Upload
feeboo
View
35
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
INDIKASI PEMBERIAN OBAT ANTIPSIKOSIS
I. Pendahuluan
Berbagai agen yang digunakan untuk menerapi gangguan
psikiatrik disebut dengan tiga istilah umum yang dapat saling
menggantikan : obat psikotropik, obat psikoaktif, dan obat
psikoterapeutik. Dahulu, agen-agen tersebut dibagi menjadi empat
kategori : (1) obat antipsikotik atau neuroleptik, digunakan untuk
menerapi psikosis; (2) obat antidepresan, digunakan untuk menerapi
depresi; (3) obat antimaniak atau penstabil mood; dan (4) obat
antiansietas atau ansiolitik yang digunakan untuk menerapi ansietas.
Meskipun demikian, pembagian ini sekarang kurang sah daripada di
masa lalu karena banyak obat dari satu golongan digunakan untuk
menerapi gangguan yang sebelumnya diterapi dengan golongan obat
lainnya.1
Antipsikosis bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun
kronik suatu gangguan jiwa yang berat. Ciri terpenting antipsikosis
ialah : (1) berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas,
hiperaktivitas, dan labilitas emosional pada pasien psikosis; (2) dosis
besar tidak menyebabkan koma dalam ataupun anastesia; (3) dapat
menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel;
(4) tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik
dan psikis.2
Pada antipsikosis yang lebih baru, efek samping
ekstrapiramidal minimal sehingga antipsikotik menurut efek samping
ekstrapiramidal yang ditimbulkan terbagi menjadi antipsikotik yang
tipikal (efek samping ekstrapiramidal yang nyata) dan antipsikotik
yang atipikal (efek samping ekstrapiramidal yang minimal).2
Penggunaan klinis obat psikotropik dalam hal ini obat
antipsikotik ditujukan untuk meredam (suppression) gejala sasaran
1
tertentu dan pemilihan jenis obat disesuaikan dengan tampilan gejala
sasaran yang ingin ditanggulangi, sehingga sangatlah penting untuk
mengetahui indikasi penggunaan obat psikotropik, dalam hal ini obat
antipsikosis.3
II. Klasifikasi obat antipsikosis
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, berdasarkan efek
ekstrapirmidal yang dapat ditimbulkan, obat antipsikosis dapat dibagi
menjadi1,2,3 :
a. Antipsikotik tipikal
Antipsikotik tipikal atau disebut juga dengan antipsikotik generasi
I (APG I) merupakan obat yang bekerja sebagai antagonis reseptor
dopamin 2 dan dapat menimbukan reaksi ekstrapiramidal yang
kuat. Obat ini mencakup golongan fenotiazin rantai alifatik (cth.
Klorpromazin), rantai piperidin (cth. Thioridazine), dan rantai
piperazine (cth. Perphenazine, Trifluoperazine, fluphenazine),
golongan butirofenon (cth. Haloperidol), dan golongan diphenyl-
butyl-piperidine (cth. Pimozide).
Prototip kelompok ini adalah klorpromazin (CPZ) yang merupakan
derivat fenotiazin golongan alifatik. Hingga saat ini obat tersebut
masih tetap digunakan sebagai antipsikosis karena ketersediaan dan
harganya yang murah. Obat antipsikosis tipikal lain yang sering
digunakan yaitu haloperidol yang merupakan golongan
butirofenon.2
b. Antipsikotik atipikal
Antipsikotik atipikal atau disebut juga dengan antipsikotik generasi
II (APG II) merupakan obat yang bekerja sebagai antagonis
serotonin-dopamin. Obat golongan ini hampir tidak dapat
menimbulkan reaksi ekstrapiramidal. Obat ini mencakup golongan
Benzamide (cth. Supiride), golongan Dibenzodiazepine (cth.
2
Clozapine, Olanzapine, Quetiapine, Zotepine) dan golongan
benzisoxazole (cth. Risperidon, Aripiprazole).
