknik kimia komputasional dan visualisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
grafis. Pemodelan molekuler berfungsi untuk memodelkan perilaku molekul
sehingga dapat digunakan untuk mempelajari sistem molekular suatu molekul
tertentu (Leach, 2001).
Tujuan dari pemodelan molekuler adalah menyediakan struktur geometri
tiga dimensi yang sesuai dengan parameter kondisi yang telah ditentukan
(Pranowo, 2004). Struktur tiga dimensi ligan dapat dimodelkan dengan teknik
pemodelan molekuler, sedangkan struktur tiga dimensi protein target dapat
ditentukan secara empiris dengan menggunakan teknik spektroskopi NMR dan
kristalografi sinar-X yang terdapat pada database protein data bank (PDB) dan
secara in silico dengan pemodelan homologi (Elmar et al., 2003).
Pemodelan in silico melalui eksperimen dengan menggunakan komputer
memungkinkan untuk menghitung sifat molekul yang kompleks dan hasil
perhitungan tersebut berkorelasi dengan eksperimen laboratorium (Pranowo,
2004). Teknik in silico memiliki beberapa keunggulan diantaranya kualitas data
eksperimen lebih baik, produktivitas kerja lebih tinggi, efisiensi biaya dan dapat
dilakukan tanpa menggunakan langsung senyawa sebenarnya (Helma, 2004).
Pembuatan model molekul harus memperhatikan adanya model interaksi
antar molekul yang menunjukkan adanya ikatan antar atom. Interaksi tersebut
dipengaruhi oleh suatu potensial yang dibentuk oleh medan gaya (force field) dari
partikel-partikel lain disekitarnya (Leach, 2001). Force fields diperoleh dengan
mengembangkan model melalui kombinasi antara bentuk ikatan (jarak ikatan,
sudut ikatan, sudut torsi, dll) dan tanpa ikatan (vander walls dan elektrostatik)
(Teodoro et al., 2001). Pada akhirnya force fields merupakan penjumlahan energi
total dari protein yang meliputi energi bonding-streching, bending, torsi, vander
walls dan elektrostatis menurut persamaan:
Etotal = Estreching + Ebending + Evdw + Eelektrostatis (2.6)
(Leach, 2001; Sanchez, 2004).
5. Simulasi Dinamika Molekuler
Metode simulasi komputer memudahkan kita untuk mempelajari
beberapa sistem dan memprediksikan sifat-sifatnya dengan penggunaan teknik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
yang mempertimbangkan replikasi yang kecil dari sistem makroskopik dengan
sejumlah atom atau molekul yang dapat diatur (Leach, 2001). Simulasi dinamika
molekuler (DM) memungkinkan kita untuk menyelidiki energi dan gaya yang
berkaitan dengan sejumlah ikatan, konfigurasi sterik mengenai protein, informasi
stabilitas dan perilaku protein serta mengamati sejumlah sifat-sifat fisik sistem
(Turner, 2004). Metode simulasi DM dikembangkan untuk mempelajari stabilitas
protein, perubahan konformasi, pelipatan protein, evaluasi struktur hasil
kristalografi sinar-X maupun NMR sampai perancangan obat (drug design),
se sperimen dengan teori
(Nurbaiti, 2009).
Terdapat beberapa parameter dalam simulasi DM yang berkaitan dengan
proses simulasi tersebut antara lain jari-jari cutoff, minimisasi energi, dan
ensambel. Jari-jari cutoff (Rc) merupakan nilai batas partikel agar masuk ke dalam
perhitungan gaya total atom (Nurbaiti, 2009). Minimisasi energi merupakan
proses perhitungan algoritma yang dikembangkan untuk mencari posisi geometri
atom yang paling sesuai dengan tingkat energi terendah. Secara umum terdapat
dua jenis metode minimisasi energi yang umum digunakan dalam simulasi DM,
yaitu: metode Steepest Descent dan metode Conjugate Gradient (Leach, 2001).
Metode Conjugate Gradient dapat mengatasi kekurangan metode Steepest
Descent dalam mengenali informasi bentuk kurva energi potensial permukaan
(Becker et al., 2001).
Parameter lainnya yang berkaitan erat dengan simulasi DM yaitu
pengaturan suatu ensambel yang dapat mewakili keadaan dari sistem yang
sebenarnya. Pengaturan dilakukan terhadap jumlah partikel (N), temperatur (T),
tekanan (P), volume (V), dan energi (E) pada sistem tersebut. Hasil pengaturan
tersebut berupa suatu ensambel yang merupakan koleksi dari keadaan sistem yang
mungkin memiliki keadaan mikroskopis berbeda namun memiliki keadaan
makroskopis sama (Leach, 2001). Beberapa ensambel yang sering digunakan
dalam dinamika molekul yaitu:
1) Ensambel mikrokanonikal
Ensambel mikrokanonikal memiliki karakteristik jumlah molekul,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
volume dan energi yang tetap (Leach, 2001). Ensambel ini diperoleh dari
sistem terisolasi, sehingga tidak terdapat interaksi antara sistem dengan
lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa energi tidak dapat keluar-masuk
sistem sehingga energi totalnya tetap (Sofyan, 2007).
2) Ensambel kanonikal
Ensambel mikrokanonikal memiliki karakteristik jumlah molekul,
volume dan temperatur yang tetap. Konsekuensi dari ensambel ini yaitu
dihasilkannya nilai minimum dari energi bebas Helmholtz (A) ketika
kesetimbangan (Leach, 2001).
3) Ensambel isobarik-isotermal
Sistem diisolasi dari perubahan jumlah molekul, tekanan dan
temperatur. Tekanan dan temperatur adalah sifat makroskopis yang mudah
dikendalikan dalam eksperimen. Kondisi ini lebih menyerupai kondisi yang
sering digunakan di dalam eksperimen laboratorium. Konsekuensi dari
ensambel ini yaitu dihasilkannya nilai minimum dari fungsi Gibbs (G) ketika
kesetimbangan (Leach, 2001).
4) Ensambel Grand kanonikal
Ensambel Grand kanonik memiliki karakteristik potensial kimia (µ),
volume dan temperatur tetap. Konsekuensi kondisi ini akan memberikan
harga tekanan maksimum dan harga volume yang minimum pada kondisi
setimbangnya (Leach, 2001; Witoelar, 2002).
Salah satu program yang umum digunakan dalam simulasi DM adalah
program AMBER10 (Assisted Model Building with Energy Refinement). Program
AMBER10 terdiri dari 60 program yang beberapa di antaranya dideskripsikan
sebagai berikut:
a) Antechamber
Antechamber merupakan program yang mengotomatisasi proses
pengembanngan deskriptor-deskriptor force field khususnya untuk molekul-
molekul organik. Antechamber dihidupkan dari masing-masing arsip PDB
(format PDB ) baru dengan format yang dapat dibaca dalam
LEaP untuk digunakan dalam pemodelan molekuler. Deskripsi force field
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
yang dibuat dirancang untuk sesuai dengan force field Amber yang biasa.
b) Parmchk
Parmchk
sebagaimana suatu arsip force field
untuk parameter-parameter yang hilang.
c) LEaP
LEaP adalah suatu program berbasis X-windows yang disediakan
untuk pembuatan model dasar dan koordinat AMBER dan pembuatan arsip
input parameter atau topologi. Program tersebut meliputi editor molekuler
yang memungkinkan pembuatan residu dan memanipulasi molekul.
d) Sander (Simulated Annealing with NMR-derived Energy Restraints)
Sander adalah program utama yang digunakan untuk simulasi DM.
Program ini merelaksasi struktur dengan memindahkan atom-atom secara
iteratif menurunkan gradien energi sampai gradien rata-rata yang cukup
diperoleh. Simulasi DM akan membentuk konfigurasi sistem dengan
menggabungkan persamaan newtonian tentang gerak. DM akan melakukan
sampling ruang konfigurasional yang lebih banyak daripada minimisasi dan
memungkinkan struktur untuk melewati halangan energi potensial yang kecil.
Konfigurasi dapat disimpan pada interval tetap selama simulasi untuk analisis
lebih lanjut, dan perhitungan energi bebas dasar menggunakan integrasi
termodinamik dapat dilaksanakan.
e) Ptraj
Ptraj merupakan program yang digunakan untuk menganalisa
trajectory -trajectory DM, diantaranya untuk analisis:
(1) RMSD (Root Mean Square Deviation)
Pengukuran kesamaan struktur antara dua konformasi yang
digunakan untuk perbandingan kuantitatif suatu struktur dengan lainnya
(Becker, 2001). RMSD menyediakan informasi apakah konformasi telah
mencapai suatu keadaan yang stasioner. Deviasi masing-masing frame
terhadap frame pertama dalam trajectory dihitung. Harga ini sangat
berguna dalam mendekati sejauh mana struktur bergeser selama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
simulasi DM berjalan (Molinelli, 2004).
Dalam koordinat kartesian, jarak RMS antara konformasi i dan
konformasi j dari suatu molekul didefinisikan dengan persamaan
sebagai berikut :
dij = (2.7.1)
dimana N adalah jumlah atom, k adalah indeks atom, dan r(i)k, r(ij)k
adalah koordinat kartesian dari atom k dalam konformasi i dan j
(Becker, et al., 2001).
(2) B-factor
B-factor merupakan ukuran termal dari ketidaktentuan (luasan
densitas elektron) untuk struktur dan ditetapkan terhadap tiap-tiap atom
dan dapat dihitung untuk tiap-tiap residu asam amino. Pergerakan
termal paling besar biasanya ditemukan pada rantai samping dan loop
(Esposito, Tobi dan Madura, 2006). Kristalografik B-factor dapat
digunakan sebagai indikator mobilitas konformasional atau fleksibilitas
protein. Analisis distribusi B-factor telah digunakan lebih awal untuk
menganalisa karakteristik struktural dan fungsional protein (Kumar dan
Krishnaswamy, 2009). Tinggi rendahnya fluktuasi atomik suatu
molekul diwakili oleh tinggi rendahnya harga B-factor yang dihitung
sebagai rata- 2 untuk
menghasilkan perhitungan B-factor (Karjiban et al., 2009).
(3) Entropi
Entropi suatu sistem makroskopis yang berada dalam suatu
keadaan termodinamika tertentu merupakan hasil ukur dari berbagai
macam gerakan yang mungkin. Simulasi DM dapat menunjukkan
mekanisme gerak pada skala atom (Carl, Samuel dan Kristofer, 2009).
Pergerakan internal yang cepat dalam skala waktu fs sampai ns meliputi
gerak rotasi, vibrasi dan librasi dari ikatan kimia yang dapat
berhubungan dengan konformasi entropi backbone (Dhulesia,
Bodenhausen dan Abergel, 2008). Gerakan sudut masing-masing vektor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
ikatan dapat dipantau dari trajectory simulasi DM menggunakan order
parameter (S2) (MacRaild et al., 2007). Hubungan entropi backbone
dengan S2 merupakan estimasi entropi tiap residu dengan order
parameter. Hubungan tersebut dapat dilihat melal -
backbone hasil pengukuran S2 yang paling umum
digunakan adalah pada vektor NH. Vektor NH digunakan untuk
estimasi entropi atom backbone dengan persamaan sebagai berikut:
Sconf = kB )] (2.7.3)
untuk kB adalah konstanta Boltzmann (Stone et al., 2001). Skala order
parameter antara 0-1, dimana harga S2 yang mendekati 1 menunjukkan
vektor ikatan yang rigid, sedangkan ketika mendekati 0 berarti vektor
ikatan lebih fleksibel (Paul dan Andrew, 2010).