III. Mekanisme kerja obat antipsikosis
Dopamin merupakan salah satu neurotransmitter pada manusia
yang sangat berperan pada mekanisme terjadinya gangguan psikotik.
Dopamin sendiri diproduksi pada beberapa area di otak, termasuk
subtantia nigra dan area ventral tegmental. Dopamin memiliki banyak
fugsi di otak, termasuk peran pentingnya pada perilaku dan kognisi,
pergerakan volunter, motivasi, penghambat produksi prolaktin (berperan
dalam masa menyusui), tidur, mood, perhatian, dan proses belajar.
Dopaminergik neuron (neuron yang menggunakan dopamin sebagai
neuro transmitter utamanya terdapat pada area ventral tegmental (AVT)
pada midbrain, substantia nigra pars compacta dan nucleus arcuata pada
hipotalamus, jalur dopaminergik merupakan jalur neural pada otak yang
mengirimkan dopamin dari satu regio di otak ke regio lainnya.
Ada 4 jalur utama dopamine:
1. Jalur mesolimbik memproyeksikan jalur dopamine dari
badan sel didaerah ventral tegmental batang otak terminal
akson daerah limbik seperti nucleus acumben. Jalur ini di
duga sangat berperan terhadap perilaku emosional,
khususnya halusinasi audiotorik dan delusi. Hiperaktivitas
dari jalur ini secara hipotesis diduga berperan penting
terhadap timbulnya gejala positif psikosis.
2. Jalur mesokortikal memproyeksikan jalur dopamine dari
badan sel ke daerah ventral tegmental batang otak
(berdekatan dengan badan sel mesolimbic) ke daerah
korteks cerebri. Gangguan pada jalur ini di duga berperan
terhadap timbulnya gangguan kognitif dan timbulnya
gangguan gejala negative psikosis.
3. Jalur nigrostriatal memproyeksikan jalur dopamine dari
badan sel substansia nigra batang otak yang menuju ke
3
ganglia basal atau striatum. Jalur ini merupakan bagian dari
ekstrapiramidal yang berfungsi mengontrol gerakan
motorik.
4. Jalur tuberoinfundibular menghubungkan nucleus arkuatus
dan neuron preifentikuler ke hipotalamus dan pituitary
posterior. Dopamine yang dirilis oleh neuron-neuron ini
secara fisiologis menghambat sekresi prolactin.
Mekanisme kerja obat antipsikotik berpusat pada keempat jalur
dopaminergik tersebut diatas. Antipsikotik tipikal bekerja dengan cara
menghambat reseptor Dopamin D2 receptors (D2 receptors) pada jalur
mesolimbik sehingga mengurangi gejala positif pada skizofrenia.
Sedangkan pada jalur mesokortikal, hambatan pada reseptor D2 dapat
berakibat timbulnya gejala kognitif atau gejala negatif yang semakin berat.
Antipsikosis tipikal juga menghambat reseptor D2 pada jalur nigrostriatal
yang berfungsi untuk mengontrol gerakan motorik. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya extrapyramidal syndrome (EPS) seperti
parkinsonism, diskinesia tardive, dan hyperkinetic movement disorder
pada penggunaan antipsikosis tipikal. Sedangkan efek antipsikosis tipikal
pada jalur tuberoinfundibular menyebabkan terjadinya
hyperprolactinemia.4
Antipsikotik atipikal sendiri disamping berafinitas terhadap
reseptor D2 juga terhadap serotonin 5 HT2 resceptors (serotonin-dopamin
antagonis). Pada jalur mesolimbik blokade reseptor D2 lebih kuat daripada
antagonis 5HT2A. Hal ini dapat membantu mengurangi gejala positif.
Sebaliknya pada jalur mesokortikal, terdapat lebih banyak reseptor 5 HT2
dibandingkan dengan reseptor D2. Hal ini dapat membantu mengurangi
gajala negatif sebab apabila reseptor D2 pada jalur ini dapat menyebabkan
gangguan kognitif dan gejala negatif yang nyata. 4
5HT2A antagonis pada antipsikosis atipikal berikatan dengan
reseptor 5HT2A pada jalur nigrostriatal dan menghambat pelepasan 5HT
sehingga menyebabkan pelepasan dopamin yang lebih banyak, hal ini
4
dapat mengurangi kemungkinan timbulnya EPS. Pada jalur
tuberoinfundibular, dopamin antagonis menghambat pelepasan prolaktin
sedangkan seotonin antagonis menyebabkan pelepasan prolaktin. Kerja
antagonis antara keduanya menyebabkan tidak terjadinya pelepasan
prolaktin ke dalam darah.4
IV. Indikasi terapeutik
Gejala sasaran (target syndrome) dari penggunaan obat antipsikosis
adalah sindrom psikosis. Butir-butir diagnostik sindrom psikosis adalah3 :
1. Adanya hendaya berat dalam RTA (Reality Testing
Ability/kemampuan daya menilai realitas). Dengan adanya
ganguan RTA tersebut, maka akan bermanifestasi berupa
kesadaran diri (awareness) terganggu, daya nilai norma sosial
(judgement) terganggu, dan daya tilikan (insight) terganggu.
2. Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental yang akan
bermanifestasi berupa adanya Gejala Positif dan Gejala Negatif.
Gejala Positif berupa gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi
Pikiran yang tidak wajar (waham), gangguan persepsi
(halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi),
perilaku yang aneh atau tidak terkendali.
Gejala Negatif berupa gangguan perasaan (afek tumpul, respon
minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif, apatis),
gangguan proses pikir (lambat, terhambat), isi pikiran yang
stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan
cenderung menyendiri (abulia).
3. Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-
hari, bermanifestasi seperti tidak mau bekerja, menjalin
hubungan sosial, dan melakukan kegiatan rutin.
Berdasarkan jenisnya, indikasi penggunaan antipsikotik dapat
dijabarkan sebagai berikut :
5
1. Antipsikotik tipikal
Antipsikotik tipikal sebagai anatagonis reseptor dopamin
efektif untuk penatalaksanaan skizofrenia jangka panjang maupun
jangka pendek, gangguan skizofreniform, gangguan skizoafektif,
gangguan waham, gangguan psikotik singkat, episode manik, dan
gangguan depresi berat dengan ciri psikotik. Obat ini mengurangi
gejala akut dan mencegah perburukan dimasa mendatang.1
Umumnya antagonis reseptor dopamin dianggap lebih efektif
pada terapi gejala positif skizofrenia (halusinasi, waham, dan agitasi)
dibandingkan terapi gejala negatif (penarikan diri secara emosional
dan ambivalensi) atau disosiasi kognitif. Antagonis reseptor dopamin
itu sendiri juga dapat menimbulkan gejala negatif. Pada umumnya juga
diyakini bahwa gejala paranoid lebih efektif diterapi dibandingkan
gejala nonparanoid, dan bahwa perempuan lebih responsif
dibandingkan laki-laki.1
Antipsikotik juga sering digunakan dalam kombinasi dengan
obat antimanik untuk menerapi psikosis atau manik pada gangguan
bipolar. Selain itu, antagonis reseptor dopamin juga efektif dalam
terapi gejala psikotik akibat penyebab organik (misal, tumor). Agitasi
dan psikosis akibat keadaan neurologis seperti demensia tipe
Alzheimer juga berespon terhadap terapi antipsikotik.1
Berikut ini beberapa obat antipsikotik tipikal yang sering
digunakan :
a. Klorpromazin (CPZ)
Indikasi utama klorpromazin ialah untuk mengurangi gejala
skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. Klorpromazin juga
dapat digunakan untuk mengurangi gejala mania pada pasien