(4) Clustering Trajectory
Clustering merupakan teknik analisa data yang beragam untuk
mengidentifikasi subgrup yang homogen berdasarkan kemiripan model
atau pengukurannya ( Lipkowitz., 2002). Algoritma yang digunakan
untuk memisahkan data secara alami akan membagi data yang ada
menjadi bagian bagian tertentu (klaster) yang representatif, dimana
setiap klaster mempunyai konformasi, variasi dan ukuran yang berbeda
(Shao et al., 2007). Algoritma dalam clustering trajectory terbagi
menjadi dua kelas besar yaitu, kelompok Hierarchical dan kelompok
Nonhierarchical. Kelompok Hierarchical mampu menghasilkan
klaster- klaster yang berukuran berbeda tetapi tidak dapat menghasilkan
klaster yang mempunyai perbedaan diameter yang jauh seperti energi
lokal minimal yang berbeda sangat signifikan. Keuntungan dari
algoritma ini yaitu dapat mengklaster dalam waktu yang paling cepat
(Shao et al., 2007). Salah satu algoritma yang termasuk dalam
kelompok ini adalah Complate lingkage. Sedangkan kelompok
Nonhierarchical mengklaster data dengan cara menghasilkan suatu
klaster yang single yang merupakan hasil dari pengukuran seluruh data
(Lipkowitz et al., 2002).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
B. Kerangka Pemikiran
Mutan p53 yang terletak pada domain inti dengan mutasi hot spot R175H
(mutasi arginin menjadi histidin) mengakibatkan ketidakstabilan struktur p53
dalam berinteraksi dengan DNA. Hal ini menyebabkan hilangnya fungsi p53
sebagai penekan tumor. Fungsi p53 dapat dikembalikan dengan mengatur
konformasi dari mutan p53 sehingga menyerupai wild type-p53. Pengembalian
konformasi mutan p53 salah satunya dapat dilakukan dengan pembentukan adduct
terhadap residu sistein pada p53.
Modifikasi residu sistein yang dimodelkan dengan N-Acetyl Cysteine
(NAC) dapat membentuk adduct dengan Methylene Quinuclidinone (MQ) melalui
addisi nukleofilik. Adduct MQ-NAC dapat dijadiakan analogi pembentukan
adduct antara MQ dengan residu sistein pada p53. Pemilihan posisi residu sistein
yang tepat diperlukan untuk mengetahui selektivitas dan efektifitas adduct dalam
mengembalikan konformasi mutan p53. Beberapa residu sistein diketahui
memiliki aktivitas pembentukan adduct dengan kecepatan yang berbeda.
Pembentukan adduct paling cepat terjadi pada Cys-124, sedangkan yang paling
lambat terjadi pada Cys-275. Selain berdasarkan aktivitas pembentukan adduct,
pertimbangan lain yang dilakukan dalam pemilihan sistein target yaitu
berdasarkan posisi (lokasi) residu sistein. Posisi residu sistein yang memiliki
cavity cukup lebar lebih memungkinkan adduct MQ-Sistein untuk masuk dan
bertahan dibanding dengan residu sistein yang berada dipermukaan
makromolekul. Perbandingan pengaruh adduct MQ-Sistein pada posisi yang
berbeda terhadap konformasi total mutan p53 diharapkan mampu menunjukkan
probabilitas yang lebih tinggi dalam pengembalian konformasi mutan p53 agar
mendekati konformasi wild type-p53.
Perubahan konformasi protein akibat pengaruh adduct pada posisi yang
berbeda akan menunjukkan sejauh mana adduct tersebut dapat mengembalikan
konformasi mutan p53 mendekati wild type-p53. Hal tersebut akan menunjukkan
bahwa pengembalian konformasi mutan p53 cukup dengan satu adduct ataukah
diperlukan kombinasi lebih dari satu adduct untuk dapat mereaktivasi mutan p53.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Simulasi dinamika molekuler dapat menghasilkan trajectory molekul-
molekul dalam jangka waktu terhingga. Trajectory tersebut berupa suatu
konfigurasi yang dapat diartikan sebagai koordinat dalam phase space. Menurut
Boltzman, suatu sistem akan pernah memiliki semua konfigurasi yang mungkin
terjadi dalam jangka waktu mendekati tak hingga sesuai dengan hipotesis ergodic.
Hal ini berarti, sistem tersebut akan pernah berada pada setiap koordinat dalam
phase space. Phase space yang berbeda dapat menghasilkan keadaan makroskopis
sama, sehingga konfigurasi-konfogurasi yang dihasilkan selama simulasi dapat
menunjukkan karakteristik sistem.
Analisis trajectory hasil simulasi dapat menunjukkan konformasi yang
mungkin terjadi selama simulasi berjalan. Konformasi dominan yang diperoleh
dengan teknik clustering pada mutan p53 yang mengandung adduct pada posisi
yang berbeda dapat digunakan untuk mengamati perbedaan karakteristik masing-
masing sistem. Konformasi yang dapat menunjukkan karakteristik mendekati wild
type-p53 dimungkinkan dapat merestorasi mutan p53.
C. Hipotesis
1. Adduct MQ-Sistein pada posisi yang berbeda berpengaruh terhadap perubahan
konformasi mutan p53, sehingga memungkinkan terjadinya reaktivasi R175H-
p53 dengan satu adduct.
2. Adduct MQ-Sistein mampu mereaktivasi R175H-p53 melalui pengembalian
konformasi menyerupai konformasi wild type-p53.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental
laboratoris.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2012 sampai Oktober 2012,
bertempat di Laboratorium Kimia Dasar bagian Komputasi Kimia jurusan Kimia
FMIPA UNS.
C. Alat dan Bahan yang Dibutuhkan
1. Alat
Seperangkat klaster komputer dengan spesifikasi : Master node dan 4 x
compute node @ 2 intel six-core Xeon X5650 CPU (12 core 2,7 GHz), 12 GB
DDR3 ECC RAM (1GB per core). Software yang digunakan, yaitu: AMBER10
(Case et al., 2008), Molden (Schaftenaa dan Noordik, 2000), GAUSSIAN03
(Frishch et al., 2003), Chimera (Pettersen et al., 2004), XMGRACE.
2. Bahan
Struktur p53 termutasi R175H (.pdb) yang diperoleh dari mutasi struktur
wild type-p53 (.pdb), struktur adduct MQ-NAC hasil optimasi program molden.
D. Prosedur Penelitian
1. Parameterisasi Adduct MQ-Sistein
Struktur adduct MQ-Sistein diperoleh dari modifikasi struktur adduct MQ-
NAC teroptimasi (Nurmalitasari, 2012), kemudian dilakukan penggantian gugus
asetil pada NAC dengan atom H. Selanjutnya dilakukan eliminasi atau pelepasan
H2O yaitu atom H pada gugus amina dan hidroksi (OH) pada gugus karboksilat
membentuk adduct MQ-Sistein. Eliminasi H2O dilakukan karena sistein yang
digunakan dikondisikan seperti residu sistein target yang berada diantara residu
lain dalam makromolekul. Populasi elektron dihitung dengan metode Mulliken.
Arsip log data ESP (Electrostatic Potensial) dikonversi menjadi format RESP
21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
(Restrain Electrostatic Potensial) menggunakan program Antechamber melalui 2
tahap. Tahap yang pertama yaitu membuat input file (resp.in, resp.qin) dan input
script (esp.sh) untuk penyesuaian muatan pada sistein target menghasilkan file
chg. Tahap kedua yaitu pengolahan arsip log data ESP menjadi file prep dengan
penyesuaian nama atom, tipe atom, dan muatan pada sistein berdasarkan file chg
yang telah diperoleh. Hasilnya berupa arsip prep dan arsip frcmod sebagai
template dan parameter adduct MQ-Sistein yang akan digunakan dalam proses
selanjutnya.
2. Pemilihan Makromolekul
Makromolekul diperoleh dari struktur wild type-p53 (.pdb) yang dimutasi
pada residu arginin menjadi histidin yang membentuk mutan R175H-p53. Mutan
tersebut kemudian disimulasi selama 100 ns dan dilakukan clustering. Struktur
representatif yang diambil dalam penelitian ini berdasarkan ascessibilitas solvent
analysis. Pemilihan makromolekul juga dilakukan berdasarkan keberadaan sistein
yang memiliki cavity yang cukup dalam dan lebar sehingga dimungkinkan adduct
dapat masuk pada posisi tersebut menggunakan surface analysis dengan program
Chimera.
3. Penentuan Koordinat Awal Sistem
Simulasi dilakukan terhadap R175H-p53 yang telah dilakukan penggantian
residu sistein target oleh adduct MQ-Sistein. Ion Cl- sebagai counterion
ditambahkan menggunakan modul XLEAP dalam AMBER10. Sistem kemudian
disolvasi dengan penambahan eksplisit solvent berupa model air TIP3PBOX yang
berupa sekumpulan molekul air yang berbentuk kotak yang melingkupi sistem
dengan jarak minimum antara sistem dan model istem tersebut
disimpan dalam format arsip pdb (urutan atom dan posisinya), arsip prmtop
(topologi sistem), dan arsip inpcrd (parameter sistem) yang nantinya akan
digunakan dalam proses minimisasi, penyeimbangan, dan simulasi.
4. Minimisasi dan Penyeimbangan (Equilibrasi) Sistem
Minimisasi dilakukan agar proses solvasi sempurna yaitu jarak model air
dekat dengan sistem. Tahap penyeimbangan (equilibrasi) diperlukan agar keadaan
awal simulasi tidak dominan mempengaruhi analisa dari simulasi. Minimisasi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
penyeimbangan sistem dilakukan dengan prosedur yang terbagi dalam 20 langkah.
Makromolekul dan posisi-posisi ion dijaga konstan dengan penahanan harmonik
(harmonic restraint) sebesar 1000 kcal mol-1 -2 pada langkah pertama sampai
langkah ke-5. Langkah pertama dilakukan minimisasi sistem tanpa melibatkan
atom hidrogen (H). Langkah ke-2 dilakukan minimisasi dengan melibatkan air
sebagai eksplisit solvent tanpa melibatkan atom H. Langkah ke-3 dilakukan
penyeimbangan dalam kondisi N,V,T tetap dengan pemanasan bertahap 100-300 oK selama 1 fs tanpa melibatkan atom H. Langkah ke-4 dilakukan penyeimbangan
dalam kondisi N,P,T tetap tanpa melibatkan atom H selama 2 fs. Langkah ke-5
kembali dilakukan penyeimbangan sistem dalam kondisi N,V,T tetap dengan
penurunan temperatur secara bertahap 300-100 oK selama 1 fs. Langkah ke-6
sampai dengan langkah ke-19 dilakukan minimisasi dengan penurunan penahanan
harmonik secara bertahap dari 1000 kcal mol-1 -2 sampai 0,5 kcal mol-1 -2.
Selanjutnya langkah ke-19 kembali dilakukan penyeimbangan dalam kondisi
N,V,T tetap tanpa adanya penahanan harmonik selama 2 fs. Langkah terakhir
dilakukan penyeimbangan dalam kondisi N,P,T tetap selama 2 fs. Langkah
terakhir tersebut menghasilkan ensambel isobarik-isotermal. Kondisi pada
ensambel tersebut lebih menyerupai kondisi yang sering digunakan di dalam
eksperimen laboratorium. Hal ini dilakukan karena tekanan dan temperatur
merupakan sifat makroskopis yang mudah dikendalikan dalam eksperimen.
5. Simulasi Sistem
Simulasi dijalankan pada temperatur konstan 300 oK, tekanan 1 atm,
SHAKE constraints
hidrogen), nonbonded cutoff 8 time step dan prosedur particle mesh Ewald
yang digunakan untuk menangani interaksi elektrostatik yang jangkauannya jauh
(long range electrostatic interactions) menggunakan protokol pmemd. Simulasi
dilakukan selama 100 ns, dimana informasi struktural dikumpulkan setiap 500 ps.
E. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang berupa trajektori hasil simulasi DM diolah dengan perangkat
analisis yang terdapat dalam program AMBER10 (ptraj) dan XMGRACE.
Sedangkan program CHIMERA digunakan untuk menampilkan data secara visual.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Parameterisasi Adduct MQ-Sistein
Parameterisasi adduct MQ-Sistein dilakukan untuk memperoleh template
adduct yang akan digunakan dalam penghitungan minimisasi, penyeimbangan
(equilibrasi), dan simulasi. Struktur adduct MQ-Sistein diperoleh dari modifikasi
struktur adduct MQ-NAC teroptimasi (Nurmalitasari, 2012) yang telah dilakukan
penggantian gugus asetil pada NAC dengan atom hidrogen, kemudian dilakukan
eliminasi H2O yaitu satu atom H pada gugus amino dan hidroksi (OH) pada gugus
karboksilat. Eliminasi H2O dilakukan karena sistein yang digunakan dikondisikan
seperti residu sistein target yang berada diantara residu-residu lain dalam
makromolekul. Modifikasi sistein tidak dilakukan pada N-terminal maupun C-
terminal protein untuk mempertahankan kondisi sistein target sehingga
penggantian hanya dilakukan pada atom H gugus tiol sistein dengan MQ
(Methylene Quinuclidinone). Tahapan pembentukan adduct MQ-Sistein dari
adduct MQ-NAC dengan program molden disajikan pada gambar 5.
Gambar 5. Tahapan pembentukan struktur adduct MQ-Sistein dari adduct MQ-
NAC.
Populasi dan distribusi elektron MQ yang menggantikan atom H pada
sistein diperoleh dengan metode Mulliken. Arsip log data ESP (Electrostatic
Potensial) yang dihasilkan kemudian dikonversi menjadi format RESP (Restrain
Electrostatic Potensial) menggunakan program Antechamber melalui 2 step. Step
yang pertama yaitu membuat file input dengan penyesuaian muatan pada sistein
target yang menghasilkan file chg. Step kedua yaitu pengolahan arsip log data
ESP menjadi file prep dengan penyesuaian nama atom, tipe atom, dan muatan
24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
pada sistein. Tipe atom yang digunakan untuk parameter asam amino maupun
protein adalah AMBER atom type sehingga penyesuaian tipe atom tersebut penting
dilakukan untuk perhitungan parameter lainnya seperti ikatan dan torsi dengan
program parmchk dalam AMBER10. Hasil parameterisasi struktur adduct MQ-
Sistein disajikan pada gambar 6.
Kode atom
Tipe atom
Muatan atom
Kode atom
Tipe atom
Muatan atom
C3 CT -0.032 C6 CT -0.061 H3 HC 0.020 H8 H1 0.330 H4 HC 0.034 C8 CT -0.232 C2 CT -0.013 H14 H1 0.049 H5 H1 0.105 H15 H1 0.275 H6 H1 0.063 SG SH -0.249 N1 NT -0.530 CB CT 0.003 C1 CT -0.026 HB2 H1 0.111 H9 H1 0.070 HB3 H1 0.111 H10 H1 0.104 CA CT -0.245 C5 CT -0.138 N N -0.415 H1 HC 0.051 H H 0.271 H2 HC 0.059 HA H1 0.252 C4 CT 0.146 C C 0.597 H7 HC 0.001 O O -0.567 C7 C 0.310 O1 O -0.457
Gambar 6. Struktur adduct MQ-Sistein teroptimasi dengan keterangan kode
atom, tipe atom, dan muatan adduct MQ-Sistein yang diperoleh
dengan RESP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
B. Pemilihan Posisi Sistein Target pada Makromolekul
Makromolekul diperoleh dari struktur wild type-p53 yang dimutasi pada
arginin-175 menjadi histidin menghasilkan mutan R175H-p53. Mutan R175H-p53
disimulasi selama 100 ns dan dilakukan clustering. Dalam penelitian ini struktur
representatif makromolekul yang diambil berdasarkan accessibilitas solvent
analysis. Analisis reaktivitas relatif residu sistein pada p53 dengan spektrometri
massa menemukan bahwa residu sistein (Cys) yang memiliki reaktivitas tertinggi
dalam pembentukan adduct secara berurutan diantaranya terletak pada posisi Cys-
124, Cys-141, Cys-135, Cys-182, dan Cys-277, sedangkan sistein yang memiliki
reaktivitas rendah terletak pada posisi Cys-176 dan Cys-275 (Joerger et al., 2010).
Pemilihan sistein target juga dilakukan berdasarkan lokasi residu sistein pada
makromolekul menggunakan surface analysis dengan program Chimera. Residu
sistein yang berada pada cavity (lekukan) yang cukup dalam dan lebar
memungkinkan adduct dapat masuk dan stabil pada posisi tersebut. Hasil
pemilihan lokasi sistein target pada mutan R175H-p53 disajikan pada gambar 7.
Gambar 7. Hasil pemilihan lokasi sistein target pada mutan R175H-p53 digambarkan dengan surface berwarna kuning. Posisi sistein target yang digambarkan dalam bentuk pita pada Cys-124 (A) dan Cys-275 (B). Lokasi Cys-124 yang berada pada cavity (C) dan lokasi Cys-275 yang berada pada permukaan mutan R175H (D).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Hasil pemilihan residu sistein yaitu Cys-124 yang memiliki reaktifitas
tercepat dengan posisi residu sistein berada pada cavity yang cukup dalam dan
Cys-275 yang memiliki reaktifitas paling lambat dengan posisi residu sistein
berada pada permukaan mutan R175H-p53. Masing-masing posisi Cys-124 dan
Cys-275 digantikan dengan adduct MQ-Sistein sebagai template yang akan
digunakan untuk proses simulasi.
Sistein pada nomor residu 124, 141, 135, dan 275 terletak pada -sheet
yang cenderung lebih rigid dibandingkan sistein pada nomor residu 182 dan 277
yang terletak pada loop makromolekul. Berdasarkan surface analysis
menggunakan Chimera, sistein pada nomor residu 141 dan 135 berada jauh dari
permukaan makromolekul, sehingga sulit dilakukan modifikasi pada posisi
tersebut dan menimbulkan banyaknya benturan dengan residu-residu lain
disekitarnya. Modifikasi pada Cys-124 yang berada pada cavity memungkinkan
mengubah struktur lokal yang dapat memberikan perubahan konformasi mutan,
sedangkan modifikasi pada Cys-275 yang berada pada daerah DNA-binding juga
dimungkinkan memberikan perubahan konformasi makromolekul mutan R175H-
p53.
Dua protein mutan R175H-p53 dengan masing-masing lokasi sistein target
(Cys-124 dan Cys-275) yang telah dimodifikasi oleh adduct MQ-Sistein
terparameterisasi, selanjutnya dilakukan proses minimisasi, penyeimbangan
(equilibrasi) dan simulasi.
C. Reaktivasi R175H-p53 oleh Adduct MQ-Sistein
Hasil minimisasi dan penyeimbangan dari dua protein mutan R175H-p53
yang telah dimodifikasi pada masing-masing sistein target dengan adduct MQ-
Sistein kemudian disimulasikan selama 100 ns. Dua sistem tersebut adalah sistem
1 yaitu mutan R175H-p53 dengan penggantian residu sistein (Cys-124) oleh
adduct MQ-Sistein dan sistem 2 yaitu mutan R175H-p53 dengan penggantian
residu sistein (Cys-275) oleh adduct MQ-Sistein. Dua sistem pembanding adalah
sistem 3 yaitu wild type-p53 dan sistem 4 yaitu mutan p53 (R175H) yang telah
disimulasikan selama 100 ns. Hasil simulasi berupa suatu trajectory yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
menspesifikkan bagaimana posisi dan kecepatan partikel di dalam sistem
bervariasi sesuai waktu. Hasil simulasi kemudian diolah dengan program analisis
yaitu ptraj.
1. Stabilisasi R175H-p53 oleh Adduct MQ-Sistein
Analisis yang dapat menunjukkan karakter umum dari sistem yang
disimulasikan yaitu analisis RMSD (root mean square deviation). Posisi sistem
tiap waktu dibandingkan posisi awal sistem dalam rentang waktu tertentu
menunjukkan kestabilan sistem secara umum dengan perubahan jarak yang terjadi
pada masing-masing sistem selama simulasi. Grafik RMSD keempat sistem
ditampilkan pada gambar 8.
Gambar 8. Grafik perbedaan RMSD sebagai fungsi waktu. Sistem 1, 2, 3 dan 4
berturut-turut ditunjukkan dengan warna hijau, biru, hitam dan merah.
Grafik RMSD diatas memperlihatkan bahwa keempat sistem bergeser dari
posisi awal dan mengalami penyeimbangan sistem setelah simulasi berjalan 12,5
ns. Keempat sistem sama-sama bergeser sejauh ± 1 Å dari posisi awalnya dan
terus bergeser naik menjauhi posisi awal dan stabil pada jarak ± 3 Å saat simulasi
berjalan 12,5 ns. Sistem 3 terlihat mengalami perubahan posisi dari awal simulasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
hingga simulasi berakhir. Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa sistem 3
berada pada konformasi yang berbeda selama simulasi 100 ns. Sistem 4 yang
merupakan mutan R175H-p53 meskipun terlihat lebih stabil dibandingkan dengan
sistem 3, namun sistem 4 diketahui kehilangan fungsi supresi tumor akibat
perubahan konformasi yang dapat berpengaruh pada keseluruhan sistem protein.
Hasil cukup mengejutkan terlihat pada grafik RMSD yang menunjukkan selama
simulasi berlangsung sistem 1 dan 2 relatif stabil dibandingkan sistem 3. Sistem 1
yang merupakan mutan R175H-p53 dengan penggantian residu sistein (Cys-124)
oleh adduct MQ-Sistein relatif stabil sampai simulasi berakhir. Sistem 2 yang
merupakan mutan R175H-p53 dengan penggantian residu sistein (Cys-275) oleh
adduct MQ-Sistein memiliki kestabilan yang paling tinggi dibandingkan tiga
sistem lainnya. Adanya penggantian residu sistein pada mutan oleh adduct
ternyata memberikan perubahan dinamika selama simulasi berlangsung.
Pergeseran posisi yang telah ditunjukkan pada grafik RMSD berkaitan
dengan fluktuasi atomik rata-rata sistem. Analisis B-factor dapat menggambarkan
fluktuasi atomik rata-rata sistem yang disimulasikan. Harga B-factor sebagai
fungsi nomor residu dapat menunjukkan residu-residu mana saja yang mengalami
fluktuasi, sehingga terhadap residu-residu tersebut akan dapat dilihat perubahan
posisi konformasinya selama simulasi berlangsung. Harga B-factor untuk semua
atom dari keempat sistem ditampilkan pada gambar 9A dan harga B-factor untuk
atom backbone keempat sistem ditampilkan pada gambar 9B.