dengan gangguan bipolar.5 Obat standar untuk terapi gangguan
bipolar, lithium, carbamazepine, dan valproat, umumnya memiliki
6
onset kerja yang lebih lambat dibandingkan dengan antipsikotik di
dalam terapi gejala akut. Praktik yang umum adalah dengan
menggunakan terapi kombinasi pada awal terapi dan kemudian
secara bertahap menghentikan antipsikotik.1 Indikasi lain
penggunaan klorpromazin yaitu mengatasi rasa gelisah dan cemas
setelah menjalani operasi.5 Selain itu, klorpromazin dapat
digunakan untuk mengobati porphyria akut intermittent, yaitu suatu
penyakit herediter berupa kelainan pembentukan heme pada rantai
hemoglobin yang memiliki trias yaitu nyeri abdomen, sensifitas
terhadap cahaya matahari, dan gangguan pada sistem saraf yang
bermanifestasi sebagai gangguan mental dan kepribadian serta
gangguan otot berupa kejang.5,6
b. Haloperidol
Indikasi utama haloperidol ialah untuk psikosis. Haloperidol juga
merupakan obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de la
Tourette yaitu suatu kelainan neurologik yang aneh yang ditandai
dengan kejang otot hebat, menyeringai (grimacing) dan explosive
utterances of foul expletives (korpolalia, mengeluarkan kata-kata
jorok). 2
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang
yang mengalami eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat
dibandingkan dengan CPZ, namun sama kuatnya dalam hal
menurunkan ambang rangsang konvulsi. Haloperidol menghambat
sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat muntah yang
disebabkan oleh apomorfin.2
Pada sistem otonom, haloperidol dapat menyebabkan pandangan
kabur (blurring of vision). Pada sistem kardiovaskular, haloperidol
dapat menyebabkan hipotensi tetapi tidak sesering CPZ. Reaksi
ekstrapiramidal timbul pada 80 % pasien yang diterapi dengan
haloperidol.2
7
c. Trifluoperazine
Trifluoperazine adalah obat antipsikosis dari golongan
phenotiazine rantai piperazine dengan efek antipsikosis poten,
anxiolitic, dan antiemesis. Trifluoroperazine memiliki efek sedatif
sedang dan dapat menyebabkan hipotensi, dan seperti antipsikosis
pada umumnya, dapat pula menyebabkan reaksi ekstrapiramidal.7
Trifluoperazine dosis rendah diindikasikan sebagai terapi
tambahan untuk pasien dengan gangguan kecemasan, episode
depresi pada gangguan kecemasan, dan agitasi. Pada dosis yang
lebih tinggi, penggunaan Trifluoperazine diindikasikan untuk
mengatasi gejala dan mencegah kekambuhan pada penderita
dengan skizofrenia khususnya untuk tipe paranoid. Gejala-gejala
seperti iritabilitas berat, tidak adanya pengendalian impuls,
permusuhan berat, hiperaktivitas menyeluruh, dan agitasi
berespons terhadap terapi jangka pendek dengan trifluoperazine.7
d. Thioridazine
Thioridazine digunakan sebagai terapi lini kedua pada
penderita skizofrenia dewasa. Thioridazine dosis kecil sering
digunakan untuk pasien anak dengan hiperaktif, emosi labil, dan
perilaku destruktif. Thioridazone juga dapat digunakan pada pasien
usia lanjut dengan gangguan emosional berupa anxietas, depresi,
dan agitasi. Hal ini disebabkan karena thioridazine lebih cenderung
ke blokade reseptor dopamin di sistem limbik daripada sistem
ekstrapiramidal pada sistem saraf pusat.8
2. Antipsikotik atipikal
Antipsikotik atipikal efektif untuk menerapi psikosis akut
dan kronis seperti skizofrenia dan gangguan skizoafektif pada
orang dewasa dan remaja. Antipsikosis atipikal juga efektif untuk
menerapi depresi psikotik serta untuk psikosis akibat trauma
kepala, demensia, atau obat terapi.1
8
Antipsikotik atipikal sama baiknya, atau lebih baik dibandingkan
dengan antipsikotik tipikal untuk terapi gejala positif pada
skizofrenia dan jelas mengunggulinya untuk terapi gejala negatif.
Dibandingkan dengan antipsikosis tipikal, mereka yang diterapi
dengan antipsokosis atipikal lebih jarang kambuh dan memerlukan
lebih sedikit perawatan di rumah sakit.1
Clozapine memiliki efek samping yang berpotensi
mengancam nyawa sehingga obat ini sekarang hanya digunakan
untuk pasien dengan skizofrenia yang resisten terhadap semua
antipsikotik lain. Terapi antipsikosis atipikal pada diskinesia
tardive ini menekan gerakan abnormal tetapi tidak tampak
memperburuk gangguan gerakan. Antipsikosis atipikal juga efektif
bagi pasien dengan ambang gejala ekstrapiramidal yang rendah.1
Antipsikotik atipikal juga berguna untuk pengendalian awal
agitasi selama episode manik, tetapi kurang efektif untuk
pengendalian jangka panjang gangguan bipolar. Olanzapine dan
risperidone dapat digunakan untuk memperkuat antidepresan
dalam penatalaksanaan jangka pendek depresi berat dengan ciri
psikotik. Antipsikosis atipikal juga efektif dalam terapi gangguan
skizoafektif meskipun risperidone dilaporkan mencetuskan mania
pada orang dengan gangguan skizoafektif. Penambahan olanzapine
dan clozapine dapat memperbaiki hingga dua pertiga orang dengan
gangguan bipolar refrakter.1
Berikut ini beberapa obat antipsikotik atipikal yang sering
digunakan :
a. Klozapin
Klozapin merupakan antipsikotik atipikal pertama dengan
potensi lemah. Kozapin efektif untuk mengontrol gejala-gejala
psikosis dan skizofrenia baik yang positif maupun yang negatif.
9
Obat ini juga cocok bagi pasien yang menunjukkan gejala
ekstrapiramidal berat pada pemberian antipsikosis tipikal. Namun,
karena klozapin memiliki risiko timbulnya agranulositosis yang
lebih tinggi dibandingkan dengan antipsikosis yang lain, maka
penggunaannya dibatasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak
dapat mentolerir antipsikosis yang lain. Indikasi lain clozapine
mencakup terapi pada pasien dengan diskinesia tardive berat.2
b. Risperidon
Indikasi risperidon adalah untuk terapi skizofrenia baik
untuk gejala positif maupun negatif. Disamping itu diindikasikan
juga untuk gangguan bipolar, depresi dengan ciri psikosis dan
Tourette syndrome.2
c. Olanzapin
Indikasi utama adalah mengatasi gejala negatif maupun
positif pada penderita skizofrenia dan sebagai antimania. Obat ini
juga menunjukkan efektivitas pada pasien depresi dengan gejala
psikotik.2
d. Quetiapin
Indikasi utama adalah mengatasi gejala negatif maupun
positif pada penderita skizofrenia. Obat ini dilaporkan juga
meningkatkan kemampuan kognitif pasien skizofrenia seperti
perhatian, kemampuan berpikir, berbicara dan kemampuan
mengingat membai. Disamping itu obat ini juga diindikasikan pula
untuk gangguan depresi dan mania.2
V. Pemilihan sediaan2
Obat golongan antipsikosis merupakan obat simtomatik.
Pemilihan obat ditujukan untuk sejauh mungkin menghilangkan gejala
penyakit dalam rangka pemulihan kesehatan mental pasien, obat
dengan efek samping seringan mungkin, dan bebas interaksi
merugikan dengan obat lain yang mungkin diperlukan.
10
Pada dasarnya semua obat antipsikosis mempunyai efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek
sekunder (efek samping : sedasi, otonomik, ekstrapiramidal).
Pemilihan sediaan obat antipsikosis dapat didasarkan atas
struktur kimia serta efek farmakologi yang menyertainya. Berhubung
perbedaan efektivitas antargolongan antipsikosis lebih nyata daripada
perbedaan masing-masing obat dalam golongannya, maka cukup
dipilih salah satu obat dari tiap golongan untuk tujuan pengobatan
tertentu.
Pemilihan jenis obat antipsikosis juga dapat
mempertimbangkan gejala psikotik yang dominan dan efek samping
obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.
11