Grafik B-factor untuk semua atom keempat sistem memperlihatkan pada
awal dan akhir residu yang merupakan ujung-ujung protein memiliki harga B-
factor yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan residu pada ujung-ujung protein
sangat fleksibel sehingga sangat fluktuatif. Perbedaan fluktuasi keempat sistem
terlihat cukup jelas pada beberapa bagian residu, diantaranya pada range residu
113-123, 173-193, dan 233-253.
Adduct MQ-Sistein yang ada pada sistem 1 dan 2 menunjukkan sebagian
fluktuasi atomik rata-rata berkurang terhadap sistem 3 dan 4. Untuk memperjelas
perubahan yang terjadi pada B-factor total keempat sistem maka dilakukan
analisis B-factor untuk atom backbone. Analisis B-factor atom backnone
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
menunjukkan lebih jelas residu mana saja yang mengalami perubahan kestabilan
konformasi protein selama simulasi berlangsung. Pada gambar 9B, fluktuasi untuk
atom backbone tiap residu menunjukkan perubahan cukup signifikan pada
beberapa residu sama seperti fluktuasi yang terjadi pada grafik B-factor atom
total.
Gambar 9. Grafik perbedaan B-factor semua atom sebagai fungsi nomor residu
(A) dan grafik perbedaan B-factor atom backbone sebagai fungsi
nomor residu (B). Sistem 1, 2, 3 dan 4 berturut-turut ditunjukkan
dengan warna hijau, biru, hitam dan merah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Fluktuasi B-factor semua atom terlihat overlapping dan lebih tinggi
dibandingkan dengan fluktuasi yang terjadi pada B-factor atom backbone. Hal ini
dimungkinkan karena fluktuasi yang terjadi pada B-factor semua atom
dipengaruhi oleh fluktuasi sudut dihedral (yaitu sudut yang terbentuk oleh 4 atom)
yang melibatkan keseluruhan atom, sehingga menyulitkan untuk melihat
perbedaan kestabilan pada masing-masing sistem. Fluktuasi B-factor atom
backbone dapat menunjukkan perbedaan kestabilan lebih jelas yang ditunjukkan
dengan besarnya delta fluktuasi antara keempat sistem. Secara kualitatif, fluktuasi
B-factor atom backbone menunjukkan bahwa konformasi keempat sistem
mengalami perbedaan konformasi parsial karena perbedaan dinamika backbone
masing-masing sistem.
Gambar 10 menunjukkan fluktuasi ketiga range residu pada B-factor atom
backbone. Gambar 10A menunjukkan perbedaan fluktuasi keempat sistem yang
terjadi pada residu 113 sampai 123. Residu 113-123 merupakan residu-residu
yang berperan penting dalam DNA-binding. Fluktuasi sistem 3 (wild type-p53)
terlihat paling tinggi dibandingkan tiga sistem lainnya, hal ini dimungkinkan pada
range residu tersebut sistem 3 berada pada konformasi dominan yang berbeda.
Fluktuasi sistem 1 terlihat paling rendah sedangkan sistem 2 menunjukkan
fluktuasi yang mendekati sistem 3. Hal ini menunjukkan bahwa sistem 2 yang
merupakan kompleks mutan R175H-p53 dengan penggantian residu sistein (Cys-
275) oleh adduct MQ-Sistein mampu memberikan perubahan konformasi parsial
mendekati konformasi wild type-p53 pada daerah tersebut.
Gambar 10B menunjukkan perbedaan fluktuasi keempat sistem yang
terjadi pada residu 173-188. Residu yang berada pada range 173-188 merupakan
residu-residu yang berperan penting dalam stabilitas permukaan p53 DNA-binding
namun tidak secara langsung kontak dengan DNA. Fluktuasi tertinggi terjadi pada
sistem 3 mencapai harga ± 600 Å, sementara sistem 4 fluktuasi tertinggi ± 300 Å.
Tingginya fluktuasi sistem 3 menunjukkan bahwa pada range tersebut sistem 3
lebih fleksibel, hal ini dimungkinkan terdapat lebih dari satu konformasi dominan
yang terjadi selama simulasi berlangsung. Sistem 1 dan 2 terlihat memiliki harga
B-factor yang lebih rendah dibandingkan sistem 4, hal ini menunjukkan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
dengan adanya penggantian residu sistein oleh adduct MQ-Sistein pada sistem 1
dan 2 mampu menstabilkan residu-residu pada kisaran nomor residu 173-188.
Gambar 10. Grafik fluktuasi residu 113-123 (A), 173-188 (B), dan 237-250 (C).
Gambar 10C menunjukkan perbedaan fluktuasi keempat sistem yang
terjadi pada residu 237-250. Residu yang berada pada range tersebut merupakan
residu-residu yang berperan penting dalam DNA-binding. Sistem 2 pada residu
237-250 dan sistem 1 pada residu 243-250 terlihat lebih stabil dibandingkan
sistem 3 dan 4 karena memiliki harga B-factor paling rendah. Sistem 1 mengalami
sedikit fluktuasi yang terjadi pada residu 237-242, namun fluktuasi ini tidak
menunjukkan perubahan konformasi parsial yang mendekati konformasi wild
type-p53.
Adduct MQ-Sistein yang ada pada sistem 1 mempengaruhi sebagian
fluktuasi R175H-p53 yang terlihat berkurang cukup signifikan. Keberadaan
adduct MQ-Sistein pada sistem 2 juga menunjukkan perubahan fluktuasi terhadap
R175H-p53 pada residu nomor 173-188 dan 237-250. Menariknya, residu-residu
yang mengalami perubahan fluktuasi pada B-factor merupakan residu-residu yang
A B
C
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
berperan dalam DNA-binding maupun stabilisasi permukaan p53 DNA-binding
meskipun tidak secara langsung kontak dengan DNA.
Perubahan signifikan yang ditunjukkan pada analisis B-factor ternyata
bukan hanya karena pengaruh rantai samping akan tetapi lebih pada pengaruh
backbone yang dapat menunjukkan perubahan konformasi makromolekul seperti
dalam bentuk loop, helix, maupun -sheet. Perbandingan harga B-factor untuk
atom backbone keempat sistem cukup menunjukkan adanya perubahan pada
kestabilan protein terutama pada ketiga range residu tersebut. Adduct MQ-Sistein
yang ada pada sistem 1 dan 2 mempengaruhi terjadinya perubahan konformasi
dan kestabilan pada residu-residu lain protein p53 termasuk residu-residu yang
berperan dalam DNA-binding.
Pendekatan lain yang dilakukan untuk mengetahui perubahan konformasi
dan kestabilan mutan R175H-p53 oleh adanya adduct MQ-Sistein yaitu dengan
- backbone vektor NH. Atom N
pada vektor NH yang berikatan dengan atom C karbonil asam amino yang lain
merupakan ikatan peptida yang memiliki ciri unik yakni bersifat rigid dan planar.
Sifat rigid dan planar ikatan peptida merupakan konsekuensi dari interaksi
resonansi dari amina atau kemampuan amida nitrogen untuk delokalisasi pasangan
elektron bebas (lone pair electron) ke karbonil (C=O). Hal ini mengindikasikan
bahwa atom backbone vektor NH lebih stabil karena adanya resonansi elektronik
dibandingkan atom backbone. Resonansi elektronik yang terjadi pada ikatan
peptida ditunjukkan pada gambar 11.
C
O
N
H
C
O-
N+
H
Gambar 11. Resonansi elektronik ikatan peptida.
Vektor NH digunakan untuk menunjukkan order parameter yang dapat
digunakan untuk estimasi entropi atom backbone. Entropi backbone vektor NH
yang ditunjukkan melalui harga order parameter (S2) dapat memberikan kontribusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
untuk variasi stabilitas domain mutan dan dampaknya tidak hanya terlokasikan
pada tempat mutasi maupun pada posisi adduct saja, melainkan menyebar ke
lingkungan sekitar terjadinya mutasi. Dampak tersebut dapat dijelaskan secara
umum dengan kecenderungan struktur -sheet, dimana residu-residu -sheet
umumnya lebih rigid dibandingkan yang lain pada daerah inti p53. Besarnya order
parameter (S2) atom backbone vektor NH tiap residu dari keempat sistem
disajikan pada gambar 12.
Gambar 12. Grafik perbedaan order parameter vektor NH sebagai fungsi nomor
residu. Sistem 1, 2, 3 dan 4 berturut-turut ditunjukkan dengan warna
hijau, biru, hitam dan merah.
Perubahan harga order parameter terjadi pada beberapa residu, antara lain
residu nomor 113-124, 154, 165, 172-190, 200, dan 234-250. Residu Gln-165
sistem 1 memiliki harga order parameter paling rendah yang berarti bahwa sistem
1 pada residu tersebut lebih fleksibel dibandingkan tiga sistem lainnya. Harga
order parameter residu nomor Gly-154 dan Asp-200 sistem 2 terlihat lebih kecil
dibandingkan sistem 4 dan cenderung mendekati harga order parameter sistem 3.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem 2 pada residu tersebut memiliki fleksibilitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
yang hampir sama dengan wild type-p53 dan dimungkinkan memiliki konformasi
yang sama dengan wild type-p53. Perubahan harga order parameter yang terjadi
pada residu Gln-165, Gly-154, dan Asp-200 tidak cukup memberikan pengaruh
pada perbaikan mutan p53 oleh penambahan adduct mengingat pada ketiga residu
tersebut tidak berperan untuk binding dengan DNA maupun stabilitas residu-
residu yang berperan dalam DNA-binding.
Perubahan harga order parameter lainnya terjadi pada beberapa range
residu, yaitu 113-124, 172-190, dan 234-250. Perbedaan fleksibilitas residu-residu
yang terjadi pada analisis entropi ketiga range residu tersebut disajikan pada
gambar 13.
Gambar 13. Grafik order parameter sebagai fungsi nomor residu. Residu 113-124
(A), 172-190 (B), dan 234-250 (C).
Gambar 13A memperlihatkan bahwa sistem 2 pada residu 113-124
memiliki harga order parameter mendekati sistem 3. Sedangkan sistem 1 memiliki
order parameter yang lebih besar dibandingkan ketiga sistem yang lain. Secara
kualitatif ini menunjukkan bahwa sistem 2 pada range residu tersebut merupakan
sistem yang lebih stabil dengan fleksibilitas backbone (entropi) lebih besar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
dibandingkan sistem 1 yang memiliki backbone paling rigid. Analisi atom
backbone vektor NH pada residu 113-124 memperkuat dugaan bahwa sistem 2
mampu mengembalikan konformasi R175H-p53 mendekati wild type-p53
dibandingkan sistem 1 mengingat pentingnya residu 113-123 merupakan residu-
residu yang berperan penting dalam DNA-binding.
Gambar 13B menunjukkan sistem 1 dan 2 memliki order parameter yang
lebih besar dibandingkan sistem 3 dan 4. Beberapa residu yang diketahui berperan
penting dalam stabilitas permukaan p53 DNA-binding berada pada range residu
172-190. Adanya modifikasi mutan oleh adduct MQ-Sistein pada sistem 1 dan 2
menjadikan dua sistem tersebut pada range residu 172-190 lebih rigid
dibandingkan R175H-p53 maupun wild type-p53. Hal ini dikarenakan terjadinya
perubahan entropi mutan yang ditunjukkan dengan perubahan harga order
parameternya.
Gambar 13C juga menunjukkan perubahan fleksibilitas backbone vektor
NH pada range residu 234-250. Sistem 1 pada range residu 244-249 dan sistem 2
pada range residu 238-250 cenderung lebih rigid dibandingkan sistem 4. Residu
Arg-248 yang merupakan salah satu residu yang dapat kontak dengan DNA,
terlihat lebih tidak teratur pada sistem 4 dibandingkan sistem 3 yang ditunjukkan
dengan harga order parameternya yang lebih kecil. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kebolehjadian residu Arg-248 pada sistem 4 untuk berikatan dengan DNA
semakin kecil. Penambahan adduct pada sistem 1 dan 2 ternyata menunjukkan
residu Arg-248 kembali lebih teratur seperti sistem 3 selama simulasi 100 ns.
Secara kualitatif, perubahan nilai ini menunjukkan hanya sebagian
konformasi pada residu-residu sistem 1 dan 2 yang dapat mendekati konformasi
wild type-p53 dan hanya sebagian konformasi R175H-p53 yang mampu
distabilkan dengan adanya adduct MQ-Sistein pada kedua sistem tersebut.
Perubahan harga order parameter mengindikasikan adanya perubahan dari
backbone yang fleksibel menjadi backbone yang lebih rigid maupun perubahan
dari backbone yang rigid menjadi backbone yang lebih fleksibel. Adduct MQ-
Sistein yang terdapat pada sistem 1 dan 2 mampu memberikan pengaruh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
perubahan konformasi parsial dari R175H-p53 sehingga dapat mendekati
konformasi wild type-p53.
Stabilisasi mutan R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein juga ditunjukkan
dengan penurunan total entropinya. Total entropi wild type-p53 (sistem 3) sebesar
2089,8 kal mol-1 K-1 sedangkan total entropi mutan R175H-p53 (sistem 4) sebesar
2138,3 kal mol-1 K-1. Modifikasi residu sistein mutan R175H-p53 oleh adduct
mampu menunjukkan penurunan total entropinya menjadi 1956,9 kal mol-1 K-1
(sistem 1) dan 2030,6 kal mol-1 K-1 (sistem 2).
Perubahan fluktuasi B-factor dan fleksibilitas entropi pada sistem 1 dan 2
pada beberapa residu maupun besarnya total entropi mampu menunjukkan
perubahan kestabilan R175H-p53 dengan adanya adduct MQ-Sistein. Perubahan
kestabilan yang terjadi memberikan pengaruh pada beberapa daerah penting
domain inti p53. Perubahan ini dapat dilihat melalui konformasi-konformasi
parsial keempat sistem, terutama pada ketiga daerah residu yang mengalami
perubahan kestabilan.
2. Perubahan Konformasi Parsial R175H-p53 oleh Adduct MQ-Sistein
Perbedaan kestabilan pada R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-
Sistein pada posisi yang berbeda menunjukkan adanya perubahan konformasi
parsial yang terjadi pada R175H-p53 karena pengaruh penambahan adduct
tersebut. Dalam penelitian ini, trajectory hasil simulasi selama 100 ns
menghasilkan 2000 frame/ns. Keseluruhan frame tersebut dievaluasi sehingga
diperoleh 1000 konformasi struktur untuk dikelompokkan (clustering).
Pengelompokan berbagai konfigurasi molekuler dari trajectory hasil
simulasi DM dilakukan berdasarkan struktur-struktur yang memiliki kemiripan
secara konformasinya. Struktur representatif dapat menampilkan struktur yang
dapat mewakili seluruh konformasi yang terdapat dalam trajectory. Teknik
pengelompokan trajectory dilakukan berdasarkan algoritma yang digunakan.
Salah satu algoritma pengelompokan trajectory yaitu algoritma complete-linkage.
Kelebihan algoritma ini adalah struktur yang memiliki jarak kurang dari jarak
antara dua klaster akan tergabung menjadi satu klaster, sehingga setiap klaster
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
yang dihasilkan dapat mewakili sejumlah data yang tersimpan. Hasil klaster dari
1000 konformasi struktur diperoleh 10 kelompok pada masing- masing sistem.
Konformasi representatif yang dipakai untuk menunjukkan perubahan
konformasi R175H-p53 karena penambahan adduct pada penelitian ini adalah
konformasi representatif yang dominan dari hasil clustering. Struktur representatif
yang digunakan pada sistem 1 merupakan konformasi struktur dengan populasi
paling dominan sebesar 33% terhadap keseluruhan konformasi struktur sistem
tersebut. Konformasi struktur paling dominan pada sistem 2 yang digunakan
untuk menunjukkan perubahan konformasi parsial R175H karena penambahan
adduct memiliki prosentase sebesar 20%. Konformasi struktur sistem 3 hasil
clustering memiliki dua kelompok konformasi struktur dengan populasi dominan
yang berdekatan yaitu sebesar 27,2% pada kelompok 3 dan 21,7% pada kelompok
2. Dua kelompok konformasi struktur tersebut menunjukkan struktur pada dua
konformasi tersebut relatif banyak ditemukan selama simulasi berlangsung.
Menariknya, dua kelompok tersebut menunjukkan beberapa perbedaan
konformasi parsial pada wild type-p53. Sedangkan konformasi struktur yang
digunakan pada sistem 4 memiliki populasi paling dominan sebesar 24,1%
terhadap keseluruhan konformasi struktur sistem 4. Konformasi representatif
dominan yang digunakan diharapkan dapat mewakili seluruh konformasi yang
terdapat dalam trajectory pada masing-masing sistem.
a) Perbedaan Konformasi Wild type-p53 dengan R175H-p53
Protein p53 yang termutasi pada bagian hot spots 175, dimana residu
arginin berubah menjadi histidin berada diantara dua loop (L2 dan L3) yang
mengakibatkan rusaknya ikatan hidrogen antara L2 dan L3, sehingga
menyebabkan ketidakstabilan ikatan antara p53 dengan DNA. Ketidakstabilan
tersebut dimungkinkan karena berubahnya konformasi parsial pada daerah loop
tersebut. Beberapa daerah residu dari konformasi wild type-p53 diketahui dapat
berinteraksi dengan DNA. Mutasi R175H mengakibatkan terjadinya perubahan
kestabilan residu-residu permukaan p53 yang berinteraksi dengan DNA.
Perubahan kestabilan tersebut berdampak pada perubahan struktural p53 sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
terjadi perbedaan konformasi antara wild type-p53 dengan R175H-p53. Perbedaan
konformasi antara wild type-p53 (pada dua populasi dominan yang berdekatan)
dengan R175H-p53 disajikan pada gambar 14.
Gambar 14. Perbedaan konformasi p53 antara wild type-p53 (pada dua populasi dominan yang berdekatan) dengan R175H-p53. Overlay konformasi protein digambarkan dalam bentuk pita, sedangkan residu yang mengalami mutasi (Arg-175 menjadi His-175) digambarkan dalam bentuk stick. Wild type-p53 (sistem 3) dengan populasi sebesar 27,2% dan 21,7% ditunjukkan berturut dengan warna abu-abu dan orange, sedangkan mutan R175H-p53 (sistem 4) ditunjukkan dengan warna merah muda. Garis oval pada loop 2 ditampilkan untuk mendukung kejelasan gambar.
Perbedaan cukup jelas antara konformasi parsial wild type-p53 pada
populasi konformasi struktur sebesar 27,2% dengan 21,7% diantaranya terlihat
pada bagian loop 2 (residu 179-181 dan 195-198) dan strand S7 (residu 235-236).
Daerah L2 (nomor 179-181 dan 195-198) sistem 3 pada populasi dominan
pertama menunjukkan konformasi kedua range residu tersebut dalam bentuk loop,
sedangkan pada populasi dominan ke-2 menunjukkan konformasi dalam bentuk -
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
sheet (residu 179-181) dan bentuk helix (residu 195-198). Perbedaan konformasi
parsial sistem 3 pada populasi dominan yang berbeda juga ditunjukkan pada
daerah strand S7 (residu 235-236). Populasi dominan pertama residu 235-236
berada pada bentuk loop sedangkan pada populasi dominan ke-2 berbentuk -
sheet. Meskipun terdapat perbedaan konformasi parsial pada sistem 3, namun
besarnya populasi yang tidak jauh berbeda pada dua kelompok tersebut
menunjukkan bahwa struktur pada konformasi tersebut banyak terjadi selama
simulasi berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa sistem 3 yang merupakan wild
type-p53 memiliki probabilitas berada pada dua konformasi tersebut.
Akibat mutasi yang terjadi pada nomor residu 175 ternyata memberikan
perubahan konformasi parsial pada protein p53. Perbedaan konformasi antara
sistem 3 dengan sistem 4 diantaranya ditunjukkan pada daerah loop (L1, L2, dan
L3), -sheet (strand S5), dan loop (turn S3-S4 dan S6-S7). Daerah loop (L1 dan
L3) merupakan daerah residu yang berperan penting dalam DNA-binding,
sedangkan L2 merupakan daerah residu yang berperan dalam stabilisasi
permukaan p53 DNA-binding. Perbedaan daerah L1 antara sistem 3 dengan
sistem 4 ditunjukkan dengan perbedaan lengkungan loop seperti terlihat pada
gambar 14. Daerah L2 sistem 4 pada residu 179-181 berada dalam bentuk loop
seperti yang terjadi pada sistem 3 dominasi populasi pertama, namun pada residu
195-198 sistem 4 berada dalam bentuk -sheet mengikuti sistem 3 dominasi
populasi ke-2. Perbedaan lainnya ditunjukkan pada daerah strand S5 (residu
nomor 204-207) sistem 3 yang berbentuk -sheet sedangkan pada sistem 4
berbentuk loop. Residu-residu pada daerah strand S5 diketahui tidak berinterkasi
secara langsung dengan DNA dikarenakan lokasinya yang cukup jauh dengan
DNA. Perbedaan konformasi parsial antara wild type-p53 dengan R175H-p53 juga
ditunjukkan dengan perbedaan lengkungan loop (turn S3-S4 dan S6-S7). Namun,
residu-residu yang berada pada daerah loop (turn S3-S4 dan S6-S7) tidak
memiliki peranan penting dalam berinteraksi dengan DNA karena posisinya yang
jauh dengan DNA sehingga tidak memungkinkan untuk berinteraksi secara
langsung dengan DNA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Perbedaan konformasi antara sistem 3 dengan sistem 4 terjadi akibat
mutasi Arg-175 yang memiliki rantai samping cukup panjang menjadi histidin
dengan rantai samping lebih pendek dan tertekuk, sehingga mengakibatkan
lingkungan disekitar tempat mutasi mengalami perubahan interaksi dengan residu
nomor 175. Perubahan tersebut dapat dilihat dari berubahnya jarak interaksi
residu-residu disekitar tempat mutasi yang mengindikasikan menjadi penyebab
berubahnya konformasi parsial makromolekul terutama daerah loop (L1, L2, dan
L3) yang cenderung fleksibel.
Residu nomor 114-124 berada pada daerah L1 yang berperan penting
dalam DNA-binding. Akibat mutasi R175H, daerah L1 mengalami perubahan
konformasi yang ditunjukkan dengan perubahan jarak interaksi yang terjadi pada
lingkungan L1. Daerah L1 pada gambar 15 terlihat bahwa lengkungan L1 sistem 4
jauh berbeda dengan lengkungan L1 sistem 3 pada populasi dominan pertama,
namun jika dibandingkan dengan lengkungan L1 sistem 3 pada populasi dominan
ke-2 perubahan yang tampak tidak jauh berbeda. Perbedaan lengkungan L1 dan
perbedaan jarak antar residu-residu daerah L1 disajikan pada gambar 15.
Gambar 15. Perbedaan jarak antar residu-residu daerah L1 wild type-p53 dengan
R175H-p53. Wild type-p53 (sistem 3) pada populasi dominan
pertama, sistem 3 pada populasi dominan ke-2 dan mutan R175H-
p53 (sistem 4) ditunjukkan berturut-turut dengan warna abu-abu,
orange dan merah muda.
Pengukuran jarak antar residu daerah L1 dilakukan antara atom C (CB)
yang terikat pada backbone satu residu dengan residu yang lain. Hal tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
dilakukan karena apabila backbone mengalami perubahan posisi (lengkungan
loop) maka atom C (CB) juga akan mengalami perubahan posisi. Jarak antara
residu Leu-114 dengan Thr-123 pada sistem 3 adalah 9,7 Å (populasi dominan
pertama) dan 10,0 Å (populasi dominan ke-2), sedangkan pada sistem 4 sejauh
10,7 Å. Perbedaan jarak terjadi antara residu Hie-115 dengan Val-122. Jarak
antara residu Hie-115 dengan Val-122 pada sistem 3 sejauh 11,4 Å (populasi
dominan pertama) dan 12,2 Å (populasi dominan ke-2) kemudian berubah
menjadi 10,1 Å pada sistem 4. Jarak residu Ser-116 dengan Val-122 juga
mengalami perubahan signifikan, dimana pada sistem 3 sejauh 11,8 Å (populasi
dominan pertama) dan 8,6 Å (populasi dominan ke-2) kemudian berubah pada
sistem 4 menjadi 4,8 Å. Residu Val-122 merupakan salah satu residu yang dapat
berinteraksi (kontak) secara langsung dengan DNA. Perubahan jarak yang terjadi
pada residu Val-122 dengan beberapa residu dilingkungannya dari posisi yang
renggang menjadi cenderung rapat mengindikasikan hilangnya kontak residu
tersebut dengan DNA. Perbedaan jarak juga terjadi antara residu Thr-118 dengan
Ser-121. Pada sistem 3 sejauh 10,1 Å (populasi dominan ke-2) kemudian berubah
menjadi 9,7 Å pada sistem 4, namun tidak mengalami perubahan jika
dibandingkan dengan sistem 3 pada populasi dominan pertama.
Perbedaan konformasi antara sistem 3 dengan sistem 4 juga terjadi pada
residu nomor 174-192 yang berada pada daerah L2. Perbedaan konformasi parsial
sistem 3 akibat mutasi ditunjukkan dengan perbedaan jarak antar residu yang
terjadi di lingkungan L2. Perbedaan jarak antar residu-residu daerah L2 disajikan
pada gambar 16.
Gambar 16. Perbedaan jarak antar residu-residu daerah L2 wild type-p53 dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
R175H-p53.
Perbedaan jarak antar residu pada daerah L2 yang disajikan gambar 16
dapat menunjukkan terjadinya perubahan konformasi sistem 3 akibat mutasi yang
terjadi pada daerah L2 memberikan pengaruh pada lingkungan disekitar tempat
mutasi. Jarak backbone antara residu Arg-175 dengan Hie-178 sistem 3 sejauh 9,1
Å (populasi dominan pertama) dan 9,4 Å (populasi dominan ke-2). Setelah terjadi
mutasi pada residu Arg-175 menjadi His-175, jarak backbone antara residu His-
175 dengan Hie-178 mendekat menjadi 8,7 Å. Perbedaan lainnya terjadi pada
residu Hin-179 dan Glu-180, dimana jarak antara residu Hin-179 terhadap Arg-
175 pada sistem 3 sejauh 4,8 Å (populasi dominan pertama) dan 5,2 Å (populasi
dominan ke-2), sedangkan terhadap His-175 pada sistem 4 sejauh 4,2 Å. Jarak
antara residu Glu-180 dengan Arg-175 pada sistem 3 adalah 4,0 Å (populasi
dominan pertama) dan 4,6 Å (populasi dominan ke-2) kemudian menjadi 4,5 Å
pada sistem 4. Perbedaan jarak juga terjadi antara residu Arg-175 dengan Leu-188
sistem 3 sejauh 17,0 Å (populasi dominan pertama) dan 16,2 Å (populasi dominan
ke-2), sedangkan sistem 4 sejauh 18,1 Å.
Perbedaan jarak antar residu-residu tersebut dimungkinkan karena
perubahan residu Arg-175 yang memiliki rantai samping cukup panjang sehingga
membutuhkan space (ruang) gerak yang cukup luas menjadi histidin dengan rantai
samping yang lebih pendek. Akibat mutasi residu Arg-175 menjadi His-175 yang
memiliki rantai samping cenderung lebih pendek dan tertekuk sehingga
dimungkinkan mengubah kondisi ruang gerak rantai samping His-175 menjadi
lebih rapat agar dapat berinteraksi dengan residu-residu disekitarnya. Perubahan
jarak interaksi residu mutasi dengan residu disekitarnya mengakibatkan L2
cenderung lebih merapat. Hal ini ditunjukkan dengan perubahan jarak yang cukup
signifikan antara residu Ser-183 terhadap Arg-175 sistem 3 sejauh 12,5 Å
(populasi dominan pertama) dan 12,7 Å (populasi dominan ke-2) kemudian
berubah terhadap His-175 sistem 4 menjadi 9,8 Å. Perubahan jarak residu mutasi
terhadap residu-residu daerah L2 juga terjadi antara Arg-175 dengan Gln-192
sistem 3 sejauh 7,5 Å (populasi dominan pertama) dan 8,0 Å (populasi dominan
ke-2) kemudian menjadi 8,4 Å pada His-175 dengan Gln-192 sistem 4. Residu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Arg-174 pada sistem 3 memiliki jarak dengan Hie-178 sejauh 12,0 Å (populasi
dominan pertama) dan 11,1 Å (populasi dominan ke-2) kemudian menjadi 12,3 Å
pada sistem 4.
Residu protein pada nomor 174-192 merupakan residu-residu yang
berperan penting dalam menjaga stabilitas residu-residu permukaan p53 yang
berikatan dengan DNA. Akibat mutasi yang terjadi pada daerah residu tersebut
mengakibatkan perubahan konformasi protein tidak hanya pada daerah terjadinya
mutasi namun juga menyebar ke daerah lain seperti L1 dan L2. Perubahan
konformasi inilah yang menjadikan sistem 4 kehilangan fungsi supresi tumor.
Perbedaan konformasi parsial antara sistem 3 dengan sistem 4 akibat
mutasi R175H juga terjadi pada daerah L3, dimana residu pada nomor 236-246
berlokasi di daerah tersebut. Residu pada range tersebut merupakan loop yang
diketahui mempunyai kontribusi dalam DNA-binding. Perbedaan jarak antar
residu-residu daerah L3 disajikan pada gambar 17.
Gambar 17. Perbedaan jarak antar residu-residu daerah L3 wild type-p53 dengan
R175H-p53.
Jarak antara residu Tyr-236 dengan Met-246 pada sistem 3 adalah 12,0 Å
(populasi dominan pertama) dan 11,9 Å (populasi dominan ke-2), sedangkan pada
sistem 4 sejauh 10,4 Å. Perbedaan jarak juga terjadi antara residu Met-237 dengan
Met-246, dimana jarak dua residu tersebut pada sistem 3 sejauh 10,8 Å (populasi
dominan pertama) dan 11,8 Å (populasi dominan ke-2), sedangkan pada sistem 4
sejauh 11,7 Å. Perbedaan jarak lainnya terjadi pada residu Ser-241 dengan Met-
246 yaitu sejauh 10,1 Å (populasi dominan pertama) dan sejauh 7,9 Å (populasi
dominan ke-2), sedangkan sistem 4 sejauh 6,9 Å. Perubahan cukup signifikan
terjadi antara residu Ser-241 dengan Gly-245, pada sistem 3 berjarak 11,5 Å
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
(populasi dominan pertama) dan 10,5 Å (populasi dominan ke-2) menjadi 8,0 Å
pada sistem 4. Pengukuran jarak antar residu Ser-241 dengan Gly-245 dilakukan
pada atom C (CA), hal ini disebabkan rantai samping glisin hanya terdiri dari
sebuah atom hidrogen. Perubahan-perubahan jarak antar residu tersebut
diharapkan mampu menunjukkan perbedaan konformasi parsial daerah L3 antara
sistem 3 dengan sistem 4.
Mutasi residu Arg-175 menjadi His-175 yang berada pada daerah L2 p53
ternyata mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan struktur p53 dalam berinteraksi
dengan DNA. Ketidakstabilan tersebut terjadi dikarenakan struktur pada daerah
mutasi ini berubah. Perubahan konformasi parsial telah ditunjukkan oleh
perubahan-perubahan jarak interaksi antar residu di daerah sekitar mutasi maupun
daerah lain (L1 dan L3). Perubahan konformasi parsial inilah yang mengakibatkan
hilangnya kontak protein dengan DNA, sehingga mutan R175H kehilangan fungsi
supresi tumor.
b) Perubahan Konformasi R175H-p53 oleh Adduct pada Residu Sistein-124
Penggantian residu sistein-124 pada konformasi R175H-p53 oleh adduct
MQ-Sistein mampu memberikan perubahan konformasi parsial mutan tersebut.
Perubahan konformasi parsial R175H-p53 dimungkinkan karena penggantian
residu sistein-124 dengan rantai samping yang pendek menjadi adduct MQ-
Sistein dengan rantai samping yang lebih panjang. Adduct MQ-Sistein
dimungkinkan mendesak lingkungan disekitarnya (daerah L1) yang secara tidak
langsung mengubah posisi rantai samping residu histidin pada tempat mutasi.
Perubahan posisi rantai samping residu histidin mengakibatkan terjadinya
perubahan konformasi parsial makromolekul terutama pada daerah loop yang
cenderung fleksibel. Perubahan konformasi parsial yang cukup menarik yaitu
lingkungan disekitar daerah mutasi, dimana pada daerah L2 terjadi perubahan
konformasi dari loop pada sistem 4 menjadi helix setelah penambahan adduct.
Perubahan konformasi R175H-p53 oleh adduct pada residu sistein-124 disajikan
pada gambar 18.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Gambar 18. Perbedaan konformasi p53 antara wild type-p53 (sistem 3) pada
populasi dominan pertama (kiri) dan populasi dominan ke-2 (kanan)
dengan sistem 1 dan sistem 4. Overlay konformasi p53 digambarkan
dalam bentuk pita, sedangkan residu yang mengalami mutasi
(arginin menjadi histidin) digambarkan dalam bentuk stick. Wild
type-p53 (sistem 3) dengan populasi dominan pertama, sistem 3
dengan populasi dominan ke-2, sistem 1, dan sistem 4 ditunjukkan
berturut-turut dengan warna abu-abu, orange, hijau, dan merah
muda.
Perubahan konformasi yang terjadi pada daerah loop tersebut sesuai
dengan analisis sebelumnya yang ditunjukkan oleh perubahan harga order
parameter sistem 4 yang fleksibel menjadi rigid dengan penambahan adduct.
Daerah L2 yang mengalami perubahan konformasi menjadi helix terjadi pada
range residu nomor 180-182. Terbentuknya konformasi helix juga terjadi pada
sistem 3 dengan populasi dominan ke-2. Hal ini menunjukkan bahwa konformasi
parsial pada daerah tersebut dapat mendekati konformasi dari wild type-p53.
Terbentukknya konformasi helix pada sistem 1 dimungkinkan akibat dari
perubahan interaksi yang terjadi pada daerah L2 dengan residu histidin yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
mengalami perubahan posisi rantai samping dan perubahan konformasi backbone
L2 karena adanya penambahan adduct.
Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein pada
daerah L1 ditunjukkan dengan perubahan jarak antar residu di daerah tersebut.
Gambar 19 menunjukkan perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct
MQ-Sistein pada daerah L1 yang ditunjukkan dengan perubahan jarak antar residu
di daerah tersebut. Jarak antar residu-residu daerah L1 sistem 1 diantaranya pada
residu Leu-114 dengan Thr-123 sejauh 12,3 Å, residu Hie-115 dengan Val-122
sejauh 10,1 Å, residu Ser-116 dengan Val-122 sejauh 4,6 Å, dan residu Thr-118
dengan Ser-121 sejauh 9,8 Å. Dari keempat perubahan jarak yang terjadi pada
daerah L1 sistem 1 hanya residu antara Thr-118 dengan Ser-121 yang memiliki
jarak antar residu paling mendekati wild type-p53, mengingat jarak antara residu
Thr-118 dengan Ser-121 wild type-p53 sejauh 9,7 Å. Hal ini cukup penting karena
residu Thr-118 dan Ser-121 merupakan residu-residu yang dapat berinteraksi
(kontak) secara langsung dengan DNA.
Gambar 19. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 1 pada daerah L1. Konformasi parsial L1 digambarkan
dalam bentuk pita, sedangkan rantai samping residu-residu daerah
L1 digambarkan dalam bentuk stick. Konformasi parsial R175H-
p53 (sistem 4) dan R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-
Sistein (sistem 1) ditunjukkan berturut-turut dengan warna merah
muda dan hijau.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein juga
terjadi pada daerah L2. Perubahan konformasi parsial tersebut terlihat dari
berubahnya jarak antar residu-residu daerah L2. Penambahan adduct MQ-Sistein
ternyata mampu memberikan pengaruh perubahan di lingkungan sekitar tempat
mutasi. Menariknya, backbone residu Glu-180, Arg-181, dan Cys-182 pada
R175H-p53 yang berbentuk loop berubah menjadi helix dengan penambahan
adduct MQ-Sistein. Konformasi helix ini juga terjadi pada sistem 3 dengan
dominasi populasi ke-2 hasil clustering. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
penambahan adduct pada R175H-p53 mampu memberikan perubahan konformasi
parsial mendekati konformasi wild type-p53. Perubahan konformasi pada R175H-
p53 karena penambahan adduct juga ditunjukkan dengan perubahan jarak antar
residu yang terjadi di daerah L2. Perubahan jarak antar residu-residu daerah L2
ditunjukkan pada gambar 20.
Gambar 20. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 1 pada daerah L2. Konformasi parsial L2 digambarkan dalam
bentuk pita, sedangkan rantai samping residu-residu daerah L2
digambarkan dalam bentuk stick. Konformasi parsial R175H-p53 dan
R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein ditunjukkan
berturut-turut dengan warna merah muda dan hijau.
Perubahan jarak backbone residu-residu dilingkungan tempat mutasi
R175H-p53 karena adanya adduct diantaranya terjadi pada residu His-175 dengan
Hie-178 sejauh 8,7 Å menjadi 9,0 Å, residu His-175 dengan Hin-179 dari 4,2 Å
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
menjadi 6,3 Å, residu His-175 dengan Glu-180 dari 4,5 Å menjadi 5,2 Å, residu
His-175 dengan Ser-183 dari 9,8 Å menjadi 5,4 Å, residu His-175 dengan Leu-
188 dari 18,0 Å menjadi 16,6 Å, dan residu Arg-174 dengan Hie-178 dari 12,3 Å
menjadi 12,6 Å. Dari beberapa perubahan tersebut terdapat dua jarak antar residu
daerah L2 yang mampu mendekati jarak antar residu yang terjadi pada wild type-
p53, yaitu jarak backbone antara residu His-175 dengan Hie-178 pada sistem 1
sejauh 9,0 Å sedang pada sistem 3 sejauh 9,0 Å dan jarak backbone antara residu
His-175 dengan Leu-188 pada sistem 1 sejauh 16,6 Å sedang pada sistem 3 sejauh
17,0 Å.
Perubahan konformasi backbone histidin dimungkinkan mempengaruhi
residu-residu yang berada disekitarnya. Konformasi backbone seperti spiral yang
terbentuk pada sistem 1 mungkin disebabkan karena terjadinya ikatan hidrogen
antara atom H pada gugus NH residu Ser-183 dengan atom O pada gugus CO
residu Glu-180. Jarak ikatan hidrogen yang terjadi pada dua residu tersebut adalah
2,3 Å. Ikatan ini memungkinkan terjadinya tarikan atom backbone antara dua
residu tersebut sehingga dapat mengubah konformasinya menjadi helix. Interaksi
antara residu Ser-183 dengan Glu-180 sistem 1 disajikan pada gambar 21.
Gambar 21. Interaksi ikatan hidrogen antara Ser-183 dengan Glu-180 pada sistem
1. Rantai samping tiap residu ditampilkan dengan stick. Atom C, H,
O, N, S ditunjukkan berturut-turut dengan warna hijau, putih, merah,
biru, dan kuning.
Perubahan karena adanya penambahan adduct pada sistem 1 juga terjadi
pada daerah L3. Perubahan tersebut juga ditunjukkan oleh berubahnya jarak antar
residu yang berada di lengkungan L3. Perubahan konformasi parsial R175H-p53
oleh adduct MQ-Sistein pada daerah L3 juga ditunjukkan dengan perubahan jarak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
antar residu di daerah tersebut. Perubahan jarak tersebut disajikan pada gambar
22.
Gambar 22. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 1 pada daerah L3. Konformasi parsial R175H-p53 dan R175H-
p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein ditunjukkan berturut-turut
dengan warna merah muda dan hijau.
Perubahan jarak antar residu-residu daerah L3 dari R175H-p53 menjadi
R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein diantaranya pada residu Tyr-
236 dengan Met-246 dari 10,4 Å menjadi 8,9 Å, residu Met-237 dengan Met-246
dari 11,7 Å menjadi 10,9 Å, dan residu Ser-241 dengan Met-246 dari 6,9 Å
menjadi 9,8 Å. Residu Ser-241 dengan Gly-245 dari 8,0 Å menjadi 10,0 Å. Dari
perubahan-perubahan jarak tersebut, residu antara Met-237 dengan Met-246
memiliki jarak yang tidak jauh berbeda dengan sistem 3, mengingat jarak antara
residu tersebut pada sistem 3 sejauh 10,8 Å. Jarak antar residu yang mampu
mendekati sistem 3 juga terjadi pada residu Ser-241 dengan Met-246, hal ini
disebabkan jarak pada residu Ser-241 dengan Met-246 sistem 3 sejauh 10,1 Å.
Jarak antara residu Ser-241 dengan Gly-245 juga mampu mendekati jarak yang
terjadi pada sistem 3.
Beberapa perubahan konformasi mutan R175H-p53 yang mengandung
adduct ternyata mampu mendekati konformasi wild type-p53. Perubahan tersebut
ditunjukkan oleh berubahnya sebagian konformasi backbone maupun berubahnya
jarak antar residu yang terjadi pada mutan R175H-p53 yang mengandung adduct.
Hal ini memperkuat dugaan bahwa penggantian oleh adduct MQ-Sistein pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
posisi Cys-124 dapat memberikan pengaruh perubahan konformasi parsial
mendekati wild type-p53.
c) Perubahan Konformasi R175H-p53 oleh Adduct pada Residu Sistein-275
Perubahan konformasi R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein pada residu
nomor 275 mampu memberikan perubahan konformasi parsial dari makromolekul
seperti yang terjadi pada sistem 1. Adanya adduct MQ-Sistein secara tidak
langsung memberikan pengaruh pada posisi backbone residu mutasi (histidin)
maupun residu-residu lain terutama pada daerah loop yang cenderung lebih
fleksibel dibandingkan bagian lain pada makromolekul. Pengaruh perubahan
posisi backbone residu mutasi (histidin) terhadap lingkungan disekitarnya
diperkirakan karena terjadi perubahan interaksi di daerah sekitar residu mutasi,
terlebih pada daerah L2, akibatnya terjadi perubahan konformasi L2 pada sistem 4
dari loop menjadi helix setelah penambahan adduct. Perubahan konformasi mutan
oleh adduct pada residu sistein-275 disajikan pada gambar 23.
Gambar 23 memperlihatkan terjadinya perubahan konformasi parsial
akibat adanya adduct pada residu nomor 275. Sama halnya yang terjadi pada
sistem 1, sistem 2 yang merupakan R175H-p53 dengan penambahan adduct pada
residu 275 juga memberikan perubahan konformasi parsial pada beberapa daerah
terutama daerah loop. Penambahan adduct diperkirakan juga mengakibatkan
perubahan posisi backbone residu mutasi (histidin) yang terletak diantara L2 dan
L3. Akibat perubahan posisi rantai samping residu histidin, residu-residu yang
berada di lingkungan residu histidin juga berubah.
Menariknya, residu-residu yang berada disekitar lingkungan residu histidin
terutama pada daerah L2 mengalami perubahan cukup signifikan sama seperti
yang terjadi pada kompleks mutan R175H yang mengandung adduct MQ-Sistein
pada residu nomor 124. Perubahan konformasi parsial terjadi pada range residu
177-183 dari konformasi loop berubah menjadi helix karena adanya pengaruh
secara tidak langsung oleh penambahan adduct. Helix yang ada pada daerah L2
juga terjadi pada sistem 3 dengan populasi dominan ke-2. Probabilitas
terbentuknya helix ternyata dapat mengalami peningkatan ketika ditambahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
adduct pada residu 275. Perubahan konformasi ini sesuai dengan analisis
kestabilan yang ditunjukkan sebelumnya dengan harga B-factor atom backbone
maupun analisis entropi atom backbone vektor NH yang menunjukkan bahwa
daerah L2 mutan R175H cenderung fleksibel kemudian berubah menjadi lebih
rigid karena perubahan konformasinya menjadi helix yang disebabkan adanya
pengaruh adduct.
Gambar 23. Perbedaan konformasi p53 antara wild type-p53 (sistem 3) pada
populasi dominan pertama (kiri) dan populasi dominan ke-2
(kanan) dengan sistem 2 dan sistem 4. Overlay konformasi p53
digambarkan dalam bentuk pita, sedangkan residu yang mengalami
mutasi (arginin menjadi histidin) digambarkan dalam bentuk stick.
Wild type-p53 (sistem 3) dengan populasi dominan pertama, sistem
3 dengan populasi dominan ke-2, sistem 2, dan sistem 4
ditunjukkan berturut-turut dengan warna abu-abu, orange, biru, dan
merah muda.
Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein pada
residu nomor 275 terjadi pada daerah L1 yang ditunjukkan dengan perubahan
jarak antar residu di daerah tersebut. Jarak antar residu-residu daerah L1 R175H-
p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein diantaranya pada residu Leu-114
dengan Thr-123 sejauh 10,0 Å, residu Hie-115 dengan Val-122 sejauh 9,8 Å,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
residu Ser-116 dengan Val-122 sejauh 5,1 Å, dan residu Thr-118 dengan Ser-121
sejauh 10,0 Å. Beberapa perubahan jarak tersebut hanya residu antara Leu-114
dengan Thr-123 yang memiliki jarak paling mendekati wild type-p53, mengingat
jarak antara residu tersebut pada wild type-p53 sejauh 9,7 Å. Hal ini cukup
penting karena residu Thr-118 dan Ser-121 merupakan residu-residu yang dapat
berinteraksi (kontak) secara langsung dengan DNA. Perubahan konformasi parsial
R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein pada daerah L1 yang ditunjukkan dengan
perubahan jarak antar residu di daerah tersebut disajikan pada gambar 24.
Gambar 24. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 2 pada daerah L1. Konformasi parsial L1 digambarkan
dalam bentuk pita, sedangkan rantai samping residu-residu daerah
L1 digambarkan dalam bentuk stick. Konformasi parsial R175H-
p53 dan R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein
ditunjukkan berturut-turut dengan warna merah muda dan biru.
Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein juga
terjadi pada daerah L2. Adduct MQ-Sistein yang berada pada residu Cys-275
ternyata mampu memberikan pengaruh perubahan di lingkungan sekitar tempat
mutasi. Backbone residu Glu-180, Arg-181, dan Cys-182 pada R175H-p53 yang
berbentuk loop berubah menjadi helix dengan penambahan adduct MQ-Sistein.
Konformasi helix ini juga terjadi pada sistem 3 dominasi populasi kedua hasil
clustering. Hal ini menunjukkan bahwa adanya penambahan adduct pada R175H-
p53 mampu meningkatkan probabilitas terbentuknya helix. Perubahan konformasi
lainnya pada R175H-p53 karena penambahan adduct juga ditunjukkan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
perubahan jarak antar residu yang terjadi di daerah L2. Perubahan jarak antar
residu-residu daerah L2 ditunjukkan pada gambar 25.
Gambar 25. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 2 pada daerah L2. Konformasi parsial R175H-p53 dan
R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein ditunjukkan
berturut-turut dengan warna merah muda dan biru.
Perubahan jarak backbone residu-residu dilingkungan tempat mutasi yang
berada pada daerah L2 R175H-p53 karena adanya adduct MQ-Sistein diantaranya
terjadi pada residu His-175 dengan Hie-178 sejauh 8,7 Å menjadi 9,2 Å, residu
His-175 dengan Hin-179 dari 4,2 Å menjadi 6,4 Å, residu His-175 dengan Glu-
180 dari 4,5 Å menjadi 4,1 Å, residu His-175 dengan Ser-183 dari 9,8 Å menjadi
6,8 Å, residu His-175 dengan Leu-188 dari 18,0 Å menjadi 17,2 Å, dan residu
Arg-174 dengan Hie-178 dari 12,3 Å menjadi 12,1 Å. Dari perubahan-perubahan
jarak antar residu daerah L2 tersebut terdapat tiga perubahan jarak antar residu
daerah L2 pada sistem 2 yang mampu mendekati jarak antar residu yang terjadi
pada wild type-p53. Jarak backbone antara residu His-175 dengan Hie-178 pada
sistem 2 sejauh 9, 2 Å mampu mendekati jarak backbone antara residu His-175
dengan Hie-178 pada wild type-p53 yang memilik jarak sejauh 9,0 Å. Jarak
backbone antara residu His-175 dengan Glu-180 pada sistem 2 sejauh 4,1 Å
mampu mendekati jarak backbone antara wild type-p53 yang memilik jarak sejauh
4,0 Å. Hal serupa juga terjadi pada jarak backbone antara residu His-175 dengan
Leu-188 pada sistem 2 sejauh 17,2 Å sedang pada sistem 3 sejauh 17,0 Å. Jarak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
backbone antara residu residu Arg-174 dengan Hie-178 pada sistem 2 sejauh 12,1
Å mampu mendekati jarak backbone residu tersebut pada wild type-p53 yang
memilik jarak sejauh 12,0 Å.
Perubahan konformasi L2 menjadi helix dimungkinkan juga terjadi akibat
adanya ikatan hidrogen yang terbentuk antara atom O pada gugus CO residu Hie-
178 dengan atom H pada gugus NH residu Arg-181 dengan panjang ikatan 2,6 Å.
Ikatan hidogen lainnya dimungkinkan terjadi antara atom O gugus CO residu Hin-
179 dengan aton N gugus NH residu Ser-183. Jarak ikatan hidrogen yang terjadi
pada dua residu tersebut adalah 2,6 Å. Struktur helix terbentuk oleh backbone
ikatan peptida yang membentuk spiral. Bentuk spiral tersebut dimungkinkan
akibat tarikan ikatan hidrogen yang terjadi antara backbone residu Hie-178
dengan residu Arg-181 dan residu Hin-179 dengan Ser-183. Interaksi ikatan
hidrogen pada backbone helix yang berada di daerah L2 sistem 2 disajikan pada
gambar 26.
Gambar 26. Interaksi ikatan hidrogen antara residu Hie-178 dengan Arg-181 (A)
dan Hin-179 dengan Ser-183 (B) pada sistem 2. Konformasi
backbone helix digambarkan dalam bentuk flat, sedangkan rantai
samping tiap residu ditampilkan dalam bentuk stick. Atom C, H, O
ditunjukkan berturut dengan warna biru, putih, dan merah.
Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein juga
terjadi pada daerah L3 yang ditunjukkan dengan perubahan jarak antar residu di
daerah tersebut. Perubahan jarak antar residu-residu daerah L3 dari R175H-p53
menjadi R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein diantaranya pada
residu Tyr-236 dengan Met-246 dari 10,4 Å menjadi 11,7 Å, residu Met-237
dengan Met-246 dari 11,7 Å menjadi 10,8 Å, residu Ser-241 dengan Met-246 dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
6,9 Å menjadi 10,0 Å, dan residu Ser-241 dengan Gly-245 dari 8,0 Å menjadi
10,0 Å. Perubahan jarak antar residu-residu daerah L3 dari R175H-p53 menjadi
R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein pada residu nomor 275
disajikan pada gambar 27.
Gambar 27. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 2 pada daerah L3. Konformasi parsial L3 digambarkan
dalam bentuk pita, sedangkan rantai samping residu-residu daerah
L3 digambarkan dalam bentuk stick. Konformasi parsial R175H-
p53 dan R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein
ditunjukkan berturut-turut dengan warna merah muda dan biru.
Dari keempat perubahan jarak tersebut menunjukkan bahwa seluruh jarak
antar residu daerah L3 mampu mendekati jarak antar residu backbone yang terjadi
pada residu-residu milik wild type-p53. Jarak antar residu pada backbone antara
residu Tyr-236 dengan Met-246 sejauh 11,7 Å, sedang pada wild type-p53 sejauh
12,0 Å (populasi dominan pertama) dan 11,9 Å (populasi dominan kedua). Jarak
antar residu pada backbone antara residu Met-237 dengan Met-246 pada sistem 2
sama dengan sistem 3 yaitu sejauh 10,8 Å. Jarak antar residu yang mampu
mendekati wild type-p53 juga terjadi pada residu Ser-241 dengan Met-246,
mengingat jarak residu Ser-241 dengan Met-246 pada wild type-p53 sejauh 10,1
Å. Jarak antara residu Ser-241 dengan Gly-245 juga mampu mendekati jarak yang
terjadi pada sistem 3, mengingat jarak antar residu tersebut pada sistem 3 sejauh
10,5 Å.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Penambahan adduct MQ-Sistein yang terdapat pada sistem 1 dan 2
ternyata mampu meningkatkan kestabilan R175H-p53 selama simulasi
berlangsung. Adduct MQ-Sistein yang terdapat pada sistem 1 dan 2 ternyata juga
memberikan perubahan konformasi parsial dari R175H-p53 yang dapat mendekati
konformasi wild type-p53, terutama daerah L1, L2, dan L3 yang merupakan
daerah penting untuk DNA-binding maupun stabilisasi residu-residu permukaan
p53 yang binding dengan DNA. R175H-p53 dengan modifikasi pada sistein-124
(sistem 1) yang diketahui memiliki reaksi pembentukan adduct paling cepat
terlihat memberikan perbaikan konformasi parsial mendekati wild type-p53 pada
daerah L2 dan L3. Daerah L2 sistem 1 terdapat konformasi parsial berupa helix
seperti yang ditemukan dalam wild type-p53 pada populasi dominan ke-2,
sedangkan pada daerah L3 terdapat beberapa residu yang memiliki jarak interaksi
yang mendekati wild type-p53. Penambahan adduct pada sistein-275 (sistem 2)
yang diketahui memiliki reaksi pembentukan adduct paling lambat secara
mengejutkan memperlihatkan perbaikan konformasi parsial yang dapat mendekati
wild type-p53 pada daerah L1, L2 dan L3. Beberapa residu daerah L1 dan L3
sistem 2 yang berperan penting dalam DNA-binding menunjukkan jarak antar
residu yang mendekati jarak antar residu pada wild type-p53. Daerah L2 diketahui
merupakan daerah stabilisasi residu-residu permukaan p53 yang berperan dalam
DNA-binding. Adanya adduct pada sistem 2 ternyata mampu meningkatkan
probabilitas terbentuknya helix. Hal ini cukup menarik karena dengan
terbentuknya helix menunjukkan peningkatan kestabilan daerah tersebut.
Modifikasi oleh adduct MQ-Sistein yang dilakukan pada residu sitein
R175H-p53 dengan perbedaan kecepatan reaksi pembentukan adduct dan
perbedaan lokasi memberikan pengaruh yang berbeda terhadap konformasi mutan
p53. Pengaruh penambahan adduct ternyata mampu menginduksi modifikasi lokal
sehingga sebagian konformasinya dapat menyerupai wild type-p53. Perubahan
konformasi parsial yang terjadi pada L1, L2, dan L3 menunjukkan bahwa
sebagian konformasi mutan p53 mampu distabilkan dan mampu mendekati
konformasi wild type-p53 dengan penambahan adduct MQ-Sistein.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Reaktivasi R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein membutuhkan lebih dari
satu adduct.
2. Adduct MQ-Sistein pada posisi 124 dan 275 mampu mengembalikan
konformasi mendekati konformasi wild type-p53 secara parsial. Adduct
MQ-Sistein pada posisi 124 memberikan perubahan konformasi daerah L2
dan L3, sedangkan pada posisi 275 memberikan perubahan konformasi
daerah L1, L2 dan L3.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memodifikasi lebih dari
satu adduct yang bersifat kooperatif dan memiliki kecepatan pembentukan adduct
yang tidak berbeda signifikan dalam merestorasi konformasi p53 termutasi,
dimana satu adduct memberikan pengaruh yang berbeda dengan adduct lain
sehingga dimungkinkan saling melengkapi.
58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user